ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JARAK PAGAR
Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman jarak, antara lain jarak kepyar
(Ricimus communis), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha
gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.). Pada umumnya, jenis
tanaman jarak yang paling sering digunakan untuk biodiesel dan bahan
oleokimia lainnya adalah jarak pagar dan jarak kepyar (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan, 2006).
Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang tahan
kekeringan. Tanaman ini juga mampu tumbuh dengan cepat dan kuat di lahan
yang beriklim panas, tandus, dan berbatu. Wilayah yang cocok sebagai tempat
tumbuhnya adalah di dataran rendah hingga mencapai ketinggian 1.000 m dpl
dengan temperatur tahunan sekitar 18,0-28,5°C (Hambali et al., 2006).
Jarak pagar telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah di
Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an.
Masyarakat diperintahkan untuk menanam jarak pagar di pekarangan. Minyak
jarak pagar ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan untuk perang pada
masa itu (Hambali et al., 2006).
Beberapa nama daerah (nama lokal) untuk tanaman jarak pagar adalah
jarak budeg, jarak gundul, jarak cina (jawa); baklawah, nawaih (NAD); jarak
kosta (Sunda); paku kare (Timor); peleng kaliki (Bugis); kalekhe paghar
(Madura); jarak pager (Bali); lulu mau, paku kase, jarak pageh (Nusa
Tenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak wolanda, bindalo, bintalo,
tondo utumene (Sulawesi); dan ai huwa kamala, balacai, kadoto (Maluku)
(Hambali et al., 2006).
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L.) memiliki produktivitas yang
tinggi. Menurut Kemala (2006), klasifikasi teknis usaha tani jarak pagar dapat
dibedakan menurut status teknologinya yaitu: (1) tingkat rendah dengan
produktivitas mencapai 4,35 ton/ha/tahun, dimana jarak pagar ditanam tidak
teratur, persentase tumbuh ± 65%, pemakaian pupuk dan obat-obatan lebih
sedikit; (2) tingkat sedang dan tinggi dengan produktivitas mencapai 6,5
ton/ha/tahun, dimana jarak pagar ditanam teratur, jumlah bibit 2750 bibit,
ukuran lubang teratur (10 x 20 cm), persentase tumbuh lebih tinggi 80% untuk
teknologi sedang dan 90% untuk teknologi tinggi, pemakaian pupuk dan obatobatan lebih banyak, curahan tenaga kerja lebih tinggi dari status teknologi
rendah; dan (3) teknologi tinggi dengan produktivitas sebesar 8,7 ton/ha/tahun.
Selain itu, penyebaran jarak pagar cukup luas. Jarak pagar tersebar di beberapa
daerah di Indonesia seperti: Lampung, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Tengah
(Departemen Pertanian, 2008).
Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae. Klasifikasi
tanaman jarak pagar adalah sebagai berikut.
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euporbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Jatropha
Spesies
: Jatropha curcas Linn.
Menurut Sinaga (2006), jarak pagar memiliki buah berupa buah kotak
berbentuk bulat telur dengan diameter 2 – 4 cm, berwarna hijau ketika masih
muda dan kuning jika sudah masak. Buah terbagi menjadi tiga ruang, masingmasing ruang berisi satu biji. Biji berbentuk bulat lonjong, berwarna coklat
kehitaman, dan mengandung banyak minyak. Menurut Heller (1996), biji jarak
pagar memiliki panjang 2 cm dan lebar 1 cm. Penampakan dari buah dan biji
jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Sumber: www.jayveer.tradeget.com
Gambar 2. Biji dalam buah Jarak pagar (Jatropha curcas L.)
Sumber: Hambali et al. (2006)
Hal yang membedakan jarak pagar dengan tanaman jarak lainnya adalah
persentase komponen penyusun dan kandungan asam lemaknya. Komponen
penyusun pada jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen penyusun biji jarak pagar
Nilai (%)
Komposisi (%)
a
b
c
Minyak (% b/b)
34.38
56.8− 58.4
46.24±0.37
Protein (% b/b)
17.08
22.2 – 27.2
29.40±1.04
Serat (% b/b)
22.96
-
2.57±0.35
Abu (% b/b)
3.17
3.6 – 4.3
4.90±0.26
Air (% b/b)
5.77
3.1 – 5.8
5.00 ±0.01
-
-
16.89±0.91
Karbohidrat (% b/b)
Sumber : Winkler et al. (1997) a
Gubitz et al. (1999) b
Peace dan Aladesanmi (2008) c
Tanaman jarak pagar menghasilkan biji yang memiliki kandungan
minyak cukup tinggi, sekitar 30 – 50%, sehingga sangat prospektif untuk
digunakan sebagai bahan baku produk oleokimia seperti surfaktan.
Karakteristik utama yang membedakan minyak jarak dengan gliserida lain
adalah larut dalam alkohol, larut dalam pelarut polar organik, sedikit larut pada
hidrokarbon aliphatik dan petroleum eter (Kirk dan Othmer, 1964). Minyak
jarak mempunyai rasa asam dan dapat dibedakan dengan trigliserida lainnya
karena bobot jenis, kekentalan, dan bilangan asetil serta kelarutannya dalam
alkohol nilainya relatif tinggi (Ketaren, 1986).
Menurut Nanewar (2005), minyak jarak pagar mengandung 21% asam
lemak jenuh dan 79% asam lemak tak jenuh. Adapun komposisi asam lemak
pada minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar
Kandungan asam lemak
Presentase (%)
Asam miristat
(C14H28O2)
0 – 0.1
Asam palmitat
(C16H32O2)
14.1 – 15.3
Asam stearat
(C18H36O2)
3.7 – 9.8
Asam arachidat
(C20H40O2)
0 – 0.3
Asam behenat
(C22H44O2)
0 – 0.2
Asam palmitoleat (C16H30O2)
0 – 1.3
Asam oleat
(C18H34O2)
34.3 – 45.8
Asam linoleat
(C18H32O2)
29.0 – 44.2
Asam linolenat
(C18H30O2)
0 – 0.3
Sumber : Gubitz et al. (1999)
Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam
linoleat, dan asam palmitat. Asam oleat dan asam linoleat merupakan asam
lemak tak jenuh, sedangkan asam palmitat merupakan asam lemak jenuh.
Asam oleat merupakan asam lemak yang terdapat di sebagian besar minyak
atau lemak dengan rata-rata komposisinya 50% dari total asam lemak. Menurut
Hamilton (1983), semakin tinggi jumlah asam lemak tak jenuh dalam suatu
minyak, maka akan menyebabkan minyak tersebut semakin mudah teroksidasi.
B. SURFAKTAN
Menurut Rieger (1985), surfaktan adalah suatu zat yang bersifat aktif
permukaaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka (interfacial tension
atau IFT) minyak-air. Surfaktan memiliki kecenderungan untuk menjadikan zat
terlarut dan pelarutnya terkonsentrasi pada bidang permukaan. Sifat-sifat
surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antar
muka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi, dan mengontrol jenis
formulasi emulsi. Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan
partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau
menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi.
Molekul surfaktan dapat digambarkan seperti berudu yang terdiri dari
bagian kepala dan ekor (Gambar 3). Bagian kepala dan ekor mempunyai sifat
yang berbeda, disebabkan karena struktur molekulnya yang tak seimbang
(konfigurasi kepala-ekor). Bagian kepala yang bersifat hidrofilik merupakan
bagian yang sangat polar dan larut dengan air. Sementara bagian ekor bersifat
hidrofobik merupakan bagian non-polar dan lebih tertarik ke minyak atau
lemak. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan memiliki fungsi
dan peranan yang beragam di industri (Hui, 1996e).
Hidrofilik
Hidrofobik
Gambar 3. Ilustrasi struktur molekul surfaktan (Gervasio, 1996)
Pada Gambar 4 disajikan tampilan visual orientasi bagian kepala
surfaktan pada media air. Sementara visualisasi surfaktan yang saling berikatan
hingga membentuk satu lapisan disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4. Tampilan surfaktan pada media air
Sumber: www.cems.ou.edu
Gambar 5. Visualisasi surfaktan yang membentuk satu lapisan
Sumber: www.cems.ou.edu
Umumnya, bahan baku yang digunakan dalam proses pembuatan
surfaktan adalah minyak bumi, minyak nabati, karbohidrat, dan hasil aktivitas
mikroorganisme. Penggunaan minyak bumi sebagai bahan baku surfaktan
semakin menipis karena persediaannya yang tidak dapat diperbaharui. Maka,
penggunaan bahan nabati seperti minyak jarak pagar sangat prospektif untuk
digunakan sebagai bahan baku surfaktan.
Surfaktan berbasis minyak nabati dapat disintesis melalui senyawa metil
ester. Proses yang dapat diterapkan untuk menghasilkan surfaktan yaitu
asetilasi, etoksilasi, esterifikasi, sulfonasi, sulfatasi, amidasi, dan saponifikasi
(Sadi, 1994).
Berdasarkan gugus hidrofiliknya, surfaktan dibagi menjadi empat
kelompok dan digunakan secara meluas pada hampir semua sektor industri
modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan kationik, anionik, nonionik, dan amfoterik. Data jumlah konsumsi surfaktan dunia menunjukkan
bahwa surfaktan anionik merupakan surfaktan yang paling banyak digunakan
yaitu sebesar 50%, kemudian disusul nonionik 45%, kationik 4%, dan
amfoterik 1% (Watkins, 2001).
Menurut Matheson (1996), surfaktan anionik mempunyai karakteristik
hidrofilik akibat adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa
golongan sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear
alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa
olein sulfonat (AOS), parafin (secondary alkalene sulfonate, SAS) dan metil
ester sulfonat (MES).
C. METHYL ESTER SULFONATES
Methyl Ester Sulfonates atau Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan zat
yang disintesis dari bahan metil ester dan agen sulfonasi melalui proses
sulfonasi. Metil ester sendiri dapat dihasilkan dari berbagai bahan baku
seperti dari minyak kelapa, minyak sawit dan tallow. MacArthur et al. (2001)
menyebutkan bahwa studi tentang MES dengan rantai C16-C18 menunjukkan
bahwa MES memiliki sifat yang lebih baik daripada surfaktan LAS atau AS
dalam hal daya cuci di air dingin dan air sadah hingga 100 ppm (CaCO3).
Hasil pengujian di laboratorium memperlihatkan bahwa laju biodegradasi
MES serupa dengan AS dan sabun, namun lebih cepat dibandingkan LAS.
Hal tersebut menyebabkan metil ester sulfonat pada masa mendatang
diindikasikan akan menjadi surfaktan anionik yang paling penting (Watkins,
2001).
Menurut Mac Arthur dan Sheats (2002), jenis minyak yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES adalah kelompok minyak
nabati seperti minyak kelapa, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak
kedelai, dan tallow. Pada Tabel 3 disajikan komposisi asam lemak beberapa
jenis minyak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan MES.
Tabel 3. Komposisi asam lemak beberapa jenis minyak yang dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan MES
CPO
(%) a
PKO
( %) a
Minyak
Kelapa
(%) a
Tallow
(%) b
Minyak
Jarak
Pagar
(%) c
Kaprat (C10)
-
3,6
7
-
-
Laurat (C12)
-
50
48
-
0,01
Miristat (C14)
1
16
17
3
0,06
Palmitat (C16)
46
8
8
26
14,76
Stearat (C18)
5
2
3
23
51,32
(C18:1)
39
15
6
43
33,15
Linoleat (C18:2)
9
1
2
2
0,23
Linolenat (C18:3)
0,4
-
-
-
-
Asam Lemak
Asam Lemak Jenuh :
Asam Lemak Tak Jenuh :
Oleat
Sumber : a Hui (1996a), b Watkins (2001), c Setyaningsih (2008)
Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan
karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air
dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat,
ester asam lemak C14, C16, dan C18 memberikan tingkat detergensi terbaik,
serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability).
Dibandingkan
petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan
diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya
deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan
aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap
keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah.
Berikut pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa karakteristik metil ester dari
beberapa bahan baku dalam pembuatan MES yang pernah dilakukan
sebelumnya.
Tabel 4. Karakteristik Metil Ester untuk Bahan Baku MES
Parameter
P&G
CEI 1270
Henkel Chengdu Emery
ME 16
1618
2204
Bobot Molekul
218
281
284
280
Bilangan Tak tersabunkan
0.05
0.27
0.06
n/a
0.15
0.5
3.8
0.4
252
197
191
n/a
Bilangan Asam (mg
KOH/g ME)
Bilangan Penyabunan (mg
KOH/g ME)
Sumber : MacArthur (1998)
Surfaktan MES memiliki kelemahan yaitu gugus ester pada struktur MES
cenderung mengalami hidrolisis baik pada kondisi asam maupun basa.
Kecepatan reaksi hidrolisis akan semakin cepat dengan meningkatnya suhu
(Rosen, 2004).
D. REAKSI SULFONASI
Bahan baku untuk surfaktan MES adalah metil ester yang diperoleh dari
proses esterifikasi minyak. Minyak yang akan dijadikan bahan untuk produksi
surfaktan harus diolah menjadi metil ester terlebih dahulu. Asam lemak yang
telah diolah menjadi metil ester akan menjadikan senyawa yang lebih stabil
terhadap suhu rendah maupun tinggi (Ketaren, 1986).
Metil ester merupakan suatu senyawa yang mengandung gugus —COOR
dengan R dapat membentuk alkil suatu ester. Suatu ester dapat dibentuk
langsung antara suatu asam lemak dengan alkohol yang dinamakan dengan
esterifikasi. Suatu asam karboksilat merupakan suatu senyawa organik yang
mengandung gugus karboksil —COOH. Gugus karboksil mengandung sebuah
gugus karbonil dan sebuah gugus hidroksil (Fessenden dan Fessenden, 1982).
O
SO3 + Rn
C
O
OCH3
Rn-1
C
C
SO3H
OCH3
Sulfur Trioksida + Metil Ester
Methyl Ester Sulfonate Acid
Gambar 6. Reaksi sulfonasi pada pembuatan MESA (Watkins, 2001)
Metil ester mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan asam
lemak, diantaranya yaitu: 1) pemakaian energi lebih sedikit karena
membutuhkan suhu dan tekanan lebih rendah dibandingkan dengan asam
lemak; 2) peralatan yang digunakan murah karena metil ester bersifat non
korosif sehingga tidak terlalu membutuhkan peralatan stainless steel yang kuat;
3) metil ester lebih mudah didistilasi karena titik didihnya lebih rendah dan
lebih stabil terhadap panas; 4) metil ester mudah dipindahkan dibandingkan
asam lemak karena sifat kimianya lebih stabil dan non korosif.
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil
ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976),
pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat
(H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3),
NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik,
beberapa perlakuan penting yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol,
suhu reaksi, konsentrasi gugus sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi,
jenis dan konsentrasi katalis, pH, dan suhu netralisasi (Foster, 1996).
Dari hasil penelitian sebelumnya, surfaktan MES yang diproduksi
dengan menggunakan reaktan NaHSO3 dan H2SO4 ternyata memperlihatkan
karakteristik bersifat larut minyak. Hal ini disebabkan karena proses sulfonasi
yang terjadi belum sempurna sehingga gugus sulfonat yang terbentuk hanya
sekitar 65 persen, sementara sisanya masih dalam bentuk minyak. Oleh karena
itu, kondisi proses sulfonasi untuk memproduksi surfaktan MES tersebut di
atas akan diteliti dengan menggunakan reaktan berupa gas SO3 agar dihasilkan
surfaktan MES dengan karakteristik larut air yang nantinya dapat diaplikasikan
untuk berbagai keperluan.
Alasan dipilihnya gas SO3 dikarenakan oleh beberapa hal. Menurut
Sherry et al. (1995), penggunaan reaktan gas SO3 memiliki beberapa
keuntungan, antara lain cocok diterapkan pada skala besar dan kontinyu hingga
24 jam per hari, tujuh hari per minggu, dan kapasitas terpasang dalam satuan
ton. Kapasitas untuk skala komersial dengan menggunakan teknologi gas SO3
adalah sekitar 250 sampai 20.000 kg/jam. Selain itu, proses ini menghasilkan
nilai rendemen paling tinggi yaitu sekitar 90-95%.
Reaksi sulfonasi molekul asam lemak dapat terjadi pada tiga sisi yaitu (1)
gugus karboksil; (2) bagian α-atom karbon; (3) rantai tidak jenuh (ikatan
rangkap) (Gambar 7).
Pemilihan proses sulfonasi tergantung pada banyak
faktor yaitu: karakteristik dan kualitas produk akhir yang diinginkan, kapasitas
produksi yang disyaratkan, biaya bahan kimia, biaya peralatan proses, sistem
pengamanan yang diperlukan, dan biaya pembuangan limbah hasil proses.
Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang
harus dipertimbangkan adalah rasio mol reaktan, suhu reaksi, konsentrasi grup
sulfat yang ditambahkan (SO3, NaHSO3, asam sulfit), waktu netralisasi, pH dan
suhu netralisasi (Foster, 1996).
H
H
H
C
C
H
H
CH = CH
H
C
O
CH2
H
3
C
1
OH
2
Gambar 7. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi
(Jungermann, 1979)
Menurut Stein dan Baumann (1975), lapisan metil ester bereaksi dengan
gas SO3 dari reaktor bagian atas. Pada reaktor dipasang saluran pemisah antara
fase gas dan fase cairan. Metil ester yang masuk ke dalam reaktor dengan laju
alir 600 gram/jam dan gas SO3 dengan konsentrasi 5%. Sulfonasi metil ester
dilakukan pada suhu 70-90°C dengan rasio mol metil ester dan gas SO3 yaitu 1
: 1,3. Gas SO3 bersifat eksotermis dan reaksi terjadi secara cepat dengan metil
ester pada suhu yang lebih rendah akibat adanya gugus karbonil dari ester,
tetapi sulfonasi belum tercapai. Untuk itu diperlukan suhu yang lebih tinggi
agar sulfonasi berlangsung sempurna.
Pengotor utama dalam proses pembuatan MES adalah terbentuknya disalt pada proses hidrolisis saat reaksi penetralan. Walaupun di-salt merupakan
surfaktan, namun di-salt memiliki sifat yang tidak diinginkan, yaitu cenderung
menurunkan kinerja MES (Rosen, 2004).
Menurut Mac Arthur dan Sheat (2002), penelitian mengenai produksi
MES skala pilot plant secara sinambung telah dilakukan oleh Chemithon Corp.
di Amerika Serikat. Produksi MES dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu
tahap proses sulfonasi dimulai dengan pemasukan bahan baku metil ester dan
gas SO3 ke reaktor dan selanjutnya diikuti dengan tahap pencampuran di
digester, tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan.
Download