PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 Lembar Pengesahan Skripsi PENYELE SAIAN PERSELISIHAN PEMUTU SAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA Disusun Oleh : SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal Juli 2012 Pembimbing I Pembimbing II Penguji Sutikno, S.H. NIP. 19480704 1980031001 Bambang Heryanto, S.H., M.H. NIP. 19561009 1987021001 Sunarto, S.H. NIP. 19491111 1980031001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hj. Rochani Urip Salami,SH.,MS NIP.19520603 198003 2 001 II LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama : SAWITRI DIAN KUSUMA NIM : E1A008023 Judul Skripsi : PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) K A R EN A K ESA LA H A N B ER A T PA D A TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, Juli 2012 Sawitri Dian Kusuma E1A008023 III KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada : 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Sutikno, S.H. selaku dosen pembimbing I Skripsi, atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 3. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing II Skripsi atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. 4. Bapak Sunarto, S.H. selaku dosen penguji Skripsi yang telah memberi saran dan perbaikan pada skripsi penulis. iv 5. Bapak Supriyanto, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Administrasi Negara atas semua bantuannya. 6. Bapak Djumadi, S.H., S.U. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas kebaikannya kepada penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum. 7. Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 8. Bapak Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang telah meluangkan waktu untuk membagi ilmunya dalam penelitian penulis di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. 9. Seluruh staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang telah meluangkan waktu dan membagi ilmunya dalam penelitian penulis di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. 10. Orang tua, kakak dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan selalu memberi semangat kepada penulis. 11. Untuk Mpeb, Uke, Kiki, Hardut, Acok, Mas Dito, Aa Endang Temanteman KKN Posdaya 2011 Desa Cibentang Kecamatan Bantarkawung Kabupaten Brebes yang selalu mendukung saya. 12. Sahabat sekaligus teman seperjuangan selama empat tahun menempuh studi di Fakultas Hukum Tatha, Cathy, Dian, Shasha, Dini, Lilis, Dita dll. 13. Seluruh rekan-rekan Fakultas Hukum Unsoed Angkatan 2008. 14. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. V Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Purwokerto, Juli 2012 Sawitri Dian Kusuma E1A008023 vi ABSTRAK PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA OLEH SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kesalahan berat tercantum dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini merupakan salah satu pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012/PUU-I/2003. Sejalan dengan putusan tersebut dikeluarkan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005. Surat Edaran tersebut menerangkan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal tersebut dapat dijadikan bukti dalam sengketa PHK yang akan diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Sumber data yang digunakan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga telah mencapai kesepakatan bahwa pekerja di-PHK karena melanggar Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tahapan penyelesaian perselisihan melalui mediasi sudah sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jadi penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat tidak diperlukan putusan pengadilan Negeri berkekuatan hukum tetap. Prinsip penyelesaian perselisihan melalui mediasi didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan para pihak. Kata Kunci: Perselisihan Hubungan Industrial, PHK karena Kesalahan Berat, Mediasi vii ABSTRACT Termination of Employment (FLE) because of serious mistakes is decided based on article 158 paragraph (I) of Law Number 13 year 2003 about Manpower. This article is one of the article that doesn’t have a whole binding force based on Constitutional Court’s decision as the verdict Number 012/PUUI/2003. As a line with that decision there is a letter from Manpower and Transmigration Minister Number SE. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 dated January 7th, 2005. This letter explains that Termination of Employment (FLE) for worker or labor that has a serious mistake is decided by employer after the verdict of criminal justice. It has a permanent legal force as the legal evidence that will be submitted to the Institute of Industral Relations Disputes Settlement. This research method was normative judicial approach with analitique description as the research’s spesification. The source of this research was primary law material, secondary law material, and tertiary law material. This research concluded that the setlement of Termination of Employment (FLE) because of serious mistake at the mediation level in The Social Service of Manpower and Transmigration Purbalingga district made an agreement that the workers are getting Termination of Employment (FLE) because the workers are against the article 161 of Law Number 13 of 2003 about manpower. The stage of disputes settlement through mediation has been being suitable with Law Number 2 0f 2004 about Industrial Relations Disputes Settlement. So, disputes settlement of Termination of Employment (FLE) because of serious mistake doesn’t need the verdict of district court. The disputes settlement’s principle through mediation is based on consultation and agreement of the parties. Keyword: Industrial relations disputes, Termination of Employment (FLE) because of serious mistake, mediation. VIII DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................ii LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... i i i KATA PENGANTAR............................................................................. i v ABSTRAK ............................................................................................. v i i ABSTRACT ............................................................................................ v i i i DAFTAR ISI ............................................................................................... ix DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... x i i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................. 1 B. Perumusan Masalah .......................................... 11 C. Tujuan Penelitian ............................................. 11 D. Kegunaan Penelitian ............................................ 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Ketenagakerjaan ..................................................... 13 1. Pengertian Hukum Ketenagaerjaan .......................... 13 2. Sumber-sumber Hukum Ketenagakerjaan ................ 15 3. Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan .......... 20 B. Hubungan Kerja .................................................................. 26 C. Perselisihan Hubungan Indutrial .......................................... 33 x 1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial ............ 33 2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ........ 36 3. Mediasi Hubungan Industrial .................................... 38 D. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ...................................... 40 1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ......... 40 2. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ......... 42 3. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ......... 46 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan .................................................... 47 B. Spesifikasi Penelitian ........................................................ 48 C. Lokasi Penelitian 48 D. Sumber Data 48 E. Metode Pengumpulan Data .............................................. 50 F. Metode Penyajian Data .................................................... 50 G. Metode Analisis Data ....................................................... 51 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian ................................................................ 52 B. Pembahasan ...................................................................... 72 BAB V PENUTUP Simpulan ................................................................................... 89 Saran ................................................................................. 90 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x DAFTAR TABEL Tabel 1. Hak-hak Pekerja yang di PHK Dikaitkan dengan Alasan PHK ............................................................................................ 41 Tabel 2. Data Perselisihan Hubungan Industrial Kabupaten Purbalingga ................................................................................................... 62 Tabel 3. Data Penyelesaian Perselisihan Hak ................................................... 64 Tabel 4. Data Penyelesaian Perselisihan Kepentingan ..................................... 63 Tabel 5. Data Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ................................................................................ 63 Tabel 6. Data Penyelesaian Perselisihan Antarserikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan .................................. 64 xi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Struktur Organisasi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. Lampiran 2. Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Lampiran 3. Perjanjian Bersama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53305 Bojongsari Kabupaten Purbalingga. Lampiran 4. Surat Panggilan Klarifikasi Sidang Mediasi. Lampiran 5. Surat Permohonan Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial. Lampiran 6. Risalah Perundingan Bipartit. Lampiran 7. Surat Pemutusan Hubungan Kerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53305 Bojongsari Kabupaten Purbalingga. Lampiran 8. Surat Rekomendasi penelitian. xII PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA SKRIPSI Oleh: SAWITRI DIAN KUSUMA E1A008023 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang membawa dampak yang salah satunya yaitu semakin beragamnya kebutuhan manusia. Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka seseorang perlu bekerja baik pekerjaan yang dilakukan sendiri atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai pekerja atau buruh. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, hal tersebut menunjukkan bahwa menjadi tugas bersama untuk mengusahakan agar setiap orang yang mau dan mampu bekerja, mendapatkan pekerjaan sesuai dengan yang diinginkannya, dan setiap orang yang bekerja mampu memperoleh penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi si tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.1 Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hal. 19. 1 2 Kaitannya dengan hukum ketenagakerjaan, maka bukan orang yang bekerja atas usaha sendiri, tetapi yang bekerja pada orang atau pihak lain. Bekerja pada orang lain atau pihak lain menurut hukum ketenagakerjaan, maka didasarkan pada adanya suatu hubungan kerja. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan pengertian hubungan kerja tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha.2 Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasioal karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara pengusaha dan pekerja. Tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan dengan baik. Hal ini dimungkinkan adanya perselisihan, karena manusia sebagai makhuk sosial dalam berinteraksi sudah pasti terdapat persamaan dan perbedaan dalam kepentingan maupun pandangan, sehingga selama pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 63. 2 3 Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya khusunya bagi pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan keluarganya.3 Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakhiran kemampuan menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya.4 Oleh karena itu, pihakpihak yang terlibat dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja.5 Pemutusan hubungan kerja dapat dihindari dengan terjalinnya hubungan kerja yang harmonis di antara para pihak dengan adanya kendali atas sikap yang 3 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 88. 4 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1974, hal. 143. 5 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 65. 4 dimiliki oleh masing-masing pihak, baik oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Akan tetapi, pada kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa PHK tidak mungkin dapat dicegah seluruhnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila PHK tidak dapat dihindari maka maksud dari PHK tersebut wajib dirundingkan antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang bersangkutan jika pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Apabila perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari pekerja/buruh. Namun, pada kenyataannya lebih sering terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) atas inisiatif dari pihak pengusaha. PHK oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh dapat disebabkan berbagai macam alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan, perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja pensiun, atau karena pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat maka pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak tanpa ada penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selama didukung 5 dengan bukti sebagaimana dalam ketentuan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: 1. Pekerja/buruh tertangkap tangan; 2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Jenis kesalahan berat lainnya, selain berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, juga dapat diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tersebut, harus mendapat izin dari lembaga yang berwenang.6 Kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan perbuatan pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.7 Selain itu ketentuan Pasal 170 jo Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan dasar bagi perusahaan untuk melakukan PHK secara sepihak. Hal tersebut dinilai telah melanggar asas praduga tak besalah (presumption of innocence), oleh karena itu terhadap beberapa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ibid., hal. 72. Farianto dan Darmanto Law Firm, Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, PT RajaGrafindo 6 7 6 Persada, Jakarta, 2009, hal. 99. 7 Ketenagakerjaan dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dalam Putusan No.012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap UUD 1945 khusunya Pasal 27 ayat (1), sehingga mengenai Pasal 158, Pasal 159 dan beberapa anak kalimat yang merujuk pada ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.8 Sejalan dengan adanya putusan tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE. 1 3/MEN/SJHK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai bukti hukum yang nantinya dapat dijadikan bukti dalam sengketa PHK yang akan diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan penyebab yang paling sering muncul dalam perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang tersebut lahir atas perintah Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mencabut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 7 tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.9 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa: Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan, atas dasar pengertian perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, membagi empat jenis perselisihan hubungan industrial meliputi: 1. Perselisihan hak (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial); 2. Perselisihan kepentingan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial); 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial); 4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ).10 Terjadinya perselisihan hubungan industrial sulit untuk dihindari, karena dalam melakukan hubungan kerja sering terjadi benturan kepentingan di antara para pihak dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan karena dapat menyebabkan lingkungan kerja menjadi tidak kondusif sehingga dapat menghambat produktivitas kerja. Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I., 2007, Naskah Akademik Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, http://www.litbangkumdil.net/publikasi-litbang/201 -naskahakademis-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial.html diakses tanggal 13 April 2012. 10 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di 9 Luar Pengadilan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 43. 8 Ibid., hal. 99. 8 Perselisihan hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, selama tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 terdapat tiga puluh lima kasus perselisihan hubungan industrial, di antaranya sembilan kasus mengenai perselisihan hak, satu kasus mengenai perselisihan kepentingan, dan dua puluh lima kasus mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan data tiga tahun terakhir mengenai perselisihan hubungan industrial yang dicatat pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga tersebut, dapat diketahui bahwa perselisihan yang paling banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perselisihan mengenai PHK paling banyak terjadi, karena tindakan PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. Salah satu contoh perselisihan PHK yang terjadi adalah pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga yang telah melakukan PHK terhadap dua orang pekerjanya karena masing-masing pekerja telah melakukan kesalahan berupa: 1. Pekerja dengan sengaja berjudi di area SPBU/tempat bekerja. 2. Pekerja melakukan manipulasi absen dan berani kepada pimpinan dalam melanggar peraturan sebagai karyawan. Pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja di Statsiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga tersebut masuk dalam kategori kesalahan berat sebagaimana ketentuan yang diatur 9 dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan pengaturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial terdapat dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial (litigasi) dan di luar pengadilan hubungan industrial (non-litigasi) yang meliputi penyelesaian secara Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase.11 Pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu secara kekeluargaan di luar pengadilan hubungan industrial (nonlitigasi) melalui perundingan bipartit dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian secara Bipartit jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak, sebab akan membuahkan hasil yang dapat diterima kedua belah pihak dan menekan biaya serta menghemat waktu. Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara Bipartit dan kedua belah pihak tidak bermaksud menyerahkan penyelesaian perselisihan melaui konsiliasi atau arbitrase, maka penyelesaian perselisihan yang dilakukan secara wajib adalah melalui forum mediasi dengan jalan salah satu atau kedua belah pihak yang berselisih dapat memberi tahukan secara lisan atau tertulis perselisihan tersebut kepada Mediator yang berada di setiap Instansi yang 10 bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang disertai dengan bukti atau risalah perundingan Bipartit. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan pengertian mediasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah: Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan mealui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediasi berbeda dengan konsiliasi dan arbitrase karena dalam mediasi, dapat menyelesaikan semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Mediasi merupakan intervensi terhadap suatu perselisihan oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yan berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. Proses penyelesaian perselisihan melalui mediasi ditekankan pada musyawarah atau kesepakatan para pihak, sehingga tidak terdapat unsur paksaan antar para pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu, mediator berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan 11 yang hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang berselisih. Mediator hanya berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat suatu topik yang menitikberatkan aspek normatif mengenai mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan judul: “PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan yakni : Bagaimana pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. 12 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Kabupaten Purbalingga. b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada dunia pendidikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan terutama beraitan dengan pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. 2. Kegunaan Praktis Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan sosialisasi bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, masyarakat, serta pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja pada tingkat mediasi di Kabupaten Purbalingga. BAB II TINJAUAN PUS TAKA A. Hukum Ketenagakerjaan 1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Istilah hukum ketenagakerjaan dahulu disebut dengan hukum perburuhan yang merupakan terjemahan dari arbeidsrechts, namun keduanya memiliki arti yang berbeda dari segi substansi. Berikut adalah pendapat beberapa ahli hukum mengenai hukum perburuhan: 1. Menurut Molenaar: Bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja, dan antara tenaga kerja dengan penguasa. 2. Menurut Mr. M. G. Levenbach: Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu. 3. Menurut Mr. N. E. H. van Esveld Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan resiko sendiri. 4. Menurut Prof. Iman Soepomo, S. H.: Himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.12 Berdasarkan pengertian hukum perburuhan yang diberikan oleh para ahli hukum tersebut, maka hukum perburuhan setidak-tidaknya mengandung unsur: 12 Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 1. 14 1. Himpunan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis). 2. Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa. 3. Seseorang bekerja pada orang lain. 4. Upah. Perubahan istilah hukum perburuhan menjadi hukum ketenagakerjaan terdapat perbedaan cakupan. Dari unsur-unsur di atas, diketahui bahwa hukum perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum di dalam hubungan kerja, sedangkan cakupan hukum ketenagakerjaan menjadi lebih luas. Hukum ketenagakerjaan tidak hanya aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi baik sebelum, selama, atau sesudah hubungan kerja.13 Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut, menurut Lalu Husni menyatakan bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah semua pengaturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja.14 Menurut Sendjun H. Manulang dalam bukunya menyatakan bahwa, tujuan diadakan hukum ketenagakerjaan adalah: 13 14 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 35. Ibid., hal. 35. 15 1. 2. Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan; Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau menciptakan peraturanperaturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak yang lemah.15 Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan perluasan pengertian pekerja, yaitu: 1) Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak. 2) Mereka yang memborong pekerjaann kecuali yang memborong adalah perusahaan. 3) Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan. 2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan Sumber hukum pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.16 Sumber hukum ketenagakerjaan adalah tempat ditemukannya aturanaturan mengenai masalah ketenagakerjaan yang mendasarkan pada sumber hukum Indonesia di bidang Ketenagakerjaan. Sumber hukum ketenagakerjan berfungsi sebagai jaminan kepastian dan keadilan bagi para Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 2. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal. 76. 15 16 16 pihak yang terlibat dalam hukum ketenagakerjaan, yang diterapkan dalam bentuk peraturan-peraturan. Sumber hukum ada dua macam, yaitu sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Dalam hukum ketenagakerjaan, maka yang dimaksud adalah sumber hukum ketenagakerjaan dalam arti formil, sebab sumber hukum dalam arti materiil adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sumber hukum ketenagakerjaan tersebut adalah: a. Undang-Undang Perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan mengalami banyak perubahan yaitu ditandai dengan munculnya undang-undang baru yang lebih dinamis dan tentunya banyak membawa kepentingan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha itu sendiri. Undang-undang tersebut antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889). 2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279). 3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini mencabut: a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686); 4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. 17 5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.17 b. Peraturan lain Menurut Zainal Asikin dalam bukunya menyatakan bahwa, peraturan lain yang dimaksud adalah peraturan yang lebih rendah kedudukannya dengan undang-undang, peraturan tersebut antara lain: 1) Peraturan Pemerintah, peraturan ini ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. 2) Keputusan presiden, merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus atau mengatur hal tertentu saja. 3) Peraturan atau keputusan instansi lain, di mana dalam bidang ketenagakerjaan suatu instansi atau pejabat tertentu diberi kekuasaan membuat peraturan atau keputusan tertentu yang berlaku bagi umum.18 c. Kebiasaan Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilaksanakan berulang-ulang kali dalam hal yang sama, diterima oleh masyarakat dengan baik, sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai hukum. Hukum kebiasaan seringkali bersumber dari norma atau kaidah sosial. Kaidah sosial dalam masyarakat dibedakan menjadi norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Zaeni Asyhadie, Hukum Perburuhan Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3. 18 Zainal Asikin,dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 34. 17 18 Menurut Iman Soepomo dalam bukunya menyebutkan bahwa, kebiasaan atau hukum tidak tertulis berkembang dengan baik karena dua faktor: 1) Pembentuk undang-undang atau peraturan perburuhan/ketenagakerjaan tidak dapat dilakukan secepat perkembangan soal-soal perburuhan/ketenagakerjaan yang harus diatur. Kemajuan dan perubahan tidak dapat diikuti dengan saksama oleh perundang-undangan. Keadaan yang demikian terdapat di mana-mana terutama di Indonesia dimana perkembangan mengenai perburuhan/ketenagakerjaan berjalan sangat cepat. 2) Peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda dahulu sudah tidak lagi dirasakan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan aliranaliran yang tumbuh di seluruh dunia.19 d. Putusan Apabila aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat dirasa masih kurang lengkap, maka putusan pengadilan tidak hanya memberi bentuk hukum pada kebiasaan, tetapi juga dapat dikatakan menentukan dan menetapkan sebagian besar hukum itu sendiri. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) baik tingkat pusat ataupun daerah, putusan ini dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan khususnya Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat mengikat oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal para pihak agar putusan tersebut dapat dijalankan (Undang-Undang Nomor 2 Tahaun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). 19 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1987, 19 hal.23. 20 e. Perjanjian Perjanjian merupakan peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan, oleh karena itu aturan dalam perjanjian mempunyai kekuatan hukum sebagai undang-undang. Perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang menyelenggarakannya dan orang lain atau pihak lain tidak terikat.20 Pekerja/buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekeja pada pengusaha dengan menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupan untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah. f. Traktat Traktat merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang dikenal dengan perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional. Traktat di bidang ketenagakerjaan banyak dijumpai dalam ketentuan internasional dari hasil konferensi ILO (International Labour Organization) yang dikenal dengan istilah convention, seperti Convention Nomor 19 tentang perlakuan yang sama bagi buruh warga negara dan asing dalam hal pemberian ganti rugi kecelakaan, dan 21 Convention Nomor 100 tentang pengupahan yang sama antara buruh pria dan wanita mengenai jenis pekerjaan yang sama.21 g. Doktrin/Pendapat Ahli Doktrin atau pendapat pakar ilmu hukum dapat digunakan sebagai landasan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan perburuhan/ketenagakerjaan.22 3. Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan Pihak-pihak yang terkait dalam hukum ketenagakerjaan tidak hanya pekerja/buruh dan pengusaha/majikan saja. Melainkan juga badan-badan lain seperti organisasi pekerja/buruh, organisasi pengusaha/majikan, dan badan-badan pemerintah. a. Pekerja/buruh Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh sangat dikenal dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan karena sering digunakan sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu yang dimaksud dengan buruh adalah orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain yang melakukan pekerjaan kasar sejenisnya dan disebut dengan Blue Collar, sedangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan halus oleh Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan istilah “karyawan/pegawai” dan disebut dengan White Collar. 22 21 22 Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 37. Ibid., hal. 37. 20 Ibid., hal. 23. 23 Dalam perkembangan perundang-undangan perburuhan sekarang tidak dibedakan antara buruh halus dan buruh kasar yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama tidak mempunyai perbedaan apapun. Bahkan istilah buruh diupayakan diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu Kongres FBSI II tahun 1985, karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan.23 Namun karena pada masa orde baru istilah pekerja khusunya istilah serikat pekerja banyak diintervensi oleh kepentingan pemerintah, maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah, istilah tersebut disandingkan.24 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian pekerja/buruh tersebut memiliki makna yang lebih luas, karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. 23 24 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 44. Ibid., hal. 44. 24 b. Pengusaha Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga sangat dikenal sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, istilah majikan sekarang sudah tidak dipergunakan lagi dan diganti dengan pengusaha karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai lawan atau kelompok penekan buruh, padahal secara yuridis antara buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang sama. Pengusaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah: 1) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. 2) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya. 3) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Pengertian pengusaha sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengurus perusahaan (orang yang menjalankan perusahaan bukan miliknya) termasuk dalam pengertian pengusaha, artinya pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha (orang/pemilik perusahaan).25 25 Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 30. 25 c. Organisasi Pekerja/Buruh Pekerja/buruh sifatnya lemah baik dipandang dari segi ekonomi m aupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya t erhadap pengusaha/majikan. Pekerja/buruh merupakan warga negara mempunyai persamaan dan kedudukan dalam hukum, memiliki hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Hak pekerja/buruh tersebut telah dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Berdasarkan pengertian serikat pekerja/serikat buruh tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan dari serikat pekerja/serikat buruh adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. Menurut RG. Kartasapoetra dalam bukunya Zainal Asikin yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Perburuhan menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan organisasi buruh/pekerja di tanah air kita adalah 24 organisasi yang didirikan oleh dan untuk kaum buruh/pekerja secara sukarela yang berbentuk: 1) Serikat Buruh, adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit kerja (basis). 2) Gabungan Serikat Buruh, adalah suatu organisasi buruh yang anggota-anggotanya terdiri dari Serikat Buruh seperti di atas.26 d. Organisasi Pengusaha Organisasi pengusaha mempunyai peran yang penting dalam menyelenggarakan pembangunan nasional, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan karena pengusaha ikut bertanggung jawab atas terwujudnya tujuan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual, dan material. 27 Oleh karena itu, sebaiknya perhatian pengusaha tidak hanya memperjuangkan kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan pekerja/buruh sebagai salah satu komponen produksi yang perlu mendapat perlindungan hukum. Pasal 105 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa mengenai organisasi pengusaha menentukan sebagai berikut: 1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha. 2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 50. Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 137. 26 27 25 Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, terdapat dua macam organisasi pengusaha di Indonesia, yaitu: 1) KADIN Kamar Dagang Industri (KADIN) adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang ketenagakerjaan. Untuk meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan pembangunan maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1973 membentuk KADIN. 2) APINDO Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. APINDO adalah suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerjasama yang terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, serta lahir atas dasar peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.28 e. Pemerintah Campur tangan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena jika antara pekerja dan pengusaha yang memiliki perbedaan secara sosial ekonomi diserahan sepenuhnya kepada para pihak maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah. Atas dasar itu, pemerintah turut campur tangan melalui peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian hak dan kewajiban kepada para pihak . 28 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 54. 27 Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum di bidang ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hak-hak normatif pekerja yang pada gilirannya mempunyai dampak terhadap stabilitas usaha. Selain itu pengawasan ketenagakerjaan juga akan dapat membidik pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis.29 B. Hubungan Kerja Hubungan kerja merupakan suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh minimal dua subjek hukum yaitu pengusaha dan pekerja/buruh mengenai suatu pekerjaan. Hal tersebut menunjukkan kedudukan dari para pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban dari masingmasing pihak. Pengertian Hubungan Kerja berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah: Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Menurut Iman Soepomo dalam bukunya Sendjun H. Manulang menyebutkan bahwa, pengertian hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, yang terjadi setelah diadakan perjanjian kerja oleh pekerja/buruh dengan pengusaha, dimana pekerja/buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan 29 pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.30 Dalam pengertian hubungan kerja tersebut, terkandung arti bahwa pihak pekerja/buruh dalam melakukan pekerjaan berada di bawah pimpinan pihak lain yang disebut pengusaha. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian kerja sebagai dasar hubungan kerja, hak dan kewajban para pihak, berakhirnya hubungan kerja, dan penyelesaian perselisihan antara pihak-pihak yang bersangkutan.31 Jadi, dapat diketahui bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hukum yang lahir atau ada setelah adanya perjanjian kerja yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh yang ada pada perusahaan. Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.32 1. Perjanjian Kerja Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 30 31 Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 63. Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia 30 Indonesia, Bogor, 2010, hal. 43. 32 Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 44. 31 Menurut Iman Soepomo menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.33 Pengertian perjanjian kerja berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, sifatnya lebih umum karena pengertian tersebut menunjuk pada hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri.34 Berdasarkan pengertian perjanjian kerja, dapat ditarik beberapa unsur perjanjian kerja, yakni: a. Ada pekerjaan Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjiakn (objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh. Secara umum, pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja. b. Ada upah Upah harus ada dalam setiap hubungan kerja, karena upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan tujuan utama orang bekerja adalah untuk mendapatkan upah. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan 32 33 34 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 64. Ibid., hal. 65. 172. 33 bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukan. c. Ada perintah Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja, maksudnya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh berada di bawah perintah pengusaha.35 Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Namun, secara normatif perjanjian kerja dalam bentuk tertulis menjamin hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan membantu dalam proses pembuktian. 2. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Perjanjian kerja bersama merupakan pengganti istilah Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), yang istilah awalnya adalah perjanjian perburuhan.36 Perjanjian kerja bersama dapat menyeimbangkan keberadan dan kedudukan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Berdasarkan pada pengertian perjanjian kerja tersebut, dapat diketahui bahwa pihak-pihak dalam perjanjian kerja bersama adalah serikat 35 Adrian sutedi, Op. Cit., hal. 47. 36 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 172. 30 pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan pengusaha atau beberapa/perkumpulan pengusaha. Dalam penyusunannya perjanjian kerja bersama dilakukan secara musyawarah atau perundingan dan dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan bahsa Indonesia.37 Perjanjian kerja bersama cukup didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan karena perjanjian kerja bersama yang dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha dianggap sudah dapat mewakili kepentingan pekerja/buruh sebagai pihak yang lemah. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan perjanjian kerja bersama, antara lain sebagai berikut: a. b. c. Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu perjanjian kerja bersama yang berlaku bagi semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha adalah yang memiliki anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan. Perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila isi perjanjian kerja berasama tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundangundangan.38 Masa berlaku perjanjian kerja bersama hanya dapat dibuat untuk paling lama dua tahun, untuk selanjutnya dapat diperpanjang untuk paling lama satu tahun. Jika tidak terdapat ketentuan lain, maka perjanjian kerja bersama yang 36 Ibid., hal 172. 38 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 53. 37 172. telah dibuat berlaku terus-menerus untuk waktu yang sama, tetapi tidak melebihi waktu satu tahun kecuali ada pernyataan untuk mengakhiri yang dapat dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum waktu perjanjian kerja bersama berakhir.39 Pasal 124 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja bersama paling sedikit memuat: a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh; c. Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; d. Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. 3. Peraturan Perusahaan Peraturan perusahaan merupakan salah satu hal yang dapat menguatkan kedudukan dan keberadaan pengusaha sebagai pemilik perusahaan atas pekerja/buruh yang secara ekonomis memiliki kedudukan yang lebih rendah, karena pengusaha dapat memasukkan berbagai hal yang dikehendaki. Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa: Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor 02/MEN/1976 menyebutkan bahwa: 39 Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 79. 32 32 Peraturan perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan dan memuat tata tertib perusahaan. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa peraturan perusahaan dibuat secara sepihak oleh pengusaha yang berisikan tentang syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaan. Dengan kata lain peraturan perusahaan merupakan petunjuk teknis dari PKB maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.40 Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 108 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kewajiban membuat peraturan perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian kerja bersama. Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa peraturan perusahaan sekurangkurangnya memuat: a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Hak dan kewajiban pekerja/buruh; 40 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 89. c. Syarat kerja; d. Tata tertib perusahaan; dan e. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan. Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama dua tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya, dan ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. C. Perselisihan Hubungan Industrial 1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial Sebelum membahas mengenai perselisihan hubungan industrial, maka harus diketahui pengertian hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa: Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Dahulu istilah yang digunakan adalah Hubungan Industrial Pancasila, di mana prinsip Hubungan Industrial Pancasila bahwa setiap keluh kesah yang terjadi dalam perusahaan dan masalah-masalah ketenagakerjaan lain yang 34 timbul harus diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk mufakat. Hubungan industrial mencakup hal yang dikaitkan dengan interaksi manusia di tempat kerja. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial dalam berinteraksi selalu terdapat persamaan dan perbedaan dalam pandangan yang dapat menimbulkan perselisihan, yang dikenal dengan perselisihan hubungan industrial. Hal ini dapat berdampak terganggunya suasana kerja dan berakibat pada penurunan kinerja serta produksi di tempat kerja. Dahulu istilah perselisihan hubungan industrial disebut dengan perselisihan perburuhan, tetapi seiring dengan perkembangan di bidang ketenagakerjaan istilah buruh sudah tidak sesuai maka sejak diberlakukan Kepmenaker Nomor: KEP. 15/MEN/1994 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan dan Pemerataraan, istilah perselisihan perburuhan diganti dengan istilah perselisihan hubungan industrial. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan perselisihan hubungan indutrial adalah: Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, 35 perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan pengertian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut, maka dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi jenis perselisihan hubungan industrial menjadi: a. Perselisihan Hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial); b. Perselisihan Kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial); c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran pemutusan hubungan kerja oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial); d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, yaitu perselihan antarserikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial). 2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang- 36 Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan swasta. Penyelesaian berdasarkan kedua undang-undang tersebut ternyata dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, karena tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan yang terjadi terutama mengenai hak-hak pekerja/buruh. 4 1 Tidak hanya itu, proses penyelesaian perselisihannya juga berbelit dan memakan waktu cukup lama sehingga dirasa kurang efektif. Perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu penyelesaian di luar Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) dan penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial (litigasi). Penyelesaian perselisihan di luar Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) meliputi empat cara: a. Penyelesaian melalui Bipartit. b. Penyelesaian melalui Mediasi. c. Penyelesaian melalui Konsiliasi. d. Penyelesaian melalui Arbitrase. Pada prinsipnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan berunding bersama antara pekerja/buruh dan pengusaha yang terlibat, baik secara bipartit maupun diperantarai oleh pihak ketiga yang bersifat netral maupun Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2011, hal. 61. 41 37 tidak (non litigasi). Hal ini dikarenakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar Pengadilan Hubungan Industrial jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak dan menekan biaya serta menghemat waktu. Apabila penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan di luar Pengadilan Hubungan Industrial tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian perselisihan dapat dilanjutkan untuk diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial (litigasi). Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara perselisihan hubungan industrial yang diajukan kepadanya.42 Berdasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; b. Di tingat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. 3. Mediasi Hubungan Industrial Apabila ternyata penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak dapat diselesaikan atau tidak tercapai kesepakatan melalui perundingan 42 Ibid., hal. 86. 38 bipartit, maka tahap berikutnya adalah penyelesaian secara mediasi. Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi bersifat wajib, apabila penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase tidak disepakati oleh para pihak. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah: Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah: Pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan. Mediasi berbeda dengan konsiliasi dan arbitrase karena dalam mediasi, dapat menyelesaikan semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. 39 Berdasarkan ketentuan Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Mediator juga dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengan keterangannya. Apabia tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka mediator membantu membuatkan Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak dan kemudian di daftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat. Namun, dalam hal tidak tercapai kesepakatan melalui mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka: a. b. c. d. e. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis; Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak; Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran tertulis; Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana yang dimasud dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis; Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. 4 0 D. Pemutusan Hubungan Industrial (PHK) 1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi karena berbagai hal, seperti telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dapat pula karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan pengusaha, meninggalnya pekerja/buruh, atau karena sebab lain. Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, terutama dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial baik pengusaha, pekerja/buruh, atau pemerintah, dengan segala upaya harus megusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.43 Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa: Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja bagi pihak pekerja/buruh akan memberi pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab: a. b. c. Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekerja/buruh telah kehilangan mata pencaharian. Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak mengeluarkan biaya. Kehilangan biaya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya sebelum 4 1 mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.44 43 '' Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 195. Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 174. 42 Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya terutama bagi pekerja/buruh, karena dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja maka pekerja/buruh menjadi kehilangan mata pencaharian. Oleh karena itu, untuk membantu dan mengurangi beban pekerja/buruh yang di PHK, maka peraturan perundang-undangan mengharuskan untuk memberikan hak-hak pekerja berupa uang pesangon, uang jasa, dan uang ganti kerugian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut: Tabel 1. Hak-hak pekerja yang di PHK dikaitkan dengan alasan PHK ALASAN PHK DEMI HUKUM Masa kontrak kerja habis Tidak lulus masa percobaan Meninggal dunia PHK OLEH BURUH Mengundurkan diri PESANGON PENGHARGAAN MASA KERJA GANTI RUGI PERUMAHAN, PERAWATAN DAN PENGOBATAN KETERANGA N 2x 1x 1x Pasal 166 1x Alasan mendesak 1x 1x 1x Pensiun 2x 1x 1x PHK OLEH MAJIKAN Kesalahan pekerja/buruh ringan 1x 1x 1x 1x 1x Kesalahan pekerja/buruh berat Perusahaan tutup pailit Force majeur 1x 1x 1x 1x 1x 1x Ada efisiensi 2x 1x 1x Perubahan status, milik, lokasi, buruh menolak Perubahan status, milik, lokasi, pengusaha/majikan menolak Pekerja/buruh sakit berkepanjangan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja 1x 1x 1x 2x 1x 1x 2x 2x 1x Pasal 162 ayat (1) dan (2) Pasal 169 ayat (2) Pasal 167 ayat (2) Pasal 161 ayat (3) Pasal 160 ayat (7) Pasal 165 Pasal 164 ayat (1) Pasal 164 ayat (3) Pasal 163 ayat (1) Pasal 163 ayat (2) Pasal 172 43 2. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyebutkan bahwa ada beberapa jenis pemutusan hubungan kerja, yaitu: 1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha. 2. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja. 3. Pemutusan hubungan kerja putus demi hukum. 4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan.45 Diantara jenis-jenis pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut, akan dibahas lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha. PHK oleh pengusaha merupakan PHK dimana berasal dari kehendak pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh atau karena faktor-faktor lain, seperti pengurangan tenaga kerja, perusahaan tutup, perubahan status perusahaan, dan sebagainya. Berdasarkan ketentuan Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang melakukan pemutusan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan: a. b. c. d. e. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui dua belas bulan secara berturutturut; Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan kepadanya; Pekerja/buruh menikah; Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau 44 menyusui bayinya; 45 Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 198. Sumber: Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45 f. g. h. i. j. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; Pekerja/buruh yang mengadakan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan sebagaimana dimaksud di atas, dianggap batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila pekerja/buruh melakukan kesalahan berat. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: a. b. c. d. e. f. g. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; 46 h. i. j. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. Kesalahan berat tersebut harus didukung dengan bukti sebagaimana dalam Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: 1. Pekerja/buruh tertangkap tangan; 2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Sesuai ketentuan dalam Pasal 170 jo Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK karena kesalahan berat merupakan salah satu jenis PHK yang tidak memerlukan izin dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan dalam hal terjadi PHK tersebut maka pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Lembaga Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial. Pada perkembangan hukum ketenagakerjaan, Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan salah satu pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat secara keseluruhan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUUI/2003 tanggal 28 Oktober 2004, karena dinilai bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1). 47 Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat tanpa melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Akibat dibatalkannya Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, maka terjadi kekosongan hukum, sehingga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE. 1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, yang pada intinya menyatakan bahwa untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu, baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya dan putusannya menyatakan pekerja/buruh tersebut bersalah serta berkekuatan hukum tetap. 3. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Menurut Abdul Khakim dalam bukunya menyatakan bahwa pro sedur pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. Sebelumnya semua pihak, yaitu pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau pekerja/buruh mengadakan perundingan bersama; Jika perundingan berhasil, dibuat persetujuan bersama; Bila tidak berhasil, pengusha mengajukan permohonan penetapan disertai dasar dan alasan-alasannya kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial; Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala 48 kewajiban masing-masing, dimana pekerja/buruh tetap menjalankan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah.46 Untuk penanganan pemutusan hubungan kerja massal yang disebabkan karena keadaan perusahaan seperti rasionalisasi, resesi ekonomi, dan lain-lain sebelumnya harus diupayakan dengan: a. b. c. d. e. Mengurangi shift (kerja giliran), apabila perusahaan menggunakan kerja sistem shift. Membatasai atau menghapus kerja lembur sehingga dapat mengurangi biaya kerja. Bila upaya di atas belum berhasil, maka dapat dilakukan pengurangan jam kerja. Meningkatkan usaha-usaha efisiensi, seperti mempercepat pensiun bagi pekerja/buruh yang kurang produktif. Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergiliran untuk sementara waktu.47 Pemutusan hubungan kerja terpaksa dilakukan, apabia upaya-upaya tersebut di atas tidak berhasil memperbaiki keadaan perusahaan, maka pengusaha terpaksa melakukan PHK dengan cara: a. b. c. d. e. f. Harus diadakan perundingan dan penjelasan tentang keadaan perusahaan secara riil kepada serikat pekerja/serikat buruh. Bersama serikat pekerja/serikat buruh merumuskan jumlah dan kriteria pekerja yang diputus hubungan kerjanya. Merundingkan persyaratan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja secara terbuka dan dilandasi itikad baik. Setelah persyaratan pemutusan hubungan kerja telah disetujui bersama, kemudian dilakukan sosialisasi agar dapat diketahui oleh seluruh pekerja/buruh sebagai dasar diterima tidaknya syarat-syarat tersebut. Bila ada persetujuan dari masing-masing pekerja/buruh, ditetapkan prioritas pelaksanaan pemutusan hubungan kerja secara bertahap. Pada saat penyelesaian pemutusan hubungan kerja dibuat persetujuan bersama, dengan menyebutkan besarnya uang pesangon.48 Abdul Khakim, Op. Cit., hal. 115. Ibid., hal. 116. 48 Ibid., hal. 117. 46 47 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud (di ilmu pengetahuan, dan sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.49 Metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan kegi at an pen el i t i an, agar di perol eh h a si l yang t epat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga dalam melakukan kegiatan penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar. Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran dari suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang telah ada menguji kebenaran yang dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragukan kebenarannya.50 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis . Konsep ini memandang hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang. Selain itu Tim Penyusun&Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 580-581. 50 Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 15. 49 48 konsepsi tersebut melihat hukum dari suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terlepas dari kehidupan masyarakat. 51 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif normatif, yaitu penelitian yang selain menggambarkan keadaan, obyek, atau peristiwa juga keyakinan tertentu akan diambil kesimpulan-kesimpulan dari obyek persoalan yang dikaitkan dengan t eori -t eori hukum dan pra kti k hukum posi ti f yang m enyangkut permasalahannya.52 C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman. D. Sumber Data 1. Data sekunder Data sekunder adalah data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif atau kepustakaan, yaitu data yang diperinci dari bahan-bahan pustaka.53 Data sekunder di bidang hukum (dipandang dari segi keilmuan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi: Ibid., Hal.11. Ibid., hal. 13. 53 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Norm atif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 12. 51 52 49 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri dari: 1) Peraturan Dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 2) Peraturan perundang-undangan, antara lain: a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. c) Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. d) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. e) Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi. b. Bahan hukum sekunder, sumbernya adalah buku literatur hukum, jurnal penelitian hukum, laporan hukum, media cetak, arsip dari Dinas Sosial Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, serta sumber lain yang berkaitan dengan materi penelitian. 50 c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang sifatnya melengkapi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 2. Data Primer Data primer sebagai data pendukung dan apabila data sekunder belum cukup maka diperlukan data primer. Bersumber pada keterangan langsung dari pihak yang terkait dengan obyek penelitian. E. Metode Pengumpulan Data 1. Data Sekunder Diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap buku kepustakaan, peraturan perundang-undangan, arsip Dinas Sosial Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. 2. Data Primer Data yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga untuk melengkapi data sekunder. F. Metode Penyajian Data Data penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa bahan, dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan. 51 G. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan dengan secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtut, dan logis, kemudian ditarik kesimpulan. BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian 1. Data Sekunder 1.1. Gambaran Umum Kabupaten Purbalingga Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah yang terletak di wilayah kerja Badan Koordinasi Lintas Wilayah III Jawa Tengah. Kebupaten Purbalingga terletak pada ketinggian 35 m sampai 1.124 m diatas permukaan laut, yang tepatnya pada posisi 109° 13’ - 109° 35’ Bujur Timur dan 7° 13’ - 7° 29’ Lintang Selatan. Kabupaten Purbalingga secara administrasi memiliki batas-batas sebagai berikut: a. Sebelah utara : Kabupaten Pemalang b. Sebelah timur : Kabupaten Banjarnegara c. Sebelah selatan : Kabupaten Banyumas d. Sebelah barat : Kabupaten Banyumas Luas wilayah Kabupaten Purbalingga adalah 77.764,122 Km2 dan terdiri dari 18 kecamatan, yaitu: a. Kecamatan Kemangkon : 4.513,3 1 ha b. Kecamatan Bukateja : 4.240,18 ha c. Kecamatan Kejobong : 3.998,58 ha d. Kecamatan Pengadegan : 4.173,72 ha 53 e. Kecamatan Kaligondang f. Kecamatan Purbalingga g. Kecamatan Kalimanah : 5.053,45 ha : 1.473,33 ha : 2.25 1,45 ha h. Kecamatan Padamara i. Kecamatan Kutasari j. Kecamatan Bojongsari : 1.726,24 ha : 5.289,7 1 ha k. Kecamatan Mrebet : 2.924,88 ha l. Kecamatan Bobotsari : 4.788,73 ha m. Kecamatan Karangreja : 3.228,22 ha n. Kecamatan Karangjambu o. Kecamatan Karanganyar : 7.888,07 ha : 4.191,34 ha p. Kecamatan Kertanegara q. Kecamatan Karangmoncol r. Kecamatan Rembang : 3.034,84 ha : 3.800,94 ha : 6.027,78 ha Kabupaten Purbalingga : 9.159,36 ha beragam, yaitu dataran mempunyai Topografi wilayah yang rendah dan dataran tinggi atau perbukitan. Dataran rendah terletak di bagian selatan yang meliputi Kecamatan Kalimanah, Kecamatan Padamara, Kecamatan Purbalingga, Kecamatan Kemangkon, Kecamatan Bukateja, Kecamatan Kejobong, Kecamatan Pengadegan, serta sebagian Kecamatan Kutasari dan Kecamatan Mrebet. Jumlah penduduk Kabupaten Purbalingga kurang lebih 860.057 jiwa, terdiri dari 426.754 laki-laki dan 43 3.303 perempuan. Kepadatan penduduk adalah 1.299 Km2, dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan 54 Purbalingga sebesar 3.753 orang per Km2 dan terendah pada Kecamatan Karangjambu dengan jumlah 623 Km2. Penduduk usia 10 tahun ke atas yang termasuk dalam angkatan kerja sebanyak 404.477 dan bukan angkatan kerja sebanyak 278.3 88. Dari jumlah angkatan kerja sebanyak 404.477 tersebut, terdiri dari penduduk yang bekerja sebanyak 389.68 1 orang dan sisanya adalah pengangguran yang terdiri dari 13.371 orang mencari pekerjaan dan 1.425 orang sedang mempersiapkan usaha baru. 1.2. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kantor Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga terus berupaya untuk meningkatkan pelayanan di segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya mengenai tenaga kerja dan transmigrasi. Dinas yang paling berkompeten atas pelaksanaan kegiatan di bidang tenaga kerja dan transmigrasi adalah Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga diatur dalam Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Susunan Organisasi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang terdiri dari: 55 a. Kepala Dinas Kepala Dinas mempunyai tugas pokok di bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi meliputi penanganan sosial, hubungan dan perlindungan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, transmigrasi, perizinan dan pelaksanaan kesekretariatan serta pembinaan UPTD. b. Sekretaris Sekretaris mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan bahan penyusunan program, penyelenggaraan urusan umum dan kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, pengelolaan keuangan, koordinasi penyusunan program dan pelaporan bidang-bidang. Sekretaris terdiri dari: 1. Subbagian Program dan Pelaporan Subbagian Program dan Pelaporan mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan bahan-bahan penyusunan program dan pelaporan yang meliputi penyiapan bahan-bahan penyusunan program kerja, koordinasi, pembinaan/bimbingan, evaluasi dan pelaporan kegiatan. 2. Subbagian Keuangan Subbagian keuangan mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan bahan-bahan penyusunan program kerja dan anggaran, administrasi penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan serta laporan akuntabilitas kinerja. 56 3. Subbagian Umum Subbagian Umum mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan bahan penyusunan program kerja, pelayanan administrasi, ketatalaksanaan, kerumahtanggaan, humas, keprotokolan, kepegawaian, perlengkapan, kearsipan dan inventaris. c. Bidang Sosial Bidang Sosial mempunyai tugas pokok meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan. Bidang Sosial terdiri dari: 1. Seksi Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial Seksi Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial meliputi pembinaan, pengelolaan data dan pengembangan informasi bimbingan dan rehabilitasi sosial, penyuluhan sosial, pendidikan tenaga sosial, pemberdayaan sosial swadaya masyarakat dalam rangka rehabilitasi para penyendang cacat dan pembinaan terhadap organisasi sosial kemasyarakatan serta pemberian perizinan. 2. Seksi Asistensi Sosial Seksi Asistensi Sosial mempunyai tugas pokok meliputi bantuan kesejahteraan anak dan keluarga, korban bencana alam, sumbangan sosial, pembinaan lanjut usia, perlindungan dan bantuan fakir miskin, pembinaan kesejahteraan kepahlawanan/perintis kemerdekaan dan keluarganya serta perizinan. d. Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja 57 Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan. Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja terdiri dari: 1. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja mempunyai tugas pokok meliputi pembinaan dan pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistim informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syarat-syarat kerja dan perizinan. 2. Seksi Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja Seksi Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok meliputi pembinaan dan pengaturan sistim informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, administrasi perlindungan tenaga kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, pengawasan ketenagakerjaan serta perizinan. e. Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tugas pokok meliputi pelatihan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja dan 58 transmigrasi serta perizinan. Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terdiri dari: 1. Seksi Pelatihan Tenaga Kerja Seksi Pelatihan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok meliputi pembinaan dan pengembangan pelatihan tenaga kerja, penyelenggaraan pelatihan dan pemagangan kerja, pelaksanaan uji ketrampilan dan sertifikasi tenaga kerja, rekomendasi izin/pengesahan lembaga latihan swasta dan unit pelayanan pelatihan dan produktivitas perusahaan (UP3). 2. Seksi Penempatan Tenaga Kerja Seksi Penempatan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok meliputi pembinaan, pengawasan penempatan tenaga kerja, perluasan kesempatan kerja, pengaturan sistem informasi tenaga kerja, konsultasi dan pengukuran produktivitas tenaga kerja dan/atau perusahaan serta perizinan. 3. Seksi Transmigrasi Seksi Transmigrasi mempunyai tugas pokok meliputi pembinaan dan pengawasan penempatan transmigrasi, pengerahan, seleksi dan pelatihan calon transmigrasi, fasilitasi dan koordinasi mobilitas transmigrasi, penanganan exsodan, penanganan masyarakat daerah kumuh dan korban kerusuhan sosial/masa serta perizinan. 59 f. UPTD Unit Pelaksanaan Teknis Daerah atau UPTD mempunyai tugas pokok meliputi sebagian tugas Dinas yang diatur dengan Peraturan Bupati. g. Kelompok jabatan fungsional. Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Dinas yang bersifat teknis sesuai dengan keahlian dan kebutuhan. 1.3. Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga diatur dalam Pasal 19 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Dinas dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugastugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan. Dalam Pasal 20 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas 60 Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai fungsi: a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung kelancaran tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinian; b. Penyiapan bahan penyususnan program kerja dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; c. Penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; d. Penyiapan bahan koordinasi dan fasilitas tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; e. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja terdiri dari: 1. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja; 2. Seksi Pengawasan dan Perlindungan Tenaga kerja. Tugas pokok Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja tercantum dalam Pasal 21 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja mempunyai tugas pokok melakukan sebagian tugas Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan 61 pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistim informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syarat-syarat kerja dan perizinan. Pasal 22 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja mempunyai fungsi: a. Penyiapan bahan-bahan penyusunan program kerja dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan pengembangan hubungan industrial. b. Pengumpulan bahan-bahan koordinasi penyusunan program kerja dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistem informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syaratsyarat kerja dan perizinan; c. Pengolahan/analisa bahan-bahan penyusunan evaluasi dan pelaporan guna memberikan saran/masukan pertimbangan kepada pimpinan dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistem informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syaratsyarat kerja dan perizinan; d. Pengurusan dokumen/bahan-bahan koordinasi dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistem informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syarat-syarat kerja dan perizinan; e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. 62 1.4. Data Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga Perselisihan Hubungan Industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama kurun waktu tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, adalah sebagai berikut: Tabel 2. Data Perselisihan Hubungan Industrial Kabupaten Purbalingga Jenis Perselisihan 2009 2010 2011 Perselisihan hak 2 4 3 Perselisihan kepentingan 1 0 0 Perselisihan 6 7 12 0 0 0 pemutusan hubungan kerja (PHK) Perselisihan pekerja/serikat antarserikat buruh dalam satu perusahaan Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berikut adalah data penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diperoleh dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama tiga tahun terakhir dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011. 63 1. Perselisihan hak Tabel 3. Data Penyelesaian Perselisihan Hak Keterangan 2009 2010 2011 Sisa perkara tahun lalu 0 0 0 Perkara masuk 2 4 3 Jumlah perkara ditangani 2 4 3 Selesai ditangani 2 4 3 Perjanjian bersama 2 4 3 Anjuran 0 0 0 Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga 2. Perselisihan kepentingan Tabel 4. Data Penyelesaian Perselisihan Kepentingan Keterangan 2009 2010 2011 Sisa perkara tahun lalu 0 0 0 Perkara masuk 1 0 0 Jumlah perkara ditangani 1 0 0 Selesai ditangani 1 0 0 Perjanjian bersama 1 0 0 Anjuran 0 0 0 Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga 3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) Tabel 5. Data Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Keterangan 2009 2010 2011 Sisa perkara tahun lalu 0 0 0 Perkara masuk 6 7 12 64 Jumlah perkara ditangani 6 7 12 Selesai ditangani 6 7 12 Perjanjian bersama 6 7 12 Anjuran 0 0 0 Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga 4. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan Tabel 6. Data Penyelesaian Perselisihan Antarserikat Pekerja/Serikakat Buruh dalam Suatu Perusahaan Keterangan 2009 2010 2011 Sisa perkara tahun lalu 0 0 0 Perkara masuk 6 7 12 Jumlah perkara ditangani 6 7 12 Selesai ditangani 6 7 12 Perjanjian bersama 6 7 12 Anjuran 0 0 0 Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga 1.5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga Berdasarkan data mengenai jumlah perselisihan hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama tiga tahun terakhir yaitu tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 dari 35 (tiga puluh lima) kasus, dapat diketahui bahwa perselisihan yang paling banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan jumlah sebanyak 25 (dua puluh lima) kasus dan tiap tahunnya selalu meningkat. 65 Salah satu kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga terhadap dua orang pekerjanya karena pekerja tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada pada Peraturan Perusahaan yang telah disepakati dan ketentuan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 1.5.1 Tentang Peristiwanya Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga terjadi pada tahun 2011 terhadap dua orang pekerja atas nama Mei Teguh Nugroho dan Andri Nur P, yang keduanya merupakan pekerja pada bagian operator dispenser. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap saudara Mei Teguh Nugroho terjadi karena melakukan pelanggaran berupa manipulasi absen dan berani kepada pimpinan melanggar peraturan sebagai karyawan operator dispenser di perusahaan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga, sehingga pada tanggal 3 Oktober 2011 pimpinan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga mengeluaran Surat 66 Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja atas nama Mei Teguh Nugroho. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kedua terhadap Saudara Andri Nur P yang terjadi karena melakukan pelanggaran berupa berjudi di area SPBU/tempat kerja, sehingga perusahaan mengeluarkan Surat Peringatan I dan II dan pada akhirnya tanggal 31 Oktober 2011 pimpinan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga mengeluarkan Surat pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja atas nama Andri Nur P. 1.6. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga tidak mencapai kesepakatan dikarenakan dari pihak pekerja merasa keberatan dengan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut, maka tahapan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah sebagai berikut: 1.6.1. Pada tanggal 3 Oktober 2011 pihak perusahaan mengeluarkan Surat Pem ut usan H ubungan K erj a dengan N om or: 01/10/44.533.05/2011 terhadap pekerja atas nama Mei Teguh Nugroho dan pada tanggal 31 Oktober 2011 perusahaan mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja dengan 67 Nomor: 02/10/44.533.05/2011 terhadap pekerja atas nama Andri Nur P. 1.6.2. Dalam hal pemutusan hubungan kerja ini, ternyata pekerja merasa keberatan dengan keputusan dari pihak pengusaha yang mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja tersebut. Pokok masalah dari perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut berkaitan dengan hak-hak pekerja yang belum dibayarkan oleh pengusaha, yaitu pesangon yang belum dibayarkan, uang cuti yang dipotong, dan uang bonus (marjin) yang belum dibayarkan. Prinsip penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah dengan musyawarah untuk mufakat dengan perundingan Bipartit dianatara kedua belah pihak. Oleh karena itu pada tanggal 10 November 2011 diadakan perundingan Bipartit antara pekerja dan pengusaha, namun ternyata perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. 1.6.3. Dalam hal perundingan Bipartit yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, maka pada tanggal 11 November 2011 Mei Teguh Nugroho dan Andri Nur P membuat surat yang ditujukan kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga berupa pencatatan perselisihan hubungan industrial dan untuk membantu menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut. 68 1.6.4. Menindaklanjuti surat dari dua orang pekerja tersebut, maka pada tanggal 12 November 2011 Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga membuat dan mengeluarkan surat panggilan kepada kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja), agar pada tanggal 16 November 2011 hadir untuk melakukan perundingan bersama di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga dengan memerintahkan agar masing-masing pihak (pengusaha dan pekerja) membawa data pendukung yang diperlukan. 1.6.5. Pada tanggal 16 November 2011 dilakukan sidang mediasi dan dalam sidang tersebut setelah mempertimbangkan pendapat dari kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja) maka tercapailah kesepakatan dan kesepakatan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Bersama antara kedua belah pihak. 1.6.6. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial antara pihak ke I (pengusaha) dan pihak ke II (pekerja) telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundingan mediasi sebagai berikut: 1. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri hubungan kerjanya, karena pihak ke II (pekerja) melanggar ketentuan dalam Peraturan Perusahaan. 69 2. Pihak ke I (pengusaha) akan membayarkan hak-hak kepada pihak ke II (pekerja) sesuai dengan ketentuan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar Rp 3.037.050,- (tiga juta tiga puluh tujuh lima puluh rupiah) untuk Mei Teguh Nugroho dan Rp 2.994.550,- (dua juta sembilan ratus sembilan puluh empat lima ratus lima puluh rupiah) untuk Andri Nur P. 3. Dalam permasalahan ini, masing-masing pihak melepaskan haknya dan permasalahan ketenagakerjaan ini dianggap selesai. 1.7. Hak yang Diterima Pekerja karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Kesepakatan yang dicapai dalam sidang mediasi mengenai hak-hak yang diterima pihak ke II (pekerja) dan hak lain yang diberikan dari pihak ke I (pengusaha), adalah sebagai berikut: a. Andri Nur P, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000) = Rp 2.295.000,- Uang Penggantian hak: - Cuti perkawinan 3 hari Rp 30.600 = Rp 91.800.- - Penggantian perumahan dll. 15% x 2.295.000 = Rp 344.250,- - Cuti tahunan 10 hari x Rp 30.600 = Rp 306.000,- Jumlah Total = Rp 3.037.050,- 70 b. Mei Teguh Nugroho, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000) = Rp 2.295.000,- Uang Penggantian hak: - Penggantian perumahan dll. 15%x 2.295.000 = Rp 344.250,- - Cuti tahunan 9 hari x Rp 30.600 = Rp 275.400,- - Uang Margin bulan Sepetember 2011 = Rp 79.900,- Jumlah Total = Rp 2.994.550,- 2. Data Primer 2.1. Jumlah Mediator Hubungan Industrial Mediasi merupakan intervensi terhadap suatu perselisihan oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 26 Mei 2012 dengan salah satu Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Even Kurniawan, S.H., terdapat empat orang mediator yang bertugas pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, yang terdiri dari satu mediator struktural dan tiga mediator fungsional. 71 Mediator struktural adalah mediator yang menjabat dalam struktur organisasi seperti sekretaris, kepala bidang, dan kepala seksi. Mediator struktural dapat menangani sidang mediasi apabila sudah mempunyai legitimasi mediator dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Mediator fungsional adalah mediator yang bertugas hanya sebagai mediator hubungan industrial yang tidak menjabat dalam struktur organisasi. 2.2. Pelanggaran yang Dilakukan Pekerja Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 26 Mei 2012 dengan salah satu Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Even Kurniawan, S.H., bahwa dalam mediasi tercapai kesepakatan di antara para pihak bahwa pihak pekerja telah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan Perusahaan, dimana pelanggaran yang diatur dalam Peraturan Perusahaan tersebut termasuk dalam kategori kesalahan berat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2.3. Hak yang Diterima Pekerja Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 26 Mei 2012 dengan salah satu Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Even Kurniawan, S.H., bahwa dalam menentukan pemberian hak kepada pekerja oleh 72 pihak instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dalam hal ini Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, sudah mengarahkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Namun para pihak dalam kesepakatan berkehendak lain dalam hal pemberian hak kepada pekerja, sehingga dalam pemberian hak kepada pekerja diarahkan kepada kompensasi. Kompensasi ini mengacu pada kesepakatan para pihak. B. Pembahasan Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang, khususnya dalam bidang ketenagakerjaan membawa dampak salah satunya seperti perselisihan hubungan industrial yang semakin kompleks. Oleh karena itu, perlu diselenggarakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan kebudayaan bangsa, sehingga dapat tercipta kondisi kerja yang produktif. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa: Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pengertian hubungan industrial tersebut, dapat diketahui bahwa pihak-pihak dalam hubungan industrial adalah pekerja/buruh, pengusaha, dan 73 pemerintah. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses produksi di perusahaan adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan peran pemerintah dalam hubungan industrial diwujudkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan seperti peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh para pihak, mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga produktivitas perusahaan dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.54 Hubungan industrial merupakan proses terbinanya komunikasi, konsultasi, musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan dan komitmen yang tinggi dari semua elemen dalam perusahaan.55 Hubungan industrial mencakup hal yang dikaitkan dengan interaksi manusia di tempat kerja. Hal terlihat ketika terjadi permasalahan, karena tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja berjalan dengan baik pasti terdapat persamaan dan perbedaan pandangan. Apabila perselisihan terjadi, akan membawa dampak terganggunya suasana kerja yang berakibat pada penurunan kinerja serta produksi. Perbedaan pendapat tersebut apabila berkelanjutan yang mengarah pada pertentangan dapat menimbulkan terjadinya perselisihan hubungan industrial. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan perselisihan hubungan indutrial adalah: 54 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan, Op. Cit., hal. 17. 55 Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 23. 74 Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan pengertian perselisihan hubungan industrial tersebut, dapat diketahui sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terdapat empat jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian data 1.4, dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama tiga tahun terakhir, mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 dari 35 (tiga puluh lima) kasus perselisihan hubungan industrial yang paling banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan jumlah sebanyak 25 (dua puluh lima) kasus dan tiap tahun jumlahnya meningkat, seperti yang terjadi pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga. Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya khususnya bagi pekerja/buruh karena akan memberikan dampak psikologis, ekonomis, dan finansial. Putusnya hubungan kerja merupakan permulaan dari pengakhiran, yaitu pengakhiran mempunyai pekerjaan, 75 pengakhiran membiayai keperluan sehari-hari dirinya dan keluarganya, pengakhiran kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.56 Meskipun dengan segala upaya dari para pihak agar tidak terjadi PHK, namun pada kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa PHK tidak mungkin dapat dicegah seluruhnya. PHK merupakan langkah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja yang disebabkan karena suatu keadaan tertentu. PHK yang terjadi karena berakhirnya waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak menimbulkan permasalahan karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama menyadari saat berakhirnya hubungan kerja tersebut. Berbeda dengan PHK yang terjadi karena adanya perselisihan, yang akan membawa dampak bagi kedua belah pihak, terutama pekerja yang dipandang memiliki kedudukan yang lemah dari sudut ekonomis dibandingkan dengan pengusaha.57 Dalam literatur hukum ketenagakerjaan dikenal adanya empat jenis PHK yang salah satunya adalah PHK yang dilakukan pengusaha apabila pekerja/buruh melakukan kesalahan berat. PHK yang dilakukan oleh pengusaha karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: a. b. c. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; 56 57 Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Op. Cit., hal. 143. Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 174. 76 d. e. f. g. h. i. j. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. Menurut hasil penelitian pada data 1.5.1 kasus PHK yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga terhadap dua orang pekerja atas nama Mei Teguh Nugroho yang melakukan pelanggaran berupa manipulasi absen dan berani kepada pimpinan melanggar peraturan perusahaan sebagai karyawan operator dispenser di perusahaan, serta PHK atas nama Andri Nur P yang dengan sengaja berjudi di area SPBU/tempat kerja, termasuk dalam jenis PHK oleh pengusaha karena pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja tersebut termasuk dalam kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf b dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: 1. Pasal 158 ayat (1) huruf b: Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; 2. Pasal 158 ayat (1) huruf d: Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingungan kerja. 77 Menurut hasil penelitian data 1.5.1 dan 1.6.1, sehubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja tersebut dimana dapat dikategorikan dalam kesalahan berat, maka dengan tegas pihak pengusaha mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan pengaturan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dapat dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Indutrial (litigasi) dan diluar Pengadilan Hubungan Industrial (non-litigasi) yang meliputi penyelesaian secara Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase. Pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu secara kekeluargaan di luar pengadilan hubungan industrial (non-litigasi) melalui perundingan bipartit dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian secara bipartit jauh lebih menguntungkan kedua belah pihak, sebab akan membuahkan hasil yang dapat diterima kedua belah pihak dan menekan biaya serta menghemat waktu. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, secara garis besar menyebutkan pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu secara musyawarah untuk mencapai mufakat melalui perundingan Bipartit. Apabila salah satu menolak untuk berunding atau telah dilakukan tapi tidak mencapai kesepakatan maka perundingan Bipartit dianggap gagal. 78 Menurut hasil penelitian data 1.6.2, diketahui bahwa pekerja merasa keberatan dengan pemutusan hubungan kerja tersebut karena terdapat hak-hak yang belum dibayarkan oleh pengusaha. Maka pihak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga melakukan perundingan Bipartit dengan pihak pekerja guna menyelesaikan perselisihan tersebut, namun tidak mencapai kesepakatan sehingga perundingan Bipartit tersebut dianggap gagal. Hal ini dapat disimpulkan bahwa langkah penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu menempuh upaya bipartit terlebih dahulu meskipun tidak tercapai kesepakatan atau gagal. Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara Bipartit, dan kedua belah pihak tidak bermaksud menyerahkan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase, maka penyelesaiannya dilakukan secara wajib melalui forum mediasi. Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan. Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui mediasi meliputi semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Penyelesaian 79 perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh seorang atau lebih mediator yang netral dan bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Berdasarkan ketentuan yang berlaku umum, penyelesaian perselisihan melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antarpara pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian perselisihan yang terjadi. Oleh karena itu, mediator hanya berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang berselisih, karena sesuai dengan tujuan dari mediasi adalah untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Mediator sebagai pihak yang berada di luar pihak yang berselisih tidak memiliki kewenangan untuk memaksa, mediator hanya berkewajiban untuk bertemu dan mempertemukan para pihak yang berselisih.58 Adapun tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu: 1) Dalam hal perundingan Bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. 2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas. 3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan 80 kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. 4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Berdasarkan ketentuan di atas dikaitkan dengan hasil penelitian data 1.6.3 dapat diketahui bahwa tahapan penyelesaian perselisihan antara pihak pekerja dengan pihak pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, di mana setelah perundingan bipartit yang dilakukan oleh para pihak tidak mencapai kesepakatan atau gagal, maka salah satu pihak dalam hal ini adalah pekerja membuat surat yang ditujukan kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang isinya berupa pencatatan perselisihan dan untuk membantu menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, secara garis besar menyebutkan bahwa dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan maka mediator harus sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Dikaitkan dengan hasil penelitian data 1.6.4, tahapan penyelesaian perselisihan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga sudah sesuai, karena dalam data tersebut dapat diketahui bahwa dalam lima hari yaitu terhitung setelah menerima pelimpahan perselisihan 81 dari para pihak pada tanggal 11 November 2011, mediator segera mengadakan penelitian tentang duduk perkaranya dan memanggil para pihak guna melakukan klarifikasi mengenai perselisihan tersebut dan mengadakan sidang mediasi pada tanggal 16 November 2011. Jadi tindakan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga dalam tahapan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu masih dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. PHK yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga merupakan PHK yang dilakukan oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat yaitu melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf b dan d UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun, berdasarkan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat pengecualian yang secara garis besar menyatakan bahwa PHK karena kesalahan berat tidak memerlukan penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sepanjang kesalahan berat tersebut didukung dengan bukti 82 berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: 1. Pekerja/buruh tertangkap tangan; 2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau 3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Pada perkembangan hukum ketenagakerjaan, Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terdiri dari empat ayat, merupakan salah satu pasal yang secara utuh atau keseluruhannya dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Alasan Mahkamah Konstitusi menganulir Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).59 Akibat dibatalkannya Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE. 1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, yang pada intinya menyatakan bahwa untuk melakukan PHK terhadap Hennigusnia, PHK karena Kesalahan Berat, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. 59 83 pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu, baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya dan putusannya menyatakan pekerja/buruh tersebut bersalah serta berkekuatan hukum tetap.60 Menurut hasil penelitian pada data 1.6.5 dan 1.6.6 dikaitkan dengan tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, diketahui bahwa para pihak memilih menyelesaikan perselisihan PHK tersebut melalui mediasi, karena para pihak tidak menentukan menyelesaikan perselisihan tersebut secara konsiliasi atau arbitrase. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam sidang mediasi tersebut tercapai kesepakatan diantara para pihak (pengusaha dan pekerja) yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang isinya menyatakan bahwa pihak pekerja bersedia untuk di PHK dengan ketentuan bahwa pekerja tersebut telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Hal tersebut sebagaimana didukung dengan data 2.2 yang merupakan hasil wawancara dengan salah satu mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. Oleh karena itu, pihak pengusaha membayar hak-hak yang belum diterima oleh pekerja sesuai dengan ketentuan Pasal 161 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 60 Ibid., 84 Berdasaran hasil penelitian data 1.6.5 dan 1.6.6 yang didukung dengan data 2.2 yang merupakan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa pelaksanaan penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat melalui mediasi tidak diperlukan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa pekerja tersebut bersalah atau melakukan pelanggaran berupa kesalahan berat yang masuk dalam kategori perbuatan pidana. Hal tersebut dikarenakan prinsip penyelesaian perselisihan melalui mediasi didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan para pihak, serta tujuan dari mediasi yaitu untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Jadi dalam penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dalam mediasi, ketentuan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE. 1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005 yang dikeluarkan sebagai akibat dibatalkannya Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUUI/2003 tanggal 28 Oktober 2004, yang menyatakan bahwa terhadap pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu, baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya dan putusannya menyatakan pekerja/buruh tersebut bersalah serta berkekuatan hukum tetap dapat dikesampingkan, selama terjadi kesepakatan diantara para pihak dalam sidang mediasi tersebut. Setelah tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka berdasarkan ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menyatakan bahwa jika 85 dalam penyelesaian melalui mediasi mencapai kesepakatan harus dibuat Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadian Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mengadakan akta bukti pendaftaran. Menurut hasil peneitian terhadap data 1.6.6 penyelesaian perselisihan PHK di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga secara mediasi telah menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama bahwa pekerja telah melanggar ketentuan dalam Peraturan Perusahaan, sehingga pekerja tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berkaitan dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada suatu perusahaan, sesuai dengan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, adalah: 1. Besarnya uang pesangon (Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan): a. b. c. d. e. f. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah; Masa kerja 1 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah; Masa kerja 2 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah; Masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah; Masa kerja 4 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah; Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah; 86 g. Masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah; h. Masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah; i. Masa kerja 8 tahun lebih, 9 bulan upah. 2. Besaranya uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan): a. b. c. d. e. f. g. h. Masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah; Masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah; Masa kerja 9 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah; Masa kerja 12 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah; Masa kerja 15 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah; Masa kerja 18 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah; Masa kerja 21 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah; Masa kerja 24 tahun lebih, 10 bulan upah. 3. Uang penggantian hak (Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan): a. b. c. d. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama. Kewajiban yang harus diberikan oleh pengusaha apabila terjadi PHK yang disebabkan karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), maka pekerja/buruh dapat diputus hubungan kerjanya dengan memperoleh hak sebagaimana dalam ketentuan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu mendapat satu kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (2), Pasal 156 ayat (3), 87 dan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut hasil peneliatian data 1.7 pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya, memperoleh hak sebagai berikut: a. Andri Nur P, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000) = Rp 2.295.000,- Uang Penggantian hak: b. - Cuti perkawinan 3 hari Rp 30.600 = Rp 91.800.- - Penggantian perumahan dll. 15% x 2.295.000 = Rp 344.250,- - Cuti tahunan 10 hari x Rp 30.600 = Rp 306.000,- Jumlah Total = Rp 3.037.050,- Mei Teguh Nugroho, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000) = Rp 2.295.000,- Uang Penggantian hak: - Penggantian perumahan dll. 15%x 2.295.000 = Rp 344.250,- - Cuti tahunan 9 hari x Rp 30.600 = Rp 275.400,- - Uang Margin bulan Sepetember 2011 = Rp 79.900,- Jumlah Total = Rp 2.994.550,- Hak-hak yang diterima oleh pekerja berdasarkan data 1.7 sebagaimana yang didukung dengan data 2.3 yang merupakan hasil wawancara, dapat diketahui belum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa pekerja tidak memperoleh uang penghargaan masa kerja. Jadi pekerja 88 hanya memperoleh uang pesangon dan uang penggantian hak. Meskipun dalam pemberian hak kepada pekerja belum sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi hal tersebut merupakan hasil kesepakatan para pihak dalam sidang mediasi yang telah dituangkan dalam Perjanjian Bersama. BAB V PENUTUP A. Simpulan Pelaksanaan penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga telah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat melalui mediasi tidak diperlukan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bahwa pekerja tersebut bersalah atau melakukan pelanggaran berupa kesalahan berat yang masuk dalam kategori perbuatan pidana. Jadi ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan ketentuan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE. 1 3/MEN/SJHK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, dapat dikesampingkan. Pemberian hak-hak yang diterima pekerja/buruh yang di PHK belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, namun hal tersebut merupakan kesepakatan para pihak dalam sidang mediasi yang telah dituangkan dalam Perjanjian Bersama. B. Saran Pemberian hak kepada pekerja belum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan hal tersebut, meskipun dalam pemberian hak tersebut merupakan kesepakatan dari para pihak yaitu pengusaha dan pekerja, hendaknya pemberian hak pekerja disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 161 ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena kesepakatan seharusnya tidak boeh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. DAFTAR PUS TAKA Buku Literatur Asikin, Zainal, dkk. 1993. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Perburuhan Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Agusmidah. 2010. Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. Djumialdji, F.X. dan Wiwoho Soejono. 1985. Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara. Farianto dan Darmanto Law Firm, 2009. Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Husni, Lalu. 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di Luar Pengadilan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. ____ . 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Khakim, Abdul. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Manulang, Sendjun H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Mulyadi, Lilik dan Agus Subroto. 2011. Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial dalam Teori dan Praktik. Bandung: Alumni. Rusli, Hardijan. 2003. Hukum Ketenagakerjaan 2003. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soepomo, Iman. 1974. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan. . 1987. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. Sumitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika. Wijayanti, Asri. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika. Skripsi Immanuel, Kevin. 2010. Mediasi Penyelesaian Perselisihan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman. Purbo sari, Shinta, 2006. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena Tindakan Indisipliner Pada PT. Indotama Omicron Kahar di Kabupaten Purworejo. Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman. Peraturan Perundang-Undangan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6). Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Kamus Tim Penyusun&Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Internet Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I. 2007. Naskah Akademik Penyelesaian P e r s e l i s i h a n H u b u n g a n I n d u s t r i a l . http://www. litbangdiklatkumdil. net/publikasi-litbang/201-naskah-akademispenyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial. html diakses tanggal 13 April 2012. Data Lain Hennigusnia. PHK karena Kesalahan Berat. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Wawancara dengan Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. SISTEMATIKA SKRIPSI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN PRAKATA ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Kegunaan Penelitian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan a. Pengertian Hukum Ketenagaerjaan b. Sumber-sumber Hukum Ketenagakerjaan c. Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan 2. Hubungan Kerja 3. Perselisihan Hubungan Indutrial a. Pengertian Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial b. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial c. Mediasi Hubungan Industrial 4. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) a. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) b. Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) c. Pro sedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan 2. Spesifikasi Penelitian 3. Lokasi Penelitian 4. Sumber Data 5. Metode Pengumpulan Data 6. Metode Penyajian Data 7. Metode Analisis Data BAB IV HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian B. Pembahasan BAB V PENUTUP A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA