penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (phk)

advertisement
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI
DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
KABUPATEN PURBALINGGA
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
SAWITRI DIAN KUSUMA
E1A008023
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
Lembar Pengesahan Skripsi
PENYELE SAIAN PERSELISIHAN PEMUTU SAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI
DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN
PURBALINGGA
Disusun Oleh :
SAWITRI DIAN KUSUMA
E1A008023
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan
Pada tanggal Juli 2012
Pembimbing I
Pembimbing II
Penguji
Sutikno, S.H.
NIP. 19480704 1980031001
Bambang Heryanto, S.H., M.H.
NIP. 19561009 1987021001
Sunarto, S.H.
NIP. 19491111 1980031001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,SH.,MS
NIP.19520603 198003 2 001
II
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama
: SAWITRI DIAN KUSUMA
NIM
: E1A008023
Judul Skripsi
: PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
K A R EN A K ESA LA H A N B ER A T PA D A
TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
KABUPATEN PURBALINGGA
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya
sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang
lain
Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut
diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto, Juli 2012
Sawitri Dian Kusuma
E1A008023
III
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : PENYELESAIAN
PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) KARENA
KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI DINAS SOSIAL
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN PURBALINGGA.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini.
Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai
pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :
1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Bapak Sutikno, S.H. selaku dosen pembimbing I Skripsi, atas segala
bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan waktu dan kebaikan
yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
3. Bapak Bambang Heryanto, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing II
Skripsi atas segala bantuan, arahan dukungan, masukan, menyediakan
waktu dan kebaikan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
4. Bapak Sunarto, S.H. selaku dosen penguji Skripsi yang telah memberi
saran dan perbaikan pada skripsi penulis.
iv
5.
Bapak Supriyanto, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Administrasi
Negara atas semua bantuannya.
6.
Bapak Djumadi, S.H., S.U. selaku Dosen Pembimbing Akademik atas
kebaikannya kepada penulis selama berproses kuliah di Fakultas Hukum.
7.
Seluruh dosen dan staf akademik di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
8.
Bapak Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang telah
meluangkan waktu untuk membagi ilmunya dalam penelitian penulis di
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
9.
Seluruh staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Purbalingga yang telah meluangkan waktu dan membagi ilmunya dalam
penelitian penulis di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga.
10. Orang tua, kakak dan seluruh keluarga besar yang telah mendukung dan
selalu memberi semangat kepada penulis.
11. Untuk Mpeb, Uke, Kiki, Hardut, Acok, Mas Dito, Aa Endang Temanteman KKN Posdaya 2011 Desa Cibentang Kecamatan Bantarkawung
Kabupaten Brebes yang selalu mendukung saya.
12. Sahabat sekaligus teman seperjuangan selama empat tahun menempuh
studi di Fakultas Hukum Tatha, Cathy, Dian, Shasha, Dini, Lilis, Dita dll.
13. Seluruh rekan-rekan Fakultas Hukum Unsoed Angkatan 2008.
14. Semua pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
V
Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan
dari Allah SWT. Skripsi ini hanya karya manusia biasa yang memiliki banyak
kekurangan oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini
sangat penulis harapkan.
Purwokerto, Juli 2012
Sawitri Dian Kusuma
E1A008023
vi
ABSTRAK
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI
DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN
PURBALINGGA
OLEH
SAWITRI DIAN KUSUMA
E1A008023
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena kesalahan berat tercantum dalam
Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pasal ini merupakan salah satu pasal yang dinyatakan tidak
memiliki kekuatan mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
012/PUU-I/2003. Sejalan dengan putusan tersebut dikeluarkan Surat Edaran
Menakertrans Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005. Surat
Edaran tersebut menerangkan bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK
karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya
Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal
tersebut dapat dijadikan bukti dalam sengketa PHK yang akan diajukan ke
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Sumber data yang
digunakan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan
hukum tersier.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian perselisihan pemutusan
hubungan kerja karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga telah mencapai
kesepakatan bahwa pekerja di-PHK karena melanggar Pasal 161 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tahapan penyelesaian
perselisihan melalui mediasi sudah sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Jadi penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja karena
kesalahan berat tidak diperlukan putusan pengadilan Negeri berkekuatan hukum
tetap. Prinsip penyelesaian perselisihan melalui mediasi didasarkan pada
musyawarah dan kesepakatan para pihak.
Kata Kunci: Perselisihan Hubungan Industrial, PHK karena Kesalahan Berat,
Mediasi
vii
ABSTRACT
Termination of Employment (FLE) because of serious mistakes is decided
based on article 158 paragraph (I) of Law Number 13 year 2003 about
Manpower. This article is one of the article that doesn’t have a whole binding
force based on Constitutional Court’s decision as the verdict Number 012/PUUI/2003. As a line with that decision there is a letter from Manpower and
Transmigration Minister Number SE. 13/MEN/SJ-HK/I/2005 dated January 7th,
2005. This letter explains that Termination of Employment (FLE) for worker or
labor that has a serious mistake is decided by employer after the verdict of
criminal justice. It has a permanent legal force as the legal evidence that will be
submitted to the Institute of Industral Relations Disputes Settlement.
This research method was normative judicial approach with analitique
description as the research’s spesification. The source of this research was
primary law material, secondary law material, and tertiary law material.
This research concluded that the setlement of Termination of
Employment (FLE) because of serious mistake at the mediation level in The Social
Service of Manpower and Transmigration Purbalingga district made an
agreement that the workers are getting Termination of Employment (FLE)
because the workers are against the article 161 of Law Number 13 of 2003 about
manpower. The stage of disputes settlement through mediation has been being
suitable with Law Number 2 0f 2004 about Industrial Relations Disputes
Settlement. So, disputes settlement of Termination of Employment (FLE) because
of serious mistake doesn’t need the verdict of district court. The disputes
settlement’s principle through mediation is based on consultation and agreement
of the parties.
Keyword: Industrial relations disputes, Termination of Employment (FLE)
because of serious mistake, mediation.
VIII
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................... i i i
KATA PENGANTAR............................................................................. i v
ABSTRAK ............................................................................................. v i i
ABSTRACT ............................................................................................ v i i i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... x i i
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................. 1
B.
Perumusan Masalah .......................................... 11
C.
Tujuan Penelitian ............................................. 11
D.
Kegunaan Penelitian ............................................ 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Ketenagakerjaan ..................................................... 13
1.
Pengertian Hukum Ketenagaerjaan .......................... 13
2.
Sumber-sumber Hukum Ketenagakerjaan ................ 15
3.
Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan .......... 20
B. Hubungan Kerja .................................................................. 26
C. Perselisihan Hubungan Indutrial .......................................... 33
x
1.
Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial ............ 33
2.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ........ 36
3.
Mediasi Hubungan Industrial .................................... 38
D. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ...................................... 40
1.
Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ......... 40
2.
Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ......... 42
3.
Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ......... 46
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan .................................................... 47
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................ 48
C. Lokasi Penelitian
48
D. Sumber Data
48
E. Metode Pengumpulan Data .............................................. 50
F. Metode Penyajian Data .................................................... 50
G. Metode Analisis Data ....................................................... 51
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian ................................................................ 52
B. Pembahasan ...................................................................... 72
BAB V PENUTUP
Simpulan ................................................................................... 89
Saran ................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hak-hak Pekerja yang di PHK Dikaitkan dengan Alasan
PHK ............................................................................................ 41
Tabel 2. Data Perselisihan Hubungan Industrial Kabupaten
Purbalingga ................................................................................................... 62
Tabel 3. Data Penyelesaian Perselisihan Hak ................................................... 64
Tabel 4. Data Penyelesaian Perselisihan Kepentingan ..................................... 63
Tabel 5. Data Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) ................................................................................ 63
Tabel 6. Data
Penyelesaian
Perselisihan
Antarserikat
Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan .................................. 64
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur Organisasi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga.
Lampiran 2. Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Lampiran 3. Perjanjian Bersama Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium
(SPBU) 44.53305 Bojongsari Kabupaten Purbalingga.
Lampiran 4. Surat Panggilan Klarifikasi Sidang Mediasi.
Lampiran 5. Surat Permohonan Pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial.
Lampiran 6. Risalah Perundingan Bipartit.
Lampiran 7. Surat Pemutusan Hubungan Kerja Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Premium (SPBU) 44.53305 Bojongsari Kabupaten Purbalingga.
Lampiran 8. Surat Rekomendasi penelitian.
xII
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT MEDIASI DI
DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN
PURBALINGGA
SKRIPSI
Oleh:
SAWITRI DIAN KUSUMA
E1A008023
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang
membawa dampak yang salah satunya yaitu semakin beragamnya kebutuhan
manusia. Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, maka seseorang perlu bekerja baik pekerjaan yang dilakukan sendiri
atau bekerja pada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan
bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut pegawai atau bekerja kepada
orang lain (swasta) yang disebut sebagai pekerja atau buruh.
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
Sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana yang
tercantum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, hal
tersebut menunjukkan bahwa menjadi tugas bersama untuk mengusahakan agar
setiap orang yang mau dan mampu bekerja, mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
yang diinginkannya, dan setiap orang yang bekerja mampu memperoleh
penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi si tenaga kerja sendiri maupun
keluarganya.1
Sendjun H. Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Rineka
Cipta, Jakarta, 1988, hal. 19.
1
2
Kaitannya dengan hukum ketenagakerjaan, maka bukan orang yang bekerja
atas usaha sendiri, tetapi yang bekerja pada orang atau pihak lain. Bekerja pada
orang lain atau pihak lain menurut hukum ketenagakerjaan, maka didasarkan pada
adanya suatu hubungan kerja.
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan
perintah.
Berdasarkan pengertian hubungan kerja tersebut jelaslah bahwa hubungan
kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian
kerja antara pekerja dengan pengusaha.2
Hubungan kerja yang dianut di Indonesia adalah sistem hubungan industrial
yang mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pelaksanaan
pembangunan nasioal karena dapat menciptakan rasa kebersamaan antara
pengusaha dan pekerja.
Tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berjalan
dengan baik. Hal ini dimungkinkan adanya perselisihan, karena manusia sebagai
makhuk sosial dalam berinteraksi sudah pasti terdapat persamaan dan perbedaan
dalam kepentingan maupun pandangan, sehingga selama pelaksanaan hubungan
kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan terjadi
pemutusan hubungan kerja (PHK).
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010,
hal. 63.
2
3
Pemutusan hubungan kerja (PHK) diatur dalam Pasal 150 sampai dengan
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan Pasal 150 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini
meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya khusunya bagi pekerja/buruh, karena pemutusan hubungan kerja itu
akan memberikan dampak psycologis, economis-financiil bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.3
Putusnya hubungan kerja bagi pekerja/buruh merupakan permulaan dari
segala pengakhiran. Pengakhiran dari mempunyai pekerjaan, pengakhiran
membiayai keperluan hidup sehari-hari bagi dirinya dan keluarganya, pengakhiran
kemampuan menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya.4 Oleh karena itu, pihakpihak yang terlibat dalam hubungan industrial seperti pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah mengusahakan dengan segala upaya agar tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja.5
Pemutusan hubungan kerja dapat dihindari dengan terjalinnya hubungan
kerja yang harmonis di antara para pihak dengan adanya kendali atas sikap yang
3
F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan
Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 88.
4
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1974,
hal. 143.
5
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 65.
4
dimiliki oleh masing-masing pihak, baik oleh pengusaha dan pekerja/buruh. Akan
tetapi, pada kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa PHK tidak mungkin dapat
dicegah seluruhnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila PHK tidak dapat
dihindari maka maksud dari PHK tersebut wajib dirundingkan antara pengusaha
dengan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang
bersangkutan jika pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh. Apabila perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan
maka pengusaha hanya dapat melakukan PHK setelah ada penetapan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun dari
pekerja/buruh. Namun, pada kenyataannya lebih sering terjadi pemutusan
hubungan kerja (PHK) atas inisiatif dari pihak pengusaha.
PHK oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh dapat disebabkan berbagai
macam alasan, seperti pengunduran diri, mangkir, perubahan status perusahaan,
perusahaan tutup, perusahaan pailit, pekerja meninggal dunia, pekerja pensiun,
atau karena pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh yang terbukti telah melakukan kesalahan berat maka
pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak tanpa ada penetapan dari
Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selama didukung
5
dengan bukti sebagaimana dalam ketentuan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
1.
Pekerja/buruh tertangkap tangan;
2.
Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3.
Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi.
Jenis kesalahan berat lainnya, selain berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, juga dapat
diatur dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB),
tetapi apabila terjadi PHK karena kesalahan berat dalam Peraturan Perusahaan
(PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tersebut, harus mendapat izin dari
lembaga yang berwenang.6
Kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan
perbuatan pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.7
Selain itu ketentuan Pasal 170 jo Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan dasar bagi perusahaan untuk
melakukan PHK secara sepihak. Hal tersebut dinilai telah melanggar asas praduga
tak besalah (presumption of innocence), oleh karena itu terhadap beberapa
ketentuan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ibid., hal. 72.
Farianto dan Darmanto Law Firm, Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara
PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, PT RajaGrafindo
6
7
6
Persada, Jakarta, 2009, hal. 99.
7
Ketenagakerjaan dilakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dalam Putusan No.012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Atas Hak Uji
Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Terhadap UUD 1945 khusunya Pasal 27 ayat (1), sehingga mengenai Pasal 158,
Pasal 159 dan beberapa anak kalimat yang merujuk pada ketentuan Pasal 158
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.8
Sejalan dengan adanya putusan tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE. 1 3/MEN/SJHK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, bahwa pengusaha yang akan melakukan PHK
karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat dapat dilakukan setelah adanya
Putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagai
bukti hukum yang nantinya dapat dijadikan bukti dalam sengketa PHK yang akan
diajukan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan penyebab yang paling sering
muncul dalam perselisihan hubungan industrial. Perselisihan hubungan industrial
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang tersebut lahir atas perintah
Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, mencabut ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
7
tentang Penyelesaian Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.9
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa:
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam
suatu perusahaan.
Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan, atas dasar pengertian
perselisihan hubungan industrial berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, membagi empat jenis perselisihan hubungan industrial
meliputi:
1. Perselisihan hak (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial);
2. Perselisihan kepentingan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial);
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial);
4. Perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan
(Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ).10
Terjadinya perselisihan hubungan industrial sulit untuk dihindari, karena
dalam melakukan hubungan kerja sering terjadi benturan kepentingan di antara
para pihak dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan karena dapat menyebabkan
lingkungan kerja menjadi tidak kondusif sehingga dapat menghambat
produktivitas kerja.
Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I., 2007, Naskah Akademik Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, http://www.litbangkumdil.net/publikasi-litbang/201 -naskahakademis-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial.html diakses tanggal 13 April 2012.
10
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di
9
Luar Pengadilan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 43.
8
Ibid., hal. 99.
8
Perselisihan hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, selama tiga tahun terakhir mulai
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 terdapat tiga puluh lima kasus
perselisihan hubungan industrial, di antaranya sembilan kasus mengenai
perselisihan hak, satu kasus mengenai perselisihan kepentingan, dan dua puluh
lima kasus mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan data tiga tahun terakhir mengenai perselisihan hubungan
industrial yang dicatat pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga tersebut, dapat diketahui bahwa perselisihan yang paling
banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK). Perselisihan
mengenai PHK paling banyak terjadi, karena tindakan PHK yang dilakukan oleh
salah satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. Salah satu contoh
perselisihan PHK yang terjadi adalah pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Premium (SPBU) 44.533.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga yang telah
melakukan PHK terhadap dua orang pekerjanya karena masing-masing pekerja
telah melakukan kesalahan berupa:
1.
Pekerja dengan sengaja berjudi di area SPBU/tempat bekerja.
2.
Pekerja melakukan manipulasi absen dan berani kepada pimpinan dalam
melanggar peraturan sebagai karyawan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja di Statsiun Pengisian
Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Bojongsari Kabupaten Purbalingga
tersebut masuk dalam kategori kesalahan berat sebagaimana ketentuan yang diatur
9
dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan pengaturan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial terdapat dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian
perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial (litigasi) dan di luar
pengadilan hubungan industrial (non-litigasi) yang meliputi penyelesaian secara
Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase.11
Pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial, termasuk
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) wajib diupayakan penyelesaiannya
terlebih dahulu secara kekeluargaan di luar pengadilan hubungan industrial (nonlitigasi) melalui perundingan bipartit dengan musyawarah untuk mencapai
mufakat. Penyelesaian secara Bipartit jauh lebih menguntungkan kedua belah
pihak, sebab akan membuahkan hasil yang dapat diterima kedua belah pihak dan
menekan biaya serta menghemat waktu.
Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara
Bipartit dan kedua belah pihak tidak bermaksud menyerahkan penyelesaian
perselisihan melaui konsiliasi atau arbitrase, maka penyelesaian perselisihan yang
dilakukan secara wajib adalah melalui forum mediasi dengan jalan salah satu atau
kedua belah pihak yang berselisih dapat memberi tahukan secara lisan atau tertulis
perselisihan tersebut kepada Mediator yang berada di setiap Instansi yang
10
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota yang disertai
dengan bukti atau risalah perundingan Bipartit.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan pengertian mediasi
hubungan industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah:
Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan mealui musyawarah yang ditengahi oleh seorang
atau lebih mediator yang netral.
Mediasi berbeda dengan konsiliasi dan arbitrase karena dalam mediasi,
dapat menyelesaikan semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Mediasi merupakan intervensi terhadap suatu perselisihan oleh pihak ketiga
yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta membantu para pihak yan
berselisih mencapai kesepakatan secara sukarela terhadap permasalahan yang
disengketakan.
Proses penyelesaian perselisihan melalui mediasi ditekankan pada
musyawarah atau kesepakatan para pihak, sehingga tidak terdapat unsur paksaan
antar para pihak dan mediator, para pihak meminta secara sukarela kepada
mediator untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Oleh karena itu,
mediator berkedudukan membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan
11
yang hanya dapat diputuskan oleh para pihak yang berselisih. Mediator hanya
berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat suatu
topik yang menitikberatkan aspek normatif mengenai mediasi sebagai salah satu
alternatif penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan
judul: “PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA (PHK) KARENA KESALAHAN BERAT PADA TINGKAT
MEDIASI DI DINAS SOSIAL TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
KABUPATEN PURBALINGGA”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas dapat ditarik suatu
permasalahan yakni :
Bagaimana pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan
kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian perselisihan
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
12
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a.
Dengan dilakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan
kerja (PHK) karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Kabupaten
Purbalingga.
b.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
kepada dunia pendidikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
guna memberikan penambahan pustaka hukum yang berkaitan dengan
hukum ketenagakerjaan terutama beraitan dengan pelaksanaan
penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja.
2. Kegunaan Praktis
Sebagai bahan kajian, referensi, pedoman, sumber informasi dan sosialisasi
bagi civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
masyarakat, serta pihak-pihak terkait mengenai pelaksanaan penyelesaian
perselisihan pemutusan hubungan kerja pada tingkat mediasi di Kabupaten
Purbalingga.
BAB II
TINJAUAN PUS TAKA
A. Hukum Ketenagakerjaan
1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Istilah hukum ketenagakerjaan dahulu disebut dengan hukum
perburuhan yang merupakan terjemahan dari arbeidsrechts, namun
keduanya memiliki arti yang berbeda dari segi substansi.
Berikut adalah pendapat beberapa ahli hukum mengenai hukum
perburuhan:
1. Menurut Molenaar:
Bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur
hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja
dengan tenaga kerja, dan antara tenaga kerja dengan penguasa.
2. Menurut Mr. M. G. Levenbach:
Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu
dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang
langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
3. Menurut Mr. N. E. H. van Esveld
Hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja, dimana pekerjaan itu
dilakukan dibawah pimpinan, tetapi meliputi pula pekerjaan yang
dilakukan oleh swa-pekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung
jawab dan resiko sendiri.
4. Menurut Prof. Iman Soepomo, S. H.:
Himpunan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang
berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain
dengan menerima upah.12
Berdasarkan pengertian hukum perburuhan yang diberikan oleh para
ahli hukum tersebut, maka hukum perburuhan setidak-tidaknya
mengandung unsur:
12
Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 1.
14
1.
Himpunan peraturan (baik tertulis maupun tidak tertulis).
2.
Berkenaan dengan suatu kejadian/peristiwa.
3.
Seseorang bekerja pada orang lain.
4. Upah.
Perubahan istilah hukum perburuhan menjadi hukum ketenagakerjaan
terdapat perbedaan cakupan. Dari unsur-unsur di atas, diketahui bahwa
hukum perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan
hukum di dalam hubungan kerja, sedangkan cakupan hukum
ketenagakerjaan menjadi lebih luas. Hukum ketenagakerjaan tidak hanya
aspek hukum yang berhubungan dengan hubungan kerja saja, tetapi baik
sebelum, selama, atau sesudah hubungan kerja.13
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga
kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Berdasarkan pengertian Ketenagakerjaan tersebut, menurut Lalu
Husni menyatakan bahwa Hukum Ketenagakerjaan adalah semua
pengaturan hukum yang berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum
bekerja, selama atau dalam hubungan kerja, dan sesudah hubungan kerja.14
Menurut Sendjun H. Manulang dalam bukunya menyatakan bahwa,
tujuan diadakan hukum ketenagakerjaan adalah:
13
14
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 35.
Ibid., hal. 35.
15
1.
2.
Untuk mencapai/melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan;
Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas
dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau menciptakan peraturanperaturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak yang
lemah.15
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja memberikan perluasan pengertian pekerja,
yaitu:
1) Magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima
upah maupun tidak.
2) Mereka yang memborong pekerjaann kecuali yang memborong adalah
perusahaan.
3) Narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.
2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Sumber hukum pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dapat
menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
memaksa, yaitu aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan sanksi yang
tegas dan nyata.16
Sumber hukum ketenagakerjaan adalah tempat ditemukannya aturanaturan mengenai masalah ketenagakerjaan yang mendasarkan pada sumber
hukum Indonesia di bidang Ketenagakerjaan. Sumber hukum
ketenagakerjan berfungsi sebagai jaminan kepastian dan keadilan bagi para
Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 2.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 1999, hal. 76.
15
16
16
pihak yang terlibat dalam hukum ketenagakerjaan, yang diterapkan dalam
bentuk peraturan-peraturan.
Sumber hukum ada dua macam, yaitu sumber hukum dalam arti
materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Dalam hukum
ketenagakerjaan, maka yang dimaksud adalah sumber hukum
ketenagakerjaan dalam arti formil, sebab sumber hukum dalam arti materiil
adalah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Sumber hukum
ketenagakerjaan tersebut adalah:
a. Undang-Undang
Perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan mengalami
banyak perubahan yaitu ditandai dengan munculnya undang-undang
baru yang lebih dinamis dan tentunya banyak membawa kepentingan
bagi pekerja/buruh maupun pengusaha itu sendiri. Undang-undang
tersebut antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3889).
2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4279).
3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Undang-undang ini mencabut:
a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara
Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2686);
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
17
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.17
b. Peraturan lain
Menurut Zainal Asikin dalam bukunya menyatakan bahwa,
peraturan lain yang dimaksud adalah peraturan yang lebih rendah
kedudukannya dengan undang-undang, peraturan tersebut antara lain:
1) Peraturan Pemerintah, peraturan ini ditetapkan oleh Presiden untuk
melaksanakan lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang. Hal
ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945, yang menyatakan bahwa Presiden menetapkan
Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya.
2) Keputusan presiden, merupakan keputusan yang ditetapkan oleh
Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus atau mengatur
hal tertentu saja.
3) Peraturan atau keputusan instansi lain, di mana dalam bidang
ketenagakerjaan suatu instansi atau pejabat tertentu diberi
kekuasaan membuat peraturan atau keputusan tertentu yang berlaku
bagi umum.18
c. Kebiasaan
Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilaksanakan
berulang-ulang kali dalam hal yang sama, diterima oleh masyarakat
dengan baik, sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan
kebiasaan itu dirasakan sebagai hukum. Hukum kebiasaan seringkali
bersumber dari norma atau kaidah sosial. Kaidah sosial dalam
masyarakat dibedakan menjadi norma agama, norma kesusilaan, dan
norma kesopanan.
Zaeni Asyhadie, Hukum Perburuhan Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3.
18
Zainal Asikin,dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1993, hal. 34.
17
18
Menurut Iman Soepomo dalam bukunya menyebutkan bahwa,
kebiasaan atau hukum tidak tertulis berkembang dengan baik karena
dua faktor:
1) Pembentuk
undang-undang
atau
peraturan
perburuhan/ketenagakerjaan tidak dapat dilakukan secepat
perkembangan soal-soal perburuhan/ketenagakerjaan yang harus
diatur. Kemajuan dan perubahan tidak dapat diikuti dengan
saksama oleh perundang-undangan. Keadaan yang demikian
terdapat di mana-mana terutama di Indonesia dimana
perkembangan mengenai perburuhan/ketenagakerjaan berjalan
sangat cepat.
2) Peraturan-peraturan dari zaman Hindia Belanda dahulu sudah tidak
lagi dirasakan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan aliranaliran yang tumbuh di seluruh dunia.19
d. Putusan
Apabila aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat dirasa
masih kurang lengkap, maka putusan pengadilan tidak hanya memberi
bentuk hukum pada kebiasaan, tetapi juga dapat dikatakan menentukan
dan menetapkan sebagian besar hukum itu sendiri.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) baik
tingkat pusat ataupun daerah, putusan ini dapat dijadikan pedoman
dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan khususnya Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang bersifat mengikat
oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
para pihak agar putusan tersebut dapat dijalankan (Undang-Undang
Nomor 2 Tahaun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial).
19
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1987,
19
hal.23.
20
e.
Perjanjian
Perjanjian merupakan peristiwa dimana pihak yang satu berjanji
kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, sehingga
pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka
adakan, oleh karena itu aturan dalam perjanjian mempunyai kekuatan
hukum sebagai undang-undang.
Perjanjian kerja pada umumnya hanya berlaku antara
pekerja/buruh dengan pengusaha yang menyelenggarakannya dan orang
lain atau pihak lain tidak terikat.20 Pekerja/buruh menyatakan
kesanggupannya untuk bekeja pada pengusaha dengan menerima upah
dan pengusaha menyatakan kesanggupan untuk mempekerjakan
pekerja/buruh dengan membayar upah.
f.
Traktat
Traktat merupakan perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau
lebih yang dikenal dengan perjanjian antarnegara atau perjanjian
internasional.
Traktat di bidang ketenagakerjaan banyak dijumpai dalam
ketentuan internasional dari hasil konferensi ILO (International Labour
Organization) yang dikenal dengan istilah convention, seperti
Convention Nomor 19 tentang perlakuan yang sama bagi buruh warga
negara dan asing dalam hal pemberian ganti rugi kecelakaan, dan
21
Convention Nomor 100 tentang pengupahan yang sama antara buruh
pria dan wanita mengenai jenis pekerjaan yang sama.21
g. Doktrin/Pendapat Ahli
Doktrin atau pendapat pakar ilmu hukum dapat digunakan sebagai
landasan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan langsung
atau tidak langsung dengan perburuhan/ketenagakerjaan.22
3. Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan
Pihak-pihak yang terkait dalam hukum ketenagakerjaan tidak hanya
pekerja/buruh dan pengusaha/majikan saja. Melainkan juga badan-badan
lain seperti organisasi pekerja/buruh, organisasi pengusaha/majikan, dan
badan-badan pemerintah.
a. Pekerja/buruh
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh sangat dikenal dalam hukum
perburuhan/ketenagakerjaan karena sering digunakan sejak zaman
penjajahan Belanda. Dahulu yang dimaksud dengan buruh adalah
orang-orang pekerja kasar seperti kuli, mandor, tukang, dan lain-lain
yang melakukan pekerjaan kasar sejenisnya dan disebut dengan Blue
Collar, sedangkan orang-orang yang melakukan pekerjaan halus oleh
Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan istilah “karyawan/pegawai”
dan disebut dengan White Collar.
22
21
22
Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 37.
Ibid., hal. 37.
20
Ibid., hal. 23.
23
Dalam perkembangan perundang-undangan perburuhan sekarang
tidak dibedakan antara buruh halus dan buruh kasar yang mempunyai
hak dan kewajiban yang sama tidak mempunyai perbedaan apapun.
Bahkan istilah buruh diupayakan diganti dengan istilah pekerja,
sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah (Depnaker) pada waktu
Kongres FBSI II tahun 1985, karena istilah buruh kurang sesuai dengan
kepribadian bangsa, buruh lebih menunjuk pada golongan yang selalu
ditekan dan berada di bawah pihak lain yakni majikan.23
Namun karena pada masa orde baru istilah pekerja khusunya
istilah serikat pekerja banyak diintervensi oleh kepentingan pemerintah,
maka kalangan buruh trauma dengan penggunaan istilah tersebut
sehingga untuk mengakomodir kepentingan buruh dan pemerintah,
istilah tersebut disandingkan.24
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pengertian pekerja/buruh tersebut memiliki makna yang lebih
luas, karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja
baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun.
23
24
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 44.
Ibid., hal. 44.
24
b. Pengusaha
Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga sangat
dikenal sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, istilah majikan sekarang sudah
tidak dipergunakan lagi dan diganti dengan pengusaha karena istilah
majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada di atas sebagai
lawan atau kelompok penekan buruh, padahal secara yuridis antara
buruh dan majikan mempunyai kedudukan yang sama.
Pengusaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang- Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
1) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara
berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3) Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Pengertian pengusaha sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengurus perusahaan (orang yang
menjalankan perusahaan bukan miliknya) termasuk dalam pengertian
pengusaha, artinya pengurus perusahaan disamakan dengan pengusaha
(orang/pemilik perusahaan).25
25
Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 30.
25
c. Organisasi Pekerja/Buruh
Pekerja/buruh sifatnya lemah baik dipandang dari segi ekonomi
m aupun dari segi kedudukan dan pengaruhnya t erhadap
pengusaha/majikan. Pekerja/buruh merupakan warga negara
mempunyai persamaan dan kedudukan dalam hukum, memiliki hak
untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta
mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Hak
pekerja/buruh tersebut telah dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945.
Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk
dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta
melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Berdasarkan pengertian serikat pekerja/serikat buruh tersebut,
dapat diketahui bahwa tujuan dari serikat pekerja/serikat buruh adalah
memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta
meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan
keluarganya.
Menurut RG. Kartasapoetra dalam bukunya Zainal Asikin yang
berjudul Dasar-Dasar Hukum Perburuhan menyatakan bahwa, yang
dimaksud dengan organisasi buruh/pekerja di tanah air kita adalah
24
organisasi yang didirikan oleh dan untuk kaum buruh/pekerja secara
sukarela yang berbentuk:
1) Serikat Buruh, adalah organisasi yang didirikan oleh dan untuk
buruh secara sukarela, berbentuk kesatuan dan mencakup lapangan
pekerjaan, serta disusun secara vertikal dari pusat sampai unit-unit
kerja (basis).
2) Gabungan Serikat Buruh, adalah suatu organisasi buruh yang
anggota-anggotanya terdiri dari Serikat Buruh seperti di atas.26
d. Organisasi Pengusaha
Organisasi pengusaha mempunyai peran yang penting dalam
menyelenggarakan pembangunan nasional, khususnya dalam bidang
ketenagakerjaan karena pengusaha ikut bertanggung jawab atas
terwujudnya tujuan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial,
spiritual, dan material. 27 Oleh karena itu, sebaiknya perhatian
pengusaha tidak hanya memperjuangkan kepentingan sendiri tetapi juga
kepentingan pekerja/buruh sebagai salah satu komponen produksi yang
perlu mendapat perlindungan hukum.
Pasal 105 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa mengenai organisasi pengusaha
menentukan sebagai berikut:
1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota
organisasi pengusaha.
2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 50.
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal
137.
26
27
25
Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, terdapat dua
macam organisasi pengusaha di Indonesia, yaitu:
1) KADIN
Kamar Dagang Industri (KADIN) adalah wadah bagi pengusaha
Indonesia dan bergerak dalam bidang ketenagakerjaan. Untuk
meningkatkan peran serta pengusaha nasional dalam kegiatan
pembangunan maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor
49 Tahun 1973 membentuk KADIN.
2) APINDO
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) merupakan organisasi
pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan
ketenagakerjaan. APINDO adalah suatu wadah kesatuan para
pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial
dalam dunia usaha melalui kerjasama yang terpadu dan serasi
antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja, serta lahir atas dasar
peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.28
e. Pemerintah
Campur tangan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan
mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk
menciptakan hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena jika antara
pekerja dan pengusaha yang memiliki perbedaan secara sosial ekonomi
diserahan sepenuhnya kepada para pihak maka tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit
tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang
lemah. Atas dasar itu, pemerintah turut campur tangan melalui
peraturan perundang-undangan untuk memberikan jaminan kepastian
hak dan kewajiban kepada para pihak .
28
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 54.
27
Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum di bidang
ketenagakerjaan akan menjamin pelaksanaan hak-hak normatif pekerja
yang pada gilirannya mempunyai dampak terhadap stabilitas usaha.
Selain itu pengawasan ketenagakerjaan juga akan dapat membidik
pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku sehingga akan tercipta suasana kerja
yang harmonis.29
B. Hubungan Kerja
Hubungan kerja merupakan suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh
minimal dua subjek hukum yaitu pengusaha dan pekerja/buruh mengenai suatu
pekerjaan. Hal tersebut menunjukkan kedudukan dari para pihak yaitu pengusaha
dan pekerja/buruh yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban dari masingmasing pihak.
Pengertian Hubungan Kerja berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.
Menurut Iman Soepomo dalam bukunya Sendjun H. Manulang
menyebutkan bahwa, pengertian hubungan kerja adalah hubungan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, yang terjadi setelah diadakan perjanjian kerja
oleh pekerja/buruh dengan pengusaha, dimana pekerja/buruh menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada pengusaha dengan menerima upah dan
29
pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan
membayar upah.30
Dalam pengertian hubungan kerja tersebut, terkandung arti bahwa pihak
pekerja/buruh dalam melakukan pekerjaan berada di bawah pimpinan pihak lain
yang disebut pengusaha. Hubungan kerja pada dasarnya meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan perjanjian kerja sebagai dasar hubungan kerja, hak dan
kewajban para pihak, berakhirnya hubungan kerja, dan penyelesaian perselisihan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.31
Jadi, dapat diketahui bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hukum yang
lahir atau ada setelah adanya perjanjian kerja yang dilakukan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha. Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dengan
pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama yang
dibuat oleh pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh yang ada pada
perusahaan. Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perusahaan yang dibuat oleh pengusaha.32
1. Perjanjian Kerja
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak.
30
31
Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 63.
Agusmidah, Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Ghalia
30
Indonesia, Bogor, 2010, hal. 43.
32 Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 44.
31
Menurut Iman Soepomo menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja/buruh) mengikatkan diri untuk
bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.33
Pengertian perjanjian kerja berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, sifatnya
lebih umum karena pengertian tersebut menunjuk pada hubungan antara
pekerja/buruh dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan
kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap
serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah
upah disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara
tersendiri.34
Berdasarkan pengertian perjanjian kerja, dapat ditarik beberapa unsur
perjanjian kerja, yakni:
a.
Ada pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjiakn
(objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh
pekerja/buruh. Secara umum, pekerjaan adalah segala perbuatan yang
harus dilakukan oleh pekerja/buruh untuk kepentingan pengusaha sesuai
isi perjanjian kerja.
b. Ada upah
Upah harus ada dalam setiap hubungan kerja, karena upah memegang
peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat
dikatakan tujuan utama orang bekerja adalah untuk mendapatkan upah.
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan bentuk
uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
32
33
34
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 64.
Ibid., hal. 65.
172.
33
bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah dilakukan.
c. Ada perintah
Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja,
maksudnya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh berada di
bawah perintah pengusaha.35
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dibuat dalam
bentuk lisan maupun tertulis. Namun, secara normatif perjanjian kerja dalam
bentuk tertulis menjamin hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
perselisihan akan membantu dalam proses pembuktian.
2. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
Perjanjian kerja bersama merupakan pengganti istilah Kesepakatan
Kerja Bersama (KKB), yang istilah awalnya adalah perjanjian perburuhan.36
Perjanjian kerja bersama dapat menyeimbangkan keberadan dan kedudukan
antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha
atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan
kewajiban kedua belah pihak.
Berdasarkan pada pengertian perjanjian kerja tersebut, dapat diketahui
bahwa pihak-pihak dalam perjanjian kerja bersama adalah serikat
35
Adrian sutedi, Op. Cit., hal. 47.
36
Hardijan Rusli, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal.
172.
30
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan
pengusaha atau beberapa/perkumpulan pengusaha.
Dalam penyusunannya perjanjian kerja bersama dilakukan secara
musyawarah atau perundingan dan dibuat secara tertulis dengan huruf latin
dan bahsa Indonesia.37 Perjanjian kerja bersama cukup didaftarkan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan karena perjanjian
kerja bersama yang dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha
dianggap sudah dapat mewakili kepentingan pekerja/buruh sebagai pihak
yang lemah.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan
perjanjian kerja bersama, antara lain sebagai berikut:
a.
b.
c.
Dalam satu perusahaan hanya dapat dibuat satu perjanjian kerja bersama
yang berlaku bagi semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
Serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja/buruh dalam
melakukan perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan
pengusaha adalah yang memiliki anggota lebih dari 50% dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Perjanjian kerja bersama tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan apabila isi perjanjian kerja
berasama tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi
hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundangundangan.38
Masa berlaku perjanjian kerja bersama hanya dapat dibuat untuk paling
lama dua tahun, untuk selanjutnya dapat diperpanjang untuk paling lama satu
tahun. Jika tidak terdapat ketentuan lain, maka perjanjian kerja bersama yang
36
Ibid., hal 172.
38
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 53.
37
172.
telah dibuat berlaku terus-menerus untuk waktu yang sama, tetapi tidak
melebihi waktu satu tahun kecuali ada pernyataan untuk mengakhiri yang
dapat dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum waktu perjanjian
kerja bersama berakhir.39
Pasal 124 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja bersama paling sedikit
memuat:
a.
Hak dan kewajiban pengusaha;
b.
Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c.
Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
d.
Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
3. Peraturan Perusahaan
Peraturan perusahaan merupakan salah satu hal yang dapat menguatkan
kedudukan dan keberadaan pengusaha sebagai pemilik perusahaan atas
pekerja/buruh yang secara ekonomis memiliki kedudukan yang lebih rendah,
karena pengusaha dapat memasukkan berbagai hal yang dikehendaki.
Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:
Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
Nomor 02/MEN/1976 menyebutkan bahwa:
39
Sendjun H. Manulang, Op. Cit., hal. 79.
32
32
Peraturan perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat oleh pimpinan
perusahaan yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja
yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan dan memuat tata tertib
perusahaan.
Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa peraturan perusahaan dibuat
secara sepihak oleh pengusaha yang berisikan tentang syarat kerja, hak dan
kewajiban pekerja dan pengusaha dan tata tertib perusahaan. Dengan kata lain
peraturan perusahaan merupakan petunjuk teknis dari PKB maupun
perjanjian kerja yang dibuat oleh pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.40
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya
sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan sesuai
dengan dengan ketentuan Pasal 108 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kewajiban membuat peraturan
perusahaan tidak berlaku bagi perusahaan yang telah memiliki perjanjian
kerja bersama.
Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa peraturan perusahaan sekurangkurangnya memuat:
a.
Hak dan kewajiban pengusaha;
b.
Hak dan kewajiban pekerja/buruh;
40
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 89.
c.
Syarat kerja;
d. Tata tertib perusahaan; dan
e.
Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama dua tahun dan wajib
diperbaharui setelah habis masa berlakunya, dan ketentuan dalam peraturan
perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
C. Perselisihan Hubungan Industrial
1. Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial
Sebelum membahas mengenai perselisihan hubungan industrial, maka
harus diketahui pengertian hubungan industrial. Berdasarkan Pasal 1 angka
16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
menyebutkan bahwa:
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dahulu istilah yang digunakan adalah Hubungan Industrial Pancasila, di
mana prinsip Hubungan Industrial Pancasila bahwa setiap keluh kesah yang
terjadi dalam perusahaan dan masalah-masalah ketenagakerjaan lain yang
34
timbul harus diselesaikan secara kekeluargaan atau musyawarah untuk
mufakat.
Hubungan industrial mencakup hal yang dikaitkan dengan interaksi
manusia di tempat kerja. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial
dalam berinteraksi selalu terdapat persamaan dan perbedaan dalam
pandangan yang dapat menimbulkan perselisihan, yang dikenal dengan
perselisihan hubungan industrial. Hal ini dapat berdampak terganggunya
suasana kerja dan berakibat pada penurunan kinerja serta produksi di tempat
kerja.
Dahulu istilah perselisihan hubungan industrial disebut dengan
perselisihan perburuhan, tetapi seiring dengan perkembangan di bidang
ketenagakerjaan istilah buruh sudah tidak sesuai maka sejak diberlakukan
Kepmenaker Nomor: KEP. 15/MEN/1994 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja di Tingkat Perusahaan
dan Pemerataraan, istilah perselisihan perburuhan diganti dengan istilah
perselisihan hubungan industrial.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan perselisihan
hubungan indutrial adalah:
Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak,
35
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Berdasarkan pengertian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut,
maka dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi jenis perselisihan
hubungan industrial menjadi:
a.
Perselisihan Hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial);
b. Perselisihan Kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial);
c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, yaitu perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
pemutusan hubungan kerja oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial);
d. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan,
yaitu perselihan antarserikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya kesesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).
2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian perselisihan
hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-
36
Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan swasta.
Penyelesaian berdasarkan kedua undang-undang tersebut ternyata
dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, karena tidak
dapat lagi mengakomodasi perkembangan yang terjadi terutama mengenai
hak-hak pekerja/buruh. 4 1 Tidak hanya itu, proses penyelesaian
perselisihannya juga berbelit dan memakan waktu cukup lama sehingga
dirasa kurang efektif.
Perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dapat diselesaikan melalui dua jalur, yaitu penyelesaian di luar
Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) dan penyelesaian melalui
Pengadilan Hubungan Industrial (litigasi). Penyelesaian perselisihan di luar
Pengadilan Hubungan Industrial (non litigasi) meliputi empat cara:
a.
Penyelesaian melalui Bipartit.
b. Penyelesaian melalui Mediasi.
c.
Penyelesaian melalui Konsiliasi.
d. Penyelesaian melalui Arbitrase.
Pada prinsipnya penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dilakukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat dan berunding
bersama antara pekerja/buruh dan pengusaha yang terlibat, baik secara
bipartit maupun diperantarai oleh pihak ketiga yang bersifat netral maupun
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan
Industrial Dalam Teori Dan Praktik, PT. Alumni, Bandung, 2011, hal. 61.
41
37
tidak (non litigasi). Hal ini dikarenakan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di luar Pengadilan Hubungan Industrial jauh lebih menguntungkan
kedua belah pihak dan menekan biaya serta menghemat waktu.
Apabila penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan
di luar Pengadilan Hubungan Industrial tidak mencapai kesepakatan, maka
penyelesaian perselisihan dapat dilanjutkan untuk diselesaikan di Pengadilan
Hubungan Industrial (litigasi).
Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan umum, mempunyai kewenangan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara perselisihan hubungan
industrial yang diajukan kepadanya.42
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu Pengadilan
Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a.
Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b.
Di tingat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c.
Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d.
Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
3. Mediasi Hubungan Industrial
Apabila ternyata penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak
dapat diselesaikan atau tidak tercapai kesepakatan melalui perundingan
42
Ibid., hal. 86.
38
bipartit, maka tahap berikutnya adalah penyelesaian secara mediasi. Upaya
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi bersifat wajib,
apabila penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase tidak disepakati oleh
para pihak.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa Mediasi
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah:
Penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral.
Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator
berdasarkan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah:
Pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang
ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan
mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam suatu perusahaan.
Mediasi berbeda dengan konsiliasi dan arbitrase karena dalam mediasi,
dapat menyelesaikan semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
39
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 2 tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dalam waktu
selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan, mediator harus mengadakan penelitian tentang
duduk perkara dan segera mengadakan sidang mediasi. Mediator juga dapat
memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna
diminta dan didengan keterangannya.
Apabia tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka mediator
membantu membuatkan Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak
dan kemudian di daftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri setempat. Namun, dalam hal tidak tercapai kesepakatan
melalui mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2
tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, maka:
a.
b.
c.
d.
e.
Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu
selambat-lambatnya sepuluh hari kerja sejak sidang mediasi pertama
harus sudah disampaikan kepada para pihak;
Para pihak harus sudah memberikan jawaban secara tertulis kepada
mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam
waktu selambat-lambatnya sepuluh hari kerja setelah menerima anjuran
tertulis;
Pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana yang dimasud
dalam huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
Dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud
pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak
anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para
pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat di
wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mendapatkan akta bukti pendaftaran.
4
0
D. Pemutusan Hubungan Industrial (PHK)
1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat terjadi karena berbagai hal,
seperti telah berakhirnya waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan
sebelumnya dapat pula karena adanya perselisihan antara pekerja/buruh dan
pengusaha, meninggalnya pekerja/buruh, atau karena sebab lain.
Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyatakan bahwa, PHK
merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, terutama dari
kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang
bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi diri
dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan
industrial baik pengusaha, pekerja/buruh, atau pemerintah, dengan segala
upaya harus megusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan
kerja.43
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa:
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan hubungan kerja bagi pihak pekerja/buruh akan memberi
pengaruh psikologis, ekonomis, finansial, sebab:
a.
b.
c.
Dengan adanya pemutusan hubungan kerja, bagi pekerja/buruh telah
kehilangan mata pencaharian.
Untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai penggantinya, harus banyak
mengeluarkan biaya.
Kehilangan biaya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya sebelum
4
1
mendapat pekerjaan yang baru sebagai penggantinya.44
43
''
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 195.
Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 174.
42
Pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya terutama bagi pekerja/buruh, karena dengan terjadinya pemutusan
hubungan kerja maka pekerja/buruh menjadi kehilangan mata pencaharian.
Oleh karena itu, untuk membantu dan mengurangi beban pekerja/buruh yang
di PHK, maka peraturan perundang-undangan mengharuskan untuk
memberikan hak-hak pekerja berupa uang pesangon, uang jasa, dan uang
ganti kerugian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
Tabel 1. Hak-hak pekerja yang di PHK dikaitkan dengan alasan PHK
ALASAN
PHK DEMI HUKUM
Masa kontrak kerja habis
Tidak lulus masa percobaan
Meninggal dunia
PHK OLEH BURUH
Mengundurkan diri
PESANGON
PENGHARGAAN
MASA
KERJA
GANTI RUGI
PERUMAHAN,
PERAWATAN
DAN
PENGOBATAN
KETERANGA
N
2x
1x
1x
Pasal 166
1x
Alasan mendesak
1x
1x
1x
Pensiun
2x
1x
1x
PHK OLEH MAJIKAN
Kesalahan pekerja/buruh ringan
1x
1x
1x
1x
1x
Kesalahan pekerja/buruh berat
Perusahaan tutup pailit
Force majeur
1x
1x
1x
1x
1x
1x
Ada efisiensi
2x
1x
1x
Perubahan status, milik, lokasi,
buruh menolak
Perubahan status, milik, lokasi,
pengusaha/majikan menolak
Pekerja/buruh sakit berkepanjangan
mengalami cacat akibat kecelakaan
kerja
1x
1x
1x
2x
1x
1x
2x
2x
1x
Pasal 162 ayat
(1) dan (2)
Pasal 169 ayat
(2)
Pasal 167 ayat
(2)
Pasal 161 ayat
(3)
Pasal 160 ayat
(7)
Pasal 165
Pasal 164 ayat
(1)
Pasal 164 ayat
(3)
Pasal 163 ayat
(1)
Pasal 163 ayat
(2)
Pasal 172
43
2. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Menurut Lalu Husni dalam bukunya menyebutkan bahwa ada beberapa
jenis pemutusan hubungan kerja, yaitu:
1.
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha.
2.
Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja.
3.
Pemutusan hubungan kerja putus demi hukum.
4.
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan.45
Diantara jenis-jenis pemutusan hubungan kerja (PHK) tersebut, akan
dibahas lebih lanjut mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh
pengusaha.
PHK oleh pengusaha merupakan PHK dimana berasal dari kehendak
pengusaha, karena adanya pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh
pekerja/buruh atau karena faktor-faktor lain, seperti pengurangan tenaga
kerja, perusahaan tutup, perubahan status perusahaan, dan sebagainya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengusaha dilarang melakukan
pemutusan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan:
a.
b.
c.
d.
e.
Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan
dokter selama waktu tidak melampaui dua belas bulan secara berturutturut;
Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan kepadanya;
Pekerja/buruh menikah;
Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
44
menyusui bayinya;
45
Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Op. Cit., hal. 198.
Sumber: Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
45
f.
g.
h.
i.
j.
Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan
dengan pekerja/buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
Pekerja/buruh yang mengadakan pengusaha kepada yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja,
atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter
yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan sebagaimana dimaksud di
atas, dianggap batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan
kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila
pekerja/buruh melakukan kesalahan berat. Hal ini diatur dalam ketentuan
Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja;
Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
46
h.
i.
j.
Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara lima tahun atau lebih.
Kesalahan berat tersebut harus didukung dengan bukti sebagaimana
dalam Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yaitu:
1.
Pekerja/buruh tertangkap tangan;
2.
Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3.
Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang
berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 170 jo Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PHK karena kesalahan berat
merupakan salah satu jenis PHK yang tidak memerlukan izin dari Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan dalam hal terjadi PHK
tersebut maka pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan
ke Lembaga Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pada perkembangan hukum ketenagakerjaan, Pasal 158 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan
salah satu pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat secara
keseluruhan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUUI/2003 tanggal 28 Oktober 2004, karena dinilai bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1).
47
Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk
melakukan PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat tanpa
melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga
bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Akibat dibatalkannya Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut, maka terjadi kekosongan hukum,
sehingga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran
Nomor: SE. 1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, yang pada intinya
menyatakan bahwa untuk melakukan PHK terhadap pekerja/buruh yang
diduga melakukan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih
dahulu, baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya dan putusannya
menyatakan pekerja/buruh tersebut bersalah serta berkekuatan hukum tetap.
3. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Menurut Abdul Khakim dalam bukunya menyatakan bahwa pro sedur
pemutusan hubungan kerja adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
Sebelumnya semua pihak, yaitu pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh harus melakukan upaya untuk menghindari
terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);
Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
atau pekerja/buruh mengadakan perundingan bersama;
Jika perundingan berhasil, dibuat persetujuan bersama;
Bila tidak berhasil, pengusha mengajukan permohonan penetapan disertai
dasar dan alasan-alasannya kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial;
Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, kedua pihak tetap melaksanakan segala
48
kewajiban masing-masing, dimana pekerja/buruh tetap menjalankan
pekerjaannya dan pengusaha membayar upah.46
Untuk penanganan pemutusan hubungan kerja massal yang disebabkan
karena keadaan perusahaan seperti rasionalisasi, resesi ekonomi, dan lain-lain
sebelumnya harus diupayakan dengan:
a.
b.
c.
d.
e.
Mengurangi shift (kerja giliran), apabila perusahaan menggunakan kerja
sistem shift.
Membatasai atau menghapus kerja lembur sehingga dapat mengurangi
biaya kerja.
Bila upaya di atas belum berhasil, maka dapat dilakukan pengurangan
jam kerja.
Meningkatkan usaha-usaha efisiensi, seperti mempercepat pensiun bagi
pekerja/buruh yang kurang produktif.
Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergiliran untuk
sementara waktu.47
Pemutusan hubungan kerja terpaksa dilakukan, apabia upaya-upaya
tersebut di atas tidak berhasil memperbaiki keadaan perusahaan, maka
pengusaha terpaksa melakukan PHK dengan cara:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Harus diadakan perundingan dan penjelasan tentang keadaan perusahaan
secara riil kepada serikat pekerja/serikat buruh.
Bersama serikat pekerja/serikat buruh merumuskan jumlah dan kriteria
pekerja yang diputus hubungan kerjanya.
Merundingkan persyaratan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja
secara terbuka dan dilandasi itikad baik.
Setelah persyaratan pemutusan hubungan kerja telah disetujui bersama,
kemudian dilakukan sosialisasi agar dapat diketahui oleh seluruh
pekerja/buruh sebagai dasar diterima tidaknya syarat-syarat tersebut.
Bila ada persetujuan dari masing-masing pekerja/buruh, ditetapkan
prioritas pelaksanaan pemutusan hubungan kerja secara bertahap.
Pada saat penyelesaian pemutusan hubungan kerja dibuat persetujuan
bersama, dengan menyebutkan besarnya uang pesangon.48
Abdul Khakim, Op. Cit., hal. 115.
Ibid., hal. 116.
48
Ibid., hal. 117.
46
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cara yang teratur
dan terpikir baik untuk mencapai maksud (di ilmu pengetahuan, dan sebagainya),
cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai tujuan yang ditentukan.49
Metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan
kegi at an pen el i t i an, agar di perol eh h a si l yang t epat dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga dalam melakukan kegiatan
penelitian perlu didukung oleh metode yang baik dan benar.
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan,
atau menguji kebenaran dari suatu pengetahuan. Menemukan berarti berusaha
memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan. Mengembangkan berarti
memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang telah ada menguji kebenaran
yang dilakukan jika apa yang sudah ada masih atau menjadi diragukan
kebenarannya.50
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis .
Konsep ini memandang hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang
dibuat dan diundangkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang. Selain itu
Tim Penyusun&Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hal. 580-581.
50
Ronny Hanitijo Soemitro, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta, Hal. 15.
49
48
konsepsi tersebut melihat hukum dari suatu sistem normatif yang bersifat otonom,
terlepas dari kehidupan masyarakat. 51
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif normatif, yaitu penelitian yang
selain menggambarkan keadaan, obyek, atau peristiwa juga keyakinan tertentu
akan diambil kesimpulan-kesimpulan dari obyek persoalan yang dikaitkan dengan
t eori -t eori hukum dan pra kti k hukum posi ti f yang m enyangkut
permasalahannya.52
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga, Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, dan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Perpustakaan Universitas
Jenderal Soedirman.
D. Sumber Data
1. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang digunakan dalam penelitian hukum
normatif atau kepustakaan, yaitu data yang diperinci dari bahan-bahan
pustaka.53
Data sekunder di bidang hukum (dipandang dari segi keilmuan
mengikatnya) dapat dibedakan menjadi:
Ibid., Hal.11.
Ibid., hal. 13.
53
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Norm atif, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 12.
51
52
49
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat,
terdiri dari:
1) Peraturan Dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
2) Peraturan perundang-undangan, antara lain:
a)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
c)
Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 tanggal 28
Oktober 2004 Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
d) Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia Nomor: SE-1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan
Mahkamah Konstitusi Atas Hak Uji Materiil Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
e)
Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
b. Bahan hukum sekunder, sumbernya adalah buku literatur hukum, jurnal
penelitian hukum, laporan hukum, media cetak, arsip dari Dinas Sosial
Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, serta sumber
lain yang berkaitan dengan materi penelitian.
50
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang sifatnya melengkapi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain-lain.
2. Data Primer
Data primer sebagai data pendukung dan apabila data sekunder belum
cukup maka diperlukan data primer. Bersumber pada keterangan langsung
dari pihak yang terkait dengan obyek penelitian.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Data Sekunder
Diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap buku kepustakaan,
peraturan perundang-undangan, arsip Dinas Sosial Tenaga Kerja Dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
2. Data Primer
Data yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pihak yang
terkait dengan masalah yang diteliti pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga untuk melengkapi data sekunder.
F. Metode Penyajian Data
Data penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks deskriptif
naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh, yang
didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa
bahan, dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
51
G. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang
dilakukan dengan cara memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan
dan disusun secara sistematis dan diuraikan dengan secara bermutu dalam kalimat
yang teratur, runtut, dan logis, kemudian ditarik kesimpulan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Sekunder
1.1. Gambaran Umum Kabupaten Purbalingga
Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu bagian dari wilayah
Propinsi Jawa Tengah yang terletak di wilayah kerja Badan Koordinasi
Lintas Wilayah III Jawa Tengah. Kebupaten Purbalingga terletak pada
ketinggian 35 m sampai 1.124 m diatas permukaan laut, yang tepatnya
pada posisi 109° 13’ - 109° 35’ Bujur Timur dan 7° 13’ - 7° 29’ Lintang
Selatan. Kabupaten Purbalingga secara administrasi memiliki batas-batas
sebagai berikut:
a. Sebelah utara
: Kabupaten Pemalang
b. Sebelah timur : Kabupaten Banjarnegara
c. Sebelah selatan : Kabupaten Banyumas
d. Sebelah barat
: Kabupaten Banyumas
Luas wilayah Kabupaten Purbalingga adalah 77.764,122 Km2 dan
terdiri dari 18 kecamatan, yaitu:
a. Kecamatan Kemangkon
: 4.513,3 1 ha
b. Kecamatan Bukateja
: 4.240,18 ha
c. Kecamatan Kejobong
: 3.998,58 ha
d. Kecamatan Pengadegan
: 4.173,72 ha
53
e. Kecamatan Kaligondang
f. Kecamatan Purbalingga
g. Kecamatan Kalimanah
: 5.053,45 ha
: 1.473,33 ha
: 2.25 1,45 ha
h. Kecamatan Padamara
i. Kecamatan Kutasari
j. Kecamatan Bojongsari
: 1.726,24 ha
: 5.289,7 1 ha
k. Kecamatan Mrebet
: 2.924,88 ha
l. Kecamatan Bobotsari
: 4.788,73 ha
m. Kecamatan Karangreja
: 3.228,22 ha
n. Kecamatan Karangjambu
o. Kecamatan Karanganyar
: 7.888,07 ha
: 4.191,34 ha
p. Kecamatan Kertanegara
q. Kecamatan Karangmoncol
r. Kecamatan Rembang
: 3.034,84 ha
: 3.800,94 ha
: 6.027,78 ha
Kabupaten Purbalingga
: 9.159,36 ha
beragam,
yaitu
dataran
mempunyai Topografi wilayah yang
rendah dan dataran tinggi
atau
perbukitan.
Dataran
rendah terletak di bagian selatan yang meliputi Kecamatan Kalimanah,
Kecamatan Padamara, Kecamatan Purbalingga, Kecamatan Kemangkon,
Kecamatan Bukateja, Kecamatan Kejobong, Kecamatan Pengadegan, serta
sebagian Kecamatan Kutasari dan Kecamatan Mrebet.
Jumlah penduduk Kabupaten Purbalingga kurang lebih 860.057
jiwa, terdiri dari 426.754 laki-laki dan 43 3.303 perempuan. Kepadatan
penduduk adalah 1.299 Km2, dengan kepadatan tertinggi di Kecamatan
54
Purbalingga sebesar 3.753 orang per Km2 dan terendah pada Kecamatan
Karangjambu dengan jumlah 623 Km2. Penduduk usia 10 tahun ke atas
yang termasuk dalam angkatan kerja sebanyak 404.477 dan bukan
angkatan kerja sebanyak 278.3 88. Dari jumlah angkatan kerja sebanyak
404.477 tersebut, terdiri dari penduduk yang bekerja sebanyak 389.68 1
orang dan sisanya adalah pengangguran yang terdiri dari 13.371 orang
mencari pekerjaan dan 1.425 orang sedang mempersiapkan usaha baru.
1.2. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kantor Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga terus berupaya untuk
meningkatkan pelayanan di segala bidang dan sektor kehidupan
masyarakat termasuk di dalamnya mengenai tenaga kerja dan
transmigrasi. Dinas yang paling berkompeten atas pelaksanaan kegiatan
di bidang tenaga kerja dan transmigrasi adalah Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga diatur dalam Peraturan Bupati
Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Susunan Organisasi
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Purbalingga tercantum
dalam Pasal 2 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011
tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, yang terdiri dari:
55
a. Kepala Dinas
Kepala Dinas mempunyai tugas pokok di bidang sosial, tenaga kerja
dan transmigrasi meliputi penanganan sosial, hubungan dan
perlindungan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, transmigrasi,
perizinan dan pelaksanaan kesekretariatan serta pembinaan UPTD.
b. Sekretaris
Sekretaris mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan bahan
penyusunan program, penyelenggaraan urusan umum dan
kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, pengelolaan keuangan,
koordinasi penyusunan program dan pelaporan bidang-bidang.
Sekretaris terdiri dari:
1. Subbagian Program dan Pelaporan
Subbagian Program dan Pelaporan mempunyai tugas pokok
meliputi penyiapan bahan-bahan penyusunan program dan
pelaporan yang meliputi penyiapan bahan-bahan penyusunan
program kerja, koordinasi, pembinaan/bimbingan, evaluasi dan
pelaporan kegiatan.
2. Subbagian Keuangan
Subbagian keuangan mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan
bahan-bahan penyusunan program kerja dan anggaran, administrasi
penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan serta laporan
akuntabilitas kinerja.
56
3. Subbagian Umum
Subbagian Umum mempunyai tugas pokok meliputi penyiapan
bahan penyusunan program kerja, pelayanan administrasi,
ketatalaksanaan,
kerumahtanggaan,
humas,
keprotokolan,
kepegawaian, perlengkapan, kearsipan dan inventaris.
c. Bidang Sosial
Bidang Sosial mempunyai tugas pokok meliputi bimbingan dan
rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan. Bidang Sosial terdiri
dari:
1. Seksi Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial
Seksi Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial meliputi pembinaan,
pengelolaan data dan pengembangan informasi bimbingan dan
rehabilitasi sosial, penyuluhan sosial, pendidikan tenaga sosial,
pemberdayaan sosial swadaya masyarakat dalam rangka
rehabilitasi para penyendang cacat dan pembinaan terhadap
organisasi sosial kemasyarakatan serta pemberian perizinan.
2. Seksi Asistensi Sosial
Seksi Asistensi Sosial mempunyai tugas pokok meliputi bantuan
kesejahteraan anak dan keluarga, korban bencana alam, sumbangan
sosial, pembinaan lanjut usia, perlindungan dan bantuan fakir
miskin, pembinaan kesejahteraan kepahlawanan/perintis
kemerdekaan dan keluarganya serta perizinan.
d. Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja
57
Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai tugas
pokok meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan
perlindungan tenaga kerja serta perizinan. Bidang Hubungan dan
Perlindungan Tenaga Kerja terdiri dari:
1. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja
Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja mempunyai tugas
pokok meliputi pembinaan dan pengembangan hubungan
industrial, pengaturan sistim informasi, pengesahan dan atau
pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga
tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan industrial,
pengurusan administrasi syarat-syarat kerja dan perizinan.
2. Seksi Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Seksi Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai
tugas pokok meliputi pembinaan dan pengaturan sistim informasi,
pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja,
pengusaha dan lembaga tripartie, administrasi perlindungan tenaga
kerja dan jaminan sosial tenaga kerja, pengawasan ketenagakerjaan
serta perizinan.
e. Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tugas
pokok meliputi pelatihan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja dan
58
transmigrasi serta perizinan. Bidang Penempatan Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, terdiri dari:
1. Seksi Pelatihan Tenaga Kerja
Seksi Pelatihan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok meliputi
pembinaan dan pengembangan pelatihan tenaga kerja,
penyelenggaraan pelatihan dan pemagangan kerja, pelaksanaan uji
ketrampilan dan sertifikasi tenaga kerja, rekomendasi
izin/pengesahan lembaga latihan swasta dan unit pelayanan
pelatihan dan produktivitas perusahaan (UP3).
2. Seksi Penempatan Tenaga Kerja
Seksi Penempatan Tenaga Kerja mempunyai tugas pokok meliputi
pembinaan, pengawasan penempatan tenaga kerja, perluasan
kesempatan kerja, pengaturan sistem informasi tenaga kerja,
konsultasi dan pengukuran produktivitas tenaga kerja dan/atau
perusahaan serta perizinan.
3. Seksi Transmigrasi
Seksi Transmigrasi mempunyai tugas pokok meliputi pembinaan
dan pengawasan penempatan transmigrasi, pengerahan, seleksi dan
pelatihan calon transmigrasi, fasilitasi dan koordinasi mobilitas
transmigrasi, penanganan exsodan, penanganan masyarakat daerah
kumuh dan korban kerusuhan sosial/masa serta perizinan.
59
f. UPTD
Unit Pelaksanaan Teknis Daerah atau UPTD mempunyai tugas pokok
meliputi sebagian tugas Dinas yang diatur dengan Peraturan Bupati.
g. Kelompok jabatan fungsional.
Kelompok jabatan fungsional mempunyai tugas melaksanakan
sebagian tugas Dinas yang bersifat teknis sesuai dengan keahlian dan
kebutuhan.
1.3. Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Bidang Hubungan dan
Perlindungan Tenaga Kerja
Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Bidang Hubungan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga diatur dalam Pasal 19 Peraturan Bupati
Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai
tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Dinas dalam
memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugastugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi
hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan
tenaga kerja serta perizinan.
Dalam Pasal 20 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Peraturan
Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas
60
Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bidang
Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja mempunyai fungsi:
a. Penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung
kelancaran tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga
kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan
dan perlindungan tenaga kerja serta perizinian;
b. Penyiapan bahan penyususnan program kerja dibidang hubungan dan
perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan
syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta
perizinan;
c. Penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis
dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi
hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan
tenaga kerja serta perizinan;
d. Penyiapan bahan koordinasi dan fasilitas tugas-tugas dibidang
hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan
industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja
serta perizinan;
e. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang hubungan
industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja
serta perizinan;
f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.
Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja terdiri dari:
1. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja;
2. Seksi Pengawasan dan Perlindungan Tenaga kerja.
Tugas pokok Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja
tercantum dalam Pasal 21 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 05 Tahun
2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja
mempunyai tugas pokok melakukan sebagian tugas Kepala Bidang
Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja dalam memimpin,
mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang
hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan
61
pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistim informasi,
pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja,
pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan hubungan
industrial, pengurusan administrasi syarat-syarat kerja dan perizinan.
Pasal 22 untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 Peraturan Bupati
Purbalingga Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Seksi Hubungan
Industrial dan Syarat Kerja mempunyai fungsi:
a. Penyiapan bahan-bahan penyusunan program kerja dibidang
hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan
pengembangan hubungan industrial.
b. Pengumpulan bahan-bahan koordinasi penyusunan program kerja
dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi
pembinaan dan pengembangan hubungan industrial, pengaturan
sistem informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan
organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan
penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syaratsyarat kerja dan perizinan;
c. Pengolahan/analisa bahan-bahan penyusunan evaluasi dan pelaporan
guna memberikan saran/masukan pertimbangan kepada pimpinan
dibidang hubungan industrial dan syarat kerja yang meliputi
pembinaan dan pengembangan hubungan industrial, pengaturan
sistem informasi, pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan
organisasi pekerja, pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan
penyuluhan hubungan industrial, pengurusan administrasi syaratsyarat kerja dan perizinan;
d. Pengurusan dokumen/bahan-bahan koordinasi dibidang hubungan
industrial dan syarat kerja yang meliputi pembinaan dan
pengembangan hubungan industrial, pengaturan sistem informasi,
pengesahan dan atau pendaftaran, pembinaan organisasi pekerja,
pengusaha dan lembaga tripartie, bimbingan dan penyuluhan
hubungan industrial, pengurusan administrasi syarat-syarat kerja dan
perizinan;
e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.
62
1.4. Data Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pada Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
Perselisihan Hubungan Industrial yang dicatatkan pada Dinas
Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama
kurun waktu tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2009 sampai dengan
tahun 2011, adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Data Perselisihan Hubungan Industrial Kabupaten Purbalingga
Jenis Perselisihan
2009
2010
2011
Perselisihan hak
2
4
3
Perselisihan kepentingan
1
0
0
Perselisihan
6
7
12
0
0
0
pemutusan
hubungan kerja (PHK)
Perselisihan
pekerja/serikat
antarserikat
buruh
dalam
satu perusahaan
Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dilakukan oleh
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Berikut adalah data penyelesaian perselisihan hubungan industrial
yang diperoleh dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga selama tiga tahun terakhir dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2011.
63
1. Perselisihan hak Tabel 3. Data Penyelesaian
Perselisihan Hak
Keterangan
2009
2010
2011
Sisa perkara tahun lalu
0
0
0
Perkara masuk
2
4
3
Jumlah perkara ditangani
2
4
3
Selesai ditangani
2
4
3
Perjanjian bersama
2
4
3
Anjuran
0
0
0
Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
2. Perselisihan kepentingan Tabel 4. Data Penyelesaian
Perselisihan Kepentingan
Keterangan
2009
2010
2011
Sisa perkara tahun lalu
0
0
0
Perkara masuk
1
0
0
Jumlah perkara ditangani
1
0
0
Selesai ditangani
1
0
0
Perjanjian bersama
1
0
0
Anjuran
0
0
0
Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
Tabel 5. Data Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK)
Keterangan
2009
2010
2011
Sisa perkara tahun lalu
0
0
0
Perkara masuk
6
7
12
64
Jumlah perkara ditangani
6
7
12
Selesai ditangani
6
7
12
Perjanjian bersama
6
7
12
Anjuran
0
0
0
Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
4. Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
Tabel 6. Data Penyelesaian Perselisihan Antarserikat
Pekerja/Serikakat Buruh dalam Suatu Perusahaan
Keterangan
2009
2010
2011
Sisa perkara tahun lalu
0
0
0
Perkara masuk
6
7
12
Jumlah perkara ditangani
6
7
12
Selesai ditangani
6
7
12
Perjanjian bersama
6
7
12
Anjuran
0
0
0
Sumber: Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
1.5. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga
Berdasarkan data mengenai jumlah perselisihan hubungan
industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama tiga tahun terakhir yaitu
tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 dari 35 (tiga puluh lima) kasus,
dapat diketahui bahwa perselisihan yang paling banyak terjadi adalah
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan jumlah sebanyak
25 (dua puluh lima) kasus dan tiap tahunnya selalu meningkat.
65
Salah satu kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dicatatkan
pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Purbalingga yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong
Bojong Sari Purbalingga terhadap dua orang pekerjanya karena pekerja
tersebut telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang ada pada
Peraturan Perusahaan yang telah disepakati dan ketentuan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
1.5.1 Tentang Peristiwanya
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong
Bojong Sari Purbalingga terjadi pada tahun 2011 terhadap dua
orang pekerja atas nama Mei Teguh Nugroho dan Andri Nur P,
yang keduanya merupakan pekerja pada bagian operator dispenser.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap saudara Mei
Teguh Nugroho terjadi karena melakukan pelanggaran berupa
manipulasi absen dan berani kepada pimpinan melanggar peraturan
sebagai karyawan operator dispenser di perusahaan Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong
Bojong Sari Purbalingga, sehingga pada tanggal 3 Oktober 2011
pimpinan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU)
44.53 3.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga mengeluaran Surat
66
Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja atas nama Mei Teguh
Nugroho.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kedua terhadap
Saudara Andri Nur P yang terjadi karena melakukan pelanggaran
berupa berjudi di area SPBU/tempat kerja, sehingga perusahaan
mengeluarkan Surat Peringatan I dan II dan pada akhirnya tanggal
31 Oktober 2011 pimpinan Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga
mengeluarkan Surat pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja
atas nama Andri Nur P.
1.6. Penyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari
Purbalingga tidak mencapai kesepakatan dikarenakan dari pihak pekerja
merasa keberatan dengan keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK)
tersebut, maka tahapan penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan
kerja (PHK) adalah sebagai berikut:
1.6.1. Pada tanggal 3 Oktober 2011 pihak perusahaan mengeluarkan
Surat Pem ut usan H ubungan K erj a dengan N om or:
01/10/44.533.05/2011 terhadap pekerja atas nama Mei Teguh
Nugroho dan pada tanggal 31 Oktober 2011 perusahaan
mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja dengan
67
Nomor: 02/10/44.533.05/2011 terhadap pekerja atas nama Andri
Nur P.
1.6.2. Dalam hal pemutusan hubungan kerja ini, ternyata pekerja
merasa keberatan dengan keputusan dari pihak pengusaha yang
mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja tersebut.
Pokok masalah dari perselisihan pemutusan hubungan kerja
(PHK) tersebut berkaitan dengan hak-hak pekerja yang belum
dibayarkan oleh pengusaha, yaitu pesangon yang belum
dibayarkan, uang cuti yang dipotong, dan uang bonus (marjin)
yang belum dibayarkan. Prinsip penyelesaian perselisihan
hubungan industrial adalah dengan musyawarah untuk mufakat
dengan perundingan Bipartit dianatara kedua belah pihak. Oleh
karena itu pada tanggal 10 November 2011 diadakan
perundingan Bipartit antara pekerja dan pengusaha, namun
ternyata perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
1.6.3. Dalam hal perundingan Bipartit yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak tidak mencapai kesepakatan, maka pada tanggal 11
November 2011 Mei Teguh Nugroho dan Andri Nur P membuat
surat yang ditujukan kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga berupa pencatatan
perselisihan hubungan industrial dan untuk membantu
menyelesaikan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
tersebut.
68
1.6.4. Menindaklanjuti surat dari dua orang pekerja tersebut, maka
pada tanggal 12 November 2011 Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga membuat dan
mengeluarkan surat panggilan kepada kedua belah pihak
(pengusaha dan pekerja), agar pada tanggal 16 November 2011
hadir untuk melakukan perundingan bersama di Dinas Sosial
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga dengan
memerintahkan agar masing-masing pihak (pengusaha dan
pekerja) membawa data pendukung yang diperlukan.
1.6.5. Pada tanggal 16 November 2011 dilakukan sidang mediasi dan
dalam sidang tersebut setelah mempertimbangkan pendapat dari
kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja) maka tercapailah
kesepakatan dan kesepakatan tersebut dituangkan dalam
Perjanjian Bersama antara kedua belah pihak.
1.6.6. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial antara pihak ke I (pengusaha) dan pihak ke
II (pekerja) telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui perundingan mediasi sebagai
berikut:
1. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri hubungan kerjanya,
karena pihak ke II (pekerja) melanggar ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan.
69
2.
Pihak ke I (pengusaha) akan membayarkan hak-hak kepada
pihak ke II (pekerja) sesuai dengan ketentuan Pasal 161
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebesar Rp 3.037.050,- (tiga juta tiga
puluh tujuh lima puluh rupiah) untuk Mei Teguh Nugroho
dan Rp 2.994.550,- (dua juta sembilan ratus sembilan puluh
empat lima ratus lima puluh rupiah) untuk Andri Nur P.
3.
Dalam permasalahan ini, masing-masing pihak melepaskan
haknya dan permasalahan ketenagakerjaan ini dianggap
selesai.
1.7. Hak yang Diterima Pekerja karena Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK)
Kesepakatan yang dicapai dalam sidang mediasi mengenai hak-hak
yang diterima pihak ke II (pekerja) dan hak lain yang diberikan dari
pihak ke I (pengusaha), adalah sebagai berikut:
a. Andri Nur P, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan
Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000)
= Rp 2.295.000,-
Uang Penggantian hak:
-
Cuti perkawinan 3 hari Rp 30.600
= Rp 91.800.-
-
Penggantian perumahan dll. 15% x 2.295.000
= Rp 344.250,-
-
Cuti tahunan 10 hari x Rp 30.600
= Rp 306.000,-
Jumlah Total
= Rp 3.037.050,-
70
b. Mei Teguh Nugroho, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan
Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000)
= Rp 2.295.000,-
Uang Penggantian hak:
-
Penggantian perumahan dll. 15%x 2.295.000
= Rp 344.250,-
-
Cuti tahunan 9 hari x Rp 30.600
= Rp 275.400,-
-
Uang Margin bulan Sepetember 2011
= Rp 79.900,-
Jumlah Total
= Rp 2.994.550,-
2. Data Primer
2.1. Jumlah Mediator Hubungan Industrial
Mediasi merupakan intervensi terhadap suatu perselisihan oleh
pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral serta
membantu para pihak yang berselisih mencapai kesepakatan secara
sukarela terhadap permasalahan yang disengketakan.
Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh
mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 26 Mei 2012 dengan
salah satu Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Even Kurniawan,
S.H., terdapat empat orang mediator yang bertugas pada Dinas Sosial
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga, yang terdiri
dari satu mediator struktural dan tiga mediator fungsional.
71
Mediator struktural adalah mediator yang menjabat dalam struktur
organisasi seperti sekretaris, kepala bidang, dan kepala seksi. Mediator
struktural dapat menangani sidang mediasi apabila sudah mempunyai
legitimasi mediator dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Mediator fungsional adalah mediator yang bertugas hanya
sebagai mediator hubungan industrial yang tidak menjabat dalam
struktur organisasi.
2.2. Pelanggaran yang Dilakukan Pekerja
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 26 Mei 2012 dengan
salah satu Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Even Kurniawan,
S.H., bahwa dalam mediasi tercapai kesepakatan di antara para pihak
bahwa pihak pekerja telah melakukan pelanggaran terhadap Peraturan
Perusahaan, dimana pelanggaran yang diatur dalam Peraturan
Perusahaan tersebut termasuk dalam kategori kesalahan berat
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.3. Hak yang Diterima Pekerja
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 26 Mei 2012 dengan
salah satu Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yaitu Bapak Even Kurniawan,
S.H., bahwa dalam menentukan pemberian hak kepada pekerja oleh
72
pihak instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
dalam hal ini Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Purbalingga, sudah mengarahkan pada ketentuan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003. Namun para pihak dalam kesepakatan
berkehendak lain dalam hal pemberian hak kepada pekerja, sehingga
dalam pemberian hak kepada pekerja diarahkan kepada kompensasi.
Kompensasi ini mengacu pada kesepakatan para pihak.
B. Pembahasan
Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang,
khususnya dalam bidang ketenagakerjaan membawa dampak salah satunya seperti
perselisihan hubungan industrial yang semakin kompleks. Oleh karena itu, perlu
diselenggarakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan
sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan kebudayaan bangsa, sehingga dapat
tercipta kondisi kerja yang produktif.
Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa:
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara
para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan pengertian hubungan industrial tersebut, dapat diketahui bahwa
pihak-pihak dalam hubungan industrial adalah pekerja/buruh, pengusaha, dan
73
pemerintah. Pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses produksi di
perusahaan adalah pekerja/buruh dan pengusaha, sedangkan peran pemerintah
dalam hubungan industrial diwujudkan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan
seperti peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh para pihak,
mengawasi atau menegakkan peraturan tersebut sehingga produktivitas
perusahaan dapat meningkat yang pada akhirnya akan mampu menggerakkan
pertumbuhan ekonomi dan dapat meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan
masyarakat.54
Hubungan industrial merupakan proses terbinanya komunikasi, konsultasi,
musyawarah serta berunding dan ditopang oleh kemampuan dan komitmen yang
tinggi dari semua elemen dalam perusahaan.55
Hubungan industrial mencakup hal yang dikaitkan dengan interaksi manusia
di tempat kerja. Hal terlihat ketika terjadi permasalahan, karena tidak selamanya
hubungan antara pengusaha dan pekerja berjalan dengan baik pasti terdapat
persamaan dan perbedaan pandangan. Apabila perselisihan terjadi, akan
membawa dampak terganggunya suasana kerja yang berakibat pada penurunan
kinerja serta produksi.
Perbedaan pendapat tersebut apabila berkelanjutan yang mengarah pada
pertentangan dapat menimbulkan terjadinya perselisihan hubungan industrial.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, merumuskan perselisihan
hubungan indutrial adalah:
54
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan di
Luar Pengadilan, Op. Cit., hal. 17.
55
Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 23.
74
Perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh, karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Berdasarkan pengertian perselisihan hubungan industrial tersebut, dapat
diketahui sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, terdapat
empat jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan antarserikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Berdasarkan hasil penelitian data 1.4, dapat diketahui bahwa perselisihan
hubungan industrial yang dicatatkan pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga selama tiga tahun terakhir, mulai dari tahun
2009 sampai dengan tahun 2011 dari 35 (tiga puluh lima) kasus perselisihan
hubungan industrial yang paling banyak terjadi adalah perselisihan pemutusan
hubungan kerja (PHK), dengan jumlah sebanyak 25 (dua puluh lima) kasus dan
tiap tahun jumlahnya meningkat, seperti yang terjadi pada Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan peristiwa yang tidak
diharapkan terjadinya khususnya bagi pekerja/buruh karena akan memberikan
dampak psikologis, ekonomis, dan finansial. Putusnya hubungan kerja merupakan
permulaan dari pengakhiran, yaitu pengakhiran mempunyai pekerjaan,
75
pengakhiran membiayai keperluan sehari-hari dirinya dan keluarganya,
pengakhiran kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya.56
Meskipun dengan segala upaya dari para pihak agar tidak terjadi PHK,
namun pada kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa PHK tidak mungkin dapat
dicegah seluruhnya.
PHK merupakan langkah pengakhiran hubungan kerja antara pekerja yang
disebabkan karena suatu keadaan tertentu. PHK yang terjadi karena berakhirnya
waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak menimbulkan permasalahan
karena pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama menyadari saat berakhirnya
hubungan kerja tersebut. Berbeda dengan PHK yang terjadi karena adanya
perselisihan, yang akan membawa dampak bagi kedua belah pihak, terutama
pekerja yang dipandang memiliki kedudukan yang lemah dari sudut ekonomis
dibandingkan dengan pengusaha.57
Dalam literatur hukum ketenagakerjaan dikenal adanya empat jenis PHK
yang salah satunya adalah PHK yang dilakukan pengusaha apabila pekerja/buruh
melakukan kesalahan berat. PHK yang dilakukan oleh pengusaha karena
pekerja/buruh melakukan kesalahan berat diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
a.
b.
c.
Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang
milik perusahaan;
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan
kerja;
56
57
Iman Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Op. Cit., hal. 143.
Zainal Asikin, dkk., Op. Cit., hal. 174.
76
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja
atau pengusaha di lingkungan kerja;
Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan;
Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha
dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara lima tahun atau lebih.
Menurut hasil penelitian pada data 1.5.1 kasus PHK yang terjadi di Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari
Purbalingga terhadap dua orang pekerja atas nama Mei Teguh Nugroho yang
melakukan pelanggaran berupa manipulasi absen dan berani kepada pimpinan
melanggar peraturan perusahaan sebagai karyawan operator dispenser di
perusahaan, serta PHK atas nama Andri Nur P yang dengan sengaja berjudi di
area SPBU/tempat kerja, termasuk dalam jenis PHK oleh pengusaha karena
pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja tersebut termasuk dalam
kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf b
dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
1. Pasal 158 ayat (1) huruf b:
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
2. Pasal 158 ayat (1) huruf d:
Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingungan kerja.
77
Menurut hasil penelitian data 1.5.1 dan 1.6.1, sehubungan dengan
pelanggaran yang dilakukan oleh dua orang pekerja tersebut dimana dapat
dikategorikan dalam kesalahan berat, maka dengan tegas pihak pengusaha
mengeluarkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan pengaturan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, dapat dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Indutrial
(litigasi) dan diluar Pengadilan Hubungan Industrial (non-litigasi) yang meliputi
penyelesaian secara Bipartit, Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase.
Pada prinsipnya setiap perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaiannya terlebih dahulu secara kekeluargaan di luar pengadilan hubungan
industrial (non-litigasi) melalui perundingan bipartit dengan musyawarah untuk
mencapai mufakat. Penyelesaian secara bipartit jauh lebih menguntungkan kedua
belah pihak, sebab akan membuahkan hasil yang dapat diterima kedua belah pihak
dan menekan biaya serta menghemat waktu.
Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, secara garis besar menyebutkan pada prinsipnya setiap perselisihan
hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu secara
musyawarah untuk mencapai mufakat melalui perundingan Bipartit. Apabila salah
satu menolak untuk berunding atau telah dilakukan tapi tidak mencapai
kesepakatan maka perundingan Bipartit dianggap gagal.
78
Menurut hasil penelitian data 1.6.2, diketahui bahwa pekerja merasa
keberatan dengan pemutusan hubungan kerja tersebut karena terdapat hak-hak
yang belum dibayarkan oleh pengusaha. Maka pihak Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Premium (SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga melakukan
perundingan Bipartit dengan pihak pekerja guna menyelesaikan perselisihan
tersebut, namun tidak mencapai kesepakatan sehingga perundingan Bipartit
tersebut dianggap gagal.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa langkah penyelesaian perselisihan
pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium
(SPBU) 44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga sudah sesuai dengan
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu menempuh upaya bipartit terlebih dahulu
meskipun tidak tercapai kesepakatan atau gagal.
Apabila perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara
Bipartit, dan kedua belah pihak tidak bermaksud menyerahkan penyelesaian
melalui konsiliasi atau arbitrase, maka penyelesaiannya dilakukan secara wajib
melalui forum mediasi.
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial di luar pengadilan. Perselisihan yang dapat diselesaikan melalui mediasi
meliputi semua jenis perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Penyelesaian
79
perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh seorang atau lebih mediator yang
netral dan bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku umum, penyelesaian perselisihan
melalui mediasi tidak terdapat unsur paksaan antarpara pihak dan mediator, para
pihak meminta secara sukarela kepada mediator untuk membantu penyelesaian
perselisihan yang terjadi. Oleh karena itu, mediator hanya berkedudukan
membantu para pihak agar dapat mencapai kesepakatan yang hanya dapat
diputuskan oleh para pihak yang berselisih, karena sesuai dengan tujuan dari
mediasi adalah untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak. Mediator sebagai pihak yang berada di luar pihak yang berselisih
tidak memiliki kewenangan untuk memaksa, mediator hanya berkewajiban untuk
bertemu dan mempertemukan para pihak yang berselisih.58
Adapun tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
mediasi menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, yaitu:
1) Dalam hal perundingan Bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui
perundingan bipartit telah dilakukan.
2) Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilampirkan,
maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
3) Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan
80
kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase.
4) Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui
konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.
Berdasarkan ketentuan di atas dikaitkan dengan hasil penelitian data 1.6.3
dapat diketahui bahwa tahapan penyelesaian perselisihan antara pihak pekerja
dengan pihak pengusaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU)
44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga sudah sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, di mana setelah perundingan
bipartit yang dilakukan oleh para pihak tidak mencapai kesepakatan atau gagal,
maka salah satu pihak dalam hal ini adalah pekerja membuat surat yang ditujukan
kepada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga yang
isinya berupa pencatatan perselisihan dan untuk membantu menyelesaikan
perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, secara garis besar menyebutkan
bahwa dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah menerima pelimpahan
penyelesaian perselisihan maka mediator harus sudah mengadakan penelitian
tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang mediasi.
Dikaitkan dengan hasil penelitian data 1.6.4, tahapan penyelesaian
perselisihan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga sudah sesuai, karena dalam data tersebut dapat diketahui
bahwa dalam lima hari yaitu terhitung setelah menerima pelimpahan perselisihan
81
dari para pihak pada tanggal 11 November 2011, mediator segera mengadakan
penelitian tentang duduk perkaranya dan memanggil para pihak guna melakukan
klarifikasi mengenai perselisihan tersebut dan mengadakan sidang mediasi pada
tanggal 16 November 2011.
Jadi tindakan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga dalam tahapan tersebut sudah sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu masih dalam kurun waktu 7
(tujuh) hari sudah mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera
mengadakan sidang mediasi.
PHK yang terjadi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU)
44.533.05 Gembong Bojong Sari Purbalingga merupakan PHK yang dilakukan
oleh pengusaha dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat
yaitu melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 158 ayat (1) huruf b dan d UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 151 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja hanya dapat
dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan dari Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Namun, berdasarkan Pasal 170
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat
pengecualian yang secara garis besar menyatakan bahwa PHK karena kesalahan
berat tidak memerlukan penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, sepanjang kesalahan berat tersebut didukung dengan bukti
82
berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
1.
Pekerja/buruh tertangkap tangan;
2.
Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
3.
Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi.
Pada perkembangan hukum ketenagakerjaan, Pasal 158 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terdiri dari empat ayat,
merupakan salah satu pasal yang secara utuh atau keseluruhannya dinyatakan
tidak memiliki kekuatan mengikat berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Alasan Mahkamah Konstitusi
menganulir Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tersebut karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu memberikan kewenangan kepada pengusaha
untuk melakukan PHK dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat
tanpa melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga
bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).59
Akibat dibatalkannya Pasal 158 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE. 1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari
2005, yang pada intinya menyatakan bahwa untuk melakukan PHK terhadap
Hennigusnia, PHK karena Kesalahan Berat, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
59
83
pekerja/buruh yang diduga melakukan kesalahan berat harus diproses secara
pidana terlebih dahulu, baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya dan
putusannya menyatakan pekerja/buruh tersebut bersalah serta berkekuatan hukum
tetap.60
Menurut hasil penelitian pada data 1.6.5 dan 1.6.6 dikaitkan dengan tahapan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi menurut ketentuan
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, diketahui bahwa para pihak memilih menyelesaikan
perselisihan PHK tersebut melalui mediasi, karena para pihak tidak menentukan
menyelesaikan perselisihan tersebut secara konsiliasi atau arbitrase. Hal ini sudah
sesuai dengan ketentuan pada Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam sidang
mediasi tersebut tercapai kesepakatan diantara para pihak (pengusaha dan pekerja)
yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang isinya menyatakan bahwa pihak
pekerja bersedia untuk di PHK dengan ketentuan bahwa pekerja tersebut telah
melanggar ketentuan dalam Peraturan Perusahaan (Pasal 161 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Hal tersebut sebagaimana
didukung dengan data 2.2 yang merupakan hasil wawancara dengan salah satu
mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Purbalingga. Oleh karena itu, pihak pengusaha membayar hak-hak
yang belum diterima oleh pekerja sesuai dengan ketentuan Pasal 161 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
60
Ibid.,
84
Berdasaran hasil penelitian data 1.6.5 dan 1.6.6 yang didukung dengan data
2.2 yang merupakan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa pelaksanaan
penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
melalui mediasi tidak diperlukan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap bahwa pekerja tersebut bersalah atau melakukan pelanggaran berupa
kesalahan berat yang masuk dalam kategori perbuatan pidana. Hal tersebut
dikarenakan prinsip penyelesaian perselisihan melalui mediasi didasarkan pada
musyawarah dan kesepakatan para pihak, serta tujuan dari mediasi yaitu untuk
mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Jadi dalam penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja melakukan
kesalahan berat dalam mediasi, ketentuan Surat Edaran Menakertrans Nomor:
SE. 1 3/MEN/SJ-HK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005 yang dikeluarkan sebagai
akibat dibatalkannya Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUUI/2003 tanggal 28 Oktober 2004, yang menyatakan bahwa terhadap pekerja/buruh
yang diduga melakukan kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih
dahulu, baik atas laporan pengusaha atau pihak lainnya dan putusannya
menyatakan pekerja/buruh tersebut bersalah serta berkekuatan hukum tetap dapat
dikesampingkan, selama terjadi kesepakatan diantara para pihak dalam sidang
mediasi tersebut.
Setelah tercapai kesepakatan diantara para pihak, maka berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang menyatakan bahwa jika
85
dalam penyelesaian melalui mediasi mencapai kesepakatan harus dibuat
Perjanjian Bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh
mediator serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadian
Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk
mengadakan akta bukti pendaftaran.
Menurut hasil peneitian terhadap data 1.6.6 penyelesaian perselisihan PHK
di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Premium (SPBU) 44.53 3.05 Gembong Bojong
Sari Purbalingga secara mediasi telah menghasilkan kesepakatan yang dituangkan
dalam Perjanjian Bersama bahwa pekerja telah melanggar ketentuan dalam
Peraturan Perusahaan, sehingga pekerja tersebut telah melanggar ketentuan Pasal
161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berkaitan dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada suatu
perusahaan, sesuai dengan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.
Besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, adalah:
1. Besarnya uang pesangon (Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
Masa kerja 1 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
Masa kerja 2 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
Masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
Masa kerja 4 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
Masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
86
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
i. Masa kerja 8 tahun lebih, 9 bulan upah.
2. Besaranya uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan):
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
Masa kerja 6 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
Masa kerja 9 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
Masa kerja 12 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
Masa kerja 15 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
Masa kerja 18 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
Masa kerja 21 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
Masa kerja 24 tahun lebih, 10 bulan upah.
3. Uang penggantian hak (Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan):
a.
b.
c.
d.
Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke
tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan
15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan dan perjanjian kerja bersama.
Kewajiban yang harus diberikan oleh pengusaha apabila terjadi PHK yang
disebabkan karena pekerja/buruh melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
dalam Peraturan Perusahaan (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan), maka pekerja/buruh dapat diputus hubungan kerjanya
dengan memperoleh hak sebagaimana dalam ketentuan Pasal 161 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu mendapat
satu kali uang pesangon, satu kali uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (2), Pasal 156 ayat (3),
87
dan Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Menurut hasil peneliatian data 1.7 pekerja yang telah diputus hubungan
kerjanya, memperoleh hak sebagai berikut:
a.
Andri Nur P, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan
Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000)
= Rp 2.295.000,-
Uang Penggantian hak:
b.
- Cuti perkawinan 3 hari Rp 30.600
= Rp 91.800.-
- Penggantian perumahan dll. 15% x 2.295.000
= Rp 344.250,-
- Cuti tahunan 10 hari x Rp 30.600
= Rp 306.000,-
Jumlah Total
= Rp 3.037.050,-
Mei Teguh Nugroho, dengan masa kerja 2 tahun 2 bulan
Uang Pesangon 3x Upah sebulan (Rp 765.000)
= Rp 2.295.000,-
Uang Penggantian hak:
- Penggantian perumahan dll. 15%x 2.295.000
= Rp 344.250,-
- Cuti tahunan 9 hari x Rp 30.600
= Rp 275.400,-
- Uang Margin bulan Sepetember 2011
= Rp 79.900,-
Jumlah Total
= Rp 2.994.550,-
Hak-hak yang diterima oleh pekerja berdasarkan data 1.7 sebagaimana yang
didukung dengan data 2.3 yang merupakan hasil wawancara, dapat diketahui
belum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui
bahwa pekerja tidak memperoleh uang penghargaan masa kerja. Jadi pekerja
88
hanya memperoleh uang pesangon dan uang penggantian hak. Meskipun dalam
pemberian hak kepada pekerja belum sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi hal tersebut
merupakan hasil kesepakatan para pihak dalam sidang mediasi yang telah
dituangkan dalam Perjanjian Bersama.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Pelaksanaan penyelesaian perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
karena kesalahan berat pada tingkat mediasi di Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga telah sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
Dalam penyelesaian perselisihan PHK karena pekerja/buruh melakukan
kesalahan berat melalui mediasi tidak diperlukan adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap bahwa pekerja tersebut bersalah atau melakukan
pelanggaran berupa kesalahan berat yang masuk dalam kategori perbuatan pidana.
Jadi ketentuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 tanggal 28
Oktober 2004 dan ketentuan Surat Edaran Menakertrans Nomor: SE. 1 3/MEN/SJHK/I/2005 tanggal 7 Januari 2005, dapat dikesampingkan.
Pemberian hak-hak yang diterima pekerja/buruh yang di PHK belum sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, namun hal tersebut merupakan kesepakatan para pihak dalam
sidang mediasi yang telah dituangkan dalam Perjanjian Bersama.
B. Saran
Pemberian hak kepada pekerja belum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan hal tersebut, meskipun dalam pemberian hak tersebut merupakan
kesepakatan dari para pihak yaitu pengusaha dan pekerja, hendaknya pemberian
hak pekerja disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 161 ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena kesepakatan
seharusnya tidak boeh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUS TAKA
Buku Literatur
Asikin, Zainal, dkk. 1993. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Asyhadie, Zaeni. 2007. Hukum Perburuhan Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Agusmidah. 2010. Dinamika dan Kajian Teori Hukum Ketenagakerjaan
Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Djumialdji, F.X. dan Wiwoho Soejono. 1985. Perjanjian Perburuhan dan
Hubungan Perburuhan Pancasila. Jakarta: Bina Aksara.
Farianto dan Darmanto Law Firm, 2009. Himpunan Putusan Mahkamah Agung
dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai
Ulasan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Husni, Lalu. 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan dan di Luar Pengadilan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
____ . 2010. Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Khakim, Abdul. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Manulang, Sendjun H. 1988. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Mulyadi, Lilik dan Agus Subroto. 2011. Penyelesaian Perkara Pengadilan
Hubungan Industrial dalam Teori dan Praktik. Bandung: Alumni.
Rusli, Hardijan. 2003. Hukum Ketenagakerjaan 2003. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Soepomo, Iman. 1974. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan.
. 1987. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan.
Sumitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sutedi, Adrian. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika.
Wijayanti, Asri. 2009. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar
Grafika.
Skripsi
Immanuel, Kevin. 2010. Mediasi Penyelesaian Perselisihan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman.
Purbo sari, Shinta, 2006. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karena
Tindakan Indisipliner Pada PT. Indotama Omicron Kahar di Kabupaten
Purworejo. Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman.
Peraturan Perundang-Undangan UndangUndang Dasar Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 6).
Putusan Mahkamah Konstitusi No.012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Atas
Hak Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor:
SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Atas Hak
Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945.
Kamus
Tim Penyusun&Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Internet
Puslitbang Hukum dan Peradilan M.A.R.I. 2007. Naskah Akademik Penyelesaian
P e r s e l i s i h a n
H u b u n g a n
I n d u s t r i a l .
http://www. litbangdiklatkumdil. net/publikasi-litbang/201-naskah-akademispenyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial. html diakses tanggal 13
April 2012.
Data Lain
Hennigusnia. PHK karena Kesalahan Berat. Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Wawancara dengan Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Purbalingga.
SISTEMATIKA SKRIPSI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERNYATAAN
PRAKATA
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Perumusan Masalah
C.
Tujuan Penelitian
D.
Kegunaan Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Ruang Lingkup Hukum Ketenagakerjaan
a.
Pengertian Hukum Ketenagaerjaan
b.
Sumber-sumber Hukum Ketenagakerjaan
c.
Pihak-pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan
2. Hubungan Kerja
3. Perselisihan Hubungan Indutrial
a.
Pengertian Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
b.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
c.
Mediasi Hubungan Industrial
4. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
a.
Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
b.
Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
c.
Pro sedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan
2.
Spesifikasi Penelitian
3.
Lokasi Penelitian
4.
Sumber Data
5.
Metode Pengumpulan Data
6.
Metode Penyajian Data
7.
Metode Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN
A.
Hasil Penelitian
B.
Pembahasan
BAB V PENUTUP
A.
Simpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Download