BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi kaum wanita, kecantikan dan daya tarik fisik sangat penting, karena dukungan sosial, popularitas, pemilihan teman hidup dan karir dipengaruhi daya tarik fisik seseorang (Saguni, 2012). Wanita rela menghabiskan dana yang cukup besar untuk memaksimalkan penampilannya. Konsumen rela untuk membelanjakan uang lebih besar dengan tujuan mendapatkan pelayanan yang baik dengan harapan memberi nilai kepuasan kepada konsumen (Wulandari dkk, 2014). Pada dasarnya wanita selalu mendambakan kesempurnaan akan penampilan dirinya. Wanita ingin selalu terlihat lebih menarik, lebih cantik dan lebih muda. Ada banyak cara untuk memenuhi keinginan tersebut, salah satunya adalah dengan memelihara wajah menggunakan kosmetik. Definisi kosmetik berdasarkan peraturan Mentri Kesehatan RI No. 445/MenKes/Per/V/1998 adalah sediaan atau paduan bahan untuk digunakan pada bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. Kosmetik merupakan produk yang unik, karena selain produk ini memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar wanita akan kecantikan sekaligus seringkali menjadi sarana bagi konsumen untuk memperjelas identitas dirinya secara sosial di mata masyarakat (Fabricant dan Gould, 1993). Pravitasari (2010) menyebutkan bahwa kosmetika merupakan sediaan kimiawi yang sangat diperlukan untuk penampilan sebagai bagian dari rasa percaya diri. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi, dunia usaha pun mengalami perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai perusahaan yang berusaha menciptakan produk dan jasa guna memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Hal ini menjadikan tingkat persaingan antar perusahaan sejenis semakin ketat sehingga konsumen dihadapkan pada berbagai macam bentuk pilihan jenis produk serta konsumen bebas untuk menentukan produk pilihannya. Keadaan tersebut menuntut konsumen untuk lebih selektif dalam memilih produk sehingga sangat penting bagi perusahaan untuk memikirkan strategi pemasaran yang terbaik sehingga konsumen dapat merasakan kepuasan dari produk dan pelayanan yang diberikan (Lestari, 2008). Perusahaan pada umumnya mempunyai tujuan yang sama yaitu berhasil dalam mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, meningkatkan laba bagi perusahaan, dan perkembangan perusahaan. Banyaknya persaingan antar perusahaan menyebabkan perusahaan sulit untuk mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar. Oleh karena itu peranan pemasaran sangat penting agar tujuan perusahaan dapat tercapai (Lestari, 2008). Saat ini trend mencerahkan atau memutihkan kulit terutama bagian wajah banyak diperbincangkan dan diminati. Sebuah artikel dalam majalah SWA edisi 04/2006 memuat tentang penelitian yang dilakukan kelompok bisnis kosmetik asal Prancis, L’Oreal, pada 1997 menunjukkan bahwa 85% wanita di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan cenderung berkulit gelap, dan 55% diantara mereka ingin memiliki kulit lebih putih. Penelitian lain oleh raksasa produk konsumen asal Amerika Serikat, Procter & Gamble, menunjukkan bahwa 70%80% perempuan di Asia ingin mempunyai kulit yang lebih putih dan bersih. Meski sudah lampau, hasil riset di atas sampai sekarang masih relevan. Selain karena faktor genetis, iklim tropis, pengaruh sinar ultraviolet, tingginya tingkat polusi dan ruang ber-AC diperkirakan membuat kulit tidak sehat, seperti kusam, keriput dan cepat menua (Sampurno, 2009). Produk-produk kecantikan saat ini telah banyak dijumpai di pasaran, mulai dari produk kecantikan yang dikhususkan bagi jenis kulit tertentu, hingga produk kecantikan yang ditujukan untuk mencerahkan atau mengubah warna kulit. Salah satu aplikasi dari kosmetika pencerah atau pengubah warna kulit adalah penggunaan whitening cream atau krim pemutih. Krim pemutih kulit merupakan suatu bahan yang digunakan untuk mencerahkan atau mengubah warna kulit yang tidak diinginkan (Rieger, 2000). Pengguna whitening cream ternyata bukan hanya berasal dari kalangan dewasa, bahkan hampir semua kalangan remaja sudah mulai mengenal dan menggunakan produk kecantikan ini. Bagi remaja, salah satu usaha untuk meningkatkan rasa percaya dirinya adalah dengan menutupi kekurangan dengan berpenampilan semenarik mungkin. Fase remaja merupakan fase saat pola konsumsi seseorang terbentuk. Pengakuan dari masyarakat dan lingkungan seolaholah menjadi jaminan hidup yang harus diperebutkan pada diri remaja khususnya remaja putri. Pada akhirnya mereka terjebak dengan pola konsumtif yang mengantarkan para remaja putri ke dalam sikap hedonis atau keduniawian (Tambunan, 2001). Berdasarkan penjelasan tersebut, remaja putri mempunyai kecenderungan untuk menjadi pasar yang menguntungkan bagi para produsen untuk memasarkan produk-produk mereka. Pada usia ini, remaja selalu ingin berusaha mengatasi masalah-masalahnya dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuannya. Dalam perkembangannya, remaja tiba pada masa pengambilan keputusan. Setiap saat pengambilan keputusan akan berpengaruh dalam kehidupannya dan orang lain. Pengambilan keputusan dimulai dari hal yang sederhana, seperti memilih warna baju, model pakaian, atau menu makanan. Pengambilan keputusan juga dilakukan dalam hal-hal kompleks seperti memilih teman, memilih calon suami atau istri, sampai dalam pemilihan karir. Banyak sekali masalah yang dihadapi remaja dalam memutuskan sesuatu (Nursalim dan Peilouw, 2013). Dalam strategi pemasaran, faktor penentu keberhasilan pemasaran dipengaruhi oleh minat konsumen dalam keputusannya membeli suatu produk, karena keputusan akhir untuk membeli produk yang terdiri dari berbagai macam merek tersebut terletak pada perilaku konsumen yang akan membelinya (Lestari, 2008). WHO menetapkan batas usia remaja dalam 2 bagian yaitu remaja awal 1012 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Pedoman umum remaja di Indonesia menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2004). Pada usia tersebut, rata-rata remaja berada di bangku SMP, SMA, dan perkuliahan. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 pada remaja perempuan dan laki-laki berusia 15-19 tahun yang tidak menikah, terdapat beberapa masalah yang dihadapi remaja di Indonesia dipengaruhi faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor yang berasal dari dalam diri individu antara lain, masalah psikologi dan sosial yang dihadapi, belum matangnya emosi, kurangnya kontrol diri, kemampuan pengambilan keputusan yang rendah, serta tidak terbiasa mempertahankan usaha untuk mencapai tujuan. Sedangkan faktor yang berasal dari luar individu antara lain, persoalan keluarga, pengaruh negatif dari teman sebaya, dan pengaruh negatif dari komunitas (Nursalim dan Peilouw, 2013). Menurut Kotler dan Keller (2009) ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam melakukan keputusan pembelian, antara lain adalah faktor budaya, faktor sosial, faktor pribadi dan faktor psikologi. Faktor budaya (budaya, sub budaya, dan kelas sosial) merupakan salah satu penentu keinginan dan perilaku seseorang yang paling mendasar. Faktor sosial (kelompok, keluarga, peran dan status) dan faktor pribadi (usia dan tingkat kehidupan, jabatan, keadaan perekonomian, gaya hidup), terutama yang berpengaruh adalah umur dan harapan dalam siklus pembeli, pekerjaannya, keadaan ekonominya, gaya hidupnya, pribadi dan konsep jati dirinya. Keputusan pembelian sesorang juga akan dipengaruhi faktor psikologi, yaitu motivasi, persepsi, proses belajar, dan memori. Menurut Schiffman dan Kanuk (2008) keputusan pembelian adalah seleksi terhadap dua pilihan alternatif atau lebih. Proses keputusan pembelian seorang konsumen meliputi pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli dan tingkah laku paska pembelian. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pertimbangan Siswi SMA Negeri 2, 3, dan 8 Yogyakarta dalam Memutuskan Pembelian Whitening Cream berdasarkan Faktor Sosial dan Faktor Psikologi” B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut maka yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah pertimbangan siswi SMAN 2, 3, dan 8 Yogyakarta dalam memutuskan pembelian whitening cream berdasarkan teori perilaku konsumen dilihat dari faktor sosial dan faktor psikologi ? 2. Faktor manakah yang memiliki pengaruh lebih dominan terhadap keputusan pembelian ? 3. Apakah proses keputusan pembelian siswi SMAN 2, 3, dan 8 Yogyakarta mempertimbangkan model keputusan pembelian lima tahap ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pertimbangan siswi SMAN 2, 3, dan 8 Yogyakarta dalam memutuskan pembelian whitening cream berdasarkan teori perilaku konsumen dilihat dari faktor sosial dan faktor psikologi. 2. Untuk mengetahui faktor yang lebih dominan dalam mempengaruhi keputusan pembelian. 3. Untuk mengetahui pertimbangan siswi SMAN 2, 3, dan 8 Yogyakarta dalam melakukan keputusan pembelian berdasarkan model keputusan pembelian lima tahap. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan positioning produk agar konsumen melakukan pembelian ulang dan menjadi sumber informasi dan pengetahuan bagi para pelaku bisnis kosmetik. 2. Bagi pihak lain Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan referensi yang nantinya dapat memberikan perbandingan dalam melakukan penelitian pada masa yang akan datang. 3. Bagi masyarakat Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dalam mempertimbangkan pembelian produk-produk kosmetik khususnya produk whitening cream (krim pemutih kulit wajah). 4. Bagi penulis Penelitian ini merupakan suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan teori-teori yang diperolah selama di bangku kuliah serta memperluas wawasan penulis mengenai perilaku konsumen dan kaitannya dengan keputusan pembelian. E. Tinjauan Pustaka 1. Konsumen Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. 2. Perilaku konsumen a. Pengertian perilaku konsumen Menurut Kotler dan Keller (2009) perilaku konsumen adalah studi tentang cara individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan suatu barang, jasa, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka. Studi perilaku konsumen terpusat pada cara individu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia (waktu, uang, usaha) guna membeli barang-barang yang berhubungan dengan konsumsi. Hal ini mencakup produk yang mereka beli, alasan mereka membeli, waktu mereka membeli, tempat mereka membeli, frekuensi pembelian, dan frekuensi penggunaan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2007) teori perilaku konsumen adalah deskripsi tentang cara konsumen mengalokasikan pendapatan antara barang dan jasa yang berbeda-beda untuk memaksimalkan kesejahteraan konsumen tersebut. Schiffman dan Kanuk (2008) mendefinisikan perilaku konsumen (consumen behavior) sebagai perilaku yang diperlihatkan konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi dan menghabiskan produk yang diharapkan akan memuaskan kebutuhan hidup. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kosumen Perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor budaya, sosial, psikologi, dan pribadi (Kotler dan Keller, 2009). 1) Faktor budaya Menurut Kotler dan Keller (2009), Budaya (culture) adalah alasan dasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Kelas budaya, subbudaya, dan sosial sangat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. a) Budaya (culture) Kultur (kebudayaan) adalah faktor penentu paling mendasar dari keinginan dan perilaku seseorang. Anak memperoleh serangkaian nilai (values), persepsi, preferensi, dan perilaku melalui keluarganya dan institusi-institusi utama lainnya. Seorang anak yang dibesarkan di Asia mendapat nilainilai seperti hubungan keluarga dan pribadi, kepatuhan, kepercayaan (trust), rasa hormat pada orang yang lebih tua, dan kesalehan. b) Subbudaya (subculture) Setiap budaya terdiri dari beberapa subbudaya (subculture) yang lebih kecil yang memberikan identifikasi dan sosialisasi yang lebih spesifik untuk anggota mereka. Subbudaya meliputi kebangsaan, agama, kelompok ras, dan wilayah geografis. c) Kelas sosial Menurut Kotler dan Keller (2009), kelas sosial didefinisikan sebagai sebuah strata sosial atau divisi yang relatif homogen dan tetap, mempunyai anggota yang memiliki nilai, minat, dan perilaku yang sama. Schiffman dan Kanuk (2008) mendefinisikan kelas sosial sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status sosial yang berbeda, sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Salah satu gambaran klasik tentang kelas sosial di Amerika Serikat mendefinisikan tujuh tingkat dari bawah ke atas, sebagai berikut: (1) bawah rendah, (2) bawah tinggi, (3) kelas pekerja, (4) kelas menengah, (5) menengah atas, (6) atas rendah, (7) atas tinggi. 2) Faktor sosial Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumen adalah faktor sosial yang terdiri dari kelompok referensi, keluarga, serta peran sosial dan status. a) Kelompok referensi Menurut Kotler dan Keller (2009), kelompok referensi (reference group) seseorang adalah semua kelompok yang mempunyai pengaruh langsung (tatap muka) atau tidak langsung terhadap sikap atau perilaku orang tersebut. Kelompok yang mempunyai pengaruh langsung disebut kelompok keanggotaan (membership group). Beberapa dari kelompok ini merupakan kelompok primer (primary group), kelompok ini memiliki ciri adanya interaksi secara terus menerus yang bersifat non formal, seperti dengan keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja. Masyarakat juga menjadi kelompok sekunder (secondary group), seperti agama, profesional, dan kelompok persatuan perdagangan, yang cenderung lebih formal dengan interaksi yang kurang berkelanjutan. Seseorang dapat dipengaruhi oleh kelompok di luar kelompoknya, seperti kelompok aspirasional dan kelompok disosiatif. Kelompok aspirasional (aspirational group) adalah kelompok yang ingin diikuti oleh orang itu. Kelompok disosiatif (dissociative group) adalah kelompok yang nilai dan perilakunya ditolak oleh orang tersebut. Jika pengaruh kelompok referensi kuat, pemasar menentukan cara menjangkau dan mempengaruhi pemimpin opini kelompok. Pemimpin opini adalah seseorang yang tergabung dalam kelompok referensi dan memiliki kemampuan khusus, pengetahuan, kepribadian, ataupun karakteristik tertentu sehingga memiliki pengaruh sosial terhadap orang lain (Kotler dan Armstrong, 2012). b) Keluarga Menurut Kotler dan Keller (2009), keluarga adalah organisasi pembeli yang paling penting dalam masyarakat. Anggota keluarga merepresentasikan kelompok referensi utama yang paling berpengaruh. Schiffman dan Kanuk (2008) mendefinisikan secara tradisional keluarga sebagai dua orang atau lebih yang dikaitkan oleh hubungan darah, perkawinan, atau adopsi yang tinggal bersama-sama. Para individu yang merupakan satu keluarga dapat digambarkan sebagai anggota kelompok sosial paling dasar yang hidup bersama-sama dan berinteraksi untuk memuaskan kebutuhan pribadi bersama. Ada dua keluarga dalam kehidupan pembeli. Pertama, keluarga orientasi (family of orientation) yang terdiri dari orang tua dan saudara kandung. Seseorang mendapatkan orientasi terhadap agama, politik, dan ekonomi serta rasa ambisi pribadi, harga diri, dan cinta dari orang tua. Pengaruh yang lebih langsung terhadap perilaku pembelian setiap hari adalah keluarga prokreasi (family of procreation) yang terdiri dari pasangan dan anak-anak (Kotler dan Keller, 2009). c) Peran dan status Seseorang berpartisipasi dalam banyak kelompok (keluarga, klub, organisasi). Kelompok sering menjadi sumber informasi penting dan membantu mendefinisikan norma perilaku. Posisi seseorang dalam tiap kelompok dapat didefinisikan berdasarkan peran dan status. Peran (role) terdiri dari kegiatan yang diharapkan dapat dilakukan seseorang. Setiap peran menyandang status (Kotler dan Keller, 2009). 3) Faktor pribadi Keputusan pembeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. Faktor pribadi meliputi usia dan tahap siklus hidup pembeli, pekerjaan dan keadaan ekonomi, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup dan nilai. a) Usia dan tahap siklus hidup Selera dalam makanan, pakaian, perabot, dan rekreasi sering berhubungan dengan usia. Konsumsi juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga, usia, serta jenis kelamin seseorang dalam keluarga pada satu waktu tertentu. b) Pekerjaan dan keadaan ekonomi Pekerja kerah biru akan membeli baju kerja, sepatu kerja, dan kotak makan. Presiden perusahaan akan membeli jas, perjalanan udara, dan keanggotaan country club. Pemasar berusaha mengidentifikasi kelompok pekerjaan yang mempunyai minat di atas rata-rata terhadap produk dan jasa mereka. Pilihan produk sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, seperti penghasilan yang dapat dibelanjakan (tingkat, stabilitas, dan pola waktu), tabungan dan asset, utang, kekuatan pinjaman, dan sikap terhadap pengeluaran dan tabungan. c) Kepribadian dan konsep diri Setiap orang mempunyai karakteristik pribadi yang mempengaruhi perilaku pembeliannya. Kepribadian (personality) adalah sekumpulan sifat psikologis manusia yang bersifat khas dan menjadi pembeda antara seseorang dengan seseorang lainnya atau suatu kelompok dengan kelompok lain. Kepribadian juga dapat menjadi variabel yang berguna dalam menganalisis pilihan merek konsumen (Kotler dan Armstrong, 2012). Ide bahwa merek mempunyai kepribadian menyebabkan konsumen mungkin memilih merek dengan kepribadian yang sesuai dengan mereka. Kepribadian merek (brand personality) dapat didefinisikan sebagai bauran tertentu dari sifat manusia yang dapat kita kaitkan pada merek tertentu. d) Gaya hidup dan nilai Orang-orang dari subbudaya dan kelas sosial yang sama mungkin mempunyai gaya hidup yang cukup berbeda. Menurut Kotler dan Keller (2009), gaya hidup (lifestyle) adalah pola hidup seseorang di dunia yang tercermin dalam kegiatan, minat, dan pendapat. Menurut Engel, dkk (1994) gaya hidup didefinisikan sebagai pola seseorang hidup dan menghabiskan waktu, serta uang. Gaya hidup menggambarkan interaksi “seseorang secara utuh” dengan lingkungannya. Keputusan konsumen juga dipengaruhi oleh nilai inti (core values), yaitu sistem kepercayaan yang mendasari sikap dan perilaku. Nilai inti lebih dalam daripada perilaku atau sikap dan menentukan pilihan dan keinginan seseorang pada tingkat dasar dalam jangka panjang (Kotler dan Keller, 2009). 4) Proses psikologi kunci Titik awal untuk memahami perilaku konsumen adalah model respons rangsangan yang diperlihatkan dalam gambar 1, rangsangan pemasaran dan lingkungan memasuki kesadaran konsumen, dan sekelompok proses psikologi digabungkan dengan karakteristik konsumen tertentu menghasilkan proses pengambilan keputusan dan keputusan akhir pembelian. Psikologi Konsumen Rangsangan Pemasaran Produk dan Jasa Harga Distribusi Komunikasi Motivasi Persepsi Pembelajaran Memori Rangsangan Lain Ekonomi Teknologi Politik Budaya Karakteristik Konsumen Budaya Sosial Pribadi Proses Keputusan Pembelian Keputusan Pembelian Pengenalan Masalah Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif Keputusan pembelian Perilaku pasca pembelian Pilihan produk Pilihan merek Pilihan penyalur Jumlah pembelian Waktu pembelian Metode pembayaran Gambar 1. Model Perilaku Konsumen (Kotler dan Keller, 2009) Tugas pemasar adalah memahami situasi yang terjadi dalam kesadaran konsumen antara kedatangan rangsangan pemasaran dari luar dan keputusan pembelian akhir. Empat proses psikologi kunci (motivasi, persepsi, pembelajaran, dan memori) mempengaruhi respons konsumen secara fundamental. a) Motivasi Menurut Kotler dan Armstrong (2012), motivasi adalah suatu konsep yang digunakan ketika dalam diri kita muncul keinginan dan menggerakkan serta mengarahkan tingkah laku. Menurut Schiffman dan Kanuk (2008), motivasi dapat digambarkan sebagai tenaga pendorong dalam diri individu yang memaksa mereka untuk bertindak.Tenaga pendorong tersebut dihasilkan oleh keadaan tertekan yang timbul sebagai akibat kebutuhan yang tidak terpenuhi. Kita semua mempunyai banyak kebutuhan pada waktu tertentu. Beberapa kebutuhan bersifat biogenik, yaitu kebutuhan yang timbul dari keadaan tekanan fisiologis seperti rasa lapar, rasa haus, atau rasa tidak nyaman. Kebutuhan lain bersifat psikogenik, yaitu kebutuhan yang timbul dari keadaan tekanan psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, atau rasa memiliki. Kebutuhan menjadi motif (motive) ketika kebutuhan itu meningkat sampai tingkat intensitas yang cukup sehingga mendorong kita bertindak. Motivasi dua arah terjadi ketika kita memilih satu tujuan di atas tujuan lainnya, sedangkan intensitas adalah energi yang kita gunakan untuk mengejar tujuan (Kotler dan Keller, 2009). b) Persepsi Persepsi (perception) adalah proses memilih, mengatur, dan menerjemahkan masukan informasi untuk menciptakan gambaran dunia yang berarti. Poin utamanya adalah bahwa persepsi tidak hanya tergantung pada rangsangan fisik, tetapi juga pada rangsangan terhadap keadaan sekitar dan kondisi diri seseorang. Dalam pemasaran, persepsi lebih penting daripada realitas, karena persepsi konsumen mempengaruhi perilaku aktual konsumen. Masing-masing orang bisa mempunyai persepsi berbeda tentang objek yang sama karena tiga proses pemahaman, yaitu atensi selektif, distorsi selektif, dan retensi selektif (Kotler dan Keller, 2009). c) Pembelajaran Ketika kita bertindak, kita belajar. Pembelajaran (learning) mendorong perubahan dalam perilaku kita yang timbul dari pengalaman. Sebagian besar perilaku manusia dipelajari, meskipun sebagian besar pembelajaran itu tidak sengaja. Ahli teori pembelajaran percaya bahwa pembelajaran dihasilkan melalui interaksi dorongan, rangsangan, pertanda, respons, dan penguatan (Kotler dan Keller, 2009). d) Memori Semua informasi dan pengalaman yang kita hadapi ketika kita menjalani hidup dapat berakhir di memori jangka panjang kita. Ahli psikologi kognitif membedakan antara memori jangka pendek (short term memory/STM) , yaitu tempat penyimpanan informasi temporer dan terbatas dan memori jangka panjang (long term memory/LTM), yaitu tempat penyimpanan yang lebih permanen dan pada dasarnya tak terbatas. Pandangan struktur memori jangka panjang yang paling diterima secara luas mengasumsikan kita membentuk beberapa model asosiatif, misalnya model memori jaringan asosiatif (associative network memory model) yang memandang LTM sebagai sekumpulan node dan penghubung. Node adalah informasi tersimpan yang dihubungkan dengan penghubung yang kekuatannya bervariasi. Kita dapat menganggap pengetahuan merek konsumen sebagai node dalam memori dengan berbagai asosiasi yang terhubung. Kekuatan dan organisasi asosiasi ini akan menjadi determinan penting dari informasi yang dapat kita ingat tentang merek. Asosiasi merek (brand association) terdiri dari semua pikiran, perasaan, persepsi, citra, pengalaman, kepercayaan, sikap, dan sebagainya yang berkaitan dengan merek dan berhubungan dengan node merek (Kotler dan Keller, 2009). 3. Proses keputusan pembelian: model lima tahap Proses psikologi dasar memainkan peranan penting dalam memahami cara konsumen membuat keputusan pembelian mereka. Schiffman dan Kanuk (2008), mendefinisikan keputusan sebagai seleksi terhadap dua pilihan alternatif atau lebih. Artinya, pilihan alternatif harus tersedia bagi seseorang ketika mengambil keputusan. Menurut Kotler dan Keller dalam bukunya Marketing Management (2009), peneliti pemasaran telah mengembangkan “model tingkat” proses keputusan pembelian. Konsumen melalui lima tahap proses, yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku pascapembelian. Proses pembelian dimulai jauh sebelum pembelian aktual dan mempunyai konsekuensi dalam waktu yang lama. Menurut Schiffman dan Kanuk (2008), model pengambilan keputusan konsumen tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kerumitan pengambilan keputusan konsumen. Model pengambilan keputusan konsumen dirancang untuk menyatukan dan menyelaraskan berbagai konsep yang relevan menjadi suatu keseluruhan yang berarti. Seperti yang dinyatakan dalam Kotler dan Keller (2009) bahwa ada lima tahapan dalam proses keputusan pembelian yang dapat digambarkan sebagai berikut : Pengenalan Kebutuhan Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif Keputusan Pembelian Perilaku Pasca pembelian Gambar 2. Model Lima Tahap Proses Pembelian Konsumen (Kotler dan Keller, 2009) a. Pengenalan masalah Proses pembelian dimulai ketika pembeli menyadari suatu masalah atau kebutuhan yang dipicu oleh rangsangan internal atau eksternal. Rangsangan internal merupakan salah satu kebutuhan normal seseorang, seperti rasa lapar dan haus. Rangsangan internal naik ke tingkat maksimum dan menjadi dorongan. Kebutuhan bisa juga timbul akibat rangsangan eksternal. b. Pencarian informasi Konsumen sering mencari jumlah informasi yang terbatas. Survei memperlihatkan bahwa untuk barang tahan lama, setengah dari semua konsumen hanya melihat satu toko, dan hanya 30% yang melihat lebih dari satu merek peralatan. Keadaan pencarian yang lebih rendah disebut perhatian tajam. Pada tingkat ini seseorang hanya menjadi lebih menerima terhadap informasi tentang sebuah produk. Pada tingkat berikutnya, seseorang dapat memasuki pencarian informasi aktif seperti mencari bahan bacaan, menelepon teman, melakukan kegiatan online, dan mengunjungi toko untuk mempelajari produk tersebut. Sumber informasi terdiri dari empat kelompok, yaitu : 1) Pribadi : Keluarga, teman, tetangga, rekan. 2) Komersial : Iklan, situs Web, wiraniaga, penyalurkemasan, tampilan. c. 3) Publik : Media massa, organisasi pemeringkat konsumen. 4) Eksperimental : Penanganan, pemeriksaan, penggunaan produk. Evaluasi alternatif Beberapa konsep yang akan membantu dalam memahami proses evaluasi antara lain, pertama, konsumen berusaha memuaskan sebuah kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk. Ketiga, konsumen melihat masing-masing produk sebagai sekelompok atribut dengan berbagai kemampuan untuk menghantarkan manfaat yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan ini. Konsumen akan memberikan perhatian terbesar pada atribut yang menghantarkan manfaat yang memenuhi kebutuhan. Melalui pengalaman dan pembelajaran, masyarakat mendapatkan keyakinan dan sikap. Selanjutnya, keyakinan dan sikap mempengaruhi perilaku konsumen. Konsumen sampai pada sikap terhadap berbagai merek melalui prosedur penilaian atribut. Konsumen mengembangkan sejumlah keyakinan saat masing-masing merek berdiri atas setiap atribut. Model ekspektansi nilai (expectancy-value model) pembentukan sikap menduga bahwa konsumen mengevaluasi produk dan jasa dengan menggabungkan keyakinan merek mereka baik secara positif dan negatif berdasarkan arti pentingnya. d. Keputusan pembelian Konsumen membentuk preferensi antar merek dalam kumpulan pilihan dalam tahap evaluasi. Konsumen mungkin juga membentuk maksud untuk membeli merek yang paling disukai. Dalam melaksanakan maksud pembelian, konsumen dapat membentuk lima subkeputusan antara lain, merek, penyalur, kuantitas, waktu, dan metode pembayaran. Jika konsumen membentuk evaluasi merek, dua faktor umum dapat mengintervensi antara maksud pembelian dan keputusan pembelian, seperti terlihat pada gambar berikut : Sikap orang lain Evaluasi alternatif Niat untuk membeli Keputusan pembelian Faktor situasi yang tidak diantisipasi Gambar 3. Langkah-langkah Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian (Kotler dan Keller, 2009) e. Perilaku pasca pembelian Setelah pembelian, konsumen mungkin mengalami konflik dikarenakan melihat fitur mengkhawatirkan tertentu atau mendengar halhal menyenangkan tentang merek lain dan waspada terhadap informasi yang mendukung keputusannya. Tugas pemasar tidak berakhir dengan pembelian. Beberapa perilaku setelah pembelian, antara lain : 1) Kepuasan pasca pembelian Kepuasan merupakan fungsi kedekatan antara harapan dan kinerja anggapan produk. Jika kinerja tidak memenuhi harapan, konsumen kecewa. Jika memenuhi harapan, konsumen puas. Jika melebihi harapan, konsumen sangat puas. Perasaan ini menentukan kemungkinan pelanggan membeli produk kembali dan membicarakan hal-hal menyenangkan atau tidak menyenangkan tentang produk itu kepada orang lain. 2) Tindakan pasca pembelian Jika konsumen puas, ia mungkin ingin membeli produk itu kembali. Di pihak lain, konsumen yang kecewa mungkin mengabaikan atau mengembalikan produk. Konsumen mungkin mencari informasi yang memastikan nilai produk yang tinggi. 3) Penggunaan dan penyingkiran pascapembelian Pemasar harus mengamati cara pembeli menggunakan dan menyingkirkan produk. Pendorong kunci frekuensi penjualan adalah tingkat konsumsi produk. Semakin cepat pembeli mengkonsumsi sebuah produk, semakin cepat konsumen kembali ke pasar untuk membelinya lagi. Menyingkirkan produk untuk sementara Produk Menyingkirkan produk untuk selamanya Mempertahankan produk Menyewakan produk Meminjamkan produk Menggunakan produk untuk melayani kebutuhan awal Mengubah produk untuk melayani tujuan baru Memberikan produk kepada orang lain Menukarkan produk Menjual produk Membuang produk Untuk dijual kembali Untuk digunakan Langsung kepada konsumen Melalui perantara Kepada perantara Menyimpan produk Gambar 4. Bagaimana Pelanggan Menggunakan atau Menyingkirkan Produk (Kotler dan Keller, 2009) 4. Kosmetik Definisi kosmetik berdasarkan peraturan Mentri Kesehatan RI No. 445/MenKes/Per/V/1998 adalah sediaan atau paduan bahan yang digunakan pada bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin bagian luar), gigi, dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. Komposisi utama dari kosmetik adalah bahan dasar yang berkhasiat, bahan aktif dan ditambah bahan tambahan lain seperti bahan pewarna, bahan pewangi, pada pencampuran bahan-bahan tersebut harus memenuhi kaidah pembuatan kosmetik ditinjau dari berbagai segi teknologi pembuatan kosmetik termasuk farmakologi, farmasi, kimia teknik, dan lainnya (Wasitaatmadja, 1997). Penggolongan menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 045/C/SK/1977 tanggal 22 Januari 1977 berdasarkan kegunaan dan lokalisasi pemakaian pada tubuh, kosmetika digolongkan menjadi 13 golongan : 1. Preparat untuk bayi; minyak bayi, bedak bayi, dan lainnya. 2. Preparat untuk mandi; minyak mandi, bath capsules, dan lainnya. 3. Preparat untuk mata; maskara, eye shadow, dan lainnya. 4. Preparat wangi-wangian; parfum, toilet water, dan lainnya. 5. Preparat untuk rambut; cat rambut, hairspray, pengeriting rambut, dan lainnya. 6. Preparat pewarna rambut; cat rambut, hairbleach, dan lainnya. 7. Preparat make-up (kecuali mata); pemerah bibir, pemerah pipi, bedak muka, dan lainnya. 8. Preparat untuk kebersihan mulut; mouth washes, pasta gigi, breath freshner, dan lainnya. 9. Preparat untuk kebersihan badan; deodorant, feminism hygiene spray, dan lainnya. 10. Preparat kuku; cat kuku, krim dan lotion kuku, dan lainnya. 11. Preparat cukur; sabun cukur, after shave lotion, dan lainnya. 12. Preparat perawatan kulit; pembersih, pelembab, pelindung, dan lainnya. 13. Preparat untuk suntan dan sunscreen; suntan gel, suntan screen foundation, dan lainnya. (Tranggono dan Latifah, 2007) 5. Whitening cream (krim pemutih) Pemutih kulit merupakan suatu bahan yang digunakan untuk mencerahkan atau mengubah warna kulit yang tidak diinginkan (Rieger, 2000). Beberapa krim pemutih mengandung pigmen putih untuk menutupi kulit dan para konsumen merasa kulitnya menjadi lebih putih, namun sebenarnya kulit mereka hanya terlihat lebih putih saja akibat efek pelapisan pigmen putih pada lapisan terluar kulit dan tidak ada pengurangan pada kadar pigmen kulit yang sebenarnya. Krim pemutih yang mengandung bahan yang dapat mengganggu produksi pigmen merupakan krim yang dianggap paling efektif (Naitalia, 2014). Berdasarkan cara penggunaannya produk pemutih kulit dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Skin Bleaching Skin bleaching merupakan roduk whitening yang mengandung bahan aktif yang kuat, yang berfungsi memudarkan noda-noda hitam pada kulit. Cara penggunaan produk tersebut adalah dengan mengoleskan tipistipis pada daerah kulit dengan noda hitam, tidak digunakan secara merata pada kulit dan tidak digunakan pada siang hari. b. Skin Lightening Skin lightening merupakan produk perawatan kulit yang digunakan dengan tujuan agar kulit pemakai tampak lebih putih, cerah, dan bercahaya. Produk whitening kategori ini dapat digunakan secara merata pada seluruh permukaan kulit (Naitalia, 2014). Menurut Dover dalam Skin Therapy Letter, Cosmeceuticals: A Practical Approach (2008), hidrokuinon, aloesin, arbutin, azelaic acid, asam glikolat, kojic acid, ekstrak licorice, n-acetyl glucosamine, dan vitamin C adalah beberapa agen pencerah. Hidrokuinon efektif dan digunakan secara luas untuk mencerahkan kulit yang kelihatan gelap akibat bintik, melasma, titik-titik penuaan, dan cholasma. Sebagai pengobatan melasma, post inflammatory hyperpigmentation, antioksidan bekerja dengan menghambat konversi tirosin ke melanin. Sejak tahun 1982, FDA (Food and Drug Administration) menetapkan produk obat bebas atau kosmetik pemutih atau pencerah kulit yang mengandung 1,5 – 2 % hidrokuinon dikategorikan sebagai produk yang secara umum diakui aman dan efektif (Generally Recognized As Safety and Effective/GRASE). Seiring dengan banyaknya efek samping yang ditimbulkan akibat pemakaiannya, negara-negara lain seperti Jepang, Kanada, Australia, Inggris, dan Uni Eropa telah melarang penggunaan hidrokuinon sebagai pemutih atau pencerahkulit. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sejak tahun 2008 yaitu Peraturan Kepala Badan POM Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik menyatakan hidrokuinon sebagai bahan kosmetik hanya boleh digunakan untuk pengoksidasi warna pada pewarna rambut dengan kadar maksimum 0,3% dan untuk kuku artifisial dengan kadar maksimum 0,02% setelah pencampuran sebelum digunakan dan hanya boleh digunakan oleh tenaga profesional (Kementrian Kesehatan, 2013). F. Kerangka Konsep Faktor psikologi : Motivasi Persepsi Pembelajaran Memori Faktor budaya : Budaya Subbudaya Kelas sosial Keputusan Pembelian Faktor sosial : Kelompok referensi Keluarga Peran dan status Faktor pribadi : Usia dan tahap siklus hidup Pekerjaan dan keadaan ekonomi Kepribadian dan konsep diri Gaya hidup dan nilai Gambar 5. Kerangka konsep G. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran pertimbangan pembelian whitening cream oleh siswi SMAN 2, 3, dan 8 Yogyakarta berdasarkan teori perilaku konsumen dilihat dari faktor sosial dan faktor psikologi, serta mendapatkan gambaran tahap proses keputusan pembelian, dan pola penggunaan produk whitening cream yang diperoleh dari data faktual responden.