BAB II_2007syr

advertisement
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Off-Odor
Secara umum off-odor pada bahan pangan dapat dipahami sebagai odor
atau bau yang tidak diharapkan atau yang tidak semestinya terdapat pada bahan
tersebut. Off-odor dapat pula dimaksudkan sebagai odor yang menyebabkan
adanya penolakan terhadap bahan pangan. Odor atau bau yang menyebabkan
suatu bahan pangan tidak disukai, oleh Kilcast (1993) dibedakan antara yang
disebut dengan “taint” dan yang “off-odor”. Taint didefinisikan sebagai bau asing
pada bahan pangan. Bau ini terjadi karena ada suatu substansi dari luar masuk
mencemari bahan pangan. Dengan adanya substansi asing menyebabkan bau
yang dihasilkan menjadi tidak menyenangkan.
Sebaliknya, off-odor diartikan
sebagai odor atau bau yang tidak disukai yang dihasilkan oleh bahan pangan itu
sendiri.
Dalam perspektif ilmu pangan khususnya yang mempelajari cita rasa atau
flavor bahan pangan, odor merupakan bagian yang terintegrasi dalam kinerja
sensasi manusia secara menyeluruh yang menghasilkan sensasi terhadap suatu
bahan pangan. Pengetahuan terhadap baurasa atau cita rasa (flavor) menjadi
penting karena telah diketahui bahwa kesukaan atau penerimaan manusia
terhadap suatu bahan pangan bukan semata-mata ditentukan oleh nilai
nutrisinya saja, akan tetapi sangat dipengaruhi pula oleh keberadaannya untuk
menimbulkan rangsangan manusia sehingga menghasilkan suatu sensasi cita
rasa terhadap bahan pangan tersebut. Bahkan rangsangan cita rasa ini menjadi
sangat penting dan yang paling umum dalam memberi pengaruh dan kesan awal
bagi manusia ketika akan mengambil keputusan untuk mengkonsumsi atau tidak
mengkonsumsi bahan pangan itu.
Pada kondisi normal, sensasi cita rasa melibatkan integrasi kerja dari
komponen indera manusia, baik dalam sistem fisiologis ataupun psikoligis
(Thomson 1986; Hui 1992). Indera manusia terdiri atas indera pencecap (lidah),
penghidu (hidung), penglihatan (mata), pendengaran (telinga), dan peraba (kulit).
Thomson (1986) mendefinisikan cita rasa sebagai pengalaman manusia yang
utuh yang timbul akibat adanya stimulasi terhadap indera perasa dan penghidu,
serta indera lainnya. Kesan flavor dari bahan makanan yang tertangkap oleh
indera, akan terekam dalam otak manusia sebagai penanda sifat bahan tersebut.
Dengan pengertian seperti itu, flavor dipandang sebagai suatu fenomena yang
6
terjadi atau muncul sebagai akibat dari adanya interaksi antara makanan dan
manusia.
Sensasi rasa (taste) ditimbulkan oleh senyawa-senyawa kimia yang
mudah larut atau yang tidak volatil (non-volatile). Sensasi ini diterima oleh indera
pencecap (lidah). Empat rasa dasar yang umum dikenal oleh manusia yaitu
manis, pahit, asam, dan asin. Kemudian sejalan dengan perkembangan budaya
manusia, diperkenalkan pula satu jenis rasa yang disebut dengan rasa umami
(lezat).
Berbeda dengan rasa,
senyawa yang bersifat volatil.
sensasi bau (odor) dihasilkan dari senyawaRangsangan senyawa-senyawa penghasil bau
ditangkap oleh indera penghidu atau penciuman (hidung) yang kemudian
diteruskan ke saraf-saraf pusat. Pada awalnya manusia hanya mengenal empat
jenis bau, yakni harum, asam, tengik, dan hangus.
menjadi tujuh.
Setelah itu berkembang
Bahkan sekarang ini telah teridentifikasi tidak kurang dari 50
sensasi odor (Tortora dan Anagnostakos 1990).
Jenis bau yang tertangkap
merupakan akibat dari pengaruh satu senyawa saja atau kombinasi dari berbagai
ratusan senyawa flavor yang hingga kini telah teridentifikasi, misalnya untuk
flavor daging sapi terdapat lebih dari 1000 senyawa volatil (Mottram 1998), untuk
daging ayam tidak kurang dari 450 senyawa volatil (Chen dan Ho 1998).
Perhatian dan kewaspadaan manusia terhadap sesuatu yang hendak
dimakan, umumnya bermula dari penciuman.
Setelah makanan dikunyah di
dalam mulut, sejumlah senyawa volatil dari makanan tersebut akan mengalir
dalam rongga mulut, dan masuk pula ke rongga hidung dan ditangkap oleh epitel
olfaktori (Gambar 1).
Kedinamisan proses-proses biologis, kimia, dan fisika yang berlangsung
di dalam ataupun yang berasal dari luar bahan pangan akan sangat
mempengaruhi kondisi flavornya. Bilamana pengaruh itu sampai menimbulkan
flavor yang berbeda dari kesan yang telah dikenal dari bahan itu, maka flavor
tersebut dikategorikan sebagai flavor yang menyimpang yang diistilahkan dengan
sebutan off-flavor (Nii 1978; Kilcast 1993). Penyimpangan flavor yang berkaitan
dengan penyimpangan rasa diberi istilah off-taste; sedangkan yang berkaitan
dengan bau, off-odor.
7
cribriform
bulbus
olfaktori
rongga
turbinatas
glomeruli
saraf ke pusat
olfaktori
epitel
olfaktori
Gambar 1 Anatomi sistem olfaktori. Sinyal dihasilkan oleh sekitar
1000 jenis sel-sel sensori yang melalui cribriform masuk
ke dalam bulbus olfaktori dimana akan disaring melalui
glomeruli sebelum diteruskan ke pusat olfaktori yang lebih
tinggi (Meilgaard et al. 1999).
Penetapan batas cita rasa antara flavor dan off-flavor seringkali tidak
mudah untuk dilakukan.
Dari bahan makanan yang sama, bisa kepada
seseorang menimbulkan sensasi flavor, tetapi kepada orang yang lain, off-flavor.
Hal seperti ini menyebabkan pemahaman terhadap flavor dan off-flavor
dipandang sebagai sesuatu yang bersifat subyektif.
Oleh sebab itu dalam
mempelajari flavor dan off-flavor, penetapannya dilakukan berdasarkan indikasi
yang berlaku secara umum dalam suatu masyarakat (Bernardo-Gil 1997).
Beberapa kesan off-flavor bahan pangan yang seringkali merupakan masalah
bagi konsumen yaitu seperti desinfektan, basi, berlumut, bau tanah, bau feses,
rasa logam (metalik), amis, bau cat, dan bau plastik.
Meskipun dampak negatif off-flavor dalam industri pangan sangat
signifikan, senyawa pembentuknya merupakan komponen yang sangat kecil
dibandingkan dengan senyawa-senyawa lain dalam susunan komposisi zat-zat
makanannya.
Menurut Teranishi (1978), komponen senyawa-senyawa flavor
dalam suatu bahan makanan berkisar antara 10-6 sampai 10-14 persen. Hal ini
8
jauh lebih kecil dibandingkan dengan komponen zat-zat makanan lain seperti
protein, lipid, karbohidrat, ataupun air, yang dapat mencapai 25 sampai 95
persen.
Oleh
karena
itu
penelitian-penelitian
yang
ditujukan
untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa off-flavor seringkali merupakan tantangan
utama bagi peneliti pangan, yang dalam melaksanakan penelitian-penelitian
tersebut sangat memerlukan penggunaan beberapa instrumen canggih seperti
gas kromatografi (GC) atau
kombinsasi gas kromatografi dan spektrometer
massa (GC-MS).
Faktor Penentu Karakteristik dan Penyebab Off-odor pada Daging
Secara umum, pembentukan karakteristik off-odor pada daging dari
setiap spesies ternak disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti: genetik, pakan,
perubahan kimia dalam daging, kontaminasi dengan lingkungan, dan aktivitas
mikroorganisme (Sink 1979; Heath dan Reineccius 1986). Beberapa dari faktor
tersebut dapat dimodifikasi atau dikontrol secara teknis atau relatif sedikit lebih
mudah, namun ada beberapa faktor yang untuk mengatasinya memerlukan
kajian yang lebih mendalam dan prinsipil. Faktor-faktor penyebab off-odor akibat
terkontaminasi dengan lingkungan, seperti terkontaminasi dengan udara, air,
atau bahan-bahan kimia (desinfektan, detergen), dalam mengatasinya lebih
memerlukan pendekatan manajemen. Sedangkan, bilamana hal itu dipengaruhi
oleh faktor genetis atau perubahan-perubahan dalam daging, maka untuk
mengatasinya diperlukan suatu penelitian yang cermat (Mottram 1998).
Faktor Genetik (Spesies)
Sumbangan faktor genetik yang meliputi spesies dan jenis kelamin ternak
terhadap sensasi off-odor daging merupakan faktor yang memberi karakteristik
spesifik off-odor bagi setiap spesies ternak (MacLeod 1986).
Karakterisasi
dengan analisis sensori oleh Bailey et al. (1992) diperoleh bahwa terdapat
perbedaan odor yang signifikan yang dihasilkan dari pemanasan lemak sapi,
babi, dan domba.
Kesimpulan dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa
lemak domba yang didominasi oleh asam-asam lemak jenuh menghasilkan
sedikit senyawa-senyawa karbonil; sedangkan, lemak babi yang kaya asamasam lemak tidak jenuh lebih banyak memproduksi senyawa-senyawa karbonil.
Dua jenis off-odor yang sangat berhubungan dengan spesies ternak, yaitu “boar
taint” (bau jantan) pada ternak babi, dan “lamb odor” pada domba.
9
Pada daging yang berasal dari ternak babi jantan yang tidak dikastrasi
terdeteksi suatu jenis off-odor khas, yang baunya dideskripsi seperti bau keringat
atau bau urin. Bau yang tidak disukai ini disebut sebagai bau jantan atau yang
dikenal dalam beberapa istilah seperti boar taint, boar odor, atau male sex odor
(Bailey et al. 1992). Bau ini sangat terkait dengan fraksi nonsaponifabel yang
terkandung dalam jaringan lemak babi jantan. Reineccius (1979) menyebutkan
beberapa senyawa yang sudah diidentifikasi berperan sebagai penyebab odor
boar taint adalah C19-16-ene steroid, 5α-androst-16-ene-3-one (androstenon),
dan 3α-hydroxy-5α-androst-16-ene.
Menurut Bailey et al. (1992) senyawa
C19-16 steroid disintesis di dalam sel-sel Leydig testes dan diangkut untuk
disimpan ke dalam jaringan adiposa. Dalam penelitian terbaru diperoleh bahwa
boar odor disebabkan pula oleh beberapa senyawa lain, yaitu: androstenon,
skatol, dan indol.
Bahkan dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa
androstenon dan skatol merupakan dua senyawa yang sangat dominan dalam
menghasilkan boar odor.
Analisis korelasi yang dilakukan didapatkan bahwa
koefisien korelasi antara level androstenon lemak
dan intensitas boar taint
berkisar 0.4 sampai 0.7 (Nijssen 1991; Babol et al. 1999).
Analisis terhadap penyebab off-odor pada daging domba ditemukan
bahwa komponen asam-asam lemak sangat bertanggung jawab.
Reineccius
(1979) melaporkan bahwa komponen asam-asam lemak yang dideteksi dengan
spektrometer massa dan diverifikasi melalui pengujian organoleptik, semuanya
menunjukkan asam 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat terlibat dalam
pembentukan mutton odor.
Semakin dewasa umur domba, semakin tinggi
intensitas mutton odor tersebut.
Pengaruh mutton odor ini sangat jelas terlihat pada industri peternakan
domba di Amerika Serikat.
Keterbatasan dalam meningkatkan permintaan
konsumen terhadap daging domba sangat disebabkan oleh adanya mutton odor,
odor yang sangat tidak disukai oleh sebagian besar konsumen daging di negara
tersebut (Reineccius 1979; Bailey et al. 1992).
Secara teoritis, Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa flavor karakteristik
domba terkonsentrasi pada jaringan-jaringan adiposa. Namun ada pendapat lain
yang menyebutkan bahwa flavor tersebut berasal dari hidrolisis protein dan
bahkan tidak terkait sama sekali dengan lemak. Pendapat demikian didukung
oleh beberapa penelitian yang memperlihatkan bahwa senyawa-senyawa yang
mengandung sulfur merupakan komponen penting dalam penghasil mutton odor
10
pada domba. Juga dikemukakan bahwa domba membutuhkan sulfur yang cukup
tinggi dalam pakannya, yang diperlukan untuk produksi wool.
Kajian terhadap asam lemak 4-metil oktanoat dan 4-metil nonanoat,
diperoleh bahwa kedua asam lemak tersebut terdeteksi pula pada daging
kambing. Meskipun demikian karena levelnya yang berbeda, off-odor dari kedua
daging tersebut berbeda pula (Bailey et al. 1992).
Penelitian yang dilakukan oleh Intarapichet et al. (1994) terhadap ternak
kambing untuk mempelajari pengaruh genetik terhadap karakteristik sensori
memperlihatkan bahwa perbedaan genetik menghasilkan sifat aroma yang
berbeda. Aroma daging yang berasal dari kambing anglo-nubian lebih disukai
daripada aroma dari daging kambing lokal.
Analisis organoleptik dengan uji
skalar garis sepanjang enam inch (sekitar 15 cm), diperoleh bahwa intensitas
flavor pahit (pungent) lebih tinggi pada daging kambing lokal (2.77) dibandingkan
dengan yang terdapat pada daging kambing anglo-nubian (2.11).
Perbedaan flavor dan odor pada berbagai spesies ternak unggas lebih
diakibatkan oleh komposisi kimia daging, terutama kandungan lemaknya. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lukman (1995) yang
melaporkan terdapat perbedaan komposisi kimia daging yang sangat nyata
antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Melalui hasil penelitian tersebut diperoleh
bahwa kadar lemak itik, terutama lemak intramusculer, sangat nyata (p < 0.01)
lebih tinggi daripada kadar lemak ayam.
Penelitian Abdelsamie dan Farrell (1985) menyimpulkan bahwa bangsabangsa (breed) itik lokal mempunyai lemak daging lebih rendah daripada
bangsa-bangsa itik moderen.
Selain dipengaruhi oleh jenis bangsa, menurut
Abdelsamie dan Farrell (1985), perbedaan komposisi lemak daging pada itik
dipengaruhi pula oleh umur dan jenis kelamin. Proses pembentukan lemak pada
itik betina umumnya lebih awal daripada itik jantan. Sampai umur lima minggu,
pembentukan lemak tubuh pada itik peking betina lebih tinggi daripada itik peking
jantan.
Setelah itu laju pembentukan lemak tubuh pada betina menurun,
sebaliknya pada yang jantan meningkat. Meskipun demikian, hasil analisis ini
masih kontraversial hingga sekarang.
Perbandingan komposisi asam-asam lemak pada itik dari beberapa hasil
penelitian dan dibandingkan dengan ternak ayam diperlihatkan pada Tabel 1.
Pada tabel ini terlihat bahwa secara rata-rata ternak itik memiliki kandungan
11
asam-asam lemak jenuh lebih tinggi daripada ternak ayam, sebaliknya rendah
pada asam-asam lemak tidak jenuh.
Tabel 1 Komposisi asam-asam lemak pada daging ayam broiler vs itik
A1)
Asam-asam Simbol
Lemak
Ayam
B2)
C3)
D4)
Itik
Paha
Itik (k)
Dada
Itik (k)
Itik
(k)
Itik
(tk)
Itik
(k)
JENUH (SFA):
Miristat
14 : 0
0.6
0.7
1.16
1.16
0.2
0.5
0.7
Palmitat
16 : 0
14.8
26.0
25.9
26.4
21.4
28.3
26.0
Stearat
18 : 0
6.8
8.25
6.07
5.25
5.6
17.9
8.7
Palmitoleat
16 : 1
2.4
4.0
2.21
1.73
4.8
5.1
4.2
Oleat
18 : 1
25.9
46.2
41.2
39.9
52.8
30.6
45.4
Linoleat
18 : 2
42.6
12.95
19.5
22.2
14.3
15.1
12.7
Linolenat
18 : 3
5.4
1.0
0.55
0.67
0.6
1.9
1.1
Total SFA
22.2
34.95
33.13
32.81
27.2
46.7
35.4
Total UFA
76.3
64.15
63.46
64.50
72.5
52.7
63.4
MUFA:
PUFA
1)
Abdelsamie dan Farrell (1985); 2)Hustiany (2001); 3)Pereira dan Stadelman
(1976); 4)Decker dan Cantor (1992).
K: kulit, tk: tanpa kulit, SFA: saturated fatty acid (asam lemak jenuh),
UFA: unsaturated fatty acid (asam lemak tidak jenuh), MUFA: Monounsaturated
Fatty Acids, PUFA: Polyunsaturated Fatty Acids.
Abdelsamie dan Farrell (1985) juga melaporkan bahwa pada umur enam
minggu, kandungan lemak itik alabio betina lebih tinggi daripada alabio jantan,
tetapi pada umur 16 minggu terjadi sebaliknya. Pola ini berbeda pada itik hasil
persilangan. Kandungan lemak pada itik jantan hasil persilangan peking dan
alabio pada umur enam minggu lebih rendah, kemudian pada umur 10 minggu
meningkat, akan tetapi pada umur 16 minggu kandungan lemak betinanya lebih
tinggi. Pola ini berbeda pula pada itik hasil persilangan entok (Cairina moschata)
dan alabio. Pada ternak hasil persilangan entok dan alabio, sejak umur enam
minggu sampai dipotong pada umur 16 minggu, kandungan lemak ternak
betinanya lebih tinggi daripada yang jantan.
Penelitian yang dilakukan oleh
12
Hartatie et al. (1987) memperlihatkan bahwa secara rata-rata persentase
kandungan lemak daging pada itik mojosari betina pada berbagai umur
pemotongan lebih tinggi daripada yang jantan; meskipun untuk bobot karkas, itik
mojosari jantan lebih besar.
Itik Alabio (Anas platyrynchos borneo).
Itik ini merupakan salah satu
galur itik lokal Indonesia yang sudah cukup lama dikenal. Meskipun tergolong
sebagai jenis itik penghasil telur, itik alabio juga memiliki potensi yang sangat
baik sebagai penghasil daging. Nama itik ini diambil dari nama sebuah daerah di
Kalimantan yaitu tepatnya Kecamatan Alabio yang terletak di Kabupaten Hulu
Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan. Wilayahnya berawa dan beriklim
hutan hujan tropis. Tempat ini merupakan daerah pengembangan utama dan
pusat pemasaran itik alabio (Wasito dan Rohaeni 1994).
Potensi itik alabio yang besar, baik sebagai penghasil telur maupun
daging, menyebabkan itik ini mulai dikembangkan pula di wilayah Pulau Jawa
berdampingan dengan itik-itik lokal yang ada di daerah tersebut. Penelitian yang
dilakukan oleh Brahmantijo dan Prasetyo (2002) mendapatkan bahwa itik alabio
memiliki daya tetas hampir mencapai rata-rata 49%, hal ini sangat nyata lebih
tinggi (P < 0.01) dibandingkan dengan daya tetas itik mojosari (salah satu itik
lokal di Pulau Jawa) yang hanya mencapai sekitar 41%. Bahkan Setioko dan
Rohaeni (2002) melaporkan bahwa kemampuan daya tetas itik alabio mencapai
sekitar 67%.
Gambar 2 Itik jantan alabio anak dan dewasa.
13
Secara morfologi, itik alabio ini sangat mudah dibedakan dengan itik lokal
jawa pada umumnya.
Itik alabio yang masih anak (umur 1-2 minggu), bulu
bagian leher, dada dan perut berwarna kuning, sedangkan bulu sayap dan
punggungnya berwana coklat. Setelah dewasa, bulu kuning pada bagian leher
berubah menjadi keputihan, bagian dada coklat cerah, sedangkan bulu bagian
punggungnya keabu-abuan, dan di ujung-ujung sayapnya terdapat kombinasi
warna hijau kebiru-biruan. Warna paruh dan shank-nya kuning.
Mengoptimalkan potensi itik alabio yang dipelihara di Pulau Jawa, para
peternak dan juga beberapa peneliti menyilangkannya dengan itik-itik lokal yang
berasal dari Pulau Jawa itu sendiri, salah satunya yaitu dengan itik mojosari.
Hasil persilangan kedua jenis itik lokal ini disebut dengan nama itik MA. Itik MA
sebagai hasil persilangan ini memiliki nilai konversi pakan yang lebih baik dari
kedua tetuanya, yaitu itik alabio dan itik mojosari (Ketaren dan Prasetyo 2002).
Itik Cihateup (Anas platyrynchos javanica). Sesuai dengan namanya,
itik ini berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten
Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Selain di Kabupaten Tasikmalaya, itik ini juga
berkembang pesat di Kabupaten Garut.
Oleh masyarakat setempat itik ini
disebut juga dengan nama itik gunung, karena ternak ini mampu beradaptasi
dengan baik pada suhu dingin daerah pegunungan.
Gambar 3 Itik cihateup anak dan dewasa.
14
Dari potensi produksi, itik cihateup lebih ditujukan sebagai itik petelur,
dengan kemampuan produksi sekitar 200 butir/tahun. Akan tetapi kemampuan
pertumbuhan yang cukup baik pada ternak jantannya, itik ini mulai dikembangkan
pula sebagai penghasil daging. Bobot potong itik cihateup jantan berkisar antara
1470 – 1550 gram, dengan nilai konversi ransum sekitar 6.7 (Wulandari et al.
2005).
Berdasarkan ciri-ciri fisik secara umum, itik cihateup mirip dengan itik-itik
jawa lainnya, seperti itik kerawang, itik cirebon ataupun itik tegal. Walaupun
demikian, secara genetik terdapat sedikit keragaman di antara itik-itik tersebut
(Muzani 2005). Bulu itik cihateup berwarna coklat, sedangkan paruh dan shanknya berwarna hitam. Warna itik cihateup jantan dewasa lebih gelap, bahkan bulu
disekitar kepala mengarah kehitaman; akan tetapi yang betina, warna bulunya
lebih cerah. Bentuk badan itik cihateup serupa dengan itik jawa pada umumnya,
yakni berbadan langsing seperti botol, dengan leher bulat panjang. Kalau
berjalan lebih tegak dibandingkan dengan itik alabio. Lebih dekatnya kesamaan
sifat antara itik cihateup dengan beberapa itik di sekitar Jawa Barat dan Jawa
Tengah dibandingkan dengan itik alabio, sebab dalam dendogram, jarak genetika
antara itik cihateup dengan itik-itik lokal yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa
Tengah lebih dekat dibandingkan antara itik cihateup dengan itik alabio (Hetzel
1985).
Beberapa ukuran tubuh itik cihateup, misalnya lingkar dada, lebih besar
dari itik cirebon maupun itik mojosari (Muzani 2005), dapat menjadi indikasi
bahwa itik cihateup memiliki cukup potensi penghasil daging yang lebih baik
daripada itik cirebon dan mojosari.
Faktor Pakan
Pembentukan off-odor yang dipengaruhi oleh pakan lebih sering dan
mudah terjadi pada unggas. Bau apek atau amis dapat dengan sangat mudah
dirasakan pada telur maupun daging broiler bilamana pakan yang diberikan
kepada ternaknya berpotensi menghasilkan senyawa-senyawa off-odor itu. Bau
amis atau anyir pada daging kalkun yang disebabkan oleh pakan yang
mengandung tepung ikan atau minyak ikan yang relatif tinggi, sudah mulai
diketahui pada tahun 1937 (Asmundson dan Jukes 1938); bahkan, pada daging
ayam, bau tersebut sudah dikenal sejak tahun 1926 (Marble et al. 1938).
Pengaruh tepung dan minyak ikan terhadap produksi off-odor pada daging ayam
15
dilaporkan pula oleh Hardin et al. (1964) yang menyebutkan bahwa produksi offodor dapat dideteksi pada ransum yang berkomposisi kombinasi 15% tepung
ikan dan 1.5% minyak ikan.
Dari sejumlah penelitian yang sudah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa pengaruh tepung ikan jauh lebih rendah dibandingkan
dengan minyak ikan dalam menghasilkan off-odor pada daging.
Hal ini juga
dibuktikan oleh Fry et al. (1965) yang memperlihatkan bahwa pemakaian tepung
ikan sampai 25.25 % sebagai pengganti 100% tepung kedelai, tetapi tanpa
menggunakan minyak ikan, tidak menghasilkan bau amis pada daging broiler.
Selain disebabkan oleh ransum yang mengandung tepung atau minyak
ikan yang tinggi, bau anyir (fishy) dapat juga terjadi dari bahan-bahan makanan
lain, terutama biji-bijian yang mengandung minyak yang tinggi. Hawrysh et al.
(1975) melaporkan bahwa penggunaan rapeseed sebanyak 10% dalam ransum
ayam petelur White Plymouth Rocks menyebabkan adanya bau amis yang dapat
terdeteksi pada telurnya. Demikian pula Bailey et al. (1992) menyebutkan bahwa
pemberian beberapa jenis pakan seperti kedelai mentah, minyak kanola, rumputrumput pastura dapat menghasilkan flavor yang tidak disukai konsumen pada
daging-daging merah, seperti sapi, domba, dan kambing. Sejumlah penelitian
yang dirangkum oleh Bailey et al. (1992) memperlihatkan bahwa daging sapi
yang berasal dari ternak yang digemukkan dengan hijaun berenergi rendah
seringkali memiliki flavor yang menyimpang, seperti grassy, milky-oily, sour,
fishy, sweet, dan gamey.
untuk mengatasi hal ini, seringkali peternak harus
memberi tambahan biji-bijian kepada ternak sapi, baik yang dipelihara di pastura
ataupun pada sistem feedlot.
Pengaruh jenis pakan dalam menghasilkan off-flavor pada daging sapi
yaitu dengan adanya perubahan-perubahan kimia dalam daging sapi, seperti
perubahan kandungan karbohidrat atau komposisi asam-asam lemak daging.
Pemberian jagung berenergi tinggi dapat menghasilkan daging sapi dengan
kandungan glikogen dan gula tereduksi yang sangat tinggi.
Pada proses
glikolisis anaerobik saat postmortem, glikogen daging akan diubah menjadi asam
laktat yang menyebabkan daging menjadi terasa asam. Hal serupa diperlihatkan
pula oleh Bou et al. (2001) bahwa jenis sumber lemak pakan mempengaruhi
komposisi asam lemak daging dan kestabilan oksidatif, yang pada akhirnya ikut
menentukan terbentuknya off-odor pada daging. Pendapat yang agak berbeda
dijumpai dalam penelitian Ruiz et al. (2001) yang menyimpulkan bahwa untuk
masa penyimpanan daging ayam broiler yang relatif pendek, perbedaan jenis
16
lemak berdasarkan derajat ketidakjenuhannya tidak begitu berpengaruh terhadap
ketengikan. Meskipun dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa daging ayam
broiler yang berasal dari ternak yang disuplementasi dengan vitamin E
menghasilkan derajat ketengikan yang lebih rendah daripada daging dari ternak
yang tidak diberi suplementasi vitamin E.
Bailey et al. (1992) melaporkan bahwa asam-asam lemak merupakan
sumber utama flavor daging sapi yang terbentuk dari senyawa-senyawa karbonil.
Oksidasi yang terjadi pada asam-asam lemak tidak jenuh pada daging
menghasilkan off-odor.
Sebagai contoh, bau grassy pada daging sapi
merupakan akibat terdegradasinya asam-asam lemak tidak jenuh ganda (ALTJG)
karena pemanasan.
Pengamatan yang dilakukan pada domba memperlihatkan bahwa ternak
yang lebih banyak diberi leguminosa (misalnya: clover, alfalfa) mempunyai
intensitas off-odor yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi rumputrumputan.
Demikian pula, daging domba yang berasal dari ternak yang
mengkonsumsi biji-bijian, flavornya lebih disukai daripada yang mengkonsumsi
leguminosa.
Namun pemberian biji-bijian yang berlebihan, terutama yang
berenergi tinggi, akan mempengaruhi komposisi asam-asam lemak pada lemak
subkutan domba, yang menyebabkan lemak tersebut menjadi lunak dan
berminyak (Young dan Braggins 1998).
Cendawan Pithomyces chartarum yang banyak tumbuh pada bahanbahan pakan di pastura telah teridentifikasi sebagai salah satu penyebab off-odor
pada daging domba.
tampak
pada
Meskipun demikian, kejadian oleh cendawan ini hanya
saa-saat
tertentu,
yaitu
pada
musim
yang
cocok
bagi
pertumbuhannya (Bailey et al. 1992).
Seperti pada unggas, pemberian ransum dengan kandungan tepung ikan
yang berlebihan kepada ternak babi dapat juga menghasilkan off-flavor pada
dagingnya. Hasil penelitian pada ternak babi yang dilaporkan oleh Bailey et al.
(1992) merekomendasikan bahwa untuk mencegah munculnya off-flavor,
pemberian tepung ikan tidak melebihi dari 5% dalam ransum.
Tetapi pada
penelitian yang menggunakan tepung silase ikan, diperoleh bahwa penggantian
tepung kedelai dengan tepung silase ikan sampai pada tingkat 9% tidak
megubah flavor daging babi.
17
Perubahan Kimia
Pembentukan off-flavor atau khususnya off-odor pada bahan pangan
secara umum, termasuk daging, dapat berlangsung karena terjadi perubahanperubahan atas komponen-komponen organik yang terkandung dalam bahan
pangan tersebut.
Perubahan-perubahan seperti itu dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu oksidasi lipid, pencoklatan nonenzimatik, perubahan
enzimatis, dan reaksi fotokatalisis (Heath dan Reineccius 1986).
Pada daging, pembentukan off-odor karena adanya perubahan kimia
lebih banyak disebabkan oleh oksidasi lipid, dibandingkan dengan karena proses
yang lain. Berlangsungnya oksidasi lipid pada daging menurut Apriyantono dan
Lingganingrum (2002) secara garis besar dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti: komposisi asam lemak daging, kandungan prooksidan dan antioksidan,
dan temperatur. Mekanisme pembentukan off-odor melalui proses oksidasi lipid
yang lebih rinci akan dibahas dalam bagian berikut dari bab Tinjauan Pustaka ini.
Dua jenis off-odor penting pada daging yang dapat terjadi akibat oksidasi
lipid yaitu ketengikan (rancidity) dan warmed-over flavor (WOF). Oksidasi lipid
pada daging menjadi masalah yang sangat serius, karena dengannya terjadinya
penurunan kualitas daging, yang bukan saja karena adanya penyimpangan
terhadap flavor, tetapi juga karena terkait dengan adanya perubahan di dalam
tekstur dan warna daging, yang berkonsekuensi pada penolakan konsumen
terhadap daging tersebut.
Reaksi pencoklatan nonenzimatis sekalipun berperan penting dalam
pembentukan flavor aroma, namun tidak jarang pula, reaksi tersebut menjadi
penyebab munculnya off-odor pada bahan pangan. Off-odor yang terjadi melalui
reaksi ini, seringkali dijumpai pada daging yang diproses dengan teknologi
pengalengan.
Off-odor yang menjadi karakteristik dari reaksi pencoklatan
enzimatik diistilahkan dengan stale, atau hilangnya sifat segar pangan.
Dua
senyawa kimia yang paling berkontribusi melalui proses pencoklatan enzimatik
adalah benzotiasol dan O-aminoaseptopenon.
Pada mekanisme yang lain, reaksi enzimatik dalam pembentukan off-odor
lebih terkait dengan fungsinya sebagai katalis dalam oksidasi lipid, yang antara
lain bekerja mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+.
Salah satu jenis enzim yang
terlibat dalam oksidasi asam-asam lemak pada daging ayam yaitu enzim
lipoksigenase (Gray dan Pearson 1994).
18
Faktor Pengolahan (Processing)
Prosedur atau metode yang digunakan dalam pengolahan daging dapat
mempengaruhi flavor daging yaitu melalui perubahan pada komposisi sistem
flavor, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Perubahan komposisi itu dapat
berupa perubahan kimia atau hilangnya beberapa senyawa flavor (Bailey et al.
1992).
Salah satu metode pengolahan daging yang paling banyak mendapat
perhatian terhadap dampaknya dalam menghasilkan off-flavor yaitu metode
iradiasi.
Pada prinsipnya metode ini digunakan terutama untuk mengontrol
Salmonella atau beberapa mikroorganisme patogen yang terdapat pada daging.
Beberapa off-odor yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan iradiasi pada daging
yaitu seperti “metallic”, “sulfide”, “wet dog”, “wet grain”, “goaty”, atau “burnt”.
Hasil-hasil penelitian yang dirangkum oleh Bailey et al. (1992) menyebutkan
bahwa asumsi yang dipakai untuk menjelaskan pembentukan off-odor pada
daging yang diiradiasi yaitu sebagai hasil dari meningkatnya oksidasi radikal
bebas dalam jaringan adiposa.
Asumsi ini dibenarkan dengan berbagai
penelitian yang menggunakan antioksidan dapat mengurangi off-odor pada
daging yang diiradiasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Ahn et al. (1997)
memperlihatkan bahwa penggunaan dl-α-tokoferol asetat pada level di atas
200 IU/kg sebagai antioksidan dalam ransum dapat mengurangi oksidasi lipid
dan volatil total pada daging kalkun setelah disimpan selama tujuh hari.
Meskipun sudah banyak penelitian yang dikembangkan dalam mengatasi
off-odor sebagai akibat dari iradiasi, sampai saat ini belum dapat diidentifikasi
secara pasti senyawa-senyawa “character impact” dari off-odor tersebut. Oleh
karena itu satu-satunya rekomendasi yang masih berlaku dalam pelaksanaan
iradiasi yaitu dengan menggunakan iradiasi pada kondisi vakum pada temperatur
beku (Reinneccius 1979; Bailey et al. 1992).
Jenis off-odor lain yang sering pula terdeteksi dalam pengolahan daging
yaitu off-odor yang terjadi pada daging yang dikalengkan; off-odor jenis ini diberi
istilah “retort flavor”. Sekalipun off-odor ini sangat tidak disukai oleh konsumen,
penelitian untuk mengidentifikasi senyawa kimia yang bertanggung jawab
terhadap pembentukan off-odor tersebut masih sangat sedikit. Pendugaan yang
sementara ini diterima bahwa “retart off-odor” disebabkan oleh perlakuan
pemanasan saat dilakukan sterilisasi.
Penelitian pada daging sapi diperoleh
bahwa daging sapi yang dikalengkan dengan cara konvensional mengandung
19
hidrogen sulfida yang lebih tinggi daripada yang dikalengkan dengan
menggunakan metode pemanasan tinggi dalam waktu singkat (Bailey et al.
1992).
Daging yang dimasak dengan menggunakan mikrowave juga merupakan
salah satu penyebab terjadinya off-odor pada bahan pangan itu. Daging yang
diolah dengan mikrowave mempunyai kandungan senyawa-senyawa
yang tinggi, seperti alkana, pirazin dan alkohol.
off-odor
Untuk mengatasi hal ini,
beberapa produk mikrowave dirancang sedemikian rupa sehingga dampak offodor-nya dapat dikurangi (Hornstein dan Wasserman 1987).
Pengaruh Mikroorganisme
Penyimpanan daging sangat dibatasi karena pengaruh pertumbuhan
mikrooraganisme. Masa simpan daging segar pada temperatur 4oC biasanya
hanya sekitar 3 sampai 4 hari. Kelompok mikroorganisme yang sering dijumpai
pada
daging-daging
yang
disimpan
secara
aerobik
yaitu
antara
lain
Pseudomonas, Moraxella, dan Accinetobactor. Sedangkan pada penyimpanan
anaerobik lebih didominasi oleh kelompok Lactobacilli.
Prekursor utama bagi perkembangan off-odor oleh bakteri adalah asamasam amino yang dihasilkan dari degradasi protein.
Sebagai contoh,
Pseudomonas fragi sangat dipastikan sebagai penyebab pembusukan daging.
Mikroorganisme ini berfungsi meningkatkan aktivitas enzim proteolitik yang
menyebabkan pula meningkatnya kandungan asam-asam amino bebas dalam
daging.
Pada daging ayam, bakteri Pseudomonas putrifaciens berperan
menghasilkan senyawa-senyawa volatil seperti metil merkaptan, dimetil disulfida,
metanol, etanol, dan hidrogen sulfida (Bailey et al. 1992).
Aktivitas mikroba dalam berperan menghasilkan off-odor pada daging
dapat terjadi melalui beberapa cara seperti, proses fermentasi yang tidak tepat,
pemasakan yang tidak sempurna, atau terkontaminasinya bahan pangan dengan
produk-produk metabolis yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroba.
Mikroorganisme
mempunyai
kemampuan
yang
sangat
beragam
dalam
menghasilkan off-odor, bergantung pada komponen metabolis yang dihasilkan
dan dikeluarkan ke dalam media pertumbuhannya. Sebagai contoh, ayam yang
dipelihara dengan menggunakan sistem lantai beralas (litter floor) dari bahan
ampas gergaji, pada dagingnya sangat mudah terkontaminasi oleh jamur
(Reineccius 1994).
20
Pembentukan Aroma dan Off-Odor Daging
Aroma daging dimaksudkan sebagai odor yang menghasilkan sensasi
khas daging yang diterima oleh manusia.
Aroma dihasilkan oleh senyawa-
senyawa volatil yang sebagian besar diproduksi melalui degradasi prekursor
lipid. Mottram (1991) menyebutkan bahwa lipid menghasilkan senyawa-senyawa
volatil yang memberikan sensasi flavor karakteristik dari setiap spesies ternak
yang berbeda; sedangkan, lean (daging tanpa lemak) bertanggung jawab
memberikan flavor dasar yang umum terdapat pada daging semua spesies
ternak.
Peran lemak dalam pembentukan aroma yang dihasilkan oleh daging,
menurut Mottram (1991), hal itu dikaitkan dengan fungsi lemak sebagai pelarut
bagi senyawa-senyawa aroma yang diproduksi, baik itu aroma yang berasal dari
luar maupun sebagai bagian dari reaksi-reaksi pembentuk flavor di dalam daging.
Namun sejalan dengan kemajuan penelitian flavor daging, mekanisme tersebut
dianggap sebagai asumsi yang amat sederhana.
Sebaliknya, proses
pembentukan flavor pada daging sesungguhnya merupakan suatu interaksi yang
bersifat kompleks antara senyawa-senyawa yang berasal dari lipid dan
komponen-komponen yang berasal dari lean ( Waserman 1979; Mottram 1991).
Hal ini dimaksudkan bahwa pembentukan aroma tersebut merupakan interaksi
yang berlangsung antara gugus-gugus amino yang terdapat pada protein dengan
gugus-gugus karbonil yang berasal dari lipid.
Sebagai contoh, aroma ayam
dihasilkan dari reaksi yang terjadi antara hidrogen sulfida dari asam amino
bersulfur dengan karbonil yang berasal dari degradasi
asam lemak oleh
pemanasan.
Kelompok lemak yang berperan dalam pembentukan aroma, tidak saja
didominasi oleh lemak-lemak trigliserida (lemak netral/lemak sederhana); akan
tetapi beberapa penelitian memperlihatkan bahwa, kelompok fosfolipid turut andil
pula di dalam pembentukan aroma pada daging yang dimasak. Farmer (1999)
menyebutkan bahwa semakin banyak terdapat fosfolipid tak jenuh di dalam
daging, semakin pentingnya perannya dalam pembentukan flavor.
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian terhadap pembentukan aroma
daging, Mottram (1991) menyebutkan bahwa sejumlah reaksi yang dapat
menghasilkan senyawa-senyawa volatil odor pada daging yaitu: reaksi
pemanasan, pirolisis asam amino dan peptida, degradasi gula, reaksi Maillard,
21
degradasi Strecker, degradasi tiamina, dan degradasi lipid. Dari semua reaksi
tersebut yang memungkinkan terbentuknya aroma daging, reaksi Maillard dan
degradasi lipid merupakan dua reaksi penting.
Reaksi Maillard
Reaksi Maillard, reaksi yang berlangsung antara gula tereduksi dan
senyawa amino, merupakan jalur pembentukan flavor yang sangat penting dalam
bahan pangan, khususnya daging yang dimasak.
Reaksi ini pertama kali
dijelaskan oleh seorang ahli kimia Perancis, Louis Maillard, pada tahun 1912,
yang menemukan adanya pembentukan warna oleh melanoidin akibat
pemanasan larutan glukosa dan glisina.
Secara garis besar, alur interaksi lipid dalam reaksi Maillard adalah
sebagai berikut: (1) reaksi senyawa karbonil lipid dengan gugus amino sisteina
dan amonia yang dihasilkan dari degradasi Strecker; (2) reaksi gugus amino
fosfatidiletanolamina dengan senyawa karbonil gula; (3) interaksi radikal bebas
dari lipid yang teroksidasi dalam reaksi Maillard; dan (4) reaksi hidroksi dan
karbonil lipid dengan hidrogen sulfida bebas. Skema pembentukan flavor melalui
reaksi Maillard diperlihatkan pada Gambar 4.
Heath dan Reineccius (1986) menyatakan bahwa dari sekitar 3000
senyawa volatil yang teridentifikasi dalam bahan pangan, dua pertiganya adalah
hasil dari reaksi Maillard.
Komponen-komponen flavor yang paling banyak
terbentuk dari reaksi ini, yaitu antara lain: alifatik, aldehid, dan keton.
Sebagian besar dari senyawa−senyawa yang menentukan flavor daging
melalui reaksi Maillard adalah senyawa−senyawa N, S, O − heterosiklik dan
bahan−bahan lain yang mengandung sulfur. Prekursor−prekursor penting untuk
pembentukan senyawa−senyawa flavor pada daging dikelompokan atas
kelompok senyawa−senyawa yang larut air, seperti gula, asam−asam amino,
gula
fosfat
dan
komponen−komponen
asam
nukleat,
dan
kelompok
senyawa−senyawa lipid.
Odor sulfuris yang dihasilkan melalui reaksi asam-asam amino bersulfur
dengan gula, sangat penting bagi pembentukan flavor daging yang dimasak.
Hidrogen sulfida yang terbentuk dari reaksi sisteina dengan senyawa karbonil
merupakan komponen utama aroma daging.
22
Gula reduksi + α-asam amino
N-gula amin
Intermediet Amadori dan Heynes
1-Deoksiredukton
Retro-aldolisasi
Dikarbonil (diasetil,
dihidroksiaseton
glioksal)
Degradasi strecker
1-Deoksioson
HD-fone
HM-fone
Isomaltol
Maltol
Siklotene
Aldehid (Asetaldehid)
Metional
Amonia
Hidrogen disulfida
3-Deoksioson
2-Furfurals
Asetaldehid
Produk
degradasi
Strecker
H2S
NH3
CH3SH
Aldehid
Pirazin
N,S,O-heterosiklik
Senyawa siklik sulfur
Sulfida
Senyawa
Flavor
Daging
4-Mercapto-5-metiltetrahidro-3-furanon
2,5-Dimetil-2,4-dihidroksi-3-(2H)-tiopenon
2-Metil-3-furantiol
2-Furfuriltiol
2-Metil-3-(metiltio)-furan
2-metil-3-(metilditio)-furan
Senyawa sulfur siklik
N, S, O-heterosiklik
Bis-(2-metil-3-furil)-disulfida
2-Furfuril-2-metil-3-furil-disulfida
1,2,4-Tritiolan
1,2,4,6-Tetratiepan
1-(2-Metil-2-tieniltio)-etanetiol
1-(2-Metil-3-furiltiol)-etanetiol
Gambar 4 Pembentukan senyawa−senyawa flavor pada daging melalui reaksi
Maillard dari gula dan amin (Bailey 1998).
Melalui penelitian yang dilakukan dalam bentuk sistem−sistem model,
diperoleh bahwa kelompok lipid yang berperan adalah fosfolipid dan beberapa
hasil degradasinya seperti aldehid, keton, dan alkohol. Senyawa−senyawa ini
akan bereaksi dengan produk−produk hasil reaksi Maillard seperti hidrogen
sulfida dan amonia menghasilkan komponen−komponen pembentuk aroma pada
daging. Salah satu senyawa volatil flavor yang seringkali ditemukan pada daging
yang
dimasak
yaitu
2−pentilpiridin;
2,4−dekadienal dan amonia.
senyawa
ini
terbentuk
dari
reaksi
Flavor pada ayam goreng dipengaruhi oleh
5−butil−3−metil−1,2,4−tritiolan yang terbentuk dari reaksi senyawa−senyawa
aldehid dengan hidrogen sulfida.
23
Degradasi Lipid
Mekanisme lain dalam pembentukan volatil aroma ketika daging dimasak
yaitu oksidasi rantai-asil lipid tidak jenuh. Senyawa-senyawa volatil aroma yang
terbentuk melalui reaksi lipid ini umumnya mengikuti jalur yang sama; baik itu
yang melalui reaksi oksidasi termal, maupun oksidasi ketengikan. Perbedaan
yang tidak begitu tampak dalam mekanisme kedua reaksi tersebut, menghasilkan
profil volatil yang berbeda (Mottram 1998).
Pemecahan rantai alkil lipid tidak jenuh melibatkan mekanisme radikal
bebas. Reaksi ini diawali ketika satu atom hidrogen labil diambil dari bagian lipid,
sehingga menghasilkan radikal lipid, dengan persamaan:
R• + H•
RH
Selanjutnya reaksi dengan oksigen menghasilkan radikal peroksil, dan kemudian
diikuti dengan pengambilan hidrogen yang lain dari molekul lipid. Hidroperoksida
dan radikal bebas lain yang terbentuk menghasilkan suatu reaksi berantai yang
berkesinambungan:
R•
+
ROO• +
O2
RH
ROO•
ROOH + H•
.
.
(Keterangan: RH = asam lemak; R = radikal alkil, ROO = radikal peroksil)
Secara umum flavor daging mentah adalah bland, metalic, dan sedikit
berasa asin. Flavor daging yang diinginkan baru terbentuk dan terdeteksi setelah
daging dimasak. Pembentukan flavor seperti itu selain melalui proses oksidasi
termal, juga melalui proses reaksi lemak dengan senyawa-senyawa lain yang
terdapat di dalam jaringan daging. Dengan pemanasan terbentuklah komponenkomponen volatil yang berasal dari sejumlah prekursor larut air, seperti tiamina,
glikogen, glikoprotein, nukleotida, nukleosida, gula bebas, asam-asam amino,
peptida, gula fosfat, amin, dan asam-asam amino. Prekursor ini bereaksi dalam
daging selama proses pemanasan. Dalam reaksi primer, interaksi komponen
prekursor membentuk senyawa-senyawa intermediet yang dapat bereaksi
selanjutnya dengan produk-produk degradasi lain menghasilkan campuran volatil
kompleks yang berfungsi dalam pembentukan flavor daging. Apriyantono et al.
(1994) dalam mencari prekursor utama pembentuk flavor daging ayam
menyimpulkan bahwa flavor daging ayam terbentuk melalui interaksi antara
lemak (asam oleat dan linoleat) dengan sisteina dan glukosa.
24
Produksi aroma dari fraksi−fraksi lipid seperti yang berasal dari jaringan
adiposa dan lean masih terus dipelajari. Pemanasan terhadap lemak daging
menghasilkan sifat−sifat aroma yang berbeda−beda antar jenis daging.
Aroma−aroma tersebut memberi ciri khas bagi setiap daging.
Lemak−lemak
pada daging yang berperan dalam pembentukan aroma adalah lemak−lemak
subkutan, lemak yang terdeposit dalam jaringan, triasilgliserol, dan fosfolipid.
Pemecahan oksidatif terhadap rantai−rantai alkil lipid tak jenuh meliputi
mekanisme radikal bebas dan pembentukan senyawa−senyawa intermediet
hidroperoksida.
Dekomposisi hidroperoksida akan melibatkan mekanisme
radikal bebas lanjut dan pembentukan produk−produk nonradikal termasuk di
dalamnya adalah senyawa−senyawa aroma (Grosch 1982; Mottram 1998).
Degradasi hidroperoksida dimulai dengan proses homolisis yang menghasilkan
satu radikal alkoksi (RO.) dan satu radikal hidroksi (.OH). Proses selanjutnya
adalah terjadi pemecahan pada rantai asam−asam lemak yang berikatan dengan
radikal alkoksi. Sifat volatil yang berasal dari suatu hidroperoksida bergantung
pada komposisi rantai alkil dan posisi dimana terjadi pembelahan rantai.
Mekanisme degradasi hidroperoksida ditunjukkan pada Gambar 5.
Posisi
pembelahan rantai dapat terjadi pada dua tempat, di sebelah kanan radikal
alkoksi (posisi A) atau di sebelah kiri (posisi B).
Jika gugus alkil jenuh dan pembelahan terjadi pada posisi A maka akan
menghasilkan suatu aldehid jenuh; sedangkan apabila pembelahan terjadi di
posisi B akan menghasilkan satu radikal akil yang dapat diikuti dengan
pembentukan satu senyawa alkana. Alternatif lain, apabila alkil radikal bereaksi
dengan oksigen akan menghasilkan satu senyawa hidroperoksida. Pada tahap
berikut, hidroperoksida pecah dan menghasilkan radikal alkoksi yang dapat
memproduksi senyawa−senyawa nonradikal yang lebih stabil seperti alkohol dan
aldehid. Senyawa−senyawa lain yang dapat terbentuk melalui reaksi ini yaitu
keton, furan dan senyawa−senyawa aromatik dari hidrokarbon dan aldehid.
Meskipun pada daging yang dimasak ditemukan banyak sekali senyawa
volatil, hanya sedikit saja yang memberi pengaruh terhadap flavor daging; sebab,
umumnya senyawa−senyawa yang lain merupakan senyawa−senyawa yang
mempunyai batas ambang odor yang tinggi.
Senyawa−senyawa yang
mempunyai batas ambang rendah yang berpengaruh langsung terhadap flavor
adalah aldehid, alkohol tak jenuh, keton dan lakton.
25
Gambar 5 Pembentukan volatil melalui pemecahan hidroperoksida lipid
sederhana (Mottram 1998).
Identifikasi terhadap senyawa−senyawa flavor pada daging unggas
ditemukan
bahwa
beberapa
2−metil−3−furantiol, 2−furfuritiol,
senyawa
metional,
yang
berpengaruh
adalah
2,4,5−trimetiltiazol, nonanal, dan
lain−lain. Senyawa yang paling penting yang memberi aroma khas pada ayam
yaitu 2−metil−3−furantiol (Chen dan Ho 1998).
Sedangkan pada itik, belum
banyak penelitian yang berkaitan dengan flavor. Penelitian yang dilakukan oleh
Wu dan Liou (1992) melaporkan bahwa senyawa−senyawa volatil pada daging
itik sebagian besar merupakan hasil oksidasi lipid. Senyawa penentu flavor pada
daging itik berasal dari kelompok indol, yang merupakan satu−satunya senyawa
pada daging itik yang mengandung nitrogen.
Melalui proses pemanasan
senyawa indol akan dipecah membentuk senyawa−senyawa heterosiklik, yakni
pirazina, piridina, dan tiazol.
26
Oksidasi Lipid Pembentuk Off-Odor
Oksidasi lipid merupakan reaksi utama perusakan bahan pangan yang
menyebabkan penurunan kualitas yang signifikan.
Kerusakan oksidatif pada
lemak daging akan berakibat pada pembentukan senyawa-senyawa off-odor dan
hilangnya aroma khas daging. Oksidasi lemak berlangsung pada bagian yang
tidak jenuh dan kemudian diikuti dengan pembentukan radikal bebas.
Dua
produk penting dari reaksi-reaksi oksidasi yaitu hidroperoksida dan senyawasenyawa volatil.
Hidroperoksida dihasilkan pada reaksi primer.
Senyawa ini
berfungsi dalam propagasi reaksi-reaksi autokatalitik; sedangkan, senyawasenyawa volatil seperti aldehid dan keton terbentuk pada reaksi sekunder; dan
merupakan sumber terbentuknya off-odor (Gray dan Pearson 1994).
Beberapa
jenis istilah yang digunakan untuk menjelaskan adanya perubahan odor daging,
khususnya pada daging yang dipanaskan kembali, yaitu antara lain: odor
teroksidasi, tengik, off-odor, terlalu masak (WOF, warmed-over flavor), basi, dan
apek. Umumnya istilah-istilah yang dipakai sulit didefinisikan secara tegas.
Dua bentuk hasil oksidasi lipid pada daging yang menimbulkan off-odor
pada daging, yaitu ketengikan (rancidity) dan WOF.
Ketengikan merupakan
ukuran penilaian sensori terhadap kualitas yang tidak dikehendaki dari bahan
pangan berlemak dan berminyak. Terdapat tiga jenis ketengikan yang berbeda
yang terkait dengan kerusakan flavor lipid. Pertama, ketengikan yang terjadi
melalui proses penyerapan oleh lemak daging (terkontaminasi) terhadap bahanbahan larut lemak. Ketengikan jenis ini disebut dengan taint. Kejadian seperti ini
umumnya pada daging-daging yang diolah atau yang disimpan.
Kedua,
ketengikan yang terbentuk oleh adanya reaksi-reaksi hidrolitik yang dikatalisis
oleh enzim lipase; atau yang disebut dengan ketengikan hidrolitik. Ketengikan
seperti ini tidak umum terjadi pada daging segar, kecuali setelah pembusukan
oleh mikroba.
Ketiga, ketengikan yang terjadi oleh adanya perubahan-
perubahan dalam lipid sebagai akibat dari interaksinya dengan oksigen atmosfir;
atau yang dikenal dengan ketengikan oksidatif (Hamilton 1983; Bailey et al.
1992).
Ketengikan
oksidatif
berbeda
dari
reaksi-reaksi
oksidasi
yang
menyebabkan WOF. Ketengikan yang terjadi secara oksidatif merupakan suatu
proses degradasi lambat dari asam-asam lemak tidak jenuh pada daging
mentah, yang kemudian proses tersebut berlanjut pada pembentukan radikal
27
bebas dan hidroperoksida. Hasil-hasil reaksi dari proses lanjutan inilah yang
menghasilkan senyawa-senyawa volatil off-odor, yang terdiri atas aldehid,
alkohol, hidrokarbon, dan asam-asam.
Berges (1999) menjelaskan bahwa oksidasi lipid merupakan suatu proses
autokatalitik yang terjadi di dalam membran-membran biologis.
Umumnya
oksigen yang digunakan oleh sel tereduksi di dalam mitokondria. Sebagian kecil
digunakan oleh reaksi-reaksi yang terjadi di dalam sitosol, nukleus, dan membran
sel. Oksigen pada membran sel menerima empat elektron setelah menghasilkan
sejumlah molekul NADH yang diperlukan untuk peningkatan energi ATP. Melalui
kerja enzim-enzim tertentu, NADH akan menerima hanya satu elektron yang
menyebabkan meningkatnya produksi anion superoksida (O2-•), atau hidrogen
peroksida (H2O2). Anion O2-• merupakan salah satu dari radikal-radikal bebas
yang mengawali terjadinya proses-proses oksidasi di dalam sel. Anion-anion
tersebut bilamana bereaksi dengan H2O2 membentuk senyawa yang lebih agresif
yaitu radikal hidroksi (•OH). Mekanisme proses oksidasi asam-asam lemak dan
pembentukan produk senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan off-odor
diperlihatkan pada Gambar 6.
Selanjutnya Berges (1999) menyimpulkan bahwa proses oksidasi dapat
terjadi pada ternak apabila didukung oleh sejumlah faktor penyebab yang antara
lain adalah: tingkat kejenuhan asam lemak pada daging;
radikal bebas,
mioglobin, hemoglobin, sitokrom, logam-logam berat, seperti: besi, tembaga, dan
logam-logam berat lain; kondisi ternak saat pemotongan (stress, pH, temperatur
karkas, rangsangan elektrikal); dan, hilangnya integritas membran otot yang
disebabkan oleh penggilingan, pengolahan, dan pemasakan.
Sebagai akibat dari peroksidasi yang terjadi pada ternak hidup dan
ketengikan oksidatif yang mulai berlangsung sesaat setelah ternak dipotong,
asam-asam lemak tidak jenuh jamak (PUFA) terdekomposisi menjadi senyawasenyawa dengan rantai yang lebih pendek, seperti aldehid, keton, dll, yang mana
merupakan senyawa-senyawa yang dapat menghasilkan odor dan rasa yang
tidak disukai.
Odor dan rasa seperti itu menyebabkan penerimaan daging oleh
konsumen berkurang.
28
PUFA - RH
+ Oksigen
Fe2+ Cu+
Radikal Asam Lemak - R
+ PUFA RH
Radikal Peroksida - ROO
Hidroperoksida + Radikal Asam Lemak
ROOH
R
Aldehid, Keton, Asam, polimer, dll
Gambar 6 Mekanisme oksidasi asam lemak (Berges 1999).
Ketengikan oksidatif merupakan faktor pembatas dalam memperpanjang
penyimpanan daging segar pada temperatur beku.
Bou et al. (2001)
mengemukakan bahwa oksidasi lipid merupakan penyebab utama pada
kerusakan produk-produk unggas, terutama dalam menghasilkan odor atau flavor
yang tidak disukai konsumen, serta menyebabkan masa simpan yang pendek.
Oleh karena itu dalam prosedur pengolahan yang sudah dilakukan secara
moderen, biasanya terdapat perlakuan-perlakuan awal sebelum penyimpanan
yang ditujukan untuk memperpanjang masa simpan daging. Beberapa prosedur
tersebut yaitu seperti pengepakan vakum dan pengepakan atmosfir terkontrol
dengan karbon dioksida dan nitrogen (Bailey et al. 1992).
Masalah ketengikan pada daging unggas dan upaya-upaya untuk
mengatasinya sejak tahun 1940-an sudah mulai mendapatkan perhatian dari
sejumlah peneliti. Kummerow et al. (1948) telah mempelajari pengaruh berbagai
29
jenis pakan terhadap derajat ketengikan pada daging kalkun. Kemudian pada
1970-an Marusich et al. (1975) mengembangkan penelitian serupa melalui
penggunaan vitamin E dalam mengatasi ketengikan pada ayam broiler dan
kalkun. Dari sejumlah penelitian mengenai ketengikan pada daging diperoleh
bahwa
laju ketengikan oksidasi mempunyai hubungan yang erat dengan
peningkatan senyawa asam 2-thiobarbiturat (TBA).
Oleh karena itu untuk
menetapkan laju oksidasi pada suatu produk daging dilakukan pengukuran
terhadap nilai TBA. Nijssen (1991) melaporkan bahwa dari penelitian yang telah
dilakukan didapatkan bahwa pada jaringan broiler, peningkatan nilai TBA paling
tinggi pada hati dan daging dada, kemudian diikuti oleh daging paha, kulit, dan
lemak depot. Dari penelitian tersebut diperoleh juga bahwa laju oksidasi selama
penyimpanan berkorelasi positif dengan kandungan protein, air, fosfolipid dan
besi nonheme; sebaliknya berkorelasi negatif dengan lipid.
Bentuk off-flavor lain yang seringkali terjadi pada daging yaitu yang
diistilahkan dengan “warmed-over flavor” (WOF).
Istilah ini pertama kali
digunakan pada 1958 oleh Tims dan Watts (Pearson et al. 1977).
WOF
seringkali terjadi pada daging yang sudah dimasak dan disimpan dalam lemari
pendingin dengan temperatur 4oC selama 48 jam, dan dipanaskan kembali.
Meskipun pada awalnya, off-flavor ini lebih dijumpai pada daging yang telah
dimasak, namun kini ditemui juga pada daging mentah yang digiling dan terkena
kontak dengan udara (Cross et al. 1987).
Kesan flavor yang ditangkap
konsumen terhadap WOF yaitu serupa dengan flavor daging panggang atau
steak yang terlalu masak (lama dipanggang), atau ada pula konsumen yang
mendeskripsi sebagai flavor tengik.
Penelitian yang dikembangkan dalam
mempelajari WOF didapatkan bahwa penyebab utama adalah akibat lemak
daging yang teroksidasi dan berkorelasi pula dengan intensitas pemanasan
(Cross et al. 1987).
Tidak seperti ketengikan oksidatif yang lebih lambat pembentukannya dan
yang umum terjadi pada daging mentah, WOF merupakan off-flavor yang lebih
cepat terbentuk dan pada daging yang sudah dimasak. Dari penelitian-penelitian
sensori mengenai WOF diperoleh beberapa bahasa flavor yang dapat digunakan
untuk mendeskripsikannya yaitu seperti “warmed-over”, “rancid”, dan “oxidized”.
30
Katalis Oksidasi
Laju dan tingkat oksidasi lipid daging bergantung pada sejumlah faktor, di
antaranya yang terpenting adalah tingkat asam-lemak tidak jenuh jamak yang
terkandung dalam daging (Gray dan Pearson 1994). Sudah sejak lama diketahui
bahwa kelompok lipid yang terlibat sebagai penyebab kerusakan flavor pada
daging yang dimasak adalah asam-asam lemak tidak jenuh, terutama sebagai
fosfolipid yang terdapat pada jaringan lean dan lipid tingkat sel.
Pembentukan off-odor ketengikan berbeda bergantung spesies, karena
adanya perbedaan
dalam kandungan fosfolipid dan komposisi asam lemak.
Kerentanan fosfolipid terhadap oksidasi merupakan bagian dari tingginya asam
lemak tidak jenuh jamak, khususnya asam linoleat dan arakidonat (Igene dan
Pearson 1979). Sebagai contoh, fosfolipid pada daging sapi mengandung asam
lemak tidak jenuh 15 persen lebih banyak daripada triasilgliserol-nya.
Selain itu, kerentanan fosfolipid terhadap oksidasi juga terkait dengan
posisinya di dalam membran yang dekat dengan katalis-katalis oksidasi jaringan.
Kerusakan membran dan pengeksposan fosfolipid terhadap oksigen, enzim,
pigmen heme dan ion-ion logam, dapat merupakan faktor penyebab cepatnya
terjadi ketengikan, termasuk kerusakan pada daging mentah (Asghar et al.
1988).
Hal yang banyak mendapat perhatian dari faktor-faktor pendukung proses
oksidasi yaitu unsur-unsur katalis.
Teori yang telah berkembang sejak lama
bahwa oksidasi lipid sangat dipengaruhi oleh beberapa katalis heme, seperti:
hemoglobin, mioglobin, dan sitokrom.
Daging mengandung besi nonheme dan
besi heme. Dalam oksidasi lipid daging, besi nonheme lebih berperan dalam
mempercepat berjalannya oksidasi.
Pemasakan daging dapat mempercepat
terjadinya oksidasi, karena dengan pemanasan molekul-molekul heme menjadi
rusak, tetapi sebaliknya meningkatkan besi nonheme.
Pigmen heme akan berperan efektif sebagai katalis dalam oksidasi
bilamana terdapat hidrogen peroksida, terutama jika hidrogen peroksida
dikombinasikan dengan metmioglobin teraktivasi, yang dikenal sebagai kation
radikal porpirin.
Metmioglobin teraktivasi umumnya berfungsi sebagai katalis
oksidasi lipid pada daging mentah.
Katalis lain yang juga berpengaruh dalam proses oksidasi lipid daging
adalah ferritin, yaitu besi terlarut yang terkandung dalam protein yang tersimpan
dalam hati, limpa, dan otot rangka.
Kandungan ion besi dalam ferritin
31
yaitu 4500 ion per molekul protein. Ferritin membebaskan besi sebagai Fe2+
dengan tersedianya agen-agen pereduksi seperti askorbat, anion superoksida,
dan tiol.
Fungsi ferritin sebagai katalis dalam oksidasi lipid sangat efektif pada
daging yang dimasak.
Pemanasan merusak molekul-molekul ferritin dan
membebaskan besi yang kemudian mengkatalisis oksidasi lipid diikuti dengan
pembentukan off-odor. Ion-ion fero (Fe2+) bekerja memutuskan ikatan O – O dan
membentuk radikal alkoksi yang sangat reaktif untuk reaksi propagasi;
.
sedangkan ion feri (Fe3+) membentuk radikal peroksil (LOO ) dan radikal alkoksi,
.
(LO ) sebagaimana diperlihatkan dalam persamaan berikut:
LOOH
+ Fe2+
LO•
+ OHֿ + Fe3+
LOOH
+ Fe3+
LOO• + H+
+ Fe2+
Ketersediaan Fe2+ dapat pula dihasilkan melalui proses katalisasi
pentransferan satu elektron dari NADPH ke Fe3+ dengan bantuan enzim NADPHsitokrom P-450 reduktase. Reaksi ion-ion Fe2+ dengan oksigen menghasilkan
senyawa-senyawa radikal yang dapat mengambil hidrogen dari asam-asam
lemak tidak jenuh jamak untuk memulai oksidasi.
Flavor dan Off-flavor Daging Itik
Secara umum telah diterima bahwa asal mula itik domestik saat ini
berasal dari mallard berkepala hijau yaitu Anas platyrhynchos platyrhynchos.
Hampir di sebagian besar dunia sudah memanfaatkan fungsi ternak itik,
khususnya dalam fungsi sebagai penyedia daging dan telur. Hanya saja sampai
sekarang di beberapa daerah, misalnya di Indonesia, peran itik yang lebih
menonjol adalah sebagai ternak penghasil telur dan dalam mengusahakannya
masih pada skala kecil. Hal ini juga terkait dengan masih terbatasnya konsumen
daging itik.
Namun di sebagian negara, sebagai contoh di Thailand, untuk
memenuhi permintaan daging itik yang tinggi, saat ini sudah dihasilkan
itik
broiler yang diusahakan pada skala komersil (Bird 1995; Hardjosworo dan
Rukmiasih 2000).
Daging itik umumnya mempunyai warna lebih gelap atau yang dikenal
sebagai daging merah (red meat) dibandingkan daging ayam.
Sekalipun
32
demikian, komposisi nutrisi daging itik, khususnya protein, tidak berbeda dengan
protein yang terkandung pada daging ayam (21.4% vs 20.8%).
Hanya saja,
untuk kadar lemak, daging itik memiliki kandungan lemak dua kali lebih tinggi
daripada daging ayam (8.2% vs 4.8%); tetapi kandungan tersebut masih jauh
lebih rendah apabila dibandingkan dengan kandungan lemak pada daging sapi
(17%), domba (22.4%) ataupun babi (32%) (Srigandono 1997).
Kandungan lemak yang relatif tinggi pada daging itik bilamana
dibandingkan dengan yang terdapat pada daging ayam, merupakan salah satu
kendala kurang tertariknya konsumen pada daging itik.
Selain itu, banyak
konsumen tidak menyukai daging itik karena ada kesan bahwa daging tersebut
mempunyai flavor amis atau anyir. Sehingga seringkali ternak itik sebelum diolah
dianjurkan untuk dipanggang atau dengan membuang kelenjar ekornya (tunggir,
eropygium) (Samosir 1993; Srigandono 1997).
Lemak pada ternak itik ini merupakan prekursor utama dalam
pembentukan flavor maupun off-flavor pada daging itik. Hal ini diperlihatkan oleh
Wu dan Liou (1992) yang dari penelitiannya menyimpulkan bahwa senyawasenyawa volatil yang terbentuk pada daging itik sebagian besar adalah hasil
degradasi asam-asam lemak. Komponen-komponen volatil tersebut terdiri atas
aldehid, alkohol, keton, hidrokarbon, ester, dan furan. Hasil penelitian seperti ini
didapatkan juga oleh Hustiany (2001) yang melaporkan bahwa kelompokkelompok volatil dari daging bagian paha dan dada itik terdiri atas aldehid,
alkohol, keton, asam karboksilat dan hidrokarbon. Menurut Wu dan Liou (1992),
satu-satunya volatil bernitrogen yang teridentifikasi pada daging dan jaringan
lemak itik adalah indol, yang juga sekaligus berperan dalam memberi aroma
spesifik pada daging itik, karena menghasilkan odor yang sangat tajam. Secara
kualitatif, senyawa indol pada itik lebih tinggi pada bagian daging (0.73%)
dibandingkan dengan pada jaringan lemaknya (0.37%); akan tetapi secara
kuantitatif terjadi sebaliknya, jaringan lemak mengandung senyawa indol lebih
tinggi daripada dagingnya (2.28 vs 1.72 ppb).
Kandungan lemak yang tinggi, terutama asam-asam lemak tidak jenuh,
sangat memberi kecenderungan pada daging itik untuk menghasilkan off-odor.
Hustiany (2001) melaporkan bahwa pada daging itik, total asam lemak tidak
jenuh lebih tinggi daripada total asam lemak jenuhnya.
Pada daging bagian
dada dan paha ternak itik-jawa betina afkir berkulit, total asam lemak tidak jenuh
adalah 5058.8 mg dan 4830.9 mg, sedangkan asam lemak jenuhnya
33
adalah 2695.8 mg dan 2491.3 mg asam lemak per 100 gram daging segar,
secara berturut-turut.
Komponen-komponen off-odor pada daging itik yang berhasil diidentifikasi
oleh Hustiany (2001) terdapat sebanyak 9 komponen, yaitu (E)-4-penten-2-ol,
1-pentanol, heksanal, (E)-1-okten-3-ol, nonanal, (E)-2-okten-1-ol, (E)-2-dekenal,
(E)-2-nonen-1-ol, dan trans-2-undekanal. Meskipun demikian, menurut Hustiany
(2001), masih terdapat pula dua komponen penghasil off-odor dengan nilai LRI
1104 dan 1123, yang tidak terdeteksi oleh GC-MS.
Kualitas off-odor yang
dihasilkan oleh senyawa-senyawa tersebut diidentifikasi sebagai bau green,
grassy, langu (beany), apek (musty), amis (fishy), pesing (urine-like, ammonia,
ubi jalar (sweet potatoe), dan unpleasant.
Pengurangan dan Pencegahan Off-odor Daging
Pengaruh flavor terhadap penerimaan daging oleh konsumen sangat
memegang peran penting.
Keputusan konsumen untuk memilih jenis daging
atau bagian potongannya sangat dipengaruhi oleh flavor dari daging tersebut,
terlepas dari faktor-faktor lain seperti budaya dan ekonomi. Berdasarkan aturan
atau norma-norma yang berlaku secara religi ataupun adat-istiadat, konsumen
dibatasi untuk tidak mengkonsumsi daging-daging tertentu.
Demikian pula
dengan pertimbangan ekonomis, konsumen terpaksa harus memilih daging yang
lebih terjangkau harganya.
Adanya bau yang tidak disukai atau yang tidak diharapkan atau yang
disebut dengan off-odor pada daging akan menjadi dasar bagi konsumen untuk
tidak menerima atau mengonsumsi daging tersebut, sehingga hal ini menjadi
penting bagi peternak atau produsen daging untuk menyediakan daging dengan
flavor yang lebih dapat diterima. Masalah off-odor pada daging sesungguhnya
sudah sejak lama menjadi perhatian produsen daging maupun para ahli pangan.
Sampai
sekarang
masalah
tersebut
terus
dikembangkan
dalam
upaya
menemukan metode-metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengatasinya.
Langkah awal dalam usaha mencegah atau mengatasi off-odor pada
daging yaitu dengan mengembangkan terlebih dahulu pemahaman terhadap
mekanisme pembentukan off-odor secara terintegrasi. Strategi seperti ini akan
sangat membantu didalam penyusunan program yang tepat untuk mengatasi
masalah off-odor tersebut. Pendekatan terintegrasi perlu dilakukan dengan
memperhatikan asal-usul pembentukan off-odor yang sangat bervariasi.
34
Beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab off-odor pada bahan pangan dan
secara khusus pada daging yaitu: terkontaminasi dengan lingkungan (off-taint),
proses pengolahan, genetika, pakan, oksidasi lipid, reaksi-reaksi enzimatis dan
nonenzimatis, dan mikroorganisme (Reineccius 1979; Heath dan Reineccius
1986).
Beberapa bentuk pendekatan yang digunakan untuk pencegahan dan
pengatasian off-odor yaitu pendekatan teknis, biologis, dan kimia.
Pemilihan
terhadap bentuk pendekatan haruslah berdasar pada penyebab masalah offodor.
Penyebab off-odor yang diakibatkan karena terkontaminasinya daging
dengan lingkungan, jenis pakan, proses dan metode pengolahan, dan
mikroorganisme, cenderung diatasi dengan pendekatan teknis, seperti perbaikan
managemen pemeliharaan, perkandangan, teknologi pengolahan, dan deregulasi
sistem sanitasi. Apabila off-odor terjadi karena faktor-faktor genetis, pendekatan
biologis dapat digunakan. Sebagai contoh, dengan sistem seleksi dan program
pemuliabiakan dapat dikembangkan ternak-ternak yang memiliki potensi
penghasil daging dengan kualitas terbaik.
Demikian pula, apabila penyebab off-odor terjadi karena mekanisme
reaksi kimia dalam tubuh, pendekatan yang dapat digunakan yaitu berupa suatu
pendekatan kimia.
Off-flavor atau off-odor yang terbentuk akibat perubahan-
perubahan kimia karena berlangsungnya proses oksidasi lipid dalam daging,
pendekatan yang digunakan haruslah berupa pendekatan yang dapat memberi
pencegahan atau penundaan terhadap terjadinya proses tersebut.
Pertimbangan utama untuk menetapkan program pendekatan yang tepat
dalam mengatasi off-odor pada daging yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebabnya yang dominan. Pada daging sebagian besar senyawa, baik odor
maupun off-odor, terbentuk melalui proses degradasi lipid.
Oleh karena itu,
penelitian-penelitian yang terus dikembangkan sampai saat ini lebih berfokus
pada hal-hal yang berkaitan dengan degradasi lipid.
Proses pembentukan off-odor daging melalui degradasi lipid yang penting
yaitu proses oksidasi.
Menurut Reineccius (1979) reaksi oksidasi yang
menyebabkan terbentuknya off-odor pada daging meliputi oksidasi ketengikan
dan oksidasi warmed-over flavor (WOF). Dengan demikian, upaya yang perlu
dilakukan untuk mengatasi masalah off-odor haruslah berupa sesuatu yang
dapat menghambat keberlangsungan proses-proses yang terkait dengan
terjadinya oksidasi lipid dalam daging.
35
Proses-proses oksidatif dan akumulasi produk-produk oksidasi lipid sudah
mulai terjadi pada ternak yang masih hidup dan terus berlangsung saat ternak
dipotong dan bahkan saat sistem-sistem homeostatik tubuh telah berhenti
berfungsi. Laju proses oksidasi bergantung pada keaksesan terhadap oksigen,
kandungan prooksidan dan antioksidan dalam tubuh, dan kondisi-kondisi
pengolahan serta penyimpanan daging.
Potensi terjadinya oksidasi lipid pada daging bervariasi diantara spesies
ternak. Perbedaan ini bergantung pada sejumlah faktor baik yang dapat dikontrol
maupun tidak, yaitu seperti struktur jaringan daging, kandungan lemak,
komposisi asam-asam lemak, pakan ternak, kandungan prooksidan dan
antioksidan dalam otot, serta kondisi pada saat pemotongan, pelayuan karkas,
dan penyimpanan (Skibsted et al. 1998).
Oleh karena itu, untuk mengatasi secara optimal masalah oksidasi lipid
pada daging, pemahaman terhadap saat mana terjadinya proses tersebut
sangatlah diperlukan.
Gambar 7 memperlihatkan peluang terjadinya proses
oksidasi lipid dalam suatu rantai produksi daging. Bagian dari rantai produksi
dimana potensi terjadinya oksidasi lipid disebut dengan titik kontrol kritis.
Dengan merujuk pada titik kontrol sebagaimana diidentifikasi pada
Gambar 7, akan sangat membantu dalam pelaksanaan upaya pengatasian
masalah oksidasi lipid secara terarah dan sistematis. Titik kontrol dalam rantai
produksi daging dimana terdapat kemungkinan terjadinya oksidasi lipid yaitu: (1)
pemberian pakan, (2) penanganan terhadap daging segar dan beku, (3) proses
pengolahan daging, dan (4) proses pengepakan dan penyimpanan. Titik−titik
kontrol tersebut dapat menjadi acuan dan pemilihan terhadap program
pengendalian oksidasi lipid sekaligus untuk mengatasi persoalan off−flavor pada
daging.
Pembahasan dalam bahan diskusi ini meskipun hanya difokuskan pada
penghambatan oksidasi melalui tahapan pemberian pakan, beberapa contoh dari
tahapan yang lain disajikan pula.
Pembatasan ini didasarkan bahwa
penggunaan bahan−bahan antioksidan lebih efektif dengan cara pemberian
melalui makanan (proses in vivo) dibandingkan dengan ketiga tahapan lainnya
(Skibsted et al. 1998).
36
Rantai Produksi
Titik Kontrol Kritis
Perlakuan Pakan:
Antioksidan (tokoferol, asam
askorbat, karotenoid, dan
polifenol)
Prooksidan (Fe dan Cu)
Ternak
Proses Pemotongan:
Metode Pemisahan Tulang
Laju Pelayuan/pendinginan
Daging Mentah
Produk daging
Pangan/makanan
Gambar 7
Pengolahan:
Pemanasan
Pemotongan/pengirisan
Perlakuan tekanan
Penambahan antioksidan
dan bahan pengawet
Pengepakan dan
Penyimpanan:
Cahaya
Ketersediaan oksigen
Temperatur
Pertumbuhan mikroba
Titik kontrol kritis sepanjang rantai produksi dari ternak sampai
menjadi makanan (Skibsted et al. 1998).
Antioksidan
Sampai saat ini, antioksidan merupakan satu-satunya bahan yang diakui
sangat efektif dalam mengendalikan oksidasi lipid pada daging. Tanpa
pengontrolan terhadap oksidasi lipid menyebabkan kualitas daging, terutama
kualitas organoleptik seperti flavor dan warna daging menurun (Berges 1999).
Bahan pakan yang banyak digunakan dalam bentuk suplemen yang sekaligus
berfungsi sebagai antioksidan adalah vitamin E (tokoferol). Berbagai penelitian
penggunaan vitamin E pada beberapa jenis ternak seperti ayam, kalkun, babi,
sapi, dan ikan, memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh signifikan dari vitamin
37
E terhadap penurunan oksidasi lipid di dalam daging dan jaringan adiposa
ternak−ternak tersebut (Skibsted et al. 1998).
Secara garis besar Kochhar dan Rossell (1990) mengklasifikasi
antioksidan ke dalam lima jenis, yaitu:
1. Antioksidan primer: termasuk dalam kelompok ini adalah senyawa−senyawa
fenolik yang berfungsi memutuskan rantai radikal bebas dalam oksidasi lipid.
Senyawa−senyawa dalam kelompok ini yaitu seperti tokoferol (alami dan
sintetis), butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT),
tertiary butyl hydroquinone (TBHQ), dll.
2.
Penangkap oksigen (Oxygen Scavenger): Contohnya adalah vitamin C,
askorbil palmitat.
Senyawa−senyawa dalam kelompok ini bereaksi dengan
oksigen dan menempatkannya di dalam sistem tertutup. Kelompok antioksidan
ini disebut juga sebagai antioksidan sinergistik (Rajalakshmi dan Narasimhan
1995).
3.
Antioksidan sekunder: Kelompok ini berfungsi mendekomposisi hidrofenolik
lipid sehingga menghasilkan produk akhir yang lebih stabil. Contoh: asam dilauril
tiopropionat, dan asam tiodipropionat.
4. Antioksidan enzim: Senyawa dalam kelompok ini berfungsi menghilangkan
oksigen−oksigen dengan menggunakan enzim misalnya enzim glukosa oksidase
dan enzim superoksida dismutase.
Beberapa enzim yang tergolong dalam
kelompok ini yaitu: enzim katalase, enzim glutation peroksidase, dll.
5.
Pengikat logam (chelating agent) atau sekuestran: Fungsi dari kelompok ini
yaitu mengikat ion−ion logam seperti tembaga dan besi yang merupakan ion−ion
logam katalis dalam oksidasi lipid. Contoh senyawa dalam kelompok ini yaitu
asam sitrat, asam−asam amino, asam etilen diaminotetra asetat (EDTA), dll.
Berdasarkan pada sumber dari mana diperoleh, antioksidan dibedakan
dalam dua kelompok besar, yaitu antioksidan sintetis (konvensional) dan
antioksidan alami. Penggunaan antioksidan alami lebih populer daripada yang
sintetis. Pertimbangan terhadap kesehatan, penggunaan antioksidan terutama
yang sintetis sangat dibatasi. Beberapa jenis antioksidan sintetis yang tersedia
secara
komersil
dan
aman
digunakan
yaitu
BHT,
BHA,
TBHQ,
dan
seperti
dari
DL−α−tokoferol.
Antioksidan
sayur−sayuran,
alami
berasal
buah−buahan,
dari
minyak
berbagai
sumber
biji−bijian,
rempah−rempah,
38
tanaman−tanaman herba, hidrolisat protein, dan juga hasil−hasil reaksi
nonenzimatik browning. Senyawa−senyawa seperti vitamin E, vitamin C, dan
minyak nabati yang kaya beta−karoten merupakan antioksidan alami yang sudah
sangat umum digunakan dan luas aplikasinya.
Senyawa−senyawa antioksidan mengurangi oksidasi lemak dengan
mengoksidasikan
dirinya
atau
dengan
mendonasikan
hidrogen
kepada
radikal−radikal bebas asam−asam lemak agar mempercepat reaksi berantai
radikal bebas langsung berada pada tahapan terminal.
antioksidan
menghentikan
proses
berantai
dari
Dengan kata lain,
reaksi
radikal
bebas
(Bernardo−Gil 1997).
Mekanisme Kerja Antioksidan
Aktivitas antioksidan dalam fungsinya menghambat reaksi oksidasi
sangatlah relevan dengan proses−proses yang berlangsung dalam oksidasi itu
sendiri.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa proses oksidasi
berlangsung sebagai suatu reaksi yang berawal dari reaksi inisiasi atau reaksi
pembentukan
radikal;
kemudian
berlanjut
ke
tahapan
propagasi
atau
pengubahan suatu radikal menjadi radikal lain; dan tahap terakhir atau terminasi,
yaitu dimana kombinasi dua radikal membentuk produk yang lebih stabil.
Antioksidan primer bekerja dengan mengubah radikal−radikal lipid
menjadi produk yang lebih stabil. Proses ini dapat dilakukan dimana antioksidan
berfungsi sebagai donor atom hidrogen kepada radikal lipid dengan mengikuti
persamaan reaksi sebagai berikut:
RO• + AH ' ROH + A•
Radikal fenoksil (A•) yang terbentuk lebih stabil sehingga dapat
mengurangi laju propagasi dari rangkaian reaksi otoksidasi (Gordon 1990).
Kelompok antioksidan yang bekerja sebagai penangkap oksigen juga
dapat diandalkan dalam penghambatan oksidasi lipid.
Senyawa β−karoten
merupakan salah satu contoh penting dalam kelompok ini.
Berbeda dengan antioksidan primer, antioksidan sekunder bekerja secara
tidak
langsung
terhadap
aktivitas
radikal dalam
menghambat
oksidasi.
Antioksidan sekunder bekerja dengan memproses senyawa−senyawa tertentu
agar tidak berpotensi membentuk suatu radikal. Proses ini dapat berlangsung
dalam beberapa mekanisme, misalnya antara lain pengikatan ion−ion logam
39
yang berfungsi sebagai pengaktif enzim yang dapat mengkatalis suatu reaksi
penghasil radikal, atau dengan mendekomposisi hidroperoksida menjadi
senyawa yang bersifat nonradikal.
Contoh bahan yang bekerja sebagai
antioksidan sekunder yaitu vitamin C, EDTA dan asam sitrat.
Aktivitas
antioksidan sekunder akan bertambah efektif bilamana disertai dengan adanya
antioksidan primer. Hal ini dibuktikan bahwa aktivitas vitamin C sebagai agen
pereduksi dapat semakin efektif bilamana terdapat bersama vitamin E (Gordon
1990).
Senyawa−senyawa pengikat logam yang membentuk suatu ikatan−σ
dengan suatu logam merupakan antioksidan sekunder yang efektif, sebab dapat
menurunkan potensial redoks. Oleh karena itu, bentuk−bentuk teroksidasi dari
ion−ion logam dapat distabilkan. Sebab sebaliknya bilamana chelating agent
membentuk suatu π−kompleks, justru akan meningkatkan potensial redoks, dan
karenanya akan mempunyai efek sebagai prooksidan.
Enzim superoksida dismutase dan enzim katalase juga memainkan
peranan penting dalam menghambat proses oksidasi lipid. Radikal superoksida
(O2•−) yang diproduksi oleh enzim xantin oksidase dan hidrogen peroksida dapat
dihilangkan oleh enzim superoksida dismutase seperti terlihat pada persamaan
berikut:
Superoksida dismutase
2 O2•− + 2 H+
H2O2 + 3O2
Hampir serupa dengan enzim superoksida dismutase, enzim katalase
berfungsi mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen, sebagaimana
dalam persamaan berikut:
katalase
2H2O2
2H2O + 3O2
Aplikasi Antioksidan dalam Upaya Menghambat Oksidasi Lipid
Penelitian yang dilakukan oleh Webb et al. (1972) yang mempelajari
pengaruh suplementasi vitamin E pada kalkun memperlihatkan bahwa pemberian
vitamin E sebanyak 10 IU atau 100 IU, baik dengan penambahan langsung ke
dalam pakan maupun diinjeksi, menurunkan proses oksidasi lipid yang
40
ditunjukkan dengan menurunnya nilai asam
signifikan.
tioabarbiturat (TBA) secara
Hasil penelitian itu juga memperlihatkan bahwa dosis pemberian
vitamin E menurunkan secara nyata off-odor daging kalkun.
Dilaporkan pula
bahwa kadar off-odor dipengaruhi oleh bagian potongan daging dan jenis
kelamin ternak. Potongan daging pada bagian paha memiliki nilai off-odor lebih
tinggi daripada bagian dada; demikian pula kalkun betina mempunyai derajat offodor yang lebih tinggi daripada kalkun jantan (Tabel 2).
Pencegahan oksidasi lipid di dalam daging ayam dengan pemberian
vitamin E juga diperlihatkan oleh Sheehy et al. (1993) yang mengkombinasikan
vitamin E dengan minyak nabati yang dipanaskan dan menyimpulkan bahwa
kadar α−tokoferol dalam plasma berkorelasi dengan kadar α−tokoferol di dalam
otot paha dan dada ayam.
Demikian pula Whang et al. (1986) melaporkan
bahwa pemberian α−tokoferol memperlambat laju oksidasi pada daging babi
yang setelah dimasak disimpan pada suhu 4oC atau −20oC.
Pemberian
α−tokoferol sampai level 200 ppm, mampu memperpanjang daya simpannya
sampai 60 hari.
Tabel 2 Nilai tengah flavor, off−flavor dan off−odor berdasar perlakuan
Perlakuan pemberian vitamin E
Parameter
Flavor
Off−flavor
Off−odor
a
Sex
Oral
Kontrol
Injeksi
10 IU
100 IU
10 IU
100 IU
F
4.79a
5.01ab
5.50c
5.16bc
5.21bc
M
4.90a
4.89a
4.90a
5.22a
4.88a
F
2.89a
2.66ab
2.13ab
2.41bc
2.04c
M
2.26a
2.06a
2.11a
1.67b
2.26a
F
2.00a
2.05a
1.69b
1.74b
1.76b
M
1.71a
1.50a
1.43a
1.40a
1.46a
nilai yang tidak diikuti dengan huruf yang sama menyatakan adanya perbedaan
sangat nyata pada p < 0.01 ( Webb et al. 1972).
Penurunan senyawa-senyawa volatil off-odor pada daging ayam juga
diperlihatkan oleh De Winne dan Dirinck (1996) dengan pemberian vitamin E
41
(Tabel 3). Konsentrasi senyawa−senyawa aldehid tak jenuh pada ayam seperti
2-heptenal, 2-oktenal, 2-nonenal, 2-dekenal, dan 2-undekenal, jauh lebih kecil
pada ayam−ayam yang diberi vitamin E dibandingkan kontrol.
Hasil ini juga
sangat
daging
relevan
pada
pengujian
off-flavor,
sebab
pada
yang
disuplementasi vitamin E flavornya lebih baik daripada kontrol.
Pengaruh suplementasi vitamin E terhadap pengendalian ketengikan
pada daging unggas diperlihatkan dalam penelitian Marusich et al. (1975) yang
melaporkan bahwa pemberian vitamin E pada level 40 IU/kg selama 8 minggu
atau 160 IU/kg selama 5 hari sangat efektif dalam menunda terjadinya
ketengikan pada ternak ayam. Sedangkan pada kalkun pemberian suplementasi
vitamin E pada level 200 IU/kg selama 4 minggu atau 400 IU/kg selama 3 minggu
memberi hasil yang sangat baik dalam menghambat proses ketengikan. Melalui
penelitian ini Marusich et al. (1975) menyimpulkan bahwa baik tokoferol bebas
dan asetat ester-nya sangat efektif dan serupa sebagai pakan sumber
antioksidan yang berfungsi dalam menunda pembentukan malonaldehid selama
penyimpanan pada suhu 1oC.
Kadar pembentukan malonaldehid diukur berdasarkan nilai TBA yang
sangat berkorelasi dengan derajat off-flavor dan off-odor.
Hasil penelitian
Marusich et al. (1975) menunjukkan pula bahwa meningkatnya kandungan
malonaldehid atau TBA akan sejalan dengan meningkatnya oksidasi lipid
jaringan.
Upaya penghambatan ketengikan pada daging dengan antioksidan juga
dilakukan oleh Younathan et al. (1980) dengan mengaplikasikan beberapa bahan
sayuran seperti jus bawang, kentang, dan ubijalar sebagai sumber antioksidan
untuk daging kalkun dan sapi.
Hasil penelitian yang dilakukan memperlihatkan
bahwa penggunaan bahan-bahan sayuran yang banyak mengandung pigmen
flavonoid itu cukup efektif dalam mengontrol laju ketengikan dari daging kalkun
dan sapi yang disimpan dalam beberapa waktu, yang diukur dengan nilai TBA.
Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa terdapat korelasi antara nilai TBA
daging dan kualitas organoleptiknya. Adanya korelasi antara nilai organoleptik
dan TBA pada daging juga diamati dalam penelitian yang dilakukan pada ayam
broiler (Bou et al. 2001) dan pada sapi (Scollan et al. 2005).
42
Tabel 3 Nilai tengah konsentrasi senyawa−senyawa aldehid jenuh dan tak jenuh
pada paha dan dada ayam1)
Paha
Senyawa volatil
Dada
Kontrol
Vitamin E
Kontrol
Vitamin E
Pentanal
0.145
0.032
0.069
< 0.010
Heksanal
0.959
0.176
0.376
0.102
Heptanal
0.174
0.035
0.092
0.051
Oktanal
0.198
0.043
0.108
0.042
Nonanal
0.431
0.091
0.216
0.067
2−heptenal
0.151
0.034
0.069
< 0.010
2−oktenal
0.305
0.038
0.113
< 0.010
2−nonenal
0.115
0.023
0.076
< 0.010
2−dekenal
0.214
0.030
0.146
< 0.010
cis,trans−2,4−dekadienal
0.111
< 0.010
0.057
< 0.010
trans,trans−2,4−dekadienal
0.525
0.037
0.141
< 0.010
2−undekenal
0.154
0.024
0.125
< 0.010
Aldehid jenuh
Aldehid tak jenuh
Sumber: 1) De Winne dan Dirinck (1996)
Menurut O’Neill et al. (1998) peningkatan komposisi lemak jenuh pada
ayam tidak mempengaruhi mutu daging dengan adanya suplementasi vitamin E.
Dalam penelitian ini juga diperlihatkan bahwa pembentukan WOF dapat
berkurang dengan pemberian vitamin E. Ruiz et al. (2001) melaporkan pula
bahwa pemberian ransum yang kaya vitamin E dapat meniadakan pengaruh
suplementasi lemak terhadap kualitas daging ayam. Demikian pula Chan et al.
(1995) melaporkan bahwa suplementasi vitamin E dapat mempertahankan dan
memperbaiki kualitas produk daging, sebab ditemukan bahwa steak sapi dari
ternak yang disuplementasi vitamin E lebih disukai oleh konsumen.
Penelitian pada daging sapi oleh Arnold et al. (1993) memperlihatkan
bahwa tidak terdapat perbedaan dalam intensitas off-flavor pada daging yang
disimpan pada suhu −20oC antara yang tanpa diberi vitamin E dengan masa
simpan dua hari dengan yang diberi vitamin E 500 IU/hari untuk masa
penyimpanan lima hari.
43
Fungsi dan Mekanisme Kerja Vitamin E
Secara garis besar vitamin E dikelompokkan ke dalam dua kelas, yaitu
tokol dan tokotrienol (trienol). Kelompok tokol mempunyai rantai samping jenuh;
sedangkan kelompok tokotrienol mempunyai rantai samping tidak jenuh.
Senyawa-senyawa dalam kelompok tokol, terutama α-tokoferol, lebih dikenal
dibandingkan dengan yang dalam kelompok trienol. Aktivitas α-tokoferol paling
besar diantara anggota tokol yang lain, yakni β, γ, dan δ -tokoferol. Penamaan
jenis tokoferol didasarkan atas jumlah dan posisi dari gugus metilnya,
sebagaimana pada Gambar 8.
Penyerapan vitamin E sebagai alkohol bebas terjadi terutama di jejunum
melalui difusi pasif. Tokoferol yang terabsorpsi digabungkan ke dalam kilomikron
yang terdapat di dalam enterosit (mukosa), dan dibawa melalui limfa (cairan
getah bening) ke dalam sirkulasi sistem limfatik. Selanjutnya tokoferol akan
didistribusi ke dalam jaringan tubuh dengan transpor LDL; di sini tokoferol
sekaligus berfungsi melindungi LDL dari oksidasi. Di dalam sitoplasma, vitamin
E terikat pada “tochopherol-binding protein”, sebagai alat transpornya. Selain
terdapat dalam plasma, vitamin E banyak dijumpai dalam mitokondria. Organ
dimana vitamin E banyak tersimpan yaitu di jaringan adiposa.
Konsentrasi
vitamin E di jaringan ini meningkat linier sejalan dengan peningkatan level
vitamin E dalam pakan (Surai 2003).
R2
R3
O
HO
R1
Gambar 8 Struktur bangun tokoferol.
Keterangan:
Senyawa
α-tokoferol
β-tokoferol
γ-tokoferol
δ-tokoferol
R1
CH3
CH3
H
H
R2
CH3
H
CH3
H
R3
CH3
CH3
CH3
CH3
44
Perbedaan afinitas tokoferol terhadap membran sel pada berbagai organ
dan jaringan menghasilkan konsentrasi tokoferol yang berbeda pada lokasi yang
berbeda.
Dua faktor penting yang menentukan konsentrasi tokoferol dalam
jaringan yaitu lama periode pemberian dan jumlahnya yang ditambahkan ke
dalam makanan. Hasil penelitian yang diacu oleh Berges (1999) melaporkan
bahwa dengan mengsuplementasikan 200 mg α-tokoferol asetat/kg pakan broiler
dalam periode yang berbeda (1, 2, 3, 4, dan 5 minggu sebelum pemotongan)
diperoleh bahwa konsentasi α-tokoferol berbeda-beda di antara jaringan.
Konsentrasi paling tinggi terdapat di dalam jantung dan terendah di dalam otak.
Konsentrasi sedang dijumpai pada paru-paru, hati, paha, dan dada.
Pada
jantung, konsentrasi tertinggi dicapai pada suplementasi tiga minggu sebelum
pemotongan, sedangkan pada paha dan dada, konsentrasi tertinggi baru dapat
dicapai pada peride empat minggu sebelum pemotongan.
Sheldon (1984)
mengemukakan bahwa daging paha kalkun dapat mengandung α-tokoferol
sampai enam kali lebih tinggi daripada yang terdapat pada bagian dada atau
lemaknya.
Kenyataan ini dijelaskan dengan berasumsi bahwa adanya
vaskularitas yang lebih besar pada kaki kalkun dibandingkan dengan bagian
tubuh yang lain.
Berdasarkan pada bangsa ternak, Berges (1999) menyimpulkan bahwa
terdapat perbedaan di antara ayam dan kalkun dalam mendeposisikan vitamin E.
Kalkun kurang efisien dalam mendeposisikan α-tokoferol, baik pada lemak
ataupun pada ototnya.
Rendahnya vitamin E dalam kalkun disebabkan oleh
tingginya metabolisme α-tokoferol pada ternak ini dibandingkan dengan ayam.
Oleh karena itu Sheldon (1984) menyatakan bahwa daging kalkun sangat rentan
terhadap oksidasi.
Sehingga kepada ternak ini pemberian vitamin E perlu
disediakan dalam jumlah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan yang
diberikan kepada ternak ayam.
Fosfolipid pada membran sel lebih banyak mengandung asam-asam
lemak tak jenuh; sehingga adanya vitamin E sangat berguna untuk melindungi
membran dari kerusakan akibat oksidasi. Membran sel sangat sensitif terhadap
oksidasi, terutama bila bereaksi dengan radikal yang terdapat di dalam tubuh,
•
khususnya radikal hidroksi (OH ).
dijelaskan berikut ini:
Mekanisme oksidasi lipid membran dapat
45
1) Pada tahapan inisiasi senyawa lipid organik (LH) bereaksi dengan radikal
hidroksi (OH.) bebas, yang menghasilkan terbentuknya suatu radikal lipid
dan air, dengan persamaan:
•
•
LH + OH
L + H2O
2) Atau suatu kemungkinan lain, senyawa lipid (LH) bereaksi dengan
oksigen dan menghasilkan radikal lipid dan radikal hidroperoksi (HO2.).
L• + HO2•
LH + O2
Sekali radikal lipid terbentuk, mereka dapat bereaksi membentuk radikalradikal tambahan dalam reaksi atau tahapan propagasi.
3) Radikal
lipid
bereaksi
dengan
oksigen
dalam
reaksi
propagasi
.
membentuk radikal peroksil (LOO )
•
•
L + O2
LOO
4) Radikal peroksil lipid dapat pula dihasilkan dari reaksi antara Fe3+ dengan
hidroperoksida lipid (LOOH).
•
Fe3+ + LOOH
Fe2+ + LOO
Radikal peroksil yang terbentuk dapat menarik satu atom hidrogen dari
senyawa organik lain termasuk dari lemak jenuh di dalam membran untuk
menghasilkan suatu reaksi berantai dengan radikal lipid (L•).
•
•
LOO + LH
L + LOOH
Reaksi berantai yang melibatkan radikal lipid (L•) harus dihentikan untuk
mencegah kerusakan sel.
Peranan vitamin E diperlukan dalam proses ini.
Vitamin E yang terdapat di dalam membran berperan untuk memutus rantai
radikal dengan bereaksi dengan radikal peroksil (LOO•) dan mencegah
penarikan hidrogen dari asam-asam lemak atau senyawa organik lainnya.
Dengan demikian dalam hal ini vitamin E berperan menghentikan reaksi pada
rantai propagasi. Namun vitamin E belum efektif dalam menghentikan produksi
radikal hidroksi (OH•) atau radikal alkoksi (LO•). Reaksi vitamin E (EH, status
tereduksi) dengan radikal peroksi lipid atau nonlipid sebagai berikut:
LOO• + EH
LOOH + E•
atau
•
ROO + EH
ROOH + E•
46
E• adalah vitamin E yang tereduksi. Pereduksian ini memerlukan adanya
vitamin C, glutation (GSH), dan NADPH. Proses yang sedemikian tadi seringkali
disebut sebagai “free-radical scavenging”. Terminasi dicapai ketika dua radikal
bebas bergabung membentuk suatu molekul yang bukan lagi sebagai radikal
bebas atau yang tidak dapat lagi melanjutkan reaksi (Groff dan Gropper 2000).
Gambar 9 memperlihatkan reaksi berantai pada tahapan inisiasi yang
disebabkan oleh radikal bebas hidroksi menyerang suatu asam lemak tak jenuh.
Radikal hidroksi
OH•
air
H2O
CH3CH = CHĊH(CH2)nCOOH
CH3CH = CHCH2(CH2)nCOOH
Asam lemak tak jenuh
(LH)
radikal lipid
(L•)
O2
Reaksi rantai berlanjut LH
O — OH•
│
CH3CH = CHCH(CH2)nCOOH
Hidroperoksida lipid
(LOOH)
L•
O—O
│
CH3CH = CHCH(CH2)nCOOH
Radikal peroksil lipid
(LOO•)
Gambar 9 Reaksi inisiasi dan berantai yang disebabkan oleh radikal bebas
hidroksi menyerang asam lemak tak jenuh (Groff dan Gropper 2000).
Metabolisme Vitamin E
Penyerapan tokoferol terjadi pada sistem limfatik dimana tokoferol dibawa
sebagai suatu kompleks lipoprotein. Efisiensi penyerapan tokoferol dipengaruhi
oleh pencernaan dan penyerapan lipid. Senyawa-senyawa trigliserida umumnya
meningkatkan penyerapan tokoferol; sebaliknya asam lemak tak jenuh
menghambatnya (Machlin 1990).
47
Pada ternak, vitamin E lebih siap diserap dalam bentuk emulsi cairan
daripada yang dalam bentuk larutan minyak; karena itu pada ternak biasanya
vitamin E diberikan dalam bentuk tokoferol asetat yang lebih mudah dihidrolisis
dengan enzim esterase yang terdapat pada mukosa duodenum.
Sirkulasi vitamin E berlangsung melalui limfa dan darah yang tergabung
dalam lipoprotein. Perletakan tokoferol oleh jaringan bervariasi sejalan dengan
pengambilan tokoferol.
Konsentrasi vitamin E banyak terdapat pada kelenjar
adrenal, pituitari, dan testis; dengan konsentrasi tertinggi dalam membran sel
seperti mitokondria dan mikrosom.
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa α-tokoferol dapat berfungsi
sebagai antioksidan secara in vivo. Asam-asam lemak jamak tidak jenuh (PUFA)
paling sensitif terhadap oksidasi.
Semakin banyak ikatan rangkap, semakin
besar konsentrasi terhadap oksidasi.
Faktor-faktor pendukung yang makin
meningkatkan fungsi vitamin E yaitu dengan tersedianya beberapa enzim, seperti
enzim superoksida dismutase, katalase, glutation peroksidase, dan glutation
reduktase.
Rantai cincin tokoferol atau kromonal terdapat pada permukaan membran
yang polar dan rantai samping fitil berinteraksi dengan PUFA dari fosfolipid di
dalam membran nonpolar. Satu aspek penting yang membuat α-tokoferol sangat
unik sebagai antioksidan in vivo adalah kemampuannya untuk dihasilkan dari
radikal tokoperoksi oleh vitamin C dengan glutation tereduksi.
Ada atau tidaknya vitamin E dalam jaringan ternak merupakan faktor yang
sangat kritis terhadap stabilitas lipid selama penyimpanan daging.
Dengan
menangkap radikal-radikal bebas, vitamin E melindungi asam-asam lemak dan
kolesterol dari oksidasi.
Dalam proses ini vitamin E melepaskan satu atom
hidrogen yang kemudian ditangkap oleh suatu radikal peroksil, selanjutnya
tereduksi membentuk hidroperoksida. Radikal vitamin E bersifat stabil dan tidak
bereaksi dengan asam-asam lemak PUFA.
Vitamin E dapat juga bereaksi
dengan radikal-radikal lain, yang dengan ini, reaksi rantai oksidasi lipid dapat
dihentikan. Proses mekanisme reaksi vitamin E dengan suatu senyawa radikal
diperlihatkan dalam Gambar 10.
48
ROO
CH 3
HO
CH 3
O
CH 3
ROOH
CH3
O
ROO
CH3
O
.
CH3
CH 3
O
Senyawa intermediet sangat stabil
CH 3
O
.
CH 3
ROOH
Terminal
Gambar 10 Mekanisme efek antioksidan vitamin E.
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin Antioksidan yang Lain
Metabolisme unsur-unsur nutrisi sesuai fungsinya masing-masing di
dalam tubuh, telah diketahui bahwa mereka tidak bekerja sendiri. Sebaliknya
unsur-unsur tersebut akan bekerja secara interaksi, apakah itu dalam bentuk
sinergis atau antagonis antara satu unsur dengan unsur lainnya.
Demikian
halnya dengan vitamin. Berperan sebagai senyawa antioksidan di dalam tubuh,
setiap vitamin akan bekerja secara interaksi, baik dengan sesama unsur vitamin
atau dengan unsur lain, misalnya dengan mineral, untuk menghasilkan fungsinya
sebagai antioksidan secara optimal (Machlin dan Langseth 1988).
Interaksi antara senyawa-senyawa vitamin dapat berlangsung pada
proses absorpsi. metabolisme, katabolisme, dan ekskresi. Satu vitamin mungkin
saja diperlukan untuk optimalisasi absorpsi dari vitamin lain, atau satu vitamin
diperlukan untuk melindungi katabolisme berlebih dari vitamin yang lain. Sebagai
contoh, vitamin C berperan melindungi kerusakan vitamin E, sedangkan vitamin
E berfungsi melindungi vitamin A (Leung et al. 1981; Abawi et al. 1985; Lambelet
et al. 1985).
49
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin C
Vitamin C atau yang dikenal pula sebagai L-ascorbic acid dengan struktur
molekul pada Gambar 11, merupakan vitamin yang bersifat larut air dan sebagai
antioksidan yang penting dalam cairan ekstraseluler. Vitamin C sangat efisien
dalam menangkap beberapa senyawa seperti: superoksida, hidrogen peroksida,
radikal hidroksi, dan radikal peroksil (Sies dan Stahl 1995). Akan tetapi menurut
Bou et al. (2001) aplikasi vitamin C sebagai antioksidan pada ternak untuk
menghambat oksidasi masih sedikit yang dilakukan penenelitiannya.
HO
O
OH
OH
O
OH
Gambar 11 Struktur molekul vitamin C.
Penelitian yang dilakukan secara in-vitro diperoleh bahwa interaksi antara
vitamin E dan C bersifat sinergistik dalam fungsinya sebagai antioksidan. Vitamin
E berperan sebagai antioksidan lipofilik, sedangkan vitamin C sebagai
antioksidan hidrofilik (Niki et al. 1995). Hasil beberapa penelitian yang disitir oleh
Machlin dan Langseth (1988) memperlihatkan bahwa kombinasi vitamin E dan C
lebih efektif dalam menekan terjadinya peroksidasi pada mikrosoma hati tikus
daripada kedua vitamin tersebut apabila diberikan secara sendiri-sendiri. Dalam
penelitian in-vitro yang lain diperlihatkan bahwa vitamin E dan C berfungsi
sebagai penangkap radikal bebas dan bekerja secara sinergistik dalam
antioksidasi lipid. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan pada manusia,
diperoleh
bahwa
suplementasi
kedua
vitamin
tersebut
secara
sinergis
menurunkan lipid peroksida.
Vitamin C diketahui berperan meregenerasikan tokoferol dari radikal
tokoperoksil, sehingga dapat mempertahankan keaktifan vitamin E sebagai
antioksidan.
Oleh karena itu disimpulkan bahwa vitamin C membantu
mengendalikan peroksidasi lipid.
Hasil seperti dalam penelitian Reinton dan
Rogstad (1981) yang menggunakan kombinasi tokoferol dan asam askorbat
50
diperoleh bahwa kombinasi tersebut dapat menghasilkan efek penghambatan
terhadap oksidasi asam lemak yang disimpan dalam beberapa lama waktu. Hal
yang sama dikemukakan pula oleh Sies dan Stahl (1995) bahwa vitamin C
berfungsi melindungi membran terhadap peroksidasi melalui peningkatan
aktivitas tokoferol. Kemampuan vitamin C yang dapat menurunkan pembentukan
radikal tokoperoksil, memfungsikannya mempertahankan aktivitas penangkapan
radikal oleh tokoferol.
Radikal tokoperoksil yang terbentuk dalam membran
diduga bereaksi dengan asam askorbat dan kemudian menghasilkan tokoferol.
Namun demikian hipotesis ini masih terus perlu dikaji.
Interaksi Vitamin E dengan Vitamin A (β-Karoten)
Senyawa β-karoten merupakan salah satu dari sekitar 500 senyawa
karotenoid alami atau sebagai senyawa provitamin A yang paling aktif. Sifat
penting dari senyawa ini adalah lipofilik dan memiliki ikatan rangkap konjugasi.
Dari beberapa bentuk struktur isomer molekul β-karoten, isomer bentuk all-trans
(Gambar 12) memiliki sifat aktif yang tinggi. Pada struktur β-karoten, terlihat
bahwa senyawa tersebut terdiri atas dua cincin β-ionon dan 18 rantai karbon.
H 3C
CH3
(E)
(Z)
CH3
H 3C
CH3
CH3
(E)
(E)
(E)
(E)
(E)
(Z)
(E)
(E)
CH3
(E)
CH3
H3C
CH3
Gambar 12 Struktur bangun senyawa all-trans β-karoten.
Sebagai senyawa antioksidan, β-karoten lebih terbatas bekerja pada
kondisi rendah oksigen. Pada kondisi oksigen yang tinggi, β-karoten justru dapat
menjadi prooksidan.
Oleh karenanya senyawa ini sangat sensitif mengalami
dekomposisi oksidatif apabila terkena udara.
Sifat ini dimungkinkan terjadi
karena struktur molekulnya yang berikatan rangkap konjugasi (Madhavi et al.
1996).
Selain itu juga, β-karoten sangat sensitif terhadap cahaya, temperatur
dan kondisi asam.
Penelitian memperlihatkan bahwa pada temperatur 45oC
dalam kondisi terkena udara, senyawa β-karoten menjadi rusak total setelah 6
minggu.
51
Hasil penelitian Niki et al. (1995) memperlihatkan bahwa
sifat
penghambatan oksidasi oleh β-karoten dalam minyak kedelai dapat diperpanjang
apabila dikombinasikan dengan tokoferol. Demikian juga penggunaannya bagi
kesehatan manusia terutama dalam mengatasi beberapa penyakit seperti
kanker, kardiovaskular, dan katarak. Sies dan Krinsky (1995) melaporkan bahwa
β-karoten efektif untuk hal itu, terutama bilamana diaplikasikan bersama
tokoferol.
Efek sinergistik antioksidan dari kombinasi vitamin E dan β-karoten
bersifat aditif dalam oksidasi lipid, dibandingkan apabila kedua senyawa tersebut
berada secara individu. Namun efek ini tidak sebesar apabila kombinasi tersebut
adalah vitamin E dan vitamin C (Niki et al. 1995). Mekanisme sinergistik antara
ketiga vitamin tersebut dalam perannya sebagai antioksidan diperlihatkan dalam
Gambar 13.
•
C
C
Air
LOOH
LH
LOOH
• LH
E
E
oksidasi berantai
Permukaan
LH
•
L
•
•
B
O2
•
•
LO2 E BO2• B
LO2
•
B
BO2•
BOOH
LH
Interior
oksidasi berantai
Gambar 13 Skema penghambatan oksidasi pada membran dan LDL oleh
kombinasi β-karoten (B), vitamin C (C), dan vitamin E (E).
LH = Lipid; L• = radikal lipid; LO2• = radikal lipid peroksil;
LOOH = lipid hidroperoksida; B• = radikal derivasi β- karoten;
BO2• = radikal β-karoten peroksil; BOOH = β-karoten hidroperoksida;
E• = radikal vitamin E; C• = radikal vitamin C (Niki et al.1995).
52
Peranan β-karoten sebagai antioksidan untuk menangkap radikal, bukan
dengan menggunakan donasi atom hidrogen, tetapi dengan penambahan ikatan
rangkap membentuk radikal karbon terpusat. Karena itu aktivitas antioksidan βkaroten lebih tinggi pada tekanan oksigen yang lebih rendah.
Sifat sinergistik vitamin E dan β-karoten dapat pula dilihat pada kerjanya
di dalam membran dan LDL. Pada kondisi ini, vitamin E dan β-karoten bekerja
pada bagian yang berbeda. Vitamin E bekerja pada permukaan, sedangkan βkaroten bekerja di bagian dalam membran (Niki et al.1995)
Analisis Sensori Off-Odor
Salah satu cara yang dapat dipakai untuk menilai intensitas off−odor yaitu
dengan menggunakan teknik sensori. Metode ini dilakukan dengan melibatkan
sejumlah orang (panelis) yang mampu mendeteksi dan mendeskripsi off−odor.
Sistem analisis sensori pada prinsipnya mencakup faktor fisiologis dan
psikologis. Lima jenis masalah berbeda dimana teknik sensori diterapkan, yaitu:
(1) pengembangan produk baru, (2) usaha pengurangan biaya, (3) peningkatan
kualitas, (4) evaluasi penerimaan produk, dan (5) kontrol kualitas dan jaminan.
Pendekatan yang paling mudah dalam analisis sensori, baik praktis
maupun teoritis, dibedakan dalam empat bidang utama, yaitu:
1.
Analisis Deskriptif:
suatu
analisis
makanan
seseorang
atau
dengan
menghasilkan
minuman.
menjelaskan
Jadi
bahasa
bagaimana
persepsinya
tentang
makanan yang diujinya.
2.
Pengukuran Intensitas: Persepsi sensori dengan menggunakan skala yang
memperlihatkan
bagaimana
rangsangan
fisik
berkembang menghasilkan respon sensori.
3.
Pengukuran Hedonik:
Metode analisis yang menguji suka atau tidak suka
4.
Analisis GC-Sniffing:
Teknik GCO yang menggabungkan instrumentasi
dan manusia.
Pengembangan terhadap kualitas hasil penelitian flavor terus meningkat,
khususnya dalam beberapa tahun terakhir ini.
Hal ini sejalan dengan
ditemukannya berbagai metode-metode baru dalam pengujian sensori. Aspek-
53
aspek metode pengujian yang lebih banyak mendapat perhatian yaitu:
uji
pembedaan, ranking dan rating, dan profil.
Uji pembedaan biasanya dilakukan dengan melibatkan jumlah panelis
asesor yang lebih sedikit, bahkan seringkali tidak harus diperlukan mereka yang
berpengalaman. Metode uji pembedaan yang paling banyak dipakai yaitu: uji
segitiga (triangular), uji berpasangan, dan metode duo-trio. Sampel yang diuji
dengan metode ini harus diberi kode sedemikian rupa agar gambarannya tidak
menimbulkan bias.
Pembanding berpasangan jarang digunakan dalam uji
pembedaan karena tidak adanya hipotesis nol yang dibangun dengan
penggunaan metode tersebut.
Hasil dari pengujian berpasangan ini semata-
mata hanya di dasarkan pada peluang saja.
Metode penjenjangan dan rating umumnya dilaksanakan dengan
menggunakan panelis yang terlatih baik dan berpengalaman.
Peran utama
panelis dalam metode ini yaitu mengevaluasi dan menempatkan secara berurut
intensitas dari sifat-sifat spesifik (berjenjang, ranking), mengkuantifikasi dan
memberi skor (rating), serta mengklasifikasi (grading). Hasil penilaian panelis
biasanya dibuat dalam bentuk skala atau grafik. Skala kategori dipakai secara
luas dalam berbagai bidang pengolahan makanan yang produknya memiliki sifatsifat multivariat yang mempengaruhi kualitas produk tersebut.
Shand (1985)
menyebutkan bahwa evaluasi dengan menggunakan sistem skala mempunyai
dua kelemahan, yaitu: (a) panelis seringkali menghindari menggunakan nilai-nilai
ujung dari skala, sehingga hasil terhadap kategori dan pengaruhnya dapat
menghasilkan rating yang bias; (b) interval di dalam skala bisa saja tidak
seimbang dalam derajat subyektivitasnya, sekalipun analisis datanya didasarkan
pada asumsi tersebut.
Penyempurnaan dalam metode skala oleh Stone et al. (1980) dipakai
skala semistruktur.
Metode ini lebih sensitif terhadap produk yang berbeda
dibandingkan dengan metode skala terstruktur. Metode skala semistruktur juga
mengurangi kelemahan dalam hal keseimbangan interval skala, karena dengan
metode ini panelis lebih bebas dalam menentukan nilai skala dari suatu
pengujian produk.
Metode profil yang digunakan secara analisis deskriptif akan lebih
memampukan
peneliti
untuk
mengidentifikasi
dan
menguraikan
secara
kuantifikasi suatu produk berdasarkan kualitas visual, tekstur, auditori, olfaktori
dan gustatori. Metode ini lebih banyak bergantung pada istilah-istilah kualitas
54
yang
telah
dikembangkan
sebelumnya,
dan
biasanya
tiap-tiap
industri
mengembangkan istilah-istilah yang lebih sesuai dengan industri tersebut. Oleh
karena itu, satu masalah penting yang dijumpai dalam metode ini yaitu adanya
keragaman yang luas, sehingga seringkali menjadi kendala dalam analisis
statistik (Meilgaard et al. 1999)
Download