pusat kebijakan kerja sama perdagangan internasional badan

advertisement
LAPORAN AKHIR
ANALISIS
LIBERALISASI SEKTOR JASA PARIWISATA
INDONESIA SERTA DAMPAKNYA PADA EKSPOR JASA
PARIWISATA MODA 2 (CONSUMTION ABROAD) DAN
MASUKNYA FOREIGN DIRECT INVESTMENT
PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
2015
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Allah SWT atas berhasilnya Tim Peneliti Jasa, HKI dan Isu
Baru, Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional dalam menyusun
“Analisis Liberalisasi Sektor Jasa Pariwisata Indonesia Serta Dampaknya Pada
Ekspor Jasa Pariwisata Moda 2 (Consumtion Abroad) dan Masuknya Foreign Direct
Investment”. Sebagaimana diketahui bahwa analisis ini merupakan salah satu
analisis jangka pendek tahun 2015 yang memuat isu-isu strategis terbaru. Pada
tahun 2015 ini topik yang diangkat berkaitan dengan jasa pariwisata.
ESM merupakan suatu hal yang sangat baru dalam perdagangan Jasa.
Konsep ESM ini juga menjadi salah satu fokus yang belum disepakati pada Putaran
Uruguay. Namun demikian, ke depan konsep ini akan masih menjadi perhatian
dunia terutama negara-negara berkembang.
Melihat pentingnya isu ini maka disusunlah kajian ini. Kami menyadari bahwa
dalam melaksanakan pengkajian terdapat keterbatasan-keterbatasan. Untuk itu kami
mohon saran dan masukan serta kritik yang bersifat membangun dari para pembaca
kajian ini.
Jakarta, Oktober 2015
Tim Peneliti
Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
ii
ABSTRAK
Ekspor jasa pariwisata yang ditandai dengan masuknya turis asing ke
Indonesia berperan sebagai salah satu sumber devisa. Untuk mendorong hal
tersebut, maka diperlukan akomodasi pendukung seperti hotel dan restoran.
Akomodasi ini dapat berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Penanaman Modal Asing (PMA/FDI). Salah satu upaya mendorong investasi ini
adalah dengan cara meliberalisasi jasa hotel dan restoran. Untuk itu dilakukan
“Analisis Liberalisasi Sektor Jasa Pariwisata Indonesia Serta Dampaknya Pada
Ekspor Jasa Pariwisata Moda 2 (Consumtion Abroad) dan Masuknya Foreign Direct
Investment”.
Tujuan dari analisis ini adalah untuk memetakan tingkat liberalisasi
perdagangan jasa Indonesia di Moda 3 di semua fora kerjasama perdagangan,
menganalisa hubungan antara liberalisasi perdagangan jasa terhadap masuknya
Cemmercial Presence (Moda 3) di Indonesia dan menganalisa hubungan antara
liberalisasi perdagangan jasa terhadap ekspor jasa pariwisata. Alat alanalisis yang
digunakan untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah analisis deskriptif, indeksasi
dengan indeks hoekman dan uji beda rata-rata (uji t).
Hasil penelitian menujukkan bahwa jasa tingkat liberalisasi jasa pariwisata
Indonesia tertinggi pada kerjasama AFAS 8 dengan indeks hoekman sebesar 0,38
untuk kolom akses pasar dan 0,31 untuk kolom perlakuan nasional. Tingkat
leberalisasi hotel berdasarkan hasil perundingan yaitu 51 persen modal asing
diperboleh di wilayah barat Indonesia dan 100 persen di wilayah timur. Tingkat
liberalisasi tersebut diberikan pada semua fora perundingan yang telah
ditandatangani oleh Indonesia. Walaupun telah dibuka 100 persen untuk asing, FDI
untuk hotel maupun restoran di wilayah timur Indonesia lebih rendah dari wilayah
barat. Walaupun Indonesia melakukan penantangan beberapa kerjasama
perdagangan (IJEPA, ASEAN dan ASEAN+1), namun belum secara signifikan
meningkatkan FDI diwilayah timur. Hal ini ditunjukkan oleh nilai t-hitung yang berada
pada daerah menerima H0. FDI diwilayah barat Indonesia meningkat secara
signifikan terutama setelah Indonesia mengantangan kerjasama-kerjasama
perdagangan tersebut dan ditunjukkan dengan nilai t-hitung yang berada pada
daerah menolak H0.
Kata kunci: Jasa Hotel dan Restoran, Liberalisasi Sektor Jasa, Foreign Direct
Investmen (FDI)
JEL: F13, F14, F16, F21, F23
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR................................................................................................... 1
ABSTRAK .................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................... 1
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ 1
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... 1
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 3
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 3
1.4 Output ................................................................................................................ 4
1.5 Dampak/Manfaat .............................................................................................. 4
1.6 Sistematika Penelisan........................................................................................ 4
BAB II LANDASAN TEORI ......................................................................................... 5
2.1 Konsep Perdagangan Jasa ..................................................................................... 5
2.2 Konsep Suplai Jasa .......................................................................................... 6
2.3 Sektor jasa di WTO ............................................................................................ 7
2.4 Schedule of Commitment (SOC) ...................................................................... 8
2.5 Penelitian Terdahulu Mengenai Foreign Direct Investment
dan Liberalisasi Perdagangan .......................................................................... 9
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 11
3.1 Data ......................................................................................................................... 11
3.2 Analisa Deskriptif ............................................................................................. 11
3.3 Indeksasi dengan Indeks Hoekman ................................................................. 11
3.4 Analisis Uji Beda Rata-rata ............................................................................. 12
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
iv
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................ 14
4.1 Analisa Tingkat Liberalisasi Jasa Pariwisata Indonesia
di Moda 2 dan Moda 3 di Semua Fora Kerjasama Perdagangan Jasa ............. 14
4.2 Analisis Ekspor Jasa Pariwisata Indonesia melalui
Moda 2 (Consumption Abroad) ........................................................................ 17
4.3 Analisis Realisasi Moda 3 (Commercial Presence)
di Jasa Pariwisata Indonesia .......................................................................... 20
4.4 Analisis Hubungan FDI dengan Kedatangan Wisatawan Asing....................... 24
4.5 Analisis Pengaruh Penandatangan Beberapa
Regional Trade Agreement (RTA) terhadapa Masuknya FDI .......................... 25
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ...................................... 29
5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 29
5.2 Rekomendasi Kebijakan ................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 31
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Mode of Supply dalam Perdagangan Jasa ..................................... 7
Tabel 2
Indeksasi dengan Indeks Hoekman .............................................. 13
Tabel 3
Tingkat Komitmen Sektor Jasa Pariwisata Indonesia
Berdasarkan Subsektor Pada Kerjasa Bilateral, Regional
dan Multilateral ..................................................................................... 17
Tabel 4
Propinsi yang Dibuka dengan Kepemilikan Saham Penuh
(100 Persen) untuk Jasa Hotel ..................................................... 18
Tabel 5
Ekspor Jasa-jasa Indonesia .......................................................... 19
Tabel 6
Jumlah Kedatangan Wisatawan Asing ke Indonesia
Berdasarkan Pintu Masuk ................................................................... 20
Tabel 7
Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 100 Persen Sebelum Penandatanganan Beberapa
Regional Trade Agreement (RTA) ................................................. 22
Tabel 8
Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 100 Persen Setelah Penandatanganan Beberapa RTA ......... 23
Tabel 9
Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 51 Persen Sebelum Penandatanganan
Beberapa RTA ............................................................................... 24
Tabel 10
Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 51 Persen Sebelum Penandatanganan Beberapa RTA ......... 25
Tabel 11. Perbandingan antara Sebelum dengan Sesudah Penandatangan
Beberapa RTA di Wilayah dengan Kepemilikan
Modal Asing 100 Persen ................................................................ 26
Tabel 12. Perbandingan antara Sebelum dengan Sesudah Penandatangan
Beberapa RTA di Wilayah dengan Kepemilikan
Modal Asing 51 Persen ................................................................... 27
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Perbandingan jumlah turis asing di empat negara
ASEAN Tahun 2000-2014 .......................................................................... 2
Gambar 2
Tingkat Komitmen Sektor Jasa Pariwisata Indonesia ................ 16
Gambar 3
Uji t untuk Wilayah/Provinsi dengan Liberalisasi
100 persen ................................................................................. 26
Gambar 4
Uji t untuk Wilayah/Provinsi dengan Liberalisasi
51 persen ................................................................................... 28
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semakin pentingnya peran sektor jasa pada perekonomian negaranegara di dunia saat ini mendorong semakin berkembangnya negosiasi
perdagangan
jasa.
Pada
tingkat
multilateral
(World
Trade
Organization/WTO), perdagangan jasa telah setara dengan perdagangan
barang. Hal ini sesuai dengan prinsip single undertaking. Berdasarkan
Pasal 39 Undang-undang No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan (UU
Perdagangan), Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah Negara
dilakukan dengan cara: pasokan lintas batas, konsumsi di luar negeri,
keberadaan komersial, atau perpindahan manusia. Cara tersebut
mengacu pada Pasal 1 General Agreement on Trade in Services (GATS).
Ruang lingkup pengaturan Perdagangan juga mencakup perdagangan
jasa sebagaimana yang tertuang pada Pasal 4 Ayat 2 UU Perdagangan.
Salah satu sektor jasa tersebut adalah jasa pariwisata.
Jika dilihat moda konsumsi di luar negeri (moda 2), setiap negara
telah mengembangkan moda ini terutama di sektor pariwisata. Pemerintah
setiap negara telah meliberalisasi moda ini tanpa diberikan pembatasanpembatasan. Salah satu bentuk
ekspor jasa melalui moda 2 adalah
masuknya wisatawan asing ke Indonesia. Masuknya wisatawan asing ke
Indonesia
merupakan
salah
satu
sumber
devisa
penting
bagi
perekonomian Indonesia (Lumaksono, et.al., 2012). Untuk mendorong
pariwisata ini, dibutuhkan beberapa hal diantaranya jasa-jasa pendukung
seperti akomodasi, venue, transportasi dan energy (Vengesayi, 2003).
Kebutuhan akan fasilitas ini akan menciptakan peluang bagi penyedia jasa
baik dari dalam maupun luar negeri untuk membangun atau mendirikan
fasilitas-fasilitas tersebut. Fasilitas-fasilitas ini dapat dibangun dari
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Modal Asing (Foreign
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
1
Direct Investment/FDI). FDI di sini dapat merupakan salah satu bentuk
keberadaan komersial (Commercial presence).
Jumlah kunjungan turis asing ke Indonesia tidak lebih tinggi
dibandingkan jumlah kunjungan turis asing ke negara-negara ASEAN
lainnya, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Indonesia menerima
kunjungan turis asing sekitar 9,5 juta pada 2014 lalu, angka yang relatif
sama juga diterima oleh Malaysia dan Thailand pada tahun 2000 dan oleh
Singapura pada tahun 2009 (lihat Gambar 1). Negara-negara ASEAN
bersaing untuk menarik para turis asing di tengah berbagai persoalan
dalam negeri maupun regional. Persoalan-persoalan itu antara lain
budaya, bencana alam, penyakit menular, terorisme, dan kekisruhan
politik (Barkema, Bell, & Pennings, 1996; Farooq & Khan, 2014).
30.000.000
25.000.000
20.000.000
15.000.000
10.000.000
5.000.000
0
1998
2000
2002
Malaysia
2004
Thailand
2006
2008
2010
Singapura
2012
2014
2016
Indonesia
Gambar 1. Perbandingan jumlah turis asing di empat negara ASEAN
Tahun 2000-2014
(Sumber: Hasil olahan peneliti)
Kurang bersaingnya tujuan-tujuan pariwisata di Indonesia dengan
Singapura, Malaysia, dan Thailand dikarenakan oleh beberapa alasan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Syariah and Supriharjo (2009),
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
2
mengungkap penyebab kurang berkembangnya suatu tujuan pariwisata di
Indonesia, dilihat dari persepsi
pengunjung, antara lain, accessibilities
(kualitas jalan tidak baik, moda transportasi umum tidak memadai,
pedestrian tidak aman), amenities (toko cendera mata, toilet, tempat
parker, dan tempat ibadah), accommodation (tempat istirahat), dan
attraction (jumlahnya kurang, bangunan tidak teratur, dan tidak ada
identitas local). Keempat aspek yang ditemukan oleh Syariah and
Supriharjo (2009) adalah bagian dari destination mix (bauran destinasi).
Bauran
destinasi
terdiri
dari
attraction,
activities,
accessibilities,
accommodation, dan amenities (Mao, Robinson, & Dowling, 2009).
Hal-hal yang diatur dalam moda 3 ini (Commercial presence),
berdasarkan artikel 28 GATS adalah dalam bentuk pendirian usaha atau
profesional melalui konstitusi, akuisisi, atau pemeliharaan suatu badan
hukum atau penciptaan dan pemeliharaan suatu kantor perwakilan atau
kantor cabang antara wilayah negara mitra dagang dengan tujuan untuk
menyediakan jasa (WTO, 2013). Hal penting yang diatur terkait dengan
akses pasar di moda 3 adalah penetapan jumlah partisipasi modal asing
(Foreign Equity Participation). Kesempatan masuknya penyedia jasa hotel
dan restoran asing semakin lebar karana liberalisasi jasa pariwisata
Indonesia di berbagai for a perundingan.
Untuk melihat seberapa besar pengaruh liberalisasi terhadap masuknya
penyedia jasa asing melalui FDI sektor jasa pariwisata ke Indonesia serta
ekspor
jasa
pariwisata,
dilakukan
analisis
menegenai
“Analisis
Liberalisasi Sektor Jasa Pariwisata Indonesia Serta Dampaknya Pada
Ekspor Jasa Pariwisata
Moda 2 (Consumtion Abroad) Dan
Masuknya Moda 3 (Foreign Direct Investment)”.
1.2 Rumusan Masalah
Jasa pariwisata merupakan sektor jasa prioritas sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2014 – 2019. Untuk mendukung pertumbuhan
sektor ini di Indonesia, dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung
seperti ketersedian hotel dan restoran. Maka dilakukan melalui liberalisasi
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
3
jasa pada mode 3 melalui FDI. Hotel dan restoran dapat dipenuhi dari
investasi dalam maupun luar negeri.Investasi hotel dan restoran dari luar
negeri dilakukan melalui liberalisasi jasa pada moda 3 melalui FDI.
Pertanyaan penelitian adalah:
1. Bagaimana tingkat liberalisasi jasa pariwisata Indonesia di moda 3?
2. Bagaimana dampak liberalisasi terhadap masuknya Moda 3 di
Indonesia?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memetakan tingkat liberalisasi perdagangan jasa Indonesia di
Moda 3 di semua fora kerjasama perdagangan;
2. Menganalisa hubungan antara liberalisasi perdagangan jasa
terhadap masuknya Cemmercial Presence (Moda 3) di Indonesia;
1.4 Hasil Analisis
Hasil Analisis dari kajian ini adalah berupa laporan dan rekomendasi
kebijakan mengenai dampak liberalisasi perdagangan terhadap masuknya
commercial presence dan ekspor pariwisata Indonesia.
1.5 Dampak/Manfaat
Kajian ini akan bermanfaat dalam memberikan evaluasi mengenai
dampak liberalisasi perdagangan jasa pariwisata.
1.6 Sistematika Penelisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
1.2
Rumusan Masalah
1.3
Tujuan
1.4
Output
1.5
Dampak/Manfaat
1.6
Sistematika Penelisan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
4
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Konsep Perdagangan Jasa
2.2
Konsep Suplai Jasa
2.3
Sektor jasa di WTO
2.4
Schedule of Commitment (SOC)
2.5
Penelitian Terdahulu Mengenai Foreign Direct Investment dan
Liberalisasi Perdagangan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Data
3.2
Analisa Deskriptif
3.3
Indeksasi dengan Indeks Hoekman
3.4
Analisis Uji Beda Rata-rata
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Analisa Tingkat Liberalisasi Jasa Pariwisata Indonesia
di Moda 2 dan Moda 3 di Semua Fora Kerjasama Perdagangan Jasa
4.1
Analisis Ekspor Jasa Pariwisata Indonesia melalui
Moda 2 (Consumption Abroad)
4.2
Analisis Realisasi Moda 3 (Commercial Presence)
di Jasa Pariwisata Indonesia
4.3
Analisis Hubungan FDI dengan Kedatangan Wisatawan Asing
4.4
Analisis Pengaruh Penandatangan Beberapa Regional Trade
Agreement (RTA) terhadapa Masuknya FDI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1
Kesimpulan
5.2
Rekomendasi Kebijakan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Perdagangan Jasa
Perdagagan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi
perdagangan barang dan/atau jasa di dalam negeri dan melampaui batas
wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan/atau jasa
untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Jasa adalah setiap layanan
dan untuk kerja berbentuk pekerjaan atau hasil kerja yang dicapai, yang
diperdagangkan oleh satu pihak ke pihak lain dalam masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Kerjasama perdagangan
internasional adalah kegiatan pemerintah untuk memperjuangkan dan
mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan perdagangan
dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional. Dengan
demikian jasa sama halnya dengan barang merupakan sesuatu yang di
perdagangkan baik di dalam maupun luar negeri dan mencakup
kepentingan nasional. Oleh karena diperdagangkan diluar negeri maka
jasa dimasukkan dalam kerjasama perdagangan internasional.
Kerjasama perdagangan Internasional di sektor jasa dicanangkan
pada putaran Uruguay tahun 1995 dan melahirkan General Agreement on
Trade in Services (GATS). Pada saat itu negara-negara anggota WTO
bersepakat untu melakukan negosiasi perdagangan jasa secara bertahap
dan progresif untuk meliberalisasi sektor jasanya. Berdasarkan mandat
dari pasal XIX, putaran pertama dari perundingan sektor jasa ini
dijadwalkan paling lambat 5 (lima) tahun setelah putaran Uruguay atau
tahun 2000. Negosiasi perdagangan jasa ini dimulai pada awal tahun
2000 oleh dewan perdagangan jasa. Pada bulan Maret tahun 2001,
dewan perdagangan jasa menghasilkan suatu elemen penting dalam
negosiasi sektor ini yaitu prosedur dan pedoman negosiasi. Pada
konferensi tingkat menteri di Doha pada bulan November 2001, negosiasi
perdagangan jasa menjadi bagian dari “single undertaking” dibawa Doha
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
6
Development Agenda (DDA). Berdasarkan prinsip single undertaking,
semua sektor ataupun subjek perundingan harus disetujui pada waktu
yang sama.
Negosiasi perdagangan jasa di WTO pada putaran negosiasi Doha
masih kurang mendapat perhatian karena fokus negosiasi pada putaran
ini
adalah
kebijakan-kebijakan
proteksionis
di
bidang
pertanian.
Pengabaian atas sektor jasa ini akan menjadi mahal. Potensi keuntungan
dari negosiasi perdagangan jasa yang saling menguntungkan cenderung
semakin besar dan langkah maju ini dibutuhkan dalam medapatkan
keuntungan yang positif di bidang lainnya.
Sektor
jasa
merupakan
sektor
penting
dalam
perdagangan
intrnasional maka sektor ini dimasukkan dalam arsitektur World Trade
Organization (WTO) dalam bentuk suatu persetujuan yang dikenal dengan
GATS (General Agreement on Trade in Services). GATS ini merupakan
acuan penting dalam semua fora kerjasama perdagangan. Pada
kebanyakan negosiasi perdagangan, jasa mengikuti negosiasi barang dan
kerangka kerja sektor jasa ini fokus pada penghapusan hambatanhambatan untuk measuk bagi penyedia jasa.
2.2 Konsep Suplai Jasa
Berdasarkan General Agreement on Trade in Services (GATS) pasal
1:2, terdapat 4 (empat) cara dalam perdagangan jasa yang biasa disebut
dengan mode of supply. Adapun keempat mode tersebut diilustrasikan
pada Tabel 1 berikut ini.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
7
Tabel 1. Mode of Supply dalam Perdagangan Jasa
Supplier Presence
Other Criteria
Mode
Service supplier not
present within the territory
of the Member
Service delivered
within the territory of
the Member, from the
territory of another
Member
CROSS-BORDER
SUPPLY
Service delivered
outside the territory of
the Member, in the
territory of another
Member, to a service
consumer of the
Member
CONSUMPTION
ABROAD
Service delivered
within the territory of
the Member, through
the commercial
presence of the
supplier
COMMERCIAL
PRESENCE
Service delivered
within the territory of
the Member, with
supplier present as a
natural person
PRESENCE OF
NATURAL
PERSON
Service supplier present
within the territory of the
Member
Sumber: dokumen S/L/92 (2001).
2.3 Sektor jasa di WTO
Adapun sektor jasa yang diperdagangan berdasarkan dokumen
MTN.GNS/W/120 yaitu:
1. Jasa Bisnis;
2. Jasa Komunikasi;
3. Jasa Konstruksi dan yang terkait;
4. Jasa Distribusi;
5. Jasa Pendidikan;
6. Jasa Lingkungan;
7. Jasa Keuangan;
8. Jasa Kesehatan dan Sosial;
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
8
9. Jasa Pariwisata dan yang terkait;
10. Jasa Rekreasi, Budaya dan Olah Raga;
11. Jasa Transportasi; dan
12. Jasa Lainnya.
Lebih lanjut MTN.GNS/W/120 menbagi 12 sektor jasa menjadi
beberapa subsektor. Berdasarkan klasifikasi tersebut, jasa pariwisata
dibagi ke dalam beberapa subsektor yaitu:
a. Hotel dan restoran (termasuk katering): CPC 641-643;
b. Agensi perjalanan dan operatur tur: CPC 7471;
c. Jasa pemandu wisata: CPC 7472;
d. Jasa pariwisata lainnya.
2.4 Schedule of Commitment (SOC)
Bagian dari hasil perundingan AFAS 8 (delapan) yang menyatakan
komitmen dibuka atau masih ditutupnya suatu sektor jasa tertentu adalah
Schedule of Commitment (SOC). SOC terdiri dari 2 (dua) bagian besar
yaitu bagian komitmen horisontal dan bagian komitmen spesifik. Bagian
komitmen horisontal berisikan batasan-batasan yang bersifat economywide, yang diterapkan pada semua sektor yang dimasukkan ke dalam
SOC (WTO, 2001). Poin-poin yang disertakan berupa larangan-larangan
terhadap orang asing untuk memiliki lahan atau pemukiman atau hal-hal
lainnya yang dapat membuat mereka menerima subsidi (WTO, 2001).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa komitmen sektor spesifik menetapkan
tingkat liberalisasi suatu anggota pada sektor ataupun sub sektor. Seperti
halnya pada komitmen horizontal, komitmen sektoral dibuat dalam empat
kolom yaitu kolom pertama menentukan sektor atau sub sektor yang
bersangkutan; kolom kedua menetapkan batasan bawah empat mode
suplai pada akses pasar yang termasuk dalam enam jenis yang tercantum
pada Article XVI:2; kolom ketiga memuat pembatasan pada perlakuan
nasional; dan kolom terakhir menyediakan kesempatan untuk membuat
komitmen tambahan (WTO, 2001).
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
9
Paragraf 39 dari GATS memberikan batasan-batasan menegenai
tingkat keterbukaan suatu sektor jasa seperti pembatasan-pembatasan
seperti total nilai transaksi atau aset, jumlah jasa yang beroperasi dan
kuantitas dari output, jumlah total natural person, restriksi atau kebutuhan
mengenai jenis dari entitas legal atau joint venture serta pembatasan pada
partisipasi modal asing (WTO, 2001). Pembatasan-pembatasan pada
kolom perlakuan bnasional antara lain mengenai deskriminasi pada
subsidi dan tindakan-tindakan keuangan lainnya, kewarganegaraan yaitu
warga negara atau permanen residen, persyaratan mengenai perijinan,
kualifikasi dan registrasi, persyaratan
persyaratan
alih teknologi dan pelatihan,
muatan lokal, larangan kepemilikan lahan atau properti,
pembatasan pada jaminan portabilitas dan penggunaan dana pendidikan
(WTO, 2001).
2.5 Penelitian Terdahulu Mengenai Foreign Direct Investment dan
Liberalisasi Perdagangan
Investasi asing dapat masuk ke suatu negara karena negara tersebut
telah menganut sistem perdagangan liberal dimana tingkat liberasinya
dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai FDI (Goldar & Banga, 2007).
Negara-negara yang menginginkan FDI masuk ke negaranya perlu pula
mempertibangkan sejumlah syarat lain, antara lain kesiapan tenaga kerja,
posisi geografi, keterbukaan pasar (market openness), perbaikan
infrastruktur, stabilitas ekonomi dan politik, pertumbuhan per kapita,
sambungan telekomunikasi, dan perdagangan bebas (Berberi, 2013;
Demirhan & Masca, 2008; Mellahi & Guermat, 2002; Mijiyawa, 2012).
Untuk Indonesia, syarat-syarat tersebut mungkin bukan hal yang mustahil
terpenuhi. Namun dengan kondisi alam dan manusia Indonesia yang tidak
seragam dari ujung barat hingga ke timur, bisa saja beberapa hal di atas
telah tersedia dengan baik pada sebagian wilayah dan belum tersedia
pada sebagian wilayah lain. Melihat kondisi demikian, World Bank and
IMF mendorong terjadinya foregin direct investment (FDI) pada negaranegara yang membutuhkan (Pelinescu & Radulescu, 2009). Organisation
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
10
for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan FDI
sebagai “cross-border investment by a resident entity in one economy with
the objective of obtaining a lasting interest in an enterprise resident in
another economy”(2013 para 2).
Temuan-temuan dari sejumlah penelitian empiris yang dilakukan
oleh para peneliti, baik yang bersetting negara-negara maju maupun
negara-negara berkembang, menunjukkan bahwa FDI berdampak positif
bagi negara-negara tuan rumah (penerima). Dampak-dampak itu antara
lainmenyebabkan terjadinyaforeign exchange, pertumbuhan ekonomi,
penambahan
lapangan
meningkatnya
potensi
pekerjaan,
ekspor,
bertambahnya
ahli-ahli
teknologi
infrastruktur
dan
baru,
teknis,
competitiveness, equipment and facility, dan accessibility to a wider global
and
better
platform in
the
world
economy
(Çağlayan,
Şak,
&
Karymshakov, 2012; Ibrahim & Brannen, 1997; Pelinescu & Radulescu,
2009; Snyman & Saayman, 2009).
Secara khusus, menurut Khan [2015],Çağlayan et al. (2012), Işik
(2015), Barroco, Castro, and Costa (n.d.), Craigwell and Moore (2008),
Jayaraman and Chen (2014),Şafakli (2005), dan Alam, Malik, Ahmed, and
Gaadar (2015) bahwa FDI dapat mempengaruhi pertumbuhan sektor jasa
pariwisata. Sebaliknya, menurut Samimi, et. al. (2013) pertumbuhan
subsector pariwisata pun dapat mempengaruhi FDI.
Namun demikian, FDI tidak akan datang dengan sendirinya ke suatu
negara atau bertahan lama tinggal di suatu negara jika tidak didukung
oleh beberapa factor penunjang, seperti kebijakan, stabilitas pemerintahan
dan politik, stabilitas etnis dan budaya, konflik dalam dan luar negeri,
korupsi,
akuntabilitas
demokrasi
dari
pemerintahan,
dan
kualitas
birokrasi(Busse & Hefeker, 2007; Farooq & Khan, 2014; Nicoletti, Golub, &
Hajkova, 2003).
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
5.3 Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dari instansi terkait. Data-data tersebut terdiri dari:
1. Data komitmen keterbukaan jasa pariwisata Indonesia, diperoleh
dari
Website
ASEAN
Secretariat,
WTO,
dan
Website
Kementerian Perdagangan;
2. Data kedatangan wisatawan asing ke Indonesia sebagai bentuk
ekspor jasa pariwisata melalui moda 2, diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS);
3. Data realisasi Foreign Direct Investment (FDI) sebagai bentuk
realisasi dari Moda 3, diperoleh dari website National Single
Window for Investment (NSWi), Badan Koordinator Penanaman
Modal (BKPM).
5.4
Analisa Deskriptif
Analisa
pariwisata
deskriptif
Indonesia
dilakukan
serta
untuk
kontribusi
menggambarkan
sektor
pariwisata
kinerja
dalam
perekonomian. Analisis deskriptif ini dilakukan dengan analisa deskriptif
statistik (tren, mean, median dan modus).
5.5
Indeksasi dengan Indeks Hoekman
Indeks Hoekman merupakan suatu metode indeksasi yang diusulkan
oleh Hoekman untuk mengukur tingkat komitmen suatu negara pada
kerjasama perdagangan jasa yang dituangkan dalam jadwal komitmen
yang sesuai dengan bentuk komitmen di General Agreement on Trade in
Services (GATS) (Ishido, 2012). Bentuk indeksasi pada metode ini adalah
sebagai berikut: jika suatu negara memberikan komitmen pada SOC-nya
berupa none (dibuka tanpa pembatasan) diberikan indeks 1, jika dibuka
dengan pembatasan diberikan indeks 0,5 dan jika ditutup (unbound)
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
12
diberikan indeks 0. Metode ini juga digunakan dalam penelitian Fawaiq
dan Resnia (2012) yang meneliti mengenai peluang dan tantangan sektor
jasa konstruksi Indonesia dalam AFAS dan Penelitian Ishido (2012)
mengenai liberalisasi perdagangan jasa di ASEAN+1. Berdasarkan uraian
tersebut, Indeks Hoekman dapat dipetakankan sebagai berikut.
Tabel 2. Indeksasi dengan Indeks Hoekman
No
Komitmen di Moda 3
1 None (Komitmen penuh)
2 Limitation (terbuka dengan pembatasan)
3 Unbound (tertutup)
Indeks Hoekman
1
0,5
0
Sumber: Ishido (2012), disesuaikan.
Pemetaan tingkat komitmen melalui indeksasi dengan indeks
hoekman akan menggambarkan peluang akses pasar jasa ritel di moda 3
setiap negara ASEAN. Salah satu kolom penting dari SOC adalah kolom
pembatsan akses pasar. Setiap negara ASEAN memberikan tingkat
komitmen yang berbeda-beda di kolom pembatsan akses pasar.
Berdasarkan dokumen WTO nomor S/L/92, tingkat komitmen tersebut
yaitu komitmen penuh apabila suatu negara menuliskan kata none yang
juga dapat diartikan bahwa negara tersebut membuka akses pasarnya
secara penuh, komitmen pembatasan apabila suatu negara membuka
sektor jasanya tetapi masih diberikan pembatasan-pembatsan yang
dicantumkan pada kolom ini dan tidak diberikan komitmen (no
commitment) yang diartikan bahwa suatu negara masih menutup sektor
jasa ritelnya atau dituliskan kata unbound.
5.6 Analisis Uji Beda
Analisis uji beda digunakan untuk menghitung pengaruh liberalisasi
jasa terhadap masuknya Moda 3 (commercial presence). Data dalam
analisis ini adalah data panel FDI Indonesia yang secara wilayah (cross
section) dibagi menjadi dua yaitu wilayah Indonesia yang dibuka dengan
kepemilikan modal asing 100 persen dan wilayah Indonesia yang dibuka
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
13
dengan kepemilikan modal asing maksimal 51 persen. Secara runtun
waktu (time series), data ini terdiri dari 20 tahun pengamatan yang dibagi
menjadi dua periode. Periode pertama adalah periode pemberlakuan
komitmen Indonesia di General Agreement on Trade in Services
(GATS/WTO)
(1995-2004)
dan
periode
kedua
adalah
setelah
pemberlakuab beberapa regional trade agreement (RTA) (2005-2014).
Setelah pembagian berdasarkan data runtun waktu tersebut kemudian
dibuat hipotesis sebagai berikut:
H0 = tidak terdapat perbedaan yang signifikan setelah Indonesia
menandatangan beberapa RTA;
H1 = terdapat perbedaan yang signifikan setelah Indonesia
menandatangan beberapa RTA.
Dari hipotesis tersebut diperoleh susunan data sebagai berikut:
Pemberlakuan GATS
(1995-2004)
X1
Pemberlakuan RTA
(2005-2014)
X2
D2
Selisih (D)
D = X1 – X2
ΣD
Σ D2
Setelah itu, kemudian dihitung nilai standar deviasinya dengan formula
sebagai berikut:
𝑆=
1
𝐷−
𝑛−1
2
( 𝐷)
𝑛
............................................................................(1)
Kemudian dihitung nilai t hitungnya dengan formula sebagai berikut.
𝑡=
𝐷
𝑛
𝑆
𝑛
..............................................................................................(2)
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
14
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Tingkat Liberalisasi Jasa Pariwisata Indonesia di Moda 2 dan
Moda 3 di Semua Fora Kerjasama Perdagangan Jasa
4.1.1 Tingkat Liberalisasi Moda 2 (Consumption Abroad) Jasa
Pariwisata
Moda 2 berdasarkan pengertian suplai jasa di GATS merupakan
datangnya konsumen dari luar negeri untuk menikmati jasa di dalam
negeri. Hal ini merupakan bentuk ekspor jasa pariwisata di Moda 2.
Sebaliknya, perginya warga negara Indonesia untuk berlibur dan
menikmati jasa di luar negeri merupakan bentuk impor jasa bagi
Indonesia. Menurut Lumaksono, et.al. (2012), masuknya turis asing ke
Indonesia memberikan dampak penting bagi perekonomian seperti
sumber penerimaan devisa dan penciptaan lapangan kerja. Oleh karena
itu, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya mamberikan komitmen
penuh (none) di moda 2 sektor jasa pariwisatanya di semua fora
kerjasama perdagangan internasional.
Komitmen penuh tersebut diberikan pada kedua kolom SOC yaitu
kolom pembatasan akses pasar (Market Access/MA) dan kolom
pembatasan perlakuan nasional (National Treatment/NT). Pemberian
komitmen penuh pada kolom pembatasan akses pasar berarti bahwa
wisatawan manca negara dapat masuk ke Indonesia dapat diberikan
pembatasan-pembatasan yang berlaku di kolom akses pasar. Komitmen
penuh pada kolom pembatasan perlakuan nasional berarti bahwa tidak
diskriminasi pada semua wisatawan (domestik maupun manca negara.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
15
4.1.2 Tingkat Liberalisasi Moda 3 (Commercial Presence) Jasa
Pariwisata
Liberalisasi moda 3 di jasa pariwisata berarti membuka kesempatan
bagi penyedia jasa asing dibidang kepariwisataan1 untuk membuka
usahanya di Indonesia. Pada kerjasama ASEAN, semua negara
memberikan komitmen atau membuka sektor jasa ini dengan tingkat
liberalisasi yang berbeda-beda. Tingkat liberalisasi tersebut yaitu tingkat
liberalisasi penuh (none), dibuka dengan pembatasan (limitation) dan
belum dikomitmenkan (unbound). Tingkat komitmen Indonesia di moda 3
jasa pariwisata pada semua fora kerjasama perdagangan internasional
Indonesia disajikan pada Gambar 2.
Indeks Hoekman
1,00
0,50
0,38
0,32 0,32 0,32 0,32
0,31
0,23
0,23 0,23
0,15
0,15 0,15
0,00
MA
NT
AFAS 8
MA
NT
AANZFTA
MA
NT
AKFTA
MA
NT
MA
ACFTA
NT
IJEPA
MA
NT
WTO
Gambar 2. Tingkat Komitmen Sektor Jasa Pariwisata Indonesia
Sumber: SOC (1994, 2007, 2009, dan 2011) diolah
Ket. MA: Market Accsess
NT: National Treatment
Berdasarkan Gambar tersebut, pada kolom pembatasan akses
pasar, Indonesia memberikan komitmen tertinggi pada kerjasama AFAS 8,
kemudian di kerjasama AKFTA dan ACFTA. Untuk kolom pembatasan
perlakuan nasional, komitmen Indonesia paling tinggi pada kerjasama
1
Kepariwisataan menurut UU Nomor 10 Tahun 2009 adalah keseluruhan kegiatan yang terkait
dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud
kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat,
sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
16
AKFTA dan ACFTA kemudian AFAS Paket 8. Komitmen Indonesia
terendah adalah pada forum multilateral (WTO). Komitmen Indonesia di
WTO ini merupakan komitmen dasar yang dapat dijadikan acuan pada
kerjasama-kerjasama
lainnya.
Tingkat
liberalisasi
jasa
pariwisata
Indonesia pada kerjasama selain WTO tidak boleh lebih rendah dari
indeks hoekman 0,15. Namun demikian, rata-rata komitmen Indonesia
pada semua kerjasama tersebut memiliki Indeks Hoekman dibawa 0,5
atau masih terdapat pembatasan dan beberapa subsektor yang belum
dikomitmenkan
atau
belum
dibuka.
Komitmen
Indonesia
pada
berdasarkan subsektor disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 3.
Tingkat Komitmen Sektor Jasa Pariwisata Indonesia
Berdasarkan Subsektor Pada Kerjasa Bilateral, Regional
dan Multilateral
Sub Sektor Jasa Pariwisata
Hotel (CPC 64110) (hotel bintang 3,4,5)
Hotel (CPC 64110) (hotel bintang 1,2)
Motel (CPC 6412/64120)
Resor termasuk hotel bintang 3,4 dan 5; Marina dan
Lapangan Gulf serta fasilitas olah raga.
Jasa akomodasi terfurnis (CPC 64193)
Jasa penyediaan makanan dengan retoran (64210)
Jasa penyediaan minuman tanpa hiburan (64310)
dan dengan hiburan (CPC 6432/64320)
Jasa agen perjalan dan operator tur (CPC 7471)
Pemandu/Pemimpin tur (CPC 74710)
Jasa konsultasi pariwisata (CPC 91136)
Operator hotel internasional (CPC 91135)
Penyelenggara kongres profesional
Spa
AFAS 8 AANZFTA AKFTA ACFTA IJEPA WTO
MA NT MA NT MA NT MA NT MA NT MA NT
1 0,5 0,5 0,5 1 0,5 1 1 1 1 1 1
1 0,5
0
0 1 0,5 1 1 0 0 1 1
1 0,5
0
0 0
0
0 0 0 0
0 0 0,5
1 0,5
0
1 0,5 0,5
0,5
0
0,5
1 0,5
1
1
1 0,5
1
1 0,5
0
1 0,5 0,5
0 0
0
1 0 0,5
1 0,5 0,5
1 0
0
0 0
0
0
0,5
0
0
0
0
0
0
0
1 0,5
0
1
0
1
1
0
0
1 0,5
1 0,5
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
1
1
0
0
1
1
0
0
1
0
1
1
1
0
0
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
Sumber: SOC (1994, 2007, 2009, dan 2011) diolah
Ket. MA: Market Accsess
NT: National Treatment
Jumlah subsektor jasa pariwisata yang dikomitmenkan berbeda pada
setiap kerjasama. Subsektor yang komitmennya paling banyak pada
kerjasama AFAS 8 yaitu 10 subsektor, selanjutnya pada kerjasama
AKFTA dan ACFTA sebanyak 7 subsektor. Pada kerjasama multilateral
(WTO), Indonesia hanya membuaka sebanyak 4 subsektor yaitu
subsektor jasa hotel (bintang 1 dan 2), jasa hotel (bintang 3, 4, dan 5).
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
17
Beberapa subsektor jasa pariwisata hanya dikomitmenkan pada salah
satu kerjasama sama saja, sedangkan pada kerjasama lainnya belum
dikomitmenkan. Subsektor-subsektor jasa pariwisata tersebut yaitu jasa
motel, jasa akumodasi terfurnis dan jasa penyelenggara kongres
profesional hanya dikomitmenkan pada kerjasama AFAS Paket 8, jasa
spa hanya di kerjasama IJEPA.
Pada kolom pembatasan akses pasar, khusus untuk subsektor jasa
hotel dan restoran diberikan pembatasan seperti batas maksimum
partisipasi modal asing, di wilayah atau provinsi yang dibuka untuk
kepemilikan saham 100 persen. Provinsi-provinsi yang dibuka untuk
jaringan hotel asing dengan kepemilikan saham penuh 100 persen adalah
sebagai berikut.
Tabel 4. Propinsi yang Dibuka dengan Kepemilikan Saham Penuh
(100 Persen) untuk Jasa Hotel
AFAS 8
Bagian timur
Indonesia,
Kalimantan,
Bengkulu, Jambi,
Sulawesi, NTT
AANZFTA
Bagian timur
Indonesia,
Kalimantan,
Bengkulu, Jambi
dan Sulawesi
AKFTA
Bagian timur
Indonesia,
Bengkulu,
Jambi dan
Sulawesi
ACFTA
Bagian timur
Indonesia,
Bengkulu dan
Jambi
IJEPA
Bagian timur
Indonesia,
Kalimantan,
Bengkulu, Jambi
dan Sulawesi
WTO
Bagian timur
Indonesia, Kalimantan,
Bengkulu, Jambi dan
Sulawesi
Sumber: SOC (1994, 2007, 2009, dan 2011) diolah
Kepemilikan modal secara penuh untuk jasa hotel berdasarkan
komitmen Indonesia di WTO yaitu di Wilayah Timur Indonesia,
Kalimantan, Bengkulu, Jambi dan Sulawesi. Komitmen Indonesia di WTO
ini berdasarkan prinsip Most Favoured Nation (MFN) berlaku untuk semua
negara. Jika dilihat pada kerjasama lainnya, komitmen serupa juga
diberikan di IJEPA dan AANZFTA. Pada kerjasama AFAS Paket 8,
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ditambahkan untuk dibuka dengan
kepemilikan
saham
penuh.
Selain
propinsi-propinsi/wilayah
yang
dicantumkan pada Tabel 4, dibuka dengan pembatasan pada batas
maksimum kepemilikan modal asing sebesar 51 persen.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
18
4.2 Ekspor Jasa Pariwisata Indonesia melalui Moda 2 (Consumption
Abroad)
Jasa pariwisata (perjalanan) memiliki kontribusi terbesar dalam
ekspor jasa Indonesia. Kontribusi ekspor jasa pariwisata ini mencapai
48,98 persen pada tahun 2014. Diurutan kedua adalah jasa bisnis dengan
kontribusi sebesar 28,79 persen. Kontribusi sektor jasa transportasi
menempati urutan ke tiga yaitu 5,78 persen. Kontribusi ekpor jasa
terendah terhadap total ekspor jasa adalah jasa asuransi dan dana
pensiun yang hanya sebesar 0,12 persen.
Data ekspor jasa-jasa
Indonesia disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Ekspor Jasa-jasa Indonesia
(dalam juta USD)
2010
2011
2012
2013
Jasa manufaktur
-216,02 1.081,18 396,74 430,10
Jasa pemeliharaan dan
65,21
72,57 113,96 126,57
perbaikan
Transportasi
628,52 1.058,18 1.538,38 1.005,10
Perjalanan
6.957,91 7.996,65 8.323,62 9.119,18
Jasa konstruksi
520,05 551,25 862,73 848,46
Jasa asuransi dan dana
22,17
23,32
24,05
24,85
pensiun
Jasa keuangan
387,73 450,92 225,38 254,11
Biaya penggunaan kekayaan
59,56
78,80
58,05
51,97
intelektual
Jasa telekomunikasi,
1.239,74 1.657,66 1.293,80 1.040,66
komputer, dan informasi
Jasa bisnis lainnya
4.309,42 5.788,63 7.739,16 6.640,54
Jasa personal, kultural, dan
104,22 158,58 209,99 186,97
rekreasi
Jasa pemerintah
555,09 572,43 590,50 610,06
Total
14.634 19.490 21.376 20.339
Share Trend (20052014
2010)
425,11
2,03
-23,81
2014
100,47
1.210,28
10.261,11
711,73
25,68
222,92
59,61
1.139,88
6.032,50
149,68
611,35
20.950
0,48
5,78
48,98
3,40
15,27
-0,23
8,76
7,79
0,12
1,06
3,27
-18,07
0,28
-9,04
5,44
28,79
-12,55
-0,29
0,71
2,92
-2,85
2,33
1,68
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Berdasarkan Tabel 5,
jasa pariwisata merupakan satu dari lima
sektor jasa yang mengalami pertumbuhan ekspor positif (2005-2010).
Pertumbuhan ekpor jasa pariwisata pada periode ini yaitu 8,76 persen dan
berada diurutan kedua. Sektor jasa yang mengalami pertumbuhan ekspor
tertinggi (2005-2010) adalah jasa pemeliharaan dan perbaikan (15,27
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
19
persen) dan diurutan ketiga adalah jasa konstruksi (7,79 persen). Sektor
jasa yang mengalami pertumbuhan terendah adalah jasa masufaktur (23,81 persen). Secara volume ekspor jasa pariwisata di Moda 2
ditunjukkan dengan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke
Indonesia. Jumlah wiastan asing berdasarkan pintu kedatangan disajikan
pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Kedatangan Wisatawan Asing ke Indonesia
Berdasarkan Pintu Masuk
dalam ribu orang
PINTU MASUK
Soekarno-Hatta, Jakarta
Ngurah Rai, Denpasar
Kuala Namu, Medan
Batam, Kepulauan Riau
Sam Ratulangi, Manado
Juanda, Surabaya
Entikong, Pontianak
Adi Sumarmo, Surakarta
Minangkabau, Padang
Tanjung Priok, Jakarta
Tanjung Pinang, Kepulauan Riau
Lombok, Mataram
Makassar
Sepinggan, Balikpapan
Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru
Adi Sucipto, Yogyakarta
Husein Sastranegara, Bandung
Tanjung Uban, Kepulauan Riau
Balai Karimun, Kepulauan Riau
Pintu masuk lainnya
Penumpang transit internasional
Jumlah pelawat mancanegara
Tingkat
Keterbukaan (%)
51
51
51
51
100
51
100
51
51
51
51
51
100
100
51
51
51
51
51
2010
1.824
2.546
162
1.007
20
169
23
22
27
64
98
17
16
11
15
47
90
314
101
428
115
7.118
2011
1.933
2.789
193
1.162
20
186
25
24
31
65
106
18
14
16
22
48
115
337
104
442
93
7.743
2012
2.054
2.902
206
1.219
20
198
26
22
32
67
103
18
13
17
21
59
146
337
108
477
62
8.107
2013
2.241
3.242
225
1.337
19
226
25
17
45
65
100
41
18
16
27
86
175
318
104
476
59
8.862
2014
2.246
3.732
235
1.454
17
217
22
13
50
65
98
70
16
13
27
89
180
321
101
468
53
9.488
Ratarata Trend
2.060
6
3.042
10
204
9
1.236
9
19
(3)
199
7
24
(0)
20 (13)
37
18
65
0
101
(1)
33
44
15
2
15
4
22
15
66
20
141
20
325
(0)
104
(0)
458
3
76 (18)
8.264
7
Sumber: Bank Indonesia (2014)
Pintu masuk utama wisatawan asing ke Indonesia pada periode
2010-2014 adalah melalui Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar dengan
rata-rata sebesar 3,04 juta orang per tahun dan meningkat rata-rata 10
persen pada periode tersebut. Di urutan kedua adalah Bandar Udara
Soekarno Hatta, Jakara dengan kedatangan rata-rata sebesar 2,06 juta
orang per tahun dan meninkat rata-rata sebesar 6 persen. Pintu masuk
penting lainnya adalah melalui Batam kepualauan Riau dengan rata-rata
kedatangan sebesar 1,24 juta orang per tahun. Jumlah wisatawan yang
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
20
datang ke Indonesia menurut pintu masuk terus mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 7 persen dan rata-rata setiap tahun sebesar 8,26 juta.
Adapun penumpang transit internasional rata-rata hanya sebesar 1 persen
tahun. Hal ini berarti bahwa 99 persen wisatawan tersebut menjadikan
Indonesia sebagai tujuan wisatanya.
Masuknya wisatawan asing ke Indonesia umumnya melalui daerahdaerah dengan tingkat keterbukaan jasa hotel 51 persen. jumlah
kunjungan wisatawan asing rata-rata pada daerah ini sebesar 7,66 juta
orang dan meningkat sebesar 8 persen (2010-2014). Hanya terdapat
empat pintu utama kedatangan wisatawan asing pada daerah masih
membuka jasa hotel sebesar 100%. Daerah-daerah ini adalah Manado,
Pontianak, Makasar, dan Balikpapan. Rata-rata kunjungan wisatawan
asing pada daerah ini adalah 74 ribu orang dengan pertumbuhan rata-rata
sebesar nol persen (relatif sama jumlahnya pada setiap tahun). Daerah
dengan kunjungan wisatawan terbanyak pada daerah dengan tingkat
keterbukaan jasa hotel 100 persen ini adalah Entikong Pontianak (24
ribu). Hal ini disebabkan karena daerah ini berbatasan langsung dengan
negara tetangga (Malaysia).
4.3 Analisis Realisasi Moda 3 (Commercial Presence) di Jasa
Pariwisata Indonesia
Penanaman modal asing langsung (foreign direct investment) yang
ditandai dengan masuknya jaringan hotel asing di Indonesia merupakan
salah satu bentuk suplai sektor jasa pariwisata melalui moda 3. Masuknya
foreign direct investment (FDI) ke Indonesia tidak terlepas dari
keterbukaan akses pasar Indonesia. Keterbukaan akses pasar tersebut
dapat dalam bentuk regulasi domestik dan liberalisasi perdagangan.
Tingkat liberalisasi sektor jasa Indonesia di moda 3 saat ini sudah
cukup tinggi. Hal ini terlihat dari foreign equity partcipation (FEP) yang
diperboleh pada jasa hotel dan restoran Indonesia antara 51-100 persen
tergantung pada wilayah dan provinsi (Tabel 3). Dengan demikian,
penyedia jasa hotel dan restoran asing dapat memiki saham mayoritas di
Indonesia.
Untuk
membandingkan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
realisasi
FDI
antar
wilayah
21
(berdasarkan FEP yang diijinkan) dan periode. Periode dibagi menjadi
1995-2004
(pemberlakuan
komitmen
di
WTO)
dan
2005-2014
(pemberlakuan regional trade agreement/RTA).
4.3.1 Realisasi FDI Pada Periode Sebelum Penandatangan Beberapa
RTA
Periode Sebelum penandatangan RTA (1995 – 2004) merupakan
periode-periode
awal
pemberlakuan
komitmen
perdagangan
jasa
Indonesia di tingkat Multilateral (WTO) dibawah kesepakatan yang disebut
dengan General Agreement on Trade in Services (GATS). Pada periode
ini, GATS merupakan salah satu kesepakan perdagangan jasa Indonesia
selain AFAS Paket 1 – Paket 3 yang komitmennya hampir sama dengan
GATS. Namun demikian, FDI masuk ke wilayah timur Indonesia (tingkat
keterbukaan hotel sebesar 100 persen) sudah mulai ada. Realisasi FDI di
ini ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 100 Persen Sebelum Penandatanganan RTA
dalam ribu USD
1995 1996 1997 1998
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Maluku
Papua Barat
Papua
Total realisasi
-
772
772
-
775
775
1999
579.199
2000 2001 2002 2003 2004
527
527
273
273
-
-
-
Sumber: BKPM (2015)
Realisasi FDI di jasa hotel dan restoran pada wilayah Indonesia
dengan FEP 100 persen sebelum penandatanganan RTA hanya pada
beberapa provinsi dan tahun tertentu. Realisasi FDI di propinsi NTT hanya
pada tahun 1996, Sulawesi Utara (1998 dan 2001), Sulawesi Tengah
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
22
(1999), dan Sulawesi Tenggara (2000). Rata-rata nilai realisasi FDI di
daerah ini pada periode tersebut adalah di bawah USD 1 juta.
Setelah periode 2005 – 2014 (periode RTA), FDI di jasa Hotel dan
Restoran sudah mulai teralisasi pada setiap tahunnya (kecuali 2006).
Rata-rata nilai realisasi FDI pada periode ini sebesar USD 7,62 juta. Nilai
FDI tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar USD 26,65 juta.
Tingginya realisasi FDI di tahun 2012 ini disebabkan karena tingginya
realisasi FDI di provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Kondisi
setelah disepakatinya beberapa RTA seperti AFAS 4 sampai AFAS 8 dan
ASEAN+1 (AANZFTA, AKFTA, dan ACFTA) ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Realisasi Moda 3 di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah
dengan FEP 100 Periode Setelah Penandatanganan RTA
dalam ribu
USD
2005
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Maluku
Papua Barat
Papua
Total realisasi
12.050
12.050
2006
2007
2008
2009
-
8.333
8.333
1.522
1.979
3.501
121
4.546
580
5.247
2010
30
1.370
250
932
3
220
700
165
200
3.870
2011
2012
2013
156
250
25
125
733
497
1.786
510
6.961
10.071
7.736
1.347
22
26.647
447
611
1.170
1
1
3.479
500
472
100
6.780
Sumber: BKPM (2015)
Berdasarkan Tabel 8, daerah yang menjadi tujuan FDI jasa hotel dan
restoran pada daerah dengan keterbukaan 100 persen di jasa hotel
berada di Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Daerah-daerah tersebut yaitu
Sulawesi Utara dengan FDI jasa hotel dan restoran rata-rata sebesar USD
3,32 juta kemudian Sulawesi Selatan (USD 1,38 juta) dan Kalimantan
Timur USD 898 ribu. FDI hotel dan restoran di daerah lainnya (tingkat
keterbukaan jasa hotel 100 persen) rata-rata sebesar USD 283 ribu.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
23
2014
3.526
293
652
1.318
1.235
191
815
8.029
Daerah yang kurang diminati oleh investor asing untuk menanamkan FDI
di jasa hotel dan restoran adalah Sulawesi Tenggara.
4.3.2 Realisasi FDI pada Provinsi-provinsi dengan Komitmen FEP 51
Persen
Provinsi-provinsi
Indonesia
yang
dibuka
dengan
pembatasan
kepemilikan modal asing sebesar maksimum 51 persen adalah provinsiprovinsi tujuan pariwisata utama di Indonesia. Provinsi-provinsi tersebut
adalah Bali, D.I. Yogyakarta, DKI. Jakarta, dan NTB. Walaupun dibatasi
maksimum 51 persen, realisasi FDI di provinsi-provinsi ini pada periode
yang sama (1995-2014) lebih besar dari provinsi-provinsi dengan
keterbukaan 100 persen. Tercatat hanya provinsi Aceh, Riau, dan
Sumatra Selatan yang tidak mempunyai realisasi FDI pada priode ini.
Rata-rata realisasi FDI pada periode ini yaitu sebesar USD 139,21 juta.
Provinsi dengan rata-rata realisasi FDI di jasa hotel dan restoran tertinggi
pada periode ini adalah Provinsi DKI. Jakarta (USD 37,4 juta), kemudia
Provinsi Kepulauan Riau (USD 36,7 juta) dan Provinsi Bali di urutan ke
tiga dengan rata-rata realisasi sebesar USD 31,24 juta. Realisasi FDI di
jasa hotel dan restoran pada provinsi-provinsi dengan komitmen FEP 51
persen periode 1995-2004 disajikan pada Tabel 9.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
24
Tabel 9. Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 51 Persen Sebelum Penandatanganan RTA
dalam ribu USD
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Sumatera Selatan
Lampung
Kepulauan Riau
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Total
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
61.083
500
41.522
5.500
108.605
107.293
400
45.600
113.467
213.859
480.619
71.417
10
4.226
75.652
7.495
53
101
2.167
77.006
213
53
373
11.965
21.050
120.477
4.815
30.381
17.108
15.237
67.541
570
221.054
137.883
4.070
37.360
400.937
8.535
2.127
24.536
35.198
14.200
1.939
1.977
18.116
78.816
968
544
80.327
1
3.566
1.047
4.614
Sumber: BKPM (2015)
Realisasi FDI jasa hotel dan restoran pada provinsi dengan FEP 51
persen pada periode 2005-2014 atau setelah penantangan beberapa RTA
meningkat 126 persen dari periode sebelumnya (1995-2004) menjadi ratarata USD 315,13 juta. Realiasi tertinggi terjadi pada tahun 2012 mencapai
USD 741,51 juta yang disebabkan oleh tinggi ralisasi FDI jasa hotel dan
restoran yang mencapai USD 380,94 juta. Kontribusi propinsi bali pada
tahun 2012 sebesar 51,37 persen. Bali juga menjadi provinsi dengan ratarata nilai FDI jasa hotel dan restoran pada periode ini. Realisasi rata-rata
Provinsi Bali sebesar USD 148,95 juta, kemudian provinsi DKI. Jakarta
(USD 76 juta) di urutan kedua dan kepulan Riau (USD 21,7 juta) diuratann
ketiga. Realisasi FDI tersebut disajikan pada Tabel 10.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
25
Tabel 10. Realisasi FDI di Jasa Hotel dan Restoran di Wilayah dengan
FEP 51 Persen Setelah Penandatanganan RTA
dalam ribu USD
2005
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Sumatera Selatan
Lampung
Kepulauan Riau
DKI. Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
Nusa Tenggara Barat
Total
250
16.500
53.179
21.988
120
76.213
168.250
2006
37.186
500
73.793
111.479
2007
8.215
2.582
73.058
14.214
26.667
250
250
5.102
1.000
131.339
2008
23.587
109
1.694
1.648
15.422
16.112
4.393
2.499
12.232
6.271
57.594
11.866
153.426
2009
2.180
96.023
2.745
5.892
1.209
11.808
180.620
800
301.276
2010
2011
2012
2013
2014
2.780
10.599
22.687
42.224
1.610
300
4.450
3.509
249.310
5.274
342.743
4.672
57
31.511
16.151
314
250
73.592
5.208
100.382
8.318
240.456
4.143
149.250
66.453
718
8.932
63.951
53.130
1.803
380.943
12.190
741.512
414
1.735
22
3.450
1.136
122.425
17.654
16.650
21.694
10.682
3.518
249.474
6.891
455.742
145
28
1.752
4.457
5.885
33.127
242.085
36.604
25.234
12.106
4.723
9.732
116.027
13.177
505.081
Sumber: BKPM (2015)
4.4 Analisis Hubungan FDI dengan Kedatangan Wisatawan Asing
Untuk mengetahui hubungan FDI dengan kedatangan wisatawan
asing, dilakukan studi pustaka yang relevan. Pustaka utama yang diacu
pada subbab ini adalah penelitian Samimi, et.al. (2013). Tema dari
penelitian ini adalah hubungan antara Foreign Direct Investment (FDI)
dengan Pengembangan Kepariwisataan. Relevansi penelitian
Samimi,
et.al. ini adalah pada obyek penelitiannya yaitu pada negara-negara
berkembang. Selain itu, dalam penetapan hubungan antara FDI dengan
kunjungan wisatawan asing, Samimi, et.al. telah melakukan beberapa
tahapan pengujian seperti uji stasioneritas, uji kointegrasi dan pengujian
kausalitas.
Pengujian stasioneritas dilakukan dengan uji unit root dengan Im,
Pesaran dan Shin. Hasil uji stasioneritas menunjukkan bahwa variabel
kunjungan wisatawan asing dan FDI stasioner pada diferensiasi pertama.
Selanjutnya dilakukan uji ko-integrasi dengan Pedroni. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa kedua variabel ini menunjukkan kointegrasi. Oleh
karena kedua uji ini (stasioneritas dan kointegrasi) tidak menunjukkan
hubungan antar variabel sehingga dilakukan uji kausalitas dengan uji
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
26
Granger. Hasil uji Granger menunjukkan bahwa FDI memiliki hubungan
kausalitas jangka panjang dengan kunjungan wisatawan asing. Kemudian
disimpulkan bahwa FDI berperan penting dalam mendorong datanganya
wisatawan asing.
4.5 Analisis Pengaruh Penandatangan Beberapa Regional Trade
Agreement (RTA) terhadapa Masuknya FDI.
Secara deskriptif, dalam rentang 10 tahun, data FDI menunjukkan
peningkatan setelah dilakukan penandatangan beberapa RTA seperti
AFAS 4, AANZFTA, AKFTA dan ACFTA.
Tabel
11. Perbandingan antara Sebelum dengan Sesudah
Penandatangan Beberapa RTA di Wilayah dengan
Kepemilikan Modal Asing 100
n
Provinsi
1 Nusa Tenggara Timur
2 Kalimantan Barat
3 Kalimantan Tengah
4 Kalimantan Timur
5 Sulawesi Utara
6 Sulawesi Selatan
7 Sulawesi Tenggara
8 Gorontalo
9 Maluku
10 Papua Barat
11 Papua
Sebelum (X1)
772
1.048
527
-
Sesudah (X2)
4.789
5.450
1.370
8.983
33.233
11.379
1
4.714
1.933
2.671
1.717
D = Xi -X2
D^2
(4.018)
16.142.717
(5.450)
29.701.410
(1.370)
1.877.448
(8.983)
80.688.899
(32.185) 1.035.893.536
(11.379)
129.481.641
526
276.466
(4.714)
22.219.910
(1.933)
3.737.649
(2.671)
7.135.844
(1.717)
2.947.746
(73.894) 1.330.103.266
Dari Tabel 11 tersebut, dengan persamaan 1, diperoleh nilai standar
deviasi sebesar 10.696. Adapun nilai t hitung sebesar -0.22000. Nilai t
tabel pada tingkat kepercayaan 75% adalah +/- 0,69745. Untuk
mengetahui apakah penandatangan beberapa RTA mempengaruhi FDI ke
wilayah Indonesia dengan liberalisasi 100 persen, maka dilakukan uji t
sebagai berikut.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
27
Menolak
H0
Menolak
H0
Menerima H0
-0,69745
0,69745
t hitung = -0,22000
Gambar 3. Uji t untuk Wilayah/Provinsi dengan Liberalisasi 100
persen
Gambar 3 menunjukkan posisi t hitung yang berada pada area menerima
H0 atau dengan kata lain menolak H1. Hal ini berarti penandatangan
beberapa
kerjasama
perdagangan
(RTA)
seperti
AFAS,
IJEPA,
AANZFTA, AKFTA dan ACFTA tidak signifikan mendorong masuknya FDI
di wilayah Indonesia yang telah membuka sektor jasanya 100 persen.
Untuk wilayah/provinsi dengan keterbukaan akses pasar maksimum
51 persen, juga terjadi prubahan nilai FDI sebelum dan sesudah
penandatangan RTA. Untuk melihat pengaruh penantangan beberapa
RTA
terhadap
masuknya
FDI,
maka
akan
dihitungan
dengan
menggunakan uji beda rata-rata (uji t). Tabel perhitungan uji t disajikan
pada Tabel 11 sebagai berikut.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
28
Tabel
12. Perbandingan antara Sebelum dengan Sesudah
Penandatangan Beberapa RTA di Wilayah dengan
Kepemilikan Modal Asing 51
n
Provinsi
Sebelum (X1) Sesudah (X2) D = X1 - X2
D^2
1 Aceh
559
(559)
312.369
2 Sumatera Utara
7.496
45.411
(37.915)
1.437.577.557
3 Sumatera Barat
570
1.774
(1.204)
1.450.098
4 Riau
7.906
(7.906)
62.504.836
5 Sumatera Selatan
5.994
(5.994)
35.929.235
6 Lampung
53
1.694
(1.641)
2.691.568
7 Kepulauan Riau
367.006
217.079
149.927
22.477.955.402
8 DKI. Jakarta
374.307
760.029
(385.723)
148.781.924.151
9 Jawa Barat
77.406
168.409
(91.003)
8.281.546.009
10 Jawa Tengah
19.448
83.799
(64.351)
4.141.038.331
11 D.I. Yogyakarta
50.223
106.691
(56.468)
3.188.646.318
12 Jawa Timur
113.840
160.888
(47.048)
2.213.523.714
13 Banten
41.522
42.099
(577)
332.929
14 Bali
312.421
1.489.456 (1.177.035) 1.385.411.391.225
15 Nusa Tenggara Barat
27.797
59.516
(31.719)
1.006.107.649
(1.759.217) 3.094.843.045.716
Perhitungan pada Tabel 11 ini, kemudian dilanjutkan dengan
menghitung nilai standar deviasi dan t-hitung. Berdasaarkan hasil
perhitungan diperoleh nilai standar deviasi untuk wilayah/provinsi ini
sebesar 454.228. Untuk nilai t-hitung diperoleh sebesar -13,7548 dan nilai
t-tabel sebesar 3.73283.
Menolak
H0
Menolak
H0
Menerima H0
-3.73283
3.73283
t hitung = -13,75480
Gambar 4. Uji t untuk Wilayah/Provinsi dengan Liberalisasi 51 persen
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
29
Berdasarkan uji t, diketahui bahwa nilai t-hitung berada pada daerah
menolak H0 atau menerima H1. Hal ini berarti bahwa setelah
penandatangan beberapa RTA (AFAS, IJEPA, AANZFTA, AKFTA dan
ACFTA) tejadi peningkatan FDI yang signifikan.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil analisa data
adalah sebagai berikut.
1. Indonesia telah meliberalisasi jasa pariwisata khususnya moda
keberadaan komersial pada tingkat yang memungkinkan penyedia
jasa asing memiliki saham mayoritas di Indonesia;
2. Tingkat Liberalisasi tertinggi Indonesia adalah pada kerjasama
AFAS Paket 8 yang memungkinkan masuknya penyedia jasa asing
asal negara-negara ASEAN ke Indonesia;
3. Liberalisasi ini terutama pada jasa hotel dengan kepemilikan modal
asing yang diperbolehkan antara 51 – 100 persen;
4. Liberalisasi jasa hotel di Indonesia memungkinkan kepemilikan
saham mayoritas bagi asing;
5. Propinsi/Wilayah yang diijinkan untuk kepemilikan modal asing di
jasa hotel sebesar 100 persen adalah bagian Timur Indonesia,
Kalimantan, Bengkulu, Jambi, Sulawesi dan NTT;
6. Walaupun telah dibuka 100 persen untuk kepemilikan asing, FDI di
wilayah/provinsi tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan
wilayah Indonesia lainnya yang dibuka dengan kepemilikan modal
asing maksimum 51 persen;
7. Penandatanganngan kerjasama RTA (AFAS, AANZFTA, AKFTA,
ACFTA dab IJEPA) tidak dapat mendorong masuknya FDI di jasa
hotel dan restoran di wilayah/provinsi dengan liberalisasi 100
persen, sebaliknya pada daerah dengan liberalisasi 51 persen.
5.2 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan
kesimpulan
di
atas,
Indonesia
telah
mengijin
kepemilikan saham mayoritas bagi peneyedia jasa hotel asing yaitu 51
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
31
persen dan 100 persen tergantung wilayah atau provinsinya. Namun
demikian, nilai FDI yang masuk ke Indonesia jauh lebih besar pada
daerah-daerah dengan tingkat liberalisasi 51 persen. Sedangkan menurut
Samimi, et.al. (2013), masuknya FDI ke suatu negara akan mendorong
datangnya wisatawan asing. Untuk itu, untuk mengembangkan jasa
pariwisata Indonesia, arah kebijakan difokuskan pada wilayah Indonesia
bagian timur (liberalisasi 100 persen). Selain melakukan promosi
pariwisata, pemerintah sebaiknya juga mempromosikan investasi atau
mendorong masuknya investasi hotel asing terutama di wilayah timur
Indonesia. Membangun infrastruktur-infrastruktur pendukung seperti akses
jalan, bandara, dan sebagainya.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
32
DAFTAR PUSTAKA
Lumaksono, A., D.S.P. Kuntjoro, dan R. Heriawan. (2012). “Dampak
Ekonomi Pariwisata Internasional Pada Perekonomian Indonesia”.
Forum Pascasarjana Vol. 35 (1), 53-58
Ishido, H. (2012). “Liberalization of Trade in Services under ASEAN+n
FTA: A Mapping Exercise”. Journal of East Asian Economic
Integration, Vol. 16, (2), 155-204.
Vengesayi , S. (2003). “A Conceptual Model of Tourism Destination
Competitiveness and Attractiveness”. ANZMAC 2003 Conference
Proceedings Adelaide.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. 2014.
Jakarta.
Samimi, A. J., S. Sadeghi and S. Sadeghi. (2013). The Relationship
between Foreign Direct Investment and Tourism Development:
Evidence from Developing Countries. Institutions and Economies
Vol. 5 (2), 59-68.
Alam, Aftab, Malik, Omair Mujahid, Ahmed, Manzoor, & Gaadar, Kamisan.
(2015). Empirical Analysis of Tourism as a Tool to Increase
Foreign Direct Investment in Developing Country: Evidence from
Malaysia. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4 S3), 201.
Barkema, Harry, Bell, John, & Pennings, JME. (1996). Foreign entry,
cultural barriers and learning. Strategic management journal, 151166.
Barroco, Cristina, Castro, Eduardo Anselmo, & Costa, Carlos. (n.d.).
Foreign direct investment in the tourism sector: Pull Factors.
Berberi, Alba. (2013). The role of foreign direct investments (FDI) as a
promoter as a promoter of growth - Attractiveness of Albania for
FDI. European Scientific Journal, 9(22), 345-356.
Busse, Matthias, & Hefeker, Carsten. (2007). Political risk, institutions and
foreign direct investment. European journal of political economy,
23(2), 397-415.
Çağlayan, E, Şak, N, & Karymshakov, K. (2012). Relationship between
tourism and economic growth: A panel Granger causality
approach. Asian economic and financial review, 2, 591-602.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
33
Craigwell, Roland, & Moore, Winston. (2008). Foreign direct investment
and tourism in SIDS: Evidence from panel causality tests. Tourism
analysis, 13(4), 427-432.
Demirhan, Erdal, & Masca, Mahmut. (2008). Determinants of foreign direct
investment flows to developing countries: a cross-sectional
analysis. Prague economic papers, 4(2008), 356-369.
Farooq, Muhammad, & Khan, Zahoor. (2014). Impact of terrorism on
foreign direct investment and key idicators of development in
Pakistan. City University Research Journal, 4(1), 53-68.
Goldar, Bishwanath, & Banga, Rashmi. (2007). Impact of trade
liberalization on foreign direct investment in Indian industries.
Perspectives on Equitable Development: International Experience
and What can India Learn.
Ibrahim, N.A., & Brannen, D.E. (1997). Implications of gender differences
on the motivation to volunteer in hospitals. Journal of Social
Service Research, 22(4), 1-18. doi: 10.1300/J079v22n04_01
Işik, Cem. (2015). Foreign direct investment in tourism: Panel data
analysis of D7 countries. Athens
Mao, Iris, Robinson, Angus M, & Dowling, Ross. (2009). Potential
geotourists: An Australian case study. Journal of Tourism, 10(1),
71-80.
Mellahi, Kamel, & Guermat, Cherif. (2002). What Motivates Foreign Direct
Investment?: The Case of Oman: Department of Management,
School of Business and Economics, University of Exeter.
Mijiyawa, AG. (2012). What Drives Foreign Direct Investments in Africa?
An Empirical Investigation with Panel Data.
Nicoletti, Giuseppe, Golub, Steve, & Hajkova, Dana. (2003). The influence
of policies on foreign direct investment. Paper presented at the
Experts’ meeting on FDI in Developing Asia, 26-27 November,
2003, Paris.
OECD. (2013). OECD Factbook 2013: Economic, Environmental and
Social Statistics.
Retrieved September 14, 2015, from
http://www.oecd-ilibrary.org/sites/factbook-2013en/04/02/01/index.html?itemId=/content/chapter/factbook-201334-en
Pelinescu, Elena, & Radulescu, Magdalena. (2009). The impact of foreign
direct investment on the economic growth and countries’ export
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
34
potential. Romanian Journal of Economic Forecasting, 12(4), 153169.
Phung-Tran, Phi, & Trang-Le, Huyen. (n.d.). The Granger causality
relationship between FDI, GDP and international tourist arrivals –
empirical evidence from five countries.
Şafakli, Okan Veli. (2005). The Extent of Foreign Direct Investments (FDI)
in the Tourism Sector of Northern Cyprus. Journal of Hospitality
Financial Management, 13(1), 21.
Snyman, J.A., & Saayman, Melville. (2009). Key factors influencing foreign
direct investment in the tourism industry in South Africa. Tourism
Review, 64(3), 49-58.
Syariah, Arfiani, & Supriharjo, Rimadewi. (2009). Faktor penyebab kurang
berkembangnya kawasan wisata Telaga Ngebel, Kabupaten
Ponorogo berbasis pembangunan berkelanjutan. (Master), Institut
Teknologi
Surabaya,
Yogyakarta.
Retrieved
from
http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-10254-Paper.pdf
WTO. (2015). Basic Purpose and Concepts. Retrieved September 15,
2015,
from
https://www.wto.org/english/tratop_e/serv_e/cbt_course_e/c1s3p1
_e.htm
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan
35
Download