2. danau laut tawar

advertisement
1
2
DANAU-DANAU ALAMI
NUSANTARA
Anugerah Nontji
2016
3
SEKAPUR SIRIH
Danau sering dipersepsikan sebagai lahan cekungan di daratan yang terisi air. Danau
sering kali pula dikaitkan dengan sungai, atau kadang-kadang dipandang sebagai bagian sungai
yang melebar, hingga danau mempunyai aliran pintu masuk (inlet) dan pintu keluar (outlet).
Tetapi dalam kenyataannya tak semua danau terkait dengan sungai. Banyak pula danau yang
merupakan jebakan air yang tak punya aliran masuk ataupun aliran keluar. Demikian pula tak
semua danau bersifat permanen, bisa tergenang membanjir di musim hujan tetapi mengering di
musim kemarau. Pada umumnya air danau bersifat tawar, tetapi ada pula yang bergaram atau
yang mempunyai tingkat keasaman yang sangat tinggi.
Tiap danau mempunyai kekhasannya sendiri, tak ada danau yang sama. Ciri-ciri fisik
suatu danau sangat ditentukan oleh proses pembentukan atau kejadiannya. Ada yang terbentuk
oleh aktivitas tektonik, atau vulkanik, ataupun gabungan diantara keduanya (tektovulkanik).
Ada pula karena pembendungan aliran sungai, atau karena luapan sungai yang berlangsung
secara berkala, atau karena pelarutan pegunungan berkapur. Ada danau yang dangkal tetapi ada
juga danau yang mempunyai kedalaman maksimum sampai di bawah level permukaan laut
(cryptodepression).
Tidak hanya secara fisik danau-danau menunjukkan keanekaragaman, tetapi juga dalam
kandungan sumberdaya hayatinya. Dari usianya, ada danau yang tergolong danau tua yang
mengandung banyak fauna endemik yang khas terdapat di danau itu. Tetapi disamping itu juga
banyak danau yang telah dimasuki atau diintoduksi jenis-jenis dari luar (invasive species)
hingga mengancam kelestarian jenis-jenis lokal dan mengancam lingkungan perairan setempat.
Di sisi lain danau-danau telah memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia
antara lain sebagai sumber air minum dan bebagai keperluan rumah tangga, untuk irigasi dan
pertanian, industri, pariwisata, energi listrik, dan berbagai kegiatan budaya. Tetapi disisi lain,
kondisi danau justru banyak yang makin memprihatinkan karena kelestaraiannya terabaikan.
Berbagai kasus pencemaran, perusakan lingkungan baik di badan air maupun di lingkungan
sekitarnya, pemanfaatan sumberdaya perairan yang tak memperhatikan kelestariannya telah
mengancam kelestarian banyak danau-danau kita.
Selain danau-danau yang terbentuk secara alami, ada pula danau-danau buatan atau
lebih dikenal dengan waduk, situ, embung, dan kolong (bekas galian tambang) yang proporsi
luasannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan danau-danau alami. Di Indonesia diperkirakan
terdapat sekitar 1,8 juta ha danau alami, dan 0.05 juta ha waduk atau danau buatan.
Berapa jumlah danau alami di Indonesia masih bisa jadi bahan perdebatan karena
bergantung pada premis atau patokan yang digunakan. Salah satu perkiraan jumlah danau di
Indonesia menyebutkan terdapat 840 danau besar dan kecil. Di Sumatra terdapat 170 danau
dengan jumlah luas maksimum 3.700 km2, di Kalimantan 139 danau dengan dengan luas
maskimum 1.142 km2. Di Jawa dan Bali sebanyak 31 danau dengan luas total 62 km2, di
Sulawesi ada 30 danau dengan luas 1.559 km2, dan di Papua ada 127 danau dengan luas lebih
dari 600 km2.
4
Danau terdalam di Indonesia adalah Danau Matano di Sulawesi (merupakan danau
terdalam ke-7 sedunia) sedalam 595 m, dimana 280 m bagiannya yang terdalam berada di
bawah permukaan laut. Danau yang terluas adalah Danau Toba seluas 1.130 km2, dan
merupakan danau tipe kaldera yang terbesar di dunia.
Di satu sisi terlihat begitu besarnya keragaman danau-danau alami di Indonesia dengan
berbagai fungsinya. Tetapi di sisi lain, informasi umum mengenai danau-danau itu masih
terbatas, banyak diantaranya masih beredar sekitar lembaga penelitian, universitas atau instansi
yang terkait dengan pengelolaan danau. Oleh sebab itu penulis dengan segala keterbatasannya
mencoba untuk merangkum dan menyajikan informasi umum mengenai berbagai danau-danau
alami Indonesia secara selektif dengan gaya semi populer dengan harapan dapat menjangkau
pembaca yang lebih luas.
Pada mulanya tulisan-tulisan mengenai danau-danau itu disiapkan oleh penulis sebagai
artikel-artikel lepas dan acak saja, kemudian dibagikan kepada rekan-rekan penulis untuk
ditanggapi. Beberapa rekan kemudian menyarankan agar artikel-artikel itu dikumpulkan secara
sistematik dan dibukukan dan diterbitkan agar dapat menjangkau masyarakat luas. Kepala Pusat
Penelitian Limnologi LIPI pada waktu itu, Tri Widyanto, banyak sekali mendorong agar
kumpulan artikel itu kelak dapat diterbitkan. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih
pada Bu Titi Latifah yang banyak sekali membantu dalam penyediaan bahan pustaka, dan juga
masukan-masukan dari rekan-rekan Djamhuriyah, Sulastri, Hidayat. Untuk semua bantuan dan
dorongan yang diberikan, penulis ucapkan terima kasih.
Penulis sangat menyadari bahwa tulisan yang disajikan disana-sini mungkin masih perlu
perbaikan dan penyempurnaan. Untuk itu masukan kritik dari pembaca kami harapkan.
Penulis
Anugerah Nontji
Jakarta, 17 Agustus 2016
5
Peta Lokasi Danau-Danau Alami Nusantara
Sumatra
1.
Aneuk Laot
2.
Laut Tawar
3.
Kawar
4.
Toba
5.
Maninjau
6.
Singkarak
7.
Dibawah, Diatas, Talang
8.
Kerinci
9.
Dendam tak Sudah
10.
Tes
11.
Ranau
12.
Zamrud
Kalimantan
13.
Sentarum
14.
Sembuluh
15.
Mahakam (Semayang, Melintang, Jempang)
16.
Kakaban
Sulawesi
17.
Tempe
18.
Malili (Matano, Mahalona, Towuti)
19.
Poso
20.
Lindu
21.
Limboto
22.
Tondano
23.
Moat
24.
Rawa Aopa
Maluku
25.
Tolire
Papua
26.
Ayamaru
27.
Anggi Giji dan Anggi Gita
28.
Yamur
29.
Paniai (Paniai. Tage, Tigi)
30.
Rombebai
31.
Sentani
Bali
32.
Batur
33.
Bratan, Buyan, Tamblingan
Nusa Tenggara Barat
34.
Satonda
35.
Segara Anak
36.
Rawa Taliwang
Nusa Tenggara Timur
37.
Kelimutu
38.
Waibelen
Jawa
39.
Rawa Danau
40.
Situ Bojongsari
41.
Rawa Pening
42.
Ranu Grati
43.
Kawah Ijen
6
DAFTAR ISI
Sekapur Sirih ……………………………………………………………………
Peta Lokasi Danau-Danau alami Nusantara ……………………………………
Daftar Isi ………………………………………………………………………...
1. Danau Aneuk Laot ………………………………………………..............
2. Danau Laut Tawar ………………………………………………………...
3. Danau Kawar ……………………………………………………………...
4. Danau Toba ……………………………………………………...............
5. Danau Maninjau ………………………………………………………….
6. Danau Singkarak …………………………………………………………
7. Danau Dibawah, Danau Diatas, dan Danau Talang ……………………..
8. Danau Kerinci ……………………………………………………………
9. Danau Dendam Tak Sudah ………………………………………………
10. Danau Tes ………………………………………………………………..
11. Danau Ranau …………………………………………………….............
12. Danau Zamrud ……………………………………………………………
13. Danau Sentarum ………………………………………………………….
14. Danau Sembuluh …………………………………………………………
15. Danau Mahakam (Semayang, Melintang, Jempang) …………………….
16. Danau Kakaban …………………………………………………………..
17. Danau Tempe …………………………………………………………….
18. Kompleks Danau Malili (Matano, Mahalona, Towuti) ………………….
19. Danau Poso ………………………………………………………………
20. Danau Lindu ……………………………………………………………...
21. Danau Limboto …………………………………………………………..
22. Danau Tondano ………………………………………………….............
23. Danau Moat ………………………………………………………………
24. Danau Rawa Aopa ……………………………………………………….
25. Danau Tolire ……………………………………………………………..
26. Danau Ayamaru ………………………………………………………….
27. Danau Anggi Giji dan Anggi Gita .……………………………...............
28. Danau Yamur …………………………………………………………….
29. Danau Paniai, Tage dan Tigi .…………………………………….............
30. Danau Rombebai …………………………………………………………
31. Danau Sentani ……………………………………………………………
32. Danau Batur ……………………………………………………………...
33. Danau Bratan, Buyan, dan Tamblingan ………………………………….
34. Danau Satonda …………………………………………………………...
35. Danau Segara Anak ………………………………………………………
36. Danau Rawa Taliwang …………………………………………………..
37. Danau Kelimutu ………………………………………………………….
7
Halaman
4
6
7
9
13
19
24
34
42
49
56
66
71
75
81
87
95
100
109
116
124
133
139
146
154
163
168
174
180
186
191
196
202
210
217
222
226
232
237
244
38. Danau Waibelen ………………………………………………………….
39. Danau Rawa Danau ………………………………………………………
40. Situ Bojongsari …………………………………………………………...
41. Danau Rawa Pening ……………………………………………………...
42. Ranu Grati ………………………………………………………..............
43. Danau Kawah Ijen ………………………………………………..............
Glosarium ……………………………………………………………………….
Tentang Penulis ………………………………………………………………….
8
253
257
264
268
278
283
291
294
1. DANAU ANEUK LAOT
D
anau Aneuk Laot terletak dekat Kota Sabang di Pulau Weh, Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam, wilayah administratif yang paling barat di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Wilayah adminstratif Kota Sabang, secara geografis
tereletak di antara 95o13’02” dan 95o22’36” Bujur Timur, dan antara 05o46’28” dan 05o54’28”
Lintang Utara.
Aneuk Laot dalam bahasa Aceh bermakna Anak Laut. Nama ini mungkin didasarkan
pada kenyataan bahwa danau ini berada di pulau kecil yang dikelilingi laut, tetapi airnya tawar
yang menjadi tumpuan hidup bagi seluruh masyarakat yang hidup di sekitar danau ini.
Gambar 1. Danau Aneuk Laot (NAD & BPPT, 2006)
Gambar 2. Lokasi Danau Aneuk Laot di Pulau Weh (NAD & BPPT, 2006)
9
Gambar 3. Danau Aneuk Laot dan Daerah Tangkapan Airnya (NAD & BPPT, 2006)
Terbentuknya Danau Aneuk Laot berasal dari bekas kepundan gunung api yang telah
mati dan secara bertahap terisi air hujan yang terperangkap di dalamnya.
Danau ini mempunyai panjang sekitar 1.500 m, dengan luas sekitar 0,61 km2, dan
kedalaman maksimum 29 m (tahun 2000). Elevasi (tinggi permukaan danau) relatif tetap yakni
25 m di atas permukaan laut. Pada musim hujan permukaan air dapat naik tetapi sangat jarang
menyebabkan banjir. Naiknya permukaan air tesebut tidak bertahan lama melainkan segera
kembali berada pada elevasi muka air danau normal.
Volume tampungan maksimumnya sekitar 10,5 juta m3. Di samping itu, luas daerah
tangkapan airnya (catchment area) sekitar 5,25 km2 (Edyanto, 2006). Di sebelah barat dan
selatan danau merupakan hutan lindung, sedangkan selebihnya merupakan pemukiman,
perladangan dan perkebunan.
Dari aspek klimatologi, daerah ini memiliki kisaran curah hujan 1.700 – 3.200
mm/tahun dengan rata-rata 2.285 mm/tahun. Musim kering terjadi pada bulan Februari – April
dan Juni – Agustus, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan September – Januari dan bulan
Mei. Suhu udara rata-rata adalah 26,69 oC, dan kelembaban rata-rata 79,88 %.
Danau Aneuk Laot tidak mempunyai pintu masuk (inlet) dalam bentuk aliran sungai
permukaan, demikian pula dari danau tidak ada pintu keluar (outlet) berupa sungai. Namun
diduga danau ini memiliki aliran keluar dalam bentuk rembesan dan aliran air melalui celah
atau rekahan batuan dasar danau.
10
Kajian kualitas air di danau ini yang dilakukan oleh Edyanto (2006) pada bulan
Agustus-September 2005, menunjukkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Suhu air berkisar 28,60 – 30,19 oC.
Derajat keasaman (pH): 8,33 – 8,53
Oksigen terlarut: 3,98 – 5,10 mg/l (di permukaan), sedangkan di kedalaman 20 m sekitar
1 mg/l.
Kecerahan berkisar 2 – 4 m.
Danau Aneuk Laot mempunyai peran vital sebagai pemasok air untuk kebutuhan kota
Sabang dan sekitarnya. Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) mendapatkan pasokan air dari
danau ini sebesar 27 liter/detik atau 97,2 m3/jam selain juga dari sumber mata air lainnya
sebesar 15 liter/detik atau 54 m3/jam (Edyanto, 2006).
Gambar 4. Danau Aneuk Laot dengan latar belakang Samudra Hindia.
(http://jalan2.com/objek-wisata)
Beberapa waktu belakangan ini dilaporkan permukaan danau mengalami penurunan
yang signifikan, hingga dikhawatirkan akan mengancam ketersediaan air baku bagi masyarakat
kota Sabang dan sekitarnya. Isu tentang penurunan muka air tersebut adalah terbentuknya
rekahan yang semakin besar di dasar danau tersebut, akibat terjadinya gempa dan tsunami
Aceh-Nias tahun 2004 sehingga menyebabkan berkurangnya volume air dari waktu ke waktu.
Namun kajian oleh NAD & BPPT (2006) mengindikasikan kejadian itu dapat lebih dipengaruhi
oleh terjadinya variasi kondisi iklim.
Danau Aneuk Laot mempunyai panorama yang indah, dan karenanya sering menjadi
objek kunjungan wisata. Matahari terbenam (sunset) disini menyajikan pemandangan yang
mempesona dengan latar belakang Samudra Hindia.
11
Belakangan ini Danau Aneuk Laot makin banyak diliputi tumbuhan eceng gondok
(Eichornia crassipes) yang hidupnya mengapung, membentuk hamparan hijau di permukaan
hingga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lingkungan tersendiri. Tahun 1997
dilaporkan belum ada eceng gondok di danau ini, sedangkan di tahun 2010 gulma air ini sudah
ada dan makin meluas saja.
RUJUKAN
Danau Aneuk Laot hampir dipenuhi eceng gondok. (http://www.kompasiana.com)
Danau Aneuk Laot. (http://travel.detik.com)
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NAD dan Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi. 2006. Geo Investigasi Danau Aneuk Laot Pulau Weh NAD: 131 hlm.
Edyanto, C.B.H. 2006 Penelitian kualitas air Danau Aneuk Laot di Pulau Weh Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam. J. Tek. Lingk. Edisi Khusus: 115-124.
12
2. DANAU LAUT TAWAR
D
anau Laut Tawar merupakan danau terbesar di Provinsi Nangroe Aceh
Darusslam yang terletak di Dataran Tinggi Gayo, dengan posisi geografis
4o50’ Lintang Utara, dan 96o 50’ Bujur Timur. Di sisi barat danau ini terdapat
kota Takengon, yang juga merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Tengah.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Laut Tawar di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
Gambar 2. Panorama Danau Laut Tawar (wikimedia.org)
13
Gambar 3. Kota Takengon terletak di pantai barat Danau Laut Tawar
(gayomusara.files.wordpress.com)
Danau ini merupakan sumber air bersih bagi masyarakat setempat, di samping untuk
pertanian, industri dan perikanan. Selain itu danau ini juga berperan sebagai objek kujungan
wisata.
Berdasarkan asal kejadiannya, Danau Laut Tawar ini tergolong danau vulkanik, dengan
ketinggian muka air (altitude) sekitar 1.230 m di atas permukaan laut. Luasnya sekitar 57 km2
dengan panjang sekitar 17 km, lebar 3 km, dan kedalaman rata-rata 51 m. Daerah tangkapan
air Danau Laut Tawar merupakan Sub DAS Peusangan yang meliputi Kabupaten Bener Meriah
dan Bireuen. Terdapat sebanyak 25 sungai yang berasal dari 18 daerah tangkapan air yang
mengalirkan airnya ke Danau Laut Tawar, tetapi hanya 12 sungai yang mengalirkan airnya
secara permanen, dengan total debit air kira-kira 10.043 liter per detik. Selebihnya merupakan
sungai musiman, yang kering pada musim kemarau (Adhar, 2011).
Kawasan Ekosistem Danau Laut Tawar memiliki suhu udara maksimum 25 oC dan
minimum 13 0C dengan rata-rata 20 0C.. Rata-rata kelembaban udara 80,08 %, yang berkisar
antara yang terbasah 86,28% dan terkering 74,25 %. Kecepatan angin tertinggi 2,53 (m/s) dan
terendah 0,95 (m/s). Curah hujan tahunan selama periode 1984 - 2003 berkisar antara 1.617 –
2.712 mm per tahun, dengan rata-rata curah hujan tahunan 1.947,5 mm. (Adhar, 2011).
Suhu air rerata Danau Laut Tawar berkisar antara 21,55 oC (dipermukaan) dan
19,35 oC (pada kedalaman 50 ). Kecerahan (transparency) bekisar 1,29 m sampai 2,92 m.
Semakin tinggi nilai kecerahan, maka semakin jernih air.
Distribusi zat-zat kimia, terutama nutrien dalam air danau memegang peranan
penting, karena perubahan setiap parameter kimia perairan akan berpengaruh terhadap
biota air, baik tumbuhan maupun hewan air. Nilai beberapa parameter kimia perairan
Danau Laut Tawar disajikan dalam Tabel 1.
14
Tabel 1. Parameter kimia Danau Laut Tawar (Adhar, 2011)
Parameter kimia
Satuan
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
ppm
pH
Oksigen terlarut
Biological Oxygen Demand (BOD)
Chemical Oxygen Demand (COD)
Nitrat
Nitrit
Fosfat
Nilai
8,22 – 8,41
5,0 – 7,0
0,62 – 1,11
<5
0,00 – 0,13
0,001 – 0,003
0,12 – 1,31
Di Danau Laut Tawar ditemukan 46 jenis plankton, dengan rincian kelas Chlorophyceae
sebesar 35%, Bacillariophyceae 24%, Myxophyceae 9%, dan kelas lain sebesar 32%.
Tumbuhan air seperti Hydrilla sp., eceng gondok (Eichornia crassipes), dan kiambang (Salvinia
natans) juga dapat ditemukan hidup di tepian danau.
Di samping itu ditemukan tiga jenis moluska, satu jenis cacing annelida, sekitar 37 jenis
ikan, dan 49 jenis serangga yang hidup di perairan Danau Laut Tawar. Ditemukan pula 23 jenis
burung yang mencari makan di danau ini.
Gambar 4. Ikan endemik dan hanya terdapaat di Danau Laut Tawar.
Atas: ikan gule depik (Rasbora tawarensis). Bawah: ikan gule kawan
(Poropuntius tawarensis). (www.arkive.org)
Suatu hal yang menarik bahwa di danau ini terdapat jenis ikan yang endemik yang
hanya terdapat hidup di danau ini yaitu ikan depik (Rasbora tawarensis). Jenis ikan ini menjadi
tangkapan utama nelayan di danau ini, dan kini kondisinya telah semakin langka. IUCN
15
(International Union for the Conservation of Nature) telah mencantumkan jenis ikan ini
sebagai terancam punah (vulnerable). Semakin berkurangnya populasi ikan ini terindikasi dari
jumlah tangkapan rata-rata per satuan usaha (Catch Per Unit Effort) dari 1,17 kg/m2 di tahun
1970 menjadi hanya 0,02 kg/m2 di tahun 2009. Kondisi ini semakin memprihatinkan karena
sementara itu berbagai ciri kehidupan jenis ikan ini belum lagi terdokumentasikan dengan baik
(Muchlisin et al, 2009).
Selain itu, menurut Muchlisin et al. (2010) terdapat pula jenis endemik lainnya
yang khas Danau Laut Tawar yaitu Poropuntius tawarensis, yang dikenal dengan nama
daerah gule kawan.
Gambar 5 . Karamba Jaring Apung telah dikembangkan di Danau Laut Tawar
yang berpotensi mencemari lingkungan perairan (fotoindonesia.com)
Perikanan yang destruktif adalah penggunaan teknik perikanan yang tak ramah
lingkungan, misalnya penggunaan jaring insang (gill net) dengan mata jaring yang kecil.
Praktek ini di Danau Laut Tawar telah menyebabkan ikan depik (Rasbora tawaresnsis) yang
endemik di danau ini telah ditangkap berlebihan (over fishing) hingga kelestariannya makin
terancam.
Dalam garis besarnya terdapat empat faktor yang sangat mempengaruhi kondisi
lingkungan Danau Laut Tawar yakni: turunnya permukaan air danau, introduksi atau masuknya
spesies asing, perikanan yang destruktif, dan pencemaran air (Muchlisin et al. 2009).
Turunnya permukaan air danau terkait dengan deforestrasi atau peggundulan hutan di
daerah tangkapan air (catchment area) di atasnya dan karena pemanasan global. Deforestrasi
telah menyebabkan berkurangnya aliran air sungai bahkan dapat menyebabkan beberapa sungai
mengalami kekeringan.
Introduksi spesies asing (invasive species) mengancam kehidupan spesies lokal.
Beberapa jenis ikan yang diintroduksi ke Danau Laut Tawar antara lain ikan mas (Cyprinus
carpio), mujaer (Oreochromis mossambicus), nila (Oreochromis niloticus), lele dumbo
16
(Clarias gariepinus). Secara umum, introduksi ikan asing ke suatu perairan akan membawa
dampak negatif bagi ikan asli setempat (native species) baik secara langsung maupun tidak
langsung yang pada akhirnya akan menyebabkan populasi ikan asli setempat turun dan bahkan
dapat punah.
Perikanan yang destruktif adalah perikanan yang tidak memperhatikan kelestarian
sumberdaya ikan misalnya dengan menggunakan alat tangkap yang tak ramah lingkungan
seperti jaring insang yang mata jaringnya kecil dan tak selektif.
Pencemaran yang terjadi di perairan danau dapat bersumber dari limbah perumahan,
pertaninan, hotel/ restoran. Budidaya ikan dengan Karamba Jaring Apung (KJA) di perairan
danau juga dapat berpotensi mencemarkan perairan karena pemberian makanan yang berlebihan
(over feeding). Pengembangan usaha budidaya ikan dengan intensitas pemberian pakan buatan
yang tinggi tanpa diiringi dengan manejemen kualitas air yang baik akan berdampak buruk pada
kondisi air danau dan seterusnya memberi dampak negatif terhadap populasi ikan di danau.
Gambar 6. Danau Laut Tawar merupakan salah satu daerah tujuan wisata di
Kabupaten Aceh Tengah. (www.telusurindonesia.com)
Di sektor pariwsata, Danau Laut Tawar merupakan salah satu tujuan wisata yang
terkenal di Aceh Tengah. Keberadaan dua gunung yang mengapit danau ini menyajikan
perpaduan antara bentang daratan dan perairan dengan pemandangan indah menakjubkan.
Fasiltas pendukung pariwisata semakin baik. Kesempatan untuk mengarungi danau dengan
perahu motor telah berkembang, demikian pula untuk kegiatan pemancingan.
17
RUJUKAN
Adhar,
S.
2011
Ekosistem
Danau
Laut
Tawar
Aceh
Tengah.
(danaulauttawar.blogspot.com/2011)
Asmy, U. E. 2013. Potensi Danau Laut Tawar sebagai salah satu objek wisata alam di
Kabupaten Aceh Tengah. Universitas Sumatra Utara.
Lehmusluoto, P., B. Mahbub, N. Terangna, S. Rusmipuro, F. Ahmad, L. Boer, S. S. Brahmana,
B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. National inventory of the
major lakes and rservoirs in Indonesia. Expedition Indodanau Technical Report
(Revised Edition): 71 pp.
Muchlisin, Z.A., Siti Azizah M.N, Edi Rudi dan Nur Fadli. 2009. Danau Laut Tawar dan
permasalahannya. http://winbathin.blogspot.com/2009.
Muchlisin, Z. A, M. Musman dan M. N. Siti Azizah, 2010, Length-weight relationships and
condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and Poropuntius
tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia, J. Appl. Ichthyol,
1–5, Blackwell Verlag, Berlin ISSN 0175–8659.
18
3. DANAU KAWAR
D
anau Kawar (Lau Kawar) adalah danau yang berada di Desa Kutagugung,
Kecamatan Naman Teran, di kaki gunung berapi Sinabung, Kabupaten Karo,
Propinsi Sumatera Utara, dengan posisi geografis 3o 12’ Lintang Utara dan 98o
22’ Bujur Timur. Danau ini berada di kawasan ekositem Leuser dengan elevasi atau ketinggian
muka air 1.492 m di atas permukaan laut.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Kawar
19
Gambar 2. Danau Kawar (wisatabudaya.blogspot.com)
Gambar 3. Danau Kawar dilihat dari lereng Gunung Sinabung (wikimedia.org)
Danau yang terletak di tanah tinggi Karo ini terbentuk sekitar beberapa ribu tahun lalu,
ketika aliran lava dari erupsi Gunung Sinabung membendung Sungai Tapin (Verstappen, 1973).
Sebuah dam (bendung) kecil dibangun di pintu keluar (outlet) danau ini sekitar tahun 1985
untuk menunjang program irigasi pertanian yang menyebabkan naiknya permukaan danau
sekitar 2 m. Luas danau ini sekarang adalah 1,16 km2 setelah mengalami sedikit pertambahan
luas dari pembangunan dam. Penambahan luas karena pembangunan dam tidaklah signifikan
20
karena tepian danau yang curam. Di sebelah utara danau terdapat hutan lindung sedangkan di
sebelah selatannya merupakan daerah pertanian dengan intensitas rendah.
Gambar 4. Batimetri (peta kedalaman) Danau Kawar (Whitten et al., 2000)
Studi yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Lingkungan, Universitas Sumatra Utara, telah
memetakan profil kedalaman danau, dan pengukuran berbagai parameter lingkungan danau ini
(Whitten et al., 2000). Bagian terdalam adalah sekitar 20 m. Dari peta batimetri (kedalaman
danau) (Gambar 4) dapat diperhitungkan volume danau yakni sebesar 41,5 juta m 3.
Pengukuran aliran keluar (outflow) dari danau ini nenunjukkan nilai debit sebesar 25,8 m3 per
menit. Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa volume air danau ini dapat “tergantikan”
(retention time) dalam waktu sekitar tiap tiga tahun.
Gambar 5. Profil suhu dan oksigen terlarut di Danau Kawar (Whitten et al., 2000)
21
Pengukuran suhu di Danau Kawar (Gambar 5) menunjukkan suhu permukaan sekitar 23
C sedangkan lapisan hipolimnion dimulai dari kedalaman 10 m. Di bawah kedalaman 10 m
suhu merata sekitar 21 oC sampai lapisan terdalam.
Profil oksigen di lokasi terdalam di danau ini (Gambar 5) menunjukkan bahwa mulai
dari kedalaman 10 m ke bawah, kandungan oksigen telah habis atau dalam kondisi anoxic. Hal
ini menunjukkan bahwa pengadukan vertikal tak terjadi dengan intensif hingga menyebabkan
bagian dasar danau tanpa oksigen. Hal ini mengindikasikan pula tak adanya fauna yang dapat
hidup di lapisan dalam. Studi yang dilaksanakan oleh Tarigan (2009) di daerah tepian danau ini,
menunjukkan hanya beberapa jenis fauna makrozooobentos yang terdapat disini, sedangkan
Silalahi (www.researchgate.net/publication) yang mengkaji keanekaragaman dan distribusi
serangga air menemukan 10 ordo, 33 familia dan 43 genus .
Pengukuran kecerahan air di danau ini dengan menggunakan cakram Secchi
menunjukkan nilai sekitar 1,9 – 2 m yang mengindikasikan lapisan fotosintetik yang dangkal,
tidak sampai ke lapisan dasar. Whitten et al. (2000) mengemukakan bahwa separuh dari volume
danau Kawar tidak mendukung kehidupan ikan karena ketiadaan oksigen, dan 70 % dasar danau
tidak sesuai untuk kehidupan ikan pemakan bentos.
Whitten et al. (2000) selanjutnya
tidak menyarankan Danau Kawar untuk
pengembangan perikanan yang intensif. Introduksi ikan mas (Cyprinus carpio) disebutnya
kurang berhasil, sedangkan introduksi ikan mujaer (Oreochromis mossambicus) dan ikan
gurami (Osphronemus goramy) gagal.
o
Gambar 6. Camping ground di tepian Danau Kawar, pintu untuk
pendakian ke Gunung Sinabung (http://www.kompasiana.com)
Namun di lain pihak Danau Kawar telah dikembangkan sebagai tujuan wisata yang
semakin banyak menarik pengunjung, khususnya pencinta wisata alam. Danau ini merupakan
pintu masuk utama untuk pendakian menuju Gunung Sinabung, yang jaraknya sekitar 3 km dari
danau. Ditepi danau terdapat camping ground yang cukup luas. Namun erupsi Gunung
Sinabung yang terjadi di tahun 2010 berdampak juga pada pariwisata di Danau Kawar, yang
menyebabkan banyak fasilitas pendukung pariwisata menjadi terbengkalai. Erupsi Gunung
22
Sinabung kemudian berulang kali terjadi di tahun 2013 – 2014. Terakhir terjadi lagi erupsi
beruntun yang dimulai tanggal 21 Mei 2016 yang menimbulkan bencana pada masyarakat
sekitar. Debu panas dilontarkan gunung itu hingga mencapai jarak 3.200 m ke arah timur dan
tenggara. Belum diperoleh informasi mutakhir tentang apa dan bagaimana dampak erupsi ini
terhadap kondisi Danau Kawar yang berada di lerengnya.
Gambar 7. Erupsi Gunung Sinabung (2016). Belum diketahui dampaknya
terhdap Danau Kawar. (http://nasional.tempo.co)
RUJUKAN
Arjuna, J. 2015. Danau Toba, kondisi, permasalahan dan pengelolaannya. www.academia.edu.
Silalahi, B. R. Studi tentang keanekaragaman dan distribusi serangga air di Danau Lau Kawar,
Kccamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. www.researchgate.net/publication.
Tarigan, L. C. B. 2009. Studi Keanekaragaman makrobentos di Danau Lau Kawar Desa Kuta
Gugung Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Skripsi FMIPA USU: 53 hlm.
Verstappen, H. Th. 1973. Geomorphological reconnaisance of Sumatra and adjacent island
(Indonesia). Wolters-Noordhoft, Groningen.
Whitten, T., S. Damanik, J. Anwar, N. Hisyam. 2000. The ecology of Sumatra. The cology of
Indonesia Series. Volume I. Peripluas: 478 hlm.
Lau Kawar, potret wisata pencinta alam. (kompasiana.com)
23
4. DANAU TOBA
D
anau Toba terletak di pegunungan Bukit Barisan Provinsi Sumatra Utara,
dengan posisi geografis antara 2o 21’32” – 2o 56’ 28” Lintang Utara dan 98o
26’ 35” – 99o 15’ 40” BujurTimur. Jaraknya kurang lebih 176 km arah selatan
kota Medan, ibukota Propinsi Sumatra Utara. Danau ini berbatasan dengan tujuh wilayah
administratif kabupaten yakni kabupaten Samosir, Toba Samosir, Simalungun, Tapanuli
Utara, Humbang Hasundutan, Dairi dan Karo.
Luas permukaan air Danau Toba adalah 1.124 km2 yang merupakan danau terbesar di
Asia Tengara. Luas daratan DTA (Daerah Tangkapan Air)nya adalah 2.486 km2. Permukaan
danau berada pada ketinggian 903 m dpl (di atas permukaan laut). Panjang maksimumnya
kurang lebih 50 km dan lebar maksimumnya sekitar 27 km.
Gambar 1. Panorama Danau Toba (paketwisatadanautoba.net)
Karakteristik morfologi dasar Danau Toba yang membentang dari barat-laut ke tenggara
membentuk dua cekungan besar yakni cekungan utara dan cekungan selatan yang dipisahkan
oleh adanya Pulau Samosir. Kedalaman maksimum Danau Toba adalah 508 m (yang
merupakan danau terdalam ke-9 di dunia) terdapat di cekungan utara, sedangkan di cekungan
selatan kedalaman maksimumnya mencapai 420 m. Kedalaman rata-ratanya adalah 228 m.
Volume air keseluruhan danau diperkirakan 256,2 km3. Di tengah Danau Toba terdapat Pulau
Samosir dengan luas 630 km2, yang merupakan pulau terbesar di dunia yang berada di dalam
suatu pulau. Debit keluaran (outflow) adalah sekitar 100 m3/dt, hingga dapat diperkirakan waktu
24
tinggal (retention time) atau waktu yang diperlukan untuk membilas seluruh volume danau
adalah sekitar 81 tahun, yang cukup panjang dibandingkan dengan danau-danau lain di
Indonesia.
Gambar 2 . Citra satelit Danau Toba dan Pulau Samosir
Gambar 3. Peta batimetri (kedalaman) Danau Toba (Lukman & Ridwansyah, 2010)
25
Tabel 1. Karakter morfometri Danau Toba (Lukman & Ridwansyah, 2010)
Gambar 4. Sejarah terjadinya Danau Toba. (a). Setelah tekanan
besar mendorong kerak bumi mencuat ke atas, celah utama terbuka dan
letusan maha dahsyat terjadi. (b) Hilangnya magma yang demikian besar
menyebabkan kerucut vulkanik runtuh dan danau purba (ancient lake)
terbentuk. Tekanan meningkat lagi dan kerucut vulkanik tua dipaksa
naik kembali, dan letusan lebih kecil terjadi. (c) Kerucut kedua pecah
menjadi dua bagian membentuk Pulau Samosir dan Semenanjung
Parapat (Hehuwat, 1982).
26
Dilihat dari proses pembentukannya, Danau Toba tergolong danau vulkano-tektonik.
Sejarah Danau Toba dimulai sekitar 75.000 tahun lalu, yang dari sudut geologi masih termasuk
resen (recent). Sesar Semangko yang dalam, mendorong magma (molten material) mencuat ke
permukaan bumi. Hal ini menimbulkan tekanan yang sangat besar yang membentuk gunung api
maha besar (super volcano) yang dikenal sebagai Tumor Batak. Kemudian gunung api raksasa
ini erupsi dengan dahsyat. Sekitar 1.500 hingga 2.000 km3 material yang dimuntahkan. Dengan
sedemikian banyaknya material yang dimuntahkan dari kantong magma, puncak gunung api itu
pun runtuh dan membentuk danau kawah. Beberapa seri erupsi lebih kecil menyusul kemudian
yang membentuk gunung api kedua di dalam kawah, dan ketika ini pun kemudian runtuh,
gunung api itu pun terpecah menjadi dua bagian, yang sebelah barat membentuk Pulau Samosir,
dan lereng sebelah timur kemudian membentuk semenanjung antara Parapat dan Porsea. Erupsi
kedua itu terjadi sekitar 30.000 tahun lalu.
Kejadian erupsi Gunung Toba purba itu dinyatakan sebagai erupsi gunung berapi
terdahsyat di bumi yang pernah diketahui. Debu yang disemburkan pada kejadian erupsi
menyebar ke seluruh bumi. Ketebalan debu yang mengendap di India mencapai 15 cm dan di
sebahagian Malaysia bahkan mencapai ketebalan 9 m. Bumi yang bertahun-tahun diliputi debu
mengakibatkan perubahan iklim global yang signifikan, dengan penurunan suhu global ±3,5
o
C. Bencana ini dinyatakan sebagai penyebab terjadinya zaman es.
Tak hanya dipengaruhi oleh aktivitas vulkanik dari dapur magma, Danau Toba ternyata
juga sangat dipengaruhi oleh kegiatan tektonik yang mengimpitnya, sehingga kalangan geolog
menyebutnya sebagai danau vulkano-tektonik.
Curah hujan tahunan yang terdapat di kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Toba
berkisar antara 1.700 sampai
dengan
2.400
mm/tahun,
sedangkan puncak musim hujan
terjadi pada bulan November –
Desember dengan curah hujan
antara 190 – 320 mm/bulan dan
puncak musim kemarau terjadi
selama bulan Juni – Juli dengan
curah hujan berkisar 54 – 151
mm/bulan. Hujan yang jatuh di
daratan diterima di Daerah
Tangkapan Air (DTA) di atas
Danau Toba yang seluruhnya
mempunyai luas 4.311 km2 .
Selanjutnya air dari DTA
dialirkan lewat banyak sungai ke
danau, sehingga Danau Toba
merupakan wilayah pengumpul
Gambar 5 . Pola regim aliran sungai di Danau Toba
air.
(Lukman & Ridwansyah, 2010)
Berdasarkan data dari
Badan Pelaksana Kordinasi
27
Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba, dalam wilayah DTA Danau Toba terdapat 205
sungai yang bermuara ke Danau Toba. Dari daratan Sumatra terdapat 142 sungai sedangkan
Daratan Samosir menyumbang 63 sungai. Tidak semua sungai-sungai itu mengalir sepanjang
tahun, sebagian besar berupa sungai-sungai kecil yang bersifat musiman (intermittent).
Sementara itu satu-satunya pintu keluar (outlet) air dari Danau Toba hanyalah melalui Sungai
(Sei) Asahan yang bermuara di pantai timur Sumatra.
Di pintu keluar (outlet) di Siruar, telah dibangun bendung untuk mengendalikan tinggi
muka air Danau Toba. Dengan adanya bendung pengendali Siruar itu maka Danau Toba sudah
tidak lagi berfungsi sepenuhnya sebagai danau alami. Tinggi muka air Danau Toba
dikendalikan secara mekanis oleh Bendung Siruar. Dengan demikian Danau Toba menjadi
satu-satunya bendungan alami terluas di dunia. Bendung Siruar itu semula dimaksud untuk
mendukung Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan di Sigura-gura dengan kapasitas 4
x 73,2 MW dan PLTA Tangga 4 x 81,1 MW (total kapasitas terpasang 617,2 MW) yang mulai
beroperasi tahun 1983 oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
Gambar 6. Bendung pengendali Siruar, mengendalikan aliran keluar
(outflow) dari Danau Toba ke Sungai Asahan, hingga Danau Toba tidak lagi
berfungsi sepenuhnya sebagai danau alami (Foto: A. Nontji).
Kualitas air Danau Toba dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain limbah domestik/
pemukiman, pertanian, perikanan, industri, pelayaran dan pariwsisata, baik yang berasal dari
daratan (land based) maupun yang berasal dari kegiatan di perairan danau. Dengan makin
pesatnya pertumbuhan penduduk yang bermukim di sekitar danau berikut beragam kegiatannya
maka kualitas air cenderung menurun.
Kajian Lukman (2010) mengenai kualitas air di Danau Toba menunjukkan suhu yang
berkisar 26,4 - 27,4 oC, pH cenderung basa (>7,3), kecerahan 6,0 – 11,5 m, konduktivitas
antara 0,160 – 0,166 mS/cm, kadar oksigen terlarut cukup tinggi (> 7,0 mg/l), kadar Total N
28
antara 0,163 – 0,840 mg/l dan Total P antara 0,015 – 0,399 mg/l sedangkan kadar Ortho P
< 0,04 mg/l.
Studi yang dilaksanakan oleh Lukman & Ridwansyah (2010) menunjukkan bahwa
lapisan epilimnion yang produktif dan dapat berfotosintesis terdapat di bagian atas pada
kedalaman 0 – 30 m, dan lapisan peralihan atau metalimnion berada di bawahnya pada
kedalaman 30 – 100 m, sedangkan lapisan terbawah yakni lapisan hipolimnion pada kedalaman
lebih dari 100 m. Kadar oksigen terlarut yang terukur di permukaan relatif tinggi (6 – 7 mg/l),
namun menurun drastis pada kedalaman 100 m, dan umumnya menunjukkan kondisi sangat
minim ( ≤ 2 mg/l ) pada kedalaman 200 m dan seterusnya kebawah.
Salah satu faktor yang menentukan produktivitas suatu perairan adalah kandungan
fitoplanktonnya yang terkait dengan kandungan nutien dalam perairan. Penelitian fitoplankton
di Danau Toba oleh Lukman (2010) menemukan 28 genus fitoplankton dari empat kelas yaitu
Bacillariophyta (7 genus), Chlorophyta (12 genus), Cyanophyta (6 genus) dan Phyrophyta (3
genus) dengan kelimpahan berkisar antara 53 – 622 indiv./l. Secara keseluruhan kelimpahan
fitoplankton tersebut sangat rendah dan mencirikan perairan yang miskin atau oligotrofik.
Mengenai keanekaragaman hayati di perairan Danau Toba dapat disebutkan bahwa di
danau ini terdapat hewan endemik yang hanya terdapat di danau ini yakni ikan Neolissochilus
thienemanni sumtranus dan kerang Corbicula tobae. Ikan Neolissochilus thienemanni
sumatranus yang oleh penduduk setempat disebut “ihan” sudah terancam punah dan masuk
dalam Red List Status di IUCN
(International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) sejak
tahun 1996. Ikan ini sering juga disebut
“ikan batak” , namun istilah “ikan batak”
digunakan pula untuk beberapa jenis ikan
lainnya dari genus Tor yang tampilan
morfologinya memang mirip karena
berada di bawah familia yang sama yakni
Cyprinidae. Ikan batak dari genus Tor
sering disebut sebagai jurung-jurung,
lazim digunakan dalam prosesi adat
Batak sebagai simbol kesuburan.
Selain ikan yang memang asli sebagai penghuni danau ini, terdapat juga beberapa jenis
ikan pendatang atau diintroduksi ke danau ini. Beberapa jenis asli di Danau Toba antara lain
Aplochilus panchax, Nematochellus pfeifferae, Homaloptera gymnogaster, Channa gachua,
Channa striata, Clarias batrachus, Barbonymus gonionotus, B. schwanenfeldii, Danio
albolineatus, Osteochilus vittatus, Puntius binotatus, Rasbora jacobsoni, Tor tambra, Betta
imbellis, Betta taeniata dan Monopterus albus. Jenis ikan asli lain yang populasinya menurun
adalah ikan pora-pora atau undalap (Puntius binotatus).
Ikan yang diintroduksi misalnya Cyprinus carpio (ikan mas) dan Oreochromis niloticus
(ikan nila). Kedua jenis ikan introduksi itu kini banyak dimanfaatkan dalam pembudidayaan
ikan di danau dengan menggunakan Karamba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba.
Budidaya ikan dengan menggunakan KJA telah berkembang sangat pesat di Danau
Toba hingga cenderung ke tingkat ekploitasi lebih (over exploitation) yang akhirnya tidak lagi
Gambar 7. Ikan batak ihan, Neolissochilus
thienemanni sumtranus, ikan endemik di Danau
Toba yang terancam punah.
29
memberikan keuntungan per unit usaha. Pertumbuhan jumlah unit KJA yang tak terkendali
bahkan telah pula menimbulkan masalah lingkungan yang parah.
Kegiatan budidaya ikan sistem KJA di Danau Toba telah dilakukan oleh masyarakat
sejak tahun 1986. Tahun 2005 telah ada 2.815 unit KJA, dua tahun berikutnya (tahun 2007)
telah berlipat ganda menjadi 5.612 unit, sedangkan tahun 2009 sudah menjadi 6.269 unit.
Jumlah ini terus meningkat, dan diperkirakan sudah jauh melampaui daya dukung
lingkungannya.
Gambar 8. Budidaya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA) yang
sangat intensif di perairan Haranggaol, Danau Toba.
Gambar 9. Kematian massal ikan di KJA (Karamba Jaring Apung) di
Danau Toba pada pekan pertama bulan Mei 2016 mengakibatkan lebih
1500 ton ikan mati. (horasnews.com)
30
Terkait dengan masalah KJA ini, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan (2015)
merekomendasikan perlunya langkah moratorium dan rasionalisasi pengelolaan KJA, yakni
dengan menghentikan penambahan baru KJA dan mengurangi jumlah unit KJA yang ada
hingga ke tingkat yang rasional sesuai dengan daya dukung lingkungannya serta pengaturan
perseberannya di danau. Namun implementasinya tentu bukanlah hal yang mudah karena akan
menyangkut berbagai aspek sosial-ekonomi-politik lokal yang pelik.
Sementara itu korban karena kematian massal ikan di KJA masih sering terjadi. Kasus
mutakhir di Haranggaol, pantai sebelah utara Danau Toba, pada pekan pertama bulan Mei 2016,
terjadi kematian massal ikan dalam KJA yang mengakibatkan sekitar 1.500 ton ikan mati dan
menimbulkan kerugian pada para nelayan hingga miliaran Rupiah. Diperkirakan jumlah KJA di
Danau Toba saat itu mencapai sekitar 7.000 unit (Gambar 8 & 9) . Bencana ini diakibatkan
karena lapisan air di bagian bawah yang telah kehabisan oksigen (anoksik) terangkat ke
permukaan (over turn) hingga menimbulkan kematian massal ikan. Sumber utama peristiwa ini
adalah karena pemberian pakan berlebihan (over feeding) pada ikan dalam KJA, hingga banyak
pakan tersisa yang mengendap ke lapisan bawah, ditambah pula feses (kotoran) ikan yang
menyebabkan terakumulasinya bahan organik di lapisan bawah permukaan. Penguraian bahan
organik ini oleh mikroba mengkonsumsi banyak oksigen hingga menyebabkan oksigen di
bawah permukaan perairan habis disertai sulfide (belerang) yang beracun. Apabila terjadi
perubahan cuaca yang mengakibatkan turunnya suhu air permukaan maka air tanpa oksigen di
lapisan bawah ini akan naik ke permukaan hingga meneyebabkan musibah matinya ikan secara
massal di permukaan.
Pengembangan KJA yang tak terkendali tidak saja berkontribusi terhadap terjadinya
penurunan kualitas air perairan Danau Toba. Kondisi ini diperparah dengan kontribusi limbah
dari pemukiman, resor dan hotel yang tumbuh sepanjang pantai, dan limbah pertanian dari
daratan sekitarnya. Masyarakat setempat semakin sulit untuk mendapatkan akses air yang
berkualitas baik. Eutrofikasi atau penyuburan perairan terjadi hingga memicu makin
berkembanganya gulma air eceng gondok (Eichornia crassipes) di beberapa wilayah. Selain
itu, pertumbuhan jumlah unit KJA yang sedemikian pesat telah mengurangi nilai estetika
lingkungan yang merupakan nilai penting untuk pengembangan pariwisata Danau Toba.
Gambar 10 . Danau Toba merupakan kawasan pariwisata penting di Indonesia.
Salah satu fungsi penting Danau Toba adalah sebagai kawasan pariwisata. Kota Parapat
merupakan pusat pariwisata Danau Toba. Dari sini berbagai lokasi wisata di kawsan pantai
31
Danau Toba dapat dicapai lewat transportasi air. Berbagai jenis objek wisata terdapat di Danau
Toba dan sekitarnya antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata olah raga dan alam, wisata
religi, dan wisata sejarah.
Gambar 11 . Peta distribusi kawasan wisata dan potensi wisata Danau
Toba (Lukman, 2013)
Lokasi pariwisata di wilayah Danau Toba hampir tersebar disepanjang danau, baik yang
bersentuhan dengan perairan maupun tidak (Gambar 11). Tercatat 15 dusun/desa yang
menunjang pariwisata, bahkan Parapat, Balige dan Pangururan selain lokasi wisata juga
merupakan pusat-pusat bisnis. Selain itu terdapat 12 lokasi yang memiliki potensi yang belum
dikembangkan.
Sehubungan dengan timbulnya berbagai masalah yang terkait dengan Danau Toba, maka
Gubernur Sumatra Utara bersama tujuh bupati di sekeliling Danau Toba pada tanggal 25 Juli
2016 menandatangani rencana aksi pembenahan lingkungan dan penataan ruang kawasan
Danau Toba (Kompas, 26 Juli 2016). Rencana itu terdiri atas 12 butir, yaitu menghentikan
usaha budidaya karamba apung (KJA), menghentikan penebangan kayu di tujuh kabupaten
kawasan Danau Toba, dan merehabilitasi hutan di tujuh kabupaten di kawasan itu. Selain itu
mengonvservasi dan mendayagunakan air Danau Toba, membangun infrastruktur air minum
dan sanitasi, drainase, serta sarana prasarana air limbah skala kota dan komunal. Kualitas air
danau akan selalu dipantau secara berkala.
RUJUKAN
Arjuna, J. 2010. Danau Toba, pemanfaatan dan permasalahannya. http://serasah.blogspot.co.id.
32
Balitbang KP, 2015. Balitbang KP rekomendasikan moratorium dan rasionalisasai KJA Danau
Toba dan Waduk Citarum. (balitbangkp.kkp.go.id)
Hehuwat, F. 1982. Tao Toba: Tumor Batak, tufa Toba, depressi vulkano-tektonik. Sejarah
terjadinya Danau Toba. Suara Alam 16: 18-20.
Kompas, 2016. Danau Toba: Kepala Daerah tanda tangani rencana aksi. Harian Kompas, 26
Juli 2016.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Lukman. 2010. Karakteristik komunitas fitoplankton dan kaitannya dengan ketersediaan hara di
perairan Danau Toba. Seminar Nasional Biologi. Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta
24-25 September 2010.
Lukman. 2013. Danau Toba. Karakteristik limnology dan mitigasi ancaman lingkungan dan
pengembangan karamba jarring apung. LIPI Press 2013: 106 hlm.
Lukman & I. Ridwansyah. 2010. Kajian kondisi morfometri dan beberapa parameter stratifikasi
perairan Danau Toba. Limnotek 17(2): 158-170.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Toba. http://danau.limnologi.lipi.go.id/danau.
Sagala, E. P. 2012. Komparasi indeks keanekaragaman dan indeks saprobik plankton untuk
menilai kualitas perairan Danau Toba, Propinsi Sumatera Utara. Prosiding Seminar
Nasional Limnologi VI Tahun 2012: 220 – 233.
Whitten, T., S. Damanik, J. Anwar, N. Hisyam. 2000. The ecology of Sumatra. The cology of
Indonesia Series. Volume I. Peripluas: 478 hlm.
Wikipedia. Danau Toba. ( id.wikipedia.org).
33
5. DANAU MANINJAU
D
anau Maninjau terletak di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam,
provinsi Sumatra Barat dengan posisi geografis 0o19’LU (Lintang Utara), 100o
12’ BT (Bujur Timur). Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah
utara Kota Padang, ibukota Sumatera Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari
Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam.
Gambar 1. Peta Danau Maninjau
Gambar 2. Panorama Danau Maninjau
34
Danau Maninjau tergolong tipe danau vulkanik berupa danau kaldera. Diperkirakan
danau ini mulai terbentuk sekitar 60.000 tahun lalu, ketika gunung api Maninjau Purba meletus
dengan dahsyat. Letusannya menyemburkan 220-250 km3 rempah vulkanik yang tersebar
hingga 75 km dari pusat letusan. Gunung api Maninjau yang berkembang di zona Sesar Besar
Sumatera itu diperkirakan tiga kali meletus besar. Masing-masing letusan membentuk kaldera
yang saling menyambung hingga membentuk Danau Maninjau seperti saat ini dengan tepian
yang curam (Setyahadi, 2012).
Bentuk Danau Maninjau memanjang
dari utara ke selatan dengan panjang maksimum
sekitar 17 km dan lebar sekitar 8 km. Danau ini
memiliki satu pintu keluar (outlet) alami yaitu
Batang Antokan, sungai yang mengalir ke arah
barat menuju ke Samudra Hindia. Semakin ke
arah bagian selatan danau, kedalaman semakin
tinggi dengan lereng (slope) yang semakin
curam. Titik terdalam danau berada di
cekungan bagian selatan sedalam 169 m.
Kondisi hidrologi kawasan danau secara
umum dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu
air permukaan dan air tanah. Air permukaan di
kawasan danau sebagian besar mengalir melalui
pola penyaluran yang telah terbentuk. Sumber
air Danau Maninjau terutama berasal dari
sungai-sungai yang mengalir sepanjang Daerah
Tangkapan Air (Catchment Area) yang
bermuara ke danau selain juga dari air hujan. Di
Gambar 3. Peta batimetri (kedalaman)
kawasan danau terdapat 88 buah sungai
Danau Maninjau (Puslit Limnologi LIPI)
besar dan kecil yang mengalir ke danau.
Tabel 1. Beberapa ciri fisik Danau Maninjau (Puslit Limnologi LIPI)
Parameter
Elevasi ( tinggi di atas permukaan laut)
Luas permukaan
Panjang maksimum
Lebar maksimum
Kedalaman maksimum
Kedalaman rerata
Keliling
Volume
Waktu tinggal (retention time)
Luas Daerah Tangkapan Air
35
Satuan
m
km2
km
km
m
m
km
km3
tahun
km2
Nilai
463
99,5
16,7
8,5
169
106
48,8
10,4
47
248
Kebanyakan dari sungai-sungai tersebut besifat musiman (intermittent), sekitar 61,4%
kering pada waktu musim kemarau, sedangkan sungai-sungai yang berair sepanjang tahun
hanya 34 sungai. Sungai-sungai tersebut mengalir dengan debit yang relatif kecil. Sungaisungai yang bermuara ke Danau Maninjau memiliki pola linier (lurus atau tidak bercabang),
sedangkan sungai di sebelah barat danau pada umumnya berpola dendritik (bercabang).
Ekspedisi Indo-danau yang merupakan kerjasama Indonesia-Finlandia yang
dilaksanakan di Danau Maninjau di tahun 1992 memberikan gambaran sepintas tentang
limnologi danau ini (Lehmusluoto et al. 1997). Stratifikasi suhu tercatat lemah, kandungan
oksigen di lapisan dasar sudah habis (anoxic), konduktivitas agak tinggi di lapisan bawah
(hipolimnon) dibandingkan dengan di lapisan permukaan. Namun nilai pH agak tinggi di
permukaan. Konsentrasi nitrogen total berkisar 0,116 hingga 1,110 mg N /l dan fosfor total dari
tak terdeteksi hingga 0,250 mg P /l. Sementara itu kandungan klorofil-a berkisar 1,30 – 2,52
mg/m3. Kecerahan (transparency) berkisar 3,4 m. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa danau
ini tergolong miskin (oligotrofik) tetapi saat itu sudah mulai terdeteksi terjadinya pengayaan
hara (eutrofikasi). Informasi yang lebih mutakhir (1997) tentang kualitas air permukaan di
Danau Maninjau dapat disarikan sebagai berikut (dari Puslit Limnologi):
Tabel 2. Kualitas air Danau Maninjau tahun 1997 (Puslit Limnologi)
Parameter
Oksigen terlarut
Suhu
pH
CO2
NO2
SO4
H2S
Satuan
mg/l
o
C
mg/l
mg/l
mg/l
mg/l
Nilai
4,01 – 6.85
27,5 – 28,0
7,2 – 7,6
21,33 – 309,30
ttd – 0,35
ttd
ttd
Keanekaragaman hayati di perairan Danau Maninjau antara lain telah disarikan dalam
Nontji (1992) yang antara lain menyebutkan terdapat sebanyak 45 spesies tumbuhan di danau
ini, sembilan diantaranya adalah spesies akuatik sejati. Najas marina var. sumatrana adalah
tumbuhan akuatik endemik di Danau Maninjau. Eceng gondok (Eichornia crassipes)
merupakan gulma yang terdapat di perairan danau yang terlindung. Gulma akuatik lainnya
adalah Hydrilla verticillata yang ditemui hidup terbenam dalam air sampai pada kedalaman
sekitar 5 m. Karena tepian danau umumnya curam maka gulma akuatik yang terbenam
(submerged aquatic weed) hanya terdapat di jalur sempit sepanjang pantai yang dangkal. Dua
spesies ikan endemik untuk danau-danau Sumatra Barat terdapat pula di Danau Maninjau yakni
Mystacoleucos padangensis (ikan bilih) dan Cyclocheilichthys dezwaani.
Sulastri (2012) merekam spesies ikan yang terdapat di Danau Maninjau (Tabel 3) yang
menunjukkan beberapa spesies ikan introduksi, ikan pendatang baru, dan ikan asli.
36
Tabel 3. Spesies ikan yang terdapat di Danau Maninjau (Sulastri, 2012)
Nama lokal
Barau
Garing
Asang
Bada
Mas
Kalui
Rinuak
Mujair
Supareh
Nila
Gabus
Panjang/ sidat
Indosiar
Baung
Spesies
Hampala macrolepidota
Tor soro ***
Osteochilus hasselti
Rasbora argyrotaenia
Cyprinus carpio*
Osphoronemus gouramy
Psylopsis sp.
Oreochromis mossambicus*
Puntius sp.
Oreochromis niloticus*
Opheocephalus sp.
Anguilla ***
Oxyeleotris marmorata**
Mystus sp.
Famili
Cyprinidae
Cyprinidae
Cyprinidae
Cyprindae
Cyprinidae
Osphronemidae
Cichlidae
Cyprinidae
Cichlidae
Opheocephalinidae
Anguillidae
Elotridae
Bagridae
Keterangan: * Ikan introduksi; ** Ikan pendatang baru; *** Ikan asli tak dijumpai
Suatu hal menarik adalah Danau Maninjau merupakan satu-satunya danau alami di
Sumatra yang mempunyai ikan sidat (Anguilla bicolor ) yang bentuknya panjang seperti ular.
Hal ini dapat dijelaskan karena Danau Maninjau adalah satu-satunya danau alami di Sumatra
yang mempunyai akses ke Samudra Hindia yang dalam, lewat sungai Batang Antokan. Sidat
diketahui menghabiskan sebagian masa
hidupnya di perairan tawar. Namun jika
menjelang dewasa dan tiba waktunya untuk
kawin dan bertelur maka ditempuhnyalah
migrasi menghilir, perjalanan panjang yang
luar biasa, menuruni sungai menuju ke laut
sampai jauh ke tengah samudra yang dalam.
Larvanya yang lahir di sana akan menempuh
perjalanan kembali ke darat berenang
Gambar 4. Ikan sidat (Anguilla bicolor).
mengarungi
samudra
untuk
kemudian
memudiki sungai-sungai sampai ke hulu, dan
danau yang dapat dicapainya. Di sana sidat ini bertumbuh menjadi dewasa dan bila akan
memijah ia kembali bermigrasi panjang menuju ke laut-dalam (pola migrasi catadromous).
Karena sidat makin banyak ditangkap dan terjadinya perubahan lingkungan sepanjang sungai
dan pantai maka kini ikan sidat di Danau Maninjau makin sulit ditemui.
Pemanfaatan sumber daya air Danau Maninjau hingga saat ini terutama adalah untuk
sumber air bersih, pembangkit listrik tenaga air, pariwisata dan perikanan.
Danau Maninjau mempunyai peran yang sangat penting sebagai sumber air bersih bagi
masyarakat di sekitarnya. Sebagian besar kebutuhan air bagi masyarakat sekitar terpenuhi dari
Danau Maninjau.
37
Gambar 5. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau mendapatkan
pasokan airnya dari Danau Maninjau (nywaskito.files.wordpress.com)
Pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dengan kapasitas terpasang sebesar 66 MW, telah
dimulai tahun 1983. Adanya pembangunan PLTA menyebabkan perubahan sistem hidrologi
danau. Air danau yang semula keluar dari lapisan permukaan berubah menjadi dari lapisan
bawah permukaan atau pada kedalaman 6-10 m. Sejak dibangunnya PLTA, air danau tidak
keluar lagi melalui saluran air alami Batang Antokan, namun lewat intake ke PLTA karena
diperlukan untuk menggerakkan turbin. Makin berkurangnya luas tutupan hutan di daerah
tangkapan air di atas Danau Maninjau menyebabkan makin besarnya perbedaan tinggi muka air
danau antara musim hujan dan musim kemarau. Pada musim kemarau, tinggi air semakin
rendah hingga mengakibatkan terganggunya operasi PLTA.
Di sektor pariwisata, telah banyak dibangun fasilitas pelayanan jasa wisata, hotel dan
restoran di bagian pinggir jalan yang melingkar sekitar Danau Maninjau ini. Namun kegiatan
pariwisata yang kurang terkendali dapat berpotensi menghasilkan pencemaran yang dapat
mengakibatkan turunnya kualitas air dan kualitas lingkungan danau.
Gambar 6. Danau Maninjau sebagai tujuan wisata yang penting.
Perikanan dilakasanakan terutama dengan pengembangan teknologi Karamba Jaring
Apung (KJA), dengan pemeliharaan ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis
38
niloticus). KJA mulai dikembangkan di Danau Maninjau pada tahun 1991. Jumlah KJA
berkembang pesat dari tahun ke tahun hingga telah melebihi daya dukung lingkungan. Sebagai
contoh, jumlah KJA di tahun 1996 baru berjumlah 1.886 unit, kemudian pada tahun 2000
menjadi 3.856 unit, di tahun 2008 mencapai 15.051 unit, dan di tahun 2014 sudah sampai
18.000 unit. Padahal menurut Pusat Penelitian Limnnologi LIPI danau ini hanya dapat
mendukung kapasitas sebanyak 6.000 unit.
Gambar 7. Atas: Budidaya ikan dengan Karamba Jaring Apung berkembang
dengan sangat pesat di Danau Maninjau (travel.kompas.com) . Bawah:
kematian massal ikan di Danau Maninjau di bulan Desember 2014.
(covesia.com)
Pengembangan KJA yang sangat pesat dengan pemberian makanan berlebihan (over
feeding) menyebabkan banyak sisa makanan yang menumpuk di dasar danau. Diperkirakan
sekitar 50-70 ton pakan yang ditebarkan per hari lewat kegiatan KJA di danau ini. Selain itu
kotoran (feses) ikan juga menumpuk di dasar danau. Bahan-bahan organik ini kemudian
39
diuraikan oleh mikroba yang memerlukaan banyak oksigen hingga mengakibatkan air di dasar
danau kehabisan oksigen (anoksik) dan mengandung sulfide (belerang) yang beracun. Apabila
terjadi perubahan cuaca yang menyebabkan perubahan kondisi hidrologi, yang selanjutnya
mengakibatkan lapisan dalam ini terangkat ke atas (overturn) maka ikan yang ada di
permukaan akan mati secara massal kehabisan oksigen dan keracunan. Kematian massal ikan
ini telah berulang kali terjadi di Danau Maninjau hingga menimbulkan kerugian ekonomi yang
sangat besar yang harus ditanggung oleh masyarakat. Kasus yang terjadi pada bulan Desember
2014 misalnya menyebabkan kematian massal ikan sampai sekitar 100 ton dan mengakibatkan
kerugian yang ditaksir sekitar Rp 3 milliar. Harian Kompas (4 September 2016) memberitakan
bahwa kematian massal ikan di Danau Maninjau hampir setiap tahun terjadi. Pada tahun 2008,
jumlah ikan yang mati 15.000 ton, 15.000 ton pada tahun 2009, 500 ton pada 2010, 500 ton
pada 2011, 300 ton pada 2012, 8 ton pada 2013, 700 ton pada 2014, 175 ton pada 2015, 3.000
ton pada 2016.
Sebenarnya Pemda Kabupaten Agam telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda)
Nomor 5 tahun 2014 tentang “Pengelolaan Kelestarian Danau Maninjau”. Namun
implementasinya bukanlah hal yang mudah karena terjadi benturan kepentingan berbagai pihak.
Di satu pihak ekonomi perlu ditingkatkan sedangkan di lain pihak kelestarian lingkungan tak
dapat diabaikan untuk kepentingan anak cucu di masa yang akan datang.
Menanggapi sering terjadinya bencana kematian massal ikan di danau, maka Puslitbang
Limnologi LIPI telah mengembangkan sistem monitoring on-line suhu air di Danau Maninjau
(Fakhrudin et al. 2012). Hasil pengukuran di lapangan langsung dikirim melalaui gelombang
GSM ke server di Puslit Limnologi LIPI di Cibinong, sehinga secara real-time kondisi danau
dapat diketahui melalui web/internet. Sistem monitoring online ini diharapkan dapat
dikembangkan lebih jauh lagi menjadi sistem peringatan dini bencana lingkungan.
Selain untuk budidaya ikan, Danau
Maninjau juga dimanfaatkan untuk aktivitas
perikanan tangkap. Ikan bada (Rasbora
argyrotaenia) merupakan komoditas perikanan
tangkap yang penting bagi masyarakat setempat
karena memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai
sumber protein. Harga ikan bada dapat mencapai
ratusan ribu rupiah per kilogram pada hari raya
Idulfitri. Disamping itu secara nasional juga
penting sebagai ikan hias. Namun demikian,
Gambar 8. Ikan bada (Rasbora
perikanan tangkap ikan bada telah dieksploitasi
argyrotaenia). (Said et al. 2011)
berlebihan terindikasi dari makin mengecilnya
ukuran ikan yang ditangkap.
Masalah lingkungan yang dihadapi dalam pengelolaan Danau Maninjau memang
kompleks karena mencakup berbagai aspek. Untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan
dan lingkungan berkelanjutan, Sulastri (2012) mengusulkan perlu adanya konsep pengelolaan
yang bersifat komprehensif yang mencakup aspek nilai dan etika, dukungan hukum dan sangsi
yang positif, sistem pembangunan ekonomi sumberdaya danau yang bersifat kerakyatan, sistem
pengelolaan yang bersifat partisipatif (co-management), melibatkan kajian iptek dan perpaduan
40
kearifan ekologis untuk menetapkan kebijakan pengelolaan serta melibatkan aktivitas senibudaya.
RUJUKAN
Arjuna, J. Danau Maninjau, kondisi kekinian, permasalahan dan pengelolaannya.
(www.academia.edu)
Fakhrudin, M.. A. S. Ika, C. Tjandra, A. Hamid, A. S. Foul, T. Endra & Kodarsiyah. 2012.
Pengembangan sistem monitoring online dan peringatan dini bencana lingkungan: Studi
kasus di Danau Maninjau. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Kompas. 2016 a. Perikanan: Kematian ikan sulit dihentikan. Harian Kompas, 2 September
2016.
Kompas. 2016 b. Danau Maninjau: Kematian ikan diprediksi hingga Desember. Harian
Kompas, 4 September 2016.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Lukman (manuscript, 2016). Ada galau di Maninjau.
Nontji, A. 1992. Lake Kerinci: Fisheries and aquatic problems. PHPA/AWB/Puslitbang
Limnologi Sumatara Wetland Project Report No. 37, Bogor, 42 pp.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Maninjau. http://danau.limnologi.lipi.go.id/danau.
Said, D. S., Triyanto, Lukman, Sutrisno & A. Hamdani (2011). Aspek biologi ikan bada
(Rasbora argyrotaenia) di Danau Maninjau, Sumatera Barat. Prosiding Forum Nasional
Pemacuan Sumber Daya Ikan III, 18 Oktober 2011.
Setyahadi, A., P. Eko, I. Rinaldi & A. Arif. 2012. Danau-danau penanda jejak tektovulkanik.
(http://sains.kompas.com/read/2012/04/23/09035935).
Sulastri. 2012. Konsep pengelolaan sumberdaya dan lingkungannya di Danau Maninjau,
Sumatra Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Wikipedia. Danau Maninjau. ( id.wikipedia.org).
41
6. DANAU SINGKARAK
D
anau Singkarak terletak di Propinsi Sumatra Barat, yang terentang
dalam dua wilayah adminstrasi yakni Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah
Datar. Posisi geografisnya adalah antara 0o31’46” dan 0o42’20” LS (Lintang
Selatan), antara 100o26’15” dan 100o35’55” BT (Bujur Timur). Ketinggian muka airnya
(altitude) adalah 364 m di atas permukaan laut, dengan luas area 130 km2. Panjang
maksimumnya 23 km, sedangkan lebar maksimumnya 7 km. Kedalaman maksimmnya 269 m
dengan kedalaman rerata 203 m. Keliling danau sekitar 50 km, dan volume danau 26,4 km 3.
Waktu tinggal (retention time) berkisar 57 tahun. Sungai yang keluar dari danau (outflow)
hanya satu yakni Sungai/ Batang Ombilin.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Singkarak
Danau Singkarak terbentuk akibat proses tektonik dari sesar-sesar yang ada di
sekitarnya. Danau ini merupakan bagian dari amblesan (graben) memanjang Singkarak-Solok
yang merupakan salah satu segmen Sesar Besar Sumatra. Cekungan besar yang memanjang itu
kemudian terbendung material letusan gunung api muda Merapi, Singgalang, dan Tandike di
sisi barat laut. Di sisi tenggara terbendung oleh endapan material letusan Gunung Talang.
Danau Singkarak bertambah lebar seiring pergeseran dua sesar yang mengapit danau.
Danau Singkarak diapit dua sesar pisah tarik (pull apart fault) yang merupakan bagian dari
segmen Sianok dan segmen Sumani yang terpisah sejauh 7,5 km. Setiap kali terjadi gempa,
42
terjadi pergeseran sesar yang bervariasi mengikuti kekuatan gempa. Total pergeseran Singkarak
diperkirakan 23 km hingga terbentuk danau seperti yang ada sekarang ini. Evolusi luas Danau
Singkarak itu berawal dari pergeseran 3 km, kemudian berkembang menjadi 8 km, 13 km, dan
sekarang ini sekitar 23 km. Danau ini terus tumbuh, menandai pergeseran yang terus terjadi.
Gambar 2. Panorama Danau Singkarak. (singkarakonline.blogspot.co.id &indoweb.org)
Tabel 1. Beberapa ciri fisik Danau Singkarak
Posisi Geografi
Ketinggian (altitude) (m)
Luas area (km2)
Panjang maksimum (km)
Lebar maksimum (km)
Kedalaman maksimm (m)
Kedalaman rerata (m)
Keliling (km)
Volume (km3)
Luas daerah tangkapan air (km2)
Waktu tinggal (retention time) (tahun)
Sungai keluar (outflowing river)
0o31’46” – 0o42’30” LS
100o26’15” – 100o35’55” BT
364
130,1
23
7
269
203
50
26,4
1.076
57
1
Beberapa sungai besar dan kecil bermuara ke Danau Singkarak antara lain: Sungai
Sumpur, Sungai Baing, Sungai Paninggahan, Sungai Saningbakar, Sungai Muaro Pingai dan
Sungai Sumani. Pintu keluar (outlet) dari Danau Singkarak mengalir ke arah timur melalui
sungai Batang Ombilin yang kemudian menyatu dengan Sungai Indragiri di Propinsi Riau dan
akhirnya bermuara di Selat Malaka. Sejak tahun 1998 air dari Danau Singkarak dialirkan pula
43
melalui terowongan bawah tanah ke PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Singkarak di
Asam Pulau.
Iklim di kawasan Danau Singkarak tergolong iklim basah dengan intensitas curah hujan
antara 1632 – 3063 mm/tahun atau 82 – 252 mm/bulan. Musim kering daerah sekitar Danau
Singkarak hanya sekitar dua bulan yaitu pada bulan Juni-Juli (bulan dengan curah hujan
bulanan kurang dari 100 mm). Suhu rata-rata di sekitar Danau Singkarak 26oC – 27 oC,
sedangkan suhu air Danau Singkarak bekisar antara 25 oC – 27 oC. Kelembaban relatif ratarata 80,7 %. Bulan kering terutama terjadi pada bulan Juni sampai Juli.
Kondisi danau sangat ditentukan oleh kondisi daerah tangkapannya (catchment area).
Kerusakan atau degradasi lingkungan yang terjadi di daerah tangkapan di atas danau, akan
memberi dampak negatif terhadap kondisi danau, antara lain makin berfluktuasinya aliran
masuk ke danau. Di samping itu, menyebabkan meningkatnya sedimentasi di danau akibat
penumpukan limbah padat dan erosi. Sedimentasi yang tinggi jika terus menerus terjadi akan
menyebabkan pendangkalan, penurunan kualitas dan kuantitas air danau. Diperkirakan dalam
satu tahun terangkut sedimen ke dalam Danau Singkarak rata-rata sebesar 39.517.632 m3 atau
setara 239 ton/ha/tahun yang sudah tergolong erosi kelas berat (Puslit Limnologi LIPI).
Ekspedisi limnologi Indo-danau yang merupakan kerjasama Indonesia-Finlandia, yang
dilaksanakan tahun 1992 di Danau Singkarak memberikan sedikit gambaran tentang kondisi
limnologi danau ini. Meskipun kedalaman maksimum danau ini sekitar 269 m, namun tebal
lapisan epilimnion (lapisan di bagian atas yang hangat dan produktif) hanya berkisar sampai
kedalaman 45-50 m saja. Air di lapisan bawahnya (lapisan hipolimnion) yang gelap dan dingin,
sudah tak mengandung oksigen. Dengan demikian diperkirakan dua per tiga volume air danau
ini, yang berada di lapisan bawah, yakni sebanyak 15,6 km3 berada dalam kondisi tanpa oksigen
(anoxic). Dalam beberapa dekade terakhir ini lapisan bawah tanpa oksigen ini makin naik
menuju ke permukaan sampai sekitar kedalaman 50 m. Lapisan tanpa oksigen ini disertai pula
dengan adanya kandungan hidrogen sulfida (H2S) yang beracun.
Kualitas air permukaan danau Singkarak antara lain telah dilaporkan oleh Puslitbang
Pengairan (1986) seperti tercantum dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kualitas air Danau Singkarak (Puslitbang Pengairan 1986)
Suhu (oC)
27 - 28,7
Konduktivitas (µmho/cm)
183 - 193
Kecerahan (m)
5,5 - 6,5
pH
8,4 - 8,6
Oksigen terlarut (mg/l)
6,6 - 7,9
Ortho-P (mg/l)
0,08 - 0,13
BOD (mg/l)
1,11
COD (mg/l)
5,98
NH4-N (mg/l)
0,19
NO3-N (mg/l)
0,14 - 0,6
Dari aspek keanekaragman hayati, Danau Singkarak meskipun tergolong luas, namun
relatif tak banyak jenis ikan yang hidup di danau ini. Tercatat hanya ada 19 spesies ikan yang
hidup di danau ini. Hal ini disebabkan karena terbatasnya jumlah plankton yang menjadi
44
sumber pakan ikan pada umumnya. Dari
19 spesies itu, tiga spesies diantaranya
memiliki kepadatan tinggi yakni ikan bilih
(Mystacoleucus
padangensis),
asang
(Osteochilus brachmoides) dan rinuak
(Psilopsis sp.). Spesies ikan lainnya yang
hidup di Danau Singkarak adalah, turiak
(Cyclocheilichthys
dezwaani),
lelan
(Osteochilus
vittatus),
sasau/barau
(Hampala macrolepidota) dan gariang/Tor
(Tor tambroides).
Ikan
bilih
(Mystacoleucus
padangensis) merupakan ikan endemik
yang hanya terdapat di danau-danau
Sumatra Barat, yakni di Danau Maninjau
dan Singkarak. Ikan bilih normalnya
berukuran kecil, panjang maksimalnya
hanya sekitar 10 cm dengan sisik
berwarna perak berkilauan. Ikan ini sangat
terkenal sebagai bahan kuliner lokal yang
banyak
penggemarnya.
Kondisinya
sekarang
makin
terancam
karena
penangkapannya yang tak mengindahkan
kelestariannya.
Budidaya ikan telah diperkenalkan untuk dikembangkan di Danau Singkarak dengan
menggunakan Karamba Jaring Apung (KJA) di tahun 2010, yang kemudian tumbuh sangat
pesat. Pertumbuhan KJA yang tak terkendali umumnya disertai dengan pemberian pakan yang
berlebihan (over feeding) hingga
banyak pakan tersisa yang
mengendap dan membusuk di
lapisan bawah. Selain itu kotoran
(faeces) ikan yang mengendap
menambah banyaknya bahan
organik mengendap di lapisan
bawah.
Keseluruhan
bahan
organik ini diuraikan oleh
mikroba yang mengkonsumsi
banyak
oksigen,
hingga
mempercepat habisnya oksigen di
lapisan bawah. Apabila terjadi
pembalikan air (overturn) maka
Gambar 3. Karamba Jaring Apung (KJA) di Danau
teraduklah kolom
air yang
Singkarak (archive.kaskus.co.id/)
mengakibatkan lapisan bawah
yang anoksik (tanpa oksigen) dan
Gambar 2. Ikan bilih (Mystacoleucus
padangensis), ikan endemik di Danau
Singkarak yang terancam punah
45
bersifat toksik naik ke permukaan. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kematian ikan secara
massal. Bencana kematian massal ikan telah beberapa kali terjadi di Danau Singkarak. Salah
satu kasus terjadi pada bulan Februari 2015 (Coubout, 2015), dimana setidaknya lebih 200 ton
ikan mati. Kerugian yang dialami masyarakat mencapai Rp 4,8 miliar. Penduduk setempat
melaporkan bahwa bencana ini berawal dari terjadinya perubahan warna air danau, yang semula
bersih menjadi keruh dan disertai bau belerang. Proses pengadukan atau pembalikan air di
danau ini terjadi secara alamiah terutama pada saat perubahan dari musim kemarau ke musim
hujan atau sebaliknya, dengan angin kencang yang mengaduk kolom air danau. Cuaca ekstrim
dapat mempercepat proses pengadukan ini.
Zooplankton di Danau Singkarak antara lain telah dikaji Wulandari et al. (2014) yang
mengungkapkan bahwa zooplankton di danau ini tidaklah kaya, terdapat hanya ada 16 spsies
zooplankton yang terdiri dari Crustacea (8 spesies), Protozoa (3 spesies), dan Rotifera (5
spesies).
Di Danau Singkarak terekam tumbuhan air makrofita (macrophyte) sebanyak 30 spesies
(Giesen & Sukotjo, 1991), delapan diantaranya merupakan spesies akuatik sejati, seperti eceng
gondok (Eichornia crassipes) yang mengambang di permukaan, dan lukut cai (Hydrilla
verticillata) yang hidupnya terbenam dalam air. Sementara itu Sunanisari et al. (2008) mencatat
tumbuhan air yang umum di danau ini antara lain rumput ikan (Potamogeton malaianus), seroja
(Nelumbo nucifera), Potamogeton sumtranus, eceng gondok (Eichornia crassipes), lukut cai
(Hydrilla verticillata), eceng kebo (Monochria hastata) dan genjer (Limnocharis flava).
Salah satu peran penting
Danau Singkarak adalah karena
airnya sebagai pasokan untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA). Air dari danau ini
disalurkan lewat terowongan
bawah tanah yang dibangun mulai
tahun
1992
sepanjang
19
kilometer ke PLTA Singkarak di
Desa Asam Pulau, Lubuk Alung
Pariaman. PLTA Singkarak ini
beroperasi penuh sejak tahun
1998 dengan kapasitas yang
cukup besar yakni 175 MW.
Gambar 4. Intake PLTA Singkarak di nagari Guguk
Dengan dibangunnya terowongan
Malalo. (Coubout, 2014)
ini (terowongan bawah tanah
yang terpanjang di Indonesia) maka saluran keluar (outlet) Danau Singkarak tidak hanya
melalui Sungai Ombilin tetapi juga lewat saluran terowongan ke PLTA Singkarak. PLTA ini
menggunakan air Danau Singkarak sebanyak 10-12 m3/detik. Beroperasinya PLTA Singkarak
secara keseluruhan telah merubah tata air, sehingga sempat menimbulkan konflik antara
masyarakat setempat dengan PLTA. Pasalnya, masyarakat nelayan setempat yang menangkap
ikan bilis sebagai mata pencahrian utama, merasa tangkapan ikan mereka menurun setelah
dibangunnya terowongan air ini. Kini perairan sekitar mulut terowongan itu menjadi objek
kunjungan wisata.
46
Danau Singkarak menyajikan pemandangan alam yang indah dengan latar belakang
Pegunungan Bukit Barisan. Oleh karna itu Danau Singkarak sudah sejak lama menjadi objek
tujuan wisata, tidak saja bagi wisatawan nusantara tetapi juga bagi wisatawan mancacenagara.
Beragam jenis kegiatan wisata telah berkembang di kawasan ini. Selain wisata alam untuk
menikmati suguhan keindahan alam, juga berkembang wisata air misalnya berenang di danau
yang tenang dan jernih, bersampan atau berperahu motor keliling danau, atau memancing.
Gambar 5. Wisata air di Danau Singkarak dan balap sepeda internasional Tour
de Singkarak. (rieko.files.wordpress.com & general.web.id)
Wisata kuliner juga salah satu pilihan, terutama terkait dengan berbagai sajian berbasis
ikan bilih (Mystacoleucus padangensis), ikan endemik di danau ini, yang sangat digemari
banyak orang. Selain itu Danau Singkarak menjadi bagian dari Tour de Singkarak, sebuah event
balap sepeda tingkat intrenasioal yang diselenggarakan tiap tahun, sejak tahun 2009. Tour de
Singkarak tak hanya sekadar lomba balap sepeda di jalan raya, namun juga pengenalan budaya
dan keindahan alam Sumatera Barat. Sepanjang rute yang harus ditempuh, peserta akan
disuguhi pemandangan keberagaman budaya Minang dan juga keindahan alam Sumatera Barat.
RUJUKAN
Coubout, R. 2014. Ikan bilih, ikan endemik Danau Singkarak terancam punah. Kenapa?
http://www.mongabay.co.id
Coubout, R. 2015. Tiba-tiba ikan mati di Danau Singkarak, Kenapa?.
http://www.mongabay.co.id/2015/02/18.
Giesen, W. & Sukotjo, 1991. The west Sumatran lakes. Draft reconnaisance survey report.
PHPA/AWB Sumatra Wetland Project, Interim Report No. 16.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Nontji, A. 1992. Lake Kerinci: Fisheries and aquatic problems. PHPA/AWB/Puslitbang
Limnologi Sumatara Wetland Project Report No. 37, Bogor, 42 pp.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Singkarak. (danau.limnologi.lipi.go.id/danau).
47
Puslitbang Pengairan.1986. Penelitian kualitas air dan hidrobiologi danau-danau di Sumatra
Barat. Puslitbang Pengairan 66/LA-12/1986.
Setyahadi, A., P. Eko, I. Rinaldi & A. Arif. 2012. Danau-danau penanda jejak tektovulkanik.
(sains.kompas.com/read/2012/04/23/09035935).
Sunanisari, S., A. B. Santoso, E. Mulyana, S. Nomosatryo &Y. Mardiyaati. 2008. Penyebaran
populasi tumbuhan air Danau Singkarak. Limotek vol XV, No.2: 112 – 119.
Wikipedia. Danau Singkarak. ( id.wikipedia.org).
Wulandari, J., S. Afrizal & J. Nurdin. 2014. Komposisi dan struktur zooplankton di Danau
Singkarak. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 3(1) – Maret 2014: 63-67.
48
7. DANAU DIBAWAH, DANAU DIATAS DAN DANAU
TALANG
D
anau Dibawah (Danau Dibaruh), Danau Diatas (Danau Diateh) dan Danau
Talang terletak di Kabupaten Solok Sumatra Barat, di punggung Bukit Barisan
yang memanjang di sepanjang Pulau Sumatra.
Bila kita membuka peta, maka lazimnya mata angin “utara” ditempatkan di sebelah
“atas”, sedangkan “selatan” di tempatkan di sebelah “bawah”. Tetapi cobalah lihat peta danau di
Kabupaten Solok ini. Disitu tercantum “Danau Dibawah” justru berada “di atas” (di utara)
sedangkan “Danau Diatas” justru ada “di bawah” (di selatan). Rupanya penamaan kedua danau
itu lebih merujuk pada ketinggian (altitude) muka danau itu, yakni Danau Diatas berada pada
ketinggian 1.531 m dpl (diatas permukaan laut), yang berarti memang lebih tinggi atau lebih “di
atas” dari Danau Dibawah yang ketinggiannya 1.462 m dpl.
Gambar 1. Peta Lokasi Danau Dibawah, Danau Diatas dan Danau Talang.
Danau Dibawah dan Danau Diatas terletak berdampingan, terpisah dengan jarak
terdekat sekitar 2 km saja, dan karenanya keduanya sering dijuluki sebagai Danau Kembar.
Kurang lebih 1 km sebelah barat dari Danau Dibawah terdapat lagi satu danau kecil yakni
Danau Talang. Ketiga danau itu berada di kaki Gunung Talang (ketinggian 2.597 m dpl) yang
merupakan gunung api yang masih aktif. Erupsi Gunung Talang yang terjadi pada bulan April
2005 misalnya, telah menyemburkan debu vulkanik yang endapannya menyelimuti daerah
49
sekitarnya hingga mengakibatakan kerugian besar pada penduduk sekitarnya. Meskipun ketiga
danau berdekatan, tetapi ciri limnologinya berbeda.
Gambar 2. Danau Dibawah (kiri) dan Danau Diatas (kanan) yang dekat
berdampingan, dilihat dari udara. Keduanya dijuluki Danau Kembar.
(www.yudharentcar.com)
Data meteorologi tahun 2002 hingga 2005 mengindikasikan bahwa bagian Pegunungan
Bukit Barisan di kawasan ini mempunyai iklim antara sangat basah (super-humid) dengan curah
hujan antara 2.500 – 3.000 mm/tahun, dengan 140 – 170 hari hujan/tahun, dan iklim hyperhumid dengan curah hujan > 3.000 mm/tahun dengan 180 – 220 hari hujan/tahun. Puncak
musim hujan terjadi pada bulan April dan Oktober sedangkan musim kemarau pada bulan Mei
hingga Juni (Ridwansyah, 2009).
Danau Dibawah berada pada posisi geografi kurang lebih 1o0’35” Lintang Utara, dan
100o43’51” Bujur Timur. Dilihat dari asal-usul kejadiannya, Danau Dibawah tergolong danau
tektonik, dengan ketinggian (altitude) 1.462 m di atas permukaan laut. Panjangnya kurang
lebih 6,3 km dan lebar 2,9 km dengan luas perairan sekitar 11,2 km2. Volume danau ini adalah
2,54 km3. Danau Dibawah tergolong danau yang dalam, dengan kedalaman maksimum 309 m,
dan kedalaman rata-rata 227 m. Aliran keluar utama dari danau ini adalah Sungai Lembang.
Daerah tangkapan air (catchment area) Danau Dibawah merupakan medan yang terjal
dan telah dimanfaatkan untuk berbagai tujuan seperti pertanian, peladangan dan pemukiman.
Areal pertanian dan peladangan tampak cukup intensif ditanami tanaman hortikultura seperti
lobak, sawi, tomat, cabe merah dan sebagainya. Perairan danaunya sendiri dimanfaatkan
sebagai sumber air minum, dan perikanan. Selain itu danau ini menjadi daerah tujuan wisata
yang menarik.
Tumbuhan akuatik tidak banyak terdapat di Danau Dibawah. Umumnya terdapat di
tepian danau. Beberapa diantaranya adalah Eleocharis dulcis, Panicum repens, Polygonum
barbatum, Potamogeton malayanus, Scirpus mucronatus dan Spirodela polyrhiza (Giesen &
Sukotjo, 1991).
50
Gambar 3. Panorama Danau Dibawah (jalan.thoughts.com/).
Ikan di Danau Dibawah terekam sebanyak 12 spesies (Giesen & Sukotjo, 1991), dua
diantaranya merupakan ikan introduksi yakni ikan mas (Cyprinus carpio) dan keperas (Puntius
gonionotus). Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) yang endemik di danau-danau Sumatra
Barat, terdapat juga di danau ini.
Moluska di Danau Dibawah tak banyak ragamnya. Giesen & Sukotjo (1991) merekam
hanya ada empat spesies yakni siput Brotia costula, Malanoides granifer, M. tuberculata, dan
kerang Corbicula sumatrana. Siput dan kerang ini umum ditemukan di bebatuan tepi danau,
Ekspedisi limnologi Indodanau ke Danau Dibawah tahun 1992 (Lehmusluoto et al.
1997) mengungkapkan bahwa struktur perairan danau ini mempunyai stratifikasi vertikal yang
lemah. Percampuran (mixing) air terjadi hanya pada lapisan teratas (epilimnion) saja, tidak
sampai kedalaman sekitar 50 m. Kandungan oksigennya mulai habis pada kedalaman 50 – 60
m. Seterusnya ke bawah sampai ke lapisan dasar, oksigen sangat tipis atau telah habis hingga
merupakan lapisan yang anoksik (tanpa oksigen). Berdasarkan kenyataan bahwa danau ini
cukup dalam (maksimum 309 m) maka berarti sebagian besar volume danau ini dalam keadaan
anoksik.
Nilai pH ditemukan cukup tinggi berkisar 7,7 – 8,5. Kandungan nitrogen total berkisar
0,180 hingga 0,466 mg N/l sedangkan kandungan fosfor total berkisar 0,015 hingga 0,080 mg
P/l. Kandungan klorofil bervariasi dari 1,16 hingga 1,64 mg/m3, dan kecerahan air
(transparency) sekitar 2,5 m. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa danau ini merupakan
danau yang miskin (oligotrofik).
Di samping itu, Hajjir et al. (2015) yang mengkaji lingkungan plankton di Danau
Dibawah di bulan April – Septermber tahun 2014 mengemukakan beberapa data tentang
kualitas air danau ini antara lain suhu air berkisar 22,0 – 23,6 oC, TSS (total suspended matter)
30 – 40 mg/l, pH 8, oksigen terlarut 6,1 – 6,4 mg/l, nitrat 0,54 – 1,12 mg/l, fosfat 0,16 – 0,28
mg/l dan kecerahan air 3 – 12 m. Studi itu juga mengungkapkan terdapat 83 spesies
51
fitoplankton di danau ini yang tergolong dalam lima kelas yakni Bacillariophyceae (52 spesies),
Chlorophyceae (22 spesies), Cyanophyceae (5 species), Dinophyceae (3 spesies) dan
Euglenophyceae (1 spesies).
Danau Diatas terletak, pada posisi geografis antara 1o01’51” - 1o 07’39” Lintang
Selatan , dan antara 100o43’01” – 100o50’26” Bujur Timur, kurang lebih di selatan Danau
Dibawah. Dilihat dari asal pembentukannya, Danau Diatas tergolong danau tektonik.
Gambar 4. Peta batimetri (kedalaman) dan penampang Danau Diatas
(Ridwansyah, 2009)
Danau Diatas mempunyai bentuk cekung dengan arah memanjang baratlaut- tenggara
(Gambar 4) sebagai hasil proses tektonik sesar besar Sumatra. Danau Diatas mempunyai
ketinggian (altitude) 1.531 m di atas permukaan laut. Luas perairannya sekitar 12,45 km2
dengan panjang maksimum 6,4 km, lebar maksimum 2,9 km dan panjang garis pantai 19,9 km.
Tidak seperti Danau Dibawah yang dalam (309 m), Danau Diatas merupakan danau yang relatif
dangkal dengan kedalaman maksimum 47 m. Volume danau 302 juta m3 dan waktu simpan
(retention time) mencapai 7,7 tahun (Ridwansyah, 2009). Pintu keluar (outlet) utama adalah
Sungai Gumanti yang akan menyatu dengan Sungai Batanghari, yang akhirnya bermuara di
Selat Berhala, dekat Selat Malaka.
52
Gambar 5. Panorama Danau Diatas (jalan.thoughts.com)
Danau Diatas mempunyai daerah tangkapan air (catchment area) seluas 40,86 km2.
Sungai-sungai yang masuk ke danau ini umumnya berupa sungai-sungai musiman
(intermittent), yang kering di musim kemarau. Hanya beberapa sungai saja yang tetap
mengalirkan air sepanjang tahun. Aliran keluar dari danau diperuntukkan terutama untuk
kepentingan irigasi. Tutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan dibeberapa tempat
digunakan sebagai lahan pertanian sayuran oleh penduduk sekitar danau.
Struktur vertikal suhu perairan Danau Diatas menunjukkan lapisan epilimnion (yang
merupakan lapisan teratas yang terpengaruh dan teraduk oleh angin) terdapat hanya sampai
pada kedalaman 12,5 m, sedangkan metalimnion yang merupakan lapisan transisi di bawahnya,
terdapat pada kedalaman 12,5 m sampai 25 m. Di bawahnya lagi, yang merupakan lapisan
hipolimnion mulai dari kedalaman 25 m dan seterusnya ke bawah cenderung stabil dari
pengaruh eksternal.
Hasil penelitian limologi Ekspedisi Indodanau menunjukan bahwa Danau Diatas
mempunyai stratifikasi vertikal yang lemah (weakly stratified) (Lehmusluoto et al. 1997).
Kandungan oksigennya cukup baik karena danau ini dangkal, hingga sirkulasi air masih
dimungkinkan terjadi secara periodik sampai ke dasar danau. Kandungan total nitrogennya
berkisar 0,076 – 0,927 mg N/l, dan fosfor dari tak terdeteksi hingga 0,040 mg P/l. Kandungan
klorofilnya berkisar 1,43 – 1.71 mg/m3, sedangkan kecerahan air (transparency) berkisar 5,5 –
6,5 m. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Danau Diatas tergolong perairan
yang miskin (oligotrofik)
Fitoplankton yang dominan di Danau Diatas pada bulan Maret 1992 antara lain alga
biru-hijau Cyanodictyon imperfectum, dan alga hijau Oocystis spp, tetapi di bulan Agustus
1993 Oocystis sp mendominasi dan diatom Aulacoseira granulate umum dijumpai
(Lehmusluoto et al. 1997).
53
Pemerintah Daerah Sumatra Barat tidak hanya mengembangkan Danau Diatas ini
sebagai tujuan pariwisata, tetapi juga sebagai sumber irigasi. Selain itu direncanakan dibangun
pembangkit tenaga listrik dengan memanfaatkan air danau ini..
Dari aspek pariwisata, Danau Kembar (Danau Dibawah dan Danau Diatas) merupakan
destinasi wisata mengesankan dengan panorama indah serta suasana pedesaan yang asri. Kedua
danau bisa terlihat dari puncak bukit yang berada di antaranya. Daerah ini berjarak sekitar 60
km dari Padang dan dapat ditempuh dengan kendaraan dalam waktu sekitar 1,5 jam.
Gambar 6. Danau Kembar (Danau Dibawah dan Danau Diatas) menjadi tujuan
wisata alam unggulan di Sumatra Barat (telusurindonesia.com)
Dataran tinggi dan bukit-bukit di sekitarnya sangat cocok untuk penggemar
olahraga hiking, camping, dan juga sebagai tempat rekreasi keluarga. Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat telah merencanakan kawasan wisata tersebut sebagai salah satu destinasi
unggulan di Sumatera Barat. Pemerintah setempat pun mulai membangun beberapa fasilitas
penunjang pariwisata di sekitar kawasan di atas bukit yang memisahkan Danau Kembar.
Di puncak bukit terdapat beberapa sarana wisata untuk memberikan kenyamanan
wisatawan dalam menikmati keindahan Danau Kembar, seperti gazebo dan tempat duduk untuk
bersantai. Sementara di sisi lain, wisata air bisa dilakukan di Danau Diatas. Pengunjung hanya
bisa berperahu motor tradisional mengelilingi danau. Sementara di Danau Dibawah - karena
kedalamannya yang dapat membahayakan - pengunjung tidak diperkenankan menjelajah
dengan perahu. Sayangnya, tidak ada faslitas seperti sepeda air dan sarana untuk memancing di
lokasi wisata danau berair jernih itu. Rumah makan atau restoran juga belum banyak tersedia di
sana.
Beberapa keunggulan Danau Kembar untuk tujuan pariwisata adalah: (a) dikelilingi oleh
lahan pertanian holtikultura yang subur seperti sayur-sayuran dan buah-buahan, (b) adanya
panorama yang luar biasa, yaitu dua danau yang bisa dilihat secara bersamaan dari puncak bukit
yang berada di antara keduanya, (c) sepanjang jalan raya untuk menuju danau ini terdapat
pemandangan yang bisa dinikmati dan menyejukkan mata, yaitu hamparan perkebunan teh yang
terlihat bagai permadani hijau, (d) udara yang terasa sejuk tak terpolusi.
Danau Talang merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari salah satu kawah Gunung
Talang. Danau ini berada pada posisi geografis 1o0’45,71” Lintang Utara dan 100o42’3,59”
54
Bujur Timur. Bentuknya hampir persegi dengan panjang maksimum 1,71 km, lebar 0,94 km,
keliling 4,52 km dan luas 1,02 km2. Kedalamannya diperkirakan sekitar 90 m.
Gambar 7. Panorama Danau Talang dengan latar belakang Gunung Talang
(jalan.thoughts.com & imgrum.net )
Danau Talang mempunyai potensi untuk menjadi tujuan wisata dengan alamnya yang
masih asli dan mempesona dengan latar belakang Gunung Talang, namun akses jalan menuju ke
danau ini masih belum menunjang, masih sulit dicapai dengan mobil.
Pariwisata di Danau Talang belum berkembang seperti di Danau Kembar tetangganya,
meskipun potensinya cukup baik. Alamnya yang asri dan masih asli dengan latar belakang
Gunung Talang merupakan nilai tersendiri. Wisata berperahu di danau ini merupakan salah satu
pilihan. Kendala utamanya adalah karena akses jalan menuju ke danau ini masih sulit.
RUJUKAN
Giesen, W. & Sukotjo. 1991. The west Sumatran lakes. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project
Report No. 16, Bogor: 37 pp.
Hajjir, S., J. Nurdin & A. Dharma. 2015. Komunitas fitoplankton dan kandungan pestisida di
Danau Dibawah Kabupaten Solok Sumatera Barat. Online Journal of Natural Science
Vol 4 (2): 33-42.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Ridwansyah, I. 2009. Kajian morfometri, zona perairan dan stratifikasi suhu Danau Diatas,
Sumtera Barat. Limnotek, vol XVI, No. 1: 22 – 32.
55
8. DANAU KERINCI
D
anau Kerinci terletak di Pegungungan Bukit Barisan di Kabupaten Kerinci,
Propinsi Jambi, Sumatra. Secara geografis danau ini berada antara 2°7′28″
sampai 2°8′14″ Lintang Selatan dan 101°26′50″ sampai 101°31′34″ Bujur
Timur. Danau ini beserta daerah tangkapan airnya (catchment area) merupakan enclave dalam
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Ada enam kecamatan yang berbatasan dengan
Daerah Tangkapan Air Danau Kerinci yakni: Kecamatan Sungai Penuh, Air Hangat, Gunung
Kerinci, Danau Kerinci, Sitinjau Laut dan Gunung Raya.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Kerinci
Gambar 2. Panorama Danau Kerinci (galeriwisata.wordpress.com & id.wikipedia.org)
56
Dilihat dari asal-usul kejadiannya, Danau Kerinci tergolong danau tekto-vulkanik yang
diakibatkan oleh gabungan fenomena tektonik dan vulkanik. Dari kajian Verstappen (1961)
dan Pardede (1982) perihal terjadinya Danau Kerinci dapat disarikan bahwa lembah Kerinci
dimulai terbentuk pada kala Miosen Akhir sampai Pleistosen (sekitar 3-5 juta tahun lalu)
dengan terjadinya amblesan tektonik (graben) antara dua sesar aktif yakni Sesar Sungai Penuh
dan Sesar Sungai Abu. Kedua sesar ini merupakan segmen dari Sesar Besar Sumatra (the Great
Fault of Sumatra) yang terentang sepanjang Bukit Barisan. Aktivitas vulkanik di selatan
amblesan selama kala Plio- Pleistosen menghasilkan material tuff yang mengendap dan
membendung bagian tenggara lembah itu. Lembah itu kemudian terisi air dan membentuk
Danau Kerinci tua yang mengalir keluar lewat bagian tenggara (sekitar lokasi Batang Merangin
sekarang). Pengikisan-pengisikan kemudian terjadi hingga membentuk danau seperti yang ada
sekarang.
Iklim Danau Kerinci merupakan iklim tropis basah. Hujan terjadi hampir setiap bulan
dengan maksimum pada bulan Januari (sekitar 250 mm.bulan), sedangkan bulan Juni-Juli agak
kering (sekitar 100 mm/bulan). Curah hujan di
kawasan ini menujukkan pola bipolar, yakni
dengan dua puncak, yang primer pada bulan
Januari dan sekunder di bulan April. Secara
keseluruhan Danau Kerinci mendapat curah hujan
sebesar 2.000 – 3.000 mm/tahun (DPU &
Yaramaya, 1983). Suhu udara rata-rata di kawasan
Danau Kerinci berkisar 19,2 – 20,2 oC dengan
rerata 19,6 oC , sedangkan kelembaban berkisar 81
– 86 % dengan rerata 84 % (DPU & Yramaya,
1983).
Danau Kerinci berada dalam Daerah
Tangkapan Air (Water Catchment Area) yang
terentang dengan arah barat laut – tenggara seperti
ditampilkan dalam Gambar 3. Luas total Daerah
Tangkapan Air ini adalah sekitar 1.000 km2 (DPU
& Yaramaya, 1983). Sistem sungai pada Daerah
Tangkapan yang mengalirkan airnya ke Danau
Kerinci terdiri dari lima subsistem yakni Sungai
Siulak (712,25 km2), Sungai Selaman (52,80 km2),
Sungai Kerinci (56,25 km2), Sungai Lebo/Sungai
Kapur (115,03 km2) dan Sungai Jujun (68,57
km2). Sistem Sungai Siulak dengan daerah
tangkapannya 712,25 km2 menyumbangkan
sekitar 70,9 % dari seluruh luas daerah tangkapan
Danau Kerinci.
Gambar 3. Sistem Sungai di Daerah
Total debit air dari seluruh sungai yang
Tangkapan Air Danau Kerinci (DPU &
masuk ke Danau Kerinci berkisar antara 37,9
Yaramaya, 1983)
m3/det (pada puncak musim terkering bulan Juli)
57
dan 74,3 m3/det (pada puncak musim hujan bulan Januari), sedangkan Sungai Siulak sendiri
menyumbang sebesar 26,9 – 52,6 m3/ det. Air yang kelar dari Danau Kerinci hanya melalui
Batang Merangin dengan debit berkisar 29,7 m3/det (di bulan Juli) sampai 94,6 m3/det (di
bulan Desember), sedangkan rerata tahunannya adalah 57,31 m3/det (DPU & Yaramaya, 1983).
Pada bulan-bulan tertentu total air yang masuk (inflow) adalah lebih besar dari air yang keluar
(outflow).
Kawasan Daerah Tangkapan Air Danau Kerinci telah banyak mengalami berbagai
perubahan tata guna lahan. Hal ini menyebabkan makin meningkatnya laju erosi, sedimentasi
dan eutrofikasi yang menimbulkan berbagai masalah di lingkngan perairan danau.
Gambar 4. Perubahan tutupan lahan di Daerah Tangkapan Air Danau
Kerinci tahun 2000 dan 2012 (Mukhoriyah & Triskati, 2012)
Kajian yang dilaksanakan oleh Mukhoriyah & Trisakti (2014) misalnya, telah
mengindikasikan telah terjadinya perubahan tutupan lahan Daerah Tangkapan Air Danau
Kerinci dalam kurun tahun 2000 hingga 2012 (Gambar 4), antara lain makin bertambahnya
area pemukiman, sedangkan luas hutan dan sawah mengalami penurunan. Vegetasi tutupan
berupa tanaman keras (hutan, perkebunan, kebun campur, semak/belukar) menjadi sebesar 55,2
%, sehingga telah masuk dalam kategori terancam berdasarkan Pedoman Pengelolaan
Ekosistem Danau. Perubahan tata guna lahan ini mengakibatkan terjadinya peningkatan
koefisien aliran permukaan ke danau, dari 0,420 (tahun 2000) menjadi 0,437 (tahun 2012),
dimana peningkatan yang paling besar terjadi pada lahan pemukiman dan sawah. Perubahan
luas tutupan vegetasi di Daerah Tangkapan Air mengakibatkan makin besarnya laju sedimentasi
di danau.
Dari aspek morfometri, dapat disebutkan bahwa Danau Kerinci berada pada ketinggian
(elevasi) 787 m di atas permukaan laut, luas permukaan 46 km2, panjang rerata 9,80 km, lebar
rerata 4,59 km, kedalaman maksimum 97 m, volume sebesar 1,6 x 109 m3, dan waktu tinggal
58
(retention time) 10,8 bulan (DPU & Yaramaya, 1983). Sedikit berbeda, Verstappen (1995)
sebelumnya mencatat kedalaman maksimum Danau Kerinci sekitar 110 m. Beberapa ciri
morfometri Danau Kerinci disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa ciri morfologi Danau Kerinci (DPU & Yaramaya, 1983)
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Elevasi (ketinggian muka air) (m dpl)
Luas permukaan (km2)
Panjang rerata (km)
Lebar rerata (km)
Kedalaman rerata (m)
Kedalaman maksimum (m)
Volume maksimum (m3)
Panjang garis pantai (km)
Outflow rerata tahunan (m3/s)
Waktu tinggal (retention time) (bulan)
787 (max)
46 (max)
9,80
4,59
35,60
97
1,6 x 109
31,47
57.31
10,8
Gambar 5. Peta batimetri (kedalaman) Danau Kerinci (Verstappen, 1955)
Peta batimetri (kedalaman) Danau Kerinci disajikan pada Gambar 5 yang bersumber
dari karya Verstappen (1955). Peta tersebut mengindikasikan bahwa Danau Kerinci membentuk
cekungan dengan dasar yang agak mendatar disertai lereng yang curam ke arah tepi, terutama di
sebelah tenggara (dekat Tanjung Batu), sedangkan di cekungan barat (dekat Sumerap) dan di
pojok barat-laut dasarnya dangkal dan melandai.
Kajian kualitas air di Danau Kerinci pada bulan Maret 1979 disampaikan dalam Tabel 2.
Kualitas air danau (setidaknya yang terekam saat itu) mengindikasikan bahwa air danau pada
59
umumnya dalam kondisi baik untuk perikanan dan tingkat kesuburannya tergolong menengah
(mesotrofik). Data kualitas air Danau Kerinci yang lebih mutakhir disajikan di Tabel 3.
Tabel 2. Kualitas air Danau Kerinci (DPU & Yaramaya, 1983)
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
pH
Oksigen terlarut
Konduktivitas elektrikal
Alkalinitas
Kalsium
Orto-fosfat
Silikat
Kecerahan (transparency)
6,5 – 7,9
4,5 – 6,8 ppm
20 – 110 µmhos/cm
29,6 – 34,9 ppm CaCO3 equivalent
12,5 – 25,2 ppm
0,10 – 0,60 ppm
2,10 – 12,95 ppm
3,0 – 3,5 m
Tabel 3. Kualitas air Danau Kerinci (danau.limnologi.lipi.go.id, 2015)
Dari segi keanekaragaman hayati dapat disebutkan bahwa di perairan Danau Kerinci
dapat ditemui berbagai tumbuhan air, terekam sebanyak 49 spesies. Soerjani (1981)
menyebutkan bahwa tumbuhan air di Danau Kerinci umumnya terdapat dalam tiga formasi
utama yakni formasi bakung (Hanguana malayana) yang terdapat di tepian pantai, formasi
eceng gondok (Eichornia crassipes) yang hidup mengambang di permukaan baik di perairan
60
terbuka maupun di sepanjang pantai, dan formasi Hydrilla verticillata yang hidup terendam di
dalam air yang dangkal.
Gambar 6. Formasi eceng gondok (Eichornia crassipes) dan bakung
(Hanguana malayana) di tepi Danau Kerinci. (wordpress.com & Nontji, 1992)
Tabel 4. Ikan yang terekam dari Danau Kerinci (Nontji, 1992)
Spesies
Nama Lokal
A.IKAN AIR TAWAR PRIMER
1. Anabas testudineus
Puyu
2. Trichogaster trichopterus
Sepat rawa
3. Mystus planiceps (Macrones planiceps)
Baung
4. Mystus sp. (Macrones ap.)
Baung
5. Channa gachua (Ophiocephalus gachua)
Uan/ Ruan
6. Channa striata (Opheocephalus striata)
Muju
7. Clarias teysmanii
Limbat
8. Cyprinus carpio
Ikan rayo/Mas
9. Hampala macrolepidota
Barau
10. Hampala sp.
Barau
11. Labeobarbus tambra
Semah
12. Osteochillus vittatus
Medik
13. Puntius huguenini
Ikalari/Lahoi
14. Puntius sp.
Keperas
15. Rasbora sp.
Seluang
16. Mastacembelus maculatus
Tilan
17. Mastacembelus sp.
Tilan
B. IKAN AIR TAWAR SEKUNDER
18. Oreochromis mossambicus (Tilapia mossambica)
Mujaer
19. Oreochromis niloticus (Tilapia niloticus)
Nila
20. Aplochilus panchax (Panchax panchax)
Kepala timah
21. Fluta alba (Monopterus alba)
Ikan panjang /belut
Sumber:
A. Regan (1920)
B. Weber & de Beaufort (1916)
C. UI & DPU (1979)
D. Riyanto (1991)
61
Sumber
C,D
C,D
A,C
D
C,D
C,D
A,C,D
C,D
A,C,D
C
A,C,D
C,D
A,B,D
C,D
C,D
A,C,D
C
C,D
D
C,D
C.D
Di Danau Kerinci terdapat sedikitnya 21 jenis ikan (Tabel 4). Sebagian besar
merupakan ikan tawar primer yang hanya dapat hidup di perairan tawar seperti ikan mas
(Cyprinus carpio), semah (Labeobarbus tambra), sepat rawa (Trichogaster trichopterus) dan
puyu (Anabas testiduneus), sedangkan yang lainnya berupa ikan tawar sekunder yang dapat
pula beradaptasi di perairan payau seperti ikan mujaer (Oreochromis mossambicus), dan nila
(Oreochromis niloticus).
Beberapa jenis ikan yang dapat ditemukan di Danau Kerinci bukanlah ikan asli danau
ini, tetapi merupakan ikan introduksi, yang didatangkan dari luar. Ikan mas (Cyprinus carpio)
misalnya, di introduksi ke Danau Kerinci tahun 1953, setelah itu kemudian dimasukkan lagi
(restocking) beberapa kali. Ikan mujaer (Oreochromis mossambicus) diintroduksi ke danau ini
tahun 1963, dan telah berkembang dengan baik. Ikan nila (Oreochromis niloticus) juga
menyusul kemudian. Ikan-ikan introduksi ini telah menjadi jenis ikan andalan produksi danau
ini. Yang juga menarik adalah dimasukkannya ikan koan atau grass carp (Ctenopharyngodon
idella), ikan herbivor untuk pengendalian gulma eceng gondok (Eichornia crassipes) di Danau
Kerinci.
Pada tahun 1970-an Danau
Kerinci terancam oleh maraknya
tumbuhan gulma eceng gondok
(Eichornia crassipes) yang hidupnya
mengambang di permukaan air.
Tumbuhan ini menutupi sebagian
besar permukaan danau. Hamparan
eceng gondok yang meluas ini sangat
mengganggu kegiatan perikanan
masyarakat setempat. Di samping itu
juga menghambat jalur transportasi
lewat perairan. Pada tahun 1995
Pemerintah Daerah mendatangkan
dan menebar ikan herbivor yakni ikan
koan
atau
grass
carp
(Ctenopharyngodon idella) untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma
eceng gondok di danau ini. Ikan koan
sangat rakus memakan akar eceng
gondok. Pengendalian secara biologi
ini disertai pula dengan pengendalian
secara mekanis dengan mengangkat
eceng
gondok
dari
peairan.
Pengendalian eceng gondok dengan
cara ini tampaknya berhasil. Kini
perairan Danau Kerinci boleh
dikatakan sudah aman dari ancaman
gulma ini. Ikan koan dewasa dapat
mencapai ukuran panjang maksimal
Gambar 7. Atas: Ikan koan (Ctenopharungodon
idella), ikan herbivor yang dimanfaatkan untuk
pengendalian eceng gondok di Danau Kerinci.
Bawah: Ikan semah (Labeobarbus tambra) ikan
endemik Danau Kerinci yang kondisinya semakin
terancam. (tipspetani.blogspot.co.id &
kerinciinspirasi.blogspot.co.id )
62
120 cm dan bobot 20 kg, dan merupakan pula ikan konsumsi bagi masyrakat.
Selain itu terdapat pula ikan semah (Labeobarbus tambra) yang merupakan ikan asli
Danau Kerinci yang dulu banyak ditemukan tetapi kemudian makin langka dan makin
terancam. Ikan ini bisa mencapai ukuran panjang sampai 0,65-1,0 m, dan sangat dihargai karena
kelezatannya dan harganya yang cukup mahal. Ikan ini makin sulit dijumpai di danau tetapi
masih bisa dijumpai di sungai-sungai terdekat, terutama sungai Batang Merangin yang
merupakan pintu keluar dari Danau Kerinci. Diduga ikan semah memijah dan meletakkan
telurnya di dasar bebatuan sungai dengan air besih yang mengalir dan menjelang besar baru
bermigrasi ke danau untuk mencari makan. Oleh karena itu daerah konservasinya perlu
diperluas tidak hanya meliputi perairan danau, tetapi juga perairan sungai sekitarnya. Belum
lama ini (21 April 2016) Gubernur Jambi Zumi Zola menebarkan benih ikan semah dan ikan
bedik sebanyak 25.000 ekor di Danau Kerinci untuk menunjang perikanan dan melestarikan
ikan di danau ini. Benih ikan yang ditebar itu berasal dari Balai Benih Ikan di Desa Pendung
Semurup, Jambi.
Adapun mengenai moluska di perairan Danau
Kerinci tak banyak informasi yang dapat diperoleh.
Kajian oleh Hamidah (2015) mengindikasikan
terdapatnya sembilan spesies di danau ini, satu
diantaranya termasuk Kelas Bivalvia (kerang)
sedangkan lainnya termasuk Kelas Gastropoda
(keong/siput).
Bivalvia yang ditemukan adalah
Corbicula javanica, sedangkan Gastropoda terdiri dari
spesies Bellamya sumatrensis, Thiara scabra,
Melanoides tuberculata, Melanoides maculata, Brotia
costula,
Pomacea
canaliculata,
Gyraulus
Gambar 8. Keong emas (Pomacea
convexiusculus dan Indoplanorbis exustus. Salah satu
canaliculata).
spesies yakni Pomacea canaliculata, umum dikenal
(petanitop.blogspot.com)
sebagai keong emas atau keong murbai, bukanlah
spesies asli di perairan ini, tetapi berasal dari Amerika Selatan. Keong emas diintroduksi ke
Indonesia tahun 1981 semula sebagai hewan hias, tetapi kemudian menyebar kemana-mana.
Tak jelas sejak kapan dan bagaimana spesies ini masuk ke Danau Kerinci. Di banyak tempat
lain di Indonesia dan Asia, keong emas telah menjadi hama di sawah dan perairan tergenang
lainnya yang menimbulkan banyak kerugian.
Salah satu aspek lain yang penting dari Danau Kerinci adalah pariwisata. Danau ini
menyajikan bentangan alam yang indah, dengan latar belakang pegunungan Bukit Barisan dan
hamparan danau yang asri. Pariwisata di kawasan ini dapat berupa wisata alam, wisata air
seperti berenang, berperahu di danau, memancing atau wisata budaya. Pemerintah Daerah telah
menjadikan danau ini sebagai destinasi wisata utama di Jambi. Danau ini menjadi tempat
berlangsungnya Festival Danau Kerinci yang diadakan setiap tahun, dimulai sejak tahun 1999.
Kegiatannya antara lain menampilkan berbagai macam atraksi kesenian masyarakat Jambi
sebagai suguhan untuk para wisatawan yang datang berkunjung.
63
Fungsi lain Danau Kerinci
yang tak kalah pentingnya adalah
sebagai sumber air baku untuk
keperluan air minum, mandi dan
mencuci. Saat ini air Danau Kerinci
untuk sumber air baku dikelola oleh
PDAM Kabupaten Kerinci.
Air Danau Kerinci berperan
penting pula untuk irigasi yang
mengairi sawah yang berada di hilir
outflow danau, terutama sawah-sawah
yang berada di sekitar Sungai
Gambar 9. Festival Danau Kerinci dilaksanakan
Merangin.
tiap tahun untuk menunjang pariwisata Danau
Selain
itu
air
danau
Kerinci. (gosumatra.com)
dimanfaatkan pula untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) Merangin
yang sekarang masih dalam tahap pembangunan, dan diharapkan baru akan mulai beroperasi
penuh tahun 2017 dengan kapasitas 350 MW.
RUJUKAN
DPU & Yaramaya, PT. 1983. Draft final report, studi perimbangan tata air Danau Kerinci,
Laporan Utama. Departemen Pekerjaan Umum: 85 hlm.
Hamidah, A. 2015. Jenis dan kepadatan moluska di Danau Kerinci Provinsi Jambi. Prosiding
Semirata 2015 bidang IPA BKS-PTN Barat, Universitas Tanjungpura Pontianak: 65-73.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Maruli, A. 2011. Ikan koan bersihkan eceng gondok Danau Kerinci. antaranews.com
Mukhoriyah & B. Trisakti. 2014. Kajian kondisi Daerah Tangkapan Air Danau Kerinci
berdasarkan perubahan penutup lahan dan koefisien aliran permukaan. Prosiding
Seminar Nasional Penginderaan Jauh 2014: 543-550.
Nontji, A. 1992. Lake Kerinci: Fisheries and aquatic problems. PHPA/AWB/Puslitbang
Limnologi, Sumatara Wetland Project Report No. 37, Bogor, 42 pp.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Kerinci (danau.limnologi.lipi.go.id).
Riyanto, W. 1991. Fisheries survey in Lake Kerinci June-July 1991. Puslitbang Limnologi LIPI
and AWB.
Soerjani, M. 1981. Pemanfaatan gulma air sebagai bagian dalam pengelolaan Danau Kerinci.
PSLM UI – Ditjen Pengaiaran, Departemen Pekerjaan Umum: 33 hal.
Verstappen, H. T. 1955. Geomorphic note on Kerinci (Central Sumatra). Majalah Ilmu Alam
untuk Indonesia 111: 166-177.
64
Verstappen, H. T. 1961. Some “volcano-tectonic” depressions of Sumatra, their origin and
mode of development. Koningklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. Proc.
Ser. B. vol. 64: 428-443.
65
9.
DANAU DENDAM TAK SUDAH
S
iapa pun akan tergelitik bila pertama kali mendengar nama danau yang aneh:
“Danau Dendam Tak Sudah”. Mengenai nama unik danau tersebut, terdapat dua
kisah yang diduga menjadi dasar penamaan danau ini. Kisah pertama merupakan
legenda tentang dendam asmara yang tak kesampaian, yang menyebutkan bahwa dahulu kala,
ada sepasang kekasih yang cintanya tidak direstui oleh orang tua mereka. Keduanya pun
melakukan bunuh diri dengan menceburkan diri ke danau. Menurut cerita, sejak saat itu, di
danau tersebut terdapat dua ekor lintah raksasa yang dipercaya sebagai jelmaan dari sepasang
kekasih tadi. Sementara itu, kisah kedua didasarkan sejarah ketika pemerintahan kolonial
Hindia Belanda dulu berniat untuk membangun sebuah dam atau bendung di danau tersebut.
Tujuan pembangunan dam itu agar air danau tak mudah meluap supaya proses pembangunan
jalan di sekitar danau menjadi lebih mudah. Namun, pembangunan dam pun akhirnya terhenti
di tengah jalan, tak berlanjut, karena kesulitan pendanaannya akibat berkecamuknya Perang
Pasifik. Masyarakat setempat pun akhirnya menyebutnya sebagai “Dam Tak Sudah” yang
bermakna dam atau bendung yang tak kunjung selesai. Seiring berjalannya waktu, nama danau
“Dam Tak Sudah” pun berubah menjadi “Dendam Tak Sudah” yang digunakan sampai saat ini.
Gambar Peta lokasi Danau Dendam Tak Sudah, Bengkulu
Kawasan Danau Dendam Tak Sudah sebagian besar masuk dalam wilayah kota
Bengkulu, tepatnya berada di Kecamatan Gading Cempaka yang berjarak sekitar 8 km dari
pusat kota, dan sebagian kecil masuk wilayah Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu
66
Utara. Secara geografis terletak pada posisi 102 o18’07” - 102o20’11” Bujur Timur dan 3o
47’45” – 3o49’01” Lintang Selatan dengan luas wilayah 577 ha.
Gambar 1. Perairan terbuka Danau Dendam Tak Sudah, Bengkulu
(yukpegi.com/wisata)
Gambar 2 . Danau Dendam Tak Sudah dengan tumbuhan sempadan yang
didominasi oleh bakung Crinium asiaticum. (photobucket.com)
Kawasan Danau Dendam Tak Sudah menunjukkan ciri-ciri klimatologis daerah tropis.
Dari pengamatan meteorologi selama dua puluh tahun terakhir, dapat ditunjukkan suhu udara
rerata di kawasan ini berfluktuasi dari suhu minimum 21 oC sampai maksimum 31 oC. Lama
67
penyinaran matahari berkisar antara 40 – 80 %, sedangkan kelembaban udara berkisar antara 80
– 87 %. Tekanan udara antara 1009,7 – 1012,1. Kecepatan angin rata-rata antara 10 – 60
km/jam, sedangkan curah hujan rerata antara 210 – 266 mm/bulan.
Kawasan Danau Dendam Tak Sudah pertama kali ditetapkan sebagai cagar alam oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda di tahun 1936 dengan luas 11,5 ha. Kemudian di tahun
1981 kawasan cagar alam ini diperluas hingga menjadi 441,50 ha. Setelah mengalami beberapa
kali perubahan maka luas definitif ditetapkan berdasarkan Surat Kuputusan Menteri Kehutanan
tahun 1999 seluas 577 ha dan diberi nama Cagar Alam Danau Dusun Besar, namun oleh
masyarakat masih saja lebih dikenal sebagai kawasan Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah.
Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar (Dendam Tak Sudah) memiliki dua tipe
ekosistem yaitu: (1) ekosistem perairan dengan luas ± 90 ha (15,60 %) terbagi atas genangan
perairan danau seluas ± 69 ha dan habitat tumbuhan bakung (Crinium asiaticum) seluas ± 21
ha, dan (2) ekosistem hutan rawa dengan luas ± 487 ha (84,49 %) yang didominasi oleh pohonpohon hutan rawa.
Zona ekosistem kawasan perairan Danau Dendam Tak Sudah umumnya merupakan
hamparan danau yang relatif tak ada tumbuh-tumbuhan di permukaan airnya. Di sempadan
sekeliling danau yang berbatasan dengan daratan tumbuh bakung, sagu dan rumbia, dan ada
pula pulau-pulau yang ditumbuhi bakung. Kelompok tumbuhan bakung (Crinum asiaticum)
merupakan inang dan habitat tempat tumbuhnya anggrek pensil (Vanda hookeriana) yang
endemik di kawasan ini. Disebut anggrek pensil karena daunnya bulat panjang seperti pensil.
Jenis anggrek ini kini sudah sangat jarang di jumpai.
Keindahan anggrek pensil ini
sangat mempesona hingga pada tahun
1882 anggrek yang hanya terdapat di
danau ini dinobatkan sebagai “Queen of
Orchids” dan mendapat anugerah “First
Class Certificate” dari Pemerintah
Inggris. Hal ini pula yang ikut melatar
belakangi Danau Dendam Tak Sudah
kelak dinyatakan sebagai cagar alam
sejak tahun 1936. Semakin terancamnya
ratu anggrek ini karena semakin rusaknya
lingkungan sekitar kawasan danau.
Namun belakangan ini BKSDA (Balai
Konservasi Sumber Daya Alam)
Bengkulu diberitakan telah berhasil
membudidayakan jenis anggrek langka
ini dan rencananya kelak akan
dikembalikan ke alam aslinya.
Selain itu, di dalam zona perairan Danau Dendam Tak Sudah pun masih banyak
ditemui jenis-jenis ikan tawar seperti gabus, lele, gurami, sepat siam, dan jenis setempat berupa
ikan tebakang, ikan palau. Selain itu juga ada labi-labi atau kura-kura bertempurung lunak, dan
ular air.
Gambar 3. Anggrek pensil Vanda hookeriana
yang endemik di Danau Dendam Tak Sudah.
(2.bp.blogspot.com)
68
Sementara itu studi yang dilakukan Supriati (2013) mengenai tumbuhan makrofita
litoral yang hidup di perairan pantai danau ditemui sebanyak 25 jenis yang tergolong dalam
empat kelas, 13 bangsa dan 16 suku. Pengukuran parameter lingkungan di perairan ini
menunjukkan kisaran suhu air permukaan 27 oC – 30 oC, kecerahan 1 – 5 m, pH 5,5 – 6,5, dan
oksigen terlarut 6,2 – 6,9 ppm. Dari hasil pengukuran faktor fisika dan kimia di perairan Danau
Dendam Tak Sudah dapat dikatakan danau ini cukup baik untuk kelangsungan hidup biota air.
Gambar Beberapa satwa yang masih hidup di Cagar Alam Danau Dendam Tak
Sudah antara lain kucing hutan (Felis marmorata), kukang (Nycticebus
coucang), raja udang merah (Ceyx rufidorsa), cekakak sungai (Todirhamphus
chloris).
Selanjutnya zona ekosistem kawasan hutan memiliki pohon-pohon jenis kayu komersial,
dan menjadi sasaran penduduk yang berada di sekitar lokasi untuk ditebang dan diambil
kayunya. Tumbuhan yang dapat ditemui adalah jenis pohon-pohon hutan yang pada umumya
berupa jenis-jenis pulai, terentang, gelam merah dan sebagainya. Jenis-jenis tumbuhan bawah
dapat dijumpai seperti jenis pakis, rumput-rumputan, liana dan alang-alang. Dalam zone ini
masih dapat ditemui satwa langka antara lain burung rangkong, belibis, bangau putih, bangau
hitam, burung hantu dan raja udang. Sedang hewan lain adalah babi hutan, kera ekor panjang,
lutung, kukang, biawak, ular scnca, kucing hutan.
Di kawasan Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah terdapat bangunan irigasi yang
memanfaatkan air danau, dan sepanjang tahun tidak pernah kering untuk mengairi sawahsawah penduduk yang berada di sekitar bagian hilir kawasan.
69
Kawasan cagar alam saat ini menghadapi masalah pada fungsinya, terutama karena
tekanan penduduk kota terhdap kelestarian kawasan. Berdasarkan keadaan yang terjadi di
kawasan Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah, permasalahan lingkungan yang ada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: (a) Penggarapan kawasan hutan Cagar Alam secara ilegal, (b)
pengambilan hasil hutan, (c) pencemaran lingkungan, dan (d) pembangunan pemukiman.
Penangnan masalah lingkungan ini cukup rumit dan perlu melibatkan para pemangku
kepentingan baik dari kalangan pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
RUJUKAN
PSL – IPB. 2006. Pengelolaan Cagar Alam Danau Dusun Besar.
http://psl-ipb.blogspot.co.id/2006
Roziaty, E. Ecological analysis of understory vegetation around endangered orchid pencil
(Vanda hookeriana Rchb) from Lake Dusun Besar Nature Reserve Bengkulu. FKIP
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Supriati, R., Armila & Rizwar. 2013. Studi komunitas makrofita litoral di permukaan perairan
Danau Dendam Tak Sudah Kota Bengkulu. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Lampung.
Zulkarnain, R. 2004. Konflik pada kawasan Cagar Alam Danau Dendam Tak Sudah di Kota
Bengkulu. Program Studi Magister Teknik Pembangunan Kota, Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.
70
10. DANAU TES
D
anau Tes terletak di kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong,
Provinsi Bengkulu, Sumatra. Secara geografis, posisinya berada pada
koordinat 3°13′40″ Lintang Selatan dan 102°20′54″ Bujur Timur. Danau Tes
berada di lereng Bukit Barisan pada ketinggian (elevasi) sekitar 500 m di atas permukaan laut.
Hal ini praktis menjadikan Danau Tes dan daerah sekitarnya memiliki cuaca yang sejuk dengan
curah hujan yang kebanyakan merata sepanjang tahun.
Gambar 1. Lokasi Danau Tes di Propinsi Bengkulu
Gambar 2. Panorama Danau Tes
71
Luas permukaan danaunya sekitar 5 km2, dengan panjang maksimum 5 km dan lebar
maksimum 1 km. Kedalaman maksimumnya 56 m dengan kedalaman rata-rata 10 m. Volume
air untuk seluruh danau berkisar 0,05 km3. Aliran masuk (inlet) utama adalah Sungai Ketahun
dan Sungai Air Pauh, yang bermuara ke Danau Tes di desa Kotadonok, sedangkan aliran keluar
(outlet) utama adalah Sungai Air Putih.
Salah satu fungsi Danau Tes adalah sebagai sumber mata pencaharian penduduk di
sekitarnya. Di danau ini, masyarakat mencari ikan dengan berbagai cara dan alat tangkap
misalnya dengan menggunakan pancing, jala, bubu, jaring, tajua (pancing yang dipasang malam
hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak), tombak ikan
bermata tiga (trisula) dan sebagainya. Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir
Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah danau, sedangkan
yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di tepi danau.
Pada bulan Juni 2016 Pemda Bengkulu menebar benih (restocking) ikan jelawat
sebanyak 75.000 ekor, ikan nila 87 ekor dan ikan tambakan 250 kg, untuk mendorong produksi
perikanan di danau ini.
Gambar 3. Kiri: Danau Tes di Desa Kotadonok, di seberang danau tampak
perbukitan yang merupakan Taman Nasional Kerinci Seblat. Di bawah perbukitan
tampak hamparan dataran sedimen yang semakin melebar, yang telah beralih fungsi
sebagai persawahan dan kebun. Kanan: Dataran sedimen di Desa Kotadonok
sebagian telah berubah fungsi menjadi persawahan. Sementara tampak sebagian
perbukitan telah gundul karena perambahan hutan secara illegal.
(haryanto.wordpress.com/2011)
Di sisi lain, Danau Tes merupakan media transportasi air bagi masyarakat setempat.
Penduduk Desa Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten di
seberang danau menggunakan perahu sebagai alat transportasi termasuk untuk mengangkut
hasil panen.
Salah satu masalah yang dihadapi di Danau Tes adalah pendangkalan perairan.
Perambahan hutan secara illegal di sebelah hulu danau telah menyebabkan terjadinya
sedimentasi yang meningkat dari waktu ke waktu. Akibatnya telah muncul lahan baru di
perairan danau yang kemudian oleh penduduk dimanfaatkan untuk persawahan dan perkebunan.
72
Dari aspek keanekaragaman hayati, kawasan sekitar Danau Tes mengandung berbagai
jenis flora, yang dominan adalah pasang (Quercus lineata), umbel-umbelan (Spondia spinata)
dan pandan duri (Pandannus sp.). Fauna khas Danau Tes adalah burung belibis Cairina
scutulata, yang endemik di danau ini. Burung ini disebut juga sebagai itik tebet.
Gambar 4. Burung
belibis Cairina
scutulata, endemik di
Danau Tes dan Danau
Menghijau, Kabupaten
Lebong. Disebut juga
sebagai itik tebet (rejanglebong.blogspot.co.id)
Danau Tes juga berpotensi untuk pengembangan pariwisata. Keindahan alamnya yang
bersisian dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan nilai positif tersendiri.
Gambar 5. Air Danau Tes dimanfatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) Danau Tes di daerah Desa Hujan Mas, Kabupaten Kepahyang, Provinsi
Bengkulu.
Salah satu fungsi penting Danau Tes adalah sebagai pemasok air untuk Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) yang lebih dikenal sebagai PLTA Danau Tes. PLTA ini
mempunyai peran vital sebagai sumber energi bagi propinsi Bengkulu, dan telah mempunyai
sejarah yang panjang sebagai PLTA tertua di Indonesia. PLTA ini terdiri dari dua unit, yang
pertama mulai dibangun oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di Desa Turan Tiging
73
Kabupaten Rejang Lebong tahun 1912- 1923 dan beroperasi mulai tahun 1923. Pembangunan
PLTA tersebut di saat itu dilatarbelakangi oleh adanya areal pertambangan emas yang berada di
daerah Lebong Tandai dan Muara Aman sehingga seluruh kebutuhan listrik untuk
pertambangan dipenuhi oleh PLTA tersebut. PLTA ini kemudian telah beberapa kali mengalami
renovasi dan sejak tahun 1991 PLTA Danau Tes telah berkapasitas sebesar 18.960 kW. Saat ini
daya listrik yang dibangkitkan oleh PLTA ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di
Provinsi Bengkulu.
RUJUKAN
Wikipedia 2015. Danau Tes. https://id.wikipedia.org/wiki/Danau_Tes
Burung belibis (Cairina scutulata) endemik Danau Tes dan Danau Menghijau, Kab. Lebong
(rejang-lebong.blogspot.co.id)
Heri Haryanto. 2011. Danau Tes alami pedangkalan. (haryanto.wordpress.com)
Pembangkit Listrik Tenaga Air ( PLTA ) Tes - Lebong – Bengkulu
(duniateknikelektro2013.blogspot.co.id)
74
11. DANAU RANAU
D
anau Ranau terletak di perbatasan Kabupaten Lampung Barat, Propinsi
Lampung dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, Propinsi Sumatra
Selatan. Posisi geografisnya kurang lebih antara 4 o51’59” – 4o58’42” LS
(Lintang Selatan) dan antara 103o 55’ 07” – 104o01’37” BT ( Bujur Tmur). Secara adminstratif
wilayah perairan Danau Ranau masuk dalam kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU
(Ogan Komering Ulu) Selatan, Propinsi Sumatra Selatan seluas 84,23 km2 dan selebihnya
seluas 41,67 km2 masuk ke dalam wilayah adminstrasi Kabupaten Lampung Barat, Provinsi
Lampung. Luas seluruh permukaan danau adalah 125,9 km2. Di Danau Ranau terdapat pulau
kecil, Pulau Marisa (Meriza), yang mempunyai sumber air panas yang sering dimanfaatkan
oleh penduduk setempat dan oleh wisatawan. Beberapa sumber air panas juga terdapat di daerah
pantai Danau Ranau.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Ranau
Ketinggian (altitude) muka air danau adalah 540 m di atas permukaan laut, dan
kedalaman rata-ratanya 174 m, sedangkan kedalaman maksimumnya 229 m. Volume air
kurang lebih 21,95 km3. Aliran masuk utama ke dalam Danau Ranau adalah Sungai Warkuk
sedangkan aliran keluar utama adalah Sungai Komering yang bermuara ke Selat Bangka. Danau
Ranau dikitari daerah pegunungan dengan Gunung Seminung di latar belakangnya dengan
ketinggian ± 1.880 m di atas permukaan laut. Di kaki Gunung Seminung terdapat sumber air
panas alam yang keluar dari dasar danau.
75
Tabel 1. Beberapa ciri fisik Danau Ranau (Sulastri et al. 1999)
Parameter
Besaran
Ketinggian (altitude) m
540
Luas (km2)
125,9
Kedalaman maksimum (m)
229
Kedalaman rata-rata (m)
174
3
Volume (km )
21,95
Gambar 2. Danau Ranau dengan latar belakang Gunung Seminung.
(www.senapati.net)
Gambar 3. Pulau Marisa (Meriza) tedapat di Danau Ranau,
mempunyai sumber air panas. (tophatmissoula.com)
76
Dilihat dari sejarah pembentukannya, Danau Ranau tergolong danau tekto-vulkanik.
Evolusi Danau Ranau bermula dari terbentuknya cekungan akibat sesar pisah-tarik (pull-apart
fault). Dalam cekungan berukuran 12 km x 16,5 km ini, gunung api dan panas bumi
bermunculan. Letusan dahsyat Ranau terjadi sekitar 55.000 tahun yang lalu dan menyemburkan
150 km3 rempah vulkanik. Endapan aliran awan panas dan material jatuhan menyelimuti area
seluas 140 km2. Proses ini diikuti perkembangan kaldera-kaldera kecil yang kemudian terisi air.
Peningkatan aktivitas vulkanik ini kemudian memperluas kaldera hingga ke bentuk seperti
sekarang (Setyahadi et al. 2012).
Danau Kerinci mempunyai ciri khas antar lain airnya tenang tergenang, tepian danau
landai sampai curam, Daerah Tangkapan Air –nya sempit, masa simpan air lama, keberadaan
tumbuhan air terbatas pada tepian danau, dan fluktuasi permukaan air berkisar 1-2 m.
Ekspedisi limnologi Indo-danau yang dilaksnakan besama oleh peneiliti Finlandia dan
Indonesia di tahun 1992 (Lehmusluoto, et al. 1997), memberikan gambaran tentang kondisi
limnologi Danau Ranau saat itu. Hasilnya antara lain menunjukkan karakteristik perairan danau
ini yang mempunyai stratifikasi yang lemah. Di lapisan bawah (lapisan hipolimnion) yang
terdapat mulai dari kedalaman sekitar 70 m dan seterusnya ke bawah, sudah tidak lagi
mengandung oksigen (anoxic). Pada lapisan-dalam ini juga terdeteksi adanya gas belerang H2S
yang bersifat toksik. Pada musim hujan, ketika suhu permukaan turun maka dapat terjadi
pengadukan air secara vertikal (overturn) yang berpotensi menyebabkan naiknnya air dari
bawah yang tanpa oksigen dan mengandung gas belerang yang toksik ke permukaan, hingga
dapat mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di danau.
Gambar 4. Nelayan di Danau Ranau. (wisbenbae.blogspot.com)
Setyahadi et al. (2012) mencatat fenomena matinya ikan di Danau Ranau dalam jumlah
besar telah beberapa kali terjadi dalam 50 tahun terakhir. Kejadian itu diantaranya di tahun
1962, 1993, 1995, 1998, dan 2011. Sementara itu penelitian oleh Kementarian Energi dan
Sumberdaya Mineral (2011) mengindikasikan kematian ikan pada tanggal 4 April 2011, tidak
terjadi di seluruh daerah danau, tetapi hanya di sekitar keluarnya mata air panas yakni di mata
air panas Kota Batu, Ujung, dan mata air panas Way Wahid. Pada saat kejadian, air danau di
77
lokasi matinya ikan biasanya berwarna putih susu dan berbau gas belerang. Dari penelitian itu,
terungkap pula bahwa pada sekitar waktu kejadian ada gempa mikro di garis sesar yang
melintang sepanjang danau.
Tabel 1. Kualitas air Danau Ranau tahun 2010 (Samuel et al. 2010)
Parameter
Kecerahan (m)
Suhu (oC)
DHL (µmhos/cm)
Warna air
Oksigen (mg/l)
CO2-bebas (mg/l)
pH air
Alkalinitas (mg/l)
Hardness (mg/)
NO3-N (mg/l)
NH3-N (mg/)
PO4-P (mg/l)
Juli 2010
15-20
26,0-26,5
280-320
Hijau-Biru
7,20-9,20
0-1,76
8,0-8,5
57-70
56-62
0,10-0,21
0,01-0,15
0,015-0,045
Oktober 2010
20-25
26,0-26,7
310-340
Hijau
6,96-8,04
0-1,76
8,0-8,2
58-62
56-60
0,20- 0,32
0,18-0,48
0,038-0,062
Berdasarkan kajian Samuel et al. (2010) di Danau Ranau, beberapa parameter kualitas
air seperti suhu, kecerahan, pH, oksigen terlarut, karbon dioksida, nitrat, dan fosfat (Tabel 1)
dapat disimpulkan bahwa perairan danau ini masih cukup baik untuk kehidupan biota akuatik.
Demikian pula kajian mengenai plankton (terekam fitoplankton 19 spesies, dan zooplankton 5
spesies) dan bentos, secara keseluruhan mengindikasikan perairan ini tergolong perairan mesoeutrophic yakni perairan dengan kesuburan menengah hingga tinggi.
Gambar 5. Ikan-ikan yang umum ditangkap di Danau Ranau: (a) arongan
(Hampala macrolepidota); (b) mujaer (Oreochromis mossambicus); (c) palau
(Osteochilus hasselti); (d) kepiat (Barbonymus schwanenfeldii)
78
Penelitian Samuel et al. (2010) selanjutnya mengungkapkan bahwa kegiatan perikanan
di danau ini lebih ditekankan pada perikanan tangkap. Perikanan budidaya dengan karamba
jaring apung (KJA) tidak direkomendasikan oleh Pemda setempat. Tercatat ada 17 spesies ikan
di perairan ini, empat diantaranya sangat umum ditangkap yakni arongan (Hampala
macrolepidota), mujaer (Oreochromis mossambicus), palau (Osteochilus hasselti) dan kepiat
(Barbonymus schwanenfeldii), sedangkan yang agak jarang adalah ikan semah (Tor sp.). Ikan
mujaer adalah ikan introduksi yang dimasukkan ke perairan ini tahun 1957.
Danau Ranau dan sekitarnya mempunyai potensi wisata yang baik, yang merupakan
perpaduan antara bentang alam pegunungan dan perbukitan serta perairan danau yang asri. Jenis
wisata yang dapat dikembangkan antara lain wisata danau, gunung api, panas bumi, wisata
hutan dan agrowisata, yang semuanya berada dalam jarak yang terjangkau. Namun kegiatan
pariwisata ini baru dapat memberi manfaat yang optimal bila dilaksanakan secara terpadu antara
semua potensi tersebut. Dengan demikian selain dapat menghasilkan pendapatan atau
pemasukan bagi daerah dapat sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan memberdayakan
kehidupan msyarakat setempat.
Wisata
danau
misalnya
dengan beperahu mengelilingi Danau
Ranau sambil menikmati sajian alam
seperti singkapan batuan beku di
sekiling danau, hamparan sawah,
perkampungan tepi danau, hijaunya
hutan lindung/hutan wisata. Wisata
panas
bumi
dapat
dengan
menyediakan fasilitas pemandian air
panas (potensi cukup tinggi di daerah
ini), spa, tempat peristirahatan di
sekitar lokasi menifestasi panas bumi.
Gunugng Seminung yang melatar
Gambar 5. Pariwisata Danau Ranau. Atraksi
belakangi Danau Ranau dengan
seni “Berdikekh” yakni menabuh alat musik
ketinggiannya
±1880 m di atas
hadra sambil menjaga keseimbangan di atas
permukaan laut merupakan tantangan
perahu jukung dengan pemandangan
tersendiri bagi para pencinta alam.
hamparan Danau Ranau dengan latar belakang
Wisata hutan dapat dikembangkan
Gunung Seminung.
dilereng bawah Gunung Seminung
(http://lampung.antaranews.com)
dan perbukitan sekitar Danau Ranau.
Dengan kekayaan daerah yang beragam ini, pariwisata dapat dikembangkan lebih efisien bila
pengelolaannya dilakukan secara terpadu dan bersifat berkelanjutan (sustainable tourism).
RUJUKAN
Hehanussa & G. S. Haryani.2009. Klasifikasi morfogenesis danau di Indonesia untuk mitigasi
dampak perubahan iklim. Konferensi Nasional Danau Indnesia I. Sanur-Denpasar, Bali,
13-15 Agusus 2009.
79
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Samuel & Subagdja. 2011. Karakteristik habitat dan biologi ikan mujaier (Oreochromis
mossambicus) di Danau Ranau, Sumtera Selatan. Bawal Vol. 3: 287 – 297.
Samuel, S.N. Aida, S. Makmur & Subagdja. (2010 ). Perikanan dan kualitas lingkungan
perairan Danau Ranau dalam upaya pelestarian dan mendukung produksi hasil tangkap
nelayan. Laporan Akhir Riset. Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan: 28 hlm.
Setyahadi, A., P. Eko, I. Rinaldi & A. Arif. 2012. Danau-danau penanda jejak tektovulkanik.
(http://sains.kompas.com/read/2012/04/23).
Sulastri, M. Badjoeri, Y. Sudarso & M. S. Syawal. 1999. Kondisi fisika-kimia dan biologi
perairan Danau Ranau, Sumatera Selatan. Pussat Penelitian dan Pengembangan
Limnologi. Lembaga Ilmu Penetahuan Indnesia. Limnotek vol. VI, No. 1: 25-38.
Widodo, S. Pengelolaan terpadu pemanfaatan sumberdaya panas bumi dan potensi wisata
Danau Ranau. Kelompok Kerja Panas Bumi.
80
12. DANAU ZAMRUD
D
anau Zamrud berada di bagian timur Provinsi Riau, tepatnya di Desa Zamrud,
Kecamatan Siak Sri Indrapura, Kabupaen Siak, dan berjarak sekitar 180 km
dari ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru. Kawasan ini berada di antara DAS
Kampar dan DAS Siak. Danau Zamrud terdiri dari dua danau yakni Danau Pulau Besar dan
Danau Bawah, yang berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Zamrud (Gambar 1). Semula
kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa Zamrud pada tahun 1980 seluas
28.237 ha, kemudian sejak 4 Mei 2016 oleh Menteri LHK ditetapkan menjadi Taman Nasional
Zamrud dengan areal yang diperluas menjadi 31.480 ha, dan diresmiksn sebagai Taman
Nasional ke-52 oleh Wapres Jusuf Kalla tanggal 22 Juli 2016. Kawasan ini berupa hutan rawa
primer di atas lahan gambut dengan ketinggian 100-200 m di atas permukaan laut. Lapisan
tanahnya berupa cekungan raksasa dimana air yang berasal dari daerah sekitarnya tertampung di
danau ini. Warna air danau ini umumnya hitam bening, ciri yang umum ditemukan di perairan
rawa gambut.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Zamrud di Provinsi Riau, yang terdiri dari dua
danau yaitu Danau Pulau Besar dan Danau Bawah
81
Menurut BMKG Pekanbaru (2013) kawasan konservasi Danau Zamrud mempunyai
curah hujan sebesar 1.977 mm per tahun dan dengan demikian tergolong dalam iklim hutan
hujan tropis, dan curah hujan bulanannya lebih dari 60 mm. Suhu udara pada bulan terpanas
dapat mencapai lebih 22oC.
Gambar 2. Pemandangan Danau Pulau Besar di Suaka Margasatwa Zamrud.
Danau Pulau Besar secara geografis berada pada posisi antara 0o35’ – 0o45’ Lintang
Utara dan 02o10’ – 102o19’ Bujur timur. Danau ini dinamai Danau Pulau Besar karena di
tengah danau ini terdapat sebuah pulau yang relatif berukuran besar yakni Pulau Besar. Danau
Pulau Besar ini mempunyai luas sekitar 2.416 ha dengan kedalaman berkisar 3 - 13 m dan
kedalaman rata-rata 6 m. Air Danau Pulau Besar selain berasal dari areal hutan gambut di
sekitarnya, juga berasal dari Teluk Paku dan Sungai Sejuk yang merupakan pintu masuk (inlet)
82
ke danau ini sedangkan Sungai Rasau merupakan pintu keluar (outlet) yang mengalir ke Danau
Bawah. Danau Bawah yang berdampingan dengan Danau Pulau Besar mempunyai luas sekitar
360 ha.
Di Danau Pulau Besar terdapat empat pulau, yakni Pulau Besar (10 ha), Pulau Tengah (1
ha), Pulau Bungsu (1 ha) dan Pulau Beruk (2 ha) yang banyak dihuni oleh beruk (kera tak
berekor). Dilaporkan bahwa pulau-pulau kecil ini merupakan pulau-pulau yang terdiri dari
endapan lumpur dan tumbuh-tumbuhan, oleh karenanya posisinya sewaktu-waktu dapat
berubah karena hanyut.
Suaka Margasatwa Zamrud mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi, banyak
diantara flora-faunanya bersifat endemik dan telah dilindungi. Flora kawasan ini didominasi
kayu meranti (Shorea sp.), kempas (Koompassia malacensis), bintangur (Calophyllum spp.),
balam (Palagium sp.), resak (Vatica wallichii), punak (Tetramenstaglabra miq), perupuk
(Solenuspermum javanicus), nipah (Nypa fruticans), rengas (Gluta rengas), pandan (Pandanus
sp.), sagu hutan (Metroxylon sagu), dll. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini masih relatif
baik. Beberapa jenis diantaranya telah dilindungi berdasarkan IUCN dan Peraturan Pemerintah
RI misalnya: ramin (Gonystylus bancanus), meranti lilin (Shorea teysmaniana), resak paya
(Vatica pauciflora), mersawa (Anisoptera maginata), kempas (Koompassia malacensis), palem
merah (Cystostachys lakka), kantong semar (Nephentes spp.).
Gambar 3. Flora riparian Danau Pulau Besar (Henny et al. 2013 )
Zona tepian danau dikenal sebagai zona riparian merupakan zona transisi antara
lingkungan akuatik (perairan) dan lingkungan terestrial (daratan). Zona ini dikenal pula sebagai
ekoton (ecotone) yang merupakan transisi antara dua ekosistem yang berbeda. Zona riparian di
Danau Pulau Besar antara lain ditumbuhi jenis Pandanus sp., paku-pakuan Stenochlaena sp.,
palem merah (Cystostachys lakka) dan meranti (Shorea sp.). Zona riparian memberikan tempat
berlindung bagi berbagai jenis hewan akuatik dan terestrial.
83
Beberapa fauna penting yang dilindungi juga terdapat di kawasan ini seperti harimau
sumatra (Panthera tigris), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos
malayanus), dan napu (Tragulus napu). Terdapat pula beberapa jenis primata yang dilindungi
seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), dan kokah
(Presbytis melalophos). Selain itu terdapat reptil yang dilindungi seperti buaya sinyulong
(Tomistoma schlegelii) dan buaya muara (Crocodylus porosus).Terdapat juga berbagai jenis
ikan seperti sepat rawa (Trichogaster sp.), toman (Ophiocephalus sp.), lele (Clarias sp.),
baung (Macrones nemurus), tapah (Wallago leeri), dan selais (Kryptopterus apogon) (Gambar
4).
Gambar 4. Beberapa jenis ikan yang terdapat di Danau Zamrud. a) Sepat rawa
(Trichogaster sp.); b) toman (Ophiocephalus sp.); c) lele (Clarias sp.); d) baung
(Macrones nemurus); e) tapah (Wallago leeri); f. selais (Kryptopterus apogon).
Di dalam dan sekitar kawasan Zamrud tidak ada pemukiman menetap, namun para
nelayan sampai ke wilayah ini untuk mencari ikan. Walaupun masyarakat tidak ada yang
bermukim, namun kawasan ini sangat penting dalam keberlangsungan hidup dan penyeimbang
ekosistem sekitarnya. Kajian Henny et al. (2013) di Danau Zamrud mengindikasikan
keanekaragaman jenis ikan sudah jauh berkurang dibandingkan tahun 1985. Danau Pulau Besar
sudah mengalami eksploitasi penangkapan ikan dengan tingkat mendekati 89% dan
dikategorikan sudah mengalami tangkap lebih (over fishing). Beberapa jenis ikan yang dulu ada
disini kini sudah tidak pernah ditemukan lagi.
84
Informasi limnologis tentang Danau Zamrud masih sangat terbatas. Henny et al. (2013)
memberikan gambaran umum karakteristik fisika dan kimia Danau Pulau Besar. Danau Pulau
Besar dengan kedalaman rata-rata 6 m, mempunyai kualitas air yang mencirikan air rawa
gambut yang berwarna hitam dan bersifat asam dengan nilai pH < 4, konduktivitas < 85
µmS/cm, padatan terlarut (TDS) < 0.05 g/L, dan oksigen terlarut (DO) di permukaan < 5 mg/l.
Namun di bagian dasar danau, kondisi air sudah anoksik (tanpa oksigen). Sementara itu suhu di
permukaan berkisar 30,1 – 31,7 oC, sedangkan air di bagian dasar sedikit lebih rendah berkisar
29,3 – 30,4 oC. Perairan gambut ini juga dicirikan dengan kandungan C-asam humat (humic
acid) yang tinggi berkisar 30-80 mg/L disertai total bahan organik (total organic matter/ TOM)
yang juga tinggi berkisar 230 – 255 mg/L.
Gambar 5 . Beberapa jenis fitoplankton yang terdapat di Danau Zamrud. a)
Fragilaria sp.; b) Tabellaria fenestrata; c) Scenedesmus sp.; d) Anabaena sp.
Fitoplankton merupakan komponen biota yang penting di suatu perairan karena
berfungsi sebagai produsen primer bahan organik, dan sebagai pangkal rantai makanan di suatu
lingkungan perairan. Fitoplankton merupakan mikroflora atau tumbuhan mikroskopis yang
mengandung klorofil dan mampu melaksanakan fotosintesis. Kajian fitoplakton di Danau Pulau
Besar oleh Henny et al. (2013) menunjukkan bahwa fitoplankton di danau ini terdiri dari tiga
golongan utama yakni Bacillariophyta (30,30 %), Chlorophyta (68,18 %) dan Cyanophyta
(0,76 %). Dari golongan Bacillariophyta (diatom) terdapat antara lain jenis-jenis Fragilaria sp.
dan Tabellaria fenestrata. Dari golongan Chlorophyta (alga hijau) antara lain Scenedesmus
bijuga, Ankistrodesmus falcatus, dan Actinastrum sp. Dari golongan Cyanophyta (alga biruhijau) terdapat jenis Anabaena sp. yang dapat mengikat (fiksasi) nitrogen dari udara dalam
bentuk NH4 hingga dapat menambah penyediaan nitrogen dalam air. Fitoplankton ini menjamin
ketersediaan pakan bagi berbagai jenis hewan dan larvanya di danau ini.
85
Suka Margasatwa Zamrud merupakan kawasan konservasi, namun di sekitarnya terdapat
lahan pertanian industri dan pemukiman yang dihuni oleh masyarakat lokal yang kehidupannya
sangat bergantung pada sumberdaya hutan. Konsekuensinya adalah hutan semakin banyak
dirambah hingga kondisinya pun semakin memprihatinkan. Tak sedikit lahan hutan yang
kemudian dikonversi menjadi lahan pemukiman, peladangan dan pertanian industri. Kajian
Promono et al. (2013) dalam kurun 1998-2012 di kawasan ini menunjukkan kawasan hutan di
kawasan ini telah mengalami perambahan dan pembalakan liar yang memusnahkan sekitar
39.344,23 m3 pohon per tahun. Dalam kurun itu hutan konservasi telah tergradasi seluas
2.339,73 ha atau 8,29 % dari luas total.
Kerusakan lingkungan yang terjadi di lahan sebelah hulu danau pada akhirnya akan
menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi perairan danau. Bagaimana masa depan kondisi
Danau Zamrud akan bergantung pada kebijakan-kebijakan komprehensif yang diambil yang
harus didukung oleh segenap pemangku kepentingan (stake holders).
RUJUKAN
Amri, A. T. 2008. Karakteristik Taman Nasional Zamrud ditinjau dari aspek biogeofisik.
Makalah pada workshop pengembangan dan pengelolaan Taman Nasional Zamrud
Pekanbaru. Pemda Kabupaten siak – BPPT Pekanbaru.
Hendrik. 2010. Potensi sumberdaya perikanan dan tingkat eksploitasinya. (Kajian terhadap
Danau Pulau Besar dan Danau Bawah Zamrud Kabupaten Siak Provinsi Riau). J.
Perikanan dan Kelautan 15 (2): 121-131.
Henny, C., S. Nomosatryo, E. Susanti, R. Kurniawan & I. Akhdiana. 2013. Kondisi limnologis
danau gambut Pulau Besar di Kawasan Margasatwa Zamrud Kabupaten Siak Propinsi
Riau. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MLI, Cibinong 3 Desember 2013: 453-468.
Himakova, K.P.E. 2016. Danau Zamrud, dari Siak untuk dunia. (himakova.lk.ipb.ac.id/2016).
Kompas. 2016. Pemda siap kelola TN Zamrud. Harian Kompas, 13 Juli 2016.
Pramono, T. H., B. Amin, Syafriadiman, R. Mahatma. 2013. Vegetation degradations of
Wildlife Santuary Danau Pulau Besar Danau Bawah Siak District Riau Province.
International Journal of Science and Research (IJSR), ISSN (Online):2319-7064, Index
Copernicus Value (2013): 6.14. Impact Factor (2013):4.438.
Silalahi, M. 2009. Strategi penyelamatan dan masa depan ekosistem hutan rawa gambut
Zamrud, Siak di tengah balada kehancuran hutan Riau. (alamsumatra.wordpress.com).
86
13. DANAU SENTARUM
D
anau Sentarum merupakan bagian tak terpisahkan dari Taman Nasional Danau
Sentarum (TNDS) yang berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi
Kalimantan Barat. Letaknya kira-kira 700 km dari Pontianak, ibu kota Provinsi
Kalimantan Barat. Secara administrasi kawasan ini meliputi tujuh kecamatan yaitu Kecamatan
Batang Lupar, Badau, Embau, Bunut Hilir, Suhaid, Selimbau, dan Semitau. Secara geografis
kawasan TNDS terletak antara 00o45’ – 01o02’ LU (Lintang Utara) dan 111o55’ – 112o26’ BT
(Bujur Timur) atau berjarak sekitar 100 km di sebelah utara garis katulistiwa.
Gambar 1. Peta lokasi Taman Nasional Danau Sentarum
Penunjukan kawasan Danau Sentarum sebagai kawasan suaka alam untuk pertama
kalinya pada tahun 1981 dengan status sebagai Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan
87
Direktur Jenderal Kehutanan No. 2240/DJ/I/1981 tanggal 15 Juni 1981 dengan luas 80.000 ha.
Kemudian kawasan Danau Sentarum ditetapkan menjadi kawasan Suaka Alam pada tahun 1982
dengan Surat Keputusan No. 757/Kpts/Um/10/1982 dengan luas 80.000 ha. Daerah ini dikelola
sebagai Suaka Margasatwa oleh Departemen Kehutanan yang diwakili oleh kantor Sub Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat yang berkantor di Pontianak.
Pada tahun 1994 Suaka Margasatwa Danau Sentarum ditetapkan menjadi lokasi Ramsar
(kawasan perlindungan lahan basah mengacu pada Konvensi Ramsar Internasional) di
Indonesia karena merupakan salah satu wakil daerah hamparan banjir (lebak lebung, floodplain)
yang sangat penting, tidak saja bagi Indonesia, namun juga bagi dunia. Taman Nasional Danau
Sentarum merupakan salah satu ekosistem hamparan banjir paling luas yang masih tersisa
dalam kondisi baik di Indonesia, bahkan di AsiaTenggara.
Pada tahun 1999, kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum kembali berubah fungsi
menjadi Taman Nasional Danau Sentarum melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 34/Kpts-II/1999 tanggal 4 Pebruari 1999 dengan luas 132.000 ha.
Danau Sentarum terletak pada sebelah hulu Sungai Kapuas, yaitu sekitar 700 km dari
muaranya yang menghadap ke Laut Cina Selatan. Dibatasi oleh bukit-bukit dan dataran tinggi
yang mengelilinginya, Danau Sentarum merupakan daerah tangkapan air dan sekaligus sebagai
pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai Kapuas. Dengan demikian, daerah-daerah yang
terletak di hilir Sungai Kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang tertampung di
danau tersebut.
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson Taman Nasional Danau Sentarum
termasuk ke dalam klasifikasi type A dengan curah hujan berkisar antara 4.000 mm sampai
4.727 mm/tahun. Kondisi suhu berkisar antara 22,90-31,05 oC.
Tingginya curah hujan sangat mempengaruhi kondisi kawasan Taman Nasional Danau
Sentarum. Dengan letak dan kondisinya yang berada di tengah-tengah jajaran pegunungan
menjadikan kawasan ini sebagai daerah tangkapan air. Pada musim hujan danau-danau di
kawasan Taman Nasional ini akan tergenang akibat adanya aliran air yang berasal dari bukitbukit di sekitarnya dan dari luapan Sungai Kapuas yang masuk ke kawasan. Sekitar 9-10 bulan
dalam setahun kondisi kawasan yang sebagian besar merupakan dataran rendah berupa
cekungan (lebak lebung) akan terendam dengan kedalaman 6 – 14 m, sedangkan pada musim
kemarau panjang sebagian besar danau akan kering, hanya menyisakan alur tali-tali air dan
danau-danau kecil permanen yang masih terisi air yang terpisah-pisah (Gambar 2).
Kawasan TNDS (Taman Nasional Danau Sentarum) memiliki fungsi hidrologi yang
sangat penting dan unik, yaitu menjadi kantung air yang menyerap 25% air Kapuas di saat
musim hujan. Di musim kemarau, 50% air Kapuas berasal dari TNDS. Air danau umumnya
bewarna hitam kemerah-merahan karena mengandung tannin yang berasal dari hutan gambut di
sekitarnya.
Di kawasan Danau Sentarum terdapat dua sungai utama yaitu Sungai Tawang dan
Sungai Leboyan. Sungai Tawang merupakan sungai yang menghubungkan Sungai Kapuas
dengan komplek danau di Taman Nasional Danau Sentarum, sedangkan Sungai Leboyan
berhulu ke Sungai Embaloh.
88
Gambar 2. Atas: Danau Sentarum di musim hujan. Bawah: Danau Sentarum di musim
kemarau, sebagian besar danau mengering.
Taman Nasional Danau Sentarum dikenal kaya akan keanekaragaman hayatinya, banyak
di antaranya bersifat endemik. Kekayaan floranya tercatat sebanyak 675 jenis yang tergolong
dalam 97 suku (familia). Data-data tersebut belum sepenuhnya terinventarisasikan, terutama
jenis pohon yang berada di hutan dataran rendah perbukitan, demikian pula jenis-jenis anggrek
89
dan parasit. Dari jumlah tersebut tercatat 33 jenis merupakan jenis endemik, dan 10 jenis
merupakan jenis baru.
Jenis tumbuhan yang ada antara lain: menungau (Vatica menungau), putat (Baringtonia
acutanguala), kayu tahun (Caralia bractea), rengas (Gluta rengas), kawi (Shorea balangeran),
ramin (Gonystylus bancanus), ransa (Eugeisoma ambigua), tembesu (Fagrarea fagrans),
simpur (Delenis excelsa), bintangur (Calophylum sp), bungur (Largestonis speciosa).
Gambar 3. Flora Taman Nasional Danau Sentarum
90
Gambar 4. Fauna Taman Nasional Danau Sentarum. a. Bekantan (Nasalis larvatus), b. Orang
utan (Pongo pygmaeus); c. Bangau hutan rawa (Ciconia stormi); d. Beluk ketupa (Ketupa
ketupu); e.Ulang uli (Botia macracantha); f. Arwana merah (Scelrophagus formosus);
g. Buaya muara (Crocodylus porosus).
91
Kawasan hutan di Taman Nasional ini juga kaya akan berbagai jenis pohon penghasil
kayu yang baik seperti Shorea beccariana, keruing (Diterocarcpus sp), ramin (Gonystylus
bancanus), kayu besi (Eusideroxylon zwageri), jelutung (Dyena costulata). Di samping itu juga
berbagai tanaman obat tradisional seperti Blumea balsamifera, Garania sp., Alpinia sp.,
Zingiber urpureum, Eurycoma longifolia, Pogostemon cablin.
Taman Nasional Danau Sentarum juga kaya akan berbagai jenis fauna. Hewan Mamalia
misalnya disini terdapat 147 jenis, yang merupakan 67 % dari seluruh jenis mammlia yang
terdapat di Kalimantan. Sebagian besar jenis mammalia yang ada di kawasan ini merupakan
jenis endemik, langka atau menjelang kepunahan seperti bekantan (Nasalis larvatus), orang
utan (Pongo pygmaeus), kepuh (Presbytis melalaphos cruniger), kelempiau Kalimantan
(Hylobates muelleri), macan dahan (Neofelis nebulosa) dan sekitar 23 jenis lainnya.
Di kawasan ini juga terdapat 310 jenis burung, antara lain bangau hutan rawa (Ciconia
stormi), beluk ketupa (Ketupa ketupu), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), dan delapan
jenis rangkong (Bucerotidae) yang dilindungi secara internasional. Dari 1.519 jenis burung
yang tercatat di Indonesia, sekitar 20 % dapat ditemukan di Taman Nasional Danau Sentarum.
Hewan melata atau Reptilia di kawasan ini terdapat sebanyak 31 jenis, delapan di
antaranya merupakan jenis yang dilindungi seperti buaya muara (Crocodylus porosus), buaya
senyulong (Tomistoma schlegeli), labi-labi, ular, biawak dan lain-lain. Bahkan buaya katak atau
buaya rabin (Crocodylus ranimus) yang telah dinyatakan punah di Asia sejak 150 tahun lalu
diperkirakan masih ditemukan di kawasan ini.
Ikan air tawar di Taman Nasional Danau Sentarum tercatat sebanyak 265 jenis, mulai
dari yang berukuran kecil sekitar 1 cm yaitu ikan linut (Sundasalax cf microps) sampai ikan
tapah (Wallago leeri) yang dapat mencapai ukuran lebih 200 cm. Jenis ikan yang banyak
dikonsumsi antara lain ikan toman, lais, belida, jelawat dan patin, sedangkan jenis ikan hias
antara lain ikan ulanguli (Botia macracantha), dan ikan siluk atau arwana merah (Sclerophagus
formosus). Ikan arwana ini banyak ditangkap untuk diekspor keluar daerah karena harganya
yang sangat mahal, hingga sekarang sudah sangat sulit ditemui di alam aslinya.
Pada saat
memasuki
musim kemarau sungai-sungai
mulai mengering, dan ikan-ikan
banyak yang terperangkap di
lubuk-lubuk yang dalam yang
masih berair. Penangkapan ikan
secara intensif di lubuk-lubuk itu
pada saat air sangat surut
dipandang bukanlah cara yang
mengindahkan
kelestarian
Gambar 5. Danau Sentarum: Penangkapan ikan di
sumberdaya ikan.
lubuk pada saat air surut rendah tidak mendukung
Kajian Dharyati (2012)
kelestarian sumberdaya ikan
mengenai beberapa parameter
kualitas air di Danau Sentarum
menunjukkan suhu air berkisar 29-31oC, kecerahan air 25-120 cm, pH 5,0-5,5, karbon dioksida
10,56-17,6 mg/l, oksigen 4,04-5,17 mg/l, alkalinitas 65-125 mg/l. Data tersebut
92
mengindikasikan bahwa kondisi lingkungan perairan Danau Sentarum masih layak untuk
mendukung kehidupan biota air termasuk ikan.
Namun di bagian hulu Sungai Kapuas banyak ditemui penambangan emas dan
dampaknya diperkirakan masuk ke DAS Kapuas sampai ke Danau Sentarum. Di sekitar danau
telah dibuka pula kebun kelapa sawit yang tentu limbahnya akan berdampak pada lingkungan
Danau Sentarum. Tekanan ekologis yang tinggi berpotensi merusak ekosistem dan lingkungan
Danau Sentarum.
Dari aspek sosial-budaya dapat disebutkan bahwa kawasan Taman Nasional Danau
Sentarum terutama dihuni oleh masyarakat Dayak dan Melayu. Masyarakat Dayak terdiri dari
beberapa grup etnis seperti Iban, Embaloh,
dan Kantu. Dayak Iban menghuni area di
sebelah utara dan timur laut, sedangkan
Dayak Embaloh sebelah timur dan Dayak
Kantu di sebelah barat danau. Pada
umumnya masyarakat Dayak menghuni
daerah perbukitan di sekitar danau, dan
mengandalkan hidupnya dari hasil hutan,
berburu dan menangkap ikan. Masyarakat
Dayak umumnya tinggal di rumahrumah betang (rumah panjang) dan
sebagian kecil membangun rumah secara
Gambar 6. Rumah betang (rumah panjang)
terpisah.
masyarakat Dayak
Masyarakat
Melayu
yang
menghuni kawasan Taman Nasional
Danau Sentarum pada awalnya berasal dari Sumatra dan Malaysia yang mulai masuk ke daerah
ini sejak abad 18. Mereka kemudian menerobos makin jauh ke pedalaman untuk mencari hasil
bumi sambil membawa serta kebudayaan mereka dan agama Islam. Masyarakat Melayu tinggal
di rumah lanting (rumah
terapung), rumah panggung (di
atas tiang tinggi) dan di perahu
motor
(motor
bandung/
kelotok). Mata pencaharian
mayoritas masyarakat Melayu
adalah nelayan dengan berbagai
kegiatan
seperti
menjala,
memukat, memasang sentaban
(jebakan ikan), memelihara
ikan dalam karamba serta
mengumpulkan ikan hias.
Gambar 7. Rumah panggung di Danau Sentarum.
Selain itu, masyarakat Melayu
(www.ipernity.com)
juga bermata pencaharian
sebagai
pengumpul
dan
93
peternak madu liar (Apis dorsata) yang keaslian madunya telah diakui secara internasional.
Pengambilan madu dilakukan secara tradisional melalui tiga cara yaitu: tikung (sarang buatan),
lalau (lebah bersarang di kayu besar), dan rapak (lebah yang bersarang di sembarang tempat).
Danau Sentarum mempunyai sejumlah keunikan eksotik yang menarik untuk diangkat
dalam sektor pariwisata. Namun jenis pariwisata yang dapat dikembangkan haruslah yang lebih
terarah pada pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Pada prinsipnya pariwisata
berkelanjutan adalah pariwisata yang aktivitasnya memperhatikan keseimbangan alam,
lingkungan, budaya dan ekonomi agar pariwista tersebut dapat terus berlanjut. Salah satu
bentuknya adalah ekowisata. Ekowisata merupakan pariwisata bertanggung jawab yang
dilakukan pada tempat-tempat alami serta memberi kontribusi terhadap kelestarian alam dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengembangan ekowisata ini tampaknya
belum optimal dilaksanakan di Danau Sentarum dan menjadi tantangan ke depan.
RUJUKAN
Dephut. 2007. Buku Informasi Taman Nasional Danau Sentarum.
Dephut. Taman Nasional Danau Sentarum. dephut.go.id.
Dharyati, E. 2012. Hasil tangkap ikan dan karakteristik lingkungan Danau Sentarum DAS
Kapuas Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI: 269-286.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional:
148 hlm.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Sentarum. danau.limnologi.lipi.go.id/danau.
94
14. DANAU SEMBULUH
D
anau Sembuluh adalah danau terbesar yang terdapat di Provinsi Kalimantan
Tengah, yang terletak di Kabupaten Waringin, pada posisi geografi kurang
lebih 2o43’14” Lintang Selatan dan 112o21’14” Bujur Timur. Danau ini
merupakan danau paparan banjir (flood lake) yang berada di bagian hilir DAS (Daerah Aliran
Sungai) Seruyan, dengan luas 7.832,5 ha dan memiliki panjang sekitar 36 km. Danau ini
berada pada ketinggian sekitar 37,5 m di atas permukaan laut, dan mempunyai bentuk yang
memanjang dengan banyak cabang tempat bermuaranya banyak sungai-sungai besar dan kecil
ke danau ini, seperti Sungai Kupang, Rungau, dan Rumania. Kedalaman danau dalam keadaan
normal berkisar 3-5 m. Danau ini juga meliputi beberapa danau kecil yang berupa anak sungai
yang berbentuk danau yang labih kecil yang kembali ke aliran utama atau berupa aliran sungai
mati (oxbow lakes). Pintu keluarnya (outlet) melalui Sungai Seruyan yang mengalir ke selatan
yang akhirnya bemuara di Laut Jawa.
Gambar 1. Kiri: Peta lokasi Danau Sembuluh. Kanan: Peta morfologi Danau
Sembuluh.
Di sekitar danau terdapat beberapa desa, yaitu Sembuluh I, Sembuluh II, Bangkal dan
Terawan. Danau ini dapat dicapai dari Palangkaraya, ibukota Kalimantnan Tengah, dengan
menggunakan kendaraan darat sejauh 240 km menuju Sampit, dan dari Sampit menuju Desa
Bangkal sejauh 80 km. Selanjutnya dari Desa Bangkal, Danau Sembuluh bisa dicapai dengan
perahu motor sekitar 20 menit.
95
Gambar 2. Beberapa pojok pemandangan Danau Sembuluh, Kalimantan Tengah
Tak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai karakteristik fisika-kimia perairan
Danau Sembuluh. Penelitian plankton di danau ini antara lain telah dilaksanakan oleh Umar
(2010) yang melaporkan terdapat 70 genera fitoplankton. Genera fitoplankton yang dominan
adalah Chlorella, Cosmarium, Staurastrum, dan Navicula. Dari kelompok zooplankton
ditemukan 19 genera yang terdiri dari 4 Kelas yakni Copepoda, Cladocera, Rotifera dan
Protozoa.
Danau Sembuluh dengan airnya yang hitam, tampaknya tidak menunjukkan
keanekaragaman ikan yang tinggi dari aspek perikanan. Penelitian Fahmi et al. (2009)
misalnya menunjukkan di Danau Sembuluh terdapat lima jenis ikan yang dominan tertangkap
yakni baung (Mystus nemurus), sanggang (Puntioliptes bulu), kapas-kapas (Gerres
erythrourus), lais (Kryptopterus macrocephalus), baga-baga (Priacanthus macracanthus) dan
selain itu juga udang galah (Macrobrachium sp.).
Masyarakat yang menghuni kawasan sekitar Danau Sembuluh terdiri dari masyarakat
adat asli suku Banjar yang sudah berbaur dengan para pendatang yang berasal dari suku Jawa,
Madura, Bugis, dan juga Flores. Kegiatan masyarakat di kawasan ini pada dasarnya cukup
beragam diantaranya dalam industi galangan kapal, perkebunan karet, kelapa sawit dan kopi,
peternakan dan perikanan. Daerah ini cukup terkenal sebagai pembuat kapal/ perahu tradisional
dengan bahan kayu yang berkualitas tinggi seperti kayu ulin dan blangiran, yang berasal dari
hutan sekitarnya. Namun kini hutan alami yang dulu menjadi tumpuan masyarakat telah lenyap
dan tergantikan oleh kebun kelapa sawit.
96
Perkebunan kelapa sawit yang sangat ekspansif di kawasan ini dalam beberapa dekade
terakhir telah membawa banyak perubahan lingkungan dan berdampak pula pada pola mata
pencaharian penduduk setempat. Perkebunan kelapa sawit telah mengepung Danau Sembuluh
dan menimbulkan kerusakan ekosistem yang sangat siginifikan. Hamparan areal perkebunan
kelapa sawit telah menggantikan hutan alami, bahkan telah meluas sampai ke tepi danau yang
seharusnya sebagai kawasan penyangga. Tak kurang dari delapan Perusahan Besar Sawit yang
bersentuhan langsung dengan Danau Sembuluh. Di samping itu, saat ini ada dua Pabrik Kelapa
Sawit yang langsung menggelontorkan limbahnya ke Danau Sembuluh.
Gambar 3. Atas: Perkebunan sawit di sekitar Danau Sembuluh. Bawah:
Hamparan areal perkebunan sawit telah mengepung Danau Sembuluh, sampai
ke tepi danau (hadiwaluh.blogspot.co.id)
97
Hilangnya hutan asli menyebabkan peningkatan sedimentasi pun tak terelakkan. Di
samping itu, limbah pabrik pengolahan kelapa sawit juga banyak dibuang langsung ke danau
atau ke sungai yang akhirnya mencemari perairan Danau Sembuluh. Nelayan pun banyak
mengeluhkan bahwa hasil tangkap perikanan mereka telah jauh merosot setelah merebaknya
perkebunan kelapa sawit.
Perubahan lingkungan sekitar Danau Sembuluh dengan merebaknya perkebunan kelapa
sawit sering menimbukan konflik sosial baik secara horizontal antara masyarakat yang pro dan
kontra perluasan perkebunan kelapa sawit maupun konflik vertikal antara masyarakat lokal dan
pihak perkebunan dan pemerintah daerah yang dipandang bertanggung jawab dalam perizinan
dan pengendalian kawasaan perkebunan. Sebagian masyarakat lokal menuntut bahwa mereka
berhak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan secara tradisional sebagaimana yang telah
berlangsung sejak dulu kala namun kini mereka telah tersingkir dan terabaikan dengan
masuknya dan meluasnya perkebunan kelapa sawit tanpa kontrol yang memadai. Hutan yang
dulu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat telah hilang. Perubahan signifikan ini merupakan
contoh kerusakan ekosistem yang tak mungkin pulih kembali. Sejalan dengan itu transformasi
kehidupan masyarakat terus mengalami dinamika seiring perubahan ekosistem di kawasan ini.
RUJUKAN
Fahmi, Z., C. Umar & E. S. Kartamihardja. 2009. Studi identifikasi habitat ikan menggunakan
parameter akustik di Anak Danau Sembuluh dan Danau Pepudak, Kalimantan Tengah.
Prosiding Forum Nasional Pemacuan Sumberdaya Ikan II, 2009.
http://anaktenda.blogspot.co.id/2010. PBS Sawit ancam kerusakan Danau Sembuluh.
http://hadiwaluh.blogspot.co.id/2010. Danau Sembuluh contoh kerusakan ekosistem.
Suryanta, J. & Niendyawati. 2016. Bencana sosial masyarakat di hilir DAS Seruyan dan
perubahan iklim lokal (Studi kasus di Provinsi Kalimantan Tengah). Seminar Nasional
Fakultas Geografi Universitas Muhamadiyah Surkarta.
Umar, C. 2010. Struktur komunitas dan kelimpahan plankton di Danau Sembuluh, Kalimantan
Tengah. Semnar Nasional Biologi 2010.
WALHI Kalimantan Tengah. 2013. Potensi pencemaran di Danau Sembuluh.
http://walhikalteng.org. 3 Februari 2013.
98
15. DANAU MAHAKAM (SEMAYANG, MELINTANG,
JEMPANG)
D
anau-Danau Mahakam terdiri dari tiga danau yang saling berdekatan yakni
Danau Semayang, Danau Melintang, dan Danau Jempang yang semuanya
terkait dengan aliran Sungai Mahakam. Ketiga danau ini termasuk tipe danau
paparan banjir (flood plain) yang umumnya tedapat di dataran rendah. Danau-Danau Mahakam
ini terletak di Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.
Secara geografis Danau Semayang terletak kurang lebih pada kordinat 0o13’24,48” Lintang
Selatan dan 116o27’17” Bujur Timur, Danau Melintang pada kordinat 0o17’33” Lintang
Selatan dan 116o19’42” Bujur Timur, sedangkan Danau Jempang pada kordinat 0o26’33,87”
Lintang Selatan dan 116o11’41” Bujur Timur.
Gambar 1. Peta Lokasi Danau-Danau Mahakam (Danau Semayang, Danau Melintang, dan
Danau Jempang)
Danau Semayang mempunyai luas 13.000 ha dengan kedalaman 3,5 m, Danau
Melintang dengan luas 11.000 ha dan kedalaman 2 m, sedangkan Danau Jempang dengan luas
15.000 ha dan kedalaman 3,50 m. Kedalaman ini merupakan kedalaman rata-rata, karena tinggi
muka air Danau-Danau Mahakan sangat dipengaruhi oleh musim. Pada musim hujan, air danau
melimpah dan membanjir hingga Danau Semayang menyatu dengan Danau Melintang. Namun
pada musim kemarau air danau menyurut, hingga sebagian danau menjadi lahan kering dan
meninggalkan alur-alur dan lubuk kecil saja yang masih tersisa. Danau yang berubah menjadi
lahan kering di musim kemarau ini dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluan pertanian,
99
misalnya ditanami padi. Perubahan musiman ini menyebabkan nelayan di danau-danau ini
beralih dari semula nelayan pada saat air tinggi menjadi petani di musim kemarau yang kering.
Gambar 2. Citra satelit Danau Semayang, Melintang dan Jempang
Gambar 3. Citra satelit mencakup daerah genangan banjir tahun 2007 yang
menunjukkan perairan Danau Semayang menyatu dengan Danau Melintang.
100
Salah satu fungsi penting Danau-Danau Mahakam adalah sebagai media transportasi.
Transportasi darat selama ini belum berkembang dengan baik di sekitar danau ini, terutama
karena kondisi lahannya yang berawa-rawa. Oleh karena itu transportasi air lewat sungai dan
danau merupakan andalan, baik itu untuk angkutan penumpang, maupun untuk angkutan
barang seperti hasil bumi, perikanan
dan barang lainnya. Transportasi air
ini umumnya dilakukan dengan
menggunakan kapal atau perahu
motor, yang menghubungkan desa satu
dengan yang lainnya di kawasan
danau, bahkan lewat sungai sampai ke
Samarinda,
ibu
kota
provinsi
Kalimantan Timur. Dengan demikian
peran transportasi air sangat penting
dalam pengembangan ekonomi lokal.
Pada umumnya di luar musim kemarau
air danau cukup dalam untuk dilayari
dengan aman, tetapi pada musim
kemarau banyak bagian danau yang
Gambar 4. Transportasi air merupakan aspek yang
menjadi kering tak bisa dilayari hingga
sangat penting dalam kehidupan masyarakat di
kegiatan
transportasi
air
pun
kawasan Danau-Danau Mahakam.
terganggu.
Gambar 5. Kiri: Pepohonan di sempadan Danau Semayang saat air tinggi.
Kanan: Perumahan penduduk di tepian Danau Semayang
(adinandra.lingkungan.org)
101
Gambar 6. Kiri: Nelayan di Danau Semayang di kala senja. (iftfishing.com).
Kanan: Danau Semayang di musim kemarau menjadi hamparan luas yang kering
kerontang (semayangboy.com)
Gambar 7. Kiri: Danau Semayang mulai mengering di musim kemarau,
disiapan untuk ditanami padi. Kanan: Kegiatan mencari kijing (kerang)
danau di musim kemarau yang kering (semayangboy.com)
Danau-Danau Mahakam juga mempunyai peran penting dalam kegiatan perikanan
masyarakat. Perikanan dilaksanakan baik dengan perikanan tangkap maupun dengan perikanan
budidaya. Hasil perikanan tidak saja untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat tetapi
juga dipasarkan hingga ke kota Samarinda. Kegiatan perikanan danau akan turun drastis pada
musim kemarau karena banyak bagian danau yang mengering. Terjadinya kekeringan danau ini
terkait dengan tingkat sedimentasi yang terus meningkat akibat makin rusaknya lingkungan di
sebelah hulu danau.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Haryono (2006) di Danau Semayang dan Danau
Jempang tahun 1995 menunjukkan bahwa di danau-danau ini terdapat 15 jenis ikan, yang
terbanyak adalah dari famili Cyprinidae (enam jenis). Umumnya ikan yang ditemui disini
berpotensi sebagai ikan konsumsi. Jenis yang paling melimpah adalah ikan repang (Barbodes
collingwood) sedangkan yang paling rendah kelimpahannya adalah ikan betutu (Oxyeleotris
102
marmorata). Ikan gabus (Channa sriata) dan ikan betutu di danau ini dibudidayakan dalam
karamba dari kayu (haba) dan pakannya adalah ikan rucah berupa ikan-ikan kecil yang
ditangkap dari alam. Pada tahun 2004 produktivitas ikan yang terbesar yang dihasilkan danaudanau Mahakam adalah dari hasil tangkapan, yaitu rata-rata sebesar 750 ton/tahun
sedangkan hasil dari karamba sebesar 300 ton/tahun dari beberapa desa di sekitarnya.
Penelitian Haryono (2006) lebih lanjut mengemukakan bahwa parameter lingkungan
perairan pada saat penelitiannya menunjukkan kisaran suhu 28,0 – 32,7 oC, oksigen terlarut 2,6
– 4,5 ppm dan pH 6 – 7, yang mengindikasikan bahwa kualitas perairan disini masih cukup
baik untuk pengembangan perikanan.
Gambar 8. Atas: Danau Melintang pada saat air tinggi
(wordpress.com). Bawah: Pada saat air surut rendah Danau Melintang
mendangkal dan ditanami padi (pinal-news.com)
103
Gambar 9. Atas: Kampung terapung di Danau Jempang (denieksukarya.com).
Bawah: Burung kuntul di Danau Jempang (wikimedia.org)
Dilihat dari segi fungsi estetika, Danau Semayang berpotensi untuk dikembangkan
sebagai tujuan wisata. Jika mengarungi danau yang luas ini, terasa berada di tengah lautan
karena tepi danau di seberang tidak terlihat. Matahari terbenam (sunset) yang indah juga
akan tampak di ufuk cakrawala Danau Semayang apabila cuaca mendukung. Sesaat
menjelang terbenam, bias cahaya kuning kemerahan dari matahari tampak mewarnai awan
disekitarnya, dan hal tersebut terpantul di permukaan air danau yang seakan menjadi cermin.
Tak kalah dengan sunset, matahari terbit (sunrise) di danau tersebut juga tak kalah menariknya.
Cahaya matahari yang seakan timbul dari ujung danau, menjadi tanda dan penerang bagi para
104
nelayan untuk turun ke danau untuk mencari nafkah. Selain itu, keberadaan rumah-rumah apung
di atas air merupakan pemandangan khas dan menarik yang banyak dapat ditemukan di Danaudanau Mahakam.
Dari aspek keanekaragaman hayati, Danau-Danau Mahakam sangat kaya akan berbagai
jenis biota, baik biota akuatik maupun biota terestrial (daratan) di sekitarnya. Banyak di
antaranya bersifat endemik yang hanya terdapat di Kalimantan. Di sekitar kawasan Danaudanau Mahakam terdapat kurang lebih 300 jenis pohon, 12 jenis reptil, 4 jenis amfibi, 125 jenis
burung, 86jenis ikan dan 25 jenis mamalia.
Vegetasi akuatik perairan Danau Semayang dan Danau Melintang tersusun dari berbagai
jenis tumbuhan, baik yang mengapung maupun yang menancap di dasar. Beberapa diantaranya
adalah kumpai minyak (Panicum stagnium), kumpai biasa (Panicum colorum), eceng gondok
(Eichornia crassippes), babatungan (Polygonum barbatum), wlingi (Cyperus elatus), kiambang
(Salvina natans), bunga telepok (Nymphoides indica) dan ada beberapa jenis tumbuhan yang
hidupnya tenggelam antara lain Hydrilla verticillata dan Ceratophyllum sp.
Di perairan Danau Melintang, eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan
tumbuhan yang distribusinya paling luas dan pertumbuhannya paling subur. Hampir seluruh
permukaan alur perairan yang menuju Desa Melintang dan perairan Desa Semayang tertutup
oleh eceng gondok. Pada bagian tepi banyak ditumbuhi oleh Panicium repens, Leersea dan
Cyperus. Secara keseluruhan jenis tumbuhan yang tumbuh diperairan Danau Semayang dan
Danau Melintang ada 12 jenis, yakni Hydrilla verticillata, Ceratophyllum sp, Eichornia
crassippes, Salvinia molesta, Pistia sp, Azolla pinnata, Cyperus rotundus, Leersia sp, Panicum
repens, Nymphea sp dan Ipomoea aquatica.
Ikan yang umum terdapat di Danau Semayang dan Danau Melintang adalah sebagai
tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-jenis ikan yang terdapat di Danau Semayang dan Danau Melintang
Menarik untuk diungkapkan hasil penelitian Sugeha & Suharti (2008) yang menemukan
ikan sidat (Anguilla borneensis) di Danau Semayang. Temuan ini dikukuhkan baik dengan
metode morfologi maupun dengan metode genetika. Ikan sidat ini merupakan ikan endemik
105
Kalimantan dan oleh para ahli ikhtiologi (bilogi ikan) dipandang sebagai salah satu nenek
moyang yang menurunkan genus Anguilla di dunia.
Gambar 10. Beberapa jenis ikan dan udang yang terdapat di kawsan Danaudanau Mahakam. a) ikan kelabau (Osteochylus kelabau ), b) jelawat
(Leptobarbus hoevenii) , c) sepat Siam (Trichogaster pectoralis ), d) udang
galah (Macrobrachium rosenbergii).
Gambar 11. Beberapa jenis burung-burung air yang terdapat di Danau-Danau
Mahakam. a) pecuk ular (Anhinga melanogaster), b) bangau tongtong
(Leptoptilos javanicus), c) kuntul besar (Egreta alba), d) cangak merah (Ardea
purpurea), e) blekok sawah (Ardeola speciosa), f) belibis kembang
(Dendrocygna arcuata).
106
Jenis-jenis burung banyak ditemui di Danau-danau Mahakam misalnya di Danau
Jempang terdapat 47 jenis, Danau Melintang 34 jenis, Danau Semayang 22 jenis. Jenis-jenis
burung yang sering diamati di sekitar danau adalah walet raksasa, cangak merah, kuntul perak,
kuntul kerbau, kuntul besar, kuntul kecil, blekok sawah, trinil pantai, bangau tongtong dan
pecuk ular Asia. Ditinjau dari jumlah populasi, jenis dengan populasi paling besar ditemui di
kawasan danau adalah blekok sawah, belibis kembang, trinil pantai, kuntul besar, kuntul
kerbau, kuntul perak, cangak merah, dara laut kumis, dara laut tengkuk hitam dan elang bondol.
Pada tingkat air tinggi populasi lebih rendah untuk jenis kuntul, trinil dan blekok sawah.
Pesut (Orcaella brevirostris) adalah
satu dari banyak hewan khas Provinsi
Kalimantan Timur. Bentuknya mirip dengan
lumba-lumba air laut. Hanya saja kepala pesut
berbentuk bulat dan bermata kecil serta
moncong yang sedikit pendek. Warna kulitnya
keabu-abuan tanpa ada pola yang khas. Warga
sekitar menamakannya pesut mahakam. Pesut
bukanlah ikan yang dicirikan dengan bernafas
dengan insang, tetapi hewan air yang
menyusui anaknya (Mamalia).
Gambar 12. Pesut Mahakam (Orcaella
Keberadaan pesut di alam sekarang
brevirostris) yang semakin terancam punah
makin terancam punah dan karenanya pesut
telah dimasukkan dalam hewan yang
dilindungi undang-undang. Pesut mahakam ditemukan tidak hanya di Sungai Mahakam
(sepanjang sekitar 980 kilometer), namun juga di Danau Semayang, Danau Melintang, dan
Danau Jempang. Di dunia, jenis hewan ini hanya bisa ditemui di tiga sungai, yaitu di Sungai
Mahakam (Kalimantan Timur), Sungai Mekong (yang membentang dari China, Laos, Kamboja
dan Vietnam) dan Sungai Irawady (Myanmar). Sayangnya, keberadaan pesut di sungai dan
danau-danau Mahakam saat ini telah diambang kepunahan. Survei yang dilakukan oleh Yayasan
RASI (Rare Aquatic Species of Indoesia) tahun 2014 mengindikasikan bahwa pesut mahakam
di sungai dan danau-danau Mahakam diperkirakan tinggal sebanyak 86 ekor.
Gambar 13. Kiri: Pesut Mahakam (Orcaella brevirostis) yang tertangkap
dengan jaring nelayan. Kanan: Pesut Mahakam mati tertabrak kapal
motor (2.bp.blogspot.com)
107
Seekor pesut betina hanya melahirkan satu ekor anak dengan masa hamil 14 bulan dan
masa menyusui dua tahun, sementara umur pesut relatif pendek, hanya sekitar 30 tahun. Pesut
dewasa rata-rata memiliki berat 90-200 kilogram dengan panjang antara 2 - 2,75 meter.
Pesut Mahakam kini menjadi salah satu objek observasi bagi wisatawan yang
berkunjung ke sungai dan Danau-Danau Mahakam. Satwa ini biasanya menampakan diri sejak
matahari terbit sampai pukul 08:00 dan antara pukul 16:00 sampai magrib.
Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup pesut adalah menurunnya kualitas air sungai
dan danau akibat tingginya tingkat pencemaran sungai dari industri perkayuan dan batu bara di
sepanjang Sungai Mahakam. Sibuknya lalu-lintas sungai dengan hilir-mudiknya baik kapalkapal besar maupun perahu kecil bermotor yang suaranya sangat memekakkan, jadi ancaman
serius lainnya. Kehidupan manusia yang bertambah ramai memanfaatkan sungai dan danau
sebagai urat nadi transportasi telah “merampas” habitat Pesut Mahakam. Bahkan tidak sedikit
diantara pesut-pesut tersebut cedera atau mati terhantam baling-baling kapal.
RUJUKAN
Chrismada, T., Lukman, Triyanto & M. Fakhrudin. 2012. Peran sumberdaya perikanan dalam
pengembangan wilayah pedesaan di Danau Semayang-Melintang. Prosiding Seminar
Nasional Limnologi VI.
Fakhrudin, M., T. Chrismada & I. Ridwamsyah. 2012. Kajian garis sempadan Danau
Semayang-Melintang untuk antisipasi penerapan PP No. 38 tahun 2011 tentang sungai.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI.
Harian Kompas. 2015. Populasi pesut Sungai Mahakam makin menyusut. 25 Juli 2015.
(http://regional.kompas.com)
Haryono. 2006. Iktiofauna di Danau Semayang –Melintang Kawasan Mahakam Tengah,
Kalimantan Timur. Jurnal Biologi Indonesia, Vol 6, Nomor 1: 75-78.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional:
148 hlm.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Semayang, Melinang dan Jempang.
danau.limnologi.lipi.go.id/danau.
Sugeha, H. Y. & S. R. Suharti. 2008. Biological aspects of the endemic eels, Anguilla
borneensis, from Lake Semayang, Mahakam watershed (East Kalimantan, Indonesia).
Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV: 103-110.
108
16. DANAU KAKABAN
D
anau Kakaban terletak di Pulau Kakaban, sebuah pulau kecil tak berpenghuni
dalam gugus Kepulauan Derawan. Secara administratif pulau ini termasuk
dalam wilayah Kecamatan Maratua, Kabupaten Berau, sebelumnya Provinsi
Kalimantan Timur, tetapi sejak tanggal 25 Oktober 2012 masuk Provinsi Kalimantan Utara.
Posisi geografinya adalah pada koordinat 02o08’35” Lintang Utara dan 118o31’13” Bujur
Timur.
Pulau ini mempunyai panjang 6 km, lebar 2,5 km dan luas 774,20 ha. Danau Kakaban
yang berada di tengah pulau itu memiliki panjang 2,6 km, lebar 1,5 km, luas sekitar 390 ha,
dengan kedalaman maksimum 11 m. Bentuk pulau beserta danaunya menyerupai angka-9 dan
didominasi oleh daratan karst berbukit kecil dengan lapisan tanah permukaan yang dangkal (<
10 cm).
Vegetasi yang terdapat di dataran berbukit ini cukup lebat namun secara ekologis
tergolong sangat rapuh. Vegetasi mangrove dan hutan berbukit kecil terdapat di sekitar danau.
Gambar 1. Peta lokasi Pulau Kakaban di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur
109
Saat ini Danau Kakaban telah dimasukkan sebagai salah satu daerah Kawasan
Konservasi Laut di Kabupaten Berau dan diusulkan sebagai salah satu situs warisan dunia.
Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Danau Kakaban yang unik dan langka ini pun banyak
diminati turis mancanegara.
Gambar 2 . Suasana pantai Danau Kakaban. Vegetasi mangrove dan hutan bukit kecil tumbuh
di sepanjang tepian danau.
Danau Kakaban terbentuk dari sebuah pulau karang berbentuk cincin yang disebut atol.
Umumnya, daratan atol yang muncul ke permukaan laut berukuran sempit dan melingkar. Di
tengah atol terdapat semacam kolam berisi air laut yang disebut laguna atau goba.
Adanya pergerakan lempeng kulit bumi dan berbagai aktivitas geologi yang kompleks di pesisir
timur Kalimantan, menyebabkan karang atol ini perlahan-lahan mengalami pengangkatan (up
lift) setinggi 40-60 m di atas permukaan laut. Proses ini diperkirakan terbentuk selama 1-2 juta
tahun. Akibatnya, air laut yang berada di tengah atol pun terjebak dan tidak dapat keluar lagi,
dan terbentuklah sebuah danau yang seolah-olah dipeluk oleh daratan yang ada disekelilingnya.
Dari penampakan itulah danau ini mendapatkan namanya: “Kakaban”. Dalam bahasa daerah
setempat “kakaban” berarti “pelukan”.
Biota yang terjebak di dalam Danau Kakaban mengalami evolusi dan adaptasi yang
mengakibatkan sebagaian besar biota Danau Kakaban merupakan jenis-jenis endemik yang
tidak atau jarang ditemukan di tempat lain.
Danau atau laguna yang airnya terjebak dan tidak memiliki hubungan dengan air laut di
sekitarnya melalui permukaan, tergolong jarang ditemukan di alam. Meskipun terisolasi, Danau
Kakaban masih tetap mempertahankan karakternya sebagai danau berair asin/payau, sebab di
dasar danau terdapat berbagai macam lubang, saluran, atau retakan kecil yang memungkinkan
pertukaran air danau dengan lingkungan laut di sekitarnya.
Pasut (Pasang-surut) laut di sekitar Pulau Kakaban mempunyai tipe campuran condong
ke harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) berarti terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dalam sehari, tetapi berbeda dalam tinggi dan waktunya, dengan kisaran pasut (tidal
range) sekitar 3 m. Pasut di dalam Danau Kakaban mempunyai tipe yang sama dengan pola
pasut di laut tetapi kisaran pasutnya hanya sekitar 0,19 m, sedangkan waktu pasutnya selalu
bergeser atau terlambat sekitar 3 jam dibandingkan dengan pasut di laut (Gambar 3). Sementara
110
itu perbandingan parameter lingkungan perairan di Danau Kakaban dan di laut sekitarnya
disampaikan dalam Tabel 1.
Gambar 3. Perbandingan pola pasut (pasang-surut) di Danau Kakaban dan di laut
sekitar Pulau Kakaban (Tomascik et al, 1997)
Tabel 1. Parameter lingkungan perairan Danau Kakaban dan laut sekitar Pulau Kakaban
Parameter Lingkungan
Danau Kakaban
Kisaran pasang-surut (m)
0,19
o
Suhu ( C)
32,0
Salinitas (‰)
24,0 – 26,0
Oksigen (mg/l)
5,9 – 6,6
pH
7,8
Nitrat (NO3-N µM)
0,34
Sumber: Tomascik & Mah (1994)
Laut sekitar P. Kakaban
3,0
28,0 – 29,0
34,0 – 36,0
6,0 – 6,4
8,1 – 8,3
0,26 – 1,06
Dasar Danau Kakaban didominasi oleh tutupan vegetasi alga hijau berkapur
(calcareous) jenis Halimeda opuntia dan Halimedia tuna. Jenis Halimeda opuntia bahkan
dapat membentuk hamparan yang luas menutupi dasar danau yang bisa sampai setebal 1,5 m.
Karena itu danau ini kadang disebut sebagai “Halimeda lagoon” atau laguna yang dipenuhi
Halimeda. Sementara Halimeda tuna hanya terdapat sedikit di sekitar mangrove di tepian
danau.
Satu hal yang paling mengagumkan dari Danau Kakaban adalah ubur-ubur yang yang
populasinya sangat menyolok hingga danau ini populer disebut sebagai danau ubur-ubur. Danau
Kakaban memiliki setidaknya empat jenis ubur-ubur yaitu: Ubur-ubur bulan Aurelia aurita (550 cm), ubur-ubur totol Mastigias papua (1-20 cm), ubur-ubur kotak Tripedalia cystophora (710 mm) dan ubur-ubur terbalik Cassiopea ornata (15-20 cm) (Gambar 3).
111
Gambar 3 . Spesies ubur-ubur Danau Kakaban. A. Ubur-ubur terbalik (upside-down jellyfish)
Cassiopea ornata (15-20 cm); B. Ubur-ubur bulan Aurelia aurita (5-50 cm); C. Ubur-ubur totol
Mastigias papua (1-20 cm); D. Ubur-ubur kotak Tripedalia cystosphora (7-10 cm). (Pandito,
2012)
Gambar 4. Seorang penyelam diantara massa uburubur totol Mastigias papua di Danau Kakaban
(blog.reservasi.com)
112
Ubur-ubur
bulan
(Gambar 3) merupakan jenis
ubur-ubur terbesar. Tubuhnya
dapat dikenali dari warnanya
yang putih agak transparan
dengan motif daun semanggi di
ujung
tudungnya.
Struktur
seperti daun semanggi ini
sebenarnya adalah gonad dari
ubur-ubur tersebut.
Ubur-ubur
totol
Mastigias papua (Gambar 3)
merupakan jenis ubur-ubur yang
paling padat populasinya di
Danau Kakaban. Akibat isolasi
selama ribuan tahun, ubur-ubur
di danau ini mengalami evolusi
hingga memiliki karakter fisik yang berbeda dengan saudaranya yang hidup di laut. Kurangnya
predator menyebabkan kelenjar sengat (nematosist) pada ubur-ubur ini mengalami reduksi
sehingga berukuran sangat kecil dan tidak efektif lagi sebagai senjata penyengat mangsanya.
Dalam
ekosistem
Danau
Kakaban, yang nyaris tanpa
predator dan memiliki sumber
makanan
yang
melimpah,
keberadaan kelenjar sengat tidak
diperlukan lagi. Ubur-ubur ini
pun dikenal sebagai ubur-ubur
tanpa penyengat atau stingless
jellyfish.
Jenis lainnya adalah
ubur-ubur
kotak Tripedalia
cystophora (Gambar 3) yang
merupakan spesies ubur-ubur
terkecil di Danau Kakaban.
Meskipun ukurannya paling
kecil, keluarga ubur-ubur ini (kelas
Gambar 5. Ubur-ubur terbalik (Cassiopea ornata) di
Cubozoa)
terkenal
sebagai
padang alga Halimeda di Danau Kakaban.
kelompok ubur-ubur dengan daya
sengat paling mematikan. Namun,
sebagaimana jenis ubur-ubur lainnya, kelenjar nematosist ubur-ubur kotak di danau ini telah
tereduksi sehingga tidak lagi membahayakan bagi manusia.
Jenis ubur-ubur lainnya yang juga unik adalah ubur-ubur terbalik (upside-down
jellyfish) Cassiopea ornata (Gambar 3 & 5).
Disebut terbalik karena tudungnya justru di
posisi bawah bagaikan kuali, sedangkan umbaiumbai atau tentakelnya yang justru melambailambai ke atas. Ubur-ubur ini tergolong hewan
yang terspesialisasi hidup di dasar perairan.
Ubur-ubur terbalik mendapatkan makanan dari
zooxanthella, mikroalga yang “bersemayam” di
dalam jaringan tubuhnya. Ubur-ubur ini dan
zooxanthella hidup bersimbiosis yang saling
menguntungkan (mutualistis). Zooxanthella
mampu memproduksi makanannya sendiri
melalui proses fotosintesis dan memasok energi
bagi
inang
ubur-uburnya.
Sebaliknya
zooxanthella
mendapatkan
hara
dan
Gambar 6. Anemon putih (Actinidae)
perlindungan dari ubur-ubur. Sebagian besar
menangkap dan akan melahap ubur-ubur
zooxanthella dalam ubur ubur ini terkonsentrasi
Cassiopea ornata. (Tomascik et al. 1997)
di bagian bawah tudung dan tentakel sehingga
113
untuk memaksimalkan proses fotosintesis, ubur-ubur ini membalik tubuhnya, bagaikan payung
terbalik menghadap matahari.
Suatu hal yang menarik bahwa di Danau Kakaban terdapat anemon putih (famili
Actinidae) yang dapat dengan buas memangsa ubur-ubur Cassiopea ornata dan bisa
melahapnya seutuhnya. Anemon itu dapat merentangkan mulut dan perutnya sedemikian besar
hingga dapat menelan seluruh tubuh ubur-ubur yang berukuran jauh lebih besar (Gambar 6).
Anemon ini meskipun tak mempunyai sel penyengat (nematosist) tetapi mempunyai daya rekat
yang sangat kuat (sticky) yang bisa mencengkeram mangsanya dengan erat.
Melimpahnya jumlah individu
tetapi hanya dengan beberapa spesies di
Danau Kakaban menunjukkan adanya
faktor pembatas yang menghalangi spesies
lain untuk tumbuh dan berkembang disini.
Suhu dan salinitas kemungkinan menjadi
faktor pembatas utama yang berpengaruh
terhadap populasi berbagai jenis biota di
Danau Kakaban. Hanya spesies yang
memiliki daya adaptasi tinggi dan toleransi
lingkungan yang besar saja yang mampu
bertahan.
Fauna invertebrata lain yang hidup
Gambar 7. Ular air Acrochordus granulatus di
di Danau Kakaban antara lain beberapa
Danau Kakaban. (indonesia.travel)
jenis moluska, krustasea dan teripang. Di
danau ini terdapat juga ular air sebagai
karnivor puncak (top carnivore) yakni ular Acrochordus granulatus yang mencari makanannya
di lingkungan padang Halimeda. Ular ini bukan tergolong ular yang berbisa dan makanannya
adalah ikan-ikan kecil.
Ikan yang hidup di danau ini
umumnya ikan-ikan kecil, seperti serinding
(Apogon
lateralis),
julung-julung
(Zenachopterus dispar). Ikan yang terbesar
adalah ikan gelodok
Exyrias puntang
(Gambar 8) dengan panjang total 60-165
mm yang bersifat omnivor dan hidup di
sekitar akar-akar tunjang mangrove.
Daratan yang mengelilingi danau
merupakan jalur sempit yang ditumbuhi
mangrove dengan lebar sekitar 3 – 5 m, yang
Gambar 8. Ikan gelodok Exyrias puntang,
terdiri terutama jenis bakau (Rhizophora
jenis ikan terbesar di Danau Kakaban, 60-165
mucronata), tanjang (Bruguiera sp.), api-api
mm. (fishwisepro.com)
(Avicennia sp.), dan pedada (Sonneratia sp.).
Keunikan Danau Kakaban, terutama
dengan ubur-uburnya yang melimpah dan tak menyengat menjadikan Pulau Kakaban mejadi
tujuan wisata alam yang sangat unik dan menarik. Di luar Indonesia hal yang mirip hanya
114
terdapat di Palau, negara kecil di bagian barat Samudra Pasifik. Berenang bersama massa uburubur merupakan sensasi tersendiri yang tidak bisa dijumpai di tempat lain di Indonesia. Oleh
sebab itu Danau Kakaban banyak diminati wisatawan untuk dikunjungi, tidak saja oleh
wisatawan nusantara tetapi juga wisatawan mancanegara.
RUJUKAN
Ismuranty, C., A. Mardiastuti & J. H. Steffen. 2004. Merintis konservasi Pulau Kakaban:
kerangka pengembangan model pengelolaan kolaboratif Kepulauan Derawan berbasis
masyarakat. Yayasan Kehati, Januari 2004.
Ng, P. K. L. & T. Tomascik.1994. Orcovita saltatrix, a new genus and species of anchialine
varunine crab (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Grapsidae) from Kakaban Island,
Indonesia. Raffles Bulletin of Zoology 1994. 42 (4): 937-948’
Pandito. 2012. Kakaban: danau ubur-ubur yang unik dan langka. . http://www.bluefame.com
Tomascik, T. & A. J. Mah. 1994. The ecology of ‘Halimeda Lagoon’ : An achialine lagoon of
raised atoll, Kakaban Island, East Kalimanatan, Indonesia. Tropical Biodiversity 2 (3):
385
Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas.
The Ecology of Indonesia Series, Vol. VIII. Dalhousie University. Periplus, Singapore.
115
17. DANAU TEMPE
D
anau Tempe terletak dalam tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yakni
Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Soppeng. Bagian terbesar
(70 %) danau ini berada di Kabupaten Wajo. Danau ini melintasi 10
Kecamatan dan 51 desa. Posisi geografinya terletak antara 4o 00’00” – 4o 15’ 00” Lintang
Selatan dan 119o 52’ 30” – 120o 07’ 30” Bujur Timur.
Asal mula terjadinya Danau Tempe tidak lepas dari sejarah perubahan geografis yang
terjadi di Sulawesi Selatan. Terdapat empat tahapan perubahan bentuk fisik dari lokasi di sekitar
Danau Tempe (Gambar 1). Tahap pertama yaitu pulau Sulawesi bagian selatan masih terpisah
dari pulau Sulawesi di bagian utaranya oleh selat yang membentang dari Selat Makassar ke
Teluk Bone. Kondisi ini diperkirakan berlangsung pada masa sebelum Masehi.
Gambar 1 . Sejarah perubahan geografis jazirah selatan Sulawesi hingga
terbentuknya Danau Tempe. (orangecoklat.blogspot.co.id)
Tahap kedua yaitu ketika terjadi pendangkalan dan penyempitan pada kedua ujung selat
sehingga membentuk sebuah danau besar. Tahap kedua ini diperkirakan berlangsung pada abad
pertama sampai abad ke-4 Masehi. Proses pendangkalan terus terjadi sehingga terbentuk empat
sub danau. Masa ini adalah tahap ketiga perubahan kondisi geografis yang diperkirakan
berlangsung sampai pada abad ke-17 sampai abad ke-18. Empat sub danau yang terbentuk pada
tahap ini yaitu Danau Alitta, Danau Sidenreng, Danau Tempe dan Danau Lapongpakka. Pada
tahap ke-4, tepatnya pada abad ke-19 hingga ke-20, Danau Alitta telah hilang. Danau yang
tersisa yaitu Danau Tempe, Danau Sidenreng, Danau Lapongpakka dan Danau Lampulung.
Pada masa ini, jalur yang menghubungkan Selat Makassar dengan Teluk Bone telah benarbenar terputus. Perubahan kondisi geografis tersebut di atas digambarkan dalam Gambar 1.
Sejarawan Christian Pelras (2006) mengungkapkan bahwa seorang saksi mata Portugis, Manuel
Pinto, pada tahun 1548 menggambarkan danau tersebut sebagai danau besar yang oleh
116
penduduk setempat disebut Tappareng Karaja yang berarti Danau Besar, yang sekarang
mencakup wilayah Danau Tempe - Sidenreng dan sekitarnya. Disebutkan bahwa Tappareng
Karaja saat itu sebagai tempat yang banyak dilalui perahu-perahu layar yang berlayar dari laut
menuju Sidenreng. Sedimentasi yang terus menerus terjadi menyebabkan danau-danau ini
kemudian terus menyusut luasnya dan juga semakin dangkal.
Gambar 2. Peta lokasi Danau Tempe, Danau Sidenreng dan Danau Buaya (Saleh,
1998)
Peta Danau Tempe dan sekitarnya pada masa kini disajikan pada Gambar 2. Danau
Tempe mendapatkan masukan air dari 23 sungai besar dan kecil. Namun saluran keluarnya
(outlet) hanya satu yakni Sungai Cenranae yang memiliki panjang sekitar 70 km dan bermuara
di Teluk Bone.
Danau Tempe mempunyai kaitan dengan dua danau lainnya yakni Danau Sidenreng dan
Danau Buaya. Pada musim kemarau, ketika air surut, ketiga danau itu terpisah dan hanya
dihubungkan dengan aliran kecil saja. Tetapi pada musim hujan, terjadi banjir yang menjadikan
117
ketiga danau itu terbenam mendjadi satu hamparan yang luas. Pada saat banjir besar daerah
yang terbenam mencapai area yang jauh lebih luas lagi seperti terlihat dalam Gambar 3.
Gambar 3. Danau Tempe dan kawasan sekitarnya, termasuk Danau Sidenreng
dan Danau Buaya yang terendam pada saat banjir kecil dan banjir besar (Whitten
et al. 2002)
Gambar 4. Panorama Danau Tempe dengan rumah-rumah terapung yang unik.
(rumahpengetahuan.web.id) & (anekawisatanusantara.blogspot.com)
Iklim di Danau Tempe dan sekitarnya tergolong iklim monsun tropis, yang memiliki
perbedaan yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan
Maret – Juli, sementara musim kemarau terjadi pada bulan Agustus – Februari. Di sekitar
Danau Tempe, musim kemarau bervariasi dari tahun ke tahun.
118
Gambar 5. Danau Tempe saat banjir (kiri) dan kemarau (kanan). Pada musim
kemarau sebagian kawasan danau mengering dan menjadi lahan pertanian.
(mongabay.co.id & Surur 2012)
Dalam keadaan normal, luas Danau Sidenreng sekitar 15.000 - 20.000 ha. Pada musim
kemarau yang kering, luasnya bisa menyusut sampai sekitar 1.000 ha saja, sedangkan pada
musim hujan muka air naik meluap sampai sekitar 26.000 ha yang membanjiri kawasan yang
meliputi Danau Sidenreng dan Danau Buaya. Pada saat
banjir besar kawasan banjir bisa mencapai 48.000 ha dan
menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah
penduduk, prasarna jalan dan jembatan serta prasarana
sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang sangat
besar.
Elevasi atau tinggi muka air Danau Tempe berkisar 4
- 8 m di atas permukaan laut sedangkan kedalaman danau
sekitar 3 m saat musim hujan dan hanya sekitar 1 m di
musim kering. Pada saat musim kemarau lahan yang
sebelumnya tergenang air sebagian besar menjadi kering dan
berubah menjadi lahan pertanian. Dengan besarnya kisaran
perubahan tinggi muka airnya, maka Danau Tempe dapat
dicirikan sebagai danau paparan banjir.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Danau Tempe luasnya
3.288 km2 yang terdiri dari tiga Sub-DAS yakni sub-DAS
Bila dengan luas 1.667 km2, sub-DAS Sidenreng seluas 739
km2 dan sub-DAS Batu-batu seluas 738 km2 (Gambar 6).
Dari kenyataan ini dapat terlihat bahwa Sub-DAS Bila
memberi
kontribusi terbesar dan paling berpengaruh
terhadap fluktuasi tinggi muka air Danau Tempe.
Gambar 6. DAS Danau
Sedimentasi yang terjadi di suatu danau berkorelasi
Tempe (Setiawan &
dengan erosi yang terjadi di daerah hulunya. Studi
Wibowo, 2013)
Nipponkoei (1997, dalam Setiawan & Wibowo, 2013)
menyebutkan potensi erosi di DAS Danau Tempe adalah sebesar 600.000 m3 per tahun.
119
Salah satu fungsi penting Danau Tempe adalah untuk perikanan. Danau ini pernah
sangat terkenal dengan tingginya produksi perikanannya di dekade 1940-an sampai 1960-an
hingga dijuluki sebagai “mangkuk ikan” (fish bowl) nya Indonesia yang mampu memproduksi
ikan tawar sampai sebesar 55.000 ton per tahun. Seiring dengan perjalanan waktu, dan
terjadinya berbagai perubahan lingkungan setempat akibat sedimentasi, pencemaran, dan
eksploitasi lebih (overfishing) maka produksi ikan danau ini telah merosot. Dalam 15 tahun
terakhir produksi ikan air tawarnya berfluktuasi hanya sekitar 12.000 – 18.000 ton per tahun.
Di Danau Tempe terdapat sekitar 20
jenis ikan antara lain ikan mas (Cyprinus
carpio), ikan nilem (Osteochilus hassellti),
ikan gabus (Ophiocephalus striatus), ikan
sepat siam (Trichogaster pectoralis), ikan
bungo (Glossogobius giuris), ikan tambakan
(Helostoma temmincki), dan ikan nila
(Oreochromis niloticus). Ikan mas dan ikan nila
Gambar 7. Ikan bungo (Glossogobius
adalah ikan introduksi yang semakin
giuris) yang endemik di Danau Tempe
mendominasi perairan danau ini, sedangkan
sudah semakin langka
ikan endemik seperti bungo dan tambakan
sudah semakin langka.
Selain menggunakan alat-alat tangkap yang lazim juga digunakan di daerah lain seperti
pancing, jala, dan bubu, para nelayan Danau Tempe mempunyai kearifan lokal yang unik
dengan mengembangkan teknik penangkapan dengan memanfaatkan apa yang disebut “bungka
toddo”.
Gambar 8. Kiri: Nelayan tengah menggarap bungka toddo, semacam rumpon
dari tumbuhan air yang mengapung. Kanan: Bungka toddo juga menjadi habitat
burung-burung air
Bungka toddo terdiri dari tumbuhan akuatik eceng gondok (Eichornia crassipes) dan
tumbuhan akuatik lainnya yang mengapung, yang digiring dan dikumpulkan pada suatu lokasi
dan ditahan dengan patok-patok bambu agar tidak hanyut. Himpunan tumbuhan akuatik yang
mengambang ini bagaikan rumpon dan menjadi habitat yang disenangi oleh ikan untuk hidup
karena kaya akan sumber makanan, selain juga sebagai tempat yang aman untuk berlindung dan
berbiak. Setelah permukaan air danau mulai surut para nelayan menutup pulau terapung buatan
itu dengan pagar bambu (belle), dan terus dipersempit hingga beberapa ton ikan yang terjebak
120
di dalamnya dapat dengan mudah dipanen. Bungka toddo bisa berjumlah banyak dan menutupi
wilayah perairan danau hingga berhektar luasnya.
Ternyata bungka toddo tidak saja bermanfaat untuk ikan, tetapi habitat buatan itu juga
disenangi oleh berbagai jenis burung-burung air untuk singgah, mencari makan, dan bersarang.
Kotoran burung-burung ini pun memberi kontribusi terhadap pengayaan hara di perairan ini,
hingga perairan sekitar bungka toddo ini tergolong hiper-eutrofik (tingkat kesuburan sangat
tinggi). Penelitian tentang bungka toddo juga mengungkapkan bahwa perairan sekitar bungka
toddo ini mempunyai produktivitas primer yang tinggi yang sangat penting maknanya dalam
berfungsinya suatu ekosistem.
Danau Tempe merupakan habitat burung air yang penting di Sulawesi Selatan dan
memiliki keanekaragaman spesies burung air yang tertinggi di antara danau-danau yang ada di
Sulawesi. Di Danau Tempe dan sekitarnya terdapat 40 spesies burung air dan 22 spesies burung
terestrial. Di antara burung-burung air itu, 19 spesies burung pengunjung dan lima spesies
burung migran (Anas querquedula, Pluvialis scuatarola, Tringa glareola, Acitis hypoleucos
dan Gallinago gallinago). Dari 40 spesies burung air ini, terdapat 12 spesies burung yang
dilindungi. Burung air yang dominan di Danau Tempe ada enam spesies yaitu Tachybaptus
roficollis, Phalacrocorax melanoicos, Egretta garzetta, Bubulcus ibis, Anas querquedula dan
Chlidonias hybridus.
Gambar 9. Burung air yang dapat ditemukan di Danau Tempe. a) belibis alis
putih (Anas querquedula); b) senip biasa (Gallinago gallinago)
Danau Tempe juga merupakan tempat persinggahan burung migran seperti trulek klui
(Pluvialis scuatarola), trinil semak (Tringa glareola), trinil pantai (Actitis hypoleucos), senip
biasa (Gallinago gallinago) dan belibis alis putih (Anas querquedula). Burung-burung ini,
kecuali belibis alis putih, diduga berasal dari wilayah Asia Utara yang sedang mengalami
musim dingin kemudian melakukan migrasi ke Australia yang sedang mengalami musim panas,
namun burung tersebut singgah di beberapa pulau di Indonesia pada bulan November hingga
Januari.
Indonesia termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar yang
merupakan kesepakatan internasional untuk menjaga kelestarian lahan basah (wet land) beserta
flora dan faunanya, terutama spesies-spesies burung air. Oleh karena itu ekosistem Danau
Tempe sebagai salah satu lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional perlu
121
mendapat perhatian dalam pengelolaan / pemanfaatannya agar fungsinya sebagai habitat burung
air dapat dipertahankan.
Salah satu spesies burung migran yang perlu mendapat perlindungan khusus dari
kegiatan perburuan/ penangkapan yaitu belibis Anas querquedula, karena burung ini termasuk
spesies yang banyak diburu dan dijual untuk menjadi santapan sebagai kuliner unik di rumahrumah makan, terutama di Pangkajene, Kabupaten Sidrap. Konon belibis goreng (wette cawiwi)
merupakan santapan para raja di zaman kerajaan Bugis-Makassar zaman dulu. Burung ini
mengunjungi danau secara berkelompok dalam jumlah besar sehingga mudah ditangkap dalam
jumlah besar pula. Hal ini bila terus dibiarkan akan dapat berakibat fatal terhadap kelestarian
burung tersebut.
Gambar 10. Reptil yang dapat ditemukan di Danau Tempe. a) Soa-soa
(Hydosaurus amboinensis); b) Kura-kura (Coura amboinensis).
Selain burung air beberapa spesies reptil juga terdapat di Danau Tempe antara lain soasoa (Hydrosaurus amboinensis), kura-kura (Coura amboinensis), biawak (Varanus salvator).
Kura-kura (Coura amboinensis) sampai sekitar dua dekade lalu banyak diburu untuk dijual
karapasnya dan diekspor, mungkin
sekarang telah punah.
Danau Tempe dan kawasan
sekitarnya mempunyai potensi yang
sangat besar untuk dikembangkan dalam
bidang pariwisata. Bentangan alam,
keanekaragaman hayati dan budaya
masyarakat setempat merupakan modal
penting
untuk
pengembangan
pariwisata. Pemda dan masyarakat
Kabupaten Wajo telah mengambil
langkah-langkah
untuk
promosi
pariwisata, salah satunya dengan
penyelengaraan Festival Danau Tempe
Gambar 11. Festival Danau Tempe (2014) untuk
secara berkala. Dalam kegiatan ini
mendorong pengembangan pariwisata
misalnya diadakan acara budaya
maccera tappareng yakni mensucikan danau menurut adat budaya setempat, disertai berbagai
atraksi lain yang terkait seni budaya lokal.
122
RUJUKAN
Amri, U. A. 2015. Mengenal lebih dekat dengan bungka toddo terhadap kondisi Danau Tempe.
Pusat Penyuluhan dan Pembedayaan Masyrakat Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan. www.pusluh.kkp.go.id.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional.
Mansor, M. & Onrizal. 2013. Danau Tempe, South Sulawesi, Indonesia: Habitat and
Biodiversity. wetecol.blogsot.co.id/2013.
Musdah, E. 2014. Sejarah Danau Tempe. http://orangecoklat.blogspot.co.id/2014.
Nofdianto. 2013. Aktivitas “bungka toddo” dan laju produktivitas primer Danau Tempe,
Sulawesi Selatan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MLI, Cibinong 3 Desember
2013.
Pelras, C. 2006. Manusia Bugis. Forum Jakarta-Paris. École francaise d’Extréme-Orient,
Jakarta, 2006: 449 hlm.
Saleh, N. 1998. Kelimpahan dan keanekaragaman burung air di Danau Tempe dalam upaya
pelestariannya. Tesis Program Pasaca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Setiawan, F. & . Wibowo. 2013. Karakteristik fisik Danau Tempe sebagai Danau paparan
banjir. Prosiding Pertemuan Ilimiah Tahunan MLI I, Cibinong 3 Desember 2013.
Sudirman & N. Nessa. 2005. Distribusi, keanekaragaman jenis dan pengelolaan sumberdaya
perikanan di Danau Tempe. Pertemuan Pakar Perairan Umum dalam Rangka
Memperbaharui Informasi Keanekaragaman Hayati Sumberdaya Perairan UMum di
Sulawesi, Jakarta 2 Agustus 2005.
Surur,
F.
2012.
Danau
Tempe
Kabupaten
Wajo,
dulu
dan
sekarang.
http://fadhilplano07.blogspot.co.id/2012.
Whitten, T., M. Mustafa & G. S. Hendersen. 2002. The Ecology of Sulawesi. The Ecology of
Indonesia Series Volume IV. Periplus Edition 2002: 754 hlm.
123
18. KOMPLEKS DANAU MALILI (MATANO, MAHALONA,
TOWUTI)
K
ompleks Danau Malili merupakan untaian danau yang terdiri dari Danau
Matano, Danau Mahalona, Danau Towuti, Danau Wawontoa /Lantoa, dan
Danau Masapi yang terletak di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Nama Malili juga merupakan nama ibukota Kabupaten Luwu Timur, yang terletak di ujung
utara Teluk Bone.
1. Kompleks Danau Malili (Matano, Mahalona, Towuti, Wawontoa/ Lantoa/,
Masapi Gambar) dan sistem sungainya. Garis kuning menunjukkan sistem sungai
yang menghubungkan masing-masing danau dan akhirnya bermuara ke Teluk Bone.
Garis putih menunjukkan sungai pemasok air (river inlet).
Gambar 2. Panorama Danau Matano (kiri), dan Danau Towuti (kanan).
124
Danau Matano merupakan sebuah danau tektonik purba yang terbentuk dari aktivitas
pergerakan lempeng kerak bumi pada akhir masa Pliosin sekitar 1-4 juta tahun yang lalu. Posisi
danau ini tepat berada di atas zona patahan/sesar aktif yang disebut “sesar Matano”. Selain
danau Matano, di sekitar zona sesar ini juga terbentuk dua danau besar: Mahalona dan Towuti
serta dua danau satelit yang ukurannya jauh lebih kecil, yaitu : Danau Wawantoa (disebut juga
Danau Lantoa/ Lontoa) dan Danau Masapi (Gambar 1). Beberapa karakteristik Kompleks
Danau Malili disampaikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Karakreristik Kompleks Danau Malili (dari berbagai sumber)
Matano Mahalona
Towuti Wawontoa
Luas area (km2)
164,0
24,4
561,1
1,6
Ketinggian (m dpl)
382
310
283
586
Kedalaman maksimum (m)
590
73
203
3
Kecerahan Secchi (m)
20
20
22
<3
Masapi
2,2
434
4
<3
Perbedaan ketinggian pada tiap danau, menyebabkan dimungkinkannya aliran air dari
danau yang letaknya lebih tinggi menuju ke danau yang lebih rendah. Air dari Danau Matano
mengalir ke Danau Mahalona melalui Sungai Petea. Selanjutnya air dari Danau Mahalona
mengalir ke Danau Towuti melalui Sungai Tominanga, sedangkan air ari Danau Towuti keluar
melalui Sungai Larona (Malili) yang bermuara di Teluk Bone. Dua danau satelit kecil, yakni
Danau Wawontoa dan Danau Masapi tidak berhubungan langsung dalam sistem sungai ini.
Danau Masapi mengalir tersendiri ke Danau Larona/Malili (Gambar 1).
Gambar 3. Peta detail batimetri (kedalaman) Danau Matano. Bagian terdalam (590 m)
terdapat di cekungan barat dengan dasar berada sekitar 208 m di bawah permukaan
laut (Sabo et al. 2008)
125
Danau Matano memiliki perairan yang sangat dalam (danau terdalam ke-7 di dunia dan
dan terdalam di Asia tenggara) dan merupakan satu-satunya danau di Nusantara yang bagian
dasarnya yang terdalam berada di bawah level permukaan air laut (cryptodepression).
Ketinggian Danau Matano adalah 382 m di atas permukaan laut, sedangkan kedalaman
maksimumnya adalah 590 m, berarti bagian terdalam danau ini berada sekitar 208 m di bawah
permukaan laut.
Perbedaan ketinggian danau satu dengan lainnya juga menjadi penghalang (barrier)
bagi migrasi organisme antar danau terutama dari arah hilir menuju hulu. Hal ini menimbulkan
pola penyebaran/distribusi organisme yang unik, dimana beberapa danau memiliki spesies
endemiknya sendiri walaupun letak danau-danau tersebut saling berdekatan.
Gambar 4. Beberapa contoh keberagaman ikan-ikan endemik di Kompleks Danau Malili
Danau Matano
Danau Mahalona
: 1. Tamanka sarasinorum; 2. Oryzias matanensis; 3. Dermogenys weberi
: 4. Telmatherina bonti; 5. Telmatherina celebensis
Danau Wawantoa
: 6. Parastherina labiosa. (Göltenboth
et al. 2006).
Kompleks Danau Malili yang tergolong danau purba yang telah berusia jutaan tahun
disertai lokasi-lokasi danau yang terisolasi satu dengan lainnya, yang masing-masing
mempunyai karakteristik yang berbeda telah menjadikan Kompleks Danau Malili ini menjadi
lokasi yang sangat ideal untuk mengkaji teori biologi evolusi (evolutionary biology). Banyak
kajian-kajian yang telah dilaksanakan di kawasan ini untuk mengkaji adaptive radiation, yakni
proses evolusi yang mencoba menjelaskan terjadinya berbagai variasi spesies (speciation) yang
merupakan adaptasi biota terhadap lingkungan yang sangat spesifik. Kombinasi kepurbaan dan
variasi lingkungan yang sangat spesifik ini pulalah yang menjadikan kawasan Komples Danau
Malili sangat kaya akan biota endemik. Demkian kayanya variasi spesies endemik yang ada di
kawasan ini hingga Herder (2010) menyebutnya sebagai “Wallace’s dream pond” yang bisa
dimaknai sebagai laboratorium alam yang super (a superb natural laboratory) untuk
pengkajian hal-hal yang terkait dengan asal-usul terjadinya spesies (speciation). Bahkan
kawasan danau ini dapat ditandingkan dengan Kepulauan Galapagos yang sangat terkenal
keanekaragaman biotanya, yang telah mengantarkan lahirnya teori evolusi hayati melalui
mekanisme seleksi alami yang dipelopori Charles Darwin.
126
Gambar 5. Adaptive radiation menghasilkan keanekaragaman bentuk dan warna ikan
Telmatherina di Kompleks Danau Malili (Herder, 2010). (a) Telmatherina antoniae
“large”, (b) T. antoniae “small”, (c) T. prognatha, (d) T. sarasinorum, (e) T.
sarasinorum ”big mouth”, (f) T. sarasinorum “large head”, (g) T. sp. “thick lip”, (h)
T. opudi, (i) T. abendanoni, (j) T. wahjui, (k) T. sp. “elongated”.
Sebagai contoh Herder & Schliewen (2010) menunjukkan berbagai variasi ikan
Telmatherina di kawasan ini. Telmatherina sering disebut sebagai ikan beseng-beseng, atau
ikan pelangi Sulawesi (Sulawesi rainbow), tetapi penduduk lokal di sekeliling Danau Matano
menyebut semua jenis Telmatherina sebagai ikan opudi. Sedikitnya sembilan variasi spesies
Telmatherina yang tercatat di kawasan ini (Gambar 5).
Gambar 6. Kiri: Ikan endemik Danau Matano, Telmatherina sarasinorum.
Kanan: Ikan endemik Danau Towuti, Glossogobius flavipinnis.
127
Gambar 7 . Udang endemik di Kompleks Danau Malili: (a) Caridina dennerly;
(b) Caridina woltereckae; (c) Caridina masapi; (d) Caridina holthuisi.
Selain ikan, udang-udangan pun banyak yang yang bersifat endemik di kawasan
Kompleks Danau Malili seperti: (a) Caridina dennerly; b) Caridina woltereckae; c) Caridina
masapi; d) Caridina holthuisi (Gambar 7). Demikian pula berbagai ketam endemik di kawasan
ini seperti Parathelphusa pantherina, Parathelphusa ferruginea, Syntripsa flavichela dan
Nautilotelphusa zimmeri (Gambar 8). Selain itu siput/ gastropod Tylomelania tedapat sebanyak
28 spesies yang endemik di Kompleks Danau Malili, antara lain Tylomelania patriarchalis, T.
gemmifera dan T. toradjarum (Gambar 9).
Gambar 8. Ketam endemik di Kompleks Danau Malili: (a) Parathelphusa
pantherina, (b) Paratelphusa ferruginea, (c) Syntripsa flavichela, (d)
Nautilotelphusa zimmeri. (von Rintelen et al. 2012)
128
Gambar 9. Beberapa spesies siput/ gastropod Tylomelania endemik dari
Kompleks Danau Malili. (von Rintelen et al. 2012)
Bukan hanya makro-fauna berukuran besar yang menunjukkan endemisme yang tinggi
di kawasan ini, tetapi juga mikro-fauna seperti zooplankton. Alekseev et al. (2013) misalnya
menemukan copepoda endemik Danau Matano yang dinamai Tropocyclops matanoensis tahun
2013 (Gambar 10).
Kompleks Danau-Danau Malili merupakan salah satu
“biodiversity hotspot”
yang
perlu mendapat perhatian
penyelamatannya. Biodivesity hotspot adalah suatu kawasan yang
kaya akan biota endemik namun kelestariannya semakin terancam.
Beberapa sumber ancaman datang dari beberapa faktor misalnya
pencemaran asal darat (land based pollution) baik dari limbah
pemukiman, industri, dan pertanian. Pertambangan nikel oleh PT
Vale Indonesia (dulu PT INCO) di Soroako dapat memberi dampak
terhadap kondisi danau. Demkian pula pembalakan liar di sekitar
danau yang sulit dikendalikan. Eksploitasi berlebihan terhadap ikanikan endemik yang diusahakan sebagai ikan hias untuk diekspor besarbesaran akan memberi dampak yang negatif. Demikian pula introduksi
ikan-ikan pendatang seperti mujaer (Oreochromis mossambicus) dan
nila (Oreochromis niloticus) akan mendesak kehidupan ikan-asli
setempat. Salah satu contoh tentang makin turunnya keanekaragaman
Gambar 10.
hayati di Danau Towuti diungkapkan dalam kajian mutakhir oleh
Copepod endemik
Nasution et al. (2015) yang mengemukakan bahwa ikan yang
dari Danau Matano,
ditemukan di Danau Towuti sebanyak 11 spesies, 9 diantaranya
Tropocyclops
endemik, sedangkan sebelumnya Wirjoatmodjo et al. (2003) merekam matanoensis, spesies
sebanyak 29 spesies ikan di danau ini, 19 diantaranya endemik.
yang baru ditemukan
(Alekseev et al.
Meskipun Danau Matano dan Towuti merupakan rumah bagi
2013)
banyak spesies endemik namun rupanya tidak didukung dengan
129
produktivitas perairan yang tinggi. Danau-danau ini tergolong danau oligotrofik (kesuburan
rendah). Salah satu indikatornya adalah perairannya mempunyai kecerahan yang tinggi sampai
lebih 20 m (diukur dengan cakram Secchi), disertai kandungan plankton yang sangat rendah.
Sabo et al. (2008) bahkan menemukan biomassa fitoplankton di Danau Matano yang ekstrim
rendah hanya < 15 µg.l-1 , hingga menempatkan Danau Matano dalam golongan perairan ultraoligotrophic (kesuburan amat-sangat rendah), bahkan salah satu yang terendah di dunia.
Rendahnya biomassa fitoplankton ini diduga sebagai kombinasi akibat rendahnya kandungan
hara dan adanya logam toksik. Demikian pula biomassa zooplanktonnya sangat rendah, hanya
2,5 mg.l-1 . Sementara itu kondisi lingkungannya menunjukkan lapisan perairan teratas yang
produktif (lapisan eufotik) hanya sampai kedalaman sekitar 40 m saja. Pada kedalaman di
bawah 100 m, kandungan oksigen sudah habis atau sudah bersifat anoksik (tanpa oksigen).
Gambar 11. Peta zonasi kawasan Danau Towuti (biru: perairan bebas; kuning:
perairan penyangga; merah: kawasan konservasi; jingga: pemukiman). (Nasution
et al. 2013.
Keprihatinan akan nasib yang menimpa Kompleks Danau Malili telah menimbulkan
serangkaian upaya untuk menyelamatkan danau-danau ini. Kajian yang dilaksanakan oleh
Nasution et al. (2013) misalnya mengemukakan Peta Zonasi Danau Towuti (Gambar 11) yang
mendasari pengembangan konsep-konsep konservasi Danau Towuti melalui enam pendekatan
konservasi meliputi: 1) sistem nilai/etika, 2) sistem pengembangan usaha dalam pemanfaatan
sumberdaya, 3) sistem hukum/peraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya, 4)
perpaduan iptek dan kearifan ekologi lokal, 5) model pengelolaan sumberdaya secara
komanajemen, dan 6) simbolisasi karya seni dalam kehidupan konservasi. Dari kegiatan ini
akan disusun Naskah Akademik Konservasi Danau Towuti, sebagai acuan dan yang akan
diakomodasi dalam bentuk Peraturan Daerah Pengelolaan Danau Towuti.
130
Danau-danau purba seperti
Kompleks Danau Malili tidak saja
menarik
dalam
masalah
keanekargaman hayatinya yang
sangat kaya akan spesies endemik,
tetapi kepurbaannya juga menarik
dikaitkan dengan sejarahnya yang
telah berusia jutaan tahun. Banyak
peniliti
dari
mancanegara
bekerjasama
dengan
peneliti
Indonesia mencoba mengungkap
sejarah bumi masa lalu dengan
Gambar 12. Pemboran sedimen dasar Danau Towuti
membor dasar danau jeluk (deep
(Towuti Drilling Project) (mongabay.co.id)
lake)
di kawasan ini. Lapisan
sedimen yang terpendam di dasar danau merupakan kunci untuk menguak informasi tentang
iklim serta perubahannya di masa lampau. Towuti Drilling Project misalnya merupakan
kerjasama lima negara (Amerika Serikat, Jerman, Swis, Kanada dan Indonesia) yang digagas
sejak tahun 2007. Hasil pemboran sedimen ini dapat menguak kondisi iklim sampai sekitar
700.000 tahun lampau. Diharapkan kajian ini dapat pula lebih menjelaskan proses terjadinya
danau-danau purba di kawasan ini. Pengetahuan kita tentang sejarah perubahan iklim masa
lampau merupakan kunci untuk dapat memahami perubahan iklim global masa depan.
RUJUKAN
Alekseev, V. R., D. G. Haffner, J. Valiant, F. M. Yusoff. 2013. Cyclopoid and calanoid
copepod biodiversity in Indonesia. Journal of Limnology 72 (s 2): 245-274.
Crowe, S.A., A. H. O’Neill, S. Katsev, P. Hehanussa, G. D. Haffner, B. Sundby, A. Mucci &
D. A. Fowle . 2008. The biochemistry of tropical lakes: A case study from Lake
Matano, Indonesia. Limnology and Oceanography. 53 (1): 319 – 331.
Göltenboth, F., K. H. Timotius, P. P. Milan & J. Margraf (eds). 2006. Ecology of Insular
Southesat Asia. The Indonesian Archipelago. Elsevier, Amsterdam: 557 pp.
Hadiaty, R. K. & S. Wirjoatmodjo. 2002. Studi pendahuluan biodiversitas dan distribusi ikan di
Danau Matano, Sulawesi Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia 2 (2): 23-29.
Herder, F. & U. K. Schliewen. 2010. Beyond sympatric spesiation: Radiation of sailfin
silverside fishes in the Malili Lakes (Sulawesi). In M. Glubrecht (ed.). Evolution in
Action. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Hoese, D. F., R. K. Hadiaty & F. Herder. 2015. Review of the dwarf Glossogobius lacking
head pores from the Malili lakes, Sulawesi, with a discussion of the definition of the
genus. Raffles Bulletin of Zoolog 63: 14-26.
Lehmusluoto, P., B. Mahbub, N. Terangna, S. Sudarmadji, Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. National inventory
of major lakes and reservoirs in Indonesia. Expedition Indodanau Technical Report: 71
pp.
131
Nasution, S. H., Sulastri, & Z. A. Muchlisin. 2015. Habitat characteristics of Lake Towuti,
South Sulawesi, Indonesia - the home of endemic fishes. Aquaculture, Aquarium,
Conservation & Legislation International Journal of the Bioflux Society. 8 (2): 213 –
223.
Nasution, S. H., Sulastri, Lukman, S. Koeshendrajana, I. Ridwansyah & R. Dina. 2013.
Penyusunan konsep konservasi Danau Towuti dan Danau Toba melalui pendekatan
enam komponen konservasi. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MLI, Cibinong 3
Desember 2013: 417- 440.
Rusdianto, E. 2015. Menguak masa lalu lewat sedimen Danau Towuti. Seperti apa?
www.mongabay.co.id.
Sabo, E., D. Roy, P. B. Hamilton, P.E. Hehanussa, R. McNeely & G. D. Haffner. 2008. The
plankton community of Lake Maano: factors regulating plankton composition and
relative abundance in an ancient, tropical lake of Indonesia. Hydrobiologia (2008) 615:
225-235.
von Rintelen, T.v., K.von Rintelen, M. Glaubrecht, C. D. Schubart & F. Herder. 2012. Aqautic
biodiversity hotspots in Wallacea: the species flocks in the ancient lakes of Sulawesi,
Indonesia. In (eds. D. J. Gower et al.): Biotic Evolution and Environmental Change in
Southeast Asia. University Press. The Systematic Association 2012: 290 – 316.
Whitten, T., M. Mustafa & G. S. Hendersen. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada
Univesity Press, Yogyakarta: 777 pp.
132
19. DANAU POSO
D
anau Poso terletak di Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, dengan posisi
geografi pada kordinat 120o21’27.10” – 120o 51’9,28 “ Bujur Timur dan
1o41’18.42” – 2o18’3.411” Lintang Selatan. Danau Poso adalah danau tektonik
yang pembentukannya merupakan akibat dari aktivitas tektonik di kawasan ini. Danau ini
dikenal juga sebagai salah satu danau purba di Indonesia. Danau Poso adalah danau terluas
ketiga di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatera Utara dan Danau Towuti di Sulawesi
Selatan. Salah satu kota dekat Danau Poso adalah Kota Tentena, yang merupakan ibu kota
Kecamatan Tentena, sekitar 55 km dari kota Poso, ibu kota Kabupaten Poso yang berada di
pantai Teluk Tomini.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Poso.
Gambar 2. Panorama Danau Poso yang asri. (anekainfounik.files.wordpress.com)
133
Beberapa karakter fisik Danau Poso adalah sebagai berikut (dari Lukman dan Ridwansyah,
2009):
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
ï‚·
Ketinggian di atas permukaan laut
Panjang maksimum
Lebar maksimum
Luas
Panjang total garis pantai
Kedalaman maksimum
Kedalaman rata-rata
657 m
32 km
16 km
36.890 ha (368,9 km2)
127 km
384 m
194 m
Ekspedisi Indodanau ke Danau Poso tahun 1993 (Leshmusluoto et al. 1997)
menunjukkan bahwa bagian bawah dari lapisan hipolimnion di danau ini bersifat anoksik (tak
mengandung oksigen). Kandungan klorofil yang rendah dan kecerahan sekitar 4,8 m
mencirikan Danau Poso sebagai perairan oligotrofik (kesuburan rendah). Namun kondisi fisikakimia air Danau Poso pada pengukuran Mei 2007 (Triyanto et al. 2008) telah mengindikasikan
terjadinya eutrofikasi atau peningkatan kesuburan. Sementara itu Sawestri & Atminarso (2013)
dalam penelitiannya di tahun 2011 mengemukakan bahwa tingkat kesuburan Danau Poso yang
didasari pada data kandungan hara (nutrient) dan klorofil menujukkan bahwa perairan danau ini
sudah termasuk dalam kategori mesotrofik (kesuburan sedang) hingga eutrofik ringan. Selain
itu dikemukakan pula bahwa kualitas air Danau Poso masih ideal untuk mendukung kehidupan
dan perkembangan ikan serta organisme lainnya. Semakin meningkatnya kesuburan Danau
Poso diduga karena masukan unsur hara yang berasal dari aktivitas penduduk, perkebunan, dan
pertanian yang banyak ditemukan di tepian perairan danau.
Di Danau Poso terdapat berbagai jenis ikan antara lain ikan gabus (Channa striata),
betok (Anabas testudineus), nilem (Osteochilus hasselti), sidat/ sogili (Anguilla marmorata),
nila (Oreochromis niloticus), anasa (Nomorhampus celebensis), tempel batu (Tamanka
sarasinorum) dan romo (Oryzias
nigricans).
Selain itu terdapat juga ikan
yang endemik untuk Danau Poso yakni
Adrianichtys
poptae
(Popta’s
buntingi) dan
Adrianichtys kruyti
(duckbilled buntingi) (Gambar 3).
Kedua jenis ikan ini telah terancam
punah dan masuk IUCN Red List of
Threatened
Species:
Critically
endangered.
Sebagai danau purba, Danau
Poso
merupakan
lokasi
yang
memungkinkan terjadinya evolusi yang
Gambar 3 . Ikan endemik di Danau Poso:
mendorong
berkembangnya
jenis
Adrianichtys poptae dan Adrianichtys kruyti yang
(speciation) yang spesifik dan lokal.
terancam punah (fishbase.org)
134
Oleh sebab itu berbagai temuan telah dilaporkan tentang spesies baru yang bersifat endemik,
yang hanya terdapat di lokasi tertentu saja. Suatu contoh yang menarik misalnya, hasil kajian
Haase & Bouchet (2006) yang menemukan siput Gastropoda di Danau Poso terdiri dari 16
spesies, 14 diantaranya tergolong dalam dua genus baru yang namanya cukup menarik yakni
Sulawesidrobia dan Keindahan (Gambar 4).
Gambar 4. Beberapa siput spesies baru yang ditemukan di Danau Poso (Haase &
Bouchet, 2006).
(a) Sulawesidrobia siput, (b) Sulawesidrobia langsing, (c)
Sulawesidobia angusta, (d) Sulawesidrobia kecil, (e) Keindahan fragilis.
Adapun mengenai perikanan di Danau Toba
dapat disebutkan bahwa potensi produksi di danau ini
diprediksi berkisar antara 12,54 – 14,15 kg/ha/tahun
dengan nilai rata-rata sebesar 13,15 kg/ha/tahun
(Sawestri & Atminarso, 2013). Berdasarkan data luas
permukaan danau maka produksi ikan di Danau Poso
dalam kondisi normal diperkirakan sebesar 524.553, 5
kg/tahun (524,55 ton/tahun) . Aktivitas penangkapan
ikan di Danau Poso masih bersifat skala kecil. Hasil
tangkapan ikan didominasi oleh jenis ikan sidat/ sogili
(Anguilla marmorata). Ikan ini dicirikan oleh tubuh
yang panjang dengan warna kuning kehitaman dengan
terdapat corak seperti kembang berwarna coklat
kehitaman. Ukuran sidat Anguilla marmorata bisa
mencapai ukuran sekitar 2 m (Gambar 5) .
Di Danau dan Sungai Poso sebenarnya
terdapat lima jenis ikan sidat yaitu Anguilla
marmorata, Anguilla celebensis, Anguilla bicolor
pacifica, Anguilla interiores dan Anguilla borneensis,
namun sidat/sogili (Anguilla marmorata) merupakan
tangkapan perikanan yang utama.
135
Gambar 5. Sidat/sogili (Anguilla
marmorata) berukuran besar yang
tertangkap di Danau Poso.
(australianmuseum.net.au)
Sidat (Anguilla spp) merupakan ikan katadromus yang memiliki karakteristik unik yaitu
melakukan ruaya (migrasi) untuk keperluan reproduksiya ke laut-dalam. Larva sidat yang baru
menetas di laut-dalam akan berenang kembali ke perairan darat mengarungi muara-muara
sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa pada habitat perairan
tawar seperti sungai dan danau. Aktivitas ruaya menghilir dari perairan tawar untuk kembali ke
laut (downstream migration) mencapai puncaknya sekitar bulan April, hal tersebut terkait
dengan tinggi muka air Danau Poso yang meningkat akibat curah hujan yang tinggi pada bulan
tersebut.
Gambar 6 . Pagar perangkap sidat (waya masapi) yang terentang di outlet
Danau Poso. (thinkoholic.com/2011)
Perairan Poso (meliputi Danau Poso dan sungai-sungai di sekitarnya) merupakan
daerah penghasil sidat yang penting. Sidat ditangkap dengan menggunakan maya masapi yang
merupakan pagar perangkap sidat yang terentang melintang sungai yang menjadi jalur ruaya
sidat. Ukuran sidat yang tertangkap di Tentena berkisar 0,2 – 5.6 kg atau dengan panjang total
antara 40 – 130 cm. Dalam alam,
ukuran
sidat/
sogili
Anguilla
marmorata bisa mencapai ukuran
sekitar 2 m (Gambar 5).
Banyak
pakar
yang
berpendapat perlunya pengelolaan
penangkapan sidat yang bijak yang
dapat mengatur penggunaan waya
masapi. Alat ini pemasangannya
menghadang jalur ruaya sidat untuk
bereproduksi. Padahal ruaya sidat itu
Gambar 7 . PLTA Sulewana di Sungai Poso.
untuk menjamin keberlangsungan
(indonesiatimur.co)
proses
rekrutmennya.
Namun
belakangan ini ancaman lain yang lebih besar juga sudah ada di depan mata yakni
136
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sulewana, Kabupaten Pamona Utara,
yang memanfaatkan aliran Sungai Poso. PLTA Sulewana ini dijadwalkan mulai beroperasi
penuh pada tahun 2016 yang dapat memasok daya listrik sebesar 65 megawat untuk Sulawesi
Tengah. Adanya PLTA Sulewana di Sungai Poso ini akan memutus jalur migrasi sidat/sogili
(Anguilla marmorata), salah satu kebanggaan masyarakat Tentena, hingga ke depan mungkin
kejayaan perikanan sidat/sogoli Tentena akan sirna dan hanya tinggal kenangan sejarah belaka.
Gambar 8. Kiri: Prasasti di Tentena dengan tulisan bermakna “Kenangan untuk
Reinder Fennema insinyur kepala untuk pertambangan, tenggelam di Danau
Poso 27 November 1897”.Kanan: Reinder Fennema. (blog.fitb.itb.ac.id)
Danau Poso pada umumnya memberikan gambaran danau yang indah dengan
permukaan air yang tenang. Tetapi rupanya kenyataannya tidak selalu demikian. Sesekali dapat
terjadi gelombang besar yang dapat menimbulkan seiche, yakni gelombang tegak (standing
wave) yang tingginya merupakan akumulasi dua gelombang yang merambat berlawanan arah,
yakni gelombang yang merambat sesuai arah angin, dan gelombang balik yang terpantul
kembali setelah membentur daratan pantai. Bila terjadi gangguan cuaca yang menimbulkan
angin yang kuat atau badai, maka gelombang seiche ini bisa sangat besar dan membahayakan.
Gelombang seiche ini bisa terjadi di danau-danau besar. Kiranya inilah yang terjadi di Danau
Poso tahun 1897 yang mengakibatkan tenggelamnya seorang geologist Belanda, Reinder
Fennema, yang dengan timnya sedang melakukan survei geologi di Danau Poso. Reinder
Fennema dikenal sebagai salah seorang perintis geologi di Indonesia. Ketika terjadi badai,
gelombang menjadi sangat besar, perahu yang mereka tumpangi terbalik. Reinder Fennema,
akhirnya tenggelam dan mayatnya tak pernah ditemukan, sedangkan rekan lainnya selamat.
Kejadian tragis ini diabadikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam suatu monumen
prasasti yang bertuliskan: “Herrinering aan Reinder Fennema, hoofdingeneur by het mynwezen
verdronken in het Posso Meer 27 November 1897” (Kenangan untuk Reinder Fennema insinyur
kepala untuk pertambangan, tenggelam di Danau Poso, 27 November 1897). Monumen
prasasti itu masih berdiri di dekat satu pompa bensin (SPBU) di Tentena, tetapi tak ada lagi
orang yang hirau, bahkan orang yang tinggal di sekitarnya pun tak mengerti apa makna prasasti
137
marmer itu. Padahal ada pembelajaran penting yang dapat dipetik dari peristiwa tragis itu yakni:
1) perairan yang tenang di Danau Poso dapat sesekali berubah menjadi bergelombang besar
yang berbahaya, 2) dedikasi para peneliti patut dihargai, dan 3) peneliti di lapangan sebaiknya
membekali diri dengan peralatan dan pelengkapan pengamanan yang baik.
RUJUKAN
Anonim. 2011. Reinder Fennema: Geolog yang tenggelam di Danau Poso 1897.
http://blog.fitb.itb.ac.id.
Haase, M. & P. Bouchet. 2006. The radiation of Hydrobioid gastropods (Caenogastropoda,
Rissooidea) in ancient lake of Poso. Hydrobiologia, 556 (1): 17-46.
Haryani, G. S. & P. E. Hehanussa. 2000. Preliminary study of eel fish in Lake Poso, Sulawesi
Island, Indonesia. Rep. Suwa Hydrobiol. 12: 75-80.
Kementerian Lingkngan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional
2010-2014.
Lehmusluoto, P., B. Mahbub, N. Terangna, S. Sudarmadji, Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. National inventory
of major lakes and reservoirs in Indonesia. Expedition Indodanau Technical Report: 71
pp.
Lukman & I. Ridwansyah. 2009. Telaah kondisi fisik Danau Poso dan prediksi ciri ekosistem
perairannya. Limnotek 16 (2): 64-73.
Sawetri, S. & D. Atmiarso. 2013. Status trofik dan estimasi potensi produksi ikan di perairan
Danau Poso, Sulawesi Tengah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MLI I, Cibinong 3
Desember 2013.
Sugeha, H. Y., J. Aoyama &. T. Tsukamoto. 2006. Downstream migration of tropical anguilid
silver eels from Lake Poso, Sentral Slawes, Indnesia. Limnotek 13 (1): 18-25.
Triyanto, Lukman & I. Yuniarti. 2008. Bioekologi dan aspek penangkapan sidat (Anguilla spp.)
di perairan Poso, Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV, 2008.
138
20. DANAU LINDU
D
anau Lindu terletak di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi
Tengah. Danau ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Taman Nasional ini yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan tahun 1999
mempunyai luas 217.991 ha dan berada pada ketinggian 500 – 3.000 m di atas permukaan laut,
dengan posisi geografis 1o3’ – 1o58’ Lintang Selatan, 119o57’ – 120o22’ Bujur Timur.
Gambar 1. Peta lokasi dan citra satelit Danau Lindu (Google map)
Gambar 2. Panorama Danau Lindu (id.wikipedia.org), (wanalaua.wordpress.com)
139
Taman Nasional Lore Lindu
terletak sekitar 60 km di sebelah tenggara
kota Palu. Taman ini terkenal kaya akan
fauna endemiknya seperti mamalia babi
rusa, anoa, rusa, kuskus, dan berbagai jenis
burung endemik seperti burung maleo,
enggang dan banyak lainnya. Di taman ini
juga terdapat berbagai peninggalan
prasejarah dalam berbagai bentuk patungpatung megalitik yang sudah berusia
ribuan tahun.
Untuk kepentingan masyarakat
yang tinggal di desa-desa dalam kawasan
Taman Nasional Lore Lindu, maka pada
tahun 1980/1981 kawasan Danau Lindu
dan perkampungan sekitarnya ditetapkan
sebagai Enclave Lindu dan tidak termasuk
kawasan hutan lindung. Beberapa desa di
antaranya adalah Desa Puro’o, Langko,
Tomado, Anca, Bamba, Paku, dan Kanavu.
Untuk dapat mencapai kawasan ini
diperlukan usaha yang lumayan berat,
Gambar 3 . Peta Taman Nasional Lore Lindu,
karena kawasan ini cukup terpencil
menunjukkan posisi Enclave Lindu
dikelilingi hutan perawan yang lebat.
(bbtnllposo.wordpress.com)
Kawasan ini hanya bisa diakses dengan
berjalan kaki menaiki pegunungan selama kurang lebih 5 jam dari Palu, atau naik motor, bukan
sembarang motor tentunya, karena lebar track hanya cukup untuk dua orang pejalan kaki.
Penduduk setempat memodifikasi
motor mereka sedemikian rupa untuk
dapat digunakan sebagai angkutan
barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Sebelum ada motor, masyarakat
setempat menggunakan kuda sebagai
sarana transportasi.
Dari segi geologi, Danau Lindu
berada di wilayah Sesar Palu (Palu
Fault). Aktivitas tektonis pada masa
lampau telah membentuk lembah besar
di kawasan Taman Nasional Lore
Lindu, seperti Lembah Besoa, Napu,
Palolo, dan Lindu. Lembah-lembah ini
pada asalnya merupakan danau-danau
Gambar 4 . Daerah Tangkapan Air Danau Lindu besar, namun pada saat ini sebagian
(Lukman & Ridwansyah, 2003)
diantaranya telah tertutup sedimen.
140
Hanya Danau Lindu yang sekarang masih berupa danau.
Daerah tangkapan air Danau Lindu sebagian besar berada pada sisi timur (Gambar 4).
Kawasan perairan danau itu sendiri hanya merupakan bagian kecil dari daerah tangkapannya.
Kondisi hidrologis kawasan Lindu dibentuk oleh aliran sungai, minimal terdapat 16 sungai yang
umumnya berukuran kecil. Sungai Rawa adalah satu-satunya pintu keluar (outlet) Danau Lindu
yang mengalir ke Sungai Gumbasa dan menyatu dengan Sungai Palu. Debit rata-rata tahunan
Sungai Rawa mencapai 18,65 m3.dt-1 . Curah hujan rata-rata tahunan di dataran Lindu
mencapai 2.300 mm, dan daerah ini merupakan wilayah yang selalu basah.
Tabel 1. Beberapa karakter Danau Lindu (Lukman & Ridwansyah 2003)
No.
Parameter
Dimensi
1
Luas permukaan (ha)
3.447,4
3
(m )
34.474.090
2
Keliling (km)
26,5
3
Panjang maksimum (km)
9,6
4
Lebar maksimum (km)
4,8
5
Kedalaman maksimum (m)
72,6
3
6
Volume (km )
1.327,8
(m3)
1.327.795.404
7
Kedalaman rata-rata (m)
38
8
Waktu tinggal (retention time) (hari)
824
(tahun)
2,26
Ciri-ciri morfometri Danau Lindu telah dikaji oleh Lukman & Riwansyah (2003) yang
hasilnya dapat disarikan dalam Tabel 1 dan Gambar 5 .
Danau Lindu merupakan danau tektonik dan berada pada ketinggian ± 1.000 m di atas
permukaan laut. Profil kedalaman Danau Lindu membentuk dua cekungan dalam, yakni di sisi
utara dan selatan. Kedalaman masimum terukur 72,6 m berada di cekungan utara Gambar 5).
Berdasarkan debit keluaran air danau
rata-rata untuk tahun 1985 sebesar 18.656
m3.dt-1 dan volume danau 1.327.795 m3, maka
Danau Lindu dipekirakan akan memiliki
waktu tinggal (retention time) dalam waktu
824 hari atau dalam kurun 2,26 tahun. Dengan
kata lain diperlukan waktu selama 2,26 tahun
untuk menggantikan seluruh volume air
danau. Masa pergantian air Danau Lindu ini
relatif cukup singkat dibandingkan dengan
danau-danau dalam lainnya.
Gambar 5. Peta batimetri (kedalaman)
Danau Lindu (Lukman & Ridwansyah,
2003)
141
Gambar 6. Berbagai sudut Danau Lindu (Lukman, 2007). (a) Rerumputan
Phragmites karka di tepian danau; (b) Pulau kecil, Bola, di tepi danau. (c) Saluran
keluar (outlet) dari danau; (d) Muara Langko di Danau Lindu.
Beberapa kajian tentang kualitas air Danau Lindu yang menyangkut suhu, kandungan
oksigen, hara, dan parameter lainnya menunjukkan bahwa kondisi perairan danau ini masih
cukup baik untuk menunjang kehidupan biota di danau ini (Lukman 2003, Sawestri et al. 2013).
Keterisolasian danau ini dalam suatu taman nasional, merupakan salah satu sebab minimumnya
gangguan yang dapat menyebabkan turunnya kualitas perairan. Lapisan eufotik atau lapisan
teratas yang produktif, yang masih memungkinkan terjadinya fototosintesis berada pada
kedalaman sampai sekitar 6 m. Makin dalam, kandungan oksigen makin turun, dan pada
kedalaman 25 m ke bawah kandungan oksigen sudah hampir habis.
Fitoplankton yang sangat berperan dalam proses fotosintesis di danau ini ditemukan
sebanyak 25 spesies, yang terbanyak tergolong dalam kelas Chlorophyceae (12 spesies), disusul
Bacillariphyceae (11 spesies), dan yang paling sedikit Cyanophyceae (2 spesies) . Kelimpahan
fitoplankton di perairan ini berkisar 200-2.954 sel/l.
Sementara itu kajian mengenai makrozoobentos (fauna makro yang hidup di dalam atau
di permukaan sedimen) menunjukkan komunitas makrozoobentos di danau ini terdiri dari empat
golongan yakni Oligochaeta, Hirudinea, Insecta dan Mollusca (Suryati et al. 2013).
Makrozoobentos berperan penting dalam ekosistem antara lain: 1) melakukan proses
142
mineralisasi dan daur ulang bahan organik; 2) sebagai bagian dalam rantai makanan detritus
dalam sumberdaya perikanan; 3) sebagai bioindikator perubahan lingkungan.
Fauna ikan di Danau Lindu terdapat sebanyak 10 spesies, tetapi enam spesies
diantaranya merupakan ikan introduksi yang dimasukkan pada kurun 1950-an untuk
meningkatkan produksi perikanan. Ikan introduksi ini adalah: ikan mas (Cyprinus carpio),
mujaer (Oreochromis
mossambicus),
tawes
(Puntius
javanicus),
sepat
(Trichogaster
pectoralis),
gurame
(Osphronemus gourami) dan lele (Clarias
batrachus). Ikan asli danau ini adalah sidat
(Anguilla
sp)
dan
Xenopoecilus
sarasinorum.
Ikan Xenopoecilus sarasinorum
adalah ikan endemik Danau Lindu, namun
keberadaannya saat ini tidak diketahui. Gambar 7. Ikan Xenopoecilus sarasinorum, ikan
Pada tahun 1996 jenis ikan ini telah
endemik Danau Lindu yang terancam punah
dinyatakan sebagai spesies terancam
(IUCN Red List of Threatened Animals, 1996:
punah (endangered) dalam IUCN Red
Endangered)
List of Threatened Animals. Kriteria
terancam (endangered) adalah manakala jenis tersebut menghadapi risiko kepunahan yang
tinggi di alam dan dalam waktu dekat mendatang.
Burung-burung air yang dapat ditemui di Danau Lindu tercatat sebanyak 15 jenis.
Beberapa diantaranya yang sering dijumpai adalah belibis hutan (Anas gibberifrons) yang
biasanya mengelompok, jelanak (Podiceps ruficollis), kuntul kecil (Egretta garzetta), dan trinil
pantai (Actitis hypoleucos) (Gambar 8).
Gambar 8. Burung-burung air yang sering dijumpai di Danau Lindu. (a) Anas
gibberifrons; (b) Podiceps ruficollis; (c) Egreta garzetta; (d) Actitis hypoleucos.
143
Dari aspek kesehatan, Danau Lindu mempunyai makna tersendiri, karena sejak tahun
1930-an telah ditemukan penyakit Schistomiasis yang endemik melanda penduduk yang
menghuni kawasan sekitar Danau Lindu. Schistosomiasis disebabkan oleh cacing Schistosoma
japonicum yang menjadi parasit dalam tubuh manusia. Cacing ini adalah sejenis cacing pipih
(Trematoda), yang dewasa bisa berukuran sekitar 1 cm, hidup di saluran darah manusia atau
bisa juga pada hewan mamalia. Manusia terjangkit penyakit ini lewat kontaknya dengan air
danau atau air yang tergenang, yang mengandung cacing yang masih dalam taraf larva cercaria.
Bagian tubuh atau kaki manusia
yang ditembus cacing ini akan
terasa gatal dan bisa meradang.
Cacing ini kemudian
masuk dan terbawa dalam
saluran darah manusia dan bisa
kemudian mengendap di hati
atau limpa. Gejala
awal
menunjukkan pasien mulai
batuk-batuk, deman, dan merasa
lemah tak bernafsu. Cacing ini,
yang jantan dan betina, menjadi
dewasa dalam tubuh manusia.
Bila akan bertelur, usus manusia
ditembus olehnya hingga telurGambar 9. Daur hidup cacing Schistosoma japonicum di
telur cacing dilepaskan dalam
kawasan Danau Lindu (Whitten et al. 1987)
jumlah besar dan akan ikut
keluar bersama tinja (faeces), yang mengakibatkan penderita terserang diare berdarah disertai
lendir. Telur-telur cacing itu yang terlepas ke dalam air akan menetas dan menjadi miracidium
yang mempunyai bulu-bulu getar untuk berenang. Miracidium ini kemudian akan mencari dan
menginfeksi inang perantara berupa siput Oncomelania hupensis yang hidup di dalam air atau
tempat lembab di tepi danau. Siput ini, Oncomelania hupensis var. lindoensis, bersifat
endemik di Danau Lindu. Setelah hidup beberapa saat dalam tubuh inang perantara ini, ia akan
keluar dan berubah menjadi fase cercaria yang akan berenang dalam air mencari inang baru,
bisa manusia atau mamalia yang berada di air seperti rusa dsb. Demkianlah daur hidup cacing
Schistosoma itu sebagaimana dapat diilustrasikan dalam Gambar 9. Penyakit schistomiasis ini,
yang sering disebut juga sebagai demam Lindu, menjadi perhatian para ilmuwan kedokteran,
karena sifatnya yang endemik. Korban yang terserang penyakit ini mungkin masih bisa hidup
bertahun-tahun setelah pertama kali terinfeksi cacing parasit ini tetapi akan membuatnya terus
semakin lemah, dan banyak yang kemudian meninggal karena kelelahan yang berlarut-larut
atau rentan terserang penyakit lain karena daya tahan tubuh yang sudah sangat rapuh. Berbagai
upaya telah dilaksanakan untuk menangani penyakit endemik ini, baik dengan pengobatan
maupun dengan perbaikan lingkungan dan perilaku masyarakat, yang tampaknya belakangan ini
sudah menunjukkan hasil yang membaik.
144
RUJUKAN
Arif,
A. & A. Sodikn. 2012. Schistosomiasis, penyakit kuno di Lore Lindu.
(health.kompas.com)
Lukman & Ridwansyah. 2003. Kondisi daerah tangkapan dan ciri morfometri Danau Lindu.
Oseanologi & Limnologi Indonesia 35: 11-20.
Lukman, 2005. Distribusi spasial zooplankton di Danau Lindu, dan beberapa faktor yang
mempengaruhi kelimpahannya. J. Tek. Lingk. P3TL – BPPT. 6 (2): 378-384.
Lukman. 2007. Danau Lindu. Keteduhan yang Merindu. LIPI Press, Jakarta: 61 pp
Sawestri, S., Samuel & N. K. Suryati. 2013. Composition and diversity of phytoplankton in
Lake Lindu, Central Sulawesi. 4th International Conference on Biology, Environment
and Chemistry. IPCBEE vol. 58 (2013). LACSIT Press Singapore.
Suryati, N. K., Samuel & S. Sawestri. 2013. Struktur komunitas makrozoobentos Danau Lindu
Sulawesi Tengah. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MLI, Cibinong 3 Desember
2013: 150 – 158
Whitten, T., M. Mustafa & G. S. Hendersen. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada
Univesity Press, Yogyakarta: 777 pp.
145
21. DANAU LIMBOTO
D
anau Limboto terletak di bagian tengah Provinsi Gorontalo, di jazirah utara
Pulau Sulawesi. Danau ini berada dalam DAS (Daerah Aliran Sungai) Limboto
dengan posisi geografis antara 122° 42‘ 0.24” – 123° 03‘ 1.17” Bujur Timur
dan antara 00° 30‘ 2.035” – 00° 47‘ 0.49‖” Lintang Utara. Areal danau ini berada pada dua
wilayah adminstratif yaitu + 30 % di wilayah Kota Gorontalo dan + 70 % di wilayah
Kabupaten
Gorontalo,
dan
dikelilingi tujuh kecamatan.
Data
meteorologi
menunjukan kawasan Danau
Limboto terletak pada daerah
bayang-bayang hujan
yang
dalam
45 tahun terakhir
menunjukkan rerata sebesar 1.426
mm per tahun. Curah hujan
bulanan lebih kecil dari 100 mm
(bulan kering) terjadi selama
tiga bulan yaitu pada bulan
Gambar 1. Peta lokasi dan citra satelit Danau Limboto
Agustus,
September
dan
Oktober, sedangkan curah hujan
di atas 100 mm (bulan basah) terjadi selama sembilan bulan, yaitu bulan Januari-Juli dan bulan
November - Desember.
Gambar 2. Berbagai sudut tampilan Danau Limboto yang semakin dangkal.
146
Air yang masuk ke Danau Limboto bersumber dari air hujan yang langsung jatuh ke
danau dan air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk ke danau.
Sungai-sungai yang mengalir dan bermuara ke Danau Limboto terdapat sebanyak 23 sungai
diantaranya Aloe, Marisa, Meluopo, Biyonga, Bulota, Talubongo, Bolango, Pohu, Ritenga,
Topodu. Anak sungai yang terbesar adalah sungai Alo Molalahu dan Sungai Pohu. Dari seluruh
sungai tersebut hanya satu sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu sungai Biyonga.
Gambar 3 . Peta batimetri (kedalaman) Danau Limboto. (Puslit Limnologi LIPI, 2011)
Luas Danau Limboto dan kedalamannya telah mengalami perubahan yang signifikan
sesuai dengan perjalanan waktu. Pada tahun 1932 misalnya, luas danau sekitar 7.000 ha dengan
kedalaman rata-rata sebesar 30 m. Pada tahun tahun 1961 luasnya turun menjadi 4.250 ha
dengan kedalaman rata-rata menjadi 10 m. Kemudian pada tahun 2008 luasnya sudah menjadi
3.000 ha dengan kedalaman rata-rata tinggal 2,5 m. Pendangkalan yang terus menerus terjadi
dari waktu ke waktu telah menimbulkan kekhawatiran akan nasib danau ini di masa depan.
Apabila kecenderungan ini berjalan terus maka diperkirakan dalam beberapa dekade ke depan
danau ini sudah akan lenyap, berubah menjadi daratan. Peta batimetri (kedalaman) Danau
Limboto yang disusun oleh Puslit Limnologi LIPI (2011) dicantumkan dalam Gambar 3.
Menarik untuk menyimak kajian mutakhir yang dilaksanakan oleh Trisakti & Nugroho
(2012) dalam pemantauan perubahan kualitas Danau Limboto selama periode 1989-2010
dengan menggunakan citra satelit multitemporal. Dari kajian itu dapat ditunjukkan bahwa
penyusutan luas muka air danau selama kurun 1989-2002 terjadi dengan rata-rata penyusutan
sebesar 0,48 km2/tahun. Sedangkan penyusutan luas permukaan air danau terjadi sangat
signifikan pada kurun 2002-2010, dengan rata-rata penyusutan sebesar 1,29 km2/tahun (Gambar
4).
Selain perubahan luasan permukaan air, perlu juga diperhatikan pertambahan sebaran
vegetasi air di Danau Limboto. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4 terlihat bahwa penyebaran
147
vegetasi air (seperti eceng gondok), semakin bertambah luas dari tahun ke tahun. Pada tahun
2010, vegetasi air sudah menyebar sampai ke bagian tengah Danau Limboto.
Gambar 4. Batas permukaan air Danau Limboto selama periode 1989-2010.
Penyebaran vegetasi air (eceng gondok) terlihat berwarna putih dalam citra. Pada
tahun 2010, vegetasi air sudah menyebar sampai ke bagian tengah danau (Trisakti
& Nugroho (2012)
Gambar 5. Gulma eceng gondok di Danau Limboto telah tersebar meluas hingga mengepung
kegiatan perikanan tangkap dan budidaya dengan Karamba Jaring Apung.
148
Kualitas air merupakan faktor penting dalam pengelolaan lingkungan perairan danau.
Salah satu penelitian mengenai kualitas perairan Danau Limboto telah dilaksanakan oleh
Aisyah & Subehi (2012) yang pada kesimpulannya menunjukkan bahwa kualitas perairan di
danau ini masih memenuhi atau menunjang untuk kehidupan biota air termasuk untuk
pengembangan perikanan. Beberapa cuplikan data tentang Danau Limboto disampaikan dalam
Tabel 1.
Kualitas perairan Danau Limboto (Aisyah & Subehi, 2012)
Parameter
Suhu
Padatan tersuspensi (TSS)
Kecerahan
pH
Oksigen terlarut (DO)
N-NO3
P-PO4
Klorofil-a
Meskipun kualitas air danau
masih cukup baik, namun perlu
diwaspadai faktor-faktor yang berpotensi
menurunkan kualitas air ini, misalnya
perikanan dengan karamba apung yang
menggunakan pakan berlebihan (over
feeding) yang dapat menurunkan kualitas
air. Demikian pula pencemaran yang bisa
bersumber dari pemukiman, pertanian
dan sedimentasi yang bersumber dari
daratan sekitar danau.
Dari
aspek
keanekaragaman
hayati, Danau Limboto dihuni oleh
beragam flora dan fauna, baik yang hidup
di perairan maupun di sepanjang
sempadan pantainya. Flora perairan yang
hidup di Danau Limboto sedikitnya
terdiri atas sembilan jenis yaitu eceng
gondok (Eichornia crassipes), kangkung
air
(Ipomoea
aquatica,
Ipomoea
crassicaulis), rumput air (Panicum
repens, Scirpus mucronatus), kapu-kapu
(Pistia stratiotes), ganggeng (Hydrilla
verticalata), teratai (Nelumbium sp.)
dan kiambang (Azolla pinnata). Di antara
flora air ini, eceng gondok merupakan
gulma atau tumbuhan pengganggu yang
Satuan
o
C
mg/l
cm
mg/l
mg/l
mg/l
mg/m3
Kisaran
29,5-30,0
26-41,5
48-68,5
7,09-7,67
3,15-4,97
0,083-0,128
0,009-0,036
3.141-21.252
Gambar 6. Danau Limboto pada saat mengering
dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan
penggembalaan ternak.
149
telah berkembang sangat pesat dan telah menutupi bagian yang cukup besar danau ini, hingga
mengganggu kegiatan perikanan di danau ini.
Ikan yang hidup di Danau Limboto tercatat
sedikitnya sebanyak 17 spesies, yang terdiri dari
sembilan spesies ikan asli dan delapan spesies ikan
introduksi. Ikan asli di danau ini antara lain ikan
payangka (Ophiocora porocephala) dan manggabai
(Glossogobius giuris) yang kondisinya semakin
terdesak dengan dimasukkannya ikan introduksi
seperti ikan mujaer (Oreochromis mossambicus),
nila (Oreochromis niloticus), mas (Cyprinus
carpio), sepat siam (Trichogaster pectoralis), tawes
(Barbonymus gonionotus), nilem (Osteochilus
hasselti). Ikan-ikan yang diintroduksi ini
dimaksudkan untuk menunjang produksi perikanan
di danau ini. Untuk pengendalian gulma eceng Gambar 7. Ikan payangka (Ophiocora
porocephala) dan manggabai
gondok
(Eichornia
crassipes)
telah
(Glossogobius giuris), ikan asli
dipertimbangkan pula untuk mengintroduksi ikan
Danau Limboto
koan /grass carp (Ctenopharyngodon idella).
Namun di lain pihak, harus diperhatikan bahwa ikan yang diintroduksi itu berpotensi untuk
mendesak dan mengancam kelestarian
ikan-ikan asli.
Danau Limboto merupakan habitat
yang sering dikunjungi oleh burungburung migran yang melakukan perjalanan
jarak jauh antar benua. Burung-burung ini
merupakan burung-burung air yang secara
musiman
melaksanakan
perjalanan
panjang. Menjelang musim dingin di
belahan bumi utara, burung-burung ini
mulai bermigrasi ke selatan menuju daerah
yang hangat. Perjalanan jauh itu bisa
dimulai dari pantai di Cina di utara sampai
ke Australia di selatan. Sebaliknya bila
musim dingin di belahan bumi selatan,
maka
burung-burung
ini
kembali
bermigrasi ke utara melintasi Indonesia.
Oleh sebab itu banyak danau-danau di
Indonesia merupakan tempat persinggahan
Gambar 8. Burung-burung migran penjelajah
burung-burung
migran
ini
untuk
antar benua yang sering singgah di Danau
beristirahat mencari makan sebelum
Limboto. Atas: gagang bayam timur
meneruskan perjalanan panjangnya.
(Himantopus leucocephalus). Bawah: trinil
Di Danau Limboto, tercatat
pantai (Actitis hypoleucos)
sebanyak 13 spesies burung migran yang
150
sering berkunjung, antara lain terik asia oriental (Glareola maldivarum), ibis rokoroko
(Plegadis falcinellus), berkik kembang besar (Rostratula benghalensis), gajahan penggala
(Numenius phaeopus) kedidi ekor tajam (Calidris acuminata), trinil pantai (Actitis hypoleucos).
Burung lainnya yakni gajahan kecil (Numenius minutus), gagang bayam (Himantopus
leucocephalus), cerek pasir besar (Charadrius leschenaultii), trinil semak (Tringa glareola),
cerek asia (Charadrius veredus), dara laut kumis (Chlidonias hybridus) dan trinil pantai (Actitis
hypoleucos).
Indonesia termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Ramsar yang
merupakan kesepakatan internasional untuk menjaga kelestarian lahan basah (wet land) beserta
flora dan faunanya, terutama spesies-spesies burung air. Oleh karena itu ekosistem Danau
Limboto sebagai salah satu lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional perlu
mendapat perhatian dalam pengelolaan / pemanfaatannya agar fungsinya sebagai habitat burung
air dapat dipertahankan.
Gambar 9. Danau Limboto menyediakan berbagai kekayaan alam yang dapat
dikembangkan untuk mendukung pariwisata.
Danau Limboto mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata. Danau
ini mempunyai kekayaan alam yang dapat dinikmati oleh wisatawan antara lain dengan
mengunjungi dan menikmati keindahan panorama alamnya, hamparan teratai dan eceng gondok
yang berbunga, berperahu keliling danau, memancing ikan, memotret kehidupan burung-burung
air yang banyak terdapat disini, atau mengunjungi tempat kegiatan nelayan setempat.
151
Meskipun Danau Limboto mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan
dalam berbagai aspek, namun terdapat berbagai masalah yang dihadapi sebagai tantangan.
Beberapa pokok masalah yang mengemuka dan perlu mendapat perhatian untuk lebih menjamin
kelestarian lingkungan di kawasan ini disarikan sebagai berikut:
1. Kerusakan Daerah Tangkapan Air
a. Penataan ruang
b. Perubahan fungsi lahan
c. Pembalakan liar (illegal logging), kebakaran hutan dan lahan
2. Kerusakan kawasan sempadan danau
3. Kualitas perairan
a. Pencemaran air dan eutrofikasi
b. Sedimentasi
c. Pertumbuhan eceng gondok
4. Pemanfaatan air danau
5. Risiko bencana: banjir .
Sehubungan dengan hal tersebut di atas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
telah menyusun dokumen penting mengenai Rencana Aksi Tindak untuk Danau Limboto yang
perlu ditangani lintas instansi sebagai salah satu prioritas nasional dalam penyelamatan danaudanau Indonesia (KLH, 2011).
RUJUKAN
Aisyah, S. & L. Subehi. 2012. Pengukuran dan evaluasi kualitas air dalam rangka mendukung
pengelolaan perikanan di Danau Limboto. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI,
Tahun 2012.
Hasim, A. Sapei, S. Budidharsono & Y. Wardiatno. 2012. Analsia status keberlanjutan untuk
pengembangan pengelolaan pada Danau Limboto Provinsi Gorontalo. Prosiding
Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional.
Mano, D. B. 2015. 13 Jenis burung migran singgah di Limboto. antaranews.com.
Puslit Limnologi LIPI. Danau Limboto. (limnologi.lipi.go.id)
Suwargana, N. & Susanto. 2012. Dampak musim hujan terhadap pola sebaran TSM (Total
Suspended Matter) di Danau Limboto Gorontalo menggunakan data Landsat-TM.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Trisakti, B. & G. Nugroho. 2012. Pemantauan perubahan kualitas danau selama periode 19902011 menggunakan citra satelit multitemporal. Prosiding Seminar Nasional Limnologi
VI Tahun 2012.
Warsa, A., Krismono & L. M. Astuti. 2012. Evaluasi kesesuaian habitat grass carp
(Ctenopharyngodon idella) untuk pengendalian eceng gondok (Eichornia crassipes) di
Danau Limboto. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
152
Yulianti, M. & D. Daruati. 2012. Prediksi erodibilitas dan pengaruh pedogenesis tanah terhadap
sedimentasi di DAS Limboto. Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2012.
153
22. DANAU TONDANO
N
ama Tondano mempunyai makna yang penting bagi masyarakat Minahasa
yang menghuni jazirah paling utara Pulau Sulawesi. Menurut bahasa daerah
setempat, nama Tondano bermakna Orang Danau. Selain itu nama Tondano
melekat pula pada berbagai atribut Minahasa lainnya, misalnya Danau Tondano, Sungai
Tondano, DAS (Daerah Aliran Sungai) Tondano, Sub-DAS Tondano, dan juga kota Tondano,
yang menjadi nama ibukota Kabupaten Tondano. Tak berlebihan jika Danau Tondano dan
sekitarnya diidentikkan sebagai pusat budaya Minahasa. Danau ini terletak sekitar 36 km
sebelah selatan dari kota Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Tondano, Provinsi Sulawesi Utara
Secara adminisratif DAS Tondano menempati sebagian wilayah kabupaten Minahasa
(10 kecamatan), Kota Tomohon (satu kecamatan) dan sebagian kota Manado (satu kecamatan).
Luas DAS Tondano adalah sekitar 54.775 ha. DAS Tondano berbatasan dengan DAS Tumpaan
di sisi kirinya, DAS Ratahan Pantai di sisi kanan, dan di sisi utara bagian mendekati ke hilirnya
berbatasan dengan DAS Likupang. DAS Tondano sebenarnya terbagi lagi menjadi empat Sub
154
DAS, yaitu Sub DAS Tondano, Sub DAS Tikala, Sub DAS Noongan, dan Sub DAS Klabat.
Danau Tondano sendiri berada dalam Sub DAS Tondano (Gambar 2).
DAS Tondano begitu kaya akan badan
air. Selain Danau Tondano, sungai-sungai
pemasok air danau sangat banyak. Sungaisungai kecil yang mengisi Danau Tondano,
mencapai 35 sungai (Gambar 3). Namun banyak
di antara sungai-sungai tersebut merupakan
sungai intermittent atau sungai musiman yang
hanya sewaktu-waktu saja teraliri air yakni pada
musim hujan sedangkan pada msim kemarau
sungai itu kering. Sungai utama yang masuk ke
Danau Tondano adalah Sungai Panasen. Di
samping itu ada juga Sungai Noongan, Sungai
Wuliling, dan lainnya.
Sungai terbesar di DAS Tondano adalah
Sungai Tondano. Sungai Tondano mengalirkan
air (outlet) dari Danau Tondano ke laut. Dalam
perjalanannya, Sungai Tikala bergabung dengan
Sungai Tondano, kemudian bermuara ke Teluk
Manado di Laut Sulawesi.
Dilihat dari proses terbentuknya, tedapat
dua versi untuk menjelaskan asal mula
terjadinya Danau Tondano. Pada versi pertama,
Gambar 2. Peta DAS (Daerah Aliran
danau ini terbentuk sebagal hasil letusan gunung
Sungai) Tondano (dephut.go.id)
api purba yang membentuk danau kawah (crater
lake), sedangkan versi kedua menjelaskan
bahwa danau ini terjadi karena terbendungnya sistem drainase sebagal akibat geantiklinal
Minahasa yaitu munculnya dua gunung api Soputan dan Mahawu.
Gambar 3. Sebaran aliran sungai di SubDAS Tondano (Kartika et al. 2012)
155
Gambar 4. Suasana pantai Danau Tondano (beritakawanua.com & indophoto.com)
Iklim di daerah Danau Tondano adalah iklim katulistiwa, dicirikan oleh suhu yang
tinggi dengan variasi musiman kecil, kelembaban yang tinggi sepanjang tahun, dan dua arah
angin musim utama dengan kecepatan angin pada umumnya rendah. Suhu udara tahunan ratarata adalah 32oC pada siang hari dan 24oC pada malam hari. Curah hujan rata-rata bervariasi
antara 1500 mm sampai dengan 2800 mm per tahun. Puncak curah hujan bulanan terjadi pada
bulan April/Mei, dan puncak berikutnya umumnya terjadi pada bulan November. Musim
kemarau dengan curah hujan <100 mm berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan
September. Bulan Februari juga merupakan bulan dengan curah hujan yang rendah setelah
156
mengalami puncaknya yang kedua pada bulan November akan tetapi tidak sampai di bawah 100
mm.
Danau Tondano berada pada ketinggian ± 600 m di atas permukaan laut. Luas danau
bervariasi antara 44 km2 pada musim kemarau dan 48 km2 pada musim penghujan dengan
keliling danau kurang lebih 35 km. Peta batimetri (kedalaman) Danau Tondano disajikan dalam
Gambar 5, yang menunjukkan bagian danau yang terdalam terdapat di cekungan bagian
selatan.
Gambar 5. Peta batimetri (kedalaman) Danau Tondano.
Tabel 1. Luas menurut selang kedalaman Danau Tondano
Selang Kedalaman
0-5
5-10
10-15
15-20
20-24
Luas (ha)
889,81
1.026,97
1.584,00
1.153,65
0,120
157
Danau Tondano mengalami pendangkalan yang signifikan dalam beberapa dekade
terakhir yang terutama disebabkan karena erosi dan sedimentasi dari kawasan lahan sekitar
danau . Pada tahun 1934 misalnya, kedalaman maksimum Danau Tondano adalah 40 m, pada
tahun 1987 tinggal separuhnya atau sedalam 20 m, sedangkan pada tahun 2000 kedalamannya
telah menyusut menjadi hanya 14 m (Tabel 2). Erosi dan sedimentasi ini terjadi karena
penebangan dan pengubahan fungsi hutan di bagian hulu dan berbagai aktivitas pertanian,
pemukiman dan pariwisata di sekitar danau yang tidak mempertimbangkan aspek konservasi.
Tabel 2. Perubahan kedalaman Danau Tondano
Tahun
Kedalaman (m)
1934
40
1974
28
1983
27
1987
20
1992
16
1996
15
2000
14
UNSRAT (2000) memprediksi erosi yang terjadi di bagian hulu DAS Tondano berkisar
28,86 – 63,00 ton/ha/tahun. JICA (2001) mengemukakan angka yang lebih kecil dari
UNSRAT (2000) yaitu sebesar 12,5 – 27,6 ton/ha/tahun. Meskipun demikian, JICA (2001)
mengindikasikan bahwa 9% – 45% dari daerah ini memiliki laju erosi yang telah melebihi nilai
yang diperbolehkan.
Seiring dengan terjadinya pendangkalan, luas Danau Tondano juga semakin menyempit.
Pada tahun 1976 misalnya, luas danau adalah 5.600 ha, dan pada tahun 1996 menjadi 4.400 ha.
Ini berarti telah terjadi proses penyempitan seluas 1.200 ha selama 20 tahun atau sebesar 60
ha/tahun. Laju sedimentasi yang tinggi dan makin menyempitnya luasan danau telah
menyebabkan berbagai pihak semakin risau akan masa depan danau ini, apakah danau ini akan
lenyap dan mejadi daratan dalam beberapa dekade ke depan?
Masalah lain yang dihadapi di Danau Tondano adalah masalah eutrofikasi atau
penyuburan perairan. Limbah pemukiman, pertanian dan industri telah menyumbangkan banyak
hara (nutrient) terutama fosfat dan nitrat yang masuk ke dalam danau. Di samping itu teknik
perikanan dengan menggunakan KJA (Karamba Jaring Apung) juga memberi kontribusi yang
signifikan, karena pemberian pakan yang berlebihan (over feeding) menyebabkan banyak bahan
pakan yang berlebihan mengendap dan terurai menjadi sumber hara yang tinggi. Pengayaan
(enrichment) hara ini di perairan telah memicu maraknya pertumbuhan flora akuatik di danau
seperti eceng gondok (Eichornia crassipes). Eceng gondok sebagai tumbuhan terapung telah
menutupi luasan yang cukup besar di Danau Tondano, diperkirakan mencapai sekitar 20 % luas
danau (Sittadewi, 2008).
Pengendalian eceng gondok ini tidaklah mudah karena kecepatan pertumbuhannya yang
sangat tinggi. Kajian Kartika et al. (2012) dengan teknik satelit penginderaan jauh misalnya,
menunjukkan bahwa dari tahun 2003 sampai 2011 luasan tutupan eceng gondok sudah berlipat
menjadi lima kalinya. Bertambahnya penutup lahan tersebut memberi dampak terhadap
turunnya kualitas Danau Tondano.
158
Gambar 6. Atas: Tumbuhan air eceng gondok (Eichornia crassipes)
menutupi perairan yang luas di Danau Tondano (wordpress.com). Bawah:
Usaha pengendalian eceng gondok (ciputranews.com).
Maraknya pertumbuhan eceng gondok di Danau Tondano telah mendorong berbagai
kegiatan untuk pengendaliannya, misalnya dengan melibatkan masyarakat untuk mengangkat
eceng tersebut dari danau, atau memanfaatkannya sebagai sumber daya yang dapat
dimanfaatkan. Bagaimanapun pengendalian eceng gondok tentu bukanlah hal yang mudah
mengingat kecepatan tumbuh eceng gondok yang sangat cepat di lingkungan yang kaya akan
hara.
Perikanan di Danau Tondano di laksanakan oleh nelayan dengan menggunakan alat
tangkap seperti jala, dan alat tangkap lainnya. Tetapi yang lebih pesat perkembangannya
belakangan ini adalah budidya dengan menggunakan KJA (Karamba Jaring Apung). Di tahun
2010 saja jumlah jaring apung di danau ini sudah mencapai sekitar 10.000 unit, yang menutupi
sekitar sekitar 2,2 % luas danau. Hal ini akan menyebabkan makin turunnya kualitas air danau.
Danau Tondano secara umum merupakan tempat hidup yang baik bagi beragam jenis
ikan. Ikan-ikan yang hidup di danau ini antara lain gabus, mas, mujaer, nila, payangka, gurame,
sepat, nilem, tawes, betok, lele, koan. Ikan payangka merupakan ikan endemik di danau ini.
159
Pada tahun 1980, produksi payangka (Ophieleotris aporos) mencapai sekitar 35 % dari seluruh
produksi ikan dan mendominasi hasil tangkapan di Danau Tonado. Total tangkapan bisa
mencapai lebih dari 2000 ton ikan (1998), yang berasal dari KJA (Karaamba Jaring Apung)
sebesar 1357 ton dan dari perikanan tradisional sebesar 776 ton. Kegiatan perikanan dengan
KJA berkembang secara signifikan sejak tahun 1990.
Gambar 7. Perikanan tangkap dan budidaya dengan karamba di Danau
Tondano. (nationalgeographic.co.id & antarafoto.com)
Salah satu potensi Danau Tondano adalah dalam bidang pariwisata. Kegiatan pariwisata
di Danau Tondano lebih banyak berada di pesisir barat danau. Kawasan wisata Remboken
terkenal sebagai lokasi yang ideal untuk menikmati terbitnya dan naiknya matahari pagi. Di
samping itu berbagai fasilitas kegiatan wisata air juga tersedia, pengunjung dapat pula
menikmaati lingkungan danau dengan berlayar menggunakan perahu motor.
Gambar 8. Kawasan wisata Remboken di pantai barat Danau Tondano
(panoramio.com)
160
Fungsi lain Danau Tondano yang tak kalah pentingnya adalah sebagai pemasok air baku
untuk keperluan pemukiman dan juga untuk pertanian dan industri. Disamping itu air dari
danau ini yang keluar melalui Sungai Tondano dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA).
Gambar 9. PLTA Tonsea memanfaatkan aliran air dari Danau Tondano.
(manado.tribunnews.com)
PT PLN (Pesero) menggunakan jasa lingkungan Danau Tondano dengan debit air ratarata 9,5 m3/detik untuk menghasilkan tenaga listrik melalui tiga PLTA, yaitu PLTA Tonsea
Lama (dibangun tahun 1950) dengan kapasitas 15 MW, PLTATanggari Satu (tahun 1987)
dengan kapsitas 18 MW, dan PLTA Tanggarai Dua (1998) dengan kapasitas 19 MW. Dengan
total produksi sekitar 51 MW, kota-kota besar di bagian timur Provinsi Sulawesi Utara dapat
dicukupi kebutuhan listriknya dari PLTA ini. Produksi listrik memberi kontribusi yang
signifikan terhadap perekonomian masyarakat luas.
RUJUKAN
Kartika, T., Parsa, I. M. & S. Harini. 2012. Analisis perubahan penutup lahan di daerah
tangkapan air Sub DAS Tondano terhadap kualitas Danau Tondano menggunakan data
satelit penginderaan jauh. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI, Tahun 2012.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional.
Nugroho, S. P. 2005. Analisis dan evaluasi kerusakan lahan di Daerah Aliran Sungai Danau
Tondano, Provinsi Sulawesi Utara. Alami, Vol.10 No. 1: 62- 72.
Puslit Limnologi LIPI. Profil Danau Tondano. (danau.limnologi.lipi.go.id)
Sittadewi, E. H. 2008. Fungsi strategis Danau Tondano, perubahan ekosistem. Jurnal
Teknologi Lingkungan vol.9, No.1: 59-66.
161
Sudarmadji, S. Wantasen & S. Suprayogi. 2012. Dampak penggunaan lahan daerah tangkapan
dan pemanfaatan perairan danau pada eutrofikasi dan keberlanjutan Danau Tondano,
Provinsi Sulawesi Utara. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI, Tahun 2012.
Sudarso, J., Imroatussholikhah & Muit. 2015. Komunitas makrozoobentos di dua tipe
mikrohabitat Danau Tondano. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2015 1(3) 329340.
Sumapapua Meneg LH. 2016. DAS Tondano, Pusat budaya Minahasa yang terancam.
(konservasidanautondano.wordpress.com).
Watansen, S. Kajian tingkat trofik Danau Tondano di Provinsi Sulawesi Utara.
(konservasidanautondano.wordpress.com)
162
23. DANAU MOAT
D
anau Moat terletak terutama di Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang
Mongondow Timur, Provinsi Sulawesi Utara, sekitar 20 km ke arah timur dari
Kotamobagu. Sebagian kecil danau di bagian utara termasuk kecamatan
Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan. Posisi geografisnya kurang lebih pada kordinat
0o44’37,64” Lintang Utara, dan 124o27’14,41” Bujur Timur.
Istilah “moat” berasal dari kata dalam bahasa Mongondow “mo’oat” yang berarti “tanah
yang timbul di tengah air”. Dalam kenyataannya memang di danau ini terdapat suatu pulau
kecil bernama Pulau Mintu yang merupakan ciri khas danau ini.
Dilihat dari asal usul kejadiannya, Danau Moat tergolong dalam danau vulkanik.
Letusan gunung api purba di kawasan ini menyebabkan terjadinya kawah yang kemudian terisi
air hingga menjadi danau.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Moat di Sulawesi Utara.
Danau Moat merupakan danau kedua terbesar di Provinsi Sulawei Utara, yakni setelah
Danau Tondano. Dalam beberapa literatur disebutkan luas danau yang beragam dari semula
1.050 ha, kemudian 950 ha. Namun bila merujuk pada peta yang diakses lewat Google Map
yang terakhir dapat diperoleh petunjuk bahwa danau ini mempunyai luas sekitar 639 ha.
Danau ini berada pada ketinggian (elevasi) sekitar 1.000 m di atas permukaan laut.
Beberapa data mengenai Danau Moat disampaikan dalam Tabel 1.
163
Gambar 2. Panorama Danau Moat dan Pulau Mintu (jemmysphoto.blogspot.co.id/)
Gambar 3 . Kiri: Citra satelit Danau Moat (Google Map). Kanan: Peta batimetri
(kedalaman) Danau Moat (Whitten et al. 1987).
164
Danau Moat mempunyai panjang maksimum 4,82 km, dan lebar maksimum 2,26 km,
dan keliling danau 12,73 km, sedangkan luasnya sekitar 6,39 km2 (639 ha). Danau ini
mempunyai kedalaman maksimum sekitar 24 m yang terdapat pada cekungan di bagian timur
danau (Gambar 3). Di bagian barat danau terdapat satu pulau kecil, Pulau Mintu, yang
bentuknya hampir merupakn lingkaran dengan garis tengah sekitar 128 m, dengan keliling
pulau 363 m.
Tabel 1. Beberapa ciri Danau Moat
Dimensi
Besaran
Ketinggian di atas permukaan laut
± 1.000 m (?)
Panjang maksimum
4,82 km
Lebar maksimum
2,26 km
Keliling
12,73 km
Luas
6,39 km2 (639 ha)
Sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Utara maka secara umum kawasan
Danau Moat berikilim tropis yang dipengaruhi angin muson. Pada bulan November sampai
bulan April bertiup angin barat yang menurunkan hujan. Sebaliknya angin tenggara yang
bertiup dari bulan Mei hingga Oktober mendatangkan musim kemarau. Data meteorologi di
lokasi terdekat yakni di Kotamobagu menunjukkan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Januari dan terendah pada bulan Mei.
Danau Moat termasuk dalam Cagar Alam Gunung Ambang, yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1978. Cagar Alam ini, seluas 8.638 ha mempunyai arti
penting karena merupakan salah satu representasi kawasan Wallacea, kawasan zoogeografi
antara Asia dan Australia. Di cagar alam ini terdapat berbagai fauna endemik Sulawesi seperti
anoa (Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa babyrussa), kera hitam/ yaki (Macaca nigra).
Cagar alam ini juga merupakan surga bagi pengamat burung (bird watchers), salah satu spesies
langka yang paling dicari adalah burung hantu cinnabar hawk owl (Ninox ios). Pengunjung
Cagar Alam Gunung Ambang biasanya juga sekaligus mengunjungi Danau Moat.
Danau Moat mempunyai fungsi yang penting bagi Provinsi Sulawesi Utara, antara lain
sebagai sumber air bagi pemukiman, untuk pertanian, perikanan, pariwisata dan juga untuk
pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Di bidang perikanan diperoleh keterangan dari Dinas Perikanan dan Kelautan
Kotamobagu (Suryati et al. 2011) bahwa pada awalnya hanya terdapat dua jenis ikan di danau
ini, yaitu ikan gabus (Channa striata) dan sogili/ sidat (Anguilla sp.), kemudian pada bulan
Januari 1973, jenis ikan yang ditebar di danau ini adalah ikan mas (Cyprinus carpio), kemudian
pada bulan Januari 1987 diintroduksi juga ikan mujaer (Oreochromis mossambicus), nila
(Oreochromis niloticus) dan mas, selanjutnya pada tahun 1990 diintroduksi lagi tiga jenis ikan
tersebut dengan rata-rata per tahun 100.000 ekor. Introduksi ikan nilem (Osteochilus vittatus),
lele dumbo (Clarias batrachus) dan bitik (Xiphophorus helleri) tidak diketahui dengan pasti
kapan dilakukan. Hasil tangkapan nelayan menunjukkan komposisi hasil tangkapan yang
didominasi oleh ikan nilem, nila dan mas.
165
Berdasarkan penelitian Samuel & Makmur (Faperta UGM) di Danau Moat, nilai
parameter fisika-kimia dan produktivitas primer Danau Moat termasuk dalam klasifikasi danau
oligo-mesotrofik yaitu danau dengan tingkat kesuburan rendah-sedang. Potensi produksi ikan di
Danau Moat tergolong rendah yaitu berkisar antara 5,000 – 10,000 kg/ha/tahun dengan nilai
rata-rata 9,651 kg/ha/tahun.
Gambar 4. Danau Moat merupakan salah satu objek wisata yang terletak dekat
Kotamobagu (manado.tribunnews.com)
Kondisi alam Danau Moat dan sekitarnya berpotensi untuk menunjang kegiatan
pariwisata. Udara yang sejuk, disertai pemandangan danau yang indah merupakan asset yang
penting untuk dikembangkan. Demikian pula perairan danaunya sendiri membuka peluang
untuk berbagai kegiatan wisata air. Namun tampaknya masih banyak kendala yang dihadapi
antara lain berbagai prasarana yang belum memadai. Prasarana jalan dan fasilitas penginapan
dan prasrana wisata air pun masih terbatas. Tetapi Pemda setempat telah mengambil langkahlangkah untuk mengatasi masalah ini untuk mendorong pembangunan pariwista di daerah ini..
Air dari Danau Moat mempunyai peran penting dalam pembangkitan energi listrik. Air
dari danau yang dialirkan lewat Sungai Poigar dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga
Air (PLTA). Pembangunan PLTA Poigar II yang dimulai tahun 2014 direncanakan akan
menghasilkan listrik dengan kapsitas 2x15 MW yang dapat memasok kebutuhan listrik untuk
daerah Minahasa Selatan dan sekitarnya , hingga akan mendukung perkembangan ekonomi di
kawasan ini.
166
RUJUKAN
Riley, J. 2000. Gunung Ambang Birdwatching Areas: Gunung Ambang Nature Reserve, North
Sulawesi. (http://orientalbirdclub.org/gunung-ambang)
Samuel & S. Makmur. Potensi produksi ikan dan kualitas air Danau Mooat Kabupaten Bolaang
Mongondow, Sulawesi Utara..Abstrak Bidang Sumberdaya Perikanan, Faperta UGM.
Tauladan, T. 2012. Cagar Alam Gunung Ambang. (wisatamelayu.com)
Whitten, T., M. Mustafa & G. S. Hendersen. 2002. The Ecology of Sulawesi. The Ecology of
Indonesia Series Volume IV. Periplus Edition 2002: 754 hlm.
167
24. DANAU RAWA AOPA
D
anau Rawa Aopa terletak di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe
Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara dan merupakan bagian dari Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Taman ini berjarak kurang lebih
120 km ke arah barat-daya dari Kotamadya Kendari, dengan letak geografis 4o00 – 4o36’
Lintang Selatan, dan 121o46’ – 122o09” Bujur Timur. Dulu kawasan ini terdiri atas dua daerah
konservasi yang terpisah yakni Suaka Margasatwa Rawa Aopa seluas 55.560 ha dan Taman
Buru Gunung Watumohai seluas 50.000 ha. Kemudian keduanya digabung menjadi satu dengan
nama Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.
756/Kpts-11/90 tanggal 17 Desember 1990 dengan luas 105.194 ha. Taman Nasional ini berada
pada ketinggian 0 – 981 m di atas permukaan laut.
Gambar 1. Peta Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), mennjukkan sebaran
tipe ekosistem hutan hujan, rawa, savanna dan mangrove (tnrawku.wordpress.com)
168
Peta umum Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai disajikan dalam Gambar 1, yang
menunjukkan pula bahwa taman nasional ini terdiri atas empat tipe ekosistem utama yakni: a)
hutan hujan dataran rendah, b) savanna, c) mangarove, dan d) rawa. Masing-masing ekosistem
mempunyai ciri yang berbeda.
Gambar 2. Tipe ekosistem di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai: a) hutan
hujan pegunungan dataran rendah; b) savanna; c) mangrove; d) rawa.
Ekosistem hutan hujan pegunungan dataran rendah ini seluas ± 64.569 ha.
Sebagaimana hutan tropis pada umumnya di tempat ini banyak ditumbuhi jenis rotan, liana,
perdu dan herba. Jenis tumbuhan yang mendominasi sangat beragam antara lain kalaero
(Dyospiros malabarica), kulipapo (Vitex copasus), bitti (Vitex pubescens), kolaka (Perinarium
corimbosum), bolongita (Tetrameles nudiflora), kokabu (Anthocephalus cadamba), kayu nona
(Metrosideros petiolata), bayam (Intsia sp), kalapi (Callapia celebica), dan lain-lain.
Sedangkan jenis satwa liar yang ada di ekosistem ini antara lain anoa (Bubalus sp.), babirusa
(Babyrousa babyrussa), kera hitam (Macaca ochreata), podi (Tarsius spectrum), musang
(Macrogalidia musschenbroek), beke/babi hutan (Sus celebensis), burung rangkong (Rhyticeros
cassidix), kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), ayam hutan (Gallus gallus), dan
lain-lain.
Ekosistem padang savanna di taman ini sebelum diintegrasikan ke Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), memang telah ditetapkan sebagai Taman Buru yang
terbuka bagi pemilik ijin/akta berburuyang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian. Luas
padang savanna di TNRAW adalah ± 22.963 ha. Keunikan savanna tersebut lebih pada
komposisi vegetasi yang merupakan asosiasi padang alang-alang (Imperata cylindrica) dengan
169
tumbuhan agel (Corvpha utan), lontar (Borassus flabelifer), bambu duri (Bambusa spinosa),
tipulu (Arthocarpus teysmanil) serta semak belukar. Komposisi tersebut menjadi tempat ideal
bagi satwa seperti burung maleo (Macrocephalon maleo), ayam hutan hijau (Gallus varius),
ayam hutan merah (Gallus gallus), rangkok/julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), merpati
hutan (Ducula luctuosa), kakak tua jambul kuning (Cacatua sulphurea). Selain itu terdapat juga
rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus celebensis), yang sering menjadi objek perburuan.
Ada pula biawak (Varanus salvator), ular sanca (Phyton reticulates) dan anoa dataran rendah
(Bubalus depressicornis).
Ekosistem hutan mangrove membentang sepanjang 24 km di pantai Lanowulu dengan
luas sekitar 6.173 ha. Hutan mangrove merupakan habitat, tempat pemijahan (spawning
ground) dan perkembangan (nursery and feeding ground) berbagai spesies jenis ikan dan
krustasea serta tempat mencari makan berbagai jenis burung air seperti aroweli (Mycteria
cinerea), pecuk ular (Anhinga melanogaster), cangak merah (Ardea purpurea), bangau (Egretta
intermedia), dan juga dari jenis mamalia, seperti anoa (Bubalus depressicornis), babi hutan
(Sus celenbensis) dan rusa (Cervus timonresis). Selain itu ada juga reptil seperti buaya muara
(Crocodylus porosus), biawak (Varanus salvator) dan ular sawah (Python reticulates). Jenis
tumbuhan yang mendominasi diantaranya bakau hitam (Rhizophora mucronata), bakau putih
(Rhizophora apiculata), tongke (Bruguiera gymnorhyza ), tangir (Ceriops tagal), beropa
(Sonnertia alba), unga-unga (Lumnitzera racemosa) dan buli (Xylocarpus granatum).
Ekosistem rawa Taman Nasoinal Rawa Aopa Watumohai memiliki luas ±11.488 ha.
Rawa ini merupakan daerah depresi yang terletak di antara Pegunungan Mendoke, Motaha dan
Makaleleo. Kondisinya selalu tergenang sepanjang tahun, karena menjadi muara beberapa
sungai yang ada.
Gambar 3. Pemandangan umum alam Rawa Aopa (tnrawku.wordpress.com/2013)
Aliran air dari Rawa Aopa mengalir ke arah barat menuju Kabupaten Kolaka dan ke
arah timur menuju Rawa Aopa hilir. Dari Rawa Aopa hilir, air Rawa Aopa bergabung dengan
air dari Sungai Konaweha membentuk Sungai Sampara. Debit dari Rawa Aopa sendiri sangat
dipengaruhi oleh musim, dimana pada musim hujan debitnya cukup tinggi, namun di musim
kemarau debitnya mengalami penurunan.
170
Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan di kawasan ini menunjukkan bahwa
Rawa Aopa lebih merupakan ekosistem rawa gambut tak berhutan (non-forested peat swamp)
yang berbeda dengan kawasan gambut yang umum ditemukan di Sumatra dan Kalimantan.
Whitten et al. (1987) menyebutkan bahwa gambut Rawa Aopa termasuk gambut topogen yang
pembentukannnya terjadi akibat kondisi kawasan yang berada di daerah depresi yang dikelilingi
oleh dataran tinggi, khususnya Gunung Makaleleo. Rawa Aopa bertopografi datar sehingga
aliran air yang terjadi memiliki arus yang lambat. Kondisi ini menyebabkan rendahnya
aerasi/kandungan oksigen dalam air yang diperlukan dalam proses dekomposisi bahan organik
oleh mikroorganisme. Yang terjadi kemudian adalah penumpukan bahan organik yang menjadi
bahan dalam proses pembentukan tanah gambut.
Gambar 4. Beberapa tampilan lingkungan rawa di Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai
Kondisi fisik Rawa Aopa di TNRAW dicirikan oleh kondisi vegetasi yang didominasi
oleh kelas herba rawa yang hidup pada lapisan gambut dengan ketebalan < 4 m. Lapisan
gambut ini kondisinya relatif masih utuh dan baik dimana keberadaannya terlindungi oleh
tutupan tumbuhan air yang mencegah terjadinya pengeringan gambut. Aliran air berwarna gelap
karena membawa koloid tumbuhan, sedangkan pH air rendah sebagaimana tanah gambut pada
umumnya. Tanah gambut di Rawa Aopa diperkirakan telah berumur cukup tua dan membentuk
puncak suksesi ekosistem.
171
Di Rawa Aopa ditemui aneka jenis ikan air tawar, diantaranya adalah gabus (Channa
striata), lele (Clarias batrachus), sepat (Trichogaster spp), karper (Helostoma temminckii),
berubi (Anabas testudineus), dan belut (Monopterus albus). Berbagai jenis burung air (water
fowl) yang dapat ditemui diantaranya bluwok/aroweli (Mycteria cinerea), pecuk ular (Anhinga
melanogaster), cangak merah (Ardea purpurea), bangau (Egretta intermedia), koak merah
(Nyctocorax caledonicus), belibis (Dendrocygna arquata). Berbagai burung migran yang
menjelajah lintas benua secara musiman singgah pula di rawa ini sebelum meneruskan
perjalanan panjangnya. Dari jenis reptilia terdapat buaya (Crocodylus porosus), biawak
(Varanus salvator), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), ular sanca (Phyton reticulatus), ular
hijau, dan ular hitam. Beberapa jenis flora yang dapat ditemui di ekosistem ini diantaranya
teratai, pandan rawa, ilalang.
Pada tahun 2011 Rawa
Aopa telah ditetapkan sebagai Situs
Ramsar (Ramsar Site) ke-1944
seluas 105.194 ha yang merupakan
situs perlindungan lahan basah
sesuai dengan Konvensi Ramsar,
yang pengelolaannya kini di bawah
Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Konvensi Ramsar
merupakan
kesepakatan
internasional yang telah diratifikasi
oleh Indonesia tahun 1991 untuk
konservasi
dan
pemanfaatan
berkelanjutan flora fauna di lahan
Gambar 5 . Burung bluwok/aroweli (Mycteria cinerea) basah (wetland), termasuk perairan
yang
sering disinggahi oleh
di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
burung-burung migran. Rawa Aopa
(tnrawku.wordpress.com)
merupakan kawasan penting bagi
berbagai jenis burung migran antara lain burung bluwok/ aroweli (Mycteria cinerea). Burung
air ini termasuk kategori langka dan dilindungi. Dari data Bird Life International, diperkirakan
populasi spesies ini di seluruh dunia kurang dari 5.500 ekor dengan persebaran utama di
Kamboja, Semenanjung Malaka, dan Indonesia. Diperkirakan Rawa Aopa mendukung populasi
burung bluwok/ aroweli (Mycteria cinerea) sebesar lebih dari 3 % dari populasi dunia. Burung
migran ini di Rawa Aopa kadang-kadang berkumpul dalam kelompok kecil sampai kelompok
besar terdiri dari lebih 100 ekor.
Kekayaan fauna burung di Rawa Aopa menyebabkan Rawa Aopa menjadi surga bagi
para pengamat burung (bird watchers), baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara.
Namun pengunjung atau wisatawan yang akan mengarungi perairan rawa yang luas ini harus
berhati-hati atau perlu pemandu (guide) agar tidak tersesat karena perairan rawa ini banyak
ditumbuhi tumbuhan air, yang dapat merintangi perjalanan dan bisa menyesatkan.
Selain sebagai habitat berbagai biota, Rawa Aopa yang merupakan bagian dari DAS
(Daerah Aliran Sungai) Sampara mempunyai pula peran penting sebagai sumber air bagi
PDAM Kota Kendari, ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara.
172
RUJUKAN
Amhir, A. 2010. Memburu Aroweli di Rawa Aopa. (othervisions.wordpress.com)
Daeng, M. F. 2012. Menanti si Cantik Aroweli di Rawa Aopa. (travel.kompas.com)
Mardiatmo, E. Mengenal Lebih Dekat Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (idrap.or.id)
Ramsar. Rawa Aopa Watumohai National Park. (ramsar.org/rawa-aopa-watumohai-nationalpark)
Sugiarto, D. P. 2013.
Rawa gambut Sulawesi, keunikan yang terlupakan.
(tnrawku.wordpress.com)
Whitten, T., M. Mustafa & G. S. Hendersen. 2002. The Ecology of Sulawesi. The Ecology of
Indonesia Series Volume IV. Periplus Edition 2002: 754 hlm.
Zwahlen, R. 1992. The Ecology of Rawa Aopa, a Peat-swamp in Sulawesi, Indonesia.
Environmental Conservation, 19: 226-234.
173
25. DANAU TOLIRE
D
anau Tolire terdapat di Pulau Ternate, pulau kecil di sebelah barat Pulau
Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Pulau Ternate itu sendiri merupakan pulau
vulkanik yang secara geografis berada pada koordinat 127,29o - 127,39 o Bujur
Timur, dan 0,75o – 0,87o Lintang Utara. Ukuran pulaunya relatif kecil, berbentuk bundar
dengan diameter sekitar 11 km, dengan luas 76 km2. Di tengah pulau terdapat menonjol Gunung
Api Gamalama, dengan ketinggian 1.715 m di atas permukaan laut. Di kaki Gunung Gamalama
Gambar 1. Peta lokasi Danau Tolire di Pulau Ternate.
Gambar 2. Pandangan udara Danau Tolire Besar dan Danau Tolire Kecil
(jayanjayan.com)
174
inilah, ke arah barat-lautnya, terdapat Danau Tolire. Danau Tolire itu sendiri terdiri dari dua
danau yakni Danau Tolire Besar yang bentuknya bundar (panjang maksimun 647 m) dan Danau
Tolire Kecil yang bentuknya lonjong (panjang maksimum 220 m). Keduanya berdekatan, hanya
terpisah jarak sekitar 250 m. Danau Tolire Kecil berada dekat sekali dengan laut, hanya sekitar
50 m, dan airnya pun payau. Dalam tulisan ini, istilah Danau Tolire lebih mengacu pada Danau
Tolire Besar, yang disebut pula sebagai Danau Tolire Jaha.
Gambar 3. Panorama Danau Tolire Besar dengan latar Belakang Gunung Gamalama
(traveljinx13.files.wordpress.com)
Genesis atau proses terbentuknya Danau Tolire merupakan akibat aktivitas vulkanik
dengan tipe maar. Kata maar berasal dan bahasa Jerman yang artinya “kawah”. Akibat erupsi
yang terjadi, terbentuklah lubang besar berbentuk corong, yang dikelilingi oleh tebing yang
terombak ketiká terjadi erupsi. Apabila dasar dan dinding maar tidak dapat ditembus air, maká
terbentuklah danau yang disebut danau maar. Danau maar umumnya berbentuk bulat. Diameter
danau maar dapat bervariasi antara ratusan meter hingga beberapa kilometer.
Adalah suatu hal yang menarik bahwa proses terbentuknya Danau Tolire tercatat dalam
literatur sejarah geologi. Terbentuknya Danau Tolire tercatat sebagai peristiwa maar tahun
1775, tepatnya pada 5 – 7 September 1775, akibat erupsi maar pada lokasi di sekitar Desa Soela
Takomi (1,5 km di sebelah barat-daya Tokome, Kecamatan Ternate). Erupsi didahului oleh
beberapa kali gempa besar, kemudian disusul letusan uap (freatik) hingga beberapa jam
sebelum fajar, disertai dengan suara gemuruh dan sinar terang hingga pagi hari tanggal 7.
Proses erupsi freato-magmatik ini menyisakan sebuah kawah besar dan melenyapkan
(amblesnya) desa Soela Takomi yang berada di atasnya bersama seluruh penduduknya. Kawah
maar ini kemudian terisi air dan saat ini disebut sebagai Danau Tolire Besar (Tolire Jaha).
Danau Tolire dikelilingi oleh tebing curam setinggi 60 – 80 m tanpa tepian yang landai,
sehingga tampak seperti suatu amblesan. Danau ini tidak mempunyai saluran air sebagai pintu
keluar (outlet) sedangkan pintu masuk (inlet) hanya berupa alur air dari lereng gunung. Pada
175
musim kemarau warna air danau tampak hijau menunjukkan tingkat produktivitas fitoplankton,
sedangkan pada musim hujan warna airnya kecoklatan karena masukan sedimen dari wilayah
sekitar.
Berdasarkan data klimatologi Badan Meteorologi dan Geofisika stasiun Baabullah Kota
Ternate diperoleh data curah hujan rerata bulanan sebesar 174 mm, maksimum 256 mm dan
minimum 68 mm, berarti kawasan ini termasuk daerah beriklim basah.
Gambar 4 . Peta batimetri (kedalaman) Danau Tolire Besar (Setiawan et al. 2014)
Pemetaan kedalaman perairan Danau Tolire yang dilaksanakan oleh Pusat Penilitian
Limnologi LIPI tahun 2011 memberikan gambaran tentang karakteristik morfometri (bentuk)
danau ini sebagai berikut:
ï‚· Panjang maksimum
647 m
ï‚· Lebar maksimum
547 m
ï‚· Keliling
1,88 km
ï‚· Luas
26,5 ha
ï‚· Kedalaman maksimum
43,1 m
ï‚· Volume
4,3 juta m3
Peta kedalaman (batimetri) yang menunjukkan kontur sebaran kedalaman Danau Tolire
disampaikan dalam Gambar 4.
Tinggi muka perairan danau mengalami fluktuasi sesuai dengan kondisi musim. Bulan
Juli hingga Oktober adalah musim kemarau yang menyebabkan tinggi muka air Danau Tolire
turun, tetapi di musim hujan tinggi muka air danau akan kembali naik. Hal ini terkait dengan
kondisi neraca air setempat yang terkait dengan curah hujan dan penguapan (evapotranspirasi).
176
Suhu air di Danau Tolire berkisar antara 29,6 – 30,1oC dan tidak dijumpai adanya
statifikasi lapisan danau oleh perbedaan suhu. Dengan tak adanya stratifikasi suhu maka Danau
Tolire cenderung mengalami pengadukan yang mungkin diakibatkan oleh aktivitas vulkanik.
Konsentrasi oksigen terlarut pada permukaan air adalah 8,40 mg/l. Secara vertikal,
konsentrasi ini terus menurun secara drastis hingga mencapai 0,48 mg/l pada kedalaman 10 m,
kemudian perlahan-lahan menurun sampai mencapi 0 (nol) di dasar danau. Di lapisan dasar ini
yang tanpa oksigen, berakumulasi gas-gas beracun seperti H2S dan NH3. Konsentrasi total
fosfor berkisar antara 0,026 – 3,47 mg/l sedangkan total nitrogen berkisar 1,79 – 9,20 mg/l.
Sementara itu kecerahan air di Danau Tolire didapatkan berkisar 1,40 m sedangkan kandungan
klorofilnya bekisar antara 0,003 – 2,158 mg/l.
Daya dukung danau terhadap kehidupan biota ikan sangatlah rendah. Pengamatan biota
ikan yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Limnologi LIPI di Danau Tolire di tahun 2011
misalnya, dengan memasang dua buah jaring selama 20 jam bahkan tidak mendapat ikan seekor
pun. Di kaitkan dengan hasil kajian fisika-kimia di perairan ini, dapat diasumsikan langkanya
ikan disini adalah karena adanya gas-gas toksik (beracun) seperti H2S dan NH3 yang
terkonsentrasi di dasar danau.
Gambar 5. Beberapa jenis burung yang sering hadir di kawasan Danau Tolire: a)
Tachybaptus ruficolis; b) Aquila gurneyi; c) Scythrops novaehollandiae; d) Cacatua
alba.
Meskipun perairan Danau Tolire miskin akan keanekaragaman hayati, namun
lingkungan daratan sekitarnya menunjang keanekaragaman hayati yang cukup baik. Beraneka
burung misalnya bersarang maupun sekedar mencari makan di sekitar danau ini. Tak kurang
dari 30 jenis burung dapat dijumpai dengan mudah di sekitara DanauTolire Besar. Burung
177
titihan telaga (Tachybaptus ruficolis), misalnya, kerap terlihat berenang di permukaan danau.
Kerabat pecuk yang sekilas mirip anak itik ini merupakan pengunjung setia Danau Tolire Besar
yang bisa disaksikan setiap hari. Jenis burung air lain yang kadang menyambangi danau ini
yaitu kuntul perak (Egretta intermedia) dan karakalo australia (Scythrops novahollandiae).
Sesuai namanya, karakalo australia berasal dari belahan bumi selatan dan bermigrasi ke utara
sekitar April hingga September. Namun, populasi karakalo australia di Tolire diduga
merupakan penghuni tetap (residen) karena dapat dijumpai sepanjang tahun.
Banyaknya pepohonan dengan tajuk rapat di sekeliling Danau Tolire juga membuat
burung merasa betah hinggap maupun bersarang. Bahkan, salah satu jenis burung endemik yang
berstatus rentan juga dapat dijumpai dengan mudah di kawasan danau ini. Burung itu, kakatua
putih (Cacatua alba) yang merupakan endemik Halmahera, Bacan, Ternate, dan Tidore, sering
hilir mudik di antara pepohonan di tepian Danau Tolire Besar. Burung berbulu putih bersih ini
biasa terlihat di pagi dan sore hari.
Gambar 6. Papan informasi tentang burung di Danau Tolire
Selain kakatua putih, ada pula enam jenis burung pemangsa yang kerap hilir mudik di
kawasan Tolire yaitu alap-alap sapi (Falco moluccensis), elang bondol (Haliastur indus),
rajawali kuskus (Aquila gurneyi), elang-laut perut-putih (Haliaetus leucogaster), elang tiram
(Pandion haliaetus), dan elang-alap kelabu (Accipiter novaehollandiae). Di sekitar DanauTolire
juga banyak terdapat pohon ara (Ficus sp.) tempat beragam jenis burung memburu santapan.
Misalnya, walik kepala-kelabu (Ptilinopus hyogaster) dan walik topi-biru (Ptilinopus
monacha), keduanya merupakan keluarga merpati, dapat berkumpul bersama menikmati buah
ara di sekitar danau ini.
Keberadaan beragam jenis burung di sekitar Danau Tolire ini telah diangkat untuk
promosi pariwisata, misalnya dengan memajang papan informasi dekat danau tentang “Danau
Tolire sebagai habitat terbaik burung-burung Ternate” (Gambar 6).
Danau Tolire memang mempunyai khazanah berupa bentang alam dan lingkungan yang
indah yang merupakan potensi untuk pengembangan pariwisata alam. Yang menarik bahwa
beberapa informasi yang belum dikonfirmasi atau mitos ikut “dijual” untuk promosi pariwisata
di daerah ini. Misalnya saja, mitos tentang asal usul Danau Tolire. Dikisahkan bahwa dahulu
kala ada seorang bapak yang menghamili gadis anak kandungnya sendiri. Ketika mereka akan
178
melarikan diri keluar dari kampung, mereka
dikutuk oleh penguasa alam dan tiba-tiba
tanah tempat mereka berpijak ambles dan
menjadi danau, bekas sang bapak pun menjadi
Danau Tolire Besar sedangkan bekas anak
perempuannya menjadi Danau Tolire Kecil.
Demikian pula sering diceriterakan bahwa di
Danau Tolire itu hidup seekor buaya putih
jadi-jadian
yang
sekali-sekali
bisa
menampakkan diri. Ada juga ceritera bahwa
bila seseorang berdiri di bibir tebing Danau
Gambar 7. Papan “Selamat Datang di
Tolire dan melemparkan batu ke arah danau,
Kawasan Obyek Wisata Alam Danau
maka batu itu tak akan bisa sampai
Tolire”.
menyentuh air danau. Selain itu ada juga
kisah yang menyebutkan bahwa Sultan Ternate pada abad ke-15 menyembunyikan sejumlah
besar harta kekayaannya ke dasar danau ini karena tak mau hartanya dirampas oleh pasukan
Portugis yang menyerang kesultanan itu.
RUJUKAN
Hehanussa, P. E. & G. S. Haryani. 2009. Klasifikasi morfogenesis danau di Indonesia untuk
mitigasi dampak perubahan iklim. Konferensi Nasional Danau Indonesia I, Sanur –
Denpasar – Bali, 13-15 Agustus 2009.
Rosyadi, I. 2013.
Menyingkap surga burung di Danau Tolire Besar.
(http://www.burunggacor.com).
Setiawan, F., H. Wibowo, A. B. Santoso, S. Nomosatryo & I. Yuniarti. 2014. Karakteristik dan
danau asal vulkanik, studi kasus: Danau Tolire, Pulau Ternate. Limnotek 21 (2): 103 –
104.
179
26. DANAU AYAMARU
D
anau Ayamaru terletak kurang lebih di bagian tengah Jazirah Kepala Burung
(Vogelkop) Papua di Provinsi Papua Barat, sekitar 170 km ke arah tenggara
dari Kota Sorong. Nama Ayamaru juga digunakan sebagai nama Kota
Ayamaru yang merupakan ibukota Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat, sejak pemekaran
wilayah ini dari Kabupaten Sorong Selatan pada tahun 2009. Posisi geografinya kurang lebih
pada kordinat 1o12’ Lintang Selatan dan 132o 14’ Bujur Timur.
Danau Ayamaru terdiri dari rangkaian tiga danau yang berada dalam satu aliran sungai
yang mengalir dari Barat ke Timur. Menurut Boeseman (1963) danau-danau ini dapat
dipandang sebagai bentuk pelebaran dari Sungai Ayamaru yang terdiri dari Danau Jow dengan
panjang 7 km dan lebar 2 km, Danau Semitu dengan panjang 2 km dan lebar 1,5 km, dan yang
terakhir Danau Yate dengan panjang 3 km dan lebar tak sampai 1,5 km (Gambar 1). Rangkaian
ketiga danau seperti ini dalam limnologi (ilmu perairan darat) dikenal sebagai danau paternoster
(bagaikan tasbih) yang merupakan rangkaian danau dalam satu untaian aliran sungai, masingmasing dengan elevasi yang menurun secara bertahap. Pintu keluar utamanya adalah Sungai
Ayamaru yang akan menyatu dengan Sungai Kais, yang selanjutnya akan bermuara ke Laut
Seram.
Gambar 1. Danau Ayamaru terdiri dari serangkaian danau yakni Danau Jow,
Danau Semitu dan Danau Yate (Boeseman, 1963).
Genesis atau asal mula terjadinya Danau Ayamaru mengikuti pembentukan daratan
Papua yang cukup kompleks oleh aktivitas tumbukan antara dua lempeng tektonik besar bumi,
yaitu lempeng Pasifik di sebelah utara yang bergerak relatif ke arah barat dan lempeng Australia
yang relatif bergerak ke arah utara. Aktivitas ini mendorong terjadinya pelipatan dan
pengangkatan yang dikenal sebagai Orogenesa Melanesia pada kala Miosen awal yang
membentuk kawasan karst Ayamaru.
180
Danau-danau Ayamaru dikitari paparan berawa dengan lebar yang beragam, dan sebelah
luarnya dengan bukit dan gunung kapur (karst) yang bisa mencapai ketinggian sampai sekitar
1.500 m. Danau Ayamaru pada hakekatnya merupakan danau karst, dimana air yang masuk ke
danau selain aliran permukaan diduga ada pula yang berasal dari lapisan karst, baik sebagai air
pori maupun air yang mengalir melalui rekahan dan aliran air bawah permukaan. Demikian juga
air yang keluar, selain melalui sungai permukaan terdapat juga yang mengalir di bawah
permukaan tanah melalui rongga karst. Dinamika hidrologi semacam ini perlu dicermati untuk
memahami fenomena naik dan turunnya permukaan air yang terjadi di danau ini.
Gambar 2 . Danau Ayamaru yang asri. (Foto: Lukman & Marthen Salossa)
Luas total Danau Ayamaru bervariasi kurang lebih sekitar 890 ha hingga 1.085 ha
bergantung pada musim kemarau saat air surut dan musim hujan saat air tinggi. Danau ini
umumnya dangkal, jarang melebihi kedalaman 3 m. Airnya sangat jernih hingga penetrasi
cahaya matahari dapat mencapai dasar danau hingga memungkinkan terjadinya proses
fotosintesis pada seluruh kolom air. Hal ini menyebabkan perairan ini cukup subur. Dasar
181
danau umumnya tertutup oleh berbagai tumbuhan akuatik, sedangkan paparan pantainya
tertutup oleh vegetasi sekunder, terutama rerumputan dan belukar.
Airnya cenderung alkalin dengan pH sekitar 7,66 hingga 8.98, hal yang lazim dijumpai
di perairan danau berlingkungan karst. Ketersediaan oksigen terlarut di danau ini umumnya
cukup tinggi (≥ 3 mg/l) yang cukup mendukung untuk kehidupan biota di dalamnya. Curah
hujan di kawasan ini berkisar antara 165 hingga 700 mm per bulan dengan total per tahun 4.550
mm dan 220 hari hujan.
Tumbuhan air di Danau Ayamaru tergolomg dalam empat formasi sesuai dengan
karakteristik morfologi dan adaptasi kelompok jenis tumbuhan terhadap kondisi fisik perairan.
Formasi riparian, hidup di bibir pantai misalnya Euphorbia hirta. Formasi mencuat, terdiri dari
tumbuhan yang berakar di dasar danau tetapi daunnya tumbuh mencuat ke atas permukaan air
seperti Scirpus grosus. Formasi daun mengapung, berakar di dasar danau tetapi daunnya
mengapung di permukaan air seperti teratai Nymhoides cristata. Formasi tenggelam, terdiri dari
tumbuhan yang seluruh bagiannya berada dalam air seperti Hydrilla verticillata.
Gambar 3. Ikan endemik Danau Ayamaru. a) Melanotaenia boesemani, b)
Melanotaenia ayamaruensis, c) Melanotaenia fasinensis (jantan), d).
Glossogobius hoesei.
Danau Ayamaru mengandung beberapa spesies ikan endemik seperti ikan-ikan pelangi
Melanotaenia boesemani, Melanotaenia ayamaruensis dan Melanotaenia fasinensis yang
sudah tersohor sejagat akan kecantikannya untuk dijadikan ikan hias. Selain itu terdapat juga
ikan bloso Glossogobius hoesi yang endemik di Danau Ayamaru.
182
Ikan Melanotaenia boesemani hidup di Danau Ayamaru dan beberapa anak sungai di
sekitarnya yang mempunyai vegetasi akuatik yang padat. Jenis ikan ini juga dilaporkan terdapat
di Danau Aitinjo, sekitar 20 km di sebelah tenggara Danau Ayamaru. Ikan ini bersifat
omnivora, makanan utamanya terdiri dari insekta berukuran kecil, dan sedikit algae serta
krustasea; hidupnya membentuk kelompok dekat permukaan air. Ukuran panjang baku bisa
mencapai 115 mm. Jenis ikan ini termasuk ikan hias yang harganya sangat tinggi di pasaran
dunia. Oleh sebab itu telah dieksploitasi besar-besaran untuk di ekspor, hingga menyebabkan
keberadaannya di alam sekarang sudah semakin langka dan terancam.
Ikan Melanotaenia ayamaruensis mempunyai kekerabatan yang dekat dengan
Melanotaenia boesemani, yang bisa dijumpai sampai di parit-parit sekitar danau. Sempat
dikabarkan jenis ini sudah tak dijumpai lagi hingga bertahun-tahun, namun beberapa waktu
terakhir ini dilaporkan masih ada dijumpai hidup
di parit-parit sekitar danau.
Ikan Melanotaenia fasinensis ditemukan
hidup di dasar berkerikil atau berbatuan kapur
dengan banyak ranting-ranting mati.
Ikan endemik lainnya yang hanya
ditemukan di Danau Aymaru adalah ikan bloso
Glossogobius hoesi. Jenis ini hidup pada bagian
dasar perairan bertipe lumpur, pasir, maupun
Gambar 4. Udang endemik Danau
kerikil, bersifat karnivora dan mempunyai
Ayamaru, Cherax boesemani
panjang baku bisa sampai 70 mm.
Biota endemik lainnya yang ditemukan di
Danau Ayamaru adalah sejenis udang yakni Cherax boesemani, jenis baru bagi sains yang baru
dideskripsikan tahun 2008 (Lukhaup & Penny, 2008).
Kegiatan perikanan di Danau Ayamaru mulanya hanya bersifat subsisten untuk
memenuhi kebutuhan dasar penduduk lokal, dengan memanfaatkan ikan-ikan asli setempat.
Tetapi kemudian berkembang pula kegiatan yang berorientasi ekonomi. Sehubungn dengan itu
beberapa jenis ikan dari luar
diintroduksi ke danau ini yang
kemudian
menimbulkan
berbagai masalah lingkungan.
Sedikitnya terdapat sekitar 12
jenis ikan di Danau Ayamaru,
diantaranya
empat
jenis
merupakan ikan asli dan
selebihnya merupakan ikan
yang didatangkan dari luar.
Jenis ikan yang didatangkan
dari luar semula dimaksudkan
Gambar 5. Kegiatan perikanan di Danau Ayamaru. (Foto: untuk menggenjot produksi
Chrismada).
perikanan antara lain ikan mas
(Cyprinus
carpio),
mujaer
(Oreochromis mossambicus), gabus (Channa striata), tambakan (Helostoma temmincki), lele
183
(Clarias sp.). Namun ikan pendatang ini bersifat invasif, bersaing dan mengancam kehidupan
ikan asli, baik karena bersaing tempat, makanan, maupun kesempatan untuk berbiak. Ikan buas
seperti gabus misalnya dapat melahap anak-anak ikan asli, hingga makin mengancam
kelestarian ikan-ikan asli. Di lain pihak ikan asli endemik seperti ikan-ikan pelangi
(Melanotaenia boesemani) telah dieksploitasi besar-besaran untuk diekspor sejak tahun 1990-an
hingga sudah sangat sulit untuk ditemui di alam aslinya. Kontroversi dalam kegiatan perikanan
ini menjadi salah satu masalah krusial untuk melestarikan lingkungan di Danau Ayamaru.
Gambar 6. Beberapa jenis burung migran yang secara berkala berkunjung dan
mencari makan di Danau Ayamaru antara lain: a) Himantopus leucocephalus; b)
Platela regia; c) Ephippiorhynchus asiaticus; d) Threskiornis aethiopicus.
Ada keistimewaan lain dari Danau Ayamaru mengingat lokasinya yang terbilang
bertetangga dengan negara lain. Setiap musim kemarau danau ini menjadi tempat singgah
burung-burung migran terutama asal Australia. Tercatat sedikitnya empat jenis burung migran
yang secara berkala singgah untuk mencari makan di danau ini yakni Ephippiorhynchus
asiaticus, Himantopus leucocephalus, Platalea regia, Threskiornis aethiopicus (Gambar 6).
Terdapat suatu kepentingan internasional seiring keberadaan burung-burung migran tersebut,
terkait Konvensi Ramsar yang telah diratifikasi oleh Indonesia tahun 1991. Konvensi Ramsar
merupakan kesepakatan internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah (wetland)
secara berkelanjutan, termasuk perairan yang secara berkala dikunjungi oleh burung-burung
migran.
184
RUJUKAN
Boeseman , M. 1963. Notes on the fishes of Western New Guinea I. Zoologische Medelingen,
Rijks Museum van Natuurlijke Histories te Leiden, 23 (14): 221-242.
Boeseman, M. 1956. The lake resources of Netherland New Guinea. SPC Quarterly Bulletin,
January: 23-25.
Chrismada, T., Lukman & M. Fakhrudin. 2014. Lingkungan perairan Danau Ayamaru, Papua.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi VII: 608 – 626.
Lukhaup, C. & R. Pekny. 2008. Cherax (Astaconephrops) boesemani, a new species of crayfish
(Crustacea: Decapoda: Parastacidae) from the centre of the Vogelkop Peninsula in Irian
Jaya (West New Guinea), Indonesia. Zoologische Mededelingen, 82.
Lukman. 2013. Genesis Danau Karst Ayamaru. http://nationalgeographic.co.id
Polhemus, D. A., R. A. Englund, G. R. Allen (2004). Freshwater biotas of New Guinea and
nearby islands: Analysis of endemism, richness, and threats. Final report prepared for
Conservation International, Washington, D.C. Contribution No. 2004-004 to the Pacific
Biological Survey.
185
27. DANAU ANGGI GIJI DAN ANGGI GITA
D
anau Anggi terdiri dari dua danau sejoli yakni Danau Anggi Giji dan Danau
Anggi Gita, yang terletak di Pegunungan Arfak, Jazirah Kepala Burung
(Vogelkop) Papua, dan termasuk dalam Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua
Barat. Nama Danau Anggi Giji dan Danau Anggi Gita diangkat dari legenda yang dikisahkan
oleh penduduk lokal yang berkenaan dengan kisah cinta asmara antara sepasang kekasih.
Danau Anggi Giji dianggap sebagai jelmaan sang lelaki, sedangkan Danau Anggi Gita sebagai
sang perempuan.
Kedua danau ini berada pada ketinggian sekitar
2.000 m dan termasuk dalam Cagar Alam Pegunungan
Arfak. Cagar Alam ini sendiri ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan No. 783/Kpts-II/1992
tertanggal 11 Agustus 1992 yang mancakup luas 68.325
ha, yang berada pada ketinggian mulai dari 15 m hingga
2.940 m di atas permukaan laut. Cagar Alam ini dikenal
sebagai kawasan dengan keanekaragman hayati yang
sangat kaya dengan tingkat endemisme yang tinggi tetapi
masih banyak menyimpan misteri karena belum banyak
dieksplorasi. Keadaan medannya yang sulit ikut
Gambar 1. Peta lokasi Danau
menyebabkan eksplorasi-eksplorasi ilmiah
ke
Anggi
pegunungan ini masih terbatas. Demikian pula informasi
tentang kondisi ekositem perairan di kedua Danau Anggi (Anggi Giji dan Anggi Gita) boleh
dikatakan masih sangat minim, atau belum tersedia.
Gambar 2. Peta Danau Anggi Giji dan Anggi Gita (Google map)
186
Gambar 3. Danau Anggi Giji (panoramio.com)
Gambar 4. Danau Anggi Gita (bennycarbine.blogspot.co.id)
Dari peta satelit (Google map) dapat ditelusuri bahwa Danau Anggi Giji mempunyai
panjang maksimum 7,7 km dan lebar maksimum 5,3 km. Sementara itu Anggi Gita mempunyai
panjang maksimum 8,5 km dan lebar maksimum 4,4 km. Meskipun kedua danau berdekatan
yang dalam jarak geografis hanya sekitar 3,8 km, namun di antara keduanya terbentang bukit
memanjang sebagai pemisah.
Belum diperoleh informasi mengenai kedalaman perairan kedua danau itu, demikian
pula tentang kualitas airnya. Beberapa laporan awal menyebutkan bahwa perairan Danau
Anggi Giji memberi kesan warna kehitaman sedangkan Danau Anggi Gita berwarna biru
terang, disebabkan oleh pantulan hutan-hutan di sekitar danau dan berbagai plankton yang
terdapat di dalam danau.
Meskipun kawasan Danau Anggi ini hanya berjarak sekitar 35 km dari kota Manokwari,
namun tidak begitu mudah untuk mencapainya karena sarana transportasi darat yang belum
187
mendukung. Bila ditempuh dengan berjalan kaki (hal yang biasa dilakukan oleh penduduk
lokal) akan memerlukan waktu selama dua hari. Kalau dengan kendaraan dibutuhkan waktu
sekitar 3-4 jam dengan mobil yang mampu berolah off-road (4 wheel-drive) atau motor trail
karena harus melalui kondisi medan pegunungan yang berat dan sungai yang mungkin harus
diseberangi. Bila musim hujan kondisi medan tentu akan semakin berat bahkan mungkin tak
dapat dilalui. Namun Danau Anggi dapat juga dicapai dengan pesawat kecil sejenis Twin Otter
atau Cessna yang akan memakan waktu terbang hanya sekitar 25 menit dari lapangan terbang
Rendani, Manokwari.
Gambar 5. Perjalanan darat menuju ke Danau Anggi melewati jalan yang penuh tantangan
(travel.detik.com & sdsp.nl)
Penduduk asli yang menghuni kawasan sekitar Danau Anggi mempunyai budaya dan
kepercayaan yang sangat erat terkait dengan lingkungan alamnya. Salah satu hasil budaya yang
terkenal dari kawasan sekitar Danau
Anggi
ini adalah rumah tradisional
penduduk lokal yang disebut igkojei atau
tumisen, yang lebih populer dikenal
dengan julukan “rumah kaki seribu”.
Nama julukan ini diberikan karena
konstruksi rumahnya bertumpu pada
tiang penyangga yang jumlahnya sangat
banyak. Rumah tradisional ini merupakan
ekpresi dari kearifan lokal yang
menggunakan dan memanfaatkan bahanbahan alami yang berasal dari sekitar
lokasi dan konstruksinya disesuaikan
dengan iklim pegunungan yang dingin.
Gambar 6. Rumah kaki seribu suku besar Arfak
Semua sambungan pada tiang-tiang
di kawasan Danau Anggi. (tabloidjubi.com)
penyangga, dinding, atap dan lainnya
menggunakan tali rotan atau tali dari serat kayu. Rumah tradisional ini juga dipandang sebagai
bangunan tahan gempa karena semua bahannya terbuat dari bahan kayu yang kuat. Keunikan
188
rumah kaki seribu ini telah diusulkan oleh Pemda setempat untuk diangkat sebagai Warisan
Budaya Suku Besar Arfak.
Gambar 7 . Kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera paradisea) dan burung
namdur (Amblyornis inornatus) dari kawasan sekitar Danau Anggi.
(kompasiana.com)
Sebagai bagian dari Cagar Alam Pegugungan Arfak, Danau Anggi dikelilingi
lingkungan yang mempunyai keanekaragaman hayati dengan endemisme yang tinggi yang
masih banyak belum terungkap. Di kawasan ini
misalnya tercatat sekitar 110 spesies mamalia dan
320 spesies burung, banyak diantaranya bersifat
endemik. Salah satu burung yang menarik dari
kawasan ini adalah burung namdur (Amblyornis
inornatus) yang bisa meniru beragam suara dan
membuat sarang dari dedaunan, tangkai dahan,
rumput kering dan berbagai bahan lainnya
(Gambar 7). Selain itu terdapat juga berbagai
jenis kupu-kupu yang sangat indah yang menjadi
inceran para kolektor kupu-kupu internasional.
Sebut
saja
kupu-kupu
sayap
burung
(Ornithoptera paradisea) yang sudah semakin
langka (Gambar 7). Beberapa kelompok
masyarakat setempat telah mengantisipasinya
lewat upaya penangkaran kupu-kupu, salah
satunya di Kampung Iray, sekitar Danau Anggi.
Danau Anggi dan Pegunungan Arfak pada
umumnya mempunyai khazanah yang sangat kaya
Gambar 8. Festival Pegunungan Arfak
akan potensi untuk dikembangkan dalam sektor
dan para penari ditepi Danau Anggi.
pariwista. Kondisi alamnya dengan gunung,
(geomaritim.com & sdsp.nl)
lembah dan danau yang mempesona, flora
faunanya yang kaya dan sangat beragam dengan
endemisme yang tinggi merupakan daya tarik yang luar biasa. Belum lagi masyarakatnya
dengan berbagai ragam budaya dan tradisi yang unik merupakan potensi pariwisata yang
189
sangat besar. Namun sarana dan prasarana penunjang yang belum memadai dapat merupakan
kendala tersendiri. Pemda setempat telah berpromosi untuk meningkatkan sektor pariwisata ini
dengan antara lain melaksanakan Festival Pegunungan Arfak sejak tahun 2015 yang diharapkan
ke depan akan dapat lebih menarik wisatawan domestik dan mancanegara untuk mengunjungi
kawasan eksotik ini. Danau Anggi akan menjadi salah satu pusat yang menarik bagi
pengembangan pariwisata ini.
RUJUKAN
Afandi, I. Danau Anggi, Danau di atas Pegunungan Arfak. http://paninggih.blogspot.co.id.
Howai, J. 2012. Cagar Alam Pegunungan Arfak, surga bagi beragam spesies endemik.
http://www.kompasiana.com.
Polhemus, D. A., R. A. Englund, G. R. Allen. 2004. Freshwater biotas of New Guinea and
nearby islands: Analysis of endemism, richness, and threats. Final report prepared for
Conservation International, Washington, D.C. Contribution No. 2004-004 to the Pacific
Biological survey.
Susanto, K. 2011. Tersihir pesona Pegunungan Arfak. d’Traveler. http:// travel.detik.com.
190
28. DANAU YAMUR
D
anau Yamur terdapat di bagian penyempitan leher Jazirah Kepala Burung
(vogelkop) di Pulau Papua, yang berada di antara Teluk Cenderawasih di
utara, dan Laut Afafura di Selatan. Danau ini berada di Kabupaten
Manokwari, Provinsi Papua Barat. Dalam literatur ada berbagai ejaan atau istilah yang
digunakan untuk merujuk pada nama danau ini yakni: Danau Yamur, Jamoer, Jamur, atau
Danau Ha (Ha Meer). Posisi geografisnya kurang lebih 3o40’0,01” Lintang Selatan dan
134o56’0” Bujur Timur. Ada dua desa kecil di tepi Danau Yamur yakni Goreda dan Gariau.
Gambar 1. Peta lokasi Danau Yamur. Foto atas kanan: Citra satelit. Gambar
bawah: Peta Danau Yamur dari Boeseman (1963)
191
Gambar 2. Panorama Danau Yamur di Papua Barat (jayanjayan.com)
Sampai sekitar awal tahun 1950-an boleh dikatakan belum ada atau sangat terbatas
informasi ilmiah yang dapat diperoleh tentang danau-danau di bumi Papua, termasuk tentang
Danau Yamur. Saat itu Papua masih berada di bawah administrasi Belanda yang dikenal
dengan sebutan Nederlandsch Niew Guinea. Ketika mulai timbul perhatian untuk
mengembangkan perikanan di Papua maka dirasakanlah kelangkaan informasi dasar yang
sangat diperlukan mengnenai kondisi lingkungan dan biologi perairan danau dan sungai di
daerah ini. Atas pertimbangan itu maka kemudian Museum of Natural History, Leyden, di
Belanda meluncurkan inisiatif untuk melaksanakan kajian-kajian tentang beberapa danau dan
sungai di Papua.
192
Beberapa hasil awal telah diungkapkan antara lain oleh Boeseman (1956) yang antara
lain menyebutkan bahwa Danau Yamur (ketika itu masih dituliskan sebagai Jamoer) berada
pada ketinggian sekitar 60 m di atas permukaan laut dengan kedalaman sekitar 12-15 m.
Bentuknya hampir merupakan sebuah lingkaran dengan diameter sekitar 7,5 km. Danau ini
mempunyai pintu keluar (outlet) melalui Sungai Omba yang mengalir ke selatan dan bermuara
ke Laut Arafura. Danau Yamur mempunyai air yang agak jernih, dengan tumbuhan air yang
sedikit hingga jarang, kecuali di beberapa bagian pantainya yang umumnya berupa rawa.
Gambar 3. Hiu Danau Yamur, Carcharchinus leucas (Boeseman, 1964)
Kajian Boeseman (1956) membuahkan hasil yang sangat signifikan dengan
ditemukannya hiu di danau air tawar ini yang berukuran 75 – 150 cm, suatu hal yang tak
pernah terbayangkan sebelumnya. Meskipun Danau Yamur terhubung ke Laut Arafura lewat
Sungai Omba, namun kondisi fisik sepanjang sungai yang panjangnya 130 km itu pastilah tidak
memungkinkan mahluk hiu ini bisa memudiki sungai dari laut sampai ke danau ini. Hiu Danau
Yamur ini, yang diberi nama Carcharchinus leucas (Boeseman, 1964), tampaknya bukanlah
ikan yang berbahaya bagi manusia. Penduduk lokal ketika berenang di danau ini yang ada
hiunya tampaknya tidak peduli dan tak memerlukan tindakan waspada (precautions) terhadap
keberadaan hiu itu, yang mereka namai “manenne”.
193
Adalah sulit untuk menjelaskan, mengapa hiu dari jenis yang sama di tempat lain
tekenal sangat buas (bull shark), tetapi yang di Danau Yamur itu sama sekali tak ofensif
terhadap manusia. Tentang hal ini, Boeseman (1964) mengemukakan alasannya pada kondisi
sumber makanan di lingkungan setempat. Kepadatan populasi ikan di Danau Yamur
diperkirakan cukup besar untuk memenuhi selera kebutuhan makan bagi sang hiu, hingga tidak
perlu menyasar ke manusia yang tentu lebih berisiko.
Gambar 4. Ikan Glossamia arguni, endemik di Danau Yamur: (Hadiaty &
Allen, 2011)
Di samping keberadaan hiu, di danau Yamur juga dapat dijumpai jenis ikan lain yang
endemik dan hanya terdapat di danau ini yaitu Variichthys jamoerensis, yang tergolong dalam
suku Terapontidae. Ikan ini dikenal juga sebagai Yamur Lake grunter, berukuran maksimum
8,5 cm, yang morfologinya mirip dengan ikan kerong-kerong. Ikan ini semakin terancam dan
telah masuk dalam “IUCN Red List of Threatened spesies” sebagai “vulnerable” (rentan punah)
sejak tahun 1996. Ikan ini yang dewasa hidup di air bersih di antara tumbuhan air, dan telurnya
dikawal oleh induk jantan.
Belum lama ini juga ditemukan
sejenis ikan serinding Glossamia arguni
yang mirip dengan Glossamia sandei, dari
sekitar jazirah Kepala Burung Papua
termasuk di Danau Yamur (Hadiaty & Allen,
2011).
Di Danau Yamur juga hidup kurakura atau labi-labi
moncong babi
(Carretochelys
insculpta),
buaya
(Crocodylus novaeguineae), sedangkan di
rawa-rawa sempadan danau terdapat banyak
ular genus Emydura. Baik labi-labi maupun
Gambar 5. Labi-labi moncong babi,
buaya bisa dimakan oleh penduduk setempat.
Carretochelys insculpta.
Sementara itu, di parit-parit yang bermuara
ke Danau Yamur dapat dijumpai beberapa jenis ikan pelangi Melanotaeniidae, gabus, dan
udang (crayfish).
194
RUJUKAN
Allen, G.R., 1991. Field guide to the freshwater fishes of New Guinea. Publication, no. 9. 268
pp. Christensen Research Institute, Madang, Papua New Guinea.
Boeseman , M. 1963. Notes on the fishes of Western New Guinea I. Zoologische Medelingen,
Rijks Museum van Natuurlijke Histories te Leiden, 23 (14): 221-242.
Boeseman, M. 1956. The lake resources of Netherland New Guinea. SPC Quarterly Bulletin,
January: 23-25.
Boeseman, M. 1964. Notes on the fishes of western New Guinea III.The freshwater shark of
Jamoer Lake. Zoologische Mededelingen, Rijksmuseum van Natuurlijke Historie te
Leiden, Vol. 40. No. 3: 10 – 22.
Hadiaty, R. K. & G. R. Allen. 2011. Glossamia arguni, a new sepecies of freshwater cardinal
fish (Apogonidae) from West Papua Province, Indonesia. Aqua International Journal od
Ichthyology, vol. 17, No. 3: 173 – 180.
IUCN Red List of Threatened species: Vulnerable 1996.
Marshall, A. J. & B. M. Beehler. The Ecology of Papua Part One. Periplus Editions (HK) Ltd.:
784 pp.
195
29. DANAU PANIAI, TAGE DAN TIGI
D
anau-Danau Paniai merupakan gugusan tiga danau yang terletak di Kabupaten
Paniai, Provinsi Papua, yang terdiri dari tiga danau, berturut-turut dari utara:
Danau Paniai (03o 55’ Lintang Selatan, 136o 20’ Bujur Timur), Danau Tage
(03o 57’ Lintang Selatan, 136o 15’ Bujur Timur) dan Danau Tigi (04o 02’ Lintang Selatan, 136o
13’, Bujur Timur). Kota Enarotali yang merupakan ibukota Kabupaten, terletak di pantai timur
Danau Paniai, yang merupakan danau terbesar di antara ketiganya.
Gugus Danau-Danau Paniai ini yang
berada di punggung Pegunungan Tengah
Papua, dulu dikenal sebagai Danau-Danau
Wissel (Belanda: Wissel Meeren). Penamaan
Danau-Danau Wissel itu sendiri menorehkan
sejarah menarik mengenai ditemukannya
danau-danau ini dan mulai terbukanya danaudanau tersebut bagi dunia luar. Pada awal
bulan Februari tahun 1937 seorang pilot
bernama Jan Wissel menerbangkan pesawat
Sikorsky milik Nederlands Niew Guinea
Petroleum Maatschapij (NNGM) dari utara
(Serui) ke arah selatan (Babo) dan menemukan
Gambar 1. Peta lokasi Danau-Danau Paniai
tiga danau di daerah pegunungan dan
melaporkan adanya perkampungan penduduk
di sekitarnya. Sejak itu ketiga danau itu dikenal sebagai Wissel Meeren. Dikemudian hari
barulah dikenal dengan nama Danau-Danau Paniai.
Danau Paniai yang paling utara merupakan danau yang terluas diantara ketiganya
dengan bentuk (outline) hampir persegi dengan panjang 16 km dan lebar 9 km. Elevasi atau
ketinggiannya adalah sekitar 1.740 m di atas permukaan laut, dengan kedalaman sekitar 50 m.
Bagian yang dangkal terdapat meluas sekitar mulut sungai yang bermuara ke danau.
Danau Tage yang terletak lebih ke selatan merupakan danau dengan luas yang terkecil
di antara ketiganya. Bentuknya melonjong dengan panjang 8 km dan lebar 3 km, pada elevasi
sekitar 1.750 m di atas permukaan laut, atau sedikit lebih tinggi dari Danau Paniai.
Danau Tigi yang paling selatan mempunyai bentuk seperti segi tiga sama sisi yang
terbalik, dengan jazirah berbentuk huruf –T yang menonjol di sisi utaranya. Garis tengahnya
sekitar 8 km, dengan elevasi 1.640 m.
Pegunungan sekitar danau umumnya berupa bukit kapur (karst) yang bisa sangat terjal
hampir tegak lurus, dan menyisakan paparan di sekitar tepian sungai. Perairan danaunya sendiri
umumnya sangat jernih dan ditumbuhi beberapa jenis tumbuhan akuatik.
Danau Tage yang elevasinya paling tinggi, mengalirkan airnya ke Danau Paniai lewat
Sungai Dimiya, tetapi sekitar 30 – 40 m awalnya mengalir di bawah tanah (subterranean). Pintu
196
Gambar 2 . Peta Danau Paniai, Tage dan Tigi (modifikasi dari Boeseman, 1963)
Gambar 3. Panorama Danau-danau Paniai. a. Danau Paniai dan Kota Enarotali;
b. Danau Tage; c. Danau Tigi.
197
keluar utama Danau Paniai adalah Sungai Yawei
(Urumuka), yang lalu menyatu dengan Sungai
Uta dan kemudian mengalir ke selatan dan
bermuara ke Laut Arafura (Gambar 2).
Danau Paniai dikelilingi sedimen dengan
pelipatan yang kuat dan batuan intrusif, yang
dalam laporan-laporan mutakhir diindikasikan
kaya akan berbagai sumber daya mineral seperti
emas, tembaga dan logam lainnya. Awal
terbentuknya danau ini diduga akibat peristiwa
Gambar 3. Dasar berkapur yang unik di
tektonik purba. Danau tetangganya, Danau Tage,
perbatasan antara Danau Paniai dan
yang elevasi muka airnya lebih tinggi dari Danau
Danau Tage (Yogi et al.,2002)
Paniai, mempunyai riwayat asal usul yang
berbeda, yakni terbentuk dalam satu sinklin (syncline), dengan dasar danau yang terbentuk dari
kapur (limestone). Pelarutan parsial dari dasar kapur ini memisahkan kedua danau itu dan
membentuk “perbatasan fisik” yang unik di antara kedua danau (Gambar 3).
Berdasarkan data meteorologi dari
stasiun pengamat di Enarotali, curah hujan
rata-rata per tahun di kawasan Danau Paniai
berkisar antara 3.000 – 5.000 mm. Suhu ratarata berkisar sekitar 19 oC pada siang hari dan
10 oC di malam hari. Musim hujan dimulai
dari bulan April hingga Januari, sedangkan
bulan Februari hingga Maret termasuk bulan
kering. Dengan demikian musim hujan terjadi
hampir sepanjang tahun. Matahari bersinar
Gambar 4. Oxyeleotris wisselensis (dalam
sangat terbatas sepanjang hari, karena setelah
koleksi Royal Museum of Natural History,
pukul 12 siang sering berkabut dan hujan.
Netherland) (dari Allen & Boeseman, 1982)
Kondisi perairan Danau Paniai
mengindikasikan danau ini sebagai danau yang cenderung oligotrofik (miskin hara). Suhu air
permukaannya berkisar 20,8 – 24,1 oC, pH 7,1 – 7,7, dan kandungan oksigen 5,2 – 5,9 mg/l,
sedangkan kandungan total nitrogen 0,327 –
0,642 mg/l-N, dan total fosfat 0,026 – 0,112
mg/l-P. Kandungan planktonnya pun boleh
dikatakan miskin. Salah satu jenis fitoplankton
yang terdapat disini adalah Microsystis yang
bila tumbuh berlebihan dapat menjadi
ancaraman keracunan bagi kehidupan ikan dan
biota lainnya.
Gambar 5. Udang bopa (Cherax
Terdapat beberapa jenis biota air yang
boschmai) endemik di Danau Paniai
endemik di Danau-danau Paniai. Salah satu
(Holthuis, 1982)
diantaranya adalah ikan Oxyeleotris wisselensis
(dikenal pula sebagai Paniai gudgeon) yang
198
dapat berukuran sekitar 12 cm, dan biasa ditangkap untuk konsumsi penduduk lokal. Ikan ini
telah masuk IUCN (International Union for the Coservation of Nature) Red List of Threatened
Species tahun 2006.
Beberapa udang-udangan lobster endemik dari marga Cherax juga terdapat disini. Di
Danau Paniai misalnya terdapat udang endemik obawo (Cherax pallidus), bopa (Cherax
boschmai), murido (Cherax murido), juri (Cherax paniaicus). Udang-udang Cherax ini
mempunyai peran penting dalam perikanan tradisional penduduk lokal.
Perikanan yang dilaksanakan
oleh penduduk lokal pada mulanya
hanya bersifat subsisten atau hanya
untuk memenuhi kebutuhan pokok saja,
dengan menggunakan alat-alat tangkap
sederhana. Namun dengan makin
berkembangnya penduduk dan makin
banyaknya pendatang dari luar masuk
ke kota Enarotali dan sekitarnya
kebutuhan akan ikan semakin meningkat
dan karenanya penangkapan ikan juga
semakin intensif. Selanjutnya telah
diintroduksi pula jenis-jenis ikan dari
Gambar 6 . Nelayan di Danau Paniai
luar ke Danau Paniai seperti ikan mas
(wisatalokaleksotis.com)
(Cyprinus carpio), mujaer (Oreochromis
mossambicus), ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk meningkatkan produksi. Tetapi ikanikan pendatang ini bersifat invasif yang dapat mengancam kelestarian ikan-ikan asli. Ikan-ikan
pendatang ini bersaing dengan ikan-ikan asli lokal dalam mendapatkan ruang, makanan, dan
peluang untuk berbiak. Dalam kasus-kasus masuknya spesies invasif seperti ini pada umumnya
menyebabkan ikan asli akan kalah dan tersisih bahkan lenyap. Oleh sebab itu kebijakan untuk
terus memasukkan ikan dari luar, apalagi dengan mengintroduski karamba jaring apung perlu
ditinjau secara bijakasana dengan memperhatikan perlunya menjaga kelestarian alam yang
berimbang.
Gambar 7 . Transportasi air di Danau Paniai
199
Salah satu fungsi lain dari Danau Paniai adalah sebagai media transportasi untuk
menghubungkan satu desa dengan desa lainnya yang dapat dicapai lewat transportasi air.
Transportasi ini tidak saja untuk mengangkut penumpang tetapi juga untuk mengangkut hasil
bumi dan berbagai keperluan lainnya yang dapat dilakukan dengan perahu sederhana sampai
perahu bermotor.
Kondisi alam dan lingkungan serta budaya masyarakat di Danau-Danau Paniai yang
unik merupakan khazanah yang potensial untuk pengembangan pariwisata. Namun dalam hal
ini perlu kiranya dipertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourism). Pariwisata berkelanjutan bertumpu pada empat pilar utama yakni: layak
secara ekonomi, tidak merusak ekosistem, menghargai budaya lokal dan memberi manfaat bagi
masyarakat setempat.
Penduduk asli yang menghuni kawasan Danau Paniai dan sekitarnya adalah Suku Me.
Masyarakat Suku Me mempunyai tradisi, budaya dan kepercayaan sendiri yang menghargai
alam sekitar, tidak mengeksploitasi
sumber daya alam secara berlebihan.
Mereka mengambil dari alam sesuatu
dengan tidak lebih dari apa yang
dibutuhkan saja. Ini merupakan kearifan
lokal yang patut dihargai. Namun dalam
beberapa dekade terakhir ini nilai-nilai
budaya mereka makin tergerus seiring
dengan makin derasnya masuk para
pendatang yang membawa nilai-nilai yang
berbeda dengan nilai yang selama ini
dianut masyarakat asli. Nilai-nilai yang
menganggap berlaku ramah terhadap alam
Gambar 8 . Masyarakat Suku Me di
sebagai kebodohan, tidak mengeksploitasi
sekitar kawasan Danau Paniai (radaralam dipandang sebagai kemalasan, dan
mapiha.blogspot.co.id)
menggunakan hanya apa yang dapat
diperoleh menunjukkan sikap kampungan yang tak berpendidikan. Ketamakan mengeksploitasi
kekayaan alam yang diperagakan oleh para pendatang telah ditentang oleh penduduk lokal.
Bukan karena mereka menolak pembangunan, tetapi apa yang dituntut adalah adanya
keseimbangan antara apa yang diambil dari alam dan apa yang disisakan untuk menjamin
keamanan hidup masyarakat ke depan. Tampaknya isu ini perlu mendapat perhatian untuk
menjamin kehidupan yang lebih baik di masa depan di kawasan ini.
RUJUKAN
Achmad, F. & S. S. Brahmana. Potensi pemanfaatan air danau di Kabupaten Paniai – Papua.
Abigail, Y. 2014. Tentang Danau Paniyaii. (http://weyauwowagadei.blogspot.co.id/2014)
200
Allen, G. R. & M. Boeseman. 1982. A collection of freshwater fishes from Western New
Guinea with descriptions of two new species (Gobiidae) and Eleotridae). Rec. West.
Aust. Mus. 1982, 10 (2): 67-103.
Boeseman , M. 1963. Notes on the fishes of Western New Guinea I. Zoologische Medelingen,
Rijks Museum van Natuurlijke Histories te Leiden, 23 (14): 221-242.
Boeseman, M. 1956. The lake resources of Netherland New Guinea. SPC Quarterly Bulletin,
January: 23-25.
Holthuis, B. 1982. Freshwater Crustacea Deacapoda of New Guinea. Monographiae
Biologicae, Vol.42. ed. J.L. Gressit. W. Junk Publishers, The Hague.
Polhemus, D. A., R. A. Englund, G. R. Allen (2004). Freshwater biotas of New Guinea and
nearby islands: Analysis of endemism, richness, and threats. Final report prepared for
Conservation International, Washington, D.C. Contribution No. 2004-004 to the Pacific
Biological survey.
Yogi, N., E. Rantetasak, G. S. Haryani & P. E. Hehanussa. 2002. A pristine high-elevated
ancient lake complex, Lake Paniai, Indonesia. ILEC Japan.
201
30. DANAU ROMBEBAI
D
anau Rombebai terletak di kecamatan Mamberamo Hilir, Kabupaten
Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Kabupaten Mamberamo Raya merupakan
pemekaran dari Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Waropen, berdasarkan UU
No. 19 Tahun 2007. Nama “Mamberamo” konon berasal dari bahasa Suku Dani, “mambe”
berarti besar sedangkan “ramo” berarti air.
Danau Rombebai berada pada posisi geografi dengan koordinat 01° 28 - 3° 50 Lintang
Selatan dan 137° 46 - 140° 19 Bujur Timur. Luas danau ini sekitar 13.749 ha dan merupakan
danau terbesar kedua di Papua setelah Danau Sentani. Danau Rombebai berada pada ketinggian
sekitar 45 m di atas permukaan laut, dan berjarak kurang lebih 20 km dari laut (Samudra
Pasifik).
Gambar 1 . Peta lokasi Danau Rombebai
Danau Rombebai berada dalam sistem Daerah Aliran Sungai Mamberamo yang dialiri
banyak sungai besar dan kecil. Namun sungai utama di Daerah Aliran Sungai ini terdiri dari tiga
sungai besar yang seolah-olah membetuk huruf-T terbalik, yakni: Sungai Tariku (dulu disebut
Sungai Rouffaer), Sungai Taritatu (dulu: Sungai Idenburg) , dan Sungai Mamberamo (Gambar
2). Sungai Taritatu mengalir dari timur ke barat, sedangkan Sungai Tariku dari barat ke timur,
dan keduanya kemudian menyatu membentuk Sungai Mamberamo yang mengalir ke utara dan
bermuara di punuk Pulau Papua, disekitar Tanjung D’Urville yang menghadap ke Samudra
202
Pasifik (Gambar 2). Sungai Mamberamo terkenal mempunyai banyak liukan (meander) dan
membentuk banyak danau kecil sebagai sungai mati (oxbow lake).
Gambar 2 . Sistem sungai di Lembah Mamberamo dengan sungai-sungai utama
berbentuk huruf-T terbalik: Sungai Tariku (dulu: S. Rouffaer), Sungai Taritatu
(dulu: S. Idenburg) , dan Sungai Mamberamo. (Murdiarso & Kurnianto, 2008).
Danau Rombebai berada di sebelah kanan Sungai Mamberamo, sekitar 20 km dari
muara. Sumber utama airnya adalah dari Sungai Mambeamo. Bila sungai tersebut meluap, air
akan masuk ke danau melalui dua buah kanal yang panjangnya masing-masing sekitar 8 dan 10
km, lebar masing-masing 8 dan 12 m dan kedalamannya berturut-turut 10 dan 14 m. Sebaliknya
bila air sungai surut, air danau akan keluar lewat kedua kanal yang sama (Gambar 3). Dengan
demikian, tinggi permukaan air danau tergantung dari tinggi air di Sungai Mamberamo.
Gambar 3. Arah air masuk dan keluar Danau Rombebai pada saat Sungai
Mamberamo meluap (A) dan pada saat surut (B). (Sumule, 1996).
203
Gambar 4. Sekilas pemandangan pantai Danau Rombebai (chinci.com/travel)
Tepian danau yang berkemiringan antara 1 sampai 5 % ditumbuhi oleh berbagai jenis
vegetasi yang didominasi oleh rumput rawa, tebu air, sagu dan lain-lain. Kedalaman danau
berkisar antara 3 sampai 4,5 m. Bagian yang terdalam (antara 20 – 30 m) diperkirakan terletak
pada wilayah sebelah timur dan selatan danau.
Suhu udara di kawasan Danau Rombebai tertinggi terjadi pada bulan November dengan
suhu rata-rata 31,5 oC pada sore hari. Bulan Agustus merupakan bulan dengan suhu terendah
dengan suhu rata-rata 22,5 oC pada malam hari. Suhu tidak menunjukkan perbedaan yang jauh
204
antara siang dan malam hari. Bulan Mei pada umumnya merupakan bulan dengan terbanyak
mendapat sinar surya.
Curah hujan di wilayah Rombebai pada umumnya tidak menunjukan perbedaan yang
jelas per bulan. Curah hujan menyebar sepanjang tahun dan hanya pada bulan Juni-Agustus
curah hujannya relatif kecil bila dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Akibat curah hujan
yang tinggi (2.245 mm/tahun) dan struktur tanah Daerah Aliran Sungai Mamberamo rentan
erosi (lempung sampai liat dengan ciri berdebu berpasir), air yang masuk ke danau tersebut
selalu keruh karena mengandung lumpur. Hal ini berpengaruh besar terhadap laju pendangkalan
danau.
Kajian kualitas air di Danau Rombebai (Sumule, 1996) memberikan gambaran umum
sebagai ditampilkan dalam Tabel 1. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa perairan Danau
Rombebai cukup mendukung untuk pengembangan perikanan.
Tabel 1. Kualitas air Danau Rombebai (Sumule, 1996)
Parameter
Satuan
Nilai
o
Suhu
C
28,5 - 30,5
pH
7,4 - 8,5
DHL (Daya Hantar Listrik)
µmho/cm
10,5 - 510
Kekeruhan (turbidity)
ppm
4 - 12,7
Kecerahan (transparency)
m
0,43 - 3 m
Oksigen terlarut
ppm
3,3 - 7,7
Ammonia - nitrogen
ppm
0 - 0,27
Nitrat - nitrogen
ppm
0 - 0,56
Sulfat
ppm
4,4 - 105
Fosfat
ppm
0,105 - 1,092
Danau Rombebai termasuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Mamberamo-Foya
dengan luas 1.440.000 ha yang terentang dari daerah pantai di utara sampai ke pegunungan
tinggi di selatan. Kawasan suaka ini mencakup beragam tipe habitat, mulai dari hutan mangrove
di kawasan pantai, rawa gambut, sungai dan danau serta hutan pegunungan tinggi. Suaka
Margasatwa ini terkenal mempuyai keanekaragaman hayati yang sangat kaya atau sebagai
kawasan megadiversity, dan telah diusulkan untuk menjadi Taman Nasional dan Situs Warisan
Dunia (World Heritage Site).
Sedikitnya telah tercatat 28 spesies ikan air tawar di kawasan ini. Enam diantaranya
terekam hanya ada di Sungai Mamberamo dan Danau Rombebai yakni Hemipimelodus
bernhardi, Netuma microstoma, Zenarchopterus alleni, Melanotaenia praecox, Melanotaenia
vanheurni and Parambassis oiilpinnis. Selanjutnya terdapat pula 18 spesies yang endemik di
Papua yakni: Anus sp, Neosilurus equinus, Neosilurus idenburgi, Anguilla interioris,
Zenarchopterus kampeni, Chilatherina crassispinosa, Chilaterina lorentzi, Glossolepis
multisquamata, Parambassis confinis, Hephaestus obtusifrons, Glossamia beauforti,
Glossamia heurni, Ctenogobius tigrellus, Mogurnda sp, Odonteleotris nesolepis, Oxyeleotris
fimbriata dan Oxyeleotris novaeguineae. Empat spesies lainnya mempunyai persebaran yang
lebih luas misalnya: Neosilurus ater, Mogurnda mogurnda, Oxyeleotris herwerdeni dan
Oxyeleotris lineolatus.
205
Kawasan ini juga dikenal sebagai tempat populasi Buaya Muara (Crocodylus porosus)
dan Buaya Papua (Crocodylus novaeguineae) yang terbesar di dunia. Buaya-buaya ini telah
menjadi objek buruan dan juga ditangkarkan untuk tujuan ekonomi.
Gambar 5. Beberapa ikan pelangi endemik yang terdapat di Danau Rombebai. a)
Melanotaenia vanheurni; b) Melanotaenia praecox; c) Chilatherina crassispinosa;
d) Glossolepis multisquamata.
Gambar 6. Buaya yang dapat ditemukan di Sungai Mamberamo dan Danau
Rombebai: a) Buaya muara (Crocodylus porosus); b) Buaya papua (Crocodylus
novaeguineae).
Selain itu di kawasan Suaka Magasatwa ini telah tercatat pula 161 spesies burung
termasuk burung-burung cenderawasih, dan 101 spesies mamalia termasuk kanguru pohon.
206
Perikanan merupakan hal penting
untuk memenuhi kebutuhan protein bagi
peduduk sekitar Danau Rombebai. Namun
seiring dengan perkembangan penduduk,
perikanan juga telah berkembang menjadi
kegiatan ekonomi. Ikan ditangkap dengan
meggunakan alat sederhana seperti pancing,
tombak, jala, dan sekali-sekali juga dengan
tuba (racun dari herba lokal). Jenis ikan
yang ditangkap termasuk antara lain ikan
manyung (Arius utarus), ikan mas
(Cyprinus
carpio)
dan
ikan
nila
(Oreochromis niloticus). Kedua jenis ikan
yang tersebut terakhir itu bukanlah ikan asli
setempat tetapi ikan yang diintroduksi dari
luar.
Belakangan ini para nelayan
Gambar 7. Nelayan Danau Rombebai dan
menangkap ikan manyung (Arius utarus)
ikan manyung Arius utarus (disebut juga
untuk mengambil isi perutnya berupa
forked tail catfish)
gelembung renang (swim bladder) yang
kemudian dikeringkan dengan dijemur,
kemudian dijual kepada pedagang dengan harga kiloan yang cukup mahal. Dilaporkan bahwa
gelembung renang ikan manyung yang telah dikeringkan itu dikirim ke Singapur dan Hongkong
untuk menjadi bahan obat. Kegiatan ini merupakan perikanan ekonomi yang baru berkembang
di daerah ini. Belum ada laporan apakah kegiatan ini menimbulkan dampak pada kelestarian
jenis ikan ini.
Selain menangkap ikan, penduduk
lokal sekitar Danau Rombebai juga
mempunyai keahlian menangkap buaya,
keahlian yang diturunkan dari nenek moyang
mereka, dan seiring pula dengan besarnya
populasi buaya di sekitar kawasan ini. Buaya
yang diburu adalah dari jenis buaya muara
(Crocodylus porosus) dan buaya papua
(Crocodylus noavaeguineae). Hasil buruan
buaya itu untuk dimanfaatkan kulitnya dan
dagingnya. Belakangan ini hasil tangkapan
buaya itu juga untuk memasok perusahan
Gambar 8. Buaya dalam penangkaran di
penangkaran buaya yang diusahakan oleh
Entrop, dekat Jayapura, banyak berasal dari
perusahan perdagangan yang cukup besar
Sungai Mamberamo, sekitar Danau
seperti yang ada di Entrop, dekat Jayapura.
Rombebai. (indonesiakaya.com)
Penangkaran buaya di Entrop itu memiliki
izin untuk penangkaran dari Pemerintah,
dengan catatan harus mampu mengembangbiakkannya. Jumlah buaya yang dikelolanya bisa
207
mencapai ribuan ekor. Hasil penangkaran itu terutama untuk dimanfaatkan kulitnya sebagai
komoditi ekonomi yang mahal. Telah ada laporan bahwa eksploitasi penangkapan buaya yang
berlebihan telah mengakibatkan menurunnya populasinya di alam.
Tradisi berburu merupakan bagian kehidupan dan
budaya penduduk asli sekitar Danau Rombebai. Mereka
tidak saja mahir berburu buaya di perairan, keahlian yang
diwariskan dari nenek moyang mereka, tetapi juga berburu
satwa darat di hutan-hutan. Objek buruan mereka bisa terdiri
dari berbagai jenis hewan seperti babi hutan, kanguru pohon,
kasuari, kuskus, dan hewan lainnya. Alat buru bisa terdiri
dari panah, tombak, atau jerat. Mereka biasa memanfaatkan
anjing untuk membantu melacak dan memburu hewan
buruan. Tugas berburu ini merupakan tugas yang diemban
oleh kaum pria. Kaum wanita lebih banyak bertugas
mengurusi kebun dan urusan rumah tangga lainnya.
Danau Rombebai dan sekitarnya semula diperkirakan
mempunyai potensi besar sebagai penghasil migas.
Eksplorasi migas di kawasan ini, yang dikenal dengan Blok
Migas Rombebai, telah dilaksanakan oleh Australia AED
Ltd yaitu perusahan eksplorasi minyak dan gas bumi yang
Gambar 9. Siap untuk berburu
berbasis di Australia. Namun setelah melaksanakan
bersama sepasukan anjing
eksplorasi dari tahun 2009-2014 hasilnya kering (dry hole)
pemburu. (Padmanaba et al.
atau gagal menemukan cadangan migas dan kemungkinan
2012)
kegiatan ekplorasi di Bolk Rombebai ini segera akan ditutup.
RUJUKAN
Chairunissa, R. 2009. Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo, Papua. Departemen
Geografi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Cox, J. H. 2010. New Guinea Freshwater Crocodile Crocodylus novaeguineae. Crocodiles.
Status Survey and Conservation Action Plan. Third Edition, ed. By S.C. Manolis and C.
Stevenson, Crocodile Specialist Group, Darwin: 90-93.
Farelli.
2010.
East
Papua
Memberamo-Foya
Wildlife
Reserve.
http://www.indonesiatravelingguide.com
Murdiyarso, D. & S. Kurnianto. 2008. Ecohydrology of the Mamberamo basin: An initial
assessment of biophysical processes. Bogor, Indonesia: Center of International Forestry
Research (CIFOR).
Padmanaba, M., M. Bossiere, Ermayanti, H. Sumantri & R. Achdiawan. 2012. Pandangan
tentang perencanaan kolaboratif tataruang wilayah di Kabupaten Mamberamo Raya,
Papua, Indonesia: Studi kasus di Burmeso, Kwerba, Metajewa, Papasena dan Yoke.
Laporan Penelitian CIFOR, Bogor, Indonesia.
208
Sumule, O. 1996. Studi kualitas air di Danau Rombebai – Irian Jaya. Alami, vol. 1, nomor 1,
1996: 41-45.
209
31. DANAU SENTANI
D
anau Sentani terletak di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, pada koordinat
140o23‘ – 140o50‘ BT dan 2o31‘ – 2o41‘ LS. Danau ini berada di bawah lereng
Pegunungan Cagar Alam Cyclops yang luasnya sekitar 245.000 hektar. Danau
Sentani terletak di sebelah Selatan Kota Sentani yang merupakan ibukota Kabupaten Jayapura.
Secara geografis, Danau Sentani berbatasan dengan:
 Sebelah Utara berbatasan denga Kecamatan Sentani Timur, Kecamatan Sentani dan
sebagian Kecamatan Sentani Barat;
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sentani, Sentani Barat, Sentani
Timur dan Kemtuk;
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sentani Barat dan Kemtuk Gresi;
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Abepura, Kota Jayapura.
Gambar 1. Lokasi Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua.
210
Danau ini memiliki luas sekitar 9.360 ha dan berada pada ketinggian 75 m di atas
permukaan laut. Danau Sentani merupakan danau terbesar di Papua. Di danau ini juga terdapat
21 buah pulau kecil yang menghiasi perairan ini.
Kabupaten
Jayapura
dan sekitarnya beriklim tropis
basah dengan curah hujan ratarata per tahun 3.276 mm.
Musim hujan terjadi antara
bulan Desember sampai April
sedangkan musim kemarau
antara Mei dan September.
Suhu udara berkisar antara 23,6
o
C sampai 32,2 oC dengan
rata-rata 27,6 oC.
Danau
Sentani
mendapatkan suplai dari sekitar
±34 sumber mata air dari
pegunungan Cyclops. Sumber
air danau ini berasal dari 14
sungai besar dan kecil. Luas
daerah tangkapan air danau
Gambar 2 . Peta kawasan Danau Sentani
sekitar 600 km2. Beberapa
(limnologi.lipi.go.id)
sungai yang bemuara ke Danau
Sentani yaitu Sungai Belo, Sungai Flafouw, dan Sungai Harapan, sedangkan pintu keluarnya
(outlet) adalah Sungai Jaifuri yang terletak di sebelah timur danau yang mengalir dan bermuara
dekat perbatasan Papua New Guinea, yang menghadap ke Samudra Pasifik.
Gambar 3. Terdapat lebih dari 20 desa pemukiman penduduk di pantai dan
pulau-pulau di Danau Sentani. Sebagian rumah penduduk asli berupa rumah
panggung di atas air.
211
Danau Sentani mempunyai
struktur perairan yang stabil, dengan
suhu berkisar antara 29 - 32 oC pada
lapisan 10 m teratas, pH sekitar 6,2 –
6,8, dan kepadatan plankton 1-2
mg/L. Namun di perairan bagian barat,
yang sirkulasi airnya agak terbatas,
kekeruhan dapat meningkat dan marak
alga (algal blooms) dapat terjadi secara
musiman yang bisa menyebabkan
kematian ikan.
Dari aspek keanekaragaman
Gambar 4 . Teratai Nymphaea di Danau Sentani.
hayati, Danau Sentani cukup beragam
(aquapress-bleher.com)
dan mengandung berbagai spesies
endemik. Di danau ini dapat dijumpai sedikitnya 15 spesies tumbuhan akuatik, baik yang hidup
di bawah air maupun yang mengapung. Beberapa diantaranya yang dominan hidup di bawah
air adalah dari genus Hydrilla, Potamogeton, Vallisneria, Ceratophyllum sedangkan yang hidup
di permukaan misalnya teratai (Nymphaea sp.) serta eceng gondok (Eichornia crassipes) yang
di beberapa lokasi bisa terdapat cukup padat. Tumbuhan bawah air menutupi sekitar 5-10 %
luas perairan, sedangkan tumbuhan mengapung seperti eceng gondok menutupi sekitar 1 % luas
perairan danau.
Gambar 5 . Ikan endemik Danau Sentani. a) Ikan pelangi Sentani (Chilaterina
sentaniensis); b) Ikan pelangi merah (Glossolepis incisus); c) Ikan gabus Sentani
(Oxyeleotris heterodon); d) Ikan hiu gergaji (Pristis microdon).
212
Di danau ini terdapat sekitar 30 spesies ikan air tawar dan empat di antaranya
merupakan endemik Danau Sentani yaitu ikan gabus Sentani (Oxyeleotris heterodon), ikan
pelangi Sentani (Chilatherina sentaniensis), ikan pelangi merah (Glossolepis incisus) dan ikan
hiu Sentani (Pristis microdon). Di antara ikan endemik itu yang populasinya semakin menyusut
adalah ikan gabus Sentani. Sementara itu ikan hiu Sentani yang merupakan satu-satunya jenis
hiu gergaji yang terdapat di danau air tawar keberadaannya hampir punah, atau mungkin telah
punah. Ikan hiu ini termasuk jenis ikan yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan
melalui SK Mentan No.716/Kpts/Um/10/80 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan
dan satwa.
Penyebab utama punahnya ikan hiu gergaji Sentani adalah diintroduksinya alat tangkap
berupa jaring insang monofilamen pada tahun 1969 yang dimaksudkan untuk mendongkrak
produksi perikanan di danau
Sentani. Kenyataannya memang
introduksi jaring insang telah
menaikkan produksi perikanan di
danau ini secara signifikan.
Namun introduksi alat tangkap ini
tak diduga menimbulkan dampak
negatif terhadap kelesatarian ikan
hiu gergaji di danau ini. Ikan hiu
gergaji sebenarnya bukanlah ikan
target untuk ditangkap oleh
masyarakat setempat, tetapi ikan
ini sering ikut
terjaring dan
terbelit pada jaring insang. Makin
lama makin banyak ikan hiu
gergaji yang terjaring dan mati
Gambar 6. Foto lawas (tahun 1962) menunjukkan ikan
hingga melebihi kemampuan
hiu Sentani berukuran sekitar 3 m yang tertangkap oleh
pulihnya
yang
berakibat
nelayan setempat. Sekarang ikan hiu Sentani sudah tak
terancamnya
kelestariannya.
pernah lagi dijumpai. (41.media.tumblr.com)
Pada tahun 1969-1971 misalnya,
dengan penggunaan jaring insang
telah terjerat 151 ekor hiu gergaji Sentani. Tetapi pada tahun 1974 hiu gergaji Sentani hanya
tertangkap seekor saja dan bertahun-tahun berikutnya tidak pernah terdengar lagi. Namun hiu
Sentani masih hidup dalam ekpresi budaya masyarakat lokal.
Sebenarnya ikan hiu gergaji spesies Pristis microdon terdapat juga di berbagai lokasi di
Indonesia yang menghuni perairan laut hingga muara sungai. Tetapi hiu gergaji yang hidup di
danau air tawar hanya ada di Danau Sentani, dan ini yang membuatnya istimewa. Diduga
keberadaan hiu gergaji di Danau Sentani terkait dengan sejarah terbentuknya danau ini. Danau
Sentani dulunya berasal dari estuaria yang merupakan bagian dari laut yang menjorok jauh ke
darat. Aktivitas tektonik kemudian membendung perairan ini dan terbentuklah danau, yang
kemudian terangkat (uplifted) dan akhirnya putuslah hubungan langsungnya dengan laut.
Danau yang baru terbentuk yang semula merupakan bagian dari laut, lama kelamaan menjadi
tawar karena terus mendapat masukan air tawar dari daerah hulunya. Sementara itu ikan hiu
213
gergaji yang terperangkap di danau yang telah terbentuk itu mengalami perubahan makin
menyesuaikan dengan kondisi air yang akhirnya menjadi tawar.
Danau Sentani dengan segala sumberdaya alam dan pemanfaatannya telah memberikan
manfaat ekonomi bagi masyrakat Sentani dan sekitarnya. Halomoan (2012) misalnya, telah
mengadakan penelitian tentang nilai ekonomi Danau Sentani yang menunjukkan nilai ekonomi
total Danau Sentani adalah sebesar Rp. 51.179.921.700/tahun. Nilai ekonomi Danau Sentani
sebagai budidaya perikanan mencapai Rp. 7.507.500.000/tahun, sedangkan sebagai produsen
ikan tangkap Rp 27.256.250.000/tahun. Nilai ekonomi sebagai sumber air minum masyarakat
sebesar Rp. 13.305.500.000/tahun. Sebagai obyek wisata alam mencapai Rp.
790.759.200/tahun, ditambah dengan pelaksanaan Festival Danau Sentani sebesar Rp.
1.750.000.000. Nilai ekonomi Danau Sentani sebagai transportasi yakni Rp. 569.921.500/tahun.
Kegiatan
perikanan
di
Danau Sentani terdiri dari perikanan
tangkap dan perikanan budidaya.
Perikanan tangkap dilaksanakan oleh
nelayan
setempat
dengan
menggunakan
alat
tangkap
sederhana seperti pancing, tombak,
jala, jaring, sedangkan perahu yang
digunakan adalah perahu kayu tak
bercadik.
Jumlah
nelayan
diperkirakan sekitar 900 orang yang
tersebar di tiga wilayah dengan
besaran 45 % di wilayah barat, 42 %
di wilayah tengah, dan 13 % di
Gambar 7. Perikanan budidaya dengan Karamba
wilayah timur Danau Sentani. Jenis
Jaring Apung di Danau Sentani
ikan yang tertangkap sebanyak 16
(papua.antaranews.com/berita)
jenis, 9 diantaranya merupakan ikan
asli (indigenous species). Jenis yang
umum adalah ikan hewu atau ikan pelangi Sentani (Chilaterina sentaniensis) , gete-gete
(Apogon whichmani), sembilang (Hemipimelodus venutinus), gabus putih (Ophiocira aporas).
Hasil tangkapan diperkirakan sebesar 1.823 ton/thn. Hasil tangkapan nelayan 4,2 - 5,6
kg/hari atau rata-rata sekitar 4,7 kg/hari dengan potensi produksi sebesar 8.922 ton/thn
sehingga pemanfaatannya baru sebesar 18% (KLH, 2011).
Disamping perikanan tangkap, perikanan budidaya juga sudah dikembangkan di Danau
Sentani dengan menggunakan karamba jaring apung. Jenis ikan yang dominan dibudidayakan
adalah jenis ikan introduksi seperti ikan nila (Oreochromis niloticus), mujaer (Oreochromis
mossambicus), mas (Cyprinus carpio) dan gurame (Osphrenemus gouramy).
Saat ini Danau Sentani digunakan sebagai tampungan air untuk memenuhi kebutuhan air
masyarakat, baik domestik, industri maupun irigasi. Air yang keluar dari danau mengalir ke
Sungai Jaifuri yang kemudian masuk ke Sungai Tami. Air Sungai Tami ini melalui Bendung
Tami dimanfaatkan sebagai air irigasi untuk lahan pertanian kawasan transmigrasi Arso.
214
Gambar 8. Kiri: Pemanfaatan air Danau Sentani untuk irigasi (Walukow, 2009).
Kanan: Perahu merupakan sarana transportasi penting bagi masyarakat di Danau
Sentani.
Transportasi air merupakan prasarana penting bagi penduduk yang bermukim di di
pantai dan pulau-pulau di tengah danau. Perahu dan perahu motor menjadi sarana transportasi
utama untuk ke pasar, sekolah dan berbagai aktifitas lainnya. Namun keterbatasan armada
perahu membuat warga sering mengabaikan keselamatan sebab tidak jarang satu perahu diisi
penumpang hingga melebihi kapasitas.
Dalam aspek pariwisata, Danau Sentani mempunyai daya pesona yang sangat menarik,
baik untuk wisata alam, maupun wisata budaya. Salah satu kegiatan yang selalu menjadi daya
tarik adalah pelaksanaan Festival Danau Sentani. Festival ini sendiri telah ditetapkan sebagai
festival tahunan dan masuk dalam kalendar pariwisata utama. Festival ini diisi dengan tariantarian adat di atas perahu, tarian perang khas Papua, upacara adat seperti penobatan Ondoafi,
dan sajian berbagai kuliner khas Papua.
Gambar 9. Festival Danau Sentani, yang dilaksanakan tiap tahun pada bulan
Juni merupakan agenda pariwisata yang sangat menarik.
215
Danau Sentani memang telah memberi banyak manfaat bagi masyarakat sekitarya.
Namun pemanfaatan yang tidak dilandasi pertimbangan kelestarian lingkungan telah
menimbukan berbagai masalah. Beberapa masalah lingkungan yang dihadapi di Danau Sentani
antara lain: pencemaran air dan sedimentasi.
Kajian lingkungan yang pernah
diadakan
di
Danau
Sentani
mengindikasikan perairan danau ini
telah telah tercemar, mulai dari
tercemar ringan, sedang hingga berat.
Tinggi rendahnya nilai mutu air
dipengaruhi oleh beberapa kegiatan
masyarakat baik yang di hulu sungai
maupun yang di sempadan danau,
yang limbahnya kemudian mengalir
masuk ke danau. Sumber limbah
antara lain dari kegiatan pemukiman,
pertanian,
perikanan,
dan
pertambangan galian golongan C
seperti tanah,
pasir dan batu. Gambar 10 . Erosi di lereng perbukitan menimbulkan
masalah sedimentasi di Danau Sentani.
Kerusakan lahan di daerah tangkapan
danau juga telah menyebabkan
terjadinya erosi yang menyebabkan makin keruh dan makin dangkalnya perairan danau.
RUJUKAN
Halomoan, H. 2012. Valuasi ekonomi Danau Sentani di Kabupaten Jayapura. Ecotrophic Vol
7, No. 2: 135 – 144.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Sentani. http://limnologi.lipi.go.id/danau/profil.php
Syafputri, E. 2012. Hiu Gergaji Sentani riwayamu kini. (http://www.antaranews.com)
Walukow, A. F. 2009. Rekayasa model pengelolaan danau terpadu berwawasan lingkungan.
Studi kasus di Danau Sentani. Disertasi. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Waroy, G. A. D. 2013. Kajian Pencemaran lingkungan perairan akibat limbah domestik di
Danau Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua (Studi kasus di Desa Yoka dan
Tanjung Elmo). Tesis S2. Magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gajah Mada.
216
32. DANAU BATUR
D
anau Batur terletak di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali,
termasuk jenis danau kaldera aktif yang berada pada ketinggian (altitude)
1.031 m diatas permukaan laut. Secara geografis, Danau Batur terletak pada
o
koordinat 115 22' 42,3" – 115o 25' 33,0" BT (Bujur Timur) dan 8o 13' 24,0" – 8o 17' 13,3" LS
(Lintang Selatan).
Gambar 1. Atas: Peta Danau Batur. Bawah: Panorama Danau Batur.
Kaldera Gunung Batur diperkirakan terbentuk akibat dua letusan besar yang terjadi
sekitar 20.000 dan 30.000 tahun yang lalu. Di dalam kaldera tersebut terbentuklah Danau Batur
yang berbentuk bulan sabit yang menempati bagian tenggara kaldera. Danau Batur mempunyai
panjang sekitar 7,5 km, lebar maksimum 2,5 km, kelilingnya sekitar 22 km, dan merupakan
danau terbesar di Pulau Bali. Luas danau sekitar 16 km2 dengan volume air 815,38 juta m3 .
Kedalaman maksimumnya 88 m dan kedalaman rata-rata 50,8 m. Danau ini terkungkung, tak
mempunyai pintu keluar berupa sungai. Air Danau Batur bersumber dari air hujan dan
rembesan-rembesan air dari pegunungan sekitarnya dengan luas daerah tangkapan air 105,35
km2 .
217
Danau Batur dikelilingi oleh lahan dengan dua
topografi yang berbeda, yaitu di bagian barat merupakan
dataran rendah yang bergelombang sampai gunung
(Gunung Batur dengan ketinggian 1.717 m di atas
permukaan laut) dan di bagian utara, timur dan selatan
merupakan daerah perbukitan terjal sampai gunung
(Gunung Abang dengan ketinggian 2.172 m di atas
permukaan laut).
Sebagian besar lahan di sekitar danau
dimanfaatkan sebagai tegalan yaitu mencapai 49,35%.
Lahan ini digunakan untuk budidaya tanaman sayursayuran dan hortikultura, terutama di bagian barat dan
selatan danau. Di sekitar danau terdapat sebaran hutan
berupa hutan rakyat dan hutan negara. Sebaran hutan
negara di sekitar danau meliputi areal seluas 3.281,7 ha
(27,84%), meliputi hutan lindung di bagian utara dan
selatan danau dan hutan taman wisata alam di bagian
barat. Lahan yang dimanfaatkan untuk kebun sebesar
Gambar 2. Peta kedalaman
4,59%, lahan untuk pekarangan hanya sebesar 2,22% dan
(batimetri) Danau Batur. (Whitten
selebihnya berupa lahan lain-lain yaitu lahan kritis bekas
et al. 1996)
lahan Gunung Batur.
Ekspedisi limnologi Indodanau ke Danau Batur
tahun 1992 (Lehmusluoto et al. 1997) mencatat bahwa struktur perairan danau ini mempunyai
stratifikasi yang lemah, dan merupakan danau yang kadar garamnya sangat tinggi tercermin dari
konduktivitas elektriknya berkisar 1.750 – 1.800 µS/cm, dan konsentrasi padatan terlarut
(dissolved solids) sekitar 1.340 – 1.520 mg/l. Nilai pH nya juga tinggi sampai 8,8 terutama di
lapisan atas (epilimnion). Kandungan hara (nutrient) danau ini agak rendah dengan total
nitrogen 0,256 sampai 0,970 mg N/l dan fosfor dari tak terdeteksi hingga 0,028 mg P/l.
Kandungan klorofilnya berkisar 0,57 hingga 3,83 mg/m3. Komposisi fitoplanktonnya agak
beragam, namun diatom jenis Synedra acus tercatat dominan di bulan September 1992.
Kecerahan air (transparency) berkisar 3,0 hingga 3,2 m. Secara keseluruhan danau ini tergolong
miskin (oligotrofik). Namun studi lebih mutakhir yang dilaksanakan oleh Suryono et al. (2008)
menunjukkan bahwa Danau Batur telah mengalami penyuburan atau eutrofikasi ringan akibat
kegiatan masyarakat setempat berupa pengembangan perikanan dengan menggunakan Karamba
Jaring Apung (KJA) .
Dari aspek hidrologinya, Suryati & Samuel (2012) menyebutkan banyak terdapat aliran
air dalam tanah yang mengalirkan air dari Danau Batur yang kemudian muncul menjadi mata
air di beberapa tempat dan dianggap oleh masyarakat setempat sebagai “tirta suci”. Selain itu
rembesan dari Danau Batur tersebut juga merupakan sumber mata air tawar bagi sebagian besar
sungai yang berada di Bali.
Danau Batur memiliki fungsi sebagai sumber keanekaragaman hayati berbagai biota air
dan darat, habitat berbagai jenis fauna endemik, serta fungsi sosial ekonomi budaya di kawasan
tersebut. Berbagai jenis tumbuhan air yang terdapat di Danau Batur antara lain bintang- bintang
(Azola pinnata), eceng gondok (Eichornia crassipess), ganggang (Hydrilla verticillata),
218
ganggang (Myriophylum brasiliense), kangkung (Ipomoea aquatica), kapu-kapu (Pistia
stratiotes), Poligonum barbatum, pugpug (Humenachne pseudointerrupta), rumput jarum
(Najas indica), rumput simpul (Chara vulgaris) dan toke-toke (Lemna perpusila). Sedangkan
jenis-jenis plankton yang ada tergolong ke dalam tiga kelas yaitu Cyanophyta, Chlorophyta dan
Diatomae.
Jenis-jenis ikan yang umum di Danau Batur terdiri atas enam jenis, yaitu ikan mas
(Cyprinus carpio), ikan nila (Oreochromis nilotica), ikan mujaer (Oreochromis
mossambicus), ikan nyalyan (Rasbora sp.), ikan gabus (Ophiocephalus sp.) dan ikan lele
(Clarias batrachus). Dari keenam jenis ikan tersebut, yang tergolong jenis ikan ekonomis
penting dan merupakan ikan-ikan target adalah ikan mas, ikan nila dan ikan mujaer.
Gambar 3. Restoran apung dan Kramba Jaring Apung (KJA)
makin banyak tumbuh di perairan Danau Batur, Bali (Harian
Kompas, 27 September 2015)
Gambar 4. Kondisi Danau Batur di wilayah Seked pasca terjadinya kematian
massal ikan dalam karamba bulan Juli 2015 (balipost.com)
219
Kegiatan perikanan makin berkembang di danau ini seiring dengan makin pesatnya
kegiatan kepariwisataan dan pemukiman di sekitar danau. Budidaya ikan dengan menggunakan
Karamba Jaring Apung (KJA) sudah makin bertumbuh disertai dengan makin tumbuhnya pula
restoran-restoran apung di tepi danau. Ikan yang dibudidaya adalah ikan introduksi terutama
ikan nila (Oreochromis niloticus) dan mujaer (Oreochromis mossambicus). Apabila
pertumbuhan perikanan budidaya ini tak terkendali, akan berpotensi menimbulkan masalah
lingkungan. Suryati & Samuel (2012) misalnya telah melaporkan bahwa pada bulan Juni 2011
telah terjadi kematian massal ikan karamba jaring apung di Danau Batur yang mengakibatkan
kerugian bagi nelayan dengan nilai lebih dari 3 milyar Rupiah. Laporan yang lebih mutakhir
menyebutkan kasus yang sama terjadi di bulan Juli 2015 yang menyebabkan kematian ikan
dalam jumlah besar di Danau Batur yang didahului dengan perubahan warna air, dari semula
jernih menjadi keruh keputihan disertai bau belerang yang menyengat.
Menurut Wijaya et al. (2012) potensi produksi sumberdaya ikan dapat dihitung
berdasarkan kandungan klorofil-a di perairan. Berdasarkan asumsi itu penelitiannya di Danau
Batur memberikan estimasi potensi produksi sumber daya ikan di Danau Batur berkisar antara
221,2 – 270,3 kg/ha/tahun. Penelitian yang dilakukan tahun 2011 itu menunjukkan pula bahwa
kondisi kualitas perairan di Danau Batur masih baik untuk kehidupan sumber daya ikan di
habitat alaminya.
Danau Batur mempunyai bentang alam pegunungan dan danau yang indah hingga
merupakan tujuan wisata yang sangat terkenal. Di tepi timur danau ini terdapat desa tua yang
bernama Trunyan yang mencerminkan peradaban Bali kuno (sebelum masuknya agama Hindu)
atau disebut Bali Aga. Di desa ini orang yang sudah meninggal tidak dikubur tetapi diletakkan
begitu saja di bawah pohon tertentu tetapi mayat-mayat itu tidak mengeluarkan bau sama sekali.
Gambar 5. Tempat pemakaman mayat di alam terbuka tanpa dikuburkan
di desa Trunyan, pantai timur Danau Batur. (wisatabaliutara.com)
Baru-baru ini Kaldera Gunung Batur ditetapkan sebagai Global Geopark Network atau
taman bumi oleh UNESCO pada 20 September 2012 dalam Sidang Konferensi Geopark 11 di
Portugal. Ini berarti Kawasan Danau Batur menjadi taman bumi pertama di Indonesia yang
ditetapkan secara resmi oleh UNESCO. Oleh karena itu, beberapa kegiatan pembangunan telah
220
dikembangkan untuk lebih mensosialisasikan Danau Batur sebagai taman bumi (geopark).
Dengan demikian pengunjung yang datang tak sekadar menikmati alam, namun juga
mendapatkan informasi mengenai batuan, satwa endemik, dan hal-hal lain berkaitan dengan
kawasan tersebut sebagai taman bumi.
RUJUKAN
Green, J., S. A. Corbet, E. Watts & Oey Biauw Lan. 1978. Ecological studies of Indonesian
lakes. The montane lakes of Bali. J. Zool. London, 186: 15-38.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI,. 2014. Danau Batur. http://danau.limnologi.lipi.go.id/danau.
Suryati, N.K. & Samuel. 2012. Fungsi strategis Danau Batur, Perubahan ekosistem dan masalah
yang terjadi. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Suryono, T., S. Nomosatryo & E. Mulyana. 2008. Tingkat kesuburan danau-danau di Sumatra
dan Bali. Limnotek, vol XV, No. 2: 99 – 111.
Whitten, A., R. E. Soeriaatmadja & S. A. Afiff. 1996. The ecology of Java and Bali. Ecology
of Indonesia Series. Vol.II. Dalhousie University: 969 pp.
Wijaya, D., A. F. Sentosa & D W. H. Tjahjo. 2012. Kajian kualitas perairan dan potensi
produksi sumberdaya ikan di Danau Batur, Bali. Prosiding Seminar Nasional Lmnologi
VI Tahun 2012: 386 – 399.
221
33. DANAU BRATAN, BUYAN DAN TAMBLINGAN
D
anau Bratan terletak di kawasan Bedugul, Desa Candikuning, Kecamatan
Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Posisi geografisnya kurang lebih 8,17° LS
(Lintang Selatan) dan 115,10° BT (Bujur Timur) dengan ketinggian (altitude)
1.290 m di atas permukaan laut. Luasnya 3,90 km2, kedalaman maksimum 23 m, dan
volumenya 49 juta m3. Danau Bratan merupakan danau vulkanik yang terdapat dalam satu
kaldera besar, yang di dalamnya terdapat pula dua danau lainnya yakni Danau Buyan dan
Danau Tamblingan ( Gambar 1).
Gambar 1. Peta Danau Bratan, Danau Buyan dan Danau Tamblingan, di Bali.
Gambar 2. Pura Ulun Danu di tepi Danau Bratan (ksmtour.com)
222
Gambar 3. Danau Buyan (wanderingeducators.com).
Gambar 4. Danau Tamblingan (yandeardanaphotography.com)
Tabel 1. Karakteristik danau-danau di kaldera Bratan, Bali (Whitten et al. 1996)
Danau Bratan
Danau Buyan
Danau Tamblingan
Luas maksimum
(km2 )
3,9
3,7
1,2
Kedalaman
maksimum (m)
23
70
40
223
Volume
(m3 x 106)
49
116
27
Ketinggian
(m)
1.290
1.217
1.200
Danau Buyan berada pada ketinggian 1.217 m di atas permukaan laut, dengan luas 3,70
km dan kedalaman 70 m, sedangkan Danau Tamblingan pada ketinggian 1.200 m, luas 1,2
km2 dan kedalaman 40 m.
Danau Bratan berada di daerah pegunungan yang beriklim dingin dan menjadi salah satu
daerah tujuan kunjungan wisata yang terkenal di Bali. Daerah sekitarnya banyak dimanfaatkan
untuk pertanian hortikultura seperti sayur-mayur. Di dekat danau ini terdapat pula Kebun Raya
Eka Karya yang dikelola oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Di tepi barat
Danau Bratan terdapat sebuah pura yang dikenal sebagai Pura Ulun Danu, yang merupakan
meru dengan atap bertingkat sebelas yang sangat indah. Pura Ulun Danu Bratan ini masyhur
sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Dewi Danu sebagai pemberi kesuburan.
Danau Bratan yang dikunjungi oleh Ekspedisi Limnologi Indodanau tahun 1992
(Lehmusluoto et al. 1997) menunjukkan perairan ini mempunyai stratifikasi yang lemah dan
dengan konduktivitas yang rendah. Kandungan hara (nutrient) seperti total nitrogen dan fosfor
umumnya sangat rendah. Kandungan klorofil berkisar 5,59 – 7,33 mg/m3 dengan kecerahan
(transparency) 1,8 m. Perairan Danau Bratan ini termasuk oligotrofik (miskin hara), meskipun
belakangan ini telah terindikasi mengalami pengayaan (eutrofikasi). Pada bulan September
1992 fitoplankton jenis Staurastrum tetracerum mendominasi perairan danau ini. Kegiatan
rekreasi air seperti berperahu motor (motor boating) sudah berkembang, tetapi dikhawatirkan
kegiatan semacam ini dapat menimbulkan pencemaran minyak di danau yang kecil ini.
Studi oleh Kosasih (2007) di Danau Bratan mengenai pengaruh limbah domestik
terhadap kualitas air di danau ini menunjukkan bahwa (1) limbah cair domestik memiliki
konsentrasi bahan organik yang cukup tinggi, hal ini terbukti dari tingginya nilai BOD
(Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) yang diikuti dengan
rendahnya DO (oksigen terlarut) karena oksigen habis digunakan untuk mengurai bahan
organik pada air limbah; (2) air danau sudah terkontaminasi oleh bakteri Escherichia coli
namun masih dalam ambang batas yang telah ditetapkan dan masih bisa diatasi dengan
pengolahan yang sederhana.
Danau Buyan dan Danau Tamblingan letaknya berdampingan sangat dekat hingga
sering disebut sebagai danau kembar. Kedua danau ini merupakan cekungan endorheic yang
terkungkung, berarti tak ada aliran masuk ataupun aliran keluar danau yang jelas.
Kawasan kedua danau ini merupakan kawasan lindung (Taman Wisasta Alam) yang
juga merupakan kawasan suci. Keaslian alam di kawasan danau-danau ini pada umumnya
masih sangat baik. Namun studi mutakhir yang dilaksanakan oleh Subehi et al. (2014)
menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tata guna lahan di sekitar kedua danau ini. Luas
kawasan hunian di sekitar kedua danau ini bertumbuh sekitar 76,4 ha hingga 118,2 ha, terutama
berasal dari lahan persawahan dan pertanian. Sedimentasi di Danau Buyan dan Tamblingan
menunjukkan beban sedimen masing-masing sebesar 134,2 ton/tahun dan 111 ton/tahun. Bila
hal ini terus berlanjut akan mengancam kelestarian danau tersebut.
Belakangan ini telah terjadi perubahan lingkungan yang menimpa Danau Buyan. Pada
musim kemarau 2015, dilaporkan air Danau Buyan menyusut dan dipenuhi eceng gondok
(Eichornia crassipes) (Gambar 4).
Dari aspek kunjungan wisata kedua danau ini menarik karena tidak diperkenankan
menggunakan perahu bermesin yang bisa menimbulkan suara berisik, hanya boleh dengan
perahu dayung saja. Keheningan dan keaslian alam disini justru menjadikannya sangat
2
224
Gambar 4. Air Danau Buyan di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada,
Buleleng menyusut di musim kemarau, danau dipenuhi eceng gondok (2015).
(bali.tribunnews.com)
mempesona. Di samping karena pesona alamnya, disini juga banyak terdapat pura, tempattempat suci umat Hindu yang menyimpan sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan
Bali, khususnya menyangkut pembentukan dan perkembangan Desa Tamblingan, pada abad 10
hingga 14 Masehi.
RUJUKAN
Giesen, W. 1994. Indonesia’s major freshwater lakes: A review of current knowledge,
development processes and threats. Mitt. Internat. Verein. Limnol. 24: 115 – 128.
Green, J., S. A. Corbet, E. Watts & Oey Biauw Lan. 1978. Ecological studies of Indonesian
lakes. The montane lakes of Bali. J. Zool. London, 186: 15-38.
Kosasih. 2007. Pengaruh limbah domestik terhadap kualitas air Danau Bratan di Daerah
Bedugul Bali. Tesis S2 Ilmu Lingkungan UGM.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Paramitha, I.G. A.P. 2014. Keanekaragaman pohon kawasan riparian di Taman Wisata Alam
Danau Buyan-Tamblingan. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VII: 484-499.
Subehi, L., H. Wibowo & I. Ridwansyah. 2014. Characteristics of physical catchment of Lake
Buyan and Lake Tamblingan, Bali – Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Limnologi
VII, 2014: 358 – 367.
Whitten, A., R. E. Soeriaatmadja & S. A. Afiff. 1996. The ecology of Java and Bali. Ecology
of Indonesia Series. Vol.II. Dalhousie University: 969 pp.
225
34. DANAU SATONDA
D
anau Satonda terletak di suatu pulau kecil yang namanya Pulau Satonda, yang
terletak di Laut Flores, sebelah utara Pulau Sumbawa, termasuk Kabupaten
Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografi posisinya berada pada
o
koordinat 8 7’ Lintang Selatan dan 117o 45’ Bujur Timur. Ukuran pulaunya memang kecil
hingga sering tidak tercantum dalam banyak peta, apalagi danaunya. Pulau Satonda sendiri,
telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan tanggal 22 Juni 1999 dengan luas 2.600 ha. Sebenarnya nama asli
danau itu adalah Danau Motitoi, tetapi lebih populer dikenal dengan nama Danau Satonda.
Danau ini tersohor di dunia ilmu pengetahuan sejak tahun 1984 ketika pertama kali ditemukan
sebagai danau yang mempunyai ciri yang sangat unik, yang mirip dengan kondisi samudra
zaman purba. Danau Satonda dipandang sebagai jendela kontemporer untuk dapat menengok
ciri kondisi laut kita miliaran tahun lampau. Danau Satonda telah menjadi salah satu “palaeooceanographic laboratory” alias “laboratorium oseanografi purba” yang paling menarik dan
unik di dunia.
Gambar 1. Peta lokasi Pulau Satonda
Danau Satonda (Danau Motitoi) dengan ketinggian muka air sekitar 1-2 m di atas
permukaan laut, mempunyai panjang sekitar 1,2 km dan lebar 0,9 km, dengan luas permukaan
0,77 km2. Kedalaman maksimumnya adalah 69,5 m dengan rerata 44 m, dan dengan volume
0,034 km3. Derajat keasamannya (pH) berkisar 7,08 – 8,27, dan suhu berkisar 28,3 – 39,0 oC.
Danau ini merupakan danau asin dengan salinitas sekitar 29,4 – 37,2 ‰.
Danau ini mempunyai dua kawah (crater) bersusun, yang kecil terdapat di bagian utara
(Gambar 2). Dinding kawah sekitar danau berdiri tegak setinggi 300 m di atas permukaan laut.
Depressi atau bagian cekungan yang membentuk danau tampaknya terjadi karena runtuhnya
226
kantong magma vulkanik sekitar 10.000 tahun lalu hingga membentuk satu kaldera. Ke arah
selatan dinding kawah tampilannya melandai ke arah laut hingga menyisakan dinding kawah
lama menjadi hanya selebar 60 m dan rendah sekitar 13 m di atas permukaan laut, yang kini
menjadi jalur akses menuju ke danau ini (Gambar 2).
Gambar 2. Kiri: Danau Satonda dari udara. Kanan: Peta batimeteri (kedalaman) Danau Satonda.
Ditemukannya keunikan Danau Satonda dalam kancah ilmu pengetahuan bermula ketika
diadakannya eskpedisi oseanografi Snellius II dengan kapal riset Tyro di tahun 1984, yang
merupakan kerjasama Indonesia - Belanda, menyinggahi pulau Satonda. Hasil pengukuran
berbagai parameter kimia dan ditemukannya berbagai formasi karbonat serta berbagai bentuk
kehidupan di danau ini yang mirip dengan fosil di era Palaeozoic (miliaran tahun lampau)
mengindikasikan kondisi yang sangat istimewa. Temuan awal ini kemudian dilanjutkan dengan
ekspedisi kapal riset Sonne ke Pulau Satonda yang merupakan ekspedisi oseanografi Indonesia
– Jerman di tahun 1986.
Gambar 3. Pemandangan Danau Satonda (Danau Motitoi) di Pulau
Satonda.
227
Dua ilmuwan Eropa yang
sangat berperan menyingkap rahasia
Danau Satonda dari ekspedisi ilmiah
ke Danau Satonda ini adalah Kempe
dan Kazmierczak. Bagi keduanya,
Danau Satonda merupakan fenomena
langka karena airnya yang asin dengan
alkalinitas (tingkat kebasaan) disertai
pH dan
kelarutan karbonat yang
sangat tinggi dibandingkan dengan air
laut umumnya. Kondisi lingkungan
ekstrim semacam ini umumnya akan
menumpas kehidupan biota makro
Gambar 4. Kempe dan Kazmierczak, ilmuwan
(macrobiota),
dan
kenyataannya
yang pertama mengungkapkan Danau Satonda
memang
tak ada kehidupan biota
sebagai representasi lingkungan samudra purba
makro yang bisa dijumpai hidup di
danau ini. Sebaliknya, di danau ini
dijumpai struktur berkapur seperti terumbu (calcareous reef-like structures) yang terdiri dari
hamparan alga-merah, serpulid (semacam cacing tabung), dan foraminifera serta cyanobacteria
yang mengendapkan kapur dan membentuk formasi karbonat yang disebut stromatolit. Struktur
stromatolit di dasar danau ini
sangat mirip dengan tipe
stromatolit yang pernah tersebar
luas di samudera bumi pada era
awal Plaeozoicum yang dimulai
sekitar 4.500 juta tahun lalu.
Istimewanya, kini orang dapat
menyelam dan mengobservasi
tampilan stromatolit modern
seperti yang ada di Danau
Satonda,
bagai
mengintip
lingkungan samudra zaman
purba, atau menurut Kempe et
al. (1997):
“Satonda: a
porthole view into the oceanic
past”.
Gambar 5. Salah satu tampilan bawah air di Danau
Satyana
(2011)
juga
Satonda menunjukkan stromatolit yang merupakan
mengungkapkannya dengan baik
struktur terumbu berkapur yang terbentuk dari alga,
sebagai berikut: “ Diving into the
serpulid, foramininfera dan cyanobacteria (Satyana,
Satonda Lake like ‘time-tunnel
2011)
travelling into the primitive
Earth’ when stromatolites predominated all structures in the early Earth’s oceans”.
Kempe dan Kazmierczak berpendapat basin Satonda muncul bersamaan dengan
terbentuknya kawah lebih dari 10.000 tahun lalu. Aslinya, danau itu berisi air tawar, yang
228
dibuktikan dari deposit gambut di bawah endapan yang menyerupai mineral laut di pinggir
danau. Danau itu lalu dibanjiri dengan air laut yang merembes melalui celah dinding kawah
yang runtuh. Pada waktu itu, permukaan air laut 1-1,5 m lebih tinggi dibandingkan saat ini.
Namun, ketinggian laut secara perlahan menyurut. Penapisan air laut melalui dinding kawah
pun melambat. Sekarang, ketinggian air danau relatif stabil (1-2 m di atas permukaan laut),
yang menandai tidak ada lagi hubungan dengan air laut di luarnya.
Gambar 6 . Gambar skematik kerak permukaan-terumbu dari zone PeyssonneliaLithoporella (0-15 m) di Danau Sataonda pada musim kemarau Oktober 1963.
Tampak cyanobacteria sangat umum terdapat di celah-celah antara thalli alga
merah berkapur (calcareous red algal thalli), sedangkan endapan karbonat nonskeletal dapat diamati hanya pada leraian (lysis) sel-sel alga hijau (Arp et al. 2003)
Perubahan lingkungan air Danau Satonda memengaruhi juga spesies yang hidup di
dalamnya. Kejenuhan karbonat dan alkalinitas air yang sangat tinggi
menyebabkan
pemusnahan hampir semua jenis biota makro, kecuali spesies gastropoda (keong/siput) tertentu,
seperti Cerithium corallium. Jenis ini diduga menjadi subspesies endemik Satonda. Selain itu
juga ditemui beberapa jenis alga di danau ini.
Dalam perkembangannya, Kempe dan Kazmierczak menuliskan, hujan membuat
permukaan air danau menjadi lebih tawar. Dugaan lain yang menyebabkan berkurangnya
salinitas permukaan danau adalah akibat letusan dahsyat Gunung Tambora tahun 1815, yang
letaknya hanya sekitar 30 km di sebelah timur Satonda. Letusan Gunung Tambora, yang
merupakan letusan terdahsyat yang pernah tercatat dalam sejarah, telah menghancurkan hutan
di Satonda. Tiadanya pepohonan menyebabkan berkurangnya penguapan, air hujan pun banyak
229
yang terkumpul di kawah. Itu menyebabkan lapisan air bagian atas menjadi lebih tawar. Pada
saat yang sama, sebagian air yang lebih tua dan lebih asin tertekan ke bawah atau merembes
keluar danau melalui pori-pori bebatuan vulkanik yang terbuka.
Gambar 7. Kiri: Papan penanda Taman Wisata Alam Laut Pulau Satonda. Kanan:
Fasilitas pendaratan di pantai Pulau Satonda.
Lepas dari temuan ilmiah yang mengindikasikan Danau Satonda dapat dijadikan sebagai
laboratorium oseanografi-purba, Pulau Satonda sendiri menawarkan kondisi alami yang sangat
menarik untuk pengembangan pariwisata yang telah mengantarkan dinobatkannya Pulau
Satonda sebagai Taman Wisata Alam
Laut sejak tahun 1999 lewat
Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan. Taman Wisata ini
dikelola oleh Balai Konservasi
Sumber Daya Alam Nusa Tenggara
Barat. Taman ini tidak hanya
menawarkan adanya danau yang unik
tetapi juga lingkungan daratan pulau,
pantai berpasir dan laut dengan
terumbu
karang
yang
kaya
mengelilingi
Pulau
Satonda.
Keunikan alam di Pulau Satonda ini
telah menarik banyak turis mancaGambar 7. Tidak seperti perairan di dalam danau
negara.
yang berpenampilan suram, perairan laut sekitar
Sebagai ilustrasi, ada beberapa
Pulau Satonda cerah dan kaya akan terumbu karang
jenis karang batu dan karang lunak di
dengan berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya.
perairan laut yang mengitari Pulau
(dians999.files.wordpress.com)
Satonda, antara lain Acroporidae,
Xenia sp, Favidae, Sarcophyton sp,
Labophyton sp, Hetractris crispa, Nephtea sp, Capnella sp, Lemnalia sp, dan Astrospicularis
sp. Tentunya di antara karang-karang tersebut hidup pula beragam jenis ikan karang dan biota
laut lainnya. Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) juga kerap terlihat berenang dan mencari
230
makan di sekitar terumbu karang Pulau Satonda. Adapun jenis flora daratan yang menjadi
kekayaan pulau ini antara lain ketapang (Terminalia catappa), pandan laut (Pandanus
tectorius), beringin (Ficus sp), waru laut (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (Calophyllum
inophyllum), Mentigi (Pemphis acidula) dan asam (Tamarindus indica).
RUJUKAN
Arp, G., A. Reimer & J. Reitner. 2003. Microbiolite formation in seawater of increased
alkalinity, Satonda Crater Lake, Indonesia. Journal of Sedimentary Research, vol.73,
No. 1, January 2003: 105-127.
Kempe, S., J. Kazmierczak A. Reimer, G. Landmann & J. Reitner. 1996. Microbiolites and
hydrochemistry of the Crater Lake of Satonda – a Status Report. In Reitner, J.
Neuweler, F. & Gunkel, F. (eds. 1996). Global and regional controls of biogenic
sedimentation. I. Reef Evolution Research Reports – Göttinger Arb. Geol. Paläont. Sb2.
59-63, Göttingen.
Kempe, S., J. Kazmierczak, A. Reimer & G. Landman. 1997. Satonda: a porthole view into the
oceanic past. In J. Tomascik., A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Moosa (eds). The Ecology
of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesia Series. Volume VIII, Dalhousie
University: 156-166.
Satyana, A. H. 2011. Stromatolites of Satonda Island Crater Lake, Nort Sumbawa: modern
analogue for petroleum opportunities of pre-Cambrian and early Palaeozoic reefs in
Indonesia. Geologcal Fieldtrip. Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI).
231
35. DANAU SEGARA ANAK
D
anau Segara Anak adalah danau kawah (crater lake) Gunung Rinjani yang
berada di Desa Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok
Timur, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografi
posisinya berada pada koordinat 8o25’00” Lintang Selatan – 116o28’00” Bujur Timur. Nama
Segara Anak berarti Laut Kecil yang diberikan untuk itu karena danaunya memang berukuran
kecil dengan warna air biru bagaikan air laut.
Gambar 1. Lokasi Danau Segara Anak di Pulau Lombok.
Gambar 2. Panorama Danau Segara Anak Rinjani dengan kerucut Gunung Barujari.
Danau Segara Anak berikut Gunung Rinjani termasuk dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Rinjani. Gunung Rinjani sendiri merupakan gunung api tertinggi kedua di Indonesia,
232
setelah Gunung Kerinci di Sumatra. Gunung Rinjani mempunyai puncak setinggi 3.726 m.
Di lereng sebelah baratnya terdapat kaldera yang di dalamnya terdapat kerucut Gunung Barujari
(Baru Jadi) dengan puncak 2.376 m, dan Danau Segara Anak yang bentuk umumnya bagaikan
bulan sabit dengan elevasi atau ketinggian muka airnya 2.008 m di atas permukaan laut.
Gambar 2. Danau Segara Anak, Gunung Barujari dan Gunung Rinjani
Erupsi pertama Gunung Rinjani yang tercatat dalam sejarah terjadi pada bulan
September 1847, dan sejak itu aktivitas Rinjani hanya terbatas pada kerucut gunung Barujari.
Kerucut Barujari terbentuk setelah erupsi tahun 1994, 1995, dan 1996. Erupsi Barujari lebih
mutakhir terjadi pada tahun 2009 dan tahun 2015 yang mengalirkan lava dan menimbulkan
dampak pada kondisi Danau Segara Anak. Dengan posisi yang melekat dengan gunung api aktif
itu, maka kondisi Danau Segara Anak
akan sangat ditentukan oleh dinamika
vulkanisme Gunung Barujari.
Pasca letusan Gunung Barujari
tahun 2009 telah diadakan kajian tentang
dampaknya terhadap kondisi Danau
Segara Anak
yang menghasilkan
berbagai informasi baru tentang danau
yang megah ini (Global Volcanism
Program. 2009; Solikhin et al. 2010).
Danau ini mempunyai luas sekitar 11
km2, dengan kedalaman maksimum 230
m, sedangkan volumenya (sebelum
erupsi tahun 2019) adalah 1,02 km3. Ini
mungkin merupakan danau vulkanik panas Gambar 3. Peta batimetri (kedalaman) Danau
terbesar di dunia. Peta batimetri Segara Anak (Global Volcanism Program. 2009)
(kedalaman)
Danau
Segara
Anak
233
disampaikan pada Gambar 3 yang menunjukkan bagian terdalam terdapat kurang lebih di
bagian barat danau.
Air danau bersifat netral (pH: 7 – 8) dan komposisi kimia airnya didominasi oleh klorida
dan sulfat dengan TDS (Total Suspended Solids) 2640 mgl yang relatif tinggi. Nilai TDS serta
suhu air permukaan danau (20 – 22 oC) yang jauh di atas suhu suhu ruang (14 – 15 oC) yang
tidak lazim untuk ketinggian ini, mencerminkan pasokan fluida hidrotermal yang besar ke
danau ini. Sejumlah mata air panas terletak sepanjang kaki kerucut Barujari, dan beberapa
tempat di tepian danau, dan menjadi tujuan wisata air panas. Hasil pengamatan juga
menunjukkan beberapa bagian danau menghasilkan gelembung-gelembung gas yang keluar dari
dasar danau dan menunjukan pelepasan CO2 yang signifikan ke dalam danau. Contoh sebaran
suhu di Danau Seagara Anak disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Kiri: Sebaran suhu permukaan perairan Danau Segara Anak pada
tanggal 23 Januari 2005. Kanan: Profil sebaran suhu vertikal di Danau Segara
Anak di tahun 2005, 2006, 2007 dan 2009 . (Global Volcanism Program. 2009)
Gambar 5. Erupsi Gunung Barujari tahun 2005 (kiri) dan tahun 2015 (kanan) berdampak pada
kondisi Danau Seagara Anak.
Gunung Barujari bila sedang erupsi tidak hanya menyemburkan debu vulkanik tetapi
juga mengalirkan lava hingga mencapai Danau Segara Anak dan menyebabkan naiknya suhu
234
perairan danau. Kemudian, aliran lava ini setelah mengendap akan menyebabkan pula luas areal
danau makin berkurang. Endapan lava hasil erupsi 31 Agustus 2009 misalnya, menyebabkan
berubahnya garis pantai secara sigifikan dan berkurangnya areal danau seluas 0,46 km 2 (Global
Volcanism Program. 2009).
Gambar 6. Erupsi Gunung Barujari (10 Juni 2009) sebagaimana tertangkap dengan
kamera termal FLIR yang menunjukkan lidah aliran air panas mengalir dari pintu
masuk aliran lava ke Danau Segara Anak. (Global Volcanism Program. 2009)
Kasus yang lebih mutakhir yakni erupsi Gunung Barujari pada 2 - 9 November 2015
yang menyemburkan debu sampai setinggi 2.500 m dan menyebabkan suhu air Danau Segara
Anak naik dari sekitar 21 oC menjadi 36 – 39 oC. Aliran lava berikut lontaran material Gunung
Barujari semuanya menumpuk di Danau Segara Anak. Akibatnya, meningkatkan permukaan
danau dan mengancam terjadinya banjir bandang lewat Kokok (Sungai) Putih. Selama 2 – 9
November 2015 tercatat lontaran lahan dan material lainnya dari Gunung Barujari ke Danau
Segara Anak sebesar 3 juta m3. Dampak lebih lanjut dari erupsi Gunung Barujari ini adalah
debu yang dimuntahkannya menyebabkan terganggunya jadwal penerbangan di Bandara
Internasional Lombok, dan Bandara Internasional Ngurah Rai di Bali yang menimbulkan tidak
sedikit kerugian ekonomi.
Gambar 7. Wisata alam di Danau Segara Anak: perkemahan (kiri) dan pemancingan (kanan)
235
Lepas dari masalah vulkanisme, Danau Segara Anak sebenarnya mempunyai potensi
yang sangat baik untuk pengembangan wisata, terutama untuk wisata alam. Justru tampilannya
yang eksotik yang merupakan perpaduan antara gunung api dan danau merupakan daya tarik
tersendiri yang banyak dipromosikan dalam
kegiatan kepariwisataan. Wisata pendakian
Gunung Rinjani boleh dikatakan selalu
memilih jalur yang menyusuri Danau
Segara Anak. Para pendaki Gunung Rinjani
biasanya memanfaatkan waktu untuk
berkemah di tepian Danau Segara Anak
yang menyajikan pemandangan yang asri
dengan suhu udara yang sejuk. Disamping
itu
para
wisatawan
dapat
pula
memanfaatkan
kesempatan
untuk
memancing di danau ini. Pemerintah
Gambar 8. Salah satu tempat pemandian air
setempat telah menebar bibit ikan nila,
panas di tepian Danau Segara Anak.
mujaer, dan ikan mas di danau ini beberapa
waktu lalu untuk lebih menambah daya
tarik wisata Danau Segara Anak. Di samping itu, di beberapa tempat sekitar pantai Danau
Segara Anak tedapat sumber mata air panas yang dapat dimanfaatkan oleh wisatawan untuk
mandi air panas.
RUJUKAN
Global Volcanism Program. 2009. Report on Rinjani (Indonesia). In: Wunerman, R. (ed.),
Bulletin of the Global Volcanism Network, 34: 9. Smithsonian Institution.
http://dx.doi.org/10.5479/si. GVP.BGVN2009-264030.
Harian Kompas. 2015. Hujan tak mampu meredam abu Barujari. Harian Kompas, 12 November
2015.
Harian Kompas. 2015. Lava mencapai Segara Anak. Waspadai banjir bandang akibat naiknya
permukaan danau. Harian Kompas, 10 November 2015.
Solikhin, A., S. I. Kunrat, A. Bernard, B. Barbier & R. Campion. 2010. Geochemical and
thermodinamic modelling of Segara Anak Lake and the 2009 eruption of Rinjani
Volcano, Lombok, Indonesia. Jurnal Geologi Indonesia, Vol 5, No. 4 Desember 2010:
227-239.
236
36. DANAU RAWA TALIWANG
D
anau Rawa Taliwang terdapat di Kecamatan Taliwang dan Kecamatan Seteluk,
Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lokasinya tak
jauh dari kota Taliwang, ibukota Kabupaten Sumbawa Barat. Danau ini sering
pula dikenal sebagai Lebo Taliwang, namun dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan tahun 1999, danau ini dan sekitarnya ditetapkan dengan nama Taman Wisata Alam
Danau Rawa Taliwang.
Secara geografis, Danau Rawa Taliwang berada pada koordinat 8o40’54“- 8o43’9“
Lintang Selatan dan 116o50’52“- 116o55’27“ bujur timur, yang memanjang dari utara ke selatan
sepanjang + 5 km. Ada dua sungai utama sebagai pintu masuk (inlet) ke danau ini yakni Sungai
Seteluk dan Sungai Rempe sedangkan pintu keluar (oulet)-nya adalah Sungai Taliwang.
Gambar 1. Peta lokasi dan panorama Danau Rawa Taliwang
237
Bagian timur danau merupakan daerah perbukitan yang berderet dari utara ke selatan di
antaranya bukit Olat Pedatu Terate, Olat Liu, Olat Bara Batu, Olat Penyiong, Olat Sepang, dan
Olat Cerme. Keberadaan bukit-bukit di sekitar danau sangat penting sebagai daerah tangkapan
air. Bermuaranya Sungai Seteluk dan Sungai Rempe di Danau Rawa Taliwang berpengaruh
bagi perkembangan ekosistemnya karena merupakan pintu masuk (inlet) yang membawa
berbagai macam limbah domestik dari pemukiman desa-desa di wilayah Kecamatan Seteluk ke
dalam perairan danau.
Kawasan danau ini telah
ditetapkan sebagai Taman Wisata
Alam berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan dan Pekebunan
tanggal 15 Juni 1999 dengan luas
1.406 ha. Dalam Rencana Tata Ruang
Nasional, danau ini termasuk dalam
salah satu dari 351 daftar Kawasan
Lindung Nasional. Danau Rawa
Taliwang berada pada ketinggian 7,5
m di atas permukaan laut dengan
kedalaman perairan antara 0,70 m
sampai dengan 3,5 m. Danau yang
merupakan lahan basah alami daratan
Gambar 2. Perairan Danau Rawa Taliwang
ini merupakan yang terluas di Provinsi
menyusut di musim kemarau. (google.co.id)
Nusa Tenggara Barat yang mempunyai
kapasitas tampungan air sekitar 170
3
juta m . Danau ini berada dalam pengelolaan konservasi di bawah Balai Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Sumbawa Barat.
Gambar 3. Danau Rawa Taliwang yang dangkal banyak ditumbuhi berbagai jenis
tumbuhan air seperti rerumputan Phragmites (kiri) dan teratai Nymphaea (kanan)
238
Iklim kawasan Danau Rawa Taliwang termasuk dalam tipe D, dengan rata-rata curah
hujan berkisar 1.826 mm – 1.934 mm per tahun. Pada umumnya hujan di kawasan Taliwang
berlangsung antara bulan November hingga Mei, sedangkan selebihnya lebih merupakan
musim kemarau. Suhu udara rata-rata bervariasi dari 22,33 oC sampai 26,61 oC, tekanan udara
1.009 mbs – 1.012 mbs. Tekanan udara maksimum terjadi pada bulan Juli – September,
sedangkan minimum pada bulan November – Januari.
Danau Rawa Taliwang mempunyai potensi sumberdaya alam yang tinggi bagi
perekonomian masyarakat sekitar, di antaranya sebagai areal penangkapan dan budidaya ikan
air tawar, sumber air bagi irigasi pertanian, sumber air baku rumah tangga, dan potensi
ekowisata. Selain itu, danau ini juga berperan sebagai pengendali banjir bagi Kota Taliwang,
ibukota Kabupaten Sumbawa Barat. Pada musim kemarau air danau menyusut hingga sebagian
areal kawasan danau menjadi kering.
Danau Rawa Taliwang lebih merupakan suatu ekoistem rawa yang dicirikan dengan
perairan yang dangkal, yang banyak ditumbuhi berbagai tipe tumbuhan air seperti tumbuhan
yang sepenuhnya terapung (misalnya eceng gondok Eichornia crassipes), tumbuhan dengan
daun terapung dan berakar di dasar (misalnya teratai Nymphaea) , tumbuhan yang sepenuhnya
terbenam dalam air (misalnya ganggang Hydrilla verticillata), dan tumbuhan yang berakar
dalam air tetapi batang dan daunnya mencuat ke atas permukaan air (misalnya rerumputan
Phragmites karka).
Secara sosial-ekonomi Danau
Rawa Taliwang mempunyai makna
penting bagi masyarakat sekitar. Pada
tahun 2005 misalnya, terdapat 3.050
rumah tangga atau 11.368 jiwa yang
bersentuhan langsung dengan fungsi
dan manfaat Danau Rawa Taliwang.
Mereka hidup tersebar di lima
desa/kelurahan yaitu Desa Meraran,
Desa Ai Suning, Desa Rempe, Desa
Seloto, dan Kelurahan Sampir,
Kabupaten Sumbawa Barat.
Gambar 4. Nelayan di Danau Rawa Taliwang
Data Badan Pemberdayaan
menggunakan perahu dan peralatan yang sederhana
Masyarakat-BPM
Kabupaten
Sumbawa Barat (2005) menunjukkan
bahwa mayoritas (2,897 orang atau sekitar 65%) penduduk desa sekitar danau Taliwang
bekerja sebagai petani. Sementara mereka yang bekerja sebagai peternak berjumlah 421 atau
9,5%, sedangkan yang bekerja sebagai buruh tani berjumlah 409 orang atau sekitar 9,2%.
Adapun yang mempunyai pekerjaan sebagai nelayan berjumlah 257 orang atau 5% dari total
jumlah penduduk desa sekitar Danau Taliwang. Mereka yang bekerja sebagai petani, pada saat
musim kemarau dapat juga turut menangkap ikan di Danau Taliwang untuk kebutuhan
konsumsi keluarga atau untuk dijual. Mereka menangkap beberapa jenis ikan air tawar yang
dominan hidup di perairan diantaranya mujaer, sepat, nila, betok, gabus, sidat dan belut.
Penangkapan ikan oleh nelayan Danau Rawa Taliwang dilakukan dengan menggunakan alat
berupa jaring, pancing, sero’, bubu, tombak, jala buang, sangkap, poke’/rageng dan seser/belat.
239
Hasil tangkapan ikan merupakan sumber protein hewani untuk memenuhi kebutuhan
gizi keluarga. Selain itu, mereka juga menjual hasil tangkapan ke tetangganya atau menjualnya
secara langsung ke pasar Taliwang yang dilakukan oleh kaum perempuan. Ada juga nelayan
yang menjual hasil tangkapannya ke pelele (pembeli/pengumpul ikan). Para pelele membeli
ikan dari nelayan secara kontan maupun dengan sistem panjar.
Selain sebagai tempat usaha penangkapan ikan, Danau Rawa Taliwang juga telah dicoba
untuk pengembangan budidaya air tawar sistem karamba. Pada Tahun 2007, Pemerintah Kabupaten
Sumbawa Barat telah memberikan fasilitas karamba jaring apung untuk budidaya ikan nila kepada
para nelayan Danau Rawa Taliwang yang bermukim di Desa Meraran. Namun, tampaknya usaha
ini tidak cukup sukses karena kualitas air danau tidak cukup memberikan pertumbuhan ikan secara
optimal. Salah satu penyebabnya adalah eutrofikasi yang begitu cepat sehingga tumbuhan air segera
menutupi perairan budidaya karamba.
Gambar 5. Teratai yang banyak tumbuh di Danau Rawa Taliwang dimanfaatkan
sebagai sumber pangan dan obat-obatan. a. Bunga teratai; b. Buah teratai; c. Biji teratai;
d. Rimpang teratai
Selain ikan, Danau Rawa Taliwang juga menyediakan berbagai sumber untuk bahan
pangan dan obat-obatan. Berbagai jenis teratai misalnya, yang tumbuh di Danau Rawa
Taliwang telah dimanfaatkan bagian-bagiannya oleh masyarakat sekitar sebagai pangan
alternatif. Buah teratai misalnya, yang dalam bahasa lokal disebut tonyong, mempunyai biji-biji
yang berbentuk bulat seperti kacang tanah yang bisa dikonsumsi dan dikenal mempunyai
berbagai khasiat untuk mengobati berbagai penyakit seperti diare, disentri, demam, susah tidur,
hipertensi, batuk darah, dan lain-lain. Di samping itu, rimpang teratai (disebut lomar dalam
bahasa lokal) yang tumbuh menjalar di dasar danau mengandung tepung dan sering diambil
masyarakat untuk membuat bubur yang juga berkhasiat sama seperti biji-biji buahnya.
240
Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbawa Barat, kawasan
Danau Rawa Taliwang memiliki beragam vegetasi asli hutan tropis antara lain: lita (Alstonia
scholaris); berora (Klenhovia hosvita); ketimus (Protium javanicum) dan bungur (Lagerstoemia
indica).
Gambar 6. Burung yang dapat dijumpai di Danau Rawa Taliwang. Kiri: burung
mandar (Gallinula chloripus). Kanan: burung undan atau pelikan (Pelecanus
conspicillatus), burung migran dari Australia.
Selain itu, kawasan Danau Rawa Taliwang menyimpan berbagai jenis fauna, terutama
satwa-satwa penghuni habitat air tawar yang meliputi jenis burung antara lain : bangau hitam
(Liconia episcopus); itik liar (Cairima scutulata); kuntul putih (Egreta egretta) serta burung
undan atau pelikan (Pelecanus conspicillatus). Jenis burung terakhir ini merupakan jenis burung
migran, yang berasal dari Australia.
Babi hutan, kera abu-abu dan ayam
hutan juga terdapat di daerah
perbukitan, serta berbagai jenis
reptil seperti ular sanca/sawah,
kura-kura dan biawak yang terdapat
di bagian selatan Danau Rawa
Taliwang.
Berbagai kekayaan hayati
yang beraneka ragam yang dimiliki
Danau Rawa Taliwang merupakan
daya tarik tersendiri. Dari sisi ilmu
pengetahuan,
keanekaragaman
hayati yang dimiliki Danau Rawa Gambar 7. Memancing merupakan salah satu kegiatan
rekreasi yang banyak diminati di Danau Rawa
Taliwang dapat menjadi obyek
Taliwang.
penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahun yang menantang.
Disamping itu, Danau Rawa Taliwang dapat menawarkan alternatif sebagai lokasi
rekreasi memancing yang mengasyikkan. Aktivitas rekreasi semacam ini semakin digemari
belakangan ini. Sebagian orang menganggapnya sebagai olahraga sekaligus hiburan.
Tidak hanya masyarakat sekitarnya yang datang memancing di Danau Rawa Taliwang. Saat ini
241
semakin banyak pula masyarakat dari Kota Taliwang dan sekitarnya yang datang memancing
untuk sekedar hiburan. Danau Rawa Taliwang sedang dikembangkan sebagai salah satu alternatif
tujuan wisata lokal bagi masyarakat.
Meskipun Danau Rawa Taliwang mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan
ekonomi, namun dalam kenyataannya tidak sedikit masalah lingkungan yang dihadapi untuk
menjamin kelestarian lingkungannya. Danau ini merupakan sumberdaya yang dapat diakses
secara terbuka oleh banyak orang (open access resources), namun sebaliknya tidak banyak
orang yang mau memperdulikan kelestariannya sehingga berujung pada terjadinya degradasi
kualitas lingkungan. Beberapa isu lingkungan yang terjadi dalam pengelolaan Danau Rawa
Taliwang antara lain: (1) eutrofikasi yang merupakan penyuburan perairan karena masuknya
nutrient ke danau secara berlebihan dari pemukiman dan pupuk pertanian hingga menimbulkan
tumbuh maraknya alga (algal bloom) dan berbagai gulma air di danau yang menimbulkan
dampak negatif terhadap fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan estetika danau; (2) pendangkalan
akibat sedimentasi yang ditimbulkan karena penebangan hutan dan perubahan pemanfaatan
lahan yang tak berwawasan lingkungan; (3) pencemaran dari limbah pemukiman dan residu
pestisida pertanian.
Salah satu isu lingkungan
yang banyak mendapat perhatian
belakangan ini adalah dampak
pertambangan emas dari daerah
sekitar Danau Rawa Taliwang.
Pertambangan emas di wilayah
sekitar
danau
ini
baru
berlangsung sejak tahun 2011,
dan
telah
menyebabkan
diserbunya kawasan ini oleh
petambang emas liar yang
menggunakan merkuri untuk
mengekstraksi
emas
hasil
Gambar 8. Puluhan tenda petambang emas tradisional di
galiannya. Jumlah petambang
kawasan bukit Samarekat, Taliwang, Sumbawa Barat .
liar sudah sedemikian banyak
(antaranews.com)
mengepung danau dan tampaknya
sulit
dikendalikan.
Limbah
merkuri (tailing) dari pengolahan emas tradisional ini mengalir ke sungai dan akhirnya masuk
ke danau. Penelitian yang telah dilaksanakan mengindikasikan sudah tercemarnya sedimen
Danau Rawa Taliwang oleh merkuri. Ini merupakan ancaman bagi kesehatan penduduk
setempat, dan dampaknya akan lebih meluas lagi lewat jaringan pakan (food web) di alam.
RUJUKAN
Danau Lebo. http://disparekraf.sumbawabaratkab.go.id
Jaya, I. 2007. Pengelolaan lingkungan kawasan wisata Danau Lebo Kecamatan Taliwang Kab.
Sumbawa Barat. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro Semarang.
242
Lebo Taliwang dalam kepungan merkuri. Selasa, 13 Desember 2011.
http://konservasi4lebotaliwang.blogspot.co.id
Lebo Taliwang, kekayaan flora dan fauna Sumbawa Barat. Kemis, 09 Oktober 2008.
http://konservasi4lebotaliwang.blogspot.co.id/2008
Lebo Taliwang: bermanfaat ekonomi juga berfungsi ekologi. Sabtu, 07 Oktober 2006.
http://konservasi4lebotaliwang.blogspot.co.id
Lebo Taliwang: sebuah Tragedy of the Common. Sabtu, 11 Oktober 2008.
http://konservasi4lebotaliwang.blogspot.co.id/2008.
Wahyuni, T. E., E. Mildranaya. 2010. Panduan Wisata Alam di Kawasan Konservasi Nusa
Tenggara Barat. Balai Konservasi Sunber Daya Alam Sumbawa Barat.
243
37. DANAU KELIMUTU
A
dapun yang dimaksud dengan Danau Kelimutu adalah tiga serangkai danau
yang terletak dekat puncak Gunung Kelimutu di Pulau Flores. Danau ini berada
di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ketiga danau ini dijuluki pula Danau Tiga Warna karena mempunyai warna yang berbeda-beda,
yang masing-masing dapat berubah warna dari waktu ke waktu. Ketiga danau itu adalah: 1)
Tiwu Ata Polo, 2) Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai, dan 3).Tiwu Ata Mbupu. Danau ini berjarak
sekitar 54 km dari kota Ende.
Danau Kelimutu termasuk dalam kawasan
Taman Nasional Kelimutu yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan
No.679/Kpts-II/1997, tanggal 10 Oktober 1997,
yang luas wilayahnya sekitar 5.356,50 ha.
Topografi taman nasional ini bervariasi mulai
dari bergelombang ringan sampai berat, berbukitbukit sampai bergunung-gunung dengan tingkat
kemiringan lereng yang sangat terjal dan curam.
Secara umum, ketinggian kawasan Taman
Nasional Kelimutu berkisar antara 1.500 - 1.731
Gambar 1. Peta lokasi Danau Kelimutu
mdpl (m di atas permukaan laut). Gunung
Kelimutu termasuk gunung api tipe stratovolcano yang berbentuk kerucut, dengan puncak
1.639 m di atas permukaan laut, terakhir kali erupsi pada tahun 1968.
Gambar 2. Gunung Kelimutu dengan latar depan Danau Tiga Warna: 1) Tiwu
Ata Polo; 2) Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai; 3) Tiwu Ata Mbupu
244
Danau Kelimutu yang terletak di lereng gunung ini berada pada ketinggian yang
berkisar 1.354 – 1.394 mdpl (meter di atas permukaan laut), tergolong dalam danau kawah
(crater lake) yang merupakan hasil dari aktivitas vulkanik. Istilah “Kelimutu” itu sendiri
berasal dari bahasa penduduk setempat, “keli” bermakna gunung api, dan “mutu” bermakna
mendidih. Istilah ini menunjukkan bahwa Gunung Kelimutu dipercaya oleh masyarakat
setempat mempunyai kekuatan magis yang dahsyat.
Gambar 3. Danau Kelimutu terdiri dari tiga danau yang bisa berubah warna seiring berjalannya
waktu: 1) Danau Tiwu Ata Polo; 2) Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai; 3) Tiwu Ata Mbupu
Danau Kelimutu pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh van Suchtelen pada tahun
1915 yang menyebutkan terdapatnya tiga danau di Gunung Kelimutu yang berbeda warna
airnya: merah, putih, dan biru. Semula laporan itu diragukan, karena bagaimana bisa seperti
245
warna bendera Belanda, benderanya rezim pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa saat itu.
Namun perlahan keberadaan danau ini makin diakui, dan semakin populer setelah seorang
pelukis Belanda, Y. Bouman, mengangkatnya dalam lukisannya yang mengagumkan di tahun
1929. Sejak kala itu Danau Kelimutu menjadi daya tarik tersendiri untuk dikunjungi, bukan
hanya bagi para pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang
amat langka dan mempesona itu.
Masyarakat setempat menamai ketiga Danau Kelimutu itu dengan nama-nama yang
dikaitkan dengan kepercayaan magis yang terkait dengan danau itu. Danau “Tiwu Ato Polo”
merupakan tempat berkumpulnya arwah orang yang telah meninggal yang selama hidupnya
selalu melakukan kejahatan. Danau “Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai” merupakan tempat
berkumpulya arwah muda-mudi yang telah meninggal, sedangkan Danau “Tiwu Ata Mbupu”
dipercaya merupakan tempat berkumpulnya arwah orang tua yang telah meninggal. Ketiga
danau itu mempunyai warna yang berbeda, tetapi warna danau-danau itu tidak selalu tetap,
karena masing-masing dapat berubah seiring perjalanan waktu.
Gambar 4. Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai (kiri) terpisah dengan Tiwu Ata Polo
(kanan) oleh sekat yang tipis setinggi 50-150 m, lereng dengan kemiringan 70
derajat, tetapi keduanya mempunyai ciri hidrotermal dan geokimia yang
berbeda. (m.tempo.co).
Danau yang paling dalam adalah Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai yakni 127 m,
berdampingan dengannya adalah Tiwu Ato Polo dengan kedalaman 64 m. Kedua danau ini
terpisah oleh sekat yang sangat tipis dengan dinding setinggi 50-75 m dengan lereng dengan
kemiringan sekitar 70 derajat. Meskipun demikian kedua danau ini mempunyai karkateristik
hidrotermal dan geokimia yang berbeda tercermin pula dari warna airnya yang berbeda.
Tipisnya sekat antara kedua danau ini menimbulkan kekhawatiran pada beberapa kalangan
ilmuwan akan kemungkinan runtuhnya dinding pemisah itu bila terjadi gempa yang kuat, yang
bisa berakibat bercampurnya air dari kedua danau itu. Danau yang ketiga, Tiwo Ata Mbupu
mempunyai kedalaman 67 m.
246
Tabel 1. Karakteristik Danau Kelimutu. (Pasternack & Varekamp, 1994)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Parameter
Tiwu Ata Polo
Kedalaman maks/min (m)
Diameter Danau maks/min (m)
Diameter Kawah maks/min (m)
Tinggi muka air (m dpl)
Luas area (m2)
Volume (106 m3)
Daerah Tangkapan (105 m2)
64
400/330
580/375
1382
81.700
5,3
1,7
Tiwu Nuwa Tiwu Ata Mbupu
Muri Kooh Fai
127
67
430/306
357/260
520/375
400/360
1394
1354
91.700
60.400
6,4
4,2
2,3
4,1
Tabel 2. Beberapa parameter perairan Danau Tiwu Ata Polo tahun 1992
(Pasternack & Varekamp, 1994)
Parameter
0m
10 m
15 m
20 m
o
Temp. ( C)
20,4
21,4
21,6
22,4
pH
1,8
1,7
1,8
1,9
TDS (%)
16,63
17,22
17,71
16,58
O2 (mg/l)
5,4
3,9
4,3
3,8
O2 % sat.
68
50
5
49
Cl
2670
2880
3400
2650
SO4
9780
9920
9960
9660
Tabel 3. Beberapa parameter perairan Danau Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai tahun
1992 (Pasternack & Varekamp, 1994)
Parameter
0m
10 m
10 m
Dekat pantai
Tengah danau
Dekat pantai
Temp. (oC)
28,2
31,4
29,3
pH
0,4
0,4
0,5
TDS (%)
93,74
97,04
96,93
O2 (mg/l)
1,9
1,3
1,8
O2 % sat.
49
39
50
Cl
25.100
26.700
25250
SO4
48.900
49.350
47.250
Tabel 4. Beberapa parameter perairan Danau Tiwu Ata Mbupu tahun 1992
(Pasternack & Varekamp, 1994)
Parameter
0m
± 3m
± 10 m
Temp. (oC)
pH
TDS (%)
O2 (mg/l)
O2 % sat.
Cl
SO4
20,45
3,2
2,36
7,5
87
88
1585
19,3
3,1
2,37
5,9
66
98
1593
247
19,0
3,2
2,35
6,0
67
86
1590
Karakteristik kimia perairan ketiga danau Kelimutu telah dikaji oleh Pasternack &
Varekamp (1994) yang sebagian hasilnya ditampilkan pada Tabel 2, 3 dan 4. Suhu permukaan
di ketiga danau berkisar 19-29 oC. Tingkat keasaman (pH) sangat rendah, antara 0,4 – 3,2.
Danau Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai bahkan di seluruh selang kedalaman antara 0-10 m nilai pHnya luar biasa rendah, hanya 0,4-0,5. Kandungan oksigen di Danau Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai
sangat rendah sekitar 1,3-1,9 mg/l, dan di Tiwu Ata Polo masih berkisar 3,8-5,4 mg/l,
sedangkan di Tiwu Ata Mbupu 6,0 – 7,5 mg/l.
Ketiga danau Kelimutu sering mengalami perubahan warna seiring dengan perjalanan
waktu. Menurut data dari Balai Taman Nasional Kelimutu, sebagaimana dikutip oleh
Nurhasyim (2016), selama kurun waktu 1915-2011 Tiwu Ato Polo bahkan berubah warna
sebanyak 16 kali, Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai sebanyak 25 kali, sedangkan Danau Tiwu Ata
Mbupu berubah warna sampai 44 kali. Tetapi tak ada pola dan jadwal yang pasti akan
perubahan warna ini.
Pasternack & Varekamp (1994) mendeskripsikan bagaimana perubahan warna yang
terjadi di ketiga danau ini. Pada tahun 1929, TAP (Tiwu Ata Polo) berwarna merah, TiN (Tiwu
Nuwa Muri Kooh Fai) berwarna hijau muda, sedangkan TAM (Tiwu Ata Mbupu) hijau. Tahun
1938 TiN berubah menjadi putih dan suhunya meningkat sampai 65oC. Sepanjang tahun 1970,
TAP berwarna merah, TiN menjadi biru muda, dan TAM menjadi putih. Warna danau yang
trakhir ini (TAM) sering berubah dari warna hijau tua menjadi merah tua kecoklatan dan
kemudian kembali lagi ke hijau. Warna TAP bisa berubah cepat, yang dimulai dari tepian
dinding kawah dan perlahan makin meluas ke bagian tengah dalam beberapa hari. Pada Agustus
1992, TAP berwarna hijau, TiN biru muda, sedangkan TAM berwarna hitam.
Beragam laporan lain telah disampaikan pula tentang proses perubahan warna pada
Danau Kelimutu ini. Sejumlah ilmuwan menduga perubahan warna itu terjadi karena aktivitas
gunung api, pembiasan cahaya matahari, mikrobiota air, zat kimia terlarut, ganggang, dan
pantulan warna dinding dan dasar danau. Peralihan warna air menjadi hijau dimungkinkan oleh
perubahan komposisi kimia air kawah akibat perubahan gas-gas gunung api atau bisa pula
dampak kenaikan suhu. Sedangkan naiknya konsentrasi zat besi dalam air menghasilkan warna
merah dan cokelat tua. Warna hijau lumut mungkin berasal dari biota jenis lumut.
Salah satu laporan mutakhir disampaikan oleh Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (BVMBG) tentang terjadinya perubahan warna air pada Danau Kelimutu pada bulan
Juni 2013. Pada saat itu warna Tiwu Ata Polo berubah dari merah ke hijau, sedangkan Tiwu
Nua Muri Kooh Fai berubah dari hijau ke putih. Perubahan warna itu disertai bunyi
menggelegak di danau bagaikan bunyi air mendidih, dan munculnya asap putih ke atas danau
yang membubung hingga setinggi 10-35 m. Di samping itu tersebar pula bau gas belerang yang
menyengat yang pada suatu saat dapat dirasakan baunya hingga sejauh 3 km dari danau.
Belakangan ini Harian Kompas, 1 April 2016, melaporkan terjadinya lagi perubahan
warna Danau Kelimutu. Disebutkan bahwa Tiwu Ato Polo berubah dari hijau mejadi merah
hati atau merah tua. Sementara itu Tiwu Nuwa Muri Kooh Fai dan Tiwu Ata Mbupu, masingmasing berwarna hijau muda dan putih.
Perubahan warna Danau Kelimutu memang masih menyisakan misteri yang belum
sepenuhnya terungkap secara ilmiah. Tetapi bagi masyarakat adat suku Lio yang bermukim di
sekitar Danau Kelimutu, perubahan warna itu mempunyai makna magis yang dipercaya
memberi pertanda akan terjadinya suatu peristiwa penting, misalnya akan terjadi bencana
248
seperti perang, kekekeringan, kelaparan, gempa, wabah penyakit. Terkait dengan kepercayaan
itu maka masyarakat adat suku Lio pada saat-saat tertentu melakukan ritual adat berupa
persembahan sesajian untuk arwah-arwah penghuni danau yang dipandang sakral itu. Upacara
adat mempersembahkan sesajian itu disebut upacara Pati Ka Du’a Batu Ata Mata. Belakangan
ini acara ritual itu sudah dikemas untuk dapat pula menjadi atraksi wisata.
Gambar 5. Upacara Pati Ka Du’a Batu Ata Mata oleh masyarakat adat suku
Lio untuk mempersembahkan sesajian bagi para arwah penunggu Danau
Kelimutu.
Kunjungan wisata ke Danau Kelimutu memang menjadi salah satu andalan dalam
kepariwisataan di kawasan ini. Dengan makin meningkatnya kunjungan wisatawan nusantara
dan mancanegara, maka potensi dampak lingkungannya pun meningkat. Salah satu masalah
adalah sampah dari pengunjung dan pedagang asongan yang belum terkelola dengan baik.
Namun di samping itu, ada pula nilai positif di masyarakat lokal yang bisa ikut menyelamatkan
kawasan taman nasional ini. Di sana ada hukum adat yang melarang jual-beli tanah di sekitar
249
taman nasional. Bila dilanggengkan, kearifan lokal (local wisdom) itu bisa membantu
mencegah perubahan peruntukan lahan untuk menjadi bangunan komersial seperti hotel dan
resor. Dengan kata lain, kearifan itu dapat membantu menyelamatkan danau.
Gambar 6. Tumbuhan endemik Taman Nasional Kelimutu. Kiri: ota unga
(Begonia kelimutuensis). Kanan: turuwara (Rhododendron renschianum).
(lipsus.kompas.com. & yudhe.com. )
Danau Kelimutu bukan satu-satunya objek menarik di Taman Nasional Kelimutu. Flora
di kawasan Nasional Kelimutu, terdapat sekitar 100 spesies, dua diantaranya merupakan jenis
endemik Kelimutu yaitu uta unga (Begonia kelimutuensis) dan turuwara (Rhondodenron
renschianum). Beberapa flora lain yang ada di Taman Nasional Kelimutu antara lain ajang kode
(Toona spp.), cemara (Casuarina equisetifolia), kawah (Anthocephalus cadamba), kesambi
(Schleichera oleosa), kesi (Canarium spp.), kodal (Diospyros ferra), sita (Alstonia scholaris),
dan masih banyak lagi lainnya.
Gambar 7. Gerbang Selamat Datang dan Arboretum Taman Nasional Kelimutu.
(lipsus.kompas.com)
Tumbuhan endemik Kelimutu Begonia kelimutuensis, baru ditemukan oleh tim dari
Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia) yang melaksanakan
kajian di kawasan ini di tahun 2007 lalu. Ironisnya, justru setelah dinyatakan sebagai flora
250
endemik Kelimutu, spesies ini malah jadi buruan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab
untuk diperdagangkan sebagai komoditi eksotis hingga mengakibatkan keberadaannya dalam
alam makin langka dan terancam..
Tak jauh dari tepian Danau Kelimutu terdapat arboretum seluas 4,5 ha. Arboretum
adalah kawasan tempat berbagai jenis tumbuhan ditanam dan dikembangkan untuk tujuan
penelitian dan pendidikan. Berbagai jenis flora dari kawasan Kelimutu bisa ditemukan di
arboretum ini mewakili flora Kelimutu.
Hewan endemik Kelimutu antara lain berbagai jenis mamalia seperti tikus lawo
(Rattus hainaldi), tikus gunung (Bunomys naso), deke (Papagomys armandvillei), dan wawi
ndua (Sus heureni). Jenis satwa lain, diantaranya ayam hutan (Gallus gallus), banteng (Bos
javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus timorensis), babi hutan (Sus sp.), luwak
(Pardofelis marmorata), trenggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura), kancil
(Tragulus javanicus), dan lainnya.
Gambar 8. Beberapa spesies burung endemik di Taman Nasional Kelimutu. a.
kancilan Flores (Pachycephala nudigula); b. burung madu matari (Nectarinia
solaris); c. merpati hijau Flores (Treron floris); d. kehicap Flores (Monarcha
sacerdotum); e. opior paruh tebal (Heleia crassirostris).
(dody94.wordpress.com)
Taman Nasional Kelimutu juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung endemik
yang terancam punah. Burung-burung tersebut diantaranya kancilan Flores (Pachycephala
nudigula), burung madu matari (Nectarinia solaris), merpati hijau Flores (Treron floris),
kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), opior paruh tebal (Heleia crassirostris) (Gambar 8 ).
251
Danau Kelimutu dan alam
sekitarnya memang tak pernah luput
dari berbagai perhatian, dalam berbagai
aspeknya. Mungkin masih banyak yang
mengingat bahwa lembaran uang
Rupiah yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia dengan nilai Rp 5.000 edisi
tahun 1992-1999 menampilkan gambar
Danau Kelimutu pada lembaran uang
kertas itu. Boleh jadi di masa itu semua
Gambar 9. Danau Kelimutu dalam lembaran uang
orang Indonesia pernah memegang atau
senilai Rp 5.000 edisi tahun 1992-1999.
memiliki lembaran mata uang itu, tetapi
belum tentu semua tahu gambar danau apakah itu, dimana adanya, dan apa istimewanya.
RUJUKAN
Cakrawala. 2010. Kelimutu: Danau Eksotis Indonesia. (dody94.wordpress.com/2010).
Kompas. 2016. Danau Kelimutu. Warna air berubah dari hijau tua menjadi merah hati. Harian
Kompas, Jumat 1 April 2016.
Kompas. 2012. Taman Nasional Kelimutu, Kekayaan Flora dan Fauna Flores. Minggu, 19
Agustus 2012. (travel.kompas.com)
Newslink. 2010. Pesona lain Kelimutu. Newslink, 14 Januari 2010.
Nurhasyim, A. 2016. Rahasia Danau Kelimutu di Ende, bisa bersalin warna 44 kali.
(m.tempo.co/read/news/2016)
Pasternack, G. F. & J. C. Varekamp.1994. The geochemistry of the Keli Mutu crater lakes,
Flores, Indonesia. Geochemical Journal, vol. 28: 243-262.
PVMBG. 2013. Global Volcanism Program, 2013. Report on Kelimutu (Indonesia). In:
Wunderman, R. (ed). Bulletin of the Global Volcanism Network, 38:6. Smithsonian
Institution . dx.doi.org/10.5479/si.GVP.BGVN20136-264140.
252
38. DANAU WAIBELEN
D
anau Waibelen atau Danau Asmara berada di Desa Waibao, Kecamatan
Tanjung Bunga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur pada posisi geografi
kurang lebih 8o10’48” Lintang Selatan, dan 172o47’12” Bujur Timur. Lokasi
danau ini sebenarnya hanya 45 kilometer di utara Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.
Namun akses jalan ke sana masih sangat buruk. Untuk mencapai bibir danau harus melalui
jalan setapak yang cukup jauh dengan medan yang berat..
Gambar 1. Peta lokasi Danau Waibelen
253
Gambar 2. Danau Waibelen atau Danau Asmara di Desa Waibao, Kecamatan
Tanjung Bunga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. (travel.kompas.com).
Gambar 3. Jalan sederhana menuju Danau Waibelen. (travel.kompas.com).
Danau ini bernama asli Waibelen, dari asal kata “wai” yang artinya “air” dan “belen”
yang artinya “besar atau luas”. Tetapi mulai tahun 1970, danau ini sering dijuluki sebagai
Danau Asmara. Kisahnya: Sepasang kekasih yang hubungannya tak direstuai orang tua mereka
karena masih memiliki pertalian keluarga, nekat menenggelamkan diri di tengah danau.
Tak jauh di sebelah barat-daya danau terdapat Pantai Painhaka. Seorang pelautpenjelajah Portugis bernama Antonio de Abreu dalam penjelajahannya di Nusantara tiba di
kawasan ini di tahun 1512. Ia terpesona melihat tanjung ini dipenuhi bunga flamboyan merah
(Delonix regia) yang tengah bermekaran. Ia lalu memberi nama tanjung ini sebagai Cabo das
254
Flores atau Tanjung Bunga. Sebutan ini kemudian digunakan untuk menamai seluruh Pulau
Flores.
Danau Waibelen berada pada ketinggian (altitude) sekitar 200 m diatas permukaan laut.
Dengan merujuk pada Google map dapat ditelusuri bahwa Danau Waibelen mempunyai bentuk
hampir bulat, dengan panjang maksimum 0,84 km, dan lebar maksimum 0,74 km, keliling 2,50
km, dan luas 0,475 km2. Kedalamannya diperkirakan sekitar 20 m.
Gambar 4. Beberapa pojok lingkungan Danau Waibelen. (tourism.nttprov.go.id/)
Danau Waibelen merupakan danau kaldera yang terbentuk dari letusan Gunung
Sodoberawao pada 400-500 sebelum Masehi. Lingkungan sekitar danau dihiasi kebun yang
ditanami pohon pisang, nanas, cokelat, serta pohon lain nonbudidaya.
Wilayah ini tampaknya memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Ada dilaporkan
terdapatnya berbagai jenis burung air yang sering mengunjungi danau ini, tetapi sayang
sepertinya belum banyak terungkap. Demikian pula biota airnya yang belum diketahui
keanekaragaman jenisnya.
Masyarakat setempat percaya bahwa di danau itu hidup buaya siluman yang disebut
nene, yang merupakan jelmaaan dari seorang raja hingga oleh masyarakat setempat sering
diberi sesajian.
Mungkin karena akses ke danau yang asri ini masih sulit, belum tercatat adanya
penelitian yang mendalam tentang kondisi umum perairannya. Beberapa usaha rintisan telah
dimulai untuk pengembangan aspek pariwisatanya. Tetapi ini merupakan tantangan yang besar,
255
karena sarana dan prasarana yang masih sangat terbatas. Desa-desa di sekeliling danau pun
belum dimasuki listrik.
RUJUKAN
Sri Rejeki, 2015. Bersemi di Danau Asmara. Harian Kompas, 25 Oktober 2015.
Yayat. 2016.. Blusukan ke Danau Asmara. Inilah kehidupan Flores yang sebenarnya.
Kompasiana, 24 Mei 2016.
256
39. DANAU RAWA DANAU
D
anau Rawa Danau (sering disingkat sebagai Rawa Danau saja, atau Ranca Danau)
berada di Kecamatan Mancak, Padarincang dan Pabuaran, Kabupaten Serang,
propinsi Banten. Secara geografis Rawa Danau terletak antara 6o12’ - 6o19’ LS
(Lintang Selatan) dan 105o25’ - 105o58’ BT (Bujur Tmur) dengan ketinggian (elevation)
sekitar 90 m di atas permukaan laut. Kawasan Rawa Danau ini memiliki luas sekitar 2.500 ha
dan merupakan satu-satunya ekosistem rawa terbesar di Pulau Jawa yang masih alami, yang
menempati bekas danau kaldera Banten purba. Berdasarkan keunikan ini, Rawa Danau telah
ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak 16 November 1921 oleh Pemerinah Hindia Belanda, yang
kemudian diperkuat dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi keanekaragaman hayati.
Sekitar tahun 1986, perairan terbuka di Cagar Alam Rawa Danau ini tersisa sekitar 0,4
% dari luas cagar alam tersebut, selebihnya 45 % (1.100 ha) berupa hutan rawa, 25 % (633 ha)
berupa hamparan rumputan tinggi Phragmites karka, dan 30 % (714 ha) berupa sawah, semak,
dan kebun.
Gambar 1. Peta lokai Danau Rawa Danau
Rawa Danau merupakan daerah kaldera purba yang dikelilingi oleh bukit-bukit Gunung
Tukung Gede di sebelah utara dan timur yang juga ditetapkan sebagai Cagar Alam Tukung
Gede, serta dataran yang agak tinggi di sebelah barat daya. Sebagaian besar topografinya relatif
datar dan hanya di bagian utara terdapat bukit kecil, yaitu Gunung Jamungkal dengan
257
ketinggian sekitar 150 m di atas permukaan laut. Hampir setiap saat sebagian besar lantai
hutannya terendam oleh air dengan kedalaman rawa yang bervariasi dari 2 sampai 10 m.
Sekitar 15 sungai kecil mengalir di kawasan ini, tetapi hanya ada satu sungai utama
yang mengalir keluar ke arah barat, yaitu Sungai Cidanau. Hampir seluruh kawasan Cagar
Alam Rawa Danau merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Cidanau ini. Rawa Danau
merupakan sumber air baku untuk kawasan industri Cilegon dan kota Serang.
Gambar 2. Tata guna lahan sekitar Cagar Alam Rawa Danau sekitar tahun 1986
(Whitten et al. 1996)
Daerah Rawa Danau dan sekitarnya dimanfaatkan sebagai daerah persawahan,
perkebunan, serta pemukiman penduduk. Tata guna lahan di kawasan ini sekitar tahun 1986
ditampilkan pada Gambar 2 (Whitten et al. 1996). Darmawan (2002) kemudian mengkaji
perubahan tutupan lahan di
kawasan ini dalam periode 1994
sampai 2000 yang menunjukkan
telah terjadi pertambahan luas
daerah pemukiman dan tanah
kosong,
sedangkan luas
kawasan hutan di kawasan
lindung cenderung tetap dengan
fluktuasi yang rendah. Luas
kawasan pertanian bertambah
seiring dengan bertambahnya
kebutuhan hidup masyarakat
sekitar.
Iklim di daerah ini
mengikuti pola umum di pantai
Gambar 3. Perairan terbuka Rawa Danau banyak ditutupi
utara Jawa yang dipengaruhi
oleh eceng gondok (Eichornia crassipes)
oleh angin musim (monsoon),
258
yang terdiri dari angin musim barat (Desember – Februari), angin musim timur (Juni –
Agustus), dan musim-musim peralihan di sela-selanya, yakni musim peralihan pertama
(Maret – Mei) dan musim peralihan kedua (September – November) . Musim barat dicirikan
sebagai msim hujan, sedangkan musim timur dicirikan sebagai musim kemarau. Pada musimmusim peralihan angin umumnya mengendor dengan arah tak menentu atau lebih dikenal
sebagai musim pancaroba. Pola musiman ini dapat termodifikasi oleh perubahan iklim dalam
skala besar seperti bila terjadinya fenomena El Nino yang menyebabkan musim kemarau
berkepanjangan atau La Nina yang membawa hujan lebih banyak. Curah hujan tertinggi di
daerah sekitar Rawa Danau berkisar 2.712 – 3.670 mm/ bulan sedangkan terendah berkisar 615
– 833 mm/ bulan. Suhu udara berkisar 22o – 32o C.
Gambar 4. Beberapa pojok suasana lingkungan Cagar Alam Rawa Danau (dari
berbagai sumber)
Sebagai suatu ekosistem rawa pegunungan yang khas, Rawa Danau dihuni oleh berbagai
biota yang sesuai. Selain menjadi hunian lebih dari 250 jenis burung, Cagar Alam Rawa Danau
juga menjadi hunian buaya, bajing tanah (Lariscus insignis), bangau tongtong (Leptoptilos
javanicus), biawak (Varanus salvator), elang ular (Spilornis cheela), kera (Macaca
fascicularis), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul putih (Ardeola sp.), kalong (Pteropus
vampirus), lutung (Trachypitechus auratus), raja udang biru (Halcyon chloris), dan ular sanca
(Phyton reticulatus).
259
Gambar 5. Hutan rawa di Cagar Alam Rawa Danau, merupakan hutan rawa
terluas di Jawa (Whitten et al. 1996)
Gambar 6. Burung-burung air penghuni Cagar Alam Rawa Danau
(danau.limnologi.lipi.go.id/danau)
Fauna akuatik yang terdapat di Rawa Danau tercatat antara lain kura-kura atau labi-labi
betempurung lunak (Tryonix cartilangineus), dan berbagai jenis ikan termasuk ikan endemik di
Jawa, Rasbora aprotaenia. Selain itu juga terdapat berbagai jenis moluska akuatik seperti keong
emas (Pila ampullacea) yang dikonsumsi oleh penduduk setempat.
Berbagai jenis tumbuhan juga terdapat di Cagar Alam Rawa Danau ini, seperti
gagabusan (Alstonia spatulata), jajaway (Ficus retusa), kisireum (Eugenia spicata), mareme
(Glochidion lucididum), dan rengas (Gluta renghas).
260
Meskipun Rawa Danau telah ditetapkan sebagai Cagar Alam, berbagai masalah masih
terus dihadapi dalam pengelolaannya. Kerusakan Daerah Aliran Sungai misalnya akan sangat
mempengaruhi kondisi danau.
Selain itu, kerusakan lingkungan juga terjadi di sepanjang sempadan di tepian danau,
misalnya dengan terjadinya alih fungsi lahan, dan kurangnya partisipasi masyarakat dan
pemahaman masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian danau. Penyalahgunaan
wewenang pemberian izin pemanfaatan danau dan penyerobotan / pemanfaatan danau secara
liar juga terjadi.
Gambar 7. Ikan parai (Rasbora aprotaenia) dan labi-labi / kura-kura
bertempurung lunak (Tryonix cartilangineus) terdapat di Rawa Danau
Penurunan kualitas air baku terjadi dari tahun ke tahun tercermin dari meningkatnya
nilai parameter utama seperti kandungan zat organik, kekeruhan (turbidity) dan warna air.
Penyuburan (eutrofikasi) terus terjadi yang mendorong makin berkembangnya gulma air seperti
eceng gondok (Eichornia crassipes) yang menutupi sebagian besar perairan terbuka, dan
rerumputan gelagah (Phragmites karka). Di samping itu debit rata-rata Sungai Cidanau
cenderung menurun dari tahun ke tahun, yang disebabkan karena erosi dan pendangkalan di
wilayah DAS Cidanau.
Kajian yang dilaksanakan oleh Rostika et al. (2012) di Rawa Danau mengindikaskan
bahwa danau ini mempunyai potensi untuk mendukung pengembangan perikanan dan ekowisata air berkelanjutan (sustainable eco-limno tourism). Pengembangan eko-wisata air
berkelanjutan dipercaya dapat meningkatkan manfaat ganda yakni bagi ekologi, sosial-budaya
dan ekonomi secara berkelanjutan. Suatu hal yang menarik bahwa masyarakat setempat
mempunyai kearifan lokal yakni diharamkan (taboo) untuk menggunakan perahu motor di
Rawa Danau. Wisata dan transpor air boleh dilaksanakan hanya dengan menggunakan perahu
lesung (dug-out canoe) yang tentu lebih aman bagi kelestarian lingkungan.
Beberapa waktu berselang merebak issue lingkungan bekaitan dengan rencana
membendung Sungai Cidanau untuk meningkatkan daya tampung Rawa Danau dengan
menaikkan muka air sekitar 2 m lebih tinggi, untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air
baku untuk kawasan industri Cilegon dan kota Serang di masa depan. Selama ini kebutuhan air
bagi kawasan industri Cilegon dan kota Serang dipasok dari Rawa Danau. Rencana ini
mendapat tanggapan yang ramai dan penentangan dari berbagai pihak karena dipandang kurang
261
mempertimbangkan pentingnya aspek konservasi dan kelestarian alam yang sangat unik yang
dimiliki Rawa Danau. Ada pendapat untuk lebih baik membangun beberapa bendung lebih
kecil di beberapa tempat disertai pebaikan hulu DAS Cidanau dari pada membangun bendung
besar hanya di satu lokasi (Priyanto & Titiresmi, 2006).
Gambar 8. Di Rawa Danau tak boleh ada perahu bermotor, karena
diharamkan (taboo) oleh masyarakat adat setempat. Perahu dayung lebih
aman bagi lingkungan. (indonesiakaya.com)
Kawasan Rawa Danau telah pula menjadi objek penelitian tentang kondisi alam purba
yakni palaeogeography, palaeolimnology, dan palaeoecology pada kala Kuaterner Akhir yakni
periode sekitar 0,5 – 1,0 juta tahun lampau (van der Kaas, 2001). Kajian itu yang didasarkan
pada hasil pemboran sedimen di Rawa Danau mengindikasikan perubahan iklim masa lampau
yang berdampak pada perubahan lingkungan. Dampak kegiatan manusia atas perkembangan
vegetasi di kawasan Rawa Danau baru tampak pada beberapa ratus tahun terakhir.
RUJUKAN
Darmawan, A. 2002. Perubahan penutupan lahan Cagar Alam Rawa Danau. Tesis. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional.
Melisch, R., Y. R. Noor, W. Giesen, E. Widjanarti H., Rudyanto. 1993. An assessment of the
importance of Rawa Danau for Nature Conservation and an Evaluation of Resource Use.
Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation and Asian Wetland
Bureau – Indonesia: 97 pp.
262
Priyanto, B. & Titiresmi. 2006. Beberapa aspek pengelolaan Cagar Alam Rawa Danau sebagai
sumber air baku. J. Tek. Lingk. 7 (3): 277-283.
Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Danau Rawa Danau. http://danau.limnologi.lipi.go.id/danau.
Rostika, R., R. Avenzora, Masyamir & A. Yustiati. 2012. Studi pengembangan pemanfaatan
Danau Rawa Danau di provinsi Banten untuk budidaya perikanan dan ekowisata.
Prosiding Seminar Nasional Limnologi VII tahun 2012.
van der Kaars, S., D. Penny, J. Tibby, J. Fluin, R. A. C. Dam, P. Suparan. 2001. Late Quatenary
palaelecology, palynology and palaeolimology of a tropical lowland swamp: Rawa
Danau, West Java, Indonesia. Palaeogeography, Palaelimnology, Palaeoecology 171:
185-212.
Whitten, A., R. E. Soeriaatmadja & S. A. Afiff. 1996. The ecology of Java and Bali. Ecology
of Indonesia Series. Vol.II. Dalhousie University: 969 pp.
263
40. SITU BOJONGSARI
D
anau Bojongsari lebih dikenal dengan nama Situ Bojongsari. Dalam bahasa
Sunda setempat “Situ” bermakna “Danau”. Situ Bojongsari merupakan situ
terluas di Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Secara administratif Situ
Bojongsari terletak di Kelurahan Sawangan (Sawangan Lama), dengan posisi geografis
6o23’15” Lintang Selatan dan 106o45’13” Bujur Timur (Gambar 1). Bentuknya bercabangcabang hingga sepintas seperti membentuk huruf “T”. Situ Bojongsari terletak pada ketinggian
70 m di atas permukaan laut, memiliki luas perairan 28,25 ha. Kedalaman rata-ratanya sekitar
3-4 m dengan maksimum 10 m. Fluktuasi pemukaan air situ antara musim kemarau dan musim
hujan kurang lebih 1,2 m dan waktu simpan (retention time) selama 27 hari. Curah hujan ratarata 3.332 mm/tahun atau rata-rata 278 mm/bulan.
Gambar 1. Peta lokasi Situ Bojongsari
Situ ini dikelilingi oleh areal pemukiman, perkebunan, dan tegalan. Selain itu terdapat
padang rumput yang dimanfaatkan sebagai padang golf yang cukup luas di sebelah selatan situ
(Gambar 2). Pemukiman yang terdapat di sebelah barat situ, umumnya rumah-rumah nonpermanen, beberapa bangunan diantaranya terletak sangat dekat dengan danau hingga
dikhawatirkan dapat mengganggu ekosistem situ. Kolam-kolam ikan milik penduduk juga
banyak dijumpai di bagian utara dan barat situ, bahkan di kawasan itu kurang lebih 35 persen
dipakai untuk tambak ikan yang diusahakan oleh pihak swasta. Bagian selatan situ didominasi
oleh perkebunan milik penduduk sekitar dengan komoditi utama ketela pohon dan jagung.
Selain tanaman perkebunan, juga didijumpai beberapa areal sawah yang mendapatkan air irigasi
dari situ.
264
Gambar 2. Peta rupa bumi Situ Bojongsari (BAKOSURTANAL)
Gambar 3. Pemandangan beberapa pojok Situ Bojongsari.
265
Tepat di bagian utara situ, di saluran keluar (outlet) terdapat bendung pengendali (check
dam) yang dibangun pada tahun 1997, dengan tujuan untuk memudahkan pendistribusian air
situ ke pemukiman dan sawah/kebun milik penduduk sekitar. Namun kondisinya tampaknya
telah rusak dan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Situ Bojongsari pernah menjadi objek kajian limnologi yang dilaksanakan oleh Pusat
Penelitian Limnologi LIPI (Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia) di tahun 1987-1988, yang
merupakan kajian limnologi yang paling lengkap tentang danau di Indonesia. Hasil-hasilnya
tertuang dalam suatu monografi dan terbitan-terbitan lainnya (Nontji & Hartoto 1989 a,
1989b). Aspek-aspek yang dikaji mencakup karakteritik fisika, kimia, biologi dan geologi
perairan. Salah satu contoh misalnya kajian tentang penetrasi radiasi fotosintetik
(Photosynthetically Active Radiation/ PAR) yang mengindikasikan bahwa lapisan eufotik (yang
aktif dalam proses fotosintesis) di situ ini sangat tipis, hanya sampai kedalaman sekitar 1,3 m
saja. Sementara suhu secara vertikal dari permukaan (30 oC) makin menurun seiring dengan
kedalaman, tetapi mulai kedalaman 2 m dan selanjutnya ke bawah sampai ke dasar, suhu air
sudah homogen sekitar 25oC.
Gambar 4. Karamba jaring apung di Situ Bojongsari (panoramio.com)
Berbagai kajian lain juga telah merekam berbagai kondisi Situ Bojongsari yang
berkaitan dengan kualitas air, plankton, bakteri, bentos (biota yang hidup di dasar), ikan, flora
sempadan (riparian) dan sedimen. Saat itu juga sudah terekam gulma eceng gondok (Eichornia
crassipes) dan kiambang (Salvinia molesta) yang menutupi areal yang cukup luas di permukaan
situ.
Fauna bentos di situ ini terdiri dari 15 spesies, didominasi oleh moluska (7 spesies),
krustasea (4 spesies), insekta (3 spesies) dan cacing (1 spesies). Di antara moluska, Melanoides
tuberculata adalah spesies yang dominan, sedangkan di antara krustasea yang terbanyak adalah
266
Macrobrachium sintangense dan Caridina laevis. Sementara itu fauna ikan di situ ini
ditemukan sebanyak 13 spesies yang didominasi oleh ikan-ikan dari suku Cyprinidae.
Seiring dengan perjalanan waktu, lingkungan sekitar situ berubah dengan makin banyak
dan beragamnya kegiatan manusia di sekitar situ yang dikhawatirkan akan dapat memberi
dampak negatif terhadap Situ Bojongsari. Banyak pihak yang makin prihatin dengan kenyataan
bahwa lingkungan Situ Bojongsarai makin rusak dan mengkhawtirkan akan lenyapnya situ ini
di kemudian hari. Terkait dengan hal ini adalah menarik untuk menyimak penelitian yang
dilakukan oleh Purnama (2008) tentang pendugaan erosi di Situ Bojongsari.
Purnama (2008) melaksanakan penelitiannya di Situ Bojongsari dengan menggunakan
metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Dari penelitiannya dapat ditarik beberapa
kesimpulan antara lain bahwa nilai erosi di Situ Bojongsari bergantung pada zona yang
bergantung pada cakupan daerah tangkapan masing-masing, dari zona dengan kelas erosi berat
sebesar 4969.84 ton/ha sampai dengan zona dengan kelas erosi terkecil sebesar 22.66 ton/ha.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa areal di sekeliling Situ Bojongsari masih dalam
kondisi relatif aman terhadap bahaya erosi dan sedimentasi. Hal ini juga diperkuat dengan
perhitungan kemungkinan umur Situ Bojongsari.
Dari penelitian Purnomo (2008) umur Situ Bojongsari diperkirakan mampu memcapai
211 tahun. Hasil ini tentu bukan merupakan hasil mutlak. Nilai hanya berupa prediksi, karena
pada hakekatnya umur situ juga tergantung dari aktivitas manusia di sekitarnya dan kemauan
manusia untuk mengelola lingkungan hidup. Bukan tidak mungkin, umur situ bisa lebih pendek
dari prediksi perhitungan akibat perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan.
Faktor penyebab erosi terbesar pada situ Bojongsari adalah karena tanah terbawa aliran
permukaan akibat vegetasi di sekitar situ tidak dapat menahan aliran permukaan serta vegetasi
yang jarang. Untuk mencegah terjadinya erosi maka perlu dilakukan reboisasi di sekitar situ dan
pembuatan bangunan penangkal erosi.
RUJUKAN
Nontji, A. & D. I. Hartoto (Eds). 1989 a. “Limnologi Situ Bojongsari”, Monografi No. 1,
Puslitbang Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Nontji, A. & D. I. Hartoto (Eds). 1989 b. Ecology of a small tropical lake, Bojongsari (Bogor,
West Java). UNESCO Indonesia MAB Program, Research and Development Centre for
Limnology, Indonesian Institute of Sciences.
Nontji, A. 1993. Attenuation of Photosynthetically Active Radiation in a Small Tropical Lake,
Bojongsari. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 27: 1-10.
Purnama, N. E. 2008. Pendugaan erosi dengan metode USLE (Universal Soil Loss Equation)
di Situ Bojongsari, Depok. Skripsi Sarjana Teknologi Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
267
41. DANAU RAWA PENING
D
anau Rawa Pening secara adminsitratif berada di Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, tak jauh dari kota Salatiga, dengan posisi geografis 7o 4’ - 7o 30’ LS
(Lintang Selatan) dan 110o 24’ 46” - 110o 49’ 06” BT (Bujur Timur). Areal
Danau Rawa Pening secara administratif masuk dalam empat kecamatan di bawah Kabupaten
Semarang, yakni Kecamatan Bawen (sebelah utara), Kecamatan Banyubiru (sebelah selatan),
Kecamatan Tuntang (sebelah timur) dan Kecamatan Ambarawa (sebelah barat).
Gambar 1. Atas: Peta lokasi Danau Rawa Pening. Bawah: Danau Rawapening.
Warna biru tua: batas saat air rendah di musim kemarau. Warna biru muda: batas
saat air tinggi di musim hujan (Whitten et al. 1996)
268
Danau ini berada pada ketinggian antara 455 – 465 m di atas permukaan laut serta
dikelilingi oleh tiga gunung yaitu Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Kapasitas
tampungan airnya sekitar 65.000.000 m3 . Letak danau ini cukup strategis karena berada di
tepian jalan raya nasional Semarang – Solo dan Semarang – Yogyakarta serta berada di jalan
antara Ambarawa – Kota Salatiga.
Gambar 2. Panorama Danau Rawa Pening (traveldtik.com &
birohumas.jatengprov.go.id)
Suatu kajian arkeologi dengan pemboran sedimen di Rawa Pening mengungkapkan
bahwa dalam periode 4.000 tahun terakhir, luas hutan rawa yang asli di kawasan ini telah
banyak berkurang luasnya. Rekaman pollen (tepung sari tumbuhan) purba pada sedimen
269
mengindikasikan bahwa kedatangan manusia ke daerah paparan ini baru dimulai kurang lebih
sebelum abad ke sepuluh, atau kurang lebih ketika candi Kerajaan Mataram didirikan.
Rekaman sejarah menunjukkan perubahan signifikan terjadi di kawasan ini sekitar abad ke-14 ,
yang mengindikasikan mulai terjadinya kolonisasi manusia secara ekstensif di daerah paparan
ini (Semah et al. 1992).
Dilihat dari kejadiannya, Danau Rawa Pening merupakan danau yang terbentuk secara
alami ketika proses geologi membendung Kali Tuntang hingga terbentuklah danau yang
bentuknya agak membulat. Danau alami ini kemudian disempurnakan oleh Pemerintah Hindia
Belanda dengan membangun dam (bendung) pada tahun 1912 – 1916 dengan memanfaatkan
Kali Tuntang sebagai satu-satunya pintu keluar (outlet). Danau ini kemudian diperluas pada
tahun 1936 hingga mencapai luas ± 2.667 ha pada musim hujan, sedangkan pada akhir musim
kemarau menyusut menjadi ± 1.650 ha.
Terdapat
banyak
sungai-sungai kecil yang
mengalirkan airnya dari
DTA (Daerah Tangkapan
Air) di hulu yang kemudian
masuk ke Danau Rawa
Pening. Sungai-sungai itu
antara lain Asinan, Rengas,
Aglik, Panjang, Torong,
Gede, Gondang, Sentul,
Tegaron, Legi, Muncul,
Parat, Sraten, Kedungringis,
Ngreco,
Kesongo
dan
Paguran
(Gambar
1).
Namun hanya ada satu pintu
keluar (outlet) dari Danau
Rawa Pening yakni Sungai
Tuntang yang terletak di
bagian timur-laut danau.
Hal ini terjadi karena bagian
timur-laut letaknya lebih
rendah dan air mengalir
Gambar 3 . Peta Daerah Tangkapan Air Rawa Danau Pening.
terus ke Kabupaten Demak
(Wuryanta & Paimin, 2012)
dan Kabupaten Grobogan
hingga akhirnya bermuara ke Laut Jawa.
Iklim di Danau Rawa Pening memiliki ciri sebagai iklim tropis dengan curah hujan
tinggi dengan suhu rata-rata antara 25 oC – 29 oC. Curah hujan rata-rata misalnya pada tahun
2005 tercatat sebesar 2.387 mm per tahun dengan jumlah hari hujan 133 hari, dan kelembaban
udara berkisar antara 70 – 90 %. Musim hujan terjadi selama enam bulan yakni dari November
sampai April, sedangkan musim kemarau pada bulan Mei hingga Oktober. Puncak masa
kekeringan terjadi pada bulan Agustus sampai September.
270
Dalam beberapa tahun
terakhir telah terjadi perubahan
iklim yang mengakibatkan
semakin berkurangnya curah
hujan dan juga jumlah hari
hujan. Hal ini menyebabkan
pada musim kemarau air danau
semakin
menyusut
dan
mengakibatkan
kekeringan,
sebaliknya pada msim hujan air
danau berlebihan sehingga
menyebabkan banjir. Salah satu
penyebab terjadinya perubahan
ini
adalah
semakin
bertambahnya lahan kritis atau
lahan
gundul
di
daerah
tangkapan air akibat berbagai
pemanfaatan lahan yang tidak
memperhatikan
aspek
kelestarian lingkungan.
Karakteristik
danau
sangat ditentukan oleh kondisi
Daerah Tangkapan Air (DTA)
di bagian hulunya.
Daerah
Tangkapan Air Danau Rawa
Pening sebagian besar berada di
Kabupaten Semarang dan hanya
sebagian kecil berada di Kota
Salatiga
tepatnya
wilayah
Kecamatan Sidomukti dan
Kecamatan
Argomulyo
(Gambar 3). Daerah Tangkapan
Air Danau Rawapening terdiri
dari sembilan Sub-DAS yakni:
Galeh, Legi, Panjang, Parat,
Rengas, Sraten, Torong, Ringis,
Kedung Ringin (Gambar 4).
Selain itu karakteristik
tutupan lahan di Daerah
Tangkapan
Air
sangat
menentukan kualitas aliran yang
masuk ke danau dan juga akan
menentukan sedimentasi yang
terjadi di Danau Rawa Pening.
Gambar 4. Atas: Peta erosi potensial Daerah Tangkapan
Air Danau Rawa Pening. Bawah: Peta Penutupan
Penggunaan Lahan DTA Danau Rawa Pening. (Wuryanta
& Paimin, 2012)
271
Beberapa jenis tutupan lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Rawa Pening antara lain
berupa hutan, pemukiman, perkebunan, pertanian lahan kering, sawah, semak belukar, dan
tegalan (Gambar 4). Aktivitas pemanfaatan lahan di wilayah DAS bagian hulu seperti
konservasi lahan hutan, pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung lahan
mengakibatkan degradasi sumberdaya alam, meningkatkan erosi dan sedimentasi yang
berdampak pada wilayah DAS di bawahnya dalam bentuk pendangkalan danau dan sungai.
Sedimentasi Danau Rawa Pening sudah merupakan hal yang krusial mengingat
intensitasnya yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Wuryanta & Paimin (2012) misalnya
mencontohkan sedimentasi yang terjadi dalam kurun 28 tahun (1976 s/d 2004) yang
mengakibatkan daya tampung Danau Rawa Pening menyusut dari 65 juta m3 menjadi 49 juta
m3. Apabila tidak segera dilakukan upaya penyelamatan, eksistensi danau alami ini terancam
akan menjadi daratan dalam beberapa dekade ke depan.
Göltenboth (1979) dan Soeprobowati (2012) telah membuat peta batimetri (kedalaman)
Danau Rawa Pening, yang pada dasarnya hasil keduanya tidak jauh berbeda. Bagian terdalam
danau ini adalah 18 m dekat mata air Bukit Cinta. Bagian barat-laut danau kedalamannya
berkisar 2-4,7 m.
Gambar 5. Peta batimetri (kedalaman) Danau Rawa Pening (Göltenboth, 1979).
Kualitas air dan fitoplankton di Danau Rawa Pening telah dikaji oleh Zulfia & Aisyah
(2012) yang menyimpulkan bahwa perairan danau ini merupakan perairan yang subur yang
tergolong eufotik hingga hipereutrofik. Keanekaragaman fitoplanktonnya tergolong rendah
272
tetapi kelimpahannya tinggi. Beberapa karakteristik perairan Danau Rawa Pening dicantumkam
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas air Danau Rawa Pening (Zulfia & Aisya, 2012)
Parameter
Nilai
Kedalaman (m)
1,48 – 11,3
pH
7,1 – 7,4
Suhu
27,65 – 28,55
Kecerahan (cm)
85 - 112
Nitrat (mg/l)
1,32 – 2,18
Fosfat (mg/l)
0,012 – 0,031
Klorofil-a (mg/l)
4,66 – 7,30
Gambar 6. Eceng gondok (Eichornia crassipes) menutupi sekitar 85 %
permukaan danau Rawa Pening. Pengendaliannya merupakan masalah
lingkungan yang utama di danau ini.
Perairan Danau Rawa Pening mempunyai keanekaragaman hayati yang cukup tinggi,
tetapi eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan jenis yang paling dominan. Diperkirakan
eceng gondok yang hidup mengambang di permukaan air ini menutupi perairan danau sekitar
1.080 ha atau kurang lebih 85,4 % dari luas danau di tahun 2006 (Soeprobowati, 2012) .
Berbagai upaya untuk mengendalikan populasi gulma eceng gondok ini tampaknya belum
sepenuhnya berhasil. Ada beberapa kegiatan untuk mengendalikan populasi eceng gondok ini,
273
misalnya dengan memanen atau mengangkatnya secara fisik keluar dari perairan, dan
memanfaatkan eceng gondok sebagai sumber daya ekonomi misalnya untuk berbagai produk
kerajinan (handycraft), pembuatan pupuk organik, biogas, dan pemanfaatan untuk pakan ternak.
Selain itu, pengendalian eceng gondok juga dilaksanakan dengan penggunaan herbisida,
pengendalian secara biologi dengan memanfaatkan ikan koan/ grass carp (Ctenopharyngodon
idella) yang herbivor. Tampaknya cara apapun yang digunakan tidaklah mudah karena populasi
eceng gondok dapat berlipat ganda dengan sangat cepat. Akar masalahnya adalah pada
eutrofikasi atau masuknya nutrient terutama nitrat dan fosfat yang bersumber dari kegiatan
pemukiman, pertanian, perikanan, peternakan dari lahan sekitar danau.
Gambar 5. Flora dan fauna utama di Danau Rawa Pening. Flora: 1. Rynchospora
corymbosa; 2. Ceratophyllum demersum; 3. Phytoplankton; 4. Eichornia
crassipes; 5. Nymphoides indica; 6. Hydrilla verticillata. Fauna: a. Rana erythrea;
b. Pipistrellus; c. Colocalia linchi; d. Urothermis abbotti; e. Lonchura molucca; f.
Halcyon cyanoventris; g. telur keong Pila; h. Belostoma indica; i. Macrobrachium
rosenbergi; j. Channa striatus; k. Aplocheilus panchax; l. zooplankton; m. Clarias
batrachus; n. larva Chironomus; o. Trichogaster pectoralis; p. Larva Culex; q.
hydra; r. Spongilla lacustris; s. Corbicula javanica; t. Caridinia laevis; u. Pila
polita; v. larva Chaoborus; w. Anodonta woodiana. (Whitten et al., 1996)
Selain eceng gondok, tumbuhan akuatik terbenam (submerged plant) lainnya terdapat
juga di danau ini antara lain Hydrilla verticillata dan Ceratophyllum demersum. Di danau ini
terdapat 13 jenis tumbuhan air makrofita, 9 jenis diantaranya merupakan jenis asli, sedangkan 4
274
jenis lainnya merupakan jenis pendatang. Berbagai jenis flora dan fauna sebagai penghuni
utama Danau Rawa Pening disampaikan dalam Gambar 5.
Jenis-jenis ikan yang pernah dilaporkan terdapat di Danau Rawa Pening bejumlah
sekitar 17 jenis. Jenis ikan yang paling dominan adalah ikan nilem atau wader (Osteochilus
hasselti). Sementara itu zooplankton yang pernah dilaporkan dari danau ini terdiri dari 17 marga
yang merupakan kelompok dari Cladocera, Copepoda, Ostracoda dan Rotifera, sedangkan
fitoplankton sedikitnya terdapat 148 marga.
Perikanan di Danau Rawa
Pening dapat digolongkan dalam
dua kegiatan utama yakni perikanan
tangkap dan perikanan budidaya.
Perikanan tangkap dilakasanakan
dengan alat-alat sederhana seperti
pancing, jala tebar, bubu, jaring
pandrong, dan anco (jaring angkat).
Perikanan budidaya dilaksanakan
dalam dua bentuk yakni dengan
karamba tancap dan karamba jaring
Gambar 6. Nelayan di Danau Rawa Pening
apung. Ikan yang dibudidaya
terutama adalah jenis yang
diintroduksi seperti ikan nila (Oreochromis niloticus). Masuknya ikan pendatang baru dapat
mengancam kehadiran ikan asli setempat. Ikan wader hijau (Osteochilus hasselti) misalnya kini
semakin sulit di temui di danau Rawa Pening.
Kegiatan perikanan tangkap tahun 2005 menghasilkan produksi sebesar 1.026 ton,
budidaya karamba tancap 628 ton dan karamba jaring apung 90 ton. Potensi masalah dalam
penerapan budidaya karamba adalah pemberian pakan secara berlebihan hingga dapat menjadi
sumber menurunnya kualitas air setempat.
Selain untuk pemanfaatan perikanan, Danau Rawa Pening berfungsi pula untuk
pariwisata, terutama untuk
wisata alam dan wisata air.
Pemandangan alamnya yang
indah
yang
memadukan
hamparan perairan dengan
latar
belakang
gunung
merupakan
daya
tarik
tersendiri.
Di
perairan
danaunya dapat dilaksanakan
wisata
memancing
atau
berperahu
keliling
danau
sambil menikmati kondisi alam
dan kegiatan nelayan.
Gambar 7. Wisata pemancingan di Danau Rawa Pening
Fungsi lain dari Danau
Rawa Pening adalah sebagai
pemasok air baku untuk pemukiman dan industri di sekitarnya. Selain itu juga sebagai pemasok
275
air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang sangat vital dalam pembangunan
ekonomi di kawasan ini. Air dari dari Danau Rawa Pening disalurkan untuk PLTA Jelok
Tuntang dengan kapasitas terpasang 20 MW, yang merupakan bagian dari interkoneksi listrik
Jawa-Bali.
Gambar 8. Air dari Danau Rawapening dimanfaatkan untuk Pembangkit
Listrik Tenga Air (PLTA) Jelok, Tuntang (panoramio.com)
Sehubungan dengan berbagai masalah yang melanda Danau Rawa Pening, Kementerian
Lingkngan Hidup telah menyusun serangkain program untuk penanggulangannya
(Kementeraian Lingkungan Hidup, 2011) yang tidak saja didasarkan pada aspek teknis tetapi
juga dengan mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik.
RUJUKAN
Göltenboth, F., K. H. Timotius, P. P. Milan & J. Margraf (eds). 2006. Ecology of Insular
Southesat Asia. The Indonesian Archipelago. Elsevier, Amsterdam: 557 pp.
276
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional:
148 hlm.
Kurniawan, R., J. Nishiro & I. Yuniarti. 2012. Aquatic macrophytes diversity in Lake Rawa
Pening, Indonesia. Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Lehmusluoto, P., B. Machbub, N. Terangna, S. Rusmiputro, F. Achmad, L. Boer, S.S.
Brahmana, B. Priadi, B. Setiadji, O. Sayuman & A. Margana. 1997. Expedition
Indodanau Technical Report. National inventory of the major lakes and reservoirs in
Indonesia. Revised Edition: 71 pp.
Murtiono, U. H. & Paimin. 2012. Potensi pasokan air ke Danau Rawa Pening pada Musim
Kemarau. Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Semah, A.M. 1992. Study of a 4000 years pollen record of a core in the Ambarawa Basin,
Central Java, Indonesia. Existense of older grubbing periods. C. R. Acad. Sci.ser. II,
Univers. Sci.Terre 315: 903-908.
Setyono, C. 2014. Rawa Pening dalam perspektif politik lingkungan: Sebuah kajian awal.
Indonesian Journal of Conservation, Vol 3, No. 1: 7 – 15.
Soeprobowati, T. R. & S. Hadisusanto. 2009. Diataom dan palaeolimnology: Studi komparasi
perjalanan sejarah Danau Lac Saint-Agustine Quebec-City, Canada dan Danau Rawa
Pening Indonesia. Biota 14 (1): 60-68.
Soeprobowati, T. R. 2012. Mitigasi danau eutrofik: Studi kasus Danau Rawa Pening. Prosiding
Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Soeprobowati, T. R. 2012. Peta batimeteri Danau Rawapening. BIOMA, 14 (2): 78-84.
Sulastri, C. Henny & U. Handoko. 2014. Environmental conditions and eutrophication states of
Rawa Pening Lake of Central Java, Indonesia. Lakes: The Mirrors of the Earth:
Balancing Ecosystem Integrity and Human Wellbeing: 99-102.
Sulastri, N. Takamura & I. Yuniarti. 2012. Phytoplankton of Rawa Pening Lake and
Gajahmungkur Reservoir of Central Java. Prosiding Seminar Nasional Limnologi VI,
2012: 598-610.
Suwargana, N. 2012. Pemantauan luas Rawa Pening periode 1992, 2001 dan 2006 berbasis data
Landsat – TM dan Ikonos. Seminar Nasional Limnologi VI Tahun 2012.
Whitten, A., R. E. Soeriaatmadja & S. A. Afiff. 1996. The ecology of Java and Bali. Ecology
of Indonesia Series. Vol.II. Dalhousie University: 969 pp.
Wuryanta, A. & Paimin. 2012. Analisis sedimentasi Danau Rawapening dengan menggunakan
teknologi pengideraan jauh dan sistem Indormasi Geografis. Prosiding Seminar
Nasional Limnologi VI.
Zulfia N. & Aisyah. 2013. Status trofik perairan Rawa Pening ditinjau dari kandungan unsur
hara (NO3 dan PO4) serta klorofil-a. BAWAL 5 (3): 189 – 199.
277
42. RANU GRATI
D
anau Ranu Grati biasa disebut sebagai Ranu Grati saja, karena dalam bahasa
Jawa setempat kata Ranu sudah bermakna Danau. Karena danau ini berada di
Desa Klindungan, acapkali pula disebut sebagai Ranu Klindungan. Secara
adminstratif
Ranu Grati terletak di tiga desa yaitu Desa Sumberdawesari, Desa
Ranuklindungan dan Desa Gratitunon, termasuk dalam Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan,
Provinsi Jawa Timur. Posisi geografi ranu ini kurang lebih antara 7 o30’-8o30’ Lintang Selatan
dan 112o30’-113o30’ Bujur Timur. Ranu ini berada pada bagian utara dari kaki Kaldera
Tengger, dan dapat diakses dari Kota Pasuruan yang jaraknya sekitar 15 km ke arah timur
melalui jalan raya lintas Pasuruan-Probolinggi.
Gambar 1. Peta lokasi dan citra satelit Ranu Grati
Ranu Grati berada pada ketinggian (elevasi) sekitar 10 m di atas permukaan laut.
Morfologinya hampir berupa lingkaran dengan panjang maksimum 1,67 km, lebar maksimum
1,61 km, keliling 5,21 km dan luas sekitar 1,98 km2. Kedalaman rata-ratanya adalah 75 m
sedangkan kedalaman maksimumnya 134 m. Volume air danau adalah 148.500.000 m3.
Ranu Grati memiliki sejarah geologi yang cukup unik. Ranu ini terbentuk oleh seri
letusan hidrovulkanik (freatik dan freatomagmatik) karena adanya interaksi antara kolom
magma yang naik dengan air eksternal sehingga membentuk gunung api maar yang terisi air
tawar dan membentk danau. Danau maar umumnya jeluk (dalam) dengan bentuk dasar
bagaikan corong. Lokasi Maar Grati sendiri cukup unik karena tidak berada di area proksimal
(dekat) vulkanik seperti gunung api umumnya, tetapi pada area distal (jauh) dimana jarak
gunung api aktif terdekat adalah Gunung Bromo (± 45 km sebelah selatan). Van Bemmelen
278
(1949) menyebutkan bahwa genesa (terjadinya) wilayah Grati disebabkan oleh aktivitas
vulkano-tektonik akibat runtuhnya Kaldera Tengger.
Gambar 2. Panorama Ranu Grati nan permai. (kompasiana.com)
Ranu Grati hanya berjarak sekitar 15 km dari kota Pasuruan. Dengan asumsi iklim di
Grati tak berbeda jauh dengan di Pasuruan maka mengacu pada data meteorologi di Pasuruan
dapat disebutkan bahwa iklim di kawasan ini diwarnai oleh musim kemarau dan musim hujan.
Curah hujan terendah terjadi di musim kemarau bulan September (34 mm) sedangkan tertinggi
279
di musim hujan Januari (469 mm). Sementara itu suhu udara terendah di bulan Januari (27,0 oC)
dan tertinggi di bulan Oktober (28,1 oC).
Beberapa penelitian limnologi telah diadakan di Ranu Grati yang mencakup aspek
kualitas air dan biotanya. Salah satu diataranya oleh Suwono (2014) yang mengemukakan
beberapa karkterisktik perairan Ranu Grati sebagai tercantum dalam Tabel 1. Dari data tersebut
terlihat bahwa kondisi perairan Ranu Grati masih dalam keadaan yang normal.
Tabel 1. Karakteristik perairan Ranu Grati (Suwono, 2004)
Parameter
Suhu (oC)
pH
Conductivity (m mho/cm)
Oksigen terlarut (ppm)
Alkalinity (ppm)
Kecerahan Secchi (cm)
Nilai
24,5-31,4
6,7-9,5
210-252
3,6-9,7
140
90
Sementara itu Lestiarini (2014) yang juga mengadakan penelitian di Ranu Grati yang
mencakup berbagai parameter fisika-kimia dan plankton berkesimpulan bahwa status trofik
Ranu Grati berkisar antara eutrofik (subur) dan hipereutrofik (sangat subur). Kondisi semacam
ini berpotensi dapat menimbulkan marak alga (algal bloom) atau pertumbuhan alga secara
berlebihan yang dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan perairan. Di sampng
itu hasil penelitiannya menunjukkan pula bahwa komunitas fitoplankton di Ranu Grati terdiri
dari 5 divisi dan 7 kelas, yaitu divisi Chlorophyta diwakili oleh kelas Chlorophyceae sebesar
41%, divisi Euglenophyta diwakili oleh kelas Euglenophyceae sebesar 1%, divisi Pyrrhophyta
diwakili oleh kelas Dinophyceae sebesar 5%, kelas Chrysophyceae sebesar 1% dan
Bacillariophyceae sebesar 15%, sedangkan Cyanophyta diwakili oleh kelas Cyanophyceae
sebesar 37%. Ditemukan 161 spesies fitoplankton di Ranu Grati dengan kelimpahan sebesar
80.568 individu/l, dimana kelimpahan berkurang dengan bertambahnya kedalaman.
Dari aspek perikanan
dapat disebutkan bahwa budidaya
ikan nila dengan teknik Karamba
Jaring Apung (KJA) telah
berkembang di Ranu Grati. Dari
pengalaman penerapan budidaya
dengan KJA di beberapa danau
lain,
perlu
diwaspadai
pengembangan KJA ini, karena
apabila pertumbuhan jumlah KJA
tak terkendali maka justru akan
menimbulkan
kerugian
dan
kontra-produktif.
Pemberian Gambar 3. Perikanan budidaya ikan dengan Karamba
makanan yang berlebihan (over Jaring Apung (KJA) di Ranu Grati. (Kompasiana.com)
feeding) dan kotoran (faeces)
280
ikan akan menyebabkan kualitas air menjadi turun, kadar oksigen turun rendah hingga nihil dan
berpotensi menyebabkan terjadinya kematian ikan secara massal. Terkait dengan hal ini,
Mulyanto (2016) dari hasil surveynya menunjukkan bahwa di Ranu Grati telah ada sebanyak
906 petak KJA, masing-masing dengan rata-rata berukuran 7x7 m2 yang dimiliki oleh 107
orang. Jumlah ini diduga telah melebihi daya dukung (carrying capacity) perairan tersebut.
Hasil kajiannya menunjukkan bahwa Ranu Grati hanya dapat mendukung sebanyak 347 petak
KJA berukuran 7x7 m2 yang tiap petaknya memproduksi ikan sebanyak 8.960 kg per tahun.
Selain untuk perikanan,
Ranu Grati juga berfungsi untuk
pengembangan pariwisata setempat.
Akses yang mudah ke ranu ini dan
potensi alamnya cukup mendukung
untuk
pariwisata.
Beberapa
kegiatan wisata
yang dapat
dilaksanakan misalnya berperahu
(boating), memancing, dan bebagai
jenis rekreasi air lainnya. Salah satu
acara tradisional yang khas disini
Gambar 4. Upacara adat larung sesaji di Ranu Grati.
adalah
larung
sesaji
yang
(soloraya.com)
dilaksanakan setiap tahun baru
Islam (1 Muharram). Dalam acara
meriah yang diikuti masyrakat setempat tersebut, nasi tumpeng, bebek dan ayam dilarung
(dilepas) ke danau, sebagai ungkapan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Sang
Maha Pencipta.
Ada juga peristiwa bersejarah yang menarik di ranu ini yang diabadikan dalam satu
prasasti di tepi danau, yaitu tenggelamnya tank amfibi dari Batalion Zipur 10 Amfibi dalam
suatu kegiatan latihan tanggal 17 Oktober 1979. Ketika itu lima tank amfibi akan mengarungi
dan menyeberangi Ranu Grati. Tetapi salah satu dari tank itu mesinnya mati ketika berada di
tengah danau. Semestinya tank amfibi tetap mengapung meskipun dalam kedaan mesin mati.
Tetapi kenyataan yang terjadi adalah tank tersebut berikut 22 prajurit di dalamnya tenggelam,
lenyap dan tak pernah ditemukan lagi. Peristiwa tragis itu dianggap misterius dan oleh
penduduk setempat sering dikaitkan dengan kepercayaan adanya mahluk gaib penguasa ranu,
Baru Klinting, yang meminta korban.
RUJUKAN
Fauzan, M. 2013. Keanekaragaman fitoplankton sebagai bioindikator kualitas perairan Ranu
Grati Kabupaten Pasuruan. Undergraduate Thesis, Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim.
Lestariani, N. 2014. Analisis status trofik Ranu Grati, Pasuruan dan pengembangannya sebagai
modul perkualiahan limnologi. Thesis Program Studi Pendidikan Biologi, Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.
281
Mulyanto, A. 2016. Daya dukung Ranu Grati untuk budidaya ikan nila dalam Keramba Jaring
Apung. Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan 2016.
Muttaqinah, N. 2014. Keanekaragaman dan kelimpahan jenis mikroalga planktonik di Ranu
Grati Kabupaten Pasuruan. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/20152.
Suwono, H. 2008. Studi tentang plankton di Ranu Grati Pasuruan, Jawa Timur. Home, Vol.37,
No.1.
282
43. DANAU KAWAH IJEN
G
unung Ijen adalah sebuah gunung api aktif yang terletak di perbatasan
antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa
Timur. Gunung ini memiliki ketinggian 2.443 m diatas permukaan laut dan
terletak berdampingan dengan Gunung Merapi. Posisi geografisnya adalah 8o 03’ 30” Lintang
Selatan dan 114o 14 ’ 30” Bujur Timur. Gunung Ijen terakhir meletus pada tahun 1999. Di
puncak gunung inilah terdapat Danau Kawah Ijen. Kawasan ini berada dalam wilayah Cagar
Alam Taman Wisata Ijen.
Gambar 1 . Atas: Peta lokasi Danau Kawah Ijen. Bawah: Citra Danau
Kawah Ijen dari Satelit Landsat-8.
283
Gambar 2 .Danau Kawah Ijen dengan kepulan solfatara (gas mengandung belerang) di latar
depan (anekatempatwisata.com)
Danau Kawah Ijen terbentuk dari rangkaian proses vulkanik yang kompleks dari
Gunung Api Ijen yang membentuk kaldera besar dimana kawah ini berada. Danau Kawah Ijen
itu berada pada ketinggian 2.200 m diatas permukaan laut, memiliki bentuk oval (600 x 1.000
m), dengan luas permukaan 41 x 106 m2 dan volumenya diperkirakan antara 32 dan 36 x 106
m3 .
Gambar 3. Peta batimetri (kedalaman) Danau Kawah Ijen berdasarkan pengukuran kedalaman
dengan pemberat (lead sounding). (Takano, 1996)
284
Gambar 4 . Peta batimetri (kedalaman) Danau Kawah Ijen, berdasarkan rekaman
dengan pemeruman gema (echo sounding) tahun 2011-2012 (Caudron et al. 2015).
Pemetaan topografi kawasan danau tahun 1920 dan 1994 menunjukkan bahwa morfologi
kawah tidak banyak berubah meskipun sejarah peristiwa erupsi freatik telah terjadi berulangulang. Erupsi freatik adalah proses keluarnya magma ke permukaan bumi karena pengaruh uap
yang disebabkan sentuhan air dengan magma baik secara langsung maupun tak langsung.
Sebaliknya morfologi dasar danau kawah telah mengalami perubahan. Pengukuran kedalaman
pada tahun 1925 misalnya mencatat kedalaman 198 m pada titik terdalam, yang saat itu
berlokasi sebelah timur dari pusat. Pada tahun 1938 titik terdalam telah bergeser ke barat yang
mengakibatkan danau bagian pusat lebih dalam (~ 200 m) dan juga di beberapa titik di paruhan
sebelah barat. Pengukuran oleh Takano (1996) dengan menggunakan pemberat (lead sounding)
menunjukkan bahwa kedalaman maksimumnya sedikit lebih rendah (Gambar 3). Peta batimetri
(kedalaman) Danau Kawah Ijen yang lebih mutakhir (Coudron et al., 2015), yang dibuat
berdasarkan hasil pemeruman gema (echo sounding) disajikan dalam Gambar 4.
Di bagian tenggara danau (Gambar 2 dan 3) terdapat solfatara yakni lubang yang
menyemburkan gas-gas oksida belerang (seperti SO2 dan SO3), selain karbon dioksida (CO2)
dan uap air (H2O). Solfatara mudah dikenali karena udara sekitarnya berbau busuk seperti
kentut, yang merupakan bau khas gas-gas oksida belerang.
Satu hal yang sangat fenomenal pada Danau Kawah Ijen adalah karena sifat airnya yang
sangat asam (hyper acidic) dengan pH sampai serendah 0,2 yang sering dirujuk sebagai danau
yang paling asam sedunia. (Catatan: air yang normal mempunyai pH 7). Air yang sangat asam
ini boleh dikatakan seperti air keras atau air aki mobil, yang bila tersentuh kulit kita akan terasa
panas dan bisa menyebabkan melepuh. Sukar membayangkan ada biota yang mampu hidup
dalam danau dengan kondisi keasaman seperti ini. Bahkan berbagai logam pun akan segera
285
dicerna oleh air yang sangat asam ini
(Gambar 6). Pertanyaannya lalu
bagaimana kondisi hyper acidic
seperti ini bisa terbentuk di danau
ini?
Secara sederhana terjadinya
pengasaman Danau Kawah Ijen
dapat digambarkan sebagai berikut
(konsep yang dikembangkan oleh
Bernard). Menurut konsep ini,
kondisi kimia air danau ini
ditentukan oleh volatili (kemampuan
berubah ke bentuk uap atau gas)
magmatik, interaksi batuan dan
cairan, penguapan air danau,
pengenceran dari air hujan dan daur
ulang air danau melalui rembesan ke
dalam sistem hidrotermal bawah
permukaan (Gambar 5). Danau ini
bertindak sebagai kondensor untuk
bahan yang mudah menguap dan
juga sebagai perangkap panas
kalorimeter yang dipasok oleh
reservoir magmatik dangkal.
Gambar 5. Proses kimiawi pembentukan air sangat
asam di Danau Kawah Ijen (menurut Bernard)
Gambar 6. Kiri: Kaleng aluminium ini ditaruh di air Danau Kawah Ijen dan langsung
menimbulkan suara mendesis karena “dimakan” oleh air danau yang sangat asam.
Dalam tempo 20 menit kaleng itu tinggal berupa lapisan tipis bagai sepotong tissue.
Kanan: Mengukur derajat keasaman Danau Kawah Ijen mempunyai risiko yang sangat
besar, karena petugas berada di tengah danau “air aki” yang sangat keras.
(stormchaser.ca)
286
Volatili magmatik dapat disuplai oleh sistem danau kawah berupa injeksi langsung
berupa semburan uap magmatik (SO2, H2S, HCl, dan HF) melalui rekah-rekah yang
berhubungan dengan dasar fumarol (lubang yang mengeluarkan gas atau uap) atau melalui air
panas yang masuk di dasar danau. Dengan demikian air hujan, suhu tinggi, kimia batuan, serta
semprotan uap magma bercampur dan dimasak di kuali raksasa berupa danau hingga terjadilah
air danau yang sangat asam (hyper acidic).
Para ahli vulkanologi Belanda telah mengungkapkan adanya hubungan yang erat antara
curah hujan, tinggi muka air dan suhu danau. Curah hujan di kawasan Ijen bervariasi dengan
kisaran 3.000 – 4.000 mm per tahun. Terdapat fluktuasi yang signifikan antaran musim kemarau
(Mei-Oktober) dan musim hujan (November-April) saat muka air danau bisa naik sampai 4 m.
Suhu permukaan danau selalu lebih tinggi dari pada suhu udara, dan umumnya menurun selama
musim hujan. Pengamatan dalam kurun tahun 1980 – 1993 menunjukkan suhu permukaan
danau rata-rata 40oC, dengan maksimum sekitar 46oC dan minimum sekitar 32oC. Pada
umumnya dalam kondisi normal, suhu tidak menunjukkan perubahan signifikan terhadap
kedalaman.
Geokimia air Danau Kawah Ijen antara lain telah dikaji antara lain oleh Mueller (1957)
yang menunjukkan berbagai kandungan logam di danau ini yang disarikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi geokimia air Danau Kawah Ijen (Mueller, 1957)
Komponen
Konsentrasi (g/l)
2SO4
57,0
Cl
17,7
Al 3+
5,08
2+
Fe
1,58
Mg 2+
0,63
2+
Na
1,05
Pada tahun 1921 dibangun oleh Belanda bendungan di bagian sebelah barat Danau
Kawah Ijen (Gambar 3) untuk mengatur tinggi air danau dengan tujuan mencegah air
melimpah yang bisa menimbulkan bencana selama musim hujan. Awalnya pintu air ini
berfungsi tetapi kini tidak dapat dioperasikan lagi karena danau ini bocor atau merembes.
Rembesan (seepage) air danau masuk ke sungai di arah hilirnya yakni Sungai Banyu Pahit dan
Sungai Banyu Putih yang membuat sungai-sungai ini juga bersifat asam meskipun pH nya
sudah semakin meningkat menuju netral semakin menuju ke arah hilir. Sementara itu sungai
asam itu digunakan untuk pengairan.
Survei awal terhadap sumur-sumur penduduk untuk keperluan air minum di sekitar
kawasan ini menunjukkan tingginya kadar fluorida. Masalah penyakit gigi fluorosis pada
penduduk lokal cukup meluas yang mengindikasikan dampak fluorida terhadap kesehatan gigi
penduduk. Unsur toksik lainnya dalam air yang perlu mendapat perhatian antara lain unsurunsur Al, Mn, As, Cd, Hg, Pb, Se, Cu dan Zn.
Fenomena alam yang juga menarik di Danau Kawah Ijen adalah medan solfatara yang
terdapat di tepi danau bagian tenggara (Gambar 3) yang menghembuskan uap panas yang
mengandung belerang. Dalam kondisi suhu yang sangat tinggi disini terjadi sublimasi asam
sulfat dan garam sulfat menjadi belerang murni yang tak ada habisnya, yang menjadi sumber
penambangan belerang oleh penduduk setempat. Suhu uap itu berkisar sekitar 200 oC yang
287
bervariasi antara 169 hingga 244 oC. Uap panas ini disalurkan melalui pipa-pipa, dan pada
ujungnya terjadi proses pendinginan yang menyebabkan belerang murni membeku menjadi
padatan yang kemudian ditambang oleh penduduk setempat sebagai sumber penghasilan.
Gambar 7. Petambang sedang mengambil belerang di Kawah Ijen (Kompas 20/11/2013)
Gambar 8. Petambang belerang di Kawah Ijen dan berbagai bentuk karya seni belerang untuk
suvenir wisata.
Pada saat suhunya masih tinggi, belerang yang mulai membeku itu berwarna merah dan
kemudian berubah menjadi kuning seiring dengan makin turunnya suhu. Endapan belerang
kuning itu ditambang oleh penduduk setempat, hanya dengan menggunakan linggis hingga
288
membentuk bongkahan-bongkahan. Operasi penambangan itu dilaksanakan dengan cara yang
sangat sederhana dan tanpa alat pengaman sama sekali. Bongkahan-bongkahan belerang kuning
itu kemudian dimasukkan dalam keranjang bambu dan dipikul menyusuri medan yang terjal dan
curam sampai ke tempat penampungan sejauh kurang lebih 3 km dari situ. Setiap pikulan
belerang itu mempunyai berat sekitar 80-100 kg. Pengangkutan belerang dengan cara memikul
itu tentu merupakan pekerjaan yang sangat berat, apalagi para petambang bisa melaksanakan
pengangkutan belerang itu dengan berjalan kaki bolak-balik sampai dua kali dalam sehari. Kini
sekitar 200 orang petambang terlibat dalam kegiatan itu dan dapat menghasilkan sebanyak 14
ton belerang per hari. Operasi penambangan belerang yang sederhana semacam ini telah
berlangsung sejak beberapa dekade lalu.
Belerang murni itu dibutuhkan dalam berbagai kegiatan industri misalnya dalam industri
gula dan juga industri lainnya. Kegiatan penambangan belerang ini kini menjadi salah satu
atraksi wisata, dimana para wisatawan dapat menyaksikan kegiatan penambangan belerang ini.
Belakangan ini penduduk lokal mengembangkan insiatif membuat bahan belerang itu menjadi
berbagai bentuk karya artistik untuk menjadi bahan cindermata atau suvenir bagi wisatawan.
Gambar 9. Pijar api biru di Kawah Ijen hanya dapat disaksikan pada malam hari.
289
Fenomena alam lainnya yang sangat menarik di Kawah Ijen adalah munculnya api biru
(blue fire) di kawasan ini. Aliran lava dengan kandungan sulfur yang sangat kaya pada suhu
yang sangat tinggi mengakibatkan timbulnya cahaya biru yang hanya dapat diamati di malam
hari. Warna api biru itu seperti warna api kompor gas elpiji. Proses itu sebenarnya terjadi juga
pada siang hari tetapi tak dapat terlihat. Saat terbaik untuk melihat api biru itu adalah pada
malam dan dini hari. Api biru yang dihasilkan dari aktivitas gunung api seperti ini di dunia
hanya terdapat di dua tempat yakni di Kawah Ijen dan di Eslandia. Api biru Kawah Ijen kini
merupakan salah satu objek wisata yang menarik di kawasan ini.
RUJUKAN
Caudron, C., D. K. Syahbana, T. Lecorq, V. v. Hinsberg, W. McCausland, A. Triantafyllou, T.
Camelbeeck, A. Bernard, Surono. 2015. Kawah Ijen volcanic activity: a review. Bull.
Volacanol (2015) 77: 16.
Grunewald,O. 2010. Kawah Ijen by night. Boston Globe 08/12/2010.
Harsaputra, I. 2011. Kawah Ijen: Between potential and threat. The Jakarta Post, 19 December
2011.
Howard, B. C. 2014. Stunning electric-blue flames erupt from volacnoes. Indonesia’s Kawah
Ijen and other craters emit rivers of light from burning sulfur. National Geographic,
January 2014.
Mueller, C. 1957. Ijen crater lake project East Java Republic of Indonesia. Tech. Rep. Bandung.
Stromberg, J. 2014. Why does this Indonesian volcano burn bright blue? Smithsonian com.
Feb.4, 2014.
290
GLOSARIUM
Anoksik
Kondisi dalam keadaan tanpa oksigen. Anoxic.
Antropogenik
Bersumber atau
Anthropogenic.
Batimetri
Peta kedalaman perairan. Bathymetry.
BOD
Biological Oxygen Demand. Kebutuhan oksigen secara biologis, yaitu
jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik
yang dapat terutai secara biologis di dalam air.
Daerah Tangkapan Air
(DTA)
Istilah lain dari DAS (Daerah Aliran Sungai) yaitu suatu kesatuan
wilayah daratan yang menampung dan mengalirkan air hujan yang
jatuh di atasnya, biasanya dibatasi oleh punggung gunung/bukit, yang
kemudian mengalirkannya ke perairan seperti sungai atau danau.
Catchment area.
Danau endorheik
Danau tanpa aliran keluar. Endorheic lake.
Daya dukung
Kemampuan maksimum lingkungan dalam menerima beban. Carrying
capacity.
Debit
Jumlah atau volume air yang mengalir pada sungai atau alur badan air
per satuan waktu (misal: m3/dt). Discharge.
Endemik
Hewan atau tumbuhan yang keberadaan atau penyeberannya terbatas
pada suatu wilayah tertentu. Endemic.
Epilimnion
Strata bagian atas bdan air dengan suhu yang secara vertikal relatif
homogen. Epilimnion.
Eufotik
Wilayah kolom air tempat berlangsungnya proses produksi primer
(fotosintesis) dengan ketersediaan cahaya matahari yang mencukupi.
Euphotic.
Eutrofik
Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, dicirikan oleh kadar
ketersediaan hara (nitrogen dan fosfar) yang tinggi. Eutrophic.
Fitoplankton
Flora mikro yang hidup mengambang dalam air.. Plankton nabati.
Phytoplankton.
Hipereutrofik
Tingkat kesuburan perairan (danau) yang sangat tinggi, dicirikan oleh
kadar ketersediaan hara (nitrogen dan fosfor) yang sangat tinggi.
Hypereutrophic.
Hipolimnion
Strata perairan paling bawah, di bawah strata metalimnion, yang lebih
rapat, lebih dingin, dan relatif tenang. Hypolimnion.
Karamba Jaring Apung
Suatu sistem budidaya ikan yang dilakukan di badan air tergenang,
dihasilkan
291
dari
adanya
aktivitas
manusia.
(KJA)
yaitu membesarkan ikan dalam wadah yang dilayangkan dalam air,
semua sisi dan dasarnya diselubungi oleh bahan jaring sehingga
pertukaran air relatif bebas dan limbah dari aktivitas budidaya dapat
lepas ke perairan sekitarnya.
Kecerahan
Tingkat kebeningan perairan, diukur dengan cakram Secchi (Secchi
disk) yang ditenggelamkan ke dalam air dan diukur kedalaman
maksimumnya yang masih dapat terlihat. Transparency.
Klorofil
Pigmen hijau pada tumbuhan yang berperan penting dalam proses
fotosintesis. Chlorophyll.
Konduktivitas
Daya hantar listrik suatu perairan. Conductivity.
Limnologi
Ilmu yang mempelajari perairan darat. Limnology.
Marak alga
Kepadatan fitoplankton yang sangat tinggi akibat dari penyuburan
perairan yang umumnya didominasi oleh alga hijau-biru jenis
Microcystis aeruginosa. Algal Bloom.
Mesotrofik
Tingkat kesuburan perairan yang sedang, dicirikan oleh kadar hara
(nitrogen dan fosfor) yang sedang. Mesotrophic.
Metalimnion
Strata kolom air transisi antara strata epilimnion (di lapisan atas) dan
hipolimnion (di lapisan bawah) yang ditandai dengan penurunan suhu
yang jelas. Metalimnion.
Morfometri
Ciri-ciri bentuk dan ukuran danau. Morphometry.
Oligotrofik
Tingkat kesuburan perairan (danau) yang rendah, dicirikan oleh kadar
hara (nitrogen dan fosfor) yang rendah. Oligotrophic.
Pembalikan air
Pengadukan perairan yang menyebabkan lapisan bawah yang
kandungan oksigennya rendah atau tanpa oksigen naik ke permukaan
yang dapat mengakibatkan kematian massal ikan di permukaan.
Overturn.
Pintu keluar
Lokasi tempat keluarnya air danau ke sungai. Outlet.
Pintu masuk
Lokasi tempat masuk atau bermuaranya sungai ke danau. Inlet.
Riparian
Kawasan sepanjang tepi danau atau sungai. Sempadan.
Seiche
Gelombang tegak (standing wave) yang tingginya merupakan
akumulasi dua gelombang yang merambat berlawanan arah, yakni
gelombang yang merambat sesuai arah angin, dan gelombang
balik yang terpantul kembali setelah membentur daratan pantai.
Sempadan
Kawasan sepanjang tepi danau atau sungai. Riparian.
Tektonik
Berkaitan dengan proses gerakan kerak bumi/ lempeng tektonik .
Tectonic.
Termoklin
Lapisan
yang memiliki laju penurunan suhu terhadap kedalaman.
292
Terdapat pada lapisan atau strata metalimnion. Thermocline.
Vulkanik
Berkaitan dengan aktivitas gunung api. Volcanic.
Vulkanotektonik
Gabungan aktivitas vulkanik (kegunung apian) dan gerakan kerak
bumi. Vulcano-tectonic.
Waktu tinggal
Lamanya air berada pada satu jalur hidrologi. Ditentukan oleh volume
dan debit air masuk atau keluar. Retention time.
Zooplankton
Fauna yang hidup mengambang dalam air. Plankton hewani.
293
TENTANG PENULIS
Anugerah Nontji lahir di Makassar, 16 Oktober 1940. Pendidikan formal
terakhir ditempuhnya di IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan meraih
gelar Doktor dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(1985). Kariernya dimulai sebagai asisten ilmu hayat di Lembaga Penelitian
Laut tahun 1964 sampai akhirnya pensiun sebagai Ahli Peneliti Utama di
Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
tahun 2005. Pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Limnologi LIPI (1986-1993), Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi LIPI (1993-1996), Deputi Ilmu Pengetahuan Alam LIPI (19962001). Sempat bertugas sebagai Kordinator Nasional untuk program-program UNESCO (19962001) seperti: IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission), IHP (International
Hydrological Program) dan MAB (Man and the Biosphere Program). Selain itu juga pernah
sebagai Direktur COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) (20012004). Dalam organisasi profesi sebagai ketua Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI)
(1984-1987) dan sebagai anggota Masyarakat Limnologi Indonesia (MLI). Penghargaan yang
pernah diterimanya antara lain LIPI Sarwono Award (2003) atas kontribusinya dalam
pengembangan ilmu pengetahuan alam, dan Lifetime Achievement Award for Better
Understanding of Indonesian Seas dari ISOI (2013).
294
Download