TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS

advertisement
TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN
FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT
(Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Dhurifah Nur Utami
NIM: 1111048000043
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK
Dhurifah Nur Utami. NIM 1111048000043. TANGGUNG JAWAB DEBITUR
ATAS
MUSNAHNYA
BENDA
JAMINAN
FIDUSIA
DALAM
PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix
+ 79 halaman + 12 halaman lampiran. Skripsi ini membahas tentang tanggung
jawab debitur atas muanhanya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit jika dilihat
dari kasus Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001. Hal ini dilatarbelakangi oleh
musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit mungkin saja terjadi
mengingat posisi pihak kreditur jika hal ini terjadi. Sementara dalam UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia tidak memberi gambaran
yang jelas mengenai tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia dan
perlindungan kreditur selaku penerima fidusia terkaitnya musnahnya benda
jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang
mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan
penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus menenai musnahnya benda
jaminan fidusi tidak melepaskan tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia
untuk tetap membayar sisa cicilan kredit kepada pihak kreditur meskipun dalam
UUJF tidak mengaturnya lebih rinci. Dalam Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001
Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sisa tanggungan kredit kepada
Termohon Kasasi, putusan tersebut menurut penulis sudah sesuai dimana
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah mengikat diri dalam suatu perjanjian
kredit yang berkuatan hukum dan Pemohon Kasasi wajib bertanggung jawab atas
benda yang berada dalam penguasaannya.
Kata Kunci
: Tanggung Jawab Debitur, Jaminan Fidusia, Perjanjian
Kredit.
Pembimbing
: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.,
Daftar Pustaka
: Tahun 1983 s.d. Tahun 2011
iv
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang tak terkira, terucap dengan tulus dan iklas Alhamdulillahi
Robbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul
anbiya’i walmursalin Muhammad SAW.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang
maksimal. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak
hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan
waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam
penulisan.
Penulis sangat berterimakasih, tanpa dorongan dari pembimbing dan semua
pihak yang mendukung penelitian ini, tidak akan selesai. Pada kesempatan ini,
izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para
wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. MA., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Arip Purkon, MA., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
v
3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dosen Pembimbing
yang telah bersedia membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai.
4. Bapak Deddy Nursyamsi S.H. M.Hum. Dosen pembimbing akademik dari
semester satu hingga akhir perkuliahan.
5. Keluarga besar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan
ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang
diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga
Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua
kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk mereka semua.
6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
7. Orangtua tercinta bapak Kusmin Hidayat dan ibu Fatimah Hidayati serta adik
penulis Al-Raihan Rafi berkat doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah
diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada
jenjang Perguruan Tinggi Negeri.
8. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis 2011,
khususnya untuk Icha sahabat penulis yang selalu ada tanpa melihat waktu dan
para perempuan-perempuan cantik Kiya, Endang, Ida, Shinta, Tami, Hilda,
vi
Fanny, Novita, Sri, Ummu dan lainnya yang tidak bisa disebutkan, yang telah
memberikan segala dukungan dan hiburan kepada penulis, sehingga penulis
selalu optimis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materiil
sampai detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang
berlipat dan menjadikannya amal jari’ah yang tidak pernah berhenti mengalir
hingga yaumul al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah
senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok.
Amin.
Jakarta, 27 April 2015
Dhurifah Nur Utami
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………………...................i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………..ii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………….............iii
ABSTRAK………………………….....................................................................iv
KATA PENGANTAR…………………………………………….…..................v
DAFTAR ISI………………………………………………...............................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...............1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………….............6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………............7
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.............................................................8
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual...............................................…............9
F. Metode Penelitian..................................................………………….........11
G. Sistematika Penulisan................................…………………….................14
BAB II JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT
A. Perjanjian Kredit............................................……………………............16
B. Tinjauan Umum tentang Jaminan..............................................................23
C. Pengikatan Jaminan Kredit........................................................................28
D. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan............................................34
viii
BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA
JAMINAN FIDUSIA
A. Jaminan Fidusia..........................................................................................37
B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit..................43
C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang
Musnah dalam Perjanjian Kredit................................................................47
BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192
K/Pdt/2012
A. Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001………................54
B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001........................64
C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan
Fidusia dalam Perjanjian Kredit ...............…………………...........…......70
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………..……......................74
B. Saran………………………………………………...………....................76
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77
LAMPIRAN
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam
kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.
Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan
pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk
mendukung
perkembangan
kegiatan
perekonomiannya
dan
untuk
meningkatkan taraf kehidupannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak
peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai
kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi
keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.1
Dalam mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah telah
memberikan berbagai kebijakan, di antaranya adalah peningkatan taraf hidup
masyarakat dengan jalan pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan,
baik Bank pemerintah maupun Bank swasta nasional sebagai salah satu sumber
mendapatkan dana atau modal kerja. Dengan adanya pemberian kredit,
diharapkan penerima kredit dapat mengembangkan usahanya dengan lebih
maksimal. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pemberian kredit tersebut harus
dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu, di antaranya terdapat agunan atau
jaminan serta adanya perjanjian.
1
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Raja
Grafindo, 2007), h. 1.
1
2
Perjanjian Kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan
salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku
Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apa pun, pemberian kredit itu diadakan
pada
hakikatnya
merupakan
salah
satu
perjanjian
pinjam-meminjam
sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata.
Namun, dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit
bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan
adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian
pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.2
Lembaga perbankan sebagai penyedia dana memiliki peranan yang
strategis dalam membantu mensukseskan pembangunan nasional. Bank sebagai
lembaga keuangan mempunyai usaha untuk menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkan dana kepada masyarakat melalui kegiatan perkreditan
memegang peranan yang tidak kecil. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 3
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa fungsi utama
perbankan di Indonesia adalah menghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Jaminan adalah suatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat
di nilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.3 Sehubungan dengan
jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat
2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2006),
h.502
3
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Liberty,
1984), h. 50.
3
dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat
diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit
dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak
pemberi kredit.
Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja
yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui
suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur. 4 Perjanjian kredit
merupakan ikatan antara kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan
mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian
kredit.
Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa
resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama
menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus
dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk
melunasi utangnya.
Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur,
yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi
oleh debitur atau oleh
penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan
persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit.
Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan
dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian
jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian
4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2000),h.1.
4
pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak ada perjanjian jaminan tanpa
adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri,
melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok
berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau hapus. Sifat
perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor (accessoir). Perjanjian
jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan debitur
atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu
atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan
kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.5
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa
Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 juga menggunakan istilah “fidusia.”
Dengan demikian, istilah “fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia
hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia
ini disebut juga dengan istilah “Penyerahan Hak Milik secara Kepercayaan”.6
Pengalihan hakkepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan bagi
pelunasanutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.7
“Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang
disebut dengan Constitutum Posessorium (penyerahan kepemilikan benda
tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali)”.8
5
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada
Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h.
236.
6
Munir Fuady, Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
7
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 2008), h.35
8
Munir Fuady, Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
5
Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur
dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak.
Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.
Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama
pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani
jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap
tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena
terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain.
Dalam praktek pelaksanaan pemberian kredit oleh Bank dengan
mempergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan kredit kepada pengusaha
guna mengembangkan usahanya, maka tidak tertutup kemungkinan akan
muncul permasalahan-permasalahan hukum karena objek fidusianya tetap
berada dalam tangan debitor. Seperti pada kasus yang telah diputus dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001. Dalam putusan tersebut
diselesaikan sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi
jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG
PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan
(kreditur) yang mewajibkan pihak debitur tetap membayar sisa hutangnya
kepada kreditur meskipun objek jaminannya telah musnah akibat kebakaran.
Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 permohonan kasasi oleh PT. Multi
Makmur Matari di tolak oleh Mahkamah Agung dikarenakan tidak melunasi
hutang (kreditnya) karena keadaan memaksa (overmacht) tidak dapat
6
dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait
dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi
kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit
tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar,
karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan utang.
Dalam undang-undang telah di atur mengenai musnahnya benda jaminan
sebagai salah satu sebab hapusnya perjanjian, namun tidak mengapus klaim
asuransi. Tetapi pada prakteknya pihak debitur selaku pemberi fidusia tidak
mengetahui secara jelas isi polis asuransi yang dilakukan pihak kreditur dengan
perusahaan asuransi. Hal ini mengakibat jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan terhadap benda jaminan di luar isi polis asuransi yang dibuat maka
debitur harus bertanggungjawab penuh terhadap sisa hutangnya. Seperti pada
kasus sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi
jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG
PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan
(kreditur). Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis putusan tersebut
dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “TANGGUNG JAWAB DEBITUR
ATAS
MUSNAHNYA
BENDA
JAMINAN
FIDUSIA
DALAM
PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001).”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut mengenai
penyelesaian mengenai objek jaminan fidusia yang musnah.
7
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan di dalam
penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan
fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit?
b. Bagaimana perlindungan para pihak dalam Putusan MA Nomor
2914K/Pdt/2001 terkait musnahnya benda jaminan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang harus di capai oleh penulis dalam melakukan
analisis dan pengkajian tentang judul topik tersebut di atas adalah sebagai
berikut:
a. Untuk
mengetahui
pengaturan
tanggungjawab
debitur
terhadap
musnahnya benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian
kredit.
b. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis mengenai
perlindungan para pihak atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam
perjanjian kredit.
2. Manfaat Penelitian
Pemelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
secara teoritis maupun praktis.
8
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum
jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan
aktivitas lembaga keuangan bank.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga
perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang
menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan
fidusia dalam kredit perbankan.
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Agar tidak terjadi kesamaan antara penulisan skripsi ini dengan
penelitian tentang jaminan fidusia lainnya, maka penulis melakukan
penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian
tersebuat diantaranya:
1. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR
ATAS NILAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG MENYUSUT
(Tinjauan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia)” yang disusun oleh Reza Adriansyah, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2013. Skripsi
9
ini membahas mengenai perlindungan hukum kreditur dan penyelesaiannya
akibat menyusutnya nilai objek jaminan fidusia.
2. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR
ATAS RUSAK DAN/ ATAU MUSNAHNYA BENDA JAMINAN
FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PD. BPR BANK
PURWOREJO” yang disusun oleh Efi Handayani, Fakutas Hukum
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2014. Skripsi ini membahas mengenai
perlindungan hukum terhadap kreditur atas jaminan fidusia yang rusak dan atau
musnah dalam perjanjian kredit.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih,
atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan
sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.9
Tanggungjawab debitur terhadap musnahnya jaminan fidusia dalam
perjanjian tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki
fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya, terdapat hubungan antara
bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan
kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan
banknya, apabila masyarakat ”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam
produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan
masyarakat tersebut, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk
ditempatkan di banknya dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta
memberikan jasa-jasa perbankan.
9
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 19.
10
Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun
tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian, fungsi
konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari masyarakat,
juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat.10
Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit
memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditur
dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah nasabah debitur
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan,
atau pembagian hasil keuntungan.11
Sutarno berpendapat bahwa perjanjian kredit dibuat untuk kepastian hukum
akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Lahirnya perjanjian kredit
memberi konsekuensi kepada kreditur mengenai kepastian hukum bagi kreditur
apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.12
Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan
prinsip The Five ”C” yaitu watak (character), kemampuan (capacity), modal
(capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan (collateral).
Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
10
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Alumni, 2000), h. 8.
11
Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993),h. 34.
12
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001), h. 246-250.
11
itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat (debitur) bahwa yang
bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.
Sebelum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia diberlakukan, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan
fidusia hanya terhadap benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam
persediaan inventory, benda dagangan, piutang (tagihan), peralatan mesin dan
kendaraan bermotor. Sedangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang
tersebut, pengertian jaminan fidusia diperluas dalam arti benda bergerak yang
berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996.13
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan
permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang
mencapai
tingkat
kecermatan
dan
ketelitian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
1. Tipe Penelitian
Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai
dengan karakter preskriptif ilmu hukum.14
13
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis Cetakan ke-1,
(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), h.7
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media,2005), h. 35
12
Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian jenis ini di
konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan
atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
patokan berperilaku manusia yang di anggap pantas.15
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).16
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach)
dan
pendekatan
konseptual
(conceptual approach). pendekatan perundang-undangan yang meliputi
penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum, atau peraturan perindangundangan yang bersifat teoritis dan dapat digunakan untuk menganalisa
permasalahan yang akan di bahas secara benar. Pendekatan konseptual
dipergunakan untuk memahami konsep-konsep asal mula adanya jaminan
fidusia dalam lingkup kredit perbankan. Di harapkan adanya pemahaman
terhadap konsep jaminan fidusia beserta aturan-aturannya yang mengikat para
pihak
terutama
debitur
agar
tidak
terjadi
perbuatan
melawan
hukum/pelanggaran hukum.
15
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2004), h. 118
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media,2005),h.93.
13
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum
primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi
atau
risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan hukum
primer dalam penelitian ini terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur,
jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan persoalan yang sementara dikaji.
4. Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder di klasifikasikan sesuai isu hukum yang
akan di bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk
mendapatkan penjelasan yang sistematis.
14
5. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis kemudian
disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematika penulisannya sebagai
berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
yang
berisi
uraian
tentang
Latar
Belakang
Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat
Penelitian,
Tinjauan
(Review)
Kajian
Terdahulu,
Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
JAMINAN
DALAM
PERJANJIAN KREDIT
Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit, Tinjauan Umum
tentang Jaminan, Pengikatan Jaminan Kredit, Hubungan Perjanjian
Kredit dengan Jaminan.
BAB III
TANGGUNGJAWAB
DEBITUR
ATAS
MUSNAHNYA
JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT
15
Dalam bab ini dibahas mengenai Tinjauan Umum tentang Jaminan
Fidusia, Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian
Kredit, dan
Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas
Benda Jaminan yang Musnah dalam Perjanjian Kredit.
BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN
MAHKAMAH
AGUNG
NOMOR
2914K/Pdt/2001
Pada bab ini akan dibahas mengenai Studi Putusan MA No.
2914K/Pdt/2001, Analisis Putusan MA No. 2914K/Pdt/2001, dan
Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda
Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Kredit.
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan
dan disertakan pula saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan
temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DALAM
PERJANJIAN KREDIT
A. Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian Kredit
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua
orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu
timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa
suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis.1
Antara bagian umum dan bagian khusus ini ada hubungannya satu
sama lain, yaitu suatu hubungan dimana asas-asas bagian umum dari
perikatan berlaku juga bagi perjanjian tertentu sebagaimana yang
tercantum/diisyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang
didasarkan pada KUHPerdata berlaku suatu asas yang dinamakan asas
konsensualisme yang artinya bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat
apabila kedua belah pihak sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan
tidak diperlukan suatu formalitas. Asas konsensualisme yang terdapat dalam
1
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal.25.
16
17
buku perjanjian lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata
menyebutkan:
1. Adanya kesepakatan
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Pasal 1320 ini, merupakan pasal yang sangat populer karena
menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu
perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian
atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu
sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.2
Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti
“kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan
sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan
mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau
jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak.3
Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan menyebutkan definisi dari kredit
yaitu:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”.
2
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.67
3
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 6.
18
Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:
”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur
mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan”.4
Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:
”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur
berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan
debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biayabiaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara
keduanya”.5
Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak
nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian
kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam
pengganti. Meskipun adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan
perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana
pihak Kreditor adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.6
2. Dasar Hukum dan Bentuk Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau
tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata.
Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan
4
Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 14.
5
Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 80.
6
Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta:
Djambatan, 1996), hal. 62.
19
sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat
bukti bagi para pihak yang membuatnya.
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada
Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun
1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan
uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan
bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu
tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun
menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka
untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan
pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum
menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.7
Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis
adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10
Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan
pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank
dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat
Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.
03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang
berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.
7
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003), h. 99.
20
Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank
kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.
Secara yuridis, ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit
yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:
a. Perjanjian atau pengikatan kredit dibawah tangan, yang disebut akta
dibawah tangan.
b. Perjanjian atau pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan
Notaris, yang disebut akta otentik.
Perjanjian kredit yang dibuat baik dibawah tangan maupun dengan
akta otentik, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu
dengan cara kedua belah pihak (pihak bank dan pihak nasabah)
menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan isi atau
klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam hal
perjanjian kredit bank yang dibuat dengan akta otentik, maka bank akan
meminta Notaris berpedoman pada model perjanjian kredit dari bank yang
bersangkutan.
Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan
dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada
perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah
tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan
benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan
pihak-pihak tersebut.
21
3. Lahirnya Perjanjian Kredit
Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod,
yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit,
bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.8 Hal tersebut sesuai
dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas
tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit
akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan.
Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan
bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya
perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini
sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya
perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari
kewajiban membayar bunga kredit.
Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya
perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau
pencairan kredit.9 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan
penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah
boleh menarik kreditnya.
Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit,
perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat
dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon
belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu
8
Edy Putra Tje'Aman, Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty, 1989),h. 35.
9
Ibid, h.36
22
ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat
dilakukannya
penandatanganan
perjanjian
kredit,
berarti
perjanjian
jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum
menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini
adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.
Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar
bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan
membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.
4. Hapusnya Perjanjian Kredit
Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik
yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu
nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di
dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang
merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus
tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III
KUH perdata.
Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara
hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank.
Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya
perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:
1. Pembayaran
2. Subrograsi (subrogatie)
3. Pembaharuan utang (novasi)
23
4. Perjumpaan utang atau kompensasi.
B. Tinjauan Umum tentang Jaminan
1. Pengertian Jaminan
Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung, sehingga
jaminan dapat diartikan tanggungan, tanggungan yang dimaksud dalam
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),
dirumuskan:
“Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan.”
Adanya jaminan dalam suatu perjanjian jaminan sangat diperlukan
oleh kreditur, karena kreditur mempunyai kepentingan bahwa akan benarbenar memenuhi kewajibannya yaitu untuk membayar utang. Perjanjian
jaminan merupakan perjanjian tambahan atau accessoir yaitu perjanjian
yang muncul akibat adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit
merupakan perjanjian pokok, sehingga menimbulkan adanya perjanjian
tambahan yang berupa perjanjian tambahan, karena dalam perjanjian kredit
disyaratkan adanya jaminan.10
Jaminan yang lahir karena Undang-undang tidak memerlukan
perjanjian antara kreditur dan debitur. Perwujudan dari jaminan berdasarkan
ketentuan Pasal 1131 BW menentukan bahwa semua harta kekayaan debitur
baik benda bergerak ataupun tidak bergerak, baik yang ada ataupun akan
ada menjadi jaminan atas seluruh hutangnya.
10
Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
1995), h. 69.
24
2. Syarat dan Manfaat Jaminan
Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga
perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dapat
dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat benda
jaminan yang baik adalah:11
a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang
memerlukan;
b. Memberikan kedudukan mendahulukan kepada pemegangnya;
c. Mengikuti objek yang dijaminkan;
d. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;
e. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk
melakukan atau meneruskan usahanya;
f. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang
jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi, bila perlu mudah
diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima
(pengambil)
kredit.
Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan lembaga jaminan dapat
memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur
adalah:12
a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;
11
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 27
12
Ibid, h. 28
25
b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk menerima
pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur.
Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur adalah:
a. Dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak
khawatir dalam pengembangan usahanya (adanya kepastian
dalam berusaha);
b. Memberikan kepastianbagi debitur untuk mengembalikan
pokok kredit dan bunga yang ditentukan.
3. Bentuk Jaminan
Bentuk jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
a. Jaminan yang timbul dari Undang-undang
Jaminan yang timbul dari Undang-undang dimaksudkan adalah
bentukbentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu Undangundang. Tergolong jaminan yang timbul dari Undang-undang ialah Pasal
1311 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai
berikut:
“Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang
tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.”
Dengan ketentuan Undang-undang seperti itu berarti seseorang
kreditur telah diberikan jaminan yang berupa harta benda dari milik
debitur tanpa khusus diperjanjikan terlebih dahulu. Namun dengan
jaminan semacam itu kedudukan kreditur hanyalah merupakan kreditur
konkuren saja terhadap seluruh kekayaan debitur.
26
b. Jaminan yang timbul dari atau perjanjian.
Bentuk jaminan yang timbul karena perjanjian yang dibuat khusus
dengan debitur dan kreditur dapat dibedakan antara bentuk jaminan yang
bersifat kebendaan dan yang bersifat perorangan.
1) Jaminan Perorangan
Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, ada juga yang
menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil. Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan
ynag menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,
hanya dapat di pertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta
kekayaan debitur umumnya.13 Jaminan perorangan atau jaminan
pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga
yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si
debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.
Menurut Soebekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara
seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau
debitur.14 Dengan demikian jaminan perorangan merupakan jaminan
yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau
pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak untuk didahulukan pada
benda-benda tertentu karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut
13
Ibid, h.28
14
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II,
(Jakarta: Ind-Hill-Co, 2005), h.12
27
hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan.
Ciri-ciri jaminan perseorangan adalah:15
a) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;
b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;
c) Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jamina pelunasan
hutang;
d) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas
kesamaan atau keseimbangan (konkuren);
e) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari
benda-benda jaminan dibagi antara para kreditur seimbang
dengan
besarnya
piutang
masing-masing
(Pasal
1136
KUHPerdata).
2) Jaminan Kebendaan
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur
hak untuk memanfaatkan suatu kebendaan milik debitur jika debitur
melakukan wanprestasi. Benda milik debitur yang dijaminkan dapat
berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak
dapat dijaminkan dengan gadai atau fidusia, sedangkan untuk benda
tidak bergerak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan ataupun
hipotik atas kapal laut dan pesawat terbang serta helikopter.
Jika debitur melakukan wanprestasi, maka dalam jamina kebendaan,
kreditur mempunyai hak didahulukan dalam pemenuhan piutangnya
15
Ibid, h. 16
28
diantara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda
milik debitur. Dengan demikian jaminan kebendaan mempunyai ciriciri, yaitu:16
a) Merupakan hak mutlak atau absolut atas suatu benda;
b) Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda
tertentu milik debitur;
c) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun;
d) Selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu
berada (droit de suite);
e) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih
dulu terjadi akan lebih diutamakan daripada yang terjadi
kemudian (droit de preference);
f) Dapat diperalihkan;
g) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir).
C. Pengikatan Jaminan Kredit
Dalam praktik perbankan seharusnya suatu objek jaminan kredit diikat
melalui suatu lemabaga jaminan yang berlaku, kelihatannya banyak pula objek
jaminan kredit yang tidak diikat dengan lembaga jaminan atau melakukan
pengikatan yang tidak sepenuhnnya mengikuti ketentuan suatu lembaga
jaminan. Perbedaan perlakuan tersebut tidak hanya di antara bank sebagaimana
disebutkan diatas, tetapi juga terjadi di dalam intern masing-masing bank.17
16
Ibid, h. 17
17
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.143.
29
1. Pengikatan melalui Lembaga Jaminan
Cara pengikatan objek jaminan kredit yang secara umum akan
mengamankan kepentingan bank adalah bila dilakukan melalui suatu
lembaga jaminan. Sebagaimana dikemukakan terdapat 5 lembaga yang
dapat digunakan untuk mengikat jaminan utang yaitu gadai, hipotik, hak
tanggungan, jaminan fidusia dan resi gudang. Dalam praktiknya keharusan
untuk melakukan pengikatan objek jaminan kredit melalui suatu lembaga
jaminan sering kali hanya dilakukan untuk jenis tertentu karena alasanalasan tertentu dari masing-masing bank. Besarnya nilai kredit, jangka
waktu kredit, jenis atau bentuk jaminan kredit merupakan sebagian dari halhal yang dipertimbangkan bank untuk mengikat atau tidak mengikat objek
jaminan kredit melalui suatu lembaga jaminan.18 Lembaga jaminan yang
dapat digunakan dalam rangka pengikatan jaminan kredit terdiri dari:
a. Lembaga Jaminan Kebendaan
Lembaga jaminan kebendaan terdiri dari lembaga jaminan
kebendaan tidak bergerak dan lembaga kebendaan bergerak. Lembaga
jaminan tidak bergerak terdiri dari hipotik dan hak tanggungan,
sedangkan lembaga jaminan barang bergerak terdiri dari gadai, jaminan
fidusia, dan resi gudang.
1) Gadai atau Pand
Dasar hukum dari Pand adalah terdapat di dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Buku II tentang Pasal 1150 sampai dengan
18
Ibid, h. 135
30
Pasal 1160 butir ke-20. Pengertian Pand sebagaimana dirumuskan di
dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
sebagi berikut:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang
(kreditur) atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya
oleh seorang berutang (debitur) atau oleh seorang lain atas
namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang
untuk mengambil pelunasan barang-barang bergerak tersebut
secara didahulukan dari ada orang-orang berpiutang lainnya
dengan perkecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu
(biaya-biaya mana yang harus didahulukan).”
2) Fidusia
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 bahwa
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
3) Hak Tanggungan
Dalam Pasal 1 Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan disebutkan pengertian dari Hak Tanggungan yaitu hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang No.5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
31
4) Hipotik
Hipotik adalah hak jaminan yang dibebankan pada benda tidak
bergerak
untuk
pekunasan
utang
tertentu
yang
memberikan
kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain. Sebelum
berlakunya UUHT, ketentuan hipotik berlaku untuk benda tidak
bergerak berupa hak atas tanah. Namun sejak berlakunya UUHT,
hipotik hanya berlaku untuk benda bergerak berupa kapal dan pesawat
terbang atau helikopter.
5) Resi Gudang
Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan (surat berharga)
atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola
Gudang. Hak jamina atas resi gudang adalah hak jaminan yang
dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan suatu hutang yang
memberikan kedudukan diutamakan bagi penerima hak jaminan
terhadap kreditur lain. Objek jaminan resi gudang adalah setiap benda
bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan
diperdagangkan secara umum yang disimpan dalam gudang. Setiap
resi gudang yang diterbitkan hannya dapat dibebani satu jaminan
utang.19
b. Lembaga Jaminan Perorangan
Jaminan perorangan atau di kenal juga penanggungan merupakan
suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si
19
Gudang.
Resi Gudang beserta penjaminannya diatur dalam UU No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi
32
berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang
apabila si berhutang tidak memenuhinya. Dalam praktik penanggungan,
dikenal istilah personal guarantee untuk penanggungan oleh orang
perorangan, corporate guarantee untuk penanggungan oleh perusahaan
atau badan hukum, dan bank garansi untuk penanggungan oleh bank.
Jaminan perorangan hanya memberikan kedudukan konkuren bagi para
pemegangnya.
2. Pengikatan yang tidak Memenuhi Ketentuan Lembaga Jaminan
Dalam praktik perbankan banyak ditemukan mengenai penerimaan
objek jaminan kredit yang pengikatannya oleh bank melalui suatu lembaga
jaminan, tetapi tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan-ketentuannya.
Pengikatan yang demikian dapat dikatankan sebagai pengikatan yang tidak
sempurna dan dapat menimbulkan permasalahn pada saat pencairan objek
jaminan yang bersangkutan.20 Pertimbangan bank untuk tidak mematuhi
sepenuhnya ketentuan-ketentuan lembaga jaminan yang digunakannya
tersebut dapat beraneka ragam. Akan tetapi secara umum pertimbangan
yang sering dikemukakan bank untuk mengikat objek jaminan kredit yang
diterimanya secara tidak sempurna adalah sebagi berikut:21
a. Terdapatnya pengecualian oleh peraturan perundang-undangan.
b. Terdapatnya kebijaksanaan bank untuk melakukan pengecualian.
20
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 139
21
Ibid, h.139-141
33
3. Pengikatan yang tidak Menggunakan Lembaga Jaminan
Dari praktik perbankan dapat diketahui mengenai adanya objek
jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat dengan melalui suatu lembaga
jaminan. Bank tetap mensyaratkan adanya penyerahan objek jaminan kredit
dari debitur dan menerimanya, tetapi tidak melakukan pengikatan melalui
lembaga jaminan yang berkaitan dengan objek jaminan tersebut. Bank tidak
melakukan pengikatan objek jaminan berdasarkan pertimbangan tertentu
antara lain karena berkaitan dengan pemberian kredit mikro dan kecil yang
nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit pendek, dokumen jaminan
kredit tidak memenuhi persyaratan, beban biaya pengikatan yang tidak
seimbang dengan jumlah kredit yang disetujui dan sebagainya. 22 Terhadap
objek jaminan yang tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan, bank
bisanya menempuh kebijaksanaan antara llain berupa tindakan sebagai
berikut:23
a. Pencantuman klausula jaminan kredit dalam perjanjian kredit;
b. Penguasaan dokumen objek jaminan kredit oleh bank;
c. Penyerahan surat kuasa menjual oleh debitur kepada bank;
d. Penyerahan surat pernyataan dari pihak ketiga;
e. Penyerahan surat pernyataan dari pihak debitur kepada bank;
f. Pembuatan cessie dan standing indtruction;
g. Penerimaan aksep (surat berharga).
22
Ibid, h.142
23
Ibid h. 142-145
34
D. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta
benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut
barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yng lainnya ini diwajibkan
memenuhi tuntutan itu.24 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa
perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank
dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya
perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian
pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap
merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana
pihak kreditur adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian adalah uang.
Perjanjian kredit ini dibuat secara tertulis tujuannya ialah untuk bukti lengkap
mengenai apa yang mereka perjanjikan.25
Sebelum mengajukan kredit, seorang calon debitur haruslah terlebih
dahulu mengajukan surat permohonan kredit. Setelah permohonan kredit calon
debitur dianggap layak untuk disetujui, bank akan memberikan tanda
persetujuannya yang disebutnya Sebagai Surat Persetujuan Prinsip, yaitu surat
kepada pemohon yang memberitahukan setuju secara prinsip pemberian
kredit.26 Pemberian Kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank
kepada anggota masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan
24
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), h. 122.
25
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2000),h. 226
26
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2005),h. 133
35
jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit
tersebut terkait dengan berbagai ketentuan hukum jaminan.27
Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan
ketentuan hukum jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan
ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan harta
seorang yang berutang untuk menjamin utangnya. Bank pemberi kredit
hendaknya sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata tersebut untuk mengamankan kepentingannya sebagai pihak yang
berpiutang. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata seharusnya dipatuhi pada
waktu bank melakukan penilaian calon nasabah dan ketika melakukan
penanganan kredit bermasalah debitur. Pada waktu melakukan penilaian calon
debitur
yang
mengajukan
permohonan
kepadanya,
bank
seharusnya
berdasarkan kepada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dapat meyakini harta
yang dimiliki oleh calon debitur untuk menjamin pelunasan kredit di kemudian
hari.
Harta calon debitur adalah semua hartanya yang berupa barang bergerak
dan barang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di
kemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan atas kredit yang bersangkutan.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut,
jaminan atas kredit yang diterima debitur tidak terbatas pada harta debitur yang
telah dikuasai bank atau yang diikat melalui sesuatu lembaga jaminan. Semua
harta debitur adalah jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam
27
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 70.
36
praktik perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang dimaksud oleh
ketentuan KUHPerdata tersebut sering dicantumkan dengan ketentuan
perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan
dengan kegiatan perbankan, terutama dalam
perjanjian kredit
yang
dilakukannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
perekonomian saat ini penerapan hukum jaminan lebih banyak ditemukan
dalam kegiatan perjanjian kredit perbankan.
37
BAB III
TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN
FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT
A. Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia menurut asal katanya berasal dari “fides” yang berarti
kepercayaan. Maka hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dan
penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan
kepercayaan. Debitor percaya bahwa kreditor mau mengembalikan hak
milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya,
kreditor percaya bahwa debitor tidak akan menyalahgunakan barang
jaminan yang berada dalam kekuasaannya.
Bentuk jaminan fidusia itu sendiri ada 2 (dua), yaitu “fidusia cum
creditore” yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor,
bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikannya atas suatu benda kepada
kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa
kreditor akan mengambil alih kembali kepemilikan tersebut kepada debitor
apabila utangnya sudah dibayar lunas dan “fidusia cum amico.” Keduanya
timbul dari perjanjian yang disebut “pactum fidusiae”, yang kemudian
diikuti dengan penyerahan hak atau “in iure cessio.”1
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
h.119.
37
38
Undang-undang yang khusus mengatur hal ini adalah Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, namun dalam bahasa
Indonesia untuk fidusia sering pula disebut sebagai “Penyerahan Hak
Milik secara Kepercayaan.2 Pengertian fidusia menurut UUJF Pasal 1 butir
(1) adalah:
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Jaminan fidusia ini adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. Sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diumumkan
kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.
Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa dalam jaminan
fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas
dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan,
tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengalihan hak kepemilikan
tersebut dilakukan dengan cara constitutum possesorium. Ini berarti
pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan
penguasaan atas benda tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penerima
2
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
39
fidusia. Bentuk pengalihan seperti ini sebenarnya sudah dikenal luas sejak
abad pertengahan di Perancis.3
2. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia
a. Subjek Jaminan Fidusia
Subjek jaminan fidusia adalah pemberi fidusia dan penerima
fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi
pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 1 butir (5)
UUF). Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang
mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan
fidusia (Pasal 1 butir (6) UUF).
Dalam Pasal 8 UUF disebutkan bahwa jaminan fidusia dapat
diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa
atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dalam penjelasannya,
ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberi fidusia kepada lebih
dari satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium,
yang disebut kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari
penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan
jaminan fidusia dari pemberi fidusia. Wakil adalah orang yang secara
hukum dianggap mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan
fidusia.
Perlu diperhatikan bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan
fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang
sudah terdaftar. Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor
3
h.128.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
40
maupun penjamin pihak ketiga tidak dimungkinkan atas benda yang
menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan syarat bagi sahnya jaminan
fidusia adalah bahwa pemberi fidusia mempunyai hak kepemilikan atas
benda yang dijadikan objek jaminan fidusia pada waktu ia memberi
jaminan fidusia.
b. Objek Jaminan Fidusia
Dalam hukum Islam diatur mengenai benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, tertulis dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
...‫اَّلل لَ ُ ُْك ِق َي ًم َّاو ْار ُز ُق ْو ُ ُْه ِف ْْيَا‬
ُ َّ ‫الس َفهَآ ٓ َء َا ْم َوالَ ُ ُُك ال َّ ِ ِْت َج َع َل‬
ُّ ‫َو َالت ُْؤتُوا‬
﴾)٥( ٤: ‫﴿ ال ِن ّس َاء‬
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...”. (AnNisa ayat 5).
Ayat diatas mengatur tentang kejelasan benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia diatur secara lebih
rinci dalam Pasal 1 butir (4) UUF yaitu segala sesuatu yang dapat
dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun
yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan
atau hipotik.
Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus
jelas dalam akta jaminan fidusia baik identitas benda tersebut maupun
penjelasan surat bukti kepemilikannya, dan bagi benda inventory yang
41
selalu berubah-ubah dan atau tetap, harus dijelaskan jenis bendanya,
merek benda dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada
satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang yang diperoleh
kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.
Pasal 10 UUF menyebutkan bahwa kecuali diperjanjikan lain,
yaitu:
1) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
2) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.
Maksud kedua hal tersebut adalah bahwa hasil benda yang menjadi
objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda
yang dibebani jaminan fidusia. Klaim asuransi merupakan hak
penerima fidusia dalam hal jaminan tersebut musnah dan mendapat
penggantian dari perusahaan asuransi.
3. Eksekusi dan Hapusnya Jaminan Fidusia
a. Eksekusi Jaminan Fidusia
Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan ketentuan
pasal 29 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu
Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap
benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:
1. Melaksanakan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;
42
2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;
3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga
tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan Pasal 29 tersebut pada intinya
dilaksanakandengan cara melalui pelelangan di depan umum atau dengan
cara penjualan di bawah tangann disesuaikan dengan perkiraan
memperoleh hasil penjualan yang lebih tinggi. Untuk penjualan di bawah
tangan harus dengan persetujuan dari pemberi dan penerima fiduisia serta
dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara
tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang
berkepentingan serta diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar
yang beredar di daerah yang bersagkutan. Selanjutnya pasal 30
menyatakan pemberi fidusia diwajibkan memyerahkan objek jamina
fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jamina fidusia, apabila objek
jaminan fidusia tidak diserahkan oleh pemberi fidusia, maka pemberi
fidusia berhak mengambil objek jaminan dan bila perlu meminta bantuan
pihak yang berwenang.
Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi objek jamina fidusia
kebayakan dilakukan dengan penjualan di bawah tangan. Cara
penyelesaian ini lebih menguntungan debitur/pemberi fidusia dan
43
kreditur, sebab penyelesaian bisa lebih cepat dan biaya-biaya jauh lebih
ringan, seperti biaya perkara, dan bea lelang tidak dikenakan dengan cara
ini.dengan penjualan di bawah tangan dapat diharapkan harga akan
mencapai nilai yang sewajarnya, sehingga piutang kreditor dapat dilunasi
dan apabila masih tersisa dari harga jual itu maka sisa pembayaran akan
menjadi milik debitur.
b. Hapusnya Jaminan Fidusia
Menurut Pasal 25 UUF, hapusnya jaminan fidusia dapat
diakibatkan dari hal-hal sebagai berikut:
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia,
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia.
c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jika
objek
jaminan
musnah
sedangkan
objek
tersebut
diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut tidak hapus dan menjadi
jaminan pengganti dari objek yang musnah tersebut.4
Dan penerima fidusia segera memberitahukan kepada KPF
mengenai hapusnya jaminan fidusia secara tertulis dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah hapusnya jaminan fidusia dengan melampirkan
pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Kemudian KPF
akan mencoret pencatatan jaminan fidusia tersebut dari Buku Daftar
4
h. 149.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
44
Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa
Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak berlaku lagi.
B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit
Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata jaminan
merupakan hal yang sangat diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan
berupa keyakinan bahwa debiturnya akan membayar kembali kredit tersebut.
Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak
dilarang untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, hal tersebut mempunyai
dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal
1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan
jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian, maka
hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan
sebagai jaminan untuk kredit.
Perjanjian kredit dengan meminta jaminan dari debitur dimaksudkan
untuk mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan
tetapi tidak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan
debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi dengan
penggunaan benda jaminan bergerak memiliki resiko yang sangat besar karena
pihak debitur bisa saja melakukan perjanjian ulang dengan mengalihkan hak
kepemilikan benda jaminan bergerak kepada pihak lain tanpa sepengetahuan
kreditur sebagai penerima jaminan.
Resiko lain yang dapat terjadi adalah dengan musnahnya barang jaminan.
Dalam peraturan yang mengatur tentang fidusia, tidak ditemukan defenisi
45
dalam aturan tersebut tentang istilah ”musnahnya” barang jaminan. Namun,
sejauhmana mengartikan musnahnya barang jaminan dalam penelitian ini perlu
dipertegas. Berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapatlah
diartikan bahwa yang dimaksudkan dengan ”musnah” adalah lenyap, binasa
atau hilang.5 Dengan demikian, musnahnya barang jaminan dalam penulisan
ini adalah barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit telah lenyap
atau hilang.
Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang resiko terhadap musnahnya
benda jaminan, maka dapatlah dikaji dengan memperhatikan pendapat Subekti,
yaitu resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh
suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.6 Resiko merupakan suatu
akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi
merupakan akibat dari wanprestasi. Sebagai contoh, pembebanan risiko
terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar dari
kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang atau obyek sewa.
Musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
1. Musnah secara total (seluruhnya)
Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang
diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian
5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005),
h. 767.
6
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1975), hal. 92
46
tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang
menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan
sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang
tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH
Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewamenyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewamenyewa dengan sendirinya batal.
2. Musnah sebagian
Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah
sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati
kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika
obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa
mempunyai pilihan, yaitu :
a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan
harga sewa.
b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.
Terkait
dengan
musnahnya
barang
jaminan
sebagaimana
yang
dipaparkan pada bagian sebelumnya ini, telah memberikan gambaran bahwa
yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang
khususnya yang menjadi jaminan ada dua yaitu musnah secara total dan
musnah sebagian. Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensikonsekuensinya secara sendiri.
47
Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwa Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam pengaturan norma-normanya masih
belum dapat menjawab permasalahan dalam hal jaminan fidusia, khususnya
mengartikan musnahnya barang jaminan. Sehingga diartikan dengan berpedoman
pada kamus bahwa yang dimaksudkan dengan musnah dalam pengkajian ini
adalah hilangnya, rusaknya barang yang dijadikan sebagai jaminan dalam
perjanjian kredit.
C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang
Musnah Dalam Perjanjian Kredit
Terkait dengan musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit tidak
diuraikan yang dimaksud dengan musnahnya benda jaminan. Namun, pada
bagian sebelumnya pada bab ini telah dipertegas bahwa yang dimaksudkan
dengan musnahnya barang jaminan adalah lenyap atau hilang. Kondisi
musnahnya barang jaminan dapat diklasifikasikan pada musnah seluruhnya
atau musnah sebagian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Buku
ketiga tentang Perikatan tidak secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat
dari musnahnya barang jaminan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak
secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan.
Terkait dengan musnahnya barang jaminan hanyalah disebutkan bahwa
musnahnya benda yang menjadi objek jaminan adalah salah satu bagian atau
alasan dari hapusnya jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana dikaji secara rinci
pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Pasal
25 ayat (1) mengatur bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
48
a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau
c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Pada ayat (2) ditambahkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek
Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b. Sehingga tidak nampak secara rinci yang dimaksudkan
dengan musnahnya benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.
Namun berdasarkan penafsiran yang dilandasi pada pengertian secara umum dari
kata ”musnah”, maka diartikan sebagai lenyap atau hilangnya barang yang
menjadi objek jaminan.
Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda
persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia yang dikenal dengan prinsip ”droit
de suite” yaitu hak mutlak atas kebendaan. Pemberi fidusia dilarang mengalihkan,
menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Benda persediaan adalah
benda yang telah ada selain dari benda pokok jaminan yang dijadikan jaminan
fidusia. Benda persediaan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) boleh dialihkan oleh
debitur tetapi wajib diganti dengan benda yang setara, kecuali apabila telah terjadi
cidera janji oleh debitur dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.
Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya barang jaminan dalam
perjanjian kredit adalah sebuah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Di sini
akan muncul perbedaan antara tanggung jawab dan kewajiban. Terkait dengan
49
penelitian ini, maka dapatlah dijelaskan bahwa istilah ”tanggung jawab”
diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal
tersebut) bertanggungjawab atau sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.7
”Kewajiban” adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus
dilaksanakan, sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan. Dengan
demikian dapat disimpulkan secara ringkas bahwa tanggungjawab lebih luas
maknanya dibandingkan kewajiban. Sebab tanggung jawab berisiko pada
akibat dari sesuatu atau sesuatu yang dilaksanakan dengan mempertegas pada
konsekuensi, sedangkan kewajiban hanya terfokus pada sesuatu yang harus
dilaksanakan tanpa menekankan pada konsekuensi. Penelitian ini mengkaji
sejauhmana tanggungjawab dari salah satu pihak (debitur) terhadap musnahnya
barang jaminan.
Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak
melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak
kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor.
Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa :
1. Tidak melakukan prestasi sama sekali;
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 739.
50
Risiko merupakan suatu akibat dan suatu keadaan yang memaksa
(Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Apabila
debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit
tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi
atas barang yang menjadi jaminan adalah pihak bank harus memberitahukan
secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya kepada bank.
Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya melaksanakan
eksekusi terhadap jaminan tersebut.
Terhadap risiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang dilakukan
oleh manusia untuk mengatasi risiko, yaitu :
1. Menerima risiko, apabila suatu risiko yang dihadapi oleh seseorang
diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah,
memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya,
maka orang yang menghadapi risiko itu mungkin akan mengambil sikap,
bahwa ia akan menerima saja risiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah
saja.
2. Menghindari risiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara
menghadapi masalah yang penuh dengan risiko. Seseorang yang
menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh
risiko, berarti dia berusaha menghindari risiko itu sendiri.
3. Mencegah risiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat
yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau
dihindari.
51
4. Mengalihkan risiko, bahwa seseorang yang menghadapi risiko meminta
orang lain untuk menerima risiko tersebut. Ini dilakukan dengan
memperalihkan risiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian. Beberapa cara
mengatasi risiko maka pengalihan risiko merupakan cara yang paling
efektif, karena dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain yang telah
disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih risiko.
Hal demikian berarti bahwa jika risiko atau peristiwa yang tidak pasti
benar-benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan risiko
tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya
uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat
yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat.
Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan
beban ganti rugi.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah
perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan
diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan
atas
dipertanggungkan.
meninggalnya
atau
hidupnya
seseorang
yang
52
Dari pengertian tersebut, manusia dalam mengarungi kehidupannya dan
dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan risiko. Setiap orang yang
ingin memperkecil risiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti
dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat
menimbulkan risiko. Perusahaan asuransi tidak memberikan ganti rugi
sepenuhnya atas benda jaminan yang musnah tersebut, yang mengakibatkan
bank masih mengalami kerugian maka bank meminta kepada debitur untuk
menutup sisa kerugian yang timbui dengan beberapa cara :
1. Dengan cara pengembalian langsung sisa kerugian yang tidak diganti
sepenuhnya oleh perusahaan asuransi.
2. Jika debitur belum dapat mengembalikan sepenuhnya kerugian yang timbul
tanpa
melalui
perusahaan
asuransi
karena
benda
jaminan
tidak
diasuransikan maka debitur meminta kebijakan kepada kreditur untuk
diberikan tenggang waktu pengembalian dari tenggang waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian, dan juga keringanan terhadap nilai pinjaman
yang harus dilunasi oleh debitur.
Tanggung jawab debitur terhadap jaminan benda bergerak yang hilang
adalah tetap mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur. Jika benda
bergerak
yang
diasuransikan
hilang
maka
debitur
tetap
mempertanggungjawabkan pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan
asuransi kepada kreditur, walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan
asuransi dimana benda jaminan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang
belum lunas tetap dilunasi oleh pihak debitur. Tetapi jika benda jaminan
53
bergerak tidak diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab
penuh dalam pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal ini
dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank.
Pada dasarnya setiap perjanjian kredit yang dilaksanakan tidak merugikan
pihak bank, walaupun dalam pelaksanaan perjanjian kredit itu benda jaminan
musnah. Mengenai perpindahan atau pengalihan hak milik dimaksud haruslah
tetap mengacu kepada sistem hukum jaminan yang berlaku, yaitu bahwa pihak
penerima jaminan atau kreditur tidak dibenarkan menjadi pemilik yang penuh
atas benda tersebut, artinya kewenangan kreditur hanyalah kewenangan yang
berhak atas benda jaminan dalam hal ini hanya hak kepemilikan yang beralih
sedangkan benda jaminan masih dikuasai oleh pemberi fidusia.
Konsekuensi hukum jika timbul masalah atau gugatan karena kesalahan
(kesengajaan atau kekuranghati-hatian) dari debitur sehubungan dengan
penggunaan atau pengalihan benda jaminan, maka pihak kreditur dibebaskan
dari tanggung jawab. Dengan demikian di dalam setiap peijanjian kredit yang
dilakukan adanya pengikatan atau perlindungan terhadap benda jaminan
debitur melalui perusahaan asuransi khususnya terhadap benda jaminan
bergerak merupakan syarat penting yang bertujuan untuk mengantisipasi
peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sehingga dengan
demikian pihak bank dapat menuntut ganti rugi kepada perusahan asuransi,
dimana benda jaminan itu diasuransikan walaupun tidak dibayar sepenuhnya
oleh perusahaan asuransi tersebut.
54
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 2914K/Pdt/2001
A. Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001
1. Para Pihak
Putusan ini merupakan kasus antara Tjong Kwet Khiong alias Atung
selaku direktur dari PT. MULTI MAKMUR MATARI (selanjutnya disebut
sebagai PT. MMM) sebuah perusahaan yang bergerak dibidang usaha
pengelolaan kertas khususnya pembuatan buku tulis yang berkantor di Jalan
Waspada Buntu No. 19 RT.004 RW.012 Kelurahan Tmbora, Jakarta Utara
selaku Pemohon Kasasi dahulu Penggugat dengan BANK EKSPOR IMPOR
CABANG JAKARTA PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI
(selanjutnya disebut sebagi PT. BM) yang berkantor di Gedung Graha
Bukaka, Jalan Raya Pasar Minggu No. 17 A. Jakarta Selatan selaku
Termohon Kasasi I dahulu Tergugat II dan ASURANSI WAHANA TATA
CABANG JAKARTA PONDOK INDAH (selanjutnya disebut sebagai
ASWATA) yang berkantor di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 8 B. Jakarta
Selatan selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat I.
2. Kasus Posisi
Terjadinya kasus ini berawal dari adanya perjanjian kredit dengan No.
001/KMK-Umum/X/97 pada 23 Oktober 1997, dimana PT. MMM telah
mendapat pinjaman uang dari PT. BM sebesar Rp.1.120.000.000,- dan
54
55
sebesar
Rp.740.000.000,-
dengan
memberikan
jamina
terhadap
pengembalian kredit tersebut berupa penyerahan hak milik secara fidusia,
pemindahan dan penyerahan hak sebagai jaminan pribadi yang kesemuanya
dimuat dalam bentuk Akta Notaris. Barang jaminan tersebut telah di
asuransikan kepada ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA
PONDOK INDAH dengan polis asuransi No. 02-18-22000246 dan No. 0118-22000247.
Pada tanggal 14 Mei 1998 telah terjadi kebakaran pada pabrik PT.
MULTI MAKMUR MATARI yang telah mengakibatkan musnahnya
barang yang menjadi jaminan kreditnya dengan BANK EKSPOR IMPOR
CABANG JAKARTA PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI. Atas
kejadian tersebut, maka ia meminta kepada PT. BANK MANDIRI
membantu melakukan klaim asuransi. Namun pada saat mengajukan klaim
tersebut, ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK
INDAH menolak membayar dengan alasan resiko yang diderita tersebut
tidak dijamin oleh polis standar kebakaran.
Akibat tidak dibayarkan klaim asuransi oleh pihak asuransi, maka PT.
MULTI MAKMUR MATARI sangat merasa dirugikan mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Tergugat I
ASURANSI WAHANA TATA CABANG PONDOK INDAH dan Tergugat
II PT. BANK MANDIRI.
56
Penggugat (PT. MULTI MAKMUR MATARI) menuntut kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan putusan dalam
perkara ini sebagai berikut :
-. DALAM PROVISI :
-. Memerintahkan kepada Tergugat II untuk tidak melakukan
penagihan pembayaran kredit terhadap Penggugat selama dalam
proses pemeriksaan perkara sampai dengan diperolehnya putusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dengan
ketentuan Tergugat II akan dikenakan uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila
melalaikan putusan provisi ini ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan yang telah
diletakkan;
3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji
(wanprestasi) ;
4. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran klaim
asuransi kepada Penggugat dengan jumlah keseluruhannya sebesar
Rp.1.600.000.000,- (satu milyar enam ratus juta rupiah) dan DEM
1.800.000.00- ;
5. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran penggantian
biaya kerugian dan bunga sebesar Rp.1.152.000.000,- (satu milyar
seratus lima puluh dua juta rupiah) dan DEM 1.296.000.00,- ;
6. Menyatakan secara hukum uang hasil pembayaran klaim asuransi
oleh Tergugat I kepada Penggugat adalah untuk kepentingan
pelunasan pinjaman kredit Penggugat kepada Tergugat II dan
apabila terdapat sisa kelebihan maka menjadi hak Penggugat ;
7. Menghukum Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan
pelunasan pinjaman kredit yang sudah jatuh tempo berikut bungabunganya kepada Penggugat sampai dilunasinya pembayaran klaim
asuransi oleh Tergugat I kepada Penggugat ;
8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun
ada bantahan,banding maupun kasasi ;
9. Menghukum Para Tergugat supaya membayar biaya perkara ;
-. ATAU :
-. Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya ;
Di persidangan, pihak Tergugat I mengajukan eksepsi Penggugat tidak
berhak mengajukan gugatan kepada Tergugat I dalam perkara a quo, karena
57
polis asuransi yang disengketakan dalam perkara a quo adalah polis asuransi
yang memuat klausula Bank (Bankers Clause) maka yang berhak
mengajukan claim atas asuransi terhadap Tergugat I adalah Tergugat II (PT.
Bank Ekspor Impor Indonesia).
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II telah
mengajukan gugatan Rekonvensi yang pada pokoknya telah mengemukakan
bahwa menunjuk kepada jangka waktu perjanjian kredit ternyata masa
perjanjian kredit tersebut saat ini telah berakhir. Bahwa dengan demikian
telah terbukti bahwa Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam
Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) dalam melaksanakan kewajiban
pembyaran atas fasilitas kredit yang telah diterimanya dari Penggugat dalam
Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi. Bahwa atas prbuatan Tergugat
dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi tersebut, Penggugat dalam
Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi telah mengalami kerugian sebesar
Rp.2.497.726.037,67,-.
Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
mengambil
putusan,
yaitu
dengan
putusannya
Nomor
:
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 yang amarnya
berbunyi sebagai berikut :
-. DALAM KONVENSI :
-. DALAM PROVISI :
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya;
58
2. Membebankan biaya perkara pada Penggugat Konvensi sebesar
Rp.200.000,-(dua ratus ribu rupiah) ;
-. DALAM REKONVENSI :
-. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
-. Membebankan biaya dalam gugatan Rekonvensi pada Penggugat
Rekonvensi yang hingga kini ditaksir nihil.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut telah dikuatkan
oleh
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
dengan
putusannya
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI. tanggal 16 Mei 2000.
Sesudah
putusan
terakhir
Penggugat/Pembanding/Terbanding
ini
dan
diberitahukan
Tergugat
kepada
II/Terbanding
I/Pembanding pada tanggal 21 Pebruari 2001 dan tanggal 02 Maret 2001
kemudian terhadapnya oleh Penggugat / Pembanding / Terbanding dan
Tergugat II / Terbanding I / Pembandingdengan perantaraan masing-masing
kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus masing-masing tanggal 02 Maret
2001 dan tanggal 02 Nopember 1999 diajukan permohonan kasasi secara
lisan masing-masing 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Maret 2001
sebagaimana
ternyata
dari
Akte
Permohonan
Kasasi
No.
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel.
Setelah itu oleh Para Termohon Kasasi yang masing-masing pada
tanggal 05 April 2001 dan 27 Maret 2001 telah diberitahukan tentang
memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II, dan telah
diajukan jawaban memori kasasi oleh Para Termohon Kasasi yang diterima
dikepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masing-masing pada
tanggal 05 April 2001 dan tanggal 17 April 2001.
59
3. Pertimbangan Majelis Hakim
Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I (PT.
MMM) dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
a. Bahwa Judex Facti dalam putusannya telah salah dalam menerapkan
hukum, karena telah mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim
Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Judex Facti
tanpa memberikan pertimbangan dan alsan yang cukup;
b. Bahwa pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang telah diambil alih
oleh Judex Facti yang menyatakan kebakaran yang diderita oleh
Penggugat akibat adanya kejadian kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998,
sehingga dikecualikan dari pertanggungan asuransi, jelas merupakan
pertimbangan yang keliru, karena peristiwa tanggal 14 Mei 1998 adalah
merupakan peristiwa criminal murni, sehingga Tergugat harus membayar
klaim asuransi terhadap Penggugat;
c. Bahwa adalah tidak adil dan tidak patut apabila Tergugat II tidak
dihukum untuk ikut menanggung akibat hukum distopnya pembayaran
klaim asuransi Penggugat oleh Tergugat I, padahal ditunjuknya Tergugat
I sebagai penanggung adalah atas perintah Tergugat II, sehingga dengan
tidak dihukumnya Tergugat II untuk ikut menanggung akibat hukum
ditolaknya klaim asuransi Penggugat jelas pertimbangan tersebut tidak
adil.
Menimbang bahwa, atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
60
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti
tidak salah menerapkan hukum, sebab Judex Facti dapat mengambil alih
pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan
pertimbangan sendiri apabila putusan tersebut telah tepat dan benar, lagi
pula keberatan-keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian
yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan
dalam
tingkat
kasasi
hanya
berkenaan
dengan
ketidakwenangan atau melampaui batas wewenang, atau salah menerapkan
atau melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung No.14 tahun
1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.5
tahun 2004 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam
perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. MULTI
MAKMUR MATARI tersebut harus ditolak.
Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II (PT.
BM) dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
61
a. Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan ketentuan mengenai
keadaan memaksa (overmacht) yaitu Pasal 1245 KUHPerdata. Sesuai
dengan pertimbangan hukumnya yang menyatakan Termohon Kasasi
I/semula Penggugat tidak beralasan untuk membayar kewajibannya pada
Pemohon Kasasi/semula Tergugat II seketika karena terjadinya keadaan
memaksa berupa kebakaran stock barang dagangan Termohon Kasasi
I/semula Penggugat akibat kerusuhan massa tanggal 14 Mei 1998;
Hal tersebut bukanlah merupakan alasan agar Termohon Kasasi I/semula
Penggugat tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi II/semula
Tergugat II, karena peristiwa kebakaran tersebut hanyalah keadaan
memaksayang bersifat relatif/tidak mutlak dan kejadian tersebut
bukanlah hal-hal yang menyebabkan berakhirnya perjanjian seperti yang
diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Hal inipun telah diakui oleh Judex
Facti pada pertimbangan hukumnya dibagian konvensi yang menyatakan
bahwa tidak diperoleh ketentuan bahwa Tergugat II tidak diperbolehkan
menagih pelunasan dari Penggugat ;
Oleh karena itu, Termohon Kasasi I/semula Penggugat harus tetap
memenuhi kewajiban hutangnya kepada Pemohon Kasasi sesuai
perjanjian yang disepakati dan klaim asuransi yang tidak disetujui oleh
Termohon Kasasi II, bukanlah merupakan alasan untuk tidak melunasi
hutangnya kepada Pemohon Kasasi ;
b. Bahwa pertimbangan Judex Factie yang menyatakan bahwa Termohon
Kasasi I/semula Penggugat belum melunasi hutangnya karena alasan
62
overmacht sebagaimana tersebut diatas adalah pertimbangan yang keliru
dan tidak adil karena hutang Penggugat sudah jatuh tempo. Apabila
Termohon Kasasi I/semula Penggugat tidak memenuhi kewajibannya
dengan baik sedangkan hutangnya sudah jatuh tempo, maka demi hukum
Pemohon Kasasi berwenang untuk melelang agunan kredit yang telah
diserahkan kepada Termohon Kasasi I.
Mengenai keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena Judex Facti
telah salah menerapkan hukum.
Bahwa
Termohon
Kasasi/Penggugat
tidak
melunasi
hutang
(kreditnya) karena keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan.
Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait dengan
perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi
kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit
tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar,
karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan
utang.
Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
diatas,
menurut
pendapat
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II : PT. BANK EKSPOR
IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut
dan
membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
63
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel.
tanggal 20 Oktober 1999.
4. Putusan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar
putusannya seperti tersebut dibawah ini :
Menimbang bahwa, oleh walaupun permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi II dikabulkan, namun karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi I ditolak, maka Pemohon Kasasi I dihukum untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ;
Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 1985 serta peraturan
perundangundangan lain yang bersangkutan ;
MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. MULTI
MAKMUR MATARI tersebut ;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : : PT.
BANK EKSPOR IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK
MANDIRI tersebut ;
Membatalkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel.
tanggal 20 Oktober 1999 ;
MENGADILI SENDIRI :
-. DALAM KONVENSI :
-. DALAM PROVISI :
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ;
-. DALAM REKONVENSI :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat
Rekonvensi untuk seluruhnya ;
64
2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam
melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat
Rekonvensi ;
3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika dan
sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi
yang
hingga
tanggal
15
Juni
1999
mencapai
jumlah
Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh tujuh juta
tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh
sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 1%) dan
bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %) sampai dengan
pelunasan hutang ;
Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat dalam Konvensi
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar
Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ;
B. Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001
Pembebanan kebendaan dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Jaminan
Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan
akta Jaminan Fidusia. (Pasal 5 ayat (1) UUJF). Sifat akta notaris tersebut
adalah memaksa, sehingga seluruh akta jaminan fidusia harus berupa akta
notariil. Dimana akta itu sendiri merupakan perjanjian yang bukan perjanjian
yang bersifat berdiri sendiri, sehingga Jaminan Fidusia merupakan assesoir
dari perjanjian kredit itu sendiri.1
Kemudian, Undang-Undang Jaminan Fidusia juga menganut prinsip
pendaftaran jaminan fidusia, yang diatur dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 18
UUJF. Sekalipun dalam pasal 11 Undang-Undang Jaminan fidusia disebutkan
bahwa yang didaftar tersebut adalah benda yang dibebani jaminan fidusia akan
tetapi harus diartikan jaminan fidusia tersebut yang didaftarkan. Tujuan
pendaftaran dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak
yang berkepentingan, serta untuk memenuhi asas publisitas dengan maksud
1
A. A. Andi Prajitno, Hukum Fidusia : Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No. 42
Tahun 1999 Cetakan I, (Malang : Bayumedia Publishing, 2009), h. 205.
65
masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan
benda yang merupakan objek fidusia juga untuk memberikan kepastian
terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaiman
fidusia, hal ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang dilarang
oleh pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
fidusia.2 Kewajiban pendaftaran ini tentu bukan tanpa alasan. Menurut Pasal 37
ayat 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, jika dalam jangka waktu dimaksud
tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan
merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini. Berdasarkan ketentuan ayat ini, maka perjanjian Jaminan Fidusia
yang tidak didaftar tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik di
dalam maupun diluar kepailitan dan atau likuidasi.
Didalam kasus penelitian ini, bahwa perjanjian kredit oleh PT. MMM
dengan PT. BM telah dibuat secara akta notariil sebagaimana layaknya
praktek-praktek pada bank seperti biasanya. Dimana jaminan fidusia tersebut
merupakan assesoir dari Perjanjian Kredit PT. MMM dengan PT. BM
(Perjanjian Kredit No. 001/KMK-Umum/X/97 pada 23 Oktober 1997).
Dalam kasus ini sebenarnya tidak dijelaskan jenis jaminan yang
digunakan, akan tetapi di lihat dari bentuk jaminan perjanjian tambahan berupa
stok barang dagangan tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa jaminan dalam
dalam kasus ini termasuk dalam jaminan fidusia. Hanya saja tidak diikat pada
2
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1983), h. 5.
66
lembaga jaminan fidusia seperti yang sudah di jelaskan pada bab sebelumnya
mengenai pengikatan jaminan kredit.
Kemudian jika dilihat dari tahun pembuatan perjanjian kredit yaitu tahun
1997, dimana pada tahun tersebut hanya ada KUHPerdata dan juga UU Rumah
Susun yang sedikit mengatur mengenai jaminan fidusia. Belum ada undangundang yang mengatur secara lebih spesifik seperti Undang-Undang No. 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena undang-undang tersebut mengatur
kewajiban mengenai pendaftaran perjanjian kredit menggunakan jaminan
fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
Perjanjian kredit secara fidusia dalam perkara ini hanya dibuat berupa
akta otentik yang dibuat dihadapan notaris tanpa melakukan pendaftaran ke
Kantor Pendaftaran Fidusia, akan tetapi akta notaris tersebut tetap memiliki
kekuatan hukum.
Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001, sebelumnya
terdapat beberapa pertimbangan dari Judex Facti yang menurut penulis sudah
benar dalam putusannya. Karena jika dilihat dari kronologis kasusnya pihak
PT. Multi Makmur Matari (Penggugat) telah melakukan wanprestasi dengan
tidak membayar sisa pinjaman kredit tehadap Bank Ekspor Impor Cabang
Jakarta Pancoran sekarang PT. Bank Mandiri dengan alasan bahwa benda
jaminan telah musnah akibat kebakaran.
Selanjutnya dalam hukum jaminan fidusia, persoalan wanprestasi
merupakan yang menjadi hal utama, terutama karena hukum jaminan sebagai
pembayaran atas hutang. Mengenai objek jaminan fidusia berupa stok barang
67
ditentukan
bahwa
penerima
fidusia
(Bank)
mempunyai
hak
untuk
menempatkan tanda-tanda identifikasi pada objek jaminan fidusia, yang
memperlihatkan bahwa penerima fidusia adalah pemilik objek jaminan fidusia
dan pemberi fidusia berkewajiban memelihara tanda tersebut.3
Menurut beberapa yurispudensi jaminan fidusia, dapat disimpulkan
bahwa fidusia diartikan sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan atas
benda bergerak sebagai jaminan, yang ditekankan adalah segi ”penyerahan hak
milik”. Dalam Undang-Undang Rumah Susun, fidusia diartikan sebagai hak
jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan
yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur, yang
ditekankan adalah ”penyerahan hak”. Dengan demikian yang diserahkan
kepada kreditur penerima fidusia bukan terbatas pada hak milik atas benda
melainkan juga hak-hak lainnya atas benda. Baik pengertian fidusia menurut
yurispudensi maupun Undang-Undang Rumah Susun, keduanya mempunyai
hakikat penyerahan yang sama yakni debitur pemberi fidusia menyerahkan hak
milik atas benda adalah dalam fungsinya sebagai jaminan.4
Sedangkan menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) sendiri,
fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda.
3
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang Didambakan Cetakan II, (Bandung:
PT. Alumni, 2010), h. 200.
4
Ibid, h. 265.
68
Dalam rangka kasus penelitian ini adalah, menganalisa dalam hal terjadi
musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit (dalam hal ini PT.MMM)
yang dijaminkan kepada PT. BM.
Pada dasarnya dalam KUHPerdata Pasal 1381 sudah disebutkan bahwa
salah satu sebab hapusnya perikatan adalah musnahnya barang terutang.
Kemudian pada UUJF Pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia menjelaskan hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan
peristiwa-peristiwa sebagai berikut yaitu:
1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;
2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur);
3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
Hapusnya jaminan fidusia karena lunasnya hutang yang dijamin dengan
jaminan fidusia adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian assessoir.
Jadi, jika perjanjian hutang piutangnya tersebut hapus karena sebab apapun
maka jaminan fidusia tersebut menjadi hapus pula. Sementara itu hapusnya
jaminan fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima
jaminan fidusia adalah wajar karena sebagai pihak yang mempunyai hak ia
bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya tersebut. Hapusnya
jaminan fidusia karena musnahnya barang jaminan fidusia tersebut dapat
dibenarkan karena tidak ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan, jika barang
objek jaminan fidusia tersebut sudah tidak ada akan tetapi jika ada asuransi
maka hal tersebut menjadi hak dari penerima fidusia dan pemberi fidusia
69
tersebut harus membuktikan bahwa musnahnya barang yang menjadi objek
jaminan fidusia tersebut adalah diluar dari kesalahannya.5
Menurut penulis, aturan-aturan yang sudah ada dalam KUHPerdata dan
UUJF mengenai hapusnya perjanjian jaminan akibat benda jaminan musnah
belum dijelakan secara rinci tentang solusi akibat kejadian tersebut. Hal ini bisa
mengakibatkan kesalahan dan kerugian baik untuk pihak kreditur maupun
debitur. Dalam hal ini, pihak debitur (PT. MMM) telah melakukan perbuatan
yang merugikan terhadap kreditur (PT. BM) karena telah melakukan
wanprestasi dengan tidak membayar sisa pinjaman kredit. Dengan adanya
perbuatan wanprestasi diatas, dapat dijadikan pertimbangan putusan yang
kemudian ditetapkan oleh Majelis Hakim dalam perkara ini.
Penulis setuju dengan Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh Penggugat (PT. MMM) merupakan
tindakan wanprestasi karena tidak membayarkan sisa pinjaman kredit hingga
jatuh tempo. Musnahnya benda jaminan tidak menghilangkan kewajiban
debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit kepada kreditur. Maka dari itu
sangat diperlukan adanya asuransi sebagai cara untuk menghindari kerugian
yang terjadi dikemudian hari.
Musnahnya benda jaminan tidak menghilangkan kewajiban debitur untuk
membayar sisa pinjaman kredit kepada kreditur. Maka dari itu sangat
diperlukan adanya asuransi sebagai cara untuk menghindari kerugian yang
terjadi dikemudian hari.
5
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 50.
70
Dalam KUHPerdata dan UUJF tidak diatur secara lebih rinci mengenai
musnahnya benda jaminan, tetapi
hal tersebut tidak menutup kewajiban
debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit. Karena itu seharusnya pihak
bank dalam melakukan perjanjian kredit menggunakan asuransi dan
memperhatikan polis asuransi tentang kemungkinan resiko yang terjadi
dikemudian hari. Dengan menggunakan cara tersebut, pihak bank dapat
meminimalisir
adanya
kerugian
yang
dialami
oleh
debitur
dalam
menyelesaikan kasus musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit.
C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan
Fidusia
Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya
adalah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang
memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan
dalam peristiwa demikian, maka terserah kepada pihak atau orang yang hendak
dilindungi untuk menggunakan atau tidak hak tersebut. Perlindungan hukum
yang dimaksudkan dalam pengkajian ini adalah terkait dengan pihak pemberi
fidusia (debitur) dan penerima jaminan fidusia (kreditur).
Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah
mengenai eksekusi. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan dari Buku
Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam
pernyataan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia
71
(debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui
gugatan.
Masalah perlindungan hukum terletak pada perlindungan penerima
fidusia dalam menghadapi pemberi fidusia yang beritikad buruk. Terkait
dengan jaminan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian
sebelumnya dari penelitian ini, maka untuk merealisasikan asas publisitas dan
asas spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun
diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia
dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut.
Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta
otentik yang memiliki kekuatan pembuktian secara sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para
pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa penting menetapkan perjanjian
fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan
fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka
bentuk akta otentik dianggap menjamin kepastian hukum berkenaan dengan
obyek jaminan fidusia.
Sedangkan untuk memenuhi asas spesialitas, maka dalam akta jaminan
fidusia yang dibuat oleh notaris memuat mengenai uraian mengenai benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda
tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Kalau benda
72
yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan
(inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, maka dalam akta
jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda
tersebut.
Demi memenuhi asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal baru yaitu mengenai pendaftaran
jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum tidak saja kepada para
pihak tetapi juga kepada pihak ketiga serta menimbulkan hak untuk
didahulukan bagi penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Berdasarkan asas
droit de suit, maka jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek
jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut
tetap melekat.
Perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur
pemberi fidusia, maka pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar
sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak
ketiga. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory,
maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah,
perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit
terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah
pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum.
Pada
putusan
MA
No.
2914K/Pdt/2001
memuskan
bahwa
debiturdiwajibkan membayar sisa pinjaman kepada kreditur, karena dengan
73
musnahnya benda jaminan tidak menhilangkan kewajiban debitur untuk
melunasi hutangnya. Disini pihak debitur sangat dirugikan akibat terbakarnya
pabriknya yang menjadi jaminan dan juga mengenai ditolaknya klaim asuransi
karena tidak ada standar polis yang mengatur kebakaran akan tetapi pihak
debitur tidak dapat melakukan apapun karena semua sudah sesuai dengan
aturan yang ada.
Jadi, menurut uraian diatas perlindungan hukum terhadap kreditur dan
debitur atas musnahnya benda jaminan adalah dengan menggunakan asuransi
dan memperhatikan isi polis asuransi mengenai kemungkinan resiko yang akan
terjadi dikemudian hari. Hal ini dilakukan agar apabila terjadi hal yang tidak
terduga, pihak asuransi dapat menyelesaikan dengan adanya klaim asuransi.
Kemudian yang terpenting adalah memdaftarkan perjanjian kredit dengan
jaminan fidusia tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF).
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Musnahnya benda jaminan fidusia secara normatif telah diatur pada
pasal 1381 KUHPerdata dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia yang termasuk dalam salah satu sebab
hapusnya perjanjian terutama perjanjian kredit secara fidusia. Dalam
hal musnahnya benda jaminan fidusia yang dilakukan oleh pihak
debitur selaku pemberi fidusia terdapat tanggung jawab yang harus
dipenuhi atas barang yang dalam penguasaannya tersebut, karena
perjanjian kredit dengan jaminan fidusia ini pihak kreditur selaku
kreditur hanya mempunyai hak kepemilikan saja, pengusaan barang
masih berada ditangan debitur. Maka dari itu pihak debitur harus
bertanggungjawab penuh atas kondisi barang jaminan tersebut, agar
tidak merugikan pihak kreditur.
2.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001, Majelis
Hakim menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi yaitu PT. MULTI MAKMUR MATARI yang
membatalkan
putusan
Pengadilan
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal
menguatkan
putusan
Pengadilan
16
Mei
Negeri
Tinggi
2000
Jakarta
yang telah
Jakarta
Selatan
No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober, menyatakan
tergugat I dalam rekonvensi (PT. MMM) telah wanprestasi dalam
74
75
melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada penggungat
rekonvensi (PT. BM) dan menghukum PT. MMM untuk membayar
secara seketika dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada PT.
BM selaku kreditur sebesar Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat
ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga
puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit
KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMKUmum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan
hutang.
3.
Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik
terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia dilakukan dengan
melakukan
asuranasi
terhadap
benda
jaminan
tersebut
serta
mendaftaranan ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia sesuai
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jika
terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan
hukum tidak berhalang secara efektif bagi pihak-pihak yang
dirugikan.
B. Saran
1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya
diasuransikan terlebih dahulu. Dalam melakukan asuransi juga harus
diperhatikan polis mengenai resiko-resiko apa saja yang mungkin akan
terjadi di kemudian hari. Hal ini untuk mengantisipasi musnahnya
benda jaminan, dimana dengan musnahnya benda jaminan tersebut
76
tidak menghapuskan piutang yang belum dihapus. Walaupun
perusahaan asuransi tidak membayar sepenuhnya, tetapi perusahaan
asuransi dapat meringankan beban debitur untuk mengembalikan sisa
pinjaman kredit.
2. Bagi pihak bank dalam menyalurkan dana melalui perjanjian kredit
kepada masyarakat, seharusnya bisa lebih selektif lagi dalam
melakukan perjanjian kredit dengan mendaftarkan jaminan fidusia ke
Kantor Pendaftaran Fidusia. Dan bagi pihak masyarakat(debitur),
seharusnya bisa lebih teliti dan berhati-hati lagi dalam mencermati
perjanjian yang diajukan oleh pihak bank sebelum menandatangani
perjanjian kreditnya.
3. Adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia sebagai dasar dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia,
sebenarnya sudah cukup membantu apabila terjadi suatu permasalahan
tetapi akan lebih baik pihak lembaga legislatif (DPR-RI) untuk
merevisi undang-undang ini karena undang-undang tersebut hanya
memenuhi aspek yuridis saja, aspek lainnya belum terpenuhi guna
tercapainya pelindungan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
77
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2004.
Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta:
PT Raja Grafindo. 2007.
Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.
Djumhana,Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 2006.
Fuady, Munir. Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 2003.
____________. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti. 1996.
Hadisoeprapto,Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.
Yogyakarta: Liberty. 1984.
Hasan, Djuhaendah. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan
Horizontal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996.
Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi
Jaminan Jilid II. Jakarta: Ind-Hill-Co. 2005.
HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2006.
Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan
Cetakan II. Bandung: PT. Alumni. 2010.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenda Media. 2005.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
77
78
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2000.
Naja, H. R. Daeng. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2005.
Patrik, Purwahid dan Kashadi. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT.
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 2008.
Prajitno, A. A. Andi. Hukum Fidusia : Problematika Yuridis Pemberlakuan
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Cetakan I. Malang: Bayumedia
Publishing. 2009.
Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Bandung: Alumni. 2000.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa. 2003.
______. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. 1985.
______. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni, 1975.
Supramono, Gatot. Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan
Yuridis. Jakarta: Djambatan. 1996.
Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Bandung : Alfabeta. 2003.
Suyatno, Thomas. Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Syahdeini, Sutan Remmy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank. Jakarta: Institut
Bankir Indonesia. 1993.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2005.
Tiong, Oey Hoey. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia. 1983.
Tje'Aman, Edy Putra. Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta:
Liberty. 1989.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2001.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada. 2000.
79
Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis
Cetakan ke-1. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1999.
PERUNDANG-UNDANGAN:
Soebekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
ng
Nomor : 2914 K / Pdt / 2001
do
A
gu
DEMI KEDILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
In
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai
berikut dalam perkara :
PT. MULTI MAKMUR MATARI, berkedudukan di Jakarta, dalam
lik
ah
hal ini diwakili oleh Direkturnya : TJONG KWET KHIONG alias
ATUNG, berkantor di Jalan Waspada Buntu No.19 Rt.004. Rw.
ub
m
012. Kelurahan Tambora, Jakarta Utara, dalam hal ini diwakili oleh
kuasanya : MOHAMAD ASSEGAF, SH. & Associate, berkantor di
ka
Jalan
H.
Samali
No.29
Pasar
Minggu
Jakarta
Selatan,
ep
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 02 Maret 2001 ;
ah
Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi dahulu
si
R
Penggugat/Pembanding juga Terbanding ;
MELAWAN:
ne
BANK EKSPOR IMPOR CABANG JAKARTA PANCORAN,
ng
1.
sekarang PT. BANK MANDIRI, berkantor di Gedung Graha
A
gu
do
Bukaka, Jalan Raya Pasar Minggu No.17 A. Jakarta Selatan,
dalam hal ini diwakili oleh : DARMAWAN EFFENDI, SH. Group
Head Bagian Litigasi Divisi Legal Kontor Pusat PT. Bank Mandiri,
In
berdasarkan Surat Kuasa Khusus 02 Nopember 1997 ;
Termohon Kasasi I juga sebagai Pemohon Kasasi II
dahulu
Tergugat II/Pembanding/Terbanding I;
lik
ka
m
ah
2. ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK
ub
INDAH, berkantor di Jalan Sultan Iskandar Muda No.8 B. Jakarta
Selatan ;
I/Terbanding II ;
Mahkamah Agung tersebut ;
ep
Termohon Kasasi II/Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat
R
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
s
Menimbang bahwa, dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
do
Hal.1 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
ne
Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah
ik
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
h
ah
M
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 1
R
ep
ub
ne
si
a
hk
am
putusan.mahkamahagung.go.id
menggugat sekarang Para Termohon Kasasi I dan II juga sebagai Pemohon Kasasi
ng
II dan Turut Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat I dan II dimuka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pokoknya atas dalil- dalil :
do
Bahwa Penggugat adalah Perusahaan yang bergerak dibidang usaha
A
gu
pengelolaan kertas khususnya pembuatan buku-buku tulis ;
asuransi sedangkan Tergugat II adalah perusahaan perbankan ;
In
Bahwa Tergugat I adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis jasa
Bahwa berdasarkan perjanjian kredit No.001/KMK-Umum/X/97 tertanggal 23
lik
ah
Oktober 1997 Penggugat telah mendapat pinjaman uang dari dari Tergugat II
sebesar Rp.1.120.000.000,- (satu milyar seratus dua puluh juta rupiah) dan sebesar
ub
mewajibkan Penggugat untuk memberikan jaminan terhadap pengembalian kredit
tersebut berupa penyerahan hak milik secara fiducia, pemindahan dan penyerahan
ep
hak sebagai jaminan pribadi yang kesemuanya itu diruangkan dalam bentuk Akta
Notaris ;
Bahwa
berdasarkan
Pasal
2
dalam
perjanjian,
Tergugat
II
telah
mengasuransikan barang jaminan tersebut kepada Tergugat I dengan polis asuransi
si
R
ah
ka
m
Rp. 740.000.000,- (tujuh ratus empat puluh juta rupiah) oleh karenanya Tergugat II
No. 02-18-22000246 dan No.02-18-22000247 ;
ng
ne
Bahwa barang-barang yang dijaminkan dalam penutupan polis tersebut
adalah sebagaimana tertuang dalam point a dan b dalam gugatan ;
A
gu
do
Bahwa pada tanggal 14 Mei 1998 telah terjadi kebakaran pada pabrik
Penggugat dan telah mengakibatkan musnahnya barang yang menjadi jaminan
In
kredit Penggugat kepada Tergugat II tersebut ;
Bahwa atas kejadian tersebut diatas, maka Penggugat meminta kepada
Tergugat II membantu melakukan proses klaim asuransi, namun pada saat hal
lik
tersebut diajukan kepada Tergugat I, Tergugat I menolak membayar dengan alasan
ka
m
ah
resiko yang diderita oleh Penggugat tersebut tidak dijamin oleh polis standar
ub
kebakaran ;
Bahwa dengan tidak dilaksanaknnya pembayaran klaim asuransi oleh
Tergugat I, maka Tergugat II tidak dapat melakukan penagihan pembayaran kredit
ep
yang telah jatuh tempo berikut segala bunga-bunganya sejak telah terjadinya
kebakaran tersebut sampai dengan dilaksanakannya pembayaran klaim asuransi
R
oleh Tergugat I ;
ne
do
Hal.2 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
maka Tergugat II telah ingkar janji (wanprstasi) yang menimbulkan kerugian bagi
s
Bahwa dengan tidak dibayarnya klaim asuransi oleh Tergugat I tersebut,
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
2
ik
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 2
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Penggugat yang jumlah kesleuruhannya adalah sebesar Rp.3.600.000.000,- (tiga
ng
milyar enam ratus juta rupiah) sebagaimana perincian dalam gugatan ;
Bahwa untuk menjamin agar gugatan Penggugat tidak sia-sia, maka
do
Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk meletakkan sita
A
gu
jaminan (Conservatoir Beslag) terlebih dahulu atas harta benda milik Tergugat I
sebagaimana tertuang dalam point 1 dan 2 dalam gugatan ;
In
Bahwa oleh karena gugatan Penggugat ini didasarkan pada bukti-bukti yang
otentik, maka Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar
lik
ah
putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu (Uitvoerbaar bij Voorraad)
Bahwa
berdasarkan
alasan-alasan
tersebut
diatas,
maka
Penggugat
ub
menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan putusan
dalam perkara ini sebagai berikut :
DALAM PROVISI :
-. Memerintahkan
kepada
ep
-.
Tergugat
II
untuk
tidak
melakukan
penagihan
pembayaran kredit terhadap Penggugat selama dalam proses pemeriksaan
perkara sampai dengan diperolehnya putusan Pengadilan yang memperoleh
si
R
ah
ka
m
walaupun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari pihak Tergugat ;
kekuatan hukum yang pasti, dengan ketentuan Tergugat II akan dikenakan uang
ng
ne
paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya
apabila melalaikan putusan provisi ini ;
A
gu
do
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
In
2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan yang telah diletakkan ;
3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) ;
4. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran klaim asuransi kepada
lik
Rp.1.600.000.000,- (satu
milyar enam ratus juta rupiah) dan DEM 1.800.000.00- ;
ub
5. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran penggantian biaya
kerugian dan bunga sebesar Rp.1.152.000.000,- (satu milyar seratus lima puluh
dua juta rupiah) dan DEM 1.296.000.00,- ;
ep
6. Menyatakan secara hukum uang hasil pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat
I kepada Penggugat adalah untuk kepentingan pelunasan pinjaman kredit
ne
do
Hal.3 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng
gu
A
s
R
Penggugat kepada Tergugat II dan apabila terdapat sisa kelebihan maka menjadi
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
3
ik
ah
ka
m
ah
Penggugat dengan jumlah keseluruhannya sebesar
Halaman 3
R
ep
ub
hak Penggugat ;
ne
si
a
hk
am
putusan.mahkamahagung.go.id
ng
7. Menghukum Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan pelunasan pinjaman
kredit yang sudah jatuh tempo berikut bunga-bunganya kepada Penggugat
do
sampai dilunasinya pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat I kepada
A
gu
Penggugat ;
8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada bantahan,
In
banding maupun kasasi ;
9. Menghukum Para Tergugat supaya membayar biaya perkara ;
lik
ah
-. ATAU :
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat I telah mengajukan
ub
eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Bahwa Penggugat tidak berhak mengajukan gugatan kepada Tergugat I
ep
dalam perkara a quo, karena polis asuransi yang disengketakan dalam perkara a quo
adalah polis asuransi yang memuat klausula Bank (Bankers Clause) maka yang
berhak mengajukan claim atas asuransi terhadap Tergugat I adalah Tergugat II (PT.
Bank Ekspor Impor Indonesia) ;
si
R
ah
ka
m
-. Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II telah mengajukan
ng
ne
gugatan Rekonvensi yang pada pokoknya telah mengemukakan dalil-dalil sebagai
berikut :
A
gu
do
Bahwa berdasarkan perjanjian kredit No.001/KMK-Umum/X/97 tanggal 23
Oktober 1997 dan No.001/KMK/Umum/IV/98 tanggal 03 April 1998 Tergugat
In
Rekonvensi telah menerima fasilitas kredit dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat II
dalam Konvensi yang besarnya sebagaimana tersebut dalam gugatan ;
Bahwa jaminan yang diletakkan oleh Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat
lik
dalam Konvensi atas fasilitas kredit yang diterbitkan diatas, terdiri dari jaminan
ka
m
ah
jaminan pokok dan jaminan tambahan masing-masing sebagaimana tersebut dalam
ub
point a, b dan c dalam gugatan ;
Bahwa jaminan pokok pada huruf a dan jaminan tambahan pada huruf a
diatas, telah diikat menjadi satu secara notariil sebagaimana ternyata paa akta
ep
pemberian jaminan dengan menyerahan hak milik secara fiducia No.19 tanggal 24
Oktober 1997, sedangkan jaminan pokok pada huruf b telah diikat secara notariil
R
dengan akta pemindahan dan penyerahan hak (cessie) sebagai jaminan No.20
ne
do
Hal.4 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
dan c berturut – turut telah diikat pula secara notariil dengan APHT No.6569/1997
s
tanggal 24 Oktober 1997, dan begitu pula halnya dengan jaminan tambahan huruf b
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
4
ik
h
ah
M
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Halaman 4
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tanggal 21 Nopember 1997 dan akta pemberian jaminan pribadi (Bongtocht) No.21
ng
tanggal 24 Oktober 1997 ;
Bahwa menunjuk kepada jangka waktu perjanjian kredit ternyata masa
do
perjanjian kredit tersebut saat ini telah berakhir ;
A
gu
Bahwa dengan demikian telah terbukti bahwa Tergugat dalam Rekonvensi/
Penggugat dalam Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) dalam melaksanakan
In
kewajiban pembyaran atas fasilitas kredit yang telah diterimanya dari Penggugat
dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi ;
lik
ah
Bahwa atas prbuatan Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi
tersebut, Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi telah mengalami
ub
tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh
sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 25 % (+ provisi 1%) dan bunga
ep
kredit KMK-Umum sebesar 17 % (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan
hutang ;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka Penggugat dalam
Rekonvensi/ Tergugat II dalam Konvensi mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta
si
R
ah
ka
m
kerugian sebesar Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh
Selatan untuk menghukum Tergugat dalam Rekonvensi/ Penggugat dalam Konvesi
ng
ne
untuk membayar seluruh hutang berikut bunganya tersebut kepada Penggugat
dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi ;
A
gu
do
Bahwa karena gugatan Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam
Konvensi ini didasarkan atas bukti-bukti yang otentik, maka mohon kepada
In
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar putusan dalam perkara ini dapat dijalankan
terlebih dahulu (Uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada upaya hukum verzet,
lik
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Penggugat dalam
Rekonvensi/ Tergugat II dalam Konvensi menuntut kepada Pengadilan Negeri
ub
Jakarta Selatan agar memberikan putusan dalam perkara ini sebagi berikut :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat
Rekonvensi untuk seluruhnya ;
ep
2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan
kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ;
Tergugat
I
Rekonvensi
R
3. Menghukum
untuk
membayar
secara
seketika
ne
do
Hal.5 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng
gu
A
s
dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
5
ik
ah
ka
m
ah
banding maupun kasasi dari pihak lawan ;
Halaman 5
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar
ng
empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh
tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar
do
25 % (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 17 % (+ provisi 0,50
A
gu
%) sampai dengan pelunasan hutang ;
4. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada
In
bantahan, banding maupun kasasi ;
5. Biaya perkara menurut hukum ;
Selatan
telah
mengambil
putusan,
yaitu
lik
ah
Menimbang bahwa, terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta
dengan
putusannya
Nomor
:
ub
sebagai berikut :
-. DALAM KONVENSI :
ep
-. DALAM PROVISI :
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi ;
si
R
ah
ka
m
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 yang amarnya berbunyi
-. DALAM POKOK PERKARA :
ng
ne
1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya ;
2. Membebankan biaya perkara pada Penggugat Konvensi sebesar Rp.200.000,-
do
A
gu
(dua ratus ribu rupiah) ;
-. DALAM REKONVENSI :
In
-. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
-. Membebankan biaya dalam gugatan Rekonvensi pada Penggugat Rekonvensi
lik
Menimbang bahwa, putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan
Penggugat I/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding I/Pembantah
telah dikuatkan oleh
ub
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya No.1076/Pdt/1999/PT.DKI. tanggal
16 Mei 2000 ;
ep
Menimbang bahwa, sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding I/Pembanding pada
R
tanggal 21 Pebruari 2001 dan tanggal 02 Maret 2001 kemudian terhadapnya oleh
ne
do
Hal.6 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng
gu
A
s
Penggugat / Pembanding / Terbanding dan Tergugat II / Terbanding I / Pembanding
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
6
ik
ah
ka
m
ah
yang hingga kini ditaksir nihil ;
Halaman 6
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
dengan perantaraan masing-masing kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus
ng
masing-masing tanggal 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Nopember 1999 diajukan
permohonan kasasi secara lisan masing-masing 02 Maret 2001 dan
tanggal 02
do
Maret 2001 sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No. 175/Pdt.G/
A
gu
1999/PN.Jkt.Sel. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
permohonan mana kemudian disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-
In
alasan yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut masing-masing
pada 14 Maret 2001 dan tanggal 27 Maret 2001 ;
lik
ah
Menimbang bahwa, setelah itu oleh Para Termohon Kasasi yang masing-
masing pada tanggal 05 April 2001 dan 27 Maret 2001 telah diberitahukan tentang
ub
jawaban memori kasasi oleh Para Termohon Kasasi yang diterima dikepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masing-masing pada tanggal 05 April 2001 dan
ep
tanggal 17 April 2001 ;
Menimbang bahwa, permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang waktu
dan
dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu
si
R
ah
ka
m
memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II, dan telah diajukan
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
ng
ne
Menimbang bahwa, keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi I dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
A
gu
do
-. Bahwa Judex Facti dalam putusannya telah salah dalam menerapkan hukum,
karena telah mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama
In
dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Judex Facti tanpa memberikan
pertimbangan dan alsan yang cukup ;
-. Bahwa pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang telah diambil alih oleh Judex
lik
kejadian kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998, sehingga dikecualikan dari
ub
pertanggungan asuransi, jelas merupakan pertimbangan yang keliru, karena
peristiwa tanggal 14 Mei 1998 adalah merupakan peristiwa criminal murni,
sehingga Tergugat harus membayar klaim asuransi terhadap Penggugat ;
ep
-. Bahwa adalah tidak adil dan tidak patut apabila Tergugat II tidak dihukum untuk
ikut menanggung akibat hukum distopnya pembayaran klaim asuransi Penggugat
R
oleh Tergugat I, padahal ditunjuknya Tergugat I sebagai penanggung adalah atas
ne
do
Hal.7 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng
gu
A
s
perintah Tergugat II, sehingga dengan tidak dihukumnya Tergugat II untuk ikut
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
7
ik
ah
ka
m
ah
Facti yang menyatakan kebakaran yang diderita oleh Penggugat akibat adanya
Halaman 7
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
menanggung
akibat
hukum
ditolaknya
klaim
asuransi
Penggugat
ng
pertimbangan tersebut tidak adil ;
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
jelas
Menimbang bahwa, atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh
do
Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
A
gu
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak
salah menerapkan hukum, sebab Judex Facti dapat mengambil alih pertimbangan
In
dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri apabila
putusan tersebut telah tepat dan benar, lagi pula keberatan-keberatan tersebut
lik
ah
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat
ub
wenangan atau melampaui batas wewenang, atau salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
ep
oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 UndangUndang Mahkamah Agung No.14 tahun 1985 sebagaimana
telah diubah
dan
ditambah dengan Undang-Undang No.5 tahun 2004 ;
si
R
ah
ka
m
kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan ketidak
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
ng
ne
lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini
bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi
A
gu
do
yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR MATARI tersebut
harus ditolak ;
In
Menimbang bahwa, keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi II dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan ketentuan mengenai keadaan
yaitu
hukumnya
Pasal
yang
1245
menyatakan
KUHPerdata.
Sesuai
lik
(overmacht)
pertimbangan
Termohon
Kasasi
dengan
I/semula
ub
Penggugat tidak beralasan untuk membayar kewajibannya pada Pemohon
Kasasi/semula Tergugat II seketika karena terjadinya keadaan memaksa berupa
kebakaran stock barang dagangan Termohon Kasasi I/semula Penggugat akibat
ep
kerusuhan massa tanggal 14 Mei 1998 ;
Hal tersebut bukanlah merupakan alasan agar Termohon Kasasi I/semula
R
Penggugat tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi II/semula
ne
do
Hal.8 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng
gu
A
s
Tergugat II, karena peristiwa kebakaran tersebut hanyalah keadaan memaksa
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
8
ik
ah
ka
m
ah
memaksa
Halaman 8
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang bersifat relatif/tidak mutlak dan kejadian tersebut bukanlah hal-hal yang
ng
menyebabkan berakhirnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1381
KUHPerdata. Hal inipun telah diakui oleh Judex Facti pada pertimbangan
do
hukumnya dibagian konvensi yang menyatakan bahwa tidak diperoleh ketentuan
A
gu
bahwa Tergugat II tidak diperbolehkan menagih pelunasan dari Penggugat ;
Oleh karena itu, Termohon Kasasi I/semula Penggugat harus tetap memenuhi
In
kewajiban hutangnya kepada Pemohon Kasasi sesuai perjanjian yang disepakati
dan klaim asuransi yang tidak disetujui oleh Termohon Kasasi II, bukanlah
lik
ah
merupakan alasan untuk tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi ;
I/semula Penggugat belum melunasi hutangnya karena alasan overmacht
ub
sebagaimana tersebut diatas adalah pertimbangan yang keliru dan tidak adil
karena hutang Penggugat sudah jatuh tempo. Apabila Termohon Kasasi I/semula
ep
Penggugat tidak memenuhi kewajibannya dengan baik sedangkan hutangnya
sudah jatuh tempo, maka demi hukum Pemohon Kasasi berwenang untuk
melelang agunan kredit yang telah diserahkan kepada Termohon Kasasi I ;
Mengenai keberatan-keberatan ad. 1 dan ad. 2 dari Pemohon Kasasi II tersebut :
Bahwa keberatan-keberatan
si
R
ah
ka
m
2. Bahwa pertimbangan Judex Factie yang menyatakan bahwa Termohon Kasasi
ini dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah
ng
ne
salah menerapkan hukum ;
-. Bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak melunasi hutang (kreditnya) karena
A
gu
do
keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan. Terbakarnya stock barang
dagangan Penggugat tidak terkait dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak
In
menghapus atau mengurangi kewajiban Penggugat seperti diatur dalam
perjanjian kredit. Penerima kredit tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun
barang jaminan terbakar, karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat
lik
Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,
menurut
ub
pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II : PT. BANK EKSPORT IMPOR
CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut dan membatalkan
ep
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000
yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/
ne
do
Hal.9 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
ng
gu
A
s
R
1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 serta Mahkamah Agung akan mengadili
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
9
ik
ah
ka
m
ah
merupakan jaminan utang ;
Halaman 9
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
sendiri perkara ini dengan amar putusannya seperti tersebut dibawah ini :
ng
Menimbang bahwa, oleh walaupun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
II dikabulkan, namun karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I ditolak,
A
gu
kasasi ini ;
do
maka Pemohon Kasasi I dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang
No. 4 Tahun 2004,
dengan Undang-Undang No.5
In
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah
Tahun 2004 1985 serta peraturan perundang-
lik
MENGADILI :
ub
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR
MATARI tersebut ;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : : PT. BANK
ep
EKSPORT IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal
16 Mei 2000 yang
telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/
Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 ;
si
R
MENGADILI SENDIRI :
ne
ah
ka
m
ah
undangan lain yang bersangkutan ;
ng
-. DALAM KONVENSI :
-. DALAM PROVISI :
A
gu
do
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
In
-. Menolak eksepsi Tergugat I ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ;
lik
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat
ub
Rekonvensi untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan
ep
kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ;
3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika dan
sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang
do
Hal.10 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
ne
s
R
hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar
M
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
10
ik
ah
ka
m
ah
-. DALAM REKONVENSI :
Halaman 10
R
ep
ub
putusan.mahkamahagung.go.id
ne
si
a
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh
ng
tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar
6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %)
do
sampai dengan pelunasan hutang ;
A
gu
Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat dalam Konvensi membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu
In
rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
lik
ah
pada hari Kamis tanggal 31 Januari 2008 dengan Bagir Manan Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Majelis, Andar Purba, SH. dan Prof.DR.H. Kaimuddin Salle,
ub
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut, dengan
dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Reza Fauzi, SH.CN.
ep
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak ;
UNTUK SALINAN
MAHKAMAH AGUNG RI
a/n. P A N I T E R A
PANITERA MUDA PERDATA
ep
ub
lik
ka
m
ah
ne
Panitera Pengganti :
ttd/
Reza Fauzi, SH.CN.
6.000,1.000,193.000
200.000,-
do
A
gu
Rp.
Rp.
Rp.
Rp.
In
Biaya-Biaya :
1. M e t e r a i.
2. R e d a k s i.
3. Administrasi Kasasi.
Jumlah
si
Ketua:
ttd/
Bagir Manan
R
Hakim-Hakim Anggota :
ttd/
Andar Purba, SH.
ttd/
Prof.DR.H. Kaimuddin Salle, SH.MH.
ng
( MUH. DAMING SUNUSI, SH.MH. )
s
ne
do
Hal.11 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001
In
A
gu
ng
M
R
ah
NIP. 040 030 169
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
11
ik
ah
ka
m
SH.MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam
Halaman 11
R
ep
ub
ne
si
a
putusan.mahkamahagung.go.id
s
ne
do
In
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ub
lik
ka
m
ah
In
A
gu
do
ng
ne
si
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
In
A
gu
do
ng
hk
am
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
12
ik
h
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 12
Download