jaminan sosial - DJPPR - Kementerian Keuangan RI

advertisement
zz Menyambut Implementasi Program
Jaminan Kesehatan Nasional
zz Transformasi PT Askes (Persero)
menjadi BPJS Kesehatan
zz Aspek Perpajakan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan
EDISI IV Tahun 2013
DESEMBER 2013
zz Kedaulatan Pangan dan Kecukupan
Pangan
BKF
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI
Menyambut Era Baru
Jaminan Sosial
COV_DESEMBER 2013_5.indd 1
1/27/2014 8:02:23 PM
 Menyambut Implementasi Program
Jaminan Kesehatan Nasional
 Transformasi PT Askes (Persero)
menjadi BPJS Kesehatan
 Aspek Perpajakan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan
EDISI IV TAHUN 2013
DESEMBER 2013
 Kedaulatan Pangan dan Kecukupan
Pangan
MENYAMBUT ERA BARU
JAMINAN SOSIAL
Penanggung jawab:
Freddy R. Saragih
Sri Bagus Guritno
Dewan Redaksi:
Abdul Aziz
Hadi Setiawan
Rahmat Mulyono
Penyunting:
Syahrir Ika
Hidayat Amir
Desain Grafis dan Layout:
Tim Grafis Kreasitama
Sekretariat:
Hendro Ratnanto
Sigit Purnomo
Indra Setiawan
Moh. Kharis Syukron
Penerbit:
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Alamat:
Gedung R.M. Notohamiprodjo Lantai 4,
Jalan Dr. Wahidin No.1
Jakarta 10710. Telp: (021) 3846725
Fax: (021) 3452571
Email: [email protected]
Daftar Isi
www.pusatpengobatan.com
UTAMA:
l Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional................. 4-6
Ronald Yusuf dan Hidayat Amir
l Transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan............................... 7-13
Roki Gangsar Winoto
l BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan......... 14-18
Novijan Janis
l Potensi Risiko Fiskal Program Jaminan Kesehatan Nasional..........................19-22
Ronald Yusuf
l Aspek Perpajakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan...........23-27
Hadi Setiawan, (Anggifa Arifany, Chintya Pramasanti,
Herhudaya Perkasa, Krisna Pratama Amrullah, M Ridho Mubaroq,
Maulana Masykur, dan Yanuar Falak Abiyunus)
l Implementasi Kebijakan Asuransi Kesehatan Sosial Indonesia dan
Pelajaran dari Negara Lain............................................................................... 28-33
Abdul Aziz
l Membangun Paradigma Baru Penyediaan Infrastruktur Sosial
Pendidikan dan Kesehatan di Indonesia melalui Skema Kerja Sama
Pemerintah dan Swasta.................................................................................... 34-38
Eko Nur Surachman
l Pelayanan Kesehatan Preventif dan Promotif pada Sistem Jaminan
Sosial Nasional................................................................................................... 39-43
Yusuf Munandar
EDUKASI FISKAL
Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan ...............................................44-51
Syahrir Ika
l
OPINI:
Jaminan Sosial Meningkatkan Kemandirian Ekonomi.................................. 52-54
Praptono Djunedi
l Peran Daerah dalam Penjaminan Kesehatan Masyarakat............................ 55-58
Akhmad Yasin
l Menjaga Keberlanjutan Jamkesda...................................................................59-61
Adrianus Dwi Siswanto
l
Redaksi menerima kontribusi
tulisan dan artikel yang sesuai
dengan misi penerbitan. Tulisan
dan artikel ditulis dalam huruf arial
11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman
A4. Redaksi berhak mengubah isi
tulisan tanpa mengubah maksud dan
substansi.
COV_DESEMBER 2013_5.indd 2
2
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1. Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal membuka acara Sosialisasi Pengelolaan Risiko Fiskal Dalam Rangka
Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan di Mataram, 21 November 2013. Peserta
sosialisasi yang diundang adalah dari kalangan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Pemerintah Kota Mataram, BUMN, Perbankan dan Asosiasi, serta Akademisi/Universitas.
Dalam sosialisasi tersebut disampaikan materi “Gambaran Umum Kebijakan Pengelolaan Risiko Fiskal
Kementerian Keuangan” oleh Kepala Bidang Peraturan Pengelolaan Risiko Fiskal, Sri Bagus Guritno dan
“Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Viability Gap Fund) oleh Kepala Bidang Analisis
Risiko Dukungan Pemerintah, Riko Amir.
2. Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (ketiga dari kiri) melakukan kunjungan lapangan ke proyek
pembangunan smelter di Morowali pada tanggal 28 November 2013. Proyek tersebut dibiayai oleh
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang merupakan lembaga yang dibentuk dengan undang-undang
yang berfungsi sebagai fiscal tool pemerintah untuk mendukung program ekspor nasional.
3. Rapat dengan Empresas Públicas de Medellín (EPM) pada tanggal 11 Desember 2013. EPM adalah salah
satu perusahaan kelistrikan yang mempunyai anak usaha pembangkitan, transmisi dan distribusi serta
pengelolaan air bersih, limbah dan pengelola sampah padat di kota Medellin yang merupakan perusahaan
milik Pemerintah Kota Medellin, Kolombia.
1/27/2014 8:02:39 PM
Editorial
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Perlindungan Sosial yang Dinantikan Rakyat
T
anggal 1 Januari 2014 akan menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, Pemerintah memukul genderang mulai beroperasinya
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga yang dibentuk
dengan Undang-Undang untuk menyelenggarakan
program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengoperasian BPJS ini menandakan bahwa Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menjamin kesehatan
rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu bentuk
perlindungan sosial dari negara terhadap rakyatnya.
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan
bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib
(mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN. Tujuan JKN adalah untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat
yang layak tanpa membedakan status sosial maupun
ekonomi. JKN diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Seluruh warga, termasuk para pekerja formal
maupun nonformal diwajibkan oleh Undang-Undang
untuk menjadi peserta dan membayar iuran. Sementara itu, bagi penduduk yang tidak mampu, Pemerintah
akan menanggung iuran jaminan kesehatan dengan
mengalokasikan anggaran untuk Penerima Bantuan
Iuran/PBI. Semua peserta dalam program JKN akan
mendapatkan manfaat medis yang sama, sementara
manfaat nonmedis (misalnya akomodasi rawat inap)
dapat berbeda tergantung golongan bagi PNS, gaji/
upah bagi pegawai swasta, dan besaran iuran bagi
pekerja nonformal.
Implementasi SJSN yang diawali dengan beroperasinya BPJS Kesehatan dan program JKN merupakan
suatu terobosan besar yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Namun demikian, tidak sedikit pihak yang menyangsikan apakah program JKN dan BPJS Kesehatan
akan berjalan mulus. Dari sisi supply, jumlah infrastruktrur layanan kesehatan dan tenaga medis masih
belum memadai baik kualitas maupun kuantitasnya
ditambah lagi persebarannya juga tidak merata. Dari
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 3
DESEMBER 2013
sisi tarif untuk jasa layanan, termasuk obat, alat kesehatan dan jasa dokter, masih banyak yang menilai tarif
yang ditetapkan oleh Pemerintah tidak wajar. Hal ini
dikhawatirkan membuat banyak penyedia jasa layanan
enggan untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
Selain itu juga ada persoalan kemauan (willingness)
dan kemampuan para pekerja nonformal untuk membayar iuran. Sementara dari sisi data PBI, masih perlu
koordinasi yang lebih insentif antara pemerintah pusat
dan daerah sehingga diperoleh data yang valid mengenai jumlah penduduk yang layak menerima bantuan
iuran. Hal-hal tersebut adalah sebagian permasalahan
yang dihadapi dalam implementasi JKN.
Di samping berbagai persoalan tersebut, terdapat
potensi risiko fiskal yang dapat membenani APBN. Di
antaranya adalah ketidaksesuaian antara iuran dan
manfaat; adverse selection; dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga keberlangsungan program JKN
jika terjadi hal-hal/kejadian yang memang disebabkan
di luar kendali baik oleh badan penyelenggara maupun
pemerintah. Potensi risiko fiskal dari program JKN dan
mitigasinya akan dibahas lebih lanjut dalam artikel
Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) edisi kali ini.
Para cendekia sering berujar, kalau anda ingin sukses, maka anda harus memulai. Program JKN merupakan
kesempatan emas bagi negara ini dalam memperbaiki
sistem jaminan sosial yang selama ini dijalankan. Keberhasilan program ini Jaminan Kesehatan Nasional tentunya memerlukan waktu. Dengan semua permasalahan
yang dihadapinya, kita harus tetap optimistis bahwa
program ini akan menjadi semakin baik seiring berjalannya waktu. Pemerintah memiliki tanggung jawab
yang besar untuk keberlangsungan dan keberhasilan
program JKN. Oleh karenanya setiap komponen penyelenggara jaminan sosial harus bahu membahu bekerja
keras, bukan justru mengambil manfaat individual atas
perubahan ini. Sementara itu, masyarakat juga perlu
turut serta mengawasi agar program JKN tidak menyimpang dari tujuan awal dan ketentuan yang berlaku.
Mari kita sambut era baru jaminan sosial di negeri kita
ini dengan optimisme dan harapan akan kehidupan
yang lebih baik bagi rakyat Indonesia! n Syahrir Ika
3
1/27/2014 9:01:35 PM
Menyambut Implementasi
Program Jaminan
Kesehatan Nasional
Oleh: Ronald Yusuf1 dan Hidayat Amir2
1. Kasubid Analisis Risiko Ekonomi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Email: [email protected]
2. Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Email: [email protected]
U
T
A
M
A
R
eformasi jaminan sosial nasional ternyata memakan
waktu yang cukup lama.
Semenjak diundangkannya
UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Nasional (SJSN), pemerintah baru berhasil menyelesaikan UU
No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada akhir
tahun 2011. Proses yang lama tidak
hanya menunjukkan alotnya proses
politik yang terjadi, tetapi juga kompleksitas permasalahan yang ada. Saat
ini pemerintah sedang bekerja keras
menyelesaikan proses transformasi
program dan kelembagaan menuju
jaminan sosial yang lebih komprehensif dan berkualitas.
Kedua undang-undang tersebut
pada dasarnya merupakan amanah
konstitusi untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial pada seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh program yang tercakup dalam
SJSN diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi
pesertanya khususnya ketika terjadi
hal-hal yang dapat mengakibatkan
hilang atau berkurangnya pendapatan baik yang disebabkan karena
menderita suatu penyakit atau karena
sebab lainnya.
Salah satu program SJSN adalah
4
ISI_DES-2013_5a.indd 4
Salah satu program
SJSN adalah
program Jaminan
Kesehatan Nasional
(JKN) yang akan
menjamin pesertanya
memperoleh manfaat
pemeliharaan
kesehatan dan
perlindungan
dalam memenuhi
kebutuhan dasar
kesehatan.
program Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang akan menjamin pesertanya
memperoleh manfaat pemeliharaan
kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Program ini akan dimulai pada 1 Januari 2014 dan akan diselenggarakan
oleh BPJS Kesehatan yang merupakan
hasil transformasi PT Askes (Persero).
Sebagaimana yang diamanahkan oleh
UU SJSN, seluruh rakyat Indonesia wajib menjadi peserta program ini dan
juga wajib membayar iurannya. Khusus iuran bagi fakir miskin dan orang
tidak mampu, UU ini mengamanahkan
kepada Pemerintah untuk membayarnya. Peserta yang termasuk dalam
kategori ini disebut sebagai Penerima
Bantuan Iuran (PBI).
Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas)
Program jaminan kesehatan untuk fakir miskin dan tidak mampu sesungguhnya sudah menjadi perhatian
dan sudah dilaksanakan Pemerintah
sejak lama. Sebelumnya dikenal dengan nama Askeskin (2005-2007) kemudian berlanjut dengan nama program Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jamkesmas) hingga kini. Program ini
memberikan jaminan pemeliharaan
kesehatan secara komprehensif bagi
pesertanya atau dengan kata lain
menjamin seluruh jenis penyakit selama terindikasi medis. Pada tahun
2007 s.d. 2012, peserta program ini
adalah sebanyak 76,4 juta jiwa dan
dengan rerata besar anggaran yang
dibutuhkan adalah Rp6.000 per
orang per bulan (POPB). Pada tahun
2013, dengan pertimbangan semakin tingginya biaya kesehatan yang
dapat mempengaruhi kemampuan
keuangan orang yang hampir miskin,
Pemerintah memandang perlu untuk
menaikkan jumlah peserta program
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:35 PM
menjadi 86,4 juta jiwa. Selain itu, Pemerintah juga menaikkan rerata biaya
POPB untuk Jamkesmas sebesar 33%
yaitu menjadi Rp8.000.
Dalam realisasinya, masih banyak
fakir miskin dan orang tidak mampu
yang mengeluhkan manfaat program
Jamkesmas. Banyak yang menilai bahwa salah satu penyebab utamanya
adalah rendahnya anggaran untuk
program ini yang baik langsung maupun tidak langsung membuat produk
program ini menjadi inferior. Tidak
sedikit penyedia fasilitas kesehatan
termasuk tenaga medis yang menilai
bahwa jasa yang mereka berikan tidak dihargai secara layak. Imbasnya
adalah persepsi masyarakat bahwa
kualitas layanan program Jamkesmas
relatif buruk termasuk didalamnya isu
penolakan pasien Jamkesmas di Rumah Sakit dan prasyarat administrasi
yang ketat.
Selain keluhan tersebut, masih
banyak juga fakir miskin dan orang
tidak mampu yang bahkan belum merasakan manfaat program ini. Hal ini
dapat dilihat dari rendahnya tingkat
utilisasi program. Sebagai gambaran,
utilisasi Jamkesmas untuk Rawat Jalan
Tingkat Lanjut (RJTL) di rumah sakit
pada tahun 2010 adalah 4,61 per 1.000
orang per bulan (data Kementerian
Kesehatan 2011) jauh di bawah tingkat utilisasi peserta PT Askes untuk
jaminan yang sejenis yakni sebesar
52,57 (data PT Askes 2011). Persepsi
masyarakat tentang kualitas layanan
yang relatif buruk termasuk salah satu
penyebab rendahnya utilisasi Jamkesmas. Penyebab lainnya diyakini antara lain adalah sosialisasi yang relatif
rendah, tidak terbaginya semua kartu Jamkesmas yang dicetak, sulitnya
akses dari/ke fasilitas kesehatan yang
ada, dan adanya program jaminan
kesehatan yang diselenggarakan oleh
beberapa Pemerintah Daerah. Untuk
sebab yang terakhir ini, sebagian besar peserta lebih suka menggunakanINFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 5
DESEMBER 2013
nya dikarenakan prosedur yang relatif
lebih mudah dibanding Jamkesmas.
Berbagai permasalahan tersebut,
tentu memerlukan langkah-langkah
kongkrit untuk mengatasinya. Hasrat kuat untuk mereferomasi dan
melakukan perbaikan itulah yang
muncul sebagai motivasi besar dalam
melahirkan program JKN. Walau pun
barang tentu ini memerlukan proses
dan keseriusan yang sangat besar dari
keseluruhan pemangku kepentingan.
Semua pihak harus menjaga semangat ini dengan siasat nafas panjang,
karena permasalahan yang besar dan
kompleks tidak mungkin diselesaikan
dalam satu malam. Rome wasn’t built
in a day. Namun kita harus memulai.
Sebagai pengelola
keuangan negara,
Kemenkeu semakin
dituntut untuk
dapat meningkatkan
kualitas Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Negara
(APBN). Setiap
Rupiah yang
dibelanjakan
Pemerintah harus
sebesar-besarnya
untuk kepentingan
rakyat Indonesia.
Belanja untuk Penerima
Bantuan Iuran (PBI)
dalam APBN
Program JKN diharapkan dapat
meningkatkan kualitas layanan kesehatan rakyat Indonesia khususnya
untuk fakir miskin dan tidak mampu.
Para pemangku kepentingan, terma-
suk Pemerintah, memiliki keinginan
dan tekad yang kuat untuk meningkatkan kualitas layanan untuk kelompok ini. Sebagai salah satu pemangku
kepentingan, Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) terlibat aktif dalam setiap pembahasan untuk mewujudkan
cita-cita luhur tersebut. Sebagai bukti
dukungan tersebut, sejak diundangkannya UU BPJS, Kemenkeu telah
mengalokasikan tambahan dana
yang signifikan guna meningkatkan
infrastruktur fasilitas kesehatan dan
persiapan operasional awal BPJS Kesehatan. Selain itu, Kemenkeu juga
telah memahami dan bersedia bahwa
biaya POPB Jaminan Kesehatan untuk
fakir miskin dan orang tidak mampu
perlu ditingkatkan ke besaran yang
sesuai dengan kualitas layanan yang
diinginkan.
Sebagai pengelola keuangan
negara, Kemenkeu semakin dituntut
untuk dapat meningkatkan kualitas
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Setiap Rupiah yang
dibelanjakan Pemerintah harus sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat Indonesia. Peran Kemenkeu
sangatlah vital dalam hal mencermati
kualitas dan efektivitas belanja Pemerintah. Beberapa jenis belanja disadari
masih sering dipertanyakan ketepatan
pencapaian sasarannya. Sebagai contoh belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Belanja jenis ini, yang tiap
tahunnya mencapai ratusan triliun rupiah, diyakini lebih banyak dinikmati
oleh kalangan menengah atas dibanding fakir miskin dan tidak mampu
atau kalangan menengah bawah yang
sesungguhnya lebih membutuhkan
dana tersebut. Dalam hal ini, fungsi
APBN, khususnya fungsi distribusi
sumber daya untuk memberdayakan
kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah, belum optimal.
Kemenkeu bertekad untuk sedapat mungkin menghindari terjadinya
kembali hal tersebut. Bantuan iuran
U
T
A
M
A
5
1/27/2014 9:01:35 PM
untuk kelompok PBI dalam program
JKN diyakini sebagai belanja tepat
sasaran yang akan dinikmati oleh
mereka yang memang membutuhkan.
Selain itu, Kemenkeu juga memandang belanja iuran untuk kelompok
ini bukan sebagai beban melainkan
sebagai investasi. Banyak kajian ilmiah
menunjukkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat memiliki korelasi yang
positif dengan produktivitas negaranya. Dengan demikian, target Pemerintah untuk terus meningkatkan selama mungkin pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan
lebih mudah dicapai.
Catatan Akhir
U
T
A
M
A
Sehubungan dengan pelaksanaan program JKN, Pemerintah memiliki
kewajiban bukan hanya untuk membayar iuran PBI tapi juga sebagian
iuran para aparatur negara baik yang aktif maupun pensiun. Selain itu,
untuk menunjang keberhasilan program ini, Pemerintah juga diminta
untuk memberikan anggaran tambahan khusus untuk menambah fasilitas kesehatan yang dibutuhkan. Sebagaimana yang sudah dibahas
sebelumnya, salah satu penyebab rendahnya utilisasi Jamkesmas adalah
kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan yang
dimaksud dapat berupa bangunan (seperti rumah sakit atau puskesmas),
tenaga medis, alat kesehatan, atau obat-obatan.
Terkait iuran PBI program JKN, dalam Medium Term Budget Framework (MTBF), Pemerintah telah mengalokasikan peningkatan anggaran
yang signifikan dan telah memperhitungkan kualitas serta kesinambungan fiskal. Apabila dalam realisasinya terdapat kekurangan dana, terdapat beberapa alternatif cara untuk mendanainya. Penghematan belanja
Kementerian/Lembaga tentunya akan dilakukan. Selain itu, realokasi
belanja antar sektor, seperti mengurangi besaran subsidi BBM, dapat
juga dilakukan.
Keberhasilan program JKN bukan hanya ditentukan dari bertambahnya anggaran belanja Pemerintah. Tata kelola yang baik dalam sistem
layanan kesehatan juga memegang peranan yang vital. Segala permasalahan dalam pelaksanaan program Jamkesmas dapat dibenahi oleh
Pemerintah melalui tata kelola yang baik. Satu hal penting yang wajib
dilakukan Pemerintah adalah perbaikan sistim pendataan penduduk
khususnya penduduk miskin. Pemerintah harus bekerja keras bersama
dengan BPJS Kesehatan guna memastikan mereka yang miskin dan tidak
mampu dapat mendapatkan layanan kesehatan program JKN.
Hal penting lainnya adalah integrasi jaminan kesehatan daerah dengan program JKN. Di era otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda)
memang memiliki kewenangan dalam melaksanakan berbagai kebijakan
di daerah termasuk penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Meski demikian, sangat diharapkan agar Pemda bijak
dalam menggunakan APBD-nya. Dana yang ada sebaiknya tidak diberikan
untuk sesuatu hal yang sesungguhnya sudah diberikan oleh Pemerintah
Pusat. Akan lebih baik dan lebih bermanfaat apabila dana lebih tersebut
digunakan untuk menunjang program JKN seperti tambahan fasilitas
kesehatan atau membantu iuran program JKN bagi mereka yang membutuhkan tetapi belum/tidak ada dalam daftar PBI. n
6
ISI_DES-2013_5a.indd 6
Pada satu sisi, Kemenkeu menyadari diperlukannya anggaran yang relatif besar untuk menghasilkan kualitas
layanan kesehatan yang baik bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu. Pada
sisi lain, Kemenkeu juga dituntut untuk
dapat cermat dan bijak mengalokasikan keterbatasan anggaran yang ada
untuk kepentingan belanja lain yang
tidak kalah pentingnya. Beberapa
jenis belanja yang bersifat mandatory
membuat ruang fiskal (fiscal space) semakin sempit. Salah satu jenis belanja
tersebut adalah belanja sektor pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi
sebesar 20% dari APBN. Selain itu
ada juga belanja transfer ke daerah
dengan jumlah minimal sebesar 26%
dari Penerimaan Dalam Negeri. Belanja
lain yang juga tidak kalah pentingnya
adalah pembangunan infrastruktur.
Dalam Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI), Pemerintah telah
mencanangkan proyek-proyek infrastruktur yang bersifat prioritas untuk
periode tahun 2010-2014 dengan perkiraan kebutuhan pendanaan sekitar
Rp2.000 triliun atau sekitar Rp400 triliun per tahun. Jumlah ini masih lebih
besar dari kemampuan belanja modal
APBN tahun 2012 yang hanya sebesar
Rp169 triliun.
Salah satu hal lain yang menuntut untuk cermat dan bijak dalam
menentukan besar anggaran PBI
adalah fakta bahwa program JKN tidak diselenggarakan dengan skema
belanja bantuan sosial melainkan dengan skema asuransi sosial. Dari aspek
keuangan, perbedaan yang paling
mendasar dari kedua skema tersebut
adalah bahwa dalam skema asuransi
sosial, pengelolaan dan pengendalian
keuangan sepenuhnya ditangani oleh
badan penyelenggara, dalam hal ini
BPJS Kesehatan. Konsekuensinya adalah segala kelebihan dana iuran PBI,
apabila ada, tidak dapat digunakan
oleh Pemerintah. n
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:35 PM
Transformasi
PT Askes (Persero)
menjadi BPJS Kesehatan
Oleh: Roki Gangsar Winoto
Staf pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected]
P
erubahan PT Askes (Persero)
menjadi BPJS Kesehatan
pada 1 Januari 2014 merupakan suatu gerakan transformasi besar dalam sejarah Jaminan
Sosial Nasional di Indonesia. PT Askes
(Persero) yang selama ini hanya melayani program jaminan kesehatan
bagi PNS, pensiunan, veteran, dan
badan usaha lainnya, nantinya akan
menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh
penduduk Indonesia tanpa terkecuali.
Perubahan besar ini tidak hanya dari
kelembagaan, namun juga terkait
dengan kepesertaan, pengelolaan
dana, paket manfaat dan besaran
iuran, serta organ dan wewenangnya. Dalam artikel ini, penulis ingin
membagikan informasi dimulai dari
sejarah berdirinya PT Askes (Persero),
transformasi yang diatur dalam UU
SJSN dan UU BPJS, serta informasiinformasi pada saat penyusunan UU
BPJS maupun penyusunan peraturan
pelaksanaannya.
Sejarah1
Awal berdirinya PT Askes (Persero)
didorong oleh kebijakan Pemerintah
melalui Keputusan Presiden Nomor
230 Tahun 1968 yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai
Negeri dan Penerima Pensiun (PNS
dan ABRI) beserta anggota keluarganya. Atas dasar tersebut, Menteri KeINFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 7
DESEMBER 2013
sehatan membentuk badan khusus di
lingkungan Departemen Kesehatan RI
yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang
dinyatakan sebagai embrio Asuransi
Kesehatan Nasional. Dalam perjalanannya, PT Askes (Persero) mengalami
beberapa perubahan seiring dengan
kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah pada saat itu.
Pada tahun 1984, untuk lebih
meningkatkan program jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara
Awal berdirinya
PT Askes (Persero)
didorong oleh
kebijakan
Pemerintah melalui
Keputusan Presiden
Nomor 230 Tahun
1968 yang mengatur
pemeliharaan
kesehatan bagi
Pegawai Negeri
dan Pensiunan (PNS
dan ABRI) beserta
keluarganya.
profesional, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22
Tahun 1984 tentang Pemeliharaan
Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil,
Penerima Pensiun (PNS, ABRI, dan
Pejabat Negara) beserta anggota
keluarganya. Setelah itu, status badan penyelenggara diubah menjadi
Perusahaan Umum Husada Bhakti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 1984.
Pada tahun 1991, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
69 Tahun 1991, kepesertaan program
jaminan pemeliharaan kesehatan
yang dikelola oleh Perum Husada
Bhakti ditambah dengan Veteran dan
Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Di samping itu, perusahaan diijinkan untuk memperluas
jangkauan kepesertaannya ke badan
usaha dan badan lainnya sebagai peserta sukarela.
Pada tahun 1992, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 1992, status Perum diubah
menjadi Perusahaan Perseroan dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan dan untuk kepentingan pelayanan kepada peserta
dan manajemen agar lebih mandiri.
PT Askes (Persero) merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang
ditugaskan khusus oleh pemerintah
untuk menyelenggarakan jaminan
pemeliharaan kesehatan bagi Pega-
U
T
A
M
A
7
1/27/2014 9:01:36 PM
wai Negeri Sipil, Penerima Pensiun
PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis
Kemerdekaan beserta keluarganya,
dan Badan Usaha lainnya.
Pembentukan BPJS sesuai
UU SJSN dan UU BPJS
U
T
A
M
A
Tonggak lahirnya semangat
jaminan sosial nasional terjadi pada
tahun 2004, di mana Pemerintah
dengan DPR RI bersepakat untuk
mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Semangat dan tujuan dari SJSN adalah
bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak,
meningkatkan martabatnya menuju
terwujudnya masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, dan makmur.
Sedangkan tujuan dari SJSN adalah
untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Untuk menyelenggarakan semangat dan tujuan yang mulia ini, UU
SJSN mengamanatkan pembentukan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.2 Pada tanggal 28 November 2011,
Pemerintah dan DPR RI mengesahkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan terbentuknya
BPJS ini, akan dilakukan transformasi
terhadap keempat BUMN yang selama ini menyelenggarakan programprogram jaminan sosial, yaitu PT Askes
(Persero), PT Jamsostek (Persero), PT
Asabri (Persero), dan PT Taspen (Persero). PT Askes (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan dan PT Jamsostek (Persero)
menjadi BPJS Ketenagakerjaan.3
Sementara itu, untuk PT Taspen
dan PT Asabri, akan tetap menyelenggarakan program-program khusus
bagi PNS dan TNI/Polri dan pengalihan program Jaminan Pensiun dan Hari
Gambar 1. Usulan Pemerintah Transformasi
PT Askes dan PT Jamsostek
8
ISI_DES-2013_5a.indd 8
Tua untuk PNS dan TNI/Polri dilakukan
paling lambat tahun 2029. BPJS Kesehatan akan mulai beroperasi pada 1
Januari 2014 dengan menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan
Nasional bagi seluruh penduduk, sedangkan untuk BPJS Ketenagakerjaan,
perubahan terkait program, operasional, sistem dan tata laksana organisasi
akan dilakukan mulai tanggal 1 Juli
2015.
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan badan hukum
publik yang bekerja berdasarkan asas
kemanusiaan, manfaat, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip-prinsip yang diterapkan oleh
kedua BPJS adalah prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas,
kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan seluruhnya
untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-sebesarnya kepenting-
Gambar 2. Usulan DPR Transformasi
PT Askes dan PT Jamsostek
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:36 PM
an peserta.
Pada pembahasan RUU BPJS, Pemerintah saat itu memiliki dua alternatif terkait embentukan BPJS, yaitu
(1) alternatif pertama, membentuk dua
badan penyelenggara yang benar-benar baru, dan (2) alternatif kedua, PT
Askes menjadi BPJS 1, sedangkan PT
Jamsostek menjadi BPJS 2. Pemerintah
mengusulkan BPJS 1 (belum diputuskan
nama BPJS) akan menjalankan program
jaminan kesehatan (JK), program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan program
jaminan kematian (JKem), sedangkan
PT Jamsostek menjalankan program
jaminan pensiun (JP) dan program jaminan hari tua JHT. Pemerintah mempertimbangkan kemudahan dalam
pengelolaan program disesuaikan dengan karakteristik dari masing-masing
program, di mana JK, JKK, dan JKem
merupakan program jangka pendek,
sedangkan JP dan JHT merupakan
program jangka panjang.4
Dapat dilihat pada Gambar 1
dan 2, Pemerintah dan DPR memiliki
usulan berbeda, di mana Pemerintah
mengusulkan transformasi PT Askes
(Persero) dimulai secara bertahap, dan
DPR mengusulkan serentak pada awal
tahun 2014. Pemerintah berpandangan bahwa pembentukan BPJS harus
dilakukan secara hati-hati dan cermat.
Hal ini dikarenakan, SJSN merupakan
komitmen jangka panjang yang memerlukan desain dengan pentahapan
yang jelas agar program jaminan
sosial tersebut dapat berjalan secara
berkelanjutan (sustainable). Selain itu,
untuk mewujudkan SJSN yang ideal
yang mendukung perkembangan
produktivitas perekonomian secara
nasional dan tentunya dengan tetap
memperhatikan kapasitas fiskal. Pada
tahapan transformasi, Pemerintah
mengusulkan PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan pada
tahun 2014 dengan pertama kali
melayani peserta selain TNI/Polri dan
peserta program jaminan pemeliharaINFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 9
DESEMBER 2013
an kesehatan (JPK) Jamsostek. Secara
bertahap, pada tahun 2017, pengalihan peserta JPK Jamsostek, dan tahun
2020, keseluruhan program termasuk
pengalihan program JKK dan JKem
Jamsostek ke BPJS 1. Dalam perkembangan pembahasan dengan DPR,
disepakati menggunakan usulan dari
DPR, dengan pertimbangan kemudahan dalam proses transformasi. Kesepakatan ini memang dapat dipahami,
mengingat PT Askes dan PT Jamsostek
bukan pemain baru dalam penyelenggaraan program jaminan sosial.
Transformasi Lembaga
Perubahan lembaga PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan dimulai
dari bentuk badan hukum, yang saat
ini berbadan hukum persero BUMN
menjadi badan hukum publik. Konsekuensi mendasar atas berubahnya
status ini adalah perubahan dari pola
pikir korporasi yang “mencari untung
(profit oriented)” menjadi nirlaba. Hal
ini sejalan dengan prinsip-prinsip SJSN
yang antara lain prinsip nirlaba dan
hasil pengembangan Dana Jaminan
Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan
sebesar-besarnya untuk kepentingan
peserta. Selain itu, perubahan PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan,
dalam UU BPJS dikenal dengan istilah
bubar tanpa likuidasi dan dimaknai
semua aset dan liabilitas serta hak dan
kewajiban hukum PT Askes (Persero)
menjadi aset dan liabilitas serta hak
dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan
dan semua pegawai PT Askes (Persero)
menjadi pegawai BPJS Kesehatan.5
Transformasi Program
dan Kepesertaan
Pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan akan menyelenggarakan programprogram Jaminan Kesehatan yang
antara lain:
• program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan oleh Kementerian
Kesehatan,
• program pelayanan kesehatan
untuk anggota TNI dan Polri yang
diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan, Kepolisian RI, dan
TNI,
• program jaminan pemeliharaan
kesehatan untuk pekerja swasta
yang diselenggarakan oleh PT
Jamsostek (Persero).6
Untuk program Jamkesda yang
saat ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda), dengan beroperasionalnya BPJS Kesehatan, pemda
masih diperbolehkan mengalokasikan
Jamkesda untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi warganya yang ti-
U
T
A
M
A
Gambar 3. Roadmap Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional
9
1/27/2014 9:01:36 PM
dak tercakup dalam peserta Penerima
Bantuan Iuran (PBI) dan mengikutkannya pada BPJS Kesehatan. Selain itu,
pemda dengan kapasitas fiskal yang
berlebih, diperkenankan mengikutsertakan warganya namun bersifat
manfaat tambahan (top up).
PT Askes (Persero) yang selama ini
menyelenggarakan program jaminan
pemeliharaan kesehatan untuk PNS,
Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI,
Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya, dan Badan Usaha
lainnya, nantinya dengan menjadi
BPJS Kesehatan akan menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh
penduduk Indonesia termasuk WNA
yang tinggal minimal selama 6 (enam)
bulan di Indonesia. Kementerian Ke-
U
T
A
M
A
sehatan melalui roadmap kepesertaan BPJS Kesehatan, mencanangkan
secara bertahap paling lambat pada
tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia akan menjadi peserta BPJS Kesehatan tanpa terkecuali atau dalam
istilah asuransi kesehatan dikenal dengan universal coverage (dapat dilihat
pada Gambar 3). Dengan target UC,
tantangan besar bagi BPJS Kesehatan
adalah menjangkau peserta yang selama ini belum mengenal asuransi kesehatan terutama sektor informal atau
pekerja mandiri. Dengan kepesertaan
wajib, BPJS Kesehatan diharuskan memiliki mekanisme dan jaringan yang
memadai untuk mengumpulkan iuran
yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Untuk memudahkan pendataan
dan pengelolaan kepesertaan, BPJS
akan menerapkan single ID, yang memungkinkan peserta cukup memiliki
satu ID untuk semua program jaminan
sosial.
Transformasi Paket Manfaat dan Besaran Iuran
Manfaat yang akan diberikan
oleh BPJS Kesehatan bersifat pelayanan kesehatan perorangan, yang mencakup pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitative, termasuk
pelayanan obat dan kebutuhan bahan medis habis pakai sesuai dengan
kebutuhan medis yang diperlukan.
Cakupan manfaat ini lebih generous
dibandingkan saat ini yang diberikan
baik oleh PT Askes maupun PT Jamsos-
Tabel 1. Matriks Perbandingan Paket Manfaat dan Iuran JKN antara Program Existing dengan SJSN
No.
Program Existing
Konsideran
1. Sistem
Diselenggarakan oleh beberapa
badan penyelenggara
Diselenggarakan oleh dua Badan Penyelenggara (BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan)
2. Kepesertaan
Belum mencakup seluruh
penduduk dan
pekerja
Mencakup seluruh penduduk dan pekerja formal
3. Manfaat
-
-
-
4. luran
10
ISI_DES-2013_5a.indd 10
Program SJSN
Bervariasi sesuai dengan
sektor kepesertaan dan badan
penyelenggara
Untuk manfaat program
jaminan kesehatan, diberikan
manfaat medis, dan manfaat
nonmedis. Kedua manfaat
sangat bervariasi.
Jaminan Kesehatan
- Dibayarkan oleh peserta dan
pemberi kerja untuk PNS,
Pensiunan PNS, dan veteran
(masing-masing 2% dan gaji
pokok + tunjangan keluarga)
- Dibayarkan oleh pemberi kerja
untuk pekerja formal swasta
peserta JPK Jamsostek (6%
untuk yang sudah berkeluarga
atau 3% untuk lajang)
-
-
Diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak bagi seluruh penduduk
Manfaat medis
Diberikan secara komprehensif mencakup
pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis
pakai yang diperlukan
Manfaat non medis
Terdapat 3 kelas perawatan (kelas I, II, dan Ill)
Jaminan Kesehatan
- Pekerja formal dibayarkan oleh pemberi kerja
dan peserta berdasarkan persentase tertentu,
sedangkan pekerja sektor informal berdasarkan
nominal
- Usulan sementara:
• Untuk peserta PNS, TNI/ Polri, pejabat negara,
dan pegawai pemerintah nonpegawai negeri
sebesar 3% ditanggung pemberi kerja dan 2%
oleh pekerja
• Untuk peserta pekerja formal swasta sebesar 4
% ditanggung pemberi kerja dan 0,5 % pekerja
(sampai dengan 30 Juni 2015, setelahnya berlaku
seperti PNS dan lainnya)
• Pekerja sektor informal
- Rp25.500 dengan manfaat pelayanan kelas
III
- Rp42.500 dengan manfaat pelayanan kelas II
- Rp59.500 dengan manfaat pelayanan kelas I
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:36 PM
tek untuk program JPK-nya. Manfaat
JKN yang diatur pada Perpres Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan terdiri dari manfaat medis dan
manfaat nonmedis. Manfaat nonmedis meliputi manfaat akomodasi dan
ambulans. Manfaat akomodasi disini
adalah terkait kelas perawatan, yang
terikat pada besaran iuran yang dibayarkan. Untuk manfaat medis, tidak
ada perbedaan untuk semua peserta
dan tidak terikat dengan besaran iuran. Matriks perbandingan program
existing dan program SJSN dapat
dilihat pada Tabel1.
Rincian manfaat medis yang telah
dituangkan dalam Perpres 12/2013 tentang Jamkes, sebagai berikut:
1. Pelayanan kesehatan tingkat
pertama meliputi administrasi pelayanan; promotif dan preventif;
pemeriksaan, pengobatan, dan
konsultasi medis; tindakan medis nonspesialistik, baik operatif
maupun nonoperatif; pelayanan
bahan medis dan obat habis
pakai; transfuse darah sesuai
kebutuhan medis; pemeriksaan
penunjang diagnostik lab tingkat
pratama; dan rawat inap tingkat
pertama sesuai dengan indikasi.
2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan meliputi administrasi
pelayanan; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis; tindakan
medis spesialistik; pelayanan obat
dan bahan medis habis pakai; pelayanan alat kesehatan implant;
pelayanan penunjang diagnostik
lanjutan; rehabilitasi medis, pelayanan darah; pelayanan dokter
forensik; dan pelayanan jenazah
di fasilitas kesehatan.
3. Rawat inap yang meliputi perawatan inap nonintensif dan perawatan inap di ruang intensif.
Manfaat pelayanan di atas yang
diberikan merupakan manfaat
dasar.
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 11
DESEMBER 2013
Selain itu, apabila di suatu daerah
tidak tersedia fasilitas kesehatan yang
memenuhi syarat, BPJS Kesehatan
wajib memberikan kompensasi yang
berupa penggantian uang tunai;
pengiriman tenaga kesehatan; dan
penyediaan fasilitas kesehatan tertentu.
Tentunya tidak semua pelayanan medis ditanggung oleh BPJS, ada
manfaat yang tidak dijamin oleh
BPJS Kesehatan. Manfaat itu meliputi
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai prosedur sesuai peraturan yang
berlaku; pelayanan kesehatan yang
dilakukan oleh fasilitas kesehatan
yang tidak bekerjasama dengan BPJS
Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat
dua tarif yang saat ini dikenal dalam
dunia kesehatan, yaitu tarif fee for
service dan tarif INA-CBG. Tarif fee for
service dikenakan untuk setiap jenis
pelayanan, sedangkan tarif INA-CBG
adalah satuan biaya yang diterapkan
untuk suatu tindakan medis. Sebagai
ilustrasi tarif INA-CBG, untuk suatu jenis penyakit tertentu, dengan tindakan medis semisal berupa pelayanan
rawat inap, obat dan alat kesehatan,
kesemuanya dikenakan satu tarif.
Penerapan tarif ini dapat berfungsi
untuk meminimalisir perilaku-perilaku
dokter dan fasilitas kesehatan yang
berlebihan dalam memberikan tindakan medis pada pasiennya seperti
yang terjadi sekarang ini.
Besaran Iuran
Tentunya
tidak semua
pelayanan medis
ditanggung
oleh BPJS, ada
manfaat yang
tidak dijamin
oleh BPJS
Kesehatan.
darurat; pelayanan kesehatan yang
dijamin oleh Jaminan Kecelakaan
Kerja; pelayanan kesehatan di luar
negeri; pelayanan untuk mengatasi
infertilitas; dan pelayanan-pelayanan
kesehatan untuk tujuan estetik, kosmetik, dan pengobatan alternatif.7
Manfaat medis seperti uraian di
atas, untuk obat yang dijamin, BPJS
Kesehatan menerapkan Daftar Plafon
Harga Obat (DPHO) yang dirumuskan oleh ahli-ahli farmaekolog dan
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Selain itu, nantinya BPJS Kesehatan
akan menerapkan standar biaya medis
yang disebut tarif INA-CBG. Terdapat
Saat ini, untuk jaminan kesehatan, PT Askes (Persero) menerapkan
iuran sebesar 4% ditanggung antara
peserta dan pemberi kerja, sedangkan
PT Jamsostek menerapkan 3% untuk
peserta yang masih lajang dan 6%
untuk peserta yang sudah berkeluarga dan iurannya ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja. Nantinya
BPJS Kesehatan menerapkan share
persentase iuran antara peserta dan
pemberi kerja (besaran iuran terikat
dengan manfaat nonmedis yang dijanjikan). Sampai dengan tulisan ini
terbit, besaran iuran yang tercantum
pada Rancangan Perpres Perubahan
Perpres Nomor 12 Tahun 2013 adalah
sebesar 5% untuk peserta PNS, TNI/
Polri, pensiunan, dan veteran, dan
sebesar 4,5 % untuk pekerja formal
swasta, di mana 4 % ditanggung
pemberi kerja dan 0,5% ditanggung
peserta (hanya sampai 30 Juni 2015,
setelahnya mengikuti aturan 5%).
Dengan besaran iuran tersebut,
BPJS akan menanggung 5 anggota
keluarga termasuk peserta sendiri
yang meliputi istri atau suami yang
sah dari peserta, anak kandung,
anak tiri, dan/atau anak angkat yang
U
T
A
M
A
11
1/27/2014 9:01:36 PM
Gambar 4. Pengelolaan Aset BPJS dan Aset Dana Jaminan Sosial menurut UU BPJS
U
T
A
M
A
sah dari peserta. Peserta BPJS dapat
menambahkan anggota keluarganya
selain yang sudah dijamin dengan
menambah iuran sebesar 1%.8
Pengelolaan Dana
Dari sisi pengelolaan dana, PT
Askes (Persero) dapat dikatakan tidak
akan menghadapi kendala yang cukup
besar, jika dilihat dari kesamaan program yang diselenggarakan. Namun,
ada hal mendasar yang membedakan,
yaitu pada UU BPJS dikenalkan adanya istilah Dana Jaminan Sosial. BPJS
Kesehatan nantinya akan mengelola
dua dana, yaitu dana BPJS sebagai
dana korporasi dan Dana Jaminan Sosial yang merupakan dana kumpulan
iuran dan hasil pengembangannya
(lihat pada Gambar 4). Dua dana tersebut tidak boleh ada subsidi silang
dan pengelolaannya dilakukan secara
terpisah. Terkait kebijakan investasi,
nantinya BPJS dalam mengelola Dana
Jaminan Sosial (DJS) harus dilakukan
12
ISI_DES-2013_5a.indd 12
secara secara cermat, teliti, aman,
dan tertib serta disesuiaikan dengan
liabilitas dari programnya.
Perbedaan lainnya adalah bahwa
BPJS nantinya hanya sebagai operator
yang menyelenggarakan program jaminan sosial, sedangkan sebagai risk
taker atau the last resource adalah
Pemerintah. Dengan konsep ini, UU
SJSN mengatur bahwa Pemerintah
dapat melakukan tindakan-tindakan
khusus guna menjamin terpeliharanya
tingkat kesehatan keuangan BPJS.
Hal itu dipertegas lagi pada UU BPJS,
mengatur bahwa apabila terjadi krisis
keuangan dan kondisi tertentu yang
memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan
khusus untuk menjaga kesehatan
keuangan dan kesinambungan program jaminan sosial. Kondisi tertentu
adalah berupa tingkat inflasi yang
tinggi, keadaan pascabencana, dan
lainnya. Sedangkan tindakan khusus, apabila terjadi kondisi tertentu
tersebut, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian manfaat dan iuran
sebagai upaya terakhir. Dalam Rancangan PP tentang pengelolaan aset
dan liabilitas BPJS dan DJS Kesehatan,
selain upaya penyesuaian iuran dan
manfaat, ditambahkan satu opsi lagi
yaitu penyesuaian dana operasional
yang dibayarkan oleh DJS ke BPJS.
Ketentuan ini tidak dapat diartikan,
bahwa apabila setiap terjadi kondisi
di mana BPJS mengalami gangguan
kesehatan keuangannya, Pemerintah
akan menjadi penanggung jawab.
Pemerintah akan melihat penyebab
setiap kasus, dan hanya bertindak
apabila memenuhi kriteria kondisi
tertentu tersebut.9
Organ BPJS dan Wewenangnya
Nantinya, organ BPJS terdiri dari
(i) Dewan Pengawas, yang berfungsi
melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS, dan (ii) Direksi, yang
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:36 PM
berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS.
Untuk proses seleksi calon Dewan
Pengawas yang berasal dari unsur
Pemerintah akan dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan proses seleksi
yang berasal dari unsur masyarakat
akan dilakukan Dewan Perwakilan
Rakyat. Dalam UU BPJS, diatur, untuk
pertama kali dan paling lama 2 (dua)
tahun sejak BPJS beroperasional pada
1 Januari 2014, Direksi PT Askes (Persero) dan Direksi PT Jamsostek (Persero)
akan menjadi Direksi BPJS Kesehatan
dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan.10
Dengan tugas yang diemban semakin besar, BPJS berwenang untuk
menagih pembayaran Iuran; menempatkan DJS untuk investasi jangka
pendek dan jangka panjang dengan
mempertimbangkan aspek likuiditas,
solvabilitas, kehati-hatian, keamanan
dana, dan hasil yang memadai; melakukan pengawasan dan pemeriksaan
atas kepatuhan peserta dan pemberi
kerja dalam memenuhi kewajibannya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan jaminan sosial
nasional; membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai
besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif
yang ditetapkan oleh Pemerintah;
membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
mengenakan sanksi administratif
kepada peserta atau pemberi kerja
yang tidak memenuhi kewajibannya;
melaporkan pemberi kerja kepada
instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar
Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
melakukan kerja sama dengan pihak
lain dalam rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial.11 Dengan kewenangan seperti ini, BPJS dapat mengenakan sanksi pada pemberi kerja
atau peserta dengan berkoordinasi
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 13
DESEMBER 2013
dengan instansi terkait apabila tidak
memenuhi kewajibannya. Hal ini yang
belum melekat pada wewenang PT
Askes (Persero) saat ini.
Persiapan lainnya yang tidak
kalah penting adalah terkait penyusunan laporan penutupan PT Askes
(Persero) dan pembukaan laporan
BPJS Kesehatan dan DJS Kesehatan.
Pada tanggal 31 Desember tahun
2013, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkan laporan posisi keuangan
penutup PT Askes (Persero) setelah
dilakukan audit oleh kantor akuntan
publik dan pada 1 Januari 2014, Menteri Keuangan mengesahkan laporan
posisi keuangan pembuka BPJS Kesehatan dan laporan posisi keuangan
pembuka dana jaminan kesehatan.
Untuk menjaga kepercayaan publik
dan menjaga akuntabilitas serta transparansi, laporan keuangan BPJS Kesehatan nantinya harus dipublikasikan.12
Untuk menjaga itu, pengawasan BPJS
akan dilakukan oleh auditor eksternal, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan
untuk monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program dilakukan oleh
Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Kesimpulan
Dari semua tahapan transformasi
yang telah diuraikan di atas, kesuksesan program Jaminan Sosial Nasional
tentunya tidak hanya bertumpu pada
Pemerintah atau BPJS sendiri, namun
peran aktif masyarakat untuk menyempurnakan program ini tentunya
juga faktor yang sangat penting. Oleh
karena itu, mari kita bersama-sama
dengan niatan yang mulia dan ketulusan hati menjadi saksi dan pelaku
dari lahirnya transformasi program jaminan sosial nasional termasuk badan
penyelenggaranya. n
U
T
A
M
A
Catatan
1
http://www.bumn.go.id/askes/en/tentang-kami/tentang-perusahaan/
diakses 1 Desember 2012.
2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, Bab III, Pasal 5.
3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab II, Pasal 6 dan Bab VII, Pasal 57.
4 Tim Penyusun RUU BPJS, Presentasi Simulasi Transformasi BPJS. Presentasi pada pembahasan internal Pemerintah, 7 Oktober 2011.
5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59.
6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59.
7 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan,
Bab V.
8 Draft terakhir Rancangan Peraturan Presiden perubahan Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.
9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab XVI, Pasal 56.
10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59.
11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab XVI.
12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59.
13
1/27/2014 9:01:36 PM
BPJS Kesehatan, Supply, dan
Demand Terhadap Layanan
Kesehatan
Oleh: Novijan Janis
Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial. Email: [email protected]
Pendahuluan
U
T
A
M
A
Pemerintah telah mencanangkan
Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara maju pada tahun 2025. Namun
Pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas sumber daya
manusia (SDM) masih menjadi suatu
tantangan dalam mewujudkan visi dimaksud. Para pakar dibidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara
dominan ditentukan oleh kemudahan
akses pada pendidikan dan fasilitas
kesehatan yang berkualitas. Bahkan
UNDP (United Nations Development
Programme) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia yang
dua dari tiga indikatornya (peluang
hidup, pengetahuan dan hidup layak)
terkait dengan kesehatan. Dengan
mempertimbangkan tingkat urgensi
dari kesehatan, maka Pemerintah baik
di tingkat pusat maupun daerah telah
melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan. Di antaranya adalah
dengan menerbitkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Dengan terbitnya kedua undang-undang dimaksud, Pemerintah
diwajibkan untuk memberikan lima
jaminan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu jaminan kese14
ISI_DES-2013_5a.indd 14
hatan, kecelakaan kerja, kematian,
pensiun, dan tunjangan hari tua. Jaminan dimaksud akan dibiayai oleh
perseorangan, pemberi kerja, dan/
atau Pemerintah. Dengan demikian,
Pemerintah akan mulai menerapkan
kebijakan Universal Health Coverage
dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dimana sebelumnya Pemerintah (Pusat)
hanya memberikan pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan
ABRI-Polisi. Kebijakan ini umumnya
diterapkan di negara-negara yang
menganut paham welfare state yaitu
negara di Eropa Barat dan negara ja-
jahan mereka serta beberapa negara
Amerika Latin.
Perubahan kebijakan dalam
layanan kesehatan dimaksud tidak
terlepas dari himbauan World Health
Assembly (WHA), pada sidang ke-58
pada tahun 2005 di Jenewa, agar
setiap negara anggota memberikan
akses terhadap pelayanan kesehatan
kepada seluruh masyarakat khususnya
bagi yang kurang mampu. Ada pun
mekanisme yang digunakan adalah
mekanisme asuransi kesehatan sosial.
Hal ini pun sudah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang menyatakan
Sumber: desadoyong.blogspot.com
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:37 PM
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
Dalam implementasi SJSN, Pemerintah akan membentuk dua Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan akan
menyelenggarakan program jaminan
kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
akan menyelenggarakan program
jaminan atas kecelakaan kerja, kematian, pensiun dan hari tua. Secara
eksplisit, UU SJSN menyatakan bahwa
4 (empat) BUMN di bidang asuransi
yaitu PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT Asabri (Persero), dan
PT Askes (Persero) akan ditransformasi
menjadi BPJS. Berkaitan dengan institusi BPJS Kesehatan, UU BPJS secara
jelas menyatakan bahwa PT Askes
(Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan.
Selanjutnya semua program
jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik
Indonesia, PT Jamsostek (Persero), dan
PT Askes (Persero) akan diambil alih
oleh BPJS Kesehatan. Pada Buku Peta
Jalan Menuju Jaminan Kesehatan
Nasional 2012-2019 dinyatakan bahwa
pada tahun 2014, Pemerintah menargetkan sebanyak 121,6 juta penduduk
akan diberikan jaminan kesehatan
oleh BPJS Kesehatan. Jumlah dimaksud diasumsikan berasal dari program
Jamkesmas (96,4 juta jiwa), peserta
yang dikelola oleh PT Askes (Persero)
(17,2 juta jiwa), peserta Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) Jamsostek
Keberhasilan dari
upaya Pemerintah
dalam menerapkan
konsep SJSN
khususnya
pada jaminan
kesehatan nasional
diantaranya
bergantung pada
kondisi supply
dan demand
dari pelayanan
kesehatan.
(5,5 juta jiwa), dan dari peserta Program Jaminan Kesehatan Masyarakat
Umum (PJKMU) dari pemerintah daerah (2,5 juta jiwa). Selanjutnya pada
tahun 2019, Pemerintah menargetkan
seluruh masyarakat yaitu sebanyak
257,5 juta jiwa akan dijamin oleh BPJS
Kesehatan.
BPJS dan Demand
Terhadap Layanan
Kesehatan
Keberhasilan dari upaya Pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN
khususnya pada jaminan kesehatan
nasional diantaranya bergantung
pada kondisi supply dan demand dari
pelayanan kesehatan. Dalam ekonomi
kesehatan, secara umum demand terhadap pelayanan kesehatan diartikan
sebagai barang atau jasa yang benarbenar dibeli (realisasi penggunaan)
oleh pasien. Istilah demand dibedak-
an dengan istilah need dan want.
Need adalah barang atau jasa yang
dipandang terbaik oleh pemberi jasa
layanan kesehatan (dhi. dokter) untuk
digunakan dalam rangka memperbaiki kesehatan pasien, sedangkan want
adalah barang atau jasa yang diinginkan (diminta) oleh pasien, misalnya
obat yang murah, obat yang bekerja
cepat, dsb. Pembedaan dimaksud
dianggap penting khususnya dalam
ilmu ekonomi kesehatan dan kesehatan masyarakat dengan tujuan untuk
memperkecil gap (perbedaan) antara
need dan want. Dengan peraturan
perundang-undangan, Pemerintah
dapat memengaruhi keputusan dokter agar mengakomodasi keinginan
pasien. Selanjutnya dengan pendidikan kesehatan, Pemerintah dapat
memengaruhi pasien untuk mempertimbangkan keputusan dokter.
Secara umum, demand diukur
dengan tingkat keterpakaian tempat tidur (bed occupancy), jumlah
kunjungan, jumlah tes diagnostik,
dan sebagainya. Demand terhadap
pelayanan kesehatan secara dominan
sangat dipengaruhi beberapa faktor
yaitu tarif (harga), penghasilan pasien, preferensi pasien, dan barang
alternatif (ketersediaan dan harga).
Hubungan faktor-faktor dimaksud dengan permintaan terhadap pelayanan
kesehatan sangat variatif. Harga pelayanan kesehatan mempunyai hubungan negatif dengan demand terhadap
pelayanan kesehatan, semakin tinggi
harga maka demand terhadap pelayanan kesehatan semakin menurun.
Hubungan serupa juga terjadi antara
ketersediaan barang alternatif dan
demand terhadap pelayanan kese-
U
T
A
M
A
Tabel 1. Demand Terhadap Jasa Layanan Kesehatan (dalam %)
No.
Persentase penduduk
2008
2009
2010
2011
2012
1.
Mengobati sendiri
65,59
68,41
68,71
66,82
67,71
2.
Menggunakan jasa layanan kesehatan
34,41
31,59
31,29
33,18
32,29
Sumber: BPS, diolah.
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 15
DESEMBER 2013
15
1/27/2014 9:01:37 PM
Tabel 2. Demand Terhadap Jenis Obat (dalam %)
No.
Persentase penduduk
2008
2009
2010
2011
2012
1.
Menggunakan obat medis modern
77,74
75,76
72,42
76,37
75,67
2.
Menggunakan obat tradisional
22,26
24,24
27,58
23,63
24,33
Sumber: BPS, diolah.
U
T
A
M
A
hatan. Sedangkan penghasilan dan
preferensi pasien serta harga barang
alternatif memiliki hubungan yang
positif dengan demand terhadap
pelayanan kesehatan.
Sudibyo Supardi dalam sebuah
karya ilmiah di bidang kesehatan
mengutip pernyataan Nico S. Kalangie yang menjelaskan bahwa demand
terhadap pelayanan kesehatan pada
masyarakat Indonesia dipenuhi melalui tiga cara yaitu pengobatan sendiri
di rumah, pengobatan tradisional,
dan pengobatan dengan tenaga medis profesional. Pengobatan dengan
tenaga medis profesional adalah
pengobatan dengan petunjuk dari
tenaga kesehatan yang dilakukan di
poliklinik, puskesmas dan rumah sakit.
Sedangkan yang diartikan dengan
pengobatan sendiri di rumah adalah
pengobatan tanpa petunjuk tenaga
kesehatan (dokter/perawat/tenaga
ahli kesehatan lainnya). Ada pun
pengobatan tradisional merupakan
bentuk pengobatan yang menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak
termasuk dalam standar pengobatan
medis modern baik yang dilakukan
sendiri atau dengan petunjuk tenaga
kesehatan tradisional.
Demand (realisasi penggunaan)
terhadap pelayanan kesehatan pada
masyarakat Indonesia dengan menggunakan tenaga medis profesional
saat ini masih sangat rendah. Hal ini
tergambar dari Tabel 1 yang menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk
Indonesia cenderung untuk memilih
pengobatan sendiri di rumah baik
menggunakan obat medis atau obat
tradisional. Penggunaan metode
pengobatan ini umumnya dilakukan
16
ISI_DES-2013_5a.indd 16
untuk menanggulangi sakit ringan
dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah sebelumnya mendapat
perawatan dari tenaga kesehatan.
Pada umumnya, motivasi dari pengobatan cara ini adalah lebih praktis
(tidak perlu mengantri di rumah
sakit), biaya lebih murah (harga jasa
layanan kesehatan dari tenaga medis
profesional yang tinggi), jarak yang
jauh ke lokasi tersedianya pelayanan
kesehatan tenaga medis profesional
dan rasa kecewa terhadap pelayanan
kesehatan dimaksud.
Namun demikian, masyarakat
sebenarnya cenderung untuk menggunakan tenaga medis profesional
dalam memenuhi kebutuhan atas
pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat
dari Tabel 2 yang menjelaskan bahwa
masyarakat lebih memilih obat medis
modern daripada obat tradisional.
Selain itu, preferensi masyarakat dimaksud menunjukkan bahwa harga
dari jasa tenaga medis kesehatan profesional masih belum terjangkau oleh
masyarakat. Oleh karena itu, dengan
asumsi ”bila harga pelayanan kesehatan dari tenaga medis profesional dapat terjangkau maka masyarakat akan
memilih menggunakan tenaga medis
dimaksud dalam memenuhi kebutuhan akan pengobatan (layanan kesehatan) daripada pengobatan sendiri”,
Pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan Universal Health
Coverage dengan konsep SJSN. Pada
dasarnya konsep SJSN dan BPJS ini
akan berperan dalam meningkatkan
demand (realisasi penggunaan) terhadap pelayanan kesehatan khususnya
pemakaian tenaga medis profesional.
Dengan demikian, secara umum akan
meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia sehingga dapat
mewujudkan Visi Indonesia 2025.
Dalam rangka meningkatkan
demand terhadap pemakaian tenaga
Grafik 1. Persentase Cakupan Nasional Jaminan Kesehatan Tahun 2011
Sumber: Dr.drg. Yulita Hendartini, M.Kes., AAK (Peneliti Pusat KP-MAK FK UGM).
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:37 PM
medis profesional, maka Pemerintah
akan menanggung iuran asuransi kesehatan bagi masyarakat tidak mampu
dan mewajibkan pemberi kerja untuk
turut menanggung iuran asuransi kesehatan sehingga para pekerja akan
memiliki kemampuan untuk menjangkau harga pelayanan kesehatan
dimaksud. Pada dasarnya, jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu sudah ditanggung oleh Pemerintah
Pusat (dhi. Kementerian Kesehatan)
dengan program Jamkesmas dan oleh
Pemerintah Daerah dengan program
PJKMU. Namun belum semua masyarakat tercakup dalam Jamkesmas
dan belum semua daerah menerapkan program PJKMU. Di samping itu
penggunaan asuransi kesehatan oleh
individu masih banyak yang memakai
produk asuransi dengan cakupan penyakit berat (operasi dan/atau rawat
inap) saja sedangkan untuk penyakit
ringan akan langsung ditanggung individu tanpa melalui produk asuransi.
Demand terhadap layanan kesehatan
akan meningkat karena BPJS akan memasukkan masyarakat kurang mampu
dari daerah yang belum menerapkan
jamkesda dan memberikan jaminan
kesehatan dasar bagi individu yang
hanya memakai produk asuransi dengan cakupan penyakit berat. Sebagai
ilustrasi, pada grafik berikut dijelaskan
persentase jumlah penduduk yang
memiliki jaminan kesehatan dalam
bentuk apapun.
Memperhatikan potensi pertambahan jumlah demand atas layanan
kesehatan, maka dapat diprediksi
bahwa akan terjadi penambahan
beban fiskal bagi Pemerintah khususnya dari penerapan konsep SJSN
ini. Namun demikian, tingkat keberhasilan implementasi SJSN tidak semata-mata apakah beban fiskal akan
bertambah atau berkurang. Dalam
ilmu ekonomi kesehatan dijelaskan
bahwa kesehatan masyarakat akan
berdampak kepada kondisi ekonomi
secara makro. Secara sederhana dapat
dipahami bahwa kesehatan seseorang
yang buruk akan berdampak kepada
menurunnya produktifitas orang
tersebut dan dapat menularkan kesehatan buruknya kepada orang lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
keberhasilan konsep SJSN harus dilihat
dari faktor jumlah fiskal pada layanan
kesehatan dan produktifitas masyarakat. Di sinilah peran BPJS Kesehatan
untuk mengendalikan biaya layanan
kesehatan pada tingkat yang wajar.
BPJS dan Pengendalian
Supply Terhadap
Layanan Kesehatan
Secara umum, supply terhadap
pelayanan kesehatan diartikan
dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang disampaikan kepada
pasien oleh kombinasi antara tenaga
pelayanan kesehatan dan fasilitas
kesehatan (rumah sakit, klinik dan
laboratorium klinis). Faktor yang
mempengaruhi supply terhadap pelayanan kesehatan adalah Man, Money,
Material, Method, Market, Machine,
U
T
A
M
A
Tabel 3. Determinan Supply Terhadap Layanan Kesehatan
1.
Man
Sumber daya manusia yang menyediakan layanan kesehatan baik langsung maupun tidak
langsung.
Contoh: dokter, dokter spesialis, bidan, perawat, farmasis, tenaga administrasi, dan lain
sebagainya.
2.
Money
Biaya yang muncul dalam penyediaan layanan kesehatan.
Contoh: biaya operasional, biaya investasi dan biaya lain-lain.
3.
Material
Material yang berhubungan dengan logistik pelayanan kesehatan.
Misal: obat, alat suntik, bahan dasar obat, dan lain sebagainya.
4.
Method
Manual atau SOP yang ada pada fasilitas layanan kesehatan (rumah sakit, klinik dan
laboratorium klinis).
Misal: Standar Pelayanan Minimal (SPM), prosedur tindakan medis dan lain-lain.
5.
Machine
Peralatan yang digunakan dalam penyediaan layanan kesehatan.
Misal: peralatan laboratorium, peralatan medis (utama dan penunjang) seperti dental chair,
dan lain-lain.
6.
Market
Wilayah kerja pelayanan kesehatan.
7.
Teknologi
Teknologi yang digunakan dalam pemberian layanan kesehatan.
8.
Time
Waktu yang digunakan dalam pemberian layanan kesehatan.
9.
Informasi
Informasi terkait dengan layanan kesehatan dalam bentuk media internet, pamflet dan
leaflet.
Sumber: Makalah Dasar Ilmu Ekonomi Supply tahun 2010, FKM UNAIR.
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 17
DESEMBER 2013
17
1/27/2014 9:01:37 PM
Tabel 4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada PT Askes (Persero)
Jenis Manfaat
bihi standar dimaksud maka pasien
akan menanggung biaya dimaksud.
Dengan pembatasan-pembatasan
dimaksud PT Askes (Persero) telah
mengendalikan pembengkakan biaya
yang berasal dari determinan man.
Selanjutnya PT Askes (Persero)
juga menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan laba sebagaimana
tergambar dalam Tabel 5. Hal ini menjadi pesan bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat umum bahwa BPJS
Kesehatan mempunyai kemampuan
dalam mengelola demand dan supply
layanan kesehatan. Sehingga probabilitas atas keberhasilan dari penerapan
konsep SJSN cukup besar.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)
Puskesmas dan Klinik, Dokter
Keluarga
Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL)
RSUD Kab/Kota, RSUD Pprovinsi,
RS Swasta & RSU vertikal
Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP)
Puskesmas dengan tempat tidur
Rawat Jalan Tingkat Manfaat
Katastrofik
(hemodialisa, operasi
jantung, dsb)
RSUD Kab/Kota, RSUD Provinsi,
RS Swasta & RSU vertikal
Manfaat Khusus
RSUD Kab/Kota, RSUD Provinsi,
RS Swasta & RSU vertikal
Sumber: Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019.
U
T
A
M
A
Technology, Time, dan Information.
Faktor-faktor dimaksud dikenal dengan 6M, 2T, dan 1I. Penjelasan dan
contoh dari faktor dimaksud adalah
sebagaimana dalamTabel 3.
Dari determinan-determinan supply layanan kesehatan dimaksud, man
merupakan determinan yang paling
dominan dalam menentukan kondisi
determinan lainnya. Hal ini dapat dipahami karena determinan lain disediakan dan dikelola oleh determinan
man. Secara umum kondisi atau kualitas dari determinan dimaksud akan
menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Dengan pertimbangan bahwa
tingkat keberhasilan konsep SJSN turut
dipengaruhi oleh kinerja supplier dari
pelayanan kesehatan maka BPJS Kesehatan perlu mengendalikan semua
determinan dari supply layanan kesehatan khususnya determinan man.
Sebagaimana telah diketahui
bahwa BPJS Kesehatan merupakan
transformasi dari PT Askes (Persero).
Secara umum, karakter dasar PT Askes
(Persero) adalah sebuah entitas milik
negara (Badan Usaha Milik Negara)
yang mencari profit di bidang asuransi kesehatan. Selama ini PT Askes
(Persero) sudah menerapkan metode
managed care dalam mengendalikan
biaya dan mutu layanan kesehatan
sehingga dapat mengurangi biaya
pelayanan yang tidak perlu yang
pada akhirnya dapat meningkatkan
kelayakan dan efisiensi pelayanan
kesehatan. Dalam menerapkan pengendalian biaya layanan kesehatan,
PT Askes (Persero) memberikan batasan atas fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana tercantum dalam Tabel
4. Sedangkan untuk mengendalikan
biaya dari obat, PT Askes (Persero)
menggunakan Daftar Plafon Harga
Obat (DPHO) sebagai acuan standar
obat yang dijamin dan bila obat yang
ditetapkan oleh dokter (man) mele-
Kesimpulan
Implementasi dari kebijakan SJSN
dan BPJS akan meningkatkan demand
terhadap pelayanan kesehatan khususnya dari masyarakat yang selama
ini kurang mampu membeli jasa kesehatan sehingga akan berpengaruh
kepada penambahan beban fiskal.
Namun, penambahan beban fiskal
akan diimbangi oleh penambahan
produktivitas masyarakat yang berdampak kepada perkembangan ekonomi makro.
Kemampuan BPJS Kesehatan
dalam mengendalikan demand dan
supply dari layanan kesehatan akan
mempengaruhi tingkat keberhasilan
dari penerapan konsep SJSN. Melihat
kinerja PT Askes (Persero) yang akan
bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dapat disimpulkan bahwa ada
potensi keberhasilan dari implementasi konsep SJSN dimaksud. n
Tabel 5. Kinerja PT Askes (Persero) (dalam juta Rp)
Keterangan
Pendapatan Usaha
Pendapatan Lain-Lain
Laba Bersih
2008
2009
2010
2011
5.630.909
6.863.009
7.897.636
9.242.911
189.574
999.381
1.077.137
978.171
1.136.819
2.176.919
1.802.362
1.436.728
Sumber: LKPP Kementerian BUMN.
18
ISI_DES-2013_5a.indd 18
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:37 PM
Potensi Risiko Fiskal
Program Jaminan
Kesehatan Nasional
Oleh: Ronald Yusuf
Kepala Subbidang Risiko Ekonomi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Fiskal Kementerian Keuangan.
Email: [email protected]
M
ulai 1 Januari 2014,
Indonesia akan menjalani babak baru penyelenggaraan jaminan sosial. Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN) dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(UU BPJS) merupakan payung hukum
penyelenggaraannya yang paling
terkait. Program SJSN terdiri atas lima
jaminan sosial yang akan diselenggarakan oleh dua BPJS. BPJS Kesehatan,
yang merupakan transformasi dari
PT Askes (Persero), akan menyelenggarakan program terkait kesehatan
yaitu Jaminan Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi dari PT Jamsostek (Persero),
akan menyelenggarakan program terkait ketenagakerjaan yaitu Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari
Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan
Jaminan Kematian (JKm).
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menurut UU BPJS, akan
mulai dilaksanakan per 1 Januari 2014.
Terkait program ini, Pemerintah sudah menerbitkan peraturan berupa
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam perkembangannya,
peraturan ini mengalami perbaikan
sebelum peraturan ini mulai efektif
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 19
DESEMBER 2013
UU SJSN
mengamanahkan
bahwa program
JKN akan
menjamin segala
jenis penyakit
sepanjang itu
terindikasi medis.
diberlakukan. Sampai dengan saat
tulisan ini dibuat, perbaikan Perpres
dimaksud sedang dalam tahap pemberian paraf oleh Menteri terkait.
Meski diperkirakan dampak
program JKN, secara khusus terhadap
keuangan negara atau pun perekonomian secara umum, tidaklah sebesar
program jaminan pensiun, banyak
pihak menyatakan bahwa dampak
dari pelaksanaan program ini tidak
bisa dianggap sepele. Atas rumusan
yang tertuang dalam perbaikan
Perpres No. 12 Tahun 2013 dimaksud,
khususnya rumusan terkait desain
manfaat dan besaran iuran, serta beberapa ketentuan di dalam UU SJSN
dan UU BPJS, terdapat beberapa hal
yang saat ini teridentifikasi berpotensi
menjadi sumber risiko fiskal. Secara
umum, beberapa hal dimaksud akan
menyebabkan kurangnya dana untuk
keberlangsungan program JKN yang
berpotensi memberikan tekanan terhadap APBN. Beberapa hal tersebut
antara lain ketidaksesuaian iuran
dengan manfaat, adverse selection,
dan pemerintah sebagai penanggung
risiko.
U
T
A
M
A
Ketidaksesuaian Iuran
dengan Manfaat
Pasal 22 UU SJSN menyatakan
bahwa manfaat jaminan kesehatan
bersifat pelayanan perseorangan
berupa pelayanan kesehatan yang
mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dengan
kata lain, UU SJSN mengamanahkan
bahwa program JKN akan menjamin
segala jenis penyakit sepanjang itu
terindikasi medis. Pernyataan ini ditafsirkan oleh beberapa pihak bahwa
jaminan ini tidak mengenal batasan
baik dalam hal jumlah nominal biaya
maupun jumlah frekuensi penyakit
yang diderita peserta.
Atas hal ini, sesungguhnya penjelasan Pasal 22 UU SJSN menyatakan
bahwa luasnya pelayanan kesehatan
dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah
dan kemampuan keuangan BPJS.
19
1/27/2014 9:01:38 PM
U
T
A
M
A
Ditambahkan juga kalau hal tersebut
diperlukan untuk kehati-hatian. Sejak
awal pembahasan rumusan manfaat,
Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
selalu menyuarakan bahwa kajian
farmakoekonomik sangat diperlukan
dan tidak tertutup untuk dilakukan
pembatasan manfaat baik dalam hal
jumlah nominal maupun frekuensi layanan sepanjang memang diperlukan.
Banyak negara, termasuk negara maju,
yang juga menerapkan batasan dalam
pemberian manfaat program kesehatan nasionalnya. Meski demikian, pada
pembahasan perbaikan Perpres No. 12
Tahun 2013, sampai dengan saat tulisan ini dibuat, telah disepakati bahwa
yang dijamin dalam program JKN bersifat komprehensif, seluruh penyakit
dijamin dan belum ada pembatasan
baik dalam hal jumlah dana maupun
frekuensi penerimaan layanan, sepanjang semua itu terindikasi medis.
Manfaat program JKN tidak
dapat dipisahkan dari besaran iuran
yang dibutuhkan untuk mendanainya.
Harus diakui, Pemerintah mengalami
kesulitan dan belum memiliki keyakinan yang memadai untuk menetapkan
besaran iuran yang dibutuhkan. Hal
ini disebabkan kurangnya data yang
relevan dan reliable yang dijadikan
dasar perhitungan besaran iuran. Dari
berbagai model yang ada, Pemerintah
telah menyepakati untuk menggunakan model yang dibangun oleh Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K). Data utama yang
digunakan dalam model ini adalah
data historis program layanan kesehatan di PT Askes (Persero), PT Jamsostek
(Persero), dan juga data Susenas.
Gambar 1 menunjukkan selama
beberapa tahun terakhir terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok. Selain itu, terdapat juga fluktuasi
tingkat utilisasi yang relatif tinggi tiap
tahunnya khususnya peserta Jamkesmas. Terkait tingkat utilisasi rawat
jalan tingkat pertama, data historis
pada Puskesmas peserta Jamkesmas
juga memiliki kecenderungan yang
sama yaitu berfluktuasi dan tidak
merata antar provinsi (TNP2K, 2012).
Dengan segala keterbatasannya, saat
ini, data tersebut merupakan yang
terbaik yang dimiliki saat ini.
Dari sisi unit cost, telah disepakati
bahwa program JKN akan menggunakan unit cost yang sama untuk layanan
medis (dokter, obat, alat kesehatan,
dan lainnya) tanpa memperhatikan
di kelas mana peserta dilayani. Untuk
estimasi unit cost program JKN, data
yang digunakan adalah unit cost pada
PT Askes (Persero) ditambah penye-
Gambar 1. Tingkat utilisasi Rawat Jalan dan Rawat Inap
Sumber: TNP2K, 2012.
20
ISI_DES-2013_5a.indd 20
suaian 25% dan faktor inflasi kesehatan. Penyesuaian 25% ini merupakan
penyesuaian atas fakta bahwa peserta
PT Askes (Persero) masih mengeluarkan biaya sendiri, yang secara rerata
sebesar 25% dari total biaya, untuk
manfaat yang diterimanya.
Data tingkat utilisasi dan unit cost
diatas merupakan dua data utama, di
antara data lainnya, yang digunakan
dalam menentukan besaran iuran. Dengan segala keterbatasan data yang
ada, banyak pihak meyakini bahwa
penyimpangan antara kebutuhan
iuran yang diestimasi dengan aktualnya nanti besar kemungkinan akan
terjadi. Tentunya yang dikhawatirkan
adalah ketika kebutuhan iuran aktual
lebih tinggi dari yang diestimasi.
Potensi perbedaan tersebut
dikhawatirkan semakin besar mengingat nantinya Pemerintah akan
menerapkan skema pembayaran
Indonesia Case Based Group (INACBG) untuk sebagian besar layanan
kesehatan. Sederhananya, skema
ini seperti pembayaran paket untuk
tiap jenis diagnosis. Sebagai contoh,
untuk penyakit dengan diagnosis demam berdarah, biaya manfaat sampai
dengan sembuh adalah Rp6 juta (sudah termasuk jasa dokter, obat, alat
kesehatan, akomodasi, dan lainnya).
Tidak peduli berapa lama si pasien
akan bermalam di rumah sakit, tidak
peduli berapa banyak obat dan alat
kesehatan yang digunakan, biayanya
adalah Rp6 juta.
Skema INA-CBG sendiri sesungguhnya merupakan skema yang sangat bagus dalam hal mengendalikan
biaya dan mutu layanan kesehatan.
Permasalahannya adalah ketika penentuan tarif dalam skema ini tidak
selaras dengan asumsi unit cost yang
digunakan saat Pemerintah menentukan besaran iuran. Apabila tarif yang
ditetapkan dalam skema INA-CBG secara unit cost lebih tinggi dibanding
asumsi unit cost yang digunakan
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:38 PM
dalam menentukan iuran, dalam keadaan ceteris paribus tentunya besar
iuran tidak akan mencukupi untuk
membayar manfaat.
Adverse Selection
Salah satu kunci keberhasilan
program JKN adalah jumlah peserta.
Besaran iuran yang ditetapkan Pemerintah diperkirakan akan cukup untuk
membayar manfaat dengan dua catatan penting yaitu asumsi teknis yang digunakan akan sama atau hanya sedikit
berbeda dengan aktual (sebagaimana
dibahas di atas) dan terpenuhinya satu
asumsi lain yang sangat penting yaitu
sebagian besar bahkan keseluruhan
populasi tiap kelompok (Penerima
Bantuan Iuran (PBI), penerima upah
dan bukan penerima upah) membayar
iuran secara rutin. Sebagai contoh, iuran sebesar +Rp25.000 s.d. +Rp60.000
untuk kelompok bukan penerima
upah (lihat tabel 1), diperkirakan akan
cukup apabila sebagian besar orang
dalam kelompok ini menjadi peserta
dan membayar iuran.
Jumlah tersebut, tentunya jauh
dari mencukupi apabila yang membayar iuran secara rutin hanya mereka yang rentan terhadap penyakit
khususnya rentan terhadap penyakit
berbiaya tinggi. Mereka juga lah yang
diyakini banyak pihak akan dengan
sukarela mendaftarkan diri menjadi
peserta program JKN sementara
mereka yang berisiko kecil terhadap
penyakit diyakini akan enggan untuk
menjadi peserta, setidaknya pada tahap awal pelaksanaan program.
Pemerintah Sebagai
Penanggung Risiko
Secara filosofi, penanggung jawab program JKN adalah Pemerintah.
Pasal 48 UU SJSN dan Pasal 56 ayat (2)
dan ayat (3) UU BPJS mempertegas hal
ini di mana dinyatakan bahwa Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus guna menjamin keberlangsungan
program JKN. Meski demikian, Pemerintah tentunya berharap program ini
dapat berjalan secara mandiri. Apabila
dicermati dengan seksama, tanggung
jawab Pemerintah yang diatur dalam
kedua UU tersebut seyogianya hanya
sebatas hal-hal/kejadian yang memang
disebabkan di luar kendali baik oleh
badan penyelenggara maupun Pemerintah. UU mencontohkan situasi ini
seperti ketika terjadinya tingkat inflasi
yang tinggi, keadaan pascabencana
yang mengakibatkan penggunaan
sebagian besar sumber daya ekonomi
Tabel 1. Usulan Besaran Iuran
No.
Kelompok
Besaran Iuran
POPB
Manfaat
Akomodasi
1.
PBI
Rp19.225
Kelas 3
2.
Pegawai
negeri
5% dari gaji/upah
Berbeda,
tergantung
golongan
3.
Pegawai
swasta
4,5% dari gaji/
upah*
5% dari gaji/
upah**
Berbeda,
tergantung
besar gaji/upah
4.
Informal
Rp25.500-Rp59.500
Berbeda,
tergantung
besar iuran
* Mulai 1 Januari 2014 s. d. 30 Juni 2015
** Mulai 1 Juli 2015
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 21
DESEMBER 2013
Medis
Sama
negara, dan lain sebagainya. Hal-hal
seperti ini tentunya di luar kendali dan
suatu saat mungkin saja terjadi.
Mitigasi Risiko
Terhadap potensi-potensi risiko
fiskal yang ada sebagaimana telah
dibahas di atas, Pemerintah tentunya
perlu mengambil tindakan untuk
memitigasinya. Berikut beberapa hal
yang dapat dilakukan Pemerintah
yang baik secara langsung atau tidak
langsung dapat memitigasi risiko fiskal atas pelaksanaan program JKN.
1.
Perbaikan Sistem Layanan Kesehatan
Keberhasilan program JKN sangat
ditentukan dengan sistem layanan
kesehatan yang akan digunakan dan
dikembangkan oleh Pemerintah. Untuk menghasilkan program JKN yang
robust dan berkesinambungan, sistem
yang ada sekarang perlu diperbaiki.
Sebagai contoh adalah lebih mengoptimalkan sistem rujukan. Gambar
2 menunjukkan bahwa, pada tahun
2011, lebih dari 50% kunjungan di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM), rumah sakit dengan tingkat
rujukan tertinggi, dan di Rumah Sakit
dr. Kariadi sesungguhnya dapat ditangani di penyedia layanan kesehatan tingkat 1 seperti puskesmas atau
dokter keluarga. Biaya penanganan
di tingkat 1 tentunya jauh lebih murah dibanding tingkat 3 (seperti RSCM
dan RS dr. Kariadi). Tingginya tingkat
rujukan ini salah satu penyebabnya
adalah kurangnya tenaga ahli yang
memadai pada layanan kesehatan
tingkat 1. Sekira 69% layanan tingkat
1 di Indonesia ditangani oleh nondokter (TNP2K, 2012).
Hal lainnya yang juga perlu diperbaiki dalam sistem layanan kesehatan
saat ini adalah terkait obat. Biaya obat
memiliki porsi yang relatif tinggi, dan
terus meninggi, terhadap total biaya
layanan kesehatan. Pada tahun 2008
U
T
A
M
A
21
1/27/2014 9:01:38 PM
Gambar 2. Data Kunjungan 2011
Sumber: TNP2K, 2012.
U
T
A
M
A
dan 2009, porsi biaya obat terhadap
total biaya layanan kesehatan adalah
berturut turut +24% dan +34% (Budi
Hidayat, 2012).
Saat ini, variasi obat sangatlah
lebar dan tidak terkontrol sehingga
mengakibatkan pemborosan. Variasi
obat perlu lebih dibatasi dan lebih dikontrol agar belanja obat menjadi relatif lebih murah. Selain itu, peresepan
obat juga diyakini masih tidak rasional.
Lebih dari 50% peresepan obat-obatan
yang diresepkan dokter tidak tepat,
tidak efektif, dan tidak efisien (Budi
Hidayat, 2012). Pada umumnya, penyebab utamanya adalah tingginya asymmetric information antara penyedia
layanan dengan si pasien. Pemerintah
perlu memiliki aturan yang lebih ketat
lagi terkait peresepan obat, termasuk
sanksinya. Dalam praktiknya, dibutuhkan ‘polisi’ sebagai pihak ketiga serta
‘wasit’ (Budi Hidayat, 2012).
2. Penegakan Hukum
Seperti telah dibahas sebelumnya,
salah satu kunci keberhasilan program
JKN adalah jumlah peserta yang reguler membayar iuran. UU SJSN dan UU
BPJS secara tegas menyatakan bahwan
kepesertaan program ini adalah wajib
bagi seluruh warga negara Indonesia
(WNI). Peta jalan kepesertaan program yang disusun oleh Dewan Jamin22
ISI_DES-2013_5a.indd 22
an Sosial Nasional serta Kementerian
terkait lainnya menargetkan pada
tahun 2019 seluruh WNI telah menjadi
peserta. Walau demikian, Pemerintah
dinilai masih perlu untuk merumuskan cara yang lebih konkrit dalam
pencapaian target tersebut. Tanpa
adanya penegakan hukum yang kuat,
sulit rasanya untuk ‘memaksa’ seluruh
warga untuk menjadi peserta dan secara teratur membayar iuran. Harus
diakui, dengan skema mandatory dan
tiap peserta membayar iurannya sendiri, kecuali untuk PBI, mewujudkan
100% kepesertaan merupakan hal
yang sangat sulit bahkan cenderung
tidak mungkin. Meski begitu, masih
ada hal-hal yang dapat dilakukan
Pemerintah agar kepesertaan setidaknya mencapai angka 80% s. d. 90% di
mana tentunya jumlah tersebut sudah
signifikan mengurangi potensi risiko
di masa yang akan datang.
Salah satu usulan yang mungkin
dapat dipertimbangkan untuk diterapkan guna meningkatkan kepesertaan JKN adalah mengintegrasikan
data pembayaran iuran program JKN
dengan pembayaran listrik. Cakupan
listrik, dalam hal penduduk, Indonesia
sudah mencapai +90% (Susenas 2010).
Apabila diintegrasikan, diyakini jumlah kepesertaan program JKN akan
bertambah signifikan. Sebagai con-
toh, seseorang tidak dapat membayar
tagihan listrik atau membeli pulsa listrik isi ulang (token/voucher) sebelum
membayar iuran program JKN bagi
dirinya dan/atau keluarganya.
Penutup
Program JKN, apabila dikelola
dengan baik, dapat dipastikan akan
memiliki kontribusi yang positif bukan saja terhadap tingkat kesehatan
masyarakat Indonesia tetapi juga
terhadap perekonomian Indonesia.
Pemerintah memang merupakan pihak yang paling bertanggung jawab
atas keberhasilan program ini. Atas
peran strategis program JKN ini, Pusat
Pengelolaan Risiko Fiskal, sebagai salah satu unit kunci Pemerintah dalam
implementasi SJSN, terus dan akan
terus berupaya mewujudkan keberhasilan dan kesinambungan program
JKN. Meski demikian, seluruh warga
negara juga memiliki tanggung jawab
dan peran yang signifikan. Kerelaan
untuk menyertakan diri dan/atau
tanggungannya ke dalam sistem
program JKN akan sangat membantu
keberhasilan program. Jangan lupa,
gotong royong merupakan ciri khas
bangsa kita sejak lama. Ini merupakan
kesempatan yang baik bagi kita untuk
menunjukkan kembali bahwa kita
masih bangsa yang sama. n
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:39 PM
U
T
A
M
A
www.geolocation.ws
U
T
A
M
A
Aspek Perpajakan Badan
Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan
U
T
A
M
A
Oleh: Hadi Setiawan1, (Anggifa Arifany, Chintya Pramasanti, Herhudaya Perkasa,
Krisna Pratama Amrullah, M Ridho Mubaroq, Maulana Masykur, dan Yanuar Falak
Abiyunus)2
1 Peneliti Muda pada PPRF, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected]
2 Calon CPNS pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Pendahuluan
Jaminan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia merupakan suatu hal yang
bersifat wajib sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi UUD 1945. Oleh
karena itu sesuai dengan amanat UU
No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN), pemerintah
membangun suatu sistem jaminan
sosial yang mencakup seluruh rakyat
dan bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat. Atas dasar
itulah, maka dibentuk suatu Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 23
DESEMBER 2013
berdasar UU No. 24/BPJS terdiri atas
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi
dari PT. Askes dan PT Jamsostek. BPJS
harus mulai beroperasi sejak tanggal 1
Januai 2014. Proses transformasi ini
masih menyisakan permasalahan
dalam aspek perpajakannya. Tulisan
ini bermaksud untuk meninjau permasalahan-permasalahan perpajakan
yang masih harus diselesaikan. Oleh
karena yang akan segera berlaku sejak
1 Januari 2014 adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) maka tulisan ini
membatasi pada BPJS Kesehatan saja.
Status Subjek Pajak BPJS
Kesehatan
Salah satu hal krusial yang harus dijawab sebelum membahas hal
yang lain dalam aspek perpajakan
BPJS adalah mengenai status subjek
pajak BPJS itu sendiri. Apakah BPJS
Kesehatan termasuk kriteria sebagai
Subjek Pajak atau tidak?
UU No. 36/ 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7/1983
tentang Pajak Penghasilan, pada
pasal 2 mengatur tentang siapa saja
yang menjadi subjek pajak dan siapa
saja yang dikecualikan dari subjek
23
1/27/2014 9:01:40 PM
U
T
A
M
A
pajak, antara lain menyebutkan
bahwa salah satu kriteria pengecualian sebagai subjek pajak adalah
badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
a. pembentukannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan;
b. pembiayaannya bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah; dan
d. pembukuannya diperiksa oleh
aparat pengawasan fungsional
Negara.”
Berdasarkan pasal tersebut, keempat syarat diatas bersifat kumulatif,
oleh sebab itu kembali muncul pertanyaan, apakah BPJS Kesehatan memenuhi keempat syarat tersebut? Jika
memang BPJS Kesehatan memenuhi
keempat syarat tersebut maka BPJS
Kesehatan dapat dikecualikan dari
Subjek Pajak dan sebaliknya jika tidak
memenuhi keempat syarat tersebut
maka BPJS Kesehatan adalah Subjek
Pajak. Tetapi jika Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan lainnya
berpendapat bahwa BPJS Kesehatan
patut untuk diberikan pengecualian
sebagai Subjek Pajak karena perannya yang sangat krusial bagi Negara,
bersifat sosial dan tidak mencari keuntungan maka hal tersebut menjadi
PR lanjutan bagi Pemerintah dalam
pengambilan kebijakannya.
Selain status subjek pajak BPJS Kesehatan, ternyata status Dana Jaminan Sosial (DJS) juga patut dicermati.
Sebagaimana diamanatkan dalam UU
BPJS bahwa BPJS wajib memisahkan
aset BPJS dan aset DJS. Oleh karena itu
seolah-olah DJS merupakan satu entitas tersendiri yang berbeda dengan
BPJS, sehingga sering timbul persepsi
bahwa DJS juga harus diperlakukan
sebagai subjek pajak tersendiri yang
24
ISI_DES-2013_5a.indd 24
terpisah dari BPJS. Sehingga permasalahan tentang Subjek Pajak tidak saja
hanya pada BPJS Kesehatannya tetapi
juga juga pada DJS. Tetapi apakah DJS
termasuk dalam kriteria Subjek Pajak,
dalam hal ini Subjek Pajak Badan?
UU PPh menyebutkan bahwa pengertian “Badan” adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha, yang meliputi: perseroan
terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
Selain status
subjek pajak
BPJS Kesehatan,
ternyata status
Dana Jaminan Sosial
(DJS) juga patut
dicermati.
pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif
dan bentuk usaha tetap. Kata-kata
kunci yang menjadi titik permasalahan adalah “sekumpulan orang dan/
atau modal”. Apakah DJS termasuk
sekumpulam modal?
Jika ditelisik lebih jauh, pengertian DJS sebagaimana disebutkan
dalam UU BPJS adalah dana amanat
milik seluruh peserta yang merupakan
himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS
untuk pembayaran manfaat kepada
peserta dan pembiayaan operasional
penyelengaraan program Jaminan
Sosial. Sedangkan pengertian modal
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah uang pokok, atau uang
yang dipakai sebagai induk untuk
berniaga, melepas uang dan sebagainya atau harta benda (uang untuk
berdagang dan lain sebagainya) yang
dapat menghasilkan sesuatu yang dapat menambah kekayaan.
Kedua definisi di atas dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah
ketika ingin menetapkan DJS sebagai
Subjek Pajak tersendiri atau bukan.
Selain itu, Pemerintah juga harus
mempertimbangkan konsekuensikonsekuensi yang bakal terjadi ketika
menetapkan DJS sebagai Subjek Pajak
tersendiri atau hanya sebagai bagian
yang tidak bisa dipisahkan dari BPJS
Kesehatan (DJS bukan subjek pajak).
Karena hal tersebut akan sangat
berpengaruh terhadap pemenuhan
hak dan kewajiban perpajakan dari
badan tersebut dan konsekuensinya
terhadap penerimaan negara serta
keberlangsungan dari program jaminan sosial ini sendiri.
NPWP BPJS Kesehatan dan
Dana Jaminan Sosial
Menurut  Pasal 1 angka 6 UU No.
28/2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Ketentuan Umum Dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor
yang diberikan kepada Wajib Pajak
sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.
Sementara Wajib Pajak sendiri menurut Pasal 1 angka 2 UU KUP adalah
orang pribadi atau badan, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak,
dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:40 PM
NPWP ini sangat erat kaitannya
dengan status Subjek Pajak. Apakah
orang pribadi atau badan termasuk
dalam kriteria Subjek Pajak atau bukan. Jika orang pribadi atau badan
tersebut termasuk kriteria Subjek Pajak maka kepadanya harus diberikan
NPWP sebagai tanda pengenal diri
atau identitas dalam melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya.
Demikian juga halnya dengan BPJS
Kesehatan dan DJS, jika keduanya
termasuk dalam kriteria merupakan
Subjek Pajak maka kepada keduanya
harus diberikan NPWP dan sebaliknya.
Atau jika hanya BPJS Kesehatan saja
yang termasuk dalam kriteria Subjek
Pajak maka hanya BPJS Kesehatan
sajalah yang diberikan NPWP.
Pertanyaan berikutnya adalah
apakah NPWP BPJS Kesehatan sama
dengan NPWP PT. Askes? Mengingat
pasal 60 dan 62 UU No. 24/2011 menjelaskan bahwa PT. Askes akan dibubarkan tanpa likuidasi disertai dan diganti nama menjadi BPJS Kesehatan.
Menurut pasal-pasal tersebut dapat
dipahami bahwa secara material, BPJS
adalah badan yang baru. Namun, secara substansial BPJS tidak sepenuhnya
NPWP ini sangat
erat kaitannya
dengan status
Subjek Pajak.
Apakah orang
pribadi atau badan
termasuk dalam
kriteria Subjek
Pajak atau bukan.
baru karena tidak diadakan likuidasi,
ditambah lagi segenap pegawai PT.
Askes akan menjadi pegawai BPJS Kesehatan serta aset, liabilitas, hak dan
kewajiban hukum PT. Askes menjadi
aset, liabilitas, hak dan kewajiban
hukum BPJS Kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut maka
dapat terjadi dua kemungkinan kebijakan terkait NPWP. Pertama, BPJS
Kesehatan diberikan NPWP baru karena merupakan badan baru dan telah
sepatutnya diberikan NPWP baru. Alternatif kedua,  BPJS Kesehatan tetap
memakai NPWP yang lama (dalam
hal ini NPWP PT. Askes) dikarenakan
tidak ada perubahan substantif dalam
struktur kepegawaian, aset, liabilitas,
hak dan kewajiban hukum dari PT. Askes ketika menjadi BPJS Kesehatan.
Adapun konsekuensi diberikan
atau tidaknya NPWP yang baru terhadap PT. Askes/BPJS Kesehatan adalah
sebagaimana termuat dalam tabel 1.
Objek Pajak BPJS
Kesehatan
Aspek perpajakan berikutnya yang
harus diperhatikan adalah mengenai
objek pajak. Terkait hal tersebut, maka
kita harus mengetahui terlebih dahulu
sumber-sumber penghasilan dari BPJS
Kesehatan. Sebagaimana disebutkan
bahwa aset BPJS harus terpisah dari
aset DJS, maka UU BPJS juga memisahkan sumber-sumber aset/penghasilan
BPJS dan DJS. Adapun sumber aset
BPJS dan DJS tersebut adalah sebagaimana tabel 2.
Berdasarkan tabel 2 diatas,
terdapat beberapa penghasilan BPJS
Kesehatan dan DJS yang sudah jelas
bagaimana perlakuannya dalam UU
PPh, yaitu sumber penghasilan BPJS
yang berasal dari modal awal dari
U
T
A
M
A
Tabel 1. Konsekuensi Terhadap Status NPWP BPJS Kesehatan
Keterangan
Keuntungan (bagi PT. Askes/BPJS
Kesehatan)
NPWP PT. Askes
digunakan sebagai NPWP
BPJS
-Tidak dianggap terjadi pengalihan
-Tidak terdapat dampak terhadap
kewajiban PPh dan PPN karena
tidak ada pengalihan
-NPWP lama tidak dihapus
- Utang pajak PT. Askes masih dapat
ditagih ke BPJS Kesehatan
BPJS menggunakan NPWP
baru
-Dianggap terjadi pengalihan
-Utang Pajak PT. Askes tidak dapat
ditagih ke BPJS Kesehatan
- Potensi PPh dan PPN yang harus
dibayar oleh BPJS Kesehatan karena
adanya pengalihan
- Terdapat NPWP baru, sehingga harus
mengurus kembali NPWP baik untuk
Pusat maupun Cabang
- PT. Askes harus diperiksa dalam
pemeriksaan tujuan tertentu karena
penghapusan NPWP.
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 25
DESEMBER 2013
Kekurangan (bagi PT. Askes/BPJS
Kesehatan)
25
1/27/2014 9:01:40 PM
Tabel 2. Sumber-Sumber Aset/Penghasilan Korporasi BPJS dan DJS
Sumber Penghasilan Korporasi BPJS
Iuran Jaminan Sosial dari Pemberi Kerja dan Bantuan Iuran dari
Modal awal pemerintah
U
T
A
M
A
Sumber Penghasilan DJS
Pemerintah
Hasil Pengalihan Aset BUMN (PT. Askes)
Hasil pengalihan aset program jaminan sosial dari BUMN
Hasil pengembangan aset BPJS
Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial
Dana operasional dari DJS
Pengembalian surplus dari BPJS
Sumber lain
Sumber lain
Pemerintah, hasil pengalihan aset dari
PT. Askes ke BPJS Kesehatan (dengan
syarat NPWP PT. Askes digunakan
sebagai NPWP BPJS), dan dana ope­
rasional yang diambil dari DJS (de­ngan
catatan DJS bukan merupakan subjek
pajak tersendiri). Ketiga sumber peng­­
ha­silan ini bukan merupakan objek
Pajak Penghasilan menurut UU PPh. Se­
dangkan penghasilan DJS yang bukan
merupakan objek pajak adalah hasil
pengalihan aset dari PT. Askes ke BPJS
Kesehatan (dengan catatan NPWP
PT. Askes digunakan sebagai NPWP
BPJS).
Yang masih menjadi pertanyaan
besar adalah status dari Iuran Jamin­
an Sosial termasuk Bantuan Iuran
dan hasil pengembangan dari Iuran
Ja­minan Sosial tersebut. Apa­kah
me­ru­pakan objek pajak atau bu­kan
objek pajak sebagaimana hal nya iur­
an pensiun yang diterima atau diper­
oleh dana pensiun yang pen­di­ri­an­nya
telah disahkan Menteri Ke­uangan
dan penghasilan dari modal yang dita­
nam­kan oleh dana pensiun ter­se­but3?
Karena jika dianalogikan antara Iur­
an Jaminan Sosial dengan iuran pen­
siun yang diterima oleh dana pen­siun
maka akan diperoleh banyak ke­sa­­
maan. Tetapi aturan mengenai hal ini
masih harus lebih diperjelas oleh Pe­me­­
rintah karena di UU PPh sendiri Iuran
Jaminan Sosial belum begitu jelas di­
atur secara eksplisit. Oleh karena itu,
hal ini kembali menjadi PR yang harus
di­se­­le­saikan oleh Pemerintah dengan
26
ISI_DES-2013_5a.indd 26
mem­­per­­timbangkan konsekuensikonsekuensi yang akan terjadi.
Pengalihan Aktiva
PT. Askes Kepada BPJS
Kesehatan
Proses pembentukan BPJS Kesehatan melibatkan pengalihan aset dari
PT. Askes kepada BPJS Kesehatan dan
dari PT. Askes kepada Dana Jaminan
Sosial (DJS). Dalam UU No 24 Tahun
2011, diatur bahwa aset BPJS Kesehatan dan DJS salah satunya bersumber
dari BUMN yang menyelenggarakan
program jaminan sosial, dalam hal ini
PT. Askes.
Bagaimana dengan isu-isu terkait
penyerahan aset tersebut apabila dilihat dari sudut pandang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
1.
Pajak Penghasilan
Dari sudut pandang PPh, pengalihan aset terjadi apabila melibatkan dua subjek pajak yang berbeda.
Dalam proses transformasi menuju
BPJS, terdapat kemungkinan bahwa
PT. Askes, BPJS Kesehatan, dan DJS
merupakan satu subjek pajak yang
sama. Hal ini dapat terjadi apabila
BPJS Kesehatan dan DJS merupakan
satu kesatuan dan menggunakan
NPWP yang sama dengan PT. Askes.
Jika terjadi demikian, tidak terdapat
isu pengalihan dari sudut pandang
PPh. Sebaliknya, apabila BPJS Kesehatan maupun DJS tidak memiliki NPWP
yang sama dengan PT. Askes, terdapat
isu pengalihan aset yang berpotensi
menimbulkan PPh terutang.4
Jika opsi kedua yang terjadi (BPJS
Kesehatan memiliki NPWP yang ber-
www. suaramedianasional.blogspot.com
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:41 PM
beda dengan PT. Askes), maka terdapat kemungkinan pengalihan aset dengan menggunakan nilai buku atau
nilai pasar wajar yang diperoleh dari
hasil revaluasi aset. Jika yang digunakan sebagai nilai pengalihan adalah
nilai buku maka tidak ada objek pajak
yang terutang, sebaliknya jika yang
digunakan adalah nilai pasar wajar
maka berpotensi memiliki nilai yang
berbeda dari nilai bukunya. Apabila
perbedaan nilai tersebut menimbulkan selisih lebih, maka jika revaluasi
dilakukan untuk tujuan perpajakan,
PT. Askes berkewajiban untuk membayar PPh yang bersifat final dengan
tarif 10% dari selisih nilai lebih revaluasi. Namun, jika PT. Askes melakukan revaluasi hanya semata-mata
untuk tujuan akutansi,5 PPh final atas
revaluasi tidak dikenakan.
Apek perpajakan lainnya adalah
terkait dengan pengalihan aset dalam
bentuk tanah dan bangunan. Sekali
lagi jika opsi kedua yang terjadi maka
atas penyerahan ini akan terutang PPh
Final sebesar 5% dari jumlah bruto
nilai pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan (PP No. 71 tahun 2008)
yang harus ditanggung oleh PT. Askes
dan BPHTB juga sebesar 5% yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
2. Pajak Pertambahan Nilai
Apakah pengalihan aset dari PT.
Askes kepada BPJS Kesehatan merupakan penyerahan yang terutang
PPN? Untuk menjawabnya, kita harus
merujuk kepada UU PPN. Dalam UU
PPN, pasal yang berhubungan dengan
aspek PPN penyerahan aset dari PT
AKSES kepada BPJS Kesehatan adalah pasal 4 ayat (1) huruf a dan pasal
16D. Pasal 4 ayat (1) huruf a mengatur
tentang PPN atas penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) oleh pengusaha di
daerah pabean dan pasal 16D mengatur tentang PPN atas penyerahan
BKP berupa aset yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 27
DESEMBER 2013
oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN
Jika melihat isi dari pasal 4 ayat
(1) huruf a UU PPN, PPN terutang apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: yang
menyerahkan (PT. Askes) perupakan
pengusaha, yang diserahkan merupakan BKP, dan penyerahan dilakukan
di dalam daerah pabean.
Pengusaha yang terutang PPN
meliputi Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi
belum dikukuhkan. Apakah PT. Askes
merupakan PKP atau seharusnya dikukuhkan menjadi PKP?
Dalam UU PPN, PKP diartikan
sebagai pengusaha yang melakukan
penyerahan BKP dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. PT.
Askes merupakan badan yang dalam
kegiatan usahanya melakukan usaha
jasa asuransi. Jasa asuransi adalah
jasa yang dikecualikan dari Jasa Kena
Pajak berdasarkan Pasal 4A ayat (3),
sehingga PT. AKSES tidak harus dikukuhkan sebagai PKP.
Dengan melihat fakta di atas,
dapat disimpulkan bahwa penyerahan aset tersebut tidak terutang PPN
berdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf a
UU PPN.
Pasal 16D UU PPN
Pasal 16D UU PPN mengatur bahwa PPN dikenakan atas penyerahan
BKP berupa aset yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan
oleh PKP. Seperti telah dijelaskan di
atas, PT. Askes bukan merupakan PKP,
oleh karena itu, penyerahan aset dari
PT. Askes kepada BPJS Kesehatan
tidak terutang PPN pasal 16D.
Penutup
Melihat uraian di atas, pemerintah masih mempunyai tugas yang
tidak sedikit untuk mengatur hal-hal
terkait dengan aspek perpajakan BPJS
Kesehatan. Hal yang paling utama
adalah penentuan subjek pajak dan
NPWP dari BPJS Kesehatan dan Dana
Jaminan Sosial karena hal tersebut
akan berpengaruh terhadap objek
pajak yang akan terutang oleh BPJS
Kesehatan. Selain itu tugas pemerintah yang tidak kalah pentingnya
adalah terkait dengan penghasilan
BPJS Kesehatan/DJS dari Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran,
apakah penghasilan ini termasuk kategori objek pajak atau bukan objek
pajak. Aturan-aturan ini sangat penting untuk ditetapkan dan diperjelas
agar dapat memberikan persepsi yang
sama di lapangan baik oleh petugas
pajak, BPJS Kesehatan, dan pemangku
kepentingan lainnya. n
U
T
A
M
A
Catatan
1
2
3
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai; dan penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dikecualikan
dari objek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat (3).
Lihat kembali bagian “Ketentuan Subjek Pajak BPJS Kesehatan dan
NPWP BPJS Kesehatan Dan Dana Jaminan Sosial”.
Artinya, yang berubah hanya nilai buku untuk tujuan akuntansi,
sedangkan nilai aset untuk tujuan menghitung penyusutan tetap
menggunakan nilai aset sebelum revaluasi.
27
1/27/2014 9:01:41 PM
Implementasi Kebijakan Asuransi
Kesehatan Sosial Indonesia dan
Pelajaran dari Negara Lain
Oleh: Abdul Aziz
Peneliti pada Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, BKF, Kementeraian Keuangan.
Email: [email protected]
Pengantar
U
T
A
M
A
Tidak lama lagi Indonesia akan
memulai babak baru pada program
penjaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Hal ini dikarenakan
Indonesia telah mendirikan badan hukum publik untuk menyelenggarakan
program jaminan social. Badan tersebut bernama Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS sebenarnya
terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan. Namun pada artikel
ini penulis akan fokus pada jaminan
sosial di bidang kesehatan karena
program ini sudah lebih siap untuk
diimplementasikan dan akan mulai
beroperasi dalam waktu dekat yaitu
pada tanggal 1 Januari 2014.
BPJS Kesehatan adalah badan
hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan agar peserta memperoleh
manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang
diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya
dibayar oleh pemerintah.1
Di banyak negara lain di dunia ini,
paradigma jaminan kesehatan lebih
dikenal dengan istilah Social Health
Insurance (SHI/Asuransi Kesehatan
Sosial). Menurut Jane Doherty, etc.
28
ISI_DES-2013_5a.indd 28
(2000), SHI mempunyai karakterisitik
utama yang berlaku di seluruh dunia
yaitu:
1) Merupakan program pemerintah
yang mewajibkan adanya kontribusi dari peserta;
2) Peserta wajib menaati aturan
main yang telah ditetapkan oleh
pemerintah;
3) Premi dihitung berdasarkan kemampuan untuk membayar, yaitu sesuai terhadap pendapatan
masing-masing penduduk;
4) Setiap peserta akan memperoleh
manfaat yang sama; dan
5) Iuran (premi/kontribusi) dari peserta akan digunakan untuk pengeluaran pelayanan kesehatan
(bukan untuk lainnya).
Badan tersebut
bernama Badan
Penyelenggara
Jaminan Sosial
(BPJS). BPJS
sebenarnya
terdiri dari
BPJS Kesehatan
dan BPJS
Ketenagakerjaan.
Menurut Doherty, etc, dengan
karateristik (fitur-fitur) yang dimiliki
oleh jaminan/asuransi kesehatan sosial
di atas itu memungkinkan pemerintah
untuk membuat aturan seperti:
1) Diberlakukannya subsidi silang
antara penduduk yang sudah
lanjut usia, sakit, dan miskin
dengan penduduk (contributor)
yang sehat dan kaya;
2) Mengurangi penggunaan anggaran negara (APBN) untuk penduduk yang sedang menjalani
perawatan kesehatannya (karena
sakit); dan
3) Adanya kontribusi untuk anggaran negara (APBN) untuk belanja
publik dari para contributor yang
membayar premi asuransi kesehatan ini.
Pada artikel ini, penulis ingin memaparkan konsep kebijakan jaminan
kesehatan sosial di Indonesia yang
akan mulai diterapkan pada 1 Januari
2014 serta memaparkan best practices
implementasi kebijakan jaminan/asuransi kesehatan sosial yang berlaku
di negara lain. Diharapkan dengan
pemaparan best practices di negara
lain tersebut, BPJS dapat mengambil
pelajaran yang bermanfaat darinya
dan semakin bergairah untuk segera
mengimplementasikan jaminan kesehatan sosial dengan baik dan benar.
Agar lebih dekat dengan kondisi
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:41 PM
sosial ekonomi Indonesia maka, pada
kesempatan ini penulis sengaja hanya
menampilkan implementasi jaminan/
asuransi sosial kesehatan di dua negara berkembang yaitu Vietnam dan
Afrika Selatan.
Konsep Implementasi
Jaminan Kesehatan Sosial
di Indonesia
A. Kepesertaan
BPJS Indonesia telah mengatur
bahwa seluruh penduduk Indonesia
wajib menjadi peserta jaminan kesehatan termasuk orang asing yang
telah bekerja minimal enam bulan di
Indonesia dan telah membayar iuran.
Secara garis besar, peserta BPJS Kesehatan di Indonesia terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu (1) Penerima Bantuan
Iuran (PBI) jaminan sosial kesehatan;
dan (2) bukan PBI jaminan kesehatan.
PBI adalah penduduk fakir miskin,
orang yang mengalami cacat total
tetap dan orang yang tidak mampu
sebagaimana diamanatkan UndangUndang tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan diatur melalui
Peraturan Pemerintah di mana iuran
kepesertaannya menjadi beban pemerintah Indonesia.
Sementara itu, penduduk Indonesia yang termasuk peserta bukan PBI
jaminan kesehatan terdiri atas:
1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, di mana yang
termasuk pekerja penerima upah
adalah pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota POLRI, pejabat
negara, pegawai pemerintah nonpegawai negeri, pegawai swasta,
dan pekerja lain yang memenuhi
kriteria sebagai pekerja penerima
upah;
2) Pekerja bukan penerima upah
dan anggota keluarganya. Termasuk pekerja bukan penerima
upah adalah setiap orang yang
tidak bekerja tapi mampu membayar iuran jaminan kesehatan
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 29
DESEMBER 2013
yang terdiri dari ekerja di luar
hubungan kerja atau pekerja
mandiri dan pekerja lain yang
memenuhi kriteria pekerja bukan
penerima upah;
3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya. Termasuk penduduk
bukan pekerja adalah investor,
pemberi kerja, penerima pensiun,
veteran, perintis kemerdekaan,
dan penduduk bukan pekerja
lainnya yang memenuhi kriteria
bukan pekerja penerima upah.2
Sedangkan yang dimaksud dengan anggota keluarga dari peserta
adalah suami/istreri peserta, anak
kandung, anak tiri, anak angkat yang
sah dengan kriteria:
BPJS Indonesia telah
mengatur bahwa
seluruh penduduk
Indonesia wajib
menjadi peserta
jaminan kesehatan
termasuk orang
asing yang telah
bekerja minimal
enam bulan di
Indonesia dan telah
membayar iuran.
a) Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
b) Belum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun atau belum berusia 25 (dua
puluh lima) tahun yang masih
melanjutkan pendidikan formal.
Ada pun jumlah peserta dan
anggota keluarga yang ditanggung
oleh jaminan kesehatan adalah lima
orang, jika lebih dari itu maka akan
dikenakan iuran tambahan.
B. Dampak dan Manfaat yang Diperoleh Peserta dan Keluarganya
Setiap peserta jaminan kesehatan
berhak memperoleh manfaat yang
bersifat pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan
promotif, preventif, dan kuratif, serta
pelayana rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan
kesehatan tersebut terdiri atas manfaat medis yang tidak terikat dengan
besaran iuran yang dibayarkan serta
manfaat nonmedis yang meliputi
manfaat akomodasi (yang diberikan
berdasarkan besarnya iuran), dan
ambulans (hanya diberikan untuk
pasien rujukan dari fasilitas kesehatan
dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan).
Ada pun manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan:
(1) Penyuluhan kesehatan perorangan
yang meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan
faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat;
(2) Pelayanan imunisasi dasar meliputi Baccile Calmett Guerin
(BCG), Difteri Pertusis Tetanus
dan Hepatitis-B (DPT-HB), Polio,
dan Campak;
(3) Pelayanan Keluarga Berencana
yang meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan
tubektomi bekerja sama dengan
lembaga yang membidangi keluarga berencana; dan
(4) Pelayanan skrining kesehatan
diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko
penyakit dan mencegah dampak
lanjutan dari risiko penyakit tertentu.
Secara lebih detail, pelayanan
kesehatan yang dijamin oleh BPJS
adalah meliputi:
a. Pelayanan kesehatan tingkat per-
U
T
A
M
A
29
1/27/2014 9:01:41 PM
U
T
A
M
A
tama, yaitu pelayanan kesehatan
non-spesialistik mencakup: administrasi pelayanan, pelayanan
promotif dan preventif, pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi
medis, tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun
non-operatif, pelayanan obat dan
bahan medis habis pakai, transfusi darah sesuai dengan kebutuhan
medis, pemeriksaan penunjang
diagnostik laboratorium tingkat
pertama dan rawat inap tingkat
pertama sesuai dengan indikasi;
b.  Pelayanan kesehatan rujukan
tingkat lanjutan, yaitu pelayanan
kesehatan mencakup:
(1) Rawat jalan yang meliputi:
administrasi pelayanan, pemeriksaan, pengobatan dan
konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan subspesialis, tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi
medis, pelayanan obat dan
bahan medis habis pakai,
pelayanan alat kesehatan
implant, pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis,
rehabilitasi medis, pelayanan
darah, pelayanan kedokteran
forensik, pelayanan jenazah
di fasilitas kesehatan.
(2) Rawat inap yang meliputi:
perawatan inap non-in­ten­sif,
perawatan inap di ruang intensif, pelayanan ke­se­hatan
lain ditetapkan oleh Men­teri.3
Implementasi Sistem
Jaminan Sosial Kesehatan
Sosial di Vietnam
Social Health Insurance (SHI/Asuransi Kesehatan Sosial) telah diperkenalkan sejak tahap awal renovasi ekonomi di Vietnam. SHI diuji coba untuk
pertama kalinya pada tahun 1989, ketika pemerintah mengakui pentingnya
30
ISI_DES-2013_5a.indd 30
aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi
penduduk yang tidak mampu membayar biaya fasilitas kesehatan.
A. Kepesertaan
SHI saat ini terdiri dari tiga subskema, yaitu (1) skema SHI wajib, (2)
skema SHI sukarela, dan (3) skema SHI
bagi masyarakat miskin. Berdasarkan
peraturan saat ini di Vietnam, SHI wajib diterapkan untuk semua pekerja
aktif dan orang-orang pensiun di
sektor publik, serta pekerja bergaji di
sektor swasta tanpa ukuran perusahaan. Selain itu, beberapa kelompok
orang seperti mahasiswa asing di Vietnam, orang berusia lanjut (90 tahun
ke atas), dan veteran, juga termasuk
Pembayaran
tingkat kontribusi
saat ini dalam
skema wajib
SHI adalah 3%
dari gaji untuk
pekerja bergaji, di
mana pengusaha
membayar 2%
dan karyawan
membayar 1%.
dalam skema SHI Wajib ini. Secara
khusus, masyarakat miskin juga telah
dimasukkan ke skema SHI wajib sejak
tahun 2005.
Sedangkan peraturan dari SHI
sukarela tidak berubah secara signifikan sampai tahun 2006 di mana
disediakan persyaratan penting pada
cakupan yaitu tingkat minimum partisipasi. Sebagai contoh, sebuah rumah
tangga dapat berpartisipasi dalam
skema sukarela hanya ketika setidaknya 10% dari jumlah rumah tangga
di komunitas tersebut telah berpartisipasi dalam skema SHI sukarela ini.
Aturan tingkat minimum kepesertaan
yang diperlukan dalam SHI sukarela
juga berlaku bagi anggota berbasis
asosiasi, siswa, dan mahasiswa.
Meskipun jumlah peserta SHI wajib meningkat dari waktu ke waktu,
namun tingkat kepatuhan rata-rata
peserta dalam membayar iuran masih
rendah. Tingkat kepatuhan sektor
publik hampir 100% pada tahun 2005,
namun sektor swasta memiliki tingkat
kepatuhan hanya 20%. Sedangkan
pekerja yang digaji yang bekerja di
pasar tenaga kerja formal, memiliki
tingkat kepatuhan hanya 50%.
Menurut banyak penelitian bahwa alasan utama terjadinya tingkat
kepatuhan yang rendah tersebut disebabkan karena pendaftaran tenaga
kerja dan langkah-langkah penegakan hukum yang lemah, terutama
untuk sektor swasta. Sementara itu,
untuk skema SHI sukarela, siswa dan
mahasiswa telah mencapai angka
dominan (yaitu lebih dari 80%) sejak
berdirinya skema ini, kemudian diikuti
oleh peserta berbasis asosiasi dan berbasis rumah tangga.
Pembayaran tingkat kontribusi
saat ini dalam skema wajib SHI adalah
3% dari gaji untuk pekerja bergaji, di
mana pengusaha membayar 2% dan
karyawan membayar 1%. Sementara
dalam skema SHI sukarela, sebagian besar basis kontribusi iuran berubah dari
sekedar untuk memenuhi kebutuhan
keuangan kepada pendekatan kategori peserta dan daerah pemukiman.
B. Dampak dan Manfaat yang Diperoleh Peserta
Paket bantuan yang diberikan
kepada peserta skema SHI wajib termasuk rawat inap dan rawat jalan di
semua tingkat pelayanan kesehatan,
ujian laboratorium, x-ray, dan prosedur pencitraan diagnostik lainnya.
Beberapa layanan kesehatan berINFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:41 PM
teknologi tinggi yang mahal seperti
operasi jantung terbuka juga dijamin
oleh skema SHI wajib ini.
Meskipun penduduk miskin
memiliki kontribusi yang rendah,
mereka juga memiliki paket manfaat
yang sama seperti skema SHI wajib.
Peserta juga mendapatkan daftar
obat penggantian yang sebanding
dengan kualitas obat yang beredar
di beberapa negara maju. Sedangkan
layanan perawatan pencegahan tidak
tercakup dalam paket bantuan SHI
dan peserta dibayar dengan anggaran
pemerintah melalui program perawatan pencegahan nasional.
Anggota skema SHI sukarela juga
berhak untuk kedua rawat inap dan
rawat jalan yang peduli pada semua
tingkat pelayanan kesehatan. Untuk
pasien rawat jalan, VSI (BPJS Vietnam)
akan menjamin 100% dari biaya
medis yang jumlahnya kurang dari
VND100.000 dan menjamin hanya
80% dari biaya medis yang lebih dari
VND100.000. Tingkat penggantian
untuk pasien rawat inap adalah 80%
untuk biaya kurang dari VND20 juta
per kasus. Sedangkan untuk siswa
dan mahasiswa, di samping paket
tersebut, mereka juga akan menerima
17,4% dari total premi yang dikumpulkan untuk promosi kesehatan dan
kegiatan pertolongan pertama.
Mengenai fasilitas kesehatan,
para peserta tertanggung tidak hanya berhak menerima fasilitas kesehatan masyarakat tetapi juga fasilitas
swasta yang memiliki kontrak dengan
lembaga asuransi kesehatan. Namun
demikian, akses ke layanan kesehatan yang disediakan oleh SHI Vietnam
belum sama di antara peserta, khususnya bagi masyarakat miskin. Tingkat pemanfaatan yang rendah pada
masyarakat miskin disebabkan karena
kurangnya kesadaran dari masyarakat
miskin tentang paket bantuan SHI dan
juga adanya hambatan terhadap akses
pelayanan kesehatan seperti adanya
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 31
DESEMBER 2013
berbagai pembayaran tidak resmi
untuk layanan rumah sakit, biaya
rawat inap, dan biaya transportasi
dan akomodasi. Pada saat yang sama,
overloading status dalam sebagian
besar fasilitas perawatan kesehatan
juga mencegah orang-orang yang memenuhi syarat termasuk orang miskin
untuk mengakses layanan kesehatan.
Karena perluasan cakupan dan
paket manfaat yang lebih murah
(ca­kupannya lebih besar) maka SHI
Vietnam menghadapi masalah ke­uangan yang parah. Sebagai contoh,
bahwa total pengeluaran dari seluruh
SHI telah meningkat secara signifikan
se­jak tahun 2003. Total pengeluaran
Meskipun penduduk
miskin memiliki
kontribusi yang
rendah, mereka
juga memiliki paket
manfaat yang sama
seperti skema SHI
wajib.
pada tahun 2005 adalah sekitar tiga
kali lipat dari tahun 2003, namun jumlah peserta hanya meningkat sebesar
40%. Pengeluaran anggaran ne­­gara
yang berlebihan terjadi pa­da tahun
2006 yaitu sampai men­ca­pai VND1.800
miliar dan hal ini diper­kira­kan akan
meningkat di tahun-tahun mendatang
jika paket bantuan saat ini dan pembayaran tidak akan direvisi.4
Implementasi system
Jaminan Kesehatan di
Afrika Selatan
A. Kepesertaan
Sistem Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance)/NHI) di
Afrika Selatan memberikan alternatif
untuk sepenuhnya didanai oleh dana
pajak. Hal ini disebabkan keberadaan sektor swasta yang kuat dengan
sistem administrasi yang sangat baik
dalam menjalankan skema asuransi
kesehatan.
Asuransi Kesehatan Nasional
sebagai sebuah konsep diganti pada
pertengahan 1990-an oleh Asuransi
Kesehatan Sosial (Social Health Insurance/SHI). Perbedaan utama antara dua asuransi ini adalah bahwa
manfaat NHI akan tersedia untuk
seluruh penduduk , sedangkan SHI
membatasi manfaat kepada keluarga
kontributor saja. Perubahan ini terjadi
karena sektor formal yang digunakan
sebagai basis dana dianggap terlalu
kecil untuk menghasilkan manfaat
besar bagi seluruh penduduk. Hal
ini mengakibatkan kebijakan yang
memungkinkan yaitu:
a) Layanan yang didanai pajak akan
digunakan untuk melayani masyarakat miskin, seperti pekerja
berpenghasilan rendah dan menengah beserta keluarganya.
b) Sedangkan sektor swasta akan
menyediakan layanan untuk
orang kaya.
U
T
A
M
A
B. Dampak dan Manfaat yang Diperoleh Peserta
Afrika Selatan menerapkan skema
Medis Act 1998. Skema ini mewajibkan
untuk menerima semua calon anggota, terlepas dari risiko gangguan kesehatan. Kebijakan ini tentu akan berpotensi meningkatkan cakupan skema
medis. Dampak dari skema Medis Act
adalah terjadinya subsidi silang satu
sama lain untuk mengakomodasi perbedaan dalam profil keanggotaan, sebagai contoh peserta yang didominasi
usia muda dan sehat akan menyubsidi
silang biaya pada peserta yang sudah
lanjut usia.
Dengan sistem subsidi silang ini
diperlukan:
1) Suatu analisis subsidi silang yang
31
1/27/2014 9:01:41 PM
U
T
A
M
A
komprehensif dalam pendanaan
perawatan kesehatan dan pengeluaran;
2) Penjelasan tentang motivasi
dan tujuan subsidi silang dalam
pendanaan perawatan kesehatan
dan pengeluaran; dan
3) Analisis sistematis dari tingkat
subsidi silang yang akan dihasilkan
oleh berbagai pilihan desain SHI.
SHI Afrika Selatan adalah reformasi kompleks dengan dampak luas
pada sistem kesehatan secara keseluruhan. SHI harus dianggap sebagai
media pelayanan kesehatan untuk
jangka panjang bukan jangka pendek.
Beberapa langkah yang dibutuhkan
agar kebijakan SHI efektif yaitu:
1) Adanya kebijakan pembiayaan
alternatif untuk cakupan pelayanan yang tidak diasuransikan;
2) Adanya kebijakan pembiayaan
untuk layanan khusus (misalnya
kompensasi untuk pekerjaan
tertentu atau cedera kecelakaan
kendaraan bermotor);
3) Adanya kebijakan untuk meningkatkan efisiensi alokasi dan
teknis di sektor publik (misalnya
reformasi manajemen rumah
sakit umum);
4) Kebijakan untuk memastikan
akses yang adil ke paket mi­nimum pelayanan kesehatan; dan
lainnya.5
Kesimpulan dan Saran
Terdapat kelebihan dan kelemahan SHI yang ditawarkan oleh tiga
negara pelaksana jaminan kesehatan
sosial yang penulis paparkan pada di
atas. Meskipun data dan informasi
yang ditampikan tidak begitu lengkap
serta masa implementasi dari jaminan
kesehatan sosial di tiga negara tersebut berlainan, namun dapat diambil
beberapa kesimpulan bahwa:
1) BPJS Kesehatan di Indonesia adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan prog32
ISI_DES-2013_5a.indd 32
ram jaminan kesehatan sosial
(SHI) di Indonesia yang akan mulai berjalan pada tanggal 1 Januari 2014. Jaminan kesehatan sosial
adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan yang diberikan
kepada setiap orang yang telah
membayar iuran atau iurannya
dibayar oleh pemerintah;
2) SHI Indonesia mempunyai sistim
pemungutan iuran yang sangat
baik, di mana para peserta dibagi
dalam dua bagian besar, pertama
SHI Afrika Selatan
adalah reformasi
kompleks dengan
dampak luas pada
sistem kesehatan
secara keseluruhan.
SHI harus dianggap
sebagai media
pelayanan
kesehatan untuk
jangka panjang
bukan jangka
pendek.
yaitu Penerima Bantuan Iuran/PBI
yang terdiri dari orang-orang
miskin, orang yang tidak mampu
dan orang yang mempunyai cacat
tetap, kelompok PBI ini menjadi
tanggungan negara untuk membayar iuran asuransinya. Kedua
adalah bukan PBI yaitu golongan
yang membayar iuran yang terdiri
dari pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah, dan
bukan pekerja (beserta anggota
keluarganya masing-masing).
Sedangkan implementasi sistem
penarikan iuran di Vietnam masih
cukup beragam, hal ini karena
pembagian skema wajib dan
sukarela dan tingkat kepatuhan
terhadap aturan (termasuk membayar iuran) masih cukup rendah
(seperti pihak swasta hanya 20%,
dan pihak pekerja formal hanya
50%). Sementara itu, di Afrika
Selatan dengan sisitem iuran memakai subsidi silang antar peserta
masih menyisakan berbagai catatan implementasi seperti perlunya
analisis yang komprehensif untuk
menghitung besarnya subsudi
silang, serta perlunya penjelasan
tentang tujuan dan motivasi dari
sistem ini.
3) Cakupan kepesertaan di Indonesia juga lebih luas karena setiap
penduduk Indonesia dan orang
asing yang telah bekerja minimal
enam bulan di Indonesia diwajibkan untuk mengikuti program ini
sampai batas akhir pendaftaran
tahun 2019, sementara dua negara lainnya tidak mencakup
seluruh penduduknya karena ada
SHI Sukarela (seperti di Vietnam)
dan belum adanya jaminan setiap
penduduk miskin dapat mengikuti program SHI ini (seperti di
Afrika Selatan karena besarnya
biaya subsidi silang yang belum
bisa ditanggung oleh negara
secara keseluruhannya).
4) Dari sisi cakupan keluarga peserta
yang dijamin pelayanan kesehatannya, SHI Indonesia juga sudah
sangat jelas aturan mainnya baik
dari sisi banyaknya anggota keluarga yang dijamin sampai dengan
adanya aturan bayar tambahan
bagi yang melebihi batas (lima
orang untuk setiap keluarga).
Hal ini berarti Indonesia memang benar-benar bertekad
untuk menjadikan program SHI
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:41 PM
ini sebagai program yang dapat
mensejahterakan seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali. Sementara di kedua negara sampel
belum teridentifikasi oleh penulis
tentang berapa jumlah anggota
keluarga (termasuk peserta) yang
ditanggung oleh SHI.
5) Begitu pula cakupan manfaat
peserta juga dapat disimpulkan
bahwa SHI Indonesia dibandingkan dengan kedua negara sampel
di atas mempunyai aturan yang
lebih komprehensif dalam pelayanan peserta jaminan kesehatan
sosial ini.
Dari uraian di atas, ada dua saran
yang dapat penulis sampaikan, yaitu:
1) Memperhatikan konsep kebijakan
jaminan kesehatan sosial yang
dimiliki oleh Indonesia sudah sangat bagus maka sudah saatnya
BPJS Kesehatan—yang ditunjuk
sebagai badan penyelenggara
jaminan kesehatan ini—mulai
mempersiapkan diri secara optimal dengan sumber daya yang
dimilikinya sehingga kebijakan
penjaminan kesehatan sosial Indonesia dengan seluruh tools/ketentuan yang tersedia tersebut pada
saatnya dapat diimplementasikan
dengan baik dan benar sehingga
semangat perbaikan sistem penjaminan kesehatan yang selama ini
telah berjalan (yaitu dari sisitem
lama seperti Jamksemas, Askes,
Jamsostek ke sistem baru) benarbenar dirasakan manfaatnya oleh
seluruh penduduk Indonesia bahkan pada gilirannya bisa menjadi
salah satu benchmark bagi sistem
penjaminan kesehatan sosial di
dunia.
2) Dalam implementasinya ke depan
(yaitu mulai tahun 2014), sistem
jaminan kesehatan Indonesia
juga perlu melihat best practices
dari negara-negara lain seperti
di Vietnam dan di Afrika Selatan
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 33
DESEMBER 2013
atau di negara lainnya. Beberapa contoh yang mungkin dapat
diambil sebagai benchmark dari
negara lain adalah:
(a) pemikiran tentang perlu
tidaknya diimplementasikan
sistem subsidi silang iuran
peserta di Indonesia (seperti
praktik SHI di Afrika Selatan)
yaitu bagi PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang mendapat
subsidi iuran ke depannya
tidak hanya dari negara tapi
juga dari peserta non-PBI
yang benar-benar mampu
(dengan indikator-indikator
tertentu dan diberikan kompensasi tambahan manfaat
tertentu bagi peserta non-PBI
tersebut). Dengan diterapkannya hal ini diharapkan beban APBN untuk membayar
iuran PBI di masa yang akan
datang tidak begitu berat;
(b) mengambil contoh praktik
dari Vietnam yaitu tentang
adanya skema SHI sukarela.
Menurut penulis perlu juga
dipikirkan hal ini namun bukan pada subjeknya (pesertanya) tapi pada objeknya yaitu
cakupan manfaat. Misalnya,
bagi peserta-peserta tertentu
yang memang memerlukan
tambahan manfaat atau
manfaat khusus karena peserta tersebut memiliki kondisi
kesehatan dan penanganan
yang khusus pula maka peserta tersebut dibolehkan
mengikuti SHI sukarela yaitu
dengan membayar tambahan
iuran dengan jumlah tertentu yang pada ahirnya peserta
tersebut akan mendapatkan
kompensasi manfaat tambahan seperti yang dibutuhkan/
diinginkannya juga. n
U
T
A
M
A
Daftar Pustaka
World Health Organization, Social Health Insurance, Report of a Regional Expert Group Meeting New Delhi, India, 13-15 March 2003,
Regional Office for South-East Asia New Delhi, June 2003, available online at http://apps.searo.who.int/pds_docs/B3457.pdf;
Giang Thanh Long, Social Health Insurance in Vietnam: Current Issues and Policy Recommendations, Vietnam Development Forum (VDF)-Tokyo National Graduate Institute for Policy Studies
(GPRIS), May 2008, available online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/9926/1/
Jane Doherty, Di Mcintyre, Luci Gilson, Social Health Insurance, South
African Health Review, Durban South Africa: 2000, available online at http://www.hst.org.za/sahr.
www.antara.com, Apa itu BPJS?, 2013
Catatan
1.
www.antara.com, 2013
2. www.antara.com, 2013.
3. www.antara.com, 2013.
4. Giang Thanh Long, 2008.
5. Jane Doherty, etc, 2000.
33
1/27/2014 9:01:41 PM
Membangun Paradigma Baru Penyediaan
Infrastruktur Sosial Pendidikan dan
Kesehatan di Indonesia melalui Skema
Kerja Sama Pemerintah dan Swasta
Oleh: Eko Nur Surachman
Kepala Subbidang Risiko Infrastruktur Transportasi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian
Keuangan. Email: [email protected]
U
T
A
M
A
B
eberapa waktu yang lalu,
pemberitaan tentang program Kartu Jakarta Sehat
(KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digulirkan Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menuai
pro dan kontra serta menjadi diskusi
yang menarik baik di media cetak,
televise, maupun sosial. Pemprov
DKI Jakarta melalui kedua program
unggulannya tersebut menggelontorkan dana sebesar lebih dari Rp2,4
triliun dari APBD guna memberikan
layanan pendidikan dan kesehatan
yang terjangkau bagi warga DKI Jakarta. Sejatinya, tidak ada yang salah
dari tujuan program penyediaan layanan sosial seperti yang dilakukan
Pemprov DKI Jakarta tersebut. Akan
tetapi, di lapangan program tersebut
mengalami banyak kendala seperti
penentuan kriteria masyarakat penerima layanan yang masih melibatkan
sistem birokrasi dalam pengusulan
peserta (Program KJP) serta sistem
reimbursement yang diajukan rumah
sakit provider layanan KJS yang terikat
pada mekanisme yang tidak fleksibel
(Indonesia Case Base Group/INA-CBG)
yang berpengaruh kepada mutu layanan. Hal ini terjadi karena program
unggulan ini masih dilaksanakan dengan paradigma lama dari pelayanan
publik yaitu belanja barang dan jasa
melalui anggaran sektor publik (APBD
34
ISI_DES-2013_5a.indd 34
Dengan makin
terbatasnya
kemampuan
anggaran sektor
publik, maka
peran swasta harus
didorong untuk ikut
serta dalam upaya
pembangunan
infrastruktur ini.
dan/atau APBN). Evaluasi dan usaha
perbaikan terhadap program sosial
seperti ini memang dan harus terus
dilakukan untuk meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan tersebut
kepada masyarakat. Namun, jika kita
melihat pengalaman negara-negara
yang telah maju sistem jaminan sosialnya, terdapat cara baru yang lebih
efektif dan efisien dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut
yaitu melalui sistem Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS). Tulisan ini selanjutnya akan membahas penyelenggaraan dan penyediaan infrastruktur
sosial berupa layanan pendidikan dan
kesehatan melalui skema KPS.
Keterkaitan antara ketersediaan
infrastruktur guna mendukung dan
mempercepat pertumbuhan ekonomi sudah sangat jelas dan tidak
terbantahkan (Queiroz, 2004). Infrastruktur itu sendiri dapat dibedakan
jenisnya menjadi hard infrastructure
seperti jalan, jembatan, rel, dan sarana infrastruktur fisik lainnya. Jenis
infrastruktur yang berikutnya adalah
soft infrastructure, seperti layanan
pendidikan, kesehatan, dan layanan
sosial lainnya.1 Kebutuhan pembangunan infrastruktur sosial ini juga
sangat besar. McKinsey mencatat dari
kebutuhan pembangunan infrastruktur secara global sampai tahun 2020
sebesar US$8 triliun, 40% diantaranya
merupakan pembangunan infrastruktur sosial.2 Dengan makin terbatasnya
kemampuan anggaran sektor publik,
maka peran swasta harus didorong
untuk ikut serta dalam upaya pembangunan infrastruktur ini. Upaya ini
tidak mudah mengingat motif dan
tujuan yang berbeda secara diametral
antara sektor publik dan sektor privat.
Sektor publik bertujuan untuk melayani masyarakat (public service) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(public welfare), sementara sektor privat bertujuan untuk memaksimalkan
keuntungan (profit oriented).
Skema KPS bisa menjadi titik temu
motif dan kepentingan yang berbeda
antara sektor publik dan sektor privat.
Sektor publik mengharapkan efisiensi
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:41 PM
dingkan apabila pembangunan dilaksanakan pemerintah. VfM merupakan
metode penilaian dalam public sector
comparator (PSC) dan menentukan
skema pembangunan infrastruktur
apakah akan dilaksanakan dengan
skema KPS atau dibiayai dengan
anggaran publik. VfM mempunyai
beberapa dimensi tolok ukur, yaitu
antara lain harga (monetary value),
pembagian alokasi risiko proyek (risk
allocation), dan standar pelayanan
infrastruktur (output specification).
Jadi, di dalam analisa VfM, harga
bukan satu-satunya parameter yang
dilihat, namun juga diperhatikan
pembagian alokasi proyek yang ideal
dan standar pelayanan yang dijanjikan oleh sektor privat. Suatu proyek
yang mempunyai VfM, lebih optimal
dilaksanakan dengan KPS karena terdapat efisiensi dan inovasi teknologi
yang ditawarkan oleh sektor privat.
Sedangkan apabila sebuah proyek
dinilai tidak memiliki VfM yang memadai, sebaiknya pembangunannya
anggaran pembangunan infrastruktur
dan peningkatan layanan publik kepada masyarakat yang bisa diperoleh
dari teknologi, inovasi dan kemampuan manajerial yang ditawarkan sektor
privat, dibanding jika pemerintah
melaksanakan sendiri pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat.
Sektor privat, dalam skema ini, juga
dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan menjual ide teknologi,
kemampuan inovasi, dan kemampuan
manajerial yang memang menjadi basic behaviour-nya guna dijual kepada
sektor publik yang mempunyai captive market yang sangat luas.
Critical Success Point
dalam Penerapan Skema
KPS untuk Penyediaan
Infrastruktur Sosial
1.
Penerapan Penilaian VfM
Value for Money (VfM), merupakan ukuran efisiensi dan efektifitas
pembangunan infrastruktur yang
dilakukan oleh sektor privat diban-
dibiayai dengan anggaran sektor
publik. Hal ini dikarenakan, proyek
tersebut tidak akan laku ditawarkan
kepada sektor privat jika tetap dilelang dengan KPS. Pun, jika investor
swasta masih berminat dengan suatu
proyek, dapat dipastikan akan meminta dukungan dan fasilitas dari
pemerintah dalam skala yang masif
untuk mengkompensasi risiko karena
mengambil proyek tersebut. Untuk
lebih jelas dalam memahami konsep
PSC dan VfM, Partnership Victoria
memberikan gambaran sebagaimana
terdapat pada Tabel 1.
Didalam Tabel 1 dapat dilihat
bahwa pemerintah mempunyai Net
Present Cost (NPC) PSC sebesar 152
yang merupakan ukuran benchmark
guna menentukan skema modalitas
pembangunan infrastruktur. Apabila
dalam project brief didapat indikasi
minat investor untuk membangun
proyek bersangkutan dengan biaya
lebih dari 152 atau lebih kecil dari 152
namun meminta alokasi risiko yang
U
T
A
M
A
Tabel 1. Perbandingan PSC Guna Menentukan VfM
Conforming Partnership Victoria bid
Bids
PSC
Raw costs (NPC - $m)
• service charge to
government
80
A
B
Non-conforming bids
C
D
E
F
Competitive Neutrality
• state taxes
7
Risk valued by government
Transferable Risks
• design and construction
25
Transfer
Transfer
Transfer
• operations
10
Transfer
Transfer
Transfer
• maintenance
5
Retained
Transfer
Transfer
98
117
111
10
10
Transfer
NPC-Subtotal
127
100
120
110
Retained risks
• maintenance
• environmental
5
10
10
10
10
• technology
15
15
15
15
15
Transfer
15
Total NPC of services
152
125
145
135
128
127
126
Sumber: Partnership Victoria Guidance Material: Public Sector Comparator a Technical Note, Partnership Victoria, June 2001.
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 35
DESEMBER 2013
35
1/27/2014 9:01:42 PM
U
T
A
M
A
berlebihan kepada pemerintah (non
conforming bids), maka keputusan
untuk melelang proyek dengan skema
KPS patut dipertimbangkan. Di dalam
ilustrasi pada Tabel 1 dapat diketahui,
investor D, E, dan F, meskipun mempunyai NPC proyek lebih kecil dari
152, namun meminta agar alokasi
risiko dari design and conctruction,
operations, dan maintenance tetap
diambil oleh pemerintah. Hal tersebut
berarti, dari sudut pandang penawaran yang diajukan investor D, E, dan
F, pemerintah melihat proyek tidak
mempunyai VfM. Lebih lanjut, Tabel
1 memberikan data bahwa terdapat
investor A, B, dan C yang mempunyai
NPC sebesar 125, 145, dan 135 secara
berurutan dan dapat menerima alokasi risiko dari design and conctruction,
operations, dan maintenance berada
di sektor privat. VfM proyek ini bagi
pemerintah masing-masing sebesar,
investor A 27 (152-125), investor B 7
(152-145) dan investor C 17 (152-135).
2. Penerapan PSC sebagai Dasar
Skema KPS
Public sector comparator (PSC)
adalah konsep dasar dari keputusan
penerapan skema KPS, baik untuk
penyediaan infrastruktur komersial
maupun infrastruktur sosial. PSC merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang menghitung keuntungan
(benefit) yang diperoleh dikurangi
biaya yang dikeluarkan (cost) oleh
sektor publik (cost benefit analysis),
apabila pembangunan dan atau pelayanan infrastruktur dibiayai, dilakukan, dan dioperasikan oleh pemerintah.3 Pada umumnya, benefit yang
menjadi tolok ukur bagi pemerintah
adalah biaya pembangunan (project
cost) dan waktu penyelesaian proyek
(project timeline).4 Lebih lanjut menurut Jagger (2012), apabila dinilai biaya
proyek lebih kecil dan waktu penyelesaian proyek lebih cepat jika proyek
diserahkan kepada sektor privat, maka
36
ISI_DES-2013_5a.indd 36
pemerintah akan memilih skema KPS
sebagai metode pengadaan infrastruktur. Selain itu, kemampuan manajerial
pelayanan yang efisien juga menjadi
salah satu tujuan penggunaan skema
KPS dalam penyediaan infrastruktur
sosial.5 Efisiensi biaya dan waktu pengerjaan serta manajemen layanan ini
sangat mungkin dipenuhi oleh sektor
privat karena inovasi dan teknologi
yang diperoleh dari hasil proses research and development yang menjadi
kunci going concern business.
Oleh karena PSC merupakan
dasar pengambilan keputusan guna
menentukan skema pembiayaan pembangunan infrastruktur, metodologi
penyusunan PSC menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Studi PSC dilakukan oleh sektor publik pada awal
siklus pembangunan infrastruktur6 yaitu pada tahap project development,
dengan cara-cara sebagai berikut:
Kemampuan
manajerial
pelayanan yang
efisien juga menjadi
salah satu tujuan
penggunaan
skema KPS dalam
penyediaan
infrastruktur sosial.
a. Functional brief development,
yang menentukan cakupan layanan infrastruktur yang diberikan
kepada masyarakat, fisik bangunan infrastruktur yang diperlukan
untuk delivery layanan, dan keterkaitan antar fungsi di dalam
infrastruktur secara terintegrasi.
Hasil dari studi ini menjadi dasar
penentuan desain teknis dan
spesifikasi keluaran layanan yang
harus dipenuhi oleh sektor privat
dalam kontrak kerja sama.
b. User Group Input, hasil studi dari
functional brief development dikomunikasikan dengan para stakeholders terkait melalui seminar
maupun lokakarya untuk mendapat masukan, kritik dan saran, terutama untuk menangkap ide-ide
dan gagasan pengembangan layanan infrastruktur ke depannya.
c. Concept design, merupakan penyempurnaan dari studi functional brief development yang telah
mendapatkan masukan pada
kegiatan User Group Input.
d. Market sounding, concept design
yang dihasilkan sektor publik kemudian diperkenalkan kepada
sektor swasta guna menangkap
tanggapan dari market.
Berdasarkan hal tersebut diatas,
sektor publik kemudian menyusun
spesifikasi keluaran layanan (output
specification) dan rencana matriks
alokasi dan pembagian risiko proyek,
di mana didalamnya terdapat unsurunsur sebagai berikut7:
a. Transferable risk, berupa risiko
proyek yang ditransfer ke sektor
privat.
b. Retained risk, berupa risiko proyek
yang diambil oleh sektor publik.
c. Competitive neutrality, penyesuaian keunggulan kompetitif (competitive advantage) maupun kelemahan komparatif (comparative
disadvantage) yang dimiliki oleh
sektor publik dalam pembangunan infrastruktur. Keunggulan
kompetitif pemerintah dapat berupa kebebasan pajak, sedangkan
kelemahan sektor publik terkait
dengan mekanisme pelaporan kepada masyarakat dan parlemen.
d. Raw PSC (base costing), berupa
biaya pembangunan proyek dengan skema pengadaan pemerintah, yang terdiri dari biaya modal dan biaya operasional, baik
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:42 PM
langsung maupun tidak langsung
yang terkait dengan pembangunan, pemilikan, pemeliharaan, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu sesuai
acuan waktu konsesi, dan sesuai
dengan persyaratan kinerja (performance standard) yang telah
diatur di dalam spesifikasi keluaran layanan (output specification).
3. Tingkat Kelayakan Proyek KPS
Sosial
Penilaian kelayakan proyek KPS
dilakukan dengan menghitung aspek
ekonomis, aspek finansial dan aspek
kualitatif.8 Pada umumnya, infrastruktur sosial sebagaimana public goods
yang lain mempunyai tingkat kelayakan ekonomis yang tinggi, namun
memiliki tingkat kelayakan finansial
yang minim. Hal ini dikarenakan tarif
yang dibayarkan pengguna layanan
tidak cukup untuk memenuhi tingkat
ekspektasi keuntungan investor. Oleh
karenanya, infrastruktur sosial seperti
sarana pendidikan dan kesehatan,
dalam pembangunan dan pengoperasiannya membutuhkan subsidi
atau bantuan dalam bentuk lain yang
bersumber dari pemerintah.9 Namun
demikian, sesuai esensi proyek KPS,
struktur proyek harus dibuat sedemikian rupa sehingga peran pemerintah
dan swasta bisa maksimal sesuai kemampuan masing-masing, di mana
hal tersebut tergambar dalam pembagian alokasi risiko proyek. Susilawati,
dkk (2009), mengusulkan dalam suatu
proyek KPS sosial, kerja sama dengan
pihak ketiga dapat dipertimbangkan
untuk membuat proyek menjadi lebih
layak secara ekonomis dan keuangan.10 Dalam risetnya, Susilawati, dkk
mencontohkan pembangunan perumahan sederhana di Queensland,
Australia, di mana pihak ketiga seperti organisasi masyarakat berbasis
komunitas dilibatkan sehingga dapat
menurunkan risiko proyek. Hal ini
kemudian meningkatkan minat dan
partisipasi swasta dalam berinvestasi
karena pricing atas risiko proyek bisa
diturunkan.
Desain infrastruktur
Dalam pembangunan infrastruktur sosial dalam sektor pendidikan
dan kesehatan, desain infrastruktur
menjadi sangat penting untuk diperhatikan, terlepas dari skema pembangunan yang akan digunakan apakah
menggunakan anggaran sektor publik
atau dikerjasamakan dengan swasta.
Desain infrastruktur yang dimaksudkan disini meliputi antara lain:
a. Desain fungsional, merupakan
desain fungsionalitas sarana
infrastruktur yang menentukan
efektif dan efisiennya pelayanan
sosial pendidikan dan kesehatan;
dan
b. Master Planning dan Desain
Umum, yang memastikan analisa
dampak lingkungan dan memperhatikan potensi pengembangan
di masa depan. 11
Secara umum, proyek KPS Sosial
menggunakan modalitas skema build
(design and construct), finance, and
operate & maintenance, jadi risiko
desain ini diserahkan kepada sek-
U
T
A
M
A
Gambar 1. Usulan Skema
Struktur KPS Sosial di Indonesia
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 37
DESEMBER 2013
37
1/27/2014 9:01:42 PM
tor privat. Hal ini dilakukan karena
insentif untuk melakukan inovasi
desain guna mencapai efisiensi dan
efektifitas layanan ada di sektor
privat daripada di sektor publik. Keterlibatan pemerintah untuk turut
campur tangan dalam desain sejauh
mungkin harus dihindari, karena jika
kesalahan desain yang disebabkan
campur tangan pemerintah tersebut
menyebabkan layanan yang menjadi
output specification menjadi terganggu, maka sektor privat menjadi tidak
dapat bertanggung jawab. Hal ini
menyebabkan hasil yang diharapkan
dari sebuah proyek KPS tidak tercapai.
Kemungkinan Penerapan
Skema KPS Infrastruktur
Sosial di Indonesia
Skema KPS di Indonesia telah dikembangkan dalam satu dekade terakhir dengan regulasi yang tercantum
dalam Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 dan perubahannya. Namun demikian, proyek KPS yang diatur
dalam regulasi tersebut merupakan
Catatan
1
U
T
A
M
A
Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya
(2009) An evaluation of viability of public private partnerships in
social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia.
In: Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on
Advancement of Construction Management and Real Estate, 29-31
October 2009, Nanjing.
2 http://www.mckinsey.com/client_service/infrastructure/expertise/social_infrastructure.
3 Partnership Victoria, Partnership Victoria Guidance Material: Public
Sector Comparator a Technical Note, June 2001, hal. 2.
4 Norm Jagger , PPP: THE BEST OPTION FOR QUEENSLAND SOCIAL
INFRASTRUCTURE?, Public Infrastructure Bulletin-Bond University,
Januari 2012.
5 K.M. Mital and Vivek Mital, Public Private Partnership and Social
Infrastructure, Computer Society of India.
6 Foster Infrastructure, Best Practice in Design of Public-Private Partnerships (PPPs) for Social Infrastructure, particularly in Health Care and
Education, Agustus 2012
7 Partnership Victoria, Op Cit., 2
8 State Development. (2002a). Public Private Partnerships Guidance
Material:Business Case Development. Brisbane, Queensland: State
Development, Queensland Government
9 Halligan, I. J. (1997). Queensland- the State of Infrastructure: Public/
Private Partnerships. Unpublished Master of Project Management
Dissertation, Queensland University of Technology, Brisbane.
10 Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya
(2009) An evaluation of viability of public private partnerships in
social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia.
In: Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on
Advancement of Construction Management and Real Estate, 29-31
October 2009, Nanjing
11 Foster Infrastructure, Op.Cit.,2
38
ISI_DES-2013_5a.indd 38
proyek infrastruktur komersial, dan
belum memberikan ruang bagi pelaksanaan KPS di sektor sosial. Padahal
opportunity yang diberikan dan juga
demand proyek infrastruktur sosial
di Indonesia sangat besar, terutama
di sektor pendidikan dan kesehatan.
Hal ini sangat logis karena struktur
demografi penduduk dan tingkat pertumbuhan ekonomi terutama kelas
pendapatan menengah (middle class
income) yang sangat pesat, tentunya
permintaan mereka terhadap layanan
infrastruktur sosial juga meningkat.
Selain itu, kebijakan anggaran publik
pemerintah juga memberikan opportunity bagi pelaksanaan proyek KPS
sosial. Sebagaimana diketahui porsi
anggaran pendidikan dan kesehatan
di APBN mencapai hampir 25% per
tahun atau hampir berkisar Rp300350 triliun. Dari jumlah anggaran
yang sangat besar ini, efektifitas dan
efisiensi penggunaannya serta pencapaian sasaran programnya masih
menjadi permasalahan sektor publik
(Kementerian/Lembaga). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, efektifitas
dan efisiensi pelayanan merupakan
keunggulan komparatif sektor privat, maka apabila skema KPS bisa
didayagunakan pada pembangunan
infrastruktur sosial pendidikan dan
kesehatan, tentu hasil yang dicapai
lebih baik. Usulan struktur proyek
dengan skema KPS dapat dilihat pada
Gambar 1 sebagai berikut.
Skema struktur proyek diatas
mempertimbangkan existing keberadaan Badan Layanan Umum seperti
LPDP di sektor pendidikan dan BPJS di
sektor kesehatan sebagai procuring
agency yang menjadi perwakilan dari
Kementerian/Lembaga. Hal ini dimaksudkan agar BLU tersebut mempunyai
aturan pengelolaan keuangan yang
lebih fleksibel dibanding dengan Kementerian/Lembaga yang cukup rigid
dalam mengelola keuangan yang bersumber dari APBN. n
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:42 PM
Pelayanan Kesehatan
Preventif dan Promotif
pada Sistem Jaminan
Sosial Nasional
Oleh: Yusuf Munandar
Peneliti Muda pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected]
L
ima puluh enam tahun setelah
kata-kata jaminan sosial (social
security) dinyatakan dalam
Universal Declaration of Human Rights1, akhirnya sistem jaminan
sosial dapat diselenggarakan di Indonesia dengan disahkannya UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Article 22 pada Universal Declaration
of Human Rights menyatakan bahwa:
Everyone, as a member of society,
has the right to social security and entitled to realization, through national
effort and international cooperation
and in accordance with the organization and resources of each State, of
the economic, social and cultural rights
indispensable for his dignity and the
free development of his personality.
Pemerintah berencana memulai
pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) pada 1 Januari 2014.
Apakah SJSN itu dan bagaimana implementasinya nanti, uraian berikut
ini akan membahasnya.
Jaminan Sosial dan Sistem
Jaminan Sosial Nasional
Jaminan sosial adalah salah
satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 39
DESEMBER 2013
dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak (Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional). Sedangkan Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu
tata cara penyelenggaraan program
jaminan sosial oleh beberapa badan
penyelenggara jaminan sosial (Pasal
1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional).
Secara teori, jaminan sosial adalah
suatu skema proteksi yang ditujukan
untuk tindakan pencegahan khususnya bagi masyarakat yang memiliki
penghasilan terhadap berbagai risiko/peristiwa yang terjadi secara alami
seperti sakit, kecelakaan, kematian
prematur, PHK sebelum usia pensiun,
dan hari tua. Dua frasa yang dapat
digarisbawahi dari pengertian di atas
adalah proteksi dan tindakan pencegahan (Bambang Purwoko, 2010).
Proteksi atau pencegahan tersebut memiliki dua sifat yaitu terstruktur
dan tidak terstruktur. Pencegahan terstruktur misalnya pencegahan terhadap kecelakaan kerja yang dilakukan
dengan memberlakukan peraturan
tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) untuk meminimalisasi pe-
ristiwa kecelakaan kerja yang disertai dengan pengawasan ketat yang
melekat di tempat kerja. Contoh lain
pencegahan terstruktur adalah di
pesawat terbang di mana setiap penumpang diwajibkan mengikat sabuk
keselamatan sesuai instruksi. Pencegahan yang tidak terstruktur terjadi
pada peristiwa sakit, sebagai contoh
tentang kampanye bahaya rokok.
Terdapat lima jenis program jaminan sosial yaitu jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin
agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan. Manfaat jaminan
kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan
yang mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Pelayanan
kesehatan tersebut meliputi:
a. pelayanan dan penyuluhan kesehatan;
b. imunisasi;
c. pelayanan Keluarga Bencana
(KB);
U
T
A
M
A
39
1/27/2014 9:01:42 PM
d.
e.
f.
g.
U
T
A
M
A
rawat jalan;
rawat inap;
pelayanan gawat darurat; dan
tindakan medis lainnya, termasuk
cuci darah dan operasi jantung.
Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan, artinya
jaminan kesehatan yang bersifat atau
berbasis masyarakat tidak dicakup
dalam SJSN, seperti higienis dan sanitasi lingkungan yang sehat, gizi yang
cukup dan terhindar dari penyakit menular. Higienis dan sanitasi lingkungan
yang sehat memiliki beberapa syarat,
antara lain persediaan air, pembuangan, pembasmian binatang penyebar
penyakit, dan sanitasi makanan dan
minuman.2 Air yang sehat memenuhi
persyaratan fisik (jernih, tidak berbau,
tidak berwarna, dan tidak berasa),
persyaratan kimia (tidak mengandung
zat yang berbahaya dan mineral yang
melebihi batas normal), dan persyaratan bakteriologis (tidak mengandung bibit penyakit). Sumur sebagai
sumber air juga harus memperhatikan jarak dari kakus paling tidak 10
meter. Sementara itu, pembuangan
adalah zat atau benda yang sudah
tidak terpakai, berasal dari makhluk
hidup (feses) maupun makhluk tak
hidup. Pembuangan feses tidak boleh mengotori tanah permukaan, air
permukaan dan air dalam tanah serta
tidak boleh terbuka. Dari penjelasan
tersebut terlihat bahwa dibandingkan
kesehatan berbasis perseorangan,
kesehatan berbasis masyarakat lebih
menitikberatkan pada upaya preventif
dan promotif kesehatan.
Tiga jenis pelayanan pada program jaminan kesehatan, yaitu penyuluhan kesehatan, imunisasi, dan
pelayanan KB merupakan pelayanan
promotif dan preventif. Jenis pelayanan lainnya yaitu pelayanan kesehatan,
rawat jalan, rawat inap, pelayanan
gawat darurat, dan tindakan medis
lainnya termasuk cuci darah dan operasi jantung, merupakan pelayanan
40
ISI_DES-2013_5a.indd 40
kuratif dan rehabilitatif. Secara sederhana, yang disebut dengan pelayanan
promotif adalah peningkatan kesehatan, preventif adalah pencegahan
penyakit, kuratif adalah pengobatan
penyakit dan rehabilitatif adalah pemulihan kesehatan.
Dalam Pasal 22 UU SJSN diatur
bahwa masyarakat menerima manfaat jaminan kesehatan, yang diberikan
pada fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). BPJS tersebut
adalah BPJS Kesehatan, antara lain
Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)
dan Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ASABRI).
Visi ASKES adalah menjadi spesialis dan pusat unggulan asuransi
kesehatan di Indonesia, sedangkan
misinya adalah: memberikan kepastian jaminan pemeliharaan kesehatan
kepada peserta (masyarakat Indonesia) melalui sistem pengelolaan yang
efektif dan efisien, mengoptimalkan
pengelolaan dana dan pengembangan sistem untuk memberikan pelayanan prima secara berkelanjutan kepada
peserta, mengembangkan pegawai
untuk mencapai kinerja optimal dan
menjadi salah satu keunggulan bersaing utama perusahaan, dan membangun kordinasi dan kemitraan yang
erat dengan seluruh stakeholder untuk bersama menciptakan pelayanan
kesehatan yang berkualitas.3
Visi ASABRI adalah menjadi perusahaan pengelola program asuransi
sosial nasional terbaik yang mampu
memberikan manfaat/jaminan yang
optimal dalam pelaksanaan kegiatan
pembayaran asuransi/pensiun, serta
pelayanan terbaik bagi peserta dengan tetap memperhatikan kesejahteraan pegawai. Misi ASABRI adalah
meningkatkan kesejahteraan Prajurit
TNI, anggota TNI, anggota Polri dan
PNS Kemhan/Polri, dengan memberikan pelayanan pembayaran asuransi/pensiun dengan prinsip 5 T (Tepat
Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Alamat,
Tepat orang dan Tertib Administrasi)
dan 4 S (Senyum, Salam, Sapa dan
Sabar) yang dilandasi keakuratan
data berbasis teknologi informasi dan
didukung sarana/prasarana pelayanan
yang maksimal serta sumber daya manusia yang profesional.4
Melihat baik pada satu visi dan
empat misi ASKES maupun visi dan
misi ASABRI, tidak terdapat visi atau
misi yang bersifat promotif maupun
preventif kesehatan. Dengan demikian, secara sistematis, pelaksanaan SJSN
tampak lebih menitikberatkan pada
pelayanan kuratif dan rehabilitatif,
daripada promotif dan preventif.
Kebutuhan Akan
Prasarana Umum
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis penyakit yang
menyebabkan kematian tertinggi di Indonesia adalah penyakit jantung koroner (PJK) dan kanker. Khusus penyakit
pada anak usia 1 s. d. 4 tahun ada dua
penyakit sebagai penyebab kematian,
yaitu diare dan penyakit saluran nafas.
Selain menjaga kesehatan ibu dan
anak (KIA), untuk pencegahan penyakit tersebut, peran vital air bersih dan
sanitasi lingkungan perlu diperhatikan.
Hal ini menjadi penting karena sebagian besar penyakit menular disebabkan
pencemaran makanan dan minuman
(David,1999 dalam Tukiman, 2010).
Mengingat jaminan sosial merupakan suatu sistem, maka diperlukan
prasarana umum dan kesehatan yang
harus difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah serta oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, termasuk
prasarana dalam pencegahan peristiwa sakit. Pemerintah dan masyarakat
harus selalu memantau dan menjaga
kesehatan ibu dan anak. Sementara,
cara pencegahan penularan penyaINFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:42 PM
Gambar 1. Perkembangan Program Water Supply and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC)
Sumber: S.Bellafolijani Adimihardj (2009).
kit melalui media air atau makanan
dapat dilakukan antara lain dengan
cara sanitation barrier yaitu memutus
rantai penularan, seperti menyediakan air bersih dan tempat buang air
besar serta membuang sampah tidak
di sembarang tempat.5 Apabila masyarakat belum mampu mewujudkannya, maka menjadi tugas pemerintah
baik pusat maupun daerah dalam
penyediaan air bersih, tempat buang
air besar maupun tempat sampah dan
pembuangannya.
Program PAMSIMAS
Salah satu upaya promosi hidup
sehat dan pencegahan penyakit adalah penyediaan akses air minum dan
sanitasi dasar. Untuk meningkatkan
akses layanan air minum dan sanitasi
dasar serta mewujudkan tujuan MDG,
pada 27 Desember 2007, Pemerintah
menandatangani kerja sama dengan
Bank Dunia untuk melaksanakan kegiatan penyediaan air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan
rendah di perdesaan dan pinggiran
perkotaan (peri-urban). Kegiatan ini
disebut dengan Third Water Supply
and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-3) atau Pamsimas
(Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat). Pamsimas atau
WSLIC-3 merupakan kelanjutan dari
kegiatan sebelumnya yaitu WSLIC
(1993-1999) dan WSLIC-2 (2000-2009)
yang pendanaannya didukung Bank
Dunia. Pada praktiknya Pamsimas dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.6
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 41
DESEMBER 2013
Selain untuk mewujudkan tujuan
MDG, Pamsimas juga merupakan salah
satu bentuk tindak lanjut dari Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(KSNP-SPAM). KSNP-SPAM merupakan
amanat Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005
sendiri merupakan pelaksanaan dari
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum (KSNP-SPAM) merupakan
acuan bagi para pelaku pembangunan/penyelenggaraan SPAM di tingkat
nasional dan daerah dengan memperhatikan (1) adanya keinginan untuk
meningkatkan kondisi air minum sesuai dengan sasaran atau kondisi yang
diinginkan dalam pengembangan
SPAM, baik secara teknis, manajemen,
keuangan maupun hukum, (2) pencapaian sasaran dilakukan melalui peru-
musan tujuan dan sasaran Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan
SPAM yang merupakan hasil monitoring dan evaluasi sasaran pencapaian,
dan (3) dalam perumusan tujuan dan
sasaran berpedoman pada landasan
hukum yang ada berdasarkan isu-isu
strategis dan permasalahan yang dihadapi saat ini, serta memperhatikan
Deklarasi Internasional dan Nasional.
Pamsimas merupakan salah satu
program dan aksi nyata pemerintah
(pusat dan daerah) dengan dukungan Bank Dunia untuk meningkatkan
penyediaan air minum, sanitasi, dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama dalam menurunkan
angka penyakit diare dan penyakit
lain yang ditularkan melalui air dan
lingkungan.
Komponen program Pamsimas
meliputi 5 program yaitu pemberdayaan masyarakat dan pengembangan
kelembagaan lokal, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dan layanan higienis dan sanitasi,
U
T
A
M
A
Gambar 2. Perbandingan Tujuan BOK dan Jamkesmas
Sumber: Tini Suryanti Suhandi (2011).
41
1/27/2014 9:01:42 PM
Tabel 1. Kegiatan Yang Dapat Dibiayai dan Tidak Dapat Dibiayai
Dari Dana BOK
U
T
A
M
A
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 210 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional
Kesehatan.
penyediaan sarana air minum dan sanitasi umum, insentif desa/kelurahan
dan kabupaten/kota, dan dukungan
pelaksanaan dan manajemen proyek.
Secara keseluruhan Pamsimas tersebar
di 110 kabupaten dan kota pada 15
provinsi di Indonesia.
Dana Bantuan
Operasional Kesehatan
Upaya pencegahan (prevensi)
penyakit dan promosi hidup sehat diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah, salah
satunya melalui Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK). BOK diharapkan dapat berkontribusi meningkatkan akses
dan pemerataan pelayanan kesehatan
masyarakat, utamanya melalui kegiatan promotif dan preventif, sesuai
dengan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Kesehatan dengan fokus pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.
Penyediaan BOK bagi Puskesmas dan
42
ISI_DES-2013_5a.indd 42
jaringannya, Poskesdes dan Posyandu,
dimulai tahun 2010. Pada tahun 2011,
dilakukan perubahan mekanisme
penyaluran dana, yaitu yang semula
melalui mekanisme Bantuan Sosial
diubah menjadi melalui mekanisme
Tugas Pembantuan. Di samping itu,
pengelolaan BOK di provinsi dan kabupaten/kota tahun 2011 diintegrasikan dengan pengelolaan Jamkesmas
dan Jampersal agar pemanfaatan dananya memberikan daya ungkit besar
dalam pencapaian MDGs.
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 210 Tahun 2011 tentang
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional
Kesehatan, dari sekian banyak upaya
kesehatan yang diselenggarakan
Puskesmas, dana BOK utamanya digunakan untuk mendukung upaya
kesehatan yang bersifat promotif dan
preventif yang meliputi 6 upaya yaitu
kesehatan ibu dan anak termasuk Keluarga Berencana, imunisasi, perbaikan
gizi masyarakat, promosi kesehatan,
kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit. Kegiatan yang dapat
dibiayai dari dana BOK dan kegiatan
yang tidak dapat dibiayai dari dana
BOK dapat dilihat pada Tabel 1.
Total dana BOK secara nasional
pada tahun 2011 mencapai Rp.904 miliar. Alokasi terbesar adalah di pulau
Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi karena memiliki jumlah unit Puskesmas
terbanyak (Tabel 2).
Kesimpulan
Manfaat jaminan kesehatan
bersifat pelayanan perseorangan, artinya jaminan kesehatan yang bersifat
masyarakat tidak dicakup dalam SJSN.
Kesehatan yang bersifat atau berbasis
masyarakat antara lain seperti higienis
dan sanitasi lingkungan yang sehat
dan terhindar dari penyakit menular.
Dibandingkan kesehatan berbasis
perseorangan, kesehatan berbasis
masyarakat lebih menitikberatkan
pada upaya preventif dan promotif
kesehatan.
Tabel 2. Distribusi Dana BOK Tahun 2011
Sumber: Tini Suryanti Suhandi (2011).
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:43 PM
Pelaksanaan SJSN lebih bersifat
kuratif dan rehabilitatif, terlihat dari
visi dan misi BPJS Kesehatan baik ASKES maupun ASABRI dimana dalam
visi dan misinya tidak menampakkan
upaya preventif maupun promotif
kesehatan. Upaya preventif dan
promotif kesehatan seperti program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum
dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) dan
Dana Bantuan Operasional Kesehatan
(BOK) bukan untuk memenuhi amanat UU SJSN, tetapi untuk mewujudkan tujuan MDG.
Selain untuk mewujudkan tujuan
MDG, Pamsimas juga merupakan salah
satu bentuk tindak lanjut dari Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
(KSNP-SPAM). KSNP-SPAM merupakan
amanat Peraturan Pemerintah Nomor
16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang
merupakan pelaksanaan dari Pasal 40
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air.
Rekomendasi Kebijakan
Tanpa upaya pencegahan penyakit (preventif) dan penjagaan hidup
sehat (promotif), jumlah orang sakit
semakin bertambah seiring meningkatnya usia dan jumlah penduduk.
Selain meningkatkan iuran jaminan
sosial, bertambahnya jumlah orang
sakit akan menurunkan produktifitas
yang dapat berimbas pada menurunnya laju pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, dalam praktik, Sistem
Jaminan Sosial Nasional harus mengakomodasi upaya promotif dan preventif secara lebih sistematis. Upaya
preventif meliputi baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur.
Badan penyelenggara jaminan sosial
harus bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta swasta dan
masyarakat dalam mengimplementasikan pelayanan kesehatan promotif
dan preventif. n
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 43
DESEMBER 2013
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardj, S.Bellafolijani. (2009). Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasis Masyarakat. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Diakses tanggal 15 November 2013, dari http://new.
pamsimas.org/data/buku/buku_pamsimas.pdf.
Purwoko, Bambang. (2010). Sistem Jaminan Sosial: Asas, Prinsip, Sifat
Kepesertaan dan Tata Kelola Penyelenggaraan di Beberapa Negara.
Dipresentasikan pada Seminar Sehari Sosialisasi Jamsostek diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Jamsostek tanggal 15 Desember 2010 di Hotel Millenium Jakarta. Diakses tanggal 14
November 2013, dari http://www.djsn.go.id/4.pdf.
Suhandi, Tini Suryanti. (2011). Monitoring dan Evaluasi Kebijakan BOK
dan Jampersal. Makalah dipresentasikan pada Seminar Forum Nasional II: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dari Penetapan
Agenda ke Evaluasi Kebijakan Kesehatan di Makassar pada 29
September 2011. Diakses tanggal 14 November 2013, dari http://
kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/makasar/Forum%20Nasional%20II%20Makassar%20-%20Presentasi%20Karoren%20-%20BOK%20%26%20Jampersal%20EDIT.pdf.
Tukiman, (2005). Upaya Pencegahan Penyakit dan Perilaku Hidup Sehat
Menuju Indonesia Sehat 2010. Jurnal Info Kesehatan Masyarakat,
Volume 9 Nomor 2 Desember 2005, hal.186-190. Medan: Universitas
Sumatera Utara. Diakses tanggal 14 November 2013 dari, http://
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15323/1/ikm-des2005-%20
(8).pdf.
United Nations. (2008). Universal Declaration of Human Rights: 60th Anniversay Special Edition 1948-2008. New York: United Nations Department of Public Information. Diakses tanggal 14 November 2013, dari
http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/60UDHR/bookleten.pdf.
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_menular, diakses tanggal 14 November 2013.
http://www.indonesian-publichealth.com/2013/07/teori-surveilans-kesmas.
html, diakses tanggal 15 November 2013.
http://www.ptaskes.com/info-perusahaan/18/Visi-dan-Misi, diakses tanggal
13 Desember 2013.
http://www.asabri.co.id/index.php/tentang_kami/visi_misi, diakses tanggal
13 Desember 2013.
U
T
A
M
A
Catatan
1
2
3
4
5
6
United Nations (2008).
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Banu%20Setyo%20Adi,%20M.Pd./Hygiene%20dan%20Sanitasi.pdf, diakses Senin
30 Desember 2013 pukul 14.12 WIB.
http://www.ptaskes.com/info-perusahaan/18/Visi-dan-Misi, diakses
Senin 30 Desember 2013 pukul 13.45 WIB.
http://www.asabri.co.id/index.php/tentang_kami/visi_misi, diakses
Senin 30 Desember 2013 pukul 13.53 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_menular, diakses Kamis 14 November 2013 pukul 10.42 WIB.
S. Bellafolijani Adimihardj (2009).
43
1/27/2014 9:01:43 PM
Kedaulatan Pangan dan
Kecukupan Pangan
Negara Wajib Mewujudkannya
Oleh: Syahrir Ika
Peneliti Utama PPRF, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected]
P
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
angan merupakan kebutuhan dasar manusia yang
paling hakiki bagi penduduk suatu Negara. Karena
itu, sejak berdirinya Negara Republik
Indonesia, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib
menjalankan kedaulatan pangan (hak
rakyat atas pangan1) dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan pangan
bagi penduduk. Kewajiban dimaksud
mencakup kewajiban menjamin
ketersediaan, keterjangkauan, dan
pemenuhan konsumsi pangan yang
cukup, aman, bermutu, dan bergizi
seimbang2. Untuk bisa melaksanakan
kewajiban tersebut secara efektif,
maka Negara wajib menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
(UUD 1945 pasal 33 ayat 3).
Selain sebagai hak asasi manusia, pangan juga memiliki peran
strategis bagi suatu Negara karena
dapat mempengaruhi kondisi sosial,
ekonomi, dan politik Negara tersebut.
Banyak negara yang mampu berubah
menjadi negara maju karena kemajuan sektor pertaniannya, sebut saja
China, Jerman, Australia, dan New
Zealand. Tatkala ketersediaan pangan
menjadi langka, maka rakyat bisa bertindak anarkis dan menurunkan rezim
pemerintahan yang sedang berkuasa
sebagaimana yang dialami di Mesir
dan Aljazair3. Pertanyaannya, apakah
44
ISI_DES-2013_5a.indd 44
Negara sudah berhasil menegakkan
kedaulatan pangan dan memenuhi
kecukupan pangan bagi penduduk
Indonesia?
Ekonomi Pangan : Potensi
Besar Tetapi Belum
Dioptimalkan
Paling tidak, ada tiga argumen
untuk mengatakan bahwa potensi
di sektor pangan bisa diandalkan
menjadi penyangga utama kekuatan
ekonomi Indonesia. Pertama, dari sisi
sumber daya alam (SDA), Indonesia
memperoleh keberuntungan sebagai
Negara agraris.Tata letak wilayah Indonesia yang persis berada di garis katulistiwa memiliki iklim tropis dengan
dua musim, yaitu di wilayah bagian
selatan banyak kemarau dan di wilayah bagian utara banyak hujan. Kondisi iklim dan musim yang demikian
memungkinkan sebagian besar jenis
tanaman dan hewan ternak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Selain itu, setiap wilayah di Indonesia
memiliki keunggulan sumber daya
masing-masing yang bisa menjadi
penyangga pangan bagi semua penduduk Indonesia. Kebutuhan daging
sapi nasional bisa disuplai dari daerah Nusa Tenggara. Kebutuhan beras
nasional bisa disuplai oleh beberapa
daerah di Jawa dan Sulawesi Selatan.
Kebutuhan hortikultura dan gula
nasional bisa disuplai oleh beberapa
daerah di Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Sementara wilayah Sulawesi,
Maluku dan Papua sangat potensial
menjadi penyangga stok ikan dan
hasil-hasil laut nasional.
Kedua, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia memilih usaha tani
sebagai mata pencaharian pokoknya.
BPS melaporkan bahwa jumlah Rumah
Tangga Usaha Tani (RTUT) pada tahun
2013 sebanyak 26,13 juta RT (Suryamin,
Kepala BPS, DetikFinance, 2013)4. Artinya, apabila masing-masing RTUT
memiliki 3 anak saja, maka jumlah
penduduk yang bekerja pada sektor
usaha tani mencapai sekitar 130,6 juta
orang atau sekitar 56,8 persen (asumsi
jumlah penduduk Indonesia sebanyak
230 juta orang).
Ketiga, dari sisi potensi SDM,
Indonesia memiliki banyak sarjana
pertanian yang dapat diandalkan
untuk meningkatkan produksi hasilhasil pertanian sehingga masalah
suplai pangan bisa diatasi dengan
baik. Data Ditjen Dikti Kementerian
Pendidikan Nasional, yang dirilis PISPI
menunjukkan bahwa lulusan sarjana
pertanian termasuk didalamnya sarjana peternakan dan perikanan Indonesia mencapai sekitar 3,32 persen dari
seluruh lulusan sarjana di Indonesia
(Salman Dianda Anwar, Wakil Ketua Umum 2012). Dengan demikian,
jumlah sarjana pertanian di seluruh
Indonesia mencapai sekitar 300 ribu
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:43 PM
orang lebih. Ditjen Dikti juga melaporkan bahwa setiap tahun kelulusan
sarjana pertanian mencapai sekitar
34 ribu sarjana sehingga total sarjana
pertanian akan mendekati angka 400
ribu orang pada akhir tahun 2013. Bila
negara memberikan perhatian yang
signifikan kepada para ahli pertanian
ini, misalnya penciptaan kondisi atau
iklim usaha yang menjanjikan keuntungan dan memberikan insentif bagi
para peneliti dan penyuluh pertanian,
maka produktivitas hasil-hasil pertanian akan meningkat dan Indonesia
akan menjadi salah satu negara yang
tidak saja mampu memberi makan
kepada semua rakyatnya, tetapi juga
mampu memberi makan kepada sebagian penduduk dunia.
Potensi sumber daya pangan dan
SDM yang kita miliki ternyata belum
mampu ditransformasikan menjadi
kemakmuran dan kesejahteraan bagi
penduduk Indonesia. Data yang dirilis
pemerintah (BPS) maupun lembagalembaga internasional menyebutkan
bahwa sebagian besar rumah tangga
petani Indonesia masih merupakan
rumah tangga miskin bahkan tidak
sedikit dari mereka yang mengalami
kelaparan dan kurang gizi. Selain itu,
peranan sektor pertanian terhadap
PDB juga masih rendah, di mana pada
tahun 2012 hanya mencapai sekitar
14,2 persen padahal sektor pertanian
menyerap sekitar 40% tenaga kerja5.
Impor pangan dalam jumlah yang
besar juga telah memperburuk neraca
perdangan dan membuat Indonesia
semakin bergantung pada pangan
impor. Pada tahun 2011, nilai impor
pangan Indonesia sudah mencapai
sekitar US$20,6 miliar, suatu jumlah yang tidak kecil untuk ukuran
Indonesia yang merupakan Negara
agraris. Sementara dari sisi neraca
perdagangan, kecuali neraca pangan
perkebunan yang masih surplus, neraca perdagangan pangan lainnya
mengalami defisit. Tanpa melakukan
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 45
DESEMBER 2013
revitalisasi peran Negara di sektor
pertanian dan pangan, masalah ini
akan semakin sulit diatasi.
Problematika Pangan
Indonesia
Ada beberapa faktor yang terindikasi sebagai penyebab performa
sektor pertanian di Indonesia masih
belum berkembang sesuai yang diharapkan, yaitu antara lain:
1.
Kendala produksi
Kementerian Pertanian sering
merilis data bahwa setiap tahun terdapat sekitar 110.000 hektare lahan
pertanian yang beralih fungsi menjadi
lahan non-pertanian. Jumlah sawah
baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana APBN) hanya
mencapai 20.000 hingga 40.000 hektare per tahun, tidak sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi6.
Akibatnya, produksi pangan semakin
terbatas dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis seperti
beras, kedelai, bawang merah, cabai,
daging sapi, dan buah-buahan segar
semakin langka di pasaran.
Di sisi lain, permintaan masyarakat terus bertambah seiring dengan
Potensi sumber
daya pangan dan
SDM yang kita
miliki ternyata
belum mampu
ditransformasikan
menjadi
kemakmuran dan
kesejahteraan
bagi penduduk
Indonesia.
penambahan jumlah penduduk. Akibatnya, daerah-daerah yang semestinya menjadi penyangga pangan nasional, ternyata kini mengalami defisit
pangan sehingga harus mendatangkan pangan dari Daerah atau Negara
lain. Dalam beberapa tahun terakhir
ini, impor pangan dipakai sebagai
solusi rutin untuk mengatasi defisit
pangan, yang tentunya menghabiskan banyak devisa negara. Langkah
pemerintah untuk membolehkan impor beberapa komoditas pangan strategis juga telah menurunkan motivasi
para petani untuk berproduksi karena
harga jual pangan impor lebih rendah
dari harga jual di tingkat petani. Biaya
produksi petani kian meningkat karena mahalnya sewa lahan dan benih
pangan hibrida yang dihasilkan oleh
korporasi asing dari AS, Jepang, dan
Thailand.
2. Terbatasnya Tenaga Penyuluh
Pertanian
Program “satu desa-satu penyuluh” yang telah dicanangkan
pemerintah merupakan program
yang kredibel. Namun, hingga saat
ini program itu tidak berjalan efektif.
Satu desa satu penyuluh masih sulit
sekali diwujudkan. Menurut Menteri
Pertanian, Suswono (2013), saat ini
jumlah penyuluh pertanian hanya
sebanyak 48 ribu orang, terdiri dari
27 ribu pegawai negeri sipil (PNS)
dan 21 ribu tenaga honorer lapangan
(THL), sementara di seluruh Indonesia
terdapat 70 ribu desa7.
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
Apakah pemerintah sulit mencari
tenaga penyuluh yang hanya sebanyak 70 orang tersebut? Mestinya tidak sulit karena jumlah sarjana pertanian yang dimiliki Indonesia mencapai
lebih dari 300 ribu orang. Pertanyaannya, apakah para sarjana pertanian ini
bergerak ke sektor pertanin ataukah
ke sektor non-pertanian. Sedikitnya
sarjana pertanian yang masuk ke sektor pertanian mengindasikan bahwa
45
1/27/2014 9:01:43 PM
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
sektor pertanian kurang menarik atau
tidak menjanjikan masa depan yang
baik. Paling tidak terdapat empat kemungkinan faktor yang menyebabkan
masalah ini muncul.
Pertama, insentif yang disediakan
pemerintah mungkin saja memadai
tetapi salah sasaran. Kedua, insentif
yang disediakan pemerintah kurang
memadai sehingga tidak menstimulasi
para ahli pertanian bekerja di sektor
pertanian. Ketiga, potensi penghasilan tinggi ditawarkan oleh sektor manufakturdan sektor lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi dan
pasar modal. Keempat, para sarjana
pertanian ini tidak diberi bekal ilmuilmu enterpreneurship yang memadai
pada saat mereka menduduki bangku
kuliah.
3. Mahalnya harga benih
Peran korporasi pangan semakin
menguasai ekonomi pangan Indonesia semenjak pemerintah membentang “karpet merah” bagi korporasi
pangan, khususnya asing. Korporasi
pangan milik asing, sudah merambat
dari produksi ke perbenihan. Benih,
yang mestinya bisa dibuat sendiri oleh
petani Indonesia dan korporasi domestik, kini sudah dikuasai korporasi
asing selama kurang lebih 10 tahun
terakhir. IGJ (International Global
Jastice) melaporkan bahwa empat
perusahaan asing, yaitu Monsanto,
Dupont, Syngenta, dan Charoen
Pokphand, telah mengusai penjualan
dan produksi benih di Indonesia. Monsanto Indonesia misalnya, melaporkan
bahwa pangsa pasar benih jagung
hibrida saat ini sebesar 15%. Ke depan,
Monsanto Indonesia optimis mampu
menaikkan porsi pasar benih jagung
hibrida menjadi 30% terutama ditujukan untuk pemenuhan pakan ternak
nasional pada tahun ini yang berkisar
6-7 juta ton (Chris J. Peterson, Country
Lead Monsanto Indonesia, kabarbisnis.
com, 29 April 2013).
46
ISI_DES-2013_5a.indd 46
PT SHS (Sang Hyang Seri), sebuah
BUMN yang bergerak dalam bidang
perbenihan memiliki peran yang relatif kecil dalam pasar benih hibrida.
Benih padi hibrida yang dihasilkan
BUMN ini hanya mampu mensuplai
sekitar 35 persen dari total kebutuhan
benih hibrida nasional sekitar 10 ribu
ton. Sementara benih jagung hibrida
yang dihasilkan SHS juga kontribusinya sangat kecil, sekitar 10 persen
dari kebutuhan nasional sebesar 99
ribu ton. Kebutuhan benih hibrida
sektor holtikultura malah tidak
mampu disuplai oleh SHS. BUMN ini
hanya mampu memasok 2 persen
dari kebutuhan nasional sekitar 7 ribu
ton. Dengan kata lain, lebih dari 90
persen benih pangan hibrida dikuasai
korporasi asing, baik yang diproduksi
di dalam negeri maupun didatangkan dari negara lain (impor). Peluang
asing di bidang perbenihan terbuka
lebar setelah pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 25 Tahun
2007 tentang Penaman Modal. Peranan perusahaan asing juga meningkat
setelah pemerintah menerbitkan UU
No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budi
Daya Tanaman, yang antara lain melarang petani melakukan pembudidayaan benih.
Kehadiran dua UU ini jelas-jelas
mengancam keberadaan para petani
kecil yang semestinya harus dilindungi oleh pemerintah. Petani harus
membeli benih dari korporasi (BUMN
dan Swasta asing) yang harganya sangat mahal. Beruntung, Mahkamah
Konstitusi (MK) sudah menetapkan
bahwa kalimat “perseorangan” pada
pasal 9 UU No.12 Tahun 1992 tidak
memiliki kekuatan hukum sehingga
petani boleh melakukan pemuliaan
tanaman tanpa harus memperoleh
izin dari pemerintah.
4. Subsidi pangan masih belum
efektif
Setiap tahun Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi (antara
lain pangan, benih, pupuk, dan kredit
tani). Tujuannya untuk mendorong
peningkatan produksi pangan, mengurangi impor pangan, meringankan biaya produksi petani, serta
mengupayakan terwujudnya swasembada pangan. Pemerintah juga
Tabel-1 : Perkembangan Subsidi 2006, 2008, dan 2011 (miliar rupiah)
Perkembangan Subsidi
Uraian Subsidi
2006
2008
2011 (APBN-P)
Energi (BBM+Listrik)
Non Energi (umumnya
pertanian)
• Pangan
• Pupuk
• Benih
• PSO
• Bunga Kredit Program
• Minyak Goreng
• Kedele*)
• DTP
• Subsidi Lainnya
94.065,4
12.826,4
223.013,2
52.278,1
195.288,7
41.906,0
5.320,2
3.165,7
131,1
1.795,0
286,2
1.863,8
264,4
12.095,9
15.181,5
985,2
1.729,1
939,3
103,3
225,7
21.018,2
-
15.267,0
18,803,0
120,3
1.849,4
1.866,2
4.000,0
-
Jumlah
107.431,8
275.291,4
237.194,7
Sumber : Nota Keuangan dan APBN 2012, Kementerian Keuangan RI
*) Selama tahun 2006 hingga 2011, Pemerintah hanya sekali mensubsidi kedelai, yaitu pada tahun 2008
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:43 PM
Tabel-2. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, 2005-2011
Tahun
Produksi Beras
(Juta Ton)
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Konsumsi Beras
(Juta Ton)*
34,96
35,30
37,00
38,31
36,37
38,00
35,74
35,90
36,35
37,10
38,00
38,55
Impor (Juta Ton)
0,54
2,00
0,35
0,25
1,15
0,95
Sumber : BPS2 dan *USDA3, 2011 (diolah)
memberikan bantuan beras (subsidi)
kepada golongan rakyat miskin untuk
memenuhi hak dan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat (Tabel 1). Dalam
periode 2006-2011, subsidi pertanian
(non-energi) meningkat tajam dari
Rp12,8 triliun menjadi Rp41,9 triliun.
Subsidi yang bersifat rutin adalah
pangan, pupuk, benih, bunga kredit
pinjaman dan PSO. Sementara jenis
subsidi lain seperti kedelai dan minyak
goreng, tidak bersifat rutin atau dialokasikan sesuai kondisi tertentu. Dari
total subsidi pertanian sekitar Rp41,9
triliun, sekitar Rp34,1 triliun diantaranya atau sekitar 81,31 persen adalah
subsidi pangan dan subsidi pupuk.
Data pada Tabel 2 menunjukan
bahwa dalam kurun waktu 2005-2010,
produksi beras memang meningkat,
akan tetapi peningkatan tersebut
masih berada di bawah tingkat konsumsinya, sehingga kekurangannya
terpaksa harus diimpor. Dengan
demikian, sasaran kebijakan subsidi
untuk mengurangi impor beras dapat
dinilai kurang efektif.
5. Ketergantungan Pangan Impor
kian Meningkat
Ada dugaan bahwa pengaruh
globalisasi dengan ideologi neoliberalisme telah memaksakan petani dan
Negara membuat pilihan yang tidak
nyaman dan saling bertentangan. Pakar ekonomi pertanian, Francis Wahono (2011), menilai bahwa pilihan kebijakan dan praktik pemerintah banyak
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 47
DESEMBER 2013
yang melantarkan rakyat, termasuk
petani. Praktik impor beras misalnya,
kadang zero tariff. Contoh lainnya
misalnya persereoanisasi Bulog, izin
masuk bibit transgenetik, sertifikasi
tanah dan privatisasi air, reformasi agraria dengan 40 persen tanah untuk
korporasi, dan legalisasi illegal loging.
Harga pangan yang diserahkan kepada mekanisme pasar membuat Indonesia kurang giat mendorong produksi dan sebaliknya semakin bergantung
pada pangan impor. Walaupun kritik
Francis Wahono ini amat pedas di
telinga pemerintah, tetapi pemerintah bisa menjadikan kritik ini untuk
introspeksi. Mungkin ada beberapa
kebijakan perlu direvisi.
Fakta memang menunjukkan
bahwa pada tahun 2011, pemerintah
mengizinkan impor beras sebanyak
1,57 juta ton dengan nilai Rp7,04 triliun. Pemerintah juga mengizinkan
impor kedelai sebanyak 2,08 juta ton
untuk memenuhi 71 persen kebutuhan dalam negeri. Selain beras dan kedelai, pemerintah juga memberi izin
impor jagung sebanyak 3,5 juta ton
dan sepanjang tahun 2012, Indonesia
juga mendatangkan singkong sebanyak 6.399 ton dengan nilai US$2,6
juta,8.
Meningkatnya trend impor pangan
ini telah membuat neraca perdagangan “tanamam pangan” mengalami
defisit dan meningkat dari US$1,07 miliar pada tahun 2009 menjadi US$6,43
miliar pada tahun 2011. Defisit neraca
perdagangan sub sektor tanaman
pangan dikontribusi oleh 4 komoditas
utama, yaitu Gandum, Beras, Jagung
Segar dan Kedelai Segar. Pada tahun
2011, masing-masing komoditi tersebut
mengalami defisit perdagangan sebesar US$2,2 miliar, US$1,5 miliar, US$1,0
miliar, dan US$1,2 miliar.
6. Petani sulit mengakses sumbersumber pembiayaan murah
Salah satu persoalan yang dihadapi petani (terutama petani tanaman pangan, peternak dan nelayan)
adalah akses terhadap permodalan.
Dari sisi prudential, tentu perbankan
akan lebih nyaman untuk memberikan pinjaman kepada usaha perkebunan, yang umumnya dikelola oleh
perkebunan besar di bawah manajemen korporasi, baik BUMN maupun
swasta, baik nasional maupun asing
dan joint venture. Sementara sebagian besar petani memiliki usaha
yang mungkin saja feasible, akan
tetapi non-bankable atau sebaliknya,
sehingga pemerintah harus mencari
cara untuk mengakseskan mereka ke
lembaga keuangan, baik perbankan
maupun non-perbankan.
Untuk membantu permodalan
para petani, pemerintahan SBY memperkenalkan dan mengimplementasikan suatu skim pembiayaan yang
disebut KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Salah satu sasaran dari program KUR
adalah para petani dan para nelayan.
Namun, dalam praktiknya, dana KUR
sedikit sekali yang diserap oleh sektor pertanian. Dari total penyaluran
KUR yang disalurkan sampai dengan
30 Juni 2011 sebesar Rp24,8 triliun,
sebagian besar (Rp14,86 triliun atau
59,9%) diserap oleh sektor perdagangan besar dan eceran, dengan
jumlah debitur mencapai 3.679.904
debitur (76,6%). Sementara sektor
pertanian hanya menyerap sekitar
Rp4,62 triliun (18,6%) dengan debitur sebanyak 634.489 debitur (13,2%).
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
47
1/27/2014 9:01:43 PM
Begitu juga sektor perikanan, hanya
menyerap sekitar Rp44 miliar (0,18%)
dengan 1.060 debitur (0,02%).
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
7. Peran Bulog (Badan Urusan Logistik) masih lemah
Sejak IMF (International Monetary Fund), status Bulog diubah
dari LKND (Lembaga Kementerian
Non-Departemen) menjadi BUMN
dengan status badan hukum Perum
(Perusahaan Umum). Mulai saat itu,
Bulog (atas permintaan IMF) dilarang
mengendalikan harga pangan, kecuali
beras. Mulai saat itu juga, pemerintah
melepas kontrol stok maupun harga
sejumlah produk pangan strategis,
seperti daging, jagung, kedelai, susu,
bawang merah, hortikultura, dll. Proteksi pemerintah terhadap masuknya
bahan-bahan pangan ini dari negara
lain (impor) juga semakin berkurang.
Selain itu, beberapa korporasi pangan
terindikasi melakukan praktik “kartel”
yang dalam banyak hal sulit dipangkas pemerintah. Dampaknya adalah
sering terjadi kelangkaan pangan dan
gejolak harga pangan yang sering kali
membuat panik masyarakat.
8. Strategi agri-culture dikalahkan
oleh Strategi agri-business
Para peserta Konferensi
Internasional Kedaulatan Pangan di
Nyeleni-Mali pada tahun 2007 bersepakat dengan pandangan bahwa
konsep pembangunan pertanian berbasis agri-business tidak akan mampu
menjawab permasalahan petani dunia
dan bahkan mendorong terjadinya
krisis pangan. Francis Wahono (2011)
mengatakan bahwa “suatu negara
akan rapuh eksitensinya bila tidak
dapat menyelenggarakan dan menggerakan rakyat untuk mengadakan
pangan”. Benar, bahwa membeli pangan adalah salah satu bentuk usaha
pengadaan, akan tetapi itu amat
rapuh, selain karena Negara akan
sangat tergantung pada persediaan
dan harga di tingkat perdagangan internasional, juga belum tentu rakyat
memiliki uang untuk membelinya9.
Pendekatan agri-business menuntut pemerintah untuk memenuhi permintaan investor, termasuk
permintaan pembebasan tanah dan
penguasaan air untuk menjadi salah
satu persyaratan investasi di Indonesia.
Box-1 : Makna Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan (food sovereignty) diartikan sebagai “pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya,
diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan” (Henry Saragih, 2011).
Kedaulatan pangan adalah “hak setiap bangsa dan setiap rakyat
untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan
sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi
dari kekuatan pasar internasional” (SPI, 2013).
Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia
untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih
menekankan pada pertanian berbasis agri-culture–berdasarkan pada
prinsip keluarga atau solidaritas- dan bukan pertanian berbasiskan agribusiness –berdasarkan pada profit semata. Negara mempunyai otoritas
serta kapasitas untuk mengkonsolidasikan berbagai macam sumber daya
ekonomi dan politik yang tersedia demi kepentingan pemenuhan hak
atas pangan (Taufiqul Mujib, 2011).
48
ISI_DES-2013_5a.indd 48
Padahal tanah dan air harus dikuasai
Negara dan menjadi hak petani untuk
menciptakan kemakmuran sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945. Bila sebagian besar tanah pertanian dikuasai korporasi besar, apalagi
milik asing, maka “kedaulatan pangan
menjadi tergadai”. Pajak yang besar
(dari manapun sumbernya), mestinya
untuk rakyat, tidak menjadi cashback ke negara investor. Bila kondisi
ini tidak segera dibenahi, maka suatu
saat, bisa jadi muncul class action dari
rakyat untuk menggugat hak mereka
memperoleh kedaulatan pangan.
Apa yang Harus
Dilakukan Pemerintah
1.
Reformasi agraria
Pemerintah punya beberapa pilihan strategi untuk menjamin ketersediaan dan kecukupan pangan bagi
penduduk Indonesia. Pertama, strategi ketahanan pangan (food security).
Kedua, strategi swasembada pangan.
Bila benchmark ke China, pemerintah
China memilih strategi swasembada
pangan untuk membuat jalan menuju
kemakmuran rakyat China. Pemerintah China (di bawah Perdana Menteri Zhao Jiang) melakukan reformasi
pembangunan ekonomi yang dimulai
dari sektor pertaniannya. Salah satu
kebijakan penting dalam reformasi
pembangunan pertanian di China
adalah membagi-bagikan lahan pertanian (reformasi agraria) kepada para
petani agar terjamin adanya kapasitas
usaha tani yang ekonomis10. Hasil dari
reformasi di China adalah kemajuan
ekonomi yang sangat menakjubkan.
China berhasil mencapai swasembada
beberapa produk pangannya bahkan
bisa memberi makan penduduk di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fakta yang ada saat ini menunjukan bahwa areal sawah di Indonesia
tidak terlalu luas dibandingkan dengan yang dimiliki negara lain, yaitu
hanya seluas 8 juta hektar, kalah
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:44 PM
dibandingkan dengan Thailand yang
memiliki areal sawah sekitar 9 juta
hektar. Rata-rata petani di Indonesia
hanya menguasai sekitar 0,3 ha sawah
per kepala, kalah dari Thailand yang
menguasai sekitar 3 ha sawah per
kepala. Bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk, luas lahan sawah
yang dipunyai Indonesia seluas yang
dimiliki Vietnam, padahal penduduk
Vietnam hanya sebanyak 78 juta
orang atau 32,5% dari penduduk
Indonesia. Begitu juga dengan Thailand, negara gajah ini memiliki lahan
sawah sekitar 9 juta hektar, akan tetapi penduduknya hanya sebanyak 80
juta orang atau 33% dari penduduk
Indonesia. Australia lebih fenomenal
lagi karena memiliki lahan seluas 50
juta hektare padahal penduduknya
hanya sebanyak 19 juta atau sekitar
8% penduduk Indonesia (lihat Grafik1).
Jadi, potensi sawah di Indonesia
belum dapat dioptimalkan dengan
baik. Bila tidak ada upaya pencetakan sawah baru, maka Indonesia bisa
mengalami defisit beras sepanjang tahun mengingat jumlah penduduknya
yang sangat banyak dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila menggunakan Vietnam sebagai benchmark
(8 juta hektar per 78 juta penduduk),
Untuk
menyamakan
Indonesia dengan
kondisi Vietnam
hari ini, diperlukan
waktu sekitar 22
tahun ke depan.
maka kebutuhan areal sawah minimal di Indonesia (agar menyamai
kondisi di Vietnam) harus sebanyak
30 juta hektar. Artinya, pemerintah
harus menambah areal sawah baru
seluas 22 juta hektar. Bila pemerintah
berkomitmen mencetak sawah baru
seluas 1 juta hektere per tahun, maka
untuk menyamakan Indonesia dengan
kondisi Vietnam hari ini, diperlukan
waktu sekitar 22 tahun ke depan. Bila
pemerintah ingin menyamai Vietnam,
perlu stimulus fiskal yang lebih besar
lagi. Bila hari ini besarannya sekitar
Rp40 triliun, maka diperlukan stimulus fiskal sekitar tiga kalinya atau
sekitar Rp120 triliun (ilustrasi lihat
Grafik-1). Jika hal itu tidak dilakukan
pemerintah, maka pemerintah akan
terus melakukan impor beras.
Grafik-1 : Luas Areal Sawah di Indonesia, Vietnam,
Thailand dan Australia
2. Membuka jalan agri-culture atau
state subsidies bagi petani
Di negara-negara maju seperti
USA, EU, Jepang, Australia, New
Zealand dan Kanada, pemerintah
memproteksi perdagangannya dan
memberikan subsidi yang cukup besar untuk produksi pangan mereka.
Jepang misalnya, menetapkan tarif
impor beras hingga mencapai 400 persen, sementara Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE) mensubsidi pertaniannya
melalui research and development. Begitu juga Asutralia masih mensubsidi
gandum hingga 40 persen11. Negaranegara EU mensubsidi petani gulanya
sebesar 50 euro untuk setiap ton
panen tanaman penghasil gula. EU
juga mensubsidi dana sebesar US$913
per kepala sapi kepada peternak sapi
mereka. Begitu juga dengan AS, di
mana Presiden G.W.Bush pada Mei
2002 menandatangani “Farm of Bill”
yang memuat subsidi sebesar US$180
miliar, atau setara dengan Rp162 triliun dengan asumsi kurs Rp9.000/US$,
jauh lebih besar dibandingkan dengan
anggaran untuk subsidi pupuk petani
Indonesia tahun 2003 yang hanya
sebesar Rp1,3 triliun (Sabiq Carebesth
dan Saiful Bahari, 201112).
Untuk meciptakan kedaulatan
pangan, pemerintah harus memproteksi petaninya. Mendorong petani
untuk bertinju dengan korporasi
pangan sama halnya dengan mematikan petani sendiri. Kalau kita ingin
berpihak kepada rakyat, maka tidak
ada kata lain kecuali berpihak kepada
petani. Untuk itu, jalan yang harus
dipilih adalah jalan agri-culture atau
state subsidies.
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
3. Utamakan strategi swasembada
pangan
Misi ketahanan pangan (food security) dalam kebijakan pangan dunia
yang dijalankan PBB tahun 1971 adalah
untuk membebaskan penduduk dari
krisis produksi atau supply makanan
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 49
DESEMBER 2013
49
1/27/2014 9:01:44 PM
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
pokok. Konsep ketahanan pangan
(food security) ini tidak mensyaratkan
pemerintah di suatu Negara untuk
mewujudkan swasembada pangan.
Akibatnya, implementasi konsep ketahanan pangan membuka jalan bagi
impor pangan. Impor pangan menjadi kebijakan yang rasional bila suatu
negara yang memang tidak mampu
memproduksi pangan sendiri, baik
karena lemahnya daya dukung SDA
maupun karena bencana alam yang
dalam waktu singkat sulit menghasilkan pangan sesuai kebutuhan. Namun,
bila sebuah negara memiliki kekuatan
dalam SDA dan tidak ada bencana
yang signifikan, maka melebarkan
jalan bagi impor pangan merupakan
kebijakan yang tidak kredibel.
Negara-negara seperti AS, Kanada,
dan Australia, adalah contoh negara
yang memiliki ketahanan pangan yang
kuat karena mencapai swasembada
pangan. Selain itu, ada juga Negara
yang memiliki ketahanan pangan tetapi tidak dicapai melalui strategi swasembada pangan sebagaimana terjadi
di Jepang, Norwegia, dan Singapura13.
Tetapi hal ini disebabkan karena negara-negara ini memang tidak memiliki
daya dukung SDA karena keterbatasan
lahan pertanian. Indonesia mungkin
ada pada kondisi di mana ketahanan
pangan lemah akibat belum swasembada pangan. Karena itu, pemerintah
membolehkan impor beberapa komoditas pangan untuk memperkuat
ketahanan pangan. Sampai kapan
kebijakan ini bertahan, tergantung
pada sejauhmana pemerintah bisa meningkatkan level swasembada pangan
untuk sejumlah komoditas pangan
strategis seperti beras, jagung, kedelai,
hortikultura, daging sapi, dan gula.
Penutup
Baik dari industry analysis maupun environment analysis, Indonesia
memiliki potensi besar untuk menjadikan sektor pertanian sebagai
50
ISI_DES-2013_5a.indd 50
Negara-negara
seperti AS,
Kanada, dan
Australia, adalah
contoh negara
yang memiliki
ketahanan
pangan yang kuat
karena mencapai
swasembada
pangan.
penyangga utama perekonomian
nasional dan penentu kesejehteraan
masyarakat. Diakui peran korporasi
pangan, terutama asing, memang
dominan, akan tetapi hal itu bisa diatasi dengan meningkatkan kualitas
negosiasi pemerintah dalam pertemuan-pertemuan internasional dan keberanian pemerintah dalam memproteksi perdagangan serta memberikan
subsidi yang memadai kepada petani
dan para peneliti untuk melakukan
research and development. Harus
ada komitmen pemerintah untuk
mengalokasikan anggaran, di mana
persentase anggaran R&D dan subsidi pangan terhadap PDB harus lebih
besar dari yang terjadi saat ini.
Untuk mewujudkan kedaulatan
pangan dan swasembada pangan, banyak kendala yang sebenarnya merupakan kedala internal yang mestinya
bisa diselesaikan oleh pemerintah.
Lahan pertanian yang terbatas adalah
masalah internal kita, mestinya sangat
mudah diatasi dengan keberanian
melakukan reformasi agraria secara
bertahap. Meningkatkan peran BUMN
atau Swasta Nasional untuk mengambil pangsa pasar di bidang benih hibrida, juga merupakan masalah internal.
Bila pemerintah diam, maka pangsa
pasar korporasi domestik semakin me-
ngecil karena direbut oleh korporasi
asing. Oleh karena Pemerintah harus
memberikan BUMN atau Swasta Nasional peran yang lebih besar.
Persoalan Bulog juga merupakan
persoalan internal, bagaimana pemerintah memiliki desain besar untuk
benahi peran Bulog. Urusan Bulog
mestinya dikelola di domain fiscal
tools, bukan di domain political tools.
Bila pengelolaannya di domain yang
salah, maka Bulog akan tetap seperti
saat ini, tidak mampu menjadi buffer
stock pangan yang kredibel. Solusi
yang tepat buat Bulog adalah kembalikan statusnya dari BUMN menjadi
bagian dari Dewan Ketahahan Pangan
Nasional dengan kewenangan yang
lebih besar. Undang-undang Pangan
yang baru telah memberi ruang untuk
revitalisasi Bulog, tinggal keberanian
pemerintah untuk mengeksekusinya.
Swasembada pangan juga urusan
internal kita. Sebaliknya soal ketahanan pangan, itu lebih merupakan
kombinasi antara urusan internal
dan urusan internasional karena ada
campur tangan negara besar disitu.
Ada pihak-pihak di dalam negeri
juga melakukan peran free rider untuk mengambil rente perdagangan.
Kalau pemerintah konsisten memperkuat ketahanan pangan melalui jalan
swasembada pangan, maka segala
sumber daya, termasuk fiskal, harus
diarahkan ke upaya peningkatan level
swasembada pangan. Agri-business
jangan mendapat tempat di barisan
depan kegiatan pertanian. Karpet
merah harus ditempati oleh agriculture atau state-subsidies. Agrebusiness akan bergerak mengikuti
perkembangan agri-culture. Jadi,
strategi agri-culturelah yang me-lead
agri-business, tidak sebaliknya.
Berapa besar atau apa saja komoditas pangan yang akan kita impor, juga merupakan urusan internal
kita. Keputusan berada di tangan
pemerintah kita. Tinggal bagaimana
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:44 PM
membuat kebijakan yang tepat dan
menjalankannya secara konsisten.
Harus ada kebijakan politik dalam
urusan kedelai. Pemerintah perlu
menetapkan batasan maksimum
berapa kebutuhan kedelai dapat
dipasok dari produksi dalam negeri.
Selisih itu merupakan ruang untuk
impor. Pemerintah bisa membuat
kebijakan yang jelas, misalnya SK-50
atau Swasembada Kedelai 50 persen.
Artinya, 50 persen kebutuhan kedelai nasional bisa dipasok dari dalam
negeri, sedangkan 50 persen sisanya
boleh diimpor. Kebijakan ini harus di-
sosialisasikan dengan baik agar tidak
menimbulkan multi tafsir yang tidak
perlu. Dalam hal beras, misalnya SB90 atau Swasembada Beras 90 persen,
yang juga berarti pemerintah boleh
mengimpor 10 persen. Untuk itu,
pemerintah harus memperkuat R&D,
menjamin ketersediaan lahan bagi
petani, dan menyediaakan anggaran
yang cukup untuk subsidi pangan.
Kalau saja di era pemerintahan
SBY, program swasembada pangan
(beras, kedelai, daging sapi, dan hortikulutra) belum bisa dicapai, maka apa
yang sudah dijalankan Presiden SBY
beserta jajaran kabinetnya, hendaknya
dijadikan fondasi bagi pemerintahan
baru untuk melahirkan kebijakan
yang lebih baik lagi. Tentu rakyat
menanti Presiden baru dengan gagasan terobosannya untuk membawa
sektor pertanian dan petani terbang
meninggalkan landasan kemiskinan
dan ketidaksejahteraan. Beberapa
calon Presiden tahun 2014 sudah mulai menawarkan gagasan besarnya ke
publik pemilih, akan tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana komitmen
itu bisa direalisasikan menjadi kenyataan. Kita tunggu buktinya. n
Catatan
1
2
3
4
5
6
Hak rakyat atas pangan diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan
bebas, baik secara langsung maupun dengan cara
membeli (Taufiqul Mujib, 2011:38). Lihat artikelnya
berjudul “Hak Atas Pangan Sebagai Hak Konstutusional”. 2011. Artikel ini merupakan bagian dari
buku “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting
oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks.
Jakarta. Taufiqul Mujib adalah Direktur Program
pada Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), dan juga National Rapporteur on
the Right to Food.
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang
Pangan -yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 18
tahun 2012
Krisis roti di mesir berakhir dengan jatuhnya Presiden Mesir, Hosni Mubarak. Tingginya harga pangan di Tunisia berakhir dengan jatuhnya Presiden
Zine al-Abidine Ben Ali. Sementara krisis pangan di
Aljazair membuat rakyat Aljazair turun ke jalanjalan meminta Presiden Abdelaziz Bouteflika turun
dari jabatannya.
http://finance.detik.com/read/2013/09/02/151830/2
347057/4/dalam-10-tahun-jumlah-petani-ri-berkurang-16-jadi-2613-juta-keluarga, diakses tanggal 6
September 2013.
Didik J Rachbini, Lembaga Pengkajian, Penelitian,
dan Pengembangan Ekonomi (LP3I) Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) Indonesia, www.republika.
co.id, 03 September 2013.
Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Per-
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 51
DESEMBER 2013
7
8
9
10
11
12
13
tanian Gatot Irianto, http://wartaekonomi.co.id/
berita15795/imf-indonesia-mesti-tingkatkan-produktivitas-sektor-pertanian.html, diakses tanggal
2 September 2013.
Mentan: jumlah penyuluh pertanian perlu ditingkatkan (http://www.antaranews.com/berita/376208/
mentan-jumlah-penyuluh-pertanian-perlu-ditingkatkan), diakses tanggal 6 September 2013.
Tony Kristanti, Dewan Jagung Indonesia, ipasar, 7
November 2012
Lihat artikelnya berjudul “Runtuhnya Kedaulatan
Pangan, Lunturnya Budaya Tani, dan Rapuhnya
Ketahanan Bangsa”. Artikel tersebut merupakan
bab Bab 1 dari buku berjudul “Ekonomi Politik
Pangan”, yang disunting oleh Francis, Dwi Astuti,
dan Sabic Caresbeth. 2011. Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman 1-2.
Gregori C.Chow. 2010. “Interpreting China’s Economy”. World Scientific Publishing Co.pte.Ltd.
Singapore. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. PT
Serankai Tiga Pustaka Mandiri-Solo. 2011. Halaman
195-197.
Ibid halaman 28
Lihat artikel mereka berjudul “Petani Kecil di
Tengah Kebijakan Industrial Pangan”. Artikel
tersebut merupakan bagian dari buku “Ekonomi
Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk.
Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman
181.
Lihat Stevens et al. (2000) dalam Lassa (2006) dan
Borton and Shoham (1991)
e
d
u
k
a
s
i
f
i
s
k
a
l
51
1/27/2014 9:01:44 PM
Jaminan Sosial Meningkatkan
Kemandirian Ekonomi
Oleh: Praptono Djunedi
Peneliti Muda pada Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, BKF, Kementerian Keuangan.
Email: [email protected]
”Jaminan sosial adalah solusi
bagi bangsa Indonesia agar mampu
berdikari”
(Emir Soendoro, 2009)1
Pendahuluan
O
P
I
N
I
Salah satu hasil reformasi tahun
1998 adalah sebuah amanat agar pemerintah menyelenggarakan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
berlaku bagi setiap warga negara.
Beberapa produk hukum yang menjadi dasar pelaksanaannya adalah
Undang-Undang Dasar 1945 beserta
perubahannya tahun 2002 (Pasal 28
dan Pasal 34), Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/2001 yang menugaskan
kepada Presiden RI untuk membentuk
SJSN serta Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN.
Implementasi SJSN direncanakan
mulai 1 Januari 2014. Dengan adanya
SJSN ini, setiap warga negara memperoleh suatu perlindungan sosial yang
diselenggarakan oleh negara RI untuk
memenuhi kebutuhan hidup dasar
yang layak.2 Jaminan Sosial Nasional
(JSN)3 ini merupakan koreksi dari
program jaminan sosial sebelumnya
(seperti Askes, Jamsostek, Taspen, dan
Asabri) yang dinilai kurang memberikan manfaat kepada penggunanya.
Kurang berhasilnya program jaminan
sosial sebelumnya disebabkan oleh
kurangnya jumlah peserta, kurang
memadainya jumlah nilai manfaat
program, serta tata kelola manajemen
program yang kurang baik. Terdapat
empat perbedaan mendasar antara
52
ISI_DES-2013_5a.indd 52
sistem jaminan sosial lama dan sistem
yang baru yakni menyangkut kelembagaan, kepesertaan, iuran, dan
manfaat. Dalam SJSN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004,
dana JSN akan dikelola oleh institusi
yang bernama Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), kemudian peserta JSN mencakup seluruh penduduk,
dan manfaat yang diberikan berupa
manfaat medis dan nonmedis diselenggarakan agar kualitas kesehatan
masyarakat lebih meningkat.
Selanjutnya, paradigma yang dibangun dalam rangka implementasi
JSN ini meliputi tiga pilar,4 yakni pertama, program bantuan sosial (sumber
dana dari APBN dan dari masyarakat).
Program ini untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber
keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka (misalnya pada saat
terjadi bencana alam, konflik sosial,
menderita penyakit, atau kehilangan
pekerjaan). Pilar kedua, program asuransi sosial yang bersifat wajib (sumber
dana dari iuran dengan jumlah tertentu yang ditarik dari perusahaan dan
pekerja sesuai tingkat pendapatan/gaji
dan standar hidup minimum). Sementara pilar ketiga yaitu asuransi yang
ditawarkan oleh sektor swasta secara
sukarela, yang besar iurannya sesuai
tingkat risiko dari setiap peserta.
Asas untuk JSN ini meliputi (1)
asas gotong royong, (2) asas kepesertaan wajib, (3) asas dana amanah
(trust fund), (4) asas nirlaba, (5) asas
keterbukaan, pengurangan risiko,
akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas, serta (6) asas portabilitas. Dengan
asas-asas tersebut, seluruh penduduk
Indonesia secara bertahap nantinya
wajib berpartisipasi dalam program
JSN. Dalam skema program ini, peserta yang lebih kaya akan membantu
peserta yang kurang mampu, peserta
yang mempunyai risiko kecil akan
membantu peserta yang mempunyai
risiko lebih besar, dan peserta yang
sehat akan membantu yang sakit.
Selanjutnya, dana yang terkumpul,
bersifat nirlaba, akan dikelola dengan
dasar keterbukaan, pengurangan
risiko, akuntabilitas, efisiensi dan
efektivitas oleh BPJS (disebut “dana
amanah”) yang dipergunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh
peserta. Keanggotaan peserta akan
terus berlangsung sehingga terus
menerima manfaat program selama
memenuhi kriteria tertulis dalam
aturan yang berlaku.
Modal untuk
Kemandirian Ekonomi
Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) diharapkan dapat
meningkatkan kualitas layanan kesehatan rakyat Indonesia khususnya
untuk fakir miskin dan tidak mampu.
Dengan meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat diharapkan tingkat
produktivitas masyarakat juga dapat
meningkat. Banyak kajian ilmiah menunjukkan bahwa tingkat kesehatan
masyarakat memiliki korelasi yang poINFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:44 PM
sitif dengan produktivitas negaranya.5
Dengan demikian, target Pemerintah
untuk terus meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia akan lebih mudah dicapai.
Para pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah, memiliki misi yang
sama untuk meningkatkan kualitas
layanan kesehatan rakyat Indonesia,
termasuk untuk kelompok fakir miskin
dan tidak mampu. Terkait dengan hal
itu, Pemerintah dan DPR telah sepakat
untuk mengalokasikan Rp19,9 triliun
dana belanja untuk pembayaran iuran
kelompok masyarakat kurang mampu
(disebut Penerima Bantuan Iuran/PBI)6
dalam APBN Tahun 2014.
Mobilisasi dana JSN dalam jangka
panjang dapat dipergunakan sebagai
modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian
ekonomi.7 Namun, selama ini, yang
dilakukan pemerintah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan memasang target
pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Salah satu andalan untuk mencapai
tingginya pertumbuhan ekonomi adalah mengundang investor asing untuk
berinvestasi di Indonesia. Apalagi,
Indonesia tercatat sebagai salah satu
negara tujuan investasi favorit, setelah
China, Amerika Serikat, dan India.8
Namun, pada kenyataannya,
dari ribuan triliun rupiah yang sudah
diterbitkan izin investasinya pada
tahun 2012, yang terealisasi hanya
sekitar 30%. Beberapa kendala yang
menghambat realisasi investasi tersebut adalah minimnya infrastruktur,
lambatnya perizinan di daerah, lemahnya koordinasi lintas sektor dan
permasalahan lahan.9 Parahnya, kondisi investasi pada tahun 2013 justru
menunjukkan tren perlambatan. Hal
ini disebabkan masih berlangsungnya
ketidakjelasan ekonomi global.10
Di lain pihak, pendanaan investasi
dalam negeri masih tergolong sedikit.
Tidaklah mengejutkan apabila sistem
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 53
DESEMBER 2013
keuangan Indonesia dinilai masih
dangkal. Kedangkalan sistem keuangan nasional mengindikasikan minimnya ketersediaan dana untuk investasi.
Metode untuk mengukur kedalaman
sistem keuangan, salah satunya, melalui perbandingan antara jumlah kredit
yang tersalurkan dengan besaran PDB.
Di sisi lain, angka ini juga dapat dipakai untuk mengetahui seberapa besar
peranan sistem keuangan bekerja untuk memobilisasi tabungan. Menurut
data Bank Dunia (2010), rasio kredit
terhadap PDB di Indonesia hanya
28%. Sedangkan Malaysia mencapai
lebih dari 132% dan Filipina sekitar
49%. Pada tahun 2012, rasio Indonesia
meningkat menjadi 32%, sedangkan
Malaysia masih di atas 100% (tepatnya
110%). Dangkalnya sistem keuangan di
Indonesia disebabkan masih sedikitnya
perusahaan dalam negeri yang listed
di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari 479
perusahaan yang terdaftar di BEI,
sekitar 70% diantaranya merupakan
perusahaan asing.11 Dengan kondisi
sebagaimana yang dipaparkan di atas,
tidaklah berlebihan kalau pengumpulan dana JSN menjadi harapan bagi
tercapainya kemandirian ekonomi.
Hal ini sudah banyak dilakukan di
sejumlah negara.
Besarnya dana jaminan sosial yang
terkumpul dalam Employee Provident
Funds (EPF) di Malaysia, misalnya, difungsikan oleh Perdana Menteri Mahatir Mohammad untuk menangkal
merosotnya ringgit terhadap dolar
Amerika Serikat dan tindakan ini terbukti efektif. Selanjutnya, di Jepang,
penambahan dana jaminan sosial bisa
melebihi US$5.000 per orang per tahun. Dana ini kalau disimpan di bank
domestik memperoleh tingkat bunga
kurang dari satu persen. Namun, jika
dipinjamkan ke negara lain (semisal
Indonesia) sebagai pinjaman lunak,
tentu tingkat bunganya bisa lebih dari
satu persen dan selisihnya dibukukan
sebagai pendapatan dari dana jamin-
an sosial. China diketahui memiliki
cadangan devisa yang besar, sekitar
US$3 triliun. Besarnya dana cadangan
devisa tersebut sebagian besarnya
didukung dari jaminan sosial.12
Di sisi lain, kisah gagal akibat
kurang hati-hati dalam mengelola
jaminan sosial melanda beberapa negara Eropa. Namun demikian, Jerman
dengan konsep kehati-hatiannya,
mengambil kebijakan perpanjangan
usia pensiun pegawai negerinya hingga usia 67 tahun. Dengan panjangnya
usia pensiun tersebut, masa mengiur
jaminan sosial semakin panjang.13
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 sudah mengantisipasi segala hal
yang memungkinkan pelaksanaan
jaminan sosial dapat memicu krisis
ekonomi, sebagaimana yang terjadi di
sejumlah negara Eropa dan Amerika
Serikat. Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 mencegah terjadinya bias
selection (atau adverse selection) dengan mewajibkan seluruh penduduk
menjadi peserta SJSN. Kepesertaan
sukarela serta introduksi atas asuransi
komersial seperti praktik di Amerika
Serikat sangat rawan terhadap apa
yang disebut bias selection (atau adverse selection), yaitu orang yang berisiko
tinggi cenderung mengikuti program
jaminan sosial sehingga pembayaran
manfaat bagi peserta yang memang
berisiko tinggi dapat mengancam keberlanjutan program JSN. Selain itu,
perlu dicegah terjadinya pelayanan
jaminan kesehatan yang tidak perlu
atau pemakaian yang berlebihan.14
O
P
I
N
I
Penutup
Penulis optimistis bahwa implementasi SJSN ini, apabila dilakukan
secara komitmen penuh dengan kesepakatan para pemangku kepentingan
dan konsisten, dapat menjadi salah
satu solusi bagi bangsa ini untuk mencapai kemandirian ekonomi. Namun,
karena waktu pelaksanaan 1 Januari
2014 itu baru tahap awal, tentu ada
53
1/27/2014 9:01:44 PM
O
P
I
N
I
hal-hal yang sudah diantisipasi dan
belum diantisipasi.
Dari sisi pendanaan misalnya, dukungan pemerintah dalam APBN nantinya diharapkan dapat ditingkatkan
karena dana yang dialokasikan tidak
sekedar menanggung pembayaran
iuran bagi kelompok fakir miskin dan
tidak mampu (dalam pos PBI), tetapi
Pemerintah sebagai pemberi kerja
juga harus menanggung sebagian
dana yang diiur oleh PNS dan pensiunan PNS. Belum lagi, dana pengadaan
untuk menambah fasilitas kesehatan
yang dibutuhkan. Salah satu penyebab
rendahnya utilisasi Jamkesmas adalah
kesulitan dalam mengakses fasilitas
kesehatan. Fasilitas kesehatan yang
dimaksud berupa bangunan (seperti
rumah sakit atau puskesmas), tenaga
medis, alat kesehatan, atau obat-obatan. Juga, perlunya integrasi sistem
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
dengan JKN dan segala turunannya.
Dari sisi teknis, ketidakmerataan
penyebaran tenaga medis dan fasilitas
kesehatan antardaerah di Indonesia
juga perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan yang konkrit. seperti adanya
kompensasi berupa uang tunai, mengirim pasien ke klinik BPJS yang fasilitas
kesehatannya yang kelengkapannya
sudah memenuhi standar apabila di
suatu daerah ternyata tidak tersedia
tenaga medis dan fasilitas kesehatan
yang memadai. Dari sisi lain-lain, pemerintah perlu memastikan database penduduk miskin sangat valid agar alokasi
dana dalam APBN bisa lebih terukur,
kemudian jumlah yang dilayani dapat
diantsipasi di tingkat lapangan.
Bagaimana pun, berbagai kendala yang sudah diketahui di lapangan
maupun yang belum diketahui harus
segera dicarikan solusinya, agar implementasi SJSN ini berjalan sukses
dan pada akhirnya sistem ini menjadi
solusi bagi bangsa ini untuk lebih
mandiri ekonominya, seperti yang
dicita-citakan di awal tulisan ini. n
54
ISI_DES-2013_5a.indd 54
Catatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Soendoro, Emir, Penulis buku ”Jaminan Sosial Solusi Bangsa Berdikari”,
Dinov ProGRESS. Indonesia, 2009, dalam http://www.jamsostek.co.id/
content/i.php?mid=75&id=76
Sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952.
Sebagian pihak menyatakan bahwa sistem jaminan sosial harus dibedakan dengan asuransi sosial dan filosofi jaminan sosial tidak boleh
dicampur aduk dengan prinsip-prinsip asuransi. Jaminan sosial seharusnya tidak ada iuran dan skema penyubsidian,kalaupun ada Negara
yang harus menanggungnya. Lihat “Jaminan Sosial Beda Dengan Asuransi Sosial”, 14 Juli 2011, dalam http://www.mediaindonesia.com/read/
2011/07/13/241667/293/14 /Jaminan-Sosial-Beda-dengan-Asuransi-Sosial.
Juga bisa dibaca di http://jamsostek.blogspot.com/ 2011/07/jaminansosial-beda-dengan-asuransi.html.
Tiga pilar ini sesuai dengan rekomendasi International Labor Organization (ILO).
Salah satunya adalah hasil kajian Lestari dan Erlin. Hasil uji korelasi
Rank Spearman antara faktor-faktor keselamatan dan kesehatan kerja
dengan produktivitas kerja karyawan menunjukkan bahwa semua faktor K3 memiliki korelasi positif dan sangat nyata dengan produktivitas
kerja karyawan dimana rs = 0,743 dengan tingkat kepercayaan 99%, db
= 73, r tabel = 0,425. Lihat Lestari, T. dan Erlin Trisyulianti, “Hubungan
Keselamatan dan Kesehatan (K3) Dengan Produktivitas Kerja Karyawan
(Studi Kasus: Bagian Pengolahan PTPN VIII Gunung Mas Bogor)” dalam
repository.ipb.ac.id/bitstream/.../1-JURNAL%20bu%20erlin-K3.doc?...2.
Perlu diperhatikan bahwa program JKN tidak diselenggarakan dengan
skema belanja bantuan sosial melainkan dengan skema asuransi sosial.
Perbedaan yang paling mendasar dari kedua skema tersebut adalah
bahwa dalam skema asuransi sosial, pengelolaan dan pengendalian
keuangan sepenuhnya ditangani oleh badan penyelenggara, dalam hal
ini BPJS Kesehatan. Konsekuensinya adalah segala kelebihan dana iuran
PBI, apabila ada, masuk dalam pengelolaan keuangan BPJS tersebut.
Setidaknya ada lima hal positif atas penyelenggaraan JSN di Indonesia,
yaitu 1) membangun ideology bangsa dalam bentuk gotong royong,
2) membangun stabilitas politik bangsa dengan merealisasikan negara
kesejahteraan, 3) membangun ekonomi bangsa terkait adanya redistribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib, 4) mebangun
sosial budaya bangsa dengan membudayakan karakter-karakter positif
atas penyelenggaraan JSN, serta 5) membangun pertahanan keamanan
bangsa dimana penyelenggaraan JSN secara nasional dapat menjadi
perekat berdirinya NKRI. Lihat Soendoro, 2009.
“Daya Tarik Investasi RI Tetap Tinggi”, 20 Mei 2013, dalam http://www.
investor.co.id/home/daya-tarik-investasi-ri-tetap-tinggi/61170.
“Izin Investasi Rp2.000 Triliun, Terealisasi Hanya 30%”, 12 April 2012,
dalam www.detikfinance.com.
“Pertumbuhan Investasi Melambat”, 24 Oktober 2013, dalam http://
www.bakrie-brothers.com/mediarelation/ detail/3360/pertumbuhaninvestasi-melambat.
Aviliani,”Prospek Bisnis Di Tahun Naga Air Tahun Baru Cina”, dalam
http://lestari.info/prospek-bisnis-di-tahun-naga-air-tahun-baru-cina.
Baca juga “Rasio Kredit Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia
Lemah”, 22 Agustus 2013, dalam http://lampost.co/berita/rasio-kreditterhadap-produk-domestik-bruto-indoensia-lemah; dan “Pasar Keuangan Indonesia Masih Dangkal”, 7 Desember 2013, dalam http://
www.marketcapitalweb.com/ 851/pasar-keuangan-indonesia-masihdangkal/.
Sulastomo (Ketua Tim SJSN 2001-2004),” SJSN, Mesin Pembangunan”,
Kompas 13 Desember 2013.
Sulastomo, 2013
Sulastomo, 2013
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:44 PM
Peran Daerah dalam
Penjaminan Kesehatan
Masyarakat
Oleh: Akhmad Yasin
Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan.
Email: [email protected]
Pendahuluan
Tiada harta yang paling berharga
selain tubuh yang sehat yang ditunjang dengan kondisi mental yang
prima. Semakin kita sehat semakin
bahagia dan berumur panjang, sedangkan kondisi sakit dapat merubah
kehidupan menjadi lebih buruk ketika
kita harus menghabiskan biaya untuk
menyembuhkan penyakit kita dan
bahkan bisa berujung kepada kematian. Namun, apakah kesehatan yang
menjadi harta dan permata yang sangat berharga masih bisa tetap dipertahankan? Ketika kita sakit, apakah
kita tidak memerlukan pengobatan
untuk menyembuhkan penyakit kita?
Berapa banyak orang yang berputus
asa karena penyakitnya tidak kunjung
sembuh, bahkan bunuh diri pun menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan
masalah karena penyakitnya.
Sehat itu memang mahal, banyak
biaya yang harus dikeluarkan untuk
menyembuhkan penyakit. Berbagai
cara pengobatan akan dilakukan
walaupun dengan biaya yang sangat
mahal dan bahkan dengan cara yang
terkadang dianggap tidak masuk akal,
yang penting penyakitnya sembuh.
Biaya akan menjadi masalah bagi
warga miskin ketika mereka berobat
di rumah sakit. Bahkan ada adagium
bahwa orang miskin dilarang sakit.
Adagium ini muncul sebagai reaksi
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 55
DESEMBER 2013
terhadap pelayanan kesehatan di negara kita yang diskriminatif dan tidak
memuaskan. Pelayanan akan baik
jika pasien adalah orang mampu dan
dirawat di ruangan VIP atau VVIP atau
minimal kelas satu di setiap rumah
sakit, khususnya rumah sakit umum
daerah. Namun, sebaliknya pelayanan
terkesan buruk dan mempersulit jika
pasien adalah warga miskin yang tidak
mampu membayar biaya rumah sakit
dan ditempatkan di ruang perawatan
kelas tiga. Sungguh suatu kondisi yang
sangat menyedihkan dan membutuhkan perhatian dan kerja keras dari
pemerintah pusat dan daerah agar
dapat memberikan pelayanan publik,
khususnya pelayanan kesehatan yang
paripurna kepada setiap warganya.
Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan dalam pelayanan
kesehatan terutama yang terkait
dengan biaya pelayanan kesehatan,
ketimpangan tersebut diantaranya
diakibatkan perubahan pola penyakit,
perkembangan teknologi kesehatan
dan kedokteran, dan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Hal
ini semestinya menjadi kewajiban
pemerintah untuk memperbaiki dan
mengondisikan pelayanan kesehatan
yang baik bagi semua warganya, khususnya masyarakat tidak mampu.
Sebagai bentuk tanggung jawab
dan kewajibannya terhadap pelayanan kesehatan, pemerintah harus
dapat menyediakan dan memberikan
perlindungan, manfaat dan akses pelayanan kesehatan yang layak bagi
setiap warganya. Kewajiban pemerintah tersebut telah disebutkan di
dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 28H yang menyatakan bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan, selanjutnya
dalam Pasal 34 dinyatakan: (1) Fakir
miskin dan anak terlantar dipelihara
negara, (2) Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan, dan
(3) Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Melalui tanggung jawab negara
di bidang jaminan sosial, khususnya
jaminan kesehatan, diharapkan dapat menyelesaikan berbagai macam
masalah di bidang kesehatan. Secara
umum permasalahan kesehatan di
Indonesia berdasarkan indikator
kesehatan masyarakat dan sasaran
Millenium Development Goals (MDG)
adalah masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian ibu, tingkat
O
P
I
N
I
55
1/27/2014 9:01:44 PM
O
P
I
N
I
mortalitas (angka kematian) dan morbiditas (angka kesakitan) penduduk
serta kasus-kasus gizi buruk. Selain
itu, permasalahan kesehatan juga
bisa dilihat dari permasalahan transisi
demografi, dimana masalah penyakit
menular seperti malaria, TBC, HIV/AIDS
dan demam berdarah belum teratasi,
disisi lain telah banyak muncul masalah-masalah penyakit tidak menular
atau penyakit degeneratif, seperti
hipertensi, obesitas, kardiovaskuler,
dan kanker. Berdasarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan baik
individu, kelompok maupun masyarakat, maka permasalahan kesehatan
bisa dilihat determinan berupa faktor
lingkungan (fisik, biologi, kimia, sosial,
budaya, politik, ekonomi dan sebagainya), perilaku, pelayanan kesehatan
dan hereditas (genetik).1
Sebagai perwujudan dari bentuk
tanggung jawab atau kewajiban negara terhadap pelayanan kesehatan
kepada warganya, khususnya yang
tidak mampu, pemerintah telah
memberikan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) bagi seluruh
masyarakat Indonesia dan jaminan
kesehatan daerah (Jamkesda) bagi
warga masyarakat di daerah. Latar
belakang lahirnya Jamkesda ini
adalah karena banyak warga tidak
mampu yang tidak bisa mengakses
pelayanan kesehatan dikarenakan
biaya pengobatan dan perawatan
yang sangat mahal dan tidak tercakup
dalam Jamkesmas. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah apakah
semua warga tidak mampu tersebut
sudah mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai melalui
Jamkesda, apakah sudah ada dasar
hukum pelaksanaan Jamkesda, dan
dari mana pembayaran iuran, serta
banyak permasalahan-permasalahan
lain di seputar Jamkesda ini. Oleh
karena itu, dibutuhkan peran dan
komitmen yang kuat dari pemerintah
daerah untuk dapat berpartisipasi me56
ISI_DES-2013_5a.indd 56
nyukseskan program jaminan kesehatan nasional ini agar tercapai tujuan
pembangunan manusia seutuhnya,
sejahtera secara fisik maupun batin.
Komitmen Daerah
Terhadap Jamkesda
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/
kota merupakan urusan yang berskala
kabupaten/kota meliputi salah satunya
adalah penanganan bidang kesehatan.
Berdasarkan norma hukum tersebut
pemerintah kabupaten/kota mendapatkan pelimpahan kewenangan sebagai bagian dari desentralisasi fiskal
untuk ikut serta menyelenggarakan
program jaminan kesehatan bagi
masyarakat kurang mampu dengan
pembiayaan dari anggaran pemerintah
daerah setempat. Pelimpahan sebagian
kewenangan kepada daerah ini membawa konsekuensi bagi daerah untuk
turut serta menyelenggarakan program
jaminan kesehatan masyarakat daerah
dalam rangka menyukseskan tujuan
dan sasaran nasional berdasarkan kewenangan dan urusan yang diberikan
oleh pusat.
Bagi Pemerintah Daerah, sektor
kesehatan bermakna 2 hal, pertama,
sebagai non profit oriented yaitu sektor yang menjadi sektor yang bersifat
pelayanan dasar dan merupakan kewajiban Pemda dalam menyediakan
pelayanan, kedua adalah sebagai revenue center atau pusat pendapatan.
Regulasi daerah yang diperkenankan
oleh Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 juga berimbas pada
kewenangan menentukan aturan
yang berkaitan dengan upaya yang
terkadang saling bertolak belakang.
Misalnya kebijakan kesehatan gratis
di satu sisi dan mempertahankan/dan
atau meningkatkan PAD.2
Jika pemerintah pusat mengalo-
kasikan pembiayaan Jamkesmas dari
dana APBN, pemerintah daerah dapat
memberikan pelayanan kesehatan gratis jika kemampuan keuangan daerah
memungkinkan untuk melakukan hal
itu. Hingga saat ini banyak pemerintah
daerah yang mempunyai kemampuan
keuangan, memberikan jaminan kesehatan kepada warganya di luar kuota
Jamkesmas, walaupun penyelenggaraannya di tiap-tiap daerah berbedabeda. Pemberlakuan UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional, euforia desentralisasi dan
restrukturisasi kewenangan pusat-daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program jaminan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan daerah masing-masing. Terbitnya Keputusan Mahkamah
Konstitusi No. 007/PUU-III/2005 telah
memberi jalan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program
jaminan kesehatan sebagai subsistem
jaminan sosial, yang kemudian populer
disebut Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda).3
Seiring dengan rencana pemerintah mengintegrasikan jaminan
kesehatan dalam bentuk Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan, daerah harus tetap berkomitmen menyelenggarakan program Jamkesda. Komitmen daerah ini
merupakan wujud kepedulian mereka terhadap nasib masyarakat yang
kurang mampu yang tidak ter-cover
di dalam Jamkesmas, tetap dapat tercover jaminan kesehatan mereka di
Jamkesda. Terkait dengan keputusan
pemerintah untuk mengintegrasikan
Jamkesda ke dalam BPJS per 1 Januari
2014, hendaknya diiringi dengan verifikasi ulang terhadap jumlah peserta
Jamkesda sehingga tidak terjadi salah
sasaran dalam pemberian Jamkesda
dan melalui verifikasi ulang terhadap
data kepesertaan program Jamkesda
diharapkan semua warga tidak mamINFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:44 PM
pu dapat ter-cover dalam program JKN
ini. Pengalaman pelaksanaan jaminan
kesehatan selama ini, baik Jamkesmas
maupun asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin), selalu ada warga
tak mampu yang tidak tercakup, baik
akibat kelahiran, kematian, maupun
perpindahan. Jamkesda dapat jadi
penyangga jika ada warga tak mampu yang tidak tercakup dalam jaminan
kesehatan nasional.
Sebanyak 76,4 juta orang miskin
yang sebelumnya tercakup dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) akan diintegrasikan dalam JKN
mulai 1 Januari 2014. Adapun 32 juta
orang yang dijamin Jamkesda akan
diintegrasikan secara bertahap hingga 2019. Ada 107 kabupaten/kota yang
telah berkomitmen untuk meleburkan
Jamkesda ke JKN. Ada pun provinsi
yang telah bergabung adalah Aceh
dan yang telah memberikan komitmen
antara lain Kalimantan Tengah dan
DKI Jakarta.4 Jika sudah disatukan, masyarakat peserta BPJS kesehatan bisa
mendapatkan pelayanan kesehatan
di seluruh Indonesia. Sejalan dengan
pengintegrasian ini, dalam program
BPJS, pemerintah perlu mendorong
peningkatan besaran iuran peserta
Jamkesda. Peningkatan besaran iuran
yang setara antara Jamkesda dan iuran
Penerima Bantuan Iuran (PBI) ini dikarenakan adanya program pengalihan
Jamkesda kepada BPJS kesehatan. Iuran Jamkesda harus disesuaikan dengan
ketentuan BPJS, atau minimal sama
dengan peserta PBI yaitu orang miskin
dan tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN.
Iuran PBI disepakati Rp19.225 per orang
per kepala untuk 86,4 juta jiwa.5
Risiko Fiskal Daerah
dalam Pembiayaan
Jamkesda
Pelaksanaan otonomi daerah
telah membawa perubahan pada
berbagai pengelolaan pelayanan
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 57
DESEMBER 2013
publik oleh pemerintah daerah, diantaranya pelayanan di bidang kesehatan. Jamkesda merupakan wujud
tanggung jawab pemerintah daerah
dalam memberikan perlindungan dan
pembiayaan bagi warganya untuk
mendapatkan layanan kesehatan.
Peserta Jamkesda akan mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah kabupaten/kota dan provinsi.
Pelayanan kesehatan bagi warga peserta Jamkesda hanya berlaku di mana
dia berdomisili, jadi Jamkesda hanya
berlaku secara lokal di wilayah kabupaten/kota dan provinsi penyelenggara Jamkesda. Jika Jamkesmas sumber
pembiayaannya berasal dari dana
APBN, maka Jamkesda sumber pembiayaannya berasal dari APBD provinsi
dan kabupaten/kota. Oleh karena sumber pembiayaan bersumber dari APBD
provinsi dan kabupaten/kota, tentunya
tidak semua provinsi dan kabupaten/
kota tersebut mempunyai kemampuan
yang sama dalam menyelenggarakan
program Jamkesda ini. Kemampuan
membiayai Jamkesda ini tergantung
dari kemampuan keuangan daerah
masing-masing daerah tersebut. Semakin besar dana APBD yang dialokasikan
dan cukup untuk membiayai program
Jamkesda ini, maka semakin tidak ada
batasan dalam pemberian pelayanan
kesehatan untuk warganya. Semua
jenis penyakit dan pengobatannya bisa
ter-cover dari dana yang dialokasikan
di dalam APBD. Namun, sebaliknya
ada juga daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan daerah
yang kurang dalam membiayai semua
fasilitas pelayanan kesehatan ini
sehingga pelayanan kesehatan yang
diterima oleh peserta Jamkesda pun
dibatasi untuk berbagai jenis penyakit
dan pengobatannya, misal dalam satu
tahun anggaran hanya boleh menggunakan 25 hari untuk perawatan atau
hanya sepuluh kali cuci darah.
Ada beberapa daerah yang mengandalkan penerimaan asli daerah
(PAD) berasal dari sektor kesehatan.
Di daerah yang masih menerapkan
biaya dalam mengakses layanan kesehatan, kontribusi penduduk terhadap peningkatan pendapatan daerah
memiliki kecenderungan bertambah
dari waktu ke waktu. Kecenderungan
ini menunjukkan bahwa pemerintah
daerah masih sangat bergantung
pada biaya layanan kesehatan dari
rumah sakit umum dan puskesmas untuk mengatasi beban meningkatnya
biaya perawatan kesehatan. Daerahdaerah yang tidak lagi menerapkan
retribusi biaya di fasilitas kesehatan
biasanya ditandai oleh kapasitas fiskal
mereka yang relatif tinggi, yang diperoleh melalui Dana Bagi Hasil untuk
kabupaten yang kaya sumber daya,
atau kontribusi yang relatif tinggi dari
pendapatan asli daerah.6
Oleh karena pembiayaan
program Jamkesda ini sebagian besar
dibiayai dari dana APBD, maka yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana
keberlangsungan fiskal daerah tetap
terjaga. Ketahanan APBD harus diperkuat melalui kapasitas fiskal yang
besar sehingga tidak menimbulkan
kekhawatiran bahwa program
Jamkesda ini terhenti karena alasan
finansial, apalagi jika tren alokasi
program ini terus meningkat, tentu
akan menambah alokasi anggaran
lagi untuk menutup penambahan
alokasi tersebut.
O
P
I
N
I
Penutup
Program Jamkesda merupakan
bentuk komitmen daerah dalam
rangka ikut menyelenggarakan
program pelayanan kesehatan gratis
bagi warganya. Semangat daerah ini
didasari oleh Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang menyebutkan bahwa
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk
kabupaten/kota merupakan urusan
yang berskala kabupaten/kota salah
57
1/27/2014 9:01:45 PM
O
P
I
N
I
satunya meliputi penanganan bidang
kesehatan. Pengembangan program
Jamkesda oleh pemerintah daerah
merupakan pelengkap dari jaminan
kesehatan masyarakat (Jamkesmas)
yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jamkesda dapat disebut
sebagai program tambahan bagi
Jamkesmas karena Jamkesda ditujukan untuk memberikan perlindungan
dan pelayanan di bidang kesehatan
bagi warga yang tidak mampu yang
tidak tercakup dalam Jamkesmas.
Keberlangsungan program Jamkesda ini sangat tergantung dari kapasitas fiskal masing-masing daerah.
Ketahanan APBD untuk membiayai
program Jamkesda ini sangat mempengaruhi keberlangsungan pembiayaan Jamkesda. Di samping kemampuan
APBD masing-masing daerah, keberlangsungan program ini juga tergantung dari political will kepala daerah
saat ini dan yang akan datang. Jangan
sampai kepala daerah penggantinya
tidak bisa melanjutkan program ini
karena berbagai alasan, khususnya
ketidakmampuan anggaran daerah
untuk membiayainya. Komitmen
kepala daerah dalam menjaga keberlangsungan program ini akan menjadi
lebih baik jika ada landasan hukum
dan kepastian hukum yang menjamin
tetap terlaksananya program ini sampai kapanpun, tentunya landasan hukum tersebut dapat ditetapkan dalam
bentuk peraturan daerah yang diikuti
oleh Peraturan Bupati/Walikota dan
Gubernur. Melalui peraturan daerah
ini diharapkan dapat mengikat semua
pihak baik dari kalangan legislatif,
eksekutif dan masyarakat untuk mematuhinya.
Apabila ada pemerintah daerah
yang belum siap untuk menggabungkan Jamkesda dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena belum
mampu membayar iuran JKN, menurut pendapat kami pemerintah pusat
perlu memberikan bantuan iuran bagi
58
ISI_DES-2013_5a.indd 58
pemda yang belum mampu tersebut
agar mereka mampu membayar iuran
bagi warga mereka yang tidak mampu. Selain itu, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pelaksanaan
program ini yang masih terdapat kekurangan sebagai bahan pembelajaran dalam pelaksanaan program JKN
ini. Kekurangan atau kendala itu bisa
berupa sistem pelayanan berjenjang,
kurangnya jumlah fasilitas pelayanan
kesehatan primer, tidak akuratnya database kepesertaan, data masyarakat
miskin tidak dimutakhirkan dengan
baik, dan perbedaan data masyarakat
miskin antarinstansi. Kendala-kendala
tersebut dapat menimbulkan risiko
berupa tidak terlayaninya masyarakat
miskin dalam menikmati pelayanan
kesehatan gratis karena tidak tercakup
dalam Jamkesmas dan Jamkesda.
Hasil pemeriksaan BPK terkait
pelayanan kesehatan masyarakat
pada beberapa rumah sakit milik pe-
merintah juga menemukan adanya
ketidakefisienan dalam hal perbekalan farmasi dan standar pelayanan.
Kelemahan lain selain pemenuhan
kebutuhan perbekalan farmasi yang
tidak optimal adalah tahap pemilihan,
perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan
farmasi yang belum memenuhi tujuan
setiap tahapan. Selain itu, masih ada
sarana prasarana instalasi farmasi, rawat inap, dan rawat jalan yang tidak
sesuai standar sehingga pelayanan
tidak optimal. Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab menyediakan
pelayanan kesehatan masyarakat yang
bermutu, aman, efisien dan terjangkau sehingga rumah sakit umum harus
berbenah untuk meningkatkan pelayanan dengan lebih efektif. Dengan
demikian, sudah semestinya tidak ada
masyarakat yang tidak dapat dilayani
dengan baik oleh rumah sakit, terutama rumah sakit milik pemerintah.7 n
Catatan
1
2
3
4
5
6
7
Selamat Riyadi, “Peran Ajaran dan Pemikiran Islam dalam Bidang
Kesehatan,” Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Islam Thought (Pemikiran Islam) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
Chitra Retna S dan Ermy Ardhyanti, “Inisiatif Daerah dalam Mengembangkan Program Jaminan Kesehatan: Pola dan Pembelajaran,” Working Paper.
Adenantera Dwicaksono, Ari Nurman, dan Panji Yudha Prasetya, Jamkesmas dan Program Jaminan Kesehatan Daerah, Laporan Pengkajian di 8
Kabupaten/Kota dan 2 Provinsi, (Bandung: Perkumpulan Inisiatif, 2012).
“Jaminan Kesehatan Nasional, Peleburan Jamkesda Perlu Waktu,”
Kompas, 27 Desember 2013.
Peserta Jamkesda Diintegrasi Jadi Peserta BPJS Kesehatan, http://
www.beritasatu.com/kesehatan/134461-peserta-Jamkesda-diintegrasijadi-peserta-bpjs-kesehatan.html, diunduh pada Kamis, 28 November
2013.
Adenantera Dwicaksono, Ari Nurman, dan Panji Yudha Prasetya, op.
cit.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/03/mkng79bpk-temukan-banyak-kelemahan-pengelolaan-Jamkesmas, diunduh
pada Jumat, 27 Desember 2013.
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:45 PM
Menjaga Keberlanjutan Jamkesda
Oleh: Adrianus Dwi Siswanto
Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan
Email: [email protected]
U
ndang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah,
khususnya Pasal 13 dan 14
ayat (1) huruf e menyatakan bahwa
penanganan bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah.
Artinya, pemerintah daerah (pemda)
bertanggung jawab untuk menangani
bidang kesehatan. Pelimpahan kewenangan ini merupakan tonggak sejarah bagi penyelenggaraan program
kesehatan pada level lokal. Pergeseran kewenangan tersebut memberikan
pengaruh di berbagai aspek.
Berpijak dari regulasi tersebut,
kemudian pemda mengembangkan
inovasi di bidang layanan kesehatan.
Inovasi yang muncul menciptakan dinamika di banyak daerah. Dinamika
dalam tatanan kebijakan, institusi dan
alokasi anggaran. Walaupun muncul
berbagai persoalan, pemda terus
mengembangkan program-program
pelayanan kesehatan dengan kemampuan dan muatan lokal.
Banyak manfaat dan persoalan
yang muncul seiring dengan ber­ja­lan­
nya pelaksanaan program kesehatan
ter­se­but. Meningkatnya kesadaran pu­
blik akan pentingnya kesehatan me­
ru­pa­kan bentuk dampak positif dari
pro­gram. Na­mun demikian ada ekses
tam­­bahan, per­hatian pemda di bidang
ke­­se­­hatan telah menempatkan bidang
ter­sebut sebagai isu “seksi” yang me­
nen­tu­kan elek­tabilitas politisi untuk
me­re­but hati rakyat. Pemilihan kepala
dae­rah (Pilkada) kerapkali “menjual”
isu kesehat­an sebagai upaya meraup
INFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 59
DESEMBER 2013
du­kungan massa. Program kesehatan
gra­tis, misalnya, adalah salah satu cara
me­rebut hati rakyat. Kesehatan telah
ber­geser menjadi komoditas politik
ter­uta­ma sejak pelaksanaan otonomi
daerah.
Payung hukum program kesehatan
yang diselenggarakan pemda sangat
kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut tidak saja mengatur
soal otonomi namun secara detail menempatkan bidang kesehatan sebagai
bidang yang diserahkan kepada daerah. Daerah memiliki kewenangan dan
mendapat dukungan dana. Pemerintah
pusat dan daerah kemudian bersinergi
untuk menjalankan UU tersebut untuk
mencapai kinerja pelayanan kesehatan
yang lebih baik.
Namun demikian, setelah lebih
dari 10 tahun pelaksanaan otonomi
daerah, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan masih menghadapi persoalan serius, terutama soal sumber dana.
Apalagi sektor kesehatan bukan merupakan revenue center namun lebih
pada cost center. Sejak republik ini dibentuk, pemerintah daerah terus menerus kesulitan membiayai program
pelayanan kesehatan bagi penduduknya. Pemda sudah memiliki penyakit
laten, yaitu tidak tersedia cukup dana
bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ada ketergantungan pemda
terhadap pusat di bidang kesehatan.
Melepas Jerat
Ketergantungan Pusat
Ketergantungan tersebut nampaknya “dipelihara” oleh pemerintah
pusat. Periode 6 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah, transfer untuk
urusan bidang kesehatan mengalami
pertumbuhan yang besar (Tabel 1).
Baru di 2010 belanja pemerintah pusat
tumbuh namun dengan pertambahan
yang semakin menurun. Dalam perkembangannya, secara nominal tetap
meningkat namun tumbuh tidak sekuat di tahun-tahun awal otonomi daerah. Boleh jadi ini merupakan strategi
pemerintah pusat untuk mendorong
daerah supaya tidak lagi bersandar
pada dana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Pada level pemerintahan daerah,
baik level pemerintahan provinsi
maupun kota/kabupaten, terjadi perkembangan yang menarik. Belanja pemerintah daerah untuk urusan bidang
kesehatan mengalami lonjakan yang
signifikan. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, telah terjadi peningkatan
400% sejak tahun 2006. Jika transfer
pusat ke daerah mencapai puncak
pertumbuhan di tahun 2006, dan terus
mengalami penurunan, APBD bidang
kesehatan menunjukkan tren yang terus naik hingga hari ini. Pagu tidak saja
meningkat secara nominal namun juga
mengalami pertumbuhan yang terus
positif dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan keseriusan pemda di berbagai
level terhadap persoalan-persoalan
kesehatan masyarakat lokal. Kebijakan APBD telah memberikan sinyal kuat
bahwa otonomi daerah mendorong
meningkatnya derajat kepedulian
pemda di bidang kesehatan.
Implikasi dari besarnya belanja kesehatan Pemerintah Pusat dan Daerah
O
P
I
N
I
59
1/27/2014 9:01:45 PM
Tabel 1. Perkembangan Alokasi APBN Untuk Belanja DAK Bidang Kesehatan Tahun 2003 s.d. 2012
URAIAN
2003
DAK Kesehatan (miliar Rp)
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
375
456
620
2.407
3.381
3.817
4.017,37
2.830
3.001
3.006
DAK Nasional (miliar Rp)
2.269
2.839
401.400
11.570
17.094
21.202
24.820
21.133
25.233
26.116
Persentase
16,53
16,07
15,45
20,80
19,78
18,00
16,19
13,39
11,89
11,51
Sumber: Kementerian Kesehatan, 2013.
O
P
I
N
I
alami peningkatan cukup besar, yaitu
menjadi 4,4 rumah sakit yang tersebar
di 497 kota dan kabupaten seluruh
Indonesia. Atau rata-rata terdapat 66
rumah sakit dengan berbagai kategori
dan kelas di 33 provinsi di Indonesia.
Hanya saja, sebaran rumah sakit tidak
merata. Lokasi rumah sakit masih
terkonsentrasi pada wilayah tertentu,
terutama di 6 provinsi besar, yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Empat berlokasi di Jawa dan
dua berkedudukan di luar Jawa.
adalah antara lain adanya perbaikan
indikator kesehatan. Misalnya untuk indikator kesehatan yang terkait dengan
penyelenggaraan kegiatan persalinan.
Menurut data, persentase persalinan
ditolong tenaga kesehatan seperti
dokter, bidan dan tenaga medis, mengalami perbaikan (Tabel 3). Sejak otonomi daerah yang mengeluarkan berbagai paket kebijakan kesehatan lokal
dan dikombinasikan dengan program
nasional, ada peningkatan pelayanan
persalinan oleh tenaga medis. Misalnya
pada tahun 2012, persentase persalinan
ditolong tenaga medis telah meningkat menjadi 83,36%. Angka persentase
tersebut, meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan persentase yang terjadi
di tahun 2001, awal otonomi daerah.
Fakta ini bukti bahwa desentralisasi
bidang kesehatan memperbaiki kinerja
pelayanan kesehatan.
Dari sisi sarana dan prasarana,
juga telah terjadi perubahan yang
cukup signifikan. Ditandai dengan
semakin membaiknya beberapa rasio
pelayanan kesehatan. Secara nasional,
rasio sebaran rumah sakit telah meng-
Akar Masalah
Jika politik fiskal telah mendorong peningkatan belanja APBN
dan APBN bidang kesehatan dan
memberikan hasil perbaikan kinerja,
pertanyaannya adalah apakah rumah
tangga saat ini membayar lebih murah
untuk pelayanan kesehatan tersebut.
Karena salah satu akar masalah kesehatan terletak pada ketidakmampuan
rumah tangga memperoleh pelayanan kesehatan. Baik karena faktor non
finansial maupun disebabkan karena
Tabel 2. Alokasi Anggaran Belanja Urusan Kesehatan dalam APBD
Tahun
Pagu
(dalam miliar
Rp)
Jumlah Pemda
Provinsi
Kab/Kota
Pertumbuhan
(%)
380
-
2006
17.435,23
30
2007
23.326,36
32
431
33,79
2008
31.588,01
32
452
35,42
2009
36.569,973
33
477
15,77
2010
39.232,86
33
486
7,28
2011
46.867,85
32
492
19,46
2012
56.100,71
33
487
19,70
2013
68.901,28
33
491
22,82
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, diolah.
60
ISI_DES-2013_5a.indd 60
pendapatan yang rendah. Jika hal ini
menyangkut penghasilan yang tidak
cukup untuk membayar pelayanan
kesehatan tersebut, perlu ada kebijakan lokal yang mampu mengatasi ketidakmampuan tersebut. Dengan kata
lain, kebijakan publik lokal melalui
instrumen fiskal, harusnya mengatasi
persoalan krusial tersebut.
Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kelompok
berisiko rentan mengakses pelayanan
kesehatan. Dengan adanya program
pemerintah pusat dan daerah saat
ini, apakah belanja kesehatan rumah
tangga menjadi berkurang ataukah
sebaliknya. Idealnya meningkatnya
belanja publik untuk urusan kesehatan
akan mendorong turunnya biaya yang
harus dikeluarkan rumah tangga, terutama rumah tangga miskin. Namun
pada kenyataannya belum tentu.
Beberapa temuan hasil studi telah
dipublikasikan. Misalnya, studi yang
dilakukan Bank Dunia menyebutkan
bahwa pada tahun 2004 biaya kesehatan rumah tangga telah meningkat
12%. Peningkatan tersebut mengakibatkan persentase pengeluaran rumah
tangga untuk kesehatan menjadi 3,5%
dari total pengeluaran rumah tangga.
Menurut studi tersebut, secara rata-rata
memang telah terjadi perubahan dimana pengeluaran rumah tangga mengalami penurunan secara signifikan sekitar 6% dari total pengeluaran rumah
tangga untuk kesehatan dalam 4 tahun
terakhir. Namun demikian, penurunan
tersebut bukan berasal dari adanya
peningkatan belanja publik yang dilakukan oleh pemerintah di bidang kesehatan. Bank Dunia menemukan kenyataan bahwa penurunan bersumber dari
INFO RISIKO FISKAL
DESEMBER 2013
1/27/2014 9:01:45 PM
Tabel 3. Indikator Kesehatan Tahun 2000 s. d. 2012
Keterangan
2000
2001
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Persentase persalinan ditolong tenaga
kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis)
63,5
64,2
67,9
71,5
70,5
72,4
72,5
74,9
77,3
79,8
81,3
83,4
1) Tahun 2001 tidak termasuk Aceh dan Maluku. 2) Tahun 2003 tidak termasuk Aceh.
Sumber : Kementerian Kesehatan RI dan Publikasi BPS.
adanya penurunan absolut pengeluaran kesehatan per kapita seiring dengan
peningkatan total pengeluaran rumah
tangga per kapita. Padahal sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2, alokasi
belanja publik untuk urusan kesehatan
meningkat secara pesat. Mestinya peningkatan belanja tersebut dibarengi
dengan turunnya pengeluaran rumah
tangga atas pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
Fakta tersebut paralel dengan hasil
kajian Muhammad Ryan Sanjaya (2007)
atas data Susenas 2004 yang menyatakan bahwa mayoritas rumah tangga
menggunakan pendapatan mereka
sendiri untuk membiayai pengeluaran kesehatan dan hanya sedikit yang
menggunakan asuransi kesehatan atau
pun kartu sehat. Kajian lain dengan
data Susenas 1998, era sebelum otonomi daerah, hasilnya menunjukkan
fakta yang relatif tidak jauh berbeda
(Mardiati Nadjib dan Pujiyanto, 2002).
Hampir 77% pengeluaran rumah
tangga selama sebulan, lebih dari separuhnya untuk nonmakanan terutama
untuk biaya rawat inap. Dengan kata
lain, rumah tangga di Indonesia menghadapi tekanan finansial yang kuat
manakala harus menjalani rawat inap.
Fasilitas kesehatan yang disediakan
pemerintah melalui APBN dan APBD
belum memberikan pengaruh yang
cukup signifikan untuk menurunkan
beban manakala harus di rawat inap.
Jamkesda, Sebuah Solusi
Lokal
Dari hasil-hasil kajian tersebut,
maka perlu ada perbaikan kebijakan
belanja publik untuk urusan kesehatan.
Jika belanja ternyata tidak menurunINFO RISIKO FISKAL
ISI_DES-2013_5a.indd 61
DESEMBER 2013
kan biaya pelayanan kesehatan per
kapita maka patut diduga telah terjadi
salah alokasi dan inefisiensi dalam pengeluaran tersebut. Jika semakin besar
porsi pengeluaran rumah tangga untuk
pelayanan kesehatan maka ini mengindikasikan semakin mahalnya ongkos
pelayanan kesehatan. Untuk keluar
dari persoalan tersebut, beberapa
daerah telah mengembangkan jaminan kesehatan dan program sejenisnya
dengan pola asuransi. Model jaminan
kesehatan yang dikembangkan ada
beberapa macam. Baik dengan skenario asuransi maupun pembayaran at
cost untuk pelayanan kesehatan yang
diterima masyarakat yang berhak.
Beberapa daerah menyebutnya
sebagai Program Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) yang telah di selenggarakan beberapa pemda kabupaten dan kota. Contohnya adalah kartu
sehat untuk program kesehatan di DKI
Jakarta yang membebaskan seluruh
biaya berobat dan rawat inap di Puskesmas dan kelas III di seluruh rumah sakit.
Sedangkan daerah lain, seperti Propinsi
Gorontalo, mengembangkan Jaminan
Kesehatan Semesta sejak tahun 2012.
Program ini mentargetkan pelayanan
untuk masyarakat miskin dan hampir
miskin yang belum masuk dalam
jaminan kesehatan apapun (sumber :
www.gorontaloprov.go.id). Di Propinsi
Gorontalo saat ini program kesehatan
yang ada adalah Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Mandiri (Jamkesmand), Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Sosial
Tenaga Kerja (Jamsostek), dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Berbagai paket program tersebut,
memberikan pelayanan kesehatan ber-
bayar murah hingga gratis sebagai solusi keluar dari tekanan finansial yang
dialami rumah tangga. Dengan pendekatan program tersebut, rumah tangga
akan memperoleh manfaat sekaligus
mengurangi terjadinya pengeluaran
tunai yang berpotensi mendorong
kelompok rumah tangga rentan ekonomi tersebut berada di bawah garis
kemiskinan (Bank Dunia, 2007). Karena
itu, Jamkesmas dan program sejenis
lainnya perlu terus dikembangkan
terutama untuk kelompok masyarakat
rentan. Walaupun perlu kajian lebih
lanjut, program Jamkesda merupakan
bentuk lain dari subsidi pemerintah
daerah terhadap warganya supaya
memperoleh layanan kesehatan.
Bagaimana halnya dengan program nasional Sistem Jaminan Sosial
Nasional sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional dalam kaitannya dengan
terus dikembangkannya jaminan
kesehatan di level daerah dengan
institusi yang berada di daerah? Hasil
keputusan Mahkamah Konstitusi No.
007/PUU-III/2005 memberikan ruang
bagi program kesehatan skala lokal
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem jaminan sosial skala
nasional. Dengan demikian pemerintah daerah tetap dapat melaksanakan
program Jamkesda sebagai wujud dari
kewenangan otonom yang diberikan
berdasarkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Tugas pemerintah daerah
adalah memastikan bahwa seluruh
program yang ada, baik bersifat nasional maupun lokal, tepat sasaran
dan efisien. Semoga! n
O
P
I
N
I
61
1/27/2014 9:01:45 PM
Anda Bertanya, Kami Menjawab
Sosialisasi Pengelolaan Risiko Fiskal Dalam Rangka Menjaga
Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan
1. Pinjaman Komersial Luar Negeri
Pertanyaan:
1)
Tahun lalu, Pelindo 3 mendapatkan persetujuan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) yang dibahas 5 Kementerian, di manakah
PKLN dibahas di BKF?
2)
Terkait SLA PLN, sebagai lembaga yang menjamin SLA PLN, apakah BUMN pelabuhan bisa berklaborasi?
3)
Penjaminan Pemerintah untuk PDAM apakah bisa juga dilaksanakan untuk BUMN pelabuhan?
4) Jika pinjaman mengalami default, apakah hal tersebut dikelola oleh BKF?
Wahyu Suparyono (PT Pelindo 3 Surabaya)
Jawaban:
Penyelesaian rekomendasi PKLN berada di PPRF yaitu di Bidang Analisis Risiko BUMN. SLA PLN dalam hal ini adalah Service Level
Agreement, yaitu semacam indikator kinerja yang harus dipenuhi oleh PLN dalam menjalankan kewajiban Public Service Obligation.
Jaminan untuk BUMN dilaksanakan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta/Public Private Partnership maupun melalui skema
penugasan. Contoh skema PPP adalah penjaminan PT PII pada proyek Central Java Power Plant, sedangkan contoh proyek penugasan
adalah Fast Track Program I dan Fast Track Program II. Jika pinjaman PLN mengalami dafault, maka Pemerintah mengeluarkan langkahlangkah seperti penundanaan pembayaran deviden, pemberian pinjaman lunak dll.
2. Pembangunan Infrastruktur dan MP3EI
Pertanyaan:
1)
Konsep yang dipresentasikan bagus, termasuk didalamnya sudah ada PT PII dan PT SMI. Namun mengapa sudah tiga tahun sejak
2009 PT PII belum menjamin proyek infrastruktur?
2)
Terkait dengan land capping, mengapa alokasi anggaran 2013 diturunkan secara drastis dan untuk tahun 2014 juga diturunkan
lagi, padahal tahun depan memerlukan dana land capping mencapai Rp3 Triliun.
3)
Apakah ada mekanisme VGF untuk daerah?
4) Bagaimana pemberian VGF dilakukan? apakah langsung ke Badan Usaha atau diberikan dalam bentuk fisik dalam kaitannya
dengan missmacth kualitas dan kepastian delivery proyek?
5)
Terkait dengan MP3EI, bagaimana kira-kira kemampuan APBN?
Dedi (Jasa Marga)
Jawaban:
1)
Koordinasi dengan PT PII dan PT SMI terus dilakukan. Saat ini ada dua proyek KPS yang sedang dipersiakan, selain itu juga terdapat
proyek jalan tol yang sudah mulai masuk.
Tambahan Redaksi: PT PII (Persero) bersama Pemerintah menjamin proyek Pembangkit Listrik Jawa Tengah/Central Java Power
Plant (CJPP).
2)
Alokasi dana land capping dilakukan dengan mempertimbangkan usulan Kementerian Pekerjaan Umum dan progres penyerapan
tahun sebelumnya. Karena progres penyerapan tahun sebelumnya sangat rendah maka alokasi yang diusulkan juga dikurangi.
Saat ini BKF telah merekomendasikan penambahan alokasi dana land capping untuk tahun 2014 serta perpanjangan masa land
capping sampai 2015.
3)
Untuk VGF daerah, hal tersebut sudah diatur pada pasal tersendiri dalam PMK Nomor 223/PMK.011/2012 dan PMK Nomor 143/
PMK.011/2013.
4) VGF diberikan secara tunai kepada Badan Usaha sesuai dengan milestone proyek yang disepakati.
5)
Terkait dengan kebutuhan MP3EI, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan menyusun daftar proyek prioritas. Terkait
pendanaan, sampai dengan tahun 2025 dibutuhkan dana sekitar Rp4.000 triliun dengan Rp1.700 triliun berasal dari Pemerintah.
ISI_DES-2013_5a.indd 62
1/27/2014 9:01:46 PM
Download