zz Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional zz Transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan zz Aspek Perpajakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan EDISI IV Tahun 2013 DESEMBER 2013 zz Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan BKF Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI Menyambut Era Baru Jaminan Sosial COV_DESEMBER 2013_5.indd 1 1/27/2014 8:02:23 PM Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan Aspek Perpajakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan EDISI IV TAHUN 2013 DESEMBER 2013 Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan MENYAMBUT ERA BARU JAMINAN SOSIAL Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Sri Bagus Guritno Dewan Redaksi: Abdul Aziz Hadi Setiawan Rahmat Mulyono Penyunting: Syahrir Ika Hidayat Amir Desain Grafis dan Layout: Tim Grafis Kreasitama Sekretariat: Hendro Ratnanto Sigit Purnomo Indra Setiawan Moh. Kharis Syukron Penerbit: Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Alamat: Gedung R.M. Notohamiprodjo Lantai 4, Jalan Dr. Wahidin No.1 Jakarta 10710. Telp: (021) 3846725 Fax: (021) 3452571 Email: [email protected] Daftar Isi www.pusatpengobatan.com UTAMA: l Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional................. 4-6 Ronald Yusuf dan Hidayat Amir l Transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan............................... 7-13 Roki Gangsar Winoto l BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan......... 14-18 Novijan Janis l Potensi Risiko Fiskal Program Jaminan Kesehatan Nasional..........................19-22 Ronald Yusuf l Aspek Perpajakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan...........23-27 Hadi Setiawan, (Anggifa Arifany, Chintya Pramasanti, Herhudaya Perkasa, Krisna Pratama Amrullah, M Ridho Mubaroq, Maulana Masykur, dan Yanuar Falak Abiyunus) l Implementasi Kebijakan Asuransi Kesehatan Sosial Indonesia dan Pelajaran dari Negara Lain............................................................................... 28-33 Abdul Aziz l Membangun Paradigma Baru Penyediaan Infrastruktur Sosial Pendidikan dan Kesehatan di Indonesia melalui Skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta.................................................................................... 34-38 Eko Nur Surachman l Pelayanan Kesehatan Preventif dan Promotif pada Sistem Jaminan Sosial Nasional................................................................................................... 39-43 Yusuf Munandar EDUKASI FISKAL Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan ...............................................44-51 Syahrir Ika l OPINI: Jaminan Sosial Meningkatkan Kemandirian Ekonomi.................................. 52-54 Praptono Djunedi l Peran Daerah dalam Penjaminan Kesehatan Masyarakat............................ 55-58 Akhmad Yasin l Menjaga Keberlanjutan Jamkesda...................................................................59-61 Adrianus Dwi Siswanto l Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. COV_DESEMBER 2013_5.indd 2 2 INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1. Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal membuka acara Sosialisasi Pengelolaan Risiko Fiskal Dalam Rangka Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan di Mataram, 21 November 2013. Peserta sosialisasi yang diundang adalah dari kalangan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kota Mataram, BUMN, Perbankan dan Asosiasi, serta Akademisi/Universitas. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan materi “Gambaran Umum Kebijakan Pengelolaan Risiko Fiskal Kementerian Keuangan” oleh Kepala Bidang Peraturan Pengelolaan Risiko Fiskal, Sri Bagus Guritno dan “Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Viability Gap Fund) oleh Kepala Bidang Analisis Risiko Dukungan Pemerintah, Riko Amir. 2. Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (ketiga dari kiri) melakukan kunjungan lapangan ke proyek pembangunan smelter di Morowali pada tanggal 28 November 2013. Proyek tersebut dibiayai oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang merupakan lembaga yang dibentuk dengan undang-undang yang berfungsi sebagai fiscal tool pemerintah untuk mendukung program ekspor nasional. 3. Rapat dengan Empresas Públicas de Medellín (EPM) pada tanggal 11 Desember 2013. EPM adalah salah satu perusahaan kelistrikan yang mempunyai anak usaha pembangkitan, transmisi dan distribusi serta pengelolaan air bersih, limbah dan pengelola sampah padat di kota Medellin yang merupakan perusahaan milik Pemerintah Kota Medellin, Kolombia. 1/27/2014 8:02:39 PM Editorial JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Perlindungan Sosial yang Dinantikan Rakyat T anggal 1 Januari 2014 akan menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, Pemerintah memukul genderang mulai beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengoperasian BPJS ini menandakan bahwa Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menjamin kesehatan rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial dari negara terhadap rakyatnya. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Tujuan JKN adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak tanpa membedakan status sosial maupun ekonomi. JKN diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Seluruh warga, termasuk para pekerja formal maupun nonformal diwajibkan oleh Undang-Undang untuk menjadi peserta dan membayar iuran. Sementara itu, bagi penduduk yang tidak mampu, Pemerintah akan menanggung iuran jaminan kesehatan dengan mengalokasikan anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran/PBI. Semua peserta dalam program JKN akan mendapatkan manfaat medis yang sama, sementara manfaat nonmedis (misalnya akomodasi rawat inap) dapat berbeda tergantung golongan bagi PNS, gaji/ upah bagi pegawai swasta, dan besaran iuran bagi pekerja nonformal. Implementasi SJSN yang diawali dengan beroperasinya BPJS Kesehatan dan program JKN merupakan suatu terobosan besar yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Namun demikian, tidak sedikit pihak yang menyangsikan apakah program JKN dan BPJS Kesehatan akan berjalan mulus. Dari sisi supply, jumlah infrastruktrur layanan kesehatan dan tenaga medis masih belum memadai baik kualitas maupun kuantitasnya ditambah lagi persebarannya juga tidak merata. Dari INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 3 DESEMBER 2013 sisi tarif untuk jasa layanan, termasuk obat, alat kesehatan dan jasa dokter, masih banyak yang menilai tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah tidak wajar. Hal ini dikhawatirkan membuat banyak penyedia jasa layanan enggan untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Selain itu juga ada persoalan kemauan (willingness) dan kemampuan para pekerja nonformal untuk membayar iuran. Sementara dari sisi data PBI, masih perlu koordinasi yang lebih insentif antara pemerintah pusat dan daerah sehingga diperoleh data yang valid mengenai jumlah penduduk yang layak menerima bantuan iuran. Hal-hal tersebut adalah sebagian permasalahan yang dihadapi dalam implementasi JKN. Di samping berbagai persoalan tersebut, terdapat potensi risiko fiskal yang dapat membenani APBN. Di antaranya adalah ketidaksesuaian antara iuran dan manfaat; adverse selection; dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga keberlangsungan program JKN jika terjadi hal-hal/kejadian yang memang disebabkan di luar kendali baik oleh badan penyelenggara maupun pemerintah. Potensi risiko fiskal dari program JKN dan mitigasinya akan dibahas lebih lanjut dalam artikel Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) edisi kali ini. Para cendekia sering berujar, kalau anda ingin sukses, maka anda harus memulai. Program JKN merupakan kesempatan emas bagi negara ini dalam memperbaiki sistem jaminan sosial yang selama ini dijalankan. Keberhasilan program ini Jaminan Kesehatan Nasional tentunya memerlukan waktu. Dengan semua permasalahan yang dihadapinya, kita harus tetap optimistis bahwa program ini akan menjadi semakin baik seiring berjalannya waktu. Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk keberlangsungan dan keberhasilan program JKN. Oleh karenanya setiap komponen penyelenggara jaminan sosial harus bahu membahu bekerja keras, bukan justru mengambil manfaat individual atas perubahan ini. Sementara itu, masyarakat juga perlu turut serta mengawasi agar program JKN tidak menyimpang dari tujuan awal dan ketentuan yang berlaku. Mari kita sambut era baru jaminan sosial di negeri kita ini dengan optimisme dan harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia! n Syahrir Ika 3 1/27/2014 9:01:35 PM Menyambut Implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional Oleh: Ronald Yusuf1 dan Hidayat Amir2 1. Kasubid Analisis Risiko Ekonomi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Email: [email protected] 2. Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan. Email: [email protected] U T A M A R eformasi jaminan sosial nasional ternyata memakan waktu yang cukup lama. Semenjak diundangkannya UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Nasional Nasional (SJSN), pemerintah baru berhasil menyelesaikan UU No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) pada akhir tahun 2011. Proses yang lama tidak hanya menunjukkan alotnya proses politik yang terjadi, tetapi juga kompleksitas permasalahan yang ada. Saat ini pemerintah sedang bekerja keras menyelesaikan proses transformasi program dan kelembagaan menuju jaminan sosial yang lebih komprehensif dan berkualitas. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya merupakan amanah konstitusi untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial pada seluruh rakyat Indonesia. Seluruh program yang tercakup dalam SJSN diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi pesertanya khususnya ketika terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan baik yang disebabkan karena menderita suatu penyakit atau karena sebab lainnya. Salah satu program SJSN adalah 4 ISI_DES-2013_5a.indd 4 Salah satu program SJSN adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan menjamin pesertanya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan menjamin pesertanya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Program ini akan dimulai pada 1 Januari 2014 dan akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan hasil transformasi PT Askes (Persero). Sebagaimana yang diamanahkan oleh UU SJSN, seluruh rakyat Indonesia wajib menjadi peserta program ini dan juga wajib membayar iurannya. Khusus iuran bagi fakir miskin dan orang tidak mampu, UU ini mengamanahkan kepada Pemerintah untuk membayarnya. Peserta yang termasuk dalam kategori ini disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Program jaminan kesehatan untuk fakir miskin dan tidak mampu sesungguhnya sudah menjadi perhatian dan sudah dilaksanakan Pemerintah sejak lama. Sebelumnya dikenal dengan nama Askeskin (2005-2007) kemudian berlanjut dengan nama program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) hingga kini. Program ini memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan secara komprehensif bagi pesertanya atau dengan kata lain menjamin seluruh jenis penyakit selama terindikasi medis. Pada tahun 2007 s.d. 2012, peserta program ini adalah sebanyak 76,4 juta jiwa dan dengan rerata besar anggaran yang dibutuhkan adalah Rp6.000 per orang per bulan (POPB). Pada tahun 2013, dengan pertimbangan semakin tingginya biaya kesehatan yang dapat mempengaruhi kemampuan keuangan orang yang hampir miskin, Pemerintah memandang perlu untuk menaikkan jumlah peserta program INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:35 PM menjadi 86,4 juta jiwa. Selain itu, Pemerintah juga menaikkan rerata biaya POPB untuk Jamkesmas sebesar 33% yaitu menjadi Rp8.000. Dalam realisasinya, masih banyak fakir miskin dan orang tidak mampu yang mengeluhkan manfaat program Jamkesmas. Banyak yang menilai bahwa salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya anggaran untuk program ini yang baik langsung maupun tidak langsung membuat produk program ini menjadi inferior. Tidak sedikit penyedia fasilitas kesehatan termasuk tenaga medis yang menilai bahwa jasa yang mereka berikan tidak dihargai secara layak. Imbasnya adalah persepsi masyarakat bahwa kualitas layanan program Jamkesmas relatif buruk termasuk didalamnya isu penolakan pasien Jamkesmas di Rumah Sakit dan prasyarat administrasi yang ketat. Selain keluhan tersebut, masih banyak juga fakir miskin dan orang tidak mampu yang bahkan belum merasakan manfaat program ini. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat utilisasi program. Sebagai gambaran, utilisasi Jamkesmas untuk Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) di rumah sakit pada tahun 2010 adalah 4,61 per 1.000 orang per bulan (data Kementerian Kesehatan 2011) jauh di bawah tingkat utilisasi peserta PT Askes untuk jaminan yang sejenis yakni sebesar 52,57 (data PT Askes 2011). Persepsi masyarakat tentang kualitas layanan yang relatif buruk termasuk salah satu penyebab rendahnya utilisasi Jamkesmas. Penyebab lainnya diyakini antara lain adalah sosialisasi yang relatif rendah, tidak terbaginya semua kartu Jamkesmas yang dicetak, sulitnya akses dari/ke fasilitas kesehatan yang ada, dan adanya program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh beberapa Pemerintah Daerah. Untuk sebab yang terakhir ini, sebagian besar peserta lebih suka menggunakanINFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 5 DESEMBER 2013 nya dikarenakan prosedur yang relatif lebih mudah dibanding Jamkesmas. Berbagai permasalahan tersebut, tentu memerlukan langkah-langkah kongkrit untuk mengatasinya. Hasrat kuat untuk mereferomasi dan melakukan perbaikan itulah yang muncul sebagai motivasi besar dalam melahirkan program JKN. Walau pun barang tentu ini memerlukan proses dan keseriusan yang sangat besar dari keseluruhan pemangku kepentingan. Semua pihak harus menjaga semangat ini dengan siasat nafas panjang, karena permasalahan yang besar dan kompleks tidak mungkin diselesaikan dalam satu malam. Rome wasn’t built in a day. Namun kita harus memulai. Sebagai pengelola keuangan negara, Kemenkeu semakin dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap Rupiah yang dibelanjakan Pemerintah harus sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Belanja untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam APBN Program JKN diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan rakyat Indonesia khususnya untuk fakir miskin dan tidak mampu. Para pemangku kepentingan, terma- suk Pemerintah, memiliki keinginan dan tekad yang kuat untuk meningkatkan kualitas layanan untuk kelompok ini. Sebagai salah satu pemangku kepentingan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terlibat aktif dalam setiap pembahasan untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Sebagai bukti dukungan tersebut, sejak diundangkannya UU BPJS, Kemenkeu telah mengalokasikan tambahan dana yang signifikan guna meningkatkan infrastruktur fasilitas kesehatan dan persiapan operasional awal BPJS Kesehatan. Selain itu, Kemenkeu juga telah memahami dan bersedia bahwa biaya POPB Jaminan Kesehatan untuk fakir miskin dan orang tidak mampu perlu ditingkatkan ke besaran yang sesuai dengan kualitas layanan yang diinginkan. Sebagai pengelola keuangan negara, Kemenkeu semakin dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap Rupiah yang dibelanjakan Pemerintah harus sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia. Peran Kemenkeu sangatlah vital dalam hal mencermati kualitas dan efektivitas belanja Pemerintah. Beberapa jenis belanja disadari masih sering dipertanyakan ketepatan pencapaian sasarannya. Sebagai contoh belanja subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Belanja jenis ini, yang tiap tahunnya mencapai ratusan triliun rupiah, diyakini lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas dibanding fakir miskin dan tidak mampu atau kalangan menengah bawah yang sesungguhnya lebih membutuhkan dana tersebut. Dalam hal ini, fungsi APBN, khususnya fungsi distribusi sumber daya untuk memberdayakan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, belum optimal. Kemenkeu bertekad untuk sedapat mungkin menghindari terjadinya kembali hal tersebut. Bantuan iuran U T A M A 5 1/27/2014 9:01:35 PM untuk kelompok PBI dalam program JKN diyakini sebagai belanja tepat sasaran yang akan dinikmati oleh mereka yang memang membutuhkan. Selain itu, Kemenkeu juga memandang belanja iuran untuk kelompok ini bukan sebagai beban melainkan sebagai investasi. Banyak kajian ilmiah menunjukkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat memiliki korelasi yang positif dengan produktivitas negaranya. Dengan demikian, target Pemerintah untuk terus meningkatkan selama mungkin pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan lebih mudah dicapai. Catatan Akhir U T A M A Sehubungan dengan pelaksanaan program JKN, Pemerintah memiliki kewajiban bukan hanya untuk membayar iuran PBI tapi juga sebagian iuran para aparatur negara baik yang aktif maupun pensiun. Selain itu, untuk menunjang keberhasilan program ini, Pemerintah juga diminta untuk memberikan anggaran tambahan khusus untuk menambah fasilitas kesehatan yang dibutuhkan. Sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya, salah satu penyebab rendahnya utilisasi Jamkesmas adalah kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan yang dimaksud dapat berupa bangunan (seperti rumah sakit atau puskesmas), tenaga medis, alat kesehatan, atau obat-obatan. Terkait iuran PBI program JKN, dalam Medium Term Budget Framework (MTBF), Pemerintah telah mengalokasikan peningkatan anggaran yang signifikan dan telah memperhitungkan kualitas serta kesinambungan fiskal. Apabila dalam realisasinya terdapat kekurangan dana, terdapat beberapa alternatif cara untuk mendanainya. Penghematan belanja Kementerian/Lembaga tentunya akan dilakukan. Selain itu, realokasi belanja antar sektor, seperti mengurangi besaran subsidi BBM, dapat juga dilakukan. Keberhasilan program JKN bukan hanya ditentukan dari bertambahnya anggaran belanja Pemerintah. Tata kelola yang baik dalam sistem layanan kesehatan juga memegang peranan yang vital. Segala permasalahan dalam pelaksanaan program Jamkesmas dapat dibenahi oleh Pemerintah melalui tata kelola yang baik. Satu hal penting yang wajib dilakukan Pemerintah adalah perbaikan sistim pendataan penduduk khususnya penduduk miskin. Pemerintah harus bekerja keras bersama dengan BPJS Kesehatan guna memastikan mereka yang miskin dan tidak mampu dapat mendapatkan layanan kesehatan program JKN. Hal penting lainnya adalah integrasi jaminan kesehatan daerah dengan program JKN. Di era otonomi daerah, Pemerintah Daerah (Pemda) memang memiliki kewenangan dalam melaksanakan berbagai kebijakan di daerah termasuk penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Meski demikian, sangat diharapkan agar Pemda bijak dalam menggunakan APBD-nya. Dana yang ada sebaiknya tidak diberikan untuk sesuatu hal yang sesungguhnya sudah diberikan oleh Pemerintah Pusat. Akan lebih baik dan lebih bermanfaat apabila dana lebih tersebut digunakan untuk menunjang program JKN seperti tambahan fasilitas kesehatan atau membantu iuran program JKN bagi mereka yang membutuhkan tetapi belum/tidak ada dalam daftar PBI. n 6 ISI_DES-2013_5a.indd 6 Pada satu sisi, Kemenkeu menyadari diperlukannya anggaran yang relatif besar untuk menghasilkan kualitas layanan kesehatan yang baik bagi fakir miskin dan orang tidak mampu. Pada sisi lain, Kemenkeu juga dituntut untuk dapat cermat dan bijak mengalokasikan keterbatasan anggaran yang ada untuk kepentingan belanja lain yang tidak kalah pentingnya. Beberapa jenis belanja yang bersifat mandatory membuat ruang fiskal (fiscal space) semakin sempit. Salah satu jenis belanja tersebut adalah belanja sektor pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi sebesar 20% dari APBN. Selain itu ada juga belanja transfer ke daerah dengan jumlah minimal sebesar 26% dari Penerimaan Dalam Negeri. Belanja lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah pembangunan infrastruktur. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Pemerintah telah mencanangkan proyek-proyek infrastruktur yang bersifat prioritas untuk periode tahun 2010-2014 dengan perkiraan kebutuhan pendanaan sekitar Rp2.000 triliun atau sekitar Rp400 triliun per tahun. Jumlah ini masih lebih besar dari kemampuan belanja modal APBN tahun 2012 yang hanya sebesar Rp169 triliun. Salah satu hal lain yang menuntut untuk cermat dan bijak dalam menentukan besar anggaran PBI adalah fakta bahwa program JKN tidak diselenggarakan dengan skema belanja bantuan sosial melainkan dengan skema asuransi sosial. Dari aspek keuangan, perbedaan yang paling mendasar dari kedua skema tersebut adalah bahwa dalam skema asuransi sosial, pengelolaan dan pengendalian keuangan sepenuhnya ditangani oleh badan penyelenggara, dalam hal ini BPJS Kesehatan. Konsekuensinya adalah segala kelebihan dana iuran PBI, apabila ada, tidak dapat digunakan oleh Pemerintah. n INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:35 PM Transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan Oleh: Roki Gangsar Winoto Staf pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] P erubahan PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 merupakan suatu gerakan transformasi besar dalam sejarah Jaminan Sosial Nasional di Indonesia. PT Askes (Persero) yang selama ini hanya melayani program jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan, veteran, dan badan usaha lainnya, nantinya akan menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh penduduk Indonesia tanpa terkecuali. Perubahan besar ini tidak hanya dari kelembagaan, namun juga terkait dengan kepesertaan, pengelolaan dana, paket manfaat dan besaran iuran, serta organ dan wewenangnya. Dalam artikel ini, penulis ingin membagikan informasi dimulai dari sejarah berdirinya PT Askes (Persero), transformasi yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, serta informasiinformasi pada saat penyusunan UU BPJS maupun penyusunan peraturan pelaksanaannya. Sejarah1 Awal berdirinya PT Askes (Persero) didorong oleh kebijakan Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya. Atas dasar tersebut, Menteri KeINFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 7 DESEMBER 2013 sehatan membentuk badan khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) yang dinyatakan sebagai embrio Asuransi Kesehatan Nasional. Dalam perjalanannya, PT Askes (Persero) mengalami beberapa perubahan seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah pada saat itu. Pada tahun 1984, untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara Awal berdirinya PT Askes (Persero) didorong oleh kebijakan Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 yang mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Pensiunan (PNS dan ABRI) beserta keluarganya. profesional, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI, dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Setelah itu, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984. Pada tahun 1991, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991, kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola oleh Perum Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Di samping itu, perusahaan diijinkan untuk memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta sukarela. Pada tahun 1992, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992, status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan dan untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen agar lebih mandiri. PT Askes (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi Pega- U T A M A 7 1/27/2014 9:01:36 PM wai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya, dan Badan Usaha lainnya. Pembentukan BPJS sesuai UU SJSN dan UU BPJS U T A M A Tonggak lahirnya semangat jaminan sosial nasional terjadi pada tahun 2004, di mana Pemerintah dengan DPR RI bersepakat untuk mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Semangat dan tujuan dari SJSN adalah bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Sedangkan tujuan dari SJSN adalah untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menyelenggarakan semangat dan tujuan yang mulia ini, UU SJSN mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.2 Pada tanggal 28 November 2011, Pemerintah dan DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Dengan terbentuknya BPJS ini, akan dilakukan transformasi terhadap keempat BUMN yang selama ini menyelenggarakan programprogram jaminan sosial, yaitu PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT Asabri (Persero), dan PT Taspen (Persero). PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan dan PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan.3 Sementara itu, untuk PT Taspen dan PT Asabri, akan tetap menyelenggarakan program-program khusus bagi PNS dan TNI/Polri dan pengalihan program Jaminan Pensiun dan Hari Gambar 1. Usulan Pemerintah Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek 8 ISI_DES-2013_5a.indd 8 Tua untuk PNS dan TNI/Polri dilakukan paling lambat tahun 2029. BPJS Kesehatan akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014 dengan menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh penduduk, sedangkan untuk BPJS Ketenagakerjaan, perubahan terkait program, operasional, sistem dan tata laksana organisasi akan dilakukan mulai tanggal 1 Juli 2015. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan merupakan badan hukum publik yang bekerja berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip yang diterapkan oleh kedua BPJS adalah prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-sebesarnya kepenting- Gambar 2. Usulan DPR Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:36 PM an peserta. Pada pembahasan RUU BPJS, Pemerintah saat itu memiliki dua alternatif terkait embentukan BPJS, yaitu (1) alternatif pertama, membentuk dua badan penyelenggara yang benar-benar baru, dan (2) alternatif kedua, PT Askes menjadi BPJS 1, sedangkan PT Jamsostek menjadi BPJS 2. Pemerintah mengusulkan BPJS 1 (belum diputuskan nama BPJS) akan menjalankan program jaminan kesehatan (JK), program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan program jaminan kematian (JKem), sedangkan PT Jamsostek menjalankan program jaminan pensiun (JP) dan program jaminan hari tua JHT. Pemerintah mempertimbangkan kemudahan dalam pengelolaan program disesuaikan dengan karakteristik dari masing-masing program, di mana JK, JKK, dan JKem merupakan program jangka pendek, sedangkan JP dan JHT merupakan program jangka panjang.4 Dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2, Pemerintah dan DPR memiliki usulan berbeda, di mana Pemerintah mengusulkan transformasi PT Askes (Persero) dimulai secara bertahap, dan DPR mengusulkan serentak pada awal tahun 2014. Pemerintah berpandangan bahwa pembentukan BPJS harus dilakukan secara hati-hati dan cermat. Hal ini dikarenakan, SJSN merupakan komitmen jangka panjang yang memerlukan desain dengan pentahapan yang jelas agar program jaminan sosial tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan (sustainable). Selain itu, untuk mewujudkan SJSN yang ideal yang mendukung perkembangan produktivitas perekonomian secara nasional dan tentunya dengan tetap memperhatikan kapasitas fiskal. Pada tahapan transformasi, Pemerintah mengusulkan PT Askes (Persero) berubah menjadi BPJS Kesehatan pada tahun 2014 dengan pertama kali melayani peserta selain TNI/Polri dan peserta program jaminan pemeliharaINFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 9 DESEMBER 2013 an kesehatan (JPK) Jamsostek. Secara bertahap, pada tahun 2017, pengalihan peserta JPK Jamsostek, dan tahun 2020, keseluruhan program termasuk pengalihan program JKK dan JKem Jamsostek ke BPJS 1. Dalam perkembangan pembahasan dengan DPR, disepakati menggunakan usulan dari DPR, dengan pertimbangan kemudahan dalam proses transformasi. Kesepakatan ini memang dapat dipahami, mengingat PT Askes dan PT Jamsostek bukan pemain baru dalam penyelenggaraan program jaminan sosial. Transformasi Lembaga Perubahan lembaga PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan dimulai dari bentuk badan hukum, yang saat ini berbadan hukum persero BUMN menjadi badan hukum publik. Konsekuensi mendasar atas berubahnya status ini adalah perubahan dari pola pikir korporasi yang “mencari untung (profit oriented)” menjadi nirlaba. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip SJSN yang antara lain prinsip nirlaba dan hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Selain itu, perubahan PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan, dalam UU BPJS dikenal dengan istilah bubar tanpa likuidasi dan dimaknai semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT Askes (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan dan semua pegawai PT Askes (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan.5 Transformasi Program dan Kepesertaan Pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan akan menyelenggarakan programprogram Jaminan Kesehatan yang antara lain: • program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, • program pelayanan kesehatan untuk anggota TNI dan Polri yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertahanan, Kepolisian RI, dan TNI, • program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk pekerja swasta yang diselenggarakan oleh PT Jamsostek (Persero).6 Untuk program Jamkesda yang saat ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda), dengan beroperasionalnya BPJS Kesehatan, pemda masih diperbolehkan mengalokasikan Jamkesda untuk membiayai pelayanan kesehatan bagi warganya yang ti- U T A M A Gambar 3. Roadmap Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional 9 1/27/2014 9:01:36 PM dak tercakup dalam peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan mengikutkannya pada BPJS Kesehatan. Selain itu, pemda dengan kapasitas fiskal yang berlebih, diperkenankan mengikutsertakan warganya namun bersifat manfaat tambahan (top up). PT Askes (Persero) yang selama ini menyelenggarakan program jaminan pemeliharaan kesehatan untuk PNS, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya, dan Badan Usaha lainnya, nantinya dengan menjadi BPJS Kesehatan akan menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk WNA yang tinggal minimal selama 6 (enam) bulan di Indonesia. Kementerian Ke- U T A M A sehatan melalui roadmap kepesertaan BPJS Kesehatan, mencanangkan secara bertahap paling lambat pada tahun 2019, seluruh penduduk Indonesia akan menjadi peserta BPJS Kesehatan tanpa terkecuali atau dalam istilah asuransi kesehatan dikenal dengan universal coverage (dapat dilihat pada Gambar 3). Dengan target UC, tantangan besar bagi BPJS Kesehatan adalah menjangkau peserta yang selama ini belum mengenal asuransi kesehatan terutama sektor informal atau pekerja mandiri. Dengan kepesertaan wajib, BPJS Kesehatan diharuskan memiliki mekanisme dan jaringan yang memadai untuk mengumpulkan iuran yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Untuk memudahkan pendataan dan pengelolaan kepesertaan, BPJS akan menerapkan single ID, yang memungkinkan peserta cukup memiliki satu ID untuk semua program jaminan sosial. Transformasi Paket Manfaat dan Besaran Iuran Manfaat yang akan diberikan oleh BPJS Kesehatan bersifat pelayanan kesehatan perorangan, yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative, termasuk pelayanan obat dan kebutuhan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Cakupan manfaat ini lebih generous dibandingkan saat ini yang diberikan baik oleh PT Askes maupun PT Jamsos- Tabel 1. Matriks Perbandingan Paket Manfaat dan Iuran JKN antara Program Existing dengan SJSN No. Program Existing Konsideran 1. Sistem Diselenggarakan oleh beberapa badan penyelenggara Diselenggarakan oleh dua Badan Penyelenggara (BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan) 2. Kepesertaan Belum mencakup seluruh penduduk dan pekerja Mencakup seluruh penduduk dan pekerja formal 3. Manfaat - - - 4. luran 10 ISI_DES-2013_5a.indd 10 Program SJSN Bervariasi sesuai dengan sektor kepesertaan dan badan penyelenggara Untuk manfaat program jaminan kesehatan, diberikan manfaat medis, dan manfaat nonmedis. Kedua manfaat sangat bervariasi. Jaminan Kesehatan - Dibayarkan oleh peserta dan pemberi kerja untuk PNS, Pensiunan PNS, dan veteran (masing-masing 2% dan gaji pokok + tunjangan keluarga) - Dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pekerja formal swasta peserta JPK Jamsostek (6% untuk yang sudah berkeluarga atau 3% untuk lajang) - - Diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak bagi seluruh penduduk Manfaat medis Diberikan secara komprehensif mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan Manfaat non medis Terdapat 3 kelas perawatan (kelas I, II, dan Ill) Jaminan Kesehatan - Pekerja formal dibayarkan oleh pemberi kerja dan peserta berdasarkan persentase tertentu, sedangkan pekerja sektor informal berdasarkan nominal - Usulan sementara: • Untuk peserta PNS, TNI/ Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah nonpegawai negeri sebesar 3% ditanggung pemberi kerja dan 2% oleh pekerja • Untuk peserta pekerja formal swasta sebesar 4 % ditanggung pemberi kerja dan 0,5 % pekerja (sampai dengan 30 Juni 2015, setelahnya berlaku seperti PNS dan lainnya) • Pekerja sektor informal - Rp25.500 dengan manfaat pelayanan kelas III - Rp42.500 dengan manfaat pelayanan kelas II - Rp59.500 dengan manfaat pelayanan kelas I INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:36 PM tek untuk program JPK-nya. Manfaat JKN yang diatur pada Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan terdiri dari manfaat medis dan manfaat nonmedis. Manfaat nonmedis meliputi manfaat akomodasi dan ambulans. Manfaat akomodasi disini adalah terkait kelas perawatan, yang terikat pada besaran iuran yang dibayarkan. Untuk manfaat medis, tidak ada perbedaan untuk semua peserta dan tidak terikat dengan besaran iuran. Matriks perbandingan program existing dan program SJSN dapat dilihat pada Tabel1. Rincian manfaat medis yang telah dituangkan dalam Perpres 12/2013 tentang Jamkes, sebagai berikut: 1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi administrasi pelayanan; promotif dan preventif; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; tindakan medis nonspesialistik, baik operatif maupun nonoperatif; pelayanan bahan medis dan obat habis pakai; transfuse darah sesuai kebutuhan medis; pemeriksaan penunjang diagnostik lab tingkat pratama; dan rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi. 2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan meliputi administrasi pelayanan; pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis; tindakan medis spesialistik; pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; pelayanan alat kesehatan implant; pelayanan penunjang diagnostik lanjutan; rehabilitasi medis, pelayanan darah; pelayanan dokter forensik; dan pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan. 3. Rawat inap yang meliputi perawatan inap nonintensif dan perawatan inap di ruang intensif. Manfaat pelayanan di atas yang diberikan merupakan manfaat dasar. INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 11 DESEMBER 2013 Selain itu, apabila di suatu daerah tidak tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi yang berupa penggantian uang tunai; pengiriman tenaga kesehatan; dan penyediaan fasilitas kesehatan tertentu. Tentunya tidak semua pelayanan medis ditanggung oleh BPJS, ada manfaat yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Manfaat itu meliputi pelayanan kesehatan yang tidak sesuai prosedur sesuai peraturan yang berlaku; pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat dua tarif yang saat ini dikenal dalam dunia kesehatan, yaitu tarif fee for service dan tarif INA-CBG. Tarif fee for service dikenakan untuk setiap jenis pelayanan, sedangkan tarif INA-CBG adalah satuan biaya yang diterapkan untuk suatu tindakan medis. Sebagai ilustrasi tarif INA-CBG, untuk suatu jenis penyakit tertentu, dengan tindakan medis semisal berupa pelayanan rawat inap, obat dan alat kesehatan, kesemuanya dikenakan satu tarif. Penerapan tarif ini dapat berfungsi untuk meminimalisir perilaku-perilaku dokter dan fasilitas kesehatan yang berlebihan dalam memberikan tindakan medis pada pasiennya seperti yang terjadi sekarang ini. Besaran Iuran Tentunya tidak semua pelayanan medis ditanggung oleh BPJS, ada manfaat yang tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. darurat; pelayanan kesehatan yang dijamin oleh Jaminan Kecelakaan Kerja; pelayanan kesehatan di luar negeri; pelayanan untuk mengatasi infertilitas; dan pelayanan-pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik, kosmetik, dan pengobatan alternatif.7 Manfaat medis seperti uraian di atas, untuk obat yang dijamin, BPJS Kesehatan menerapkan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) yang dirumuskan oleh ahli-ahli farmaekolog dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Selain itu, nantinya BPJS Kesehatan akan menerapkan standar biaya medis yang disebut tarif INA-CBG. Terdapat Saat ini, untuk jaminan kesehatan, PT Askes (Persero) menerapkan iuran sebesar 4% ditanggung antara peserta dan pemberi kerja, sedangkan PT Jamsostek menerapkan 3% untuk peserta yang masih lajang dan 6% untuk peserta yang sudah berkeluarga dan iurannya ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja. Nantinya BPJS Kesehatan menerapkan share persentase iuran antara peserta dan pemberi kerja (besaran iuran terikat dengan manfaat nonmedis yang dijanjikan). Sampai dengan tulisan ini terbit, besaran iuran yang tercantum pada Rancangan Perpres Perubahan Perpres Nomor 12 Tahun 2013 adalah sebesar 5% untuk peserta PNS, TNI/ Polri, pensiunan, dan veteran, dan sebesar 4,5 % untuk pekerja formal swasta, di mana 4 % ditanggung pemberi kerja dan 0,5% ditanggung peserta (hanya sampai 30 Juni 2015, setelahnya mengikuti aturan 5%). Dengan besaran iuran tersebut, BPJS akan menanggung 5 anggota keluarga termasuk peserta sendiri yang meliputi istri atau suami yang sah dari peserta, anak kandung, anak tiri, dan/atau anak angkat yang U T A M A 11 1/27/2014 9:01:36 PM Gambar 4. Pengelolaan Aset BPJS dan Aset Dana Jaminan Sosial menurut UU BPJS U T A M A sah dari peserta. Peserta BPJS dapat menambahkan anggota keluarganya selain yang sudah dijamin dengan menambah iuran sebesar 1%.8 Pengelolaan Dana Dari sisi pengelolaan dana, PT Askes (Persero) dapat dikatakan tidak akan menghadapi kendala yang cukup besar, jika dilihat dari kesamaan program yang diselenggarakan. Namun, ada hal mendasar yang membedakan, yaitu pada UU BPJS dikenalkan adanya istilah Dana Jaminan Sosial. BPJS Kesehatan nantinya akan mengelola dua dana, yaitu dana BPJS sebagai dana korporasi dan Dana Jaminan Sosial yang merupakan dana kumpulan iuran dan hasil pengembangannya (lihat pada Gambar 4). Dua dana tersebut tidak boleh ada subsidi silang dan pengelolaannya dilakukan secara terpisah. Terkait kebijakan investasi, nantinya BPJS dalam mengelola Dana Jaminan Sosial (DJS) harus dilakukan 12 ISI_DES-2013_5a.indd 12 secara secara cermat, teliti, aman, dan tertib serta disesuiaikan dengan liabilitas dari programnya. Perbedaan lainnya adalah bahwa BPJS nantinya hanya sebagai operator yang menyelenggarakan program jaminan sosial, sedangkan sebagai risk taker atau the last resource adalah Pemerintah. Dengan konsep ini, UU SJSN mengatur bahwa Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS. Hal itu dipertegas lagi pada UU BPJS, mengatur bahwa apabila terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan program jaminan sosial. Kondisi tertentu adalah berupa tingkat inflasi yang tinggi, keadaan pascabencana, dan lainnya. Sedangkan tindakan khusus, apabila terjadi kondisi tertentu tersebut, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian manfaat dan iuran sebagai upaya terakhir. Dalam Rancangan PP tentang pengelolaan aset dan liabilitas BPJS dan DJS Kesehatan, selain upaya penyesuaian iuran dan manfaat, ditambahkan satu opsi lagi yaitu penyesuaian dana operasional yang dibayarkan oleh DJS ke BPJS. Ketentuan ini tidak dapat diartikan, bahwa apabila setiap terjadi kondisi di mana BPJS mengalami gangguan kesehatan keuangannya, Pemerintah akan menjadi penanggung jawab. Pemerintah akan melihat penyebab setiap kasus, dan hanya bertindak apabila memenuhi kriteria kondisi tertentu tersebut.9 Organ BPJS dan Wewenangnya Nantinya, organ BPJS terdiri dari (i) Dewan Pengawas, yang berfungsi melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BPJS, dan (ii) Direksi, yang INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:36 PM berfungsi melaksanakan penyelenggaraan kegiatan operasional BPJS. Untuk proses seleksi calon Dewan Pengawas yang berasal dari unsur Pemerintah akan dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan proses seleksi yang berasal dari unsur masyarakat akan dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam UU BPJS, diatur, untuk pertama kali dan paling lama 2 (dua) tahun sejak BPJS beroperasional pada 1 Januari 2014, Direksi PT Askes (Persero) dan Direksi PT Jamsostek (Persero) akan menjadi Direksi BPJS Kesehatan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan.10 Dengan tugas yang diemban semakin besar, BPJS berwenang untuk menagih pembayaran Iuran; menempatkan DJS untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional; membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan; mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya; melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial.11 Dengan kewenangan seperti ini, BPJS dapat mengenakan sanksi pada pemberi kerja atau peserta dengan berkoordinasi INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 13 DESEMBER 2013 dengan instansi terkait apabila tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini yang belum melekat pada wewenang PT Askes (Persero) saat ini. Persiapan lainnya yang tidak kalah penting adalah terkait penyusunan laporan penutupan PT Askes (Persero) dan pembukaan laporan BPJS Kesehatan dan DJS Kesehatan. Pada tanggal 31 Desember tahun 2013, Menteri BUMN selaku RUPS mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT Askes (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik dan pada 1 Januari 2014, Menteri Keuangan mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJS Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan kesehatan. Untuk menjaga kepercayaan publik dan menjaga akuntabilitas serta transparansi, laporan keuangan BPJS Kesehatan nantinya harus dipublikasikan.12 Untuk menjaga itu, pengawasan BPJS akan dilakukan oleh auditor eksternal, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan untuk monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Kesimpulan Dari semua tahapan transformasi yang telah diuraikan di atas, kesuksesan program Jaminan Sosial Nasional tentunya tidak hanya bertumpu pada Pemerintah atau BPJS sendiri, namun peran aktif masyarakat untuk menyempurnakan program ini tentunya juga faktor yang sangat penting. Oleh karena itu, mari kita bersama-sama dengan niatan yang mulia dan ketulusan hati menjadi saksi dan pelaku dari lahirnya transformasi program jaminan sosial nasional termasuk badan penyelenggaranya. n U T A M A Catatan 1 http://www.bumn.go.id/askes/en/tentang-kami/tentang-perusahaan/ diakses 1 Desember 2012. 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Bab III, Pasal 5. 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab II, Pasal 6 dan Bab VII, Pasal 57. 4 Tim Penyusun RUU BPJS, Presentasi Simulasi Transformasi BPJS. Presentasi pada pembahasan internal Pemerintah, 7 Oktober 2011. 5 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59. 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59. 7 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Bab V. 8 Draft terakhir Rancangan Peraturan Presiden perubahan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. 9 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab XVI, Pasal 56. 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59. 11 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab XVI. 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bab XVIII, Pasal 59. 13 1/27/2014 9:01:36 PM BPJS Kesehatan, Supply, dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan Oleh: Novijan Janis Kepala Subbidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan, dan Sosial. Email: [email protected] Pendahuluan U T A M A Pemerintah telah mencanangkan Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara maju pada tahun 2025. Namun Pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam mewujudkan visi dimaksud. Para pakar dibidang SDM menyatakan bahwa kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh kemudahan akses pada pendidikan dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Bahkan UNDP (United Nations Development Programme) memperkenalkan Indeks Pembangunan Manusia yang dua dari tiga indikatornya (peluang hidup, pengetahuan dan hidup layak) terkait dengan kesehatan. Dengan mempertimbangkan tingkat urgensi dari kesehatan, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan. Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Dengan terbitnya kedua undang-undang dimaksud, Pemerintah diwajibkan untuk memberikan lima jaminan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu jaminan kese14 ISI_DES-2013_5a.indd 14 hatan, kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan tunjangan hari tua. Jaminan dimaksud akan dibiayai oleh perseorangan, pemberi kerja, dan/ atau Pemerintah. Dengan demikian, Pemerintah akan mulai menerapkan kebijakan Universal Health Coverage dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, dimana sebelumnya Pemerintah (Pusat) hanya memberikan pelayanan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI-Polisi. Kebijakan ini umumnya diterapkan di negara-negara yang menganut paham welfare state yaitu negara di Eropa Barat dan negara ja- jahan mereka serta beberapa negara Amerika Latin. Perubahan kebijakan dalam layanan kesehatan dimaksud tidak terlepas dari himbauan World Health Assembly (WHA), pada sidang ke-58 pada tahun 2005 di Jenewa, agar setiap negara anggota memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat khususnya bagi yang kurang mampu. Ada pun mekanisme yang digunakan adalah mekanisme asuransi kesehatan sosial. Hal ini pun sudah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan Sumber: desadoyong.blogspot.com INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:37 PM bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Dalam implementasi SJSN, Pemerintah akan membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan akan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan program jaminan atas kecelakaan kerja, kematian, pensiun dan hari tua. Secara eksplisit, UU SJSN menyatakan bahwa 4 (empat) BUMN di bidang asuransi yaitu PT Jamsostek (Persero), PT Taspen (Persero), PT Asabri (Persero), dan PT Askes (Persero) akan ditransformasi menjadi BPJS. Berkaitan dengan institusi BPJS Kesehatan, UU BPJS secara jelas menyatakan bahwa PT Askes (Persero) akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. Selanjutnya semua program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, PT Jamsostek (Persero), dan PT Askes (Persero) akan diambil alih oleh BPJS Kesehatan. Pada Buku Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 dinyatakan bahwa pada tahun 2014, Pemerintah menargetkan sebanyak 121,6 juta penduduk akan diberikan jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan. Jumlah dimaksud diasumsikan berasal dari program Jamkesmas (96,4 juta jiwa), peserta yang dikelola oleh PT Askes (Persero) (17,2 juta jiwa), peserta Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) Jamsostek Keberhasilan dari upaya Pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN khususnya pada jaminan kesehatan nasional diantaranya bergantung pada kondisi supply dan demand dari pelayanan kesehatan. (5,5 juta jiwa), dan dari peserta Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Umum (PJKMU) dari pemerintah daerah (2,5 juta jiwa). Selanjutnya pada tahun 2019, Pemerintah menargetkan seluruh masyarakat yaitu sebanyak 257,5 juta jiwa akan dijamin oleh BPJS Kesehatan. BPJS dan Demand Terhadap Layanan Kesehatan Keberhasilan dari upaya Pemerintah dalam menerapkan konsep SJSN khususnya pada jaminan kesehatan nasional diantaranya bergantung pada kondisi supply dan demand dari pelayanan kesehatan. Dalam ekonomi kesehatan, secara umum demand terhadap pelayanan kesehatan diartikan sebagai barang atau jasa yang benarbenar dibeli (realisasi penggunaan) oleh pasien. Istilah demand dibedak- an dengan istilah need dan want. Need adalah barang atau jasa yang dipandang terbaik oleh pemberi jasa layanan kesehatan (dhi. dokter) untuk digunakan dalam rangka memperbaiki kesehatan pasien, sedangkan want adalah barang atau jasa yang diinginkan (diminta) oleh pasien, misalnya obat yang murah, obat yang bekerja cepat, dsb. Pembedaan dimaksud dianggap penting khususnya dalam ilmu ekonomi kesehatan dan kesehatan masyarakat dengan tujuan untuk memperkecil gap (perbedaan) antara need dan want. Dengan peraturan perundang-undangan, Pemerintah dapat memengaruhi keputusan dokter agar mengakomodasi keinginan pasien. Selanjutnya dengan pendidikan kesehatan, Pemerintah dapat memengaruhi pasien untuk mempertimbangkan keputusan dokter. Secara umum, demand diukur dengan tingkat keterpakaian tempat tidur (bed occupancy), jumlah kunjungan, jumlah tes diagnostik, dan sebagainya. Demand terhadap pelayanan kesehatan secara dominan sangat dipengaruhi beberapa faktor yaitu tarif (harga), penghasilan pasien, preferensi pasien, dan barang alternatif (ketersediaan dan harga). Hubungan faktor-faktor dimaksud dengan permintaan terhadap pelayanan kesehatan sangat variatif. Harga pelayanan kesehatan mempunyai hubungan negatif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan, semakin tinggi harga maka demand terhadap pelayanan kesehatan semakin menurun. Hubungan serupa juga terjadi antara ketersediaan barang alternatif dan demand terhadap pelayanan kese- U T A M A Tabel 1. Demand Terhadap Jasa Layanan Kesehatan (dalam %) No. Persentase penduduk 2008 2009 2010 2011 2012 1. Mengobati sendiri 65,59 68,41 68,71 66,82 67,71 2. Menggunakan jasa layanan kesehatan 34,41 31,59 31,29 33,18 32,29 Sumber: BPS, diolah. INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 15 DESEMBER 2013 15 1/27/2014 9:01:37 PM Tabel 2. Demand Terhadap Jenis Obat (dalam %) No. Persentase penduduk 2008 2009 2010 2011 2012 1. Menggunakan obat medis modern 77,74 75,76 72,42 76,37 75,67 2. Menggunakan obat tradisional 22,26 24,24 27,58 23,63 24,33 Sumber: BPS, diolah. U T A M A hatan. Sedangkan penghasilan dan preferensi pasien serta harga barang alternatif memiliki hubungan yang positif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan. Sudibyo Supardi dalam sebuah karya ilmiah di bidang kesehatan mengutip pernyataan Nico S. Kalangie yang menjelaskan bahwa demand terhadap pelayanan kesehatan pada masyarakat Indonesia dipenuhi melalui tiga cara yaitu pengobatan sendiri di rumah, pengobatan tradisional, dan pengobatan dengan tenaga medis profesional. Pengobatan dengan tenaga medis profesional adalah pengobatan dengan petunjuk dari tenaga kesehatan yang dilakukan di poliklinik, puskesmas dan rumah sakit. Sedangkan yang diartikan dengan pengobatan sendiri di rumah adalah pengobatan tanpa petunjuk tenaga kesehatan (dokter/perawat/tenaga ahli kesehatan lainnya). Ada pun pengobatan tradisional merupakan bentuk pengobatan yang menggunakan cara, alat atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan medis modern baik yang dilakukan sendiri atau dengan petunjuk tenaga kesehatan tradisional. Demand (realisasi penggunaan) terhadap pelayanan kesehatan pada masyarakat Indonesia dengan menggunakan tenaga medis profesional saat ini masih sangat rendah. Hal ini tergambar dari Tabel 1 yang menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia cenderung untuk memilih pengobatan sendiri di rumah baik menggunakan obat medis atau obat tradisional. Penggunaan metode pengobatan ini umumnya dilakukan 16 ISI_DES-2013_5a.indd 16 untuk menanggulangi sakit ringan dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah sebelumnya mendapat perawatan dari tenaga kesehatan. Pada umumnya, motivasi dari pengobatan cara ini adalah lebih praktis (tidak perlu mengantri di rumah sakit), biaya lebih murah (harga jasa layanan kesehatan dari tenaga medis profesional yang tinggi), jarak yang jauh ke lokasi tersedianya pelayanan kesehatan tenaga medis profesional dan rasa kecewa terhadap pelayanan kesehatan dimaksud. Namun demikian, masyarakat sebenarnya cenderung untuk menggunakan tenaga medis profesional dalam memenuhi kebutuhan atas pelayanan kesehatan. Hal ini terlihat dari Tabel 2 yang menjelaskan bahwa masyarakat lebih memilih obat medis modern daripada obat tradisional. Selain itu, preferensi masyarakat dimaksud menunjukkan bahwa harga dari jasa tenaga medis kesehatan profesional masih belum terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu, dengan asumsi ”bila harga pelayanan kesehatan dari tenaga medis profesional dapat terjangkau maka masyarakat akan memilih menggunakan tenaga medis dimaksud dalam memenuhi kebutuhan akan pengobatan (layanan kesehatan) daripada pengobatan sendiri”, Pemerintah memutuskan untuk menerapkan kebijakan Universal Health Coverage dengan konsep SJSN. Pada dasarnya konsep SJSN dan BPJS ini akan berperan dalam meningkatkan demand (realisasi penggunaan) terhadap pelayanan kesehatan khususnya pemakaian tenaga medis profesional. Dengan demikian, secara umum akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia sehingga dapat mewujudkan Visi Indonesia 2025. Dalam rangka meningkatkan demand terhadap pemakaian tenaga Grafik 1. Persentase Cakupan Nasional Jaminan Kesehatan Tahun 2011 Sumber: Dr.drg. Yulita Hendartini, M.Kes., AAK (Peneliti Pusat KP-MAK FK UGM). INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:37 PM medis profesional, maka Pemerintah akan menanggung iuran asuransi kesehatan bagi masyarakat tidak mampu dan mewajibkan pemberi kerja untuk turut menanggung iuran asuransi kesehatan sehingga para pekerja akan memiliki kemampuan untuk menjangkau harga pelayanan kesehatan dimaksud. Pada dasarnya, jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu sudah ditanggung oleh Pemerintah Pusat (dhi. Kementerian Kesehatan) dengan program Jamkesmas dan oleh Pemerintah Daerah dengan program PJKMU. Namun belum semua masyarakat tercakup dalam Jamkesmas dan belum semua daerah menerapkan program PJKMU. Di samping itu penggunaan asuransi kesehatan oleh individu masih banyak yang memakai produk asuransi dengan cakupan penyakit berat (operasi dan/atau rawat inap) saja sedangkan untuk penyakit ringan akan langsung ditanggung individu tanpa melalui produk asuransi. Demand terhadap layanan kesehatan akan meningkat karena BPJS akan memasukkan masyarakat kurang mampu dari daerah yang belum menerapkan jamkesda dan memberikan jaminan kesehatan dasar bagi individu yang hanya memakai produk asuransi dengan cakupan penyakit berat. Sebagai ilustrasi, pada grafik berikut dijelaskan persentase jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dalam bentuk apapun. Memperhatikan potensi pertambahan jumlah demand atas layanan kesehatan, maka dapat diprediksi bahwa akan terjadi penambahan beban fiskal bagi Pemerintah khususnya dari penerapan konsep SJSN ini. Namun demikian, tingkat keberhasilan implementasi SJSN tidak semata-mata apakah beban fiskal akan bertambah atau berkurang. Dalam ilmu ekonomi kesehatan dijelaskan bahwa kesehatan masyarakat akan berdampak kepada kondisi ekonomi secara makro. Secara sederhana dapat dipahami bahwa kesehatan seseorang yang buruk akan berdampak kepada menurunnya produktifitas orang tersebut dan dapat menularkan kesehatan buruknya kepada orang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keberhasilan konsep SJSN harus dilihat dari faktor jumlah fiskal pada layanan kesehatan dan produktifitas masyarakat. Di sinilah peran BPJS Kesehatan untuk mengendalikan biaya layanan kesehatan pada tingkat yang wajar. BPJS dan Pengendalian Supply Terhadap Layanan Kesehatan Secara umum, supply terhadap pelayanan kesehatan diartikan dengan penyediaan pelayanan kesehatan yang disampaikan kepada pasien oleh kombinasi antara tenaga pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik dan laboratorium klinis). Faktor yang mempengaruhi supply terhadap pelayanan kesehatan adalah Man, Money, Material, Method, Market, Machine, U T A M A Tabel 3. Determinan Supply Terhadap Layanan Kesehatan 1. Man Sumber daya manusia yang menyediakan layanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Contoh: dokter, dokter spesialis, bidan, perawat, farmasis, tenaga administrasi, dan lain sebagainya. 2. Money Biaya yang muncul dalam penyediaan layanan kesehatan. Contoh: biaya operasional, biaya investasi dan biaya lain-lain. 3. Material Material yang berhubungan dengan logistik pelayanan kesehatan. Misal: obat, alat suntik, bahan dasar obat, dan lain sebagainya. 4. Method Manual atau SOP yang ada pada fasilitas layanan kesehatan (rumah sakit, klinik dan laboratorium klinis). Misal: Standar Pelayanan Minimal (SPM), prosedur tindakan medis dan lain-lain. 5. Machine Peralatan yang digunakan dalam penyediaan layanan kesehatan. Misal: peralatan laboratorium, peralatan medis (utama dan penunjang) seperti dental chair, dan lain-lain. 6. Market Wilayah kerja pelayanan kesehatan. 7. Teknologi Teknologi yang digunakan dalam pemberian layanan kesehatan. 8. Time Waktu yang digunakan dalam pemberian layanan kesehatan. 9. Informasi Informasi terkait dengan layanan kesehatan dalam bentuk media internet, pamflet dan leaflet. Sumber: Makalah Dasar Ilmu Ekonomi Supply tahun 2010, FKM UNAIR. INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 17 DESEMBER 2013 17 1/27/2014 9:01:37 PM Tabel 4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada PT Askes (Persero) Jenis Manfaat bihi standar dimaksud maka pasien akan menanggung biaya dimaksud. Dengan pembatasan-pembatasan dimaksud PT Askes (Persero) telah mengendalikan pembengkakan biaya yang berasal dari determinan man. Selanjutnya PT Askes (Persero) juga menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan laba sebagaimana tergambar dalam Tabel 5. Hal ini menjadi pesan bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat umum bahwa BPJS Kesehatan mempunyai kemampuan dalam mengelola demand dan supply layanan kesehatan. Sehingga probabilitas atas keberhasilan dari penerapan konsep SJSN cukup besar. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) Puskesmas dan Klinik, Dokter Keluarga Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) RSUD Kab/Kota, RSUD Pprovinsi, RS Swasta & RSU vertikal Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) Puskesmas dengan tempat tidur Rawat Jalan Tingkat Manfaat Katastrofik (hemodialisa, operasi jantung, dsb) RSUD Kab/Kota, RSUD Provinsi, RS Swasta & RSU vertikal Manfaat Khusus RSUD Kab/Kota, RSUD Provinsi, RS Swasta & RSU vertikal Sumber: Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019. U T A M A Technology, Time, dan Information. Faktor-faktor dimaksud dikenal dengan 6M, 2T, dan 1I. Penjelasan dan contoh dari faktor dimaksud adalah sebagaimana dalamTabel 3. Dari determinan-determinan supply layanan kesehatan dimaksud, man merupakan determinan yang paling dominan dalam menentukan kondisi determinan lainnya. Hal ini dapat dipahami karena determinan lain disediakan dan dikelola oleh determinan man. Secara umum kondisi atau kualitas dari determinan dimaksud akan menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Dengan pertimbangan bahwa tingkat keberhasilan konsep SJSN turut dipengaruhi oleh kinerja supplier dari pelayanan kesehatan maka BPJS Kesehatan perlu mengendalikan semua determinan dari supply layanan kesehatan khususnya determinan man. Sebagaimana telah diketahui bahwa BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes (Persero). Secara umum, karakter dasar PT Askes (Persero) adalah sebuah entitas milik negara (Badan Usaha Milik Negara) yang mencari profit di bidang asuransi kesehatan. Selama ini PT Askes (Persero) sudah menerapkan metode managed care dalam mengendalikan biaya dan mutu layanan kesehatan sehingga dapat mengurangi biaya pelayanan yang tidak perlu yang pada akhirnya dapat meningkatkan kelayakan dan efisiensi pelayanan kesehatan. Dalam menerapkan pengendalian biaya layanan kesehatan, PT Askes (Persero) memberikan batasan atas fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam Tabel 4. Sedangkan untuk mengendalikan biaya dari obat, PT Askes (Persero) menggunakan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) sebagai acuan standar obat yang dijamin dan bila obat yang ditetapkan oleh dokter (man) mele- Kesimpulan Implementasi dari kebijakan SJSN dan BPJS akan meningkatkan demand terhadap pelayanan kesehatan khususnya dari masyarakat yang selama ini kurang mampu membeli jasa kesehatan sehingga akan berpengaruh kepada penambahan beban fiskal. Namun, penambahan beban fiskal akan diimbangi oleh penambahan produktivitas masyarakat yang berdampak kepada perkembangan ekonomi makro. Kemampuan BPJS Kesehatan dalam mengendalikan demand dan supply dari layanan kesehatan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan dari penerapan konsep SJSN. Melihat kinerja PT Askes (Persero) yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dapat disimpulkan bahwa ada potensi keberhasilan dari implementasi konsep SJSN dimaksud. n Tabel 5. Kinerja PT Askes (Persero) (dalam juta Rp) Keterangan Pendapatan Usaha Pendapatan Lain-Lain Laba Bersih 2008 2009 2010 2011 5.630.909 6.863.009 7.897.636 9.242.911 189.574 999.381 1.077.137 978.171 1.136.819 2.176.919 1.802.362 1.436.728 Sumber: LKPP Kementerian BUMN. 18 ISI_DES-2013_5a.indd 18 INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:37 PM Potensi Risiko Fiskal Program Jaminan Kesehatan Nasional Oleh: Ronald Yusuf Kepala Subbidang Risiko Ekonomi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Fiskal Kementerian Keuangan. Email: [email protected] M ulai 1 Januari 2014, Indonesia akan menjalani babak baru penyelenggaraan jaminan sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) merupakan payung hukum penyelenggaraannya yang paling terkait. Program SJSN terdiri atas lima jaminan sosial yang akan diselenggarakan oleh dua BPJS. BPJS Kesehatan, yang merupakan transformasi dari PT Askes (Persero), akan menyelenggarakan program terkait kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan, yang merupakan transformasi dari PT Jamsostek (Persero), akan menyelenggarakan program terkait ketenagakerjaan yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKm). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), menurut UU BPJS, akan mulai dilaksanakan per 1 Januari 2014. Terkait program ini, Pemerintah sudah menerbitkan peraturan berupa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam perkembangannya, peraturan ini mengalami perbaikan sebelum peraturan ini mulai efektif INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 19 DESEMBER 2013 UU SJSN mengamanahkan bahwa program JKN akan menjamin segala jenis penyakit sepanjang itu terindikasi medis. diberlakukan. Sampai dengan saat tulisan ini dibuat, perbaikan Perpres dimaksud sedang dalam tahap pemberian paraf oleh Menteri terkait. Meski diperkirakan dampak program JKN, secara khusus terhadap keuangan negara atau pun perekonomian secara umum, tidaklah sebesar program jaminan pensiun, banyak pihak menyatakan bahwa dampak dari pelaksanaan program ini tidak bisa dianggap sepele. Atas rumusan yang tertuang dalam perbaikan Perpres No. 12 Tahun 2013 dimaksud, khususnya rumusan terkait desain manfaat dan besaran iuran, serta beberapa ketentuan di dalam UU SJSN dan UU BPJS, terdapat beberapa hal yang saat ini teridentifikasi berpotensi menjadi sumber risiko fiskal. Secara umum, beberapa hal dimaksud akan menyebabkan kurangnya dana untuk keberlangsungan program JKN yang berpotensi memberikan tekanan terhadap APBN. Beberapa hal tersebut antara lain ketidaksesuaian iuran dengan manfaat, adverse selection, dan pemerintah sebagai penanggung risiko. U T A M A Ketidaksesuaian Iuran dengan Manfaat Pasal 22 UU SJSN menyatakan bahwa manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Dengan kata lain, UU SJSN mengamanahkan bahwa program JKN akan menjamin segala jenis penyakit sepanjang itu terindikasi medis. Pernyataan ini ditafsirkan oleh beberapa pihak bahwa jaminan ini tidak mengenal batasan baik dalam hal jumlah nominal biaya maupun jumlah frekuensi penyakit yang diderita peserta. Atas hal ini, sesungguhnya penjelasan Pasal 22 UU SJSN menyatakan bahwa luasnya pelayanan kesehatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan BPJS. 19 1/27/2014 9:01:38 PM U T A M A Ditambahkan juga kalau hal tersebut diperlukan untuk kehati-hatian. Sejak awal pembahasan rumusan manfaat, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selalu menyuarakan bahwa kajian farmakoekonomik sangat diperlukan dan tidak tertutup untuk dilakukan pembatasan manfaat baik dalam hal jumlah nominal maupun frekuensi layanan sepanjang memang diperlukan. Banyak negara, termasuk negara maju, yang juga menerapkan batasan dalam pemberian manfaat program kesehatan nasionalnya. Meski demikian, pada pembahasan perbaikan Perpres No. 12 Tahun 2013, sampai dengan saat tulisan ini dibuat, telah disepakati bahwa yang dijamin dalam program JKN bersifat komprehensif, seluruh penyakit dijamin dan belum ada pembatasan baik dalam hal jumlah dana maupun frekuensi penerimaan layanan, sepanjang semua itu terindikasi medis. Manfaat program JKN tidak dapat dipisahkan dari besaran iuran yang dibutuhkan untuk mendanainya. Harus diakui, Pemerintah mengalami kesulitan dan belum memiliki keyakinan yang memadai untuk menetapkan besaran iuran yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan kurangnya data yang relevan dan reliable yang dijadikan dasar perhitungan besaran iuran. Dari berbagai model yang ada, Pemerintah telah menyepakati untuk menggunakan model yang dibangun oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Data utama yang digunakan dalam model ini adalah data historis program layanan kesehatan di PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), dan juga data Susenas. Gambar 1 menunjukkan selama beberapa tahun terakhir terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok. Selain itu, terdapat juga fluktuasi tingkat utilisasi yang relatif tinggi tiap tahunnya khususnya peserta Jamkesmas. Terkait tingkat utilisasi rawat jalan tingkat pertama, data historis pada Puskesmas peserta Jamkesmas juga memiliki kecenderungan yang sama yaitu berfluktuasi dan tidak merata antar provinsi (TNP2K, 2012). Dengan segala keterbatasannya, saat ini, data tersebut merupakan yang terbaik yang dimiliki saat ini. Dari sisi unit cost, telah disepakati bahwa program JKN akan menggunakan unit cost yang sama untuk layanan medis (dokter, obat, alat kesehatan, dan lainnya) tanpa memperhatikan di kelas mana peserta dilayani. Untuk estimasi unit cost program JKN, data yang digunakan adalah unit cost pada PT Askes (Persero) ditambah penye- Gambar 1. Tingkat utilisasi Rawat Jalan dan Rawat Inap Sumber: TNP2K, 2012. 20 ISI_DES-2013_5a.indd 20 suaian 25% dan faktor inflasi kesehatan. Penyesuaian 25% ini merupakan penyesuaian atas fakta bahwa peserta PT Askes (Persero) masih mengeluarkan biaya sendiri, yang secara rerata sebesar 25% dari total biaya, untuk manfaat yang diterimanya. Data tingkat utilisasi dan unit cost diatas merupakan dua data utama, di antara data lainnya, yang digunakan dalam menentukan besaran iuran. Dengan segala keterbatasan data yang ada, banyak pihak meyakini bahwa penyimpangan antara kebutuhan iuran yang diestimasi dengan aktualnya nanti besar kemungkinan akan terjadi. Tentunya yang dikhawatirkan adalah ketika kebutuhan iuran aktual lebih tinggi dari yang diestimasi. Potensi perbedaan tersebut dikhawatirkan semakin besar mengingat nantinya Pemerintah akan menerapkan skema pembayaran Indonesia Case Based Group (INACBG) untuk sebagian besar layanan kesehatan. Sederhananya, skema ini seperti pembayaran paket untuk tiap jenis diagnosis. Sebagai contoh, untuk penyakit dengan diagnosis demam berdarah, biaya manfaat sampai dengan sembuh adalah Rp6 juta (sudah termasuk jasa dokter, obat, alat kesehatan, akomodasi, dan lainnya). Tidak peduli berapa lama si pasien akan bermalam di rumah sakit, tidak peduli berapa banyak obat dan alat kesehatan yang digunakan, biayanya adalah Rp6 juta. Skema INA-CBG sendiri sesungguhnya merupakan skema yang sangat bagus dalam hal mengendalikan biaya dan mutu layanan kesehatan. Permasalahannya adalah ketika penentuan tarif dalam skema ini tidak selaras dengan asumsi unit cost yang digunakan saat Pemerintah menentukan besaran iuran. Apabila tarif yang ditetapkan dalam skema INA-CBG secara unit cost lebih tinggi dibanding asumsi unit cost yang digunakan INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:38 PM dalam menentukan iuran, dalam keadaan ceteris paribus tentunya besar iuran tidak akan mencukupi untuk membayar manfaat. Adverse Selection Salah satu kunci keberhasilan program JKN adalah jumlah peserta. Besaran iuran yang ditetapkan Pemerintah diperkirakan akan cukup untuk membayar manfaat dengan dua catatan penting yaitu asumsi teknis yang digunakan akan sama atau hanya sedikit berbeda dengan aktual (sebagaimana dibahas di atas) dan terpenuhinya satu asumsi lain yang sangat penting yaitu sebagian besar bahkan keseluruhan populasi tiap kelompok (Penerima Bantuan Iuran (PBI), penerima upah dan bukan penerima upah) membayar iuran secara rutin. Sebagai contoh, iuran sebesar +Rp25.000 s.d. +Rp60.000 untuk kelompok bukan penerima upah (lihat tabel 1), diperkirakan akan cukup apabila sebagian besar orang dalam kelompok ini menjadi peserta dan membayar iuran. Jumlah tersebut, tentunya jauh dari mencukupi apabila yang membayar iuran secara rutin hanya mereka yang rentan terhadap penyakit khususnya rentan terhadap penyakit berbiaya tinggi. Mereka juga lah yang diyakini banyak pihak akan dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi peserta program JKN sementara mereka yang berisiko kecil terhadap penyakit diyakini akan enggan untuk menjadi peserta, setidaknya pada tahap awal pelaksanaan program. Pemerintah Sebagai Penanggung Risiko Secara filosofi, penanggung jawab program JKN adalah Pemerintah. Pasal 48 UU SJSN dan Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) UU BPJS mempertegas hal ini di mana dinyatakan bahwa Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus guna menjamin keberlangsungan program JKN. Meski demikian, Pemerintah tentunya berharap program ini dapat berjalan secara mandiri. Apabila dicermati dengan seksama, tanggung jawab Pemerintah yang diatur dalam kedua UU tersebut seyogianya hanya sebatas hal-hal/kejadian yang memang disebabkan di luar kendali baik oleh badan penyelenggara maupun Pemerintah. UU mencontohkan situasi ini seperti ketika terjadinya tingkat inflasi yang tinggi, keadaan pascabencana yang mengakibatkan penggunaan sebagian besar sumber daya ekonomi Tabel 1. Usulan Besaran Iuran No. Kelompok Besaran Iuran POPB Manfaat Akomodasi 1. PBI Rp19.225 Kelas 3 2. Pegawai negeri 5% dari gaji/upah Berbeda, tergantung golongan 3. Pegawai swasta 4,5% dari gaji/ upah* 5% dari gaji/ upah** Berbeda, tergantung besar gaji/upah 4. Informal Rp25.500-Rp59.500 Berbeda, tergantung besar iuran * Mulai 1 Januari 2014 s. d. 30 Juni 2015 ** Mulai 1 Juli 2015 INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 21 DESEMBER 2013 Medis Sama negara, dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini tentunya di luar kendali dan suatu saat mungkin saja terjadi. Mitigasi Risiko Terhadap potensi-potensi risiko fiskal yang ada sebagaimana telah dibahas di atas, Pemerintah tentunya perlu mengambil tindakan untuk memitigasinya. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan Pemerintah yang baik secara langsung atau tidak langsung dapat memitigasi risiko fiskal atas pelaksanaan program JKN. 1. Perbaikan Sistem Layanan Kesehatan Keberhasilan program JKN sangat ditentukan dengan sistem layanan kesehatan yang akan digunakan dan dikembangkan oleh Pemerintah. Untuk menghasilkan program JKN yang robust dan berkesinambungan, sistem yang ada sekarang perlu diperbaiki. Sebagai contoh adalah lebih mengoptimalkan sistem rujukan. Gambar 2 menunjukkan bahwa, pada tahun 2011, lebih dari 50% kunjungan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), rumah sakit dengan tingkat rujukan tertinggi, dan di Rumah Sakit dr. Kariadi sesungguhnya dapat ditangani di penyedia layanan kesehatan tingkat 1 seperti puskesmas atau dokter keluarga. Biaya penanganan di tingkat 1 tentunya jauh lebih murah dibanding tingkat 3 (seperti RSCM dan RS dr. Kariadi). Tingginya tingkat rujukan ini salah satu penyebabnya adalah kurangnya tenaga ahli yang memadai pada layanan kesehatan tingkat 1. Sekira 69% layanan tingkat 1 di Indonesia ditangani oleh nondokter (TNP2K, 2012). Hal lainnya yang juga perlu diperbaiki dalam sistem layanan kesehatan saat ini adalah terkait obat. Biaya obat memiliki porsi yang relatif tinggi, dan terus meninggi, terhadap total biaya layanan kesehatan. Pada tahun 2008 U T A M A 21 1/27/2014 9:01:38 PM Gambar 2. Data Kunjungan 2011 Sumber: TNP2K, 2012. U T A M A dan 2009, porsi biaya obat terhadap total biaya layanan kesehatan adalah berturut turut +24% dan +34% (Budi Hidayat, 2012). Saat ini, variasi obat sangatlah lebar dan tidak terkontrol sehingga mengakibatkan pemborosan. Variasi obat perlu lebih dibatasi dan lebih dikontrol agar belanja obat menjadi relatif lebih murah. Selain itu, peresepan obat juga diyakini masih tidak rasional. Lebih dari 50% peresepan obat-obatan yang diresepkan dokter tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien (Budi Hidayat, 2012). Pada umumnya, penyebab utamanya adalah tingginya asymmetric information antara penyedia layanan dengan si pasien. Pemerintah perlu memiliki aturan yang lebih ketat lagi terkait peresepan obat, termasuk sanksinya. Dalam praktiknya, dibutuhkan ‘polisi’ sebagai pihak ketiga serta ‘wasit’ (Budi Hidayat, 2012). 2. Penegakan Hukum Seperti telah dibahas sebelumnya, salah satu kunci keberhasilan program JKN adalah jumlah peserta yang reguler membayar iuran. UU SJSN dan UU BPJS secara tegas menyatakan bahwan kepesertaan program ini adalah wajib bagi seluruh warga negara Indonesia (WNI). Peta jalan kepesertaan program yang disusun oleh Dewan Jamin22 ISI_DES-2013_5a.indd 22 an Sosial Nasional serta Kementerian terkait lainnya menargetkan pada tahun 2019 seluruh WNI telah menjadi peserta. Walau demikian, Pemerintah dinilai masih perlu untuk merumuskan cara yang lebih konkrit dalam pencapaian target tersebut. Tanpa adanya penegakan hukum yang kuat, sulit rasanya untuk ‘memaksa’ seluruh warga untuk menjadi peserta dan secara teratur membayar iuran. Harus diakui, dengan skema mandatory dan tiap peserta membayar iurannya sendiri, kecuali untuk PBI, mewujudkan 100% kepesertaan merupakan hal yang sangat sulit bahkan cenderung tidak mungkin. Meski begitu, masih ada hal-hal yang dapat dilakukan Pemerintah agar kepesertaan setidaknya mencapai angka 80% s. d. 90% di mana tentunya jumlah tersebut sudah signifikan mengurangi potensi risiko di masa yang akan datang. Salah satu usulan yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk diterapkan guna meningkatkan kepesertaan JKN adalah mengintegrasikan data pembayaran iuran program JKN dengan pembayaran listrik. Cakupan listrik, dalam hal penduduk, Indonesia sudah mencapai +90% (Susenas 2010). Apabila diintegrasikan, diyakini jumlah kepesertaan program JKN akan bertambah signifikan. Sebagai con- toh, seseorang tidak dapat membayar tagihan listrik atau membeli pulsa listrik isi ulang (token/voucher) sebelum membayar iuran program JKN bagi dirinya dan/atau keluarganya. Penutup Program JKN, apabila dikelola dengan baik, dapat dipastikan akan memiliki kontribusi yang positif bukan saja terhadap tingkat kesehatan masyarakat Indonesia tetapi juga terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah memang merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan program ini. Atas peran strategis program JKN ini, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, sebagai salah satu unit kunci Pemerintah dalam implementasi SJSN, terus dan akan terus berupaya mewujudkan keberhasilan dan kesinambungan program JKN. Meski demikian, seluruh warga negara juga memiliki tanggung jawab dan peran yang signifikan. Kerelaan untuk menyertakan diri dan/atau tanggungannya ke dalam sistem program JKN akan sangat membantu keberhasilan program. Jangan lupa, gotong royong merupakan ciri khas bangsa kita sejak lama. Ini merupakan kesempatan yang baik bagi kita untuk menunjukkan kembali bahwa kita masih bangsa yang sama. n INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:39 PM U T A M A www.geolocation.ws U T A M A Aspek Perpajakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan U T A M A Oleh: Hadi Setiawan1, (Anggifa Arifany, Chintya Pramasanti, Herhudaya Perkasa, Krisna Pratama Amrullah, M Ridho Mubaroq, Maulana Masykur, dan Yanuar Falak Abiyunus)2 1 Peneliti Muda pada PPRF, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] 2 Calon CPNS pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Pendahuluan Jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan suatu hal yang bersifat wajib sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi UUD 1945. Oleh karena itu sesuai dengan amanat UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), pemerintah membangun suatu sistem jaminan sosial yang mencakup seluruh rakyat dan bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Atas dasar itulah, maka dibentuk suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 23 DESEMBER 2013 berdasar UU No. 24/BPJS terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang merupakan transformasi dari PT. Askes dan PT Jamsostek. BPJS harus mulai beroperasi sejak tanggal 1 Januai 2014. Proses transformasi ini masih menyisakan permasalahan dalam aspek perpajakannya. Tulisan ini bermaksud untuk meninjau permasalahan-permasalahan perpajakan yang masih harus diselesaikan. Oleh karena yang akan segera berlaku sejak 1 Januari 2014 adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) maka tulisan ini membatasi pada BPJS Kesehatan saja. Status Subjek Pajak BPJS Kesehatan Salah satu hal krusial yang harus dijawab sebelum membahas hal yang lain dalam aspek perpajakan BPJS adalah mengenai status subjek pajak BPJS itu sendiri. Apakah BPJS Kesehatan termasuk kriteria sebagai Subjek Pajak atau tidak? UU No. 36/ 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, pada pasal 2 mengatur tentang siapa saja yang menjadi subjek pajak dan siapa saja yang dikecualikan dari subjek 23 1/27/2014 9:01:40 PM U T A M A pajak, antara lain menyebutkan bahwa salah satu kriteria pengecualian sebagai subjek pajak adalah badan pemerintah yang memenuhi kriteria: a. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; b. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan d. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.” Berdasarkan pasal tersebut, keempat syarat diatas bersifat kumulatif, oleh sebab itu kembali muncul pertanyaan, apakah BPJS Kesehatan memenuhi keempat syarat tersebut? Jika memang BPJS Kesehatan memenuhi keempat syarat tersebut maka BPJS Kesehatan dapat dikecualikan dari Subjek Pajak dan sebaliknya jika tidak memenuhi keempat syarat tersebut maka BPJS Kesehatan adalah Subjek Pajak. Tetapi jika Pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan lainnya berpendapat bahwa BPJS Kesehatan patut untuk diberikan pengecualian sebagai Subjek Pajak karena perannya yang sangat krusial bagi Negara, bersifat sosial dan tidak mencari keuntungan maka hal tersebut menjadi PR lanjutan bagi Pemerintah dalam pengambilan kebijakannya. Selain status subjek pajak BPJS Kesehatan, ternyata status Dana Jaminan Sosial (DJS) juga patut dicermati. Sebagaimana diamanatkan dalam UU BPJS bahwa BPJS wajib memisahkan aset BPJS dan aset DJS. Oleh karena itu seolah-olah DJS merupakan satu entitas tersendiri yang berbeda dengan BPJS, sehingga sering timbul persepsi bahwa DJS juga harus diperlakukan sebagai subjek pajak tersendiri yang 24 ISI_DES-2013_5a.indd 24 terpisah dari BPJS. Sehingga permasalahan tentang Subjek Pajak tidak saja hanya pada BPJS Kesehatannya tetapi juga juga pada DJS. Tetapi apakah DJS termasuk dalam kriteria Subjek Pajak, dalam hal ini Subjek Pajak Badan? UU PPh menyebutkan bahwa pengertian “Badan” adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha, yang meliputi: perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana Selain status subjek pajak BPJS Kesehatan, ternyata status Dana Jaminan Sosial (DJS) juga patut dicermati. pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Kata-kata kunci yang menjadi titik permasalahan adalah “sekumpulan orang dan/ atau modal”. Apakah DJS termasuk sekumpulam modal? Jika ditelisik lebih jauh, pengertian DJS sebagaimana disebutkan dalam UU BPJS adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelengaraan program Jaminan Sosial. Sedangkan pengertian modal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah uang pokok, atau uang yang dipakai sebagai induk untuk berniaga, melepas uang dan sebagainya atau harta benda (uang untuk berdagang dan lain sebagainya) yang dapat menghasilkan sesuatu yang dapat menambah kekayaan. Kedua definisi di atas dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah ketika ingin menetapkan DJS sebagai Subjek Pajak tersendiri atau bukan. Selain itu, Pemerintah juga harus mempertimbangkan konsekuensikonsekuensi yang bakal terjadi ketika menetapkan DJS sebagai Subjek Pajak tersendiri atau hanya sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari BPJS Kesehatan (DJS bukan subjek pajak). Karena hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan dari badan tersebut dan konsekuensinya terhadap penerimaan negara serta keberlangsungan dari program jaminan sosial ini sendiri. NPWP BPJS Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial Menurut Pasal 1 angka 6 UU No. 28/2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Sementara Wajib Pajak sendiri menurut Pasal 1 angka 2 UU KUP adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:40 PM NPWP ini sangat erat kaitannya dengan status Subjek Pajak. Apakah orang pribadi atau badan termasuk dalam kriteria Subjek Pajak atau bukan. Jika orang pribadi atau badan tersebut termasuk kriteria Subjek Pajak maka kepadanya harus diberikan NPWP sebagai tanda pengenal diri atau identitas dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Demikian juga halnya dengan BPJS Kesehatan dan DJS, jika keduanya termasuk dalam kriteria merupakan Subjek Pajak maka kepada keduanya harus diberikan NPWP dan sebaliknya. Atau jika hanya BPJS Kesehatan saja yang termasuk dalam kriteria Subjek Pajak maka hanya BPJS Kesehatan sajalah yang diberikan NPWP. Pertanyaan berikutnya adalah apakah NPWP BPJS Kesehatan sama dengan NPWP PT. Askes? Mengingat pasal 60 dan 62 UU No. 24/2011 menjelaskan bahwa PT. Askes akan dibubarkan tanpa likuidasi disertai dan diganti nama menjadi BPJS Kesehatan. Menurut pasal-pasal tersebut dapat dipahami bahwa secara material, BPJS adalah badan yang baru. Namun, secara substansial BPJS tidak sepenuhnya NPWP ini sangat erat kaitannya dengan status Subjek Pajak. Apakah orang pribadi atau badan termasuk dalam kriteria Subjek Pajak atau bukan. baru karena tidak diadakan likuidasi, ditambah lagi segenap pegawai PT. Askes akan menjadi pegawai BPJS Kesehatan serta aset, liabilitas, hak dan kewajiban hukum PT. Askes menjadi aset, liabilitas, hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat terjadi dua kemungkinan kebijakan terkait NPWP. Pertama, BPJS Kesehatan diberikan NPWP baru karena merupakan badan baru dan telah sepatutnya diberikan NPWP baru. Alternatif kedua, BPJS Kesehatan tetap memakai NPWP yang lama (dalam hal ini NPWP PT. Askes) dikarenakan tidak ada perubahan substantif dalam struktur kepegawaian, aset, liabilitas, hak dan kewajiban hukum dari PT. Askes ketika menjadi BPJS Kesehatan. Adapun konsekuensi diberikan atau tidaknya NPWP yang baru terhadap PT. Askes/BPJS Kesehatan adalah sebagaimana termuat dalam tabel 1. Objek Pajak BPJS Kesehatan Aspek perpajakan berikutnya yang harus diperhatikan adalah mengenai objek pajak. Terkait hal tersebut, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu sumber-sumber penghasilan dari BPJS Kesehatan. Sebagaimana disebutkan bahwa aset BPJS harus terpisah dari aset DJS, maka UU BPJS juga memisahkan sumber-sumber aset/penghasilan BPJS dan DJS. Adapun sumber aset BPJS dan DJS tersebut adalah sebagaimana tabel 2. Berdasarkan tabel 2 diatas, terdapat beberapa penghasilan BPJS Kesehatan dan DJS yang sudah jelas bagaimana perlakuannya dalam UU PPh, yaitu sumber penghasilan BPJS yang berasal dari modal awal dari U T A M A Tabel 1. Konsekuensi Terhadap Status NPWP BPJS Kesehatan Keterangan Keuntungan (bagi PT. Askes/BPJS Kesehatan) NPWP PT. Askes digunakan sebagai NPWP BPJS -Tidak dianggap terjadi pengalihan -Tidak terdapat dampak terhadap kewajiban PPh dan PPN karena tidak ada pengalihan -NPWP lama tidak dihapus - Utang pajak PT. Askes masih dapat ditagih ke BPJS Kesehatan BPJS menggunakan NPWP baru -Dianggap terjadi pengalihan -Utang Pajak PT. Askes tidak dapat ditagih ke BPJS Kesehatan - Potensi PPh dan PPN yang harus dibayar oleh BPJS Kesehatan karena adanya pengalihan - Terdapat NPWP baru, sehingga harus mengurus kembali NPWP baik untuk Pusat maupun Cabang - PT. Askes harus diperiksa dalam pemeriksaan tujuan tertentu karena penghapusan NPWP. INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 25 DESEMBER 2013 Kekurangan (bagi PT. Askes/BPJS Kesehatan) 25 1/27/2014 9:01:40 PM Tabel 2. Sumber-Sumber Aset/Penghasilan Korporasi BPJS dan DJS Sumber Penghasilan Korporasi BPJS Iuran Jaminan Sosial dari Pemberi Kerja dan Bantuan Iuran dari Modal awal pemerintah U T A M A Sumber Penghasilan DJS Pemerintah Hasil Pengalihan Aset BUMN (PT. Askes) Hasil pengalihan aset program jaminan sosial dari BUMN Hasil pengembangan aset BPJS Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial Dana operasional dari DJS Pengembalian surplus dari BPJS Sumber lain Sumber lain Pemerintah, hasil pengalihan aset dari PT. Askes ke BPJS Kesehatan (dengan syarat NPWP PT. Askes digunakan sebagai NPWP BPJS), dan dana ope­ rasional yang diambil dari DJS (de­ngan catatan DJS bukan merupakan subjek pajak tersendiri). Ketiga sumber peng­­ ha­silan ini bukan merupakan objek Pajak Penghasilan menurut UU PPh. Se­ dangkan penghasilan DJS yang bukan merupakan objek pajak adalah hasil pengalihan aset dari PT. Askes ke BPJS Kesehatan (dengan catatan NPWP PT. Askes digunakan sebagai NPWP BPJS). Yang masih menjadi pertanyaan besar adalah status dari Iuran Jamin­ an Sosial termasuk Bantuan Iuran dan hasil pengembangan dari Iuran Ja­minan Sosial tersebut. Apa­kah me­ru­pakan objek pajak atau bu­kan objek pajak sebagaimana hal nya iur­ an pensiun yang diterima atau diper­ oleh dana pensiun yang pen­di­ri­an­nya telah disahkan Menteri Ke­uangan dan penghasilan dari modal yang dita­ nam­kan oleh dana pensiun ter­se­but3? Karena jika dianalogikan antara Iur­ an Jaminan Sosial dengan iuran pen­ siun yang diterima oleh dana pen­siun maka akan diperoleh banyak ke­sa­­ maan. Tetapi aturan mengenai hal ini masih harus lebih diperjelas oleh Pe­me­­ rintah karena di UU PPh sendiri Iuran Jaminan Sosial belum begitu jelas di­ atur secara eksplisit. Oleh karena itu, hal ini kembali menjadi PR yang harus di­se­­le­saikan oleh Pemerintah dengan 26 ISI_DES-2013_5a.indd 26 mem­­per­­timbangkan konsekuensikonsekuensi yang akan terjadi. Pengalihan Aktiva PT. Askes Kepada BPJS Kesehatan Proses pembentukan BPJS Kesehatan melibatkan pengalihan aset dari PT. Askes kepada BPJS Kesehatan dan dari PT. Askes kepada Dana Jaminan Sosial (DJS). Dalam UU No 24 Tahun 2011, diatur bahwa aset BPJS Kesehatan dan DJS salah satunya bersumber dari BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial, dalam hal ini PT. Askes. Bagaimana dengan isu-isu terkait penyerahan aset tersebut apabila dilihat dari sudut pandang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 1. Pajak Penghasilan Dari sudut pandang PPh, pengalihan aset terjadi apabila melibatkan dua subjek pajak yang berbeda. Dalam proses transformasi menuju BPJS, terdapat kemungkinan bahwa PT. Askes, BPJS Kesehatan, dan DJS merupakan satu subjek pajak yang sama. Hal ini dapat terjadi apabila BPJS Kesehatan dan DJS merupakan satu kesatuan dan menggunakan NPWP yang sama dengan PT. Askes. Jika terjadi demikian, tidak terdapat isu pengalihan dari sudut pandang PPh. Sebaliknya, apabila BPJS Kesehatan maupun DJS tidak memiliki NPWP yang sama dengan PT. Askes, terdapat isu pengalihan aset yang berpotensi menimbulkan PPh terutang.4 Jika opsi kedua yang terjadi (BPJS Kesehatan memiliki NPWP yang ber- www. suaramedianasional.blogspot.com INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:41 PM beda dengan PT. Askes), maka terdapat kemungkinan pengalihan aset dengan menggunakan nilai buku atau nilai pasar wajar yang diperoleh dari hasil revaluasi aset. Jika yang digunakan sebagai nilai pengalihan adalah nilai buku maka tidak ada objek pajak yang terutang, sebaliknya jika yang digunakan adalah nilai pasar wajar maka berpotensi memiliki nilai yang berbeda dari nilai bukunya. Apabila perbedaan nilai tersebut menimbulkan selisih lebih, maka jika revaluasi dilakukan untuk tujuan perpajakan, PT. Askes berkewajiban untuk membayar PPh yang bersifat final dengan tarif 10% dari selisih nilai lebih revaluasi. Namun, jika PT. Askes melakukan revaluasi hanya semata-mata untuk tujuan akutansi,5 PPh final atas revaluasi tidak dikenakan. Apek perpajakan lainnya adalah terkait dengan pengalihan aset dalam bentuk tanah dan bangunan. Sekali lagi jika opsi kedua yang terjadi maka atas penyerahan ini akan terutang PPh Final sebesar 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan (PP No. 71 tahun 2008) yang harus ditanggung oleh PT. Askes dan BPHTB juga sebesar 5% yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. 2. Pajak Pertambahan Nilai Apakah pengalihan aset dari PT. Askes kepada BPJS Kesehatan merupakan penyerahan yang terutang PPN? Untuk menjawabnya, kita harus merujuk kepada UU PPN. Dalam UU PPN, pasal yang berhubungan dengan aspek PPN penyerahan aset dari PT AKSES kepada BPJS Kesehatan adalah pasal 4 ayat (1) huruf a dan pasal 16D. Pasal 4 ayat (1) huruf a mengatur tentang PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) oleh pengusaha di daerah pabean dan pasal 16D mengatur tentang PPN atas penyerahan BKP berupa aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 27 DESEMBER 2013 oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN Jika melihat isi dari pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN, PPN terutang apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: yang menyerahkan (PT. Askes) perupakan pengusaha, yang diserahkan merupakan BKP, dan penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean. Pengusaha yang terutang PPN meliputi Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun Pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, tetapi belum dikukuhkan. Apakah PT. Askes merupakan PKP atau seharusnya dikukuhkan menjadi PKP? Dalam UU PPN, PKP diartikan sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. PT. Askes merupakan badan yang dalam kegiatan usahanya melakukan usaha jasa asuransi. Jasa asuransi adalah jasa yang dikecualikan dari Jasa Kena Pajak berdasarkan Pasal 4A ayat (3), sehingga PT. AKSES tidak harus dikukuhkan sebagai PKP. Dengan melihat fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa penyerahan aset tersebut tidak terutang PPN berdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN. Pasal 16D UU PPN Pasal 16D UU PPN mengatur bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP. Seperti telah dijelaskan di atas, PT. Askes bukan merupakan PKP, oleh karena itu, penyerahan aset dari PT. Askes kepada BPJS Kesehatan tidak terutang PPN pasal 16D. Penutup Melihat uraian di atas, pemerintah masih mempunyai tugas yang tidak sedikit untuk mengatur hal-hal terkait dengan aspek perpajakan BPJS Kesehatan. Hal yang paling utama adalah penentuan subjek pajak dan NPWP dari BPJS Kesehatan dan Dana Jaminan Sosial karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap objek pajak yang akan terutang oleh BPJS Kesehatan. Selain itu tugas pemerintah yang tidak kalah pentingnya adalah terkait dengan penghasilan BPJS Kesehatan/DJS dari Iuran Jaminan Sosial termasuk Bantuan Iuran, apakah penghasilan ini termasuk kategori objek pajak atau bukan objek pajak. Aturan-aturan ini sangat penting untuk ditetapkan dan diperjelas agar dapat memberikan persepsi yang sama di lapangan baik oleh petugas pajak, BPJS Kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya. n U T A M A Catatan 1 2 3 Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; dan penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dikecualikan dari objek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh Pasal 4 ayat (3). Lihat kembali bagian “Ketentuan Subjek Pajak BPJS Kesehatan dan NPWP BPJS Kesehatan Dan Dana Jaminan Sosial”. Artinya, yang berubah hanya nilai buku untuk tujuan akuntansi, sedangkan nilai aset untuk tujuan menghitung penyusutan tetap menggunakan nilai aset sebelum revaluasi. 27 1/27/2014 9:01:41 PM Implementasi Kebijakan Asuransi Kesehatan Sosial Indonesia dan Pelajaran dari Negara Lain Oleh: Abdul Aziz Peneliti pada Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, BKF, Kementeraian Keuangan. Email: [email protected] Pengantar U T A M A Tidak lama lagi Indonesia akan memulai babak baru pada program penjaminan sosial bagi seluruh penduduk Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia telah mendirikan badan hukum publik untuk menyelenggarakan program jaminan social. Badan tersebut bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS sebenarnya terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Namun pada artikel ini penulis akan fokus pada jaminan sosial di bidang kesehatan karena program ini sudah lebih siap untuk diimplementasikan dan akan mulai beroperasi dalam waktu dekat yaitu pada tanggal 1 Januari 2014. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.1 Di banyak negara lain di dunia ini, paradigma jaminan kesehatan lebih dikenal dengan istilah Social Health Insurance (SHI/Asuransi Kesehatan Sosial). Menurut Jane Doherty, etc. 28 ISI_DES-2013_5a.indd 28 (2000), SHI mempunyai karakterisitik utama yang berlaku di seluruh dunia yaitu: 1) Merupakan program pemerintah yang mewajibkan adanya kontribusi dari peserta; 2) Peserta wajib menaati aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah; 3) Premi dihitung berdasarkan kemampuan untuk membayar, yaitu sesuai terhadap pendapatan masing-masing penduduk; 4) Setiap peserta akan memperoleh manfaat yang sama; dan 5) Iuran (premi/kontribusi) dari peserta akan digunakan untuk pengeluaran pelayanan kesehatan (bukan untuk lainnya). Badan tersebut bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS sebenarnya terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Menurut Doherty, etc, dengan karateristik (fitur-fitur) yang dimiliki oleh jaminan/asuransi kesehatan sosial di atas itu memungkinkan pemerintah untuk membuat aturan seperti: 1) Diberlakukannya subsidi silang antara penduduk yang sudah lanjut usia, sakit, dan miskin dengan penduduk (contributor) yang sehat dan kaya; 2) Mengurangi penggunaan anggaran negara (APBN) untuk penduduk yang sedang menjalani perawatan kesehatannya (karena sakit); dan 3) Adanya kontribusi untuk anggaran negara (APBN) untuk belanja publik dari para contributor yang membayar premi asuransi kesehatan ini. Pada artikel ini, penulis ingin memaparkan konsep kebijakan jaminan kesehatan sosial di Indonesia yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2014 serta memaparkan best practices implementasi kebijakan jaminan/asuransi kesehatan sosial yang berlaku di negara lain. Diharapkan dengan pemaparan best practices di negara lain tersebut, BPJS dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat darinya dan semakin bergairah untuk segera mengimplementasikan jaminan kesehatan sosial dengan baik dan benar. Agar lebih dekat dengan kondisi INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:41 PM sosial ekonomi Indonesia maka, pada kesempatan ini penulis sengaja hanya menampilkan implementasi jaminan/ asuransi sosial kesehatan di dua negara berkembang yaitu Vietnam dan Afrika Selatan. Konsep Implementasi Jaminan Kesehatan Sosial di Indonesia A. Kepesertaan BPJS Indonesia telah mengatur bahwa seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan termasuk orang asing yang telah bekerja minimal enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. Secara garis besar, peserta BPJS Kesehatan di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) Penerima Bantuan Iuran (PBI) jaminan sosial kesehatan; dan (2) bukan PBI jaminan kesehatan. PBI adalah penduduk fakir miskin, orang yang mengalami cacat total tetap dan orang yang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UndangUndang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan diatur melalui Peraturan Pemerintah di mana iuran kepesertaannya menjadi beban pemerintah Indonesia. Sementara itu, penduduk Indonesia yang termasuk peserta bukan PBI jaminan kesehatan terdiri atas: 1) Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, di mana yang termasuk pekerja penerima upah adalah pegawai negeri sipil, anggota TNI, anggota POLRI, pejabat negara, pegawai pemerintah nonpegawai negeri, pegawai swasta, dan pekerja lain yang memenuhi kriteria sebagai pekerja penerima upah; 2) Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya. Termasuk pekerja bukan penerima upah adalah setiap orang yang tidak bekerja tapi mampu membayar iuran jaminan kesehatan INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 29 DESEMBER 2013 yang terdiri dari ekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri dan pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja bukan penerima upah; 3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya. Termasuk penduduk bukan pekerja adalah investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, dan penduduk bukan pekerja lainnya yang memenuhi kriteria bukan pekerja penerima upah.2 Sedangkan yang dimaksud dengan anggota keluarga dari peserta adalah suami/istreri peserta, anak kandung, anak tiri, anak angkat yang sah dengan kriteria: BPJS Indonesia telah mengatur bahwa seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan termasuk orang asing yang telah bekerja minimal enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran. a) Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan b) Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. Ada pun jumlah peserta dan anggota keluarga yang ditanggung oleh jaminan kesehatan adalah lima orang, jika lebih dari itu maka akan dikenakan iuran tambahan. B. Dampak dan Manfaat yang Diperoleh Peserta dan Keluarganya Setiap peserta jaminan kesehatan berhak memperoleh manfaat yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, dan kuratif, serta pelayana rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan kesehatan tersebut terdiri atas manfaat medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan serta manfaat nonmedis yang meliputi manfaat akomodasi (yang diberikan berdasarkan besarnya iuran), dan ambulans (hanya diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan). Ada pun manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian pelayanan: (1) Penyuluhan kesehatan perorangan yang meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat; (2) Pelayanan imunisasi dasar meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis-B (DPT-HB), Polio, dan Campak; (3) Pelayanan Keluarga Berencana yang meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana; dan (4) Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. Secara lebih detail, pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS adalah meliputi: a. Pelayanan kesehatan tingkat per- U T A M A 29 1/27/2014 9:01:41 PM U T A M A tama, yaitu pelayanan kesehatan non-spesialistik mencakup: administrasi pelayanan, pelayanan promotif dan preventif, pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis, tindakan medis non-spesialistik, baik operatif maupun non-operatif, pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis, pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama dan rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi; b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup: (1) Rawat jalan yang meliputi: administrasi pelayanan, pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis, tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis, pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, pelayanan alat kesehatan implant, pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis, rehabilitasi medis, pelayanan darah, pelayanan kedokteran forensik, pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan. (2) Rawat inap yang meliputi: perawatan inap non-in­ten­sif, perawatan inap di ruang intensif, pelayanan ke­se­hatan lain ditetapkan oleh Men­teri.3 Implementasi Sistem Jaminan Sosial Kesehatan Sosial di Vietnam Social Health Insurance (SHI/Asuransi Kesehatan Sosial) telah diperkenalkan sejak tahap awal renovasi ekonomi di Vietnam. SHI diuji coba untuk pertama kalinya pada tahun 1989, ketika pemerintah mengakui pentingnya 30 ISI_DES-2013_5a.indd 30 aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi penduduk yang tidak mampu membayar biaya fasilitas kesehatan. A. Kepesertaan SHI saat ini terdiri dari tiga subskema, yaitu (1) skema SHI wajib, (2) skema SHI sukarela, dan (3) skema SHI bagi masyarakat miskin. Berdasarkan peraturan saat ini di Vietnam, SHI wajib diterapkan untuk semua pekerja aktif dan orang-orang pensiun di sektor publik, serta pekerja bergaji di sektor swasta tanpa ukuran perusahaan. Selain itu, beberapa kelompok orang seperti mahasiswa asing di Vietnam, orang berusia lanjut (90 tahun ke atas), dan veteran, juga termasuk Pembayaran tingkat kontribusi saat ini dalam skema wajib SHI adalah 3% dari gaji untuk pekerja bergaji, di mana pengusaha membayar 2% dan karyawan membayar 1%. dalam skema SHI Wajib ini. Secara khusus, masyarakat miskin juga telah dimasukkan ke skema SHI wajib sejak tahun 2005. Sedangkan peraturan dari SHI sukarela tidak berubah secara signifikan sampai tahun 2006 di mana disediakan persyaratan penting pada cakupan yaitu tingkat minimum partisipasi. Sebagai contoh, sebuah rumah tangga dapat berpartisipasi dalam skema sukarela hanya ketika setidaknya 10% dari jumlah rumah tangga di komunitas tersebut telah berpartisipasi dalam skema SHI sukarela ini. Aturan tingkat minimum kepesertaan yang diperlukan dalam SHI sukarela juga berlaku bagi anggota berbasis asosiasi, siswa, dan mahasiswa. Meskipun jumlah peserta SHI wajib meningkat dari waktu ke waktu, namun tingkat kepatuhan rata-rata peserta dalam membayar iuran masih rendah. Tingkat kepatuhan sektor publik hampir 100% pada tahun 2005, namun sektor swasta memiliki tingkat kepatuhan hanya 20%. Sedangkan pekerja yang digaji yang bekerja di pasar tenaga kerja formal, memiliki tingkat kepatuhan hanya 50%. Menurut banyak penelitian bahwa alasan utama terjadinya tingkat kepatuhan yang rendah tersebut disebabkan karena pendaftaran tenaga kerja dan langkah-langkah penegakan hukum yang lemah, terutama untuk sektor swasta. Sementara itu, untuk skema SHI sukarela, siswa dan mahasiswa telah mencapai angka dominan (yaitu lebih dari 80%) sejak berdirinya skema ini, kemudian diikuti oleh peserta berbasis asosiasi dan berbasis rumah tangga. Pembayaran tingkat kontribusi saat ini dalam skema wajib SHI adalah 3% dari gaji untuk pekerja bergaji, di mana pengusaha membayar 2% dan karyawan membayar 1%. Sementara dalam skema SHI sukarela, sebagian besar basis kontribusi iuran berubah dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan keuangan kepada pendekatan kategori peserta dan daerah pemukiman. B. Dampak dan Manfaat yang Diperoleh Peserta Paket bantuan yang diberikan kepada peserta skema SHI wajib termasuk rawat inap dan rawat jalan di semua tingkat pelayanan kesehatan, ujian laboratorium, x-ray, dan prosedur pencitraan diagnostik lainnya. Beberapa layanan kesehatan berINFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:41 PM teknologi tinggi yang mahal seperti operasi jantung terbuka juga dijamin oleh skema SHI wajib ini. Meskipun penduduk miskin memiliki kontribusi yang rendah, mereka juga memiliki paket manfaat yang sama seperti skema SHI wajib. Peserta juga mendapatkan daftar obat penggantian yang sebanding dengan kualitas obat yang beredar di beberapa negara maju. Sedangkan layanan perawatan pencegahan tidak tercakup dalam paket bantuan SHI dan peserta dibayar dengan anggaran pemerintah melalui program perawatan pencegahan nasional. Anggota skema SHI sukarela juga berhak untuk kedua rawat inap dan rawat jalan yang peduli pada semua tingkat pelayanan kesehatan. Untuk pasien rawat jalan, VSI (BPJS Vietnam) akan menjamin 100% dari biaya medis yang jumlahnya kurang dari VND100.000 dan menjamin hanya 80% dari biaya medis yang lebih dari VND100.000. Tingkat penggantian untuk pasien rawat inap adalah 80% untuk biaya kurang dari VND20 juta per kasus. Sedangkan untuk siswa dan mahasiswa, di samping paket tersebut, mereka juga akan menerima 17,4% dari total premi yang dikumpulkan untuk promosi kesehatan dan kegiatan pertolongan pertama. Mengenai fasilitas kesehatan, para peserta tertanggung tidak hanya berhak menerima fasilitas kesehatan masyarakat tetapi juga fasilitas swasta yang memiliki kontrak dengan lembaga asuransi kesehatan. Namun demikian, akses ke layanan kesehatan yang disediakan oleh SHI Vietnam belum sama di antara peserta, khususnya bagi masyarakat miskin. Tingkat pemanfaatan yang rendah pada masyarakat miskin disebabkan karena kurangnya kesadaran dari masyarakat miskin tentang paket bantuan SHI dan juga adanya hambatan terhadap akses pelayanan kesehatan seperti adanya INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 31 DESEMBER 2013 berbagai pembayaran tidak resmi untuk layanan rumah sakit, biaya rawat inap, dan biaya transportasi dan akomodasi. Pada saat yang sama, overloading status dalam sebagian besar fasilitas perawatan kesehatan juga mencegah orang-orang yang memenuhi syarat termasuk orang miskin untuk mengakses layanan kesehatan. Karena perluasan cakupan dan paket manfaat yang lebih murah (ca­kupannya lebih besar) maka SHI Vietnam menghadapi masalah ke­uangan yang parah. Sebagai contoh, bahwa total pengeluaran dari seluruh SHI telah meningkat secara signifikan se­jak tahun 2003. Total pengeluaran Meskipun penduduk miskin memiliki kontribusi yang rendah, mereka juga memiliki paket manfaat yang sama seperti skema SHI wajib. pada tahun 2005 adalah sekitar tiga kali lipat dari tahun 2003, namun jumlah peserta hanya meningkat sebesar 40%. Pengeluaran anggaran ne­­gara yang berlebihan terjadi pa­da tahun 2006 yaitu sampai men­ca­pai VND1.800 miliar dan hal ini diper­kira­kan akan meningkat di tahun-tahun mendatang jika paket bantuan saat ini dan pembayaran tidak akan direvisi.4 Implementasi system Jaminan Kesehatan di Afrika Selatan A. Kepesertaan Sistem Asuransi Kesehatan Nasional (National Health Insurance)/NHI) di Afrika Selatan memberikan alternatif untuk sepenuhnya didanai oleh dana pajak. Hal ini disebabkan keberadaan sektor swasta yang kuat dengan sistem administrasi yang sangat baik dalam menjalankan skema asuransi kesehatan. Asuransi Kesehatan Nasional sebagai sebuah konsep diganti pada pertengahan 1990-an oleh Asuransi Kesehatan Sosial (Social Health Insurance/SHI). Perbedaan utama antara dua asuransi ini adalah bahwa manfaat NHI akan tersedia untuk seluruh penduduk , sedangkan SHI membatasi manfaat kepada keluarga kontributor saja. Perubahan ini terjadi karena sektor formal yang digunakan sebagai basis dana dianggap terlalu kecil untuk menghasilkan manfaat besar bagi seluruh penduduk. Hal ini mengakibatkan kebijakan yang memungkinkan yaitu: a) Layanan yang didanai pajak akan digunakan untuk melayani masyarakat miskin, seperti pekerja berpenghasilan rendah dan menengah beserta keluarganya. b) Sedangkan sektor swasta akan menyediakan layanan untuk orang kaya. U T A M A B. Dampak dan Manfaat yang Diperoleh Peserta Afrika Selatan menerapkan skema Medis Act 1998. Skema ini mewajibkan untuk menerima semua calon anggota, terlepas dari risiko gangguan kesehatan. Kebijakan ini tentu akan berpotensi meningkatkan cakupan skema medis. Dampak dari skema Medis Act adalah terjadinya subsidi silang satu sama lain untuk mengakomodasi perbedaan dalam profil keanggotaan, sebagai contoh peserta yang didominasi usia muda dan sehat akan menyubsidi silang biaya pada peserta yang sudah lanjut usia. Dengan sistem subsidi silang ini diperlukan: 1) Suatu analisis subsidi silang yang 31 1/27/2014 9:01:41 PM U T A M A komprehensif dalam pendanaan perawatan kesehatan dan pengeluaran; 2) Penjelasan tentang motivasi dan tujuan subsidi silang dalam pendanaan perawatan kesehatan dan pengeluaran; dan 3) Analisis sistematis dari tingkat subsidi silang yang akan dihasilkan oleh berbagai pilihan desain SHI. SHI Afrika Selatan adalah reformasi kompleks dengan dampak luas pada sistem kesehatan secara keseluruhan. SHI harus dianggap sebagai media pelayanan kesehatan untuk jangka panjang bukan jangka pendek. Beberapa langkah yang dibutuhkan agar kebijakan SHI efektif yaitu: 1) Adanya kebijakan pembiayaan alternatif untuk cakupan pelayanan yang tidak diasuransikan; 2) Adanya kebijakan pembiayaan untuk layanan khusus (misalnya kompensasi untuk pekerjaan tertentu atau cedera kecelakaan kendaraan bermotor); 3) Adanya kebijakan untuk meningkatkan efisiensi alokasi dan teknis di sektor publik (misalnya reformasi manajemen rumah sakit umum); 4) Kebijakan untuk memastikan akses yang adil ke paket mi­nimum pelayanan kesehatan; dan lainnya.5 Kesimpulan dan Saran Terdapat kelebihan dan kelemahan SHI yang ditawarkan oleh tiga negara pelaksana jaminan kesehatan sosial yang penulis paparkan pada di atas. Meskipun data dan informasi yang ditampikan tidak begitu lengkap serta masa implementasi dari jaminan kesehatan sosial di tiga negara tersebut berlainan, namun dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa: 1) BPJS Kesehatan di Indonesia adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan prog32 ISI_DES-2013_5a.indd 32 ram jaminan kesehatan sosial (SHI) di Indonesia yang akan mulai berjalan pada tanggal 1 Januari 2014. Jaminan kesehatan sosial adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah; 2) SHI Indonesia mempunyai sistim pemungutan iuran yang sangat baik, di mana para peserta dibagi dalam dua bagian besar, pertama SHI Afrika Selatan adalah reformasi kompleks dengan dampak luas pada sistem kesehatan secara keseluruhan. SHI harus dianggap sebagai media pelayanan kesehatan untuk jangka panjang bukan jangka pendek. yaitu Penerima Bantuan Iuran/PBI yang terdiri dari orang-orang miskin, orang yang tidak mampu dan orang yang mempunyai cacat tetap, kelompok PBI ini menjadi tanggungan negara untuk membayar iuran asuransinya. Kedua adalah bukan PBI yaitu golongan yang membayar iuran yang terdiri dari pekerja penerima upah, pekerja bukan penerima upah, dan bukan pekerja (beserta anggota keluarganya masing-masing). Sedangkan implementasi sistem penarikan iuran di Vietnam masih cukup beragam, hal ini karena pembagian skema wajib dan sukarela dan tingkat kepatuhan terhadap aturan (termasuk membayar iuran) masih cukup rendah (seperti pihak swasta hanya 20%, dan pihak pekerja formal hanya 50%). Sementara itu, di Afrika Selatan dengan sisitem iuran memakai subsidi silang antar peserta masih menyisakan berbagai catatan implementasi seperti perlunya analisis yang komprehensif untuk menghitung besarnya subsudi silang, serta perlunya penjelasan tentang tujuan dan motivasi dari sistem ini. 3) Cakupan kepesertaan di Indonesia juga lebih luas karena setiap penduduk Indonesia dan orang asing yang telah bekerja minimal enam bulan di Indonesia diwajibkan untuk mengikuti program ini sampai batas akhir pendaftaran tahun 2019, sementara dua negara lainnya tidak mencakup seluruh penduduknya karena ada SHI Sukarela (seperti di Vietnam) dan belum adanya jaminan setiap penduduk miskin dapat mengikuti program SHI ini (seperti di Afrika Selatan karena besarnya biaya subsidi silang yang belum bisa ditanggung oleh negara secara keseluruhannya). 4) Dari sisi cakupan keluarga peserta yang dijamin pelayanan kesehatannya, SHI Indonesia juga sudah sangat jelas aturan mainnya baik dari sisi banyaknya anggota keluarga yang dijamin sampai dengan adanya aturan bayar tambahan bagi yang melebihi batas (lima orang untuk setiap keluarga). Hal ini berarti Indonesia memang benar-benar bertekad untuk menjadikan program SHI INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:41 PM ini sebagai program yang dapat mensejahterakan seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali. Sementara di kedua negara sampel belum teridentifikasi oleh penulis tentang berapa jumlah anggota keluarga (termasuk peserta) yang ditanggung oleh SHI. 5) Begitu pula cakupan manfaat peserta juga dapat disimpulkan bahwa SHI Indonesia dibandingkan dengan kedua negara sampel di atas mempunyai aturan yang lebih komprehensif dalam pelayanan peserta jaminan kesehatan sosial ini. Dari uraian di atas, ada dua saran yang dapat penulis sampaikan, yaitu: 1) Memperhatikan konsep kebijakan jaminan kesehatan sosial yang dimiliki oleh Indonesia sudah sangat bagus maka sudah saatnya BPJS Kesehatan—yang ditunjuk sebagai badan penyelenggara jaminan kesehatan ini—mulai mempersiapkan diri secara optimal dengan sumber daya yang dimilikinya sehingga kebijakan penjaminan kesehatan sosial Indonesia dengan seluruh tools/ketentuan yang tersedia tersebut pada saatnya dapat diimplementasikan dengan baik dan benar sehingga semangat perbaikan sistem penjaminan kesehatan yang selama ini telah berjalan (yaitu dari sisitem lama seperti Jamksemas, Askes, Jamsostek ke sistem baru) benarbenar dirasakan manfaatnya oleh seluruh penduduk Indonesia bahkan pada gilirannya bisa menjadi salah satu benchmark bagi sistem penjaminan kesehatan sosial di dunia. 2) Dalam implementasinya ke depan (yaitu mulai tahun 2014), sistem jaminan kesehatan Indonesia juga perlu melihat best practices dari negara-negara lain seperti di Vietnam dan di Afrika Selatan INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 33 DESEMBER 2013 atau di negara lainnya. Beberapa contoh yang mungkin dapat diambil sebagai benchmark dari negara lain adalah: (a) pemikiran tentang perlu tidaknya diimplementasikan sistem subsidi silang iuran peserta di Indonesia (seperti praktik SHI di Afrika Selatan) yaitu bagi PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang mendapat subsidi iuran ke depannya tidak hanya dari negara tapi juga dari peserta non-PBI yang benar-benar mampu (dengan indikator-indikator tertentu dan diberikan kompensasi tambahan manfaat tertentu bagi peserta non-PBI tersebut). Dengan diterapkannya hal ini diharapkan beban APBN untuk membayar iuran PBI di masa yang akan datang tidak begitu berat; (b) mengambil contoh praktik dari Vietnam yaitu tentang adanya skema SHI sukarela. Menurut penulis perlu juga dipikirkan hal ini namun bukan pada subjeknya (pesertanya) tapi pada objeknya yaitu cakupan manfaat. Misalnya, bagi peserta-peserta tertentu yang memang memerlukan tambahan manfaat atau manfaat khusus karena peserta tersebut memiliki kondisi kesehatan dan penanganan yang khusus pula maka peserta tersebut dibolehkan mengikuti SHI sukarela yaitu dengan membayar tambahan iuran dengan jumlah tertentu yang pada ahirnya peserta tersebut akan mendapatkan kompensasi manfaat tambahan seperti yang dibutuhkan/ diinginkannya juga. n U T A M A Daftar Pustaka World Health Organization, Social Health Insurance, Report of a Regional Expert Group Meeting New Delhi, India, 13-15 March 2003, Regional Office for South-East Asia New Delhi, June 2003, available online at http://apps.searo.who.int/pds_docs/B3457.pdf; Giang Thanh Long, Social Health Insurance in Vietnam: Current Issues and Policy Recommendations, Vietnam Development Forum (VDF)-Tokyo National Graduate Institute for Policy Studies (GPRIS), May 2008, available online at http://mpra.ub.uni-muenchen.de/9926/1/ Jane Doherty, Di Mcintyre, Luci Gilson, Social Health Insurance, South African Health Review, Durban South Africa: 2000, available online at http://www.hst.org.za/sahr. www.antara.com, Apa itu BPJS?, 2013 Catatan 1. www.antara.com, 2013 2. www.antara.com, 2013. 3. www.antara.com, 2013. 4. Giang Thanh Long, 2008. 5. Jane Doherty, etc, 2000. 33 1/27/2014 9:01:41 PM Membangun Paradigma Baru Penyediaan Infrastruktur Sosial Pendidikan dan Kesehatan di Indonesia melalui Skema Kerja Sama Pemerintah dan Swasta Oleh: Eko Nur Surachman Kepala Subbidang Risiko Infrastruktur Transportasi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] U T A M A B eberapa waktu yang lalu, pemberitaan tentang program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digulirkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menuai pro dan kontra serta menjadi diskusi yang menarik baik di media cetak, televise, maupun sosial. Pemprov DKI Jakarta melalui kedua program unggulannya tersebut menggelontorkan dana sebesar lebih dari Rp2,4 triliun dari APBD guna memberikan layanan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bagi warga DKI Jakarta. Sejatinya, tidak ada yang salah dari tujuan program penyediaan layanan sosial seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta tersebut. Akan tetapi, di lapangan program tersebut mengalami banyak kendala seperti penentuan kriteria masyarakat penerima layanan yang masih melibatkan sistem birokrasi dalam pengusulan peserta (Program KJP) serta sistem reimbursement yang diajukan rumah sakit provider layanan KJS yang terikat pada mekanisme yang tidak fleksibel (Indonesia Case Base Group/INA-CBG) yang berpengaruh kepada mutu layanan. Hal ini terjadi karena program unggulan ini masih dilaksanakan dengan paradigma lama dari pelayanan publik yaitu belanja barang dan jasa melalui anggaran sektor publik (APBD 34 ISI_DES-2013_5a.indd 34 Dengan makin terbatasnya kemampuan anggaran sektor publik, maka peran swasta harus didorong untuk ikut serta dalam upaya pembangunan infrastruktur ini. dan/atau APBN). Evaluasi dan usaha perbaikan terhadap program sosial seperti ini memang dan harus terus dilakukan untuk meningkatkan layanan pendidikan dan kesehatan tersebut kepada masyarakat. Namun, jika kita melihat pengalaman negara-negara yang telah maju sistem jaminan sosialnya, terdapat cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut yaitu melalui sistem Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS). Tulisan ini selanjutnya akan membahas penyelenggaraan dan penyediaan infrastruktur sosial berupa layanan pendidikan dan kesehatan melalui skema KPS. Keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur guna mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi sudah sangat jelas dan tidak terbantahkan (Queiroz, 2004). Infrastruktur itu sendiri dapat dibedakan jenisnya menjadi hard infrastructure seperti jalan, jembatan, rel, dan sarana infrastruktur fisik lainnya. Jenis infrastruktur yang berikutnya adalah soft infrastructure, seperti layanan pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya.1 Kebutuhan pembangunan infrastruktur sosial ini juga sangat besar. McKinsey mencatat dari kebutuhan pembangunan infrastruktur secara global sampai tahun 2020 sebesar US$8 triliun, 40% diantaranya merupakan pembangunan infrastruktur sosial.2 Dengan makin terbatasnya kemampuan anggaran sektor publik, maka peran swasta harus didorong untuk ikut serta dalam upaya pembangunan infrastruktur ini. Upaya ini tidak mudah mengingat motif dan tujuan yang berbeda secara diametral antara sektor publik dan sektor privat. Sektor publik bertujuan untuk melayani masyarakat (public service) dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (public welfare), sementara sektor privat bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan (profit oriented). Skema KPS bisa menjadi titik temu motif dan kepentingan yang berbeda antara sektor publik dan sektor privat. Sektor publik mengharapkan efisiensi INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:41 PM dingkan apabila pembangunan dilaksanakan pemerintah. VfM merupakan metode penilaian dalam public sector comparator (PSC) dan menentukan skema pembangunan infrastruktur apakah akan dilaksanakan dengan skema KPS atau dibiayai dengan anggaran publik. VfM mempunyai beberapa dimensi tolok ukur, yaitu antara lain harga (monetary value), pembagian alokasi risiko proyek (risk allocation), dan standar pelayanan infrastruktur (output specification). Jadi, di dalam analisa VfM, harga bukan satu-satunya parameter yang dilihat, namun juga diperhatikan pembagian alokasi proyek yang ideal dan standar pelayanan yang dijanjikan oleh sektor privat. Suatu proyek yang mempunyai VfM, lebih optimal dilaksanakan dengan KPS karena terdapat efisiensi dan inovasi teknologi yang ditawarkan oleh sektor privat. Sedangkan apabila sebuah proyek dinilai tidak memiliki VfM yang memadai, sebaiknya pembangunannya anggaran pembangunan infrastruktur dan peningkatan layanan publik kepada masyarakat yang bisa diperoleh dari teknologi, inovasi dan kemampuan manajerial yang ditawarkan sektor privat, dibanding jika pemerintah melaksanakan sendiri pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Sektor privat, dalam skema ini, juga dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan menjual ide teknologi, kemampuan inovasi, dan kemampuan manajerial yang memang menjadi basic behaviour-nya guna dijual kepada sektor publik yang mempunyai captive market yang sangat luas. Critical Success Point dalam Penerapan Skema KPS untuk Penyediaan Infrastruktur Sosial 1. Penerapan Penilaian VfM Value for Money (VfM), merupakan ukuran efisiensi dan efektifitas pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh sektor privat diban- dibiayai dengan anggaran sektor publik. Hal ini dikarenakan, proyek tersebut tidak akan laku ditawarkan kepada sektor privat jika tetap dilelang dengan KPS. Pun, jika investor swasta masih berminat dengan suatu proyek, dapat dipastikan akan meminta dukungan dan fasilitas dari pemerintah dalam skala yang masif untuk mengkompensasi risiko karena mengambil proyek tersebut. Untuk lebih jelas dalam memahami konsep PSC dan VfM, Partnership Victoria memberikan gambaran sebagaimana terdapat pada Tabel 1. Didalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemerintah mempunyai Net Present Cost (NPC) PSC sebesar 152 yang merupakan ukuran benchmark guna menentukan skema modalitas pembangunan infrastruktur. Apabila dalam project brief didapat indikasi minat investor untuk membangun proyek bersangkutan dengan biaya lebih dari 152 atau lebih kecil dari 152 namun meminta alokasi risiko yang U T A M A Tabel 1. Perbandingan PSC Guna Menentukan VfM Conforming Partnership Victoria bid Bids PSC Raw costs (NPC - $m) • service charge to government 80 A B Non-conforming bids C D E F Competitive Neutrality • state taxes 7 Risk valued by government Transferable Risks • design and construction 25 Transfer Transfer Transfer • operations 10 Transfer Transfer Transfer • maintenance 5 Retained Transfer Transfer 98 117 111 10 10 Transfer NPC-Subtotal 127 100 120 110 Retained risks • maintenance • environmental 5 10 10 10 10 • technology 15 15 15 15 15 Transfer 15 Total NPC of services 152 125 145 135 128 127 126 Sumber: Partnership Victoria Guidance Material: Public Sector Comparator a Technical Note, Partnership Victoria, June 2001. INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 35 DESEMBER 2013 35 1/27/2014 9:01:42 PM U T A M A berlebihan kepada pemerintah (non conforming bids), maka keputusan untuk melelang proyek dengan skema KPS patut dipertimbangkan. Di dalam ilustrasi pada Tabel 1 dapat diketahui, investor D, E, dan F, meskipun mempunyai NPC proyek lebih kecil dari 152, namun meminta agar alokasi risiko dari design and conctruction, operations, dan maintenance tetap diambil oleh pemerintah. Hal tersebut berarti, dari sudut pandang penawaran yang diajukan investor D, E, dan F, pemerintah melihat proyek tidak mempunyai VfM. Lebih lanjut, Tabel 1 memberikan data bahwa terdapat investor A, B, dan C yang mempunyai NPC sebesar 125, 145, dan 135 secara berurutan dan dapat menerima alokasi risiko dari design and conctruction, operations, dan maintenance berada di sektor privat. VfM proyek ini bagi pemerintah masing-masing sebesar, investor A 27 (152-125), investor B 7 (152-145) dan investor C 17 (152-135). 2. Penerapan PSC sebagai Dasar Skema KPS Public sector comparator (PSC) adalah konsep dasar dari keputusan penerapan skema KPS, baik untuk penyediaan infrastruktur komersial maupun infrastruktur sosial. PSC merupakan ukuran kualitatif dan kuantitatif yang menghitung keuntungan (benefit) yang diperoleh dikurangi biaya yang dikeluarkan (cost) oleh sektor publik (cost benefit analysis), apabila pembangunan dan atau pelayanan infrastruktur dibiayai, dilakukan, dan dioperasikan oleh pemerintah.3 Pada umumnya, benefit yang menjadi tolok ukur bagi pemerintah adalah biaya pembangunan (project cost) dan waktu penyelesaian proyek (project timeline).4 Lebih lanjut menurut Jagger (2012), apabila dinilai biaya proyek lebih kecil dan waktu penyelesaian proyek lebih cepat jika proyek diserahkan kepada sektor privat, maka 36 ISI_DES-2013_5a.indd 36 pemerintah akan memilih skema KPS sebagai metode pengadaan infrastruktur. Selain itu, kemampuan manajerial pelayanan yang efisien juga menjadi salah satu tujuan penggunaan skema KPS dalam penyediaan infrastruktur sosial.5 Efisiensi biaya dan waktu pengerjaan serta manajemen layanan ini sangat mungkin dipenuhi oleh sektor privat karena inovasi dan teknologi yang diperoleh dari hasil proses research and development yang menjadi kunci going concern business. Oleh karena PSC merupakan dasar pengambilan keputusan guna menentukan skema pembiayaan pembangunan infrastruktur, metodologi penyusunan PSC menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Studi PSC dilakukan oleh sektor publik pada awal siklus pembangunan infrastruktur6 yaitu pada tahap project development, dengan cara-cara sebagai berikut: Kemampuan manajerial pelayanan yang efisien juga menjadi salah satu tujuan penggunaan skema KPS dalam penyediaan infrastruktur sosial. a. Functional brief development, yang menentukan cakupan layanan infrastruktur yang diberikan kepada masyarakat, fisik bangunan infrastruktur yang diperlukan untuk delivery layanan, dan keterkaitan antar fungsi di dalam infrastruktur secara terintegrasi. Hasil dari studi ini menjadi dasar penentuan desain teknis dan spesifikasi keluaran layanan yang harus dipenuhi oleh sektor privat dalam kontrak kerja sama. b. User Group Input, hasil studi dari functional brief development dikomunikasikan dengan para stakeholders terkait melalui seminar maupun lokakarya untuk mendapat masukan, kritik dan saran, terutama untuk menangkap ide-ide dan gagasan pengembangan layanan infrastruktur ke depannya. c. Concept design, merupakan penyempurnaan dari studi functional brief development yang telah mendapatkan masukan pada kegiatan User Group Input. d. Market sounding, concept design yang dihasilkan sektor publik kemudian diperkenalkan kepada sektor swasta guna menangkap tanggapan dari market. Berdasarkan hal tersebut diatas, sektor publik kemudian menyusun spesifikasi keluaran layanan (output specification) dan rencana matriks alokasi dan pembagian risiko proyek, di mana didalamnya terdapat unsurunsur sebagai berikut7: a. Transferable risk, berupa risiko proyek yang ditransfer ke sektor privat. b. Retained risk, berupa risiko proyek yang diambil oleh sektor publik. c. Competitive neutrality, penyesuaian keunggulan kompetitif (competitive advantage) maupun kelemahan komparatif (comparative disadvantage) yang dimiliki oleh sektor publik dalam pembangunan infrastruktur. Keunggulan kompetitif pemerintah dapat berupa kebebasan pajak, sedangkan kelemahan sektor publik terkait dengan mekanisme pelaporan kepada masyarakat dan parlemen. d. Raw PSC (base costing), berupa biaya pembangunan proyek dengan skema pengadaan pemerintah, yang terdiri dari biaya modal dan biaya operasional, baik INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:42 PM langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan pembangunan, pemilikan, pemeliharaan, dan pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu sesuai acuan waktu konsesi, dan sesuai dengan persyaratan kinerja (performance standard) yang telah diatur di dalam spesifikasi keluaran layanan (output specification). 3. Tingkat Kelayakan Proyek KPS Sosial Penilaian kelayakan proyek KPS dilakukan dengan menghitung aspek ekonomis, aspek finansial dan aspek kualitatif.8 Pada umumnya, infrastruktur sosial sebagaimana public goods yang lain mempunyai tingkat kelayakan ekonomis yang tinggi, namun memiliki tingkat kelayakan finansial yang minim. Hal ini dikarenakan tarif yang dibayarkan pengguna layanan tidak cukup untuk memenuhi tingkat ekspektasi keuntungan investor. Oleh karenanya, infrastruktur sosial seperti sarana pendidikan dan kesehatan, dalam pembangunan dan pengoperasiannya membutuhkan subsidi atau bantuan dalam bentuk lain yang bersumber dari pemerintah.9 Namun demikian, sesuai esensi proyek KPS, struktur proyek harus dibuat sedemikian rupa sehingga peran pemerintah dan swasta bisa maksimal sesuai kemampuan masing-masing, di mana hal tersebut tergambar dalam pembagian alokasi risiko proyek. Susilawati, dkk (2009), mengusulkan dalam suatu proyek KPS sosial, kerja sama dengan pihak ketiga dapat dipertimbangkan untuk membuat proyek menjadi lebih layak secara ekonomis dan keuangan.10 Dalam risetnya, Susilawati, dkk mencontohkan pembangunan perumahan sederhana di Queensland, Australia, di mana pihak ketiga seperti organisasi masyarakat berbasis komunitas dilibatkan sehingga dapat menurunkan risiko proyek. Hal ini kemudian meningkatkan minat dan partisipasi swasta dalam berinvestasi karena pricing atas risiko proyek bisa diturunkan. Desain infrastruktur Dalam pembangunan infrastruktur sosial dalam sektor pendidikan dan kesehatan, desain infrastruktur menjadi sangat penting untuk diperhatikan, terlepas dari skema pembangunan yang akan digunakan apakah menggunakan anggaran sektor publik atau dikerjasamakan dengan swasta. Desain infrastruktur yang dimaksudkan disini meliputi antara lain: a. Desain fungsional, merupakan desain fungsionalitas sarana infrastruktur yang menentukan efektif dan efisiennya pelayanan sosial pendidikan dan kesehatan; dan b. Master Planning dan Desain Umum, yang memastikan analisa dampak lingkungan dan memperhatikan potensi pengembangan di masa depan. 11 Secara umum, proyek KPS Sosial menggunakan modalitas skema build (design and construct), finance, and operate & maintenance, jadi risiko desain ini diserahkan kepada sek- U T A M A Gambar 1. Usulan Skema Struktur KPS Sosial di Indonesia INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 37 DESEMBER 2013 37 1/27/2014 9:01:42 PM tor privat. Hal ini dilakukan karena insentif untuk melakukan inovasi desain guna mencapai efisiensi dan efektifitas layanan ada di sektor privat daripada di sektor publik. Keterlibatan pemerintah untuk turut campur tangan dalam desain sejauh mungkin harus dihindari, karena jika kesalahan desain yang disebabkan campur tangan pemerintah tersebut menyebabkan layanan yang menjadi output specification menjadi terganggu, maka sektor privat menjadi tidak dapat bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan hasil yang diharapkan dari sebuah proyek KPS tidak tercapai. Kemungkinan Penerapan Skema KPS Infrastruktur Sosial di Indonesia Skema KPS di Indonesia telah dikembangkan dalam satu dekade terakhir dengan regulasi yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 dan perubahannya. Namun demikian, proyek KPS yang diatur dalam regulasi tersebut merupakan Catatan 1 U T A M A Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya (2009) An evaluation of viability of public private partnerships in social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia. In: Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on Advancement of Construction Management and Real Estate, 29-31 October 2009, Nanjing. 2 http://www.mckinsey.com/client_service/infrastructure/expertise/social_infrastructure. 3 Partnership Victoria, Partnership Victoria Guidance Material: Public Sector Comparator a Technical Note, June 2001, hal. 2. 4 Norm Jagger , PPP: THE BEST OPTION FOR QUEENSLAND SOCIAL INFRASTRUCTURE?, Public Infrastructure Bulletin-Bond University, Januari 2012. 5 K.M. Mital and Vivek Mital, Public Private Partnership and Social Infrastructure, Computer Society of India. 6 Foster Infrastructure, Best Practice in Design of Public-Private Partnerships (PPPs) for Social Infrastructure, particularly in Health Care and Education, Agustus 2012 7 Partnership Victoria, Op Cit., 2 8 State Development. (2002a). Public Private Partnerships Guidance Material:Business Case Development. Brisbane, Queensland: State Development, Queensland Government 9 Halligan, I. J. (1997). Queensland- the State of Infrastructure: Public/ Private Partnerships. Unpublished Master of Project Management Dissertation, Queensland University of Technology, Brisbane. 10 Susilawati, Connie and Wong, Johnny and Chikolwa, Bwembya (2009) An evaluation of viability of public private partnerships in social infrastructure procurement projects in Queensland, Australia. In: Proceedings of the CRIOCM 2009 International Symposium on Advancement of Construction Management and Real Estate, 29-31 October 2009, Nanjing 11 Foster Infrastructure, Op.Cit.,2 38 ISI_DES-2013_5a.indd 38 proyek infrastruktur komersial, dan belum memberikan ruang bagi pelaksanaan KPS di sektor sosial. Padahal opportunity yang diberikan dan juga demand proyek infrastruktur sosial di Indonesia sangat besar, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini sangat logis karena struktur demografi penduduk dan tingkat pertumbuhan ekonomi terutama kelas pendapatan menengah (middle class income) yang sangat pesat, tentunya permintaan mereka terhadap layanan infrastruktur sosial juga meningkat. Selain itu, kebijakan anggaran publik pemerintah juga memberikan opportunity bagi pelaksanaan proyek KPS sosial. Sebagaimana diketahui porsi anggaran pendidikan dan kesehatan di APBN mencapai hampir 25% per tahun atau hampir berkisar Rp300350 triliun. Dari jumlah anggaran yang sangat besar ini, efektifitas dan efisiensi penggunaannya serta pencapaian sasaran programnya masih menjadi permasalahan sektor publik (Kementerian/Lembaga). Sebagaimana disebutkan sebelumnya, efektifitas dan efisiensi pelayanan merupakan keunggulan komparatif sektor privat, maka apabila skema KPS bisa didayagunakan pada pembangunan infrastruktur sosial pendidikan dan kesehatan, tentu hasil yang dicapai lebih baik. Usulan struktur proyek dengan skema KPS dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut. Skema struktur proyek diatas mempertimbangkan existing keberadaan Badan Layanan Umum seperti LPDP di sektor pendidikan dan BPJS di sektor kesehatan sebagai procuring agency yang menjadi perwakilan dari Kementerian/Lembaga. Hal ini dimaksudkan agar BLU tersebut mempunyai aturan pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel dibanding dengan Kementerian/Lembaga yang cukup rigid dalam mengelola keuangan yang bersumber dari APBN. n INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:42 PM Pelayanan Kesehatan Preventif dan Promotif pada Sistem Jaminan Sosial Nasional Oleh: Yusuf Munandar Peneliti Muda pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] L ima puluh enam tahun setelah kata-kata jaminan sosial (social security) dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Rights1, akhirnya sistem jaminan sosial dapat diselenggarakan di Indonesia dengan disahkannya UndangUndang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Article 22 pada Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa: Everyone, as a member of society, has the right to social security and entitled to realization, through national effort and international cooperation and in accordance with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality. Pemerintah berencana memulai pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 1 Januari 2014. Apakah SJSN itu dan bagaimana implementasinya nanti, uraian berikut ini akan membahasnya. Jaminan Sosial dan Sistem Jaminan Sosial Nasional Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 39 DESEMBER 2013 dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional). Sedangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional). Secara teori, jaminan sosial adalah suatu skema proteksi yang ditujukan untuk tindakan pencegahan khususnya bagi masyarakat yang memiliki penghasilan terhadap berbagai risiko/peristiwa yang terjadi secara alami seperti sakit, kecelakaan, kematian prematur, PHK sebelum usia pensiun, dan hari tua. Dua frasa yang dapat digarisbawahi dari pengertian di atas adalah proteksi dan tindakan pencegahan (Bambang Purwoko, 2010). Proteksi atau pencegahan tersebut memiliki dua sifat yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Pencegahan terstruktur misalnya pencegahan terhadap kecelakaan kerja yang dilakukan dengan memberlakukan peraturan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk meminimalisasi pe- ristiwa kecelakaan kerja yang disertai dengan pengawasan ketat yang melekat di tempat kerja. Contoh lain pencegahan terstruktur adalah di pesawat terbang di mana setiap penumpang diwajibkan mengikat sabuk keselamatan sesuai instruksi. Pencegahan yang tidak terstruktur terjadi pada peristiwa sakit, sebagai contoh tentang kampanye bahaya rokok. Terdapat lima jenis program jaminan sosial yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi: a. pelayanan dan penyuluhan kesehatan; b. imunisasi; c. pelayanan Keluarga Bencana (KB); U T A M A 39 1/27/2014 9:01:42 PM d. e. f. g. U T A M A rawat jalan; rawat inap; pelayanan gawat darurat; dan tindakan medis lainnya, termasuk cuci darah dan operasi jantung. Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan, artinya jaminan kesehatan yang bersifat atau berbasis masyarakat tidak dicakup dalam SJSN, seperti higienis dan sanitasi lingkungan yang sehat, gizi yang cukup dan terhindar dari penyakit menular. Higienis dan sanitasi lingkungan yang sehat memiliki beberapa syarat, antara lain persediaan air, pembuangan, pembasmian binatang penyebar penyakit, dan sanitasi makanan dan minuman.2 Air yang sehat memenuhi persyaratan fisik (jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa), persyaratan kimia (tidak mengandung zat yang berbahaya dan mineral yang melebihi batas normal), dan persyaratan bakteriologis (tidak mengandung bibit penyakit). Sumur sebagai sumber air juga harus memperhatikan jarak dari kakus paling tidak 10 meter. Sementara itu, pembuangan adalah zat atau benda yang sudah tidak terpakai, berasal dari makhluk hidup (feses) maupun makhluk tak hidup. Pembuangan feses tidak boleh mengotori tanah permukaan, air permukaan dan air dalam tanah serta tidak boleh terbuka. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa dibandingkan kesehatan berbasis perseorangan, kesehatan berbasis masyarakat lebih menitikberatkan pada upaya preventif dan promotif kesehatan. Tiga jenis pelayanan pada program jaminan kesehatan, yaitu penyuluhan kesehatan, imunisasi, dan pelayanan KB merupakan pelayanan promotif dan preventif. Jenis pelayanan lainnya yaitu pelayanan kesehatan, rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, dan tindakan medis lainnya termasuk cuci darah dan operasi jantung, merupakan pelayanan 40 ISI_DES-2013_5a.indd 40 kuratif dan rehabilitatif. Secara sederhana, yang disebut dengan pelayanan promotif adalah peningkatan kesehatan, preventif adalah pencegahan penyakit, kuratif adalah pengobatan penyakit dan rehabilitatif adalah pemulihan kesehatan. Dalam Pasal 22 UU SJSN diatur bahwa masyarakat menerima manfaat jaminan kesehatan, yang diberikan pada fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS tersebut adalah BPJS Kesehatan, antara lain Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI). Visi ASKES adalah menjadi spesialis dan pusat unggulan asuransi kesehatan di Indonesia, sedangkan misinya adalah: memberikan kepastian jaminan pemeliharaan kesehatan kepada peserta (masyarakat Indonesia) melalui sistem pengelolaan yang efektif dan efisien, mengoptimalkan pengelolaan dana dan pengembangan sistem untuk memberikan pelayanan prima secara berkelanjutan kepada peserta, mengembangkan pegawai untuk mencapai kinerja optimal dan menjadi salah satu keunggulan bersaing utama perusahaan, dan membangun kordinasi dan kemitraan yang erat dengan seluruh stakeholder untuk bersama menciptakan pelayanan kesehatan yang berkualitas.3 Visi ASABRI adalah menjadi perusahaan pengelola program asuransi sosial nasional terbaik yang mampu memberikan manfaat/jaminan yang optimal dalam pelaksanaan kegiatan pembayaran asuransi/pensiun, serta pelayanan terbaik bagi peserta dengan tetap memperhatikan kesejahteraan pegawai. Misi ASABRI adalah meningkatkan kesejahteraan Prajurit TNI, anggota TNI, anggota Polri dan PNS Kemhan/Polri, dengan memberikan pelayanan pembayaran asuransi/pensiun dengan prinsip 5 T (Tepat Waktu, Tepat Jumlah, Tepat Alamat, Tepat orang dan Tertib Administrasi) dan 4 S (Senyum, Salam, Sapa dan Sabar) yang dilandasi keakuratan data berbasis teknologi informasi dan didukung sarana/prasarana pelayanan yang maksimal serta sumber daya manusia yang profesional.4 Melihat baik pada satu visi dan empat misi ASKES maupun visi dan misi ASABRI, tidak terdapat visi atau misi yang bersifat promotif maupun preventif kesehatan. Dengan demikian, secara sistematis, pelaksanaan SJSN tampak lebih menitikberatkan pada pelayanan kuratif dan rehabilitatif, daripada promotif dan preventif. Kebutuhan Akan Prasarana Umum Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi di Indonesia adalah penyakit jantung koroner (PJK) dan kanker. Khusus penyakit pada anak usia 1 s. d. 4 tahun ada dua penyakit sebagai penyebab kematian, yaitu diare dan penyakit saluran nafas. Selain menjaga kesehatan ibu dan anak (KIA), untuk pencegahan penyakit tersebut, peran vital air bersih dan sanitasi lingkungan perlu diperhatikan. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar penyakit menular disebabkan pencemaran makanan dan minuman (David,1999 dalam Tukiman, 2010). Mengingat jaminan sosial merupakan suatu sistem, maka diperlukan prasarana umum dan kesehatan yang harus difasilitasi oleh pemerintah pusat dan daerah serta oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, termasuk prasarana dalam pencegahan peristiwa sakit. Pemerintah dan masyarakat harus selalu memantau dan menjaga kesehatan ibu dan anak. Sementara, cara pencegahan penularan penyaINFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:42 PM Gambar 1. Perkembangan Program Water Supply and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC) Sumber: S.Bellafolijani Adimihardj (2009). kit melalui media air atau makanan dapat dilakukan antara lain dengan cara sanitation barrier yaitu memutus rantai penularan, seperti menyediakan air bersih dan tempat buang air besar serta membuang sampah tidak di sembarang tempat.5 Apabila masyarakat belum mampu mewujudkannya, maka menjadi tugas pemerintah baik pusat maupun daerah dalam penyediaan air bersih, tempat buang air besar maupun tempat sampah dan pembuangannya. Program PAMSIMAS Salah satu upaya promosi hidup sehat dan pencegahan penyakit adalah penyediaan akses air minum dan sanitasi dasar. Untuk meningkatkan akses layanan air minum dan sanitasi dasar serta mewujudkan tujuan MDG, pada 27 Desember 2007, Pemerintah menandatangani kerja sama dengan Bank Dunia untuk melaksanakan kegiatan penyediaan air minum dan sanitasi untuk masyarakat berpenghasilan rendah di perdesaan dan pinggiran perkotaan (peri-urban). Kegiatan ini disebut dengan Third Water Supply and Sanitation for Low Income Communities (WSLIC-3) atau Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat). Pamsimas atau WSLIC-3 merupakan kelanjutan dari kegiatan sebelumnya yaitu WSLIC (1993-1999) dan WSLIC-2 (2000-2009) yang pendanaannya didukung Bank Dunia. Pada praktiknya Pamsimas dikoordinasikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia.6 INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 41 DESEMBER 2013 Selain untuk mewujudkan tujuan MDG, Pamsimas juga merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM). KSNP-SPAM merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 sendiri merupakan pelaksanaan dari Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM) merupakan acuan bagi para pelaku pembangunan/penyelenggaraan SPAM di tingkat nasional dan daerah dengan memperhatikan (1) adanya keinginan untuk meningkatkan kondisi air minum sesuai dengan sasaran atau kondisi yang diinginkan dalam pengembangan SPAM, baik secara teknis, manajemen, keuangan maupun hukum, (2) pencapaian sasaran dilakukan melalui peru- musan tujuan dan sasaran Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM yang merupakan hasil monitoring dan evaluasi sasaran pencapaian, dan (3) dalam perumusan tujuan dan sasaran berpedoman pada landasan hukum yang ada berdasarkan isu-isu strategis dan permasalahan yang dihadapi saat ini, serta memperhatikan Deklarasi Internasional dan Nasional. Pamsimas merupakan salah satu program dan aksi nyata pemerintah (pusat dan daerah) dengan dukungan Bank Dunia untuk meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama dalam menurunkan angka penyakit diare dan penyakit lain yang ditularkan melalui air dan lingkungan. Komponen program Pamsimas meliputi 5 program yaitu pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan layanan higienis dan sanitasi, U T A M A Gambar 2. Perbandingan Tujuan BOK dan Jamkesmas Sumber: Tini Suryanti Suhandi (2011). 41 1/27/2014 9:01:42 PM Tabel 1. Kegiatan Yang Dapat Dibiayai dan Tidak Dapat Dibiayai Dari Dana BOK U T A M A Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 210 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan. penyediaan sarana air minum dan sanitasi umum, insentif desa/kelurahan dan kabupaten/kota, dan dukungan pelaksanaan dan manajemen proyek. Secara keseluruhan Pamsimas tersebar di 110 kabupaten dan kota pada 15 provinsi di Indonesia. Dana Bantuan Operasional Kesehatan Upaya pencegahan (prevensi) penyakit dan promosi hidup sehat diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah, salah satunya melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK). BOK diharapkan dapat berkontribusi meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat, utamanya melalui kegiatan promotif dan preventif, sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan dengan fokus pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Penyediaan BOK bagi Puskesmas dan 42 ISI_DES-2013_5a.indd 42 jaringannya, Poskesdes dan Posyandu, dimulai tahun 2010. Pada tahun 2011, dilakukan perubahan mekanisme penyaluran dana, yaitu yang semula melalui mekanisme Bantuan Sosial diubah menjadi melalui mekanisme Tugas Pembantuan. Di samping itu, pengelolaan BOK di provinsi dan kabupaten/kota tahun 2011 diintegrasikan dengan pengelolaan Jamkesmas dan Jampersal agar pemanfaatan dananya memberikan daya ungkit besar dalam pencapaian MDGs. Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 210 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Kesehatan, dari sekian banyak upaya kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas, dana BOK utamanya digunakan untuk mendukung upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang meliputi 6 upaya yaitu kesehatan ibu dan anak termasuk Keluarga Berencana, imunisasi, perbaikan gizi masyarakat, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit. Kegiatan yang dapat dibiayai dari dana BOK dan kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari dana BOK dapat dilihat pada Tabel 1. Total dana BOK secara nasional pada tahun 2011 mencapai Rp.904 miliar. Alokasi terbesar adalah di pulau Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi karena memiliki jumlah unit Puskesmas terbanyak (Tabel 2). Kesimpulan Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan, artinya jaminan kesehatan yang bersifat masyarakat tidak dicakup dalam SJSN. Kesehatan yang bersifat atau berbasis masyarakat antara lain seperti higienis dan sanitasi lingkungan yang sehat dan terhindar dari penyakit menular. Dibandingkan kesehatan berbasis perseorangan, kesehatan berbasis masyarakat lebih menitikberatkan pada upaya preventif dan promotif kesehatan. Tabel 2. Distribusi Dana BOK Tahun 2011 Sumber: Tini Suryanti Suhandi (2011). INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:43 PM Pelaksanaan SJSN lebih bersifat kuratif dan rehabilitatif, terlihat dari visi dan misi BPJS Kesehatan baik ASKES maupun ASABRI dimana dalam visi dan misinya tidak menampakkan upaya preventif maupun promotif kesehatan. Upaya preventif dan promotif kesehatan seperti program PAMSIMAS (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) dan Dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bukan untuk memenuhi amanat UU SJSN, tetapi untuk mewujudkan tujuan MDG. Selain untuk mewujudkan tujuan MDG, Pamsimas juga merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSNP-SPAM). KSNP-SPAM merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Rekomendasi Kebijakan Tanpa upaya pencegahan penyakit (preventif) dan penjagaan hidup sehat (promotif), jumlah orang sakit semakin bertambah seiring meningkatnya usia dan jumlah penduduk. Selain meningkatkan iuran jaminan sosial, bertambahnya jumlah orang sakit akan menurunkan produktifitas yang dapat berimbas pada menurunnya laju pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam praktik, Sistem Jaminan Sosial Nasional harus mengakomodasi upaya promotif dan preventif secara lebih sistematis. Upaya preventif meliputi baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur. Badan penyelenggara jaminan sosial harus bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta swasta dan masyarakat dalam mengimplementasikan pelayanan kesehatan promotif dan preventif. n INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 43 DESEMBER 2013 DAFTAR PUSTAKA Adimihardj, S.Bellafolijani. (2009). Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Diakses tanggal 15 November 2013, dari http://new. pamsimas.org/data/buku/buku_pamsimas.pdf. Purwoko, Bambang. (2010). Sistem Jaminan Sosial: Asas, Prinsip, Sifat Kepesertaan dan Tata Kelola Penyelenggaraan di Beberapa Negara. Dipresentasikan pada Seminar Sehari Sosialisasi Jamsostek diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Jamsostek tanggal 15 Desember 2010 di Hotel Millenium Jakarta. Diakses tanggal 14 November 2013, dari http://www.djsn.go.id/4.pdf. Suhandi, Tini Suryanti. (2011). Monitoring dan Evaluasi Kebijakan BOK dan Jampersal. Makalah dipresentasikan pada Seminar Forum Nasional II: Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia dari Penetapan Agenda ke Evaluasi Kebijakan Kesehatan di Makassar pada 29 September 2011. Diakses tanggal 14 November 2013, dari http:// kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/makasar/Forum%20Nasional%20II%20Makassar%20-%20Presentasi%20Karoren%20-%20BOK%20%26%20Jampersal%20EDIT.pdf. Tukiman, (2005). Upaya Pencegahan Penyakit dan Perilaku Hidup Sehat Menuju Indonesia Sehat 2010. Jurnal Info Kesehatan Masyarakat, Volume 9 Nomor 2 Desember 2005, hal.186-190. Medan: Universitas Sumatera Utara. Diakses tanggal 14 November 2013 dari, http:// repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15323/1/ikm-des2005-%20 (8).pdf. United Nations. (2008). Universal Declaration of Human Rights: 60th Anniversay Special Edition 1948-2008. New York: United Nations Department of Public Information. Diakses tanggal 14 November 2013, dari http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Documents/60UDHR/bookleten.pdf. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_menular, diakses tanggal 14 November 2013. http://www.indonesian-publichealth.com/2013/07/teori-surveilans-kesmas. html, diakses tanggal 15 November 2013. http://www.ptaskes.com/info-perusahaan/18/Visi-dan-Misi, diakses tanggal 13 Desember 2013. http://www.asabri.co.id/index.php/tentang_kami/visi_misi, diakses tanggal 13 Desember 2013. U T A M A Catatan 1 2 3 4 5 6 United Nations (2008). http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Banu%20Setyo%20Adi,%20M.Pd./Hygiene%20dan%20Sanitasi.pdf, diakses Senin 30 Desember 2013 pukul 14.12 WIB. http://www.ptaskes.com/info-perusahaan/18/Visi-dan-Misi, diakses Senin 30 Desember 2013 pukul 13.45 WIB. http://www.asabri.co.id/index.php/tentang_kami/visi_misi, diakses Senin 30 Desember 2013 pukul 13.53 WIB. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_menular, diakses Kamis 14 November 2013 pukul 10.42 WIB. S. Bellafolijani Adimihardj (2009). 43 1/27/2014 9:01:43 PM Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan Negara Wajib Mewujudkannya Oleh: Syahrir Ika Peneliti Utama PPRF, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] P e d u k a s i f i s k a l angan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki bagi penduduk suatu Negara. Karena itu, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib menjalankan kedaulatan pangan (hak rakyat atas pangan1) dan mengupayakan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi penduduk. Kewajiban dimaksud mencakup kewajiban menjamin ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang2. Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut secara efektif, maka Negara wajib menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (UUD 1945 pasal 33 ayat 3). Selain sebagai hak asasi manusia, pangan juga memiliki peran strategis bagi suatu Negara karena dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik Negara tersebut. Banyak negara yang mampu berubah menjadi negara maju karena kemajuan sektor pertaniannya, sebut saja China, Jerman, Australia, dan New Zealand. Tatkala ketersediaan pangan menjadi langka, maka rakyat bisa bertindak anarkis dan menurunkan rezim pemerintahan yang sedang berkuasa sebagaimana yang dialami di Mesir dan Aljazair3. Pertanyaannya, apakah 44 ISI_DES-2013_5a.indd 44 Negara sudah berhasil menegakkan kedaulatan pangan dan memenuhi kecukupan pangan bagi penduduk Indonesia? Ekonomi Pangan : Potensi Besar Tetapi Belum Dioptimalkan Paling tidak, ada tiga argumen untuk mengatakan bahwa potensi di sektor pangan bisa diandalkan menjadi penyangga utama kekuatan ekonomi Indonesia. Pertama, dari sisi sumber daya alam (SDA), Indonesia memperoleh keberuntungan sebagai Negara agraris.Tata letak wilayah Indonesia yang persis berada di garis katulistiwa memiliki iklim tropis dengan dua musim, yaitu di wilayah bagian selatan banyak kemarau dan di wilayah bagian utara banyak hujan. Kondisi iklim dan musim yang demikian memungkinkan sebagian besar jenis tanaman dan hewan ternak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu, setiap wilayah di Indonesia memiliki keunggulan sumber daya masing-masing yang bisa menjadi penyangga pangan bagi semua penduduk Indonesia. Kebutuhan daging sapi nasional bisa disuplai dari daerah Nusa Tenggara. Kebutuhan beras nasional bisa disuplai oleh beberapa daerah di Jawa dan Sulawesi Selatan. Kebutuhan hortikultura dan gula nasional bisa disuplai oleh beberapa daerah di Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Sementara wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua sangat potensial menjadi penyangga stok ikan dan hasil-hasil laut nasional. Kedua, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia memilih usaha tani sebagai mata pencaharian pokoknya. BPS melaporkan bahwa jumlah Rumah Tangga Usaha Tani (RTUT) pada tahun 2013 sebanyak 26,13 juta RT (Suryamin, Kepala BPS, DetikFinance, 2013)4. Artinya, apabila masing-masing RTUT memiliki 3 anak saja, maka jumlah penduduk yang bekerja pada sektor usaha tani mencapai sekitar 130,6 juta orang atau sekitar 56,8 persen (asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230 juta orang). Ketiga, dari sisi potensi SDM, Indonesia memiliki banyak sarjana pertanian yang dapat diandalkan untuk meningkatkan produksi hasilhasil pertanian sehingga masalah suplai pangan bisa diatasi dengan baik. Data Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, yang dirilis PISPI menunjukkan bahwa lulusan sarjana pertanian termasuk didalamnya sarjana peternakan dan perikanan Indonesia mencapai sekitar 3,32 persen dari seluruh lulusan sarjana di Indonesia (Salman Dianda Anwar, Wakil Ketua Umum 2012). Dengan demikian, jumlah sarjana pertanian di seluruh Indonesia mencapai sekitar 300 ribu INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:43 PM orang lebih. Ditjen Dikti juga melaporkan bahwa setiap tahun kelulusan sarjana pertanian mencapai sekitar 34 ribu sarjana sehingga total sarjana pertanian akan mendekati angka 400 ribu orang pada akhir tahun 2013. Bila negara memberikan perhatian yang signifikan kepada para ahli pertanian ini, misalnya penciptaan kondisi atau iklim usaha yang menjanjikan keuntungan dan memberikan insentif bagi para peneliti dan penyuluh pertanian, maka produktivitas hasil-hasil pertanian akan meningkat dan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang tidak saja mampu memberi makan kepada semua rakyatnya, tetapi juga mampu memberi makan kepada sebagian penduduk dunia. Potensi sumber daya pangan dan SDM yang kita miliki ternyata belum mampu ditransformasikan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk Indonesia. Data yang dirilis pemerintah (BPS) maupun lembagalembaga internasional menyebutkan bahwa sebagian besar rumah tangga petani Indonesia masih merupakan rumah tangga miskin bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengalami kelaparan dan kurang gizi. Selain itu, peranan sektor pertanian terhadap PDB juga masih rendah, di mana pada tahun 2012 hanya mencapai sekitar 14,2 persen padahal sektor pertanian menyerap sekitar 40% tenaga kerja5. Impor pangan dalam jumlah yang besar juga telah memperburuk neraca perdangan dan membuat Indonesia semakin bergantung pada pangan impor. Pada tahun 2011, nilai impor pangan Indonesia sudah mencapai sekitar US$20,6 miliar, suatu jumlah yang tidak kecil untuk ukuran Indonesia yang merupakan Negara agraris. Sementara dari sisi neraca perdagangan, kecuali neraca pangan perkebunan yang masih surplus, neraca perdagangan pangan lainnya mengalami defisit. Tanpa melakukan INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 45 DESEMBER 2013 revitalisasi peran Negara di sektor pertanian dan pangan, masalah ini akan semakin sulit diatasi. Problematika Pangan Indonesia Ada beberapa faktor yang terindikasi sebagai penyebab performa sektor pertanian di Indonesia masih belum berkembang sesuai yang diharapkan, yaitu antara lain: 1. Kendala produksi Kementerian Pertanian sering merilis data bahwa setiap tahun terdapat sekitar 110.000 hektare lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Jumlah sawah baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektare per tahun, tidak sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi6. Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis seperti beras, kedelai, bawang merah, cabai, daging sapi, dan buah-buahan segar semakin langka di pasaran. Di sisi lain, permintaan masyarakat terus bertambah seiring dengan Potensi sumber daya pangan dan SDM yang kita miliki ternyata belum mampu ditransformasikan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk Indonesia. penambahan jumlah penduduk. Akibatnya, daerah-daerah yang semestinya menjadi penyangga pangan nasional, ternyata kini mengalami defisit pangan sehingga harus mendatangkan pangan dari Daerah atau Negara lain. Dalam beberapa tahun terakhir ini, impor pangan dipakai sebagai solusi rutin untuk mengatasi defisit pangan, yang tentunya menghabiskan banyak devisa negara. Langkah pemerintah untuk membolehkan impor beberapa komoditas pangan strategis juga telah menurunkan motivasi para petani untuk berproduksi karena harga jual pangan impor lebih rendah dari harga jual di tingkat petani. Biaya produksi petani kian meningkat karena mahalnya sewa lahan dan benih pangan hibrida yang dihasilkan oleh korporasi asing dari AS, Jepang, dan Thailand. 2. Terbatasnya Tenaga Penyuluh Pertanian Program “satu desa-satu penyuluh” yang telah dicanangkan pemerintah merupakan program yang kredibel. Namun, hingga saat ini program itu tidak berjalan efektif. Satu desa satu penyuluh masih sulit sekali diwujudkan. Menurut Menteri Pertanian, Suswono (2013), saat ini jumlah penyuluh pertanian hanya sebanyak 48 ribu orang, terdiri dari 27 ribu pegawai negeri sipil (PNS) dan 21 ribu tenaga honorer lapangan (THL), sementara di seluruh Indonesia terdapat 70 ribu desa7. e d u k a s i f i s k a l Apakah pemerintah sulit mencari tenaga penyuluh yang hanya sebanyak 70 orang tersebut? Mestinya tidak sulit karena jumlah sarjana pertanian yang dimiliki Indonesia mencapai lebih dari 300 ribu orang. Pertanyaannya, apakah para sarjana pertanian ini bergerak ke sektor pertanin ataukah ke sektor non-pertanian. Sedikitnya sarjana pertanian yang masuk ke sektor pertanian mengindasikan bahwa 45 1/27/2014 9:01:43 PM e d u k a s i f i s k a l sektor pertanian kurang menarik atau tidak menjanjikan masa depan yang baik. Paling tidak terdapat empat kemungkinan faktor yang menyebabkan masalah ini muncul. Pertama, insentif yang disediakan pemerintah mungkin saja memadai tetapi salah sasaran. Kedua, insentif yang disediakan pemerintah kurang memadai sehingga tidak menstimulasi para ahli pertanian bekerja di sektor pertanian. Ketiga, potensi penghasilan tinggi ditawarkan oleh sektor manufakturdan sektor lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Keempat, para sarjana pertanian ini tidak diberi bekal ilmuilmu enterpreneurship yang memadai pada saat mereka menduduki bangku kuliah. 3. Mahalnya harga benih Peran korporasi pangan semakin menguasai ekonomi pangan Indonesia semenjak pemerintah membentang “karpet merah” bagi korporasi pangan, khususnya asing. Korporasi pangan milik asing, sudah merambat dari produksi ke perbenihan. Benih, yang mestinya bisa dibuat sendiri oleh petani Indonesia dan korporasi domestik, kini sudah dikuasai korporasi asing selama kurang lebih 10 tahun terakhir. IGJ (International Global Jastice) melaporkan bahwa empat perusahaan asing, yaitu Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Charoen Pokphand, telah mengusai penjualan dan produksi benih di Indonesia. Monsanto Indonesia misalnya, melaporkan bahwa pangsa pasar benih jagung hibrida saat ini sebesar 15%. Ke depan, Monsanto Indonesia optimis mampu menaikkan porsi pasar benih jagung hibrida menjadi 30% terutama ditujukan untuk pemenuhan pakan ternak nasional pada tahun ini yang berkisar 6-7 juta ton (Chris J. Peterson, Country Lead Monsanto Indonesia, kabarbisnis. com, 29 April 2013). 46 ISI_DES-2013_5a.indd 46 PT SHS (Sang Hyang Seri), sebuah BUMN yang bergerak dalam bidang perbenihan memiliki peran yang relatif kecil dalam pasar benih hibrida. Benih padi hibrida yang dihasilkan BUMN ini hanya mampu mensuplai sekitar 35 persen dari total kebutuhan benih hibrida nasional sekitar 10 ribu ton. Sementara benih jagung hibrida yang dihasilkan SHS juga kontribusinya sangat kecil, sekitar 10 persen dari kebutuhan nasional sebesar 99 ribu ton. Kebutuhan benih hibrida sektor holtikultura malah tidak mampu disuplai oleh SHS. BUMN ini hanya mampu memasok 2 persen dari kebutuhan nasional sekitar 7 ribu ton. Dengan kata lain, lebih dari 90 persen benih pangan hibrida dikuasai korporasi asing, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun didatangkan dari negara lain (impor). Peluang asing di bidang perbenihan terbuka lebar setelah pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penaman Modal. Peranan perusahaan asing juga meningkat setelah pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budi Daya Tanaman, yang antara lain melarang petani melakukan pembudidayaan benih. Kehadiran dua UU ini jelas-jelas mengancam keberadaan para petani kecil yang semestinya harus dilindungi oleh pemerintah. Petani harus membeli benih dari korporasi (BUMN dan Swasta asing) yang harganya sangat mahal. Beruntung, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menetapkan bahwa kalimat “perseorangan” pada pasal 9 UU No.12 Tahun 1992 tidak memiliki kekuatan hukum sehingga petani boleh melakukan pemuliaan tanaman tanpa harus memperoleh izin dari pemerintah. 4. Subsidi pangan masih belum efektif Setiap tahun Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi (antara lain pangan, benih, pupuk, dan kredit tani). Tujuannya untuk mendorong peningkatan produksi pangan, mengurangi impor pangan, meringankan biaya produksi petani, serta mengupayakan terwujudnya swasembada pangan. Pemerintah juga Tabel-1 : Perkembangan Subsidi 2006, 2008, dan 2011 (miliar rupiah) Perkembangan Subsidi Uraian Subsidi 2006 2008 2011 (APBN-P) Energi (BBM+Listrik) Non Energi (umumnya pertanian) • Pangan • Pupuk • Benih • PSO • Bunga Kredit Program • Minyak Goreng • Kedele*) • DTP • Subsidi Lainnya 94.065,4 12.826,4 223.013,2 52.278,1 195.288,7 41.906,0 5.320,2 3.165,7 131,1 1.795,0 286,2 1.863,8 264,4 12.095,9 15.181,5 985,2 1.729,1 939,3 103,3 225,7 21.018,2 - 15.267,0 18,803,0 120,3 1.849,4 1.866,2 4.000,0 - Jumlah 107.431,8 275.291,4 237.194,7 Sumber : Nota Keuangan dan APBN 2012, Kementerian Keuangan RI *) Selama tahun 2006 hingga 2011, Pemerintah hanya sekali mensubsidi kedelai, yaitu pada tahun 2008 INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:43 PM Tabel-2. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, 2005-2011 Tahun Produksi Beras (Juta Ton) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Konsumsi Beras (Juta Ton)* 34,96 35,30 37,00 38,31 36,37 38,00 35,74 35,90 36,35 37,10 38,00 38,55 Impor (Juta Ton) 0,54 2,00 0,35 0,25 1,15 0,95 Sumber : BPS2 dan *USDA3, 2011 (diolah) memberikan bantuan beras (subsidi) kepada golongan rakyat miskin untuk memenuhi hak dan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat (Tabel 1). Dalam periode 2006-2011, subsidi pertanian (non-energi) meningkat tajam dari Rp12,8 triliun menjadi Rp41,9 triliun. Subsidi yang bersifat rutin adalah pangan, pupuk, benih, bunga kredit pinjaman dan PSO. Sementara jenis subsidi lain seperti kedelai dan minyak goreng, tidak bersifat rutin atau dialokasikan sesuai kondisi tertentu. Dari total subsidi pertanian sekitar Rp41,9 triliun, sekitar Rp34,1 triliun diantaranya atau sekitar 81,31 persen adalah subsidi pangan dan subsidi pupuk. Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa dalam kurun waktu 2005-2010, produksi beras memang meningkat, akan tetapi peningkatan tersebut masih berada di bawah tingkat konsumsinya, sehingga kekurangannya terpaksa harus diimpor. Dengan demikian, sasaran kebijakan subsidi untuk mengurangi impor beras dapat dinilai kurang efektif. 5. Ketergantungan Pangan Impor kian Meningkat Ada dugaan bahwa pengaruh globalisasi dengan ideologi neoliberalisme telah memaksakan petani dan Negara membuat pilihan yang tidak nyaman dan saling bertentangan. Pakar ekonomi pertanian, Francis Wahono (2011), menilai bahwa pilihan kebijakan dan praktik pemerintah banyak INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 47 DESEMBER 2013 yang melantarkan rakyat, termasuk petani. Praktik impor beras misalnya, kadang zero tariff. Contoh lainnya misalnya persereoanisasi Bulog, izin masuk bibit transgenetik, sertifikasi tanah dan privatisasi air, reformasi agraria dengan 40 persen tanah untuk korporasi, dan legalisasi illegal loging. Harga pangan yang diserahkan kepada mekanisme pasar membuat Indonesia kurang giat mendorong produksi dan sebaliknya semakin bergantung pada pangan impor. Walaupun kritik Francis Wahono ini amat pedas di telinga pemerintah, tetapi pemerintah bisa menjadikan kritik ini untuk introspeksi. Mungkin ada beberapa kebijakan perlu direvisi. Fakta memang menunjukkan bahwa pada tahun 2011, pemerintah mengizinkan impor beras sebanyak 1,57 juta ton dengan nilai Rp7,04 triliun. Pemerintah juga mengizinkan impor kedelai sebanyak 2,08 juta ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan dalam negeri. Selain beras dan kedelai, pemerintah juga memberi izin impor jagung sebanyak 3,5 juta ton dan sepanjang tahun 2012, Indonesia juga mendatangkan singkong sebanyak 6.399 ton dengan nilai US$2,6 juta,8. Meningkatnya trend impor pangan ini telah membuat neraca perdagangan “tanamam pangan” mengalami defisit dan meningkat dari US$1,07 miliar pada tahun 2009 menjadi US$6,43 miliar pada tahun 2011. Defisit neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan dikontribusi oleh 4 komoditas utama, yaitu Gandum, Beras, Jagung Segar dan Kedelai Segar. Pada tahun 2011, masing-masing komoditi tersebut mengalami defisit perdagangan sebesar US$2,2 miliar, US$1,5 miliar, US$1,0 miliar, dan US$1,2 miliar. 6. Petani sulit mengakses sumbersumber pembiayaan murah Salah satu persoalan yang dihadapi petani (terutama petani tanaman pangan, peternak dan nelayan) adalah akses terhadap permodalan. Dari sisi prudential, tentu perbankan akan lebih nyaman untuk memberikan pinjaman kepada usaha perkebunan, yang umumnya dikelola oleh perkebunan besar di bawah manajemen korporasi, baik BUMN maupun swasta, baik nasional maupun asing dan joint venture. Sementara sebagian besar petani memiliki usaha yang mungkin saja feasible, akan tetapi non-bankable atau sebaliknya, sehingga pemerintah harus mencari cara untuk mengakseskan mereka ke lembaga keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan. Untuk membantu permodalan para petani, pemerintahan SBY memperkenalkan dan mengimplementasikan suatu skim pembiayaan yang disebut KUR (Kredit Usaha Rakyat). Salah satu sasaran dari program KUR adalah para petani dan para nelayan. Namun, dalam praktiknya, dana KUR sedikit sekali yang diserap oleh sektor pertanian. Dari total penyaluran KUR yang disalurkan sampai dengan 30 Juni 2011 sebesar Rp24,8 triliun, sebagian besar (Rp14,86 triliun atau 59,9%) diserap oleh sektor perdagangan besar dan eceran, dengan jumlah debitur mencapai 3.679.904 debitur (76,6%). Sementara sektor pertanian hanya menyerap sekitar Rp4,62 triliun (18,6%) dengan debitur sebanyak 634.489 debitur (13,2%). e d u k a s i f i s k a l 47 1/27/2014 9:01:43 PM Begitu juga sektor perikanan, hanya menyerap sekitar Rp44 miliar (0,18%) dengan 1.060 debitur (0,02%). e d u k a s i f i s k a l 7. Peran Bulog (Badan Urusan Logistik) masih lemah Sejak IMF (International Monetary Fund), status Bulog diubah dari LKND (Lembaga Kementerian Non-Departemen) menjadi BUMN dengan status badan hukum Perum (Perusahaan Umum). Mulai saat itu, Bulog (atas permintaan IMF) dilarang mengendalikan harga pangan, kecuali beras. Mulai saat itu juga, pemerintah melepas kontrol stok maupun harga sejumlah produk pangan strategis, seperti daging, jagung, kedelai, susu, bawang merah, hortikultura, dll. Proteksi pemerintah terhadap masuknya bahan-bahan pangan ini dari negara lain (impor) juga semakin berkurang. Selain itu, beberapa korporasi pangan terindikasi melakukan praktik “kartel” yang dalam banyak hal sulit dipangkas pemerintah. Dampaknya adalah sering terjadi kelangkaan pangan dan gejolak harga pangan yang sering kali membuat panik masyarakat. 8. Strategi agri-culture dikalahkan oleh Strategi agri-business Para peserta Konferensi Internasional Kedaulatan Pangan di Nyeleni-Mali pada tahun 2007 bersepakat dengan pandangan bahwa konsep pembangunan pertanian berbasis agri-business tidak akan mampu menjawab permasalahan petani dunia dan bahkan mendorong terjadinya krisis pangan. Francis Wahono (2011) mengatakan bahwa “suatu negara akan rapuh eksitensinya bila tidak dapat menyelenggarakan dan menggerakan rakyat untuk mengadakan pangan”. Benar, bahwa membeli pangan adalah salah satu bentuk usaha pengadaan, akan tetapi itu amat rapuh, selain karena Negara akan sangat tergantung pada persediaan dan harga di tingkat perdagangan internasional, juga belum tentu rakyat memiliki uang untuk membelinya9. Pendekatan agri-business menuntut pemerintah untuk memenuhi permintaan investor, termasuk permintaan pembebasan tanah dan penguasaan air untuk menjadi salah satu persyaratan investasi di Indonesia. Box-1 : Makna Kedaulatan Pangan Kedaulatan pangan (food sovereignty) diartikan sebagai “pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan” (Henry Saragih, 2011). Kedaulatan pangan adalah “hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional” (SPI, 2013). Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasis agri-culture–berdasarkan pada prinsip keluarga atau solidaritas- dan bukan pertanian berbasiskan agribusiness –berdasarkan pada profit semata. Negara mempunyai otoritas serta kapasitas untuk mengkonsolidasikan berbagai macam sumber daya ekonomi dan politik yang tersedia demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan (Taufiqul Mujib, 2011). 48 ISI_DES-2013_5a.indd 48 Padahal tanah dan air harus dikuasai Negara dan menjadi hak petani untuk menciptakan kemakmuran sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bila sebagian besar tanah pertanian dikuasai korporasi besar, apalagi milik asing, maka “kedaulatan pangan menjadi tergadai”. Pajak yang besar (dari manapun sumbernya), mestinya untuk rakyat, tidak menjadi cashback ke negara investor. Bila kondisi ini tidak segera dibenahi, maka suatu saat, bisa jadi muncul class action dari rakyat untuk menggugat hak mereka memperoleh kedaulatan pangan. Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah 1. Reformasi agraria Pemerintah punya beberapa pilihan strategi untuk menjamin ketersediaan dan kecukupan pangan bagi penduduk Indonesia. Pertama, strategi ketahanan pangan (food security). Kedua, strategi swasembada pangan. Bila benchmark ke China, pemerintah China memilih strategi swasembada pangan untuk membuat jalan menuju kemakmuran rakyat China. Pemerintah China (di bawah Perdana Menteri Zhao Jiang) melakukan reformasi pembangunan ekonomi yang dimulai dari sektor pertaniannya. Salah satu kebijakan penting dalam reformasi pembangunan pertanian di China adalah membagi-bagikan lahan pertanian (reformasi agraria) kepada para petani agar terjamin adanya kapasitas usaha tani yang ekonomis10. Hasil dari reformasi di China adalah kemajuan ekonomi yang sangat menakjubkan. China berhasil mencapai swasembada beberapa produk pangannya bahkan bisa memberi makan penduduk di banyak negara, termasuk Indonesia. Fakta yang ada saat ini menunjukan bahwa areal sawah di Indonesia tidak terlalu luas dibandingkan dengan yang dimiliki negara lain, yaitu hanya seluas 8 juta hektar, kalah INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:44 PM dibandingkan dengan Thailand yang memiliki areal sawah sekitar 9 juta hektar. Rata-rata petani di Indonesia hanya menguasai sekitar 0,3 ha sawah per kepala, kalah dari Thailand yang menguasai sekitar 3 ha sawah per kepala. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, luas lahan sawah yang dipunyai Indonesia seluas yang dimiliki Vietnam, padahal penduduk Vietnam hanya sebanyak 78 juta orang atau 32,5% dari penduduk Indonesia. Begitu juga dengan Thailand, negara gajah ini memiliki lahan sawah sekitar 9 juta hektar, akan tetapi penduduknya hanya sebanyak 80 juta orang atau 33% dari penduduk Indonesia. Australia lebih fenomenal lagi karena memiliki lahan seluas 50 juta hektare padahal penduduknya hanya sebanyak 19 juta atau sekitar 8% penduduk Indonesia (lihat Grafik1). Jadi, potensi sawah di Indonesia belum dapat dioptimalkan dengan baik. Bila tidak ada upaya pencetakan sawah baru, maka Indonesia bisa mengalami defisit beras sepanjang tahun mengingat jumlah penduduknya yang sangat banyak dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila menggunakan Vietnam sebagai benchmark (8 juta hektar per 78 juta penduduk), Untuk menyamakan Indonesia dengan kondisi Vietnam hari ini, diperlukan waktu sekitar 22 tahun ke depan. maka kebutuhan areal sawah minimal di Indonesia (agar menyamai kondisi di Vietnam) harus sebanyak 30 juta hektar. Artinya, pemerintah harus menambah areal sawah baru seluas 22 juta hektar. Bila pemerintah berkomitmen mencetak sawah baru seluas 1 juta hektere per tahun, maka untuk menyamakan Indonesia dengan kondisi Vietnam hari ini, diperlukan waktu sekitar 22 tahun ke depan. Bila pemerintah ingin menyamai Vietnam, perlu stimulus fiskal yang lebih besar lagi. Bila hari ini besarannya sekitar Rp40 triliun, maka diperlukan stimulus fiskal sekitar tiga kalinya atau sekitar Rp120 triliun (ilustrasi lihat Grafik-1). Jika hal itu tidak dilakukan pemerintah, maka pemerintah akan terus melakukan impor beras. Grafik-1 : Luas Areal Sawah di Indonesia, Vietnam, Thailand dan Australia 2. Membuka jalan agri-culture atau state subsidies bagi petani Di negara-negara maju seperti USA, EU, Jepang, Australia, New Zealand dan Kanada, pemerintah memproteksi perdagangannya dan memberikan subsidi yang cukup besar untuk produksi pangan mereka. Jepang misalnya, menetapkan tarif impor beras hingga mencapai 400 persen, sementara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) mensubsidi pertaniannya melalui research and development. Begitu juga Asutralia masih mensubsidi gandum hingga 40 persen11. Negaranegara EU mensubsidi petani gulanya sebesar 50 euro untuk setiap ton panen tanaman penghasil gula. EU juga mensubsidi dana sebesar US$913 per kepala sapi kepada peternak sapi mereka. Begitu juga dengan AS, di mana Presiden G.W.Bush pada Mei 2002 menandatangani “Farm of Bill” yang memuat subsidi sebesar US$180 miliar, atau setara dengan Rp162 triliun dengan asumsi kurs Rp9.000/US$, jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk subsidi pupuk petani Indonesia tahun 2003 yang hanya sebesar Rp1,3 triliun (Sabiq Carebesth dan Saiful Bahari, 201112). Untuk meciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus memproteksi petaninya. Mendorong petani untuk bertinju dengan korporasi pangan sama halnya dengan mematikan petani sendiri. Kalau kita ingin berpihak kepada rakyat, maka tidak ada kata lain kecuali berpihak kepada petani. Untuk itu, jalan yang harus dipilih adalah jalan agri-culture atau state subsidies. e d u k a s i f i s k a l 3. Utamakan strategi swasembada pangan Misi ketahanan pangan (food security) dalam kebijakan pangan dunia yang dijalankan PBB tahun 1971 adalah untuk membebaskan penduduk dari krisis produksi atau supply makanan INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 49 DESEMBER 2013 49 1/27/2014 9:01:44 PM e d u k a s i f i s k a l pokok. Konsep ketahanan pangan (food security) ini tidak mensyaratkan pemerintah di suatu Negara untuk mewujudkan swasembada pangan. Akibatnya, implementasi konsep ketahanan pangan membuka jalan bagi impor pangan. Impor pangan menjadi kebijakan yang rasional bila suatu negara yang memang tidak mampu memproduksi pangan sendiri, baik karena lemahnya daya dukung SDA maupun karena bencana alam yang dalam waktu singkat sulit menghasilkan pangan sesuai kebutuhan. Namun, bila sebuah negara memiliki kekuatan dalam SDA dan tidak ada bencana yang signifikan, maka melebarkan jalan bagi impor pangan merupakan kebijakan yang tidak kredibel. Negara-negara seperti AS, Kanada, dan Australia, adalah contoh negara yang memiliki ketahanan pangan yang kuat karena mencapai swasembada pangan. Selain itu, ada juga Negara yang memiliki ketahanan pangan tetapi tidak dicapai melalui strategi swasembada pangan sebagaimana terjadi di Jepang, Norwegia, dan Singapura13. Tetapi hal ini disebabkan karena negara-negara ini memang tidak memiliki daya dukung SDA karena keterbatasan lahan pertanian. Indonesia mungkin ada pada kondisi di mana ketahanan pangan lemah akibat belum swasembada pangan. Karena itu, pemerintah membolehkan impor beberapa komoditas pangan untuk memperkuat ketahanan pangan. Sampai kapan kebijakan ini bertahan, tergantung pada sejauhmana pemerintah bisa meningkatkan level swasembada pangan untuk sejumlah komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai, hortikultura, daging sapi, dan gula. Penutup Baik dari industry analysis maupun environment analysis, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadikan sektor pertanian sebagai 50 ISI_DES-2013_5a.indd 50 Negara-negara seperti AS, Kanada, dan Australia, adalah contoh negara yang memiliki ketahanan pangan yang kuat karena mencapai swasembada pangan. penyangga utama perekonomian nasional dan penentu kesejehteraan masyarakat. Diakui peran korporasi pangan, terutama asing, memang dominan, akan tetapi hal itu bisa diatasi dengan meningkatkan kualitas negosiasi pemerintah dalam pertemuan-pertemuan internasional dan keberanian pemerintah dalam memproteksi perdagangan serta memberikan subsidi yang memadai kepada petani dan para peneliti untuk melakukan research and development. Harus ada komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran, di mana persentase anggaran R&D dan subsidi pangan terhadap PDB harus lebih besar dari yang terjadi saat ini. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan swasembada pangan, banyak kendala yang sebenarnya merupakan kedala internal yang mestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah. Lahan pertanian yang terbatas adalah masalah internal kita, mestinya sangat mudah diatasi dengan keberanian melakukan reformasi agraria secara bertahap. Meningkatkan peran BUMN atau Swasta Nasional untuk mengambil pangsa pasar di bidang benih hibrida, juga merupakan masalah internal. Bila pemerintah diam, maka pangsa pasar korporasi domestik semakin me- ngecil karena direbut oleh korporasi asing. Oleh karena Pemerintah harus memberikan BUMN atau Swasta Nasional peran yang lebih besar. Persoalan Bulog juga merupakan persoalan internal, bagaimana pemerintah memiliki desain besar untuk benahi peran Bulog. Urusan Bulog mestinya dikelola di domain fiscal tools, bukan di domain political tools. Bila pengelolaannya di domain yang salah, maka Bulog akan tetap seperti saat ini, tidak mampu menjadi buffer stock pangan yang kredibel. Solusi yang tepat buat Bulog adalah kembalikan statusnya dari BUMN menjadi bagian dari Dewan Ketahahan Pangan Nasional dengan kewenangan yang lebih besar. Undang-undang Pangan yang baru telah memberi ruang untuk revitalisasi Bulog, tinggal keberanian pemerintah untuk mengeksekusinya. Swasembada pangan juga urusan internal kita. Sebaliknya soal ketahanan pangan, itu lebih merupakan kombinasi antara urusan internal dan urusan internasional karena ada campur tangan negara besar disitu. Ada pihak-pihak di dalam negeri juga melakukan peran free rider untuk mengambil rente perdagangan. Kalau pemerintah konsisten memperkuat ketahanan pangan melalui jalan swasembada pangan, maka segala sumber daya, termasuk fiskal, harus diarahkan ke upaya peningkatan level swasembada pangan. Agri-business jangan mendapat tempat di barisan depan kegiatan pertanian. Karpet merah harus ditempati oleh agriculture atau state-subsidies. Agrebusiness akan bergerak mengikuti perkembangan agri-culture. Jadi, strategi agri-culturelah yang me-lead agri-business, tidak sebaliknya. Berapa besar atau apa saja komoditas pangan yang akan kita impor, juga merupakan urusan internal kita. Keputusan berada di tangan pemerintah kita. Tinggal bagaimana INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:44 PM membuat kebijakan yang tepat dan menjalankannya secara konsisten. Harus ada kebijakan politik dalam urusan kedelai. Pemerintah perlu menetapkan batasan maksimum berapa kebutuhan kedelai dapat dipasok dari produksi dalam negeri. Selisih itu merupakan ruang untuk impor. Pemerintah bisa membuat kebijakan yang jelas, misalnya SK-50 atau Swasembada Kedelai 50 persen. Artinya, 50 persen kebutuhan kedelai nasional bisa dipasok dari dalam negeri, sedangkan 50 persen sisanya boleh diimpor. Kebijakan ini harus di- sosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan multi tafsir yang tidak perlu. Dalam hal beras, misalnya SB90 atau Swasembada Beras 90 persen, yang juga berarti pemerintah boleh mengimpor 10 persen. Untuk itu, pemerintah harus memperkuat R&D, menjamin ketersediaan lahan bagi petani, dan menyediaakan anggaran yang cukup untuk subsidi pangan. Kalau saja di era pemerintahan SBY, program swasembada pangan (beras, kedelai, daging sapi, dan hortikulutra) belum bisa dicapai, maka apa yang sudah dijalankan Presiden SBY beserta jajaran kabinetnya, hendaknya dijadikan fondasi bagi pemerintahan baru untuk melahirkan kebijakan yang lebih baik lagi. Tentu rakyat menanti Presiden baru dengan gagasan terobosannya untuk membawa sektor pertanian dan petani terbang meninggalkan landasan kemiskinan dan ketidaksejahteraan. Beberapa calon Presiden tahun 2014 sudah mulai menawarkan gagasan besarnya ke publik pemilih, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana komitmen itu bisa direalisasikan menjadi kenyataan. Kita tunggu buktinya. n Catatan 1 2 3 4 5 6 Hak rakyat atas pangan diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan bebas, baik secara langsung maupun dengan cara membeli (Taufiqul Mujib, 2011:38). Lihat artikelnya berjudul “Hak Atas Pangan Sebagai Hak Konstutusional”. 2011. Artikel ini merupakan bagian dari buku “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta. Taufiqul Mujib adalah Direktur Program pada Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), dan juga National Rapporteur on the Right to Food. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan -yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 18 tahun 2012 Krisis roti di mesir berakhir dengan jatuhnya Presiden Mesir, Hosni Mubarak. Tingginya harga pangan di Tunisia berakhir dengan jatuhnya Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Sementara krisis pangan di Aljazair membuat rakyat Aljazair turun ke jalanjalan meminta Presiden Abdelaziz Bouteflika turun dari jabatannya. http://finance.detik.com/read/2013/09/02/151830/2 347057/4/dalam-10-tahun-jumlah-petani-ri-berkurang-16-jadi-2613-juta-keluarga, diakses tanggal 6 September 2013. Didik J Rachbini, Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3I) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, www.republika. co.id, 03 September 2013. Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Per- INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 51 DESEMBER 2013 7 8 9 10 11 12 13 tanian Gatot Irianto, http://wartaekonomi.co.id/ berita15795/imf-indonesia-mesti-tingkatkan-produktivitas-sektor-pertanian.html, diakses tanggal 2 September 2013. Mentan: jumlah penyuluh pertanian perlu ditingkatkan (http://www.antaranews.com/berita/376208/ mentan-jumlah-penyuluh-pertanian-perlu-ditingkatkan), diakses tanggal 6 September 2013. Tony Kristanti, Dewan Jagung Indonesia, ipasar, 7 November 2012 Lihat artikelnya berjudul “Runtuhnya Kedaulatan Pangan, Lunturnya Budaya Tani, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa”. Artikel tersebut merupakan bab Bab 1 dari buku berjudul “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis, Dwi Astuti, dan Sabic Caresbeth. 2011. Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman 1-2. Gregori C.Chow. 2010. “Interpreting China’s Economy”. World Scientific Publishing Co.pte.Ltd. Singapore. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. PT Serankai Tiga Pustaka Mandiri-Solo. 2011. Halaman 195-197. Ibid halaman 28 Lihat artikel mereka berjudul “Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrial Pangan”. Artikel tersebut merupakan bagian dari buku “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman 181. Lihat Stevens et al. (2000) dalam Lassa (2006) dan Borton and Shoham (1991) e d u k a s i f i s k a l 51 1/27/2014 9:01:44 PM Jaminan Sosial Meningkatkan Kemandirian Ekonomi Oleh: Praptono Djunedi Peneliti Muda pada Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] ”Jaminan sosial adalah solusi bagi bangsa Indonesia agar mampu berdikari” (Emir Soendoro, 2009)1 Pendahuluan O P I N I Salah satu hasil reformasi tahun 1998 adalah sebuah amanat agar pemerintah menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang berlaku bagi setiap warga negara. Beberapa produk hukum yang menjadi dasar pelaksanaannya adalah Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya tahun 2002 (Pasal 28 dan Pasal 34), Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/2001 yang menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk SJSN serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Implementasi SJSN direncanakan mulai 1 Januari 2014. Dengan adanya SJSN ini, setiap warga negara memperoleh suatu perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara RI untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak.2 Jaminan Sosial Nasional (JSN)3 ini merupakan koreksi dari program jaminan sosial sebelumnya (seperti Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang memberikan manfaat kepada penggunanya. Kurang berhasilnya program jaminan sosial sebelumnya disebabkan oleh kurangnya jumlah peserta, kurang memadainya jumlah nilai manfaat program, serta tata kelola manajemen program yang kurang baik. Terdapat empat perbedaan mendasar antara 52 ISI_DES-2013_5a.indd 52 sistem jaminan sosial lama dan sistem yang baru yakni menyangkut kelembagaan, kepesertaan, iuran, dan manfaat. Dalam SJSN berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, dana JSN akan dikelola oleh institusi yang bernama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), kemudian peserta JSN mencakup seluruh penduduk, dan manfaat yang diberikan berupa manfaat medis dan nonmedis diselenggarakan agar kualitas kesehatan masyarakat lebih meningkat. Selanjutnya, paradigma yang dibangun dalam rangka implementasi JSN ini meliputi tiga pilar,4 yakni pertama, program bantuan sosial (sumber dana dari APBN dan dari masyarakat). Program ini untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka (misalnya pada saat terjadi bencana alam, konflik sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan). Pilar kedua, program asuransi sosial yang bersifat wajib (sumber dana dari iuran dengan jumlah tertentu yang ditarik dari perusahaan dan pekerja sesuai tingkat pendapatan/gaji dan standar hidup minimum). Sementara pilar ketiga yaitu asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang besar iurannya sesuai tingkat risiko dari setiap peserta. Asas untuk JSN ini meliputi (1) asas gotong royong, (2) asas kepesertaan wajib, (3) asas dana amanah (trust fund), (4) asas nirlaba, (5) asas keterbukaan, pengurangan risiko, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas, serta (6) asas portabilitas. Dengan asas-asas tersebut, seluruh penduduk Indonesia secara bertahap nantinya wajib berpartisipasi dalam program JSN. Dalam skema program ini, peserta yang lebih kaya akan membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang mempunyai risiko kecil akan membantu peserta yang mempunyai risiko lebih besar, dan peserta yang sehat akan membantu yang sakit. Selanjutnya, dana yang terkumpul, bersifat nirlaba, akan dikelola dengan dasar keterbukaan, pengurangan risiko, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas oleh BPJS (disebut “dana amanah”) yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh peserta. Keanggotaan peserta akan terus berlangsung sehingga terus menerima manfaat program selama memenuhi kriteria tertulis dalam aturan yang berlaku. Modal untuk Kemandirian Ekonomi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan rakyat Indonesia khususnya untuk fakir miskin dan tidak mampu. Dengan meningkatnya kualitas kesehatan masyarakat diharapkan tingkat produktivitas masyarakat juga dapat meningkat. Banyak kajian ilmiah menunjukkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat memiliki korelasi yang poINFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:44 PM sitif dengan produktivitas negaranya.5 Dengan demikian, target Pemerintah untuk terus meningkatkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia akan lebih mudah dicapai. Para pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah, memiliki misi yang sama untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan rakyat Indonesia, termasuk untuk kelompok fakir miskin dan tidak mampu. Terkait dengan hal itu, Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk mengalokasikan Rp19,9 triliun dana belanja untuk pembayaran iuran kelompok masyarakat kurang mampu (disebut Penerima Bantuan Iuran/PBI)6 dalam APBN Tahun 2014. Mobilisasi dana JSN dalam jangka panjang dapat dipergunakan sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian ekonomi.7 Namun, selama ini, yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan memasang target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Salah satu andalan untuk mencapai tingginya pertumbuhan ekonomi adalah mengundang investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Apalagi, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara tujuan investasi favorit, setelah China, Amerika Serikat, dan India.8 Namun, pada kenyataannya, dari ribuan triliun rupiah yang sudah diterbitkan izin investasinya pada tahun 2012, yang terealisasi hanya sekitar 30%. Beberapa kendala yang menghambat realisasi investasi tersebut adalah minimnya infrastruktur, lambatnya perizinan di daerah, lemahnya koordinasi lintas sektor dan permasalahan lahan.9 Parahnya, kondisi investasi pada tahun 2013 justru menunjukkan tren perlambatan. Hal ini disebabkan masih berlangsungnya ketidakjelasan ekonomi global.10 Di lain pihak, pendanaan investasi dalam negeri masih tergolong sedikit. Tidaklah mengejutkan apabila sistem INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 53 DESEMBER 2013 keuangan Indonesia dinilai masih dangkal. Kedangkalan sistem keuangan nasional mengindikasikan minimnya ketersediaan dana untuk investasi. Metode untuk mengukur kedalaman sistem keuangan, salah satunya, melalui perbandingan antara jumlah kredit yang tersalurkan dengan besaran PDB. Di sisi lain, angka ini juga dapat dipakai untuk mengetahui seberapa besar peranan sistem keuangan bekerja untuk memobilisasi tabungan. Menurut data Bank Dunia (2010), rasio kredit terhadap PDB di Indonesia hanya 28%. Sedangkan Malaysia mencapai lebih dari 132% dan Filipina sekitar 49%. Pada tahun 2012, rasio Indonesia meningkat menjadi 32%, sedangkan Malaysia masih di atas 100% (tepatnya 110%). Dangkalnya sistem keuangan di Indonesia disebabkan masih sedikitnya perusahaan dalam negeri yang listed di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dari 479 perusahaan yang terdaftar di BEI, sekitar 70% diantaranya merupakan perusahaan asing.11 Dengan kondisi sebagaimana yang dipaparkan di atas, tidaklah berlebihan kalau pengumpulan dana JSN menjadi harapan bagi tercapainya kemandirian ekonomi. Hal ini sudah banyak dilakukan di sejumlah negara. Besarnya dana jaminan sosial yang terkumpul dalam Employee Provident Funds (EPF) di Malaysia, misalnya, difungsikan oleh Perdana Menteri Mahatir Mohammad untuk menangkal merosotnya ringgit terhadap dolar Amerika Serikat dan tindakan ini terbukti efektif. Selanjutnya, di Jepang, penambahan dana jaminan sosial bisa melebihi US$5.000 per orang per tahun. Dana ini kalau disimpan di bank domestik memperoleh tingkat bunga kurang dari satu persen. Namun, jika dipinjamkan ke negara lain (semisal Indonesia) sebagai pinjaman lunak, tentu tingkat bunganya bisa lebih dari satu persen dan selisihnya dibukukan sebagai pendapatan dari dana jamin- an sosial. China diketahui memiliki cadangan devisa yang besar, sekitar US$3 triliun. Besarnya dana cadangan devisa tersebut sebagian besarnya didukung dari jaminan sosial.12 Di sisi lain, kisah gagal akibat kurang hati-hati dalam mengelola jaminan sosial melanda beberapa negara Eropa. Namun demikian, Jerman dengan konsep kehati-hatiannya, mengambil kebijakan perpanjangan usia pensiun pegawai negerinya hingga usia 67 tahun. Dengan panjangnya usia pensiun tersebut, masa mengiur jaminan sosial semakin panjang.13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 sudah mengantisipasi segala hal yang memungkinkan pelaksanaan jaminan sosial dapat memicu krisis ekonomi, sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 mencegah terjadinya bias selection (atau adverse selection) dengan mewajibkan seluruh penduduk menjadi peserta SJSN. Kepesertaan sukarela serta introduksi atas asuransi komersial seperti praktik di Amerika Serikat sangat rawan terhadap apa yang disebut bias selection (atau adverse selection), yaitu orang yang berisiko tinggi cenderung mengikuti program jaminan sosial sehingga pembayaran manfaat bagi peserta yang memang berisiko tinggi dapat mengancam keberlanjutan program JSN. Selain itu, perlu dicegah terjadinya pelayanan jaminan kesehatan yang tidak perlu atau pemakaian yang berlebihan.14 O P I N I Penutup Penulis optimistis bahwa implementasi SJSN ini, apabila dilakukan secara komitmen penuh dengan kesepakatan para pemangku kepentingan dan konsisten, dapat menjadi salah satu solusi bagi bangsa ini untuk mencapai kemandirian ekonomi. Namun, karena waktu pelaksanaan 1 Januari 2014 itu baru tahap awal, tentu ada 53 1/27/2014 9:01:44 PM O P I N I hal-hal yang sudah diantisipasi dan belum diantisipasi. Dari sisi pendanaan misalnya, dukungan pemerintah dalam APBN nantinya diharapkan dapat ditingkatkan karena dana yang dialokasikan tidak sekedar menanggung pembayaran iuran bagi kelompok fakir miskin dan tidak mampu (dalam pos PBI), tetapi Pemerintah sebagai pemberi kerja juga harus menanggung sebagian dana yang diiur oleh PNS dan pensiunan PNS. Belum lagi, dana pengadaan untuk menambah fasilitas kesehatan yang dibutuhkan. Salah satu penyebab rendahnya utilisasi Jamkesmas adalah kesulitan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan yang dimaksud berupa bangunan (seperti rumah sakit atau puskesmas), tenaga medis, alat kesehatan, atau obat-obatan. Juga, perlunya integrasi sistem Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan JKN dan segala turunannya. Dari sisi teknis, ketidakmerataan penyebaran tenaga medis dan fasilitas kesehatan antardaerah di Indonesia juga perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan yang konkrit. seperti adanya kompensasi berupa uang tunai, mengirim pasien ke klinik BPJS yang fasilitas kesehatannya yang kelengkapannya sudah memenuhi standar apabila di suatu daerah ternyata tidak tersedia tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang memadai. Dari sisi lain-lain, pemerintah perlu memastikan database penduduk miskin sangat valid agar alokasi dana dalam APBN bisa lebih terukur, kemudian jumlah yang dilayani dapat diantsipasi di tingkat lapangan. Bagaimana pun, berbagai kendala yang sudah diketahui di lapangan maupun yang belum diketahui harus segera dicarikan solusinya, agar implementasi SJSN ini berjalan sukses dan pada akhirnya sistem ini menjadi solusi bagi bangsa ini untuk lebih mandiri ekonominya, seperti yang dicita-citakan di awal tulisan ini. n 54 ISI_DES-2013_5a.indd 54 Catatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Soendoro, Emir, Penulis buku ”Jaminan Sosial Solusi Bangsa Berdikari”, Dinov ProGRESS. Indonesia, 2009, dalam http://www.jamsostek.co.id/ content/i.php?mid=75&id=76 Sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952. Sebagian pihak menyatakan bahwa sistem jaminan sosial harus dibedakan dengan asuransi sosial dan filosofi jaminan sosial tidak boleh dicampur aduk dengan prinsip-prinsip asuransi. Jaminan sosial seharusnya tidak ada iuran dan skema penyubsidian,kalaupun ada Negara yang harus menanggungnya. Lihat “Jaminan Sosial Beda Dengan Asuransi Sosial”, 14 Juli 2011, dalam http://www.mediaindonesia.com/read/ 2011/07/13/241667/293/14 /Jaminan-Sosial-Beda-dengan-Asuransi-Sosial. Juga bisa dibaca di http://jamsostek.blogspot.com/ 2011/07/jaminansosial-beda-dengan-asuransi.html. Tiga pilar ini sesuai dengan rekomendasi International Labor Organization (ILO). Salah satunya adalah hasil kajian Lestari dan Erlin. Hasil uji korelasi Rank Spearman antara faktor-faktor keselamatan dan kesehatan kerja dengan produktivitas kerja karyawan menunjukkan bahwa semua faktor K3 memiliki korelasi positif dan sangat nyata dengan produktivitas kerja karyawan dimana rs = 0,743 dengan tingkat kepercayaan 99%, db = 73, r tabel = 0,425. Lihat Lestari, T. dan Erlin Trisyulianti, “Hubungan Keselamatan dan Kesehatan (K3) Dengan Produktivitas Kerja Karyawan (Studi Kasus: Bagian Pengolahan PTPN VIII Gunung Mas Bogor)” dalam repository.ipb.ac.id/bitstream/.../1-JURNAL%20bu%20erlin-K3.doc?...2. Perlu diperhatikan bahwa program JKN tidak diselenggarakan dengan skema belanja bantuan sosial melainkan dengan skema asuransi sosial. Perbedaan yang paling mendasar dari kedua skema tersebut adalah bahwa dalam skema asuransi sosial, pengelolaan dan pengendalian keuangan sepenuhnya ditangani oleh badan penyelenggara, dalam hal ini BPJS Kesehatan. Konsekuensinya adalah segala kelebihan dana iuran PBI, apabila ada, masuk dalam pengelolaan keuangan BPJS tersebut. Setidaknya ada lima hal positif atas penyelenggaraan JSN di Indonesia, yaitu 1) membangun ideology bangsa dalam bentuk gotong royong, 2) membangun stabilitas politik bangsa dengan merealisasikan negara kesejahteraan, 3) membangun ekonomi bangsa terkait adanya redistribusi pendapatan melalui mekanisme kepesertaan wajib, 4) mebangun sosial budaya bangsa dengan membudayakan karakter-karakter positif atas penyelenggaraan JSN, serta 5) membangun pertahanan keamanan bangsa dimana penyelenggaraan JSN secara nasional dapat menjadi perekat berdirinya NKRI. Lihat Soendoro, 2009. “Daya Tarik Investasi RI Tetap Tinggi”, 20 Mei 2013, dalam http://www. investor.co.id/home/daya-tarik-investasi-ri-tetap-tinggi/61170. “Izin Investasi Rp2.000 Triliun, Terealisasi Hanya 30%”, 12 April 2012, dalam www.detikfinance.com. “Pertumbuhan Investasi Melambat”, 24 Oktober 2013, dalam http:// www.bakrie-brothers.com/mediarelation/ detail/3360/pertumbuhaninvestasi-melambat. Aviliani,”Prospek Bisnis Di Tahun Naga Air Tahun Baru Cina”, dalam http://lestari.info/prospek-bisnis-di-tahun-naga-air-tahun-baru-cina. Baca juga “Rasio Kredit Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia Lemah”, 22 Agustus 2013, dalam http://lampost.co/berita/rasio-kreditterhadap-produk-domestik-bruto-indoensia-lemah; dan “Pasar Keuangan Indonesia Masih Dangkal”, 7 Desember 2013, dalam http:// www.marketcapitalweb.com/ 851/pasar-keuangan-indonesia-masihdangkal/. Sulastomo (Ketua Tim SJSN 2001-2004),” SJSN, Mesin Pembangunan”, Kompas 13 Desember 2013. Sulastomo, 2013 Sulastomo, 2013 INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:44 PM Peran Daerah dalam Penjaminan Kesehatan Masyarakat Oleh: Akhmad Yasin Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email: [email protected] Pendahuluan Tiada harta yang paling berharga selain tubuh yang sehat yang ditunjang dengan kondisi mental yang prima. Semakin kita sehat semakin bahagia dan berumur panjang, sedangkan kondisi sakit dapat merubah kehidupan menjadi lebih buruk ketika kita harus menghabiskan biaya untuk menyembuhkan penyakit kita dan bahkan bisa berujung kepada kematian. Namun, apakah kesehatan yang menjadi harta dan permata yang sangat berharga masih bisa tetap dipertahankan? Ketika kita sakit, apakah kita tidak memerlukan pengobatan untuk menyembuhkan penyakit kita? Berapa banyak orang yang berputus asa karena penyakitnya tidak kunjung sembuh, bahkan bunuh diri pun menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan masalah karena penyakitnya. Sehat itu memang mahal, banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan penyakit. Berbagai cara pengobatan akan dilakukan walaupun dengan biaya yang sangat mahal dan bahkan dengan cara yang terkadang dianggap tidak masuk akal, yang penting penyakitnya sembuh. Biaya akan menjadi masalah bagi warga miskin ketika mereka berobat di rumah sakit. Bahkan ada adagium bahwa orang miskin dilarang sakit. Adagium ini muncul sebagai reaksi INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 55 DESEMBER 2013 terhadap pelayanan kesehatan di negara kita yang diskriminatif dan tidak memuaskan. Pelayanan akan baik jika pasien adalah orang mampu dan dirawat di ruangan VIP atau VVIP atau minimal kelas satu di setiap rumah sakit, khususnya rumah sakit umum daerah. Namun, sebaliknya pelayanan terkesan buruk dan mempersulit jika pasien adalah warga miskin yang tidak mampu membayar biaya rumah sakit dan ditempatkan di ruang perawatan kelas tiga. Sungguh suatu kondisi yang sangat menyedihkan dan membutuhkan perhatian dan kerja keras dari pemerintah pusat dan daerah agar dapat memberikan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan yang paripurna kepada setiap warganya. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan dalam pelayanan kesehatan terutama yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan kedokteran, dan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket). Hal ini semestinya menjadi kewajiban pemerintah untuk memperbaiki dan mengondisikan pelayanan kesehatan yang baik bagi semua warganya, khususnya masyarakat tidak mampu. Sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajibannya terhadap pelayanan kesehatan, pemerintah harus dapat menyediakan dan memberikan perlindungan, manfaat dan akses pelayanan kesehatan yang layak bagi setiap warganya. Kewajiban pemerintah tersebut telah disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, selanjutnya dalam Pasal 34 dinyatakan: (1) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara, (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, dan (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Melalui tanggung jawab negara di bidang jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan, diharapkan dapat menyelesaikan berbagai macam masalah di bidang kesehatan. Secara umum permasalahan kesehatan di Indonesia berdasarkan indikator kesehatan masyarakat dan sasaran Millenium Development Goals (MDG) adalah masih tingginya angka kematian bayi, angka kematian ibu, tingkat O P I N I 55 1/27/2014 9:01:44 PM O P I N I mortalitas (angka kematian) dan morbiditas (angka kesakitan) penduduk serta kasus-kasus gizi buruk. Selain itu, permasalahan kesehatan juga bisa dilihat dari permasalahan transisi demografi, dimana masalah penyakit menular seperti malaria, TBC, HIV/AIDS dan demam berdarah belum teratasi, disisi lain telah banyak muncul masalah-masalah penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif, seperti hipertensi, obesitas, kardiovaskuler, dan kanker. Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu, kelompok maupun masyarakat, maka permasalahan kesehatan bisa dilihat determinan berupa faktor lingkungan (fisik, biologi, kimia, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya), perilaku, pelayanan kesehatan dan hereditas (genetik).1 Sebagai perwujudan dari bentuk tanggung jawab atau kewajiban negara terhadap pelayanan kesehatan kepada warganya, khususnya yang tidak mampu, pemerintah telah memberikan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) bagi seluruh masyarakat Indonesia dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) bagi warga masyarakat di daerah. Latar belakang lahirnya Jamkesda ini adalah karena banyak warga tidak mampu yang tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan dikarenakan biaya pengobatan dan perawatan yang sangat mahal dan tidak tercakup dalam Jamkesmas. Namun, yang menjadi permasalahannya adalah apakah semua warga tidak mampu tersebut sudah mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai melalui Jamkesda, apakah sudah ada dasar hukum pelaksanaan Jamkesda, dan dari mana pembayaran iuran, serta banyak permasalahan-permasalahan lain di seputar Jamkesda ini. Oleh karena itu, dibutuhkan peran dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah untuk dapat berpartisipasi me56 ISI_DES-2013_5a.indd 56 nyukseskan program jaminan kesehatan nasional ini agar tercapai tujuan pembangunan manusia seutuhnya, sejahtera secara fisik maupun batin. Komitmen Daerah Terhadap Jamkesda Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/ kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi salah satunya adalah penanganan bidang kesehatan. Berdasarkan norma hukum tersebut pemerintah kabupaten/kota mendapatkan pelimpahan kewenangan sebagai bagian dari desentralisasi fiskal untuk ikut serta menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu dengan pembiayaan dari anggaran pemerintah daerah setempat. Pelimpahan sebagian kewenangan kepada daerah ini membawa konsekuensi bagi daerah untuk turut serta menyelenggarakan program jaminan kesehatan masyarakat daerah dalam rangka menyukseskan tujuan dan sasaran nasional berdasarkan kewenangan dan urusan yang diberikan oleh pusat. Bagi Pemerintah Daerah, sektor kesehatan bermakna 2 hal, pertama, sebagai non profit oriented yaitu sektor yang menjadi sektor yang bersifat pelayanan dasar dan merupakan kewajiban Pemda dalam menyediakan pelayanan, kedua adalah sebagai revenue center atau pusat pendapatan. Regulasi daerah yang diperkenankan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga berimbas pada kewenangan menentukan aturan yang berkaitan dengan upaya yang terkadang saling bertolak belakang. Misalnya kebijakan kesehatan gratis di satu sisi dan mempertahankan/dan atau meningkatkan PAD.2 Jika pemerintah pusat mengalo- kasikan pembiayaan Jamkesmas dari dana APBN, pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan kesehatan gratis jika kemampuan keuangan daerah memungkinkan untuk melakukan hal itu. Hingga saat ini banyak pemerintah daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, memberikan jaminan kesehatan kepada warganya di luar kuota Jamkesmas, walaupun penyelenggaraannya di tiap-tiap daerah berbedabeda. Pemberlakuan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, euforia desentralisasi dan restrukturisasi kewenangan pusat-daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program jaminan kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 007/PUU-III/2005 telah memberi jalan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan program jaminan kesehatan sebagai subsistem jaminan sosial, yang kemudian populer disebut Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).3 Seiring dengan rencana pemerintah mengintegrasikan jaminan kesehatan dalam bentuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, daerah harus tetap berkomitmen menyelenggarakan program Jamkesda. Komitmen daerah ini merupakan wujud kepedulian mereka terhadap nasib masyarakat yang kurang mampu yang tidak ter-cover di dalam Jamkesmas, tetap dapat tercover jaminan kesehatan mereka di Jamkesda. Terkait dengan keputusan pemerintah untuk mengintegrasikan Jamkesda ke dalam BPJS per 1 Januari 2014, hendaknya diiringi dengan verifikasi ulang terhadap jumlah peserta Jamkesda sehingga tidak terjadi salah sasaran dalam pemberian Jamkesda dan melalui verifikasi ulang terhadap data kepesertaan program Jamkesda diharapkan semua warga tidak mamINFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:44 PM pu dapat ter-cover dalam program JKN ini. Pengalaman pelaksanaan jaminan kesehatan selama ini, baik Jamkesmas maupun asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin), selalu ada warga tak mampu yang tidak tercakup, baik akibat kelahiran, kematian, maupun perpindahan. Jamkesda dapat jadi penyangga jika ada warga tak mampu yang tidak tercakup dalam jaminan kesehatan nasional. Sebanyak 76,4 juta orang miskin yang sebelumnya tercakup dalam jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) akan diintegrasikan dalam JKN mulai 1 Januari 2014. Adapun 32 juta orang yang dijamin Jamkesda akan diintegrasikan secara bertahap hingga 2019. Ada 107 kabupaten/kota yang telah berkomitmen untuk meleburkan Jamkesda ke JKN. Ada pun provinsi yang telah bergabung adalah Aceh dan yang telah memberikan komitmen antara lain Kalimantan Tengah dan DKI Jakarta.4 Jika sudah disatukan, masyarakat peserta BPJS kesehatan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia. Sejalan dengan pengintegrasian ini, dalam program BPJS, pemerintah perlu mendorong peningkatan besaran iuran peserta Jamkesda. Peningkatan besaran iuran yang setara antara Jamkesda dan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) ini dikarenakan adanya program pengalihan Jamkesda kepada BPJS kesehatan. Iuran Jamkesda harus disesuaikan dengan ketentuan BPJS, atau minimal sama dengan peserta PBI yaitu orang miskin dan tidak mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah melalui APBN. Iuran PBI disepakati Rp19.225 per orang per kepala untuk 86,4 juta jiwa.5 Risiko Fiskal Daerah dalam Pembiayaan Jamkesda Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa perubahan pada berbagai pengelolaan pelayanan INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 57 DESEMBER 2013 publik oleh pemerintah daerah, diantaranya pelayanan di bidang kesehatan. Jamkesda merupakan wujud tanggung jawab pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan dan pembiayaan bagi warganya untuk mendapatkan layanan kesehatan. Peserta Jamkesda akan mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Pelayanan kesehatan bagi warga peserta Jamkesda hanya berlaku di mana dia berdomisili, jadi Jamkesda hanya berlaku secara lokal di wilayah kabupaten/kota dan provinsi penyelenggara Jamkesda. Jika Jamkesmas sumber pembiayaannya berasal dari dana APBN, maka Jamkesda sumber pembiayaannya berasal dari APBD provinsi dan kabupaten/kota. Oleh karena sumber pembiayaan bersumber dari APBD provinsi dan kabupaten/kota, tentunya tidak semua provinsi dan kabupaten/ kota tersebut mempunyai kemampuan yang sama dalam menyelenggarakan program Jamkesda ini. Kemampuan membiayai Jamkesda ini tergantung dari kemampuan keuangan daerah masing-masing daerah tersebut. Semakin besar dana APBD yang dialokasikan dan cukup untuk membiayai program Jamkesda ini, maka semakin tidak ada batasan dalam pemberian pelayanan kesehatan untuk warganya. Semua jenis penyakit dan pengobatannya bisa ter-cover dari dana yang dialokasikan di dalam APBD. Namun, sebaliknya ada juga daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan daerah yang kurang dalam membiayai semua fasilitas pelayanan kesehatan ini sehingga pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta Jamkesda pun dibatasi untuk berbagai jenis penyakit dan pengobatannya, misal dalam satu tahun anggaran hanya boleh menggunakan 25 hari untuk perawatan atau hanya sepuluh kali cuci darah. Ada beberapa daerah yang mengandalkan penerimaan asli daerah (PAD) berasal dari sektor kesehatan. Di daerah yang masih menerapkan biaya dalam mengakses layanan kesehatan, kontribusi penduduk terhadap peningkatan pendapatan daerah memiliki kecenderungan bertambah dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih sangat bergantung pada biaya layanan kesehatan dari rumah sakit umum dan puskesmas untuk mengatasi beban meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Daerahdaerah yang tidak lagi menerapkan retribusi biaya di fasilitas kesehatan biasanya ditandai oleh kapasitas fiskal mereka yang relatif tinggi, yang diperoleh melalui Dana Bagi Hasil untuk kabupaten yang kaya sumber daya, atau kontribusi yang relatif tinggi dari pendapatan asli daerah.6 Oleh karena pembiayaan program Jamkesda ini sebagian besar dibiayai dari dana APBD, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana keberlangsungan fiskal daerah tetap terjaga. Ketahanan APBD harus diperkuat melalui kapasitas fiskal yang besar sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran bahwa program Jamkesda ini terhenti karena alasan finansial, apalagi jika tren alokasi program ini terus meningkat, tentu akan menambah alokasi anggaran lagi untuk menutup penambahan alokasi tersebut. O P I N I Penutup Program Jamkesda merupakan bentuk komitmen daerah dalam rangka ikut menyelenggarakan program pelayanan kesehatan gratis bagi warganya. Semangat daerah ini didasari oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota salah 57 1/27/2014 9:01:45 PM O P I N I satunya meliputi penanganan bidang kesehatan. Pengembangan program Jamkesda oleh pemerintah daerah merupakan pelengkap dari jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jamkesda dapat disebut sebagai program tambahan bagi Jamkesmas karena Jamkesda ditujukan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan di bidang kesehatan bagi warga yang tidak mampu yang tidak tercakup dalam Jamkesmas. Keberlangsungan program Jamkesda ini sangat tergantung dari kapasitas fiskal masing-masing daerah. Ketahanan APBD untuk membiayai program Jamkesda ini sangat mempengaruhi keberlangsungan pembiayaan Jamkesda. Di samping kemampuan APBD masing-masing daerah, keberlangsungan program ini juga tergantung dari political will kepala daerah saat ini dan yang akan datang. Jangan sampai kepala daerah penggantinya tidak bisa melanjutkan program ini karena berbagai alasan, khususnya ketidakmampuan anggaran daerah untuk membiayainya. Komitmen kepala daerah dalam menjaga keberlangsungan program ini akan menjadi lebih baik jika ada landasan hukum dan kepastian hukum yang menjamin tetap terlaksananya program ini sampai kapanpun, tentunya landasan hukum tersebut dapat ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah yang diikuti oleh Peraturan Bupati/Walikota dan Gubernur. Melalui peraturan daerah ini diharapkan dapat mengikat semua pihak baik dari kalangan legislatif, eksekutif dan masyarakat untuk mematuhinya. Apabila ada pemerintah daerah yang belum siap untuk menggabungkan Jamkesda dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena belum mampu membayar iuran JKN, menurut pendapat kami pemerintah pusat perlu memberikan bantuan iuran bagi 58 ISI_DES-2013_5a.indd 58 pemda yang belum mampu tersebut agar mereka mampu membayar iuran bagi warga mereka yang tidak mampu. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan program ini yang masih terdapat kekurangan sebagai bahan pembelajaran dalam pelaksanaan program JKN ini. Kekurangan atau kendala itu bisa berupa sistem pelayanan berjenjang, kurangnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan primer, tidak akuratnya database kepesertaan, data masyarakat miskin tidak dimutakhirkan dengan baik, dan perbedaan data masyarakat miskin antarinstansi. Kendala-kendala tersebut dapat menimbulkan risiko berupa tidak terlayaninya masyarakat miskin dalam menikmati pelayanan kesehatan gratis karena tidak tercakup dalam Jamkesmas dan Jamkesda. Hasil pemeriksaan BPK terkait pelayanan kesehatan masyarakat pada beberapa rumah sakit milik pe- merintah juga menemukan adanya ketidakefisienan dalam hal perbekalan farmasi dan standar pelayanan. Kelemahan lain selain pemenuhan kebutuhan perbekalan farmasi yang tidak optimal adalah tahap pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi yang belum memenuhi tujuan setiap tahapan. Selain itu, masih ada sarana prasarana instalasi farmasi, rawat inap, dan rawat jalan yang tidak sesuai standar sehingga pelayanan tidak optimal. Dalam hal ini pemerintah bertanggung jawab menyediakan pelayanan kesehatan masyarakat yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau sehingga rumah sakit umum harus berbenah untuk meningkatkan pelayanan dengan lebih efektif. Dengan demikian, sudah semestinya tidak ada masyarakat yang tidak dapat dilayani dengan baik oleh rumah sakit, terutama rumah sakit milik pemerintah.7 n Catatan 1 2 3 4 5 6 7 Selamat Riyadi, “Peran Ajaran dan Pemikiran Islam dalam Bidang Kesehatan,” Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam Thought (Pemikiran Islam) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Chitra Retna S dan Ermy Ardhyanti, “Inisiatif Daerah dalam Mengembangkan Program Jaminan Kesehatan: Pola dan Pembelajaran,” Working Paper. Adenantera Dwicaksono, Ari Nurman, dan Panji Yudha Prasetya, Jamkesmas dan Program Jaminan Kesehatan Daerah, Laporan Pengkajian di 8 Kabupaten/Kota dan 2 Provinsi, (Bandung: Perkumpulan Inisiatif, 2012). “Jaminan Kesehatan Nasional, Peleburan Jamkesda Perlu Waktu,” Kompas, 27 Desember 2013. Peserta Jamkesda Diintegrasi Jadi Peserta BPJS Kesehatan, http:// www.beritasatu.com/kesehatan/134461-peserta-Jamkesda-diintegrasijadi-peserta-bpjs-kesehatan.html, diunduh pada Kamis, 28 November 2013. Adenantera Dwicaksono, Ari Nurman, dan Panji Yudha Prasetya, op. cit. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/03/mkng79bpk-temukan-banyak-kelemahan-pengelolaan-Jamkesmas, diunduh pada Jumat, 27 Desember 2013. INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:45 PM Menjaga Keberlanjutan Jamkesda Oleh: Adrianus Dwi Siswanto Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan Email: [email protected] U ndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 13 dan 14 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa penanganan bidang kesehatan merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Artinya, pemerintah daerah (pemda) bertanggung jawab untuk menangani bidang kesehatan. Pelimpahan kewenangan ini merupakan tonggak sejarah bagi penyelenggaraan program kesehatan pada level lokal. Pergeseran kewenangan tersebut memberikan pengaruh di berbagai aspek. Berpijak dari regulasi tersebut, kemudian pemda mengembangkan inovasi di bidang layanan kesehatan. Inovasi yang muncul menciptakan dinamika di banyak daerah. Dinamika dalam tatanan kebijakan, institusi dan alokasi anggaran. Walaupun muncul berbagai persoalan, pemda terus mengembangkan program-program pelayanan kesehatan dengan kemampuan dan muatan lokal. Banyak manfaat dan persoalan yang muncul seiring dengan ber­ja­lan­ nya pelaksanaan program kesehatan ter­se­but. Meningkatnya kesadaran pu­ blik akan pentingnya kesehatan me­ ru­pa­kan bentuk dampak positif dari pro­gram. Na­mun demikian ada ekses tam­­bahan, per­hatian pemda di bidang ke­­se­­hatan telah menempatkan bidang ter­sebut sebagai isu “seksi” yang me­ nen­tu­kan elek­tabilitas politisi untuk me­re­but hati rakyat. Pemilihan kepala dae­rah (Pilkada) kerapkali “menjual” isu kesehat­an sebagai upaya meraup INFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 59 DESEMBER 2013 du­kungan massa. Program kesehatan gra­tis, misalnya, adalah salah satu cara me­rebut hati rakyat. Kesehatan telah ber­geser menjadi komoditas politik ter­uta­ma sejak pelaksanaan otonomi daerah. Payung hukum program kesehatan yang diselenggarakan pemda sangat kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut tidak saja mengatur soal otonomi namun secara detail menempatkan bidang kesehatan sebagai bidang yang diserahkan kepada daerah. Daerah memiliki kewenangan dan mendapat dukungan dana. Pemerintah pusat dan daerah kemudian bersinergi untuk menjalankan UU tersebut untuk mencapai kinerja pelayanan kesehatan yang lebih baik. Namun demikian, setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pelayanan kesehatan masih menghadapi persoalan serius, terutama soal sumber dana. Apalagi sektor kesehatan bukan merupakan revenue center namun lebih pada cost center. Sejak republik ini dibentuk, pemerintah daerah terus menerus kesulitan membiayai program pelayanan kesehatan bagi penduduknya. Pemda sudah memiliki penyakit laten, yaitu tidak tersedia cukup dana bagi penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ada ketergantungan pemda terhadap pusat di bidang kesehatan. Melepas Jerat Ketergantungan Pusat Ketergantungan tersebut nampaknya “dipelihara” oleh pemerintah pusat. Periode 6 tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah, transfer untuk urusan bidang kesehatan mengalami pertumbuhan yang besar (Tabel 1). Baru di 2010 belanja pemerintah pusat tumbuh namun dengan pertambahan yang semakin menurun. Dalam perkembangannya, secara nominal tetap meningkat namun tumbuh tidak sekuat di tahun-tahun awal otonomi daerah. Boleh jadi ini merupakan strategi pemerintah pusat untuk mendorong daerah supaya tidak lagi bersandar pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada level pemerintahan daerah, baik level pemerintahan provinsi maupun kota/kabupaten, terjadi perkembangan yang menarik. Belanja pemerintah daerah untuk urusan bidang kesehatan mengalami lonjakan yang signifikan. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir, telah terjadi peningkatan 400% sejak tahun 2006. Jika transfer pusat ke daerah mencapai puncak pertumbuhan di tahun 2006, dan terus mengalami penurunan, APBD bidang kesehatan menunjukkan tren yang terus naik hingga hari ini. Pagu tidak saja meningkat secara nominal namun juga mengalami pertumbuhan yang terus positif dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan keseriusan pemda di berbagai level terhadap persoalan-persoalan kesehatan masyarakat lokal. Kebijakan APBD telah memberikan sinyal kuat bahwa otonomi daerah mendorong meningkatnya derajat kepedulian pemda di bidang kesehatan. Implikasi dari besarnya belanja kesehatan Pemerintah Pusat dan Daerah O P I N I 59 1/27/2014 9:01:45 PM Tabel 1. Perkembangan Alokasi APBN Untuk Belanja DAK Bidang Kesehatan Tahun 2003 s.d. 2012 URAIAN 2003 DAK Kesehatan (miliar Rp) 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 375 456 620 2.407 3.381 3.817 4.017,37 2.830 3.001 3.006 DAK Nasional (miliar Rp) 2.269 2.839 401.400 11.570 17.094 21.202 24.820 21.133 25.233 26.116 Persentase 16,53 16,07 15,45 20,80 19,78 18,00 16,19 13,39 11,89 11,51 Sumber: Kementerian Kesehatan, 2013. O P I N I alami peningkatan cukup besar, yaitu menjadi 4,4 rumah sakit yang tersebar di 497 kota dan kabupaten seluruh Indonesia. Atau rata-rata terdapat 66 rumah sakit dengan berbagai kategori dan kelas di 33 provinsi di Indonesia. Hanya saja, sebaran rumah sakit tidak merata. Lokasi rumah sakit masih terkonsentrasi pada wilayah tertentu, terutama di 6 provinsi besar, yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Empat berlokasi di Jawa dan dua berkedudukan di luar Jawa. adalah antara lain adanya perbaikan indikator kesehatan. Misalnya untuk indikator kesehatan yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan persalinan. Menurut data, persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan seperti dokter, bidan dan tenaga medis, mengalami perbaikan (Tabel 3). Sejak otonomi daerah yang mengeluarkan berbagai paket kebijakan kesehatan lokal dan dikombinasikan dengan program nasional, ada peningkatan pelayanan persalinan oleh tenaga medis. Misalnya pada tahun 2012, persentase persalinan ditolong tenaga medis telah meningkat menjadi 83,36%. Angka persentase tersebut, meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan persentase yang terjadi di tahun 2001, awal otonomi daerah. Fakta ini bukti bahwa desentralisasi bidang kesehatan memperbaiki kinerja pelayanan kesehatan. Dari sisi sarana dan prasarana, juga telah terjadi perubahan yang cukup signifikan. Ditandai dengan semakin membaiknya beberapa rasio pelayanan kesehatan. Secara nasional, rasio sebaran rumah sakit telah meng- Akar Masalah Jika politik fiskal telah mendorong peningkatan belanja APBN dan APBN bidang kesehatan dan memberikan hasil perbaikan kinerja, pertanyaannya adalah apakah rumah tangga saat ini membayar lebih murah untuk pelayanan kesehatan tersebut. Karena salah satu akar masalah kesehatan terletak pada ketidakmampuan rumah tangga memperoleh pelayanan kesehatan. Baik karena faktor non finansial maupun disebabkan karena Tabel 2. Alokasi Anggaran Belanja Urusan Kesehatan dalam APBD Tahun Pagu (dalam miliar Rp) Jumlah Pemda Provinsi Kab/Kota Pertumbuhan (%) 380 - 2006 17.435,23 30 2007 23.326,36 32 431 33,79 2008 31.588,01 32 452 35,42 2009 36.569,973 33 477 15,77 2010 39.232,86 33 486 7,28 2011 46.867,85 32 492 19,46 2012 56.100,71 33 487 19,70 2013 68.901,28 33 491 22,82 Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, diolah. 60 ISI_DES-2013_5a.indd 60 pendapatan yang rendah. Jika hal ini menyangkut penghasilan yang tidak cukup untuk membayar pelayanan kesehatan tersebut, perlu ada kebijakan lokal yang mampu mengatasi ketidakmampuan tersebut. Dengan kata lain, kebijakan publik lokal melalui instrumen fiskal, harusnya mengatasi persoalan krusial tersebut. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kelompok berisiko rentan mengakses pelayanan kesehatan. Dengan adanya program pemerintah pusat dan daerah saat ini, apakah belanja kesehatan rumah tangga menjadi berkurang ataukah sebaliknya. Idealnya meningkatnya belanja publik untuk urusan kesehatan akan mendorong turunnya biaya yang harus dikeluarkan rumah tangga, terutama rumah tangga miskin. Namun pada kenyataannya belum tentu. Beberapa temuan hasil studi telah dipublikasikan. Misalnya, studi yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan bahwa pada tahun 2004 biaya kesehatan rumah tangga telah meningkat 12%. Peningkatan tersebut mengakibatkan persentase pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan menjadi 3,5% dari total pengeluaran rumah tangga. Menurut studi tersebut, secara rata-rata memang telah terjadi perubahan dimana pengeluaran rumah tangga mengalami penurunan secara signifikan sekitar 6% dari total pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dalam 4 tahun terakhir. Namun demikian, penurunan tersebut bukan berasal dari adanya peningkatan belanja publik yang dilakukan oleh pemerintah di bidang kesehatan. Bank Dunia menemukan kenyataan bahwa penurunan bersumber dari INFO RISIKO FISKAL DESEMBER 2013 1/27/2014 9:01:45 PM Tabel 3. Indikator Kesehatan Tahun 2000 s. d. 2012 Keterangan 2000 2001 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Persentase persalinan ditolong tenaga kesehatan (dokter, bidan dan tenaga medis) 63,5 64,2 67,9 71,5 70,5 72,4 72,5 74,9 77,3 79,8 81,3 83,4 1) Tahun 2001 tidak termasuk Aceh dan Maluku. 2) Tahun 2003 tidak termasuk Aceh. Sumber : Kementerian Kesehatan RI dan Publikasi BPS. adanya penurunan absolut pengeluaran kesehatan per kapita seiring dengan peningkatan total pengeluaran rumah tangga per kapita. Padahal sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 2, alokasi belanja publik untuk urusan kesehatan meningkat secara pesat. Mestinya peningkatan belanja tersebut dibarengi dengan turunnya pengeluaran rumah tangga atas pelayanan kesehatan yang diterimanya. Fakta tersebut paralel dengan hasil kajian Muhammad Ryan Sanjaya (2007) atas data Susenas 2004 yang menyatakan bahwa mayoritas rumah tangga menggunakan pendapatan mereka sendiri untuk membiayai pengeluaran kesehatan dan hanya sedikit yang menggunakan asuransi kesehatan atau pun kartu sehat. Kajian lain dengan data Susenas 1998, era sebelum otonomi daerah, hasilnya menunjukkan fakta yang relatif tidak jauh berbeda (Mardiati Nadjib dan Pujiyanto, 2002). Hampir 77% pengeluaran rumah tangga selama sebulan, lebih dari separuhnya untuk nonmakanan terutama untuk biaya rawat inap. Dengan kata lain, rumah tangga di Indonesia menghadapi tekanan finansial yang kuat manakala harus menjalani rawat inap. Fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah melalui APBN dan APBD belum memberikan pengaruh yang cukup signifikan untuk menurunkan beban manakala harus di rawat inap. Jamkesda, Sebuah Solusi Lokal Dari hasil-hasil kajian tersebut, maka perlu ada perbaikan kebijakan belanja publik untuk urusan kesehatan. Jika belanja ternyata tidak menurunINFO RISIKO FISKAL ISI_DES-2013_5a.indd 61 DESEMBER 2013 kan biaya pelayanan kesehatan per kapita maka patut diduga telah terjadi salah alokasi dan inefisiensi dalam pengeluaran tersebut. Jika semakin besar porsi pengeluaran rumah tangga untuk pelayanan kesehatan maka ini mengindikasikan semakin mahalnya ongkos pelayanan kesehatan. Untuk keluar dari persoalan tersebut, beberapa daerah telah mengembangkan jaminan kesehatan dan program sejenisnya dengan pola asuransi. Model jaminan kesehatan yang dikembangkan ada beberapa macam. Baik dengan skenario asuransi maupun pembayaran at cost untuk pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat yang berhak. Beberapa daerah menyebutnya sebagai Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang telah di selenggarakan beberapa pemda kabupaten dan kota. Contohnya adalah kartu sehat untuk program kesehatan di DKI Jakarta yang membebaskan seluruh biaya berobat dan rawat inap di Puskesmas dan kelas III di seluruh rumah sakit. Sedangkan daerah lain, seperti Propinsi Gorontalo, mengembangkan Jaminan Kesehatan Semesta sejak tahun 2012. Program ini mentargetkan pelayanan untuk masyarakat miskin dan hampir miskin yang belum masuk dalam jaminan kesehatan apapun (sumber : www.gorontaloprov.go.id). Di Propinsi Gorontalo saat ini program kesehatan yang ada adalah Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Mandiri (Jamkesmand), Asuransi Kesehatan (Askes), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Berbagai paket program tersebut, memberikan pelayanan kesehatan ber- bayar murah hingga gratis sebagai solusi keluar dari tekanan finansial yang dialami rumah tangga. Dengan pendekatan program tersebut, rumah tangga akan memperoleh manfaat sekaligus mengurangi terjadinya pengeluaran tunai yang berpotensi mendorong kelompok rumah tangga rentan ekonomi tersebut berada di bawah garis kemiskinan (Bank Dunia, 2007). Karena itu, Jamkesmas dan program sejenis lainnya perlu terus dikembangkan terutama untuk kelompok masyarakat rentan. Walaupun perlu kajian lebih lanjut, program Jamkesda merupakan bentuk lain dari subsidi pemerintah daerah terhadap warganya supaya memperoleh layanan kesehatan. Bagaimana halnya dengan program nasional Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam kaitannya dengan terus dikembangkannya jaminan kesehatan di level daerah dengan institusi yang berada di daerah? Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi No. 007/PUU-III/2005 memberikan ruang bagi program kesehatan skala lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem jaminan sosial skala nasional. Dengan demikian pemerintah daerah tetap dapat melaksanakan program Jamkesda sebagai wujud dari kewenangan otonom yang diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tugas pemerintah daerah adalah memastikan bahwa seluruh program yang ada, baik bersifat nasional maupun lokal, tepat sasaran dan efisien. Semoga! n O P I N I 61 1/27/2014 9:01:45 PM Anda Bertanya, Kami Menjawab Sosialisasi Pengelolaan Risiko Fiskal Dalam Rangka Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan 1. Pinjaman Komersial Luar Negeri Pertanyaan: 1) Tahun lalu, Pelindo 3 mendapatkan persetujuan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) yang dibahas 5 Kementerian, di manakah PKLN dibahas di BKF? 2) Terkait SLA PLN, sebagai lembaga yang menjamin SLA PLN, apakah BUMN pelabuhan bisa berklaborasi? 3) Penjaminan Pemerintah untuk PDAM apakah bisa juga dilaksanakan untuk BUMN pelabuhan? 4) Jika pinjaman mengalami default, apakah hal tersebut dikelola oleh BKF? Wahyu Suparyono (PT Pelindo 3 Surabaya) Jawaban: Penyelesaian rekomendasi PKLN berada di PPRF yaitu di Bidang Analisis Risiko BUMN. SLA PLN dalam hal ini adalah Service Level Agreement, yaitu semacam indikator kinerja yang harus dipenuhi oleh PLN dalam menjalankan kewajiban Public Service Obligation. Jaminan untuk BUMN dilaksanakan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta/Public Private Partnership maupun melalui skema penugasan. Contoh skema PPP adalah penjaminan PT PII pada proyek Central Java Power Plant, sedangkan contoh proyek penugasan adalah Fast Track Program I dan Fast Track Program II. Jika pinjaman PLN mengalami dafault, maka Pemerintah mengeluarkan langkahlangkah seperti penundanaan pembayaran deviden, pemberian pinjaman lunak dll. 2. Pembangunan Infrastruktur dan MP3EI Pertanyaan: 1) Konsep yang dipresentasikan bagus, termasuk didalamnya sudah ada PT PII dan PT SMI. Namun mengapa sudah tiga tahun sejak 2009 PT PII belum menjamin proyek infrastruktur? 2) Terkait dengan land capping, mengapa alokasi anggaran 2013 diturunkan secara drastis dan untuk tahun 2014 juga diturunkan lagi, padahal tahun depan memerlukan dana land capping mencapai Rp3 Triliun. 3) Apakah ada mekanisme VGF untuk daerah? 4) Bagaimana pemberian VGF dilakukan? apakah langsung ke Badan Usaha atau diberikan dalam bentuk fisik dalam kaitannya dengan missmacth kualitas dan kepastian delivery proyek? 5) Terkait dengan MP3EI, bagaimana kira-kira kemampuan APBN? Dedi (Jasa Marga) Jawaban: 1) Koordinasi dengan PT PII dan PT SMI terus dilakukan. Saat ini ada dua proyek KPS yang sedang dipersiakan, selain itu juga terdapat proyek jalan tol yang sudah mulai masuk. Tambahan Redaksi: PT PII (Persero) bersama Pemerintah menjamin proyek Pembangkit Listrik Jawa Tengah/Central Java Power Plant (CJPP). 2) Alokasi dana land capping dilakukan dengan mempertimbangkan usulan Kementerian Pekerjaan Umum dan progres penyerapan tahun sebelumnya. Karena progres penyerapan tahun sebelumnya sangat rendah maka alokasi yang diusulkan juga dikurangi. Saat ini BKF telah merekomendasikan penambahan alokasi dana land capping untuk tahun 2014 serta perpanjangan masa land capping sampai 2015. 3) Untuk VGF daerah, hal tersebut sudah diatur pada pasal tersendiri dalam PMK Nomor 223/PMK.011/2012 dan PMK Nomor 143/ PMK.011/2013. 4) VGF diberikan secara tunai kepada Badan Usaha sesuai dengan milestone proyek yang disepakati. 5) Terkait dengan kebutuhan MP3EI, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan menyusun daftar proyek prioritas. Terkait pendanaan, sampai dengan tahun 2025 dibutuhkan dana sekitar Rp4.000 triliun dengan Rp1.700 triliun berasal dari Pemerintah. ISI_DES-2013_5a.indd 62 1/27/2014 9:01:46 PM