Jurnal Prakarsa Infrastruktur Indonesia PR AK ARSA Edisi 3 | Juli 2010 Pembiayaan Infrastruktur • Sekilas Tentang Kewajiban Pelayanan Publik • Era Baru Kerjasama Pemerintah Swasta • Konsep Baru Penyediaan Layanan Umum Di Daerah • Mekanisme Hibah Berbasis Hasil Isi ARTIKEL UTAMA Pergeseran Pola Pikir: Kewajiban Pelayanan Publik dan Layanan Perintis di Sektor Transportasi Indonesia Konsep yang Menjanjikan untuk Penyelenggaraan Layanan Daerah Pembentukan Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) dan Layanan Perintis sebagai peluang bisnis dengan daya tarik untuk sektor swasta dapat mengarah pada penentuan target yang lebih baik, peningkatan layanan dan penurunan biaya... p.4 Unit-unit organisasi baru di tingkat pemerintah daerah yang menyelenggarakan layanan infrastruktur, yang telah diberi otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar, berpotensi untuk meningkatkan penyediaan layanan dan memastikan bahwa masyarakat mengetahui ke mana larinya uang retribusi yang mereka bayarkan... p.6 Era Baru Kerjasama Pemerintah Swasta Dana Hibah dalam Perspektif Berbasis Hasil Sejak krisis finansial, pendanaan proyek-proyek KPS untuk kebutuhan infrastruktur Indonesia tidak banyak berkembang. Dengan dapat diatasinya hambatan dari proyek-proyek KPS, Pemerintah Indonesia berharap dapat memperbaiki situasi ini...p.8 Saat Pemerintah Indonesia menunjukkan perhatian mengenai jenis mekanisme baru dalam mendanai investasi pemerintah daerah, sangat menarik pula untuk diperhatikan latar belakang dasar penerapan teknik-teknik ini...p.10 18 Jalan Raya Baru Membawa Peluang Baru Bagi Indonesia Timur 20 Hasil & Dalam Edisi Berikut 19 Pandangan Para Ahli Sampul Depan : Jembatan Sungai Bengawan Solo di Bojonegoro, Jawa Timur. Atas Perkenaan Arif Hidayat Jurnal triwulanan ini diterbitkan oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia, sebuah proyek yang didanai Pemerintah Australia untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan meningkatkan relevansi, mutu, dan jumlah investasi di bidang infrastruktur. Pandangan yang dikemukakan belum tentu mencerminkan pandangan Kemitraan Australia Indonesia maupun Pemerintah Australia. Apabila ada tanggapan atau pertanyaan mohon disampaikan kepada Tim Komunikasi IndII melalui telepon nomor +62 (21) 230-6063, fax +62 (21) 3190-2994, atau e-mail [email protected]. Alamat situs web kami adalah www.indii.co.id 2 Prakarsa Juli 2010 Pesan Editor Di tahap awal perencanaan terbitan Prakarsa tentang “Pembiayaan Infrastruktur”, saya berpikir bahwa saya sudah tahu pesan umum apa yang akan muncul dari artikel-artikel edisi tersebut. Membangun infrastruktur - baik jalan raya, pelabuhan, tempat pembuangan sampah, penyediaan air minum melalui jaringan pipa maupun keperluan lain apapun untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi sebuah negara – memerlukan biaya yang besar. Dengan banyaknya prioritas utama, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk memperoleh sumberdaya untuk mendanai secara keseluruhan. Karena itu, sektor swasta dapat menjadi mitra penting dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Hal tersebut menurut saya yang menjadi informasi utama yang akan didapat para pembaca dari terbitan ini. Dalam hal ini, ternyata saya hanya benar sebagian saja. Betul, sektor swasta adalah mitra penting bagi pemerintah. Dalam hal Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) dan Layanan Perintis, pemerintah dapat menyediakan subsidi kepada perusahaan swasta dengan imbalan penyediaan barang atau jasa yang diperlukan secara sosial, seperti transportasi, yang di pasar bebas tidak akan menguntungkan. “Pergeseran Pola Pikir: Kewajiban Pelayanan Publik dan Layanan Perintis di Sektor Transportasi Indonesia” (halaman 4) oleh Peter Benson dan Kawik Sugiana mengulas tentang bagaimana strategi ini dapat diterapkan seefisien mungkin di Indonesia. “ Era Baru Kerjasama Pemerintah Swasta” (halaman 8) oleh Mike Crosetti, juga mengkaji peran KPS dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia di masa depan. Meskipun perkembangan KPS sangat lambat sejak krisis keuangan di Asia, sebuah kerangka kerja tentang KPS telah disusun untuk memberikan peran signifikan di masa yang akan datang. Di lain pihak, tidak semua pembiayaan infrastruktur pemerintah melibatkan sektor swasta secara langsung. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah suatu model yang dapat dimanfaatkan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan infrastruktur dan layanan lainnya berbasis imbalan melalui unit penyedia layanan yang, sedapat mungkin, secara komersial. Artikel Darryl Howard berjudul “Konsep yang Menjanjikan untuk Penyelenggaraan Layanan Daerah” (halaman 6) menguraikan tentang mekanisme BLUD berikut potensinya. “Dana Hibah dalam Perspektif Berbasis Hasil” (halaman 10) oleh Maurice Gervais melihat tentang bagaimana dana hibah, modal dari pemerintah pusat dan dana pinjaman lanjutan berbasis hasil dapat dimanfaatkan untuk menjamin efektivitas penggunaan uang dari dana hibah di tingkat daerah untuk selanjutnya memajukan kepentingan prioritas nasional. Semua konsep strategi pembiayaan ini - Kewajiban Pelayanan Publik (PSO), Layanan Perintis, KPS, BLUD, dan hibah berbasis hasil - tidak mutlak harus melibatkan sektor swasta, namun lebih merupakan gagasan yang sering dikaitkan dengan sektor swasta, yakni penyelenggaraan berbasis kinerja. Dengan kata lain, uang dibelanjakan dengan imbalan hasil tertentu yang dapat diukur. Penekanan pada tercapainya hasil kinerja yang telah ditetapkan dengan jelas adalah pesan inti yang secara umum ingin disampaikan. Mengingat bahwa pembangunan infrastruktur dapat menjadi sangat mahal, dan betapa vital dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, tuntutan kerja keras dari semua pihak yang terlibat - sektor swasta, pemerintah pusat, pemerintah daerah - adalah sesuatu yang masuk akal. • CSW Infrastruktur dalam Angka USD 47,3 miliar Nilai 100 proyek KPS bidang infrastruktur yang saat ini ditawarkan oleh Indonesia untuk periode 2010-2014, menurut Bappenas. Rp 1.430 triliun Kebutuhan pendanaan infrastruktur Indonesia antara tahun 2010 dan 2014. Kemampuan pendanaan Pemerintah Indonesia adalah Rp980 triliun, atau sekitar 68 persen dari kebutuhan. < 10% Jumlah anggaran belanja daerah yang dibiayai oleh pajak daerah. Pemda tidak mampu melaksanakan sendiri prakarsa infrastruktur yang signifikan. 980; 5179 Jumlah DAK yang disediakan pemerintah pusat kepada daerah untuk tahun 2003 dan 2010. Peningkatan fragmentasi, dimana dana hibah yang terbatas dialokasikan untuk lebih banyak proyek, mempersulit upaya mengatasi hambatan infrastruktur (bottleneck) dengan mengonsentrasikan sumber daya pada serangkaian proyek yang dipilih secara saksama. USD 50 billion Jumlah pendanaan menurut Bank Dunia yang dibutuhkan untuk peningkatan jalan raya, pelabuhan, bandara, dan kapasitas pembangkit tenaga listrik di Indonesia selama lima tahun mendatang. 3 Prakarsa Juli 2010 Secara historis, berbagai negara menyadari bahwa PSO merupakan mekanisme yang tidak sempurna, terkadang mengakibatkan tidak memadainya pemeliharaan infrastruktur terkait. Atas perkenan Peter Benson Pergeseran Pola Pikir: Kewajiban Pelayanan Publik dan Layanan Perintis di Sektor Transportasi Indonesia Pembentukan Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) dan Layanan Perintis sebagai peluang bisnis dengan daya tarik untuk sektor swasta dapat mengarah pada penentuan target yang lebih baik, peningkatan layanan dan penurunan biaya. • Oleh Peter Benson dan Kawik Sugiana Subsidi adalah anggaran pengeluaran yang cukup besar untuk Pemerintah Indonesia. Pupuk, bensin, obat generik, dan listrik semua disubsidi. Berbagai layanan juga disubsidi, seperti transportasi murah, tersedia untuk para warga dengan harga di bawah tarif komersial yang sewajarnya. Subsidi adalah peranti penting untuk memastikan bahwa masyarakat miskin memiliki akses untuk barang dan layanan pokok dan untuk mendorong pembangunan. Namun subsidi bisa jadi membutuhkan biaya yang sangat besar – Pemerintah Indonesia saat ini menghabiskan sekitar 15 persen dari anggaran tahunannya untuk subsidi – dan apabila tidak diadministrasikan dengan baik, subsidi dapat menyebabkan hilangnya peluang dalam menggunakan dana anggaran secara lebih efektif di sektor lain atau 4 Mengingat keprihatinan tersebut, Pemerintah Indonesia mempertimbangkan dengan seksama Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) dan Layanan Perintis untuk memastikan bahwa mekanisme penyediaan subsidi ter­sebut digunakan dengan cara sebijaksana mungkin. Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) memberikan bantuan dengan melaksanakan kajian kebijakan atas PSO dan Layanan Perintis di sektor transportasi. swasta atau Badan Usaha Milik Pemerintah (BUMN) – untuk mengoperasikan layanan transportasi publik tertentu selama jangka waktu yang ditentukan. Hal ini dilakukan apabila rute tersebut tidak memberikan pendapatan yang cukup agar profitabel melalui mekanisme pasar, namun secara sosial penyediaan transportasi tersebut diperlukan. PSO dapat diberlakukan pada berbagai moda transportasi, termasuk udara, laut, darat dan kereta api. Infrastruktur (rel kereta api, fasilitas pelabuhan, dll.) biasanya disediakan oleh entitas yang terpisah dari entitas yang menjalankan layanan bersubsidi, dan mungkin dimiliki oleh badan pengatur atau pihak ketiga. Pendefinisian Istilah Dalam transportasi, PSO adalah peng aturan yang digunakan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada penyedia layanan – baik perusahaan Layanan Perintis dimaksudkan untuk menentukan rute-rute transportasi yang akan mendorong pembangunan ekonomi suatu daerah di Indonesia. Untuk PSO, subsidi diberikan menimbulkan masalah seperti buruknya pemeliharaan infrastruktur. Selain itu, biaya subsidi di Indonesia mengalami kenaikan pesat selama dekade terakhir tanpa diimbangi dengan peningkatan mutu dan kuantitas layanan subsidi. Prakarsa Juli 2010 kepada operator dalam situasi di mana rute yang ada tidak memberikan pendapatan yang cukup agar profitabel melalui mekanisme pasar, namun secara sosial penyediaan transportasi tersebut diperlukan. Di Indonesia, Layanan Perintis biasanya tersedia di subsektor transportasi laut dan darat, namun jarang tersedia di transportasi udara atau kereta api. Di lingkungan politik saat ini, PSO dan Layanan Perintis mendapatkan banyak perhatian, para pembuat kebijakan ingin mendapatkan gambaran jelas tentang jumlah yang dihabiskan, pilihan target dan apakah dana yang ada ternyata paling baik digunakan untuk PSO/Layanan Perintis atau lebih baik diarahkan untuk peluang lain, seperti investasi dalam infrastruktur. IndII telah diminta Bappenas untuk melakukan tinjauan kebijakan atas PSO dan Layanan Perintis di sektor transportasi. Tujuannya adalah untuk membantu Pemerintah Indonesia menentukan target kemana dana tersebut paling baik dapat digunakan dan untuk menciptakan sistem manajemen serta pelaksanaan yang lebih baik. PSO dan sistem Layanan Perintis di Indonesia ditandai dengan adanya pemberian subsidi langsung ke BUMN. Terdapat sejumlah kompetisi pasar dalam penyediaan Layanan Perintis, namun tidak ada dalam PSO karena layanan tidak ditenderkan di pasar. BUMN secara rutin diberi peran untuk menyediakan layanan yang terkait dengan PSO. Dalam kasus apa pun, lingkungan PSO atau Layanan Perintis belum kondusif untuk keikutsertaan sektor swasta: masa kontrak umumnya terbatas hanya 12 bulan sehingga risikonya terlalu tinggi untuk menarik minat sektor swasta. Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi masalah terkait dengan transparansi dan pengukuran kinerja dalam pelaksanaan PSO dan Layanan Perintis; banyak negara mengalami kesulitan. Sebagai contoh Amerika Serikat tidak memiliki manajemen yang sepenuhnya transparan dan begitu pula Australia. Laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Policy Roundtables: Non Commercial Service Obligations 2003, secara jelas menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang dipolitisasi dan tidak transparan terkait dengan PSO adalah masalah yang menyebar luas yang memengaruhi AS, Kanada dan sejumlah negara anggota Uni Eropa. Pengukuran dampak juga lemah. Australia memang telah memiliki kebijakan manajemen khusus, namun prosesnya berlanjut ke halaman 12 Poin-Poin Utama: a Dalam sektor transportasi, Pemerintah Indonesia menggunakan Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) dan Layanan Perintis untuk memastikan tersedianya transportasi yang diperlukan secara sosial, walaupun rute tersebut tidak menguntungkan melalui mekanisme pasar bebas. a Layanan tersebut biasanya disediakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan sedikit atau tanpa persaingan pasar. aBappenas meminta bantuan dari Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) untuk mengkaji kebijakan PSO/Layanan Perintis. a IndII merekomendasikan lima pilar landasan penyediaan PSO dan Layanan Perintis: akses untuk semua kalangan, perlindungan terhadap otonomi daerah, transparansi, ‘rasionalisasi kesenjangan’ (memastikan kewajaran kesenjangan antara harga pasar dan harga bersubsidi), dan persaingan layanan. aKonsep baru yang penting adalah PSO dan Layanan Perintis harus dikemas sebagai peluang bisnis yang melibatkan persaingan, investasi, peluang keuntungan, serta kontrak tahun jamak dengan berdasarkan kepada keluaran dan kinerja. aTim IndII mengembangkan proses langkah demi langkah yang merinci tindakan dan kebutuhan di setiap tahap pengembangan PSO/Layanan Perintis. Berdasarkan usulan proses tersebut, PSO/Layanan Perintis akan dilaksanakan di tingkat pemerintah setempat atau daerah dan dimasukkan oleh Kementerian Perhubungan ke proses perencanaan nasional. BUMN terkait akan berperan sebagai penyedia layanan, bukan sebagai penentu jumlah dana subsidi yang diberikan. 5 Prakarsa Juli 2010 Atas perkenan tbSMITH on flickr Konsep yang Menjanjikan untuk Penyelenggaraan Layanan Daerah Unit-unit organisasi baru di tingkat pemerintah daerah yang menyelenggarakan layanan infrastruktur, yang telah diberi otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar, berpotensi untuk meningkatkan penyediaan layanan dan memastikan bahwa masyarakat mengetahui ke mana larinya uang retribusi yang mereka bayarkan. • Oleh Darryl Howard Pemilah sampah di Jalan Kartini, Jakarta. Layanan pembuangan sampah padat merupakan calon baik untuk dikelola oleh BLUD. “Pembiayaan Infrastruktur” mengingatkan kita pada pengeluaran modal untuk jembatan, jalan, bandara dan sebagainya. Namun, hal ini juga merupakan masalah dalam penyelenggaraan layanan infrastruktur. Selama beberapa tahun, pemerintahan di seluruh dunia telah membuat berbagai pengaturan organisasi guna menyediakan layanan untuk masyarakatnya baik di tingkat nasional maupun daerah. Walaupun kita bisa menilik kembali sejarah ratusan tahun silam untuk mencari bentuk-bentuk awal organisasi yang telah diterapkan oleh berbagai pemerintahan dalam penyediaan layanan secara efisien dan bertanggung jawab, Next Step 6 Agencies yang dicanangkan oleh pemerintahan Margaret Thatcher di Inggris pada tahun 1988 merupakan titik awal yang baik. Visi yang mendorong prakarsa tersebut didasari keyakinan bahwa: • Pemerintah harus terlibat dalam penyediaan layanan hanya jika ada alasan yang baik untuk tidak melibatkan sektor swasta. • Jika peran pemerintah bisa dibenarkan, peran tersebut harus dijalankan secara komersial bila memungkinkan. • Pengelola harus bebas menentukan siapa yang akan dipekerjakan dan menentukan gajinya. • Pengelola harus memiliki diskresi yang luas untuk menjalankan operasi dalam batasan anggaran yang disetujui. Pendekatan yang Terbukti Sukses Berdasarkan prakarsa Next Step Agencies, dihilangkannya kegiatan lini dari kegiatan sehari-hari di instansi pemerintah membuat pejabat pemerintah bebas untuk fokus pada pengembangan kebijakan dan penilaian layanan yang disediakan oleh instansinya. Secara keseluruhan, prakarsa ini dianggap sangat sukses karena menghasilkan peningkatan yang dramatis pada kinerja dan orientasi manajemen biaya di berbagai instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan. Prakarsa ini telah ditiru oleh pemerintahan lain baik di negara maju maupun negara berkembang. (Survei yang Prakarsa Juli 2010 komprehensif dan menarik tentang prakarsa yang diambil dalam bidang ini disampaikan dalam Dokumen OECD 2002: Distributed Public Governance Agencies, Authorities and Other Government Bodies). Berdasarkan filosofi manajemen ini, unit-unit dibuat sebagai penanggung jawab penyediaan layanan pemerintah yang relatif terbatas, misalnya penerbitan SIM, paspor, atau perizinan lainnya. Tanggung jawab yang relatif terbatas tersebut dimaksudkan agar efisiensi unit-unit ini dapat diukur dengan tingkat akurasi yang wajar dan agar memungkinkan untuk meminta pertanggung jawaban dari para pengelola atas efisiensi dan efektivitas kegiatan mereka. Unitunit ini mengenakan retribusi atas layanannya, namun umumnya retribusi yang terkumpul tidak memadai untuk menutup biaya mereka sepenuhnya sehingga mereka terus memerlukan subsidi pemerintah. Akan tetapi, meskipun retribusi tidak sepenuhnya menutup biaya layanan, pembayaran tersebut menimbulkan suatu kaitan bagi masyarakat antara uang yang mereka bayarkan kepada pemerintah dan layanan yang mereka terima. Kadang Menguntungkan, Kadang Tidak Sebelum melanjutkan pembahasan tentang unitunit layanan pemerintah tersebut, kita perlu membedakan dua jenis dasar lembaga komersial pemerintah: pertama, badan usaha milik negara (biasanya perusahaan yang, meski belum menguntungkan saat ini, dapat memberi keuntungan di masa depan), dan kedua, unit-unit pemerintah yang dibuat untuk memberikan layanan umum yang menghasilkan retribusi, namun retribusi yang diterima tidak cukup untuk menutup biaya layanan yang berlanjut ke halaman 14 Poin-Poin Utama: aPendanaan merupakan masalah penting bukan hanya dalam pembangunan infrastruktur namun juga dalam penyediaan layanan infrastruktur. “Next Step Agencies”, yang diluncurkan pada tahun 1988 di Inggris, menawarkan model penyediaan layanan berdasarkan konsep bahwa unit-unit pelaksana layanan harus sedapat mungkin beroperasi dalam jalur komersial. Dengan menciptakan unit-unit yang bertanggung jawab atas pelaksanaan layanan yang terbatas dengan mengenakan biaya, pengukuran kinerja dan akuntabilitas akan dapat dimaksimalkan, serta masyarakat dapat melihat hubungan antara uang yang dibayarkan kepada pemerintah dan layanan yang diberikan. aDi Indonesia, lembaga-lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan layanan dengan mengenakan biaya namun diperkirakan akan membutuhkan subsidi pemerintah tanpa batas waktu disebut BLU (badan layanan umum) atau BLUD (badan layanan umum daerah). Kerangka peraturan untuk pembentukan BLUD telah dikembangkan yaitu UU no. 1/2004 dan peraturan pemerintah yang dikeluarkan pada tahun 2005 dan 2006. aDengan lebih dari 500 pemerintah daerah di Indonesia, penggunaan model BLUD berpotensi meningkatkan pelaksanaan layanan secara dramatis. Sejauh ini, penggunaannya terbatas karena kurangnya pengetahuan daerah tentang model tersebut dan cara pelaksanaannya. Kementerian Dalam Negeri saat ini sedang menggalakkan konsep ini, guna mempercepat pemanfaatan BLUD. Dengan menyediakan dan mengembangkan peranti dan pedoman praktis untuk pemerintah daerah, model BLUD dapat berdampak pada berbagai layanan dasar di waktu mendatang. 7 Prakarsa Juli 2010 Atas perkenan Waymond C di flickr Era Baru Kerjasama Pemerintah Swasta Sejak krisis finansial, pendanaan proyek-proyek KPS untuk kebutuhan infrastruktur Indonesia tidak banyak berkembang. Dengan dapat diatasinya hambatan dari proyek-proyek KPS, Pemerintah Indonesia berharap dapat memperbaiki situasi ini. • Oleh Mike Crosetti Di seluruh dunia, pembangkit tenaga merupakan sektor infrastruktur yang sering diusulkan sebagai proyek KPS. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) bukan hal baru bagi Indonesia. Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, Pemerintah menyadari perlunya peningkatan investasi infrastruktur dengan melibatkan sektor swasta melalui KPS. Pada akhir 1997, Indonesia telah menarik investasi infrastruktur lebih dari US$ 20 milyar dengan skema KPS, yang didominasi oleh sektor listrik, telekomunikasi, dan transportasi. Akan tetapi, kegiatan ini terhenti karena runtuhya perbankan dan depresiasi mata uang besarbesaran yang disebabkan oleh krisis keuangan Asia, yang terjadi pada paruh kedua 1997. Krisis keuangan Asia datang dan pergi, namun kebutuhan investasi infrastruktur Indonesia terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi pada beberapa tahun lalu telah meningkatkan kebutuhan akan investasi infrastruktur, dan Pemerintah Indonesia belum dapat mendanai seluruhnya. KPS jelas berperan, dan Pemerintah Indonesia menargetkan untuk menarik investasi swasta dalam sektor infrastruktur sebesar Rp 978 triliun selama periode 20102014. Target ini sekitar 20 kali lebih besar dari investasi swasta aktual dalam KPS infrastruktur selama 10 tahun lalu 1. Dengan sasaran yang ambisius itu, kita perlu bertanya mengapa pelaksanaan proyek KPS yang baru masih terbatas selama dekade lalu, meski ada kebutuhan investasi, serta bagaimana jawaban untuk pertanyaan tersebut dapat melandasi strategi di masa depan. Hasil dari beberapa proyek prakrisis menunjukkan pelajaran yang 8 berharga tentang kekurangan KPS. Misalnya, pemerintah dan perusahaan seperti Pertamina harus membayar ganti rugi yang besar kepada investor dan penjamin asing karena pembatalan proyek-proyek KPS. Pengalaman ini membuat pemerintah dan investor swasta menyadari tentang perlunya pendekatan terstruktur serta upaya-upaya KPS di masa depan, selain itu reformasi politik pascaSuharto telah meningkatkan transparansi dan desentralisasi. Oleh karena itu, KPS di masa depan akan berbeda secara signifikan dari model yang lama. Kesuksesan pendekatan terstruktur pada KPS didasari empat komponen dasar: dasar hukum; kapasitas dan koordinasi kelembagaan, persiapan proyek yang baik; serta ketersediaan pendanaan. Komponen dasar Prakarsa Juli 2010 tersebut adalah syarat yang diperlukan untuk pengembangan KPS. Pemahaman tentang peran komponen-komponen ini di Indonesia di masa lalu memberikan petunjuk tentang bagaimana KPS dapat memenuhi harapan di masa depan. Pertama, Dasar Hukum Sebelum KPS dapat dimulai, terlebih dulu harus ada dasar hukum penetapkan peran organisasi dan penentuan bagaimana KPS dilaksanakan. Pemerintah telah melakukan langkah awal dengan membentuk Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) melalui Perpres No. 81/ 2001, yang perbaharui dengan Perpres No. 42/2005. Pada tahun 2005 pula, Pemerintah mendefinisikan ulang substansi pelaksanaan KPS dengan Perpres No. 67/2005, yang menggantikan Keppres No. 7/1998, dan disusul dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 38/2006 tentang manajemen risiko dalam proyek infrastruktur. Selain peraturan-peraturan itu, telah ada reformasi peraturan perundangundangan mendasar atas hampir semua sektor infrastruktur utama. Reformasi ini telah menghapuskan monopoli pemerintah, mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada pemda, dan menerapkan tender yang kompetitif. Akan tetapi, masih banyak yang harus dilakukan untuk menyusun peraturan pelaksanaan dan penguatan kelembagaan untuk melaksanakan fungsi tersebut. Perpres No. 67/2005 telah diperbaharui dengan Perpres No. 13/2010, dan baru-baru ini Pemerintah juga telah mendirikan lembaga pendanaan dan penjaminan infrastruktur. Langkah berikutnya adalah memperbaharui PMK No. 38/2006 untuk memperluas penggunaan jaminan pemerintah, serta peraturan pelaksanaan di beberapa sektor dan perubahan atas dasar hukum bagi pemerintah dalam akuisisi lahan. Oleh karena itu, faktor pertama yang menyebabkan terbatasnya penggunaan KPS selama periode pasca-krisis – tidak adanya kerangka hukum yang menyeluruh, baik peraturan yang khusus untuk setiap sektor maupun KPS secara umum – sebagian besar telah diatasi. Mengingat perubahan politik yang besar dan cakupan reformasi industri yang telah terjadi, waktu yang dihabiskan untuk hal tersebut dapat dimaklumi. Momentum yang telah dicapai pada beberapa tahun lalu berlanjut ke halaman 15 Poin-Poin Utama: aLima belas tahun lalu, Indonesia adalah negara terdepan dalam hal KPS infrastruktur di antara negara-negara berkembang dengan pelaksanaan berbagai proyek bernilai milyaran dolar. Krisis keuangan Asia mengubahnya secara tiba-tiba. Selama dekade lalu, pertumbuhan ekonomi telah kembali dan pemerintah kembali berupaya untuk meningkatkan sumberdayanya untuk penyediaan infrastruktur dengan menggunakan KPS. Namun, hanya ada sedikit proyek KPS infrastruktur yang relatif kecil yang telah dilaksanakan selama periode itu. aMakalah ini menyoroti penyebab kurangnya proyek baru sampai saat ini dan membahas implikasi terhadap peningkatan investasi KPS yang ditargetkan. Artikel ini menyimpulkan bahwa pemerintah telah mencapai kemajuan dalam beberapa bidang, dan saat ini harus melanjutkan upaya untuk menciptakan kebijakan sektor yang kondusif dan fokus pada pengembangan kapasitas internal di kementerian terkait dan pemerintah daerah untuk merealisasikan era baru KPS . Pengembangan kapasitas mencakup perumusan prosedur untuk penyusunan proyek di semua instansi, penggalakan KPS secara internal, dan pelatihan para pejabat untuk meningkatkan pemahaman tentang cara kerja KPS. 9 Prakarsa Juli 2010 Atas perkenan Kendra on Picasa Dana Hibah dalam Perspektif Berbasis Hasil Saat Pemerintah Indonesia menunjukkan perhatian mengenai jenis mekanisme baru dalam mendanai investasi pemerintah daerah, sangat menarik pula untuk diperhatikan latar belakang dasar penerapan teknik-teknik ini. • Oleh Maurice Gervais Hibah kepada Pemerintah Daerah di Indonesia yang dikenal dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) hanya menyediakan pendanaan terbatas untuk sejumlah sektor utama seperti irigasi. Sesuai kecenderungan yang relatif baru, Indonesia kini beralih pada hibah kinerja berbasis hasil sebagai sarana penyediaan modal investasi untuk pemerintah daerah (Pemda). Untuk memahami alasan kenapa mekanisme ini merupakan sarana berharga dalam penunjang pembangunan infrastruktur yang efektif untuk tahun-tahun mendatang, adalah penting untuk mengetahui latar belakang yang menjadi dasar penerapannya. Mengingat dorongan menuju desentralisasi baru terjadi selama dasawarsa terakhir, maka dapat dipahami bahwa sistem fiskal antar-lembaga pemerintah di Indonesia masih berada pada tahap perkembangan. Beberapa tantangan utama di antaranya adalah pertama untuk menanggulangi secara langsung kebutuhan anggaran sebagian besar pemda yang jumlahnya semakin bertambah. Saat ini terdapat lebih kurang 512 kota dan kabupaten serta 33 provinsi, 225 di antaranya baru terbentuk sejak tahun 2001. Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman yang luar biasa dengan variasi yang sangat besar di bidang sumber daya ekonomi, kepadatan penduduk, dan aset infrastruktur. Terdapat kesenjangan lebar antara kebutuhan anggaran 10 dan tingkat pendapatan yang dapat dihasilkan di sebagian besar Pemda. Bagi Pemerintah Indonesia penyediaan kebutuhan sumber daya fiskal untuk semua daerah guna membiayai layanan regional dan lokal mereka, merupakan upaya yang sangat besar. Umumnya negara federasi yang matang, melimpahkan wewenang penyediaan dana modal untuk masyarakat kepada negara bagian atau provinsi, dan hanya mengatur akses ke pasar modal. Bukan demikian halnya di Indonesia, di mana hubungan tata kelola pemerintah antara Pemerintah Pusat dengan Pemda dan pemerintah kota bersifat langsung. Mungkin karena diperlukan, rumus alokasi yang digunakan Pemerintah Pusat dalam menetapkan tingkat bagi hasil untuk masing-masing daerah lebih merupakan perkiraan pembelanjaan daripada pendekatan berdasarkan perhitungan cermat tentang kebutuhan daerah yang spesifik. Sebagian besar (93 persen) dana yang disediakan Pemerintah Pusat kepada daerah yang diberikan berbentuk dana yang tidak bersyarat (Dana Alokasi Umum/DAU, Dana Bagi Hasil/ DBH, dan Dana Otonomi Khusus/ Dana Otsus). Karena memang sifatnya demikian, Pemerintah Pusat tidak memiliki kendali atas penggunaan dana tersebut oleh Pemda. Kendali yang dimiliki Pemerintah Pusat hanyalah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK), dan adanya persyaratan bahwa daerah juga wajib menyediakan 10 persen dana pendamping. Dengan demikian, pada umumnya pemberian dana Pemerintah Pusat kepada Pemda bukanlah suatu mekanisme efektif untuk melibatkan daerah dalam program yang digerakkan oleh prioritas nasional. Dewasa ini, DAK menjadi sarana, di mana Pemerintah Pusat menyediakan dana modal kepada daerah untuk membantu mereka dalam mendanai kebutuhan investasi mereka. Namun dalam rangka DAK, dana yang disediakan untuk pendidikan sangat besar dan beberapa dana hibah untuk jalan sangat signifikan, sedangkan untuk keperluan lainnya hanya sedikit. Jumlah ini mencakup dana yang diperlukan untuk membiayai sektor infrastruktur kunci (seperti pengairan, penyediaan air minum dan sanitasi). Dana hibah DAK untuk infrastruktur hanya merupakan pendanaan dalam jumlah terbatas, secara khusus hanya Rp 2,3 miliar, yang hanya cukup untuk sekadar menutup biaya perawatan rutin dan berkala. Inilah pencerminan mengapa tidak ada proyek besar yang diselenggarakan Pemerintah Daerah. Prakarsa Juli 2010 Dana hibah DAK awalnya diperkenalkan pada tahun 2003 dan jumlah dana yang disediakan melalui mekanisme ini meningkat 10 kali lipat hingga tahun 2008. Namun hambatan dari segi fiskal akibat resesi ekonomi dunia, telah laju pertumbuhan yang pesat pendanaan melalui DAK. Sejak tahun 2008 jumlah pendanaan telah menyusut dalam arti riil, dan alokasi untuk infrastruktur, yang selama beberapa tahun terakhir sudah menurun, bahkan anjlok hingga mencapai 25 persen dari keseluruhan. Inilah konteks yang menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan upayanya untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur. Sejak tahun 2005 Pemerintah Pusat telah menangani berbagai isu, termasuk revitalisasi hibah daerah yaitu dana modal hibah dan dana pinjaman lanjutan yang disediakan Pemerintah Pusat kepada daerah. Dua pendekatan ini agak berbeda dari dana hibah DAK: alih-alih memberi pembayaran di muka, pendekatan hibah daerah ini akan memberikan tanggapan terhadap usulan pendanaan investasi yang diajukan daerah; mengandalkan pada kontrak berbasis hasil kinerja; dan penyaluran dana ke daerah dilakukan dengan pembayaran apabila kriteria kinerja yang sudah ditetapkan dengan jelas, telah tercapai. Dana hibah dan pengaturan pinjaman lanjutan merupakan strategi yang menjanjikan bagi Pemerintah Indonesia dan menyediakan peluang yang besar bagi para donor. Hal ini dapat menjadi titik masuk resmi bagi donor yang bersedia menyediakan dukungan investasi kepada daerah dengan cara yang konsisten dengan Jakarta Commitment 1 maupun yang menetapkan hasil kinerja sebagaimana dipersyaratkan. Tidak demikian halnya dengan sistem DAK: sumberdaya donor yang disediakan melalui DAK harus dapat dipertukarkan sepenuhnya, dan Pemerintah Pusat tidak dapat mengawasi pelaksanaan program yang didukung dana DAK. Bersamaan dengan meningkatnya fokus pada dana hibah dan pengaturan pinjaman lanjutan, Pemerintah Pusat sedang dalam proses untuk merevisi tiga Peraturan Pemerintah yaitu PP No. 2/2005, PP No. 54/2005, dan PP No. 57/2005, sebagai bagian dari paket menyeluruh yang memberi kemudahan masuknya dana donor ke dalam proses penganggaran dan meningkatkan kerangka hukum untuk dana pinjaman lanjutan dan dana hibah lanjutan oleh Pemerintah Pusat. IndII kini sedang mendukung upaya ini dengan membantu dalam perancangan sistem hibah modal yang efektif. Sebagian besar komponen utama sudah didefinisikan dalam rancangan peraturan dan menjadi batu pijakan menuju tahap dana hibah berbasis hasil kinerja. Catatan: 1. Jakarta Commitment adalah perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah Pusat dan 22 negara dan lembaga donor multilateral. Perjanjian tersebut menyatakan bahwa para penandatangannya akan mengikuti Paris Declaration on Aid Effectiveness, yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas dana hibah dan pinjaman dari luar negeri. Prinsip utama dalam komitmen tersebut adalah penegasan tentang kepemilikan Indonesia atas semua prakarsa bantuan. Mengenai penulis: Maurice Gervais adalah seorang Tenaga Ahli Senior di bidang Desentralisasi Fiskal yang telah berpengalaman luas sebagai praktisi pembangunan sejak tahun 1972. Gervais telah berkarier selama 22 tahun sebagai staf di Bank Dunia, sejak keluar, beliau telah menjalani karier sebagai konsultan selama 12 tahun di Indonesia. Fokus perhatiannya adalah dalam bidang desentralisasi pemerintahan. Poin-Poin Utama: a Sembilan puluh tiga persen pendanaan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah berbentuk dana hibah tidak bersyarat sehingga menyulitkan untuk menjadikan pendanaan tersebut sebagai alat untuk memajukan prioritas nasional. Sarana yang digunakan Pemerintah Pusat saat ini untuk menyediakan dana hibah modal untuk membantu daerah dalam mendanai kebutuhan investasi adalah DAK (Dana Alokasi Khusus), namun dengan pengecualian pendanaan untuk sektor jalan raya. Jumlah DAK yang terbatas dan dialokasikan untuk infrastruktur hanya sekadar cukup untuk menutup biaya pemeliharaan rutin dan berkala dan tidak memungkinkan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan proyek besar. a Dengan latar belakang ini Pemerintah Indonesia melakukan upaya intensifikasi untuk memperkuat investasi di bidang infrastruktur dengan cara seperti revitalisasi Hibah Daerah berupa dana hibah modal dan dana pinjaman lanjutan dari Pemerintah Pusat kepada daerah. Dua pendekatan ini jauh berbeda dengan dana hibah DAK: alih-alih memberi pembayaran di muka, melalui dua pendekatan tersebut Pemerintah Pusat akan memberikan tanggapan terhadap usulan pendanaan investasi yang diajukan oleh daerah; mengandalkan kontrak berbasis hasil kinerja; serta menyalurkan pembayaran dana hibah ke daerah apabila kriteria kinerja yang sudah ditetapkan dengan jelas telah tercapai. Dana hibah berbasis hasil kinerja seperti ini merupakan strategi Pemerintah Indonesia yang tepat bagi tercapainya prioritas pembangunan infrastruktur nasional, dan membuka pintu masuk resmi bagi donor yang mempunyai standar bahwa sasaran dan persyaratan tertentu harus dipenuhi. Kerangka kerja peraturan yang sedang disusun sekarang akan menjadi batu pijakan menuju pengembangan lebih lanjut dari dana hibah berbasis hasil. 11 Prakarsa Juli 2010 PERGESERAN POLA PIKIR dari halaman 5 masih dikendalikan oleh politik. Negaranegara bergumul dengan keprihatinan tentang bagaimana mereka dapat mengalokasikan PSO tanpa mendukung monopoli penyediaan layanan oleh BUMN. Tim IndII menggunakan pendekatan praktis untuk menganalisis PSO/ Layanan Perintis. Proses tersebut dimulai dengan mengajukan pertanyaan dasar, seperti “Mengapa Pemerintah Indonesia ingin memiliki kebijakan PSO/Layanan Perintis?” dan, “Apakah definisi PSO/Layanan Perintis?” Jawaban dari pertanyaan ini menentukan kerangka kerja yang dapat digunakan untuk mengembangkan kebijakan yang jelas. menentukan kerangka kerja kebijakan. dan beroperasi dalam jangka waktu yang tertentu yang dapat diterima. • Kebijakan diarahkan pada PSO/ Layanan Perintis yang seluruhnya atau sebagian dibiayai oleh pemerintah pusat. • Dalam menjaga orientasi bisnis, fokusnya adalah pada penetapan dan pengevaluasian PSO dan Layanan Perintis berdasarkan kinerja: memilih penyedia layanan yang menawarkan mutu dan kuantitas maksimal dari layanan yang diinginkan sebagai kompensasi dari subsidi yang ditawarkan. Harus terdapat hubungan antara belanja dan keluaran daripada membatasi fokus pada pemasukan. • ‘Pilar kebijakan’ untuk PSO dan Layanan Perintis adalah: akses untuk semua kalangan, stabilitas yang otonom (yaitu perlindungan otonomi daerah dan pembangunan ekonomi), transparansi, ‘rasionalisasi kesenjangan’1 dan persaingan dalam penyediaan layanan. • PSO dan Layanan Perintis diperlakukan sebagai konsep bisnis. Oleh karena itu, diperlukan unsurunsur tertentu: para penyedia layanan harus bersaing satu sama lain, mereka harus melakukan investasi dalam bisnis, mereka harus profitabel, dan mereka harus dapat memperoleh kontrak tahun jamak sehingga dapat membuat rencana Tim IndII hampir menyelesaikan tugasnya dalam tinjauan yang dilakukannya atas PSO/Layanan Perintis mencakup fitur berikut ini: • Definisi PSO dan Layanan Perintis dinyatakan secara jelas untuk • Proses pengelolaan PSO dan Layanan Perintis ditentukan dengan jelas. Penerapan Konsep Baru Terdapat tiga konsep baru dalam pendekatan kebijakan yang direkomendasikan. Pertama adalah penjelasan tegas dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tentang lima pilar kebijakan (akses untuk semua kalangan, stabilitas yang otonom, transparansi, Ilustrasi 1 : Proses Sistem PSO/Layanan Perintis (PS) Kunci PSO = Kewajiban Pelayanan Publik PS = Layanan Perintis KEMENHUB = Kementrian Perhubungan 12 KemenBUMN = Kementrian Badan Usaha Milik Negara KemenKeu = Kementrian Keuangan DPR = Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representatives) BUMN = Badan Usaha Milik Negara Prakarsa Juli 2010 rasionalisasi kesenjangan, dan persaingan). Pilar-pilar tersebut bertujuan untuk menghasilkan langkah-langkah tertentu, seperti penciptaan pasar yang bersaing untuk tender dan penyediaan PSO dan Layanan Perintis. Konsep baru kedua adalah perlakukan bahwa penyediaan PSO atau Layanan Perintis merupakan suatu bisnis. Oleh karena itu, pemerintah harus mengemasnya dengan sedemikian rupa, menjadikannya sebagai sebuah peluang yang menarik dan profitabel dan menuntut kinerja sebagai imbalan atas dana yang diberikan. Pergeseran pola pikir bisnis ini penting untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan PSO/Layanan Perintis yang telah direvisi. Dua strategi melandasi pengembangan PSO/Layanan Perintis sebagai peluang bisnis: penggunaan “Kasus Bisnis” dan pelaksanaan kontrak tahun jamak untuk menarik investasi dan peningkatan layanan. Baik Kasus Bisnis dan pembuatan kontrak tahun jamak berfokus pada keluaran, berbeda dengan kontrak berbasis masukan yang biasanya digunakan saat ini. Kasus Bisnis merupakan alat untuk menguji viabilitas ekonomi dan keuangan PSO/Layanan Perintis. Hal tersebut memberikan Pemerintah informasi tentang permintaan, hasil keuangan dan ekonomi dan potensi profitabilitas dari penyediaan layanan. Hal ini memungkinkan Pemerintah menjadi pembeli layanan yang sudah pasti dan para pelaku sektor swasta dapat menggunakan informasi ini untuk menilai viabilitas keuangan suatu bisnis. Penggunaan Kasus Bisnis dapat juga membantu Pemerintah untuk mengambil pendekatan obyektif terhadap penyediaan layanan bersubsidi. Dibandingkan dengan pemberian kontrak atas dasar historis, Kasus Bisnis membantu Pemerintah Indonesia mengetahui secara tepat di mana kebutuhan yang timbul dan keluaran apa yang diharapkan pada tingkat belanja tertentu. Konsep baru ketiga adalah pengembangan proses empat tahap yang merinci tindakan yang diperlukan di setiap tahap pengembangan PSO/Layanan Perintis dan mengidentifikasi para penanggung jawab semua tugas (lihat gambar 1). Terdapat dua perubahan besar utama untuk proses baru tersebut. Pertama, Layanan Perintis akan dihasilkan di tingkat pemerintah setempat atau daerah dan kemudian dimasukkan oleh Kemenhub ke proses perencanaan nasional. Kedua, peran BUMN terkait adalah sebagai penyedia layanan, bukan penentu jumlah dana subsidi yang diberikan. Bappenas akan menjadi pengawas kebijakan, sementara Kemenhub akan melaksanakan program PSO/Layanan Perintis dan mengukur keluaran. Manfaat dari pendekatan ini, yakni Pemerintah Indonesia dapat menargetkan PSO dan Layanan Perintis secara lebih efektif (karena pelanggannya sudah ditentukan dengan jelas); serta makin banyak peluang untuk menurunkan biaya dan/atau meningkatkan standar layanan; dan kinerja diukur sehingga perbaikan program atau penyediaan layanan yang sesuai dapat dilakukan. Pelaksanaan strategi ini merupakan sebuah tantangan. Diperlukan perubahan kelembagaan, namun satusatunya aspek terpenting dari suksesnya kebijakan ini adalah untuk mengonseptualisasikan PSO dan Layanan Perintis sebagai bisnis, dan menciptakan lingkungan di mana kegiatan operasional bisnis akan menghasilkan penentuan target dan penyediaan layanan yang lebih baik. Pendekatan pelaksanaan lima tahunan sedang direncanakan dengan harapan bahwa hasil yang dapat diwujudkan akan bermanfaat bagi warga yang membutuhkan transportasi yang terjangkau dan untuk para pembuat kebijakan yang mengupayakan pembangunan ekonomi Indonesia. 13 Prakarsa Juli 2010 PERGESERAN POLA PIKIR dari halaman 13 CATATAN 1. Dengan kata lain, para pembuat kebijakan harus yakin bahwa layanan ini tidak membebani pelanggan pada tingkat biaya yang lebih rendah dari jumlah biaya yang bersedia mereka bayar, karena hal tersebut berarti dana pemerintah tidak digunakan secara efisien. Mengenai para penulis: Kawik Sugiana adalah seorang perencana regional dan konsultan infrastruktur yang aktif dalam beragam penelitian dan pengkajian di bidang pembangunan regional dan penyediaan infrastruktur. Ia memperoleh gelar Doktor dalam Perencanaan Regional di Amerika Serikat dari University of Wisconsin, Madison. Jabatan yang pernah ia duduki selama 15 tahun terakhir antara lain: Manajer Program Nasional Poverty Alleviation through Rural and Urban Linkages (PARUL) sebuah program di bawah UNDP-Bappenas (19962000); Asisten Deputi 5 yang bertanggung jawab atas Pembangunan Infrastruktur dan Regional pada Kemenko Perekonomian (2000-2001); dan Kepala Program Pascasarjana ‘Perencanaan Kota dan Daerah’ di Universitas Gadjah Mada (20012006). Ia mulai memusatkan perhatiannya pada bidang infrastruktur di tahun 2006 ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Eksekutif Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI). Saat ini ia bekerja sebagai tenaga ahli infrastruktur untuk Proyek Reformasi Kebijakan Kewajiban Pelayanan Publik (IndII - Bappenas). Peter Benson sudah 16 tahun bekerja di bidang konsultasi internasional, pertamatama pada Victorian Road Authority (VicRoads) dan sejak tahun 2000 sebagai konsultan pada Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, AusAid, Badan Pembangunan Internasional Swedia, dan USAID. Ia pernah bekerja di Timor Leste, Bhutan, India, Malaysia, Indonesia, Filipina, Tonga, dan Afghanistan. Peter berpengalaman luas dalam manajemen infrastruktur, namun memiliki spesialisasi di bidang jalan raya dan angkutan jalan raya. Ia mengawali karirnya sebagai pegawai pemerintah negara bagian Victoria, Australia selama 26 tahun dan meningkat hingga menduduki jabatan manajerial di bidang legislasi, manajemen proyek, dan menangani berbagai masalah kebijakan dan kelembagaan. Selama 30 tahun lebih Peter terlibat dalam penyusunan kebijakan publik, maupun dalam manajemen program dan proyek. Ia memilik gelar di bidang Hukum dan Diploma dari Institute of Company Directors. 14 KONSEP YANG MENJANJIKAN dari halaman 7 diberikan, dan unit-unit tersebut diperkirakan akan membutuhkan subsidi pemerintah secara tidak terbatas. Contoh perusahaan jenis pertama di Indonesia adalah Pertamina dan Garuda. Swasta dapat menjadi pemegang saham di perusahaan tersebut, namun perusahaan tersebut didirikan sebagai perusahaan milik pemerintah karena dianggap sebagai kepentingan nasional. Di Indonesia, perusahaan milik pemerintah ini disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Transjakarta dan rumah sakit daerah merupakan contoh perusahaan kategori kedua – perusahaan jawatan yang diperkirakan akan memerlukan subsidi pemerintah secara tidak terbatas. Lembaga yang dibentuk untuk memberikan layanan pemerintah bersubsidi disebut Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Artikel ini fokus pada BLU dan khususnya BLUD. Pemerintah di seluruh dunia telah bergelut dengan masalah penyediaan layanan yang bukan hanya efisien, tetapi juga bebas korupsi, khususnya badan penyedia layanan yang mengenakan biaya. Dalam upaya mengurangi korupsi, tahun 1997 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 20/1997, yang mewajibkan setiap lembaga pemerintah yang menghasilkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk menyetorkan dana tersebut ke rekening pemerintah sesegera mungkin. Karena itu, lembaga pemerintah penyedia layanan tidak dapat menggunakan dana yang diterima walaupun untuk menutupi sebagian biaya operasinya. Akan tetapi, tujuh tahun kemudian, UU No. 1/2004 disahkan, yang menyediakan kerangka hukum yang komprehensif untuk mempertanggung jawabkan alokasi dan penggunaan dana negara, membuka kemungkinan pembentukan unit-unit BLU. Dua peraturan berikutnya – PP No. 23/2005 tentang manajemen keuangan BLU, dan PP No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah – menetapkan kerangka pembentukan BLUD. Selanjutnya, Kemendagri mengeluarkan Peraturan Mendagri No. 61/2006, yang menetapkan pedoman teknis manajemen keuangan untuk BLUD. Di antara dampak penting lainnya dari berbagai peraturan tersebut, BLU dan BLUD menjadi bebas dari ketentuan yang sangat restriktif dalam UU No. 20/1997 tentang penanganan PNBP. Ketentuan tentang manajemen keuangan yang ditetapkan dalam peraturan tersebut ditujukan untuk memberikan Tanggung jawab yang relatif terbatas tersebut dimaksudkan agar efisiensi unitunit tersebut dapat diukur dengan tingkat akurasi yang wajar, agar memungkinkan untuk dimintai pertanggungjawaban dari para pengelola atas efisiensi dan efektivitas kegiatan mereka. Prakarsa Juli 2010 KPS dari halaman 9 kendali keuangan yang memadai serta memberikan kebebasan dan fleksibilitas bagi BLU atau BLUD untuk menyediakan layanan secara efektif dan efisien. Sebuah Model yang Potensial Karena saat ini ada lebih dari 500 pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) di Indonesia, penggunaan model BLUD berpotensi untuk menghasilkan peningkatan yang dramatis dalam penyediaan barang dan layanan dasar untuk masyarakat. Di akhir tahun 2009, Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) melakukan kajian untuk menilai tingkat penggunaan konsep BLUD sampai saat ini dan menentukan kemungkinan bantuan IndII untuk memfasilitasi penggunaan konsep BLUD. Kajian tersebut menemukan bahwa meski banyak peluang untuk menggunakan model BLUD dalam layanan infrastruktur, penggunaannya masih cukup terbatas. Ada beberapa faktor penyebabnya, yang terutama, yakni kurangnya informasi dan pemahaman di tingkat daerah tentang model BLUD dalam penyediaan layanan dan cara terbaik untuk melaksanakannya. Setelah Kemendagri memberikan informasi dan mendorong penggunaan konsep ini, penggunaan model BLUD diperkirakan akan meningkat. Apa Langkah Selanjutnya Apa yang perlu dilakukan untuk memajukan konsep BLUD? Kemendagri sedang menginventarisasi peraturan dan pedoman, dan mengevaluasi peranti, seperti proyek percontohan dan survei yang dapat digunakan untuk menyempurnakan pemahaman tentang keunggulan BLUD dan kesulitan yang terkait dengan pengelolaannya. Berdasarkan kegiatan tersebut, langkah berikutnya adalah menyusun materi yang dapat digunakan pemerintah daerah sebagai pedoman praktis untuk membentuk BLUD dan meluncurkan program promosi yang diarahkan kepada pemerintah daerah agar mereka tahu tentang manfaat pendirian BLUD. Potensi untuk mendirikan BLUD di seluruh Indonesia sangat menggembirakan – mungkin 5.000 BLUD (rata-rata 10 unit per Pemda) atau lebih akan dibentuk dalam lima tahun ke depan. Model BLUD dapat berlaku untuk berbagai macam layanan dasar yang disediakan di tingkat pemerintah daerah yang menyentuh semua rakyat setiap hari. n diharapkan berlanjut, dengan memperhatikan beberapa unsur hukum utama yang diharapkan segera tersedia. Selain penjabaran lebih lanjut peraturan untuk sektor secara khusus, pembaharuan PMK No. 38/2006 diharapkan segera dilakukan yang akan menyederhanakan proses penjaminan dan memperluas jenis penjaminan yang ada, termasuk jaminan yang mencakup risiko utang dari instansi pemerintah. Kapasitas dan Koordinasi Kelembagaan Penerapan dasar hukum memerlukan kapasitas kelembagaan dan dalam kerangka KPS lintas sektor diperlukan koordinasi yang baik. Kapasitas kelembagaan meliputi: • Pengakuan pejabat pemerintah tentang peran dan manfaat KPS • Pemahaman pejabat pemerin­ tah tentang modalitas KPS Mengenai penulis: Darryl Howard, Warga Negara Kanada, pindah ke AS untuk kuliah. Dia meraih gelar MBA, dalam bidang keuangan di University of Washington, kemudian bekerja di Exxon Corporation di Houston. Setelah ditugaskan di New York, Bangkok, Tokyo, Southampton dan Sydney, Darryl ditunjuk sebagai Chief Financial Officer untuk Exxon Indonesia di Jakarta. Setelah menjabat selama kurang lebih 10 tahun, Darryl keluar dari Exxon dan menjadi konsultan independen di Jakarta. Darryl telah bekerja untuk IndII sejak November 2009. • Proses persiapan yang jelas serta peranti dan dokumentasi pendukung dalam pemerintah • Integrasi dengan strategi dan upaya perencanaan pemerintah yang lebih luas Pencapaian kapasitas dan koordinasi kelembagaan merupakan salah satu tantangan terbesar untuk pengembangan 15 Prakarsa Juli 2010 KPS dari halaman 15 KPS di Indonesia saat ini. Pembentukan Unit Pusat KPS dalam lingkungan Bappenas tahun lalu merupakan langkah yang baik menuju pencapaian itu. Namun, masih ada kebutuhan bagi personil Pemerintah – khususnya di kementerian terkait dan pemda yang bertanggung jawab atas identifikasi, pengembangan dan pengawasan proyek KPS – untuk memiliki wawasan yang lebih baik tentang cara kerja KPS dan manfaatnya. Pemahaman yang lebih baik tentang hal ini akan menjadi insentif bagi para pejabat untuk menerapkan KPS guna mencapai target-target infrastruktur. Persiapan Proyek Elemen dasar ketiga dari kesuksesan KPS adalah persiapan proyek yang baik, atau lebih khususnya, identifikasi dan persiapan secara berkesinambungan atas proyek-proyek yang disusun secara tepat. “Alur kesepakatan” ini dapat dibedakan dari kapasitas kelembagaan, karena proyek dapat disiapkan dan transaksi dapat dilakukan dengan bantuan konsultan luar. Sampai sekarang, pelibatan konsultan masih terbatas. Selain itu, efektivitasnya tergantung kepada penyelesaian kerangka hukum dan penguatan kelembagaan seperti dimaksud di atas. Selain itu, meskipun para pejabat pemerintah telah menyadari manfaat KPS dan memahami konsep penerapannya, masih diperlukan prosedur dan peranti yang jelas untuk menyusun proyek dalam lingkungan Pemerintah. Agar sukses mengintegrasikan KPS dalam upaya perencanaan yang lebih luas dan mengkoordinasikannya di berbagai instansi yang terlibat, kebutuhan tersebut harus terpenuhi. Mekanisme tersebut harus mencakup bukan saja identifikasi, desain dan koordinasi proyek fisik dan pemilihan modalitas KPS, tetapi juga penganggaran setiap dukungan pemerintah langsung dan pemrosesan jaminan pemerintah yang mungkin diperlukan untuk pelaksanaan proyek. Dalam beberapa kasus, instansi pemerintah yang menjadi sponsor proyek KPS belum menyadari sepenuhnya nilai manfaat dari pelibatan konsultan luar dalam penyusunan proyek KPS, atau khawatir bahwa pendekatan yang lebih terstruktur dengan melibatkan konsultan dan memperhatikan peraturan KPS akan membutuhkan waktu lebih lama. Dalam hal ini, kapasitas kelembagaan adalah prasyarat bagi instansi pemerintah untuk menentukan kapan dan di mana konsultan luar diperlukan. Kondisi sekarang membuka peluang bagi pemerintah untuk menyusun prosedur operasional tetap (protap) pengembangan dan pelaksanaan KPS dan melibatkan pemangku kepentingan secara komprehensif. Pelibatan ini akan menjamin kelayakan dan efektivitas dari prosedur yang dihasilkan, serta penerimaan dan penerapan oleh instansi yang diharapkan akan melaksanakan prosedur tersebut. 16 Saat ini, sumber daya tersedia dan pemerintah dapat menggunakannya untuk meningkatkan upaya persiapan proyek KPS-nya. Technical Advisory Services (TAS), yang dibiayai dengan pinjaman Proyek Pembangunan Sektor Reformasi Infrastruktur dari Bank Pembangunan Asia, dan bantuan serupa seperti layanan konsultan dari International Finance Corporation (IFC) untuk penyusunan proyek PLTU Jawa Tengah adalah sarana untuk memastikan adanya aliran proyek yang terstruktur dengan baik ke pasar. Mengingat TAS baru mulai beroperasi penuh pada tahun 2009 dan proyek-proyek seperti PLTU Jawa Tengah memerlukan persiapan yang lebih panjang karena kerangka hukum dan koordinasi kelembagaan yang mendasarinya telah kokoh, hasilnya belum terbukti dalam bentuk pemberian dan kesepakatan finansial atas proyek. Prakarsa Juli 2010 Dengan menambahkan penekanan pada kapasitas kelembagaan yang lebih besar dalam pemerintah akan memastikan bahwa upaya ini akan mengarah pada program yang berkesinambungan yang dapat memenuhi target investasi swasta yang ambisius dari pemerintah, bukan hanya kesuksesan ad hoc dalam proyekproyek tertentu. Ketersediaan Pendanaan KPS yang sukses tentu saja juga bergantung pada ketersediaan pendanaan. Karena hanya sedikit proyek era baru yang sampai tahap pendanaan, tidak ada bukti konklusif apakah pendanaan akan segera tersedia untuk proyek-proyek yang terstruktur dengan baik dalam jumlah besar. Pendirian Dana Infrastruktur Indonesia (IIF) dapat membantu ketersediaan pembiayaan, sementara PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (IIGF) dapat membantu mengurangi risiko yang ditanggung oleh pemberi pinjaman, khususnya yang dari luar negeri yang Sebelum KPS dapat dimulai, terlebih dulu harus ada dasar hukum penetapkan peran organisasi dan penentuan bagaimana KPS dilaksanakan. mungkin lebih sensitif terhadap risiko negara. Bank-bank domestik sampai saat ini baru memberikan porsi kecil dari portofolio pinjaman mereka untuk infrastruktur. Tentu akan berguna untuk mendorong atau memfasilitasi pinjaman domestik yang lebih besar untuk infrastruktur, namun saat ini tidak ada bukti bahwa pembiayaan tidak tersedia untuk proyek-proyek yang terstruktur dengan baik. Kesimpulannya, meski panjangnya waktu untuk penyusunan peraturan pendukung dan keterlambatan pelibatan konsultan dalam penyusunan proyek turut menyebabkan perlambatan KPS di Indonesia pasca-krisis, dasar hukum dan program konsultasi yang diperlukan sebagain besar telah ada saat ini. Sekarang pencapaian potensi KPS bergantung pada kemampuan kelembagaan internal Pemerintah untuk melaksanakan dan mengoordinasi kegiatan KPS. Pernyataan yang diberikan oleh Presiden dan para menteri menunjukan keinginan untuk mewujudkannya, meski pernyataan semata tidak menjamin tercapainya kesuksesan. Perumusan dan pelaksanaan prosedur khusus dan protap untuk KPS di semua instansi pemerintah, serta pengembangan kapasitas dan penggalakan KPS di lingkungan kementerian terkait dan pemerintah daerah, adalah kunci untuk kemajuan program KPS yang lebih luas dan berkesinambungan di masa depan. Pemerintah Indonesia saat ini memiliki peluang untuk memastikan bahwa KPS akan mencapai potensinya. n CATATAN 1. Proyek-proyek KPS yang mulai beroperasi selama dekade lalu mencakup lebih dari selusin proyek listrik independen yang relatif kecil, sekitar enam segmen jalan tol baru, beberapa proyek distribusi air, dan beberapa proyek telekomunikasi untuk memenuhi kewajiban layanan universal. Nilai total proyek-proyek KPS itu diperkirakan kurang dari US$2 milyar, walau perlu diingat bahwa angka itu tidak mencerminkan jumlah total semua investasi sektor swasta dalam infrastruktur Indonesia. Mengenai penulis: Mike Crosetti adalah direktur pelaksana Castlerock Consulting, sebuah perusahaan konsultan energi, infrastruktur dan TI yang berkantor di Jakarta dan Singapura. Dia memiliki pengalaman selama lebih dari 25 tahun memberikan jasa konsultasi kepada pemerintah dan perusahaan tentang strategi, kebijakan, regulasi dan restrukturisasi dalam sektor energi dan infrastruktur. Selama 15 tahun lalu, dia bekerja dari Jakarta dengan penugasan di seluruh Asia. Tahun 2008 dia memimpin tim yang membantu Bappenas dalam pembentukan Unit Sentral Kerjasama Pemerintah Swasta. Belum lama ini, dengan dana dari IndII, dia menyusun Pedoman Investor KPS Pemerintah Indonesia yang dirilis pada konferensi Infrastructure Asia. Sekarang dia memimpin tim yang dibiayai Bank Dunia untuk membantu Kementerian ESDM dalam penyusunan kerangka penentuan harga, kebijakan dan peraturan untuk tenaga panas bumi di Indonesia. Sebelumnya, Mike adalah seorang partner di PA Consulting Group, perencana energi di Bank Dunia, analis di Jet Propulsion Laboratory dan penerima beasiswa Fulbright. Mike mendapat gelar BA dalam bidang Filsafat dan MSc dalam bidang Sistem Ekonomi Teknik dari Stanford University. 17 Prakarsa Juli 2010 Jalan Raya Baru Membawa Peluang Baru Bagi Indonesia Timur Jalan raya yang lebih baik dapat memberi manfaat bagi seluruh masyarakat. Pinjaman dari Pemerintahan Australia untuk meningkatkan jaringan jalan raya nasional akan membantu mendorong pembangunan ekonomi dan sosial dalam jangka panjang di Indonesia Timur. • Oleh Hugh Brown EINRIP mendukung dan mengarahkan untuk peningkatan praktik kerja, penumbuhkembangan budaya yang menitikberatkan pada mutu serta menekankan perlunya ‘melakukan pekerjaan dengan benar’. Tujuan EINRIP bukanlah sekadar membangun dan meningkatkan jalan raya, tetapi juga untuk menciptakan sarana jalan yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat dalam jangka panjang. Kegiatan EINRIP di Sumbawa Atas perkenan Teguh Wiyono Pesan Editor: Kolom informasi dalam edisi ini menyajikan pekerjaan EINRIP, sebuah program yang terkait erat dengan berbagai kegiatan IndII. EINRIP, sebagai salah satu bagian utama dari keikutsertaan AusAID dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, telah menyediakan informasi awal yang berharga tentang berbagai isu dan peluang saat ini di sektor infrastruktur Indonesia, khususnya dalam hal pembangunan jalan raya. Persiapan EINRIP telah menciptakan kemitraan yang efektif antara AusAID dan Direktorat Jenderal Bina Marga (DJBM), yang menjadi landasan kerja antara IndII dan DJBM dewasa ini, khususnya dalam program Audit Keselamatan Jalan Raya. Di waktu mendatang IndII akan mendukung EINRIP dengan melakukan audit terhadap beberapa kegiatan EINRIP terpilih, dan memberi saran tentang cara meningkatkan pengelolaan lalu lintas selama berlangsungnya pekerjaan konstruksi oleh EINRIP. Pinjaman AU$300 juta Pemerintah Australia untuk perbaikan jalan raya dan jembatan di Indonesia Timur (EINRIP) adalah pinjaman yang terbesar dari dua pinjaman yang pernah diberikan Australia. Tujuannya adalah untuk menunjang perkembangan ekonomi dan sosial di wilayah Indonesia yang paling terbelakang, suatu wilayah yang memiliki makna khusus bagi Australia. AusAID dan DJBM sejak 2006 bermitraan erat dalam mempersiapkan program EINRIP, meliputi 20 proyek konstruksi besar di sembilan provinsi. Proyek pertama dimulai tahun 2009, dan program ini diharapkan selesai tahun 2013. Jalan raya dibangun untuk bertahan lama; 18 Peningkatan keselamatan jalan raya adalah komponen kunci bagi EINRIP. Angka kecelakaan di jalan raya Tohpati - Kosamba di Bali menunjukkan rata-rata satu korban jiwa per kilometer per tahun. Jadi, jalan raya baru sepanjang 20 kilometer yang sedang dibangun EINRIP berpotensi untuk menyelamatkan sebanyak 20 jiwa per tahun. Jalan raya yang lebih baik dapat menciptakan manfaat keekonomian melalui berbagai cara. Penurunan waktu dan biaya perjalanan di koridor nasional jarak jauh, secara langsung menunjang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan akses pada pusat administratif dan sosial serta fasilitas peluang pasar. Jalan raya yang lebih baik membantu meruntuhkan praktik monopoli produk pertanian oleh para tengkulak sehingga dapat memperbaiki harga di tingkat petani. Selain itu perbaikan praktik pembangunan jalan raya dan penguatan pengawasan akan memperpanjang masa hidup aset, membantu menjadikan anggaran jalan raya lebih efisien, dan menunjang peningkatan jalan raya selanjutnya. Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memelihara dan memperluas jaringan jalan raya agar tidak tertinggal dari kebutuhan pembangunan daerah. Dukungan Australia dalam penyediaan investasi modal dan peningkatan kapasitas merupakan kontribusi penting dalam tugas ini, dan semakin menguatkan kemitraan yang menjadi landasan program bilateral antara kedua negara. Mengenai penulis: Hugh Brown mengepalai Unit Pengawasan EINRIP di AusAID Jakarta. Prakarsa Juli 2010 t Pandangan Para Ahli Pertanyaan: “Apa yang dapat dilakukan agar mekanisme pembiayaan infrastruktur dapat dimanfaatkan secara lebih baik?” Reydonnyzar Moenek Direktur Administrasi Pendapatan dan Investasi Daerah, Kementerian Dalam Negeri t “Ada banyak peluang untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat melalui BLUD [Badan Layanan Umum Daerah] yang dapat dibentuk oleh pemerintah daerah. Sebagai contoh adalah pengelolaan tempat pembuangan sampah akhir, layanan bus, rumah sakit, atau bahkan fasilitas pengolahan limbah cair. Dalam rangka menggali potensi BLUD, kita masih menghadapi tantangan klasik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Selain itu juga diperlukan dasar hukum (yang saat ini belum ada) untuk kegiatan yang mencakup lebih dari satu kota atau kabupaten. Tempat pembuangan sampah akhir yang berada di perbatasan antara dua kota adalah contoh yang baik untuk hal ini.” Yadi J. Ruchandi, CFA Chief Operating Officer, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) t “Pendanaan pemerintah saja tidak cukup untuk memenuhi kekurangan pembiayaan infrastruktur. Perlu ada kebijakan pendanaan infrastruktur yang berorientasi pasar berdasarkan praktik terbaik internasional, yang disesuaikan dengan konteks Indonesia. Pemerintah Indonesia telah mencapai kemajuan dalam bidang kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) untuk infrastruktur, termasuk pembuatan kerangka peraturan dan kelembagaan yang mendukung, dan mengupayakan beberapa transaksi KPS. Perhatian perlu pula diarahkan pada penguatan proses persiapan proyek, dengan lebih mengandalkan konsultan luar, dan peningkatan kualitas studi kelayakan, serta pengembangan Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Indonesia untuk memobilisasi dana dalam negeri jangka panjang untuk membiayai infrastruktur melalui KPS. Karena KPS di bidang infrastruktur di Indonesia masih dianggap investasi berisiko tinggi, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (IIGF) dirancang untuk meningkatkan kualitas KPS di bidang infrastruktur. Jaminan yang diberikan IIGF akan fokus secara khusus pada risiko-risiko pra-konstruksi, konstruksi dan/atau operasi yang terkait dengan tindakan-tindakan pemerintah (seperti peruntukkan tanah dan penerbitan perizinan), dan memfasilitasi keterlibatan investor swasta dalam persiapan proyek. ” Yuniar Affandi Direktur Umum, PDAM Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat “Pemerintah daerah akan diuntungkan dengan adanya kebijakan pemerintah pusat yang jelas tentang posisi PDAM. Kebijakan nasional ini akan menjadi payung bagi kebijakan daerah. Bagi PDAM, keseimbangan antara misi sosial dan komersial merupakan hal yang ideal. PDAM akan selalu menghadapi kesulitan peningkatan dan ekspansi kegiatan operasinya jika hanya ditempatkan sebagai entitas sosial. Masyarakat harus memahami bahwa PDAM harus memiliki kondisi keuangan yang sehat untuk memenuhi standar layanan minimum. PDAM di kota-kota terpencil dan di pedalaman menemui kesulitan mendapatkan pinjaman komersial dari bank untuk memperluas pembangunan infrastrukturnya, karena sebagian besar memiliki peringkat keuangan yang tidak sehat. Selain peningkatan peluang PDAM untuk mengakses kredit komersial, dukungan pembiayaan dari APBN dan hibah dari lembaga donor sangat penting di masa depan. Dengan bantuan IndII, PDAM kami telah mengembangkan Rencana Usaha yang baik, dan kami sekarang sedang berupaya untuk mendapatkan pinjaman dari sebuah bank milik pemerintah. ” 19 Prakarsa Juli 2010 Hasil : Memberi Masyarakat Sambungan Air Minum Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII) membantu 20 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk memperkuat operasi mereka agar mendapatkan akses kredit komersial. Semua PDAM yang bersangkutan sedang menyusun rencana usaha lima tahunan yang komprehensif, laporan tahunan, laporan keuangan yang dibakukan, tarif yang dapat menutup biaya, serta penerapan pola tata kelola perusahaan yang baik. Tujuan mereka adalah untuk dapat mengajukan permohonan kepada Kementerian Keuangan sesuai Peraturan Presiden No. 29/2009 guna memperoleh dukungan pembiayaan melalui fasilitas pinjaman dari bank umum nasional. Tiga PDAM yakni dari Kabupaten Lombok Timur, Tasikmalaya, dan Kudus, kini sudah menyelesaikan proses yang diperlukan dan telah mengajukan permohonan kepada Kementerian Keuangan. Pinjaman tersebut akan digunakan untuk menyediakan pemipaan sambungan air baru ke sekitar 88.000 rumah tangga. Sambungan tersebut akan menyediakan air minum berkualitas dengan pasokan tambahan yang dapat diandalkan untuk 440.000 jiwa. Prakarsa Edisi Mendatang Memperluas Akses untuk Air Minum Setelah disahkannya UU otonomi daerah, investasi Indonesia dalam infrastruktur air minum perkotaan turun secara substansial, sementara pemerintah daerah masih enggan untuk berinvestasi pada perusahaan daerah air minum (PDAM) setempat. Hal ini mengakibatkan melambatnya perluasan pasokan air minum di perkotaan dan menurunnya persentase pelayanan jasa air minum untuk warga kota oleh PDAM. Pemerintah Indonesia telah memberikan komitmen yang jelas untuk memperbaiki situasi itu, dengan mengupayakan strategi empat arah untuk investasi publik dalam pasokan air minum yang mencakup reformasi tarif, restrukturisasi utang, jaminan pinjaman pemerintah pusat dan skema subsidi bunga, serta skema Hibah Air Minum yang berbasis hasil (untuk informasi umum tentang Hibah ini, lihat halaman 10). Pemerintah Australia mendukung upaya Pemerintah RI melalui Water and Sanitation Initiative (WSI), yang dikelola oleh Prakarsa Infrastruktur Indonesia (IndII). Prakarsa edisi Oktober 2010 akan membahas aspek-aspek utama dari permasalahan penyediaan air minum, termasuk kemajuan yang dicapai dalam memperkuat kegiatan operasi PDAM dan cara untuk optimalisasi penggunaan dana WSI. 20