KERAGAMAN GENETIK, STRUKTUR POPULASI DAN FILOGENETIK IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) DI PERAIRAN MALUKU UTARA DAN AMBON, INDONESIA NEBUCHADNEZZAR AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Keragaman Genetik, Struktur Populasi dan Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Nebuchadnezzar Akbar NIM C551120031 RINGKASAN NEBUCHADNEZZAR AKBAR. Keragaman Genetik, Struktur Populasi dan Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus Albacares) di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia. Dibimbing oleh DR. IR. NEVIATY P ZAMANI, M.Sc dan DR. HAWIS H MADDUPPA, S.Pi, M.Si. Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) adalah ikan komersial penting dan ditemukan di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia. Tetapi, aktivitas penangkapan ikan tuna dapat menurunkan kualitas dan kuantitas stok ikan, jika dibiarkan secara berkelanjutan. Sehingga perlu adanya pengkajian keragaman genetik ikan tuna. Pemahaman yang baik tentang keragaman genetika dibutuhkan untuk merencanakan strategi konservasi tuna yang lebih baik. Hal ini dikarenakan keragaman genetik, stuktur populasi dan filogenetik mempunyai arti penting dalam stabilitas dan ketahanan populasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keragaman genetik, struktur populasi dan filogenetik ikan tuna sirip kuning di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia. Analisis keragaman genetik, struktur populasi dan hubungan filogenetik dengan teknik DNA sequencing yang bertujuan untuk mengetahui informasi urutan basa nukleotida pada molekul. Proses analisis sampel dilaksanakan dengan ekstraksi, Polymerase Chain Reaction (PCR), elektroforesis dan DNA sekuensing. Analisis data menggunakan tiga aplikasi molekuer yakni MEGA5 untuk identifikasi, jarak genetik dan filogenetik, Arlequin 3.5 untuk keperluan analisis struktur populasi dan DnaSP 4.0 untuk melihat keragaman genetik populasi. Analisis dilakukan pada 41 sampel jaringan yang terbagi dari Maluku Utara sebanyak 33 sampel dan Ambon 8 sampel. Koleksi sampel diperoleh di tempat pendaratan ikan di Maluku Utara dan Ambon pada bulan Februari 2013 Hasil penelitian diperoleh keragaman genetik dalam populasi ikan tuna sirip kuning Maluku Utara sebesar 0.984 dan keragaman nukleotida bernilai 0.021, keragaman genetik dan keragaman nukloetida dalam populasi ikan tuna sirip kuning Ambon 1.00 dan 0.018. Keragaman genetik dan antar kedua populasi ikan tuna sirip kuning sebesar 0.990 dan keragaman nukleotida adalah 0.020. Nilai keragaman genetik yang tinggi menunjukan bahwa ikan tuna sirip kuning masih memiliki peluang untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan sewaktu-waktu. Analisis struktur populasi ditemukan nilai jarak genetik dalam populasi Maluku Utara 0.022 dan Ambon adalah 0.019, jarak genetik dalam kedua populasi adalah 0.021 dan jarak genetik antar kedua populasi adalah 0.021. jarak genetik antara perairan Maluku dengan Samudera Hindia adalah 0.121. Hasil analisis jarak berpasangan (Fst) antara populasi Maluku Utara dan Ambon sebesar 0.562, Maluku Utara dengan Samudera Hindia adalah 0.931 dan Ambon dengan Samudera Hindia adalah 0.906. Kedekatan jarak genetik memperlihatkan kedua populasi merupakan satu keturunan yang sama. Rekonstruksi filogenetik ikan tuna sirip kuning dari dua populasi memperlihatkan kekerabatan yang erat antar satu dengan yang lain. Informasi data genetik ikan tuna sirip kuning yang diperoleh ini dapat dijadikan sandaran dalam pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan Kata kunci : Ekstraksi, elektroforesis, filogenetik, keragaman genetik, Polymerase Chain Reaction, DNA sequencing dan struktur populasi. SUMMARY NEBUCHADNEZZAR AKBAR. Genetic Diversty, Structure Population and Pyhlogenetic Yellowfin Tuna (Thunnus Albacares) in North Mollucas and Ambon Sea, Indonesia. Supervised by DR. IR. NEVIATY P ZAMANI, M.Sc AND DR. HAWIS H MADDUPPA, S.Pi, M.Si. Yellowfin tuna (Thunnus albacares) is a large, pelagic, and migratory species of tuna that inhabits the Norh Moluccas and Ambon Sea in Indonesia, and most sea environment worldwide. However, high fishing activities tended of happen in the Indonesia region and catched product appear to be decreasing. A better understanding of tuna genetic diversity is required to plan better conservation strategy of tuna. The genetic diversity, population structure and pyhlogenetic are important on stability and resilience of the population. The study was conducted of infer the genetic diversity, population structure and phylogenetic yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the North of Moluccas and Ambon Sea, Indonesia. Genetic diversity, population structure and pyhlogenetic Analysis using DNA sequencing method which is a method to determine the nucleotide sequence of base pairs in the molecule. Sample analysis process carried out by extraction, Polymerase Chain Reaction (PCR), electrophoresis and DNA sequencing. Analysis molecular data using three applications, MEGA5 for Identification, genetic distance and phylogenetic, Arlequin 3.5 for purposes of population structure and DnaSP 4.0 to finded genetic diversity data. Analysis was performed on 41 tissue divided into as North of Mollucas samples and Ambon 8 samples. The results showed that genetic diversity and nucleotide diversity of yellowfin tuna from North Moluccas population was 0.984 and 0.021, respectively, while in Ambon population, the genetic and nucleotide diversities were 1.00 and 0.018. The genetic diversity (0.990) and nucleotide diversity (0.021) between two populations were observed. High genetic diversity show that still has chance to adaptation the environmental condition at many time. Genetic distance in population yellowfin tuna from North Moluccas was (0.022), Ambon was (0.019) and in two population was (0.021), between two population was (0.021), respectively. The genetic distance between population Moluccas and Hindian Ocean was (0.121). The fixation index analysis (Fst) between North Moluccas and Ambon was (0.562), North Moluccas and Hindian Ocean was (0.931), respectively Ambon and Hindian Ocean was (0.906). Proximity of two population showed genetic distance in same lineage. Based on phylogenetic and population structure analysis, no genetic differentiation between the two populations in Ambon and North Moluccas Sea, Indonesia was revealed. Genetic data information of yellowfin tuna obtained can be relied upon in resource management suistainable. Keywords: Extraction, electrophoresis, phylogenetic, genetic diversity, Polymerase Chain Reaction, DNA sequencing and population structure © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB KERAGAMAN GENETIK, STRUKTUR POPULASI DAN FILOGENETIK IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) DI PERAIRAN MALUKU UTARA DAN AMBON, INDONESIA NEBUCHADNEZZAR AKBAR Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis Nama NIM : Keragaman Genetik, Struktur Populasi dan Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia : Nebuchadnezzar Akbar : C551120031 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Neviaty P. Zamani. M.Sc Ketua Dr. Hawis. H. Madduppa. S.Pi,M.Si Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dr. Ir. Neviaty P. Zamani. M.Sc Tanggal ujian : 11 Agustus 2014 a.n. Dekan Sekolah Pascasarjana Sekretaris Program Magister Prof. Dr. Ir. Nahrowi. M.Sc Tanggal lulus : PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini adalah genetika, dengan judul “Keragaman Genetik, Struktur Populasi dan Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty. P. Zamani. M.Sc dan Bapak Dr. Hawis. H. Madduppa. S.Pi. M.Si selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Khairun Ternate yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi, kemudian juga kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi yang telah bersedia memberikan beasiswa kepada penulis sepanjang masa studi. Pernghargaan yang sama juga penulis berikan kepada Bapak Dedy Kotambunan S.E, Prof. Dr. Husen Alting SH, M.Si, Najamuddin ST. M.Si, Dr. Abdurrahman Baksir, Ibu Irmalita Tahir S.Pi. MSi, Beginner Subhan SPi. MSi, Dondy Arafat S.Pi, M.Si, Triyono SPi, M.Si, teman-teman di Indonesia Biodiversity Research Center (IBRC) Bali, teman-teman Pascasarjana IKL angkatan 2012, seluruh dosen Ilmu dan Teknologi Kelautan, teman-teman BMKG Bitung yang telah menuntun, berdiskusi, memberikan masukan dan membantu dalam penelitian. Ungkapan terima kasih yang paling dalam saya disampaikan kepada keluarga tercinta, ayahku Nungcik SR, Ibuku Artaty Soleman, kedua nenek ku Maida Iskandar Alam dan Rahima, adikku M. Andesko Ramadhan dan M.Furqan, Fadly Soleman Tarafannur, Muzakir Tolongara, Wahdanur Tuara, Fatma Tuara, Habibul, Ma Dodo serta seluruh keluarga besarku di Ternate, Bengkulu, Lampung, Jambi, Medan, Bandung dan Jakarta, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga apa yang tertuang di dalam karya ilmiah ini bermanfaat bagi seluruh pembaca baik di kalangan akademik, pemerintahan dan masyarakat umum. Bogor, Agustus 2014 Nebuchadnezzar Akbar xi DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xii I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Hipotesis 1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1 2 4 5 5 II METODE PENELITIAN 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian 2.2. Metode Penelitian 2.2.1. Penelitian Lapangan 2.2.2. Penelitian Laboratorium 2.3. Sampling 2.4. Prosedur Penelitian 2.5. Analisis Molekuler 2.5.1. Ekstraksi DNA 2.5.2. Polymerase Chain Reaction (PCR) 2.5.3. Elektroforesis 2.5.4. DNA Sequensing 2.6. Analisis Data 2.6.1. Identifikasi Spesies 2.6.2. Analisis keragaman genetik dan struktur populasi 2.6.3. Analisis Filogenetik 6 6 6 6 6 6 7 7 7 8 8 8 8 8 9 10 III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakteristik Molekuler 3.2. Keragaman Genetik Ikan Sirip Kuning 3.3. Struktur Populasi Ikan Sirip Kuning 3.4. Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) 3.5. Implikasi Manageman Sumberdaya Ikan tuna 11 11 12 16 21 25 IV SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan 4.2. Saran 28 28 28 DAFTAR PUSTAKA 29 LAMPIRAN 38 RIWAYAT HIDUP 45 xii DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Kategori nilai keragaman genetik, struktur populasi dan jarak genetik Total jumlah tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditemukan Perbandingan karakteristik molekuler Ikan tuna sirip kuning Deskripsi statistik keragaman genetik sampel ikan tuna sirip kuning Perbandingan keragaman genetik ikan tuna dengan spesies ikan laut lainya Jarak genetik populasi ikan tuna sirip kuning Jarak genetik antar populasi Perairan Maluku dengan Samudera Hindia Analisis uji jarak berpasangan (Fst) pada tiga populasi ikan tuna sirip kuning Subtitusi nukleotida pada spesies tuna sirip kuning Status sumberdaya ikan tuna berdasarkan IUCN Daftar Apendiks ikan tuna berdasarkan CITES 10 11 11 12 14 16 16 17 24 25 26 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka penelitian keragaman genetik, struktur populasi dan hubungan filogenetik ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 2. Zona operasi penangkapan ikan tuna sirip kuning (T.albacares) di Perairan Laut Maluku, Indonesia (bintang merah = Maluku Utara, segitiga biru = di Ambon) 3. Bagan alir penelitian 4. Jaringan distribusi haplotipe untuk ikan tuna sirip kuning 5. Sirkulasi arus lintas Indonesia (Arlindo) 6. Struktur populasi genetik tuna sirip kuning diperairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia 7. Kesuburan rata-rata perairan laut musiman pada tahun 2004-2006 8. Pohon filogenetik ikan tuna sirip kuning 5 6 7 19 20 20 21 23 DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil identifikasi melalui Basic Local Aligment Search Tools (BLAST) di lokasi Ambon 2. Hasil identifikasi Basic Local Aligment Search Tools (BLAST) di lokasi Ambon 3. Accession number, lokasi dan data sekuens 4. Hasil analisis keragaman genetik ikan tuna sirip kuning 5. Contoh fragmen mtDNA hasil amplifikasi sampel ikan tuna 38 40 41 42 41 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia berada diantara dua samudera yaitu Pasifik dan Hindia, arus kedua samudera masuk ke perairan Indonesia melalui perantara arus lintas Indonesia (Wyrtki 1961; Gordon 2005). Keadaan ini menciptakan karakteristik yang khas diperairan dan dijadikan sebagai daerah migrasi atau mencari makan oleh ikan (Tomascik et al 1997). Ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) merupakan salah satu spesies tuna yang masuk diperairan Indonesia (Bailey et al 2012; Baskoro et al 2004). Ikan tuna sirip kuning (T. albacares) adalah ikan komersial penting dan ditemukan diperairan Tropis dan Subtropis (Wu et al 2010; Collette dan Nauen 1983). Penangkapan ikan tuna telah di lakukan selama 5 dasawarsa, pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut terus meningkat rata-rata sebesar 5.45% setiap tahunnya (Witomo dan Wardono 2012). Sibert et al (2009) menyebutkan bahwa tuna sirip kuning merupakan spesies target penangkapan di daerah iklim sedang dan tropis. Penangkapan ikan tuna khususnya ikan tuna sirip kuning di Samudera Pasifik menunjukan adanya peningkatan seiring berjalannya waktu. Total produksi hasil tangkapan di Samudera Pasifik sejak tahun 1950 hingga tahun 2000 mencapai 50 juta ton/ tahun dengan nilai penjualan ikan tuna hingga tahun 2008 diperkirakan mencapai 5 milyar US$ (Sibert et al 2009; Williams dan Terawasi 2009). ISSF (2012) melaporkan bahwa terjadi penangkapan ikan tuna sirip kuning pada tahun 2010 di Samudera Pasifik mencapai 2.296.000 tonnes dan terjadi penurunan tangkapan sekitar 3% dari tahun 2009, Samudera Hindia sendiri mencapai 843.000 ton pada tahun 2010 dan terjadi penurunan tangkapan sebesar 4% dari tahun 2009 dan Samudera Atlantik sebesar 419.600 tonnes, dan peningkatan 2% dari tahun 2009. Bailey et al (2012) mengatakan bahwa status populasi ikan tuna sirip kuning pada daerah Coral Triangle tuna berstatus eksploitasi penuh dan tuna mata besar berstatus kelebihan tangkap (overfishing). Total potensi penangkapan ikan tuna Indonesia mencapai 6.5 juta ton/tahun dan peningkatan rata-rata tangkapan 1.18% sejak tahun 2007-2011 (KKP 2011). Perairan Indonesia, khususnya perairan Maluku Utara dan Ambon merupakan daerah potensial ikan pelagis besar seperti ikan tuna (KKP 2011). Potensi sumberdaya ikan tuna diperairan ini didukung oleh geografis yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, Laut Seram, Laut Maluku, Laut Halmahera dan Laut Banda yang merupakan jalur masuknya Arus Lintas Indonesia. Total produksi penangkapan ikan tuna di perairan Maluku Utara pada tahun 2011 sebesar 106.000. ton/tahun dan produksi penangkapan di perairan Ambon sebesar 104.000. ton/tahun (KKP 2011). Allen (2000) menjelaskan bahwa kedua perairan ini masuk dalam kawasan segitiga terumbu karang yang mempunyai biodiversitas spesies laut yang sangat tinggi. Intensitas penangkapan ikan tuna di Perairan Maluku Utara tergolong tinggi, kondisi ini dikhawatirkan akan menyebabkan terjadi kelebihan tangkap sehingga akan menyebabkan penurunan populasi ikan tuna sirip kuning di perairan Maluku Utara dan Ambon. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan suatu program konservasi, untuk melindungi ikan tuna sirip kuning tersebut dari kelangkaan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui konservasi genetik, namun untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya kajian 2 tentang keragaman genetik dan struktur populasi ikan tuna sirip kuning. Informasi ini diperlukan guna dijadikan dasar bagi penetapan kebijakan pengelolaan dan konservasi genetik ikan tuna sirip kuning di kawasan ini. Hal ini penting dilaksanakan karena spesies ikan tuna ini terdistribusi didaerah tropik sampai sub tropik dengan kelimpahan dan nilai komersil yang tinggi (Lintang et al 2012; Griffiths 2010). Terjadinya tingkat pemafaatan ikan yang tinggi dan dikawatirkan populasi akan cenderung berkurang sehingga menurunkan keanekaragaman dan populasi ikan yang ada (Syahrir 2013; Kawimbang 2012). Proses kegiatan penangkapan yang dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan penurunkan populasi dan variasi genetik ikan (Wigati et al 2003). Pengetahuan tentang stok dan status populasi ikan sangat diperlukan untuk pengelolaan, terutama agar menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian (Syahailatua 1993). Penilaian ukuran populasi ikan perlu dilakukan karena dapat menunjukan populasi ikan yang tereksploitasi oleh penangkapan (Pope et al 2010). Beberapa pendekatan untuk mengetahui status populasi bisa dilakukan dengan pengukuran berdasarkan morfologi dan genetik (Ihssen et al 1981). Sejauh ini pengkajian untuk melihat struktur populasi dilakukan dengan metode konvensional melalui pendekatan morfologi dan meristik. Analisis ini dijadikan sebagai langkah awal untuk melihat ketersediaan populasi dengan ukuran jumlah populasi yang besar berdasarkan tampilan fenotip (Daud et al 2005). Slamat et al (2011) mengatakan keragaman ikan dapat diidentifikasi dengan melihat karakter fenotipe meristik yaitu dengan cara menghitung jumlah jari-jari sirip yang terdapat pada tubuh ikan. Namun kajian secara morfologi ini hanya bisa melihat status populasi, spesies atau individu berdasarkan tingkat perbedaan bentuk dan ukuran masing-masing. Turan et al (2004) menyebutkan karakteristik morfologi hanya bisa digunakan untuk identifikasi ukuran populasi tanpa informasi genetik. Kekurangan informasi genetik di dalam studi populasi melalui kajian morfologi, memberikan pandangan bahwa perlu adanya pengkajian struktur populasi berdasarkan tingkat genetik. Analisis ini bertujuan mengetahui keragaman genetik dengan melihat apakah terjadi perpindahan genetik diantara populasi sehingga bisa menentukan status hidup populasi (Santos et al 2010). Selain itu pemahaman tentang struktur populasi bertujuan untuk keberlanjutan dan efektifitas manajemen sumberdaya (Nishida et al 1998; Chiang et al 2006; Chiang et al 2008). Informasi genetik pada ikan dengan migrasi yang tinggi seperti tuna sangat penting untuk pemanfaatan yang bersifat lestari (Santos et al 2010). Kemampuan hidup suatu populasi akan lebih baik dengan variasi genetik yang tinggi di dalam suatu populasi. Ferguson et al (1995) mengatakan keragaman genetik mempunyai arti penting dalam stabilitas dan ketahanan populasi. Variasi genetik memungkinan adanya perubahan evolusi didalam kehidupan populasi yang berkaitan dengan respon terhadap perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh penyakit, parasit, kompetisi, predator atau polusi (Frakham 1996). Cooper et al (2009) menjelaskan kehilangan variasi genetik diantara populasi diakibatkan dari pencampuran populasi satu turunan. Maluku Utara dan Ambon secara geografis terletak di bagian timur Indonesia yang dibatasi oleh Samudera Pasifik, Laut Seram, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Halmahera. Kedudukan ini menyebabkan massa air perairan kedua dipengaruhi oleh arus lintas Indonesia. Arus ini mengalir dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia melintasi perairan Maluku Utara dan Ambon. Molcard et al (2001) menjelaskan Arlindo 3 merupakan aliran arus antar samudera yang melewati Indonesia dan memiliki peranan yang penting dalam sistem sirkulasi massa air yaitu mensuplai massa air ke Samudera Hindia. Gordon (2005) menerangkan bahwa jalur kedua dari Arlindo masuk dari Laut Maluku kemudian menuju Laut Seram dan mengalir ke Laut Banda melalui Selat Manipa. Lebih lanjut Gordon (2005) melaporkan bahwa perairan Maluku Utara dan Ambon dilewati arus thermoklin Pasifik selatan dan arus termhoklin Pasifik utara. Pembentukan arus ini akan membantu ikan khususnya tuna dalam bermigrasi dan bertemu antar populasi. Ikan tuna merupakan spesies pelagis yang beruaya jauh, terdistribusi secara luas dan bermigrasi mengikuti pola arus perairan (Bremer et al 1998; Chen et al 2005). Pertemuan ikan tuna ini akan mempengaruhi pola distribusi dan genetik ikan secara langsung, hal ini diperkuat dengan pernyataan Gaylord dan Gaines (2000) yang mengatakan bahwa arus laut dapat mempengaruhi distribusi populasi dan struktur genetika ikan. Gordon dan Fine (1996) juga mengatakan rute pertukaran gen antara organisme tropis di Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik terus berlangsung hingga saat ini dan pertukaran gen secara garis besar melalui perantara Arlindo. Dilihat dari sejarah geologi, Maluku Utara dan Ambon merupakan kepulauan yang terbentuk akibat peristiwa tubrukan lempeng yang terjadi sehingga menyebabkan kenaikan kerak bumi keatas permukaan laut. Hal ini menyebabkan isolasi yang panjang dan rumitnya pembentukan pulau ini secara geologi telah memberikan fenomena menarik tehadap jenis fauna yang menghuni pulau Halmahera (Hall 1998). De jong (1998) mengatakan bahwa secara geologi antara pulau Halmahera dan Seram sangat berbeda dimana pulau Halmahera secara geografis mengarah ke bagian timur Indonesia sedangkan pulau Seram menjulur ke bagian barat Indonesia. Variasi kondisi lingkungan diduga dapat menimbulkan variabilitas genetika pada ikan laut dan perubahan struktur genetik yang diakibatkan terjadinya perubahan tinggi muka air laut pada jaman Pleistosen (Saunders et al 1986; Borsa 2003). Kedudukan Maluku Utara dan Ambon dengan tipe perairan yang khas akibat pengaruh oseanografie dan proses pembentukan geologi, memberikan ciri tertentu terhadap kedua lokasi ini. Kondisi seperti ini tentunya berbeda dengan lokasi di Indonesia lainnya yang seperti Papua, Selawesi, Jawa dan Sumatera yang secara oseanografie dan geologi tidak sedemikian kompleks. Berbagai penjelasan ini memberikan pandangan bahwa perlu adanya suatu kajian filogenetik di lokasi ini untuk menjawab hubungan kekerabatan yang terjadi antara ikan khususnya tuna sirip kuning. Pengetahuan tentang hubungan kekerabatan suatu spesies diperlukan untuk mempelajari evolusi beberapa taksa yang memiliki kekerabatan dengan membandingkan sekuen DNA nya (Ubadillah dan Sutrisno 2005). Baldauf (2003) mengatakan ilmu filogenetik dapat memperkirakan evolusi yang terjadi pada masa lalu dengan membandingkan sekuens DNA atau Protein. Campbell et al (2012) menyebutkan filogenetik dapat menunjukan hubungan evolusioner dari suatu organisme yang disimpulkan dari data morfologi dan molekuler. Penelitian filogenetik ikan tuna sendiri telah dilakukan oleh Chow dan Kishino (1995) yang melihat hubungan filogenetik diantara spesies tuna dengan menggunakan genom mitokondria dan nuklear. Selanjutnya Chow et al (2003) melakukan identifikasi morfologi dan genetik larva dan ukuran tuna berukuran sedang di Samudera Pasifik Barat. Penelitian tentang keragaman genetik, struktur populasi dan filogenetik ikan tuna sirip kuning di luar perairan Indonesia telah dilakukan oleh penelitian terdahulu tentang 4 keragaman genetik ikan tuna sirip kuning telah dilakukan oleh Scoles dan Graves (1993) di Samudera Pasifik, Permana et al (2007), Moria et al (2009), Wu et al (2010) di (Samudera Pasifik dan Hindia), Wijana et al (2010) penelitian tuna sirip kuning dengan pengambilan sampel ikan dari Spanyol dan Philiphine, Kunal et al (2013) di perairan Hindia dan Kunal et al (2014) di sepanjang pesisir India. Sedangkan di Indonesia sendiri baru dilakukan oleh beberapa orang diantaranya, studi genetika populasi ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) di Benoa Bali (Nugraha 2009), tuna sirip kuning (Thunnus albacores) dari daerah Bali, Maluku Utara dan Sulawesi Utara (Permana et al 2007) dan kajian struktur populasi tuna mata besar di Samudera Hindia bagian Sumatera Barat, Selatan Jawa dan Nusa Tenggara yang dilakukan oleh Suman et al (2013). Sehubungan dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang keragaman genetik, struktur populasi ikan dan filogenetik tuna di perairan Indonesia belum banyak dilakukan. Selain itu belum banyaknya informasi tentang genetik ikan tuna diperairan khususnya Maluku Utara dan Ambon mendasari dilakukanya penelitian di kedua wilayah ini. Analisis keragaman genetik, struktur populasi dan hubungan filogenetik ikan tuna menggunakan teknik DNA sequencing. DNA sequencing merupakan teknik yang dapat dipakai untuk mengetahui informasi genetik dan metode untuk memperoleh urutan basa nukleotida pada molekul DNA (Sanger et al 1977). Freeland (2005) mengatakan DNA sekuensing merupakan satu-satunya metode untuk mengidentifikasi pasangan basa dengan tepat antara individu yang berbeda dan memungkinkan untuk menyimpulkan hubungan evolusi. Selain itu teknik ini sangat mudah, cepat, efisien sehingga banyak digunakan sebagai aplikasi dasar (Graham dan Hill 2001; Ubadillah dan Sutrisno 2009). DNA sekuensing melibatkan proses reaksi, pemisahan, deteksi dan data untuk mendapatkan sekuens dari DNA (Nunnally 2005). Metode ini telah di gunakan dalam penelitian Chiang et al (2008) untuk mengkaji struktur populasi tuna mata besar di perairan samudera Hindia dan Martinez et al (2006) yang bertujuan untuk melihat keragaman genetik dan sejarah demografi ikan tuna mata besar di Atlantik. 1.2. Perumusan Masalah Geografis kepulauan Maluku Utara dan Ambon dikelilingi oleh lima perairan besar yaitu Samudera Pasifik, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda. Sehubungan dengan kondisi tersebut maka pola dan massa air perairan kedua pulau di pengaruhi masa air samudera Pasifik dan Hindia yang masuk melalui perantara arus lintas Indonesia (Arlindo), thermoklin Pasifik selatan dan arus termhoklin Pasifik utara. Kondisi ini menguntungkan perairan karena akan membentuk karakteristik yang khas di perairan sehingga dijadikan ikan tuna sirip kuning sebagai tempat bermigrasi dan mencari makan. Karakteristik perairan seperti ini menyebabkan perairan Maluku Utara dan Ambon mempunyai stok sumberdaya ikan tuna sirip kuning yang berlimpah. Kedudukan Maluku Utara dan Ambon yang unik dari segi oseanografi membuat kedua lokasi ini berbeda dengan lokasi yang lain di Indonesia seperti Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Jawa dan Sumatera. Potensi sumberdaya ikan tuna berlimpah diikuti dengan pemanfaatan yang terus dilakukan dapat mengancam ketersediaan populasi di alam. Aktifitas kegiatan penangkapan secara berkala dapat mengurangi ketersediaan populasi ikan yang juga mempengaruhi variasi genetik populasi. Untuk itu diperlukan pengkajian tentang 5 keragaman genetik, struktur genetik dan filogenetik ikan tuna yang dijadikan sebagai informasi guna menentukan status populasi. Informasi ini digunakan untuk menentukan strategi keberlanjutan untuk menjaga pelestarian sumberdaya. Salah satu strategi yang dilakukan adalah konservasi genetik. Secara umum kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada (Gambar 1). Indonesia Oseanografi Maluku Utara dan Ambon Tuna sirip kuning Nilai komersial Pembentukan geologi Filogenetik ikan tuna Keanekaragamanan genetik Pemanfaatan tinggi Struktur populasi genetik Gambar 1.3. 1. Pola pemanfaatan dan pelestarian Populasi Kerangka penelitian keragaman genetik, struktur filogenetik ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). genetik dan Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Kegiatan penangkapan ikan tuna sirip kuning di Perairan Maluku Utara dan Ambon memberikan dampak terhadap keragaman genetik dan struktur populasi ikan tuna sirip kuning di kedua perairan ini. 2. Kompleksitas oseanografie dan proses geologi di Maluku Utara dan Ambon, dapat memberikan pengaruh terhadap kekerabatan ikan tuna sirip kuning diantara peraiaran Maluku Utara dan Ambon. 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman genetik, struktur populasi dan filogenetik ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di Perairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia. Manfaat dari penelitian ini adalah dijadikan sebagai informasi untuk menentukan dasar kebijakan konservasi dan pelestarian sumberdaya genetik ikan tuna sirip kuning di Perairan Maluku Utara dan Ambon. 6 BAB II METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna sirip kuning dilakukan pada lokasi pangkalan pendaratan ikan (PPI) dan pelabuhan perikanan nusantara (PPN) di lokasi Maluku Utara dan Ambon pada bulan Februari 2013. Gambar 2. Zona penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di Perairan Laut Maluku, Indonesia (bintang merah = Maluku Utara, segitiga biru = Ambon). 2.2. Metode Penelitian 2.2.1. Penelitian Lapangan Pengambilan sampel dilapangan menggunakan metode penelitian eksploratif yaitu metode penelitian mengkaji dan mengungkapkan sesuatu dari lapangan sebagai suatu temuan-temuan yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan (Messerscmidt 1995). 2.2.1. Penelitian Laboratorium Analisis keragaman genetik, struktur populasi dan hubungan filogenetik ikan tuna menggunakan metode DNA sequencing (Sanger et al 1977). 2.3. Sampling Koleksi sampel dilakukan di pangkalan pendaratan ikan (PPI) dan pelabuhan perikanan nusantara (PPN) Maluku Utara dan Ambon. Pengambilan sampel Maluku Utara terbagi tiga lokasi yaitu Bacan, Tidore dan Ternate. Sampel kemudian di foto dan diambil bagian sirip renang 3 cm. Sirip renang di pilih dikarenakan bagian tubuh yang lebih aktif memiliki kualitas dan kuantitas DNA yang lebih baik dari bagian lain. Sampel kemudian di simpan dalam tube yang telah diisi dengan larutan ethanol 96%. Tahapan berikutnya adalah proses ektraksi, amplifikasi, elektroforesis dan sekuensing DNA. 7 2.4. Prosedur Penelitian Tahapan penelitian dapat dilihat pada bagan alir penelitian dibawah ini : Sampling Dokumentasi Pemotongan Sirip Botol Sampel Ekstraksi DNA Amplifikasi DNA DNA Elektroforesis DNA Sekuensing DNA Interpretasi data Kesimpulan Gambar 3. Bagan alir penelitian 2.5. Analisis Molekuler Analisis molekuler untuk mendapatkan data fragmen DNA menggunakan metode DNA sequencing dengan primer CRK-CRE dilakukan di laboratorium Indonesia Biodiversity Research Center (IBRC), Bali. Proses analisis sampel dilaksanakan dengan beberapa tahapan antara lain : 2.5.1. Ekstraksi DNA Analisis DNA diawali dengan proses ekstraksi yang dimulai dari pengambilan sampel jaringan. Sebelum dan sesudah jaringan diambil, pinset dicelupkan ke dalam ethanol 96% dan dibakar dengan api bunsen. Isolasi DNA mitokondria menggunakan larutan Chelex 10% (Walsh et al 1991). Berikutnya tube divortex dan disentrifuge selama + 20 detik, kemudian dipanaskan dalam heat blok dengan suhu 95oC selama + 45 menit. Setelah dipanaskan, tube kembali divortex dan disentrifuge selama + 20 detik. Larutan ekstraksi siap digunakan untuk amplifikasi. 8 2.5.2. Reaksi Rantai Polomerasu (PCR) Amplifikasi dilakukan pada lokus mtDNA control region menggunakan primer forward CRK 5’-AGCTC AGCGC CAGAG CGCCG GTCTT GTAAA-3’ dan primer reverse CRE 5’-CCTGA AGTAG GAACC AGATG-3’(Lee et al 1995). Reaksi PCR dilakukan dalam volume 25 µL, menggunakan template DNA sebanyak 1 µL. Dalam setiap reaksi terdapat 2,5 µL 10x PCR buffer (Applied Biosystems), 2.5 µL 10 mM dNTPs, 1.25 µL pada masing-masing primer 10 mM, 2 µL 25 mM MgCl2 solution, 0.125 µL AmplyTaq Red™ (Applied Biosystems), 1 µL 1x BSA dan 13.5 µL ddH2O. Profil PCR meliputi denaturasi awal pada suhu 94 °C selama 15 detik, denaturasi pada 94 °C selama 30 detik, annealing pada 50 °C selama 30 detik, dan extension pada 72 °C selama 45 detik, selama 72 °C untuk 5 menit dan proses ini terjadi pengulangan sebanyak 38 siklus. 2.5.3. Elektroforesis Elektrofores merupakan metode standar yang digunakan untuk identifikasi, pemisahan dan purifikasi DNA. Selain itu elektroforesis bermanfaat untuk bisa melihat keberhasilan PCR melalui gel agarose 1% dengan cara 1 gram agarosa dimasukkan erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 mL TAE 1X. Setelah itu dipanaskan di dalam mikrowave, jika sudah larut merata ditambahkan 4 uL EtBr. Gel agarosa dituangkan di cetakan yang sudah dipasang sisir pembuat sumur dan didiamkan selama 30 menit. Hasil elektroforesis kemudian di visualisasi menggunakan mesin ultraviolet dengan voltase 200 V dan arus 400 mA selama 30 menit. 2.5.4. DNA Sekuensing Hasil PCR yang telah berhasil diamplifikasi kemudian dikirim ke Berkeley Sequencing Facility USA dengan menggunakan metode Sanger et al (1977) untuk mendapatkan urutan pasang basah sekuen nukleotida. 2.6. Analisis Data Analisis data dilakukan di laboratorium Indonesia Biodiversity Research Center (IBRC), Bali dan laboratorium Marine Biodiversity dan Biosystymatics (Ilmu Dan Teknologi Kelautan, IPB). Sekuen control region mtDNA dianalisis menggunakan empat aplikasi yaitu MEGA5 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis) (Tamura et al 2011), Arlequin 3.5 (Excoffier dan Lischer 2009), DnaSP 4.0 (Rozas et al 2003) dan Network 4.6. 2.6.1. Identifikasi Spesies Proses identifikasi ikan tuna begitu sulit dikarenakan rusaknya karakter morfologi setelah ditangkap dan diawetkan dalam waktu yang lama dan bentuk morfologi yang mirip akibat kedekatan genetik antar individu cukup tinggi, untuk itu diperlukan suatu pendekatan agar dapat memastikan individu yang ditemukan dengan menggunakan aplikasi MEGA5 (Tamura et al 2011). Pada software ini dilakukan proses penjajaran sekuen agar dapat melihat kemiripan yang nyata antar sekuens dengan metode DNA Weight Matrix ClustalW (1.6) dan Translation Weight (0.5). Identifikasi spesies melalui aplikasi Blast (Basic Local Aligment Tools) yang tersedia pada program MEGA5. 9 2.6.2. Analisis Keragaman Genetik dan Struktur Populasi Analisis keragaman genetik dan struktur populasi melibatkan tingkat keragaman genetik pada data sekuens mtDNA control region menggunakan aplikasi DnaSP 4.0 (Rozas et al 2003). Deskripsi analisis statistik DnaSP 4.0 yaitu pengukuran keragaman haplotipe (Hd) (Nei 1987) dan keragaman nukleotida (π) (Lynch and Crease 1990). Analisis struktur populasi menggunakan aplikasi Arlequin 3.5 (Excoffier dan Lischer 2009) dengan deskripsi level jarak antar populasi dilakukan menggunakan fixation index (Fst) (Excoffier et al 1992). Jarak genetik dalam dan antar populasi dianalisa berdasarkan parameter jarak (Nei 1972) dan (Nei 1978), dilakukan menggunakan MEGA5 (Tamura et al 2011). Distribusi haplotipe dan pohon antara sekuens menggunakan aplikasi Network 4.6. Jaringan haplotype berdasarkan jarak berpasangan antara haplotipe yang dihasilkan menggunakan Arlequin. Secara statistik rumus perhitungan keragaman genetik, struktur populasi dan jarak genetik disajikan dibawah ini : Analisis keragaman genetik : Dimana : h = keragaman genetik n = Jumlah dari grup Xi = Frekuensi haplotipe sampel - i Analisis jarak genetik : Dimana : D = Jarak genetik Jab = Frekuensi haplotipe tiap lokasi pada populasi yang sama. Ja & Jb = Frekuensi haplotipe populasi A dan B Analisis fiksasi indeks (Fst) : Dimana : Fst = indeks diferensiasi Hw = Rata-rata perbedaan intra populasi Hb = Rata-rata perbedaan diantara populasi Data berupa sekuen mtDNA control region untuk perbandingan genetik ikan sirip kuning (Thunnus albacares) dari Hindia diambil sebanyak 20 individu. Semua data diunduh dari GeneBank dengan accession number seperti disajikan pada (Lampiran 3). Kategori nilai keragaman genetik, struktur populasi dan jarak genetik disajikan pada (Tabel 1). 10 Tabel 1. Kategori nilai keragaman genetik, struktur populasi dan jarak genetik Kategori Analisis Rendah Sedang Tinggi Sumber Keragaman Genetik (Hd) 0.1-0.4 0.5-0.7 0.8-1.00 Nei 1987 Excoffier et al Struktur Populasi (FST) 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.00 1992 Jarak Genetik (D) 0.010-0.099 0.1-0.99 1.00-2.00 Nei 1972 2.6.3. Analisis Filogenetik Analisis filogenetik untuk melihat hubungan kekerabatan ikan tuna sirip kuning diantara populasi dilakukan dengan melibatkan seluruh sampel yang ditemukan. Rekonstruksi pohon filogenetik dengan metode neighbor joining, model evolusi Kimura 2-parameter dan replikasi bootstraps 1000 melalui tahapan sekuens diedit kemudian diurutkan (aligned) terlebih dahulu dengan model ClustalW (1.6) (Tamura et al 2011). 11 BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakteristik Molekuler Amplifikasi PCR pada 41 sampel ikan tuna sirip kuning menggunakan primer CRKCRE diperoleh panjang basa (bp) pada lokus control region mitochondrial DNA adalah 517 bp (base pairs) (Tabel 3). Panjang basa yang ditemukan adalah ukuran panjang basa normal yang biasanya ditemukan pada ikan, sebagaimana dilaporkan oleh Liu et al (1999) dan Ali et al (2004) bahwa ukuran panjang basa pada ikan berkisar 200-1500 bp. Penggunaan primer CRK-CRE sendiri diacu pada penelitian Lee at al (1995) yang meneliti 23 spesies dari 8 famili untuk mendapatkan struktur dan daerah control mitokondrial pada ikan teleostei. Panjang fragmen untuk sampel tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang diperoleh memiliki panjang basa (bp) yang lebih panjang jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lainya dengan menggunakan primer yang berbeda, namun juga ditemukan panjang basa (bp) yang lebih panjang dari hasil penelitian yang diperoleh (Tabel 3). Perbedaan panjang basa (bp) dari hasil amplifikasi yang dilakukan disebabkan karena perbedaan jumlah sampel, kualitas DNA yang ditemukan, spesifik primer, ukuran panjang primer, komposisi basa-basa primer, lingkungan, makanan dan keturunan (Williams et al 1990; Shizuka dan lyon 2008). Namun secara umum perbedaan panjang basa dan penggunaan primer yang berbeda tidak menunjukan adanya pengaruh terhadap hasil analisis yang dilakukan. Hasil indentifikasi dengan menggunakan program Basic Local Aligment Search Tools (BLAST) pada lokasi Maluku Utara ditemukan 33 individu dan lokasi Ambon terdapat 8 individu (Tabel 2). Tabel 2. Total jumlah tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditemukan. Nama Jumlah Spesies umum Lokasi dan tahun Singkatan sampel Maluku Utara, 2013 33 Thunnus albacares Yellowfin YFT Ambon, 2013 8 Total 41 Tabel 3. Perbandingan karakteristik molekuler tuna sirip kuning (Thunnus albacares) Jumlah Panjang sampel basa (bp) Lokasi Primer Sumber 41 517 Maluku Utara dan Ambon CRK-CRE Hasil Penelitian Kunal et al 370 500 Pesisir India Enzyme Rsa I 2014 Barat Laut Atlantik, S.Pasifik, S.Hindia dan 148 333 Pesisir Ivory CB3 dan GLUDG Ely et al 2005 L15998-PRO dan 124 366 Barat S.Pasifik dan Hindia CSBDH Wu et al 2010 Dammanggoda. 285 540 Perairan Sri Langka ATPase 6 S. 2007 12 3.2. Keragaman Genetik Ikan Tuna Sirip Kuning Analisis keragaman haplotipe (Hd) dan nukleotida (π) dengan menggunakan aplikasi DnaSP 5.10 menemukan nilai keragaman haplotipe ikan tuna sirip kuning populasi Maluku Utara sebesar 0.984 dan keragaman nukleotida (π) bernilai 0.021 dan keragaman genetik populasi Ambon 1.00 dan nukleotida 0.018. Nilai keragaman genetik antar kedua populasi adalah 0.990 dan keragaman nukelotida 0.020.Tingginya nilai keragaman genetik sama seperti Scoles dan Graves (1993) di Samudera Pasifik (0.840), Moria et al (2009) keragaman genetik tuna sirip kuning 0.878 berdasarkan sampel larva, Wu et al (2010) sebesar 0.992 di Barat Samudera Pasifik dan 0.999 di Barat Samudera Hindia, serta Kunal et al (2013) sebesar 0.998 perairan India. Hasil penelitian ini mirip dengan laporan hasil penelitian ikan migratory pelagis lainnya seperti tuna alalunga, tuna mata besar dan ikan cakalang (Carlsson et al 2004; Chiang et al 2006, 2008; Martinez dan Zardoya 2005; Martinez et al 2006; Nugraha 2009; Dammannaggoda 2007; Suman et al 2014). Nilai keragaman haplotipe tertinggi jika dibandingkan antara kedua populasi terdapat pada populasi ikan tuna sirip kuning Ambon yaitu sebesar 1.00 dan keragaman haplotipe terkecil pada populasi ikan tuna sirip kuning Maluku Utara yakni 0.984 (Tabel 4). Tabel 4. Deskripsi statistik keragaman genetik ikan tuna sirip kuning. Sampel N Hn Hd Π Maluku Utara Ambon 33 8 25 8 0.984 1 0.021 0.018 Semua Populasi 41 33 0.990 0.020 Keterangan : n = Jumlah sampel, Hn = Jumlah haplotipe Hd = Keragamanan haplotipe, π = Keragaman nukleotida. Secara keseluruhan jika hasil penelitian digabungkan dengan berbagai sumber penelitian lainnya maka diperoleh kisaran nilai keragaman genetik ikan tuna sirip kuning berada diantara 0.840-1.00. Kemiripan dan perbedaan nilai keragaman genetik disebabkan oleh jumlah sampel yang digunakan pada saat penelitian berbeda-beda, sebagaimana yang dijelaskan Nei (1981) bahwa nilai keragaman genetik satu spesies tergantung pada ukuran sampel yang di temukan. Avise et al (1989) menyebutkan bahwa keragaman haplotipe keseluruhan mtDNA untuk beberapa ikan berada dalam kisaran 0.473-0.998. Suman et al (2013) menjelaskan bahwa perbedaan nilai haplotipe diantara dan didalam populasi diakibatkan karena subtitusi, insersi atau delesi genetik. Secara umum sumber variasi genetik disebabkan oleh perkawinan acak, ukuran populasi sangat besar, migrasi, mutasi, rekombinasi dan seleksi alam (Hartl dan Clark 1997; Hartl dan Jones 1998; Griffiths et al 2000; Anne et al 2007; Hamilton 2009). Dengan begitu tingginya keragaman genetik ikan tuna sirip kuning diduga disebabkan oleh dua faktor, pertama adalah populasi yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak (interbreding) di antara individu-individu anggotanya, dengan demikian setiap individu memiliki peluang untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun berbeda dengannya. Perkawinan silang seperti ini, membantu dalam meningkatkan frekuensi alel satu generasi dan diturunkan ke generasi berikutnya. 13 Selain itu ukuran populasi yang besar juga dapat melindungi terjadinya penurunan populasi, karena meski adanya tekanan penangkapan secara berkala terhadap ikan tuna sirip kuning namun ukuran populasi dalam jumlah yang besar masih tersedia dan menyebar di perairan antar samudera atau perairan lokal pada suatu negara. Populasi yang menyebar secara luas mengakibatkan penangkapan ikan tuna hanya pada sub populasi yang berjumlah kecil pada suatu perairan. Proses perpindahan atau migrasi antar perairan membutuhkan waktu yang cukup lama karena biasanya ikan bergerak mencari makanan di wilayah sekitar terlebih dahulu. Berbagai penjelasan diatas juga didukung hasil penelitian Ely et al (2005) menemukan terdapat sub populasi tuna sirip kuning di Samudera Atlantik. Hal yang sama juga ditemukan spesies ikan tuna lainnya lain seperti Grewe dan Hamptom (1998) mengkaji 800 sampel tuna mata besar dengan menggunakan analisis mtDNA dan DNA mikrosatelit menemukan terdapat sub populasi di dalam populasi ikan tuna mata besar di Samudera Pasifik yang tersebar secara luas, kemudian Nugraha (2009) dalam penelitianya genetika populasi ikan tuna mata besar (T. obesus) di Benoa Bali dimana sampel dikumpulkan di perairan Samudera Hindia (selatan Jawa dan Nusa Tenggara) terdapat lima sub kelompok diperairan yang terbagi atas dua populasi yang terbagi menjadi populasi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Martinez et al (2006) menjelaskan bahwa ditemukan dua clade tuna mata besar diperairan Samudera Atlantik dan dua pola genetik yang berbeda, hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Bremer et al (1998) dimana terdapat tiga populasi ikan tuna di dunia yakni populasi ikan tuna di Samudera Atlantik dan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Chiang et al (2008) melakukan penelitian pada empat lokasi di daerah Samudera Hindia dan memperlihatkan bahwa tidak adanya perbedaan genetik yang nyata pada populasi ikan tuna mata besar di Samudera Hindia, kemudian Chiang et al (2006) dalam penelitiannya menemukan tuna mata besar pada Pasifik Barat merupakan satu populasi panmictik tunggal. Faktor kedua adalah kemampuan migrasi yang tinggi dimana migrasi menyebabkan terjadinya pertemuan antar populasi yang besar, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perkawinan silang dan memungkinkan adanya aliran gen (gen flow) antar populasi yang berbeda, dengan demikian akan mempengaruhi tingkat keragaman genetik ikan tuna dalam kurun waktu tertentu. Hal ini memungkinkan karena jalur migrasi ikan tuna yang bergerak dari Samudera Pasifik kemudian bermigrasi masuk ke Indonesia khusunya perairan Laut Maluku, Laut Seram dan Laut Banda sehingga memungkinkan terjadi perkawinan antar populasi. Pertemuan ini menyebabkan terjadinya aliran gen (gen flow) didalam dan antar populasi. Aktivitas migrasi ikan tuna ini didukung oleh Nishida et al (1998) yang menggunakan metode penanda (Tagging) dan menemukan bahwa beberapa spesies ikan tuna melakukan perjalanan jauh lintas Samudera. Kemampuan migrasi ikan tuna yang tinggi dan ukuran populasi yang besar memberikan peluang untuk bertemu dan mengakibatkan terjadi persilangan genetik (Grant 1985; Palumbi 1994; Wild 1994; Ely et al 2005). Durand et al (2005) menyebutkan bahwa terdapat populasi ikan tuna dari dua kelompok berbeda di perairan dunia yakni dari Samudera Atlantik dan Indo-Pasifik bertemu di bagian selatan laut Afrika dan pertemuan ini menimbulkan gerombolan populasi yang besar, selanjutnya Gonzales et al (2008) terjadi perkawinan antara populasi ikan tuna yang berbeda pada lokasi di bagian selatan Samudera Atlantik. 14 Ikan tuna mempunyai mobilitas tinggi yang memberikan pengaruh terhadap proses transfer genetik antar populasi, penjelasan ini didukung oleh Scoles dan Graves (1993) yang menyebutkan bahwa secara umum terdapat aliran gen yang terjadi antar populasi. Nilai keragaman genetik ikan tuna yang tinggi menunjukan bahwa tuna memiliki tingkat keragaman genetik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan laut lainya seperti yang disajikan pada (Tabel 5). Perbedaan nilai keragaman genetik ini mungkin diakibatkan oleh sifat migrasi dan penyebaran tuna yang tinggi dan bergerombol sehingga memberikan peluang bertemu dengan kelompok lain di berbagai perairan, dibandingkan ikan kerapu, kakap, malalugis, ikan karang dan ikan anggoli yang relative hidup dalam kelompok dan hanya berada di wilayah tertentu serta kemampuan migrasi yang rendah. Penjelasan ini didukung oleh Zardoya et al (2004) yang mengatakan bahwa keragaman haplotipe yang tinggi pada sebagian besar spesies tuna merupakan tipe pola genetik ikan famili scrombridae. Sedangkan Wild (1994) mengatakan bahwa tingkat migrasi ikan tuna lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan air laut yang lain sehingga memberikan peluang adanya pertemuan dan persilangan dengan populasi yang lain semakin besar. Selain itu Moria et al (2009) menambahkan bahwa sifat migrasi ikan tuna yang bergerombol cenderung menghasilkan nilai keragaman genetik yang tinggi dibandingkan dengan ikan kerapu dan kakap yang relative hidup dalam kelompok dan wilayah tertentu. Grant (1985) mengatakan bahwa ikan laut yang memiliki sifat migrasi, memijah spontan atau telur dan larvanya bersifat pelagik berpengaruh terhadap pengurangan penghayutan genetik (random genetic drift) dan rendahnya divergen antar populasi. Vinas (2004b) mengatakan bahwa beberapa peristiwa memperlihatkan bahwa adanya perbedaan ekologi, tingkah laku dan rekrutmen diri membuat mekanisme perubahan genetik menjadi berbeda. Tabel 5. Perbandingan keragaman genetik ikan tuna dengan spesies ikan laut lainnya. Keragaman Spesies genetic Sumber Tuna sirip kuning (Thunnus albacares) 0.990 Akbar 2014 Tuna mata besar (Thunnus obesus) 0.999 Chiang et al 2008 Carlsson et al bluefin tuna (Thunnus thynnus thynnus) 0.991 2004 Dammannaggoda Cakalang (Katsuwonus pelamis) 0.910 2007 Layang (Cypselurus opisthopus) 0.189 Fahri 2001 Anggoli (Pristipomoides multidens) 0.007-0.417 Wigati et al 2003 Permana et al Kakap merah sebae (Lutjanus sp) 0.099 2003 Ikan karang (Family pomacanthidae dan Affonso dan 0.197- 0.467 chaetodontida) Galetti 2007 Malalugis (Decapterus macarellus) 0.369 Zamroni 2012 Sembiring et al Kerapu bebek (Cromileptes altivelis) 0.774-0.794 2013 15 Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang lebih baik, hal ini disebabkan karena setiap gen memiliki respon yang berbedabeda terhadap kondisi lingkungan. Kehadiran berbagai macam gen pada individu di dalam populasi memberikan peluang untuk tahan terhadap berbagai perubahan lingkungan yang ada. Sebagaimana dijelaskan oleh Hartl dan Jones (1998) bahwa keragaman genetik yang tinggi di dalam populasi ikan dapat melindungi dari berbagai gangguan lingkungan, hal ini diperkuat oleh pernyataan Soelistyawati (1996) bahwa proses perpindahan materi genetik antar populasi yang berbeda lokasi mempengaruhi keragaman genetik. Hasil analisis keragaman genetik dari 41 individu ikan tuna sirip kuning pada kedua perairan ditemukan 33 haplotipe spesifik dan 7 haplotipe yang sama serta 1 haplotipe berada pada dua individu yang berbeda lokasi. Wu et al (2010) yang menemukan 111 total haplotipe yang berbeda dari total 124 sampel. Niwa et al (2003) juga menemukan distribusi haplotipe total 28 yang di analisis, terdapat 18 haplotipe spesifik pada setiap individu, 8 haplotipe terdapat pada dua individu dan 1 haplotipe menyebar di empat individu. Semakin beragam tipe komposit haplotipe tingkat keragaman genetik populasi genetik pada satu populasi akan semakin tinggi dan begitu juga sebaliknya (Smith et al 1981). Tingginya keragaman genetik dan haplotipe spesifik yang beragam memberikan gambaran bahwa belum terjadi perubahan struktur genetik pada populasi ikan tuna di Maluku Utara dan Ambon karena masih mempunyai variasi gen yang beragaman. Walaupun diketahui bahwa sumberdaya ikan tuna adalah spesies yang dijadikan ikan target dalam operasi penangkapan dan telah lama dieksploitasi karena memiliki nilai komersil yang tinggi. Meskipun demikian kegiatan penangkapan tidak bisa dibiarkan secara terus menurus karena dapat mempengaruhi struktur populasi yang berakibat turunnya keragaman genetik suatu spesies. Hal ini memberikan padangan bahwa perlu adanya strategi untuk melindungi keanekaragaman hayati diperlukan melalui konservasi genetik dengan penegakan regulasi dan upaya pengendalian tangkapan ikan berdasarkan kategori ukuran, karena keragaman hayati mencakup segala aspek yang meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi dan jenis. Perbedaan genetik ini dianggap penting dibanding jenis dan ekosistem, hal ini disebabkan karena sumber daya genetik merupakan kunci penting bagi suatu jenis untuk bertahan hidup sampai generasi berikutnya. Krisis biodiversitas atau keragaman hayati dimulai dari semakin menurunnya tingkat keragaman genetik dari suatu jenis. Hasil yang ditemukan dapat menjelaskan bahwa kedua kelompok tuna sirip kuning ini memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap perubahan lingkungan yang terjadi sewaktu-waktu. Taylor dan Aarsen (1988) menjelaskan bahwa spesies dengan kemampuan beradaptasi yang baik akan menghasilkan variasi fenotip dan genotip guna merespon terhadap perubahan kondisi lingkungan sehingga individu dapat bertahan hidup dan berkembang baik. Keanekaragaman penting untuk keberlanjutan sumberdaya alam pada masa depan termasuk pada sektor sumber daya ikan tuna sirip kuning dan perikanan komersil. Menurut Frankham (1999) kehilangan keragaman genetik akan mengurangi kemampuan spesies tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, lebih lanjut Hughes et al (2008) menjelaskan keragaman genetik mempunyai dampak potensial secara langsung maupun tidak terhadap individu, spesies, populasi, komunitas dan ekosistem. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Leary et al (1985) 16 bahwa keragaman genetik yang rendah berakibat negatif terhadap sifat penting dalam makhluk hidup seperti kecilnya sintasan suatu organisme, berkurangnya pertumbuhan, keragaman ukuran serta turunnya kemampuan adaptasi. 3.2. Struktur Populasi Ikan Tuna Sirip Kuning Analisis struktur populasi meliputi jarak genetik, analisis Fixation Index (Fst) dan jaringan haplotipe. Hasil analisis ditemukan jarak genetik dalam populasi Maluku Utara adalah 0.022, dalam populasi Ambon sebesar 0.019 dan jarak genetik dalam kedua populasi yaitu 0.021 (Tabel 6). Sedangkan hasil analisis jarak genetik antar populasi Maluku Utara dengan Ambon adalah 0.021. Kedekatan hubungan kekerabatan antar populasi mungkin disebabkan karena antar populasi mempunyai asal-usul induk yang sama (Iskandar et al 2010). Perbandingan jarak genetik populasi Perairan Maluku dan Samudera Hindia diperoleh jarak genetik yakni 0.121 (Tabel 7). Keseluruhan hasil yang diperoleh menunjukan bahwa semua populasi berkerabat dekat. Hasil ini mirip yang diperoleh Dammannagoda (2007) di perairan (Sri Lanka dan Samudera Hindia), Scoles dan Graves (1993) di Samudera Pasifik juga menemukan tidak ada differensiasi genetik signifikan antara tuna sirip kuning pada dua lokasi yang berbeda. Hasil analisis ini didukung oleh pernyataan Gonzales et al (2008) yang mengatakan bahwa terdapat aliran gen antar populasi ikan tuna pada kawasan Indo-Pasifik. Michels et al (2001) mengatakan populasi yang tersebar dan terpisah secara geografis memiliki hubungan struktur genetik dan terjadi aliran gen (gene flow), sedangkan Palumbi (2003) menyebutkan bahwa populasi yang berdekatan secara morfologi tetapi terpisah secara geografis kemungkinan adanya kedekatan genetik antar keduanya. Presentasi nilai jarak genetik menjelaskan bahwa dari 517 pasangan basa (bp) yang diperoleh hanya terdapat 21 pasangan basa yang berbeda antara populasi Maluku Utara dan Ambon, 22 pasangan basa yang berbeda dalam populasi Maluku Utara. Semakin kecil nilai jarak genetik antar individu didalam maupun antar populasi, maka semakin dekat kedekatan genetik (Koh et al 1999). Tabel 6. Jarak genetik dalam populasi tuna sirip kuning. Jarak Genetik Dalam Populasi Antar populasi Lokasi Maluku Utara Ambon Semua populasi Maluku Utara Ambon Maluku Utara 0.022 - Ambon 0.019 0.021 - Semua populasi 0.021 - Tabel 7. Jarak genetik antar populasi tuna sirip kuning Perairan Maluku dengan Samudera Hindia Jarak Genetik Lokasi Perairan Maluku Samudera Hindia Dalam populasi Perairan Maluku 0.021 Samudera Hindia 0.282 Antara populasi Perairan Maluku 0.121 Samudera Hindia - 17 Secara keseluruhan hasil penelitian yang diperoleh menjelaskan bahwa ikan sirip kuning yang tersebar pada kedua wilayah memiliki jarak genetik yang dekat antar satu dengan yang lain. Kedekatan genetik pada populasi Maluku Utara dan Ambon pada populasi tuna sirip kuning memberikan dugaan bahwa kedua populasi tersebut berasal dari kelompok keturanan yang sama. Selain itu tingginya mobilitas migrasi pada kedua populasi mengakibatkan terjadinya aliran gen (gene flow). Mayr (1970) menyatakan bahwa suatu populasi yang memiliki tingkat hubungan kekerabatan yang tinggi mempunyai banyak persamaan morfologi dan genetik akibat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Analisis fiksasi indeks (Fst) ikan tuna sirip kuning (T.albaceres) menunjukan tidak terdapat diferensiasi genetik antara populasi Maluku Utara dan Ambon, hal yang sama juga ditemukan pada populasi Samudera Hindia (Tabel 8). Hasil analisis menunjukan nilai (Fst) populasi tuna sirip kuning Maluku Utara dengan Ambon adalah 0.562, populasi Ambon dengan Samudera Hindia sebesar 0.906 dan Maluku Utara dengan Samudera Hindia adalah 0.931. Nilai (Fst) yang besar menjelaskan bahwa terjadi aliran gen antar populasi yang sangat tinggi. Besarnya aliran gen kemungkinan disebabkan karena ketiga populasi saling memberikan pengaruh terhadap aliran genetik antar populasi. Selain itu tingginya aliran gen yang masuk kedalam populasi per generasi turut mempengaruhi kedekatan genetik kedua populasi. Letak geografis antar kedua lokasi yang berdekatan yakni hanya 241 mil turut berpengaruh terhadap besarnya aliran gen yang masuk dalam dan antar populasi. Mulyasari et al (2010) menjelaskan bahwa populasi dengan tingkat differensiasi yang rendah, mungkin disebabkan oleh banyaknya kesamaan genetik antar populasi. Deferensiasi genetik yang rendah pada populasi tuna baik didalam dan diantara populasi di Samudera Pasifik dan Hindia, karena terjadi pertemuan terus menerus (circumtropical) dan berbagai tempat pemijahan yang cocok (Bremer et al 1998; Grewe and Hampton 1998; Chow et al 2000; Appleyard et al 2002; Durand et al 2005; Chiang et al 2008; Wu et al 2010; Suman et al 2014). Tingkat aliran gen yang rendah pada beberapa ikan per generasi cukup untuk mencegah diferensiasi genetik dengan pergeseran genetik (Hauser dan Ward 1998). Tabel 8. Analisis uji jarak berpasangan (Fst) pada tiga populasi tuna sirip kuning FST Lokasi S.Hindia Ambon Maluku Utara Tuna sirip Samudera kuning Hindia Ambon 0.906 Maluku Utara 0.931 0.562 Analisis distribusi haplotipe memperlihatkan adanya hubungan diantara haplotipe pada ikan tuna sirip kuning (Gambar 4). Distribusi haplotipe menunjukkan terjadi pencampuran haplotipe yang berbeda dan semua lokasi jaringan haplotipe menyebar ke seluruh individu, sehingga gagal untuk menunjukkan pengelompokan (Clade) antara lokasi geografis yang berbeda. Secara keseluruhan hasil yang ditemukan memperlihatkan bahwa haplotipe mtDNA dominan didistribusikan ke seluruh sampel ikan tuna sirip kuning. Terlebih lagi, distribusi haplotipe diikuti oleh nilai-nilai fiksasi indeks (Fst) sangat 18 tinggi dan jarak genetik. Semua ini menunjukkan bahwa tuna sirip kuning Maluku Utara dan Ambon merupakan populasi panmiksia. Heterogenitas yang diamati diantara populasi Maluku Utara dan Ambon adalah sirip kuning serupa dengan beberapa spesies ikan tuna lainya yang ditangkap dari lautan yang berbeda (Chiang et al 2006; Santos et al 2010; Suman et al 2014). Pencampuran individu antar dua populasi dari spesies di wilayah ini sangat dimungkinkan karena tingginya mobilitas spesies, pola arus yang berlaku dan distribusi dispersal larva (Wyrtki 1961). Graves (1996) mengemukakan bahwa beberapa ikan pelagis seperti cakalang, albacore, tuna mata besar dan sirip kuning telah menunjukkan ruang pemisah yang kecil baik di dalam dan antara cekungan laut karena terjadinya pertemuan terus-menerus. Ward (1995) menjelaskan untuk menunjukkan perbedaan populasi rendah, migrasi yang melibatkan beberapa individu per generasi dapat merupakan kunci untuk menghasilkan homogenitas genetik yang jauh. 60% 40% Maluku Utara Ambon Gambar 4. Jaringan distribusi haplotipe untuk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di Perairan Maluku Utara dan Ambon. (Perairan Maluku Utara = bulat kuning, Ambon = bulat merah mudah). Kedudukan geografis pada kedua lokasi yang tidak begitu jauh, namun terhalang oleh beberapa pulau tidak membatasi distribusi ikan tuna sirip kuning, sehingga dapat dijelaskan bahwa ikan tuna tidak memiliki batas distribusi secara geografis. Wijana dan Mahardika (2010) menyebutkan ikan tuna umumnya dapat bermigrasi pada jarak yang sangat jauh karena ikan ini mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan perairan laut, kemudian pada musim dingin mereka bermigrasi dari daerah perairan beriklim dingin/sedang ke perairan tropis. 19 Selain kemampuan migrasi yang dimiliki, faktor oseanografie khususnya arus turut membantu ikan tuna saat bermigrasi, ini disebabkan karena spesies ini cenderung bermigrasi mengikuti arus. Arus lintas Indonesia (Arlindo) merupakan arus yang melintasi perairan Indonesia yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia akibat perbedaan tekanan dan paras laut antar kedua Samudera (Gordon 2005). Lebih lanjut dikatakan bahwa Arlindo membawa massa air Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia melalui dua jalur, yaitu jalur barat yang masuk melalui Laut Sulawesi lalu ke Selat Makassar, Laut Flores, dan ke Laut Banda. Jalur kedua adalah jalur timur yang melalui Laut Maluku dan Laut Halmahera kemudia masuk ke Laut Banda setelah itu Massa air ini akan keluar menuju Samudera Hindia terutama melalui Laut Timor. Jalur keluar lainnya melalui Selat Ombai, yaitu selat antara Alor dan Timor, serta melalui Selat Lombok (Gambar 5). Suman et al (2013) mengatakan bahwa terdapat dua genetik ikan tuna mata besar yang berbeda di perairan Samudera Hindia disekitar perairan Sumatera dihuni oleh populasi ikan tuna mata besar asal Samudera Hindia sedangkan Selatan Jawa dan Nusa Tenggara dihuni oleh populasi ikan tuna mata besar asal samudera Pasifik. Lebih lanjut Suman et al (2014) menjelaskan bahwa proses ini memungkinan terjadi karena populasi tuna mata besar yang berasal dari Samudera Pasifik beruaya masuk mengikuti arus lintas Indonesia (Arlindo) yang melewati Laut Maluku, Laut Halmahera dan masuk ke Laut Seram kemudian bertemu di Laut Banda serta masuk ke Lombok hingga menembus perairan Samudera Hindia. Gambar 5. Sirkulasi Arus Lintas Indonesia (Arlindo) (Gordon 2005) Arus berperan penting dalam pendistribusian genetik dan pertukaran gen antar populasi berbeda lokasi. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Gaylord dan Gaines (2000) bahwa arus laut dapat mempengaruhi distribusi populasi dan struktur genetika ikan. Gordon dan Fine (1996) mengungkapkan bahwa pertukaran arus antar Indo-pasifik melewati perairan Indonesia lewat Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Pergerakan arus ini membantu proses pertukaran gen terjadi antar populasi pada daerah tropis di perairan Indo-Pasifik menyebabkan terjadi kedekatan genetik antar populasi, dengan demikian memberikan peluang ikan tuna bertemu diperairan dengan jumlah populasi yang besar dan dari berbeda lokasi. Pertemuan populasi ikan tuna dalam jumlah besar membawa pengaruh pada aliran 20 gen (gene flow) karena setiap populasi yang bertemu dan memungkinkan terjadinya perkawinan antar populasi (interpopulasi). Mitarai et al (2009) menjelaskan bahwa dua tempat yang jauh dapat terhubung oleh arus yang kuat. White et al (2010) melaporkan bahwa ada pengaruh oseanografie dalam penyebaran spesies dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya dan mengubah suatu pola genetik dalam populasi maupun spesies. Grant (1985) mengatakan bahwa ikan laut yang memiliki sifat migrasi, memijah spontan atau telur dan larvanya bersifat pelagik berpengaruh terhadap pengurangan random genetic drift dan rendahnya divergen antar populasi. Miyabe (1995) melaporkan bahwa ikan tuna mata besar melakukan ruaya secara silang antara negara, kemudian Gilg dan Hilbish (2003) menyebutkan dua lokasi yang berdekatan mungkin jarang bertukar migran jika terletak di sisi yang berbeda dari front oseanografi. Struktur populasi DNA yang diperoleh pada lokasi penelitian yang terletak pada kawasan Indonesia bagian yakni Maluku Utara dan Ambon disajikan dalam bentuk dalam peta. Warna yang sama didalam gambar menunjukkan hubungan kekerabatan antar populasi ikan (Gambar 6). Gambar 6. Struktur populasi genetik tuna sirip kuning diperairan Maluku Utara dan Ambon, Indonesia. Selain karena faktor oseanografi, kesuburan perairan juga merupakan salah satu faktor yang mendorong ikan bermigrasi jauh sepanjang tahun dan memicu adanya pertemuan satu lokasi dari dua populasi yang berbeda. Lucas et al (2001) menyebutkan bahwa migrasi disebabkan karena sekresi kelenjar hormon yang merangsang ikan untuk memperoleh makanan dan habibat hidup yang cocok. Realino et al (2006) berdasarkan kajian klorofil melporkan secara umum 21 konsentrasi klorofil terdapat pada perairan Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Banda dan Laut Seram yang merupakan wilayah territorial Maluku Utara dan Ambon (Gambar 7). Perairan Laut Banda, Laut Halmahera, Laut Seram dan bagian selatan Laut Maluku cenderung lebih subur dari pada perairan Samudera Pasifik dan utara pulau Sulawesi. Perairan seperti ini dijadikan sebagai daerah migrasi dan mencari makanan oleh ikan tuna karena mempunyai tingkat kesuburan dan menyediakan sumber makanan. Proses sejarah geologi kepulauan Maluku Utara di masa lampau juga memberikan peran terhadap variasi genetik pada ikan. Dimana pembentukan kepulauan Maluku diakibatkan oleh tumbukan antar kerak yang mengakibatkan peleburan batuan, sehingga menyebabkan lelehan batuan muncul ke permukaan melalui rekahan kemudian membentuk busur gunung api ditepi benua (Setiadi dan Hamidy 2006). Kemunculan kepulauan ini mengakibatkan terjadinya isolasi organisme yang panjang. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kelompok populasi dengan genetik yang berbeda, sehingga mengakibatkan munculnya variasi genetik antar populasi. Sebagaimana yang dikatakan Hall (1998) bahwa isolasi yang panjang dan rumitnya pembentukan pulau ini secara geologi telah memberikan fenomena menarik tehadap jenis fauna yang menghuni pulau Halmahera. De jong (1998) mengatakan bahwa secara geologi antara Pulau Halmahera dan Seram sangat berbeda, dimana Pulau Halmahera secara geografis mengarah ke bagian timur sedangkan Pulau Seram menjulur ke bagian barat Indonesia, hal ini diperkuat oleh berbedanya komposisi jenis spesies yang berada di teriestrial laut dan daratan. Saunders et al (1986) dan Borsa (2003) bahwa variasi kondisi lingkungan diduga dapat menimbulkan variabilitas genetika pada ikan laut, perubahan struktur genetik. Gambar 7. Kesuburan rata-rata perairan laut musiman pada tahun 2004-2006 (Realino et al 2006). 3.4. Filogenetik Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) Panjang fragmen hasil amplifikasi PCR dengan primer CRK-CRE pada lokus control region di lokasi mtDNA adalah 517 bp dari total 41 sampel ikan tuna. Hampir semua substitusi nukleotida yang diamati ditemukan antara individu. Total jumlah tipe nukleotida yang ditemukan adalah 80 tipe nukeotida dan urutan 22 subtitusi nukleotida secara umum dapat di lihat pada (Tabel 9). Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Chow dan Kishino (1995) yakni sebanyak 51 tipe nukeotida dengan 292 panjang basa (bp) yang ditemukan, namun terdapat subtitusi didalam individu pada spesies yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh total sampel yang digunakan tidak sama, dimana Chow dan Kishino (1995) hanya menggunakan tiga individu pada setiap spesies tuna yang terbagi atas satu individu yang sampel yang dikoleksi dan dua sampel dari data DDJB (DNA Data Bank of Japan). Analisis filogenetik untuk melihat kekerabatan populasi ikan tuna sirip kuning Maluku Utara dan Ambon menggunakan metode neighbor-joining dengan Kimura 2-parameter model menemukan terjadinya pencampuran individu antar populasi yang berbeda (Gambar 8). Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa kedua populasi ikan ini adalah satu keturunan dan bermigrasi dengan pola migrasi pada lokasi yang sama sehingga mengakibatkan kedua populasi ini menjadi mirip secara genetik. Selain itu juga menjelaskan bahwa meskipun setiap kelompok populasi terpisah antara satu dengan yang lain akan tetapi dua populasi ini memiliki kedekatan secara genetik dan satu nenek moyang asal yang sama. Hasil ini serupa dengan penelitian Kunal et al (2013) yang tidak menunjukan adanya perbedaan secara genetik di perairan India berdasarkan pohon filogenetik ikan tuna sirip kuning. Wijana dan Mahardika (2010) menunjukan pohon filogenetik yang bercampur pada populasi tuna sirip kuning Philipina dan Spanyol. Chow dan Kishino (1995) melakukan penelitian hubungan filogenetik diantara spesies tuna menemukan bahwa terdapat tiga clade yang berbeda namun setiap clade terdapat dua individu yang sama tapi berbeda lokasi. Beberapa penelitian lain di beberapa lokasi memperlihatkan hasil yang sama seperti di perairan Samudera Pasifik (Grewe dan Hampton 1998), perairan Samudera Atlantik (Martinez dan Zardoya, 2005; Martinez et al 2006), Laut Cina, Philipina dan Samudera Pasifik bagian barat (Chiang et al 2006) dan diperairan Samudera Hindia (Chiang et al 2008) pada spesies ikan tuna mata besar (T.obesus). Pohon filogeni yang dibangun didukung oleh nilai bootstraps yang tinggi pada setiap cabang pada kelompok populasi. Hal ini menunjukan bahwa konstruksi pohon kekerabatan yang dibangun memiliki tingkat keakuratan yang tinggi. Sehingga dapat menjelaskan bahwa meskipun setiap kelompok populasi terpisah antara satu dengan yang lain tetapi kedua populasi ini berasal dari satu nenek moyang asal. Rekonstruksi pohon filogenetik, didukung hasil analisis nilai jarak genetik antara kedua populasi (Tabel 6). Kekerabatan antar kedua populasi ikan tuna sirip kuning di Perairan Maluku Utara dan Ambon selain dipegaruhi oleh kemampuan migrasi, kemungkinan juga diakibatkan kondisi oleh kondisi oseanografi khususnya arus. Oseanografi merupakan salah satu faktor yang membantu dalam proses penyebaran, distribusi populasi dan pertukaran gen antar populasi ikan. Rizal et al (2009) melakukan penelitian oseanografie dan menjelaskan bahwa simulasi sirkulasi arus dasar laut di perairan Indonesia timur bergerak dari Laut Banda bergerak ke barat dan arus dari Samudera Pasifik menuju Selat Makassar. Arus yang terbentuk akibat tiupan angin secara global membantu dalam membawa organism kecil yang belum memiliki kemampuan berenang. Sebagaimana yang dijelaskan Laevastu dan Hayes (1981) bahwa arus dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap keberadaan ikan diperairan karena 23 35 61 0 53 90 40 43 43 47 15 ut 97 Malut 7 31 Malu t am bon 7 t2 23 ut Malut 17 Mal ut 1 3 Ma l ut 28 on 5 1 ambon M al n2 amb Malut 14 Ma lu 21 2 ut al t 2 M alu 5 M ut 2 l Ma 36 6 27 Malut 33 87 5 n 95 am bo 86 n8 6 38 31 0 0 26 lut Ma Malut 10 1 0 438 bon am 1 33 1 93 t6 Malu bo am ambo 1 ambon 3 lut Ma M al 6 1 3 3 Malut 4 Malut 20 t 19 t2 Ma98 lu 24 2 14 t1 30 100 78 25 99 lut Ma 4 2 lut Ma 95 8 Ma lu Mal ut Ma lu Malu t Malut 32 29 0.002 3 ut 9 96 Malut 11 lut Ma 16 Ma l ut ut Mal t alu M M al 18 dapat mempengaruhi rute migrasi, tingkah laku, distribusi makan, penyebaran, kelimpahan, penyebaran telur dan larva ikan dari tempat pemijahan ke tempat asuhan. Larva ikan tuna beruaya masuk mengikuti anakan ikan tuna lainnya, sebagaimana Chow et al (2003) menjelasakan bahwa larva dan juvenile besar dari spesies ikan tuna alalunga (T.albacore), tuna mata besar (T.obesus), cakalang (skipjack) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) tersebar luas disemua perairan sementara spesies tuna sirip biru Pasifik Utara (T.orientalis) dan spesies Thunnini lainnya yang cenderung lebih dekat dengan pulau atau daerah pesisir. Gambar 8. Pohon filogenetik ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) menggunakan metode neighbor-joining dengan Kimura 2-parameter dari dua populasi di perairan Maluku, Indonesia (Maluku Utara = Malut, dan Ambon = Ambon). Ukuran kecil ikan tuna saat larva memberikan peluang akan terbawa arus saat berada di perairan terbuka dengan kekuatan arus yang besar, hal ini tidak lepas dari kemampuan renang larva yang belum optimal. Sebagaimana yang dikatakan. Weersing dan Toonen (2009) mengatakan bahwa konektivitas populasi memainkan peran signifikan pada evolusi dan ekologi skala waktu, namun untuk mengukur besaran dan pola pertukaran antara populasi organisme laut terhalang oleh kesulitan melacak lintasannya dan penyebaran benih. Aguilar dan Lastra (2009) menyebutkan bahwa setelah bertelur tipikal larva ikan tuna sirip biru berukuran 3-4 mm dan dapat ditemukan pada permukaan Laut Mediterranean. Stequert dan Conand (2004) mengatakan bahwa pertumbuhan ikan tuna dalam 24 satu tahun mencapai panjang 54 cm dan dalam kurun waktu enam tahun bisa mencapai 147 cm dan Chow et al (2003) menemukan ukuran tuna mata besar pada saat larva sekitar 3 sampai 12 mm sedangkan Matsumoto (l96l) dalam FAO (1963) memperlihatkan ukuran larva tuna sebesar 6 cm serta Miyabe (1995) menyebutkan bahwa total panjang (FL) larva tuna mata besar adalah 2,5 mm dan akan menjadi 3 mm setelah dua puluh empat jam menetas dan Yuen (1955) dalam FAO (1963) menjelaskan telur ikan tuna mata besar ditemukan di perairan Samudera Pasifik dan tercampur dengan telur ikan tuna lainya. Ikan tuna merupakan pelagis besar yang memiliki kemampuan dalam menyebar secara luas hal ini dibuktikan dengan hampir semua hasil tangkapan ikan pelagis di wilayah Indonesia adalah ikan tuna, berbagai kondisi unsur perairan Indonesia seperti salinitas dan suhu optimum yang mendukung kehidupan ikan tuna juga merupakan salah satu faktor ikan tuna memilih wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah migrasi. Tabel 9. Subtitusi nukleotida pada spesies ikan tuna sirip kuning Ambon1 Ambon2 Ambon3 Ambon4 Ambon5 Ambon6 Ambon7 Ambon8 Malut1 Malut2 Malut3 Malut4 Malut5 Malut6 Malut7 Malut8 Malut9 Malut10 Malut11 Malut12 Malut13 Malut14 Malut15 Malut16 Malut17 Malut18 Malut19 Malut20 Malut21 Malut22 Malut23 Malut24 Malut25 Malut26 Malut27 Malut28 Malut29 Malut30 Malut31 Malut32 Malut33 T - AAGACCTACCATAA - - - - - -- - - - - - - - - - - - - C- - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - T- - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - T - - - - - C- - - - - - -- - - - - - - - - - - - - C- - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - C- - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - - - - - -- - - - - TAACTAAATCGTCTAAGCCATACCAAGTATCCTCATTCCTAAAATCGGG TAAATT - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - C- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - A A - C- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G - - A A - C- - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - G - - - - - - - - - - - - - - T - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - C- - - C - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - - - - - - - - - - - G - - A A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - - T C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - -- - - -- - - -- - - - - - - - - - - -- - - - - - - - -- - - -- A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G - - A A - C- - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - C- - - C- - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - C- - - C- - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - - - - - - - - G - - A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - - - - CG - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G - - A A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - C- - - - - - G - - A A - C- - - - C C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A - - - - G - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - C- - - - - - - - - G - - A A - - - - - C C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G - - A A - C- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - G- - A - - - - - TAAG -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - -- - - 25 3.5. Implikasi Manajemen Sumberdaya Genetik Ikan Tuna Ikan tuna merupakan spesies komersil yang bernilai tinggi, sehingga dijadikan sebagai target tangkapan dalam setiap operasi penangkapan. Jenis tuna yang diperdagangkan secara luas adalah yaitu tuna sirip kuning (Thunnus albacares), tuna mata besar (T.obesus), tuna alalunga (T.albacore), cakalang (K.pelamis), tongkol (T.tongol). Collette (2011) dan Bailey et al (2012) melaporkan beberapa status ikan tuna antara lain tuna sirip kuning (Fully exploited), tuna mata besar (Overfihing), tuna sirip biru atlantik (Endangered) dan tuna sirip biru pasifik (Critically endangered). International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN 2013) menyebutkan terdapat beberapa kategori status sumberdaya yaitu punah (Extinct), punah di alam (Extinct in the wild), sangat terancam (Critically endangered), terancam (Endangered), rawan (Vulnerable), hampir terancam (Near threatened), tidak mengkhawatirkan (Least concern), minim informasi (Data deficient) dan belum di evaluasi (Not evaluated). Berdasarkan kategori diatas IUCN (2013) melaporkan terdapat beberapa spesies tuna yang masuk dalam kategori status sumberdaya (Tabel 10). Tabel 10. Status sumberdaya ikan tuna berdasarkan IUCN Kategori Punah (Extinct) Punah di alam (Extinct in the wild) Sangat terancam (Critically endangered) Terancam (Endangered) Rawan (Vulnerable) Hampir terancam (Near threatened) Mengkhawatirkan (Least concern) Minim informasi (Data deficient) Belum di evaluasi (Not evaluated) Spesies Tuna Sirip biru pasifik (Thunnus orientalis) Sirip biru atlantik (Thunnus thynnus) Mata besar (Thunnus obesus) Sirip kuning (Thunnus albacares) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES 2013) melaporkan bahwa terdiri dari tiga apendiks yaitu : 1. Apendiks I : daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liat yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan international. 2. Apendiks II : daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. 3. Apendiks III : daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang melindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikan ke dalam Apendiks I dan Apendiks II. Ikan tuna merupakan ikan yang telah lama tereksploitasi dan dilaporkan mengalami penurunan populasi, sehingga ikan tuna masuk dalam daftar CITES dalam upaya menjaga keberlanjutan dan menjelaskan status sumberdaya. Secara umum beberapa spesies ikan tuna berdasarkan laporan CITES (2013) masuk dalam Apendiks (Tabel 11). 26 Tabel 11. Daftar Apendiks ikan tuna berdasarkan CITES Kategori Spesies Tuna Apendiks I Sirip biru atlantik, Sirip biru pasifik Apendiks II Apendiks III Mata besar, Sirip kuning Tingginya keragaman genetik ikan tuna sirip kuning yang ditemukan dikawasan perairan Maluku Utara dan Ambon dapat memberikan indikasi bahwa populasi ikan ini masih memiliki kemampuan dalam mengatasi perubahan lingkungan sewaktu-waktu, selain itu tingginya keragaman genetik juga menunjukan bahwa stuktur genetik populasi ikan tuna masih belum terganggu. Penyebaran, pola pemanfaatan dan nilai ekonomis yang tinggi dijadikan sebagai alasan perlunya konservasi genetik terhadap ikan tuna. Hal ini mengingat keanekaragaman genetik penting bagi kelangsungan hidup spesies. Spesies yang memiliki keragaman genetik yang rendah, mungkin lebih rentan terhadap penyakit atau efek dari perubahan lingkungan. Informasi data genetik ikan tuna sirip kuning dapat dijadikan sandaran dalam pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Pengetahuan tentang struktur genetik populasi juga merupakan prasyarat yang diperlukan untuk evaluasi efek genetik dan memantau keanekaragaman hayati. Mempertahankan ukuran populasi dari berbagai komponen penangkapan merupakan pendekatan manajamen guna melestarikan keragaman genetik. Aktivitas penangkapan ikan dan penurunan populasi merupakan hasil setiap aktivitas manusia, hal ini berakibat hilangnya keragaman genetik pada spesies dalam dan antara populasi. Variasi alel yang terbentuk selama puluhan ribu tahun dapat hilang dalam waktu singkat akibat perubahan lingkungan dan aktifitas manusia, sehingga perlu dijaga dan dilestarikan demi kepentingan bersama. Selain itu tanpa disadari sumberdaya genetik dimanfaatkan oleh manusia karena keberadaannya memiliki peran untuk memberdayakan dan memperbaiki produktivitas suatu spesies sehingga bernilai ekonomis untuk mendukung ketahanan pangan (Slamat et al 2012). Kunci untuk melestarikan keragaman genetik dapat dilakukan dengan cara preventif diantaranya adalah, pertama memberikan regulasi tentang pelaksanaan batas ukuran minimum tangkapan pada setiap operasi penangkapan, dimana ikan yang ditangkap adalah ikan dewasa dengan proporsi ukuran yang telah ditentukan. Hal ini guna memberikan peluang ikan kecil untuk hidup dan berkembang menjadi dewasa, dengan demikian proses regenarasi tetap berjalan dan kemurnian genetik bisa terjaga. Kedua adalah berkaitan dengan penegakan aturan manajemen kisaran waktu pada saat penangkapan berlangsung, dimana operasi penangkapan hanya dilakukan selama enam bulan atau pada musim puncak. Sehingga dapat menghindari terjadinya tangkap lebih (overfishing), dengan demikian sumberdaya ikan tuna dapat dijamin kelestarianya. Ketiga adalah pembuatan suatu kawasan reservasi (reservation region) yang dilindungi otoritas terkait dan melibatkan masyarakat sekitarnya. Kawasan ini penting didalam kegiatan konservasi genetik karena berperan untuk menjaga kelangsungan hidup populasi ikan tuna disuatu perairan. Kehadiran kawasan ini juga dapat meningkatkan reproduksi dan menjaga keseimbangan genetik ikan agar supaya tetap tumbuh dan berkembang dihabitatnya. 27 Informasi mengenai komposisi dan struktur genetik spesies memiliki arti penting untuk manajemen perikanan. Hal ini mengingat bahwa pentingnya suatu wilayah pengelolaan mengatur populasi sumberdaya yang tersedia (Stephenson dan Kenchington 2000). Manajemen sumberdaya memerlukan informasi genetik untuk memberikan wawasan biologi dari spesies. Populasi hanya dapat memperoleh gen baru, melalui migrasi individu antar populasi atau melalui proses mutasi, ukuran populasi dan perkawinan silang. Perubahan lingkungan yang terjadi di ekosistem laut memberikan pandangan pentingnya keragaman genetik untuk menanggapi perubahan ini. Keanekaragaman genetik penting bagi kelangsungan hidup spesies karena spesies-spesies yang memiliki keragaman genetik kecil mungkin lebih rentan terhadap penyakit atau efek dari perubahan lingkungan. Peningkatan keragaman genetik menghasilkan keturunan dengan berbagai karakteristik yang dapat menjamin untuk menahan perubahan lingkungan dan mengurangi kemungkinan kerusakan gen merusak (seperti penyakit) muncul dalam populasi. 28 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Hasil yang diperoleh menunjukan ikan sirip kuning memiliki tipe haplotipe yang beragam dan nilai keragaman yang tinggi, sehingga memberikan peluang untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Struktur populasi memperilihatkan kedekatan secara genetik dan adanya aliran gen antar populasi Maluku Utara-Ambon. Rekonstruksi pohon filogenetik memperlihatkan kekerabatan yang erat pada dua populasi di Perairan Maluku Utara dan Ambon. 4.2. Saran Pemerintah melalui Kementerian Perikanan dan Kelautan membuat penetapan area konservasi genetik untuk pelestarian sumberdaya ikan tuna di msa yang akan datang. Upaya seperti penetapan aturan ukuran dan kriteria ikan yang bisa ditangkap dan jumlah maksimal penangkapan pada setiap operasi penangkapan di beberapa wilayah potensi penangkapan seperti Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda. Karakteristik perairan Indonesia Timur dan potensi ikan tuna yang besar tentunya perlu di perhatikan yang serius guna keberlanjutan sumberdaya. Data informasi tentang keragaman genetik, struktur populasi dan filogenetik ikan tuna diseluruh lokasi perairan Indonesia diperlukan, guna dijadikan sebagai dasar penetapan kawasan konservasi genetik. 29 DAFTAR PUSTAKA Affonso P, Galetti JP. 2007. Genetic diversity of three ornamental reef fishes (Families Pomacanthidae and Chaetodontidae) from the Brazilian coast. Brazilian Journal Biololgy, 67(4): 925-933. Allen GR. 2000. Indo-Pacific coral-reef fishes as indicators of conservation hotspots. Proceedings 9th International Coral Reef Symposium; Bali, Indonesia, 23-27 October 2000. Volume 2. Aguilar R, Lastra P. 2009. Bluefin Tuna Larval Survey. Oceana-MarViva Mediterranean Project. Ali BA, Huang TH, Qin DN, Wang XM. 2004. A review of random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers in fish Research. Fish Biology and Fisheries, 14: 443-453. Anne R, Kapuscinski, Miller ML. 2007. Genetic guidelines for fisheries managament. Second Edition. University of Minnesota Sea Grant Program. Avise JC, Bowen BW, Lamp T. 1989. DNA fingerprint from hypervariable mitochondrial genotypes. Moleculer Biologi Evolution, 6:258-269. Avise JC. 1994. Molecular Marker, Natural History and Evolution. Chapman and Hall. United Stated America. Bailey M, Flores J, Pokajam S, Sumaila UR. 2012. Towards better management of Coral Triangle tuna. Ocean & Coastal Management Journal, 63; 30-42. Baldauf SL. 2003. Phylogeny for the faint of heart: A Tutorial. Genetics, 19 (6): 345-351. Baskoro MS, Wahyu RI, Effendy A. 2004. Migrasi dan Distribusi Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Borsa P. 2003. Genetic structure of round scad mackerel Decapterus macrosoma (Carangidae) in the Indo-Malay archipelago. Marine Biology, 142: 575-581. Brill WRA, Keith, Bigelow, Musyl KM, Kerstin, Fritsches, Warrant JE. 2005. Bigeye tuna (Thunnus Obesus) behavior and physiology and their relevance to stock assessments and fishery biology. Collective Volume of Science Papers. International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas, 57(2): 142161. Bremer JRA, Stequert B, Robertson NW, Ely B. 1998. Genetic evidence for interoceanic subdivision of bigeye tuna (Thunnus obesus) populations. Marine Biology,132: 547-557. Bremer JRA, Vinas J, Mejuto J, Ely B, Pla C. 2005. Comparative phylogeography of Atlantic bluefin tuna and swordfish: the combined effects of vicariance, secondary contact, introgression, and population expansion on the regional phylogenies of two highly migratory pelagic fishes. Molecular Phylogenetics and Evolution, 36: 169-187. Campbell NA, Reece BJ, Urry LA, Cain ML, Wasserman SA, Minorsky PV, Jackson RB. 2012. Biologi edisi kedelapan jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta. Carlsson J, Mcdowell JR, Jaimes PD, Carlsson JL, Boles SB, Gold JR, Graves JE. 2004. Microsatellite and mitochondrial DNA analyses of Atlantic bluefin tuna (Thunnus thynnus thynnus) population structure in the Mediterranean Sea. Molecular ecology, 13: 3345-3356. 30 Chen IC, Lee PF, Tzeng WN. 2005. Distribution of albacore (Thunnus alalunga) in the Indian Ocean and its relation to environmental factors. Fisheries Oceanography, 14 (1): 71-80. Chiang HC, Hsu CC, Lin HD, Ma GC, Chiang TY, Yang HY. 2006. Population structure of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the South China Sea, Philippine Sea and western Pacific Ocean inferred from mitochondrial DNA. Fisheries Reserch, 79: 219-225. Chiang HC, Hsu CC, Wu GCC, Chang SK, Yang HY. 2008. Population structure of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Indian Ocean inferred from mitochondrial DNA. Fisheries Reserch, 90: 305-312. Chow S, Kishino H. 1995. Phylogenetic relationships between tuna species of the gGenus Thunnus (Scombridae: Teleostei): inconsistent implications from morphology, nuclear and mitochondrial genomes. Journal of Moleculer Evolution, 41:741-748. Chow S, Okamoto H, Miyabe N, Hiramatsu, K, Barut N, 2000. Genetic divergence between Atlantic and Indo-Pacific stocks of bigeye tuna (Thunnus obesus) and admixture around South Africa. Moleculer Ecology, 9: 221-227. Chow S, Nohara T, Tanabe T, Itoh S, Tsuji Y. Nishikawa S. Uyeyanagi K,Uchikawa. 2003. Genetic and morphological identification of larval and small juvenile tunas (Pisces: Scombridae) caught by a mid-water trawl in the western Pacific. Bullettin of Fisheries Research Agency, 8: 1-14 Cole JS. 1980. Synopsis of biological data on the yellowfin tuna, Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788), in the Pacific Ocean. Inter-american tropical tuna commission. Tuna Commision. La Jolla, California, 2: 71-150 Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO species catalogue. Vol. 2. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. FAO Species. Cataloge. 2 (125):137 pp. Rome, Italy. Collette BB, Carpenter KE, Polidoro BA, Jorda MJJ, Boustany A, Die DJ, Elfes C, Fox W, Graves J, Harrison LR, McManus R, Vera CVM, Nelson RVR, Schratwieser J, Sun CL, Amorim A, Peres MB, Canales C, Cardenas G, Chang SK, Chiang WC, NdO Leite, Harwell JrH, Lessa R, Fredou FL, Oxenford HA, Serra R, Shao KT, Sumaila R, Wang SP, Watson R, Yanez E. 2011. High Value and Long Life Double Jeopardy for Tunas and Billfishes. Science, 333 ; 291-292. Cooper AM, Miller LM, Kapuscinski AR. 2009. Conservation of population structure and genetic diversity under captive breeding of remnant coaster brook trout (Salvelinus fontinalis) populations. Conservation Genetic. DOI 10.1007/s10592-009-9841-0. Dammannagoda ST. 2007. Genetik stock structure and inferred migratory pattern of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) and yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Sri Lankan waters. Dissertation. School of Natural Resource Science. Queensland University of Technology Gardens Point Campus Brisbane, Australia. Daud SK, Mohammadi M, Siraj SS, Zakaria MP. 2005. Morphometric Analysis of Malaysian Oxudercine Goby, Boleophthalmus boddarti (Pallas, 1770). Pertanika Journal Tropical Agriculture Science, 28 (2): 121-134. 31 Davies CA, Gosling EM, Was A, Brophy D, Tysklind N. 2011. Microsatellite analysis of albacore tuna (Thunnus alalunga): population genetic structure in the North-East Atlantic Ocean and Mediterranean Sea. Marine Biology. 158:2727-2740. De jong R. 1998. Halmahera and Seram : different histories, but similar butterfly faunas. Biogeography and Geological Evolution of SE Asia. 315-325 pp. Backbuys Publisher. Leiden, Netherlands. Durand JD, Collet A, Chow, Guinand B, Borsa P. 2005. Nuclear and mitochondrial DNA markers indicate unidirectional gene flow of Indo-Pacific to Atlantic bigeye tuna (Thunnus obesus) populations, and their admixture off southern Africa. Marine Biology, 147: 313-322. Ely B,Vinas J, Bremer JRA, Black D, Lucas L, Covello K, Labrie AV,Thelen E. 2005. Consequences of the historical demography on the global population structure of two highly migratory cosmopolitan marine fishes: the yellowfin tuna (Thunnus albacares) and the skipjack tuna (Katsuwonus pelamis). BMC Evolutionary Biology, 5(19): 1-9. Exoffier L, Smouse PE, Quattro JM. 1992. Analysis of moleculer variance inferred from metric distance among DNA haplotypes; application to human mitochondrial DNA restriction data. Genetics. (131) : 479-491. Excoffier L, Lischer H. 2009. Arlequin ver 3.5 user manual ; An integrated software package for population genetics data analysis. Swiss Institute of Bioinformatics. Fahri S. 2001. Keragaman genetic ikan terbang, Cypselurus opisthopus diperairan teluk Manado dan teluk Tomini Sulawesi. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. FAO.1963. Synopsis On The Biology Of Bigeye Tuna Parathunnus mebachi Kishinouye 1923 (Indian ocean). Rome. Ferguson AJB, Taggart PA, Prodohl O, Mc Meel C, Thompson C, Stone Mc, Ginnitym, Hynes RA. 1995. The Application markers to the study & conservation of fish population with special referens to salmon. Journal Fish Biololgy, 47:103-126. Finnerty JR, Block AB. 1995. Evolution of cytochrome b in the Scombroidei (Teleostei: molecular insights into billfish (Istiophoridae and Xiphiidae relationships). Fishery Bulletin, 93:78-96. Frankham R. 1996. Relationship of Genetic Variation to Population Size in Wildlife. Conservation Biology, 10 (6): 1500-1508. Frankham R 1999. Quantitative genetic in conservation biology. Genetics Research Committe, 74: 237-244. Freeland JR. 2005. Molecular ecology. British library cataloguing in publication data. Minion-regular by Thomson press (India) limited. New Delhi, India. Gaylord B, Gaines SD. 2000. Temperature or transport? Range limits in marine species mediated solely by flow. American Naturalist, 155: 769-789. Gordon AL, Fine RA. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian oceans in the Indonesian seas. Nature, 379: 146-149. Gordon AL. 2005. The Indonesian seas oceanography of and their throughflow. Oceanography, 18: 14-27. 32 Gonzalez EG, B Peter, Zardoya R. 2008. Genetic structuring and migration patterns of Atlantic bigeye tuna, Thunnus obesus (Lowe, 1839). BMC Evolutionary Biology, 8:252. Graham CA, Hill AJM. 2001. DNA sequencing protocols second edition. Humana Press. Totowa, New Jersey. Grant WS. 1985. Biochemical genetic stock culture of the Southern African Anchovy. Engraulis capensis Gilchrist. Journal Of Biology, 27: 23-29. Graves JE. 1996. Conservation genetics of fishes in the pelagic marine realm. In: Conservation Genetics: Case Histories from Nature. Avise JC, Hamrick JL. eds. London, UK: Chapman and Hall. 335-367 p. Grewe P, Hampton J. 1998. An assessment of bigeye (Thunnus obesus) population structure in the Pasific Ocean, based on mitochondrial DNA and DNA microsatellite analysis. Marine Research. Commonwealth Scientific and Industrial Research Organitation, Australia. Griffiths AJF, Miller JH, Suzuki DT. 2000. An Introduction to Genetic Analysis. 7th edition. W.H. Freeman. New York. Griffiths SP. 2010. Stock assessment and efficacy of size limits on longtail tuna (Thunnus tonggol) caught in Australian waters. Fisheries Research, 102:248257. Gürkan S. 2008. The biometric analysis of pipefish species from Çamaltı lagoon (İzmir Bay, Aegean Sea). Journal of Fisheries & Aquatic Sciences, 25 (1): 5356. Hall R. 1998. The plate tectonics of Cenozoic SE Asia and the distribution of land and sea. in Hall R. & Holloway JD (eds.). 1998. Biogeography and Geological Evolution of SE Asia. Backhuys Publisher, Leiden. Hamilton MB. 2009. Population Genetics. A John Wiley & Sons, Ltd Publication. Hartl DL. 1988. A primer of population genetics. Second edition. Longman, London and New York. Hartl LD, Clark GA. 1997. Priciple of population genetics. Sinauer Associates, Inc. Publisher. Sunderland, Massachusetts. Canada. Hartl DL, Jones EW. 1998. Genetics: principles and analysis. Fourth edition. Jones and Bartlett Publishers, Inc.Canada and America. Hauser L, Ward RD. 1998.Population identification in pelagic fish: the limits of molecular markers. In: Carvalho GR (ed) advances in molecular ecology. NATO Science Series. IOS Press, Amsterdam, 306: 191-22. Holland KN, Kajiura SM, Itano DG, Sibert J. 2001. Tagging techniques can elucidate the biology and exploitation of aggregated pelagic fish species. In Island in the Stream: Oceanography and fisheries of the charleston bump. American fisheries society, symposium. Bethesda, Maryland, 25: 211-218. Hughes AR, Inouye BD, Johnson MTJ, Underwood N, Vellend M. 2008. Ecological consequences of genetic diversity. Ecology Letters, 11: 609-623. Ihssen PE, Booke HE, Cas-Selman JM, Mcglade JM, Payne NR, Utter FM. 1981. Stock identification : materials and methods. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 38 (12): 1838-1855. International Seafood Sustainability Foundation. 2012. ISSF stock status ratings2012 ; status of the world fishiries for tuna. Technical Report 2012-04. United Stated of America. 33 Kawimbang E, Paransa IJ, Kayadoe ME. 2012. Pendugaan stok dan musim penangkapan ikan julung-julung dengan soma roa di perairan Tagulandang, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap, 1(1): 10-17. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Kelautan dan Perikanan dalam angka 2011. Pusat Data Statistik dan Informasi, Jakarta. Kunal SP, Kumar G. 2013. Cytochrome oxidase I (COI) sequence conservation and variation patterns in the yellowfin and longtail tunas. International Journal Bioinformation Research, 9(3): 301-309. Kunal, SP, Kumar G, Menezes MR. 2014. Genetic variation in yellowfin tuna (thunnus albacares) (Bonnaterre, 1788) along Indian Coast using PCR-RFLP analysis of mitochondrial Dna D-Loop Region. International Journal of Scientific Research, 3(1): 25-30. Koh T.L, Khoo G, Li Qun Fan, Phang V.P.E. 1999. Genetic diversity among wild form and culvated variates of discus (Symphysodon Spp) as revealed by Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) fingerprinting. Aquaculture, 173: 485-497. Laevastu T, Hayes ML. 1981. Fisheries oceanography and ecology. New York: Fishering News Book Ltd. United Stated America. Lee WJ, Conroy J, Howell WH, Kocher TD. 1995. Structure and evolution of teleost mitochondrial control regions. Moleculer Evolution, 41: 54-66. Lee PF, Chen IC, Tzeng WN. 2005. Spatial and temporal distribution patterns of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Indian Ocean. Zoological Studies, 44 (2): 260-270 Leary RF, Allendorf FW, Knudsen KL. 1985. Development instability and high meristic counts in interspesific hybrid of salmonid fishes. Evolution, 39: 1.3181.326. Lintang CJ, Labaro IV, Elleng ATR. 2012. Kajian musim penangkapan ikan tuna dengan alat tangkap hand line di Laut Maluku. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap, 1(1): 6-9. Liu ZJ, Li P, Argue BJ, Dunham RA. 1999. Random amplified polymorphic DNA markers: usefulness for gene mapping and analysis of genetic variation of catfish. Aquaculture, 174:59-68. Lucas MC, Baras E, Thom TJ, Duncan A, Slavik O. 2001. Migration of freshwater fishes. Blackwell Science Ltd. Australia. Martinez P, Zardoya R. 2005. Genetic struktur of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Atlantic Ocean. Collective Volume of Scientific Papers, 57(1): 195-205. Martinez P, Gonzales GE, Castilho R, Zardoya R. 2006. Genetic diversity and historical demography of Atlantic bigeye tuna (Thunnus obesus). Molecular Phylogenetics and Evolution, 39:404-416. Matsumoto WM, Skiliman RA, Dizon AE. 1984. Synopsis of biological data on skipjack tuna (Katsuwonus pelamis). NOAA Technical Report NMFS Circular 451. FAO Fisheries Synopsis, 136 : 1-92. Mayr E. 1970. Population spesies and evolution. Harvard University Press. England. Messerscmidt D A. 1995. Rapid appraisal for community forestry. Methodologi series. International Institute for Environment and Development. UK-London. 34 Michels E, Cottenie K, Neys L, De Gelas K, Coppin P, De Meester L. 2001 Geographical and genetic distances among zooplankton populations in a set of interconnected ponds: a plea for using GIS modelling of the effective geographical distance. Molecular Ecology, 10: 1929-1938. Mirabella FM. 2011. Pendekatan Pohon dalam Filogenetik. Makalah IF2091 struktur diskrit-seminar. I. ITB, Bandung. Mitarai S, Siegel DA, Watson JR, Dong C, McWilliams JC. 2009. Quantifying connectivity in the coastal ocean with application to the Southern California Bight. Journal of Geophysical Research, 114: 1-21. Miyabe N. 1995. A review of the biology and fisheries for bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Pasific Ocean. Working paper for the 5th meeting of the western Pacific yellowfin tuna research droup. August 21-23, Noumea, New Caledonia. Molcard R, Feux M, Syamsudin F. 2001. The Indonesian throughflow within Ombai strait. Journal Deep Sea Research. 48:1237-1253. Moria BS, Permana GN, Hutapea JH. 2009. Karakterstik tiga lokus mikrosatelit pada telur dan larva ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Jurnal Perikanan, 11 (2): 144-149. Mulyasari, Soelistyowati DT, Kristanto AH, Kusmini II. 2010. Karakteristik genetic enam populasi Nilem (Osteochilus hasselti) di Jawa Barat. Jurnal Riset Akuakultur, 5 (2): 175-182. Nei M. 1972. Genetic distance between population. American Nature, 106: 283292. Nei M, Tajimi F. 1981. DNA polymorphism detectable by restriction endonucleases. Genetics, 97:145-163. Nei M. 1987. Moleculer Evolutionary Genetics. New York. Columbia University. Press. New York. Nishida T, Chow S, Grewe P. 1998. Review and research plan on the stock structure of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Indian Ocean. Indian Ocean Tuna Commission, Victoria, Seychelles, 9-14 November, hal 230-236. Niwa Y, Nakazawa A, Margulies D, Scholey V.P, Wexler J.B, Chow S. 2003. Genetic monitoring for spawning ecology of captive yellowfin tuna (Thunnus albacares) using mitochondrial DNA variation. Aquaculture 218. 387–395. Nugraha B. 2009. Studi tentang genetika populasi ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) hasil tangkapan tuna longline yang didaratkan di Benoa. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nunnally BK. 2005. Analytical techniques in DNA sequencing. Taylor and Francis Group LLC. United States of America. Palumbi SR. 1994. Genetic divergence, reproductive isolation, and marine speciation. Ecology System, 25: 547-72. Palumbi SR. 2003. Population genetics, demographic connectivity and the design of marine reserves. Ecological Applications, 13(1): 146-158. Permana GN, Moria SB, Haryanti, Sugama H. 2003. Genetic identification and variation of red snapper (Lutjanus sp). Through allozyme electrophoretic analysis. Indonesia Fisheries Research Journal, 9 (1): 33-40. Permana GN, Hutapea JH, Haryanti, Sembiring SBM. 2007. Variasi genetik ikan tuna sirip kuning (Thunnus albaceras) dengan analisis elektroforesis allozyme dan mtDNA. Jurnal Riset Akuakultur, 2 (1):41-50. 35 Pope KL, Lochmann SE, Young MK. 2010. Methods for assessing fish populations. Inland fisheries management in North America, 3rd edition. American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. America. Realino B, Wibawa TA, Zahrudin DA, Napitu AM. 2006. Pola spasial dan temporal kesuburan perairan permukaan laut di Indonesia. Balai Riset dan Observasi Kelautan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jembrana. Bali. 110 pp. Rizal S, Setiawan I, Muhammad, Iskandar T, Wahid MA. 2009. Simulasi pola arus baroklinik di perairan Indonesia Timur dengan model numerik tiga dimensi. Jurnal Matematika dan Sains, 14 (4): 113-119. Rozas J, Sanchez-DeI Barrio JC, Messeguer, Rozas XR. 2003. DnaSP, DNA polymorphism analyses by the coalescent and other methods. Bioinformatics, 19: 2496–2497. Sanger F, Nicklen S. & Coulson AR. 1977. DNA sequencing with chainterminating inhibitors. National Academical Science, United Stated of America, 74 (12): 5463-5467. Santos MD, Lopez GV, Barut NC. 2010. A pilot study on the genetic variation of eastern little tuna (Euthynnus affinis) in Southeast Asia. Philippine Journal of Science, 139 (1): 43-50. Saunders NC, Kessler LG, Avise JC. 1986. Genetic variation and geographic differentiation in mitochondrial DNA of the Horseshoe Crab (Limulus polyphemus). Genetics, 112: 613-627. Scoles DR, Graves JE. 1993. Genetic analysis of the population structure of yellowfin tuna, Thunnus albacares, from the Pacific Ocean. Fisheries Bulletin, 91:690-698. Setiadi I M, Hamidy A. 2006. Jenis-jenis herpetofauna di pulau Halmahera. Pusat studi biodiversitas dan konservasi universitas Indonesia dan museum Zoologicum Bogoriense, Puslit Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sembiring SBM, Tridjoko, Haryanti. 2013. Keragaman genetik ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) generasi F1 dan F3. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5 (1):103-111. Schneider S, Roessli D, Excoffier L. 2000. Arlequin. Version 2.000: A software for population genetics data analysis. University of Geneva, Switzerland. Sibert J, Hampton J, Kleiber P, Maunder M. 2009. Biomass, size and trophic status of top predators in the Pacific Ocean. Science, 314: 1773-1775. Shizuka D, Lyon B.E. 2008. Improving the reliability of molecular sexing using a W-specific marker. Molecular Ecology Resources (8): 1249-1253. Slamat, Thohari AM, Soelistyowati DT. 2011. Keanekaragaman genetik ikan betok (Anabas testudinius) pada tiga ekosistem perairan rawa di Kalimantan Selatan. Agroscientia, 18 (3): 129-135. Smith MH, Chesser RK. 1981. Rationali for conserving genetic variation of fish gen poll. Ecology Bullettin Journal, (23): 119-130. Soelistyawati DT, 1996. Genetika populasi. Bogor. Jurusan Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Stephenson RL, Kenchington E. 2000. Conserving fish stock structure is a critical aspect of preserving biodiversity. ICES CM 2000/Mini:07. Defining the Role of ICES in Supporting Biodiversity Conservation. 36 Stequert B, Conand F. 2004. Age and growth of bigeye tuna (Thunnus obesus) in the Western Indian Ocean. Cybium, 28(2): 163-170. Suman A, Irianto HE, Amri K, Nugraha B. 2013. Population structure and reproduction of bigeye tuna (Thunnus Obesus) in Indian Ocean at western part of Sumatera and southern part of Java and Nusa Tenggara. Indian Ocean Tuna Commission, 8 oktober 2013, hal 1-14. Syahrir M. 2013. Kajian aspek pertumbuhan ikan di perairan pedalaman Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis, 18 (2): 4-13. Syahailatua A. 1993. Identifikasi stok ikan, prinsip dan kegunaannya. Oseana, 18 (2): 55-63. Tamura K, Nei M. 1993. Estimation of the number of nucleotide substitutions in the control region of mitochondrial DNA in Humans and Chimpanzees. Mol. Biol. Evol. 10, 512–526 Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stecher G, Nei M, Kumar S. 2011. MEGA5: Molecular evolutionary genetics analysis using maximum likehood, evolutionary distance and maximum parsimony method. Moleculer Biology Evolution, 28(10):2731-2739. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The ecology of the Indonesian Sea. Dalhousie University. Tseng MC, Jean TC, Smith PT, Hung YH. 2012. Interspecific and intraspecific genetic diversity of Thunnus species. Analysis of genetic variation in animals. InTech, Cina. Taylor DR, Aarssen LW. 1988. An interpretation of phenotypic plasticity in agropyron repens (Gramminae). American Journal of Botany, 75 (3): 401-413. Tjong DH, Matseu M, Kuramoto M, Belabut DM, Sen YH, Nishioka M, Sumida M. 2007. Morphological divergence, reproduktive isolating mechanism and moleculer phylogenetic relationship among Indonesia, Malaysia and Japan populations of the fejervaria limnocharis complex (Anura, Ranidae). Zoological Science, 24: 1197-1212. Turan CD, Ergüden F, Turan, Gurlek M. 2004. Genetic and morphologic structure of Liza abu (Heckel, 1843) populations from the Rivers Orontes, Euphrates and Tigris. Turkish Journal of Veterinary and Animal Sciences, 28:729–734. Ubadillah R, Sutrisno H. 2009. Pengantar biosistematik : teori dan praktek. Museum Zoologicum Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. LIPI Press. Jakarta Vinas J, Bremer AJR, Pla C. 2004b. Inter-oceanic genetic differentiation among albacore (Thunnus alalunga) populations. Marine Biology, 145: 225-232. Vinas J, Tudela S. 2009. A validated methodology for genetic identification of tuna species (Genus Thunnus). PLoS ONE, 4 (10): 1-10. Walsh PS, Metzger DA, Higuchi R. 1991. Chelex-100 as a medium for Simple extraction of DNA for PCR based typing from forensic material. Biotechniques, 10: 506-513. Ward RD. 1995. Population genetics of tunas. Journal Fisheries Biolology, 47: 259-280. Weersing K, Toonen RJ. 2009. Population genetics, larval dispersal, and connectivity in marine systems. Marine Ecology Progress Series, 393: 1-12. 37 White C, Kimberly SA, Watson JSA, David ZC, Danielle TJ, Robert. 2010. Ocean currents help explain population genetic structure. Proceedings of the Royal Society, 277: 1685-1694. Wigati E, Sutarno, Haryanti. 2003. Variasi genetik ikan anggoli (Pristipomoides multidens) berdasarkan pola pita allozim. Biodiversitas, 4(2): 73-79. Wijana IMS, Mahardika IGN. 2010. Struktur genetika dan filogeni yellowfin tuna (Thunnus albacores) berdasarkan sekuen DNA mitokondria control region sitokrom oksidase I pada diversitas zone biogeografi. Jurnal Bumi Lestari. 10 (2): 270-274. Wild A. 1994. A review of the biology and fisheries for yellowfin tuna, thunnus albacares, In the eastern Pasific Ocean. FAO Fish. Technology Populer, 336:52-107 Williams P, Terasi P. 2009. Overview of tuna fisheries in the western and central pacific ocean, including economic conditions 2008. Scientific Committee Fifth Regular Session, 10–21 Agustus 2009. Port Vila, Vanuatu, hal 1-44. Williamson JH, Wydoski RS, Wisscher L. 1996. Genetics management guidelines for listed and candidate fish species (eds 6), Region 6. In: guidelines directing captive propagation of listed and candidate fish. United Stated Department of Interior Fish and Wildlife Service, Denver. America. Williams JGK, Kubelik AR, Livak KJ. Rafalski JA, Tingey S.V. 1990. DNA polymorphism amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research, 18: 6531-6535. Witomo CM dan Wardono B. 2012. Potret perikanan tangkap tuna, cakalang dan layang di kota Bitung. Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan, 7 (1): 7-13. Wu GCC, Chiang HC, Chou YW, Wong WR, Chen CC, Yang HY. 2010. Phylogeography of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the Western Pacific and the Western Indian Oceans inferred from mitochondrial DNA. Fisheries Research, 105: 248-253. Wyrtki K. 1961. Physical oceanography of the Southeast Asian waters. Naga report.Volumer 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla, California. 195 halaman. Yeh SY, Hui CF, Treng TD, Kuo CL. 1995. Indian Ocean albacore stock structure studies by morphometric and DNA sequence methods. White Papers. Zamroni A. 2012. Struktur malalugis genetika populasi ikan (decapterus macarellus) di perairan sekitar pulau Sulawesi berdasarkan mtDNA marker. Tesis. Pascarsarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zardoya R, Castilho R, Grande C, Favre-Krey L, Caetano S, Marcato S, Krey G, Patarnello T. 2004. Differential population structuring of two closely related fish species, the mackerel (Scomber scombrus) and the chub mackerel (Scomber japonicus), in the Mediterranean Sea. Moleculer Ecology. 13: 17851798. . 38 Lampiran 1. Hasil identifikasi ikan dengan program Basic Local Aligment Search Tools (BLAST) di lokasi Maluku Utara Blast No ID Site Spesies Max ident (%) 1 IBRC021101 Bacan Thunnus albacares 99 2 IBRC021102 Bacan Thunnus albacares 99 3 IBRC021103 Bacan Thunnus albacares 99 4 IBRC021104 Bacan Thunnus albacares 97 5 IBRC021105 Bacan Thunnus albacares 99 6 IBRC021106 Bacan Thunnus albacares 99 7 IBRC021107 Bacan Thunnus albacares 99 8 IBRC021108 Bacan Thunnus albacares 99 9 IBRC021109 Bacan Thunnus albacares 98 10 IBRC021110 Bacan Thunnus albacares 99 11 IBRC021111 Bacan Thunnus albacares 99 12 IBRC021112 Bacan Thunnus albacares 99 13 IBRC021113 Bacan Thunnus albacares 99 14 IBRC021114 Bacan Thunnus albacares 99 15 IBRC021115 Bacan Thunnus albacares 99 16 IBRC021116 Bacan Thunnus albacares 99 17 IBRC021117 Bacan Thunnus albacares 99 18 IBRC021118 Bacan Thunnus albacares 99 19 IBRC021119 Bacan Thunnus albacares 99 20 IBRC021120 Bacan Thunnus albacares 99 21 IBRC021121 Bacan Thunnus albacares 99 22 IBRC021122 Bacan Thunnus albacares 99 23 IBRC021123 Bacan Thunnus albacares 100 24 IBRC021124 Ternate Thunnus albacares 99 25 IBRC021125 Ternate Thunnus albacares 99 26 IBRC021126 Ternate Thunnus albacares 99 27 IBRC021127 Ternate Thunnus albacares 99 39 28 IBRC021128 Ternate Thunnus albacares 99 29 IBRC021129 Ternate Thunnus albacares 99 30 IBRC021130 Ternate Thunnus albacares 99 31 IBRC021131 Ternate Thunnus albacares 99 32 IBRC021132 Ternate Thunnus albacares 99 33 IBRC021133 Ternate Thunnus albacares 99 40 Lampiran 2. Hasil identifikasi Basic Local Aligment Search Tools (BLAST) di lokasi Ambon Blast No ID Site Spesies Max ident (%) 1 IBRC020806 Ambon Thunnus albacares 99 2 IBRC020810 Ambon Thunnus albacares 99 3 IBRC020817 Ambon Thunnus albacares 99 4 IBRC020824 Ambon Thunnus albacares 99 5 IBRC020825 Ambon Thunnus albacares 98 6 IBRC020826 Ambon Thunnus albacares 99 7 IBRC020827 Ambon Thunnus albacares 98 8 IBRC020828 Ambon Thunnus albacares 99 41 Lampiran 3. Accession number, lokasi dan data sekuens. Sampel Lokasi Sirip kuning Samudera Hindia Accession EU183376, EU183377, EU183378, EU183379, EU183380, EU183381, EU183382, EU183383, EU183384, EU183385, EU183386, EU183387, EU183388, EU183389, EU183390, EU183391, EU183392, EU183393, EU183394, EU349387. 42 Lampiran 4. Hasil analisis keragaman genetik ikan tuna sirip kuning Input Data File: D:\...\thunnus albacares,fas Number of sequences: 41 Number of sequences used: 41 Selected region: 1-517 Number of sites: 517 Total number of sites (excluding sites with gaps / missing data): 441 Sites with alignment gaps: not considered Number of variable sites: 56 =========== Haplotype Distribution =========== Number of haplotypes, h: 33 Haplotype diversity, Hd: 0.9878 Hap_1: 1 [ambon_1] Hap_2: 1 [ambon_2] Hap_3: 2 [ambon_3 Malut_4] Hap_4: 1 [ambon_4] Hap_5: 1 [ambon_5] Hap_6: 1 [ambon_6] Hap_7: 1 [ambon_7] Hap_8: 1 [ambon_8] Hap_9: 2 [Malut_1 Malut_27] Hap_10: 1 [Malut_2] Hap_11: 2 [Malut_3 Malut_29] Hap_12: 1 [Malut_5] Hap_13: 1 [Malut_6] Hap_14: 2 [Malut_7 Malut_31] Hap_15: 2 [Malut_8 Malut_9] Hap_16: 2 [Malut_10 Malut_33] Hap_17: 2 [Malut_11 Malut_32] Hap_18: 1 [Malut_12] 43 Hap_19: 2 [Malut_13 Malut_28] Hap_20: 1 [Malut_14] Hap_21: 1 [Malut_15] Hap_22: 1 [Malut_16] Hap_23: 1 [Malut_17] Hap_24: 2 [Malut_18 Malut_19] Hap_25: 1 [Malut_20] Hap_26: 2 [Malut_21 Malut_22] Hap_27: 1 [Malut_23] Hap_28: 1 [Malut_24] Hap_29: 1 [Malut_25] Hap_30: 1 [Malut_26] Hap_31: 1 [Malut_30] 44 Lampiran 5. Contoh fragmen mtDNA hasil amplifikasi sampel ikan tuna 45 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara pada tanggal 10 November 1990. Penulis masuk pendidikan formal pada tahun 1995 di TK Sandi Putra Kota Ternate Selatan dan lulus tahun 1996. Kemudian melanjutkan pendidikan ke SD N Pertiwi I Kota Ternate dan lulus tahun 2002, pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SLTP N 4 Kota Ternate dan lulus pada tahun 2005 dan melanjutkan sekolah dengan masuk ke SMA N 2 Kota Ternate dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi dan diterima di Universitas Khairun Ternate pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan program studi Ilmu Kelautan kemudian memperoleh gelar sarjana perikanan (S.Pi) pada Tahun 2012. Pada tahun 2012 kesempatan untuk melanjutkan studi ke program magister diperoleh lewat Universitas Khairun Ternate melalui program beasiswa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada Mayor Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.