7 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Psikologi Ditinjau dari segi ilmu

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Psikologi
Ditinjau dari segi ilmu bahasa, kata psikologi berasal dari kata psyche yang
diartikan jiwa dan kata logos yang berarti ilmu atau ilmu pengetahuan. Karena itu kata
psikologi sering diartikan atau diterjemahkan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa
atau disingkat dengan ilmu jiwa.
Karena psikologi itu merupakan ilmu mengenai jiwa, maka persoalan yang pertamatama timbul ialah apakah yang dimaksud dengan jiwa itu. Untuk memberi jawaban atas
pertanyaan ini bukanlah merupakan hal yang mudah seperti diperkirakan orang
banyak. Ini telah dikemukakan oleh Dewantara dalam Walgito
(2003:5) sebagai
berikut :
Apakah yang dimaksud dengan 'jiwa' itu menurut pengajaran pengetahuan
yang positif? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab, dan ini terbukti adanya
macam-macam jawaban. M enurut riwayatnya ilmu psikologi, maka sudah
mulai zaman purba orang membicarakan soal ini, soal yang tertua di dalam
peradaban manusia.
Dengan pernyataan dari Ki Hadjar Dewantara ini dapat memberikan gambaran betapa
sulitnya untuk memberi jawaban atas pertanyaan di atas. Jiwa sebagai kekuatan hidup
atau sebab hidup telah pula dikemukakan oleh Aristoteles, yang memandang ilmu jiwa
sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kehidupan. Jiwa dapat diartikan sebagai
unsur kehidupan, karena itu tiap-tiap makhluk hidup mempunyai jiwa. Sekalipun jiwa
itu tidak nampak, tetapi dapat dilihat keadaan-keadaan yang dapat dipandang sebagai
gejala-gejala kehidupan kejiwaan.
7
Oleh karena itu, yang dapat dilihat dan diobservasi ialah perilaku atau aktivitasaktivitas serta perkembangan yang merupakan manifestasi atau penjelmaan kehidupan
jiwa tersebut. Karena itu psikologi merupakan suatu ilmu yang meneliti serta
mempelajari tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas serta perkembangan. Perilaku atau
aktivitas-aktivitas yang dimaksud adalah dalam pengertian yang luas, yaitu meliputi
perilaku yang nampak dan juga perilaku yang tidak menampak.
Psikologi yang sebagian besar objek penelitiannya adalah mengenai manusia,
membuat ilmu psikologi merupakan ilmu yang cukup rumit. M anusia sebagai makhluk
hidup, merupakan makhluk yang lebih sempurna apabila dibandingkan dengan makhlukmakhluk hidup lainnya. M anusia sebagai makhluk hidup, merupakan makhluk yang
dinamis dalam pengertian bahwa manusia dapat mengalami perubahan-perubahan dan
perkembangan seiring dengan berjalannya waktu. Akibat dari unsur-unsur kehidupan
yang ada pada manusia, menyebabkan manusia berkembang dan mengalami perubahanperubahan, baik perubahan dalam segi fisiologis maupun perubahan dalam segi
psikologis.
Bagaimana
manusia
berkembang,
dibicarakan
dalam
psikologi
perkembangan. M enurut Walgito (2003:45) berbagai macam teori yang terdapat dalam
psikologi perkembangan antara lain :
1. Teori Nativisme
Teori ini menyatakan bahwa perkembangan manusia itu akan ditentukan
oleh faktor-faktor nativus, yaitu faktor-faktor keturunan yang merupakan
pembawaan individu sejak lahir. Teori ini dikemukakan oleh Schopenhouer.
Dalam teori ini terdapat pandangan bahwa manusia telah ditentukan oleh
sifat-sifat yang tidak dapat diubah, sehingga individu bergantung kepada
8
sifat-sifat orangtuanya. Teori ini lebih jauh dapat menimbulkan pandangan
bahwa pendidikan merupakan suatu usaha yang sia-sia.
2. Teori Empiris
Teori yang diungkapkan oleh John Locke ini menyatakan bahwa
perkembangan individu akan ditentukan oleh empirisnya atau pengalamanpengalamannya yang diperoleh selama perkembangan individu. Definisi
pengalaman di sini termasuk juga pendidikan yang diterima oleh individu
yang bersangkutan. Teori ini berpandangan bahwa keturunan atau
pembawaan tidak mempunyai peranan.
3. Teori Konvergensi
Teori ini dikemukakan oleh William Stern dimana dalam teori ini baik
pembawaan maupun pengalaman atau lingkungan mempunyai peranan yang
penting di dalam perkembangan individu. Dalam hasil penelitian yang
dilakukan
oleh
Stern,
dinyatakan
bahwa faktor pembawaan
tidak
menentukan secara mutlak, dengan kata lain pembawaan bukan satu-satunya
faktor yang menentukan pribadi atau struktur kejiwaan seseorang.
Dari berbagai macam teori perkembangan seperti yang telah disebutkan di atas, teori
yang dikemukakan oleh William Stern yaitu teori konvergensi merupakan teori yang
dapat diterima oleh para ahli pada umumnya, dikarenakan teori tersebut merupakan
gabungan dari dua teori sebelumnya. Teori konvergensi yang dikemukakan oleh Stern
menyatakan bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh pembawaan (teori
nativisme) dan pengalaman atau lingkungan (teori empirisme), oleh karena itu teori yang
dikemukakan oleh Stern merupakan salah satu hukum perkembangan individu.
9
2.1.1 Teori Psikologi Remaja
Remaja merupakan salah satu tahap yang dijalani manusia sebagai makhluk hidup
yang berkembang. Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to
grow atau to grow maturity. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja,
seperti DeBrun dalam Rice (1990:12) mendefinisikan remaja sebagai periode
pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. M enurut Papalia dan Olds
(2001:5), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan
masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada
usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Sedangkan Hurlock (1990:33)
membagi masa remaja menjadi masa remaja awal dimulai pada umur13 hingga 16 atau
17 tahun dan masa remaja akhir pada umur 16 atau 17 tahun hingga 18 tahun. M asa
remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu
telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya
masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada
yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang
diperpendek. Papalia dan Olds (2001:10) berpendapat bahwa masa remaja merupakan
masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Freud dalam Hurlock (1990:78)
berpendapat bahwa pada masa remaja, terjadi proses perkembangan meliputi perubahanperubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi
perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Perkembangan yang
dimaksud adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan. Perubahan itu dapat
10
terjadi secara kuantitatif, contohnya pertambahan tinggi atau berat tubuh, dan kualitatif,
contohnya perubahan cara berpikir serta kepribadian.
Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan
dunia dan menyatakan emosi, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam
berhubungan dengan orang lain. Perkembangan kepribadian yang penting pada masa
remaja adalah pencarian identitas diri, yang dimaksud dengan pencarian identitas diri
adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup.
M enurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian
identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh M arcia dalam Nielsen (1997:146)
yang menemukan bahwa ada empat tipe identitas diri pada remaja yaitu :
1. Diffused Identity
M enurut M arcia dalam Nielsen (1997:146), remaja dengan diffused identity
belum bisa memilih tujuan hidup dan pandangan idiologi. Sebagai contoh,
remaja dengan diffused identity belum bisa menyatakan pendapat atas
keinginan sendiri dan cenderung mengikuti arus kelompok sosialnya
walaupun hal tersebut belum tentu cocok dengan jati dirinya yang
sebenarnya. Remaja dalam tipe ini cenderung tidak memiliki rasa ingin tahu,
melainkan hanya ingin mengikuti arus sosial dan tidak sadar akan
ketidaknyamanannya.
11
2. Moratorium
Hampir serupa dengan tipe diffused identity, remaja dengan tipe moratorium
masih belum tahu siapa jati dirinya, namun remaja tipe ini memiliki rasa
ingin tahu yang besar dan berusaha untuk menemukan identitasnya. Remaja
dengan tipe ini mengalami stress yang besar dan selalu gelisah akibat tidak
adanya identitas atau jati dirinya. Hal ini berujung pada pengekspresian
emosi yang besar, kebingungan, dan adanya perasaan ingin bebas agar lebih
leluasa bagi remaja tersebut untuk mencari jati dirinya.
3. Foreclosed Identity
Berbeda dengan
tipe diffused identity dan moratorium, remaja dengan
foreclosed identity telah mengetahui tujuan hidup dan pandangan hidup
dengan jelas. M ereka telah mengetahui jati dirinya. Namun, remaja dalam
tipe ini cenderung menganggap identitas atau jati diri mereka sebagai suatu
keharusan yang wajib diambil tanpa memandang kenyamanan dan keinginan
diri sendiri. Sebagai contoh, seorang anak remaja laki-laki dengan foreclosed
identity akan mengikuti keinginan orang tuanya untuk menjadi seorang
dokter, tanpa mencari pilihan lain yang mungkin lebih nyaman bagi dirinya.
Atau, remaja perempuan dengan foreclosed identity akan membanggabanggakan pandangan politik atau agama yang dianut keluarganya atau
lingkungan sosialnya tanpa memandang pendapat lain. Pada dasarnya, remaja
dalam tipe ini melakukan hal tersebut dikarenakan kesadaran akan rasa ingin
diakui dalam kelas atau kelompok sosial tertentu, mereka merasakan
12
ketakutan akan tidak diterimanya keberadaan mereka dalam kelompok atau
kelas sosial manapun.
4. Achieved Identity
Tipe terakhir dalam status identitas remaja yang diungkapkan oleh M arcia
dalam Nielsen (1997:146) adalah achieved identity. Remaja dengan achieved
identity telah mengalami kebingungan dan ketidakpastian dalam pencarian
jati diri dengan mencoba berbagai macam idiologi dan identitas selama masa
remaja. Hasil dari kerja keras pencarian tersebut menjadikan remaja dengan
achieved identity memiliki karakter yang kuat, cenderung percaya diri,
mempunyai pandangan idiologi dan cara berpikir yang rasional, dan
cenderung menentukan jalan hidupnya sendiri. Remaja yang menjadi tipe ini
biasanya remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang bebas, dalam
arti mendukung kemandirian sang anak dan tidak membatasi pandangan
serta cara berpikirnya.
Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga
sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Untuk menyelesaikan krisis ini remaja
harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat,
apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang
remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta
minat yang dimilikinya.
13
2.1.2 Psikologi Remaja Jepang
Jika membicarakan masalah mengenai remaja, adalah hal yang umum bagi seluruh
masyarakat terlepas dari ras dan agama akan mengidentifikasikan masa remaja sebagai
masa transisi atau puber. M asalah-masalah yang diangkat tidak terlepas dari pencarian
identitas diri. Hal ini juga dialami oleh para remaja Jepang.
Sudah banyak yang mengetauhi bahwa remaja Jepang merupakan remaja yang selalu
mengikuti budaya pop dan tren. Serta banyak pula dari mereka yang mengikuti suatu
kelompok masyarakat tertentu. Salah satu sebab mengapa banyak remaja Jepang sangat
mengikuti arus perkembangan tren, tidak lain karena mereka masih belum mengetahui
jati diri mereka. Terlepas dari ras, dan suku bangsa, kondisi yang melanda para remaja
ini pada dasarnya adalah sama, yaitu mencoba untuk mencari identitas diri dalam
masyarakat. Sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh M arcia dalam Nielsen
(1997:146), kondisi dimana para remaja yang masih terbawa arus dan belum tahu harus
mengarah kemana disebut dengan diffused identity, dan remaja yang berjuang dalam
pencarian jati diri disebut moratorium.
Kondisi para remaja Jepang yang sebagian besar masih mencari jati diri atau
moratorium ditegaskan kembali oleh Takeuchi (2004:61) yang menyatakan bahwa :
青年期はモラトリアムを脱し, 職業選択から自律性獲得と自我同一性達成
に至る大きな発達的移行期である. 青年は職業選択作業を遂行する途上で
自己の同一性に「出会う」発達過程をたどる. しかし, 昨今の雇用状況は
その時間的猶予を青年に許容できなくなってしまった観が強い.
Terjemahan :
14
Remaja seharusnya keluar dari status moratoriumnya, dan melangkah menuju
tahap dimana mereka dapat mencapai otonomi mereka sendiri dan masuk
kedalam perkembangan transisi berikutnya termasuk bertugas menemukan
pekerjaan atau menemukan jalan menuju karir yang diinginkan. Namun saat ini
(di Jepang), keadaan ekonomi memaksa untuk memperpanjang waktu target
pekerja dikarenakan karakter remaja yang kuat.
Banyak faktor yang menyebabkan para remaja di Jepang menolak untuk ikut
berperan dalam perkembangan ekonomi pemerintahan. Sebagai contoh, semakin
banyaknya para remaja di Jepang yang hanya ingin bekerja sambilan dan tidak ingin ikut
mengambil peran dalam masyarakat. Pada intinya, dasar dari masalah para remaja di
Jepang yang tidak ingin berperan dalam pemerintahan adalah masalah komunikasi. Hal
ini dinyatakan oleh Takashi (2008:170) dimana ia telah mengadakan penelitian
mengenai pencarian identitas yang ada dalam remaja Jepang, menyatakan bahwa :
議論の回避を高く示す青年はアイデンティティ達成得点が 低く,職業決定
におけるモラトリアムの得点が高かった。逆に議論による立場の明確化
を高く示す青年は模索の得点が高かった。
Terjemahan :
M enghindari pembicaraan atau komunikasi memiliki efek negatif terhadap status
nilai achieved identity, dan mempunyai efek positif terhadap status nilai
moratorium. Pembicaraan atau komunikasi untuk mencari jalan keluar memiliki
korelasi positif dengan nilai achieved identity.
Seperti yang telah disebutkan diatas, yang terpenting bagi penyelesaian masalah
mengenai remaja adalah komunikasi. Remaja yang masih rentan terhadap perubahan
cenderung lebih sensitif terhadap hal yang menyangkut jati dirinya. Remaja, terlepas
dimana ia tumbuh dan ras apakah ia, permasalahan yang menyangkut remaja tetaplah
sama, yaitu pencarian jati diri dan identitas.
15
2.2 Teori Gender Identification Disorder (GID)
Definisi yang membedakan antara pria dan wanita secara biologis dapat dikatakan
sebagai jenis kelamin atau seks. Sedangkan pengalaman menjadi pria atau wanita
secara psikologis disebut dengan gender. Gender dapat juga merupakan posisi yang
membedakan antara pria dan wanita dalam lingkungan masyarakat dan status sosial.
Dalam konsepnya, gender memiliki aturan-atuaran yang berbeda bagi wanita dan pria
yang dapat membedakan posisi pria dan wanita dalam bersosialisasi. Pengelompokan
gender, dalam masyarakat Jepang sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi posisi
wanita dan pria dalam masyarakat. Oleh Takahashi (2007:3) dinyatakan bahwa 「日本
人にとって「男は仕事、女は家庭」という性別意識は必要である。」Bagi orang
Jepang, sangat jelas peran antara pria dan wanita yaitu “Pria bekerja, wanita berumah
tangga.”
Identifikasi
gender
adalah
seseorang
yang
melihat
atau
memandang
(mengidentifikasi) dirinya sebagai pria atau wanita. Tidak sedikit yang mengalami
penyimpangan terhadap pengidentifikasian gender.
Dasar permasalahan ini tidak lain adalah adanya ketidak cocokan yang dirasakan oleh
seseorang terhadap jenis kelaminnya secara biologis dengan apa yang ia rasakan secara
psikologis. Kelainan ini dapat disebut dengan gender identification disorder (GID) atau
dapat diartikan sebagai kelainan pengidentifikasian gender. Kelainan atau penyimpangan
ini dijelaskan kembali oleh Goldie (2000:86) yaitu bahwa dalam teori GID identitas
seseorang ditentukan sepenuhnya oleh jenis kelamin dan gender, dimana hal ini secara
spesifik dipercaya bahwa seseorang dikelompokkan berdasarkan dua jenis yaitu wanita
dan pria. Kriteria ini juga menunjuk pada asumsi bahwa gender dan jenis kelamin
16
seseorang haruslah cocok atau sama, jika tidak maka ia dinyatakan mengalami kelainan
pengidentifikasian gender (GID). Para pasien yang mengidap GID dikelompokkan
kedalam beberapa jenis, salah satunya adalah cross dress, transgender, dan transseksual.
2.2.1 Teori Cross Dress
Cross dress merupakan kelainan dimana seseorang mempunyai kesenangan tersendiri
untuk mengenakan pakaian yang berlawanan dengan jenis kelaminnya.
Cross dress
merupakan kelompok yang terbesar dalam pembagian jenis kelainan pengidentifikasian
gender.
Terdapat berbagai perbedaan dalam cross dress, baik berdasarkan ragam pakaian
yang mereka kenakan (apakah mereka berpakaian diluar jenis kelamin secara
menyeluruh dan terang-terangan atau hanya sekedar hobi dan diam-diam) atau
berdasarkan alasan mereka berpakaian diluar jenis kelamin. Alasan-alsan ini pun
beragam, baik dari mereka yang ingin menunjukkan identitas diri mereka atau ungkapan
perasaan mereka, ada juga yang hanya melakukannya untuk senang-senang.
2.2.2 Teori Transgender
Transgender adalah seseorang yang berada pada situasi dimana peran jenis kelamin
yang membedakan secara psikologis dalam arti sifat dan tingkah laku berbeda dengan
keadaan fisiknya. Sebagai contoh, pria dalam status atau posisi gender secara normal
bersifat maskulin, dan wanita secara normal bersifat feminim. Namun seseorang yang
mengalami transgender akan berperilaku berbeda dengan status fisiknya, seperti
seringnya kita menemukan adanya pria feminim dan wanita maskulin. Posisi dalam
masyarakat yang membedakan antara pria dan wanita, dalam transgender bersifat saling
17
menyilang dan berlawanan. Namun jika seorang pasien pengidap GID belum menjalani
operasi, ia disebut sebagai transgender.
Kebanyakan dari orang yang merasa dirinya seorang transgender telah merasakannya
sejak lahir. Kecenderungan yang telah ada sejak kecil ini ditegaskan kembali oleh Tully
(1992:5) yaitu :
However, there are some children who make a clear statement of dislike for
their own sex and / or genetalian. In addition they may exhibit sex-type
mannerisms and activity preference more commonly associated with the
opposite sex.
Terjemahan :
Walau bagaimanapun, ada beberapa anak yang membuat pernyataan dengan
jelas ketidaksukaan terhadap jenis kelaminnya. Sebagai tambahan mereka
mungkin berperilaku dan beraktivitas berlawanan dengan jenis kelaminnya.
Kecenderungan seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan adanya
kemungkinan terjadinya penyuka sesama jenis. Karena pada dasarnya dalam hal ini diri
seseorang secara emosional bertentangan dengan keadaan secara biologis. Gejala-gejala
transgender dimana sebagian besar timbul sejak lahir ini telah dikemukakan sebelumnya
oleh Tully,dan para psikiater Amerika mendukung pendapatnya. Salah satunya adalah
pernyataan Klein dan Bates (1998:201) bahwa :
The Diagnostic and Statistical Manual of the American Psychiatric Associatoin
has recently included a syndrome of 'gender identity disorder of children' to
assist medical diagnosis. There is much evidence now that, for boys especially,
cross gender behaviour occurs in association with other psychological problems.
These included their having generally poorer social interaction skills, being less
active, more introverted, harm avoidant, and compulsively neat. With cross
gendered girls, childhood histories are almost the converse. We found the
majority of masculine girls to be good mixers, and many of them popular leaders
among their peers.
Terjemahan :
Diaknostik dan Statistik M anual dari Asosiasi Psikiatris Amerika baru-baru ini
memasukkan sindrom dari 'kelainan identifikasi gender pada anak' sebagai
18
pendukung diaknosis kedokteran. Saat ini terdapat banyak bukti, terutama pada
anak laki-laki, dimana perilaku persilangan gender terjadi seiring dengan
permasalahan psikologi yang lain. Hal ini termasuk mereka yang secara umum
memiliki kemampuan sosial yang lemah, menjadi kurang aktif, lebih introvert,
cenderung menghindari kekerasan, dan bersih secara compulsiv. Persilangan
gender pada anak perempuan, sejarah masa kecilnya sebagian besar bertolak
belakang dengan anak laki-laki. Kami menemukan pada sebagian besar anak
perempuan yang maskulin cenderung merupakan anak yang pandai bergaul, dan
banyak dari mereka merupakan anak yang populer diantara kawan sebayanya.
Sesuai dengan pernyataan di atas, gejala-gejala transgender dapat dilihat sejak usia
masih anak-anak. Oleh karena itu, melalui pernyataan Tully, Klein, dan Bates, sebagian
besar penderita kelainan identifikasi gender telah menunjukkan citi-cirinya sejak kecil.
2.2.3 Teori Transseksual
Lebih jauh lagi, pasien yang mengaku dirinya seorang mengidap GID berkeinginan
untuk mengganti jenis kelaminnya dengan cara operasi. Seorang pengidap GID yang
telah menjalani operasi perubahan jenis kelamin dan telah hidup sepenuhnya dengan
jenis kelamin yang baru disebut sebagai transseksual, dikarenakan jenis kelaminnya
berbeda dengan jenis kelamin sebelumnya.
Lahey (2007:55) menyatakan bahwa pasien-pasien yang telah menjalani operasi
(transseksual) menyatakan alasan atas keinginan mereka menjalani operasi sebagian
besar adalah bahwa mereka merasakan dirinya terjebak dalam tubuh yang salah. Alasan
ini cukup kuat untuk mendorong mereka menjalani operasi.
Para pasien pengidap GID yang belum menjalani operasi belum bisa dinyatakan
sebagai transseksual walaupun alasan mereka sama seperti para pasien GID yang telah
menjalani operasi. Hanya para pasien yang telah operasi saja yang disebut sebagai
transseksual.
19
2.3 Teori Penokohan
Dalam sebuah karya sastra baik tertulis maupun visual terdapat berbagai macam
unsur yang mendukung terbentuknya sebuah karya yang baik. Contohnya dalam sebuah
karya sastra berbentuk cerita baik yang tertulis seperti novel, maupun yang dimainkan
oleh para aktor, agar dapat dinikmati dengan baik diperlukannya unsur-unsur seperti
plot, latar, dan salah satunya adalah tokoh.
Tokoh dalam sebuah cerita memegang peran yang penting untuk menceritakan
sebuah cerita. Jika tidak adanya tokoh maka sebuah cerita tidak dapat diceritakan,
karena tokoh dalam sebuah cerita berperan sebagai pelaku dan pembawa cerita. Tokoh
dalam cerita tentu mempunyai karakter dan sifat-sifat sesuai dengan cerita yang
dimainkan, tokoh juga mempunyai posisi dalam sebuah cerita tergantung dimana ia
ditempatkan, hal inilah yang disebut dengan penokohan. Tokoh dan penokohan adalah
dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan. Tokoh secara langsung menunjuk pada
orang atau pelakunya. Penokohan berarti lebih luas dari tokoh, seperti dikatakan oleh
Jones dalam Nurgiantoro (2002:165) bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang
jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Dapat dikatakan bahwa
penokohan bermakna lebih luas dari tokoh dan
tokoh sendiri ada di dalam unsur
penokohan. Hal ini juga disampaikan oleh Nurgiantoro (2002:166), bahwa :
Dengan demikian, istilah ”penokohan” lebih luas pengertiannya dari pada
'tokoh' dan 'perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita,
bagaimana perwatakan,dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam
sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan sekaligus
menyaran pada teknik pewujudan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Jadi penokohan dan tokoh adalah dua hal yang berbeda tetapi saling berkaitan. Atau
dapat dikatakan bahwa tokoh adalah bentuk sedangkan penokohan adalah isi dan bentuk.
20
2.3.1 Teori Teknik Cakapan
Dalam sebuah karya drama penggambaran karakter sebuah tokoh tidak hanya dibatasi
dengan perilaku dan emosi sang tokoh melainkan kita juga dapat mengenali karakter
tokoh tersebut melalui cara sang tokoh bertutur dan gaya bahasanya.
Seperti yang
dijelaskan oleh Nurgiantoro (2002:201) bahwa :
Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya juga dimaksudkan
untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Bentuk percakapan
dalam sebuah karya fiksi umumnya cukup banyak, baik percakapan yang panjang
maupun yang pendek.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, salah satu cara untuk mengenali sifat dan
karakter tokoh salah satunya adalah melalui pengamatan gaya bahasa dan percakapan
sang tokoh. Karena penggambaran gaya bahasa dapat mencerminkan sifat sang tokoh
secara verbal.
2.3.2 Teori Teknik Tingkah Laku
Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang
berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang
bersifat nonverbal. Hal ini didukung pernyataan Nurgiantoro (2002:203) bahwa :
Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dapat
dipandang sebagai menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
Dalam penggambaran sebuah tokoh selain mengenali sifat dan karakternya dari gaya
bahasa kita dapat mengenali sifat dan karakternya terutama dari tingkah laku yang
terlihat selama alur cerita.
21
Dengan penggabungan teknik verbal dan nonverbal, dapat diketahui sifat dan
karakter sang tokoh yang ada dalam setiap alur cerita baik dalam karya sastra berbentuk
tulisan maupun yang elektronik.
22
Download