Makalah WORKSHOP Memperkuat Justisiabilitas Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya : Prospek dan Tantangan Yogyakarta, 13 - 15 November 2007 Hak Kebebasan Beragama Atau Berkepercayan Oleh : Nicola Colbran Legal Advisor, Norwegian Centre for Human Rights, University of Oslo, Norway HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAN Nicola Colbran1 Secara garis besar, peraturan-peraturan yang menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan di Indonesia tercantum dalam UUD 1945, instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia, dan peraturan nasional lainnya. Ketentuan dalam UUD 45 Pasal 28E 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya... 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28I 1. ... hak beragama ... adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 29 1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Walaupun UUD 1945 menegaskan setiap orang bebas memeluk agama, apa yang dimaksud dengan kebebasan ini? Yait, apa intinya hak kebebasab beragama? Salah satu sumber yang dapat mengartikan hak ini adalah kovenan internasional yang sudah diratifikasi Indonesia. Kovenan internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Pihak yang membentuk dan menyetujui kovenan internasional adalah negara. Mengapa maknanya kebebasan beragama atau berkepercayaan dapat kita temukan dalam kovenan internasional (dan bukan dalam hukum domestik saja)? Karena: ¾ apabila sebuah negara sudah meratifikasi kovenan/perjanjian internasional, Negara itu terikat secara hukum dan wajib melaksanakannya dalam undang-undang atau peraturan yang lain. Jelas bahwa sebuah negara tidak akan meratifikasi sebuah perjanjian apabila tidak menyetujui kewajiban yang terkandung dalam kovenan itu. ¾ hukum Indonesia sendiri menegaskan bahwa ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.2 Hak kebebasan beragama atau berkepercayaan diatur oleh beberapa instrumen internasional, namun instrumen yang mengaturnya secara mendalam adalah Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik lewat UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. 1 Penasehat Hukum, Program Indonesia, Norwegian Centre for Human Rights, Fakultas Hukum, Universitas Oslo 2 Pasal 7, ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 1 Berdasarkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, inti normatif dari hak kebebasan beragama atau berkepercayaan dapat dirumuskan dalam delapan elemen: 1. Kebebasan internal: setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkepercayaan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang menganut, menetapkan, merpertahankan atau pindah agama atau kepercayaan.3 2. Kebebasan eksternal: setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersamasama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan.4 3. Tanpa dipaksa: tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.5 4. Tanpa diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, hak kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal-usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya.6 5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka dilakukan sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri, dibatasi oleh kewajiban melindungi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan setiap anak sesuai dengan kemampuan anak yang sedang berkembang.7 6. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum: komunitas keagamaan boleh mempunyai kedudukan hukum dan hak kelembagaan untuk mewakili hak dan kepentingannya sebagai komunitas.8 7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal: kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan pembatasan tersebut diperlukan untuk melindungi: ¾ keamanan, ¾ ketertiban, ¾ kesehatan, ¾ nilai moral masyarakat, ¾ atau hak-hak mendasar orang lain.9 8. Tidak boleh dikurangi: Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan, bahkan dalam keadaan darurat.10 3 Lihat Komentar Umum 22 Paragraf 18, ayat 5. Komentar Umum merupakan panduan tidak mengikat yang menafsirkan dan memberikan petunjuk kepada Negara pihak mengenai penerapan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik di tingkat nasional. Komentar Umum ditetapkan oleh Komite HAM, yaitu Komite yang secara resmi mengawasi perilaku Negara pihak dalam melaksanakan isi Kovenan baik secara hukum maupun dalam praktek. Komite ini telah mengeluarkan satu Komentar Umum yang menetapkan rincian petunjuk pelaksanaan hak kebebasan beragama atau berkepercayaan. 4 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18(1) 5 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18(2) 6 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 2(1) 7 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18(4); Konvensi Hak-Hak Anak, pasal 14 8 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18 9 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 18(3) 10 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 4(2) 2 CONTOH PENERAPAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN DI PENGADILAN INDONESIA: PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Permohonan Uji Materiil Pasal 86 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: PUTUSAN Nomor 018/PUU-III/2005 Dalam kasus tersebut, Ruyandi Hutasoit sebagai Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal 86 UU Perlindungan Anak tidak berkekuatan hukum mengikat. Pemohon adalah seorang Warga Negara Indonesia,11 yang: ¾ sering memberikan dan menyampaikan pelajaran agama, pendidikan agama, bimbingan agama, penyuluhan agama dan pelayanan masyarakat umum ¾ kepada orang-orang yang sudah dewasa dan belum dewasa atau anak-anak, ¾ di gereja, tempat-tempat ibadah, balai/tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan. Pemohon beranggapan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya untuk menikmati kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh Pasal 28(E) UUD 1945 dirugikan dengan berlakunya Pasal 86 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak12 karena: ¾ Pasal 86 dapat mudah disalahgunakan untuk meniadakan, mengekang ataupun mengurangi hak dan kebebasan berbicara Pemohon atau orang lain yang sama kegiatannya dengan Pemohon, karena gampang untuk menuduhnya “dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri”; ¾ Pasal 86 berpotensial untuk mengurangi dan mengekang kemerdekaan Pemohon dan orang-orang lain untuk berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan perihal agama Kristen yang dilakukan di tempat ibadah, di tempat pertemuan umum dan di tempat-tempat pendidikan; Selain itu, Pemohon juga menganggap bahwa Pasal 86 berpotensial untuk mengurangi dan mengekang kebebasan dan kemerdekaan seorang anak untuk memilih pendidikan dan pengajaran agama yang dikehendakinya, oleh karena harus mengikuti dan menganut agama orang tuanya atau wali mereka. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil yang diajukan Ruyandi Hutasoit karena hak konstitusional yang dimilikinya tidak ada hubungan sebab-akibat dengan 11 Menurut pasal 51, ayat 1, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, untuk memenuhi ketentuan kedudukan hukum, Pemohon harus merupakan pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara 12 Pasal 86 Undang-Undang tentang Perlindungan Anak berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah)”. 3 ketentuan Pasal 86 UU Perlindungan Anak.13 Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 86 tidak mengurangi hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Apabila Pemohon atau siapa saja tidak memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sebagaimana dimaksud pasal 86, tidak perlu takut atau khawatir dalam berdakwah atau menyebarkan agamanya. Namun, mengingat kesulitan yang dihadapi orang yang memberikan dan menyampaikan pelajaran agama kepada anak-anak, apakah putusan Mahkamah Konstitusi benar-benar mempertimbangkan sifat potensialnya kerugian konstitusional Ruyandi Hutasoit? Contohnya, pada tanggal 1 September 2005 (kasus Ruyandi Hutasoit diputuskan bulan Januari 2006), tiga guru sekolah minggu Gereja Kristen Kemah Daud, yakni dr. Rebecca Laonita, Ratna Mala Bangun serta Ety Pangesti divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Indramayu, Jawa Barat. Mereka dituduh telah melakukan pemurtadan dan kristenisasi di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tuduhan itu dilancarkan oleh Majelis Ulama Indonesia setempat. Tudingan pemurtadan dan kristenisasi itu berawal dari pelayanan mereka dalam sekolah minggu “Minggu Ceria” pada 9 September 2003 yang dilakukan di rumah dr Rebecca Laonita yang dihadiri oleh 10-20 anak Kristen setiap minggunya. Dalam perkembangannya beberapa anak beragama non-Kristen ikutserta dalam permainan di sekolah minggu tersebut. Tiga guru sekolah minggu ini dikenakan tuduhan pasal 86 Undang Undang tentang Perlindungan Anak padahal hingga kini, anak-anak non-Kristen yang mengikuti sekolah minggu “Minggu Ceria” tersebut tidak ada yang pindah agama. Pengamat kebebasan beragama atau berkepercayaan menanyakan kemungkinan orang tersebut divonis karena tekanan massa dan tokoh tertentu atas kasus tersebut di luar pengadilan, ketimbang pembuktian di ruang pengadilan. Yaitu, justru tiga guru sekolah minggu itu divonis karena pasal 86 disalahgunakan pihak tertentu. Permohonan Uji Materiil Persyaratan Poligamni dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: PUTUSAN Nomor 12/PUU-V/2007 Dalam kasus tersebut, M Insa sebagi Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan sejumlah pasal terkait poligami dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mulai dari Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 9, Pasal 15, Pasal 24 tidak berkekuatan hukum mengikat. 13 Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya satu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-III/2005 ) yaitu sebagai berikut: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undangundang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d.adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan e.adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 4 Pemohon adalah warga negara Indonesia yang beragama Islam. Sebagai orang Islam, Pemohon beranggapan bahwa dia bebas melakukan seluruh jenis ibadah dalam agama Islam termasuk melakukan perkawinan poligami: ¾ karena poligami ialah salah satu jenis ibadah dalam agama Islam yang pelaksanaannya dalam bentuk perkawinan, ¾ di mana seorang pria muslim diperbolehkan untuk mempunyai atau nikah dengan satu, dua, tiga dan/atau empat orang isteri. Menurut Pemohon ketentuan UU Perkawinan yang terkait poligami telah mempersulit seorang pria muslim yang akan melakukan poligami. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut dianggap menghalangi haknya sebagai warga negara, antara lain, untuk menikmati kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh pasal 28(E) Undang-Undang Dasar karena: ¾ berdasarkan pasal 3, ayat 1 UU Perkawinan, seorang pria pada azasnya hanya diperkenankan mempunyai seorang isteri, dan sebaliknya, dengan pengecualian di mana seorang pria boleh beristeri lebih dari satu jika memenuhi syarat: dikehendaki oleh para pihak (suami, isteri, dan calon isteri kedua)14, dan ada izin dari pengadilan. Pemohon keberatan karena pasal 3 ini mendukung asas monogomi. ¾ Menurut ketentuan pasal 4, izin hanya bisa diberikan pengadilan jika memenuhi salah satu dari tiga syarat. Pertama, isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Kedua, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Menurut Pemohon, pasal 4 memungkinkan diskriminasi atas sesama warga negara Indonesia yang berbeda agama, di mana perkawinan pemeluk agama lain tidak diintervensi, sedangkan perkawinan antara pria wanita sesama pemeluk agama Islam diintervensi negara. ¾ Pasal 9 menegaskan bahwa apabila seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, maka dia tidak dapat kawin lagi, kecuali diizinkan oleh UU Perkawinan. Pemohon beranggapan bahwa pasal 9 merugikan hak pemohon karena sifatnya memperkuat asas monogami, dan mengurangi hak prerogatifnya untuk berpoligami. ¾ Pasal 15 dan pasal 24 UU Perkawinan memberikan kesempatan kepada salah satu dari kedua belah pihak yang merasa dirinya masih terikat perkawinan untuk mencegah perkawinan baru15 atau mengajukan pembatalan perkawinan baru.16 Menurut Pemohon, pasal 15 dan pasal 24 ini sangat merugikan hak konstitusionalnya secara khusus dan umat Islam pada umumnya, karena sebelum undang-undang yang dimaksud diberlakukan, hak menjalankan seluruh bentuk ibadah bagi umat Islam termasuk berpoligami itu, dalam kenyataannya bisa merupakan amal ibadah yang sangat besar manfaatnya. 14 Pasal 3, ayat 2: “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan” 15 Pasal 15 16 Pasal 24 5 Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil yang diajukan M Insa. Alasannya di dalam hak-hak konstitusional, terkandung kewajiban penghormatan atas hak-hak konstitusional orang lain.17 Sehingga tidaklah mungkin hak-hak konstitusional yang diberikan oleh Negara dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya oleh setiap orang, karena pelaksanaannya bisa melanggar hak konstitusional orang lain. Pasal-pasal yang tercantum dalam UU Perkawinan yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami, sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat dipenuhinya hak-hak isteri dan calon isteri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan. Dengan demikian, hal dimaksud tidak dapat diartikan meniadakan ketentuan yang memperbolehkan perkawinan poligami. Oleh karena itu, penjabaran persyaratan agar seorang suami yang berniat melakukan poligami berlaku adil. Mahkamah Konstitusi sependapat juga dengan ahli dari pemerintah Profesor Quraish Shihab. Menurut tafsir beliau, sebenarnya tidak lazim dalam ajaran Islam menyebut poligami sebagai ibadah. UUD 1945 hanya memuat prinsip-prinsip yang menjamin kebebasan menjalankan ibadah menurut agamanya. Dengan demikian, persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang suami untuk melakukan poligami sama sekali tidak melarang setiap orang untuk bebas menjalankan ibadah agama yang dianutnya. Anehnya, baik Mahkamah Konstitusi sendiri, maupun Pihak Terkait Tidak Langsung dari kalangan gerakan pro perempuan tidak mengacu pada Komentar Umum Nomor 28: Hak Persamaan antara Laki-laki dan Perempuan (pasal 3).18 Paragraf 21 berbunyi bahwa Pasal 18 (yang mengatur hak kebebasan beragama atau berkepercayaan) tidak boleh dijadikan landasan untuk membenarkan diskrimasi terhadap perempuan dengan merujuk pada kebebasan berfikir, berkepercayaan dan beragama. Penafsiran ini ditegaskan dalam paragraf 24 yang menyebut bahwa hak persamaan dalam hal menikah berarti bahwa polgami bertentangan dengan prinsip persamaan ini. Poligami melanggar martabat perempuan dan merupakan diskriminasi terhadap perempuan yang tidak bisa diterima. Oleh karena itu, poligami harus dihapus. 17 Pasal 28J Ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. 18 Negara Pihak Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini. 6 HAK KEBEBASAN BERAGAMA ATAU BERKEPERCAYAAN Nicola Colbran Norwegian Centre for Human Rights Sumber Legal Hak Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan di Indonesia Secara garis besar: • UUD 1945 (pasal 28E, pasal 29) • instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia, (Kovenan Internasional ttg Hak Sipil dan Politik), dan • peraturan nasional lainnya, mis: UU 39/1999 ttg HAM. INTI HAK KEBEBASAN ATAU BERKEPERCAYAAN Inti normatif hak kebebasan beragama atau berkepercayaan dapat dirumuskan dalam 8 elemen: 1. Kebebasan internal: setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkepercayaan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang menganut, menetapkan, merpertahankan atau pindah agama atau kepercayaan. 2. Kebebasan eksternal: setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kerpercayaannya dalam kegiatan pengajaran, pengamalan, ibadah dan pentaatan. INTI HAK KEBEBASAN ATAU BERKEPERCAYAAN 4. Tanpa dipaksa: tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 5. Tanpa diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak kebebasan beragama atau berkepercayaan bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, hak kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa pembedaan apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, kebangsaan atau asal-usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. INTI HAK KEBEBASAN ATAU BERKEPERCAYAAN 5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri, dibatasi oleh kewajiban melindungi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan setiap anak sesuai dengan kemampuan anak yang sedang berkembang. 6. Kebebasan korporat dan kedudukan hukum: komunitas keagamaan sendiri mempunyai hak bebebasan beragama atau berkepercayaan, termasuk hak untuk mandiri dalam urusan sendirinya. INTI HAK KEBEBASAN ATAU BERKEPERCAYAAN 7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal: Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi: • keamanan, • ketertiban, • kesehatan, atau • nilai-nilai moral masyarakat, atau • hak-hak mendasar orang lain. 8. Tidak boleh dikurangi: Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkepercayaan, bahkan dalam keadaan darurat. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 018/PUU-III/2005 • Pemohon meminta MK menyatakan pasal 86 UU ttg Perlindungan Anak tidak berkekuatan hukum mengikat • Pasal 86 berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000” • Pemohon sering memberikan pelajaran agama kepada baik orang dewasa maupun anak di tempat ibadah dan tempat pendidikan PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 018/PUU-III/2005 • Pemohon beranggapan bahwa hak konstitusionalnya untuk menikmati kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh Pasal 28(E) dirugikan karena: – Pasal 86 dapat mudah disalahgunakan untuk meniadakan haknya krn gampang menunduhnya ”dgn sengaja…membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauan sendiri” – Pasal 86 berpotensial mengurangi haknya untuk berserikat mengeluarkan pikiran perihal Kristen • MK menolak permohonan tersebut karena hak konstitusionalnya tidak ada hubungan sebab-akibat dgn ketentuan ps.86. Apabila Pemohon tdk memenuhi unsur2 perbuatan pidana sebagaimana dimaksud ps.86, tidak perlu khawatir dalam berdakwah atau menyebarkan agama PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 018/PUU-III/2005 Akan tetapi: • Perlu diingat nasib tiga guru sekolah minggu yang divonis 3 tahun penjara oleh PN di Jawa Barat berdasarkan ps.86 tersebut • Putusan kasus guru sekolah minggu ini dikeluarkan baru 4 bulan sebelum MK menolak uji materiil ps.86 UUPA • Guru ini dituduh telah melakukan pemurtadan dan kristenisasi krn sekolah minggunya dihadiri baik oleh anak beragama Kristen maupun non-Kristen PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 018/PUU-III/2005 • Vonis dijatuhkan walaupun sampai sekarang tdk ada anak non-Kristen yang mengikuti sekolah minggunya yg pindah agama • Pengamat kebebasan beragama atau berkepercayaan menanyakan apakah tiga guru itu divonis krn tekanan massa dan tokoh ttu di luar pengadilan, ketimbang pembuktian di ruang pengadilan. Yaitu, diduga tiga guru ini divoni justru krn ps.86 disalahgunakan pihak ttu PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 012/PUU-V/2007 • Pemohon meminta MK menyatakan sejumlah pasal terkaitan poligami UU ttg Perkawinan tidak berkekuatan hukum mengikat • Sebagai org Islam, Pemohon beranggapan bahwa dia bebas melakukan seluruh jenis ibadah dalam agama Islam termasuk melakukan perkawinan poligami: – krn poligami = salah satu jenis ibadah dlm agama Islam – di mana seorg pria Muslim diperbolehkan untuk mempunyai atau nikah dengan 1, 2, 3 dan/atau 4 org isteri PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 012/PUU-V/2007 • Pemohon beranggapan bahwa hak konstitusionalnya untuk menikmati kebebasan beragama sebagaimana dijamin oleh Pasal 28(E) dirugikan karena ps UU Perkawinan tsb mempersulit seorg pria muslim melakukan poligami: – Ps.3 mendukung asas monogomi – Ps.4 memungkinkan diskriminasi atas sesama WNI yg berbeda agama di mana pemeluk agama lain tdk intervensi – Ps.8 bersifat memperkuat asas monogomi dan mengurangi prerogatifnya untuk berpoligami – Ps.15 dan 24: sebelum UU diberlakukan, hak menjalankan seluruh bentuk ibadah bagi umat Islam termasuk berpoligami itu, dlm kenyataan bisa merupakan amal ibadah yg sangat besar manfaatnya PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 012/PUU-V/2007 • MK menolak permohonan tersebut krn: – di dlm hak konstitusionalnya terkandung kewajiban penghormatan atas hak konstitusional org lain. – psl 2 UUP yg memuat alasan, syarat, prosedur poligami semata-mata sebagai upaya untuk dapat dipenuhinya hak2 isteri dan calon isteri • MK sependapat dgn penafsiran ahli saksi pemerintah bahwa tdk lazim dlm ajaran Islam menyebut poligami sebagai ibadah. Pasal 28(E) UUD 45 hanya memuat prinsip2 yg menjamin kebebasan menjalankan ibadah menurut agamanya. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI: PUTUSAN Nomor 012/PUU-V/2007 • Anehnya baik MK sendiri, maupun Pihak Terkait Tidak Langsung dari kalangan gerakan pro perempuan tidak mengacu pada Komentar Umum Nomor 28: Hak Persamaan antara Laki-laki dan Perempuan (pasal 3). • Para.21 berbunyi bahwa Pasal 18 (yang mengatur hak kebebasan beragama atau berkepercayaan) tidak boleh dijadikan landasan untuk membenarkan diskrimasi terhadap perempuan dengan merujuk pada kebebasan berfikir, berkepercayaan dan beragama. • Penafsiran ini ditegaskan dalam para.24 yang menyebut bahwa hak persamaan dalam hal menikah berarti bahwa polgami bertentangan dengan prinsip persamaan ini. Poligami melanggar martabat perempuan dan merupakan diskriminasi terhadap perempuan yang tidak bisa diterima. Dgn demikian, poligami harus dihapus.