ECONOMIC OUTLOOK 2008 - pusat penelitian ekonomi

advertisement
OUTLOOK PEREKONOMIAN INDONESIA
TAHUN 2008
P2E - LIPI
Oleh:
Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jakarta, 2007
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI -----------------------------------------------------
i
DAFTAR TABEL ------------------------------------------------
ii
DAFTAR GRAFIK -----------------------------------------------
ii
1. Pendahuluan ----------------------------------------------
1
2. Faktor Eksternal -----------------------------------------
3
3. Makro Ekonomi -------------------------------------------
5
4. Investasi ---------------------------------------------------
7
5. Ekspor-Impor ---------------------------------------------
8
6. Keuangan Pemerintah ----------------------------------
10
7. Pengangguran dan Kemiskinan ------------------------
11
8. Otonomi Daerah ------------------------------------------
13
9. Action Plan -------------------------------------------------
15
LAMPIRAN DAN TABEL GRAFIK ------------------------------
16
TIM PENELITI --------------------------------------------------
27
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Proyeksi Perekonomian Indonesia 2008 ---Tabel 2. Skenario Beberapa Indikator Makro Tahun
2008 ------------------------------------------------Tabel 3. APBN 2008 Pemerintah Vs P2E - LIPI 2008
(dalam miliar rupiah) ----------------------------
16
17
21
Tabel 4. Proyeksi Tingkat Pengangguran INDONESIA
2008 -------------------------------------------------
21
Tabel 5. Batas Miskin, Persentase, dan Jumlah
Penduduk Miskin, 1996-2006 ------------------
22
DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik 1. Persetujuan dan Realisasi Investasi PMDN
1990 – Oktober 2007 ----------------------------Grafik 2. Persetujuan dan Realisasi Investasi PMA
1990 – Oktober 2007 ----------------------------Grafik 3. Perkembangan Neraca Perdagangan
Indonesia 1980 – 2006 (Juta US$) -------------
18
19
20
OUTLOOK PEREKONOMIAN INDONESIA
TAHUN 2008
Oleh:
Pusat Penelitian Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
1. Pendahuluan
Kalau dianalogikan dengan pertandingan sepak bola, pada tahun
2008 Pemerintahan SBY-JK mulai memasuki babak injury time. Tahun
2008 adalah kesempatan terakhir bagi Pemerintahan SBY-JK untuk
menunjukkan kepada rakyat bahwa mereka mampu me-manage dan
memperbaiki performa perekonomian Indonesia sebelum mereka
disibukkan dengan kegiatan Pemilu pada tahun 2009. Karena itu,
sangat wajar bila pada tahun 2008 Pemerintahan SBY-JK akan
termotivasi untuk all out menjaga dan memperbaiki kondisi
perekonomian. Membaiknya performa perekonomian akan
melapangkan jalan bagi SBY-JK untuk kembali ikut kontes dan
memenangkan pemilihan Presiden ataupun Wakil Presiden.
Namun demikian, mengingat susunan Kabinet Indonesia Bersatu
terdiri dari para menteri dengan berbagai latar belakang golongan
dan partai politik, maka tidak ada jaminan bahwa Pemerintahan SBYJK akan tetap solid dan mampu bekerja secara optimal untuk
memperbaiki kondisi perekonomian. Para menteri yang berasal dari
golongan dan partai politik yang berbeda dengan SBY ataupun JK
boleh jadi memiliki agenda sendiri-sendiri sesuai dengan tuntutan
dan kepentingan golongan atau partai politik tempat mereka berasal.
Kondisi ini tentu saja akan membawa dampak yang kurang
menguntungkan bagi terciptanya kebijakan ekonomi yang utuh,
harmonis, dan sehat. Kalau hal ini terjadi maka sangat mungkin
1
performa perekonomian Indonesia di tahun 2008 tidak akan lebih
baik dari tahun 2007.
Pada tahun 2007, beberapa indikator makro sebenarnya menunjukkan
perkembangan yang tidak terlalu mengecewakan. Sama seperti yang
terjadi pada tahun 2006, pada tahun 2007 informasi statistik memang
menunjukkan bahwa beberapa indikator makro, seperti inflasi, suku
bunga, kurs nilai tukar rupiah, dan indek harga saham gabungan
(IHSG) menunjukkan kondisi yang cukup stabil. Misalnya,
pergerakan inflasi masih tetap berada di dalam range yang ditargekan
BI, yaitu 5-7%1. Relatif stabilnya tingkat inflasi ini membuat BI
memiliki space yang cukup untuk menurunkan tingkat BI rate (SBI
satu bulan) dari 8,25% menjadi 8%. Selain itu, kurs nilai tukar rupiah
terhadap US$ relatif stabil dan berada di kisaran Rp 9000 hingga Rp
9200, sedangkan cadangan devisa terus meningkat sehingga sampai
dengan Bulan Oktober 2007 mencapai angka US$ 54 milliar.
Sejalan dengan perkembangan indikator makro yang cukup stabil,
sektor investasi mulai menggeliat dan menunjukkan kemampuannya
untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun masih dibawah target
yang ditetapkan pemerintah sebesar 12,3%, sampai dengan akhir
Bulan Oktober 2007 investasi tumbuh dengan rata-rata 6,9%.
Demikian halnya, sampai dengan Bulan September penerimaan
ekspor sudah mencapai US$ 83,0 milyar. Namun demikian, ekspor
pada tahun 2007 diperkirakan hanya akan mencapai US$ 97,1 milyar,
lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan ekspor pada tahun
2006 sebesar US$ 100,8 milyar. Beranjak dari perkembangan sektor
investasi dan ekspor, maka target pertumbuhan ekonomi yang
ditetapkan pemerintah untuk tahun 2007 sebesar 6,3% tampaknya
tidak akan terlalu sulit dicapai, meskipun strukturnya akan tetap
didominasi oleh sektor konsumsi.
1
Pada Bulan April inflasi tercatat sebesar 6,3%, kemudian menurun menjadi
5,8% pada Bulan Juni, dan selanjutnya meningkat menjadi 7% pada Bulan
September
2
Sayangnya,
perkembangan
ekonomi
yang
yang
cukup
mengembirakan pada tahun 2007 belum membawa dampak yang
signifikan terhadap penurunan tingkat pengangguran dan
kemiskinan. Pada tahun 2007, baik tingkat pengangguran maupun
kemiskinan relatif tidak banyak mengalami perubahan. Misalnya,
sampai dengan Bulan Pebruari 2007 BPS mencatat bahwa tingkat
pengangguran terbuka adalah 9,8% (10,6 juta orang), sedikit menurun
dari 10,4% pada tahun 2006. Sementara tingkat kemiskinan per
Pebruari 2007 berada pada angka 39,3 juta jiwa atau 17,75% dari total
penduduk Indonesia.
Dari paparan di atas, tampak dengan jelas bahwa prospek
perekonomian Indonesia di tahun 2008 masih diliputi dengan
ketidakpastian. Dari perpektif kebijakan, langkah-langkah yang lebih
proaktif untuk mensinergikan dan menata ulang kebijakan sangat
penting dan mendesak untuk dilakukan. Disini ketegasan dan
kepemimpinan SBY-JK benar-benar akan menghadapi ujian yang
paling berat.
2. Faktor Eksternal
Kasus subprime mortgage di AS dan kenaikan harga minyak dunia
yang hampir menyentuh angka US$ 100 per barel membawa dampak
yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan perekonomian
global. Sebagaimana diperkirakan IMF, pertumbuhan perekonomian
dunia akan mengalami pelambatan dari 5,2% pada tahun 2007
menjadi 4,8% pada tahun 2008. Seiring dengan itu, pertumbuhan
ekonomi di hampir semua kawasan, kecuali Afrika ( tumbuh dari
5,7% pada tahun 2007 menjadi 6,5% pada tahun 2008), juga
mengalami penurunan. Misalnya, di Amerika Serikat, pertumbuhan
ekonomi pada tahun 2008 diperkirakan akan sama dengan tingkat
3
pertumbuhan pada tahun 2007 sebesar 1,9%2. Demikian halnya,
pertumbuhan perekonomian EU (European Union) mengalami
penurunan dari 2,5% pada tahun 2007 menjadi 2,1% pada tahun 2008,
sedangkan pertumbuhan perekonomian Jepang menurun dari 2,0%
pada tahun 2007 menjadi 1,7% pada tahun 2008.
Melambatnya
pertumbuhan
trio
ekonomi
AS-EU-Jepang
menyebabkan dunia berharap kepada trio baru, yaitu China-IndiaRusia sebagai motor penggerak perekonomian global. Harapan ini
didasarkan kepada perkiraan bahwa pada tahun 2007 GDP ketiga
negara itu akan menyumbang sekitar 50% dari perekonomian dunia.
Permasalahannya adalah, prediksi IMF juga menunjukkan bahwa
pertumbuhan perekonomian China dan India akan mengalami
pelambatan. Dalam kurun waktu 2007 dan 2008, pertumbuhan
perekonomian China akan melambat dari 11,5% menjadi 10%,
sementara pertumbuhan perekonomian India menurun dari 8,9%
menjadi 8,4%.
Bagi Indonesia, melambatnya pertumbuhan perekonomian dunia
pada umumnya ataupun trio AS-EU-Jepang pada khususnya akan
membawa implikasi yang kurang menguntungkan. AS, EU, dan
Jepang adalah tiga pasar utama bagi produk ekspor Indonesia.
Proporsi ekspor langsung Indonesia ke ketiga negara itu mencapai
lebih dari 45%. Lebih dari itu, ada dugaan bahwa produk ekspor
Indonesia ke beberapa negara, seperti Singapura, Hong Kong, dan
China di re-export oleh negara-negara itu ke trio AS-EU-Jepang (Takil
dan Ramstetter, 2007). Ini berarti bahwa penurunan pertumbuhan
ekonomi AS, EU, dan Jepang, baik langsung ataupun tidak langsung,
akan secara signifikan mempengaruhi ekspor Indonesia yang pada
tahun 2008 justru diharapkan oleh pemerintah akan berperan sebagai
salah satu engine pertumbuhan.
2
Pada Bulan Agustus 2007 siring dengan munculnya kasus subprime
mortgage, IMF mengkoreksi pertumbuhan AS dari semula 2,8% menjadi
hanya 1,9%
4
Konsekuensi dari kurang ramahnya perekonomian global membuat
Indonesia harus berupaya lebih keras lagi untuk terus meningkatkan
daya saing dan melakukan terobosan-terobosan untuk bisa
mendiversifikasi pasar ekspornya. Sejalan dengan itu, Indonesia
tampaknya juga harus mulai memikirkan untuk memperkuat
permintaan dalam negeri melalui percepatan investasi, penguatan
sektor pertanian, dan peningkatan efektivitas belanja APBN.
3. Makro Ekonomi
Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan berada
pada kisaran 6-6.5% Tingkat pertumbuhan 6.5% dapat tercapai jika
kinerja perekonomian di tahun 2007 dapat dipertahankan. Akan
tetapi, ada kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi hanya bisa
mencapai 6% jika kondisi internal (seperti tidak solidnya agenda
ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu)
dan eksternal (seperti
penurunan pertumbuhan ekonomi global dan naiknya harga minyak)
tidak mendukung.
Konsumsi private masih akan menjadi kontributor utama
pertumbuhan ekonomi. Hal ini menandakan daya beli masyarakat
yang relatif stabil seperti yang dilihat dari tingkat inflasi yang
terkendali. Sampai dengan November 2007, laju inflasi mencapai
angka 5,43%, dan dipastikan inflasi tersebut akan meningkat sejalan
dengan adanya dua hari besar keagamaan dan penutupan akhir
tahun. Kebijakan moneter melalui SBI rate saat ini dipertahankan
pada titik 8% untuk tetap menjaga tingkat suku bunga kredit yang
tolerable bagi investor dan sebagai upaya mempertahankan spread
suku bunga untuk mengoptimalkan keuntungan. Ditahun 2008,
tingkat inflasi diperkirakan berada pada tingkat 6.3-8.4% mengingat
inflasi tidak saja dipengaruhi oleh faktor ekternal yaitu harga minyak
akan tetapi juga internal yaitu mamanasnya situasi politik dalam
negeri menjelang Pemilu. Hal ini terkait dengan aktivitas kampanye
dari parpol serta adanya program pemerintah dalam rangka
5
menurunkan angka
kemiskinan menjelang pemilu yang
membutuhkan anggaran cukup besar. Oleh karena itu, inflasi masih
sangat mungkin meningkat tajam mencapai 8.4% ketika
perekonomian domestik harus menghadapi kenaikan harga minyak
dunia dan memanasnya situasi dalam negeri. Bahkan jika kondisi
dalam negeri dapat terkendali, tingkat inflasi tetap akan mencapai
6.3% karena sangat kecil kemungkinan inflasi 6% mengingat kondisi
internal dan eksternal diatas.
Lebih lanjut, tingkat inflasi akan mempengaruhi kinerja investasi
ditahun 2008. Investasi menunjukkan kenaikan dengan peningkatan
investasi modal tetap menjadi 6,9% antara Januari hingga 31 Oktober
2007. Angka ini merupakan angka tertinggi selama dua tahun terakhir
meskipun masih dibawah target pemerintah sebesar 12,3% mengingat
investasi mendapat hantaman cukup besar setelah pemerintah
mengeluarkan kebijakan pencabutan subsidi BBM tahun 2005 yang
mengakibatkan inflasi melonjak tajam hingga 17%. Oleh karena itu,
inflasi diharapkan mampu mencapai tingkat minimum sebesar 6.3%
melalui instrumen SBI yang diprediksi Tim Peneliti berkisar antara
7.7-8.8%. Dengan tingkat suku bunga minimum, investasi diharapkan
mendorong sektor rill dalam meningkatkan kapasitas produksi
seperti yang terlihat dari meningkatnya pembelian barang modal.
Akan tetapi investasi masih akan tetap dibawah target pemerintah
mengingat masih rendahnya infrastruktur dan regulasi yang
mengikat.
Pengeluaran pemerintah ditahun 2008 diperkirakan akan
membengkak yang berimplikasi pada semakin besarnya defisit
APBN. Ditahun 2007, defisit APBN meningkat menjadi 1.6% GDP dari
prediksi awal sebesar 1.1%. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
pengeluaran pemerintah untuk pemulihan pasca bencana,
pengeluaran infrastruktur dan subsidi BBM dan listrik. Defisit APBN
juga diprediksi meningkat ditahun 2008, terutama oleh meningkatnya
pengeluaran pemerintah program pengentasan kemiskinan,
kesehatan dan pendidikan. Sejauh ini pengeluaran pemerintah masih
belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena
6
rendahnya implementasi investasi infrastruktur. Selain itu, sejalan
dengan otonomi daerah dimana pemerintah daerah memiliki
kewenangan yang lebih luas, kapasitas pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan proyek masih belum mencukupi dan menjadi
hambatan dalam mendorong pembangunan.
Nilai tukar diperkirakan berkisar antara Rp 9200-9400 per US$ 1. Nilai
tukar diprediksi menguat jika harga minyak dunia stabil dan dampak
dari masalah kredit perumahan di Amerika akan berkurang yang
diperkirakan pada pertengahan 2008. Akan tetapi jika harga minyak
meningkat mencapai US$ 90 perbarrel, maka sangat dimungkinkan
nilai tukar akan kembali melemah.
4. Investasi
Dalam tiga tahun terakhir, persetujuan investasi PMDN mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2006, persetujuan
investasi PMDN mencapai angka Rp 163 trilyun, meningkat dengan
pesat dari Rp 51 trilyun pada tahun 2005. Selanjutnya, sampai dengan
31 Oktober 2007, persetujuan investasi sudah mencapai Rp 176
trilyun. Proyek-proyek investasi dari PMDN didominasi oleh sektor
industri, diikuti oleh sektor pertanian, jasa perdagangan, dan
perhotelan dan restoran. Dengan perkiraan time lag realisasi PMDN
selama 2 tahun, maka dapat diperkirakan bahwa persetujuan
investasi pada tahun 2006 akan banyak direalisasikan pada tahun
2008 dengan prosentase realisasi investasi sekitar 40% hingga 60%
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini. Realisasi investasi PMDN di
tahun 2008 menunjukkan prospek yang cukup baik karena dengan
perkiraan realisasi investasi PMDN sebesar 51,2%, maka pada tahun
2008 akan dapat direalisasikan kegiatan investasi sekitar Rp 83
trilyun. Namun jika melihat jenis industri yang melakukan
persetujuan investasi pada tahun 2006 didominasi oleh industri kertas
dan percetakan, dan industri logam dan kimia, maka kemungkinan
time lag realisasi investasi akan lebih panjang lagi hingga 3 – 5 tahun.
7
Dengan asumsi persetujuan investasi PMDN pada tahun 2006 untuk
kedua industri tersebut belum memberi kontribusi pada realisasi
investasi, maka realisasi investasi di tahun 2008 hanya akan tumbuh
menjadi sekitar Rp 28,6 trilyun hingga Rp 33 trilyun.
Kondisi yang relatif sama juga terjadi dalam persetujuan investasi
PMA yang mengalami peningkatan cukup signifikan pada tahun 2007
(hingga 31 Oktober 2007) senilai US$ 37 milyar yang berarti sudah
lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2006 yang hanya
mencapai US$16 milyar. Realisasi investasi dari PMA cenderung
memiliki time lag yang lebih panjang dibandingkan dengan PMDN.
Apabila menggunakan time lag 4 tahun dan dengan melihat
kecenderungan prosentase realisasi investasi dari PMA pada tahuntahun sebelumnya, maka pada tahun 2008 akan dapat direalisasikan
investasi sebesar 48,51% atau sebesar US$ 5 milyar hingga mencapai
US$ 7 milyar.
Namun demikian, penting untuk dikemukakan bahwa perhitungan
realisasi PMDN dan PMA seperti tersebut di atas pada akhirnya akan
sangat tergantung pada tataran implementasi peraturan dan system
insentif (perpajakan, retribusi, dan perburuhan), pembangunan
infrastruktur, dan ketersediaan energi. Jika masalah-masalah itu tidak
diselesaikan terlebih dahulu, maka ada kemungkinan bahwa realisasi
investasi pada tahun 2008 tidak akan sebesar seperti yang telah
diperkirakan.
5. Ekspor-Impor
Jika Indonesia mampu mendiversifikasi pasar ekspornya dan tidak
terlalu tergantung pada trio AS-EU-Jepang, maka kemampuan ekspor
Indonesia pada tahun 2008 diperkirakan masih akan sedikit
mengalami peningkatan. Menurut perkiraan, penerimaan total ekspor
Indonesia pada tahun 2008 akan mencapai US$ 103,5 milyar,
meningkat dari US$ 97,1 milyar yang dibukukan pada tahun 2007.
8
Naiknya harga beberapa beberapa komoditas primer, seperti sawit,
karet, dan barang tambang akan tetap menjadi pendorong terjadinya
kenaikan penerimaan ekspor.
Dalam kaitan dengan ekspor, satu hal penting yang harus
diperhatikan adalah adanya tendensi penurunan daya saing sektor
industri yang secara tradisional selalu memberi sumbangan terbesar
terhadap struktur ekspor Indonesia. Dalam dua titik waktu
pengamatan, yaitu tahun 1993 dan 2005, penelitian yang dilakukan
P2E-LIPI dengan menggunakan indeks RCA (Revealed Competitive
Advantage) menunjukkan bahwa ada lebih banyak komoditi yang
mengalami penurunan daya saing dibandingkan dengan komoditi
yang mengalami peningkatan daya saing. Berdasarkan kode SITC rev.
3 diketahui bahwa dari 64 komoditi yang dihasilkan oleh Indonesia
pada titik waktu 1993 dan 2005 terdapat 20 komoditi yang tidak
memiliki keunggulan daya saing, 28 komoditi tetap memiliki daya
saing, 12 komoditi mengalami penurunan daya saing dan hanya 4
komoditi yang mengalami peningkatan daya saing. Karena itu, upaya
untuk menjaga dan meningkatkan daya saing dengan memperbaiki
supply (peraturan, infrastruktur, teknologi, ketersediaan energi dan
bahan baku, restrukturisasi permesinan)
dan demand side
(diversifikasi pasar dan responsif terhadap perubahan peraturan
perdagangan internasional) penting untuk dilakukan untuk
mempertahankan dominasi sumbangan ekspor industri pengolahan.
Sementara itu, impor pada tahun 2008 diperkirakan akan mencapai
US$ 92,7 milyar, meningkat dari US$ 87,7 milyar pada tahun 2007.
Dari tiga jenis barang impor (barang konsumsi, bahan baku penolong,
dan barang modal), dapat diketahui bahwa pertumbuhan impor
barang modal mengalami peningkatan kontribusi terhadap total
impor Indonesia dalam kurun waktu setelah krisis ekonomi. Prediksi
pertumbuhan dari ketiga jenis impor ini di tahun 2008 akan
mengalami peningkatan dalam kisaran sempit dengan perubahan
proporsi prosentasi impor masing-masing tidak akan lebih dari 2%,
dengan peningkatan pada proporsi impor barang modal dan bahan
baku penolong sehingga mampu menekan impor barang konsumsi.
9
Dengan melihat perbandingkan penerimaan ekspor dan impor, pada
tahun 2008, Indonesia diperkirakan akan mengalami surplus
perdagangan sebesar US$ 10,5 milyar. Surplur perdagangan itu
merupakan indikasi bahwa pada tahun 2008 Indonesia berpotensi
untuk bisa terus menambah persediaan cadangan devisanya.
6. Keuangan Pemerintah
Dalam sisi APBN, mengacu pada asumsi makro P2E LIPI yang
membagi menjadi tiga skenario (optimis-moderat-pesimis), maka
prediksi defisit APBN menurut P2E LIPI adalah sebagai berikut:
skenario optimis (1,7 % terhadap PDB), moderat (1,81 % terhadap
PDB) dan pesimis (2,0 % terhadap PDB).
Dari 5 asumsi makro yang digunakan, perubahan harga minyak
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi besaran defisit
APBN. Komponen-komponen utama yang terpengaruh dengan
perubahan harga minyak ini terletak pada sisi penerimaan negara
(PNBP, PPh Migas dan Pajak lainnya). Sementara dalam kompenen
pengeluaran, pengaruh terbesar dari perubahan harga minyak ini lari
ke subsidi BBM dan listrik serta dana bagi hasil antara pemerintah
pusat dengan daerah penghasil minyak.
Dalam skenario optimis, dengan harga minyak 72 US$ per barrel,
subsidi BBM dan listrik hanya Rp. 107,7 triliyun. Sementara
mengikuti skenario moderat dengan harga minyak 75 US$ per barrel,
subsidi BBM dan listrik mencapai Rp. 119,24 triliyun. Dalam skenario
pesimis dengan menempatkan harga minyak di level 90 US$ per
barrel, maka besarnya subsidi BBM dan listrik akan melonjak tajam
menjadi Rp. 174, 25 trilyun.
10
7. Pengangguran dan Kemiskinan
Tingkat pengangguran terbuka yang tercatat pada bulan Februari
2007 masih relatif tinggi yaitu 9,75% (10,55 juta orang). Apabila
prediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% dapat dicapai dan
serapan tenaga kerja mencapai 225 ribu orang tiap kenaikan 1 persen
peningkatan PDB, maka tingkat pengangguran pada 2008
diperkirakan akan sedikit menurun menjadi 10,50 juta orang atau
9,58% dari 109,517 juta total angkatan kerja. Hal ini didasarkan
beberapa hal seperti a) tren pertumbuhan pertanian Q4(2006)Q3(2007) yang meningkat pesat dibandingkan sektor lainnya sebagai
dampak program revitalisasi sektor pertanian dalam bentuk bantuan
bibit, benih dan pencetakan sawah. Padahal sektor pertanian
merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar; b)
pembukaan lahan perkebunan didaerah perbatasan; c) prediksi
investasi yang meningkat ditahun 2008; dan d) adanya
kecenderungan peningkatan alokasi kredit untk usaha-usaha kecil.
Akan tetapi, jika ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 6,3% atau
6%, maka tingkat pengangguran hanya dapat ditekan masing-masing
menjadi 9,62% dan 9,69%. Artinya, menurut skenario pesimis, dengan
pertambahan kesempatan kerja sebesar 1,33 juta orang dan tambahan
angkatan kerja baru sebanyak 1,39 juta orang maka masih akan
ditemukan angkatan kerja yang tidak tertampung di pasar tenaga
kerja.
Meskipun tidak begitu signifikan, penurunan pengangguran juga
akan berpengaruh pada pengurangan angka kemiskinan. Berdasarkan
data BPS, total penduduk miskin tahun 2006 adalah 39,3 juta jiwa.
Untuk tahun 2007, jumlah penduduk miskin diperkirakan akan
menurun menjadi 38,52 juta orang (14,20 juta orang di kota dan 24,32
juta orang di desa). Selanjutnya, dengan asumsi tingkat inflasi 6,3%
dan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,5%, maka penduduk miskin
pada tahun 2008 diproyeksikan akan berkurang kembali menjadi
37,73 juta orang atau sekitar 16,57% dari perkiraan total penduduk
11
227,7 juta jiwa. Proyeksi menurunnya jumlah penduduk miskin ini
tentunya dilandasi oleh pertimbangan adanya berbagai program dan
kebijakan pemerintah pro-poor dan pro-job melalui departemen teknis.
Menurut Menko kesra program penanggulangan kemiskinan untuk
2008 didukung oleh alokasi anggaran yang mencapai Rp 32 trilyun
meningkat sebesar 31% dari alokasi tahun 2007 sebesar Rp 25,4
trilyun.
Langkah nyata pemerintah sangat ditunggu dalam menanggulangi
pengangguran dan kemiskinan. Dengan melihat pada potensi lahan
yang ada pemerintah dapat mengembangkan lahan perkebunan
sawit. Jika diperhatikan rencana pemerintah untuk ekspansi
perkebunan sawit selama 25 tahun ini adalah sebesar 19,8 juta hektar,
namun demikian angka realisasi hingga tahun 2005 barulah sebesar
6.059.441 hektar (Forest People Progam dan Sawit Watch, 2006). Merujuk
pada salah satu pulau yaitu Kalimantan, sebagaimana dikemukakan
oleh Menteri Kehutanan (Kompas, 2007) dapat diketahui saat ini
kurang lebih terdapat sekitar 3,9 juta hektar lahan yang bisa
dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Dengan asumsi serapan
tenaga kerja kurang lebih 0,4 kerja/per hektar (Iyung Pahan, 2006)
maka dapat diperkirakan penciptaan lapangan kerja sebesar 1,6 juta
orang. Jika Tambahan angkatan kerja 2008 yaitu diperkirakan sekitar
1,4 juta orang, maka jika pemerintah mau serius dalam
mengoptimalkan peluang ini kesejahteraan masyarakat akan
menunjukkan kesejahteraan berarti.
Namun demikian upaya mengembangkan perkebunan sawit bukan
berarti tanpa resiko. Paling tidak ada tiga hal penting yang perlu
diperhatikan. Pertama, pengembangan lahan sawit lebih
diprioritaskan
pada
lahan-lahan
kritis,
dengan
tetap
mempertahankan hutan konversi. Dengan demikian pengaruh negatif
terhadap kelestarian lingkungan dapat diminimalkan. Kedua,
menjamin status dan kepemilikan tanah yang jelas terutama dalam
upaya mengembangkan pola perkebunan inti rakyat. Ketiga,
memfasilitasi investor dalam mengembangkan perkebunan sawit
baik melalui insentif fiskal dan non-fiskal.
12
8. Otonomi Daerah
Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah ada beberapa isu yang
menarik untuk dicermati dari perspektif ekonomi. Pertama, rendahnya
Realisasi Penyerapan APBD antara lain disebabkan oleh masih
kentalnya nuansa politisasi terhadap sasaran penggunaan dan alokasi
anggaran. Berdasarkan ketentuan Keppres No 80 Tahun 2003
mengenai pengadaan barang dan jasa, sebelum APBD disahkan,
instansi-instansi pemerintah tidak diperkenankan untuk mengadakan
kontrak pengadaan. Implikasinya, realisasi belanja daerah pada
semester I umumnya didominasi oleh pengeluaran rutin (gaji
pegawai) sehingga realisasi anggarannya kecil. Proses pengesahan
APBD antara eksekutif dan legislatif itu sendiri kerap memakan
waktu karena adanya perbedaan kepentingan diantara kedua institusi
politik di daerah tersebut.
Kedua, masih besarnya anggaran APBD yang diparkir di Bank
Indonesia dalam bentuk SBI per Juni 2007 sebesar Rp 48 triliun
(Kompas 2007). Hal ini merupakan implikasi dari lambannya proses
pengesahan APBD yang kemudian juga diperlukan waktu dalam
proses tender proyek membuat anggaran yang ada tidak serta merta
bisa
langsung
digelontorkan
untuk
pelaksanaan
proyek
pembangunan. Ketiga, investasi di daerah yang diharapkan mampu
menjadi penggerak mesin pertumbuhan di daerah belum optimal bisa
diwujudkan karena masih simpang siurnya perbedaan insentif antar
daerah. Kepentingan daerah untuk meningkatkan penerimaan PAD
melalui Perda acap kali kontraproduktif dengan penciptaan iklim
investasi di daerah tersebut. Implikasinya adalah, investasi swasta
yang diharapkan masuk dan menciptakan lapangan kerja belum
optimal terwujud. Pemerintah perlu lebih memperjelas insentif yang
diberikan antara daerah yang sudah maju (memadai secara sarana
prasarana) dengan daerah yang kurang akan fasilitas. Undangundang penanaman modal yang ada saat ini juga perlu
mempertimbangkan hal tersebut sebab dengan membedakan insentif
tiap daerah diharapkan kesenjangan antara daerah akan berkurang.
13
Keempat, menurut data World Bank (2007) dari 33 propinsi saat ini
hanya 5 provinsi yaitu Kalimantan Timur, Riau, Irian Jaya Barat,
Kepulauan Riau dan Nangroe Aceh Darussalam, yang menikmati
keuntungan rejeki tak disangka (windfall profit) atas meningkatnya
harga minyak melalui Dana Bagi Hasil Otoda. Pemerintah pusat
melakukan langkah pengamanan salah satunya dengan menerbitkan
Surat Utang Negara (SUN) bagi daerah yang mengalami surplus
karena harga minyak yang cenderung terus meningkat. Diperkirakan
dana yang akan terserap dengan diterbitkannya SUN tersebut sebesar
Rp. 13,9 trilyun (Bisnis Indonesia, 2007). Dalam menyikapi rencana
kebijakan pemerintah pusat tersebut, perlu dicermati karena pada
satu sisi hingga saat ini pemerintah daerah belum dapat
memanfaatkan anggaran lebih yang diterimanya bagi proses
pembangunan daerah.
Kelima, masalah pemekaran daerah perlu dicermati dengan seksama
terkait dengan sasaran dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Ada kecenderungan dimana pemekaran daerah ternyata tak
berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 153 Tahun 2007 tentang
pemetaan kapasitas fiskal yakni kemampuan keuangan daerah (tidak
termasuk DAU, dana darurat, dan penerimaan lain yang
penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu
dikurangi dengan belanja pegawai serta dikaitkan dengan jumlah
penduduk miskin), mayoritas dari 434 kabupaten/kota yang ada
memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Artinya, masih banyak daerah
di tingkat kabupaten/kota yang kapasitas fiskalnya belum mampu
mengangkat taraf kehidupan masyarakatnya yang tergolong miskin.
14
9. Action Plan
1.
Penentuan standar kinerja dengan basis pendekatan
stakeholders’ commitment
2. Moratorium Perda
3. Implementasi single window document
4. Sinkronisasi kewenangan antar instansi (bea cukai dan
BKPM; kepolisian dan departemen kehutanan)
5. Meningkatkan ekspor ke Afrika dan Timur tengah yang
menerima windfall profit
6. Peningkatan capacity building dalam menejemen anggaran
ditingkat pusat dan daerah
7. Membangun dan memperkuat kerjasama perusahaan (value
chain) melalui pengembangan klaster industri
8. Mempercepat penerapan tax holiday untuk industri yang
mampu memberikan nilai tambah dalam hal penyerapan
tenaga kerja dan transfer teknologi
9. Mendorong dan mendukung penerapan penguatan kualitas
SDM dengan lebih banyak melibatkan peran asosiasi.
10. Menetapkan target subsidi yang lebih realistis dan
menyiapkan skenario-skenario antisipatif atas melesetnya
target tanpa harus menyebabkan shock perekonomian
dijangka pendek.
15
LAMPIRAN TABEL DAN GRAFIK
TABEL 1. PROYEKSI PEREKONOMIAN INDONESIA 2008
Indikator Makro
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Nilai Tukar (Rp/US$)
Inflasi
Harga Minyak (US$/Barrel)
SBI (3 bulan)
Asumsi Skenario Optimis
Kisaran
6 – 6,5
9200 – 9400
6,3% – 8,4%
72 – 90
7,7 – 8,8
- Harga minyak dunia sekitar US$ 70 per barrel
- Perekonomian Amerika segera pulih dari krisis
- Kondisi internal (dalam negeri) stabil
Hasil perhitungan P2E LIPI, Desember 2007.
16
TABEL 2. SKENARIO BEBERAPA INDIKATOR MAKRO TAHUN 2008
Versi P2E – LIPI
Moderat **)
Pertumbuhan Ekonomi (%)
6,8
6,5
6,3
Nilai Tukar (Rp/US$)
9100
9200
9300
Inflasi
6
6,3
6,5
Harga Minyak (US$/Barrel)
60
72
75
SBI (3 bulan)
7,5
7,7
8,5
*) Asumsi RABPN 2008 **) Hasil perhitungan P2E LIPI, Desember 2007.
Indikator
Versi Pemerintah *)
17
Optimis**)
Pesimis**)
6
9400
8,4
90
8,8
GRAFIK 1. PERSETUJUAN DAN REALISASI INVESTASI PMDN
1990 – OKTOBER 2007
200.000,0
35.000,0
180.000,0
30.000,0
Miliar rupiah
160.000,0
25.000,0
140.000,0
120.000,0
20.000,0
100.000,0
15.000,0
80.000,0
60.000,0
10.000,0
40.000,0
5.000,0
20.000,0
-
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Persetujuan PMDN
Sumber: BKPM, 2007.
18
Realisasi PMDN
GRAFIK 2. PERSETUJUAN DAN REALISASI INVESTASI PMA
1990 – OKTOBER 2007
45.000,0
12.000,0
40.000,0
10.000,0
35.000,0
juta USD
30.000,0
8.000,0
25.000,0
6.000,0
20.000,0
15.000,0
4.000,0
10.000,0
2.000,0
5.000,0
-
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Persetujuan PMA
Sumber: BKPM, 2007.
19
Realisasi PMA
GRAFIK 3. PERKEMBANGAN NERACA PERDAGANGAN INDONESIA
1980 – 2006 (Juta US$)
120000
100000
Juta USD
80000
60000
40000
20000
20
06
20
04
20
02
20
00
19
98
19
96
19
94
19
92
19
90
19
88
19
86
19
84
-20000
19
82
19
80
0
Tahun
Ekspor
Impor
Transaksi Berjalan
Sumber: World Economic Indicators, 2007.TABEL 3. APBN 2008 PEMERINTAH Vs P2E - LIPI 2008
(dalam miliar rupiah)
20
TABEL 3. APBN 2008 PEMERINTAH Vs P2E - LIPI 2008 (dalam miliar rupiah)
Skenario
Optimis
Moderat
Pesimis
Asumsi Harga Minyak
72 US$ per barrel
75 US$ per barrel
90 US$ per barrel
Subsidi BBM dan Listrik
Rp. 107,7 triliyun
Rp. 119,24 triliyun
Rp. 174, 25 trilyun
1,7 % terhadap PDB
1,8 % terhadap PDB
2,0 % terhadap PDB
Defisit APBN
TABEL 4. PROYEKSI TINGKAT PENGANGGURAN INDONESIA 2008
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008*
a. Optimis
b. Moderat
c. Pesimis
Angk. Kerja
(000 org)
103,973
105,802
106,282
108,131
Tambahan
Akt. Kerja
Tambahan
KesKerja
1,829
480
1,849
Kesemp. Kerja
Kerja (000 jiwa)
93,722
94,948
95,177
97,583
109,295
109,295
109,295
1,386
1,386
1,386
99,020
98,976
98,910
21
1,226
229
2,406
Pengangguran
Terbuka (000 jiwa)
10,251
10,854
11,105
10,548
Tingkat
Penggrn Terbuka
9.86
10.26
10.45
9.75
1,437
1,393
1,327
10,497
10,541
10,607
9.58
9.62
9.69
TABEL 5. BATAS MISKIN, PERSENTASE, DAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN, 1996-2006
Batas Miskin (Rp)
Tahun
Kota
Desa
1996
42 032
31 366
1998
96 959
72 780
1999
89 845
69 420
2000
91 632
73 648
2001
100 011
80 382
2002
130 499
96 512
2003
138 803
105 888
2004
143 455
108 725
2005
150 799
117 259
2006
174 290
130 584
2007*
184 660
136 251
2008*
195 759
141 239
Sumber: Statistik Indonesia, BPS 2007
* Angka Proyeksi
Persentase Pddk Miskin
Kota
Desa
K+D
13.39
19.78
17.47
21.92
25.72
24.23
15.09
20.22
18.17
14.6
22.38
17.14
9.76
24.84
18.41
14.46
21.1
18.2
13.57
20.23
17.42
12.13
20.11
16.66
11.68
19.98
15.97
13.47
21.81
17.75
12.49
21,89
17.14
11,81
21,69
16.53
22
Jumlah Pddk Miskin (Juta)
Kota
Desa
K+D
9.42
24.59
34.01
17.6
31.9
49.5
12.4
25.1
37.5
12.3
26.4
38.7
8.6
29.3
37.9
13.3
25.1
38.4
12.2
25.1
37.3
11.4
24.8
36.2
12.4
22.7
35.1
14.49
24.81
39.3
14.2
24.32
38.52
13.91
23.82
37.73
TIM PENELITI
Penanggung Jawab
Drs. Firmansyah
Koordinator
Dr. Latif Adam
Narasumber
1.
Dr. Wijaya Adi
Anggota Tim
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Dr. Siwage Dharma Negara
Maxensius Tri Sambodo, SE, MIDEC
M. Soekarni, SE, M.Si
Teddy Lesmana, SE, M.Mgt
Yani Mulyaningsih, SE
Purwanto, SE, M.Econ.St
Esta Lestari, SE, M.Ec
Bahtiar Rifai, SE
Joko Suryanto, SE, M.Si
Jiwa Sarana, SE, M.M
Agus Syarip Hidayat, SE, M.A
Inne Dwiastuti, SE, MPP
Dhani Agung Darmawan, SE
Putri Irma Yuniarti, SE
Sekretariat
1.
2.
Susilo Hariyanti, S.Sos
Suwartiningsih, A.Md
23
Download