Oleh: Rizky Rachmat Hakim Nim : 1111024000004

advertisement
PUISI-PUISI RĀBI‟AH AL-„ADAWIYYAH:
STUDI PENERJEMAHAN SASTRA SEBAGAI “PENGKHIANATAN” TEKS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh:
Rizky Rachmat Hakim
Nim : 1111024000004
Jurusan Tarjamah
Fakultas Adab Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1437 H/2016 M
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber data yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil karya jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,15 Maret 2016
Rizky Rachmat Hakim
ABSTRAK
Rizky Rachmat Hakim. 1111024000004. “Puisi-puisi Rābi’ah al-Adawiyyah,
Studi Penerjemahan Sastra Sebagai Pengkhianatan Teks.” Jurusan Tarjamah,
Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016.
Dalam penelitian ini, saya selaku peneliti menganalisa terjemahan puisipuisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah Cinta Allahdan
Kerinduan Spiritual Manusia yang merupakan terjemahan dari buku sumber,
Rābi’ah al- ‘Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- ilāḥī. Fokus pada penilitian ini
adalah kasus pengkhianatan teks yang ada pada terjemahan puisi Rābi‟ah alAdawiyyah
Untuk memecahkan masalah di atas, dalam penelitian ini, saya selaku
peneliti
menggunakan
metode analisis
kualitatif
yaitu penelitian
yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Dengan kata lain, penelitian kualitatif dilakukan
dengan cara mengumpulkan data-data yang terkait dengan masalah yang akan
diteliti, yaitu berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan angka-angka. Sumber
data yang digunakan adalah terjemahan puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dan
puisi dari bahasa sumbernya yang terdapat dalam buku sumber berjudul, Rābi’ah
al- ‘Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- ilāḥī.
Dalam buku sumber Rābi’ah al- ‘Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- ilāḥī
ternyata peneliti temukan beberapa puisi yang dikarang oleh selain Rābi‟ah alAdawiyyah. Maka dari itu peneliti menyaring dan memilih puisi-puisi Rābi‟ah al-
i
Adawiyyah sesuai dengan judul bahasan penelitian kali ini yang jumlahnya ada
enam (6) puisi.
Setelah diteliti, peneliti menemukan beberapa kasus pengkhianatan teks
dalam terjemahan puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah. Dari temuan hasil analisis
tersebut terjawab bahwa, hilangnya ciri fisik atau bentuk pada puisi bahasa
sasaran (terjemahan puisi sumber) yang semestinya ada dan menjadi ciri khas dari
sebuah puisi. Dan ada beberapa terjemahan yang salah atau tidak tepat, sehingga
isi/maksud puisi tidak sampai pada pembaca puisi.
ii
PRAKATA
Segala puji bagi Allah swt, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini
akhirnya dapat terselesaikan. Shalawat serta salam terlimpah pada junjungan kita
Nabi Muhummad saw. juga atas segenap keluarga, sahabat dan semua
pengikutnya hingga hari kemudian, semoga kita mendapatkan pertolongan
melalui beliau atas izin Allah swt. di hari tiada pertolongan dari siapapun.
Peneliti mengucapkan terima kasih kepada bapak Dekan Fakultas Adab
dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. yang sekaligus menjadi dosen
pembimbing skripsi. Juga kepada seluruh staf akademik fakultas dan semua
civitas academica Fakultas Adab dan Humaniora.
Terima kasih pula peneliti ucapkan kepada ketua Jurusan Tarjamah Bapak
Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum, beserta Sekretaris Jurusan Ibu Rizqi
Handayani, MA. yang telah membantu dalam urusan administratif, sehingga dapat
terselesaikannya skripsi dan perkuliahan di strata 1 ini. Terima kasih pula
diucapkan untuk seluruh dosen pengajar di jurusan Tarjamah yang telah membagi
ilmu dan membimbing peneliti sampai pada tahap ini. Terima kasih khusus
diucapkan untuk dosen penguji skripsi, kepada Ibu Karlina Helmanita, M.Ag. dan
Bapak Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag.
Peneliti mengucapkan terima kasih yang terbesar khusus untuk kedua
orang tua, ayah dan ibu yang selalu membimbing, menasehati, mengajarkan dan
mengarahkan kejalan yang benar, serta selalu mendukung setiap kegiatan peneliti
yang bernilai positif. Peneliti rasa tiada yang bisa dibalas atas kebaikan mereka
iii
berdua, selain berusaha dan berdoa kepada Allah swt, agar mereka selalu diberi
keberkahan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Terima kasih pula peneliti ucapkan untuk seluruh teman-teman
seperjuangan Jurusan Tarjamah angkatan 2011-2012, semoga silaturahmi kita
tetap terjaga. Juga terima kasih kepada teman-teman Jurusan Tarjamah mulai dari
angkatan 2012 hingga 2014 yang telah berpartisipasi dan mebantu peneliti saat
diamanahkan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarjamah
periode 2013 hingga pertengahan 2015.
Semoga skripsi yang amat sederhana ini membawa manfaat bagi khasanah
ilmu pengetahuan, terutama kajian tentang penerjemahan syi‟ir dan yang
sejenisnya. Akhir kata peneliti ucapkan mohon maaf akan kekurangan skripsi
yang ditulis dan terima kasih.
Jakarta, 15 Maret 2016
Rizky Rachmat Hakim
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………………………………………………...i
PRAKATA……………………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...v
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………….vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………….................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………….......5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………..........5
D. Tinjauan Pustaka…………………………………………….........6
E. Metode Penelitian………………………………………….............6
F. Sistematika Penulisan…………………………………..................8
BAB II
TEORI SASTRA (PUISI) DAN PENERJEMAHAN
A. Teori Puisi………………………………...……………………….11
1. Definisi Puisi...…………..........................................................12
2. Jenis Syi’ir (Puisi Arab)………………………………….......15
3. Unsur Pembangun Syi’ir (Puisi Arab)………………….......17
4. Puisi Indonesia………………………………………………..20
5. Unsur Pembangun Puisi Indonesia………………………….23
6. Macam-Macam Puisi Indonesia……………………………..26
7. Karakteristik Bahasa Puisi…………………………………..28
v
B. Penerjemahan Sastra……………………………………............33
1. Definisi Penerjemahan…………………………………........33
2. Metode Penerjemahan Sastra (Puisi) ……………………...34
3. Pengkhianatan Kreatif Dalam Penerjemahan Sastra
(Puisi)……………………………………………....................40
BAB III BIOGRAFI RĀBI’AH AL-ADAWIYYAH DAN PENERJEMAH
A. Biografi Rābi’ah al-Adawiyyah………………………………...47
B. Biografi dan karya penerjemah Yunan
Askaruzzaman…………………………………………………...57
BAB IV ANALISIS TERJEMAH PUISI RĀBI’AH AL-‘ADAWIYYAH,
STUDI
PENERJEMAHAN
SASTRA
SEBAGAI
PENGKHIANATAN TEKS
A. Deskripsi Teks Puisi……………………………………………...60
B. Analisis Puisi Rābi’ah al-Adawiyyah: Studi Penerjemahan
Sastra (Puisi) Sebagai Pengkhianatan
Teks………………………………………………………………..63
1. Pengkhianatan Bentuk…………………………………...63
2. Pengkhianatan Isi………………………………………...78
3. Pengkhianatan Kreatif…………………………………...87
BAB V PENUTUP…………………………………………………………….92
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….....94
vi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
1. Pengertian Transliterasi
Transliterasi dimaksudkan sebagaia pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke
abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab
dengan huruf-huruf Latin beserta perangkatnya.
2. Pembakuan
Pembakuan pedoman Transliterasi Arab-Latin ini disusun dengan prinsip sebagai
berikut:
a. Sejalan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
b. Huruf Arab yang belum ada padanannya dalam huruf Latin dicarikan
padanan dengan cara memberi tambahan tanda diakritik, dengan dasar
“satu fonem satu lambang.”
c. Pedoman transliterasi ini diperuntukan bagi masyarakat umum.
3. Rumusan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Hal-hal yang dirumuskan secara kongkrit dalam pedoman transliterasi Arab-Latin
ini meliputi:
a. Konsonan
b. Vokal
c. Maddah
d. Ta Marbuthah
e. Syaddah (Tasydid)
f. Kata Sandang
vii
g. Hamzah
h. Penulisan Kata
i. Huruf Kapital
j. Tajwid
A. Pedoman Transliterasi Arab-Latin
1. Konsonan
Fonem Konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan
sebagian dilambangkan dengan dengan tanda, dan sebagiannya lagi dilambangkan
dengan huruf dan tanda sekaligus.
Di bawah ini daftar huruf Arab itu dan Transliterasinya dengan huruf Latin.
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Nama
‫ا‬
alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
‫ب‬
ba
b
Be
‫ت‬
ta
t
Te
‫ث‬
ṡa
ṡ
es (dengan titik di atas)
‫ج‬
jim
j
Je
‫ح‬
ḥa
ḥ
ha (dengan titik di
bawah)
‫خ‬
kh
kh
ka dan ha
‫د‬
dal
d
De
‫ذ‬
żal
ż
zet (dengan titik di
atas)
viii
‫ر‬
ra
r
Er
‫ز‬
zai
z
Zet
‫س‬
sin
s
Es
‫ش‬
syin
sy
es dan ye
‫ص‬
ṣad
ṣ
es (dengan titik di
bawah)
‫ض‬
ḍad
ḍ
de (dengan titik di
bawah)
‫ط‬
ṭa
ṭ
te (dengan titik di
bawah)
‫ظ‬
ẓai
ẓ
zet (dengan titik di
bawah)
‫ع‬
„ain
...‟...
koma terbalik di atas
‫غ‬
gain
g
Ge
‫ف‬
fa
f
Ef
‫ق‬
qaf
q
Ki
‫ك‬
kaf
k
Ka
‫ل‬
lam
l
El
‫م‬
mim
n
Em
‫ن‬
nun
m
En
‫و‬
wau
w
We
‫ه‬
ha
h
Ha
‫ء‬
hamzah
...‟...
apostrof
ix
‫ي‬
ya
y
Ye
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau
monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
1. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda
‫و‬
Nama
Huruf Latin
Nama
Fataḥah
a
a
Kasrah
i
i
ḍammah
u
u
Contoh:
َ‫َب‬
َ ‫ – َكخ‬Kataba
َُ‫ – ََرهَب‬yazhabu
َ‫ – فَ َع َم‬fa‟ala
َ‫ – ُسئِ َم‬su‟ila
َ‫ ُذ ِك َس‬- ẓukira
2. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan
huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan
Nama
Gabungan Huruf
Nama
x
Huruf
‘‫ََي‬....
Fatḥah dan ya
ai
a dan i
‘‫ََو‬...
Fatḥah dan wau
au
a dan u
Contoh:
ََ‫ – َكُف‬kaifa
َ‫هَى َل‬- haula
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :
Harkat dan
Nama
huruf
‫َي‬....َ‫َا‬....
Huruf dan tanda
Nama
ā
a dan garis di atas
Fatḥah dan alif
atau ya
‫ي‬....
Kasrah dan ya
ī
i dan garis di atas
‫ُو‬....
ḍammah dan wau
ū
u dan garis di atas
Contoh:
َ‫ – قبَ َل‬qāla
َ‫ قُِ َم‬- qīla
ً‫ – َز َم‬ramā
َ‫ىل‬
َ ُ‫ – ََق‬yaqūlu
4. Ta marbuṭah
Transliterasinya untuk ta marbuṭah ada dua.
a. Ta marbuṭah hidup
Ta marbuṭah yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan
ḍammah, transliterasinya adalah /t/.
b. Ta marbuṭah mati
Ta marbuṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah /h/.
xi
c. Kalau ada suatu kata yang akhir katanya ta marbuṭah diikuti oleh kata
yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah
maka ta marbuṭah itu di transliterasikan dengan ha (h).
Contoh:
‫ضتَُاالَطفَبل‬
َ ‫ َزو‬- rauḍah al-aṭfāl
- rauḍatul aṭfāl
‫ ان َم ِدَىَتَُان ُمىَ َّى َزة‬- al- Madīnah al- Munawwarah
- al- Madīnatul- Munawwarah
‫ طَه َحت‬- ṭalḥah
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid. Dalam transliterasi ini tanda
syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan
huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Contoh :
‫ – َزبَّىَب‬rabbanā
َ‫ – وَ َّص َل‬nazzala
َ‫ – اَنبِس‬al- birr
َ‫ – اَن َح ّج‬al- ḥajju
َ‫ – وُ ِع َم‬nu‟ima
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan huruf, yaitu: ‫ال‬. Namun,
dalam transliterasinya kata sandang itu dibedakan antara kata sandang yang
diikuti oleh huruf syamsiyah dengan kata sandang
yang diikuti oleh huruf
qamariah.
1. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah
xii
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan
huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.
2. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya.
Baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf qomariyah, kata sandang ditulis
terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung
/hubung.
Contoh:
َُ ‫ – ان َس ُج‬ar-rajulu
‫م‬
‫ – ان َسُِّدَة‬as-sayyidatu
َُ‫ – ان َّشمش‬asy-syamsu
َ‫ – انقَهَ ُم‬al-qalamu
‫ – انبَ ِدَ َُع‬al-badi‟u
َُ ‫ – ان َج ََل‬al-jalālu
‫ل‬
7. Hamzah
Dinyatakan
di
depan
Daftar
Transliterasi
Arab-Latin
bahwa
hamzah
ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya terletak di tengah dan di
akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena
dalam tulisan Arab berupa alif.
Contoh :
1. Hamzah di awal
ُ ‫ – أ ِم‬umirtu
َ‫سث‬
َ‫ – اَ َك َم‬akala
2. Hamzah di tengah
ََ‫ – حَأ ُخ ُرون‬ta‟khużūna
ََ‫ – حَأ ُكهُىن‬ta‟kulūna
3. Hamzah di akhir
َ‫ – شٍَء‬syai‟un
َ‫ – انىَّى ُء‬an-nau‟u
xiii
8. Penulisan Kata
‫َّاشقُِه‬
ِ ‫َوإِ َّنَهللاَنَهُ َىَ َخُسَُانس‬
-
Wa innallāha lahuwa khair arrāziqīn
-
Wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn
ََ‫َوَان ِمُ َصان‬
َ ‫فَأَوفَ َان َك‬
َ ‫ُم‬
- Fa aufu al-kaila wa al-mizāna
- Fa auful-kaila wal-mizāna
َ‫جسىهَبَ َوَ ُمس َسهََب‬
َ ‫سمَهللاَِ َم‬
ِ ِ‫ب‬
- Bismillāhi majrēha wa mursāhā
9. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam tranliterasi
ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti apa yang
berlaku dalam EYD, di antaranya huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf
awal, nama diri, dan psrmulaan kalimat. Bila mana diri itu didahului oleh kata
sandangnya.
Contoh:
‫ل‬
َ ‫سى‬
َُ ‫َو َمبَ َم َح َّمدَاالََّان َّس‬
- Wa mā Muhammadun illā ar-rasūl
ُ
َ‫زمضبنَانرٌَأوصلَفُهَانقسان‬
َ‫شهس‬
- Syahru Ramadāna al-laẓi unzila fihi
al- Qur’ānu.
َّ
َ‫جَوضعَنهىبضَنهرٌَببكت‬
ٍ ُ‫إنَأولَب‬
‫مببزكب‬
- Inna awwala baitin wudi‟a linnāsi
lallazī bi Bakkata mubārakan
Penggunaan huruh awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan
Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan
xiv
kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak
dipergunakan.
Contoh :
‫وَصسَ ِمهَ َهللاَِ َوفَخحَقَ ِسَب‬
- Naṣrum minallāhi wa fatḥun qarīb.
‫َُج ِمُعب‬
َ ‫ِلِلَِاالَمس‬
- Lillāhi al-amru jamī‟an
- Lillāhi amru jamī‟an
‫َوهللاَُ ِب ُكمِّ َ َشٍ ٍءَ َع ِهُمب‬
- Wallāhu bikulli syai‟in „alīmun
10. Tajwid
Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi
ini merupakan bagian tak terpisahkan dengan ilmu Tajwid. Karena itu peresmian
pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.1
1
Salinan dari Pedoman Transliterasi Arab Latin Departemen Agama RI, 2003, Jakarta.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puisi merupakan salah satu dari karya sastra selain novel yang berbentuk
prosa, seperti dalam kamus istilah sastra dikatakan bahwa umumnya sastra berupa
teks rekaan baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman
pikiran dan kedalam jiwa.1
Penjelasan lainnya tentang puisi diungkapkan oleh Situmorang dalam
Purba, “Puisi berasal dari bahasa Yunani yang dalam bahasa latin disebut poietes
(poeta). Mula-mula artinya pembangunan, pembentukan atau pembuat. Asal
katanya poieo atau poio atau poeo yang artinya „membangun‟, „menyebabkan‟,
„menimbulkan‟ atau „ menyair‟. Arti yang mula-mula itu lama-kelamaan semakin
dipersempit menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut irama,
sajak dan kadang-kadang kata kiasan.2
Sedangkan menurut Panuti Sudjiman menguraikan bahwa puisi adalah
ragam sastra yang bahasanya terkait oleh irama, matra dan rima serta penyusunan
larik dan bait.3 Dari pengertian yang dipaparkan oleh para ahli tadi, kita dapat
mengetahui bahwa, puisi adalah bagian dari karya sastra yang mempunyai ciri
khas. Ciri khas dari puisi itu bahasanya disusun menurut irama, matra, dan rima,
sehingga membentuk sajak, larik dan bait-bait. Pengunaan bahasanya memakai
1
Abdul Rozak Zaidan, Anita K Puspita dan Haniah, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), h. 181.
2
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 20.
3
Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 64.
1
beberapa gaya bahasa dan kiasan yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada
umumnya.
Ciri khas puisi yang telah diungkapkan di atas sudah umum banyak
diketahui orang dan lama-kelamaan nampaknya ciri khas puisi tersebut
membentuk sebuah aturan yang baku dalam membuat puisi. Maka ketika
seseorang membuat atau menulis puisi tanpa adanya ciri khas tersebut maka
pembacanya tidak akan menganggap itu sebuah karya puisi. Aturan itulah disebut
konvensi, yakni suatu kesepakatan yang sudah diterima orang banyak atau
masyarakat pada umumnya yang menjadi sebuah tradisi secara terus-menerus dari
waktu ke waktu.4
Puisi juga mempunyai unsur yang lainnya yaitu puisi harus mempunyai
nila yang membangkitkan atau menggugah pembacanya. Seperti arti puisi yang
dipaparkan di atas yaitu puisi memiliki arti membangun, menimbulkan, dan
menyebabkan. Hal serupa dipaparkan juga oleh Horatius, “Puisi itu harus indah
dan menghibur serta disaat yang bersamaan puisi juga harus berguna dan
mengajarkan sesuatu.”5 Maka tak heran puisi memiliki pengagumnya sendiri dari
berbagai kalangan masyarakat.
Permasalahannya adalah puisi yang ditulis bukan berbahasa sumber atau
bahasa ibu dari kalangan pembacanya. Hal ini disebabkan dari perkembangan
kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dan juga
penerbitan-penerbitan buku di berbagai negara. Misalkan satu penerbitan di
4
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami
Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 15.
5
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami
Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 39-40.
2
Indonesia mengambil beberapa buku yang berasal dari negara lain yang berbahasa
asing, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan serta
diedarkan ke masyarakat umum. Bagi masyarakat yang mempunyai buku aslinya
dan mengerti bahasa buku aslinya (buku sumbernya) itu tidak menjadi masalah,
ketika ada kesalahan penerjemahan ia langsung bisa mengoreksinya. Namun,
menjadi masalah bagi masyarakat umum yang tidak mengetahui buku aslinya atau
tidak menguasai bahasa pada buku aslinya ketika ada masalah penerjemahan ia
akan terima saja karena ketidaktahuannya.
Contoh kasus pada puisi karya Charil Anwar yang berjudul Huesca siapa
yang tahu puisi tersebut merupakan puisi terjemahan dari puisi yang berjudul
Poem Mungkin yang mengetahuinya hanyalah orang-orang yang memahami dan
memiliki naskah asli dari puisi tersebut. Maksudnya memahami adalah orang
yang memahami seluk beluk gramatika bahasa sumber dan bahasa sasarannya.6
Tentunya setiap penerjemahan memiliki masalah karena perbedaan antara
bahasa sumber (bahasa asing) dan bahasa sasaran (bahasa ibu) selalu membayangi
proses penerjemahan, disebabkan tidak ada dua bahasa yang sama. Setiap bahasa
pasti memiliki sistem dan strukturnya sendiri yang khas untuk diri bahasa
tersebut. Dan belum lagi budaya yang berbeda yang melekat pada bahasa itu
sendiri. Jadi tidak ada terjemahan yang sempurna. Dan tidak ada terjemahan yang
tidak memiliki masalah.7
6
Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk
Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2,
Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 3-5.
7
Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 14,26
dan 40.
3
Lebih parah lagi ketika menerjemahkan karya sastra. Penerjemah akan
banyak menemukan masalah atau problema ketika menerjemahkan karya sastra.
Gifford dalam Hariyanto, berpendapat bahwa terjemahan sastra diumpamakan
sebagai reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak yang berwarna. Lebih
jauh, karya terjemahan menurutnya tidak akan dapat menandingi kehalusan dan
kelengkapan imajinasi penulis bahasa sumber atau penulis aslinya. Setiap upaya
penerjemahan adalah sebuah upaya pemiskinan, dan taraf pemiskinan ini pada
taraf yang tertinggi pada penerjemahan puisi. Sedangkan orang-orang Prancis
berpendapat bahwa terjemahan karya sastra dianggap trahison creatice yang
artinya ia menganggap bahwa penerjemahan karya sastra (puisi) itu dianggap
pengkhianatan yang kreatif.8
Mengapa
penerjemahan
karya
sastra
khususnya
puisi
banyak
menimbulkan polemik. Sebabnya adalah karena puisi merupakan karya sastra
yang unik, pemakaian bahasanyapun sangat unik, tidak memakai bahasa pada
umumnya seperti yang telah dipaparkan di atas tadi. Maka penerjemahan karya
sastra (puisi) menuai beberapa problema diantaranya problema pengkhianatan
pada teks yang telah disinggung di atas tadi. Maka dari itu peneliti mengambil
fokus penerjemahan karya sastra sebagai pengkhianatan teks, kemudian peneliti
mengambil puisi-puisi Rābi‟ah al- Adawiyyah dalam buku Rabī‟ah al„Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī yang diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh Yunan Askaruzzaman sebagai objek penelitiannya. Maka dari situ
8
Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk
Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2,
Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2.
4
peneliti membuat judul Puisi-Puisi Rābi‟ah al-„Adawiyyah: Studi Penerjemahan
Sastra (Puisi) Sebagai “Pengkhianatan” Teks.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah peneliti paparkan di atas,
maka peneliti memilih puisi karangan Rabī‟ah al-‟Adawiyyah sebagai objek
kajian penelitian. Peneliti menemukan kasus penerjemahan puisi sebagai
pengkhianatan atas teks bahasa sumber (bsu) dalam terjemahan puisi Rabī‟ah al‟Adawiyyah yang diterjemahkan oleh Yunan Azkaruzzaman dalam buku yang
berjudul; Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī, bahan yang
digunakan peneliti sebagai sampel adalah semua puisi-puisi Rabī‟ah yang ada di
dalam buku Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī dalam bahasa
sumber (bahasa Arab) dan bahasa sasaran (bahasa Indonesia) hasil terjemahannya.
Setelah itu, peneliti merumuskan masalah dengan pertanyaan:
1. Apakah dalam penerjemahan puisi Rabī‟ah al-Adawiyyah terdapat
pengkhianatan teks?
2. Bagaimana bentuk pengkhianatan teks dalam puisi Rabī‟ah alAdawiyyah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui tentang pengkhianatan teks dan jenisnya dalam penerjemahan
puisi
5
2. Mengetahui tips untuk menghindari pengkhianatan teks yang dapat merusak
atau mengubah maksud atau isi teks sumber atau kesalahan menerjemah
dalam menerjemahkan puisi Arab Indonesia
D. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti meninjau buku-buku (kepustakaan), penelitian yang berkaitan
dengan judul semacam ini umumnya sudah diteliti. Diantaranya:
1. Rahmat Darmawan Angkatan 2007, ia menganalisis diksi dan konstruksi
kalimat dalam terjemahan syair kitab Ta‟lim al-Muta‟allim
2.
Sugeng Harianto dalam Jurnal Linguistik Terapan Politeknik Negeri
Malang 2012, penelitiannya ia beri judul, “Pengkhianatan Demi Kesetiaan:
Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal.” Ia
menganalisis berbagai hasil terjemahan puisi. Salah satunya puisi Chairil
Anwar yang merupakan hasil terjemahan dari bahasa Inggris.
Perbedaan penelitian yang sudah dilakukan oleh kedua peneliti di atas dengan
peneliti, terdapat pada objek kajian, fokus masalah atau korpus kajian yang diteliti
pada penelitian kali ini.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9 Dengan kata lain, penelitian
kualitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang terkait dengan
9
Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta, Arruz Media, 2011), h. 30.
6
masalah yang akan diteliti, yaitu berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan
angka-angka.10
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan oleh peneliti sebagai bahan utama dalam
penelitian skripsi ini adalah puisi Rabī‟ah al-Adawiyah yang terdapat pada buku
Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī yang ditulis oleh Dr.
Ma`mun Gharîb. Buku tersebut diterjemahkan secara keseluruhan oleh
penerjemah Yunan Azkaruzzaman yang diterbitkan oleh penerbit Zaman pada
tahun 2012 M.
3. Teknik Pengumpulan
Proses pengumpulan data dilakukan dengan berbagai macam cara
diantaranya mengumpulkan data-data dari data primer yang berasal dari sumber
data yakni puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dalam bahasa sumber pada buku Rābi‟ah
al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī. Peneliti membaca dan memilih
puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dalam bahasa sumber dan terjemahannya.
Kemudian didukug dengan data sekunder yakni mewawancari penerjemah.
4. Analisis Data
Analisis dilakukan dengan cara menganalisis puisi-puisi Rābi‟ah alAdawiyyah dalam bahasa sumber dan terjemahannya. Pada proses analisi data ini,
peneliti menggunakan teori puisi yang diterapkan pada bahasa sumber dan bahasa
sasaran untuk mengetahui atau mengindikasi ada tidaknya kasus pengkhianatan
teks dalam terjemahan puisi tersebut. Peneliti juga menggunakan teori
10
Mahsun, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Grafindo, 2013), h. 79.
7
penerjemahan untuk mengetahui metode penerjemahan yang diterapkan
penerjemah dalam menerjemahkan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah.
F. Sistematika Penulisan
Pada penulisan skripsi ini, peneliti menyajikannya dalam lima bab, guna
untuk mendapatkan hasil yang komprehensif dalam pembahasannya, dan peneliti
mengikuti panduan sistematika penulisan skripsi yang distandarkan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam buku Pedoman dan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA. Berikut adalah sistematika penulisan yang
peneliti paparkan:
Bab I Pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Teori Sastra (Puisi) dan Teori Penerjemahan. Bab ini menjelaskan
tentang teori sastra terutama puisi dan penerjemahan karya sastra berupa puisi
yang dikemukakan oleh beberapa pakar.
Bab III Gambaran Umum. Bab ini membahas tentang biografi, serta karyakarya penulis puisi dan penerjemah. Bab ini merupakan pendalaman untuk
mengenal penulis puisi dan penerjemah.
Bab IV Analisis. Bab ini membahas proses dan hasil analisis terjemahan
puisi Rabī‟ah al- „Adawiyyah yang diambil dari kitab aslinya berjudul; Rabī‟ah
al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī. Bab ini merupakan puncak dari
bab-bab sebelumnya.
8
Bab V Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan dari semua pembahasan
yang telah peneliti deskripsikan, serta sedikit saran yang akan peneliti sampaikan
sebagai informasi tambahan untuk penerjemah dan mahasiswa tarjamah.
9
BAB II
TEORI SASTRA (PUISI) DAN PENERJEMAHAN
Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang
mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain. Sampai
sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang jelas atas
pertanyaan pertama dan paling hakiki, yang mau tak mau harus diajukan oleh
ilmu sastra: apakah sastra itu?
Para ahli telah melakukan banyak penelitian untuk menemukan jawaban
hakiki dari sastra itu sendiri. Akan tetapi, tetap juga belum berhasil ditemukan.
Berbagai pendekatan sudah dilakukan, hasilnya tetap tidak bisa memberi batasan.
Batasan manapun juga yang pernah diberikan oleh para ahli ternyata diserang,
ditentang, diasingkan, atau terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan
satu atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu.11
Dalam beberapa bahasa, kata sastra dikatakan sebagai literature (Inggris),
literature (Jerman), literature (Francis). Semua kata itu berasal dari bahasa
Yunani yaitu litteratura. Artinya „huruf‟ atau „tulisan.‟ Awalnya kata itu
digunakan untuk tata bahasa dan puisi. Sebagai bahan perbandingan, kata sastra
dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta.12 Akar katanya sās- yang
mempunyai arti petunjuk, mengarahkan, mengajar. Akhiran –tra biasanya
menunjukkan alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan alat untuk
mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sedangkan kata
11
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984). h.21
12
KBBI edisi 2008, h. 1265.
10
susastra adalah kata ciptaan Jawa dan Melayu. Kata itu mengandung arti pustaka,
buku atau naskah.13
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sastra dituliskan
sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan
bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu
pengetahuan; (4) kl pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb; (5) kl tulisan;
huruf.14
Salah satu bagian dari sastra adalah puisi. Hal ini dikemukakkan oleh
Abdul Rozak Z, Anita K Puspita dan Haniah dalam bukunya yaitu Kamus Istilah
Sastra, umumnya sastra berupa teks rekaan baik puisi maupun prosa yang
nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan kedalaman jiwa.15 Banyak
pengertian puisi yang telah dipaparkan oleh para pakar sastra. Pengertian yang
dibuat mereka itu biasanya berhubungan dengan etimologi puisi, struktur fisik
puisi, struktur batin puisi.
Struktur fisik puisi, dan struktur batin puisi yang disebutkan di atas,
semuanya adalah ciri atau karakteristik dari sebuah puisi sebagai karya sastra.
Pada bab ini nantinya akan dibahas mengenai puisi, mulai dari pengertian atau
definisi hingga karakteristik atau ciri khas puisi.
A. Teori Puisi
Kehidupan sehari-hari kaya dengan berbagai ekspresi puitis yang tidak
secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi. Seperti sebuah lirik lagu
13
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 2.
KBBI edisi 2008, h. 1272.
15
Abdul Rozak Zaidan, Anita K Puspita dan Haniah, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), h. 181
14
11
“Kupu-kupu Kertas” karya Ebiet G. Ade, misalnya, memuat larik-larik yang
mengatakan: Setiap waktu engkau tersenyum| sudut matamu memancarkan rasa|
keresahan yang terbenam| kerinduan yang tertahan duka dalam| yang tersembunyi
jauh di lubuk kata-katamu| riuh mengalir bagai gerimis. Ada bermacam-macam
unsur puitis yang membuat lirik lagu ini terdengar seperti sebuah syair, dan
suasana yang dibangunnya pun kental dengan kepuitisan.
Ekspresi puitis lazim terdapat pula pada medium-medium verbal lainnya,
misalnya surat cinta. Ingat pernyataan “cinta ditolak dukun bertindak,”
mengandalkan pada kesebangunan jumlah suku kata dan rima akhir. Atau
ungkapan gombal “cintaku padamu sedalam lautan setinggi gunung,” yang
menggunakan perbandingan langsung antara cinta dan lautan serta gunung.16 Lalu
bagaimanakah pengertian dari puisi itu sendiri?
1. Definisi Puisi
Puisi berasal dari kata poet bahasa Yunani yang memiliki arti „membuat‟
atau „menciptakan‟. Di Inggris kata poet disebut maker. Dalam bahasa Yunani
poet berarti „orang yang menciptakan melalui imajinasinya,‟ orang yang
hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka kepada dewadewa.17
Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menguraikan bahwa puisi
adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra dan rima serta
penyusunannya larik dan bait.18
16
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami
Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 13-15.
17
Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 10.
18
Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 64.
12
Sedangkan Abdul Rozak Zaidah, dkk, dalam Kamus Istilah Sastra-nya,
mengatakan bahwa puisi itu; (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh
rima dan tatapuitika yang lain; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya
dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran akan
pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi,
irama, dan makna khusus; (3) sajak.19
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah (1) ragam sastra
yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan
bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara
cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan
membagkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna
khusus; (3) sajak.20
Sedangkan dalam khasanah sastra Arab, puisi atau syi‟ir dalam bahasa
Arab memliki beberapa definisi sebagai berikut:
a. Menurut Khatibul Umam syi‟ir ialah kalimat berbahasa Arab yang disusun
dengan wazan Arab.21
b. Menurut Ali Badri, syi‟ir adalah kalam yang dibuat secara sengaja dengan
menggunakan pola tertentu berdasarkan pada wazan Arab.22
Setelah mengalami perkembangan definisi tersebut ditambahkan dengan aspek
lainnya yang turut mempengaruhi puisi atau syi‟ir tersebut, seperti:
19
Abdul Rozak Zaidan, Anita K Puspita dan Haniah, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), h. 159.
20
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 1112.
21
Khatibul Umam, al-Muyasir fī „ilmi al-„Arūḍ, (Jakarta: PT. Hikmah Syahid Indah,
1992), h.8.
22
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 53.
13
Definisi syi‟ir menurut Ahmad Asy-Syāyib, syi‟ir atau puisi Arab adalah
ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau baḥr (mengikuti prosodi atau
ritme gaya lama) dan qāfiyah (rima akhir atau kesesuaiaan akhir baris/saṭr)
serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding
prosa.
Definisi puisi Arab yang lain dikemukakan juga oleh Muhammad alKuttānā dengan mengutip pendapat Al-„Aqqād, yaitu ekspresi bahasa yang
indah lahir dari gejolak jiwa yang benar. Walaupun definisi ini telah
mengakomodasi puisi bebas, definisi ini terlalu luas, yang dimungkinkan
prosa sastra tertentu seperti karya Jībran Khalīl Jibrān (Khalil Gibran) masuk
kategori puisi. Karena itu, sangat baik, jika ditambah dengan penjelasan „yang
enjambemen‟ (sambung menyambungnya baris atau larik) disusun sesuai
dengan konvensi puisi, baik puisi tradisional maupun bebas.23
Dari berbagai definisi puisi di atas, baik definisi puisi secara umum
maupun definisi secara spesifikasi untuk syi‟ir (puisi Arab), diketahui bahwa
kebanyakan dari definisi yang telah dipaparkan membahas unsur-unsur
pembangun puisi dari segi bentuk dan isi, sehingga puisi itu menjadi sebuah
karya sastra. Namun, perlu diketahui juga bahwa puisi Indonesia dan syi‟ir
(puisi Arab) mempunyai berbagai jenisnya.
23
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h. 10 dan 11.
14
2. Jenis Syi‟ir (Puisi Arab)
Syi‟ir dari unsur bentuk terbagi menjadi beberapa bagian jenis atau
macamnya diantaranya, puisi tradisional, puisi mursal, puisi muwasysyaḥāt,
dan puisi bebas (ḥurr).24
a. Puisi Tradisional Arab (Syi‟ir Lāzim)
Puisi tradisional dalam literatur Arab sering disebut dengan puisi klasik
(qadīm), atau sering juga disebut puisi lāzim/multazim (biasa/konvesional,
atau terikat aturan lama). Puisi ini adalah puisi Arab yang terikat
prosodi/matra gaya lama atau arūḍ (wazan/baḥr) dan qāfiyah, yang secara
enjambemen (susunan baris)-nya umumnya dalam bentuk qasīdah (dua baris
sejajar).
„Arūḍ adalah ilmu yang membahas benar tidaknya baḥr (wazan) dan
perubahan (varian)-nya yang dipakai dalam suatu syi‟ir. Sedangkan baḥr
adalah prosodi atau ritma/matra gaya lama yang jumlahnya banyak.
Sedangkan qāfiyah adalah kesesuaian akhir baris dalam setiap bait syi‟ir
(puisi).25
b. Puisi Bebas Arab (Syi‟ir Ḥurr)
„Asy-syi‟r al-ḥurr (puisi bebas) adalah puisi yang tidak terikat
prosodi/matra gaya lama atau arūd (wazan/baḥr) dan qāfiyah, yang secara
bentuk terkadang mendekati gaya prosa sastra dan susunan barisnya tidak
dalam bentuk qasīdah (dua baris sejajar), tetapi tersusun ke bawah.
24
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h. 12
25
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h.13.
15
Seperti yang telah dipaparkan di atas tadi, bahwa puisi bebas ini tidak
terikat oleh arūd dan qāfiyah melainkan mendekati prosa, maka dalam sastra
Arab, as-syi‟r al-ḥurr acapkali disebut juga dengan sebutan al-qasīdah annasariyyah
(sajak
keprosa-prosaan),
as-syi‟r
al-mansūr
(puisi
yang
diprosakan) dan an-nasar as-syi‟ri (prosa liris).26 Secara umum puisi bebas
(as-syi‟r al-ḥurr) ini terbagi menjadi tiga:
1. Puisi yang menggunakan satu baḥr tertentu dalam satu baris (saṭr)-nya
sementara dalam baris (saṭr) berikutnya menggunakan baḥr lain.
Maksud dari bagian pertama ini adalah as-syi‟r al-ḥurr (puisi bebas)
tidaklah bebas secara keseluruhan dari „arūd. Puisi bebas dalam
pengertian ini adalah puisi adalah puisi Arab yang tidak lagi terikat
qāfiyah dan tidak terikat hanya oleh satu baḥr dalam satu puisi yang
dibuat.
2. Puisi yang menggunakan satu taf‟ilah (kaki sajak), berdasarkan jenis
baḥr tertentu yang memiliki hanya satu taf‟ilah, yaitu baḥr kāmil, ramal,
hazaj, rajaz, mutaqārib, khafīf, dan wāfir.
As-syi‟r al-ḥurr (puisi bebas) model ketiga ini persis sama dengan puisi
modern Indonesia. Puisi yang terbebas dari ikatan qāfiyah, satu baḥr dan
taf‟ilah dalam setiap baitnya. Menurut Khalil Jibrân, hal yang terpenting
dalam puisi ini adalah mampu untuk menggugah rasa.
c. Puisi (Syi‟ir) Mursal dan Muwasysyaḥāt
As-syi‟ir al-mursal (puisi lepas) muncul dibawakan oleh Abū al-Athāhiyah
ini pada awal periode Abbasiyah. Dalam as-syi‟ir al-mursal, antara qāfiyah
26
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h. 16-19.
16
yang satu dalam satu baris atau saṭr dengan yang lainnya dalam baris
berikutnya berbeda.
Adapun puisi muwasysyaḥāt ialah puisi yang menggabungkan model
qaṣīdah (baris pertama dan kedua disimpan sejajar) dan terkadang modelnya
mirip rubā‟iyyah (puisi empat baris yang antar barisnya tidak sejajar) tetapi
dengan tiga baris tersusun ke bawah pada bagian selanjutnya. Jenis puisi ini
dibuat biasanya untuk dinyanyikan, antara bait bagian awal dengan bagian
berikutnya berbeda baḥr (wazan), dikembangkan dari baḥr rajaz.
Ada beberapa penyebab yang mengakibatkan lahirnya jenis puisi bebas
Arab. Paling tidak ada dua hal yang melatari kemunculannya; pertama,
kecendrungan romantis dan realis puisi Arab modern yang mendorong agar
puisi yang dicipta lebih berbobot, karena menyahuti lirik individual dan sosial,
dan juga mengandung gagasan filosofis dan simbolik; kedua, kecendrungan
para penyair modern Arab untuk memegang teguh prinsip kebebasan berkarya
bagi penyair.27
3. Unsur Pembangun Syi‟ir (Puisi Arab)
Unsur-unsur pembangun syi‟ir baik dari segi bentuk da nisi menjadikan
ciri khas tersendiri bagi syi‟ir Arab.28 Unsur-unsur pembangun inilah yang
membedakn jenis-jenis syi‟ir Arab yang sebagaimana telah dipaparkan pada
pembahasan di atas, terutama unsur pembangun syi‟ir dari segi bentuk.
a. Unsur Pembangun Syi‟ir dari Segi Bentuk
27
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h. 19. Para penyair puisi bebas Arab yang mengunakan aliran
romantis dan realistis mereka dpengaruhi oleh aliran romantis dan realis dari Inggris dan Prancis.
28
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h.54.
17
Unsur-unsur yang membangun syi‟ir Arab dari segi bentuk itu ada
dua, yaitu wazan dan qāfiyah. Penyebutan istilah wazan dan qāfiyah dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah rhyme dan metre, dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah rima dan matra.29 Lalu apa yang
dimaksud dengan wazan dan qāfiyah tersebut.
1. Wazan
Wazan dalam syi‟ir (puisi Arab) yaitu kumpulan taf‟ilah yang
terdapat pada bait syi‟ir yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah
ilmu „arūḍ. Wazan dinamakan juga baḥr.30
Adapun „Arūḍ yaitu ilmu yang membahas uṣūl untuk mengetahui
benar tidaknya wazan pada syi‟ir dan yang merusak syi‟ir, karena
ziḥāf dan i‟ilal.31 Adapun wazan atau baḥr yang sering digunakan
sebagai berikut:
‫وزن البحر‬
‫البحر‬
‫مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن‬
‫بسيط‬
‫مستفعلن مستفعلن مستفعلن‬
‫رجز‬
‫مستفعلن مستفعلن فاعلن‬
‫سريع‬
‫فاعال تن فاعال تن فاعال تن‬
‫رمل‬
‫فاعال تن مستفعلن فاعال تن‬
‫خفيف‬
29
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 55.
30
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 55.
31
Khatibul Umam, al-Muyasir fī „ilmi al-„Arūḍ, (Jakarta: PT. Hikmah Syahid Indah,
1992), h.4.
18
‫فاعال تن فاعلن فاعال تن‬
‫مديد‬
‫فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن‬
‫متدارك‬
‫فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن‬
‫طويل‬
‫فعولن فعولن فعولن فعولن‬
‫متقارب‬
‫مفاعلتن مفاعلتن فعولن‬
‫وافر‬
‫مفاعيلن مفاعيلن‬
‫هزج‬
‫متفاعلن متفاعلن متفاعلن‬
‫كامل‬
Tabel baḥr al-„Arūḍiyyah32
2.
Qāfiyah
Adapun yang dimaksud qāfiyah dalam puisi (syi‟ir) Arab adalah
lafaz terakhir pada bait syi‟ir, yang dihitung dari huruf akhir bait
sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara
keduanya. Atau juga kesesuaian akhir baris dalam setiap bait puisi.
b. Unsur Pembangun Syi‟ir dari Segi Isi
Sama halnya dengan puisi Indonesia atau puisi pada umumnya,
syi‟ir (puisi Arab) memiliki unsur dari segi isi atau batin yaitu; tema/algraḍ asy-syi‟rī (sense), perasaan (feeling), nada dan suasana (tone), serta
pesan (intention).33
Secara isi, syi‟ir (puisi Arab) terbagi tiga bagian besar: pertama,
puisi epik (qiṣaṣī) yang bersifat objektif (mauḍû‟i), yaitu puisi yang berisi
32
Khatibul Umam, al-Muyasir fī „ilmi al-„Arūḍ, (Jakarta: PT. Hikmah Syahid Indah,
1992), h.18.
33
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18.
19
sebuah cerita panjang hingga beribu-ribu bait. Jenis puisi ini terbagi ke
dalam tiga bagian: epos/al-malḥamah (cerita panjang seperti Illias dan
Odisee dalam tradisi Yunani); fabel (cerita tentang kehidupan binatang);
dan balada/sya‟bi (cerita rakyat yang mengharukan). Jenis puisi ini dalam
sastra Arab kurang dikenal. Namun, menurut „Izzudin Ismail dengan
mengutip sebagian pengkaji sastra, dalam sastra Arab yang hampir mirip
dengan model puisi ini adalah puisi Sa`ālīk pada periode Jahiliyah (praIslam), puisi Huzail, dan puisi „Umar bin Abī Rabī‟ah. Kedua, puisi lirik
(gināi) yang bersifat subjektif (zātī), yaitu puisi yang berisi perasaan,
pikiran dan sikap penyair. Dalam sepanjang sejarah sastra Arab, puisi jenis
ini adalah puisi yang paling dikenal dan merupakan bentuk puisi yang
menjadi kekayaan yang melimpah yang dimiliki khazanah sastra Arab.
Ada banyak puisi Arab yang masuk kategori jenis puisi ini. Di antaranya
adalah puisi elegi (risā) yang berisi tentang ratapan kematian; puisi madḥ
(puisi pujian seperti pujian kepada Tuhan [hymne] terhadap pahlawan
[ode/oda] dan kekasih yang dicinta [gazal]; epigram (ta‟līmī) berisi ajaran
kehidupan; satir (ejekan pedas/kritik) dalam khazanah puisi (syi‟ir) Arab
disebut hijā. Ketiga, puisi dramtik (tamsīlī) puisi yang dibuat untuk sebuah
drama yang panjangnya terbatas, tidak sepanjang puisi epik. Seperti
Majnûn Lailā masuk ke dalam katagori terakhir ini.34
4. Puisi Indonesia
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai berbagai macam teks,
mulai dari teks berita yang ada di koran atau teks yang berisi info-info tertentu
34
Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), h.15-16.
20
yang ada dalam sebuah majalah, atau juga teks yang terdapat dalam bukubuku pelajaran atau buku cerita dan masih banyak yang lainnya. Terkadang
juga kita sering menjumpai ungkapan atau teks yang mengandung ciri-ciri
puisi. Lalu bagaimana kita mengetahui sebuah teks itu puisi atau bukan?
Sebagai contoh penyair Williams Carlos William tinggal serumah dengan
seorang temannya yang menyimpan beberapa buah persik di lemari es untuk
sarapan. Ketika temannya bangun kesiangan ia menemukan suatau catatan
kecil yang tertempel di lemari esnya;
Sekedar bilang
Bahwa saya terlanjur makan
Buah persik
Dalam kulkas
Yang mungkin sengaja
Kau sisihkan
Buat sarapan
Maafkan aku
Rasanya renyah
Begitu manis
Begitu dingin
21
(William Carlos Williams, alih bahasa: Melani Budianta)
Menurut Anda, catatan itu sebuah puisi atau hanya sebuah pesan biasa
yang ditulis William untuk temanya? Mungkin kita tidak perlu menanyakan
hal itu kalau Anda belum tahu bahwa William seorang penyair terkenal, dan
seandainya tulisan itu disusun seperti ini:
Tomi yang baik,
Sekedar bilang bahwa saya terlanjur makan buah persik dalam kulkas yang
mungkin sengaja kau sisihkan buat sarapan. Maafkan aku, begitu manis,
begitu dingin.
Williams
Apa perbedaan teks pertama dan teks kedua? Ketika membaca teks kedua,
kita langsung mengatakan bahwa tulisan itu sebuah pesan karena ada nama
orang yang dituju dan ada nama pengirimnya. Selain itu, pesan tersebut ditulis
dalam bentuk kalimat biasa, sedangkan teks pertama bisa dianggap puisi.
Mengapa begitu? Karena, pertama ada judul yang ditulis terpisah dan dicetak
miring. Kemudian, tulisan itu dibagi menjadi tiga bait, yang masing-masing
ditulis dalam baris-baris pendek.
Siapa yang menetapkan aturan bahwa surat selalu diawali dengan nama
orang yang kita kirimi surat dan diakhiri dengan nama pengirim?
Atau,
bahwa puisi ditulis dalam bait dan baris? Aturan itu disebut konvensi, yakni
suatu kesepakatan yang sudah diterima orang banyak dan sudah menjadi
tradisi. Hal seperti itu berarti sebuah karya sastra berkaitan dengan konvensi.
22
Jadi apabila Anda mau menulis sebuah karya sastra berbentuk puisi, Anda
harus tahu bagaimana menulisnya.35
Oleh karena itu, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra mempunyai
karakteristik. Secara garis besar ada dua unsur pembangun puisi, yaitu unsur
fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur
estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Herman J. Waluyo
berpendapat bahwa, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu;
diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi dan tata
wajah puisi.
Bila struktur puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang
hendak disampaikan oleh penyair, maka struktur batin puisi adalah makna
yang terdapat dalam puisi itu sendiri.J. Waluyo menyebutnya dengan hakikat
puisi dan hakikat puisi itu terdiri dari empat unsur, yaitu; tema36 (sense),
perasaan penyair37 (feeling), nada dan suasana (tone), serta pesan (intention).38
5. Unsur Pembangun Puisi Indonesia
a. Unsur Pembangun Puisi Indonesia dari Segi Bentuk
Pada pembahasan definisi puisi telah dijelaskan menurut KBBI
bahwa puisi ialah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama,
35
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami
Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 13-15.
36
Tema adalah gagasan, ide, ataupun pokok pikiran di dalam karya sastra yang terungkap
ataupun tidak. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam
Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18.
37
Lebih dikenal dengan istilah makna emotif, yaitu makna kata atau frase yang ditautkan
dengan perasaan dan ditentukan dengan perasaan. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab
Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding),
(Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. Lih. Juga Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra,
(Jakarta: UI Press, 1990), h. 50.
38
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 17-18.
23
matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.39 Jadi unsur
pembangun puisi Indonesia dari segi bentuk yaitu irama, matra,
rima, larik dan bait.
1. Irama
Irama adalah gerakan berturut-turut secara teratur; turun naik
lagu (bunyi dsb) yang beraturan. Irama punya istilah lain yaitu
ritme; alunan yang terjadi dalam perulangan dan pergantian
kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut
tekanan, dan tinggi rendah nada (dalam puisi).40
2. Matra
Matra atau disebut juga dengan meter adalah unsur irama yang
berpola
tetap
dan
yang
perwujudannya
dapat
berupa
pertentangan yang berseling-seling antara suku yang panjang
dan pendek, suku yang bernada tinggi dan rendah, atau suku
yang beraksen dan tidak.41 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, matra adalah bagan yang dipakai dalam penyusunan
baris sajak yang berhubungan dengan jumlah, panjang, atau
tekanan suku kata.42
3. Rima
39
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), edisi ke-empat, h. 1112.
40
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), edisi ke-empat, h. 547.
41
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 20.
42
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-4, h. 1174.
24
Rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam
larik sajak maupun pada akhir larik sebuah sajak yang
berdekatan.Rima selain sebagai aksesoris puisi, ia juga
berfungsi
untuk
menyenangkan indera pendengar, ikut
membangun bait, serta ikut membentuk sajak.43
Di dalam puisi ada beberapa macam rima, diantaranya seperti;
rima akhir44, rima berpeluk45, rima dalam46, rima ganda47, dan
rima tengah48.
4. Larik
Larik adalah baris sajak yang dicirikan oleh irama atau matra.
5. Bait
Bait adalah rangkaian sejumlah larik yang terkadang diikat oleh
aturan panjang, matra, atau bagan rima, yang merupakan
bagian dari sajak.
b. Unsur Pembangun Puisi Indonesia dari Segi Batin
Struktur batin puisi adalah makna yang terdapat dalam puisi itu
sendiri. Waluyo menyebutnya dengan hakikat puisi dan hakikat
puisi itu terdiri dari empat unsur, yaitu; tema49 (sense), perasaan
43
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 21.
44
Rima yang terdapat pada akhir larik sebuah sajak.
45
Rima akhir pada bait berlarik genap, yang larik pertamanya berima dengan larik ketiga
dan larik keduanya berima dengan larik keempat.
46
Rima antara dua kata atau lebih dalam satu larik sajak.
47
Rima yang terdiri atas dua suku kata, tetapi hanya suku kata pertama yang
mendapatkan tekanan.
48
Rima antara suku kata pada posisi yang sama, yang terdapat pada dua kata dalam satu
larik sajak.
49
Tema adalah gagasan, ide, ataupun pokok pikiran di dalam karya sastra yang terungkap
ataupun tidak. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam
Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18.
25
penyair50 (feeling), nada dan suasana (tone), serta pesan
(intention). 51
6. Macam-Macam Puisi Indonesia
Sastra Melayu Klasik dianggap sebagai cikal bakal sastra Indonesia
berdasarkan hasil penelusuran sementara bermula pada abad ke-16 Masehi.
Berdasarkan pada fakta-fakta sejarah, terutama karya-karya sastra lama, tidak
dipungkiri lagi bila masuknya agama Islam ke bumi Nusantara ini termasuk
Indonesia yang telah membawa kehidupan baru dalam dunia sastra yang
semula beku dan tertidur. Sastra Nusantara mulai menggeliat bangun, tumbuh
dan berkembang pesat dengan metode baru yang lebih sistematis, gaya bahasa
baru yang lebih indah, gaya imajinasi baru yang inovatif, serta emosi-emosi
baru akibat bertambahnya pola pikir dan pengetahuan.
Ada beberapa jenis sastra Nusantara klasik yang sempat berkembang di
Indonesia sebelum abad 20. Sebagian besarnya adalah jenis dengan kategori
puisi, dan sedikit jenis prosa.52 Diantaranya adalah:
a. Pantun
Pantun termasuk salah satu jenis puisi lama. Setiap baitnya
biasanya terdiri dari empat larik, bersajak ab-ab ataupun aa-aa.
Pantun pada mulanya merupaka sastra lisan namun sekarang
dijumpai juga pantun tertulis.
50
Lebih dikenal dengan istilah makna emotif, yaitu makna kata atau frase yang ditautkan
dengan perasaan dan ditentukan dengan perasaan. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab
Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding),
(Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. Lih. Juga Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra,
(Jakarta: UI Press, 1990), h. 50.
51
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 17-18.
52
Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h.23-48.
26
b. Karmina
Selain pantun terdapat corak puisi lama yang mirip dengan pantun,
yakni sama-sama memiliki sampiran da nisi, yang disebut dengan
karmina. Karmina dikenal dengan pantun kilat, adalah pantun yang
terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris
kedua adalah isi.
c. Seloka
Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepatah
maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran
bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk
pantun atau sya‟ir.
d. Gurindam
Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari
dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan
satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal,
masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawaban atau
akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama.
e. Syair
Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang
mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri dari empat baris,
berirama a-a-a-a, keempat baris tersebut mengandung arti atau
maksud penyair. Adapun bedanya dengan pantun, yaitu apabila
pada syair setiap barisnya mengandung makna, sedangkan pantun
hanya pada dua baris terakhir yang mengandung maksud.
27
Jenis puisi di atas adalah kategori jenis puisi Indonesia lama yang masih
terikat rima, matra dan irama serta unsur fisik puisi gaya prosodi lama lainnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri menyebutkan beberapa jenis
puisi di antaranya:
1. Puisi Bebas, yaitu puisi yang tidak terikat oleh irama, rima dan
matra, tidak juga terikat oleh jumlah larik pada setap baitnya.
Dalam khasanah syi‟ir (puisi Arab) puisi bebas dikenal dengan
syi‟ir al-ḥūrr.
2. Puisi Lama, yaitu puisi yang masih terikat oleh unsur fisik puisi.
Contoh puisi lama, pantun, seloka, gurindam dan syair.
7. Karakteristik Bahasa Puisi
Bahasa pada puisi adalah bahasa yang sangat khas dan agak berbeda atau
bisa dikatakan istimewa bila dibandingkan penggunaan bahasa sehari-hari.
Anggapan ini tentunya bukan temuan baru dan sudah dari dulu semua orang
mengetahuinya, mulai dari sastrawan, penikmat sastra atau bahkan orang biasa
sekalipun.
Keistimewaan atau kekhasan bahasa pada puisi sudah ditonjolkan sejak
abad kelima, pada saat itu arteṣ (ars adalah kepandaian, teknis ilmiah, sistem
aturan, baru kemudian dalam bahasa Prancis dan Inggris art berkembang
maknanya menjadi „seni‟) dibedakan menjadi dua, masing-masing diberi
nama grammatical dan rhetorica. Grammatical meliputi recte loquendi
scientia (ilmu untuk berbicara secara tepat) dan poetarum enarratio semacam
ilmu sastra. Retorika adalah ars bene dicendi (kepandaain mengatakan sesuatu
secara baik) seperti pandainya orator dalam menyampaikan kata-kata.
28
Menurut Zumthor yang dikutip dalam Teuuw, retorika itu bercampur baur
dengan konsep itu sendiri, tetapi adakalanya juga puisi digolongkan pula
dalam grammatical menurut Curitius.53
Para sastrawan dan orator sejak zaman dahulu sudah mengunakan ilmu
retorika dengan baik. Karena dengan menguasai retorika yang baik maka, ia
akan menghasilkan bahasa yang baik dan rapi. Sebab itu mereka disebut
orang-orang
yang
telaten
dalam
menerapkan
ilmu
retorika
untuk
menghasilkan bahasa yang baik pada pidatonya, begitupun sastrawan untuk
menghasilkan karya yang memiliki nilai sastra tinggi serta nilai estetika yang
baik. Bahasa puisi juga tidak terlepas dari stilistika54, karena dengan stilistika
kekhasan bahasa pada puisi atau karya sastra yang lainnya dapat terlihat.
Berbicara stilistika (gaya bahasa) yang sering digunakan dalam puisi
diantaranya metafora dan simile. Keduanya sering dipakai oleh para penyair:
a. Metafora
Sebuah ungkapan yang mempunyai makna kiasan dan memberikan
efek kuat tertentu. Misalkan sebuah ungkapan “duhai purnama”
untuk
menggambarkan
kecantikan
atau
ketampanan
paras
seserong, biasanya sang kekasih dan memberikan efek tertentu
yang kuat. Jadi, metafora bukan menjalaskan kata secara harfiah,
melainkan konsep dari arti kata itu sendiri sehingga, menjadi lebih
mudah dimengerti.
53
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984), h. 71.
54
Stilistika adalah ilmu tentang penggunaan bahasa atau gaya bahasa yang dipakai dalam
karya sastra, seperti puisi atau prosa. Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1340.
29
b. Simile
Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain namun masih
memiliki
kesamaan-kesamaan
tertentu.
Misalkan,
ungkapan
“Senyumnya semanis gula” ungkapan tersebut mempunyai makna
“senyumnya manis seperti gula” artinya ungkapan atau kata
“senyum” mempunyai kesamaan dengan “gula” yaitu sama-sama
manis.55
Selain metafora dan simile, gaya bahasa personifikasi juga sering kita
jumpai dalam karya puisi. Personifikasi adalah gaya bahasa yang
menggunakan benda mati seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu atau
menjadi manusiawi seperti, “rumput yang menari-nari,” rumput adalah benda
mati yang seakan-akan dapat menari layaknya manusia.
Menurut sastrawan Roman Jacobson puisi merupakan karya sastra yang
sangat khas dan tipikal. Menurutnya kekhasan puisi terdapat pada bahasa atau
kata yang dipergunakan dalam sebuah puisi itu sendiri dan dibalik kata yang
dipergunakan pada puisi terdapat pesan yang tersirat. Misalnya sebuah puisi
karya Chairul Anwar berikut:
aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Kata “aku” di sini tidak seperti dalam bahasa sehari-hari yang menunjukan
kata ganti orang pertama yang merujuk pada penulis atau pengarang puisi ini
yaitu Chairul Anwar, melainkan seseorang yang ke-aku-annya kita jabarkan
atau artikan atas pertimbangan sajak-sajak dalam puisi tersebut. Begitu juga
55
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami
Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 40-41.
30
dengan “binatang jalang” yang dipakai secara metafora.56 Maka dari itu ia
memasukkan fungsi puitik bahasa kedalam salah satu dari enam fungsi bahasa
yang lainnya. Teori ini masuk kedalam model semiotik.57
1. Penyimpangan Bahasa Dalam Bahasa Puisi
Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri dari suatu
angkatan atau periode sastra. Penyimpangan bahasa itu disebabkan
bahasa puisi khususuya dan bahasa sastra umumnya bersifat tidak
stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil
memakai dan menentangnya.58
Geoffrey Leech dalam Waluyo menyebutkan adanya 9 jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap
puisi memiliki 9 aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah
satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada jaman
tertentu.59 Lima diantaranya sebagai berikut:
a. Penyimpangan Leksikal
Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata
yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari. Penyair memilih
kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata
itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari, pepintu,
keder, ngloyor, leluka, barwah, dan sebagainya.
56
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984). h. 73-75.
57
A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984). h. 53-54.
58
A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1983). h. 4.
59
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1991). h. 68.
31
b. Penyimpangan Semantis
Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun
menunjuk pada makna ganda, Makna kata-kata tidak selalu sama
dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatuan
makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata
"sungai" bagi penyair yang berasal dari daerah banjir akan
dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap ikan dan
penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata
"bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam puisi
Toto Sudarto Bachtiar.
c. Penyimpangan Fonologis
Untuk
kepentingan
rima,
penyair
sering
mengadakan
penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar "Aku", kata
“perih" diganti dengan “peri". Dalam puisi lamanya, kata
"menggigil" diganti "menggigir"; kata "melayang" diganti dengan
“melayah”, dan sebagainya.
d. Penyimpangan Morfologis
Penyair sering melanggar kaidah morfologis secara sengaja. Dalam
puisi-puisi Rendra kita temui istilah: mungkret, mangkal,
ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh
penyimpangan morfologis.
e. Penyimpangan Sintaksis
Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan
membangun kalimat, namun membangun larik-larik. Dapat kita
32
lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk
permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu.
Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita
sebut satu kalimat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus
membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin
jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut.
B. Penerjemahan Sastra (Puisi)
1. Definisi Penerjemahan
Kegiatan menerjemahkan sudah berlangsung sejak lama. Bahkan kegiatan
penerjemahan ini membawa kemajuan atau kejayaan umat muslim pada saat
Dinasti Abbasiyah. Konon di kawasan Timur-Tengah, tepatnya di Kota Elba
Kuno, ditemukan kamus tertua yang sudah berumur antara 6.000-10.000
tahun.60 Kamus merupakan salah satu penanda bahwa kegiatan penerjemahan
ini sudah berlangsung.
Dalam bahasa Indonesia kata terjemah diambil dari bahasa Arab ‫تشجوح‬
yang memiliki arti „menerjemahkan.‟61 Sedangkan menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) memiliki arti, „menyalin (memindahkan) satu bahasa
ke bahasa yang lain atau mengalihbahasakan.‟62
Namun pada hakikatnya, penerjemahan adalah proses pengalihan pesan
dari bahasa sumber (bsu) ke bahasa sasaran (bsa). Bahasa sumber adalah
bahasa yang digunakan oleh penulis atau penutur bahasa yang akan
60
M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: PT. Remaja
Rosydakarya, 2011). h. 1.
61
Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, h. 131.
62
KBBI edisi 2008, h. 1509.
33
diterjemahkan ke bahasa sasaran atau bahasa sasaran. Hal itu serupa dengan
pendapat dari Moeliono
dan Nida
penerjemhan merupakan kegiatan
mereproduksi amanat atau pesan dengan padanan yang paling dekat dan wajar
di dalam bahasa sasaran atau bahasa penerima.63
2. Metode Penerjemahan Sastra (Puisi)
Terjemahan yang dihasilkan sesungguhnya tidak terlepas dari metode
penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah. Memilih sebuah metode
penerjemahan ini bersifat umum. Seorang penerjemah menentukan terlebih
dahulu calon pembaca hasil terjemahannya dan/atau akan digunakan apa hasil
terjemahan tersebut.64 Menurut Molina dan Albar, metode penerjemahan
merujuk pada cara tertentu yang digunakan dalam proses penerjemahan
sesuai dengan tujuan penerjemah.65 Oleh karena itu penerjemahan sering
didasari oleh audience design atau need analysis.
Dalam praktiknya, penggunaan metode penerjemahan ini tidak bersifat
simplistis. Seorang penerjemah tidak hanya menggunakan satu metode saja,
misalkan
seorang
penerjemah
tidak
hanya
menggunakan
metode
penerjemahan setia saja pada saat menerjemahkan. Bisa jadi pemilihan metode
saat menerjemahkan terkait dengan norma dan sifat bahasa sumber, fungsi
terjemahan dan juga pembaca dari bahasa sasaran tersebut.
Pada penerjemahan karya sastra (puisi) biasanya ada beberapa metode
penerjemahan yang sering digunakan dalam menerjemahkan karya sastra
63
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung:
Humaniora, 2005), h. 10-11
64
Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 55
65
M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: PT. Remaja
Rosydakarya, 2011). h. 51
34
(puisi). Adapun beberapa metode penerjemahan yang biasa digunakan dalam
menerjemahkan karya sastra (puisi) sebagai berikut:
a. Metode Penerjemahan Adaptasi
Metode yang dirumuskan oleh Newmark ini diakui dapat digunakan
untuk menerjemahkan karya sastra seperti puisi, naskah drama dan yang
berbentuk prosa lainnya. Al-Farisi dalam bukunya menjelaskan bahwa
penerjemahan adaptasi merupakan merupakan penerjemahan teks yang
paling bebas. Penerjemah berusaha menyelaraskan budaya bahasa sumber
dalam bahasa sasaran. Budaya bahasa sumber dikonversi ke dalam bahasa
sasaran, kemudian teks tersebut dituls ulang dalam bahasa sasaran. Oleh
karena itu, hasil terjemahannya dipandang sebagai penulisan kembali pesan
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan gaya bahasa yang paling
wajar dam mudah dipahami dalam bahasa sasaran.66
Hal serupa diungkapkan oleh Hoed tentang metode penerjemahan
adaptasi yang dirumuskan Newmark. Ia menyebutkan penerjemahan
adaptasi atau saduran. Metode penerjemahan ini lebih menekankan pada
“isi” pesan dari teks sumber, sedangkan bentuknya disesuaikan dengan
kebutuhan pembaca dalam bahasa sasaran. Dalam adaptation biasanya
tokoh, latar belakang, dan konteks sosial dalam drama atau novel
disesuaikan dengan kebudayaan bahasa sasaran.67 Jadi menurutnya metode
ini telah dipakai dalam menerjemahkan karya sastra yang berbentuk prosa.
b. Metode Penerjemahan Setia
66
M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: PT. Remaja
Rosydakarya, 2011). h. 56
67
Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 56.
35
Meskipun tidak disepakati oleh beberapa ahli penerjemah, metode
penerjemahan setia ini kerapkali dipakai atau tetap dipakai orang-orang
dalam menerjemahkan teks sumber ke teks sasaran. Salah satu penerjemah
yang mengakui bahwa metode penerjemahan setia ini dapat digunakan
dalam menerjemahkan puisi ialah Hoed.
Hoed dalam bukunya mengatakan bahwa penerjemahan setia (fathful) itu
ialah penerjemahan yang dilakukan dengan mempertahankan sejauh
mungkin aspek bentuk (dalam teks puisi) sehingga kita masih secara
lengkap melihat kesetiaan pada segi bentuknya. Dalam penerjemahan puisi
penerjemah berusaha mengikuti model puisi teks sumber.68
Sedangkan Hidayatullah menjelaskan dalam bukunya penerjemahan setia
ialah seorang penerjemah mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih
dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya
dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih
tetap dibiarkan. Ia berpegan teguh pada maksud dan tujuan teks sumber,
sehingga agak kaku dan terasa asing. Ia tidak berkompromi dengan kaidah
teks sumber. Ia memberikan contoh sebaga berikut:
ُ 69.‫ُُُُْوُثُ٘شُالشُهُاد‬
ُ Dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya.
Penerjemah tetap
memunculkan „banyak
abunya‟ padahal
kata
„dermawan‟ saja sudah cukup mewakili terjemahan dari „‫‟ُُُْ ُوُثُ٘شُالشُهُاد‬
penerjemah sesetia mungkin pada teks bahasa sumber, karena itu dinamakan
68
Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 56.
Lihat, Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), h. 32.
69
36
penerjemahan setia.70 Dari sekian banyak metode penerjemahan yang
dirumuskan oleh para ahli penerjemah dua metode di ataslah yang sering
digunakan dalam penerjemahan karya sastra (puisi).
Selanjutnya ada metode penerjemahan yang lainnya secara umum dan
diakui kelengkapannya oleh para penerjemah yaitu rumusan metode
penerjemahan menurut Newmark,71 sebagai berikut:
a. Metode Penerjemahan Kata demi Kata
Penerjemah langsung memberi makna kata bahasa sasaran Tsa (Teks bahasa
sasaran) sesuai dengan makna di dalam kamus tepat di bawah kata bahasa
sumber atau Tsu (Teks bahasa sumber). Contohnya:
ُ ُ‫المُشُاى‬
ُ Al-Qur‟an
ُ ‫أُحُوُذ‬
ُ Ahmad
ُ ُ‫لُشُأ‬
ُ Membaca
b. Metode Penerjemahan Harfiah
Penerjemah hanya mengalihkan struktur gramatika dari bahasa sumber ke
dalam struktur gramatika bahasa sasaran yang memiliki padanan paling
dekat. Namun, unsur leksikalnya masih terasa dan belum mengindahkan
konteks pada teks bahasa sumber sehingga pesan tidak teralihkan. Pada
metode ini penerjemah masih patuh pada teks bahasa sumber. Contohnya:
ُ ُ‫ُٗزُُُةُُأُحُوُذ ُإُلُُٔالوُضُجُذُ لُلُاهُحُ صُلُجُ الصُثُح‬
Pergi Ahmad ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh
70
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), h. 32.
71
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), hlm. 31
37
c. Penerjemahan Semantis
Penerjemah lebih flesikbel dalam mengalihkan pesan dari teks bahasa
sumber (Tbsu) ke dalam teks bahasa sasaran (Tbsa). Ia mempertimbangkan
unsur estetika kata yang bermuatan budaya antara Tbsu dan Tbsa, juga
berusaha menerjemahkannya sewajar mungkin ke dalam Tsa. Contoh:
ُ ُ‫َّلُتثضطِاُولَُّالثضظ‬
Jangan terlalu mengulurkan tanganmu
Pada contoh kata di atas penerjemahannya sudah baik tidak kaku seperti
metode penerjemahan sebelumnya. Akan tetapi, bila pemberian makna kata
„‫‟تثضطِا‬
yaitu „mengulurkan tanganmu‟ dengan „murah hati‟ maka
terjemahannya lebih bagus dan tepat.
d. Penerjemahan Bebas
Penerjemah biasanya tidak lagi memperhatikan bentuk teks Bsu, ia hanya
memperhatikan pada teks Bsa yang akan menjadi hasil terjemahan dari teks
Bsa. Pada intinya dalam metode penerjemahan ini penerjemah hanya
memperhatikan pesan yang dimaksud di dalam teks Bsu kemudian
dituangkan ke dalam teks Bsa dengan gaya bahasa si penerjemah. Contoh:
ُ ُ‫ُإًَُُّوُاُُٗخُشُُٔللاُُهُيُُعُثُادٍُُُالعُلُوُاء‬
Ulama hanya takut pada Allah
38
e. Penerjemahan Idiomatik
Penerjemah mereproduksi pesan yang terkandung dalam teks bsu, tapi
cenderung mendistorsi nuansa makna. Sebab metode ini mengharuskan
penerjemah untuk sering menggunakan kesan keakraban dan ungkapan
idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Contoh:
ُٔ‫الُ٘ذُُالعُلُُ٘اُخُُ٘شُُهُيُُالُ٘ذُُالضُفُل‬
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah
f. Penerjemahan Komunikatif
Metode penerjemahan komunikatif ini berupaya mengungkapkan makna
yang terdapat pada konteks teks bsu secara tepat. Pengungkapan dilakukan
dengan cara-cara tertentu sehingga isi dan bahasanya berterima dan mudah
dipahami oleh pembaca teks bsa. Dengan kata lain, metode ini sangat
mengindahkan efek terjemahan terhadap pembaca teks bsa dan sangat
memperhatikan prinsip komunikasi.72 Contohnya:
ُ‫ًُتُطُُْسُُهُيًُُُطُفُحُُثُ َُّنُهُيُُهُضُغُح‬
Kita berproses dari sperma, lalu zigot, kemudian embrio (akademisi)
Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging( awam)
Dalam khazanah penerjemahan di dunia Arab terdapat dua jenis metode;
pertama, penerjemahan harfiah; kedua, penerjemahan tafsiriyah.73
72
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), hlm. 34. Yang dimaksud dengan prinsip komunikasi adalah
pembaca dan tujuan penerjemahan. Jadi penerjemah dengan menggunakan metode komunikatif
harus memperhatikan pembaca tek bsu dari berbagai kalangan dan tujuan dari menerjemahkan teks
bsa-nya tersebut.
73
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung:
Humaniora, 2005), h. 69-70
39
Metode penerjemahan harfiah ialah cara menerjemahkan yang memperhatikan
gramatika teks sumber. Cara menerjemahkan yang juga disebut dengan
metode lafziyah atau musāwiyah ini diikuti oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu
Na‟imah dan lainnya. Cara kerja metode ini ialah menjadikan kata sebagai
objek utama dalam menerjemahkan, jadi penerjemah menerjemahkan kata
perkata hingga teks sumber selesai diterjemahkan ke teks sasaran.
Metode penerjemahan tafsiriyah ialah cara menerjemahkan yang tidak
terapaku terhadap gramatika teks sumber. Metode ini berbalik dengan metode
harfiah yang terpaku terhadap gramatika teks sumber dan menjadikan kata
sebagai patokan dalam menerjemahkan. Penggambaran makna atau pesan
dibalik teks sumber lebih diutamakan dalam metode ini, dengan tujuan pesan
dibalik teks tersebut dapat sampai kepada pembaca teks sasaran. Metode ini
dikenal dengan istilah ma‟nawiyah dan diterapkan oleh Hunain bin Ishak, alJauhari dan lainnya.
Ada pula metode yang mencampurkan antara harfiyah dan tafsiriyah,
metode ini dikembangkan oleh Ahmad Hasan Az-Zayat seorang penerjemah
modern yang dikenal dalam dunia penerjmahan Arab.
3. Pengkhianatan Kreatif Dalam Penerjemahan Sastra (Puisi)
Kita andaikan ada sebuah sajak dalam bahasa Jepang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris; sajak terjemahan itu kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, lalu ke dalam bahasa Jawa. Dari versi bahasa Jawa, sajak itu
kemudian “dikembalikan” ke dalam bahasa Jepang. Saya yakin, pembaca
Jepang akan bertanya-tanya siapa gerangan yang telah menulis sajak serupa
itu. Perbedaan antara yang asli dan yang “asli” tapi “terjemahan” itu
40
merupakan hasil dari suatu proses pengkhianatan kreatif yang dilakukan oleh
para penerjemah.
Menerjemahkan karya sastra berarti mengubah “mengurangi atau
menambah” apa yang ada pada aslinya. Setiap penerjemah karya sastra pada
hakikatnya mengkhianati yang diterjemahkannya sebab hanya dengan
demikian ia bisa menampung karya yang diterjemahkannya itu ke dalam
bahasa sasaran.74
Pandangan Damono, yang menganggap karya terjemahan sastra (puisi)
sebagai pengkhianatan kreatif di atas diilhami dari pendapat Gifford. Ia
(Gifford) berpendapat bahwa, “Tidak ada terjemahan yang bisa menandingi
taraf kehalusan dan kelengkapan yang ada dalam imajinasi penulis asli dalam
menyusun bahan karangannya. Itulah sebabnya keutuhan karya sastra asli
akan dimiskinkan oleh terjemahan, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung
pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya. Taraf pemiskinan pada puisi
terjemahan tentunya sangat tinggi sebab dalam jenis sastra ini pengolahan
bahasa untuk mengatur bahan menuntut imajinasi yang bekerja pada
kemampuan penuh.”75
Akan tetapi Damono tidak menerima pandangan Gifford apa adanya.
Menurutnya (Damono), “Pandangan semacam itu sangat wajar dalam konteks
pembicaraan mengenai sastra bandingan, suatu minat dalam telaah sastra yang
memusatkan perhatian pada membanding-bandingkan karya sastra. Dalam
bidang ini, tentu saja karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang
74
Sapardi Djoko Damono dalam http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.htm. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB.
75
Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk
Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2,
Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2
41
kokoh. Segi-segi stilistik, bahkan tematik, karya sastra sastra tidak akan bisa
dibanding-bandingkan jika bahannya adalah karya terjemahan. Bahwa
terjemahan tidak akan bisa sama dengan aslinya, itu jelas. Karya asli itu final,
sedang terjemahan tidak; suatu karya sastra bisa diterjemahkan oleh beberapa
orang dengan hasil yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang dianggap final
karenanya selalu tersedia ruang untuk mengubah karya terjemahan.”76
Damono juga berpendapat, “Penerjemahan karya sastra tidak usah dinggap
sebagai usaha mati-matian untuk menjadi karya yang sama dan sebangun
dengan aslinya. Dengan landasan tersebut, tentunya kita tidak bisa sepenuhnya
menerima pandangan Gifford yang mengibaratkan terjemahan sebagai
reproduksi hitam putih atas luksian cat minyak. Kecelakaan semacam itu bisa
saja terjadi jika penerjemahnya kurang mampu; namun keunggulan bisa juga
dicapai jika penerjemahnya andal. Sangat mungkin ada terjemahan yang lebih
bagus dari aslinya: hubungan antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih
dalam, dan kemungkinan penghayatannya lebih luas. Dengan demikian ia
bukan sekedar reproduksi hitam putih, tetapi karya lukisan cat minyak juga
yang sejajar kualitasnya dengan aslinya.”77 Maka menurutnya (Damono)
penerjemahan sastra terutama puisi ialah proses pengkhianatan yang kreatif
dalam penerjemahan.
Gagasan pengkhianatan kreatif dalam penerjemahan sastra berasal dari
Prancis, dicetuskan oleh Robert Escarpit.78 Ia mengatakan dalam bukunya
76
Sapardi Djoko Damono dalam http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.htm. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB.
77
Sapardi Djoko Damono dalam http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.htm. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB.
78
http://dict.cn/%22Creative%20treason%22%20was%20initiated%20by%20a%20French
%20literary%20sociologist%20Robert%20Escarpit%20in%20his%20book%20Sciologie%20de%
42
(Sociologie de la Liteature) bahwa pengarang sastra yang menulis buku,
nantinya akan dilupakan sepulu, dua puluh atau tiga puluh tahun setelah ia
meninggal, tetapi jika ia berhasil melewati masa tersebut dan namanya masih
diingat, maka ia akan menjadi bagian populasi sastra dan namanya dijamin
akan terus hidup.
Escarpit berpendpat bahwa karya sastra yang telah dibuat oleh seseorang
(pengarang sastra) yang pernah dilupakan atau diabaikan bertahun-tahun, akan
mendapatkan pengakuan kembali secara luar biasa melalui penggolangan
kembali atau maksudnya penghidupan karya sastra kembali, yang biasanya
bersifat interpretatif (dilakukan dengan kegiatan penerjemahan ulang).
Penggolongan kembali atau penghidupan kembali sebuah karya sastra
bertujuan menghidupkan kembali karya sastra yang mulanya tidak dikenal,
atau tidak dipahami oleh publik, menjadi sebuah karya sastra yang mudah
dikenal dan mudah dipahami oleh publik luas. Hal yang demikian itu
selanjutnya dinamai oleh Escarpit dengan istilah trahison créatrice
(pengkhianatan kreatif).79
Damono membuktikan kasus penerjemahan sebagai pengkhianatan kreatif
pada puisi‟ Huesca‟ karya Chairil Anwar yang merupakan terjemahan dari
puisinya John Cornford yang berjudul „Poem‟.80
Puisi sumber John Cornford “Poem”:
20la%20Litteature%20%28The%20Sociology%20of%20Literature%29%20in%201958_2E%20H
e%20holds%20that%20translation%20is%20always%20a%20kind%20of%20creative%20treason
_2E. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB
79
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, Diterjemahkan oleh: Ida Sundari, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, Edisi Ke-2, 2008), h. 35.
80
Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk
Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2,
Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2-5.
43
Heart of the heartless world,
Dear heart, the thought of you
Is the paint in my side,
The shadow that chills my view
The wind rises in the evening
Reminds that autumn is near.
I am afraid to lose you
I am afraid of my fear.
On the last mile to Huesca,
The last fence for our pride,
Think so kindly, dear, that I
Sense you at my side.
And if bad luck should lay my strength
Into the shallow grave,
Remember all the good you can;
Don‟t forget my love.
Puisi terjemahan atau saduran „Huesca” Khairil Anwar:
Jiwa di dunia yang hilang jiwa
Jiwa sayang, kenangan padamu
Adalah derita di sisiku,
Bayangan yang bikin tinjauan beku.
Angin bangkit ketika senja,
Ngingatkan musim gugur akan tiba.
Aku cemas bisa kehilangan kau,
Aku cemas pada kecemasanku.
Di batu penghabisan ke Huesca,
Pagar penghabisan dari kebangaan kita,
44
Kenanglah sayang, dengan mesra
Kau kubayangkan di sisiku ada.
Dan jika untung malang menghamparkan
Aku pada kuburan dangkal,
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal
Damono dalam analisisnya memaparkan, pada larik pertama “heartless
world” diterjemahkan menjadi “dunia yang hilang jiwa”. Padahal “heartless”
aslinya bermakna “kejam”. Apakah “hilang jiwa” berarti “kejam”? Menurut
Damono, Chairil menciptakan ungkapan baru yang tidak ada hubungannya
dengan kekejaman. Pada larik kedua, “dear heart” diterjemahkan menjadi
“Jiwa sayang”, demi memburu pengulangan kata “jiwa” tidak diterjemahkan
menjadi “kekasih”, “jantung hati”, dsb.
Perhatikan juga “aku cemas” untuk ungkapan asli “I am afraid”. Aku
cemas rasanya lebih kuat kandungan emosinya daripada “aku khawatir”, “aku
takut”.
Perhatikan pula dua larik terakhir yang disatukan dalam TBSa-nya.
Remember all the good you can
Don‟t forget my love
Ingatlah sebisamu segala yang baik
Dan cintaku yang kekal
“Remember” dan “don‟t forget” dirangkum menjadi “ingatlah”. Sementara itu
“yang kekal” ditambahkan untuk memburu rimanya.81
81
Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk
Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2,
Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2-5.
45
BAB III
BIOGRAFI RABĪ’AH AL-ADAWIYAH
DAN PENERJEMAH YUNAN ASKARUZZAMAN
A. Biografi Rabī’ah al-Adawiyyah
Rabiah Al-Adawiyah (bahasa Arab: ‫ )ساتعحُالعذّٗحُالم٘ض٘ح‬dikenal juga dengan nama
Rabi‟ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan
kecintaannya terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arabnya Mawlat)
dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan alQaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik
kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk
beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi,
atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi /
185 Hijriah.82
Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah.83
Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang
menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan
dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada
Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master
82
https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al_Adawiyyah Diakses pada pukul 19:29,
tanggal, 28-10-20115.
83
Ada pendapat yang mengatakan ada perbedaan nama dalam sejarah antara Rabi‟ah
binti Ismail dengan Rabi‟ah al-Adawiyah. Yang pertama bernama Rabi‟ah atau Rabi‟yah (dengan
ya) dan kedua adalah rabi‟ah al-Adawiyah atau al-basriyyah atau al-Qaysiyyah. Rabi‟ah binti
Ismail menikah dengan Ahmad bin Abi al-Hawari. Sedangkan rabi‟ah al- Adawiyyah tidak
menikah. Rabi‟ah binti Ismail wafat tahun 229 Hijriah dan dikuburkan di Ra‟s Zeyta di Baytil
maqdis, sedangkan Rabi‟ah al-Adawiyah wafat tahun 180 Hijriah dan dikebumikan di Basra.
Lihat. Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi
Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 4-5.
46
atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli
sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dzhun-Nun al-misri.84
Kemasyhuran Rabi‟ah al- Adawiyah sebagai sufi yang zuhud telah
tersebar keberbagai penjuru negeri, hingga menjangkau Eropa. Para sarjana Barat
sangat kagum akan sejarah hidup wanita yang saleh ini, lebih-lebih lagi karena ia
seorang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di perguruan tinggi ternama
manapun. Namun, buah pikirannya kaya akan ilmu yang mendalam sehingga para
sarjana itu sangat menaruh minat untuk meneliti buah pikirannya. Diantara sarjana
Barat yang telah menuliskan riwayat hidup dan gagasan Rabi‟ah al-Adawiyah
ialah Margaret Smith (Rabi‟ah dan sufi-sufi wanita dalam Islam) diterbitkan di
Cambridge, tahun 1928. Kemudian, Masignon dan Nicholson.85
1. Kelahiran Rābi‟ah al-Adawiyah
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713
- 717 masehi atau 95 - 99 H. Para penulis sejarah hidup Rabi‟ah al- Adawiyah
mengangkat sisi kemiskinan keluarga Rabi‟ah, bahkan minyak lampu templok
di rumahnya tinggal sedikit. Hanya cahaya temaram yang menyambut proses
kelahiran Rabi‟ah. Begitu lahir, sang ibu masih harus kebingungan mencari
kain penghangat untuk si jabang bayi. Akhirnya, sang ibu meminta suaminya
untuk memberanikan meminta sedikit minyak demi lampu templok kepada
tetangga. Namun, tidak ada hasil.
84
Terdapat pendapat yang mengungkapkan bahwa terjadi kekeliruan sejarah bahwa Zhun
Nun al-Misri baru lahir pada tahun 180 Hijriah yaitu tahun wafatnya Rabi‟ah al-Adawiyyah
(dalam riwayat lain). Dengan begitu Dzhun nun al-mishri diriwayatkan bertemu dengan Rabi‟ah
ash-Shamiyah. Lihat. Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin,
Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 5
85
Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita
Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 4
47
Sang ayah tertidur dalam kesedihan. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu
dengan Rasulullah yang bersabda kepadanya, “Jangan bersedih. Anak
perempuanmu yang baru lahir ini kelak menjadi tokoh yang agung derajatnya.
Tujuh puluh ribu umatku amat mengharap syafaat darinya.” Nabi Muhammad
lalu memerintahkan sang ayah untuk menemui Gubernur Bashrah waktu itu,
Isa Dazadzan, dan menyerahkan kepadanya selembar kertas yang bertuliskan:
Setiap hari engkau bershalawat seratus kali kepadaku. Khusus pada malam
Jum‟at, sebanyak empat ratus kali. Namun, hari Jum‟at kemarin engkau lupa
kepadaku. Untuk itu, berikan kepada orang ini empat ratus dinar agar dosamu
karena melupakanku terhapus.”
Sang ayah membulatkan. Ia menyerahkan kepada skretaris gubernur
selember surat berisi catatan dari Nabi. Sekretaris lalu menyampaikan surat itu
kepada gubernur. Sang gubernur Bashrah – seperti yang dicatat Fariduddin
Athar dalam Tazkirat al-Awliya‟ – berkata, “Berikanlah dua ribu dinar kepada
para fakir miskin dan empat ratus kepada syeikh yang kesini itu! Katakana
bahwa aku memintanya untuk menemuiku. Tidak! Jangan! Lebih patut jika
akulah yang menemuinya. Berlutut di depan pintunya, membersihkan pintu
rumahnya dengan janggutku sendiri, memohon kepadanya agar ia sudi
memohon kepada Allah apa yang ku inginkan, dan ia bisa membeli semua
kebutuhan bayinya.”86
Dengan demikian, dari kisah di atas, sesungguhnya Rabi‟ah lahir dengan
membawa rezekynya sendiri. Atau Allah telah myediakan dana yang
dibutuhkan oleh Rabi‟ah. Juga Bahwa si jabang bayi kelak akan berbahagaia
86
Ma‟mun Gharib, Rabî‟ah al-„Adawiyyah, Fî Miḥrâb al-Hubb al- Ilâhî, (Kairo: Dâr
Ghrîb li ath-Thibâh wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, 2000), h.26.
48
di dunia. Bukankah Rasulullah telah membesarkan hati sang ayah dengan
mimpinya tersebut? Bahkan mengarahkan sang ayah ke tempat ia dapat
menerima rezekinya.
2. Gadis Kecil yang Saleh
Rabi‟ah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan
orang saleh dan zuhud. Sejak kecil ia sudah tampak kecerdasannya. Ia
menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati
demikian hal itu tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian keluarga
Rabi‟ah terhadap Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya
melakukan ibadah kepada Allah, antara lain dengan membaca al-Qur‟an dan
berzikir; ia pun selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang
telah dilihat dan didengar dari ayahnya. Sejak kecil ia telah diajarkan berbudi
pekerti (Akhlak) yang baik dan luhur. Dan sejak kecil pula ia telah sering
mendengarkan kata halal dan haram dari kedua orang tuanya dan saudarisaudari nya, sehingga ia menghayati makna hakiki dari kata-kata tersebut dan
menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya.87
Sejak kecil Rabi‟ah sangat suka belajar menghafal al-Qur‟an. Bila ia telah
berhasil menghafalnya, ia duduk dan menghafalnya kembali dengan perasaan
khusyuk, iman yang mendalam, dan pemahaman yang sempurna. Bahkan ia
telah berhasil menghafal seluruh tiga puluh juz Al-Qur‟an saat usianya masih
belia. Melihat hal ini, tak kuasa ayahnya menahan air matanya. Ia sendiri tidak
87
Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita
Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 9
49
tahu, apakah air mata ini air mata gembira, atau air mata terharu, atau perasaan
khusyuk.88
3. Menjadi Yatim Piatu
Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat
beragama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia
kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara
perempuannya menjadi anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya
meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah
untuk mencari nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang
menyebrangkan orang dari tepi sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain.
Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau
memintal benang.89
Ada cerita menarik, dalam riwayat yang lain menceritakan, setiap habis
pulang dari pekerjaannya Rabi‟ah menghibur dirinya dengan melafalkan
senandung-senandung bernada sedih, hal itu dilakukan untuk meluapkan rasa
sedihnya yang ada dalam hatinya. Namun, pada satu hari ketika ia sangat lelah
pulang dari pekerjaannya, ia jatuh tertidur lelap. Dalam tidurnya ia bermimpi,
ia melihat sebuah cahaya yang amat cemerlang, yang belum pernah dilihatnya.
Begitu terang cahaya itu memancar, hingga menerangi tempat dan bendabenda disekelilingnya. Cahaya itu bahkan menjalari seluruh tubuhnya dan
merasuk ke dalam hati, jiwa dan urat syarafnya. Rabi‟ah terbangun dari tidur
dalam keadaan tersenyum dan menangis. Mimpi itu muncul kembali pada
88
Ma‟mun Gharib, Rabî‟ah al-„Adawiyyah, Fî Miḥrâb al-Hubb al- Ilâhî, (Kairo: Dâr
Ghrîb li ath-Thibâh wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, 2000), h.28.
89
https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al_Adawiyyah Diakses pada pukul 10:25,tanggal
29-10-2015
50
waktu siang hari. Pada satu hari, ketika Rabi‟ah sedang bekerja menyeberangi
orang-orang di atas perahunya, ketika itu, ia sedang menatap cakrawala, tibatiba terdengar suara yang amat merdu:
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu
Di kegelapan malam terdengar bacaan Qur‟an
Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya
Suara yang merdu membangkitkan keharuan
Dan air mata pun bercucuran
Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu
Sedangkan hatinya penuh cinta Ilahi
Ia berkata. Tuhanku. Tuhanku.
Ibadah pada-Mu meringankan deritaku.
Bukan main terperanjatnya Rabi‟ah mendengar suara yang tidak terduga itu.
Ia berusaha mencari sumber suara itu, namun tidak berhasil.
4. Menjadi Hamba Sahaya
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat
kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan
untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Dalam
pengembaraanya, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya
sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh
sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam
dirham kepada seorang pedagang.
Pedagang
yang
membeli
Rabi'ah
sebagai
hamba
sahaya
memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah harus selalu bekerja
51
keras sepanjang hari. Riwayat lain mengatakan, bahwa Rabi‟ah memiliki
suara merdu dan pandai memainkan seruling. Dengan kelebihan itu,
majikannya menugaskan Rabi‟ah al-Adawiyah untuk bernyanyi demi
menghibur sahabat-sahabat majikannya. Padahal Rabi‟ah sendiri merasa tidak
nyaman dengan keadaan tersebut. Menimbang bahwa ia telah mengahafal alQur‟an sejak dini. Jiwanya tentu telah terkondisikan untuk merindukan apa
yang telah diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Wajar saja bila
Rabi‟ah merasa sangat tidak nyaman dengan pekerjaan seperti itu, karena
hidupnya sudah terpola agamis sejak ia kecil.90
Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas
dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah. Ketika
Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang menjadi
majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala
Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun Cahaya bagaikan lentera yang menyinari
seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa Hebrew
yaitu "Shekina" yang berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah
suci. Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu
menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah. Sebelum
Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan
ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena
90
Ma‟mun Gharib, Rabî‟ah al-„Adawiyyah, Fî Miḥrâb al-Hubb al- Ilâhî, (Kairo: Dâr
Ghrîb li ath-Thibâh wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, 2000), h. 29-31
52
kezuhudannya, Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka
Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.91
5. Kehidupan Sebagai Sufi Dan Pilihan Untuk Tidak Menikah
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang
pasir. Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat
tinggal.92 Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah
kepada Allah. Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid.
Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar
pikiran. Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah adalah,
Malik bin Dinar (wafat 748 / 130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan
Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari
dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal
sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.
Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok
negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah. Di antara
mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang teolog dan
ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti
Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat
Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat
bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut. Riwayat lain
juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat
91
Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita
Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 16-19
92
Buku-buku manakib tidak menyebutkan secara pasti tentang tempat tinggal setelah ia
bebas dari perbudakan dan dalam perjalanannya melalu padang pasir. Tapi, pastinya ia akan
tinggal bersama sahabatnya yang bernama Abdah binti Abi Shawwal.
53
Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya
mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kelahiran Rabi'ah.
Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah.
Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah
agama, sebab, tidak ada kependetaan (bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam
syariat islam. Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa
bertindak adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan
perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak ada satupun di dunia ini
yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah
memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.
6. Ajaran Tasawuf Rabi‟ah al-Adawiyah
Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang
berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa
pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah
terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah,
artinya cinta tanpa pamrih) dan kedekatan dengan Tuhan.93
Pengertian dari metode mahabbah antara lain sebagai berikut:94
a. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan
kepada-Nya.
b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi
(Tuhan).
93
Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita
Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 55-65
94
Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 70-71
54
Menurut al-Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkatan:95
a. Cinta biasa, yaitu selalu mengngiat Tuhan dengan żikir, suka menyebut
nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan
Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
b. Cinta orang yang siddik (‫)الصذٗك‬, yaitu orang yang kenal pada Tuhan,
pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain.
Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang
dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada
pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh
kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya
sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang
hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu padaNya.
c. Cinta orang yang „arif (‫)العاسف‬, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan.
Cinta semacam ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang
dilihat dan dirasa bukan lagi cint, tetpi diri yang dicintai. Akhirnya sifatsifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Para
ulama
tasawuf
memandang
Rabi'ah
sebagai
tonggak
penting
perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju
fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya.
Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri
sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya
oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka
95
Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
h. 70-71
55
jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan
muslim, seperti Sofyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin
Dinar.
7. Akhir Hidup Rabi‟ah al-Adawiyah
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji,
kesehatan Rabi'ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti
Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya.
Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia meminta kepada
Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia
sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin
mendampinginya, namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal
dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di
Bashrah, Irak.96
B. Gambaran Umum Penerjemah
Yunan Askaruzzaman Ahmad, beliau dilahirkan di Tanjungkarang, 26
Agustus 1974. Alamat beliau saat ini di Bumi Bekasi Baru RT.04/ RW. 07 No. 15
Blok 6, Kel. Bojong Rawalumbu, Kec. Rawalumbu. Kota Bekasi – Jawa Barat.
Kesibukan beliau sehari-hari saat ini ialah menjadi pengajar berbagai majelis
ta‟lim, penulis, penyadur dan penerjemah lepas di berbagai penerbit diantaranya,
penerbit Zaman dan Lentera Hati.97
Masa pendidikan SD beliau selesaikan di SD Krida Putra 02 Petang,
Jakarta Timur pada tahun 1986. Kemudian beliau lanjutkan pada pendidikan
96
https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al_Adawiyyah Diakses pada pukul 10:25,tanggal
29-10-2015
97
Wawancara langsung dengan narasumber pada tanggal 19-11-2015, pukul 11:43 WIB
56
tingkat SLTP/Mts di Darunnajah Ulujami, Jakarta Selatan selama tiga tahun, lulus
pada tahun 1989. Kemudian dilanjutkan ke tingkat SLTA/MA di MAN (PK) I
Yogyakarta, selesai pada tahun 1992. Dilanjutkan ke tingkat perguruan tinggi
(strata I) di Universitas Al-Azhar jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
Kairo, Mesir, selesai pada tahun 1996 dengan predikat jayyid. Kemudian tingkat
strata II di universitas yang sama namun, tidak tamat dikarenakan kerusuhan yang
terjadi pada tahun 1998 dan mengharuskan beliau pulang ke Indonesia. Strata II
yang sempat tertunda di Mesir, beliau lanjutkan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta jurusan Pemikiran Islam belum tamat hingga saat ini. Namun, beliau
tamatkan strata II nya di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI Jakarta,
Insya Allah akan diwisuda pada Januari 2016.98
Adapun diantara karya-karya beliau sebagai berikut:
1. Karya Terjemahan
a. Filsafat Etika, Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam.
Judul asli al-Falsafah al-Akhlāqiyyah Fi al-Fikr al-Islām: al-Aqliyyun
wa al-Dzauqiyyun aw an-Nazhar wa al-Amal, karangan Dr. Ahmad
Mahmud Subhi, terbitan Dar an-Nadwah al-„Arabiyah, Beirut, tahun
1992. Diterbitkan oleh penerbit Serambi Ilmu Semesta tahun 2001.
b. Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja – Kisah Sukses Rasulullah
dan Ulama Menjalin Persaudaraan, Persahabatan dan Pergaulan.
Paruh Kitab Adab al-Ulfah wa al-Ukhuwah dari Ihya „Ulumiddin
karya Hujjat al-Islam Imam al-Ghazali.
98
Curriculum vitae Yunan Askaruzzaman
57
c. Rabi‟ah al-Adawiyah, Cinta Allah dan Kerinduan Spiritual Manusia.
Judul asli terjemahan ini adalah Rabi‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb alḤubb al- illāḥī, karangan Dr. Ma‟mun Gharib, terbitan Dar Gharib li
ath-Thiba‟ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, Kairo, Mesir. Diterbitkan
Zaman tahun 2012.
2. Karya Suntingan
a. Kiai Sableng Santri Gendeng, Penerbit Gantar tahun 2012.
b. Jin dan Setan, Penerbit Serambi Ilmu Semesta tahun 2003.
c. Kemenangan Besar Berjumpa Sang Maha Benar. Penerbit Serambi.
3. Karya Saduran
a. Malik bin Anas, bekerjasama dengan Dr. Mukhlis Hanafi, diterbitkan
dengan judul Biografi 5 Imam Mazhab oleh penerbit Lentera Hati.
b. Imam Syafi‟I Sang Penopang Sunnah, bekerjasama dengan Dr.
Mukhlis Hanafi, diterbitkan dengan judul Biografi 5 Imam Mazhab
oleh penerbit Lentera Hati.
4. Karya Tulis
a. Tangisan Langit, Kisah-kisah Terpilih tentang Air Mata Para Nabi
dan Orang-Orang Saleh. Bekerjasama dengan Imam Sibawaih ElHasany. Diterbitkan oleh Lentera Hati tahun 2013.
58
BAB IV
ANALISIS TERJEMAHAN PUISI-PUISI RĀBI’AH AL-ADAWIYYAH
STUDI KASUS PENERJEMAHAN SEBAGAI “PENGKHIANATAN TEKS
Pada bab ini peneliti akan menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah alAdawiyyah dengan kasus penerjemahan sastra (puisi) sebagai pengkhianatan teks.
Peneliti akan menggunakan teori puisi dan teori metode penerjemahan yang telah
peneliti uraikan dalam bab dua untuk menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah alAdawiyyah ini. Juga untuk meneliti makna pada tiap kata dalam puisi-puisi
Rābi‟ah al-Adawiyyah, peneliti menggunakan kamus al-Munawwir dan alMunjid.
Kemudian peneliti akan membuat kategorisasi dalam menganalisis
terjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah ini berdasarkan pengkhianatan yang ada
pada beberapa unsur puisi sebagai berikut:
a. Pengkhianatan Bentuk
b. Pengkhianatan Isi
c. Pengkhianatan Kreatif
A. Deskripsi Teks Puisi
Sebelum masuk pada bagian analisis, peneliti akan mendeskripsikan
keenam puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah yang ada di dalam buku Rabī‟ah al„Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī dan terjemahannya sebagai berikut:
Puisi pertama:
ُ ُ‫ُّولُالَّزُٕفْقُالتشابُُتشاب‬#ُُ‫إراُواىُهٌهُالْدُفالىلُُ٘ي‬
59
Bila cinta dari-Mu kuraih, semua menjadi remeh
Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah
Puisi kedua:
ُ ‫هُأُ ُُلُُلُ ُز‬
ُ ًَُُّ‫حةُُل‬
ُ ‫اوا‬
ُ ُّ#ُٓ
ُ
ُُِْ‫يُحُةُُال‬
ُ َُّ٘‫هُحُُث‬
ُ ‫حث‬
ُ ُ‫أ‬
ُ ‫اوا‬
ُ ُُْ‫يُص‬
ُ ُ‫نُعُ َّو‬
ُ ‫ُٖت ُز ُو ُش‬
ُ ‫ُفشُغُُل‬#ُٓ
ُ
ُِْ‫ال‬
ُ ُُ‫حة‬
ُ ُُُُْٕ
ُ ُ‫اُالَّز‬
ُ ‫فُأُ َُّه‬
ُ ‫اوا‬
ُ ‫ُٔأ ُس‬
ُ َّ‫ةُحُُت‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫ُٖالح‬
ُ
ُ‫شفُهُُل‬
ُ ُ‫ُفى‬#
ُ َُُ ُ‫تُأُ ُُلُُل‬
ُ ًُُ‫اُالَّزُُٕأ‬
ُ ‫ُُّأ َُّه‬
‫ان‬
ُ ‫ُر‬
ُ ‫َل‬
ُ ُّ‫ا‬
ُ ُ‫يُ ِّلُُالحُ ُو ُذُُفُٖر‬
َُّ ‫ُُّل ُى‬#ُٖ
ُ
ُ‫انُل‬
ُ ‫ُر‬
ُ ُ‫اَُّل‬
ُ ُ‫فُلُُالحُ ُو ُذُُفُُٖر‬
Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri
Dan cinta sebab Engkau patut dicinta
Cinta karena diri adalah larut aku
Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu
Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta
Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu
Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku.
Sebab semua pujian untuk-Mu semata.
Puisi ketiga:
ُ ٖ‫ص‬
ُ ُْ ‫جُل‬
ُ ُ‫اد‬
ُ ‫يُأُ ُس‬
ُ ‫ُٖه‬
ُ ُ‫ضو‬
ُ ُ‫تُج‬
ُ ‫ح‬
ُ ‫ُُّأُت‬#ُٖ
ُ
‫حذُُث‬
ُ ‫ادُ ُه‬
ُ ُ‫هُفُُٖالفُؤ‬
ُ ‫ُٖجعُُلُت‬
ُ ًُُ‫إ‬
ُ ٖ‫ض‬
ُ ًُُ٘‫ادُُأ‬
ُ ُ‫ُٖفُٖالفُؤ‬
ُ ‫ةُلُلُُث‬
ُ ُ٘‫ُُّحُُث‬#ُُٖ‫شُهُ ُؤ ُاًض‬
ُ ُ٘‫جُل‬
ُ ‫ُٖلُل‬
ُ ٌُُ‫فُالجُضُنُُه‬
Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati
Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
60
Di kalbuku kekasih hati menjadi teman
Puisi keempat:
ُ ُ‫اسُُت ُذُٗع‬
ُ ُُ٘‫ُٕفُٖالم‬
ُ ‫اُل ُع ُو ُش‬
ُ ‫ُُ ُز‬#
ُ َُُ َّ‫حُث‬
ُ ُ‫ظ ُِ ُش‬
ُ ُ‫تُت‬
ُ ًُ‫َل ُُل َُُ ُُُّأ‬
ُ َّ ُ‫صُٔإ‬
ُ ‫تُ ُع‬
ُ‫طُ٘ع‬
ُ ‫حةُُ ُه‬
ُ ُُٗ‫ي‬
ُ ‫ىُالوُحُةَُُّلُ ُو‬
َُّ ‫ُإ‬#
ُ َُُ ‫هُصُادُلُاُلُطُ ُعُت‬
ُ ُ‫اىُحُث‬
ُ ‫لُ ُُْ ُو‬
Kau bermaksiat kepada Tuhan, tapi tetap menyatakan cinta
Demi Tuhan, itu tidak dapat disandingkan
Jika cintamu tulus, niscaya kau patuh kepada-Nya
Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya
Puisi kelima:
ُ ُ‫غضُاب‬
ُ ُ‫ام‬
ُ ًُ‫ال‬
ُ ُُّٔ‫ض‬
ُ ‫هُتُ ُش‬
ُ ‫ُُّلُُ٘ت‬#
ُ ُ‫اجُهُ ُشُٗ ُش ُج‬
ُ ُ٘‫الح‬
ُ ُّ ُُْ ‫حُل‬
ُ ُ‫هُت‬
ُ ‫فُلُُُ٘ت‬
ُ ُ‫يُخُ ُشاب‬
ُ ُُ٘‫يُالعُالُو‬
ُ ُُ٘‫ُّٖت‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّت‬#
ُ ُُ‫هُعُاهُش‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّٖت‬
ُ ٌُُ٘‫ُٕت‬
ُ ‫تُالَُّ ُز‬
ُ ُ٘‫ُُّل‬
ُ ُ‫ابُُت ُشاب‬
ُ ُ‫التش‬
ُ ُ‫ق‬
ُ ُْ‫ُٕف‬
ُ ‫ُُّ ُولُُ ُالَّ ُز‬#ُ‫ي‬
ُ ُُُُُ٘‫هُالُ ُع ُز ُمُفُالىُل‬
ُ ٌُُ‫اُص َّحُُه‬
ُ ‫إُ ُر‬
Sekiranya Engkau menjadi pemanis di tengah pahitnya kehidupan
Sekiranya Engkau mencurahkan rida saat orang-orang terbelenggu kemurkaan
Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak
Dan di antara diriku dan semesta ini adalah kehancuran
Jika ketetapan hati dari-Mu telah nyata maka segala sesuatu menjadi mudah
Dan segala yang di atas tanah tak lain hanyalah tanah
Puisi keenam:
‫اوا‬
ُ ‫اُل ُذُأُت‬
ُ ‫حنُُالُُْ٘ ُمُهُ ُزًُُث‬
ُ ‫اس‬
ُ ُ‫ُف‬#ُ‫اوا‬
ُ ُْ ُ‫ةُهُ ُالُٔص‬
ُ ُ‫ةُالمُل‬
ُ ُ٘‫اُحُث‬
ُ ُٗ
‫اوا‬
ُ ُُْ‫حةَُُّص‬
ُ ُُٗ‫ى‬
ُ ُ‫ةُأ‬
ُ ُ‫ُٔالمل‬
ُ ‫ُلذُُُأُت‬#ُٓ
ُ
‫صشُ ُّ ُس‬
ُ ُّٔ
ُ ‫احُت‬
ُ ‫ائُ ُّ ُس‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫اس‬
ُ ُٗ
Wahai kekasihku! Hanya Engkaulah yang kukasihi
61
Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau
B. Analisis Puisi Rābi’ah al-Adawiyyah: Studi Penerjemahan Sastra (Puisi)
Sebagai Pengkhianatan Teks
1. Pengkhianatan Bentuk
Kategori yang pertama yaitu, pengkhianatan pada bentuk. Maksudnya
adalah ketidaksesuaian unsur pembangun puisi dari segi bentuk atau fisik pada
puisi bahasa sasaran. Melihat puisi sumber adalah puisi tradisional Arab yang
memiliki keindahan dari unsur fisik, maka puisi terjemahannya agar dapat
menampilkan keindahan puisi sumber secara utuh, juga harus menampilkan
unsur fisik/bentuk puisi sasaran yang indah pula. perhatikan kasus di bawah
ini:
ُ ٖ‫ص‬
ُ ُْ ‫جُل‬
ُ ُ‫اد‬
ُ ‫يُأُ ُس‬
ُ ‫ُٖه‬
ُ ُ‫ضو‬
ُ ُ‫تُج‬
ُ ‫ح‬
ُ ‫ُُّأُت‬#ُٖ
ُ
‫حذُُث‬
ُ ‫ادُ ُه‬
ُ ُ‫هُفُُٖالفُؤ‬
ُ ‫ُٖجعُُلُت‬
ُ ًُُ‫إ‬
ُ ٖ‫ض‬
ُ ًُُ٘‫ادُُأ‬
ُ ُ‫ُٖفُٖالفُؤ‬
ُ ‫ةُلُلُُث‬
ُ ُ٘‫ُُّحُُث‬#ُُٖ‫شُهُ ُؤ ُاًض‬
ُ ُ٘‫جُل‬
ُ ‫ُٖلُل‬
ُ ٌُُ‫فُالجُضُنُُه‬
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati
Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
Di kalbuku kekasih hati menjadi teman
Versi Peneliti
Kujadikan Kau teman bicaraku di kalbu
Kupersilakan ragaku untuk teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
Kekasih hatiku jadi teman setia di kalbu
Gambar tabel 1.
62
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Perhatikan terjemahan bait pertama dari syi‟ir (puisi) ketiga di atas:
ُ ٖ‫ص‬
ُ ُْ ‫جُل‬
ُ ُ‫اد‬
ُ ‫يُأُ ُس‬
ُ ‫ُٖه‬
ُ ُ‫ضو‬
ُ ُ‫تُج‬
ُ ‫ح‬
ُ ‫ُُّأُت‬#ُٖ
ُ
‫حذُُث‬
ُ ‫ادُ ُه‬
ُ ُ‫هُفُُٖالفُؤ‬
ُ ‫ُٖجعُُلُت‬
ُ ًُُ‫إ‬
Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati
Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku
Antara terjemahan syaṭr pertama dan kedua pada bagian awal tidak sama
bentuk unsur rimanya. Nampaknya penerjemah memperhatikan keteralihan
unsur gramatika (sintaksis) dari bahasa sumber ke bahasa sasaran pada
terjemahan teks
harus
ada
ُٖ‫ُّأُتُحُتُ ُجُضُو‬, namun
pada
terjemahan
teks
hal itu menjadikan unsur rima yang
sasaran
menjadi
tidak
sesuai.
Ketidaksesuaiannya pada kata yang peneliti beri garisbawah di atas. Juga
nampak di atas adanya ketidaksesuaian rima akhir pada syaṭr pertama dan
kedua yaitu pada kata „hati‟ dan „dudukku,‟ masalah ini sebenarnya dapat
diatasi penerjemah dengan memilih diksi yang tepat, sehingga dapat membuat
rima akhir yang indah pada puisi Bsa.
Mengingat teori puisi pada bab dua, puisi tradisional atau puisi lama harus
memiliki unsur pembangun dari segi bentuk atau fisik berupa rima, matra dan
irama, sehingga membuat puisi tampak indah. Coba perhatikan keseluruhan
terjemahan syi‟ir ketiga ini:
Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati
Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
63
Di kalbuku kekasih hati menjadi teman
Tidak hanya pada rima bagian awalnya saja yang tidak memiliki keserasian,
rima bagian akhirnyapun tidak tidak serasi, sehingga hilang estetik dari unsur
fisiknya (matra dan iramanya).
Saran peneliti sebagai berikut:
a. Untuk bait pertama. Pertama, bagian terjemah syaṭr pertama kata „hati‟
yang digunakan untuk menerjemahkan kata „‫ ‟الفُؤُاد‬diganti dengan kata
„kalbu‟ agar rima akhirnya serasi dengan kata yang menjadi rima akhir
pada larik/ syaṭr berikutnya. Kedua, larik kedua, demi memburu rima
awal agar bunyinya sama kata „ragaku‟ yang menjadi terjemahan
„ُٖ‫ ‟جُضُو‬diletakan setelah kata „kupersilakan‟ terjemahan dari „ُ‫‟أُتُحُت‬.
Jadi demi memburu keserasian bunyi rima awal, larik kedua
diterjemahkan menggunakan metode penerjemahan setia.
b. Untuk bait kedua. Pertama, untuk syaṭr pertama dari bait kedua ini,
peneliti setuju dengan hasil terjemahan penerjemah yang menggunakan
metode penerjemahan semantik. Kedua, untuk larik (syaṭr) kedua dari
bait kedua ini, pada terjemahan
ُٖ‫ُّحُثُُ٘ةُ ُلُلُث‬
ُٖ‫ُّحُثُُ٘ةُ ُلُلُث‬
dan
‫فُٖ ُالفُؤُاد‬.
Frasa
diterjemahkan „kekasih hati‟ padahal di frasa tersbut
terdapat ḍomir muttasil ya` mutakallim yang nempel dan memiliki arti
„kepunyaan saya‟ jadi seharusnya penerjemah memberi arti „kekasih
hatiku‟ untuk teks sumber ُٖ‫ُّحُثُُ٘ةُ ُلُلُث‬. Sedangkan untuk teks ُ‫فُُٖالفُؤُاد‬
cukup diberi arti „di hati‟ tanpa penambahan „ku‟ karena, tidak ada
ḍomir muttasil ya` mutakallim yang nempel pada teks
ُ‫فُُٖالفُؤُاد‬.
Pada
64
kenyataannya
penerjemah puisi
membuang arti „aku/saya‟ dari frasa
pada teks
ُ‫فُُٖالفُؤُاد‬
ini
melakukan hal
sebaliknya,
ُٖ‫ ُّحُثُُ٘ةُ ُلُلُث‬dan memunculkannya
yang tidak terdapat ḍomir muttasil ya` mutakallim
yang nempel padanya.
Hasilnya akan didapati terjemahan puisi dari peneliti sebagai berikut:
Kujadikan Kau teman bicaraku di kalbu
Kupersilakan ragaku untuk teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
Kekasih hatiku jadi teman setia di kalbu
Selanjutnya pengkhianatan pada bentuk juga peneliti temukan pada
terjemahan syi‟ir kedua di bawah ini:
ُ ‫اوا‬
ُ ‫هُأُ ُُلُُلُ ُز‬
ُ ًَُُّ‫حةُُل‬
ُ ُّ#ُٓ
ُ
ُُِْ‫يُحُةُُال‬
ُ َُّ٘‫هُحُُث‬
ُ ‫حث‬
ُ ُ‫أ‬
ُ ‫اوا‬
ُ ُُْ‫يُص‬
ُ ُ‫نُعُ َّو‬
ُ ‫ُٖت ُز ُو ُش‬
ُ ‫ُفشُغُُل‬#ُٓ
ُ
ُِْ‫ال‬
ُ ُُ‫حة‬
ُ ُُُُْٕ
ُ ُ‫اُالَّز‬
ُ ‫فُأُ َُّه‬
ُ ‫اوا‬
ُ ‫ُٔأ ُس‬
ُ َّ‫ةُحُُت‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫ُٖالح‬
ُ
ُ‫شفُهُُل‬
ُ ُ‫ُفى‬#
ُ َُُ ُ‫تُأُ ُُلُُل‬
ُ ًُُ‫اُالَّزُُٕأ‬
ُ ‫ُُّأ َُّه‬
‫ان‬
ُ ‫ُر‬
ُ ‫َل‬
ُ ُّ‫ا‬
ُ ُ‫يُ ِّلُُالحُ ُو ُذُُفُٖر‬
َُّ ‫ُُّل ُى‬#ُٖ
ُ
ُ‫انُل‬
ُ ‫ُر‬
ُ ُ‫اَُّل‬
ُ ُ‫فُلُُالحُ ُو ُذُُفُُٖر‬
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri
Dan cinta sebab Engkau patut dicinta
Cinta karena diri adalah larut aku
Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu
Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta
Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu
Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku
65
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Versi Peneliti
Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta
Cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta karena cinta
Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu
Sebab Engkau patut dicinta
Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu
Pujian tak layak bagiku, pada keduanya
Pujian hanya bagi Allah, pada keduanya
Gambar tabel 1.1.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Perhatikan puisi terjemahan di atas, penyusunan matra pada puisi di atas
masih berantakan tidak berpatokan pada rima yang saling megikat antara satu
kata dengan kata yang lainnya. Peneliti melihat, penerjemah puisi ini hanya
mementingkan keteralihan pesan atau maksud puisi sumber pada puisi sasaran
namun, ia mengabaikan unsur bentuk/fisik yang membangun atau yang
menjadi ciri khas dari puisi itu sendiri. Penerjemah puisi harus
mempertimbangkan unsur pembangun puisi dalam puisi Bsa-nya, tidak bisa
diabaikan. Bila diabaikan maka akan hilang unsur puisinya dan hal itu yang
menyebabkan puisi Tsa mengkhianati puisi Tsu.
Peneliti memperhatikan permulaan kata pada tiap lariknya tidak serasi,
seakan tidak ada irama yang mengikatnya. Pembaca awam, ketika membaca
puisi ini akan merasakan seperti bukan membaca puisi, bila teks puisi
sumbernya dipisahkan dari teks puisi terjemahannya. Mereka akan merasakan
membaca prosa yang di puisi kan, dengan bermodal rima akhir dan
penyusunan larik.
66
Perhatikan teks puisi terjemahan (tsa) di bawah ini:
Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri
Dan cinta sebab Engkau patut dicinta
Cinta karena diri adalah larut aku
Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu
Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta
Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu
Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan strategi memilih metode
penerjemahan yang tepat dan pemilihan diksi yang tepat, guna memburu rima,
irama dan unsur pembangun bentuk puisi lainnya.
Pada bait pertama agar rima awal antara larik pertama dan kedua memiliki
irama, maka peneliti mencoba mencarikan diksi yang sesuai untuk menjadi
padanan teks sumber dan demi memburu rima awal yang berirama. Kalimat
„kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri‟ yang menjadi
terjemahan larik pertama dari teks „ُُِْٓ‫أُحُثهُ ُحُُث َُّ٘يُ ُحُةُ ُال‬,‟ menurut peneliti
terjemahan ُُِْٓ‫ حُةُُال‬yaitu „cinta karena diri‟ baiknya diubah menjadi „cinta
karena cinta‟ dengan alas an memburu keindahan estetik pada rima dan matra
puisinya.
67
Kata
ُ‫حُة‬
mempunyai arti dalam kamus „cinta‟ „mencintai‟ dan
„menyukai‟ sedangkan, kata
ِْٓ‫ال‬
mempunyai arti dalam kamus 'cinta'
'keinginan' 'kesukaan' 'kesenangan' dan „kecenderungan‟. Demi memburu rima
yang serasi dan keindahan puisi yang harus ada dalam sebuah puisi99, peneliti
menerjemahkan frasa ُُِْٓ‫ حُةُُال‬dengan „cinta karena cinta‟
Sedangkan pada larik (syaṭr) kedua bait pertama, kata „dan‟ yang menjadi
terjemahan
ّ
(wau) tidak perlu diterjemahkan, karena
ّ
tersebut penanda
awal kalimat atau dikenal dengan wau isti‟naf. Pemilihan diksi „Engkau‟
untuk terjemahan ḍomir muttaṣil
‫ن‬
menurut peneliti lebih cocok „Kau‟
dengan alasan katau „Kau‟ lebih memiliki kedekatan antara orang yang
berbicara dengan orang yang diajak bicara. Peneliti menerjemahkan larik
kedua ini
‫ُّحُةُ َُلًَُُّهُ ُأُُُلُ ُلُزُاوُا‬
sebagai berikut; „Cinta sebab Kau patut
dicinta‟. Hasil terjemahan peneliti larik satu dan dua bait pertama sebagai
berikut:
Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta
Cinta sebab Kau patut dicinta
Terjemahan bait kedua dari syi‟ir kedua ini terdapat beberapa masalah
terutama pada larik pertama. Frasa „larut aku‟ merupakan terjemahan dari tsu
ُٖ‫ فُشُغُل‬yang terdapat pada larik kedua, hal ini merupakan kasus pengkhianatan
tsa pada tsu yang dilakukan penerjemah puisi. Sebab, penerjemah puisi bukan
99
Lihat unsur pembangun puisi dari segi bentuk/fisik pada bab dua.
68
lagi menerjemahkan, melainkan sudah menyadur. Penerjemah puisi meletakan
terjemahan larik kedua pada larik pertama
yang menurut peneliti tidak
diperbolehkan, karena yang dinamakan menerjemahkan adalah mengalihkan
pesan seutuhnya dari bahasa sumber ke-bahasa sasaran, kalau itu puisi berarti
lengkap dengan unsur-unsur puisi dan dalam bentuk bentuk puisi pada bahasa
sasaran.
ُ ‫فُأُ َُّه‬
Untuk larik pertama bait kedua peneliti menerjemahkan teks ُُُُُُْٕ‫اُال َّز‬
ُُِْٓ‫حُةُ ُال‬
dengan arti „cinta karena cinta‟100. Sebab bila diterjemahkan
dengan metode penerjemahan harfiyah atau semantik, nanti akan muncul
makna dari teks
ُٕ‫اُالَّز‬
ُ ‫فُأ َُّه‬
„adapun‟101 yang tidak estetis bila diletakan pada
bahasa puisi.
Kemudian frasa
ُٖ‫فُشُغُل‬
tetap terjemahannya diletakan pada larik kedua.
Peneliti menerjemahkan larik kedua secara menyeluruh sebagai berikut;
„Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu‟. „Menyibukkanku‟ arti dari
frasa
ُٖ‫فُشُغُل‬,
sedangkan „mengingat-Mu dari selain-Mu‟ terjemahan dari
teks‫ويُُصُُْاوُا‬
َُّ ُ‫تُزُوُشُنُُع‬.
ُ َُُ‫ُُّأُ َُّها ُ ُالَّزُٕ ُأًُُتُ ُأُُُلُ ُل‬pada
menerjemahkan teks
bait ketiga penerjemah puisi ini
ُٕ‫ ُُّأُ َُّها ُ ُالَّز‬dengan
padanan „sedang‟ dalam bahasa
sasaran yang menurut peneliti tidak perlu diberikan padanan sebab dapat
100
101
Menggunakan metode penerjemahan bebas
Dalam kamus Munawwir
69
merusak bahasa dalam puisi/ syi‟ir-nya. Menurut peneliti terjemahkan saja
„sebab
Engkau
patut
dicinta‟.
Larik
selanjutnya
menurut
peneliti
diterjemahkan saja „Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu.‟ Peneliti
memilih membuang kata „adalah‟ yang dimunculkan oleh penerjemah sebab
menurut peneliti, kata „adalah‟ tidak tepat pada pemakaian bahasa puisi.
Untuk bait terakhir menurut peneliti pada larik pertama diubah menjadi
„pujian tak layak bagiku, pada keduanya‟ sedangkan larik keduanya „pujian
hanya bagi Allah, pada keduanya‟ dengan alasan demi memburu keselarasan
rima bagian awal dan akhir pada larik pertama dan kedua. Rincian makna larik
pertama dan kedua sebagai berikut:
Kata/ Frasa
Makna Kamus/ Makna
Kata yang dipakai
Bahasa Sumber
terjemahan harfiyyah
penerjemah
ٖ‫ = ف‬Di, di dalam, pada,
Pada keduanya
ُ‫فُُُٖرُاَُُّلُُرُان‬
‫ = را‬ini, ‫ = ران‬itu
ُ‫فُلُُالحُوُذ‬
‫ = فل‬Maka tidak, ‫الحوذ‬
Pujian tidak layak
= Pujian, syukur,
terimakasih
ُٖ‫ل‬
Bagiku, untukku
Bagiku
Gambar tabel 1.2.
Rincian makna larik pertama
Kata/ Frasa
Makna Kamus/ Makna
Kata yang dipakai
Bahasa Sumber
terjemahan harfiyyah
penerjemah
70
‫ُّلُىُي‬
‫ِل‬
ُ‫الحُوُذ‬
ُ‫فُُٖرُاَُُّلُُرُان‬
Akan tetapi
Sebab
Bagi Allah
-
Pujian, syukur, terimakasih Pujian
ٖ‫ = ف‬Di, di dalam, pada, ‫را‬
-
= ini, ‫ = ران‬itu
Gambar tabel 1.3.
Rincian makna larik kedua.
Terjemahan larik kedua diterjemahkan dengan metode penerjemahan bebas
oleh penerjemah puisi ini.
Secara keseluruhan peneliti menerjemahkan ulang syi‟ir kedua sebagai
berikut:
Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta
Cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta karena cinta
Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu
Sebab Engkau patut dicinta
Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu
Pujian tak layak bagiku, pada keduanya
Pujian hanya bagi Allah, pada keduanya
Kemudian peneliti menemukan kasus pengkhianatan bentuk pada terjemahan
syi‟ir kelima di bawah ini:
71
ُ ُ‫غضُاب‬
ُ ُ‫ام‬
ُ ًُ‫ال‬
ُ ُُّٔ‫ض‬
ُ ‫هُتُ ُش‬
ُ ‫ُُّلُُ٘ت‬#
ُ ُ‫اجُهُ ُشُٗ ُش ُج‬
ُ ُ٘‫الح‬
ُ ُّ ُُْ ‫حُل‬
ُ ُ‫هُت‬
ُ ‫فُلُُُ٘ت‬
ُ ُ‫يُخُ ُشاب‬
ُ ُُ٘‫يُالعُالُو‬
ُ ُُ٘‫ُّٖت‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّت‬#
ُ ُُ‫هُعُاهُش‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّٖت‬
ُ ٌُُ٘‫ُٕت‬
ُ ‫تُالَُّ ُز‬
ُ ُ٘‫ُُّل‬
ُ ُ‫ابُُت ُشاب‬
ُ ُ‫التش‬
ُ ُ‫ق‬
ُ ُْ‫ُٕف‬
ُ ‫ُُّ ُولُُ ُالَّ ُز‬#ُ‫ي‬
ُ ُُُُُ٘‫هُالُ ُع ُز ُمُفُالىُل‬
ُ ٌُُ‫اُص َّحُُه‬
ُ ‫إُ ُر‬
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
Sekiranya Engkau menjadi pemanis di tengah pahitnya kehidupan
Sekiranya Engkau mencurahkan rida saat orang-orang terbelenggu kemurkaan
Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak
Dan di antara diriku dan semesta ini adalah kehancuran
Jika ketetapan hati dari-Mu telah nyata maka segala sesuatu menjadi mudah
Dan segala yang di atas tanah tak lain hanyalah tanah
Versi Peneliti
Semoga Kau jadi pemanis dalam pahitnya kehidupan
Semoga Kau meridai saat manusia murka
Semoga antara aku dan Engkau terpelihara
Antara aku dan semesta hanyalah fana
Bila kesungguhan hati-Mu nyata, segala sesuatu jadi remeh
Segala yang di atas tanah hanyalah tanah.
Gambar tabel 1.4.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Pendapat peneliti mengenai terjemahan puisi di atas, penerjemah sadar atau
tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja telah memakai rima akhir patah. Ciri
rima akhir patah polanya adalah a-a-a-b/a-b-a-a/a-a-b-a/b-a-a-a, namun yang
menjadi ganjalan bagi peneliti adalah biasanya salah satu dari rima akhir patah
tersebut huruf vokal (a,i,u,e,o) atau huruf konsonan di antara tiga huruf vokal
yang ada pada suku kata terakhir pada larik sebelum dan sesudah huruf
72
konsonan itu. Bila terjemahan
ُ‫عُاهُش‬
yaitu „semerbak‟ diganti dengan diksi
lain yang bersuku kata akhirnya huruf vokal maka terpenuhi unsur rima
akhirnya.
Selanjutnya kata „dan‟ yang menjadi terjemahan huruf
ّ
pada syaṭr
keempat baiknya dibuang saja sebab terjemahan harfiyyah ini merusak irama,
dan kata „di antara‟ dibuang kata preposisi „di‟ jadi tinggal kata „antara‟ saja
pada awal kalimat, serta membuang kata „ini‟ dan „adalah‟ yang tidak ada
rujukkannya dalam teks sumber, kemudian diganti dengan kata „hanya‟ yang
masih ada hubungan dengan konteks teks sumber, jadi terjemahannya akan
seperti ini, “Antara diriku dan semesta hanya kehancuran.” Menurut peneliti
itu lebih baik.
Analisis peneliti terhadap terjemahan syi‟ir kelima terkait dengan
pengkhianatan teks pada unsur bentuk/fisik puisi sebagai berikut:
a. Bait pertama peneliti menilai antara larik pertama dan kedua rima awal
dan akhirnya sudah dapat mewakili unsur pembangun bentuk dari puisi
bahasa sasaran, karena memiliki kesamaan bunyi untuk membentuk
irama. Namun, pada pertengahan kalimat terasa amat panjang untuk
kalimat dalam puisi terutama pada larik kedua (terjemahan puisi). Untuk
larik pertama terjemahkan saja sebagai berikut; „Semoga Engkau jadi
pemanis dalam pahitnya kehidupan‟, lalu larik keduanya; „Semoga
Engkau meridai saat manusia murka‟. Peneliti mempertimbangkan
menerjemahkan kata
‫ ل٘ت‬dengan padanan 'semoga' daripada 'sekiranya',
karena menurut peneliti setelah mengkaji riwayat kehidupan (pembacaan
73
historikal) beliau (Rabi‟ah) sebagai sufi wanita, beliau ini senantiasa
berdoa kepada Allah dengan bahasa yang sangat santun, bahkan terlalu
santunnya, seakan-akan beliau merendahkan dirinya dihadapan Allah.
Jadi, menurut peneliti kata
ُ‫لُُ٘ت‬
pada syi‟ir ini bukanlah bermkana
denotasi „sekiranya‟ yang mengandung unsur angan-angan, tapi terdapat
makna konotasi yaitu harapan „semoga‟.
Selanjutnya peneliti lebih memilih diksi „dalam‟ daripada „di
tengah‟, menurut peneliti tidak perlu mencari padanan di luar konteks
kalimat, bila masih bisa dicari padanan pada konteks kalimat. Kata
„dalam‟ pada larik pertama muncul karena terdapat
ّ ḥaliyyah dari teks
ُُ‫فُلُُ٘تُهُُتُحُلُُُُّْالحُُ٘اجُُهُشُُٗشُج‬yang memiliki „dalam keadaan‟ atau „dalam‟.
Larik kedua, bandingkan antara terjemahan penerjemah puisi ini dengan
terjemahan peneliti; „Sekiranya Engkau mencurahkan rida saat orangorang terbelenggu kemurkaan‟ dengan „Semoga Engkau meridai saat
manusia murka‟. Pertama, terjemahan puisi penerjemah terlalu panjang
kalimatnya untuk ukuran sebuah puisi, sedangkan peneliti lebih
memadatkan kalimatnya. Kedua, penerjemah puisi menerjemahkan kata
ُٔ‫تُشُض‬
„mencurahkan rida‟ yang sebenarnya bisa diefektifkan dengan
diksi „meridai‟ dan kata
ُ‫غُضُاب‬
yang diterjemahkan penerjemah puisi
ini dengan „terbelenggu kemurkaan‟ peneliti menyederhanakan dengan
memilih diksi „murka‟. Penerjemah puisi perlu mengingat bahwa bahasa
yang digunakan pada puisi adalah bahasa yang padat dan terfokuskan
74
pada maksud puisi itu sendiri.102 Pemilihan diksi yang tepat untuk
dijadikan padanan (terjemahan) Bsu pada Bsa merupakan bagian dari
strategi penerjemahan.
b. Bait kedua menurut peneliti untuk terjemahan
‫عُاهُش‬
yang diberi
terjemahan 'semerbak' oleh penerjemah, baiknya atau bahkan seharusnya
dicari diksi yang lain agar rima akhir sesuai dengan larik kedua bait
pertama atau larik sesudahnya yaitu larik kedua bait kedua. Dalam
kamus al-Munawir, kata
‫عُاهُش‬
memiliki arti „yang didiami‟dan „yang
dipelihara‟ atau „terpelihara‟. Selanjutnya untuk menyelarasi rima akhir
pada larik pertama bait kedua, peneliti memilih diksi „fana‟ untuk
terjemahan teks ُ‫ خُشُاب‬daripada diksi „kehancuran‟.
Juga untuk memburu kesamaan irama pada permulaan kalimat antara
larik pertama dan kedua, bait kedua ini, peneliti membuang preposisi
„di‟ pada kata „di antara‟ yang menjadi terjemahan dari teks ٌُُُٖ٘‫ ت‬.
c. Bait ketiga dari syi‟ir kelima ini, ada beberapa diksi yang menjadi
padanan tsa pada tsu yang peneliti ubah dengan alasan memburu
keselarasan bunyi irama, diantaranya kata „jika‟ yang menjadi padanan
tsuُ ‫ ُإُرُا‬. Diubah dengan diksi „bila‟ sebab, memburu keselarasan bunyi
irama pada kata „segala‟di larik kedua. Dengan pertimbangan kata „bila‟
dan „jika‟ masih dapat menjadi padanan tsu ‫إُرُا‬.
102
Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 40-41.
75
Secara keseluruhan peneliti menganalisis metode penerjemahan yang
digunakan penerjemah puisi untuk menerjemahkan puisi ini menggunakan
metode penerjemahan setia. Dapat diketahui ketika penerjemah puisi,
menerjemahkan bait ketiga, “Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah
sesuatu yang semerbak,” # “Dan di antara diriku dan semesta ini adalah
kehancuran.” Penerjemah sangat setia ketika menerjemahkan atau mencari
padanan tsu
‫ عُاهُش‬dengan diksi „semerbak‟ dan tsu ُ‫„ خُشُاب‬kehancuran‟ yang
kedua arti tersebut terdapat dalam kamus.103 Penerjemah tidak bisa
melepaskan arti sesungguhnya teks sumber tersebut, sehingga berdampak
pada keindahan puisi terjemahannya.104
Menurut peneliti, baiknya ketika menerjemahkan puisi/syi‟ir tsu ke tsa,
harus lebih memperhatikan kekhasan dari puisi itu sendiri walaupun dalam
teks sasaran atau bahasa sasaran, disamping harus memperhatikan keteralihan
pesan. Hasil dari analisis syi‟ir kelima ini, peneliti mencoba menerjemahkan
ulang dengan pola rima akhir patah b-a-a-a sebagai berikut:
Semoga Kau jadi pemanis dalam pahitnya kehidupan
Semoga Kau meridai saat manusia murka
Semoga antara aku dan Engkau terpelihara
Antara aku dan semesta hanyalah fana
Bila kesungguhan hati-Mu nyata, segala sesuatu jadi remeh
Segala yang di atas tanah hanyalah tanah.
103
al-Munawir
Dampaknya adalah hilang keindahan syi'ir kelima dari segi bentuknya sebagai puisi,
karena hilangnya irama dan rima akhir.
104
76
2. Pengkhianatan Isi
Kategori kedua ialah pengkhianatan unsur isi pada syi‟ir (puisi), dengan artian
kasus pengkhianatan unsur isi puisi yang disebabkan oleh pemilihan metode
penerjemahan, juga terkait strategi dalam menerjemahkan teks sumber.
Strategi dalam menerjemahkan kaitannya dengan pemilihan diksi dan lainnya.
Kaitannya dengan masalah terjemahan yang dapat merubah isi (maksud) dari
puisi sumber.
Kasus pertama peneliti temukan pada syi‟ir kelima, bait ketiga pada syaṭr
pertama, analisisnya sebagai berikut:
ُ ُ‫غضُاب‬
ُ ُ‫ام‬
ُ ًُ‫ال‬
ُ ُُّٔ‫ض‬
ُ ‫هُتُ ُش‬
ُ ‫ُُّلُُ٘ت‬#
ُ ُ‫اجُهُ ُشُٗ ُش ُج‬
ُ ُ٘‫الح‬
ُ ُّ ُُْ ‫حُل‬
ُ ُ‫هُت‬
ُ ‫فُلُُُ٘ت‬
ُ ُ‫يُخُ ُشاب‬
ُ ُُ٘‫يُالعُالُو‬
ُ ُُ٘‫ُّٖت‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّت‬#
ُ ُُ‫هُعُاهُش‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّٖت‬
ُ ٌُُ٘‫ُٕت‬
ُ ‫تُالَُّ ُز‬
ُ ُ٘‫ُُّل‬
ُ‫ابُُت ُشاب‬
ُ ُ‫التش‬
ُ ُ‫ق‬
ُ ُْ‫ُٕف‬
ُ ‫ُُّ ُولُُ ُالَّ ُز‬#ُ‫ي‬
ُ ُُُُُ٘‫هُالُ ُع ُز ُمُفُالىُل‬
ُ ٌُُ‫اُص َّحُُه‬
ُ ‫إُ ُر‬
Teks sumber
ُ‫ح ُهٌُُهُ ُالُعُزُمُ ُفُالىُلُ ُُُُ٘ي‬
َُّ ُ‫إُرُا ُص‬,
terutama pada teks yang
digarisbawahi oleh peneliti, yang menjadi kajian kasus pengkhianatan teks
unsur isi puisi.
Sebelumnya teks ُ‫ ُُُ٘ي‬juga terdapat pada syi‟ir pertama larik pertama yang
berbunyi,ُ‫ح ُهٌُُهُ ُالُعُزُمُ ُفُالىُلُ ُُُُ٘ي‬
َُّ ُ‫ ُإُرُا ُص‬. Sama-sama terdapat kata
diterjemahkan berbeda oleh penerjemah. Kata
diterjemahkan „remeh‟, sedangkan kata
ُ‫ُُُ٘ي‬
ُ‫ُُُ٘ي‬,
pada syi‟ir pertama
ُ‫ ُُُ٘ي‬pada syi‟ir kelima diterjemahkan
mudah.
77
Peneliti menganalisa arti kata
ُ‫ُُُ٘ي‬
dalam bahasa sasaran (Indonesia)
sebagai berikut; „mudah‟, „gampang‟, „rendah‟, „remeh‟.105 Belum selesai
mencari padanan teks atau kata untuk terjemahan
ُ‫ُُُ٘ي‬
sampai pada merujuk
kamus saja, tetapi kita perlu melihat konteks kalimat teks sumber (syi‟ir) jauh
lebih kedalam lagi dengan mempertimbangkan kajian historis (sejarah) syi‟ir
ditulis dan pengarang syi‟ir ini.
Bila dikaji secara historis syi‟ir ini ditulis/dikarang oleh seorang sufi
wanita yaitu Rābi‟ah al-Adawiyah. Rābi‟ah al-Adawiyah merupakan sufi
wanita yang sangat zuḥud artinya ia tidak lagi memperhatikan keidupan
duniawi, sehingga sepanjang masa hidupnya ia hanya melakukan ibadah, ia
curahkan seluruh kehidupannya kepada Allah swt. dengan metode atau cara
tasawwuf mahabbahnya ia berhasil makrifat (kasyaf) kepada Allah swt.106
Pertimbangan kedua adalah karena keterpautan kata „tanah‟ yang menjadi
terjemahan teks
ُ‫التُشُاب‬
yang memiliki konotasi yang sama dengan kata
'remeh'. Bila diteliti makna „remeh‟ dan „mudah‟ dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia sebagai berikut:
Kata
Makna/Arti Menurut KBBI
Remeh
Tidak penting, tidak berharga, atau kecil
Mudah
Gampang tidak sukar, tidak perlu mengeluarkan tenaga dan
pikiran dalam mengerjakannya
Gambar tabel 2.
105
106
Kamus al-Munawwir dan al-Munjid.
Lihat bab ke-3 pembahasan ajaran tasawwuf Rabi‟ah al-Adawiyyah
78
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dianalisa, peneliti lebih
memilih kata „remeh‟ untuk terjemahan kata atau teks sumber
ُ‫ُُُ٘ي‬
daripada
kata „mudah‟, karena kata „remeh‟ lebih dekat maksudnya untuk mewakili isi
atau pesan dari teks sumber ُ‫ُُُ٘ي‬.
Pada bait selanjutnya bait kedua peneliti juga menemukan kasus
pengkhianatan teks pada terjemahan
ُ‫عُاهُش‬
yang diterjemahkan „semerbak‟
oleh penerjemah puisi ini. Bisa dilihat dibawah ini bait kedua syaṭr pertama
dari syi‟ir ini:
ُ‫هُعُاهُش‬
ُ ٌُُ٘‫ُُّٖت‬
ُ ٌُُُ٘‫تُالَُّ ُزُٕت‬
ُ ُ٘‫ُُّل‬
Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak
Kata
ُ‫عاهش‬
mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Indonesia sebagai
berikut:
Kata/ Frasa
Makna Kamus/ Makna
Kata yang dipakai
Bahasa Sumber
terjemahan harfiyyah
penerjemah
ُ‫عُاهُش‬
Yang didiami, tempat yang
Semerbak
didiami, yang dipelihara.
Gambar tabel 2.1.
Dari uraian tabel di atas, hemat peneliti adalah ambil kata „terpelihara‟ saja
yang dekat dengan makna ُ‫ عُاهُش‬pada teks sumber, sehingga penerjemah tidak
mengkhianati isi teks sumber. Kalau tetap memakai kata „semerbak‟ hasil
terjemahan dari penerjemah puisi ini dapat mengkhianati isi/maksud dari
pengarang puisi ini.
79
Selanjutnya peneliti menemukan kasus pengkhianatan teks unsur isi puisi pada
syi‟ir kedua di bawah ini:
ُ ‫هُأُ ُُلُُلُ ُز‬
ُ ًَُُّ‫حةُُل‬
ُ ‫اوا‬
ُ ُّ#ُٓ
ُ
ُُِْ‫يُحُةُُال‬
ُ َُّ٘‫هُحُُث‬
ُ ‫حث‬
ُ ُ‫أ‬
ُ ‫اوا‬
ُ ُُْ‫يُص‬
ُ ُ‫نُعُ َّو‬
ُ ‫ُٖت ُز ُو ُش‬
ُ ‫ُفشُغُُل‬#ُٓ
ُ
ُِْ‫ال‬
ُ ُُ‫حة‬
ُ ُُُُْٕ
ُ ُ‫اُالَّز‬
ُ ‫فُأُ َُّه‬
ُ ‫اوا‬
ُ ‫ُٔأ ُس‬
ُ َّ‫ةُحُُت‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫ُٖالح‬
ُ
ُ‫شفُهُُل‬
ُ ُ‫ُفى‬#
ُ َُُ ُ‫تُأُ ُُلُُل‬
ُ ًُُ‫اُالَّزُُٕأ‬
ُ ‫ُُّأ َُّه‬
‫ان‬
ُ ‫ُر‬
ُ ‫َل‬
ُ ُّ‫ا‬
ُ ُ‫يُ ِّلُُالحُ ُو ُذُُفُٖر‬
َُّ ‫ُُّل ُى‬#ُٖ
ُ
ُ‫انُل‬
ُ ‫ُر‬
ُ ُ‫اَُّل‬
ُ ُ‫فُلُُالحُ ُو ُذُُفُُٖر‬
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri
Dan cinta sebab Engkau patut dicinta
Cinta karena diri adalah larut aku
Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu
Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta
Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu
Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Versi Peneliti
Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta
Cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta karena cinta
Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu
Sebab Engkau patut dicinta
Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu
Pujian tak layak bagiku, pada keduanya
Pujian hanya bagi Allah, pada keduanya
Gambar tabel 2.2.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Pada terjemahan kata yang digarisbawahi pada larik kedua bait ketiga dari
syi‟ir di atas, rinciannya sebagai berikut:
80
ُ ‫ةُحُُتَُّٔأساوا‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫ُٖالح‬
ُ
ُ‫شفُهُُل‬
ُ ُ‫فُى‬
Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu
Teks sumber atau frasa
‫أُسُاوُا‬
diterjemahkan „memandang-Mu‟ oleh
penerjemah puisi ini. Menurut peneliti frasa
‫أُسُاوُا‬
diterjemahkan secara
hafiyyah atau leksikal oleh penerjemah puisi ini. Tidak salah, tetapi maksud
atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang syi‟ir ini kurang
tersampaikan.
Bila dilihat dalam kamus frasa
‫ أُسُاوُا‬107memiliki akar kata ُٓ‫ سُأ‬memiliki
arti atau makna; „melihat‟, „memandang‟, „dapat dilihat‟, „menyangka‟,
ُٓ‫سُأ‬
„menduga‟, „bermimpi‟, dan „makrifat‟.108 Diantara arti kata
memilih kata „makrifat‟ untuk dijadikan padanan
ُٓ‫سُأ‬
peneliti
dalam bahasa
sasarannya (terjemahannya), dengan pertimbangan syi‟ir ini ditulis oleh
seorang sufi dan syi‟irnya juga membahas tentang tasawwuf.
Selanjutnya peneliti menemukan kasus pengkhianatan teks pada syi‟ir
keempat di bawah ini:
ُ ُ‫اسُُت ُذُٗع‬
ُ ُُ٘‫ُٕفُٖالم‬
ُ ‫اُل ُع ُو ُش‬
ُ ‫ُُ ُز‬#
ُ َُُ َّ‫حُث‬
ُ ُ‫ظ ُِ ُش‬
ُ ُ‫تُت‬
ُ ًُ‫َل ُُل َُُ ُُُّأ‬
ُ َّ ُ‫صُٔإ‬
ُ ‫تُ ُع‬
ُ‫طُ٘ع‬
ُ ُ‫حةُُه‬
ُ ُُٗ‫ي‬
ُ ‫ىُالوُحُةَُُّلُ ُو‬
َُّ ‫ُإ‬#
ُ َُُ ‫هُصُادُلُاُلُطُ ُعُت‬
ُ ُ‫اىُحُث‬
ُ ‫لُ ُُْ ُو‬
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
107
108
‫ ك= أراك‬+ ‫أرى‬
Kamus al-Munawwir dan al-Munjid
81
Kau bermaksiat kepada Tuhan, tapi tetap menyatakan cinta
Demi Tuhan, itu tidak dapat disandingkan
Jika cintamu tulus, niscaya kau patuh kepada-Nya
Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya
Versi Peneliti
Kau maksiat pada Tuhan tapi, tetap nyatakan cinta
Demi Tuhan! Ini kiasan yang mengherankan
Kalau cintamu tulus, niscaya kau patuh pada-Nya
Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya
Gambar tabel 2.3.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Perhatikan syi‟ir keempat di atas, peneliti menemukan kasus pengkhianatan
pada bait pertama syaṭr kedua pada teks sasaran, “Tidak dapat disandingkan”
yang menjadi padanan dari
ُ‫ فُُٖالمُُ٘اسُ ُتُذُُٗع‬dan kata ‫ ُُزُا‬diterjemahkan „itu‟
dalam bahasa sasaran. Perhatikan uraian dalam tabel di bawah ini:
Kata/ Frasa
Makna Kamus/ Makna
Kata yang dipakai
Bahasa Sumber
terjemahan harfiyyah
penerjemah
‫ُُزُا‬
Ini
-
ُٕ‫لُعُوُش‬
Demi Tuhan, Demi Jiwa
Demi Tuhan
ُ‫فُُٖالمُُ٘اسُُتُذُٗع‬
‫الم٘اس‬
= Ukuran,
perbandingan,
persamaan, kiasan.
‫ = تذٗع‬bandingan,
Itu tidak dapat
disandingkan
takjub, heran
Gambar tabel 2.4.
82
Dari uraian tabel di atas nampaknya, penerjemah menggunakan metode
penerjemahan bebas pada terjemahan
ُ‫ فُُٖالمُُ٘اسُ ُتُذُُٗع‬dengan
memunculkan
gagasan penerjemah sendiri yaitu „tidak dapat disandingkan‟. Menurut peneliti
gagasan dari penerjemah puisi ini tidak dapat mewakili atau menggantikan
maksud/isi dari teksُ‫ ُفُُٖالمُُ٘اسُ ُتُذُُٗع‬. Maksud pengarang puisi yang peneliti
tangkap adalah situasi yang mengherankan pengarang dari ungkapan
sebelumnya pada syaṭr pertama, dan juga teks/kata
ُ‫ تُذُُٗع‬yang menunjukkan
arti „keheranan‟ atau „aneh‟. Jadi terjemahan yang pas menurut peneliti seperti
ini, “Demi Tuhan! ini kiasan yang mengherankan,” dengan tetap
menerjemahkan teks ‫ ُُزُا‬dengan padanan „ini‟.
Peneliti mencoba menerjemahkan ulang syi‟ir di atas sebagai berikut:
Kau maksiat pada Tuhan tapi, tetap nyatakan cinta
Demi Tuhan! Ini kiasan yang mengherankan
Kalau cintamu tulus, niscaya kau patuh pada-Nya
Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya
Pada syi‟ir keenam di bawah ini juga peneliti temukan kasus pengkhiantan isi
sebagai berikut:
‫ُفُاسُحُنُُالُُْ٘مُُهُزًُُثُاُلُذُأُتُاوُا‬#ُ‫ُٗاُحُثُُ٘ةُُالمُلُةُُهُالُُٔصُُْاوُا‬
‫اوا‬
ُ ُُْ‫حةَُُّص‬
ُ ُُٗ‫ى‬
ُ ُ‫ةُأ‬
ُ ُ‫ُٔالمل‬
ُ ‫ُلذُُُأُت‬#ُٓ
ُ
‫صشُ ُّ ُس‬
ُ ُّٔ
ُ ‫احُت‬
ُ ‫ائُ ُّ ُس‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫اس‬
ُ ُٗ
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
83
Wahai kekasihku! Hanya Engkaulah yang kukasihi
Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau
Versi Peneliti
Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau
Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau
Gambar tabel 2.5.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Pada bait pertama peneliti menemukan kasus pengkhianatan isi pada
terjemahan teks ‫ فُاسُحُنُُالُُْ٘مُُهُزًُُثُاُلُذُأُتُاوُا‬pada syaṭr kedua.
ُ ‫اوا‬
ُ ‫اُل ُذُأُت‬
ُ ‫حنُُالُُْ٘ ُمُهُ ُزًُُث‬
ُ ُ‫فُاس‬
Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu
Kata „dosa‟ yang penelti garisbawahi merupakan pengkhianatan isi yang
dilakukan penerjemah terhadap teks sumber, sebab kata „dosa‟ bukan padanan
atau terjemahan teksُ ‫ ُهُزًُُثُا‬. Teks
‫هُزًُُثُا‬
benar memang memiliki arti atau
padanan „dosa‟, bila dikembalikan keasalnya atau keakar katanya yaitu ُ ُ‫رًُُة‬,
sedangkan kata
‫هُزًُُثُا‬
telah mengalami perubahan bentuk kata dan memiliki
arti sendiri yakni „orang yang berdosa‟. Juga kata
konatasi makna yang berbeda dengan
‫إُغُفُش‬
‫إُسُحُن‬
„rahmati‟ memiliki
„ampuni‟, „maafkan‟. Kata
„rahmati‟ atau „kasihilah‟ memiliki konotasi makna berbeda dengan „ampuni‟
atau „maafkan‟. Jadi menurut peneliti yang tepat untuk terjemahan teks
‫إُسُحُن‬
84
menurut unsur isi puisi ini ialah „rahmati‟ atau „kasihi‟ disesuaikan dengan
matra dan rima puisi.
Kata/ Frasa
Makna Kamus/ Makna
Kata yang dipakai
Bahasa Sumber
terjemahan harfiyyah
penerjemah
‫اسُحُنُُالُُْ٘مُُهُزًُُثُا‬
Kata ‫ اسحن‬berasal dari kata
Beri ampunlah dosa
‫ سحن‬yang memiliki arti
menyayangi, mengasihani,
merahmati.
Kata ‫ الْ٘م‬memiliki arti hari,
waktu, suatu hari.
Dan kata
‫ هزًثا‬isim fāil dari
masdar ‫ رًة‬yang memiliki
arti pendosa
Gambar tabel 2.6.
Berdasarkan uraian analisis diatas, peneliti menerjemahkan teks
‫الْ٘مُهزًثاُلذاتاوا‬
ُ‫فاسحن‬
sebagai berikut; “Kasihilah hari-hari pendosa yang datang
pada-Mu.” Selanjutnya agar rima akhirnya serasi pada tiap lariknya, larik
pertama bait pertama terjemahannya, diterjemahkan secara setia saja, “Wahai
kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau.” Terjemahan versi
peneliti secara keseluruhan sebagai berikut:
Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau
Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu
85
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau
3. Pengkhianatan Kreatif
Seperti yang dipaparkan Damono pada bab dua pembahasan teori, bahwa
menerjemahkan karya sastra berarti mengubah “mengurangi atau menambah”
apa yang ada pada aslinya. Setiap penerjemah karya sastra pada hakikatnya
mengkhianati yang diterjemahkannya sebab hanya dengan demikian ia bisa
menampung karya yang diterjemahkannya itu ke dalam bahasa sasaran,
pengkhianatan tersebut tidak selalu negatif, melainkan banyak juga yang
berdampak atau menghasilkan karya terjemahan yang positif. Pengkhianatan
teks terjemahan yang bernilai positif lah yang disebut dengan pengkhianatan
kreatif dari penerjemah, hal tersebut dipaparkan oleh Damono dan juga
Escarpit.
Peneliti ketika menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah
menemukan kasus pengkhianatan kreatif dalam terjemahan puisi tersebut.
Diantara kasusnya akan dipaparkan di bawah ini:
Syi‟ir pertama
ُ‫ُّولُالَّزُٕفْقُالتشابُُتشاب‬#ُُ‫إراُواىُهٌهُالْدُفالىلُُ٘ي‬
Bila cinta dari-Mu kuraih, semua menjadi remeh
Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah
Perhataikan terjemahan larik pertama pada kata „kuraih‟, dalam puisi teks
sumber tidak ada teks atau kata yang dapat dirujuk oleh kata „kuraih‟ dalam
teks sasarannya. Artinya tidak ada kata pada teks sumber yang pantas
86
dipadankan atau diterjemahkan dengan kata „kuraih‟ pada teks sasaran,
melainkan kreatifitas dari penerjemah puisi ini sendiri yang memunculkan
kata „kuraih‟ pada puisi terjemahannya (teks bahasa sasaran). Inilah yang
disebut pengkhianatan kreatif dalam penerjemahan sastra (puisi). Lihat
terjemahan perkatanya dalam uraian tabel di bawah ini.
Kata/ Frasa Bahasa
Makna Kamus/ Makna
Kata yang dipakai
Sumber
terjemahan harfiyyah
penerjemah
‫إرا‬
ُ Jika, bila, apabila
ُ Bila
ُ‫واى‬
Ada, terdapat, terjadi,
-
seyogyanya, dahulu,
adapun.
ُ‫هٌه‬
Dari-Mu
Dari-Mu
ُ‫الْد‬
Cinta, menyukai, sangat
Cinta
mencintai
ُ‫فالىل‬
Maka segala sesuatu
Semua
ُ‫ُ٘ي‬
Mudah, remeh
Remeh
Gambar Tabel 3.
Kemudian pada larik atau syaṭr kedua pada syi‟ir pertama:
ُ ُ‫ّولُالَّزُٕفْقُالتشابُتشاب‬
Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah
Kata „tak lebih‟ yang diberi garis bawah oleh peneliti juga termasuk kasus
pengkhianatan kreatif, sebab kata tersebut dimunculkan oleh penerjemah puisi
ini dari makna konteks struktur kalimatُ ُ‫ ُفْق ُالتشاب ُتشاب‬, yang menurut
87
peneliti cukup dimunculkan kata „hanya‟ tanpa „tak lebih‟ sudah dapat
mewakili isi/maksud dari larik kedua ini.
Selanjutnya pada syi‟ir ketiga peneliti menemukan kasus pengkhianatan
kreatif sebagai berikut:
ُ ٖ‫ص‬
ُ ُْ ‫جُل‬
ُ ُ‫اد‬
ُ ‫يُأُ ُس‬
ُ ‫ُٖه‬
ُ ُ‫ضو‬
ُ ُ‫تُج‬
ُ ‫ح‬
ُ ‫ُُّأُت‬#ُٖ
ُ
‫حذُُث‬
ُ ‫ادُ ُه‬
ُ ُ‫هُفُُٖالفُؤ‬
ُ ‫ُٖجعُُلُت‬
ُ ًُُ‫إ‬
ٖ‫ض‬
ُ ًُُ٘‫ادُُأ‬
ُ ُ‫ُٖفُٖالفُؤ‬
ُ ‫ةُلُلُُث‬
ُ ُ٘‫ُُّحُُث‬#ُُٖ‫شُهُ ُؤ ُاًض‬
ُ ُ٘‫جُل‬
ُ ‫ُٖلُل‬
ُ ٌُُ‫فُالجُضُنُُه‬
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati
Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
Di kalbuku kekasih hati menjadi teman
Versi Peneliti
Kujadikan Kau teman bicaraku di kalbu
Kupersilakan ragaku untuk teman dudukku
Ragaku menjadi penghibur teman duduk
Kekasih hatiku jadi teman setia di kalbu
Gambar tabel 3.1.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Teks yang diberi garis bawah oleh peneliti adalah kasus pengkhianatan kreatif
pada terjemahan syi‟ir ketiga. Bila dilihat berdasarkan teori metode
penerjemahan, menurut peneliti, penerjemah puisi ini menggunakan metode
penerjemahan semantis. Dapat diketahui penerjemah menggunakan metode
penerjemahan semantis dari teks-teks yang diberi garis bawah oleh peneliti.
88
Coba perhatikan tsa „teman bicaraku‟ yang menjadi padanan tsuُ ٖ‫ ُهحذث‬.
Teks ٖ‫ هحذث‬mempunya arti sendiri sebagai berikut; ٖ‫ هحذث‬terbentuk dari kata
ُ‫ هحذث‬+ ٕ (mutakallim). kata ُ‫ هحذث‬memiliki arti dalam kamus „orang yang
berbicara‟, „kejadian‟, „orang yang bercerita‟. Sedangkan
ٕ
(mutakallim)
memiliki arti „saya‟. Penerjemah puisi ini memilih padanan „teman
bicaraku‟untuk menerjemahkan teks sumber
ٖ‫هحذث‬
dalam tsa atau bsa,
menurut peneliti ini merupakan kreatifitas dari penerjemah puisi. Sama ketika
penerjemah puisi, menerjemahkan teks ٖ‫ هحذث‬dan teks ٖ‫للجل٘شُهؤاًض‬.
Menurut peneliti, penerjemah puisi ini telah mampu melepaskan diri dari
keterikatannya terhadap teks sumber, sehingga memunculkan tsa yang terbaca,
dapat dipahami, dan wajar dalam bahasa sasaran.
Selanjutnya pada syi‟ir keenam peneliti temukan kasus pengkhianatan kreatif
sebagai berikut:
‫اوا‬
ُ ‫اُل ُذُأُت‬
ُ ‫حنُُالُُْ٘ ُمُهُ ُزًُُث‬
ُ ‫اس‬
ُ ُ‫ُف‬#ُ‫اوا‬
ُ ُْ ُ‫ةُهُ ُالُٔص‬
ُ ُ‫ةُالمُل‬
ُ ُ٘‫اُحُث‬
ُ ُٗ
‫اوا‬
ُ ُُْ‫حةَُُّص‬
ُ ُُٗ‫ى‬
ُ ُ‫ةُأ‬
ُ ُ‫ُٔالمل‬
ُ ‫ُلذُُُأُت‬#ُٓ
ُ
‫صشُ ُّ ُس‬
ُ ُّٔ
ُ ‫احُت‬
ُ ‫ائُ ُّ ُس‬
ُ ‫ج‬
ُ ‫اس‬
ُ ُٗ
Terjemahan Puisi
Versi Penerjemah
Wahai kekasihku! Hanya Engkaulah yang kukasihi
Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau
Versi Peneliti
Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau
89
Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau
Gambar tabel 3.2.
Perbandingan terjemahan
Analisis:
Pada terjemahan teks ‫ هالُٔصْاوا‬yaitu „hanya Engkaulah yang kukasihi‟, bila
dilihat dari penerapan metode penerjemahan yang dipakai penerjemah puisi
ini adalah penerjemahan bebas. Bila diterjemahkan secara setia artinya akan
seperti ini „tiada selainmu‟. Kasus ini termasuk pengkhianatan kreatif.
Kreatifitas penerjemah puisi ini diaplikasikan pada penerjemahan teks
ُ ٔ‫هال‬
‫صْاوا‬.
Kemudian pada terjemahan
‫ٗا‬
(ya nida) yang memiliki arti dalam kamus
„wahai‟ atau „duhai‟, diterjemahkan „Engkaulah‟ oleh penerjemah puisi ini.
Menurut peneliti, kata „Engkaulah‟ muncul sebab kreatifitas atau pendapat
penerjemah
puisi
ini
yang
dimunculkan
atas
dasar
idiologi
atau
pandangan/pendapat puisi ini, hal ini dikenal dalam hermeneutik dengan
istilah konstruksi makna teori yang ditawarkan oleh Gadamer.
90
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian terjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah Yunan
Askaruzzaman adalah penerjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah terdapat
pengkhiantan teks. Pengkhiantan teks tersebut terdapat pada puisi kedua, ketiga,
keempat,kelima dan keenam.
macam pengkhianatan teks pada penerjemahan puisi Rabi‟ah al-Adawiyah
adalah terletak pada pengkhiantan bentuk da nisi puisi. Pada aspek pengkhianatan
bentuk puisi terdapat pada unsur fisik puisi seperti, irama, ritma dan irama puisi,
yang terdapat pada puisi kedua, ketiga dan keenam. Pada aspek pengkhianatan isi
terdapat pada puisi kedua, keempat, kelima dan keenam. Di samping itu
pengkhianatan teks tersebut juga menandakan adanya pengkhianatan kreatif yang
bernilai positif. Pengkhianatan kreatif pada penerjemahan puisi juga ditemukan
pada syi‟ir Rabī‟ah al-Adawiyyah, syi‟ir pertama, ketiga dan keenam.
Pengkhianatan
kreatif
pada
penerjemahan
puisi
Rabi‟ah
al-Adawiyyah,
menunjukan bahwa keberadaan pengkhianatan teks pada penerjemahan puisi tidak
selalu bernilai negatif.
B. Saran dan Rekomendasi
Maka dari itu saran penelitian ini adalah untuk menjadi penerjemah puisi,
penerjemah puisi, harus mempelajari ilmu tentang puisi dan teori-teori yang
berkaitan dengan puisi sebagai karya sastra, penerjemah puisi harus mempelajari
dan mengetahui strategi dalam menerjemahkan puisi, karena puisi merupakan
91
karya sastra yang unik, berbeda dengan karya sastra prosa, dan yang terakhir
penerjemah puisi harus mempelajari banyak teori atau metode penerjemahan yang
berkaitan dengan puisi atau ilmu bahasa lainnya yang berkaitan dengan puisi
sebagai karya sastra.
Penelitian ini disadari masih belum sempurna dan banyak kekurangannya,
maka dari itu penelitian ini merekomendasikan penelitian yang terkait
penerjemahan sastra yang ranahnya lebih luas dari sekedar penelitian
penerjemahan puisi. Penelitian ini juga merekomendasikan keberlanjutan
penelitian penerjemahan sastra yang berbentuk prosa (novel, cerpen dan lainnya)
atau puisi modern dan puisi bebas.
92
DAFTAR PUSTAKA
Al Farisi, M. Zaka. 2011. Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Al-Hafny, Abdul Mun‟im. 1992. Rābi'ah Al-Adawiyyah (Imāmah Al-'Asyiqīna
Wal Mahzūnīn). Kairo: Dār ar-Rasyād.
Asrori, Imam. 2004. Sintaksis Bahasa Arab. Malang: Misykat.
Buana, Cahya. 2008. Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama
Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding).
Jogjakarta: Mocopatbook.
Budianta, Melani, Dkk. 2003. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra
Untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Darmawan, Rahmat. 2011. “Analisis Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam
Terjemahan Syair Ta‟lim al-Muta‟alim.,” Skripsi S1 Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta.
Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh: Ida
Sundari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hakim, Taufiqul. 2004. Program Pemula Membaca Kitab Kuning Qoidati: Rumus
dan Qoidah. Jepara: Al-Falah Offset
93
Hakim, Taufiqul. 2004. Program Pemula Membaca Kitab Kuning Muhimmah:
Praktek Penerapan Rumus. Jepara: Al-Falah Offset.
Hariyanto, Sugeng. 2012. “Penghianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal
Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal”. Jurnal Linguistik Terapan.
Nomor 1. Volume 2. Politeknik Negeri Malang.
Hidayatullah, Moch. Syarif. 2010. Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan
Arab Indonesia. Tangerang: Dikara.
Hoed, Beni H. 2006. Penerjemahan Dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hoed, Beni H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu. https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi‟ah al Adawiyyah (Diakses
pada pukul 19:29, tanggal 28-10-2015).
Kamil, Sukron. 2012. Akhlak Tasawuf (Diktat Bahan Ajar). Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.
Kamil, Sukron. 2012. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dn Modern. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Flores: Nusa Indah.
Khamis, M. Atiyyah. 1994. Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyyah.
Diterjemahkan oleh: Aliudin Mahjuddin. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Machali, Rochaya. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo
Munawwir,
Ahmad
Warson. 1997.
Kamus
al-Munawir
Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
94
Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: CeQDA.
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Purba, Antilan. 2012. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press.
Syatibi, Ahmad. 2012. Pengantar Memahami Bahasa al-Qur‟an Balaghah I (Ilmu
Bayan). Jakarta: Adabia Press.
Syihabuddin. 2005. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung:
Humaniora.
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Umam, Khotibul. 1992. Al-Muyassir Fī „Ilmil „Arūḍ. Jakarta: PT. Hikmah
Syahida Indah.
Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Zaidan, Abdul R, dkk. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
95
Download