PUISI-PUISI RĀBI‟AH AL-„ADAWIYYAH: STUDI PENERJEMAHAN SASTRA SEBAGAI “PENGKHIANATAN” TEKS SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S) Oleh: Rizky Rachmat Hakim Nim : 1111024000004 Jurusan Tarjamah Fakultas Adab Dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/2016 M PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber data yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil karya jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta,15 Maret 2016 Rizky Rachmat Hakim ABSTRAK Rizky Rachmat Hakim. 1111024000004. “Puisi-puisi Rābi’ah al-Adawiyyah, Studi Penerjemahan Sastra Sebagai Pengkhianatan Teks.” Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016. Dalam penelitian ini, saya selaku peneliti menganalisa terjemahan puisipuisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah Cinta Allahdan Kerinduan Spiritual Manusia yang merupakan terjemahan dari buku sumber, Rābi’ah al- ‘Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- ilāḥī. Fokus pada penilitian ini adalah kasus pengkhianatan teks yang ada pada terjemahan puisi Rābi‟ah alAdawiyyah Untuk memecahkan masalah di atas, dalam penelitian ini, saya selaku peneliti menggunakan metode analisis kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan kata lain, penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, yaitu berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan angka-angka. Sumber data yang digunakan adalah terjemahan puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dan puisi dari bahasa sumbernya yang terdapat dalam buku sumber berjudul, Rābi’ah al- ‘Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- ilāḥī. Dalam buku sumber Rābi’ah al- ‘Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- ilāḥī ternyata peneliti temukan beberapa puisi yang dikarang oleh selain Rābi‟ah alAdawiyyah. Maka dari itu peneliti menyaring dan memilih puisi-puisi Rābi‟ah al- i Adawiyyah sesuai dengan judul bahasan penelitian kali ini yang jumlahnya ada enam (6) puisi. Setelah diteliti, peneliti menemukan beberapa kasus pengkhianatan teks dalam terjemahan puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah. Dari temuan hasil analisis tersebut terjawab bahwa, hilangnya ciri fisik atau bentuk pada puisi bahasa sasaran (terjemahan puisi sumber) yang semestinya ada dan menjadi ciri khas dari sebuah puisi. Dan ada beberapa terjemahan yang salah atau tidak tepat, sehingga isi/maksud puisi tidak sampai pada pembaca puisi. ii PRAKATA Segala puji bagi Allah swt, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan. Shalawat serta salam terlimpah pada junjungan kita Nabi Muhummad saw. juga atas segenap keluarga, sahabat dan semua pengikutnya hingga hari kemudian, semoga kita mendapatkan pertolongan melalui beliau atas izin Allah swt. di hari tiada pertolongan dari siapapun. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada bapak Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. yang sekaligus menjadi dosen pembimbing skripsi. Juga kepada seluruh staf akademik fakultas dan semua civitas academica Fakultas Adab dan Humaniora. Terima kasih pula peneliti ucapkan kepada ketua Jurusan Tarjamah Bapak Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum, beserta Sekretaris Jurusan Ibu Rizqi Handayani, MA. yang telah membantu dalam urusan administratif, sehingga dapat terselesaikannya skripsi dan perkuliahan di strata 1 ini. Terima kasih pula diucapkan untuk seluruh dosen pengajar di jurusan Tarjamah yang telah membagi ilmu dan membimbing peneliti sampai pada tahap ini. Terima kasih khusus diucapkan untuk dosen penguji skripsi, kepada Ibu Karlina Helmanita, M.Ag. dan Bapak Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag. Peneliti mengucapkan terima kasih yang terbesar khusus untuk kedua orang tua, ayah dan ibu yang selalu membimbing, menasehati, mengajarkan dan mengarahkan kejalan yang benar, serta selalu mendukung setiap kegiatan peneliti yang bernilai positif. Peneliti rasa tiada yang bisa dibalas atas kebaikan mereka iii berdua, selain berusaha dan berdoa kepada Allah swt, agar mereka selalu diberi keberkahan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Terima kasih pula peneliti ucapkan untuk seluruh teman-teman seperjuangan Jurusan Tarjamah angkatan 2011-2012, semoga silaturahmi kita tetap terjaga. Juga terima kasih kepada teman-teman Jurusan Tarjamah mulai dari angkatan 2012 hingga 2014 yang telah berpartisipasi dan mebantu peneliti saat diamanahkan menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tarjamah periode 2013 hingga pertengahan 2015. Semoga skripsi yang amat sederhana ini membawa manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan, terutama kajian tentang penerjemahan syi‟ir dan yang sejenisnya. Akhir kata peneliti ucapkan mohon maaf akan kekurangan skripsi yang ditulis dan terima kasih. Jakarta, 15 Maret 2016 Rizky Rachmat Hakim iv DAFTAR ISI ABSTRAK………………………………………………………………………...i PRAKATA……………………………………………………………………….iii DAFTAR ISI……………………………………………………………………...v PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………………….vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………….................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………….......5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………..........5 D. Tinjauan Pustaka…………………………………………….........6 E. Metode Penelitian………………………………………….............6 F. Sistematika Penulisan…………………………………..................8 BAB II TEORI SASTRA (PUISI) DAN PENERJEMAHAN A. Teori Puisi………………………………...……………………….11 1. Definisi Puisi...…………..........................................................12 2. Jenis Syi’ir (Puisi Arab)………………………………….......15 3. Unsur Pembangun Syi’ir (Puisi Arab)………………….......17 4. Puisi Indonesia………………………………………………..20 5. Unsur Pembangun Puisi Indonesia………………………….23 6. Macam-Macam Puisi Indonesia……………………………..26 7. Karakteristik Bahasa Puisi…………………………………..28 v B. Penerjemahan Sastra……………………………………............33 1. Definisi Penerjemahan…………………………………........33 2. Metode Penerjemahan Sastra (Puisi) ……………………...34 3. Pengkhianatan Kreatif Dalam Penerjemahan Sastra (Puisi)……………………………………………....................40 BAB III BIOGRAFI RĀBI’AH AL-ADAWIYYAH DAN PENERJEMAH A. Biografi Rābi’ah al-Adawiyyah………………………………...47 B. Biografi dan karya penerjemah Yunan Askaruzzaman…………………………………………………...57 BAB IV ANALISIS TERJEMAH PUISI RĀBI’AH AL-‘ADAWIYYAH, STUDI PENERJEMAHAN SASTRA SEBAGAI PENGKHIANATAN TEKS A. Deskripsi Teks Puisi……………………………………………...60 B. Analisis Puisi Rābi’ah al-Adawiyyah: Studi Penerjemahan Sastra (Puisi) Sebagai Pengkhianatan Teks………………………………………………………………..63 1. Pengkhianatan Bentuk…………………………………...63 2. Pengkhianatan Isi………………………………………...78 3. Pengkhianatan Kreatif…………………………………...87 BAB V PENUTUP…………………………………………………………….92 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….....94 vi Pedoman Transliterasi Arab-Latin 1. Pengertian Transliterasi Transliterasi dimaksudkan sebagaia pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf Latin beserta perangkatnya. 2. Pembakuan Pembakuan pedoman Transliterasi Arab-Latin ini disusun dengan prinsip sebagai berikut: a. Sejalan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). b. Huruf Arab yang belum ada padanannya dalam huruf Latin dicarikan padanan dengan cara memberi tambahan tanda diakritik, dengan dasar “satu fonem satu lambang.” c. Pedoman transliterasi ini diperuntukan bagi masyarakat umum. 3. Rumusan Pedoman Transliterasi Arab-Latin Hal-hal yang dirumuskan secara kongkrit dalam pedoman transliterasi Arab-Latin ini meliputi: a. Konsonan b. Vokal c. Maddah d. Ta Marbuthah e. Syaddah (Tasydid) f. Kata Sandang vii g. Hamzah h. Penulisan Kata i. Huruf Kapital j. Tajwid A. Pedoman Transliterasi Arab-Latin 1. Konsonan Fonem Konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian dilambangkan dengan dengan tanda, dan sebagiannya lagi dilambangkan dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab itu dan Transliterasinya dengan huruf Latin. Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama ا alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan ب ba b Be ت ta t Te ث ṡa ṡ es (dengan titik di atas) ج jim j Je ح ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah) خ kh kh ka dan ha د dal d De ذ żal ż zet (dengan titik di atas) viii ر ra r Er ز zai z Zet س sin s Es ش syin sy es dan ye ص ṣad ṣ es (dengan titik di bawah) ض ḍad ḍ de (dengan titik di bawah) ط ṭa ṭ te (dengan titik di bawah) ظ ẓai ẓ zet (dengan titik di bawah) ع „ain ...‟... koma terbalik di atas غ gain g Ge ف fa f Ef ق qaf q Ki ك kaf k Ka ل lam l El م mim n Em ن nun m En و wau w We ه ha h Ha ء hamzah ...‟... apostrof ix ي ya y Ye 2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. 1. Vokal Tunggal Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Tanda و Nama Huruf Latin Nama Fataḥah a a Kasrah i i ḍammah u u Contoh: ََب َ – َكخKataba َُ – ََرهَبyazhabu َ – فَ َع َمfa‟ala َ – ُسئِ َمsu‟ila َ ُذ ِك َس- ẓukira 2. Vokal Rangkap Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu: Tanda dan Nama Gabungan Huruf Nama x Huruf ‘ََي.... Fatḥah dan ya ai a dan i ‘ََو... Fatḥah dan wau au a dan u Contoh: ََ – َكُفkaifa َهَى َل- haula 3. Maddah Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu : Harkat dan Nama huruf َي....ََا.... Huruf dan tanda Nama ā a dan garis di atas Fatḥah dan alif atau ya ي.... Kasrah dan ya ī i dan garis di atas ُو.... ḍammah dan wau ū u dan garis di atas Contoh: َ – قبَ َلqāla َ قُِ َم- qīla ً – َز َمramā َىل َ ُ – ََقyaqūlu 4. Ta marbuṭah Transliterasinya untuk ta marbuṭah ada dua. a. Ta marbuṭah hidup Ta marbuṭah yang hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah dan ḍammah, transliterasinya adalah /t/. b. Ta marbuṭah mati Ta marbuṭah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah /h/. xi c. Kalau ada suatu kata yang akhir katanya ta marbuṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbuṭah itu di transliterasikan dengan ha (h). Contoh: ضتَُاالَطفَبل َ َزو- rauḍah al-aṭfāl - rauḍatul aṭfāl ان َم ِدَىَتَُان ُمىَ َّى َزة- al- Madīnah al- Munawwarah - al- Madīnatul- Munawwarah طَه َحت- ṭalḥah 5. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, tanda syaddah atau tanda tasydid. Dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Contoh : – َزبَّىَبrabbanā َ – وَ َّص َلnazzala َ – اَنبِسal- birr َ – اَن َح ّجal- ḥajju َ – وُ ِع َمnu‟ima 6. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan huruf, yaitu: ال. Namun, dalam transliterasinya kata sandang itu dibedakan antara kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah dengan kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariah. 1. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah xii Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. 2. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah Kata sandang yang diikuti oleh huruf qomariyah ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf qomariyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sambung /hubung. Contoh: َُ – ان َس ُجar-rajulu م – ان َسُِّدَةas-sayyidatu َُ – ان َّشمشasy-syamsu َ – انقَهَ ُمal-qalamu – انبَ ِدَ َُعal-badi‟u َُ – ان َج ََلal-jalālu ل 7. Hamzah Dinyatakan di depan Daftar Transliterasi Arab-Latin bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh : 1. Hamzah di awal ُ – أ ِمumirtu َسث َ – اَ َك َمakala 2. Hamzah di tengah ََ – حَأ ُخ ُرونta‟khużūna ََ – حَأ ُكهُىنta‟kulūna 3. Hamzah di akhir َ – شٍَءsyai‟un َ – انىَّى ُءan-nau‟u xiii 8. Penulisan Kata َّاشقُِه ِ َوإِ َّنَهللاَنَهُ َىَ َخُسَُانس - Wa innallāha lahuwa khair arrāziqīn - Wa innallāha lahuwa khairurrāziqīn َََوَان ِمُ َصان َ فَأَوفَ َان َك َ ُم - Fa aufu al-kaila wa al-mizāna - Fa auful-kaila wal-mizāna َجسىهَبَ َوَ ُمس َسهََب َ سمَهللاَِ َم ِ ِب - Bismillāhi majrēha wa mursāhā 9. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam tranliterasi ini huruf tersebut digunakan juga. Penggunaan huruf kapital seperti apa yang berlaku dalam EYD, di antaranya huruf kapital digunakan untuk menuliskan huruf awal, nama diri, dan psrmulaan kalimat. Bila mana diri itu didahului oleh kata sandangnya. Contoh: ل َ سى َُ َو َمبَ َم َح َّمدَاالََّان َّس - Wa mā Muhammadun illā ar-rasūl ُ َزمضبنَانرٌَأوصلَفُهَانقسان َشهس - Syahru Ramadāna al-laẓi unzila fihi al- Qur’ānu. َّ َجَوضعَنهىبضَنهرٌَببكت ٍ ُإنَأولَب مببزكب - Inna awwala baitin wudi‟a linnāsi lallazī bi Bakkata mubārakan Penggunaan huruh awal kapital untuk Allah hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan xiv kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan. Contoh : وَصسَ ِمهَ َهللاَِ َوفَخحَقَ ِسَب - Naṣrum minallāhi wa fatḥun qarīb. َُج ِمُعب َ ِلِلَِاالَمس - Lillāhi al-amru jamī‟an - Lillāhi amru jamī‟an َوهللاَُ ِب ُكمِّ َ َشٍ ٍءَ َع ِهُمب - Wallāhu bikulli syai‟in „alīmun 10. Tajwid Bagi mereka yang menginginkan kefasihan dalam bacaan, pedoman transliterasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dengan ilmu Tajwid. Karena itu peresmian pedoman transliterasi ini perlu disertai dengan pedoman tajwid.1 1 Salinan dari Pedoman Transliterasi Arab Latin Departemen Agama RI, 2003, Jakarta. xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puisi merupakan salah satu dari karya sastra selain novel yang berbentuk prosa, seperti dalam kamus istilah sastra dikatakan bahwa umumnya sastra berupa teks rekaan baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan kedalam jiwa.1 Penjelasan lainnya tentang puisi diungkapkan oleh Situmorang dalam Purba, “Puisi berasal dari bahasa Yunani yang dalam bahasa latin disebut poietes (poeta). Mula-mula artinya pembangunan, pembentukan atau pembuat. Asal katanya poieo atau poio atau poeo yang artinya „membangun‟, „menyebabkan‟, „menimbulkan‟ atau „ menyair‟. Arti yang mula-mula itu lama-kelamaan semakin dipersempit menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan.2 Sedangkan menurut Panuti Sudjiman menguraikan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terkait oleh irama, matra dan rima serta penyusunan larik dan bait.3 Dari pengertian yang dipaparkan oleh para ahli tadi, kita dapat mengetahui bahwa, puisi adalah bagian dari karya sastra yang mempunyai ciri khas. Ciri khas dari puisi itu bahasanya disusun menurut irama, matra, dan rima, sehingga membentuk sajak, larik dan bait-bait. Pengunaan bahasanya memakai 1 Abdul Rozak Zaidan, Anita K Puspita dan Haniah, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 181. 2 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 20. 3 Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 64. 1 beberapa gaya bahasa dan kiasan yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Ciri khas puisi yang telah diungkapkan di atas sudah umum banyak diketahui orang dan lama-kelamaan nampaknya ciri khas puisi tersebut membentuk sebuah aturan yang baku dalam membuat puisi. Maka ketika seseorang membuat atau menulis puisi tanpa adanya ciri khas tersebut maka pembacanya tidak akan menganggap itu sebuah karya puisi. Aturan itulah disebut konvensi, yakni suatu kesepakatan yang sudah diterima orang banyak atau masyarakat pada umumnya yang menjadi sebuah tradisi secara terus-menerus dari waktu ke waktu.4 Puisi juga mempunyai unsur yang lainnya yaitu puisi harus mempunyai nila yang membangkitkan atau menggugah pembacanya. Seperti arti puisi yang dipaparkan di atas yaitu puisi memiliki arti membangun, menimbulkan, dan menyebabkan. Hal serupa dipaparkan juga oleh Horatius, “Puisi itu harus indah dan menghibur serta disaat yang bersamaan puisi juga harus berguna dan mengajarkan sesuatu.”5 Maka tak heran puisi memiliki pengagumnya sendiri dari berbagai kalangan masyarakat. Permasalahannya adalah puisi yang ditulis bukan berbahasa sumber atau bahasa ibu dari kalangan pembacanya. Hal ini disebabkan dari perkembangan kegiatan penerjemahan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dan juga penerbitan-penerbitan buku di berbagai negara. Misalkan satu penerbitan di 4 Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 15. 5 Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 39-40. 2 Indonesia mengambil beberapa buku yang berasal dari negara lain yang berbahasa asing, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan serta diedarkan ke masyarakat umum. Bagi masyarakat yang mempunyai buku aslinya dan mengerti bahasa buku aslinya (buku sumbernya) itu tidak menjadi masalah, ketika ada kesalahan penerjemahan ia langsung bisa mengoreksinya. Namun, menjadi masalah bagi masyarakat umum yang tidak mengetahui buku aslinya atau tidak menguasai bahasa pada buku aslinya ketika ada masalah penerjemahan ia akan terima saja karena ketidaktahuannya. Contoh kasus pada puisi karya Charil Anwar yang berjudul Huesca siapa yang tahu puisi tersebut merupakan puisi terjemahan dari puisi yang berjudul Poem Mungkin yang mengetahuinya hanyalah orang-orang yang memahami dan memiliki naskah asli dari puisi tersebut. Maksudnya memahami adalah orang yang memahami seluk beluk gramatika bahasa sumber dan bahasa sasarannya.6 Tentunya setiap penerjemahan memiliki masalah karena perbedaan antara bahasa sumber (bahasa asing) dan bahasa sasaran (bahasa ibu) selalu membayangi proses penerjemahan, disebabkan tidak ada dua bahasa yang sama. Setiap bahasa pasti memiliki sistem dan strukturnya sendiri yang khas untuk diri bahasa tersebut. Dan belum lagi budaya yang berbeda yang melekat pada bahasa itu sendiri. Jadi tidak ada terjemahan yang sempurna. Dan tidak ada terjemahan yang tidak memiliki masalah.7 6 Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2, Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 3-5. 7 Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 14,26 dan 40. 3 Lebih parah lagi ketika menerjemahkan karya sastra. Penerjemah akan banyak menemukan masalah atau problema ketika menerjemahkan karya sastra. Gifford dalam Hariyanto, berpendapat bahwa terjemahan sastra diumpamakan sebagai reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak yang berwarna. Lebih jauh, karya terjemahan menurutnya tidak akan dapat menandingi kehalusan dan kelengkapan imajinasi penulis bahasa sumber atau penulis aslinya. Setiap upaya penerjemahan adalah sebuah upaya pemiskinan, dan taraf pemiskinan ini pada taraf yang tertinggi pada penerjemahan puisi. Sedangkan orang-orang Prancis berpendapat bahwa terjemahan karya sastra dianggap trahison creatice yang artinya ia menganggap bahwa penerjemahan karya sastra (puisi) itu dianggap pengkhianatan yang kreatif.8 Mengapa penerjemahan karya sastra khususnya puisi banyak menimbulkan polemik. Sebabnya adalah karena puisi merupakan karya sastra yang unik, pemakaian bahasanyapun sangat unik, tidak memakai bahasa pada umumnya seperti yang telah dipaparkan di atas tadi. Maka penerjemahan karya sastra (puisi) menuai beberapa problema diantaranya problema pengkhianatan pada teks yang telah disinggung di atas tadi. Maka dari itu peneliti mengambil fokus penerjemahan karya sastra sebagai pengkhianatan teks, kemudian peneliti mengambil puisi-puisi Rābi‟ah al- Adawiyyah dalam buku Rabī‟ah al„Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yunan Askaruzzaman sebagai objek penelitiannya. Maka dari situ 8 Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2, Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2. 4 peneliti membuat judul Puisi-Puisi Rābi‟ah al-„Adawiyyah: Studi Penerjemahan Sastra (Puisi) Sebagai “Pengkhianatan” Teks. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah peneliti paparkan di atas, maka peneliti memilih puisi karangan Rabī‟ah al-‟Adawiyyah sebagai objek kajian penelitian. Peneliti menemukan kasus penerjemahan puisi sebagai pengkhianatan atas teks bahasa sumber (bsu) dalam terjemahan puisi Rabī‟ah al‟Adawiyyah yang diterjemahkan oleh Yunan Azkaruzzaman dalam buku yang berjudul; Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī, bahan yang digunakan peneliti sebagai sampel adalah semua puisi-puisi Rabī‟ah yang ada di dalam buku Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī dalam bahasa sumber (bahasa Arab) dan bahasa sasaran (bahasa Indonesia) hasil terjemahannya. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah dengan pertanyaan: 1. Apakah dalam penerjemahan puisi Rabī‟ah al-Adawiyyah terdapat pengkhianatan teks? 2. Bagaimana bentuk pengkhianatan teks dalam puisi Rabī‟ah alAdawiyyah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tentang pengkhianatan teks dan jenisnya dalam penerjemahan puisi 5 2. Mengetahui tips untuk menghindari pengkhianatan teks yang dapat merusak atau mengubah maksud atau isi teks sumber atau kesalahan menerjemah dalam menerjemahkan puisi Arab Indonesia D. Tinjauan Pustaka Setelah peneliti meninjau buku-buku (kepustakaan), penelitian yang berkaitan dengan judul semacam ini umumnya sudah diteliti. Diantaranya: 1. Rahmat Darmawan Angkatan 2007, ia menganalisis diksi dan konstruksi kalimat dalam terjemahan syair kitab Ta‟lim al-Muta‟allim 2. Sugeng Harianto dalam Jurnal Linguistik Terapan Politeknik Negeri Malang 2012, penelitiannya ia beri judul, “Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal.” Ia menganalisis berbagai hasil terjemahan puisi. Salah satunya puisi Chairil Anwar yang merupakan hasil terjemahan dari bahasa Inggris. Perbedaan penelitian yang sudah dilakukan oleh kedua peneliti di atas dengan peneliti, terdapat pada objek kajian, fokus masalah atau korpus kajian yang diteliti pada penelitian kali ini. E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9 Dengan kata lain, penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang terkait dengan 9 Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta, Arruz Media, 2011), h. 30. 6 masalah yang akan diteliti, yaitu berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan angka-angka.10 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan oleh peneliti sebagai bahan utama dalam penelitian skripsi ini adalah puisi Rabī‟ah al-Adawiyah yang terdapat pada buku Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī yang ditulis oleh Dr. Ma`mun Gharîb. Buku tersebut diterjemahkan secara keseluruhan oleh penerjemah Yunan Azkaruzzaman yang diterbitkan oleh penerbit Zaman pada tahun 2012 M. 3. Teknik Pengumpulan Proses pengumpulan data dilakukan dengan berbagai macam cara diantaranya mengumpulkan data-data dari data primer yang berasal dari sumber data yakni puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dalam bahasa sumber pada buku Rābi‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī. Peneliti membaca dan memilih puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah dalam bahasa sumber dan terjemahannya. Kemudian didukug dengan data sekunder yakni mewawancari penerjemah. 4. Analisis Data Analisis dilakukan dengan cara menganalisis puisi-puisi Rābi‟ah alAdawiyyah dalam bahasa sumber dan terjemahannya. Pada proses analisi data ini, peneliti menggunakan teori puisi yang diterapkan pada bahasa sumber dan bahasa sasaran untuk mengetahui atau mengindikasi ada tidaknya kasus pengkhianatan teks dalam terjemahan puisi tersebut. Peneliti juga menggunakan teori 10 Mahsun, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Grafindo, 2013), h. 79. 7 penerjemahan untuk mengetahui metode penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah. F. Sistematika Penulisan Pada penulisan skripsi ini, peneliti menyajikannya dalam lima bab, guna untuk mendapatkan hasil yang komprehensif dalam pembahasannya, dan peneliti mengikuti panduan sistematika penulisan skripsi yang distandarkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam buku Pedoman dan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) terbitan CeQDA. Berikut adalah sistematika penulisan yang peneliti paparkan: Bab I Pendahuluan. Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Teori Sastra (Puisi) dan Teori Penerjemahan. Bab ini menjelaskan tentang teori sastra terutama puisi dan penerjemahan karya sastra berupa puisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Bab III Gambaran Umum. Bab ini membahas tentang biografi, serta karyakarya penulis puisi dan penerjemah. Bab ini merupakan pendalaman untuk mengenal penulis puisi dan penerjemah. Bab IV Analisis. Bab ini membahas proses dan hasil analisis terjemahan puisi Rabī‟ah al- „Adawiyyah yang diambil dari kitab aslinya berjudul; Rabī‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī. Bab ini merupakan puncak dari bab-bab sebelumnya. 8 Bab V Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan dari semua pembahasan yang telah peneliti deskripsikan, serta sedikit saran yang akan peneliti sampaikan sebagai informasi tambahan untuk penerjemah dan mahasiswa tarjamah. 9 BAB II TEORI SASTRA (PUISI) DAN PENERJEMAHAN Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain. Sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang jelas atas pertanyaan pertama dan paling hakiki, yang mau tak mau harus diajukan oleh ilmu sastra: apakah sastra itu? Para ahli telah melakukan banyak penelitian untuk menemukan jawaban hakiki dari sastra itu sendiri. Akan tetapi, tetap juga belum berhasil ditemukan. Berbagai pendekatan sudah dilakukan, hasilnya tetap tidak bisa memberi batasan. Batasan manapun juga yang pernah diberikan oleh para ahli ternyata diserang, ditentang, diasingkan, atau terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu.11 Dalam beberapa bahasa, kata sastra dikatakan sebagai literature (Inggris), literature (Jerman), literature (Francis). Semua kata itu berasal dari bahasa Yunani yaitu litteratura. Artinya „huruf‟ atau „tulisan.‟ Awalnya kata itu digunakan untuk tata bahasa dan puisi. Sebagai bahan perbandingan, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta.12 Akar katanya sās- yang mempunyai arti petunjuk, mengarahkan, mengajar. Akhiran –tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Oleh karena itu, sastra dapat diartikan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Sedangkan kata 11 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h.21 12 KBBI edisi 2008, h. 1265. 10 susastra adalah kata ciptaan Jawa dan Melayu. Kata itu mengandung arti pustaka, buku atau naskah.13 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sastra dituliskan sebagai (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan; (4) kl pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb; (5) kl tulisan; huruf.14 Salah satu bagian dari sastra adalah puisi. Hal ini dikemukakkan oleh Abdul Rozak Z, Anita K Puspita dan Haniah dalam bukunya yaitu Kamus Istilah Sastra, umumnya sastra berupa teks rekaan baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan kedalaman jiwa.15 Banyak pengertian puisi yang telah dipaparkan oleh para pakar sastra. Pengertian yang dibuat mereka itu biasanya berhubungan dengan etimologi puisi, struktur fisik puisi, struktur batin puisi. Struktur fisik puisi, dan struktur batin puisi yang disebutkan di atas, semuanya adalah ciri atau karakteristik dari sebuah puisi sebagai karya sastra. Pada bab ini nantinya akan dibahas mengenai puisi, mulai dari pengertian atau definisi hingga karakteristik atau ciri khas puisi. A. Teori Puisi Kehidupan sehari-hari kaya dengan berbagai ekspresi puitis yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi. Seperti sebuah lirik lagu 13 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 2. KBBI edisi 2008, h. 1272. 15 Abdul Rozak Zaidan, Anita K Puspita dan Haniah, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 181 14 11 “Kupu-kupu Kertas” karya Ebiet G. Ade, misalnya, memuat larik-larik yang mengatakan: Setiap waktu engkau tersenyum| sudut matamu memancarkan rasa| keresahan yang terbenam| kerinduan yang tertahan duka dalam| yang tersembunyi jauh di lubuk kata-katamu| riuh mengalir bagai gerimis. Ada bermacam-macam unsur puitis yang membuat lirik lagu ini terdengar seperti sebuah syair, dan suasana yang dibangunnya pun kental dengan kepuitisan. Ekspresi puitis lazim terdapat pula pada medium-medium verbal lainnya, misalnya surat cinta. Ingat pernyataan “cinta ditolak dukun bertindak,” mengandalkan pada kesebangunan jumlah suku kata dan rima akhir. Atau ungkapan gombal “cintaku padamu sedalam lautan setinggi gunung,” yang menggunakan perbandingan langsung antara cinta dan lautan serta gunung.16 Lalu bagaimanakah pengertian dari puisi itu sendiri? 1. Definisi Puisi Puisi berasal dari kata poet bahasa Yunani yang memiliki arti „membuat‟ atau „menciptakan‟. Di Inggris kata poet disebut maker. Dalam bahasa Yunani poet berarti „orang yang menciptakan melalui imajinasinya,‟ orang yang hampir menyerupai dewa-dewa atau orang yang amat suka kepada dewadewa.17 Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra menguraikan bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra dan rima serta penyusunannya larik dan bait.18 16 Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 13-15. 17 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 10. 18 Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 64. 12 Sedangkan Abdul Rozak Zaidah, dkk, dalam Kamus Istilah Sastra-nya, mengatakan bahwa puisi itu; (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh rima dan tatapuitika yang lain; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak.19 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi adalah (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membagkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; (3) sajak.20 Sedangkan dalam khasanah sastra Arab, puisi atau syi‟ir dalam bahasa Arab memliki beberapa definisi sebagai berikut: a. Menurut Khatibul Umam syi‟ir ialah kalimat berbahasa Arab yang disusun dengan wazan Arab.21 b. Menurut Ali Badri, syi‟ir adalah kalam yang dibuat secara sengaja dengan menggunakan pola tertentu berdasarkan pada wazan Arab.22 Setelah mengalami perkembangan definisi tersebut ditambahkan dengan aspek lainnya yang turut mempengaruhi puisi atau syi‟ir tersebut, seperti: 19 Abdul Rozak Zaidan, Anita K Puspita dan Haniah, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 159. 20 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 1112. 21 Khatibul Umam, al-Muyasir fī „ilmi al-„Arūḍ, (Jakarta: PT. Hikmah Syahid Indah, 1992), h.8. 22 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 53. 13 Definisi syi‟ir menurut Ahmad Asy-Syāyib, syi‟ir atau puisi Arab adalah ucapan atau tulisan yang memiliki wazan atau baḥr (mengikuti prosodi atau ritme gaya lama) dan qāfiyah (rima akhir atau kesesuaiaan akhir baris/saṭr) serta unsur ekspresi rasa dan imajinasi yang harus lebih dominan dibanding prosa. Definisi puisi Arab yang lain dikemukakan juga oleh Muhammad alKuttānā dengan mengutip pendapat Al-„Aqqād, yaitu ekspresi bahasa yang indah lahir dari gejolak jiwa yang benar. Walaupun definisi ini telah mengakomodasi puisi bebas, definisi ini terlalu luas, yang dimungkinkan prosa sastra tertentu seperti karya Jībran Khalīl Jibrān (Khalil Gibran) masuk kategori puisi. Karena itu, sangat baik, jika ditambah dengan penjelasan „yang enjambemen‟ (sambung menyambungnya baris atau larik) disusun sesuai dengan konvensi puisi, baik puisi tradisional maupun bebas.23 Dari berbagai definisi puisi di atas, baik definisi puisi secara umum maupun definisi secara spesifikasi untuk syi‟ir (puisi Arab), diketahui bahwa kebanyakan dari definisi yang telah dipaparkan membahas unsur-unsur pembangun puisi dari segi bentuk dan isi, sehingga puisi itu menjadi sebuah karya sastra. Namun, perlu diketahui juga bahwa puisi Indonesia dan syi‟ir (puisi Arab) mempunyai berbagai jenisnya. 23 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 10 dan 11. 14 2. Jenis Syi‟ir (Puisi Arab) Syi‟ir dari unsur bentuk terbagi menjadi beberapa bagian jenis atau macamnya diantaranya, puisi tradisional, puisi mursal, puisi muwasysyaḥāt, dan puisi bebas (ḥurr).24 a. Puisi Tradisional Arab (Syi‟ir Lāzim) Puisi tradisional dalam literatur Arab sering disebut dengan puisi klasik (qadīm), atau sering juga disebut puisi lāzim/multazim (biasa/konvesional, atau terikat aturan lama). Puisi ini adalah puisi Arab yang terikat prosodi/matra gaya lama atau arūḍ (wazan/baḥr) dan qāfiyah, yang secara enjambemen (susunan baris)-nya umumnya dalam bentuk qasīdah (dua baris sejajar). „Arūḍ adalah ilmu yang membahas benar tidaknya baḥr (wazan) dan perubahan (varian)-nya yang dipakai dalam suatu syi‟ir. Sedangkan baḥr adalah prosodi atau ritma/matra gaya lama yang jumlahnya banyak. Sedangkan qāfiyah adalah kesesuaian akhir baris dalam setiap bait syi‟ir (puisi).25 b. Puisi Bebas Arab (Syi‟ir Ḥurr) „Asy-syi‟r al-ḥurr (puisi bebas) adalah puisi yang tidak terikat prosodi/matra gaya lama atau arūd (wazan/baḥr) dan qāfiyah, yang secara bentuk terkadang mendekati gaya prosa sastra dan susunan barisnya tidak dalam bentuk qasīdah (dua baris sejajar), tetapi tersusun ke bawah. 24 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 12 25 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h.13. 15 Seperti yang telah dipaparkan di atas tadi, bahwa puisi bebas ini tidak terikat oleh arūd dan qāfiyah melainkan mendekati prosa, maka dalam sastra Arab, as-syi‟r al-ḥurr acapkali disebut juga dengan sebutan al-qasīdah annasariyyah (sajak keprosa-prosaan), as-syi‟r al-mansūr (puisi yang diprosakan) dan an-nasar as-syi‟ri (prosa liris).26 Secara umum puisi bebas (as-syi‟r al-ḥurr) ini terbagi menjadi tiga: 1. Puisi yang menggunakan satu baḥr tertentu dalam satu baris (saṭr)-nya sementara dalam baris (saṭr) berikutnya menggunakan baḥr lain. Maksud dari bagian pertama ini adalah as-syi‟r al-ḥurr (puisi bebas) tidaklah bebas secara keseluruhan dari „arūd. Puisi bebas dalam pengertian ini adalah puisi adalah puisi Arab yang tidak lagi terikat qāfiyah dan tidak terikat hanya oleh satu baḥr dalam satu puisi yang dibuat. 2. Puisi yang menggunakan satu taf‟ilah (kaki sajak), berdasarkan jenis baḥr tertentu yang memiliki hanya satu taf‟ilah, yaitu baḥr kāmil, ramal, hazaj, rajaz, mutaqārib, khafīf, dan wāfir. As-syi‟r al-ḥurr (puisi bebas) model ketiga ini persis sama dengan puisi modern Indonesia. Puisi yang terbebas dari ikatan qāfiyah, satu baḥr dan taf‟ilah dalam setiap baitnya. Menurut Khalil Jibrân, hal yang terpenting dalam puisi ini adalah mampu untuk menggugah rasa. c. Puisi (Syi‟ir) Mursal dan Muwasysyaḥāt As-syi‟ir al-mursal (puisi lepas) muncul dibawakan oleh Abū al-Athāhiyah ini pada awal periode Abbasiyah. Dalam as-syi‟ir al-mursal, antara qāfiyah 26 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 16-19. 16 yang satu dalam satu baris atau saṭr dengan yang lainnya dalam baris berikutnya berbeda. Adapun puisi muwasysyaḥāt ialah puisi yang menggabungkan model qaṣīdah (baris pertama dan kedua disimpan sejajar) dan terkadang modelnya mirip rubā‟iyyah (puisi empat baris yang antar barisnya tidak sejajar) tetapi dengan tiga baris tersusun ke bawah pada bagian selanjutnya. Jenis puisi ini dibuat biasanya untuk dinyanyikan, antara bait bagian awal dengan bagian berikutnya berbeda baḥr (wazan), dikembangkan dari baḥr rajaz. Ada beberapa penyebab yang mengakibatkan lahirnya jenis puisi bebas Arab. Paling tidak ada dua hal yang melatari kemunculannya; pertama, kecendrungan romantis dan realis puisi Arab modern yang mendorong agar puisi yang dicipta lebih berbobot, karena menyahuti lirik individual dan sosial, dan juga mengandung gagasan filosofis dan simbolik; kedua, kecendrungan para penyair modern Arab untuk memegang teguh prinsip kebebasan berkarya bagi penyair.27 3. Unsur Pembangun Syi‟ir (Puisi Arab) Unsur-unsur pembangun syi‟ir baik dari segi bentuk da nisi menjadikan ciri khas tersendiri bagi syi‟ir Arab.28 Unsur-unsur pembangun inilah yang membedakn jenis-jenis syi‟ir Arab yang sebagaimana telah dipaparkan pada pembahasan di atas, terutama unsur pembangun syi‟ir dari segi bentuk. a. Unsur Pembangun Syi‟ir dari Segi Bentuk 27 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 19. Para penyair puisi bebas Arab yang mengunakan aliran romantis dan realistis mereka dpengaruhi oleh aliran romantis dan realis dari Inggris dan Prancis. 28 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h.54. 17 Unsur-unsur yang membangun syi‟ir Arab dari segi bentuk itu ada dua, yaitu wazan dan qāfiyah. Penyebutan istilah wazan dan qāfiyah dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah rhyme dan metre, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah rima dan matra.29 Lalu apa yang dimaksud dengan wazan dan qāfiyah tersebut. 1. Wazan Wazan dalam syi‟ir (puisi Arab) yaitu kumpulan taf‟ilah yang terdapat pada bait syi‟ir yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu „arūḍ. Wazan dinamakan juga baḥr.30 Adapun „Arūḍ yaitu ilmu yang membahas uṣūl untuk mengetahui benar tidaknya wazan pada syi‟ir dan yang merusak syi‟ir, karena ziḥāf dan i‟ilal.31 Adapun wazan atau baḥr yang sering digunakan sebagai berikut: وزن البحر البحر مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن بسيط مستفعلن مستفعلن مستفعلن رجز مستفعلن مستفعلن فاعلن سريع فاعال تن فاعال تن فاعال تن رمل فاعال تن مستفعلن فاعال تن خفيف 29 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 55. 30 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 55. 31 Khatibul Umam, al-Muyasir fī „ilmi al-„Arūḍ, (Jakarta: PT. Hikmah Syahid Indah, 1992), h.4. 18 فاعال تن فاعلن فاعال تن مديد فاعلن فاعلن فاعلن فاعلن متدارك فعولن مفاعيلن فعولن مفاعيلن طويل فعولن فعولن فعولن فعولن متقارب مفاعلتن مفاعلتن فعولن وافر مفاعيلن مفاعيلن هزج متفاعلن متفاعلن متفاعلن كامل Tabel baḥr al-„Arūḍiyyah32 2. Qāfiyah Adapun yang dimaksud qāfiyah dalam puisi (syi‟ir) Arab adalah lafaz terakhir pada bait syi‟ir, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya. Atau juga kesesuaian akhir baris dalam setiap bait puisi. b. Unsur Pembangun Syi‟ir dari Segi Isi Sama halnya dengan puisi Indonesia atau puisi pada umumnya, syi‟ir (puisi Arab) memiliki unsur dari segi isi atau batin yaitu; tema/algraḍ asy-syi‟rī (sense), perasaan (feeling), nada dan suasana (tone), serta pesan (intention).33 Secara isi, syi‟ir (puisi Arab) terbagi tiga bagian besar: pertama, puisi epik (qiṣaṣī) yang bersifat objektif (mauḍû‟i), yaitu puisi yang berisi 32 Khatibul Umam, al-Muyasir fī „ilmi al-„Arūḍ, (Jakarta: PT. Hikmah Syahid Indah, 1992), h.18. 33 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. 19 sebuah cerita panjang hingga beribu-ribu bait. Jenis puisi ini terbagi ke dalam tiga bagian: epos/al-malḥamah (cerita panjang seperti Illias dan Odisee dalam tradisi Yunani); fabel (cerita tentang kehidupan binatang); dan balada/sya‟bi (cerita rakyat yang mengharukan). Jenis puisi ini dalam sastra Arab kurang dikenal. Namun, menurut „Izzudin Ismail dengan mengutip sebagian pengkaji sastra, dalam sastra Arab yang hampir mirip dengan model puisi ini adalah puisi Sa`ālīk pada periode Jahiliyah (praIslam), puisi Huzail, dan puisi „Umar bin Abī Rabī‟ah. Kedua, puisi lirik (gināi) yang bersifat subjektif (zātī), yaitu puisi yang berisi perasaan, pikiran dan sikap penyair. Dalam sepanjang sejarah sastra Arab, puisi jenis ini adalah puisi yang paling dikenal dan merupakan bentuk puisi yang menjadi kekayaan yang melimpah yang dimiliki khazanah sastra Arab. Ada banyak puisi Arab yang masuk kategori jenis puisi ini. Di antaranya adalah puisi elegi (risā) yang berisi tentang ratapan kematian; puisi madḥ (puisi pujian seperti pujian kepada Tuhan [hymne] terhadap pahlawan [ode/oda] dan kekasih yang dicinta [gazal]; epigram (ta‟līmī) berisi ajaran kehidupan; satir (ejekan pedas/kritik) dalam khazanah puisi (syi‟ir) Arab disebut hijā. Ketiga, puisi dramtik (tamsīlī) puisi yang dibuat untuk sebuah drama yang panjangnya terbatas, tidak sepanjang puisi epik. Seperti Majnûn Lailā masuk ke dalam katagori terakhir ini.34 4. Puisi Indonesia Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai berbagai macam teks, mulai dari teks berita yang ada di koran atau teks yang berisi info-info tertentu 34 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h.15-16. 20 yang ada dalam sebuah majalah, atau juga teks yang terdapat dalam bukubuku pelajaran atau buku cerita dan masih banyak yang lainnya. Terkadang juga kita sering menjumpai ungkapan atau teks yang mengandung ciri-ciri puisi. Lalu bagaimana kita mengetahui sebuah teks itu puisi atau bukan? Sebagai contoh penyair Williams Carlos William tinggal serumah dengan seorang temannya yang menyimpan beberapa buah persik di lemari es untuk sarapan. Ketika temannya bangun kesiangan ia menemukan suatau catatan kecil yang tertempel di lemari esnya; Sekedar bilang Bahwa saya terlanjur makan Buah persik Dalam kulkas Yang mungkin sengaja Kau sisihkan Buat sarapan Maafkan aku Rasanya renyah Begitu manis Begitu dingin 21 (William Carlos Williams, alih bahasa: Melani Budianta) Menurut Anda, catatan itu sebuah puisi atau hanya sebuah pesan biasa yang ditulis William untuk temanya? Mungkin kita tidak perlu menanyakan hal itu kalau Anda belum tahu bahwa William seorang penyair terkenal, dan seandainya tulisan itu disusun seperti ini: Tomi yang baik, Sekedar bilang bahwa saya terlanjur makan buah persik dalam kulkas yang mungkin sengaja kau sisihkan buat sarapan. Maafkan aku, begitu manis, begitu dingin. Williams Apa perbedaan teks pertama dan teks kedua? Ketika membaca teks kedua, kita langsung mengatakan bahwa tulisan itu sebuah pesan karena ada nama orang yang dituju dan ada nama pengirimnya. Selain itu, pesan tersebut ditulis dalam bentuk kalimat biasa, sedangkan teks pertama bisa dianggap puisi. Mengapa begitu? Karena, pertama ada judul yang ditulis terpisah dan dicetak miring. Kemudian, tulisan itu dibagi menjadi tiga bait, yang masing-masing ditulis dalam baris-baris pendek. Siapa yang menetapkan aturan bahwa surat selalu diawali dengan nama orang yang kita kirimi surat dan diakhiri dengan nama pengirim? Atau, bahwa puisi ditulis dalam bait dan baris? Aturan itu disebut konvensi, yakni suatu kesepakatan yang sudah diterima orang banyak dan sudah menjadi tradisi. Hal seperti itu berarti sebuah karya sastra berkaitan dengan konvensi. 22 Jadi apabila Anda mau menulis sebuah karya sastra berbentuk puisi, Anda harus tahu bagaimana menulisnya.35 Oleh karena itu, puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra mempunyai karakteristik. Secara garis besar ada dua unsur pembangun puisi, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Herman J. Waluyo berpendapat bahwa, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu; diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif (majas), ferifikasi dan tata wajah puisi. Bila struktur puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan oleh penyair, maka struktur batin puisi adalah makna yang terdapat dalam puisi itu sendiri.J. Waluyo menyebutnya dengan hakikat puisi dan hakikat puisi itu terdiri dari empat unsur, yaitu; tema36 (sense), perasaan penyair37 (feeling), nada dan suasana (tone), serta pesan (intention).38 5. Unsur Pembangun Puisi Indonesia a. Unsur Pembangun Puisi Indonesia dari Segi Bentuk Pada pembahasan definisi puisi telah dijelaskan menurut KBBI bahwa puisi ialah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, 35 Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 13-15. 36 Tema adalah gagasan, ide, ataupun pokok pikiran di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. 37 Lebih dikenal dengan istilah makna emotif, yaitu makna kata atau frase yang ditautkan dengan perasaan dan ditentukan dengan perasaan. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. Lih. Juga Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 50. 38 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 17-18. 23 matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.39 Jadi unsur pembangun puisi Indonesia dari segi bentuk yaitu irama, matra, rima, larik dan bait. 1. Irama Irama adalah gerakan berturut-turut secara teratur; turun naik lagu (bunyi dsb) yang beraturan. Irama punya istilah lain yaitu ritme; alunan yang terjadi dalam perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi, keras lembut tekanan, dan tinggi rendah nada (dalam puisi).40 2. Matra Matra atau disebut juga dengan meter adalah unsur irama yang berpola tetap dan yang perwujudannya dapat berupa pertentangan yang berseling-seling antara suku yang panjang dan pendek, suku yang bernada tinggi dan rendah, atau suku yang beraksen dan tidak.41 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, matra adalah bagan yang dipakai dalam penyusunan baris sajak yang berhubungan dengan jumlah, panjang, atau tekanan suku kata.42 3. Rima 39 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), edisi ke-empat, h. 1112. 40 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), edisi ke-empat, h. 547. 41 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 20. 42 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-4, h. 1174. 24 Rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sebuah sajak yang berdekatan.Rima selain sebagai aksesoris puisi, ia juga berfungsi untuk menyenangkan indera pendengar, ikut membangun bait, serta ikut membentuk sajak.43 Di dalam puisi ada beberapa macam rima, diantaranya seperti; rima akhir44, rima berpeluk45, rima dalam46, rima ganda47, dan rima tengah48. 4. Larik Larik adalah baris sajak yang dicirikan oleh irama atau matra. 5. Bait Bait adalah rangkaian sejumlah larik yang terkadang diikat oleh aturan panjang, matra, atau bagan rima, yang merupakan bagian dari sajak. b. Unsur Pembangun Puisi Indonesia dari Segi Batin Struktur batin puisi adalah makna yang terdapat dalam puisi itu sendiri. Waluyo menyebutnya dengan hakikat puisi dan hakikat puisi itu terdiri dari empat unsur, yaitu; tema49 (sense), perasaan 43 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 21. 44 Rima yang terdapat pada akhir larik sebuah sajak. 45 Rima akhir pada bait berlarik genap, yang larik pertamanya berima dengan larik ketiga dan larik keduanya berima dengan larik keempat. 46 Rima antara dua kata atau lebih dalam satu larik sajak. 47 Rima yang terdiri atas dua suku kata, tetapi hanya suku kata pertama yang mendapatkan tekanan. 48 Rima antara suku kata pada posisi yang sama, yang terdapat pada dua kata dalam satu larik sajak. 49 Tema adalah gagasan, ide, ataupun pokok pikiran di dalam karya sastra yang terungkap ataupun tidak. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. 25 penyair50 (feeling), nada dan suasana (tone), serta pesan (intention). 51 6. Macam-Macam Puisi Indonesia Sastra Melayu Klasik dianggap sebagai cikal bakal sastra Indonesia berdasarkan hasil penelusuran sementara bermula pada abad ke-16 Masehi. Berdasarkan pada fakta-fakta sejarah, terutama karya-karya sastra lama, tidak dipungkiri lagi bila masuknya agama Islam ke bumi Nusantara ini termasuk Indonesia yang telah membawa kehidupan baru dalam dunia sastra yang semula beku dan tertidur. Sastra Nusantara mulai menggeliat bangun, tumbuh dan berkembang pesat dengan metode baru yang lebih sistematis, gaya bahasa baru yang lebih indah, gaya imajinasi baru yang inovatif, serta emosi-emosi baru akibat bertambahnya pola pikir dan pengetahuan. Ada beberapa jenis sastra Nusantara klasik yang sempat berkembang di Indonesia sebelum abad 20. Sebagian besarnya adalah jenis dengan kategori puisi, dan sedikit jenis prosa.52 Diantaranya adalah: a. Pantun Pantun termasuk salah satu jenis puisi lama. Setiap baitnya biasanya terdiri dari empat larik, bersajak ab-ab ataupun aa-aa. Pantun pada mulanya merupaka sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun tertulis. 50 Lebih dikenal dengan istilah makna emotif, yaitu makna kata atau frase yang ditautkan dengan perasaan dan ditentukan dengan perasaan. Lih. Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 18. Lih. Juga Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: UI Press, 1990), h. 50. 51 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h. 17-18. 52 Cahya Buana, Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam SyairSyair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding), (Yogyakarta: mocopatbook, 2008), h.23-48. 26 b. Karmina Selain pantun terdapat corak puisi lama yang mirip dengan pantun, yakni sama-sama memiliki sampiran da nisi, yang disebut dengan karmina. Karmina dikenal dengan pantun kilat, adalah pantun yang terdiri dari dua baris. Baris pertama merupakan sampiran dan baris kedua adalah isi. c. Seloka Seloka merupakan bentuk puisi Melayu Klasik, berisikan pepatah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau sya‟ir. d. Gurindam Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawaban atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama. e. Syair Syair adalah puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri dari empat baris, berirama a-a-a-a, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair. Adapun bedanya dengan pantun, yaitu apabila pada syair setiap barisnya mengandung makna, sedangkan pantun hanya pada dua baris terakhir yang mengandung maksud. 27 Jenis puisi di atas adalah kategori jenis puisi Indonesia lama yang masih terikat rima, matra dan irama serta unsur fisik puisi gaya prosodi lama lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri menyebutkan beberapa jenis puisi di antaranya: 1. Puisi Bebas, yaitu puisi yang tidak terikat oleh irama, rima dan matra, tidak juga terikat oleh jumlah larik pada setap baitnya. Dalam khasanah syi‟ir (puisi Arab) puisi bebas dikenal dengan syi‟ir al-ḥūrr. 2. Puisi Lama, yaitu puisi yang masih terikat oleh unsur fisik puisi. Contoh puisi lama, pantun, seloka, gurindam dan syair. 7. Karakteristik Bahasa Puisi Bahasa pada puisi adalah bahasa yang sangat khas dan agak berbeda atau bisa dikatakan istimewa bila dibandingkan penggunaan bahasa sehari-hari. Anggapan ini tentunya bukan temuan baru dan sudah dari dulu semua orang mengetahuinya, mulai dari sastrawan, penikmat sastra atau bahkan orang biasa sekalipun. Keistimewaan atau kekhasan bahasa pada puisi sudah ditonjolkan sejak abad kelima, pada saat itu arteṣ (ars adalah kepandaian, teknis ilmiah, sistem aturan, baru kemudian dalam bahasa Prancis dan Inggris art berkembang maknanya menjadi „seni‟) dibedakan menjadi dua, masing-masing diberi nama grammatical dan rhetorica. Grammatical meliputi recte loquendi scientia (ilmu untuk berbicara secara tepat) dan poetarum enarratio semacam ilmu sastra. Retorika adalah ars bene dicendi (kepandaain mengatakan sesuatu secara baik) seperti pandainya orator dalam menyampaikan kata-kata. 28 Menurut Zumthor yang dikutip dalam Teuuw, retorika itu bercampur baur dengan konsep itu sendiri, tetapi adakalanya juga puisi digolongkan pula dalam grammatical menurut Curitius.53 Para sastrawan dan orator sejak zaman dahulu sudah mengunakan ilmu retorika dengan baik. Karena dengan menguasai retorika yang baik maka, ia akan menghasilkan bahasa yang baik dan rapi. Sebab itu mereka disebut orang-orang yang telaten dalam menerapkan ilmu retorika untuk menghasilkan bahasa yang baik pada pidatonya, begitupun sastrawan untuk menghasilkan karya yang memiliki nilai sastra tinggi serta nilai estetika yang baik. Bahasa puisi juga tidak terlepas dari stilistika54, karena dengan stilistika kekhasan bahasa pada puisi atau karya sastra yang lainnya dapat terlihat. Berbicara stilistika (gaya bahasa) yang sering digunakan dalam puisi diantaranya metafora dan simile. Keduanya sering dipakai oleh para penyair: a. Metafora Sebuah ungkapan yang mempunyai makna kiasan dan memberikan efek kuat tertentu. Misalkan sebuah ungkapan “duhai purnama” untuk menggambarkan kecantikan atau ketampanan paras seserong, biasanya sang kekasih dan memberikan efek tertentu yang kuat. Jadi, metafora bukan menjalaskan kata secara harfiah, melainkan konsep dari arti kata itu sendiri sehingga, menjadi lebih mudah dimengerti. 53 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 71. 54 Stilistika adalah ilmu tentang penggunaan bahasa atau gaya bahasa yang dipakai dalam karya sastra, seperti puisi atau prosa. Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1340. 29 b. Simile Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain namun masih memiliki kesamaan-kesamaan tertentu. Misalkan, ungkapan “Senyumnya semanis gula” ungkapan tersebut mempunyai makna “senyumnya manis seperti gula” artinya ungkapan atau kata “senyum” mempunyai kesamaan dengan “gula” yaitu sama-sama manis.55 Selain metafora dan simile, gaya bahasa personifikasi juga sering kita jumpai dalam karya puisi. Personifikasi adalah gaya bahasa yang menggunakan benda mati seolah-olah bernyawa dan melakukan sesuatu atau menjadi manusiawi seperti, “rumput yang menari-nari,” rumput adalah benda mati yang seakan-akan dapat menari layaknya manusia. Menurut sastrawan Roman Jacobson puisi merupakan karya sastra yang sangat khas dan tipikal. Menurutnya kekhasan puisi terdapat pada bahasa atau kata yang dipergunakan dalam sebuah puisi itu sendiri dan dibalik kata yang dipergunakan pada puisi terdapat pesan yang tersirat. Misalnya sebuah puisi karya Chairul Anwar berikut: aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang Kata “aku” di sini tidak seperti dalam bahasa sehari-hari yang menunjukan kata ganti orang pertama yang merujuk pada penulis atau pengarang puisi ini yaitu Chairul Anwar, melainkan seseorang yang ke-aku-annya kita jabarkan atau artikan atas pertimbangan sajak-sajak dalam puisi tersebut. Begitu juga 55 Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 40-41. 30 dengan “binatang jalang” yang dipakai secara metafora.56 Maka dari itu ia memasukkan fungsi puitik bahasa kedalam salah satu dari enam fungsi bahasa yang lainnya. Teori ini masuk kedalam model semiotik.57 1. Penyimpangan Bahasa Dalam Bahasa Puisi Penyimpangan bahasa dalam puisi sering menjadi ciri dari suatu angkatan atau periode sastra. Penyimpangan bahasa itu disebabkan bahasa puisi khususuya dan bahasa sastra umumnya bersifat tidak stabil. Setiap angkatan dalam sastra mengubah konvensi sastra sambil memakai dan menentangnya.58 Geoffrey Leech dalam Waluyo menyebutkan adanya 9 jenis penyimpangan bahasa yang sering dijumpai dalam puisi. Tidak setiap puisi memiliki 9 aspek penyimpangan itu, tetapi hanya memiliki salah satu atau beberapa aspek penyimpangan yang dominan pada jaman tertentu.59 Lima diantaranya sebagai berikut: a. Penyimpangan Leksikal Kata-kata yang digunakan dalam puisi menyimpang dari kata-kata yang kita pergunakan dalam hidup sehari-hari. Penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan pengucapan jiwanya atau kata-kata itu disesuaikan dengan tuntutan estetis. Misalnya: mentari, pepintu, keder, ngloyor, leluka, barwah, dan sebagainya. 56 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 73-75. 57 A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). h. 53-54. 58 A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra, (Jakarta: Gramedia, 1983). h. 4. 59 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1991). h. 68. 31 b. Penyimpangan Semantis Makna dalam puisi tidak menunjuk pada satu makna, namun menunjuk pada makna ganda, Makna kata-kata tidak selalu sama dengan makna dalam bahasa sehari-hari. Juga tidak ada kesatuan makna konotatif dari penyair satu dengan penyair lainnya. Kata "sungai" bagi penyair yang berasal dari daerah banjir akan dikonotasikan dengan bencana, sementara para penangkap ikan dan penambang akan menyebutnya sebagai sumber penghidupan. Kata "bulan" dalam puisi Sitor berbeda dengan kata "bulan" dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar. c. Penyimpangan Fonologis Untuk kepentingan rima, penyair sering mengadakan penyimpangan bunyi. Dalam puisi Chairil Anwar "Aku", kata “perih" diganti dengan “peri". Dalam puisi lamanya, kata "menggigil" diganti "menggigir"; kata "melayang" diganti dengan “melayah”, dan sebagainya. d. Penyimpangan Morfologis Penyair sering melanggar kaidah morfologis secara sengaja. Dalam puisi-puisi Rendra kita temui istilah: mungkret, mangkal, ngangkang, nangis, gerayangi, dan sebagainya, sebagai contoh penyimpangan morfologis. e. Penyimpangan Sintaksis Di depan sudah dijelaskan bahwa kata-kata dalam puisi bukan membangun kalimat, namun membangun larik-larik. Dapat kita 32 lihat, bahwa penyair sering alpa menggunakan huruf besar untuk permulaan kalimatnya dan tanda titik untuk mengakhiri kalimat itu. Sering pula sulit kita mencari kesatuan manakah yang dapat kita sebut satu kalimat dalam puisi. Baris-baris puisi tidak harus membangun kalimat karena makna yang dikemukakan mungkin jauh lebih luas dari satu kalimat tersebut. B. Penerjemahan Sastra (Puisi) 1. Definisi Penerjemahan Kegiatan menerjemahkan sudah berlangsung sejak lama. Bahkan kegiatan penerjemahan ini membawa kemajuan atau kejayaan umat muslim pada saat Dinasti Abbasiyah. Konon di kawasan Timur-Tengah, tepatnya di Kota Elba Kuno, ditemukan kamus tertua yang sudah berumur antara 6.000-10.000 tahun.60 Kamus merupakan salah satu penanda bahwa kegiatan penerjemahan ini sudah berlangsung. Dalam bahasa Indonesia kata terjemah diambil dari bahasa Arab تشجوح yang memiliki arti „menerjemahkan.‟61 Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki arti, „menyalin (memindahkan) satu bahasa ke bahasa yang lain atau mengalihbahasakan.‟62 Namun pada hakikatnya, penerjemahan adalah proses pengalihan pesan dari bahasa sumber (bsu) ke bahasa sasaran (bsa). Bahasa sumber adalah bahasa yang digunakan oleh penulis atau penutur bahasa yang akan 60 M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosydakarya, 2011). h. 1. 61 Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, h. 131. 62 KBBI edisi 2008, h. 1509. 33 diterjemahkan ke bahasa sasaran atau bahasa sasaran. Hal itu serupa dengan pendapat dari Moeliono dan Nida penerjemhan merupakan kegiatan mereproduksi amanat atau pesan dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa sasaran atau bahasa penerima.63 2. Metode Penerjemahan Sastra (Puisi) Terjemahan yang dihasilkan sesungguhnya tidak terlepas dari metode penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah. Memilih sebuah metode penerjemahan ini bersifat umum. Seorang penerjemah menentukan terlebih dahulu calon pembaca hasil terjemahannya dan/atau akan digunakan apa hasil terjemahan tersebut.64 Menurut Molina dan Albar, metode penerjemahan merujuk pada cara tertentu yang digunakan dalam proses penerjemahan sesuai dengan tujuan penerjemah.65 Oleh karena itu penerjemahan sering didasari oleh audience design atau need analysis. Dalam praktiknya, penggunaan metode penerjemahan ini tidak bersifat simplistis. Seorang penerjemah tidak hanya menggunakan satu metode saja, misalkan seorang penerjemah tidak hanya menggunakan metode penerjemahan setia saja pada saat menerjemahkan. Bisa jadi pemilihan metode saat menerjemahkan terkait dengan norma dan sifat bahasa sumber, fungsi terjemahan dan juga pembaca dari bahasa sasaran tersebut. Pada penerjemahan karya sastra (puisi) biasanya ada beberapa metode penerjemahan yang sering digunakan dalam menerjemahkan karya sastra 63 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora, 2005), h. 10-11 64 Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 55 65 M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosydakarya, 2011). h. 51 34 (puisi). Adapun beberapa metode penerjemahan yang biasa digunakan dalam menerjemahkan karya sastra (puisi) sebagai berikut: a. Metode Penerjemahan Adaptasi Metode yang dirumuskan oleh Newmark ini diakui dapat digunakan untuk menerjemahkan karya sastra seperti puisi, naskah drama dan yang berbentuk prosa lainnya. Al-Farisi dalam bukunya menjelaskan bahwa penerjemahan adaptasi merupakan merupakan penerjemahan teks yang paling bebas. Penerjemah berusaha menyelaraskan budaya bahasa sumber dalam bahasa sasaran. Budaya bahasa sumber dikonversi ke dalam bahasa sasaran, kemudian teks tersebut dituls ulang dalam bahasa sasaran. Oleh karena itu, hasil terjemahannya dipandang sebagai penulisan kembali pesan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan gaya bahasa yang paling wajar dam mudah dipahami dalam bahasa sasaran.66 Hal serupa diungkapkan oleh Hoed tentang metode penerjemahan adaptasi yang dirumuskan Newmark. Ia menyebutkan penerjemahan adaptasi atau saduran. Metode penerjemahan ini lebih menekankan pada “isi” pesan dari teks sumber, sedangkan bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca dalam bahasa sasaran. Dalam adaptation biasanya tokoh, latar belakang, dan konteks sosial dalam drama atau novel disesuaikan dengan kebudayaan bahasa sasaran.67 Jadi menurutnya metode ini telah dipakai dalam menerjemahkan karya sastra yang berbentuk prosa. b. Metode Penerjemahan Setia 66 M. Zaka Al-Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosydakarya, 2011). h. 56 67 Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 56. 35 Meskipun tidak disepakati oleh beberapa ahli penerjemah, metode penerjemahan setia ini kerapkali dipakai atau tetap dipakai orang-orang dalam menerjemahkan teks sumber ke teks sasaran. Salah satu penerjemah yang mengakui bahwa metode penerjemahan setia ini dapat digunakan dalam menerjemahkan puisi ialah Hoed. Hoed dalam bukunya mengatakan bahwa penerjemahan setia (fathful) itu ialah penerjemahan yang dilakukan dengan mempertahankan sejauh mungkin aspek bentuk (dalam teks puisi) sehingga kita masih secara lengkap melihat kesetiaan pada segi bentuknya. Dalam penerjemahan puisi penerjemah berusaha mengikuti model puisi teks sumber.68 Sedangkan Hidayatullah menjelaskan dalam bukunya penerjemahan setia ialah seorang penerjemah mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Ia berpegan teguh pada maksud dan tujuan teks sumber, sehingga agak kaku dan terasa asing. Ia tidak berkompromi dengan kaidah teks sumber. Ia memberikan contoh sebaga berikut: ُ 69.ُُُُْوُثُ٘شُالشُهُاد ُ Dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya. Penerjemah tetap memunculkan „banyak abunya‟ padahal kata „dermawan‟ saja sudah cukup mewakili terjemahan dari „‟ُُُْ ُوُثُ٘شُالشُهُاد penerjemah sesetia mungkin pada teks bahasa sumber, karena itu dinamakan 68 Beny H. Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 56. Lihat, Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), h. 32. 69 36 penerjemahan setia.70 Dari sekian banyak metode penerjemahan yang dirumuskan oleh para ahli penerjemah dua metode di ataslah yang sering digunakan dalam penerjemahan karya sastra (puisi). Selanjutnya ada metode penerjemahan yang lainnya secara umum dan diakui kelengkapannya oleh para penerjemah yaitu rumusan metode penerjemahan menurut Newmark,71 sebagai berikut: a. Metode Penerjemahan Kata demi Kata Penerjemah langsung memberi makna kata bahasa sasaran Tsa (Teks bahasa sasaran) sesuai dengan makna di dalam kamus tepat di bawah kata bahasa sumber atau Tsu (Teks bahasa sumber). Contohnya: ُ ُالمُشُاى ُ Al-Qur‟an ُ أُحُوُذ ُ Ahmad ُ ُلُشُأ ُ Membaca b. Metode Penerjemahan Harfiah Penerjemah hanya mengalihkan struktur gramatika dari bahasa sumber ke dalam struktur gramatika bahasa sasaran yang memiliki padanan paling dekat. Namun, unsur leksikalnya masih terasa dan belum mengindahkan konteks pada teks bahasa sumber sehingga pesan tidak teralihkan. Pada metode ini penerjemah masih patuh pada teks bahasa sumber. Contohnya: ُ ُُٗزُُُةُُأُحُوُذ ُإُلُُٔالوُضُجُذُ لُلُاهُحُ صُلُجُ الصُثُح Pergi Ahmad ke masjid untuk melaksanakan sholat subuh 70 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), h. 32. 71 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), hlm. 31 37 c. Penerjemahan Semantis Penerjemah lebih flesikbel dalam mengalihkan pesan dari teks bahasa sumber (Tbsu) ke dalam teks bahasa sasaran (Tbsa). Ia mempertimbangkan unsur estetika kata yang bermuatan budaya antara Tbsu dan Tbsa, juga berusaha menerjemahkannya sewajar mungkin ke dalam Tsa. Contoh: ُ َُّلُتثضطِاُولَُّالثضظ Jangan terlalu mengulurkan tanganmu Pada contoh kata di atas penerjemahannya sudah baik tidak kaku seperti metode penerjemahan sebelumnya. Akan tetapi, bila pemberian makna kata „‟تثضطِا yaitu „mengulurkan tanganmu‟ dengan „murah hati‟ maka terjemahannya lebih bagus dan tepat. d. Penerjemahan Bebas Penerjemah biasanya tidak lagi memperhatikan bentuk teks Bsu, ia hanya memperhatikan pada teks Bsa yang akan menjadi hasil terjemahan dari teks Bsa. Pada intinya dalam metode penerjemahan ini penerjemah hanya memperhatikan pesan yang dimaksud di dalam teks Bsu kemudian dituangkan ke dalam teks Bsa dengan gaya bahasa si penerjemah. Contoh: ُ ُُإًَُُّوُاُُٗخُشُُٔللاُُهُيُُعُثُادٍُُُالعُلُوُاء Ulama hanya takut pada Allah 38 e. Penerjemahan Idiomatik Penerjemah mereproduksi pesan yang terkandung dalam teks bsu, tapi cenderung mendistorsi nuansa makna. Sebab metode ini mengharuskan penerjemah untuk sering menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Contoh: ُٔالُ٘ذُُالعُلُُ٘اُخُُ٘شُُهُيُُالُ٘ذُُالضُفُل Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah f. Penerjemahan Komunikatif Metode penerjemahan komunikatif ini berupaya mengungkapkan makna yang terdapat pada konteks teks bsu secara tepat. Pengungkapan dilakukan dengan cara-cara tertentu sehingga isi dan bahasanya berterima dan mudah dipahami oleh pembaca teks bsa. Dengan kata lain, metode ini sangat mengindahkan efek terjemahan terhadap pembaca teks bsa dan sangat memperhatikan prinsip komunikasi.72 Contohnya: ًُُتُطُُْسُُهُيًُُُطُفُحُُثُ َُّنُهُيُُهُضُغُح Kita berproses dari sperma, lalu zigot, kemudian embrio (akademisi) Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, kemudian menjadi segumpal daging( awam) Dalam khazanah penerjemahan di dunia Arab terdapat dua jenis metode; pertama, penerjemahan harfiah; kedua, penerjemahan tafsiriyah.73 72 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), hlm. 34. Yang dimaksud dengan prinsip komunikasi adalah pembaca dan tujuan penerjemahan. Jadi penerjemah dengan menggunakan metode komunikatif harus memperhatikan pembaca tek bsu dari berbagai kalangan dan tujuan dari menerjemahkan teks bsa-nya tersebut. 73 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora, 2005), h. 69-70 39 Metode penerjemahan harfiah ialah cara menerjemahkan yang memperhatikan gramatika teks sumber. Cara menerjemahkan yang juga disebut dengan metode lafziyah atau musāwiyah ini diikuti oleh Yohana bin al-Bathriq, Ibnu Na‟imah dan lainnya. Cara kerja metode ini ialah menjadikan kata sebagai objek utama dalam menerjemahkan, jadi penerjemah menerjemahkan kata perkata hingga teks sumber selesai diterjemahkan ke teks sasaran. Metode penerjemahan tafsiriyah ialah cara menerjemahkan yang tidak terapaku terhadap gramatika teks sumber. Metode ini berbalik dengan metode harfiah yang terpaku terhadap gramatika teks sumber dan menjadikan kata sebagai patokan dalam menerjemahkan. Penggambaran makna atau pesan dibalik teks sumber lebih diutamakan dalam metode ini, dengan tujuan pesan dibalik teks tersebut dapat sampai kepada pembaca teks sasaran. Metode ini dikenal dengan istilah ma‟nawiyah dan diterapkan oleh Hunain bin Ishak, alJauhari dan lainnya. Ada pula metode yang mencampurkan antara harfiyah dan tafsiriyah, metode ini dikembangkan oleh Ahmad Hasan Az-Zayat seorang penerjemah modern yang dikenal dalam dunia penerjmahan Arab. 3. Pengkhianatan Kreatif Dalam Penerjemahan Sastra (Puisi) Kita andaikan ada sebuah sajak dalam bahasa Jepang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; sajak terjemahan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, lalu ke dalam bahasa Jawa. Dari versi bahasa Jawa, sajak itu kemudian “dikembalikan” ke dalam bahasa Jepang. Saya yakin, pembaca Jepang akan bertanya-tanya siapa gerangan yang telah menulis sajak serupa itu. Perbedaan antara yang asli dan yang “asli” tapi “terjemahan” itu 40 merupakan hasil dari suatu proses pengkhianatan kreatif yang dilakukan oleh para penerjemah. Menerjemahkan karya sastra berarti mengubah “mengurangi atau menambah” apa yang ada pada aslinya. Setiap penerjemah karya sastra pada hakikatnya mengkhianati yang diterjemahkannya sebab hanya dengan demikian ia bisa menampung karya yang diterjemahkannya itu ke dalam bahasa sasaran.74 Pandangan Damono, yang menganggap karya terjemahan sastra (puisi) sebagai pengkhianatan kreatif di atas diilhami dari pendapat Gifford. Ia (Gifford) berpendapat bahwa, “Tidak ada terjemahan yang bisa menandingi taraf kehalusan dan kelengkapan yang ada dalam imajinasi penulis asli dalam menyusun bahan karangannya. Itulah sebabnya keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahan, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya. Taraf pemiskinan pada puisi terjemahan tentunya sangat tinggi sebab dalam jenis sastra ini pengolahan bahasa untuk mengatur bahan menuntut imajinasi yang bekerja pada kemampuan penuh.”75 Akan tetapi Damono tidak menerima pandangan Gifford apa adanya. Menurutnya (Damono), “Pandangan semacam itu sangat wajar dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, suatu minat dalam telaah sastra yang memusatkan perhatian pada membanding-bandingkan karya sastra. Dalam bidang ini, tentu saja karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang 74 Sapardi Djoko Damono dalam http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.htm. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB. 75 Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2, Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2 41 kokoh. Segi-segi stilistik, bahkan tematik, karya sastra sastra tidak akan bisa dibanding-bandingkan jika bahannya adalah karya terjemahan. Bahwa terjemahan tidak akan bisa sama dengan aslinya, itu jelas. Karya asli itu final, sedang terjemahan tidak; suatu karya sastra bisa diterjemahkan oleh beberapa orang dengan hasil yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang dianggap final karenanya selalu tersedia ruang untuk mengubah karya terjemahan.”76 Damono juga berpendapat, “Penerjemahan karya sastra tidak usah dinggap sebagai usaha mati-matian untuk menjadi karya yang sama dan sebangun dengan aslinya. Dengan landasan tersebut, tentunya kita tidak bisa sepenuhnya menerima pandangan Gifford yang mengibaratkan terjemahan sebagai reproduksi hitam putih atas luksian cat minyak. Kecelakaan semacam itu bisa saja terjadi jika penerjemahnya kurang mampu; namun keunggulan bisa juga dicapai jika penerjemahnya andal. Sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari aslinya: hubungan antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya lebih luas. Dengan demikian ia bukan sekedar reproduksi hitam putih, tetapi karya lukisan cat minyak juga yang sejajar kualitasnya dengan aslinya.”77 Maka menurutnya (Damono) penerjemahan sastra terutama puisi ialah proses pengkhianatan yang kreatif dalam penerjemahan. Gagasan pengkhianatan kreatif dalam penerjemahan sastra berasal dari Prancis, dicetuskan oleh Robert Escarpit.78 Ia mengatakan dalam bukunya 76 Sapardi Djoko Damono dalam http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.htm. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB. 77 Sapardi Djoko Damono dalam http://mayantara.sch.id/artikel/menerjemahkan-karyasastra.htm. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB. 78 http://dict.cn/%22Creative%20treason%22%20was%20initiated%20by%20a%20French %20literary%20sociologist%20Robert%20Escarpit%20in%20his%20book%20Sciologie%20de% 42 (Sociologie de la Liteature) bahwa pengarang sastra yang menulis buku, nantinya akan dilupakan sepulu, dua puluh atau tiga puluh tahun setelah ia meninggal, tetapi jika ia berhasil melewati masa tersebut dan namanya masih diingat, maka ia akan menjadi bagian populasi sastra dan namanya dijamin akan terus hidup. Escarpit berpendpat bahwa karya sastra yang telah dibuat oleh seseorang (pengarang sastra) yang pernah dilupakan atau diabaikan bertahun-tahun, akan mendapatkan pengakuan kembali secara luar biasa melalui penggolangan kembali atau maksudnya penghidupan karya sastra kembali, yang biasanya bersifat interpretatif (dilakukan dengan kegiatan penerjemahan ulang). Penggolongan kembali atau penghidupan kembali sebuah karya sastra bertujuan menghidupkan kembali karya sastra yang mulanya tidak dikenal, atau tidak dipahami oleh publik, menjadi sebuah karya sastra yang mudah dikenal dan mudah dipahami oleh publik luas. Hal yang demikian itu selanjutnya dinamai oleh Escarpit dengan istilah trahison créatrice (pengkhianatan kreatif).79 Damono membuktikan kasus penerjemahan sebagai pengkhianatan kreatif pada puisi‟ Huesca‟ karya Chairil Anwar yang merupakan terjemahan dari puisinya John Cornford yang berjudul „Poem‟.80 Puisi sumber John Cornford “Poem”: 20la%20Litteature%20%28The%20Sociology%20of%20Literature%29%20in%201958_2E%20H e%20holds%20that%20translation%20is%20always%20a%20kind%20of%20creative%20treason _2E. Diakses pada tanggal 13 Maret 2016. Pukul 22:00 WIB 79 Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, Diterjemahkan oleh: Ida Sundari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Ke-2, 2008), h. 35. 80 Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2, Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2-5. 43 Heart of the heartless world, Dear heart, the thought of you Is the paint in my side, The shadow that chills my view The wind rises in the evening Reminds that autumn is near. I am afraid to lose you I am afraid of my fear. On the last mile to Huesca, The last fence for our pride, Think so kindly, dear, that I Sense you at my side. And if bad luck should lay my strength Into the shallow grave, Remember all the good you can; Don‟t forget my love. Puisi terjemahan atau saduran „Huesca” Khairil Anwar: Jiwa di dunia yang hilang jiwa Jiwa sayang, kenangan padamu Adalah derita di sisiku, Bayangan yang bikin tinjauan beku. Angin bangkit ketika senja, Ngingatkan musim gugur akan tiba. Aku cemas bisa kehilangan kau, Aku cemas pada kecemasanku. Di batu penghabisan ke Huesca, Pagar penghabisan dari kebangaan kita, 44 Kenanglah sayang, dengan mesra Kau kubayangkan di sisiku ada. Dan jika untung malang menghamparkan Aku pada kuburan dangkal, Ingatlah sebisamu segala yang baik Dan cintaku yang kekal Damono dalam analisisnya memaparkan, pada larik pertama “heartless world” diterjemahkan menjadi “dunia yang hilang jiwa”. Padahal “heartless” aslinya bermakna “kejam”. Apakah “hilang jiwa” berarti “kejam”? Menurut Damono, Chairil menciptakan ungkapan baru yang tidak ada hubungannya dengan kekejaman. Pada larik kedua, “dear heart” diterjemahkan menjadi “Jiwa sayang”, demi memburu pengulangan kata “jiwa” tidak diterjemahkan menjadi “kekasih”, “jantung hati”, dsb. Perhatikan juga “aku cemas” untuk ungkapan asli “I am afraid”. Aku cemas rasanya lebih kuat kandungan emosinya daripada “aku khawatir”, “aku takut”. Perhatikan pula dua larik terakhir yang disatukan dalam TBSa-nya. Remember all the good you can Don‟t forget my love Ingatlah sebisamu segala yang baik Dan cintaku yang kekal “Remember” dan “don‟t forget” dirangkum menjadi “ingatlah”. Sementara itu “yang kekal” ditambahkan untuk memburu rimanya.81 81 Sugeng Hariyanto, "Pengkhianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal". (Malang: Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2, Politeknik Negeri Malang, 2012), h. 2-5. 45 BAB III BIOGRAFI RABĪ’AH AL-ADAWIYAH DAN PENERJEMAH YUNAN ASKARUZZAMAN A. Biografi Rabī’ah al-Adawiyyah Rabiah Al-Adawiyah (bahasa Arab: )ساتعحُالعذّٗحُالم٘ض٘حdikenal juga dengan nama Rabi‟ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah. Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arabnya Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia terkenal dengan sebutan alQaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah.82 Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah.83 Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai The Mother of the Grand Master 82 https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al_Adawiyyah Diakses pada pukul 19:29, tanggal, 28-10-20115. 83 Ada pendapat yang mengatakan ada perbedaan nama dalam sejarah antara Rabi‟ah binti Ismail dengan Rabi‟ah al-Adawiyah. Yang pertama bernama Rabi‟ah atau Rabi‟yah (dengan ya) dan kedua adalah rabi‟ah al-Adawiyah atau al-basriyyah atau al-Qaysiyyah. Rabi‟ah binti Ismail menikah dengan Ahmad bin Abi al-Hawari. Sedangkan rabi‟ah al- Adawiyyah tidak menikah. Rabi‟ah binti Ismail wafat tahun 229 Hijriah dan dikuburkan di Ra‟s Zeyta di Baytil maqdis, sedangkan Rabi‟ah al-Adawiyah wafat tahun 180 Hijriah dan dikebumikan di Basra. Lihat. Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 4-5. 46 atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dzhun-Nun al-misri.84 Kemasyhuran Rabi‟ah al- Adawiyah sebagai sufi yang zuhud telah tersebar keberbagai penjuru negeri, hingga menjangkau Eropa. Para sarjana Barat sangat kagum akan sejarah hidup wanita yang saleh ini, lebih-lebih lagi karena ia seorang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di perguruan tinggi ternama manapun. Namun, buah pikirannya kaya akan ilmu yang mendalam sehingga para sarjana itu sangat menaruh minat untuk meneliti buah pikirannya. Diantara sarjana Barat yang telah menuliskan riwayat hidup dan gagasan Rabi‟ah al-Adawiyah ialah Margaret Smith (Rabi‟ah dan sufi-sufi wanita dalam Islam) diterbitkan di Cambridge, tahun 1928. Kemudian, Masignon dan Nicholson.85 1. Kelahiran Rābi‟ah al-Adawiyah Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713 - 717 masehi atau 95 - 99 H. Para penulis sejarah hidup Rabi‟ah al- Adawiyah mengangkat sisi kemiskinan keluarga Rabi‟ah, bahkan minyak lampu templok di rumahnya tinggal sedikit. Hanya cahaya temaram yang menyambut proses kelahiran Rabi‟ah. Begitu lahir, sang ibu masih harus kebingungan mencari kain penghangat untuk si jabang bayi. Akhirnya, sang ibu meminta suaminya untuk memberanikan meminta sedikit minyak demi lampu templok kepada tetangga. Namun, tidak ada hasil. 84 Terdapat pendapat yang mengungkapkan bahwa terjadi kekeliruan sejarah bahwa Zhun Nun al-Misri baru lahir pada tahun 180 Hijriah yaitu tahun wafatnya Rabi‟ah al-Adawiyyah (dalam riwayat lain). Dengan begitu Dzhun nun al-mishri diriwayatkan bertemu dengan Rabi‟ah ash-Shamiyah. Lihat. Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 5 85 Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 4 47 Sang ayah tertidur dalam kesedihan. Dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang bersabda kepadanya, “Jangan bersedih. Anak perempuanmu yang baru lahir ini kelak menjadi tokoh yang agung derajatnya. Tujuh puluh ribu umatku amat mengharap syafaat darinya.” Nabi Muhammad lalu memerintahkan sang ayah untuk menemui Gubernur Bashrah waktu itu, Isa Dazadzan, dan menyerahkan kepadanya selembar kertas yang bertuliskan: Setiap hari engkau bershalawat seratus kali kepadaku. Khusus pada malam Jum‟at, sebanyak empat ratus kali. Namun, hari Jum‟at kemarin engkau lupa kepadaku. Untuk itu, berikan kepada orang ini empat ratus dinar agar dosamu karena melupakanku terhapus.” Sang ayah membulatkan. Ia menyerahkan kepada skretaris gubernur selember surat berisi catatan dari Nabi. Sekretaris lalu menyampaikan surat itu kepada gubernur. Sang gubernur Bashrah – seperti yang dicatat Fariduddin Athar dalam Tazkirat al-Awliya‟ – berkata, “Berikanlah dua ribu dinar kepada para fakir miskin dan empat ratus kepada syeikh yang kesini itu! Katakana bahwa aku memintanya untuk menemuiku. Tidak! Jangan! Lebih patut jika akulah yang menemuinya. Berlutut di depan pintunya, membersihkan pintu rumahnya dengan janggutku sendiri, memohon kepadanya agar ia sudi memohon kepada Allah apa yang ku inginkan, dan ia bisa membeli semua kebutuhan bayinya.”86 Dengan demikian, dari kisah di atas, sesungguhnya Rabi‟ah lahir dengan membawa rezekynya sendiri. Atau Allah telah myediakan dana yang dibutuhkan oleh Rabi‟ah. Juga Bahwa si jabang bayi kelak akan berbahagaia 86 Ma‟mun Gharib, Rabî‟ah al-„Adawiyyah, Fî Miḥrâb al-Hubb al- Ilâhî, (Kairo: Dâr Ghrîb li ath-Thibâh wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, 2000), h.26. 48 di dunia. Bukankah Rasulullah telah membesarkan hati sang ayah dengan mimpinya tersebut? Bahkan mengarahkan sang ayah ke tempat ia dapat menerima rezekinya. 2. Gadis Kecil yang Saleh Rabi‟ah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang biasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil ia sudah tampak kecerdasannya. Ia menyadari kepapaan dan penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Kendati demikian hal itu tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian keluarga Rabi‟ah terhadap Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah, antara lain dengan membaca al-Qur‟an dan berzikir; ia pun selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengar dari ayahnya. Sejak kecil ia telah diajarkan berbudi pekerti (Akhlak) yang baik dan luhur. Dan sejak kecil pula ia telah sering mendengarkan kata halal dan haram dari kedua orang tuanya dan saudarisaudari nya, sehingga ia menghayati makna hakiki dari kata-kata tersebut dan menerapkan dalam kehidupan sehari-harinya.87 Sejak kecil Rabi‟ah sangat suka belajar menghafal al-Qur‟an. Bila ia telah berhasil menghafalnya, ia duduk dan menghafalnya kembali dengan perasaan khusyuk, iman yang mendalam, dan pemahaman yang sempurna. Bahkan ia telah berhasil menghafal seluruh tiga puluh juz Al-Qur‟an saat usianya masih belia. Melihat hal ini, tak kuasa ayahnya menahan air matanya. Ia sendiri tidak 87 Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 9 49 tahu, apakah air mata ini air mata gembira, atau air mata terharu, atau perasaan khusyuk.88 3. Menjadi Yatim Piatu Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau memintal benang.89 Ada cerita menarik, dalam riwayat yang lain menceritakan, setiap habis pulang dari pekerjaannya Rabi‟ah menghibur dirinya dengan melafalkan senandung-senandung bernada sedih, hal itu dilakukan untuk meluapkan rasa sedihnya yang ada dalam hatinya. Namun, pada satu hari ketika ia sangat lelah pulang dari pekerjaannya, ia jatuh tertidur lelap. Dalam tidurnya ia bermimpi, ia melihat sebuah cahaya yang amat cemerlang, yang belum pernah dilihatnya. Begitu terang cahaya itu memancar, hingga menerangi tempat dan bendabenda disekelilingnya. Cahaya itu bahkan menjalari seluruh tubuhnya dan merasuk ke dalam hati, jiwa dan urat syarafnya. Rabi‟ah terbangun dari tidur dalam keadaan tersenyum dan menangis. Mimpi itu muncul kembali pada 88 Ma‟mun Gharib, Rabî‟ah al-„Adawiyyah, Fî Miḥrâb al-Hubb al- Ilâhî, (Kairo: Dâr Ghrîb li ath-Thibâh wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, 2000), h.28. 89 https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al_Adawiyyah Diakses pada pukul 10:25,tanggal 29-10-2015 50 waktu siang hari. Pada satu hari, ketika Rabi‟ah sedang bekerja menyeberangi orang-orang di atas perahunya, ketika itu, ia sedang menatap cakrawala, tibatiba terdengar suara yang amat merdu: Lebih indah dari senandung serunai yang merdu Di kegelapan malam terdengar bacaan Qur‟an Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya Suara yang merdu membangkitkan keharuan Dan air mata pun bercucuran Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu Sedangkan hatinya penuh cinta Ilahi Ia berkata. Tuhanku. Tuhanku. Ibadah pada-Mu meringankan deritaku. Bukan main terperanjatnya Rabi‟ah mendengar suara yang tidak terduga itu. Ia berusaha mencari sumber suara itu, namun tidak berhasil. 4. Menjadi Hamba Sahaya Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraanya, Rabi'ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat itulah Rabi'ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Pedagang yang membeli Rabi'ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah harus selalu bekerja 51 keras sepanjang hari. Riwayat lain mengatakan, bahwa Rabi‟ah memiliki suara merdu dan pandai memainkan seruling. Dengan kelebihan itu, majikannya menugaskan Rabi‟ah al-Adawiyah untuk bernyanyi demi menghibur sahabat-sahabat majikannya. Padahal Rabi‟ah sendiri merasa tidak nyaman dengan keadaan tersebut. Menimbang bahwa ia telah mengahafal alQur‟an sejak dini. Jiwanya tentu telah terkondisikan untuk merindukan apa yang telah diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Wajar saja bila Rabi‟ah merasa sangat tidak nyaman dengan pekerjaan seperti itu, karena hidupnya sudah terpola agamis sejak ia kecil.90 Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah. Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa Hebrew yaitu "Shekina" yang berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci. Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah. Sebelum Rabi'ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena 90 Ma‟mun Gharib, Rabî‟ah al-„Adawiyyah, Fî Miḥrâb al-Hubb al- Ilâhî, (Kairo: Dâr Ghrîb li ath-Thibâh wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, 2000), h. 29-31 52 kezuhudannya, Rabi'ah menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.91 5. Kehidupan Sebagai Sufi Dan Pilihan Untuk Tidak Menikah Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang pasir. Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal.92 Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah. Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran. Di antara mereka yang pernah mengunjungi majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748 / 130 H), Sufyan as-Sauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H). Rabi'ah hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah. Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah. Di antara mereka yang melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan sahabat 91 Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 16-19 92 Buku-buku manakib tidak menyebutkan secara pasti tentang tempat tinggal setelah ia bebas dari perbudakan dan dalam perjalanannya melalu padang pasir. Tapi, pastinya ia akan tinggal bersama sahabatnya yang bernama Abdah binti Abi Shawwal. 53 Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kelahiran Rabi'ah. Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah. Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan (bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam. Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya. 6. Ajaran Tasawuf Rabi‟ah al-Adawiyah Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah, artinya cinta tanpa pamrih) dan kedekatan dengan Tuhan.93 Pengertian dari metode mahabbah antara lain sebagai berikut:94 a. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya. b. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi. c. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi (Tuhan). 93 Muhammad Atiyyah Khamis diterjemahkan oleh Aliudin Mahjuddin, Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah al- Adawiyah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 55-65 94 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 70-71 54 Menurut al-Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkatan:95 a. Cinta biasa, yaitu selalu mengngiat Tuhan dengan żikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan. b. Cinta orang yang siddik ()الصذٗك, yaitu orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu padaNya. c. Cinta orang yang „arif ()العاسف, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta semacam ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cint, tetpi diri yang dicintai. Akhirnya sifatsifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya. Tingkat kehidupan zuhud yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta kepada Allah. Rabi'ah telah membuka 95 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 70-71 55 jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan bagi para cendikiawan muslim, seperti Sofyan ath-Thawri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. 7. Akhir Hidup Rabi‟ah al-Adawiyah Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain, sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.96 B. Gambaran Umum Penerjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, beliau dilahirkan di Tanjungkarang, 26 Agustus 1974. Alamat beliau saat ini di Bumi Bekasi Baru RT.04/ RW. 07 No. 15 Blok 6, Kel. Bojong Rawalumbu, Kec. Rawalumbu. Kota Bekasi – Jawa Barat. Kesibukan beliau sehari-hari saat ini ialah menjadi pengajar berbagai majelis ta‟lim, penulis, penyadur dan penerjemah lepas di berbagai penerbit diantaranya, penerbit Zaman dan Lentera Hati.97 Masa pendidikan SD beliau selesaikan di SD Krida Putra 02 Petang, Jakarta Timur pada tahun 1986. Kemudian beliau lanjutkan pada pendidikan 96 https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi'ah_al_Adawiyyah Diakses pada pukul 10:25,tanggal 29-10-2015 97 Wawancara langsung dengan narasumber pada tanggal 19-11-2015, pukul 11:43 WIB 56 tingkat SLTP/Mts di Darunnajah Ulujami, Jakarta Selatan selama tiga tahun, lulus pada tahun 1989. Kemudian dilanjutkan ke tingkat SLTA/MA di MAN (PK) I Yogyakarta, selesai pada tahun 1992. Dilanjutkan ke tingkat perguruan tinggi (strata I) di Universitas Al-Azhar jurusan Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin Kairo, Mesir, selesai pada tahun 1996 dengan predikat jayyid. Kemudian tingkat strata II di universitas yang sama namun, tidak tamat dikarenakan kerusuhan yang terjadi pada tahun 1998 dan mengharuskan beliau pulang ke Indonesia. Strata II yang sempat tertunda di Mesir, beliau lanjutkan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Pemikiran Islam belum tamat hingga saat ini. Namun, beliau tamatkan strata II nya di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI Jakarta, Insya Allah akan diwisuda pada Januari 2016.98 Adapun diantara karya-karya beliau sebagai berikut: 1. Karya Terjemahan a. Filsafat Etika, Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam. Judul asli al-Falsafah al-Akhlāqiyyah Fi al-Fikr al-Islām: al-Aqliyyun wa al-Dzauqiyyun aw an-Nazhar wa al-Amal, karangan Dr. Ahmad Mahmud Subhi, terbitan Dar an-Nadwah al-„Arabiyah, Beirut, tahun 1992. Diterbitkan oleh penerbit Serambi Ilmu Semesta tahun 2001. b. Terampil Bersahabat dengan Siapa Saja – Kisah Sukses Rasulullah dan Ulama Menjalin Persaudaraan, Persahabatan dan Pergaulan. Paruh Kitab Adab al-Ulfah wa al-Ukhuwah dari Ihya „Ulumiddin karya Hujjat al-Islam Imam al-Ghazali. 98 Curriculum vitae Yunan Askaruzzaman 57 c. Rabi‟ah al-Adawiyah, Cinta Allah dan Kerinduan Spiritual Manusia. Judul asli terjemahan ini adalah Rabi‟ah al- „Adawiyyah Fī Mīḥrāb alḤubb al- illāḥī, karangan Dr. Ma‟mun Gharib, terbitan Dar Gharib li ath-Thiba‟ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi‟, Kairo, Mesir. Diterbitkan Zaman tahun 2012. 2. Karya Suntingan a. Kiai Sableng Santri Gendeng, Penerbit Gantar tahun 2012. b. Jin dan Setan, Penerbit Serambi Ilmu Semesta tahun 2003. c. Kemenangan Besar Berjumpa Sang Maha Benar. Penerbit Serambi. 3. Karya Saduran a. Malik bin Anas, bekerjasama dengan Dr. Mukhlis Hanafi, diterbitkan dengan judul Biografi 5 Imam Mazhab oleh penerbit Lentera Hati. b. Imam Syafi‟I Sang Penopang Sunnah, bekerjasama dengan Dr. Mukhlis Hanafi, diterbitkan dengan judul Biografi 5 Imam Mazhab oleh penerbit Lentera Hati. 4. Karya Tulis a. Tangisan Langit, Kisah-kisah Terpilih tentang Air Mata Para Nabi dan Orang-Orang Saleh. Bekerjasama dengan Imam Sibawaih ElHasany. Diterbitkan oleh Lentera Hati tahun 2013. 58 BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN PUISI-PUISI RĀBI’AH AL-ADAWIYYAH STUDI KASUS PENERJEMAHAN SEBAGAI “PENGKHIANATAN TEKS Pada bab ini peneliti akan menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah alAdawiyyah dengan kasus penerjemahan sastra (puisi) sebagai pengkhianatan teks. Peneliti akan menggunakan teori puisi dan teori metode penerjemahan yang telah peneliti uraikan dalam bab dua untuk menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah alAdawiyyah ini. Juga untuk meneliti makna pada tiap kata dalam puisi-puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah, peneliti menggunakan kamus al-Munawwir dan alMunjid. Kemudian peneliti akan membuat kategorisasi dalam menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah ini berdasarkan pengkhianatan yang ada pada beberapa unsur puisi sebagai berikut: a. Pengkhianatan Bentuk b. Pengkhianatan Isi c. Pengkhianatan Kreatif A. Deskripsi Teks Puisi Sebelum masuk pada bagian analisis, peneliti akan mendeskripsikan keenam puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah yang ada di dalam buku Rabī‟ah al„Adawiyyah Fī Mīḥrāb al- Ḥubb al- illāḥī dan terjemahannya sebagai berikut: Puisi pertama: ُ ُُّولُالَّزُٕفْقُالتشابُُتشاب#ُُإراُواىُهٌهُالْدُفالىلُُ٘ي 59 Bila cinta dari-Mu kuraih, semua menjadi remeh Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah Puisi kedua: ُ هُأُ ُُلُُلُ ُز ُ ًَُُّحةُُل ُ اوا ُ ُّ#ُٓ ُ ُُِْيُحُةُُال ُ َُّ٘هُحُُث ُ حث ُ ُأ ُ اوا ُ ُُْيُص ُ ُنُعُ َّو ُ ُٖت ُز ُو ُش ُ ُفشُغُُل#ُٓ ُ ُِْال ُ ُُحة ُ ُُُُْٕ ُ ُاُالَّز ُ فُأُ َُّه ُ اوا ُ ُٔأ ُس ُ َّةُحُُت ُ ج ُ ُٖالح ُ ُشفُهُُل ُ ُُفى# ُ َُُ ُتُأُ ُُلُُل ُ ًُُاُالَّزُُٕأ ُ ُُّأ َُّه ان ُ ُر ُ َل ُ ُّا ُ ُيُ ِّلُُالحُ ُو ُذُُفُٖر َُّ ُُّل ُى#ُٖ ُ ُانُل ُ ُر ُ ُاَُّل ُ ُفُلُُالحُ ُو ُذُُفُُٖر Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri Dan cinta sebab Engkau patut dicinta Cinta karena diri adalah larut aku Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku. Sebab semua pujian untuk-Mu semata. Puisi ketiga: ُ ٖص ُ ُْ جُل ُ ُاد ُ يُأُ ُس ُ ُٖه ُ ُضو ُ ُتُج ُ ح ُ ُُّأُت#ُٖ ُ حذُُث ُ ادُ ُه ُ ُهُفُُٖالفُؤ ُ ُٖجعُُلُت ُ ًُُإ ُ ٖض ُ ًُُ٘ادُُأ ُ ُُٖفُٖالفُؤ ُ ةُلُلُُث ُ ُُُّ٘حُُث#ُُٖشُهُ ُؤ ُاًض ُ ُ٘جُل ُ ُٖلُل ُ ٌُُفُالجُضُنُُه Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk 60 Di kalbuku kekasih hati menjadi teman Puisi keempat: ُ ُاسُُت ُذُٗع ُ ُُُٕ٘فُٖالم ُ اُل ُع ُو ُش ُ ُُ ُز# ُ َُُ َّحُث ُ ُظ ُِ ُش ُ ُتُت ُ ًَُل ُُل َُُ ُُُّأ ُ َّ ُصُٔإ ُ تُ ُع ُطُ٘ع ُ حةُُ ُه ُ ُُٗي ُ ىُالوُحُةَُُّلُ ُو َُّ ُإ# ُ َُُ هُصُادُلُاُلُطُ ُعُت ُ ُاىُحُث ُ لُ ُُْ ُو Kau bermaksiat kepada Tuhan, tapi tetap menyatakan cinta Demi Tuhan, itu tidak dapat disandingkan Jika cintamu tulus, niscaya kau patuh kepada-Nya Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya Puisi kelima: ُ ُغضُاب ُ ُام ُ ًُال ُ ُُّٔض ُ هُتُ ُش ُ ُُّلُُ٘ت# ُ ُاجُهُ ُشُٗ ُش ُج ُ ُ٘الح ُ ُّ ُُْ حُل ُ ُهُت ُ فُلُُُ٘ت ُ ُيُخُ ُشاب ُ ُُ٘يُالعُالُو ُ ُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُُّ٘ت# ُ ُُهُعُاهُش ُ ٌُُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُٕ٘ت ُ تُالَُّ ُز ُ ُُُّ٘ل ُ ُابُُت ُشاب ُ ُالتش ُ ُق ُ ُُْٕف ُ ُُّ ُولُُ ُالَّ ُز#ُي ُ ُُُُُ٘هُالُ ُع ُز ُمُفُالىُل ُ ٌُُاُص َّحُُه ُ إُ ُر Sekiranya Engkau menjadi pemanis di tengah pahitnya kehidupan Sekiranya Engkau mencurahkan rida saat orang-orang terbelenggu kemurkaan Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak Dan di antara diriku dan semesta ini adalah kehancuran Jika ketetapan hati dari-Mu telah nyata maka segala sesuatu menjadi mudah Dan segala yang di atas tanah tak lain hanyalah tanah Puisi keenam: اوا ُ اُل ُذُأُت ُ حنُُالُُْ٘ ُمُهُ ُزًُُث ُ اس ُ ُُف#ُاوا ُ ُْ ُةُهُ ُالُٔص ُ ُةُالمُل ُ ُ٘اُحُث ُ ُٗ اوا ُ ُُْحةَُُّص ُ ُُٗى ُ ُةُأ ُ ُُٔالمل ُ ُلذُُُأُت#ُٓ ُ صشُ ُّ ُس ُ ُّٔ ُ احُت ُ ائُ ُّ ُس ُ ج ُ اس ُ ُٗ Wahai kekasihku! Hanya Engkaulah yang kukasihi 61 Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau B. Analisis Puisi Rābi’ah al-Adawiyyah: Studi Penerjemahan Sastra (Puisi) Sebagai Pengkhianatan Teks 1. Pengkhianatan Bentuk Kategori yang pertama yaitu, pengkhianatan pada bentuk. Maksudnya adalah ketidaksesuaian unsur pembangun puisi dari segi bentuk atau fisik pada puisi bahasa sasaran. Melihat puisi sumber adalah puisi tradisional Arab yang memiliki keindahan dari unsur fisik, maka puisi terjemahannya agar dapat menampilkan keindahan puisi sumber secara utuh, juga harus menampilkan unsur fisik/bentuk puisi sasaran yang indah pula. perhatikan kasus di bawah ini: ُ ٖص ُ ُْ جُل ُ ُاد ُ يُأُ ُس ُ ُٖه ُ ُضو ُ ُتُج ُ ح ُ ُُّأُت#ُٖ ُ حذُُث ُ ادُ ُه ُ ُهُفُُٖالفُؤ ُ ُٖجعُُلُت ُ ًُُإ ُ ٖض ُ ًُُ٘ادُُأ ُ ُُٖفُٖالفُؤ ُ ةُلُلُُث ُ ُُُّ٘حُُث#ُُٖشُهُ ُؤ ُاًض ُ ُ٘جُل ُ ُٖلُل ُ ٌُُفُالجُضُنُُه Terjemahan Puisi Versi Penerjemah Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk Di kalbuku kekasih hati menjadi teman Versi Peneliti Kujadikan Kau teman bicaraku di kalbu Kupersilakan ragaku untuk teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk Kekasih hatiku jadi teman setia di kalbu Gambar tabel 1. 62 Perbandingan terjemahan Analisis: Perhatikan terjemahan bait pertama dari syi‟ir (puisi) ketiga di atas: ُ ٖص ُ ُْ جُل ُ ُاد ُ يُأُ ُس ُ ُٖه ُ ُضو ُ ُتُج ُ ح ُ ُُّأُت#ُٖ ُ حذُُث ُ ادُ ُه ُ ُهُفُُٖالفُؤ ُ ُٖجعُُلُت ُ ًُُإ Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku Antara terjemahan syaṭr pertama dan kedua pada bagian awal tidak sama bentuk unsur rimanya. Nampaknya penerjemah memperhatikan keteralihan unsur gramatika (sintaksis) dari bahasa sumber ke bahasa sasaran pada terjemahan teks harus ada ُُّٖأُتُحُتُ ُجُضُو, namun pada terjemahan teks hal itu menjadikan unsur rima yang sasaran menjadi tidak sesuai. Ketidaksesuaiannya pada kata yang peneliti beri garisbawah di atas. Juga nampak di atas adanya ketidaksesuaian rima akhir pada syaṭr pertama dan kedua yaitu pada kata „hati‟ dan „dudukku,‟ masalah ini sebenarnya dapat diatasi penerjemah dengan memilih diksi yang tepat, sehingga dapat membuat rima akhir yang indah pada puisi Bsa. Mengingat teori puisi pada bab dua, puisi tradisional atau puisi lama harus memiliki unsur pembangun dari segi bentuk atau fisik berupa rima, matra dan irama, sehingga membuat puisi tampak indah. Coba perhatikan keseluruhan terjemahan syi‟ir ketiga ini: Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk 63 Di kalbuku kekasih hati menjadi teman Tidak hanya pada rima bagian awalnya saja yang tidak memiliki keserasian, rima bagian akhirnyapun tidak tidak serasi, sehingga hilang estetik dari unsur fisiknya (matra dan iramanya). Saran peneliti sebagai berikut: a. Untuk bait pertama. Pertama, bagian terjemah syaṭr pertama kata „hati‟ yang digunakan untuk menerjemahkan kata „ ‟الفُؤُادdiganti dengan kata „kalbu‟ agar rima akhirnya serasi dengan kata yang menjadi rima akhir pada larik/ syaṭr berikutnya. Kedua, larik kedua, demi memburu rima awal agar bunyinya sama kata „ragaku‟ yang menjadi terjemahan „ُٖ ‟جُضُوdiletakan setelah kata „kupersilakan‟ terjemahan dari „ُ‟أُتُحُت. Jadi demi memburu keserasian bunyi rima awal, larik kedua diterjemahkan menggunakan metode penerjemahan setia. b. Untuk bait kedua. Pertama, untuk syaṭr pertama dari bait kedua ini, peneliti setuju dengan hasil terjemahan penerjemah yang menggunakan metode penerjemahan semantik. Kedua, untuk larik (syaṭr) kedua dari bait kedua ini, pada terjemahan ُُّٖحُثُُ٘ةُ ُلُلُث ُُّٖحُثُُ٘ةُ ُلُلُث dan فُٖ ُالفُؤُاد. Frasa diterjemahkan „kekasih hati‟ padahal di frasa tersbut terdapat ḍomir muttasil ya` mutakallim yang nempel dan memiliki arti „kepunyaan saya‟ jadi seharusnya penerjemah memberi arti „kekasih hatiku‟ untuk teks sumber ُُّٖحُثُُ٘ةُ ُلُلُث. Sedangkan untuk teks ُفُُٖالفُؤُاد cukup diberi arti „di hati‟ tanpa penambahan „ku‟ karena, tidak ada ḍomir muttasil ya` mutakallim yang nempel pada teks ُفُُٖالفُؤُاد. Pada 64 kenyataannya penerjemah puisi membuang arti „aku/saya‟ dari frasa pada teks ُفُُٖالفُؤُاد ini melakukan hal sebaliknya, ُٖ ُّحُثُُ٘ةُ ُلُلُثdan memunculkannya yang tidak terdapat ḍomir muttasil ya` mutakallim yang nempel padanya. Hasilnya akan didapati terjemahan puisi dari peneliti sebagai berikut: Kujadikan Kau teman bicaraku di kalbu Kupersilakan ragaku untuk teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk Kekasih hatiku jadi teman setia di kalbu Selanjutnya pengkhianatan pada bentuk juga peneliti temukan pada terjemahan syi‟ir kedua di bawah ini: ُ اوا ُ هُأُ ُُلُُلُ ُز ُ ًَُُّحةُُل ُ ُّ#ُٓ ُ ُُِْيُحُةُُال ُ َُّ٘هُحُُث ُ حث ُ ُأ ُ اوا ُ ُُْيُص ُ ُنُعُ َّو ُ ُٖت ُز ُو ُش ُ ُفشُغُُل#ُٓ ُ ُِْال ُ ُُحة ُ ُُُُْٕ ُ ُاُالَّز ُ فُأُ َُّه ُ اوا ُ ُٔأ ُس ُ َّةُحُُت ُ ج ُ ُٖالح ُ ُشفُهُُل ُ ُُفى# ُ َُُ ُتُأُ ُُلُُل ُ ًُُاُالَّزُُٕأ ُ ُُّأ َُّه ان ُ ُر ُ َل ُ ُّا ُ ُيُ ِّلُُالحُ ُو ُذُُفُٖر َُّ ُُّل ُى#ُٖ ُ ُانُل ُ ُر ُ ُاَُّل ُ ُفُلُُالحُ ُو ُذُُفُُٖر Terjemahan Puisi Versi Penerjemah Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri Dan cinta sebab Engkau patut dicinta Cinta karena diri adalah larut aku Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku 65 Sebab semua pujian untuk-Mu semata Versi Peneliti Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta Cinta sebab Kau patut dicinta Cinta karena cinta Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu Sebab Engkau patut dicinta Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu Pujian tak layak bagiku, pada keduanya Pujian hanya bagi Allah, pada keduanya Gambar tabel 1.1. Perbandingan terjemahan Analisis: Perhatikan puisi terjemahan di atas, penyusunan matra pada puisi di atas masih berantakan tidak berpatokan pada rima yang saling megikat antara satu kata dengan kata yang lainnya. Peneliti melihat, penerjemah puisi ini hanya mementingkan keteralihan pesan atau maksud puisi sumber pada puisi sasaran namun, ia mengabaikan unsur bentuk/fisik yang membangun atau yang menjadi ciri khas dari puisi itu sendiri. Penerjemah puisi harus mempertimbangkan unsur pembangun puisi dalam puisi Bsa-nya, tidak bisa diabaikan. Bila diabaikan maka akan hilang unsur puisinya dan hal itu yang menyebabkan puisi Tsa mengkhianati puisi Tsu. Peneliti memperhatikan permulaan kata pada tiap lariknya tidak serasi, seakan tidak ada irama yang mengikatnya. Pembaca awam, ketika membaca puisi ini akan merasakan seperti bukan membaca puisi, bila teks puisi sumbernya dipisahkan dari teks puisi terjemahannya. Mereka akan merasakan membaca prosa yang di puisi kan, dengan bermodal rima akhir dan penyusunan larik. 66 Perhatikan teks puisi terjemahan (tsa) di bawah ini: Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri Dan cinta sebab Engkau patut dicinta Cinta karena diri adalah larut aku Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku Sebab semua pujian untuk-Mu semata Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan strategi memilih metode penerjemahan yang tepat dan pemilihan diksi yang tepat, guna memburu rima, irama dan unsur pembangun bentuk puisi lainnya. Pada bait pertama agar rima awal antara larik pertama dan kedua memiliki irama, maka peneliti mencoba mencarikan diksi yang sesuai untuk menjadi padanan teks sumber dan demi memburu rima awal yang berirama. Kalimat „kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri‟ yang menjadi terjemahan larik pertama dari teks „ُُِْٓأُحُثهُ ُحُُث َُّ٘يُ ُحُةُ ُال,‟ menurut peneliti terjemahan ُُِْٓ حُةُُالyaitu „cinta karena diri‟ baiknya diubah menjadi „cinta karena cinta‟ dengan alas an memburu keindahan estetik pada rima dan matra puisinya. 67 Kata ُحُة mempunyai arti dalam kamus „cinta‟ „mencintai‟ dan „menyukai‟ sedangkan, kata ِْٓال mempunyai arti dalam kamus 'cinta' 'keinginan' 'kesukaan' 'kesenangan' dan „kecenderungan‟. Demi memburu rima yang serasi dan keindahan puisi yang harus ada dalam sebuah puisi99, peneliti menerjemahkan frasa ُُِْٓ حُةُُالdengan „cinta karena cinta‟ Sedangkan pada larik (syaṭr) kedua bait pertama, kata „dan‟ yang menjadi terjemahan ّ (wau) tidak perlu diterjemahkan, karena ّ tersebut penanda awal kalimat atau dikenal dengan wau isti‟naf. Pemilihan diksi „Engkau‟ untuk terjemahan ḍomir muttaṣil ن menurut peneliti lebih cocok „Kau‟ dengan alasan katau „Kau‟ lebih memiliki kedekatan antara orang yang berbicara dengan orang yang diajak bicara. Peneliti menerjemahkan larik kedua ini ُّحُةُ َُلًَُُّهُ ُأُُُلُ ُلُزُاوُا sebagai berikut; „Cinta sebab Kau patut dicinta‟. Hasil terjemahan peneliti larik satu dan dua bait pertama sebagai berikut: Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta Cinta sebab Kau patut dicinta Terjemahan bait kedua dari syi‟ir kedua ini terdapat beberapa masalah terutama pada larik pertama. Frasa „larut aku‟ merupakan terjemahan dari tsu ُٖ فُشُغُلyang terdapat pada larik kedua, hal ini merupakan kasus pengkhianatan tsa pada tsu yang dilakukan penerjemah puisi. Sebab, penerjemah puisi bukan 99 Lihat unsur pembangun puisi dari segi bentuk/fisik pada bab dua. 68 lagi menerjemahkan, melainkan sudah menyadur. Penerjemah puisi meletakan terjemahan larik kedua pada larik pertama yang menurut peneliti tidak diperbolehkan, karena yang dinamakan menerjemahkan adalah mengalihkan pesan seutuhnya dari bahasa sumber ke-bahasa sasaran, kalau itu puisi berarti lengkap dengan unsur-unsur puisi dan dalam bentuk bentuk puisi pada bahasa sasaran. ُ فُأُ َُّه Untuk larik pertama bait kedua peneliti menerjemahkan teks ُُُُُُْٕاُال َّز ُُِْٓحُةُ ُال dengan arti „cinta karena cinta‟100. Sebab bila diterjemahkan dengan metode penerjemahan harfiyah atau semantik, nanti akan muncul makna dari teks ُٕاُالَّز ُ فُأ َُّه „adapun‟101 yang tidak estetis bila diletakan pada bahasa puisi. Kemudian frasa ُٖفُشُغُل tetap terjemahannya diletakan pada larik kedua. Peneliti menerjemahkan larik kedua secara menyeluruh sebagai berikut; „Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu‟. „Menyibukkanku‟ arti dari frasa ُٖفُشُغُل, sedangkan „mengingat-Mu dari selain-Mu‟ terjemahan dari teksويُُصُُْاوُا َُّ ُتُزُوُشُنُُع. ُ َُُُُّأُ َُّها ُ ُالَّزُٕ ُأًُُتُ ُأُُُلُ ُلpada menerjemahkan teks bait ketiga penerjemah puisi ini ُٕ ُُّأُ َُّها ُ ُالَّزdengan padanan „sedang‟ dalam bahasa sasaran yang menurut peneliti tidak perlu diberikan padanan sebab dapat 100 101 Menggunakan metode penerjemahan bebas Dalam kamus Munawwir 69 merusak bahasa dalam puisi/ syi‟ir-nya. Menurut peneliti terjemahkan saja „sebab Engkau patut dicinta‟. Larik selanjutnya menurut peneliti diterjemahkan saja „Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu.‟ Peneliti memilih membuang kata „adalah‟ yang dimunculkan oleh penerjemah sebab menurut peneliti, kata „adalah‟ tidak tepat pada pemakaian bahasa puisi. Untuk bait terakhir menurut peneliti pada larik pertama diubah menjadi „pujian tak layak bagiku, pada keduanya‟ sedangkan larik keduanya „pujian hanya bagi Allah, pada keduanya‟ dengan alasan demi memburu keselarasan rima bagian awal dan akhir pada larik pertama dan kedua. Rincian makna larik pertama dan kedua sebagai berikut: Kata/ Frasa Makna Kamus/ Makna Kata yang dipakai Bahasa Sumber terjemahan harfiyyah penerjemah ٖ = فDi, di dalam, pada, Pada keduanya ُفُُُٖرُاَُُّلُُرُان = راini, = رانitu ُفُلُُالحُوُذ = فلMaka tidak, الحوذ Pujian tidak layak = Pujian, syukur, terimakasih ُٖل Bagiku, untukku Bagiku Gambar tabel 1.2. Rincian makna larik pertama Kata/ Frasa Makna Kamus/ Makna Kata yang dipakai Bahasa Sumber terjemahan harfiyyah penerjemah 70 ُّلُىُي ِل ُالحُوُذ ُفُُٖرُاَُُّلُُرُان Akan tetapi Sebab Bagi Allah - Pujian, syukur, terimakasih Pujian ٖ = فDi, di dalam, pada, را - = ini, = رانitu Gambar tabel 1.3. Rincian makna larik kedua. Terjemahan larik kedua diterjemahkan dengan metode penerjemahan bebas oleh penerjemah puisi ini. Secara keseluruhan peneliti menerjemahkan ulang syi‟ir kedua sebagai berikut: Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta Cinta sebab Kau patut dicinta Cinta karena cinta Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu Sebab Engkau patut dicinta Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu Pujian tak layak bagiku, pada keduanya Pujian hanya bagi Allah, pada keduanya Kemudian peneliti menemukan kasus pengkhianatan bentuk pada terjemahan syi‟ir kelima di bawah ini: 71 ُ ُغضُاب ُ ُام ُ ًُال ُ ُُّٔض ُ هُتُ ُش ُ ُُّلُُ٘ت# ُ ُاجُهُ ُشُٗ ُش ُج ُ ُ٘الح ُ ُّ ُُْ حُل ُ ُهُت ُ فُلُُُ٘ت ُ ُيُخُ ُشاب ُ ُُ٘يُالعُالُو ُ ُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُُّ٘ت# ُ ُُهُعُاهُش ُ ٌُُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُٕ٘ت ُ تُالَُّ ُز ُ ُُُّ٘ل ُ ُابُُت ُشاب ُ ُالتش ُ ُق ُ ُُْٕف ُ ُُّ ُولُُ ُالَّ ُز#ُي ُ ُُُُُ٘هُالُ ُع ُز ُمُفُالىُل ُ ٌُُاُص َّحُُه ُ إُ ُر Terjemahan Puisi Versi Penerjemah Sekiranya Engkau menjadi pemanis di tengah pahitnya kehidupan Sekiranya Engkau mencurahkan rida saat orang-orang terbelenggu kemurkaan Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak Dan di antara diriku dan semesta ini adalah kehancuran Jika ketetapan hati dari-Mu telah nyata maka segala sesuatu menjadi mudah Dan segala yang di atas tanah tak lain hanyalah tanah Versi Peneliti Semoga Kau jadi pemanis dalam pahitnya kehidupan Semoga Kau meridai saat manusia murka Semoga antara aku dan Engkau terpelihara Antara aku dan semesta hanyalah fana Bila kesungguhan hati-Mu nyata, segala sesuatu jadi remeh Segala yang di atas tanah hanyalah tanah. Gambar tabel 1.4. Perbandingan terjemahan Analisis: Pendapat peneliti mengenai terjemahan puisi di atas, penerjemah sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja telah memakai rima akhir patah. Ciri rima akhir patah polanya adalah a-a-a-b/a-b-a-a/a-a-b-a/b-a-a-a, namun yang menjadi ganjalan bagi peneliti adalah biasanya salah satu dari rima akhir patah tersebut huruf vokal (a,i,u,e,o) atau huruf konsonan di antara tiga huruf vokal yang ada pada suku kata terakhir pada larik sebelum dan sesudah huruf 72 konsonan itu. Bila terjemahan ُعُاهُش yaitu „semerbak‟ diganti dengan diksi lain yang bersuku kata akhirnya huruf vokal maka terpenuhi unsur rima akhirnya. Selanjutnya kata „dan‟ yang menjadi terjemahan huruf ّ pada syaṭr keempat baiknya dibuang saja sebab terjemahan harfiyyah ini merusak irama, dan kata „di antara‟ dibuang kata preposisi „di‟ jadi tinggal kata „antara‟ saja pada awal kalimat, serta membuang kata „ini‟ dan „adalah‟ yang tidak ada rujukkannya dalam teks sumber, kemudian diganti dengan kata „hanya‟ yang masih ada hubungan dengan konteks teks sumber, jadi terjemahannya akan seperti ini, “Antara diriku dan semesta hanya kehancuran.” Menurut peneliti itu lebih baik. Analisis peneliti terhadap terjemahan syi‟ir kelima terkait dengan pengkhianatan teks pada unsur bentuk/fisik puisi sebagai berikut: a. Bait pertama peneliti menilai antara larik pertama dan kedua rima awal dan akhirnya sudah dapat mewakili unsur pembangun bentuk dari puisi bahasa sasaran, karena memiliki kesamaan bunyi untuk membentuk irama. Namun, pada pertengahan kalimat terasa amat panjang untuk kalimat dalam puisi terutama pada larik kedua (terjemahan puisi). Untuk larik pertama terjemahkan saja sebagai berikut; „Semoga Engkau jadi pemanis dalam pahitnya kehidupan‟, lalu larik keduanya; „Semoga Engkau meridai saat manusia murka‟. Peneliti mempertimbangkan menerjemahkan kata ل٘تdengan padanan 'semoga' daripada 'sekiranya', karena menurut peneliti setelah mengkaji riwayat kehidupan (pembacaan 73 historikal) beliau (Rabi‟ah) sebagai sufi wanita, beliau ini senantiasa berdoa kepada Allah dengan bahasa yang sangat santun, bahkan terlalu santunnya, seakan-akan beliau merendahkan dirinya dihadapan Allah. Jadi, menurut peneliti kata ُلُُ٘ت pada syi‟ir ini bukanlah bermkana denotasi „sekiranya‟ yang mengandung unsur angan-angan, tapi terdapat makna konotasi yaitu harapan „semoga‟. Selanjutnya peneliti lebih memilih diksi „dalam‟ daripada „di tengah‟, menurut peneliti tidak perlu mencari padanan di luar konteks kalimat, bila masih bisa dicari padanan pada konteks kalimat. Kata „dalam‟ pada larik pertama muncul karena terdapat ّ ḥaliyyah dari teks ُُفُلُُ٘تُهُُتُحُلُُُُّْالحُُ٘اجُُهُشُُٗشُجyang memiliki „dalam keadaan‟ atau „dalam‟. Larik kedua, bandingkan antara terjemahan penerjemah puisi ini dengan terjemahan peneliti; „Sekiranya Engkau mencurahkan rida saat orangorang terbelenggu kemurkaan‟ dengan „Semoga Engkau meridai saat manusia murka‟. Pertama, terjemahan puisi penerjemah terlalu panjang kalimatnya untuk ukuran sebuah puisi, sedangkan peneliti lebih memadatkan kalimatnya. Kedua, penerjemah puisi menerjemahkan kata ُٔتُشُض „mencurahkan rida‟ yang sebenarnya bisa diefektifkan dengan diksi „meridai‟ dan kata ُغُضُاب yang diterjemahkan penerjemah puisi ini dengan „terbelenggu kemurkaan‟ peneliti menyederhanakan dengan memilih diksi „murka‟. Penerjemah puisi perlu mengingat bahwa bahasa yang digunakan pada puisi adalah bahasa yang padat dan terfokuskan 74 pada maksud puisi itu sendiri.102 Pemilihan diksi yang tepat untuk dijadikan padanan (terjemahan) Bsu pada Bsa merupakan bagian dari strategi penerjemahan. b. Bait kedua menurut peneliti untuk terjemahan عُاهُش yang diberi terjemahan 'semerbak' oleh penerjemah, baiknya atau bahkan seharusnya dicari diksi yang lain agar rima akhir sesuai dengan larik kedua bait pertama atau larik sesudahnya yaitu larik kedua bait kedua. Dalam kamus al-Munawir, kata عُاهُش memiliki arti „yang didiami‟dan „yang dipelihara‟ atau „terpelihara‟. Selanjutnya untuk menyelarasi rima akhir pada larik pertama bait kedua, peneliti memilih diksi „fana‟ untuk terjemahan teks ُ خُشُابdaripada diksi „kehancuran‟. Juga untuk memburu kesamaan irama pada permulaan kalimat antara larik pertama dan kedua, bait kedua ini, peneliti membuang preposisi „di‟ pada kata „di antara‟ yang menjadi terjemahan dari teks ٌُُُٖ٘ ت. c. Bait ketiga dari syi‟ir kelima ini, ada beberapa diksi yang menjadi padanan tsa pada tsu yang peneliti ubah dengan alasan memburu keselarasan bunyi irama, diantaranya kata „jika‟ yang menjadi padanan tsuُ ُإُرُا. Diubah dengan diksi „bila‟ sebab, memburu keselarasan bunyi irama pada kata „segala‟di larik kedua. Dengan pertimbangan kata „bila‟ dan „jika‟ masih dapat menjadi padanan tsu إُرُا. 102 Melani Budianta, Ida Sundari Husen, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi), (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h. 40-41. 75 Secara keseluruhan peneliti menganalisis metode penerjemahan yang digunakan penerjemah puisi untuk menerjemahkan puisi ini menggunakan metode penerjemahan setia. Dapat diketahui ketika penerjemah puisi, menerjemahkan bait ketiga, “Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak,” # “Dan di antara diriku dan semesta ini adalah kehancuran.” Penerjemah sangat setia ketika menerjemahkan atau mencari padanan tsu عُاهُشdengan diksi „semerbak‟ dan tsu ُ„ خُشُابkehancuran‟ yang kedua arti tersebut terdapat dalam kamus.103 Penerjemah tidak bisa melepaskan arti sesungguhnya teks sumber tersebut, sehingga berdampak pada keindahan puisi terjemahannya.104 Menurut peneliti, baiknya ketika menerjemahkan puisi/syi‟ir tsu ke tsa, harus lebih memperhatikan kekhasan dari puisi itu sendiri walaupun dalam teks sasaran atau bahasa sasaran, disamping harus memperhatikan keteralihan pesan. Hasil dari analisis syi‟ir kelima ini, peneliti mencoba menerjemahkan ulang dengan pola rima akhir patah b-a-a-a sebagai berikut: Semoga Kau jadi pemanis dalam pahitnya kehidupan Semoga Kau meridai saat manusia murka Semoga antara aku dan Engkau terpelihara Antara aku dan semesta hanyalah fana Bila kesungguhan hati-Mu nyata, segala sesuatu jadi remeh Segala yang di atas tanah hanyalah tanah. 103 al-Munawir Dampaknya adalah hilang keindahan syi'ir kelima dari segi bentuknya sebagai puisi, karena hilangnya irama dan rima akhir. 104 76 2. Pengkhianatan Isi Kategori kedua ialah pengkhianatan unsur isi pada syi‟ir (puisi), dengan artian kasus pengkhianatan unsur isi puisi yang disebabkan oleh pemilihan metode penerjemahan, juga terkait strategi dalam menerjemahkan teks sumber. Strategi dalam menerjemahkan kaitannya dengan pemilihan diksi dan lainnya. Kaitannya dengan masalah terjemahan yang dapat merubah isi (maksud) dari puisi sumber. Kasus pertama peneliti temukan pada syi‟ir kelima, bait ketiga pada syaṭr pertama, analisisnya sebagai berikut: ُ ُغضُاب ُ ُام ُ ًُال ُ ُُّٔض ُ هُتُ ُش ُ ُُّلُُ٘ت# ُ ُاجُهُ ُشُٗ ُش ُج ُ ُ٘الح ُ ُّ ُُْ حُل ُ ُهُت ُ فُلُُُ٘ت ُ ُيُخُ ُشاب ُ ُُ٘يُالعُالُو ُ ُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُُّ٘ت# ُ ُُهُعُاهُش ُ ٌُُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُٕ٘ت ُ تُالَُّ ُز ُ ُُُّ٘ل ُابُُت ُشاب ُ ُالتش ُ ُق ُ ُُْٕف ُ ُُّ ُولُُ ُالَّ ُز#ُي ُ ُُُُُ٘هُالُ ُع ُز ُمُفُالىُل ُ ٌُُاُص َّحُُه ُ إُ ُر Teks sumber ُح ُهٌُُهُ ُالُعُزُمُ ُفُالىُلُ ُُُُ٘ي َُّ ُإُرُا ُص, terutama pada teks yang digarisbawahi oleh peneliti, yang menjadi kajian kasus pengkhianatan teks unsur isi puisi. Sebelumnya teks ُ ُُُ٘يjuga terdapat pada syi‟ir pertama larik pertama yang berbunyi,ُح ُهٌُُهُ ُالُعُزُمُ ُفُالىُلُ ُُُُ٘ي َُّ ُ ُإُرُا ُص. Sama-sama terdapat kata diterjemahkan berbeda oleh penerjemah. Kata diterjemahkan „remeh‟, sedangkan kata ُُُُ٘ي ُُُُ٘ي, pada syi‟ir pertama ُ ُُُ٘يpada syi‟ir kelima diterjemahkan mudah. 77 Peneliti menganalisa arti kata ُُُُ٘ي dalam bahasa sasaran (Indonesia) sebagai berikut; „mudah‟, „gampang‟, „rendah‟, „remeh‟.105 Belum selesai mencari padanan teks atau kata untuk terjemahan ُُُُ٘ي sampai pada merujuk kamus saja, tetapi kita perlu melihat konteks kalimat teks sumber (syi‟ir) jauh lebih kedalam lagi dengan mempertimbangkan kajian historis (sejarah) syi‟ir ditulis dan pengarang syi‟ir ini. Bila dikaji secara historis syi‟ir ini ditulis/dikarang oleh seorang sufi wanita yaitu Rābi‟ah al-Adawiyah. Rābi‟ah al-Adawiyah merupakan sufi wanita yang sangat zuḥud artinya ia tidak lagi memperhatikan keidupan duniawi, sehingga sepanjang masa hidupnya ia hanya melakukan ibadah, ia curahkan seluruh kehidupannya kepada Allah swt. dengan metode atau cara tasawwuf mahabbahnya ia berhasil makrifat (kasyaf) kepada Allah swt.106 Pertimbangan kedua adalah karena keterpautan kata „tanah‟ yang menjadi terjemahan teks ُالتُشُاب yang memiliki konotasi yang sama dengan kata 'remeh'. Bila diteliti makna „remeh‟ dan „mudah‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berikut: Kata Makna/Arti Menurut KBBI Remeh Tidak penting, tidak berharga, atau kecil Mudah Gampang tidak sukar, tidak perlu mengeluarkan tenaga dan pikiran dalam mengerjakannya Gambar tabel 2. 105 106 Kamus al-Munawwir dan al-Munjid. Lihat bab ke-3 pembahasan ajaran tasawwuf Rabi‟ah al-Adawiyyah 78 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dianalisa, peneliti lebih memilih kata „remeh‟ untuk terjemahan kata atau teks sumber ُُُُ٘ي daripada kata „mudah‟, karena kata „remeh‟ lebih dekat maksudnya untuk mewakili isi atau pesan dari teks sumber ُُُُ٘ي. Pada bait selanjutnya bait kedua peneliti juga menemukan kasus pengkhianatan teks pada terjemahan ُعُاهُش yang diterjemahkan „semerbak‟ oleh penerjemah puisi ini. Bisa dilihat dibawah ini bait kedua syaṭr pertama dari syi‟ir ini: ُهُعُاهُش ُ ٌُُُُّٖ٘ت ُ ٌُُُ٘تُالَُّ ُزُٕت ُ ُُُّ٘ل Sekiranya di antara diriku dan diri-Mu adalah sesuatu yang semerbak Kata ُعاهش mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: Kata/ Frasa Makna Kamus/ Makna Kata yang dipakai Bahasa Sumber terjemahan harfiyyah penerjemah ُعُاهُش Yang didiami, tempat yang Semerbak didiami, yang dipelihara. Gambar tabel 2.1. Dari uraian tabel di atas, hemat peneliti adalah ambil kata „terpelihara‟ saja yang dekat dengan makna ُ عُاهُشpada teks sumber, sehingga penerjemah tidak mengkhianati isi teks sumber. Kalau tetap memakai kata „semerbak‟ hasil terjemahan dari penerjemah puisi ini dapat mengkhianati isi/maksud dari pengarang puisi ini. 79 Selanjutnya peneliti menemukan kasus pengkhianatan teks unsur isi puisi pada syi‟ir kedua di bawah ini: ُ هُأُ ُُلُُلُ ُز ُ ًَُُّحةُُل ُ اوا ُ ُّ#ُٓ ُ ُُِْيُحُةُُال ُ َُّ٘هُحُُث ُ حث ُ ُأ ُ اوا ُ ُُْيُص ُ ُنُعُ َّو ُ ُٖت ُز ُو ُش ُ ُفشُغُُل#ُٓ ُ ُِْال ُ ُُحة ُ ُُُُْٕ ُ ُاُالَّز ُ فُأُ َُّه ُ اوا ُ ُٔأ ُس ُ َّةُحُُت ُ ج ُ ُٖالح ُ ُشفُهُُل ُ ُُفى# ُ َُُ ُتُأُ ُُلُُل ُ ًُُاُالَّزُُٕأ ُ ُُّأ َُّه ان ُ ُر ُ َل ُ ُّا ُ ُيُ ِّلُُالحُ ُو ُذُُفُٖر َُّ ُُّل ُى#ُٖ ُ ُانُل ُ ُر ُ ُاَُّل ُ ُفُلُُالحُ ُو ُذُُفُُٖر Terjemahan Puisi Versi Penerjemah Kucintai Engkau dengan dua cinta: cinta karena diri Dan cinta sebab Engkau patut dicinta Cinta karena diri adalah larut aku Mengingat-Mu dan mengabaikan selain-Mu Sedang cinta sebab Engkau patut dicinta Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu Pada keduanya, pujian tidak layak bagiku Sebab semua pujian untuk-Mu semata Versi Peneliti Kucintai Kau dengan dua cinta; cinta karena cinta Cinta sebab Kau patut dicinta Cinta karena cinta Menyibukkanku mengingat-Mu dari selain-Mu Sebab Engkau patut dicinta Kau singkap tabir hingga aku makrifat pada-Mu Pujian tak layak bagiku, pada keduanya Pujian hanya bagi Allah, pada keduanya Gambar tabel 2.2. Perbandingan terjemahan Analisis: Pada terjemahan kata yang digarisbawahi pada larik kedua bait ketiga dari syi‟ir di atas, rinciannya sebagai berikut: 80 ُ ةُحُُتَُّٔأساوا ُ ج ُ ُٖالح ُ ُشفُهُُل ُ ُفُى Adalah Engkau singkap tabir hingga aku dapat memandang-Mu Teks sumber atau frasa أُسُاوُا diterjemahkan „memandang-Mu‟ oleh penerjemah puisi ini. Menurut peneliti frasa أُسُاوُا diterjemahkan secara hafiyyah atau leksikal oleh penerjemah puisi ini. Tidak salah, tetapi maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang syi‟ir ini kurang tersampaikan. Bila dilihat dalam kamus frasa أُسُاوُا107memiliki akar kata ُٓ سُأmemiliki arti atau makna; „melihat‟, „memandang‟, „dapat dilihat‟, „menyangka‟, ُٓسُأ „menduga‟, „bermimpi‟, dan „makrifat‟.108 Diantara arti kata memilih kata „makrifat‟ untuk dijadikan padanan ُٓسُأ peneliti dalam bahasa sasarannya (terjemahannya), dengan pertimbangan syi‟ir ini ditulis oleh seorang sufi dan syi‟irnya juga membahas tentang tasawwuf. Selanjutnya peneliti menemukan kasus pengkhianatan teks pada syi‟ir keempat di bawah ini: ُ ُاسُُت ُذُٗع ُ ُُُٕ٘فُٖالم ُ اُل ُع ُو ُش ُ ُُ ُز# ُ َُُ َّحُث ُ ُظ ُِ ُش ُ ُتُت ُ ًَُل ُُل َُُ ُُُّأ ُ َّ ُصُٔإ ُ تُ ُع ُطُ٘ع ُ ُحةُُه ُ ُُٗي ُ ىُالوُحُةَُُّلُ ُو َُّ ُإ# ُ َُُ هُصُادُلُاُلُطُ ُعُت ُ ُاىُحُث ُ لُ ُُْ ُو Terjemahan Puisi Versi Penerjemah 107 108 ك= أراك+ أرى Kamus al-Munawwir dan al-Munjid 81 Kau bermaksiat kepada Tuhan, tapi tetap menyatakan cinta Demi Tuhan, itu tidak dapat disandingkan Jika cintamu tulus, niscaya kau patuh kepada-Nya Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya Versi Peneliti Kau maksiat pada Tuhan tapi, tetap nyatakan cinta Demi Tuhan! Ini kiasan yang mengherankan Kalau cintamu tulus, niscaya kau patuh pada-Nya Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya Gambar tabel 2.3. Perbandingan terjemahan Analisis: Perhatikan syi‟ir keempat di atas, peneliti menemukan kasus pengkhianatan pada bait pertama syaṭr kedua pada teks sasaran, “Tidak dapat disandingkan” yang menjadi padanan dari ُ فُُٖالمُُ٘اسُ ُتُذُُٗعdan kata ُُزُاditerjemahkan „itu‟ dalam bahasa sasaran. Perhatikan uraian dalam tabel di bawah ini: Kata/ Frasa Makna Kamus/ Makna Kata yang dipakai Bahasa Sumber terjemahan harfiyyah penerjemah ُُزُا Ini - ُٕلُعُوُش Demi Tuhan, Demi Jiwa Demi Tuhan ُفُُٖالمُُ٘اسُُتُذُٗع الم٘اس = Ukuran, perbandingan, persamaan, kiasan. = تذٗعbandingan, Itu tidak dapat disandingkan takjub, heran Gambar tabel 2.4. 82 Dari uraian tabel di atas nampaknya, penerjemah menggunakan metode penerjemahan bebas pada terjemahan ُ فُُٖالمُُ٘اسُ ُتُذُُٗعdengan memunculkan gagasan penerjemah sendiri yaitu „tidak dapat disandingkan‟. Menurut peneliti gagasan dari penerjemah puisi ini tidak dapat mewakili atau menggantikan maksud/isi dari teksُ ُفُُٖالمُُ٘اسُ ُتُذُُٗع. Maksud pengarang puisi yang peneliti tangkap adalah situasi yang mengherankan pengarang dari ungkapan sebelumnya pada syaṭr pertama, dan juga teks/kata ُ تُذُُٗعyang menunjukkan arti „keheranan‟ atau „aneh‟. Jadi terjemahan yang pas menurut peneliti seperti ini, “Demi Tuhan! ini kiasan yang mengherankan,” dengan tetap menerjemahkan teks ُُزُاdengan padanan „ini‟. Peneliti mencoba menerjemahkan ulang syi‟ir di atas sebagai berikut: Kau maksiat pada Tuhan tapi, tetap nyatakan cinta Demi Tuhan! Ini kiasan yang mengherankan Kalau cintamu tulus, niscaya kau patuh pada-Nya Sungguh, seorang pencinta akan mematuhi kekasihnya Pada syi‟ir keenam di bawah ini juga peneliti temukan kasus pengkhiantan isi sebagai berikut: ُفُاسُحُنُُالُُْ٘مُُهُزًُُثُاُلُذُأُتُاوُا#ُُٗاُحُثُُ٘ةُُالمُلُةُُهُالُُٔصُُْاوُا اوا ُ ُُْحةَُُّص ُ ُُٗى ُ ُةُأ ُ ُُٔالمل ُ ُلذُُُأُت#ُٓ ُ صشُ ُّ ُس ُ ُّٔ ُ احُت ُ ائُ ُّ ُس ُ ج ُ اس ُ ُٗ Terjemahan Puisi Versi Penerjemah 83 Wahai kekasihku! Hanya Engkaulah yang kukasihi Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau Versi Peneliti Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau Gambar tabel 2.5. Perbandingan terjemahan Analisis: Pada bait pertama peneliti menemukan kasus pengkhianatan isi pada terjemahan teks فُاسُحُنُُالُُْ٘مُُهُزًُُثُاُلُذُأُتُاوُاpada syaṭr kedua. ُ اوا ُ اُل ُذُأُت ُ حنُُالُُْ٘ ُمُهُ ُزًُُث ُ ُفُاس Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu Kata „dosa‟ yang penelti garisbawahi merupakan pengkhianatan isi yang dilakukan penerjemah terhadap teks sumber, sebab kata „dosa‟ bukan padanan atau terjemahan teksُ ُهُزًُُثُا. Teks هُزًُُثُا benar memang memiliki arti atau padanan „dosa‟, bila dikembalikan keasalnya atau keakar katanya yaitu ُ ُرًُُة, sedangkan kata هُزًُُثُا telah mengalami perubahan bentuk kata dan memiliki arti sendiri yakni „orang yang berdosa‟. Juga kata konatasi makna yang berbeda dengan إُغُفُش إُسُحُن „rahmati‟ memiliki „ampuni‟, „maafkan‟. Kata „rahmati‟ atau „kasihilah‟ memiliki konotasi makna berbeda dengan „ampuni‟ atau „maafkan‟. Jadi menurut peneliti yang tepat untuk terjemahan teks إُسُحُن 84 menurut unsur isi puisi ini ialah „rahmati‟ atau „kasihi‟ disesuaikan dengan matra dan rima puisi. Kata/ Frasa Makna Kamus/ Makna Kata yang dipakai Bahasa Sumber terjemahan harfiyyah penerjemah اسُحُنُُالُُْ٘مُُهُزًُُثُا Kata اسحنberasal dari kata Beri ampunlah dosa سحنyang memiliki arti menyayangi, mengasihani, merahmati. Kata الْ٘مmemiliki arti hari, waktu, suatu hari. Dan kata هزًثاisim fāil dari masdar رًةyang memiliki arti pendosa Gambar tabel 2.6. Berdasarkan uraian analisis diatas, peneliti menerjemahkan teks الْ٘مُهزًثاُلذاتاوا ُفاسحن sebagai berikut; “Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu.” Selanjutnya agar rima akhirnya serasi pada tiap lariknya, larik pertama bait pertama terjemahannya, diterjemahkan secara setia saja, “Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau.” Terjemahan versi peneliti secara keseluruhan sebagai berikut: Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu 85 Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau 3. Pengkhianatan Kreatif Seperti yang dipaparkan Damono pada bab dua pembahasan teori, bahwa menerjemahkan karya sastra berarti mengubah “mengurangi atau menambah” apa yang ada pada aslinya. Setiap penerjemah karya sastra pada hakikatnya mengkhianati yang diterjemahkannya sebab hanya dengan demikian ia bisa menampung karya yang diterjemahkannya itu ke dalam bahasa sasaran, pengkhianatan tersebut tidak selalu negatif, melainkan banyak juga yang berdampak atau menghasilkan karya terjemahan yang positif. Pengkhianatan teks terjemahan yang bernilai positif lah yang disebut dengan pengkhianatan kreatif dari penerjemah, hal tersebut dipaparkan oleh Damono dan juga Escarpit. Peneliti ketika menganalisis terjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah menemukan kasus pengkhianatan kreatif dalam terjemahan puisi tersebut. Diantara kasusnya akan dipaparkan di bawah ini: Syi‟ir pertama ُُّولُالَّزُٕفْقُالتشابُُتشاب#ُُإراُواىُهٌهُالْدُفالىلُُ٘ي Bila cinta dari-Mu kuraih, semua menjadi remeh Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah Perhataikan terjemahan larik pertama pada kata „kuraih‟, dalam puisi teks sumber tidak ada teks atau kata yang dapat dirujuk oleh kata „kuraih‟ dalam teks sasarannya. Artinya tidak ada kata pada teks sumber yang pantas 86 dipadankan atau diterjemahkan dengan kata „kuraih‟ pada teks sasaran, melainkan kreatifitas dari penerjemah puisi ini sendiri yang memunculkan kata „kuraih‟ pada puisi terjemahannya (teks bahasa sasaran). Inilah yang disebut pengkhianatan kreatif dalam penerjemahan sastra (puisi). Lihat terjemahan perkatanya dalam uraian tabel di bawah ini. Kata/ Frasa Bahasa Makna Kamus/ Makna Kata yang dipakai Sumber terjemahan harfiyyah penerjemah إرا ُ Jika, bila, apabila ُ Bila ُواى Ada, terdapat, terjadi, - seyogyanya, dahulu, adapun. ُهٌه Dari-Mu Dari-Mu ُالْد Cinta, menyukai, sangat Cinta mencintai ُفالىل Maka segala sesuatu Semua ُُ٘ي Mudah, remeh Remeh Gambar Tabel 3. Kemudian pada larik atau syaṭr kedua pada syi‟ir pertama: ُ ُّولُالَّزُٕفْقُالتشابُتشاب Segala yang di atas tanah tak lebih hanyalah tanah Kata „tak lebih‟ yang diberi garis bawah oleh peneliti juga termasuk kasus pengkhianatan kreatif, sebab kata tersebut dimunculkan oleh penerjemah puisi ini dari makna konteks struktur kalimatُ ُ ُفْق ُالتشاب ُتشاب, yang menurut 87 peneliti cukup dimunculkan kata „hanya‟ tanpa „tak lebih‟ sudah dapat mewakili isi/maksud dari larik kedua ini. Selanjutnya pada syi‟ir ketiga peneliti menemukan kasus pengkhianatan kreatif sebagai berikut: ُ ٖص ُ ُْ جُل ُ ُاد ُ يُأُ ُس ُ ُٖه ُ ُضو ُ ُتُج ُ ح ُ ُُّأُت#ُٖ ُ حذُُث ُ ادُ ُه ُ ُهُفُُٖالفُؤ ُ ُٖجعُُلُت ُ ًُُإ ٖض ُ ًُُ٘ادُُأ ُ ُُٖفُٖالفُؤ ُ ةُلُلُُث ُ ُُُّ٘حُُث#ُُٖشُهُ ُؤ ُاًض ُ ُ٘جُل ُ ُٖلُل ُ ٌُُفُالجُضُنُُه Terjemahan Puisi Versi Penerjemah Kujadikan Engkau teman bicaraku di hati Ragaku kupersilakan bagi sesiapa teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk Di kalbuku kekasih hati menjadi teman Versi Peneliti Kujadikan Kau teman bicaraku di kalbu Kupersilakan ragaku untuk teman dudukku Ragaku menjadi penghibur teman duduk Kekasih hatiku jadi teman setia di kalbu Gambar tabel 3.1. Perbandingan terjemahan Analisis: Teks yang diberi garis bawah oleh peneliti adalah kasus pengkhianatan kreatif pada terjemahan syi‟ir ketiga. Bila dilihat berdasarkan teori metode penerjemahan, menurut peneliti, penerjemah puisi ini menggunakan metode penerjemahan semantis. Dapat diketahui penerjemah menggunakan metode penerjemahan semantis dari teks-teks yang diberi garis bawah oleh peneliti. 88 Coba perhatikan tsa „teman bicaraku‟ yang menjadi padanan tsuُ ٖ ُهحذث. Teks ٖ هحذثmempunya arti sendiri sebagai berikut; ٖ هحذثterbentuk dari kata ُ هحذث+ ٕ (mutakallim). kata ُ هحذثmemiliki arti dalam kamus „orang yang berbicara‟, „kejadian‟, „orang yang bercerita‟. Sedangkan ٕ (mutakallim) memiliki arti „saya‟. Penerjemah puisi ini memilih padanan „teman bicaraku‟untuk menerjemahkan teks sumber ٖهحذث dalam tsa atau bsa, menurut peneliti ini merupakan kreatifitas dari penerjemah puisi. Sama ketika penerjemah puisi, menerjemahkan teks ٖ هحذثdan teks ٖللجل٘شُهؤاًض. Menurut peneliti, penerjemah puisi ini telah mampu melepaskan diri dari keterikatannya terhadap teks sumber, sehingga memunculkan tsa yang terbaca, dapat dipahami, dan wajar dalam bahasa sasaran. Selanjutnya pada syi‟ir keenam peneliti temukan kasus pengkhianatan kreatif sebagai berikut: اوا ُ اُل ُذُأُت ُ حنُُالُُْ٘ ُمُهُ ُزًُُث ُ اس ُ ُُف#ُاوا ُ ُْ ُةُهُ ُالُٔص ُ ُةُالمُل ُ ُ٘اُحُث ُ ُٗ اوا ُ ُُْحةَُُّص ُ ُُٗى ُ ُةُأ ُ ُُٔالمل ُ ُلذُُُأُت#ُٓ ُ صشُ ُّ ُس ُ ُّٔ ُ احُت ُ ائُ ُّ ُس ُ ج ُ اس ُ ُٗ Terjemahan Puisi Versi Penerjemah Wahai kekasihku! Hanya Engkaulah yang kukasihi Beri ampunlah dosa yang datang ke hadirat-Mu Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau Versi Peneliti Wahai kekasihku! Tiada kekasih bagiku melainkan Engkau 89 Kasihilah hari-hari pendosa yang datang pada-Mu Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku Hati telah enggan mencintai selain kepada Engkau Gambar tabel 3.2. Perbandingan terjemahan Analisis: Pada terjemahan teks هالُٔصْاواyaitu „hanya Engkaulah yang kukasihi‟, bila dilihat dari penerapan metode penerjemahan yang dipakai penerjemah puisi ini adalah penerjemahan bebas. Bila diterjemahkan secara setia artinya akan seperti ini „tiada selainmu‟. Kasus ini termasuk pengkhianatan kreatif. Kreatifitas penerjemah puisi ini diaplikasikan pada penerjemahan teks ُ ٔهال صْاوا. Kemudian pada terjemahan ٗا (ya nida) yang memiliki arti dalam kamus „wahai‟ atau „duhai‟, diterjemahkan „Engkaulah‟ oleh penerjemah puisi ini. Menurut peneliti, kata „Engkaulah‟ muncul sebab kreatifitas atau pendapat penerjemah puisi ini yang dimunculkan atas dasar idiologi atau pandangan/pendapat puisi ini, hal ini dikenal dalam hermeneutik dengan istilah konstruksi makna teori yang ditawarkan oleh Gadamer. 90 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan penelitian terjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah Yunan Askaruzzaman adalah penerjemahan puisi Rābi‟ah al-Adawiyyah terdapat pengkhiantan teks. Pengkhiantan teks tersebut terdapat pada puisi kedua, ketiga, keempat,kelima dan keenam. macam pengkhianatan teks pada penerjemahan puisi Rabi‟ah al-Adawiyah adalah terletak pada pengkhiantan bentuk da nisi puisi. Pada aspek pengkhianatan bentuk puisi terdapat pada unsur fisik puisi seperti, irama, ritma dan irama puisi, yang terdapat pada puisi kedua, ketiga dan keenam. Pada aspek pengkhianatan isi terdapat pada puisi kedua, keempat, kelima dan keenam. Di samping itu pengkhianatan teks tersebut juga menandakan adanya pengkhianatan kreatif yang bernilai positif. Pengkhianatan kreatif pada penerjemahan puisi juga ditemukan pada syi‟ir Rabī‟ah al-Adawiyyah, syi‟ir pertama, ketiga dan keenam. Pengkhianatan kreatif pada penerjemahan puisi Rabi‟ah al-Adawiyyah, menunjukan bahwa keberadaan pengkhianatan teks pada penerjemahan puisi tidak selalu bernilai negatif. B. Saran dan Rekomendasi Maka dari itu saran penelitian ini adalah untuk menjadi penerjemah puisi, penerjemah puisi, harus mempelajari ilmu tentang puisi dan teori-teori yang berkaitan dengan puisi sebagai karya sastra, penerjemah puisi harus mempelajari dan mengetahui strategi dalam menerjemahkan puisi, karena puisi merupakan 91 karya sastra yang unik, berbeda dengan karya sastra prosa, dan yang terakhir penerjemah puisi harus mempelajari banyak teori atau metode penerjemahan yang berkaitan dengan puisi atau ilmu bahasa lainnya yang berkaitan dengan puisi sebagai karya sastra. Penelitian ini disadari masih belum sempurna dan banyak kekurangannya, maka dari itu penelitian ini merekomendasikan penelitian yang terkait penerjemahan sastra yang ranahnya lebih luas dari sekedar penelitian penerjemahan puisi. Penelitian ini juga merekomendasikan keberlanjutan penelitian penerjemahan sastra yang berbentuk prosa (novel, cerpen dan lainnya) atau puisi modern dan puisi bebas. 92 DAFTAR PUSTAKA Al Farisi, M. Zaka. 2011. Pedoman Penerjemahan Arab Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Al-Hafny, Abdul Mun‟im. 1992. Rābi'ah Al-Adawiyyah (Imāmah Al-'Asyiqīna Wal Mahzūnīn). Kairo: Dār ar-Rasyād. Asrori, Imam. 2004. Sintaksis Bahasa Arab. Malang: Misykat. Buana, Cahya. 2008. Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama Dalam Syair-Syair Hamzah Fansuri (Kajian Sastra Banding). Jogjakarta: Mocopatbook. Budianta, Melani, Dkk. 2003. Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi). Magelang: Indonesia Tera Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Darmawan, Rahmat. 2011. “Analisis Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam Terjemahan Syair Ta‟lim al-Muta‟alim.,” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta. Escarpit, Robert. 2008. Sosiologi Sastra. Edisi ke-2. Diterjemahkan oleh: Ida Sundari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hakim, Taufiqul. 2004. Program Pemula Membaca Kitab Kuning Qoidati: Rumus dan Qoidah. Jepara: Al-Falah Offset 93 Hakim, Taufiqul. 2004. Program Pemula Membaca Kitab Kuning Muhimmah: Praktek Penerapan Rumus. Jepara: Al-Falah Offset. Hariyanto, Sugeng. 2012. “Penghianatan Demi Kesetiaan: Upaya Masuk Akal Untuk Mencapai Terjemahan Puisi Ideal”. Jurnal Linguistik Terapan. Nomor 1. Volume 2. Politeknik Negeri Malang. Hidayatullah, Moch. Syarif. 2010. Tarjim Al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab Indonesia. Tangerang: Dikara. Hoed, Beni H. 2006. Penerjemahan Dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Hoed, Beni H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. https://id.wikipedia.org/wiki/Rabi‟ah al Adawiyyah (Diakses pada pukul 19:29, tanggal 28-10-2015). Kamil, Sukron. 2012. Akhlak Tasawuf (Diktat Bahan Ajar). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Kamil, Sukron. 2012. Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dn Modern. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Keraf, Gorys. 1981. Diksi dan Gaya Bahasa. Flores: Nusa Indah. Khamis, M. Atiyyah. 1994. Penyair Wanita Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyyah. Diterjemahkan oleh: Aliudin Mahjuddin. Jakarta: Pustaka Firdaus. Machali, Rochaya. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. 94 Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA. Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Purba, Antilan. 2012. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press. Syatibi, Ahmad. 2012. Pengantar Memahami Bahasa al-Qur‟an Balaghah I (Ilmu Bayan). Jakarta: Adabia Press. Syihabuddin. 2005. Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung: Humaniora. Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. Umam, Khotibul. 1992. Al-Muyassir Fī „Ilmil „Arūḍ. Jakarta: PT. Hikmah Syahida Indah. Waluyo, Herman J. 1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Zaidan, Abdul R, dkk. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka. 95