PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG SALINAN OLEH NOMOR TANGGAL SUMBER : : : : WALIKOTA BATAM 5 TAHUN 2013 18 APRIL 2013 LD 2013/5, TLD NO. 90 WALIKOTA BATAM, Menimbang : a. bahwa di dalam diri setiap manusia melekat hak asasi manusia yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia; b. bahwa perdagangan orang merupakan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia yang mengabaikan harkat, martabat dan derajat manusia sehingga perlu dicegah dan ditangani secara adil, manusiawi melalui pengaturan dan penanganan yang menyeluruh dan tuntas; c. bahwa perdagangan orang mempunyai jaringan perdagangan yang luas dan Kota Batam merupakan salah satu tempat transit serta tempat tujuan perdagangan orang di Indonesia sehingga perlu disusun kebijakan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah; d. bahwa pemerintah Kota Batam harus melindungi warganya, khususnya anak dan/atau perempuan, atas tindakan perdagangan orang, baik yang dilakukan didalam negeri maupun di luar negeri; e. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan Tindak pidana perdagangan orang mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Daerah Kota Batam tentang Pencegahan Dan Penanganan Korban Perdagangan Orang; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Negara 2. Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Palalawan, Kabupaten Rokan Hulu, kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3902) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Palalawan, Kabupaten Rokan Hulu, kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4880); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 6. Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 1 Tahun 2010 tentang Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kota Batam (Lembaran Daerah Kota Batam Tahun 2010 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Batam Nomor 67). Dengan persetujuan bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BATAM dan WALIKOTA BATAM MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENCEGAHAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG. DAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kota Batam. 2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Batam. 3. Walikota adalah Walikota Batam. 4. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Walikota dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. 5. Perdagangan orang adalah Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 6. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateril. 7. Orang adalah orang perseorangan. 8. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 9. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 10. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. 11. Pelaksana penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta, yang selanjutnya disebut PPTKIS adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pejabat yang berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. 12. Pencegahan Preemtif adalah tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada tingkat kebijakan dalam upaya mendukung rencana, program dan kegiatan dalam rangka peningkatan pembangunan kualitas sumber daya manusia. 13. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Kota Batam yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Kota Batam dan DPRD Kota Batam, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 14. Tindakan Preventif adalah upaya langsung yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan perdagangan orang melalui pengawasan, perizinan, pembinaan dan pengendalian. 15. Penanganan korban Perdagangan Orang adalah upaya terpadu yang dilakukan untuk penyelamatan, penampungan, pendampingan dan pelaporan. 16. Rehabilitasi adalah pemulihan korban dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. 17. Reintegrasi sosial adalah merupakan kegiatan untuk menindaklanjuti program rehabilitasi sehingga antara korban, keluarga, dan masyarakat kembali terjalin dalam suatu komunitas yang saling membutuhkan dan korban tidak kembali menjadi korban perdagangan orang. 18. Pusat Pelayanan Terpadu yang selanjutnya disingkat PPT adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. 19. Surat Rekomendasi Bekerja di luar daerah, yang selanjutnya disingkat SRBD adalah surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh lurah bagi setiap orang yang akan bekerja di luar Kota Batam. 20. Gugus Tugas adalah satuan tugas yang dibentuk dalam rangka melaksanakan koordinasi dan merealisasikan secara optimal kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang, khususnya anak dan perempuan. 21. Rencana Aksi Daerah adalah rencana aksi daerah pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. BAB II ASAS DAN TUJUAN Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Penyelenggaraan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang berazaskan pada Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan prinsip-prinsip : a. penghormatan dan pengakuan terhadap hak dan martabat manusia; b. kepastian hukum; c. proporsionalitas; d. non-diskriminasi; dan e. perlindungan. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Tujuan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang menurut Peraturan Daerah ini adalah untuk : a. mencegah sejak dini perdagangan orang; b. memberikan perlindungan terhadap orang dari eksploitasi dan perbudakan manusia; c. Menyelamatkan dan merehabilitasi korban perdagangan orang; d. memberikan dukungan bagi peningkatan pendidikan dan perekonomian korban perdagangan orang beserta keluarganya; dan e. meningkatkan kepekaan dan kesadaran tentang ancaman perdagangan orang. masyarakat BAB III PENCEGAHAN PERDAGANGAN ORANG Bagian Kesatu Pencegahan Preemtif Pasal 4 (1) Kebijakan pencegahan preemtif perdagangan orang di Kota Batam dilakukan melalui : a. peningkatan jumlah dan mutu pendidikan, baik formal maupun nonformal bagi masyarakat; b. pembukaan aksesibilitas bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan, pelatihan, pendanaan, peningkatan pendapatan dan pelayanan sosial; c. pembukaan lapangan masyarakat; dan kerja seluas-luasnya bagi d. membangun partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan perdagangan orang. (2) Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat dengan memberikan informasi, bimbingan dan/atau penyuluhan seluasluasnya kepada masyarakat tentang nilai-nilai moral dan/atau keagamaan. (3) Pelaksanaan kebijakan pencegahan preemtif perdagangan orang di Kota Batam dan pelaksanaan pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh perangkat daerah yang tugas, pokok dan fungsinya di bidang : a. hukum; b. sosial; c. pendidikan; d. kesehatan; e. ketenagakerjaan; dan f. perekonomian. (4) Pelaksanaan kebijakan pencegahan preemtif perdagangan orang di Kota Batam dan pelaksanaan pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang tugas, pokok dan fungsinya dibidang kesejahteraan sosial. Bagian Kedua Tindakan Preventif Pasal 5 (1) Tindakan preventif perdagangan orang di Kota Batam dilakukan melalui : a. membangun sistem penanganan yang efektif dan responsif; b. mewujudkan sistem perizinan yang jelas, pasti dan rasional; c. membangun dan menyediakan sistem informasi yang lengkap dan mudah diakses; d. melakukan pendataan, pembinaan dan meningkatkan pengawasan terhadap setiap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta korporasi yang berada di daerah; (PPTKIS) dan e. melakukan pendataan dan memonitor terhadap setiap tenaga kerja penduduk Kota Batam yang akan bekerja di luar daerah; f. membangun jejaring dan kerjasama dengan aparatur penegak hukum, aparatur pemerintah, perguruan tinggi dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang Hak Asasi Manusia; dan/atau g. mendukung dibukanya pos-pos pengaduan adanya tindak pidana Perdagangan Orang. (2) Pelaksanaan kebijakan pencegahan preventif perdagangan orang di Kota Batam dilaksanakan oleh perangkat daerah yang tugas, pokok dan fungsinya di bidang : a. sosial; b. pendidikan; dan c. ketenagakerjaan. (3) Pelaksanaan kebijakan pencegahan preventif perdagangan orang di Kota Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang tugas, pokok dan fungsinya dibidang kesejahteraan sosial. Bagian Ketiga Pencegahan Perdagangan Anak Pasal 6 (1) Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang. (2) Setiap orang dilarang memperdagangkan dan/atau mempekerjakan serta melibatkan anak pada pekerjaanpekerjaan terburuk. (3) Pekerjaan-pekerjaan terburuk, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi : a. segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon, dan penghambaan serta kerja paksa, termasuk pengerahan anak secara paksa; b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno; c. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional; dan d. pekerjaan yang sifat atau lingkungan tempat pekerjaan dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak. (4) Pemerintah Daerah, instansi terkait dan masyarakat bekerjasama melakukan upaya penanggulangan bentukbentuk pekerjaan tidak layak untuk anak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi serangkaian tindakan baik berupa preemtif, preventif, represif, rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam bentuk bimbingan, penyuluhan, penindakan di tempat-tempat yang potensial menimbulkan bentukbentuk pekerjaan tidak layak untuk anak serta pemulihan. Bagian Keempat Surat Rekomendasi Bekerja di Luar Daerah Pasal 7 (1) Setiap orang yang akan bekerja di luar daerah mengajukan SRBD dari Lurah setempat tanpa dipungut biaya. (2) Pengajuan SRBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh pemohon kepada Lurah setempat dengan melengkapi syarat-syarat sebagai berikut : a. mengajukan permohonan tertulis; b. fotocopy Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; c. fotocopy kartu keluarga yang masih berlaku; d. menyertakan akte kelahiran atau surat kenal lahir; e. surat keterangan akan bekerja di luar daerah dari ketua Rukun tetangga setempat; f. bagi anak yang berusia 15 (lima belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun menyertakan surat izin dari orangtua atau wali apabila orangtua telah meninggal dunia; dan g. bagi yang telah menikah, suami/istri yang bersangkutan perlu membubuhkan persetujuan dari istri/suami pada surat permohonan tersebut. (3) Bila melalui jasa dari suatu PPTKIS, korporasi atau perantara yang datang langsung di wilayah kelurahan, maka PPTKIS atau perantara tersebut wajib melaporkan secara tertulis dan resmi kepada Lurah, lengkap dengan data identitas perusahaaan dan identitas calon tenaga kerja serta jenis pekerjaan yang ditawarkan, alamat dan nama perusahaan dan/atau tempat kerja serta penawaran kerja tertulis dari perusahaan dan/atau tempat kerja calon pengguna. (4) Mekanisme dan tata cara pengajuan dan pemberian SRBD diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. (5) Lurah melaporkan SRBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Kepada Walikota melalui camat dengan tembusan kepada perangkat daerah yang menangani tenaga kerja, secara berkala (setiap bulan). Pasal 8 (1) Pengusaha dan penyalur yang akan merekrut tenaga kerja dari daerah lain dan/atau pekerja dari daerah lain yang berdomisili di Kota Batam untuk dipekerjakan di Batam sebagai Pekerja Jasa Hiburan Malam (antara lain, Pub, Diskotik, Karaoke dan Panti Pijat/Massage) harus menyampaikan surat keterangan/rekomendasi dari instansi daerah asal kepada Kecamatan melalui Kelurahan setempat. (2) Setiap orang/badan yang melakukan Usaha Jasa Hiburan Malam (antara lain, Pub, Diskotik, Karaoke dan Panti Pijat/Massage) sebagaimana dimaksud ayat (1) harus menyampaikan laporan penggunaan tenaga kerjanya ke perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata, sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. BAB IV PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG Pasal 9 (1) Pemerintah Daerah melakukan perdagangan orang melalui : penanganan korban a. penjemputan, penampungan dan pendampingan terhadap korban perdagangan orang di daerah; b. koordinasi dengan Pemerintah Provinsi untuk proses pemulangan bagi korban perdagangan orang di daerah; c. pelaporan tentang adanya tindak pidana perdagangan orang kepada aparatur penegak hukum yang berwenang sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan d. pemberian bantuan hukum dan pendampingan bagi korban perdagangan orang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan korban perdagangan orang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. BAB V REHABILITASI DAN REINTEGRASI SOSIAL Pasal 10 (1) Pemerintah Daerah wajib melakukan rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan orang melalui : a. pemulihan kesehatan fisik dan psikis bagi korban Perdagangan Orang; b. reintegrasi sosial korban perdagangan orang ke keluarganya atau lingkungan masyarakatnya; dan/atau c. pemberdayaan ekonomi dan/atau terhadap korban perdagangan orang. (2) pendidikan Pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh perangkat daerah yang tugas, pokok dan fungsinya di bidang : a. sosial; b. ekonomi; c. pendidikan; dan d. kesehatan. (3) Pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang tugas, pokok dan fungsinya dibidang Kesejahteraan Sosial. (4) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan orang dengan : a. membuka tempat perdagangan orang; penampungan bagi korban b. memberikan bantuan baik moril maupun materiil bagi korban perdagangan orang; dan c. melakukan pendampingan dan/atau bantuan hukum bagi korban perdagangan orang. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi dan reintegrasi sosial diatur dengan Peraturan Walikota. BAB VI RENCANA AKSI DAERAH Pasal 11 (1) Pemerintah Daerah wajib menyusun Rencana Aksi Daerah pencegahan, penanganan dan rehabilitasi korban perdagangan orang. (2) Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat langkah-langkah strategis, antara lain : a. menjalin aliansi strategis dengan berbagai instansi atau sektor terkait, serta dengan pemangku kepentingan untuk membangun komitmen bersama agar menjadikan Rencana Aksi Daerah sebagai landasan bagi pengambilan kebijakan di bidang perekonomian, sosial, ketenagakerjaan, pendidikan, kependudukan, kepariwisataan, dan bidang lainnya yang terkait; b. memperkuat koordinasi dengan Pemerintah Daerah lain dalam upaya pencegahan, penanganan, rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan orang di daerah; c. melakukan upaya pengadaan dan perluasan sumber pendanaan untuk melaksanakan Rencana Aksi Daerah penanganan perdagangan orang; dan d. Membangun jaringan kerjasama yang erat dengan anggota masyarakat, ulama, rohaniawan, peneliti independen, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, institusi internasional dalam mewujudkan Rencana Aksi Daerah menjadi program bersama. (3) Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. BAB VII GUGUS TUGAS DAN PUSAT PELAYANAN TERPADU (PPT) Pasal 12 (1) Dalam rangka penanganan korban perdagangan orang, Walikota membentuk Gugus Tugas, yang keanggotaannya meliputi Perangkat Daerah, Penegak Hukum, Organisasi Profesi, Instansi Vertikal, Perguruan Tinggi dan lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai komitmen terhadap perjuangan penegakan hak asasi manusia. (2) Gugus Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas : a. memberikan saran pertimbangan kepada Walikota mengenai pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang; b. menyusun Rencana Aksi Daerah Pencegahan dan Penanganan Korban perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mengkoordinasikan penanganan korban orang; upaya tindak pencegahan dan pidana perdagangan d. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama; e. menyediakan tempat penampungan sementara bagi korban perdagangan orang; f. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi sosial; g. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; h. melaksanakan pelaporan dan evaluasi; dan i. mendorong terbentuknya PPT sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. dengan BAB VIII HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT Pasal 13 (1) Setiap orang memiliki hak untuk : a. mendapatkan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan pendidikan yang layak; b. mendapatkan perlakuan yang wajar; c. dilindungi dari segala perbuatan sewenang-wenang; d. mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum; e. memperoleh rehabilitasi, perlindungan; dan reintegrasi sosial, dan f. ikut berpartisipasi dalam upaya pencegahan, penanganan, rehabilitasi, reintegrasi sosial korban perdagangan orang. (2) Setiap orang dalam pencegahan dan penanganan korban Perdagangan Orang memiliki kewajiban : a. memperlakukan setiap orang dengan baik dan wajar; b. membantu baik secara moriil maupun kepada korban perdagangan orang; materiil c. melakukan pengawasan terhadap PPTKIS korporasi yang berada di lingkungannya; dan d. melaporkan adanya perdagangan orang aparatur penegak hukum yang berwenang. atau kepada BAB IX PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 14 (1) Masyarakat dapat berperanserta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan antara lain : a. menyampaikan informasi adanya kegiatan berpotensi terjadinya perdagangan orang; yang b. melakukan penyadaran lingkungan tentang ancaman tindak pidana perdagangan orang; c. melaporkan perdagangan dan/atau adanya orang dugaan tindak kepada penegak pidana hukum; d. menangani dan mendukung korban tindak pidana, baik secara mandiri atau bersama pemerintah dan/atau pemerintah daerah. (3) Masyarakat yang melaksanakan peranserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan kegiatannya kepada gugus tugas di daerah. (4) Pelaksanaan peranserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dijamin oleh hukum dan dapat diberikan perlindungan hukum sesuai peraturan perundang undangan. (5) Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB X KERJASAMA DAN KEMITRAAN Bagian Kesatu Kerjasama Pasal 15 (1) Pemerintah Daerah mengembangkan pola kerjasama dalam rangka pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. (2) Kerjasama sebagaimana dilakukan dengan : dimaksud pada ayat (1) a. Pemerintah; b. Pemerintah Daerah Propinsi, dan c. Kabupaten/Kota lain. (3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kerjasama : a. pertukaran data dan informasi; b. rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban; dan c. pemulangan korban perdagangan orang. (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama daerah. Bagian Kedua Kemitraan Pasal 16 (1) Pemerintah Daerah membentuk kemitraan dengan dunia usaha dalam rangka pencegahan perdagangan orang, penanganan, rehabilitasi, dan reintegrasi sosial korban perdagangan orang. (2) Kemitraan sebagaimana ditujukan untuk : dimaksud pada ayat (1) a. kemudahan akses informasi lowongan pekerjaan bagi masyarakat; b. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan calon tenaga kerja; c. program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate Sosial responsibility) dan Bina Lingkungan; dan/atau d. penyelenggaraan rehabilitasi. (3) konsultasi, advokasi dan Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama. BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 17 (1) Walikota berkoordinasi dengan instansi terkait melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan : a. kebijakan pencegahan preemtif dan preventif; b. pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat; dan c. pelaksanaan rehabilitasi perdagangan orang. terhadap korban (2) Gugus Tugas wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Rencana Aksi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). (3) Masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok dapat melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini. Pasal 18 (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap PPTKIS dan Korporasi yang berada di daerah untuk mengetahui tingkat ketaatan PPTKIS dan Korporasi terhadap peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, perlindungan tenaga kerja Indonesia dan perdagangan orang. (2) Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan adanya ketidaktaatan PPTKIS dan/atau Korporasi maka dilakukan pembinaan melalui bimbingan dan penyuluhan mengenai persyaratan dan ketentuan mengenai ketenagakerjaan, penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri dan tindak pidana perdagangan orang. (3) Dalam hal pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berjalan efektif dan tidak meningkatkan tingkat ketaatan maka dilakukan pengenaan sanksi administrasi dan/atau melimpahkan kepada penegak hukum tentang adanya dugaan tindak pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh Perangkat Daerah yang tugas pokok dan fungsinya dibidang ketenagakerjaan. Pasal 19 Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. BAB XII PEMBIAYAAN Pasal 20 Pembiayaan untuk pelaksanaan pencegahan dan penanganan korban Perdagangan Orang berasal dari APBD atau sumber-sumber pembiayaan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XIII SANKSI Bagian Kesatu Sanksi Administrasi Pasal 21 (1) PPTKIS/Korporasi yang melakukan, turut melakukan, membantu melakukan dan/atau mempermudah terjadinya perdagangan orang dikenakan sanksi administrasi berupa pembekuan dan/atau pencabutan izin operasional usaha sesuai peraturan perundangundangan. (2) Pejabat Negara/Pemerintah/Pemerintah Daerah yang melakukan, turut melakukan, membantu melakukan dan/atau mempermudah terjadinya perdagangan orang dikenakan sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan. (3) Pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapus tuntutan pidana dan perdata sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 22 Setiap orang atau korporasi yang melakukan, turut melakukan, membantu melakukan, mencoba melakukan dan/atau mempermudah terjadinya perdagangan orang dikenakan sanksi pidana sesuai peraturan perundangundangan. BAB XIV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 23 Peraturan Walikota sebagai pelaksanaan peraturan daerah ini termasuk penyusunan rencana aksi daerah dan pembentukan gugus tugas serta pusat pelayanan terpadu ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Peraturan Daerah diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Batam. Ditetapkan di Batam pada tanggal 18 April 2013 WALIKOTA BATAM, dto Diundangkan di Batam pada tanggal 18 April 2013 SEKRETARIS DAERAH KOTA BATAM, dto AGUSSAHIMAN LEMBARAN DAERAH KOTA BATAM TAHUN 2013 NOMOR 5 Salinan sesuai dengan aslinya An. Sekretaris Daerah Kota Batam Asisten Pemerintahan Ub Kepala Bagian Hukum Demi Hasfinul Nst, SH., M.Si Nip. 19671224 199403 1 009 AHMAD DAHLAN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA BATAM TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG NOMOR 5 TAHUN 2013 I. Umum Perdagangan orang merupakan kejahatan terhadap hak azasi manusia yang mengabaikan hak seseorang untuk hidup bebas, tidak disiksa, memperoleh kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, dan pelanggaran HAM lainnya. Kenyataannya perdagangan orang telah menjadi bisnis kuat dan bersifat lintas Negara sehingga memiliki jaringan yang sistematis, sehingga dalam rangka memerangi kejahatan transnasional dengan sumber daya yang kuat, maka dibutuhan komitmen bersama untuk bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten mulai dari Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, oleh sebab itu dalam Peraturan Daerah ini juga mengamanatkan kerjasama antar pemerintahan, kemitraan dengan dunia usaha dan partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang dan membangun berbagai jejaring masyarakat dan pemangku kepentingan. Peraturan daerah ini mengatur tentang penegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, secara substansial menitikberatkan pada upaya pencegahan dari pada upaya represif terhadap pelaku tidak pidana tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi singgungan pelaksanaan wewenang antar tingkat pemerintahan, namun diharapkan menumbuhkembangkan sinergi berbagai sektor dan lini pemerintahan, dengan harapan apabila pencegahan dapat dilakukan secara optimal, maka sejalan dengan itu juga mampu meminimalkan korban perdagangan orang. Berdasarkan data yang ada, profil perempuan dan anak korban perdagangan orang serta mereka yang beresiko, pada umumnya berasal dari keluarga miskin, kurang pendidikan, kurang informasi dan berada pada kondisi sosial budaya yang kurang menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Oleh sebab itu kebijakan pencegahan perdagangan orang didaerah ditekankan pada upaya untuk meningkatkan pendidikan dan perekonomian di daerah, selain dilakukan pula upaya pemberdayaan dan penyadaran kepada masyarakat mengenai nilai-nilai keagamaan, moral, kemanusiaan dan kehidupan. Bagi para korban perdagangan orang akan dilakukan tindakan penanganan dan rehabilitasi. Penanganan perdagangan orang akan lebih ditekankan pada upaya untuk menyelamatkan korban perdagangan korban dari tindakan eksploitasi maupun penganiayaan dan mengusahakan upaya penanganan hukum sedangkan rehabilitasi merupakan upaya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis dari korban perdagangan orang dan pemberdayaan pendidikan dan perekonomian korban agar tidak terkena korban perdagangan orang kembali. Mengingat luasnya aspek pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang maka pelaksanaannya perlu dilakukan secara lintas sektor antara organisasi perangkat daerah yang berwenang di bidang sosial, ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, dan perekonomian dengan organisasi perangkat daerah di bidang kesejahteraan sosial sebagai leading sektor dalam upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang. Dalam rangka percepatan upaya pencegahan dan penanganan korban perdagangan orang maka dibentuk Gugus Tugas yang bersifat adhoc dan multistakeholder yang salah satu fungsi utamanya adalah menyusun Rencana Aksi Daerah yang mengerahkan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah dalam upaya pencegahan perdagangan orang dan penanganan korban perdagangan orang. II. PENJELASAN PASAL PER PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Penghormatan dan pengakuan terhadap hak dan martabat manusia adalah prinsip yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Huruf b Kepastian hukum adalah prinsip yang mementingkan penegakan tertib hukum oleh penegak hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan. Huruf c Proporsionalitas adalah prinsip yang mengutamakan hak dan kewajiban baik bagi saksi, korban, pelaku maupun Pemerintah. Huruf d Non-diskriminasi adalah prinsip tidak membeda-bedakan korban akibat perdagangan orang terutama perempuan dan anak, baik mengenai substansi, proses hukum, maupun kebijakan hukum. Huruf e Perlindungan adalah prinsip untuk memberikan rasa aman baik fisik, mental, maupun sosial. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 90 Salinan sesuai dengan aslinya An. Sekretaris Daerah Kota Batam Asisten Pemerintahan Ub Kepala Bagian Hukum Demi Hasfinul Nst, SH., M.Si Nip. 19671224 199403 1 009