HEGEMONI DALAM KOMUNIKASI

advertisement
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
HEGEMONI DALAM KOMUNIKASI: SEBUAH ANALISIS ATAS
ARUS KOMUNIKASI DAN INFORMASI
Oleh: Natasha Attamimi
Analyst Researcher
Purusha Research Cooperative Jakarta Pusat
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tulisan ini berbicara tentang komunikasi dalam perspektif kritis, yaitu dalam pemahaman
hegemoni, dan kondisi yang memungkinkan hegemoni tersebut menjadi sedemikian dominan.
Kondisi ini berangkat dari permasalahan arus komunikasi yang selalu timpang dari kuasa
hegemoni, baik dari faktor komunikan, komunikator maupun pesan yang kemudian diantar.
Distorsiarus dan pola komunikasi ini diindikasi karena adanya flow satu arah, lebih luas,
sering disebut dengan istilah Arus Bebas Informasi (The Free Flow of Information), dengan
kecenderungan informasi yang berasal dari ‘Barat’ ke ‘Timur’. Resonansi atas penghantaran
pesan kemudian mengskibatkan sebuah pola penolakan kembali atas bentuk hegemoni,
dimana diharapkan adanya keadilan informasi. Penolakan Arus Informasi (Contra-Flows of
Information) yang dihegemoni oleh Barat kepada Timur ini, dapat dijadikan sebuah solusi
konkrit atas permasalahan arus komunikasi, dimana dalam tindakan ini terdapat sebuah
tawaran untuk melawan arus utama dari komunikasi, dengan melunturkan unsur hegemonik
dan menjadikannya sebagai sebuah formulasi yang tidak memisahkan, melainkan meleburkan
kedudukan antara proletar (dimanifestasikan sebagai masyarakat negara dunia ketiga)
dengan borjuis (dimanifestasikan dengan masyarakat dunia pertama). Hal ini diharapkan
dapat menjadi sebuah pola yang stimultan terhadap solusi atas pola represif dari komunikasi
hari ini.
Keyword: Komunikasi, Hegemoni, Arus Bebas Informasi, Penolakan Arus Informasi
Pendahuluan
Tulisan ini berbicara tentang komunikasi dalam perspektif kritis, yaitu dalam cara
pemahaman hegemoni. Peletakkan hegemoni disini dikonstruk lebih dalam lagi, sehingga
paradigma atas pola hegemoni ini dapat ditinjau dalam pola kritis, dalam hal ini adalah pada kondisi
kritis dari komunikasi hari ini. Membicarakan tentang komunikasi, pasti erat kaitannya dengan
objektivitas daripada cabang ilmu terkait. Bagaimana tidak, hari ini ilmu komunikasi telah
berkembang sedemikian pesatnya bagai tunas pohon yang disemai; progresif. Sederhananya seperti
ini, proses tumbuh kembang manusia tentu menggunakan bahasa sebagai pijakan, dan komunikasi
kemudian, diletakkan sebagai cara untuk berinteraksi, untuk membangun budaya, membangun polapola yang dirasa substantif dalam perkembangan masyarakat keseharian. Namun, menjadi sebuah
keniscayaan kemudian, apabila kemudian bentuk-bentuk komunikasi hanya diletakkan sebagai
‘alat’ hegemonik, dengan unsur represif, untuk menyampaikan pesan; atau sekedar menggerakkan
‘massa’. Sesederhana kita merebus air, maka akan sangat merugikan bila air tersebut kita
pergunakan hanya untuk fungsi tertentu, yang kita yakini dapat mewakili semuanya, tanpa mencoba
78
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
untuk melakukan percobaan yang lain terhadap air rebusan itu, misalnya bisa memuai, atau
difungsikan untuk menghangatkan tubuh.
Komunikasi sendiri tidak lepas dengan struktur kebahasaan yang melingkupinya. Fiske,
menambahkan bahwa penggunaan bahasa tertentu dengan demikian berimplikasi pada bentuk
konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas
ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini,
bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetap bahkan menciptakan realitas 1. Melihat
potensi dari komunikasi yang dikembangkan hari ini; William dalam Hardt mengungkapkan secara
terbuka bahwa harus ada perubahan yang radikal dalam studi komunikasi, yaitu dengan
mengumumkan “sebuah konspirasi terbuka” melawan “pembelaan atas kepentingan pribadi (vested
interest), gemuruh keputusasaan umum, dan bahkan kelebaman budaya ortodoks kontemporer yang
berakar lebih dalam lagi” untuk melakukan analisis komunikasi, “karena ini perlu dilakukan 2”.
Kebutuhan kemudian muncul dan dijelaskan secara signifikan disini. Alasan William dalam
melakukan ini tidak lain karena dia melihat bahwa adanya kompleksitas dan problematika studi
komunikasi, mulai dari studi linguistik, peran media dengan dasar apapun yang bisa dipelajari atas
dasar praktik ini. Pula ditegaskan olehnya bahwa teori komunikasi adalah suatu perkembangan yang
penting dalam upaya untuk memperoleh beberapa pemahaman tentang hubungan diantara para
individu, komunikasi dan masyarakat 3. Dalam mengurai problematika ini, penulis mendudukkan
beberrapa hal, yaitu, hegemoni dalam komunikasi; dimana hari ini dipahami sebagai pola yang
konstruktif, karena bila membicarakan tentang komunikasi akan selalu erat kaitannya dengan
perjalanan dari tiga aktor utama dalam komunikasi, yaitu komunikator, komunikan dan pesan. Dari
peran tiga aktor yang berkoordinasi secara stimultan ini; didapati bahwa adanya celah dalam
berkomunikasi, misalnya, terkait dengan bagaimana arus informasi ditentukan oleh barat, termasuk
kecenderungan gelombang New Wave. Signifikansi arus komuniakasi ‘dari utara ke selatan’ ini
seakan mengkotakkan paradigma komunikasi dalam perspektif yang hegemonik, yaitu bagaimana
pengendalian arus utama komunikasi dikontrol, direpresi dan dimanifestasi oleh oknum yang
memiliki otoritas kuasa (power). Hegemoni 4 yang diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia,
salah satunya yaitu dominasi, dibutuhkan, tidak lain dan tidak bukan yaitu untuk mengetahui
kebutuhan kognitif apakah yang dibutuhkan oleh masyarakat hari ini. Akibatnya, masyarakat
1
Fiske. (1990). Cultural and Communication Studies. Edisi Translasi oleh Penerbit Jalasutra
William (1974: 25) dalam Hardt (1992: 264), Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Komperhensif
Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit
Jalasutra.
3
William (1989a: 23) dalam Hardt (1992: 264), Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Komperhensif
Sejarah Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Edisi Indonesia diterbitkan oleh Penerbit
Jalasutra.
4
hegemoni /he·ge·mo·ni/ /hégemoni/ n pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dsb suatu negara atas negara
lain (atau negara bagian) [http://kbbi.web.id/hegemoni]
2
79
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
dipaksa, digerus, untuk mengikuti flow dari arus utama komunikasi, dalam berbagai macam sekup,
hanya untuk, mengamankan diri dan menormalisasi keadaan dari anggapan yang terpaksa
dihimpun, misalnya kebutuhan untuk mendengarkan lagu tertentu, kebutuhan untuk membeli
barang tertentu; karena telah diciptakan sebuah kondisi yang mensyaratkan ada pola hegemonik
yang saling silang sengkalit. Dan ya, ketimpangan terjadi. Konstruksi komunikasi lewat proses yang
hegemonik, yang diciptakan sedemikian masif, telah menghisap manusia kedalam pergulatan antara
‘iman dan amin’, dimana akhirnya direpresi untuk meyakini dan mengikuti arus yang terjadi.
Tujuan penulisan ini adalah tak lain untuk menyibak potensi lain atas kemungkinan
penjelesaian dari arus komunikasi yang belakangan diketahui bahwa terdapat ketimpangan
didalamnya, yang diakibatkan oleh dominasi pola represif dari hegemoni, yang mensyaratkan
penyebaran informasi terpusat pada titik tertentu, misal, informasi yang datang dari barat ke timur.
Keadilan informasi disini dirasa penting, karena pula akan terkait dengan kontur sosial masyarakat,
dan aspek kognitif lain yang dimungkinkan oleh masyarakat tersebut. Maka dari itu, tawaran
konkrit berupa Contra-Flows of Informationdirasa memungkinkan, karena informasi, dan bank info
atas arus informasi dan komunikasi ini, tidak harus terpusat pasa satu titik tertentu. Analisis ini,
merupakan trajektori atas ilmu komunikasi dalam langgam yang paling sederhana, yaitu, agar tidak
hanya didudukkan sebagai medium dalam penghantaran informasi yang didominasi oleh unsur
kuasa tertentu, melainkan, sebagai bentuk yang dilihat mungkin untuk menghantarkan informasi
dari sumber yang memang informatif, dengan informasi yang bebas kelas, aktual, tajam dan dapat
diperhitungkan. Yang bisa penulis yakini dan kuatkan sebagai hipotesis dari karya ini yaitu 1)
adanya ketimpangan arus informasi yang dihegemonik oleh kelas dominan – hegemoni borjuis, 2)
arus (flow) dari komunikasi yang diindikasikan berpusat pada kuasa tertentu, yang mengakibatkan
arus terjadi satu arah, 3) pemusatan kekuasaan atas informasi diindikasi berada di barat yang
direproduksi secara masif di timur, 4) ada kebutuhan kemudian untuk keadilan dari informasi.
Tinjauan Teoritik
Penggunaan teori dalam karya ini yaitu teori dari Gramsci terkait dengan Hegemoni, Jurnal
terkait dengan isu arus informasi, Fiske dan Hardt terkait dengan komunikasi; dan turunan lainnya
yang terdapat dalam tiga sumber pustaka utama tersebut.
Hegemoni dalam Komunikasi
Dalam memformulasi hegemoni, konsep Gramsci atas hegemoni adalah teori umum dan
formal dari kekuasaan sosial yang bisa secara berbeda diaplikasikan kepada konteks kelas yang
80
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
berbeda pula 5. Ini pula terkait dengan pemisahan daripada hegemoni dalam perspektif hegemoni
proletar atau hegemoni borjuis. Bentuk pemisahan ini kemudian menjadikan sebah arus untuk
memberikan sekat, jurang yang dalam, antar proletar dan borjuis. Bagaimanapun, penggunaan teori
dari hegemoni dikatakan tidak dapay memenuhi segala bentuk dari tiap peraturan strategis.
Penggunaannya dapat dikatakan spesifik pada kondisi-kondisi yang memungkinkan saja 6.
Determinasi kelas, bila dipisahkan dari konsep hegemoni Gramsci, akan menjadi bentuk variasi
baru yang terkait dengan masalah kesejahteraan yang mendominasi teori politik dari kalangan
borjuis di abad ke 20. Akhirnya, akan berkutat pada isu isu lama seperti ‘pemerintahan’ sebagai ‘hal
teknis’, sebagai contoh pemfokusan pada hal-hal non politik 7. Gerratana, menyimpulkan, bahwa
teori umum atas hegemoni adalah teori yang dimana bisa dipergunakan kepada hegemoni proletar
dan hegemoni borjuis, seperti pada umumnya, berbagai relasi dari hegemoni 8. Lebih akurat,
Gerratana melanjutkan untuk membantah bahwa konsep hegemoni Gramsci merupakan ‘konsep
analisis’, dapat digunakan dalam berbagai tujuan dalam ilmu pengetahuan, bukan bentuk yang dapat
ditujukan dalam pendekatan praktis dari seleksi nilai 9. Dalam menjelaskan makna yang terkandung
dalam konsep hegemoni miliknya, Gramsci, mengatakan bahwa konsep atas masa depan dan
kemungkinan dari hegemoni proletar menubuh dari apresiasi alami dari kondisi efektif dan terkini
atas perlawanan kepada kaum hegemoni borjuis, dimana harus diperjuangkan.
Didapati bahwa dalam perjalanannya, hegemoni ala Gramsci telah dihadapkan atas berbagai
kondisi yang menyebabkan kesalahan tafsir, apalagi untuk pembacaan awam. Atas pola hegemonik
ini dan potensi multitafsir itu, pula diberikan penekanan oleh Gramsci, berupa perkenalan kepada
konsep hegemoni aparatus yang dijelaskan bahwa terdapat komponen aparatus hegemoni yang
mengkualifikasikan konsep dari hegemoni dan memberikan perhitungan yang sesuai, hegemoni
telah dipahami sebagai konsep politik dan budaya hegemoni dari kelas dominan 10. Konsep aparatus
hegemoni pula diartikan sebagai ‘pemfokusan-kelas’, sebagai sajian atas konsep Gramsci yang
baru, yaitu ‘gagasan umum atas Negara‘. Dalam kata lain, dijelaskan bahwa bila konsep dari negara
integral mencari untuk menggambarkan ketentuan dan pengandaian dengan dimanan memberikan
stabilitas kelas dan membuat keabadian yang kurang lebih dalam kekuatan politik institusional
dalam masyarakat politik, konsep ‘aparat hegemoni’ mengupayakan untuk menyusun jalan dimana
mengarahkan kepada kekuasaan melalui jejaring yang rumit dari hubungan sosial atas masyarakat 11.
Dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa dalam upayanya untuk menormalkan, bahkan menjaga
5
6
7
8
9
10
11
Thomas, Peter D, (2009:221)
Thomas, Peter D, (2009: 221)
Buci-Glucksmann, (1980: 57) dalam Peter D. Thomas, (2009: 221)
Gerratana (1997: 122) dalam Peter D. Thomas (2009: 222)
Gerratana (1997: 123) dalam Peter D. Thomas (2009: 222)
Buci-Gluksmann (1980: 68) dalam Peter D. Thomas, (2009: 224)
Thomas, Peter D (2009: 225)
81
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
unsur hegemoni dalam kontur kekuasaan (power), menurut subjektifitas penulis, merupakan sebuah
upaya pengandaian dimana ‘nafas’ daripada pola hegemonik ini akan selalu dijaga oleh aparat,
yang, dalam kontribusinya memiliki otoritas untuk menjadi penjaga gawang atas kondisi sosial
masyarakat hari ini. Pula ditekankan bahwa penjagaan gawang ini dilakukan secara runtut, dalam
rangka untuk menyibak potensi yang tidak diiinginkan oleh pemilik kuasa. Atas kondisi ini, penulis
batasi pencarian penulis kepada jejaring daripada pola ‘penjagaan’ yang dilakukan oleh aparatus
hegemoni lewat telisik informasi antar jejaring yang dimungkinkan ‘berada di udara’.
Ketimpangan Arus Satu Arah: Arus Bebas Informasi dalam Komunikasi
Arus bebas komunikasi merupakan fenomena kontemporer yang sering dihadapi oleh
masyarakat dunia ketiga. Bagaimana tidak, penerjemahan arus komunikasi hari ini telah
terenkapsulasi oleh paradigma komunikasi satu arah yang dominasi arusnya dari Barat ke Timur.
Masyarakat dengan prinsip ‘iman dan amin’ kemudian hanya bisa menggangguk dan menerima
dengan seksama atas tiap informasi yang masuk, tanpa berusaha untuk direduksi, atau bahkan
ditolak sekalipun. Doktrin dari analisis arus bebas informasi (free flow information) ini, diindikasi
menjadi sangat marak ketika mendekati akhir dari perang dunia kedua. Dijelaskan oleh Pickard
dalam Journal of Communication Inquiry 12, bahwa perhatian atas kualitas dari informasi, yang
berkembang kala pertengahan dari 1940an dari Komisi Pembebasan Pers Hutchins, telah
menjatuhkan, dalam kuantitas yang cukup besar, tentang analisis wacana barat sejak tahun
1970an 13. Pula dijelaskan bahwa penggunaan arus bebas informasi ini diperuntukkan untuk
pencapaian utama dati kebijakan politik luar negeri Amerika. Bahkan ditegaskan sebagai berikut:
“He remarked that after WWII, “it was an especially propitious time to extol the
virtues of unrestricted movement of information” and quoted John Foster
Dulles’s remark “If I were to be granted one point of foreign policy and no
other, I would make it the free flow of information” (pp. 24-25)...... Schiller
argued that the language of the free flow of information was more a language of
oppression than liberation, used by U.S. corporations to rid themselves of
regulatory constraints. 14”
Pula di Barat ditekankan bahwa retorika atas arus bebas dari informasi adalah tentang
mengontrol informasi untuk kenyamanan korporasi dan kekuasaan dari korporasi negara 15. Bahkan
dalam contoh sederhana, didapati adanya sebuah jurnal yang mempertanyakan mengapa beberapa
media, dalam koran sehari-hari, misalnya, lebih condong memberikan perhatian kepada kejadian
kejadian tertentu dan abai kepada yang lain, dan bagaimana bisa terjadi dalam kasus keterjangkauan
12
Pickard, Victor. (2007). Journal of Communication Inquiry: Neoliberal Visions and Revisions in Global
Communications Policy from NWICO to WSIS.[http://jci.sagepub.com/content/31/2/118]. Publisher: Sage
13
Schiller (1976) dalam Pickard (2007)
14
Pickard, Victor. (2007). Journal of Communication Inquiry: Neoliberal Visions and Revisions in Global
Communications Policy from NWICO to WSIS.[http://jci.sagepub.com/content/31/2/118]. Publisher: Sage
15
Ibid
82
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
dalam protes dari masyarakat Mesir 16.dari contoh dan ungkapan yang tertera diatas, dapat ditarik
pemahaman bahwa benar terjadi ketimpangan dalam arus komunikasi hari ini. Atau lebih lanjut,
kasus yang ditekankan oleh NWCIO ke WCIS sebagai bentuk dari pesanan (order) atas informasi
dan komunikasi dunia; yang dimana didapati konsep baru atas pesanan informasi dan komunikasi
dari dunia baru (New World Information and Communication Order– NWICO), yang menjadi
konsep sentral dalam diskusi hari-hari ini. Claudia Padovani, misalnya, menyelidiki bahwa dalam
analisis
dokumen
yang
dilakukannya,
terdapat
perbedaan
wacana
kebijakan
secara
berkesinambungan, atau bertahap, antara NWICO dan WSIS 17.
Atas berbagai kejanggalan dari data yang ditemukan lewat tinjauan literasi diatas, kemudian
timbul sebuah analisis singkat bahwa, terjadi ketimpangan disini, dengan penyempitan keleluasaan
dari komunikasi yang dikondisikan lewat asosiasi-asosiasi tertentu, yang berusaha menormalkan
sebuah kondisi tertentu, dengan dalil bahwa komunikasi dan informasi bisa dikondisikan sedemikian
rupa hingga akhirnya hanya berujung pada bentuk-bentuk tranksaksional, dimana komunikasi dan
informasi dapat dipesan (order), kemudian komunikasi juga berpusat pada satu titik, komunikasi
tersebut dikonstruk sedemikian rupa dalam paradigma arus satu arah, sehingga arus informasi dapat
diatur oleh orang-orang yang menghegemoni, yakni orang yang memiliki kuasa atas hal tersebut.
Kemudian dapat pula ditarik sebuah simpul dari temuan diatas bahwa benar adanya bahwa informasi
selalu datang dari ‘Barat’, kemudian disebarkan ke ‘Timur’.
Hasil Pembahasan
Contra-Flows of Information
“Media contra-flows are the semantic and imaginative referents for the
institutional, cultural and political matrix of a worldframed by processes of
global cultural power and local negotiation: a world experienced through the
identity politics of nations, individuals and cultures and negotiated through
contestations of locality, nationality and global citizenship. 18”
Kontra-arus dari Informasi (Contra-Flows of Information), merupakan salah satu solusi yang
paling rasional dalam rangka mereduksi informasi arus utama. Dengan meletakkan pemikirannya
sebagai salah satu referen semantik dan imajinatif untuk bentuk kelembagaan tertentu; bentuk
kontra-arus, hari ini bisa mendapatkan kedudukan dengan paradigma yang terbilang cukup
kompleks, yaitu dengan pengalaman atas politik identitas, bangsa, individu dan budaya. penggunaan
kontra-arus juga bisa dimungkinkan untuk mereduksi arus informasi agar tidak terpusat pada satu
16
AlMaskati, The International Communication Gazette, Newspaper coverage of the 2011 protest in Egypt. Publisher:
Sage
17
Padovani, Claudia & Kaarle Nordenstreng. (2005). Global Media and Communication: From NWICO to WSIS:
another world information and communication order? University of Padova, Italy and University of Tampere, Finland.
18
Thussu, Daya Thussu. (2007: 44). "Media On The Move: Global Flow snd Contra-Flow". Routledge,
83
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
titik tertentu saja. Penekanan Thussu pada ‘kekuatan lokal’ dari kekuatan budaya dan negosiasi lokal
kemudian menjadi menarik karena relasi kuasa nampak tergeser dengan pola penghantaran
informasi yang disepakati bersama, sesuai dengan kebutuhan dari setiap kelompok tertentu. Unsur
budaya juga semakin kental hembusannya ketika ditekankan aspek kelokalannya, seperti lewat
lokalitas itu sendiri, nasionalitas dan kewarganegaraan secara global. Kontra-arus meletakkan proses
informasi dalam bentuk yang sangat sederhana dan membumi, seperti direpresentasikan bahwa
informasi itu sifatnya kognisi, bisa dilakukan oleh siapapun, dengan bahasa yang sama, pula dengan
pencapaian yang sama; yaitu keterjangkauan dan akurasi daripada informasi yang dihantarkan.
Penekanan lebih lanjut semakin kentara lewat
kata ‘proses’. Lebih lanjut, dijelaskan sebagai
berikut:
“These contra-flows within also refer to the relationship between minorities
within minorities, i.e. the diasporic media that are peripheral, extremist,
marginalised within their own diasporic mediascapes. 19”
Konter-arus sebagai solusi konkrit, pula meletakkan konsentrasinya pada kerja-kerja media.
Media, menurut Thussu, memiliki kedudukan krusial, yakni penting bagi para individu maupun
pada tingkatan kolektif dalam membangun identitas dan masyarakat transaksional. Ditegaskan,
bahwa konstruksi identyitas memegang proses yang kompleks, dan kompleksitas ini sering
terungkap dalam wacana kontra-arus kepada bentuk hegemonik, bahkan melebihi kelompok
diaspora20. Rasionalisasi yang dikemukakan oleh konter-arus menjadi mungkin untuk dilakukan,
yakni sebagai bentuk tandingan atas informasi yang mendapatkan bentuk dominasi atas satu arus
tertentu.
Penutup
Kedudukan komunikasi hari ini, tidak akan bisa terlepas dari kontradiksinya; baik dari segi
pengukuran, konten, penyalur pesan (komunikator) bahkan penerima pesan. Pola komunikasi
seringkali pula ditunggangi oleh berbagai macam kepentingan, saling sikut antar ‘yang punya
kuasa’. Pun, akhirnya signifikansi dari informasi atas komunikasi akhirnya harus menjadi anak tiri,
atau bahkan kambing hitam, atas tiap intepretasi, atau bahkan representasi yang muncul. Alih-alih,
hari ini, arus utama informasi jadi makin sempit, terfokus pada pemain dominan yang
menghegemoni. Ketimpangan terus muncul, bahkan pembacaan tentang ketimpangan informasi
dalam komunikasi dikarenakan pola hegemonik dari kalangan tertentu makin terasa ketika
memasuki abad 20. Bahkan muncul berbagai contoh kasus dipermukaan tentang bagaimana
kemudian pola komunikasi yang diarak secara berantai pada satu muara, bahkan kedudukan muara
19
20
Ibid, hal 39
Ibid, hlm 38
84
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
tersebut bisa sangat diprediksi eksistensinya. Fenomena makin kuat terasa hembusannya ketika
komunikasi harus dihadapkan pada fenomena ‘pesanan’ (order), hingga perdebatan keberadaan
NWCIO dengan WCIS dalam isu arus utama atas informasi. NWCIO, yakni, New World
Information and Communication Order (Pemesana Informasi dan Komunikasi dalam Dunia Baru)
menjadikan kedudukan informasi makin kian transparan bentuk hegemoninya, pula makin kentara
pemain dominannya serta kedudukannya. Menyikapi kondisi yang sedemikian peliknya, sebagai
bentuk tandingan atas arus komunikasi yang semakin dihegemoni oleh oknum tertentu, konter-arus
(counter-flows), dirasa mampu untuk menjawab persoalan arus informasi dari komunikasi hari ini,
dengan memutar sirkulasi dari arus informasi, dan memberikan alternatif muara informasi bahkan
sebagai bentuk tandingan yang bisa dirasionalisasi keberadaanya.
Keberadaan konter-arus juga dapat mereduksi peran hegemonik yang terjadi hari ini, dengan
meletakkan posisi dari informasi dengan sangat berimbang dan objektif. Celah antara komunikator,
komunikan dan pesan yang disampaikan; dapat dimungkinkan untuk direduksi kemungkinan
sinergitasnya. Dengan keberadaan alternatif ini, menjadi mungkin apabila kedepannya, dominasi
informasi dikendalikan oleh kalangan proletar, tidak hanya terpaku pada kalangan borjuis.
Tantangan atas komunikasi hari ini akan terus muncul. Baik terkait dalam relasi antar aktor dalam
komunikasi, hingga telisik yang bisa dikatakan sesuai dengan kebutuhan komunikasi hari ini.
Penyikapan atas pola ini yang bisa dikatakan penting, karena bila ditinjau lebih jauh, hal ini akan
erat kaitannya dalam cara kita untuk melihat dan membangun bangsa. Karena bangsa dibentuk dari
bahasa, dan bahasa tercipta ragamnya karena bicara. Bicara, melalui proses panjang bernama
komunikasi. Kemudian, bila kita tidak satu bahasa, bagaimana kita akan mencapai paripurna dalam
bernegara? Meskipun konsep negara pula hanya persemaian hasrat kepemilikan yang absurd.
Bisakah, kita menjaga nafas, demi negara yang sebenar-benarnya, merdeka, lewat bahasa satu,
seperti yang sempat diujar pada sumpah pemuda dahulu? Masihkah ada semangat itu?
Daftar Pustaka
Buku
AlMaskati, Nawaf Abdulnabi. (2011). The International Communication Gazette, Newspaper
coverage of the 2011 protest in Egypt. [http://gaz.sagepub.com/content/74/4/342] Publisher:
Sage
Hardt, Hanno (1992) Critical Communication Studies: Sebuah Pengantar Komperhensif Sejarah
Perjumpaan Tradisi Kritis Eropa dan Tradisi Pragmatis Amerika. Edisi Translasi. Penerbit
Jalasutra
Padovani, Claudia & Kaarle Nordenstreng. (2005). Global Media and Communication: From
NWICO to WSIS: another world information and communication order? University of
85
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Padova, Italy and University of Tampere, Finland. [http://gmc.sagepub.com/content/1/3/264]
Publisher: Sage
Pickard, Victor. (2007). Journal of Communication Inquiry: Neoliberal Visions and Revisions in
Global
Communications
Policy
from
NWICO
to
WSIS.
[http://jci.sagepub.com/content/31/2/118]. Publisher: Sage
Thomas, Peter D. (2009). The Gramscian Moment: Philosophy, Hegemony and Marxism, BRILL –
Leiden
Tussu, Daya K. (2007). Ed. Media on the Move: Global flow and contra-flow. Routledge: Taylor &
Francis Group. London and New York
86
Download