PENGARUH PENAMBAHAN SARI BUAH BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi) KE DALAM RANSUM MARMOT LEPAS SAPIH TERHADAP KECERNAAN ENERGI DAN PROTEIN Marsudin Silalahi 1)dan Sauland Sinaga. S2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. Hi. Z.A. Pagar Alam No. 1A Rajabasa, Bandar Lampung 35145 E-mail : [email protected] 2 Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran Bandung 1 Abstrak Suatu penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan sari buah belimbing wuluh (averrhoa bilimbi) ke dalam ransum marmot lepas sapih terhadap kecernaan energi dan protein telah dilakukan. Digunakan sebanyak 20 ekor marmot jantan lepas sapih berumur 4 minggu dengan bobot rata-rata 140-160 gram yang ditempatkan pada kandang individu. Perlakuan terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan yaitu : R1 = Ransum kontrol tanpa sari belimbing wuluh; R2 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 0,5% ; R3 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 1% ; R4 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 1,5% dan R5 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 2%. Hasil penelitian menunjukkan sari buah belimbing wuluh dalam ransum sebagai acidifier pada marmot jantan lokal fase lepas sapih berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi dan protein dan penambahan sari buah belimbing wuluh sebagai acidifier dalam ransum pada dosis 1 % menghasilkan kecernaan energi dan protein terbaik pada marmot jantan lokal fase lepas sapih. Kata Kunci : Sari Buah Blimbing Waluh, Marmut, Energi dan Protein Abstract A study to determine the effect of starfruit juice (Averrhoa bilimbi) into guinea pig weaning diet on energy and protein digestibility has been done. Used as many as 20 males guinea pig tails weaning from 4 weeks with an average weight of 140-160 grams were placed in individual cages. Treatment consisted of 5 treatments and 4 replications are: R1 = Rations control without starfruit juice; R2 = Rations control starfruit juice + 0.5%; R3 = Rations control starfruit juice + 1%; R4 = Rations control + starfruit juice wuluh 1.5% and R5 = Rations control starfruit juice + 2%. The results showed starfruit juice in the diet as acidifier on local male guinea pig weaning phase significantly affect the digestibility of energy and protein and the addition of starfruit juice as acidifier in the diet at doses of 1% produces energy and protein digestibility of the best in local male guinea pig phase weaning. Keywords: Fruit Extract Blimbing Waluh, Marmots, Energy and Protein 1 PENDAHULUAN Marmot adalah sejenis hewan pengerat dari famili Caviidae (bajing) dengan genus Marmota. Marmot umumnya hidup di daerah pegunungan, seperti Alpen atau pirenia di Eropa, pegunungan Rocky atau Siera Nevada di Amerika Serikat dan Kanada bagian utara. Marmot adalah hewan yang mudah ditangani, bertubuh kecil dan kuat, kepala besar, telinga dan kaki pendek, ekor sangat kecil dan ukuran tubuhnya dari kepala hingga badan 225-355 mm, sangat mudah gugup dengan gerakan mendadak dan suara bising, namun walau demikian jarang sekali menggigit. Marmot termasuk satwa harapan sama halnya dengan rusa, lebah, ulat sutra, bekicot, katak hijau dan lainnya. Marmot memiliki potensi sebagai penghasil daging yang baik, didukung oleh kelebihan biologisnya seperti umur dewasa yang pendek rata-rata 62 hari, lama bunting rata-rata 68 hari, lama produksi ekonomis 1-2 tahun, kawin sesudah beranak 6 sampai 20 jam, dan memiliki litter size 4-5 ekor, selain sebagai penghasil daging marmot juga dijadikan sebagai hewan peliharaan, hewan percobaan dan penghasil pelt. Pemeliharaan marmot relatif mudah, tahan pada kondisi lingkungan yang terbatas. Salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan peternakan marmot adalah ransum. Ransum yang diberikan harus mengandung zat-zat makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan ternak. Ternak membutuhkan makanan (ransum) yang kecukupan dan imbangan nutrisinya baik atau sempurna dan penting diupayakan perbaikan nilai gizi dari ransum itu sendiri untuk lebih meningkatkan mutu, kesehatan dan produktifitas ternak. Upaya yang akan dilakukan untuk membantu meningkatkan pertumbuhan salah satunya adalah pemberian zat aktif dari belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi) dalam ransum. Belimbing wuluh dapat menjadi salah satu alternatif untuk membantu proses pencernaan dalam tubuh ternak karena mengandung zat-zat aktif seperti asam-asam organik (acidifier). Acidifier merupakan asam organik yang bermanfaat dalam preservasi dan memproteksi pakan dari perusakan oleh mikrobia dan fungi namun juga berdampak langsung terhadap mekanisme perbaikan kecernaan pakan pada ternak. Penggunaan acidifier merupakan alternatif pemecahan terhadap pelarangan penggunaan antibiotik pada ternak. 2 Mekanisme kerja yang berjalan diantaranya adalah perbaikan kecernaan dengan penurunan pH lambung dan reduksi mikroflora dan bakteri gram negatif. Belimbing wuluh dapat dimanfaatkan sebagai acidifier dikarenakan karateristiknya berupa rasa asam pada belimbing wuluh dapat memperbanyak pengeluaran empedu yang membantu proses pencernaan dan menambah cita rasa pada ransum yang akan menambah palatabilitas sehingga meningkatkan konsumsi ransum, juga memiliki komponen farmakoseutika yaitu senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibacterial, dan antioksidan. Menurunnya jumlah mikroba patogen dalam saluran pencernaan dapat memberikan keuntungan yaitu meningkatnya efisiensi zat gizi dalam ransum. Dengan meningkatnya penyerapan nutrisi yang terdapat dalam ransum, maka kecernaan energi dan protein semakin meningkat. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Sari Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) dalam Ransum Terhadap Kecernaan Energi dan Protein Pada Marmot Periode Lepas Sapih”. BAHAN DAN METODE PENELITIAN Digunakan sebanyak 20 ekor marmot jantan lepas sapih berumur 4 minggu dengan bobot rata-rata 140-160 gram yang ditempatkan pada kandang individu 30 cm x 30 cm x 20 cm yang dilengkapi dengan tempat pakan berupa cobek ukuran kecil dan tempat minum dengan model nipple. Ransum terdiri dari : rumput gajah, Jagung kuning, dedak halus, bungkil kedelai, tepung ikan, dan dikalsium phospat. Ransum yang akan diberikan pada marmot sesuai dengan kebutuhan, yaitu 18% protein, 4% lemak kasar, 16% serat kasar, 0,8% kalsium (Ca), 0,4% phospor (P), dan energi 2700 Kkal/Kg, sesuai rekomendasi National Research Council (NRC, 2008). Susunan ransum basal ternak percobaan ditampilkan pada Tabel 1. No 1 2 3 Bahan Pakan Rumput Gajah Jagung Kuning Dedak Halus Proporsi (%) 38 21 12 3 4 5 6 Bungkil Kedelai Bungkil kelapa Dikalsium Phospat Total 21 5.5 2.5 100 Ransum perlakuan terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan yaitu : R1 = Ransum kontrol tanpa sari belimbing wuluh; R2 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 0,5% ; R3 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 1% ; R4 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 1,5% dan R5 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 2%. Perlakuan ransum dilakukan selama 4 minggu, dengan masa adaptasi 7 hari. Air minum diberikan ad libitum. Peubah yang diamati dalam penelitian ini antara lain : kecernaan energi (%) dan kecernaan protein (%). Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari lima perlakuan dan empat ulangan. (Steel dan Torrie, 2006) HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Energi Data rataan kercernaan energi pada tiap perlakuan selama penelitian untuk setiap ransum perlakuan adalah sebagai berikut: Tabel 2. Rataan Kecernaan Energi pada Marmot Tiap Perlakuan Perlakuan Ulangan Total Rataan 1 2 3 4 ............................................(%)....................................... R0 34,79 38,45 39,60 42,06 154,90 38,73 a R1 46,70 51,11 44,87 42,59 185,27 46,32 ab R2 56,98 49,01 52,84 54,16 212,99 53,25 b R3 43,93 39,90 48,59 45,36 177,78 44,45 a R4 35,58 47,67 51,13 40,56 174,94 43,74 a Keterangan: Huruf yang tidak sama pada kolom menunjukkan berbeda sangat nyata Hasil pengamatan dalam penelitian mengenai pengaruh perlakuan terhadap kecernaan energi pada marmot lepas sapih terdapat variasi data dari setiap 4 perlakuan dan rataan kecernaan energi secara keseluruhan adalah 45,29. Kecernaan energi tertinggi diperlihatkan oleh marmot lepas sapih yang diberi perlakuan R2 (53,25%), kemudian berturut-turut dilanjutkan oleh perlakuan R1 (46,32%), R3 (44,45%), R4 (43,74) dan R0 (38,73%). Analisis sidik ragam menunjukkan hasil bahwa pemberian buah belimbing wuluh dalam ransum menunjukkan adanya perbedaan sangat nyata terhadap kecernaan energi. Marmot yang diberi perlakuan R0 tidak berbeda nyata dengan R4, R3, dan R1 namun berbeda lebih rendah dengan R2. Marmot pada perlakuan R0 dengan pH pada ransum 6,73 sama sekali tidak memiliki kandungan asam sedangkan R4 dengan pH 4,09 dan R3 dengan pH 5,52 sama-sama memiliki kandungan asam yang tinggi sehingga perlakuan R0, R4 dan R3 ini menghasilkan kecernaan energi yang rendah. Marmot pada perlakuan R2 yang memiliki pH ransum 5,73 dengan pemberian dosis 1% dari jumlah ransum memperlihatkan daya cerna energi tertinggi, karena dengan pemberian buah belimbing wuluh dengan dosis yang tepat dan memiliki tingkat keasaman yang rendah dapat meningkatkan kecernaan zat-zat makanan seperti energi dan protein. Menurut Murray (2000) rasa asam yang dihasilkan melalui asam-asam organik yang terdapat pada belimbing wuluh meningkatkan produksi enzim ptyalin yang terdapat bersama air liur (amilase saliva) di dalam mulut. Lebih lanjut Amerongen dan Nieuw (1991) menjelaskan bahwa proses pencernaan oleh cairan saliva di dalam mulut merupakan proses pencernaan terhadap pati yang prosesnya relatif pendek dan dalam mulut hanya terjadi proses penguraian karbohidrat. Dalam penelitian ini R2 menghasilkan kecernaan energi yang terbaik karena asam lambung (HCl) dengan bantuan asam-asam organik dari buah belimbing wuluh dapat mengoptimalkan kerja enzim pepsinogen menjadi pepsin yang berfungsi dalam pemecahan protein dalam ransum. Enzim lain yang juga ikut aktif dengan adanya asam organik dari belimbing wuluh di dalam cairan lambung adalah lipase. Menurut Dalimartha (2001) bahwa lipase yang terdapat di dalam cairan lambung berasal dari lipase yang terdapat di daerah duodenum karena terjadinya aliran balik usus (duodenum) ke arah lambung, namun lipase yang dihasilkan di lambung sangat sedikit. 5 Buah belimbing wuluh mengandung senyawa flavonoid sehingga dapat membantu untuk menghasilkan kecernaan energi tertinggi pada perlakuan R2 seperti yang telah dijelaskan oleh Handayani (2001) bahwa flavonoid merupakan senyawa aktif anti hiperglikemik dan merangsang mengeluarkan getah pankreas. Getah pankreas disalurkan ke usus halus dan terdiri dari enzim amilase pankreas dan lipase pankreas yang dikenal dengan enzim pankreas. Dengan enzim pankreas, karbohidrat, lemak dan protein kembali dicerna. Enzim lipase pankreas menguraikan lemak netral (trigliserida) menjadi digliserida, monogliserida, asam lemak bebas dan gliserol. Kurniawan et al., (2006) menjelaskan bahwa adanya kandungan senyawa aktif dalam belimbing wuluh seperti saponin dapat memperbanyak pengeluaran empedu yang sangat berperan dalam absorpsi asam lemak, monogliserida, kolesterol dan lemak lain dalam traktus intestinal. Proses akhir dari semua pencernaan karbohidrat, lemak dan protein ini adalah penyerapan di usus halus dimana hasil dari semuanya adalah energi. Karbohidrat yang telah diuraikan oleh beberapa enzim yang telah dijelaskan di atas yang terakhir menjadi monosakarida (glukosa, fruktosa dan galaktosa). Glukosa merupakan yang paling penting diserap dari usus akan diubah menjadi glikogen menuju peredaran darah, disimpan di dalam hati dan otot. Karbohidrat yang disimpan akan mengalami penguraian melalui oksidasi yang mengasilkan energi. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa penambahan sari buah belimbing wuluh pada dosis 1% pada marmot perlakuan R2 memberikan hasil yang optimal terhadap nilai kecernaan energi ransum pada marmot lepas sapih. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Data rataan kecernaan protein pada tiap perlakuan selama penelitian untuk setiap perlakuan adalah sebagai berikut: Tabel 3. Rataan Kecernaan Protein pada Marmot Tiap Perlakuan Ulangan Perlakuan 1 2 Total 3 Rataan 4 ............................................(%)....................................... 6 R0 49,43 46,70 48,70 46,57 191,40 47,85 a R1 R2 R3 50,78 81,39 90,07 78,02 83,85 81,69 80,30 88,43 79,26 78,22 89,21 67,56 287,31 342,88 318,58 71,83 a 85,72 b 79,65 ab R4 52,90 63,92 69,38 54,99 241,19 60,30 a Tabel 3. menunjukkan bahwa pada ransum perlakuan menghasilkan rataan kecernaan protein tertinggi yaitu pada perlakuan R2 (85,72%) kemudian dilanjutkan oleh R3 (79,65%), R1 (71,83%), R4 (60,30%), R0 (47,85%). Marmot lepas sapih yang diberi perlakuan R2 memperlihatkan daya cerna tertinggi dengan pemberian sari buah belimbing wuluh pada dosis yang tepat dapat meningkatkan kecernaan zat-zat makanan khususnya protein. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan R0 tidak berbeda nyata dengan R4, R1 dan R3. Penyebab rendahnya nilai kecernaan R0 akibat tidak ada penambahan sari buah belimbing wuluh dalam ransum perlakuan, sehingga tidak ada kandungan asam–asam organik dan senyawa -senyawa aktif seperti saponin dan flavanoid untuk membantu kerja proses pencernaan marmot lepas sapih yang masih sederhana. Penambahan sari buah belimbing wuluh pada ransum R4 menghasilkan kecernaan protein yang lebih rendah dibandingkan dengan ransum R1 dan R3. Marmot lepas sapih yang diberi perlakuan R2 memperlihatkan daya cerna tertinggi dengan pemberian sari buah belimbing wuluh pada dosis yang tepat dan memiliki kandungan asam-asam organik yang rendah dapat meningkatkan kecernaan zat-zat makanan khususnya protein. hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ensminger, dkk(1990) bahwa pada suasana asam, enzim pemecah protein seperti yang ada pada bagian fundus dapat mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Enzim pepsin memecah molekul protein yang kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana yaitu pepton. Bentuk sederhana tersebut akan mempermudah penyerapan di usus halus secara optimal yang pada akhirnya dapat meningkatkan proses penyerapan sehingga kecernaan protein akan meningkat. Pada penelitian ini diperoleh nilai kecernaan protein ransum pada kisaran 47,85%-85,72%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ransum yang digunakan 7 dalam penelitian ini berkualitas tinggi. Protein pertama kali mengalami proses pencernaan yaitu saat berada di dalam lambung. Lambung menghasilkan cairan lambung yang bersifat asam. Kelenjar lambung (kelenjar gastrik) yang terdapat di bagian fundus, korpus dan pylorus mempunyai saluran (duktus) pendek dengan alveoli relatif panjang. Alveoli ini dilapisi oleh dua macam sel yaitu sel-sel utama (peptic cells) yang menghasilkan pepsin dari bahan (precursor) tidak aktif yaitu pepsinogen dan sel parietal (parietal cell) yang menghasilkan HCl. Cairan lambung yang bersifat asam ini sangat penting untuk pencernaan terutama saat HCl mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin. Adanya asam-asam organik dari sari buah belimbing wuluh di dalam ransum, turut membantu kerja dari lambung marmot lepas sapih yang masih tergolong sederhana dalam mengaktifkan pepsinogen. Atapattu, at al., (2005) menjelaskan bahwa pepsin akan mencerna protein dengan mudah pada pH 2.0 dan beberapa peptida tertentu dapat dicerna oleh pepsin pada pH 4.0. Pepsin akan menguraikan protein dengan cara melepaskan ikatan peptidanya dan membentuk pepton dan asam-asam amino. Setelah selesai dari lambung masuk ke dalam usus halus. Di dalam usus halus disekresikan cairan-cairan yang mengandung enzim yang berperan penting di dalam proses pencernaan. Sekitar daerah usus dua belas jari didapati kelenjar Brunner yang menghasilkan cairan yang bersifat basa dan kaya dengan kandungan mukus, sehingga ransum tidak lagi bersifat asam melainkan telah diubah ke suasana basa. Pencernaan dalam usus dibantu oleh fungsi dari pankreas. Handayani (2001) mengatakan flavonoid merupakan senyawa aktif anti hiperglikemik dan merangsang mengeluarkan getah pankreas. Pankreas mengeluarkan getah pankreas yang disalurkan ke usus halus. Salah satu yang dihasilkan oleh getah pankreas adalah enzim tripsin. Tripsin adalah enzim proteolitik dan bekerja dengan optimum pada suasana yang bersifat basa, namun keaktifannya dapat dipertahankan dalam suasana yang sedikit asam. Enzim ini 8 akan menguraikan protein menjadi pepton dan asam amino seperti leusin dan tirosin. Sutarto (1988) mengatakan bahwa empedu merupakan produk hati yang berupa cairan dan biasanya mempunyai reaksi basa. Zakaria, et al., (2007) menjelaskan bahwa adanya kandungan senyawa aktif dalam belimbing wuluh seperti saponin dapat memperbanyak pengeluaran empedu. Penguraian protein menjadi asam amino oleh enzim tripsin dengan bantuan dari pankreas dan empedu merupakan proses terakhir, selanjutnya asam-asam amino tersebut diserap (absorbsi) oleh kapiler usus dan masuk ke dalam sirkulasi darah akan berdifusi ke seluruh cairan tubuh dan akan mencapai semua sel-sel tujuan di dalam tubuh. Rendahnya nilai kecernaan protein pada perlakuan R4 disebabkan karena jumlah pemberian dosis yang sudah terlalu tinggi. Kondisi ini juga akibat dari jumlah beberapa kandungan belimbing wuluh tersebut terlalu banyak seperti tanin dan pektin. Sesuai dengan pendapat Harborne (1984) bahwa apabila pemberian buah belimbing wuluh yang terlalu banyak juga akan mengganggu proses pencernaan, karena adanya zat tanin pada belimbing wuluh dan kandungan pektin. Zat nutrisi pada saat berada di lambung dan usus halus akan lebih sukar dicerna dan diserap oleh enzim pencernaan seperti pepsin. Protein secara alami berikatan dengan senyawa polimer lain seperti tanin dan pektin untuk membentuk suatu ikatan stabil. Enzim pemecah protein yang diaktifkan oleh asam – asam organik yaitu pepsinogen menjadi pepsin sulit untuk memecah protein menjadi lebih sederhana dan akan keluar begitu saja tanpa adanya proses pencernaan dan penyerapan. Kecernaan protein pada perlakuan R2 berbeda sangat nyata dengan R3 disebabkan karena suasana asam dan kandungan zat antinutrisi yang berasal dari sari buah belimbing wuluh masih pada dosis yang tepat. Oleh sebab itu, penambahan sari buah belimbing wuluh sebagai acidifier dalam ransum marmot lepas sapih pada dosis 1% memberikan hasil yang optimal. 9 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pemberian sari buah belimbing wuluh dalam ransum sebagai acidifier pada marmot jantan lokal fase lepas sapih berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi dan protein. 2. Penambahan sari buah belimbing wuluh sebagai acidifier dalam ransum pada dosis 1 % menghasilkan kecernaan energi dan protein terbaik pada marmot jantan lokal fase lepas sapih. Disarankan pemberian sari buah belimbing wuluh dalam ransum marmot jantan fase lepas sapih pada dosis 1% dapat meningkatkan kecernaan energi dan protein. DAFTAR PUSTAKA Arrington, R. L. 1972. Introduction Laboratory Animal Science. The Breeding, Care and Management of Experimental Animals. 2nd Ed. The Interstate Printers and publisher Inc, Denvill. Atapattu, N. S. B. M dan C. J. Nelligaswatta. 2005. Effects of citric acid on the performance and the utilization of phosphorous and crude protein in broiler chickens fed on rice by-products based diets. International Journal of Poultry Science 4 (12): 990-993. Dalimartha, S. 2001. Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Jakarta. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Heinemann. 1990. Feed and Nutrition. The Ensminger Publishing Company Clows. California. Fekette, S. 1984. Rabbit Feeds and Feeding with Special Regard to Tropical Condition. The Journal Applied of Rabbit Research. Handayani, L. 2001. Pemanfaatan Obat Tradisional dalam Menangani Masalah Kesehatan. Jakarta. Harborne, J.B. 1984. Phytochemical Methods: A Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Chapman and Hall, London, UK 10 Kurniawan Yudhi Saputro, Koentjoko dan Osfar Sjofjan. 2006. Efek Penambahan Asam Sitrat Hasil Fermentasi Molases Dengan (Aspergillus niger) Sebagai Acidifier di Dalam Pakan Terhadap Kecernaan Protein dan Energi Ayam Pedaging. Skripsi. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang. Murray, D.M dan O, Slezaceck, 2000. Growth rate and its effect on empty body weight, carcass weight and diseccted carcass composition of sheep. J.Agric. sci 87 : 171-179.(Dikutip dari : Haryanto, B. 2006. Animal production. vol.8, No.3, September 2006 : 190-195. Fakultas peternakan Universitas Soedirman.) NRC. (National Research Council).2008. Nutrient Requirments of Rabbit. Tenth Edition. National Academy Press. Washington, D.C. USA. Steel, R.G.D dan J. H. Torrie. 2006. Prinsip dan Prosedur Statistika (terjemahan) Cetakan ke-4 PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 289-300. Sutarto. 1988. Pertumbuhan-Perkembangan Saluran Pencernaan dan Organ Tubuh Bagian Dalam Marmot Lokal. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. IPB. Bogor. Zakaria, Z.A,. Zaiton, H., Henie, E.F.P., Jais, A. M.M., and Zainuddin, E.N.H., 2007, In Vitro Antibacterial Activity of Averrhoa bilimbi L. Leaves and Fruits Extracts, Internasional journal of Tropical Medicine. 11