PENGARUH PENAMBAHAN SARI BUAH BELIMBING WULUH

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENGARUH PENAMBAHAN SARI BUAH BELIMBING
WULUH (Averrhoa bilimbi) KEDALAM RANSUM MARMOT
LEPAS SAPIH TERHADAP KECERNAAN ENERGI
DAN PROTEIN
(Effect of Addition of Starfruit (Averrhoa bilimbi) Juice into
Guinea Pig Weaning Ration on Energy and Protein Digestibility)
Marsudin Silalahi1, Sauland SS2
1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung
Jl. ZA Pagar Alam No. 1A Rajabasa PO Box 6050, Unila Bandar Lampung 35145
2
Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran Bandung
[email protected]
ABSTRACT
A study was to determine the effect of starfruit juice (Averrhoa bilimbi) into guinea pig weaning diet on
energy and protein digestibility was done. As many as 20 male weaned 4week guinea pigs with average
weight of 140-160 grams were placed in individual cages. Treatment consisted of 5 rations in 4 replications
were: R1 = Ration control without starfruit juice; R2 = Ration control starfruit juice + 0.5%; R3 = Ration
control starfruit juice + 1%; R4 = Ration control + starfruit juice wuluh 1.5% and R5 = Ration control
starfruit juice + 2%. Results showed that starfruit juice in the diet as acidifier on local male guinea pig
weaning phase significantly affected digestibility of energy and protein and the addition of starfruit juice as
acidifier in the diet at doses of 1% produced energy and protein digestibility of the best for local male guinea
pig in weaning phase.
Key Words: Fruit Extract Blimbing Waluh, Marmots, Energy, Protein
ABSTRAK
Suatu penelitian untuk mengetahui pengaruh penambahan sari buah belimbing wuluh (averrhoa bilimbi)
ke dalam ransum marmot lepas sapih terhadap kecernaan energi dan protein telah dilakukan. Digunakan
sebanyak 20 ekor marmot jantan lepas sapih berumur 4 minggu dengan bobot rata-rata 140-160 gram yang
ditempatkan pada kandang individu. Perlakuan terdiri dari 5 perlakuan dan 4 ulangan yaitu: R1 = Ransum
kontrol tanpa sari belimbing wuluh; R2 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 0,5%; R3 = Ransum
kontrol + sari belimbing wuluh 1%; R4 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 1,5% dan R5 = Ransum
kontrol + sari belimbing wuluh 2%. Hasil penelitian menunjukkan sari buah belimbing wuluh dalam ransum
sebagai acidifier pada marmot jantan lokal fase lepas sapih berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi dan
protein dan penambahan sari buah belimbing wuluh sebagai acidifier dalam ransum pada dosis 1%
menghasilkan kecernaan energi dan protein terbaik pada marmot jantan lokal fase lepas sapih.
Kata Kunci: Sari Buah Blimbing Waluh, Marmut, Energi, Protein
PENDAHULUAN
Marmot adalah sejenis hewan pengerat dari
famili Caviidae (bajing) dengan genus
Marmota. Marmot umumnya hidup di
daerah pegunungan, seperti Alpen atau pirenia
di Eropa, pegunungan Rocky atau Siera
Nevada di Amerika Serikat dan Kanada bagian
utara. Marmot adalah hewan yang mudah
ditangani, bertubuh kecil dan kuat, kepala
besar, telinga dan kaki pendek, ekor sangat
kecil dan ukuran tubuhnya dari kepala hingga
badan 225-355 mm, sangat mudah gugup
dengan gerakan mendadak dan suara bising,
namun walau demikian jarang sekali
menggigit. Marmot termasuk satwa harapan
sama halnya dengan rusa, lebah, ulat sutra,
bekicot, katak hijau dan lainnya.
141
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Marmot memiliki potensi sebagai penghasil
daging yang baik, didukung oleh kelebihan
biologisnya seperti umur dewasa yang pendek
rata-rata 62 hari, lama bunting rata-rata 68 hari,
lama produksi ekonomis 1-2 tahun, kawin
sesudah beranak 6 sampai 20 jam, dan
memiliki litter size 4-5 ekor, selain sebagai
penghasil daging marmot juga dijadikan
sebagai hewan peliharaan, hewan percobaan
dan penghasil pelt. Pemeliharaan marmot
relatif mudah, tahan pada kondisi lingkungan
yang terbatas.
Salah satu faktor yang dapat menentukan
keberhasilan peternakan marmot adalah
ransum. Ransum yang diberikan harus
mengandung zat-zat makanan yang seimbang
dan sesuai dengan kebutuhan ternak. Ternak
membutuhkan makanan (ransum) yang
kecukupan dan imbangan nutrisinya baik atau
sempurna dan penting diupayakan perbaikan
nilai gizi dari ransum itu sendiri untuk lebih
meningkatkan
mutu,
kesehatan
dan
produktifitas ternak. Upaya yang akan
dilakukan untuk membantu meningkatkan
pertumbuhan salah satunya adalah pemberian
zat aktif dari belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi) dalam ransum.
Belimbing wuluh dapat menjadi salah satu
alternatif untuk membantu proses pencernaan
dalam tubuh ternak karena mengandung zat-zat
aktif seperti asam-asam organik (acidifier).
Acidifier merupakan asam organik yang
bermanfaat dalam preservasi dan memproteksi
pakan dari perusakan oleh mikrobia dan fungi
namun juga berdampak langsung terhadap
mekanisme perbaikan kecernaan pakan pada
ternak. Penggunaan acidifier merupakan
alternatif pemecahan terhadap pelarangan
penggunaan antibiotik pada ternak. Mekanisme
kerja yang berjalan diantaranya adalah
perbaikan kecernaan dengan penurunan pH
lambung dan reduksi mikroflora dan bakteri
gram negatif. Belimbing wuluh dapat
dimanfaatkan sebagai acidifier dikarenakan
karateristiknya berupa rasa asam pada
belimbing wuluh dapat memperbanyak
pengeluaran empedu yang membantu proses
pencernaan dan menambah cita rasa pada
ransum yang akan menambah palatabilitas
sehingga meningkatkan konsumsi ransum, juga
memiliki komponen farmakoseutika yaitu
senyawa-senyawa yang bersifat buffer,
142
antibacterial, dan antioksidan. Menurunnya
jumlah mikroba patogen dalam saluran
pencernaan dapat memberikan keuntungan
yaitu meningkatnya efisiensi zat gizi dalam
ransum. Dengan meningkatnya penyerapan
nutrisi yang terdapat dalam ransum, maka
kecernaan energi dan protein semakin
meningkat.
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan
penelitian untuk mengetahui pengaruh
penambahan sari buah belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi) ke dalam ransum marmot
lepas sapih terhadap kecernaan energi dan
protein.
MATERI DAN METODE
Digunakan sebanyak 20 ekor marmot
jantan lepas sapih berumur 4 minggu dengan
bobot rata-rata 140-160 g yang ditempatkan
pada kandang individu 30  30 x 20 cm yang
dilengkapi dengan tempat pakan berupa cobek
ukuran kecil dan tempat minum dengan model
nipple.
Ransum terdiri dari: rumput gajah, Jagung
kuning, dedak halus, bungkil kedelai, tepung
ikan, dan dikalsium phospat. Ransum yang
akan diberikan pada marmot sesuai dengan
kebutuhan, yaitu: 18% protein, 4% lemak
kasar, 16% serat kasar, 0,8% kalsium (Ca),
0,4% phospor (P), dan energi 2700 kkal/kg,
sesuai rekomendasi National Research Council
(NRC 2008). Susunan ransum basal ternak
percobaan ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Formula ransum penelitian
Bahan pakan
Proporsi (%)
Rumput gajah
38
Jagung kuning
21
Dedak halus
12
Bungkil kedelai
21
Bungkil kelapa
5,5
Dikalsium phospat
2,5
Total
100
Ransum perlakuan terdiri dari 5 perlakuan
dan 4 ulangan yaitu: R1 = Ransum kontrol
tanpa sari belimbing wuluh; R2 = Ransum
kontrol + sari belimbing wuluh 0,5%; R3 =
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 2. Rataan kecernaan energi pada marmot tiap perlakuan
Ulangan
Perlakuan
1
2
3
4
Total
Rataan
............................................(%).......................................
R0
34,79
38,45
39,60
42,06
154,90
38,73a
R1
46,70
51,11
44,87
42,59
185,27
46,32ab
R2
56,98
49,01
52,84
54,16
212,99
53,25b
R3
43,93
39,90
48,59
45,36
177,78
44,45a
R4
35,58
47,67
51,13
40,56
174,94
43,74a
Huruf yang tidak sama pada kolom menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,05)
Ransum kontrol + sari belimbing wuluh 1%;
R4 = Ransum kontrol + sari belimbing wuluh
1,5% dan R5 = Ransum kontrol + sari
belimbing wuluh 2%.
Perlakuan ransum dilakukan selama 4
minggu, dengan masa adaptasi 7 hari. Air
minum diberikan ad libitum. Peubah yang
diamati dalam penelitian ini antara lain:
kecernaan energi (%) dan kecernaan protein
(%). Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian eksperimental dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri
dari lima perlakuan dan empat ulangan. (Steel
dan Torrie 2006)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan
energi
Hasil pengamatan dalam penelitian
mengenai pengaruh perlakuan terhadap
kecernaan energi pada marmot lepas sapih
terdapat variasi data dari setiap perlakuan dan
rataan kecernaan energi secara keseluruhan
adalah 45,29. Kecernaan energi tertinggi
diperlihatkan oleh marmot lepas sapih yang
diberi perlakuan R2 (53,25%), kemudian
berturut-turut dilanjutkan oleh perlakuan R1
(46,32%), R3 (44,45%), R4 (43,74) dan R0
(38,73%).
Analisis sidik ragam menunjukkan hasil
bahwa pemberian buah belimbing wuluh dalam
ransum menunjukkan adanya perbedaan sangat
nyata terhadap kecernaan energi. Marmot yang
diberi perlakuan R0 tidak berbeda nyata
dengan R4, R3, dan R1 namun berbeda lebih
rendah dengan R2. Marmot pada perlakuan R0
dengan pH pada ransum 6,73 sama sekali tidak
memiliki kandungan asam sedangkan R4
dengan pH 4,09 dan R3 dengan pH 5,52 samasama memiliki kandungan asam yang tinggi
sehingga perlakuan R0, R4 dan R3 ini
menghasilkan kecernaan energi yang rendah.
Marmot pada perlakuan R2 yang memiliki pH
ransum 5,73 dengan pemberian dosis 1% dari
jumlah ransum memperlihatkan daya cerna
energi tertinggi, karena dengan pemberian
buah belimbing wuluh dengan dosis yang tepat
dan memiliki tingkat keasaman yang rendah
dapat
meningkatkan kecernaan zat-zat
makanan seperti energi dan protein.
Menurut Murray dalam Haryanto (2006)
rasa asam yang dihasilkan melalui asam-asam
organik yang terdapat pada belimbing wuluh
meningkatkan produksi enzim ptyalin yang
terdapat bersama air liur (amilase saliva) di
dalam mulut. Lebih lanjut Kurniawan et al
(2006) menjelaskan bahwa proses pencernaan
oleh cairan saliva di dalam mulut merupakan
proses pencernaan terhadap pati yang
prosesnya relatif pendek dan dalam mulut
hanya terjadi proses penguraian karbohidrat.
Dalam penelitian ini R2 menghasilkan
kecernaan energi yang terbaik karena asam
lambung (HCl) dengan bantuan asam–asam
organik dari buah belimbing wuluh dapat
mengoptimalkan kerja enzim pepsinogen
menjadi pepsin yang berfungsi dalam
pemecahan protein dalam ransum. Enzim lain
yang juga ikut aktif dengan adanya asam
organik dari belimbing wuluh di dalam cairan
lambung adalah lipase. Menurut Dalimartha
(2001) bahwa lipase yang terdapat di dalam
cairan lambung berasal dari lipase yang
143
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
terdapat di daerah duodenum karena terjadinya
aliran balik usus (duodenum) ke arah lambung,
namun lipase yang dihasilkan di lambung
sangat sedikit.
Buah belimbing wuluh mengandung
senyawa flavonoid sehingga dapat membantu
untuk menghasilkan kecernaan energi tertinggi
pada perlakuan R2 seperti yang telah
dijelaskan oleh Handayani (2001) bahwa
flavonoid merupakan senyawa aktif anti
hiperglikemik dan merangsang mengeluarkan
getah pankreas. Getah pankreas disalurkan ke
usus halus dan terdiri dari enzim amilase
pankreas dan lipase pankreas yang dikenal
dengan enzim pankreas. Dengan enzim
pankreas, karbohidrat, lemak dan protein
kembali dicerna. Enzim lipase pankreas
menguraikan lemak netral (trigliserida)
menjadi digliserida, monogliserida, asam
lemak bebas dan gliserol. Sembiring (2010)
menjelaskan bahwa adanya kandungan
senyawa aktif dalam belimbing wuluh seperti
saponin dapat memperbanyak pengeluaran
empedu yang sangat berperan dalam absorpsi
asam lemak, monogliserida, kolesterol dan
lemak lain dalam traktus intestinal.
Proses akhir dari semua pencernaan
karbohidrat, lemak dan protein ini adalah
penyerapan di usus halus dimana hasil dari
semuanya adalah energi. Karbohidrat yang
telah diuraikan oleh beberapa enzim yang telah
dijelaskan di atas yang terakhir menjadi
monosakarida
(glukosa,
fruktosa
dan
galaktosa). Glukosa merupakan yang paling
penting diserap dari usus akan diubah menjadi
glikogen menuju peredaran darah, disimpan di
dalam hati dan otot. Karbohidrat yang
disimpan akan mengalami penguraian melalui
oksidasi yang mengasilkan energi.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
informasi bahwa penambahan sari buah
belimbing wuluh pada dosis 1% pada marmot
perlakuan R2 memberikan hasil yang optimal
terhadap nilai kecernaan energi ransum pada
marmot lepas sapih.
Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan
protein
Tabel 3. menunjukkan bahwa pada ransum
perlakuan menghasilkan rataan kecernaan
protein tertinggi yaitu pada perlakuan R2
(85,72%) kemudian dilanjutkan oleh R3
(79,65%), R1 (71,83%), R4 (60,30%), R0
(47,85%). Marmot lepas sapih yang diberi
perlakuan R2 memperlihatkan daya cerna
tertinggi dengan pemberian sari buah
belimbing wuluh pada dosis yang tepat dapat
meningkatkan kecernaan zat-zat makanan
khususnya protein.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan
bahwa perlakuan R0 tidak berbeda nyata
dengan R4, R1 dan R3. Penyebab rendahnya
nilai kecernaan R0 akibat tidak ada
penambahan sari buah belimbing wuluh dalam
ransum perlakuan, sehingga tidak ada
kandungan asam-asam organik dan senyawa–
senyawa aktif seperti saponin dan flavanoid
untuk membantu kerja proses pencernaan
marmot lepas sapih yang masih sederhana.
Penambahan sari buah belimbing wuluh pada
ransum R4 menghasilkan kecernaan protein
yang lebih rendah dibandingkan dengan
ransum R1 dan R3. Marmot lepas sapih yang
diberi perlakuan R2 memperlihatkan daya
cerna tertinggi dengan pemberian sari buah
belimbing wuluh pada dosis yang tepat dan
Tabel 3. Rataan kecernaan protein pada marmot tiap perlakuan
Ulangan
Perlakuan
1
2
3
4
Total
Rataan
............................................(%).......................................
R0
49,43
46,70
48,70
46,57
191,40
47,85a
R1
50,78
78,02
80,30
78,22
287,31
71,83a
R2
81,39
83,85
88,43
89,21
342,88
85,72b
R3
90,07
81,69
79,26
67,56
318,58
79,65ab
R4
52,90
63,92
69,38
54,99
241,19
60,30a
144
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
memiliki kandungan asam-asam organik yang
rendah dapat meningkatkan kecernaan zat1–zat
makanan khususnya protein. hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Ensminger et al. (1990)
bahwa pada suasana asam, enzim pemecah
protein seperti yang ada pada bagian fundus
dapat mengaktifkan pepsinogen menjadi
pepsin. Enzim pepsin memecah molekul
protein yang kompleks menjadi molekul yang
lebih sederhana yaitu pepton. Bentuk sederhana
tersebut akan mempermudah penyerapan di
usus halus secara optimal yang pada akhirnya
dapat meningkatkan proses penyerapan
sehingga kecernaan protein akan meningkat.
Pada penelitian ini diperoleh nilai
kecernaan protein ransum pada kisaran 47,8585,72%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
ransum yang digunakan dalam penelitian ini
berkualitas tinggi. Protein pertama kali
mengalami proses pencernaan yaitu saat berada
di dalam lambung. Lambung menghasilkan
cairan lambung yang bersifat asam. Kelenjar
lambung (kelenjar gastrik) yang terdapat di
bagian fundus, korpus dan pylorus mempunyai
saluran (duktus) pendek dengan alveoli relatif
panjang. Alveoli ini dilapisi oleh dua macam
sel yaitu sel-sel utama (peptic cells) yang
menghasilkan pepsin dari bahan (precursor)
tidak aktif yaitu pepsinogen dan sel parietal
(parietal cell) yang menghasilkan HCl. Cairan
lambung yang bersifat asam ini sangat penting
untuk pencernaan terutama saat HCl
mengaktifkan pepsinogen menjadi pepsin.
Adanya asam-asam organik dari sari buah
belimbing wuluh di dalam ransum, turut
membantu kerja dari lambung marmot lepas
sapih yang masih tergolong sederhana dalam
mengaktifkan pepsinogen. Atapattu et al.
(2005) menjelaskan bahwa pepsin akan
mencerna protein dengan mudah pada pH 2,0
dan beberapa peptida tertentu dapat dicerna
oleh pepsin pada pH 4,0. Pepsin akan
menguraikan protein dengan cara melepaskan
ikatan peptidanya dan membentuk pepton dan
asam-asam amino. Setelah selesai dari
lambung masuk ke dalam usus halus. Di dalam
usus halus disekresikan cairan-cairan yang
mengandung enzim yang berperan penting di
dalam proses pencernaan. Sekitar daerah usus
dua belas jari didapati kelenjar Brunner yang
menghasilkan cairan yang bersifat basa dan
kaya dengan kandungan mukus, sehingga
ransum tidak lagi bersifat asam melainkan
telah diubah ke suasana basa. Pencernaan
dalam usus dibantu oleh fungsi dari pankreas.
Handayani (2001) mengatakan flavonoid
merupakan senyawa aktif anti hiperglikemik
dan merangsang mengeluarkan getah pankreas.
Pankreas mengeluarkan getah pankreas yang
disalurkan ke usus halus. Salah satu yang
dihasilkan oleh getah pankreas adalah enzim
tripsin. Tripsin adalah enzim proteolitik dan
bekerja dengan optimum pada suasana yang
bersifat basa, namun keaktifannya dapat
dipertahankan dalam suasana yang sedikit
asam. Enzim ini akan menguraikan protein
menjadi pepton dan asam amino seperti leusin
dan tirosin. Sutarto et al. (1988) mengatakan
bahwa empedu merupakan produk hati yang
berupa cairan dan biasanya mempunyai reaksi
basa. Zakaria (2007) menjelaskan bahwa
adanya kandungan senyawa aktif dalam
belimbing wuluh seperti saponin dapat
memperbanyak
pengeluaran
empedu.
Penguraian protein menjadi asam amino oleh
enzim tripsin dengan bantuan dari pankreas
dan empedu merupakan proses terakhir,
selanjutnya asam-asam amino tersebut diserap
(absorbsi) oleh kapiler usus dan masuk ke
dalam sirkulasi darah akan berdifusi ke seluruh
cairan tubuh dan akan mencapai semua sel-sel
tujuan di dalam tubuh. Rendahnya nilai
kecernaan protein pada perlakuan R4
disebabkan karena jumlah pemberian dosis
yang sudah terlalu tinggi. Kondisi ini juga akibat
dari jumlah beberapa kandungan belimbing
wuluh tersebut terlalu banyak seperti tanin dan
pektin. Sesuai dengan pendapat Harborne
(1984) bahwa apabila pemberian buah
belimbing wuluh yang terlalu banyak juga
akan mengganggu proses pencernaan, karena
adanya zat tanin pada belimbing wuluh dan
kandungan pektin. Zat nutrisi pada saat berada
di lambung dan usus halus akan lebih sukar
dicerna dan diserap oleh enzim pencernaan
seperti pepsin. Protein secara alami berikatan
dengan senyawa polimer lain seperti tanin dan
pektin untuk membentuk suatu ikatan stabil.
Enzim pemecah protein yang diaktifkan oleh
asam-asam organik yaitu pepsinogen menjadi
pepsin sulit untuk memecah protein menjadi
lebih sederhana dan akan keluar begitu saja
tanpa adanya proses pencernaan dan
penyerapan.
145
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Kecernaan protein pada perlakuan R2
berbeda sangat nyata dengan R3 disebabkan
karena suasana asam dan kandungan zat
antinutrisi yang berasal dari sari buah
belimbing wuluh masih pada dosis yang tepat.
Oleh sebab itu, penambahan sari buah
belimbing wuluh sebagai acidifier dalam
ransum marmot lepas sapih pada dosis 1%
memberikan hasil yang optimal.
Harborne JB. 1984. Phytochemical Methods: A
Guide to Modern Techniques of Plant
Analysis. Chapman and Hall, London, UK.
KESIMPULAN
Haryanto B. 2006. Improving growth and carcass
production of rabbit by utilization of Curcuma
xanthorrhiza Roxb on ration.
Animal
Production. 8(3):190-195..
Pemberian sari buah belimbing wuluh
dalam ransum sebagai acidifier pada marmot
jantan lokal fase lepas sapih berpengaruh nyata
terhadap kecernaan energi dan protein.
Penambahan sari buah belimbing wuluh
sebagai acidifier dalam ransum pada dosis 1%
menghasilkan kecernaan energi dan protein
terbaik pada marmot jantan lokal fase lepas
sapih.
DAFTAR PUSTAKA
Atapattu NSBM, Nelligaswatta CJ. 2005. Effects of
citric acid on the performance and the
utilization of phosphorous and crude protein
in broiler chickens fed on rice by-products
based diets. Int J Poult Sci. 4(12):990-993.
Dalimartha S. 2001. Resep Tumbuhan Obat untuk
Menurunkan Kolesterol. Jakarta.
Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann WW. 1990.
Feed and Nutrition. The Ensminger Publishing
Company Clows. California.
Handayani L. 2001. Pemanfaatan Obat Tradisional
dalam Menangani Masalah Kesehatan.
Jakarta.
146
Kurniawan Yudhi Saputro, Koentjoko, Sjofjan O.
2006. Efek Penambahan Asam Sitrat Hasil
Fermentasi Molases dengan (Aspergillus
niger) Sebagai Acidifier didalam Pakan
Terhadap Kecernaan Protein dan Energi Ayam
Pedaging. Skripsi. Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan.
Universitas Brawijaya, Malang.
National Research Council. (NRC). 2008. Nutrient
Requirments of Rabbit. Tenth Edition.
Washington DC. (USA): National Academy
Press.
Sembiring TJ. 2010. Belimbing wuluh sebagai
sumber
energi
alternatif.
Dalam:
http://majalah_energi.com/forum/energy-barudan-terbarukan/bioenergy/belimbing-wuluhsebagai-sumber -energi-alternatif (diakses
pada Desember 2012).
Steel RGD, Torrie JH. 2006. Prinsip dan Prosedur
Statistika (terjemahan) Cetakan ke-4. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. hlm. 289-300.
Sutarto. 1988. Pertumbuhan-Perkembangan Saluran
Pencernaan dan Organ Tubuh Bagian Dalam
Marmot Lokal. Karya Ilmiah. Bogor
(Indonesia): Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor.
Zakaria ZA, Zaiton H, Henie EFP, Jais AMM,
Zainuddin ENH. 2007. In Vitro Antibacterial
Activity of Averrhoa bilimbi L. Leaves and
Fruits Extracts. Int J Trop Med. Volume 2.
hlm. 96-100.
Download