BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah merupakan salah satu cabang ilmu yang tertua. Awalnya ilmu ini
berkembang di daerah kerajaan seperti di Asia Selatan dan Tenggara seperti di India,
Birma dan Melayu pada abad ke 12 setelah kemunculan agama Hindu dan Buddha.
Pencatatan sejarah lebih pada karya-karya sastra seperti : kronik, sajak, dan epik yang
berkembang di seputar agama Hindu. Beberapa epik seperti Mahabarata dan
Ramayana merupakan salah satu epik tertua yang masih ada hingga saat ini.
Sementara di Jawa dan Melayu penulisan sejarah tertua diperkirakan mulai pada abad
ke 14 dimana ditemukannya sajak seperti Nagarakertagama serta Babad Tanah Jawi
di wilayah Jawa. Selain itu pengaruh agama Islam yang masuk ke wilayah Asia
menyebabkan munculnya tradisi penulisan wahyu, pujian, dan pujin terhadap nabi
dan Tuhan. Pencatatan sejarah juga termasuk persebaran agama, wilayah yang
dikuasai, kerajaan-kerajaan lokal, dan perkembangan agama di wilayah baru. Tradisi
penulisan mengenai arsip-arsip tersebut dilakukan sebelum kedatangan bangsa Eropa
ke Asia yaitu sebelum tahun 1600an (Abdullah, 1985). Penulisan ini sangat jauh dari
kriteria penulisan sejarah pada saat ini, namun hasil dari penulisan ini sedikit banyak
membantu sejarawan dalam mempelajari tentang sejarah sejarah bangsa yang telah
punah.
1
Perkembangan ilmu sejarah di Eropa dimulai sejak ditemukannya tulisan
sejarah di Yunani dalam bentuk puisi yaitu karya Homer yang ditulis berdasarkan
cerita-cerita lama tentang kehancuran Troya pada 1.200 S.M. Tulisan sejarah dalam
bentuk prosa muncul pada abad ke 6 S.M. di Ionia. Penulis sejarah yang terkenal
muncul di Yunani yaitu Herodotus ( ca. 484-425 S.M) dan Thucydides ( (ca. 456-396
S.M). Herodotus merupakan bapak sejarah, ia menuliskan mengenai perang YunaniPersia pada 478 S.M. Tulisannya bertahan lama bahkan menjadi standar yang diikuti
dalam penulisan sejarah lama. Seringkali Herodotus dianggap sebagai sejarawan
karena berusaha untuk mencari suatu sebab dari peristiwa peristiwa sejarah.
Meskipun menggunakan kesaksian, penggunaan sumber dan kedua belah pihak dan
netralitas tetapi ada kecacatan dalam penulisan sejarahnya pertama ia tidak akurat
dalam melukiskan perang kedua, ia tak bisa menghindari sebab musabab
superanatural (Kuntowijoyo,2001:38-39).
Ini menyebabkan tulisan Herodotus seringkali dianggap hanya sebagai cerita
rakyat belaka. Ia dianggap menggambarkan sebuah tradisi panjang penulisan cerita
bangsa Ionia namun dengan cara yang lebih baik. Karya Herodotus menjadi acuan
sejarawan lainnya namun kekurangan dalam karyanya membuat penulis lain berusaha
untuk mengihindari aspek mitos. Beberapa sejarawan kuno yang berusaha untuk
menuliskan sejarawan yang obyektif adalah Thucyidides. Ia berbeda dengan
Herodotus dalam menuliskan peristiwa sejarah. Tulisannya lebih akurat dan tidak
menggunakan penjelasan supranatural dalam tulisan sejarahnya. Ia menuliskan
2
mengenai perang antara Athena dan Sparta yaitu antara demokrasi dan tirani yang
dimenangkan oleh Athena. Thucydides dalam kehidupan sehari-harinya merupakan
seorang jendral dan politisi sehingga penulisan sejarahnya terbatas pada politik,
diplomasi, dan perang. Ia merupakan orang pertama yang menyadari bahwa sejarah
bisa menjadi pragmatis (Kuntowijoyo,2001:39-40).
Setelah Thucyidides muncul berbagai penulis sejarah, baik dari Yunani maupun
Romawi kuno seperti: Polybius, Julius Cesar, Sallustius, Livius, Tacitus. Kebanyakan
tulisan sejarah pada masa itu berisi tentang pemerintahan, perang politik, serta
kejatuhan Romawi. Hal ini disebabkan karena kebanyakan dari penulis sejarah pada
masa itu merupakan politisi. Pada zaman pertengahan di Eropa karya-karya sejarah
dipengaruhi oleh agama Kristen yang mengacu pada agama dan sentralisme. Pusat
sejarah pada masa itu adalah gereja dan pemerintahan, sementara pada abad ke 18
penulisan sejarah lebih condong ke arah peradaban. Sejarah kritis mulai
diperkenalkan pada akhir abad ke 19 dimana mulai bermunculan penulisan sejarah
yang lebih modern. Penulisan ini dipelopori oleh Leopold van Ranke yang
menganjurkan supaya sejarawan menuliskan apa yang sebenarnya terjadi.
Pada masa ini banyak sejarawan yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu
sejarah sehingga muncul banyak terobosan dalam ilmu sejarah. Pada masa ini
sejarawan lebih berfokus pada usaha untuk menelusuri kebenaran yang terjadi di
masa lampau, apakah suatu peristiwa benar-benar terjadi atau tidak. Meski begitu
banyak ilmuwan yang meragukan sejarah sebagai ilmu. Hal ini terkait dengan
3
perkembangan ilmu di masa itu yang lebih condong ke arah positivistik. Pandangan
ini pertama kali diperkenalkan oleh August Comte.
Menurut Comte, Ia hanya menerima fakta-fakta yang dapat diterima secara
ilmiah. Positivistik hanya mau berbicara mengenai gejala-gejala sementara segala
sesuatu yang lain tidak memiliki arti. Tidak ada gunanya mencari “hakikat”
kenyataan. Hanya ada satu hal yang penting yaitu savoir pour prevoir, “mengetahui
supaya siap untuk bertindak”, mengetahui supaya manusia dapat menantikan apa
yang akan terjadi (Hamersma,1983:54). Pandangan Comte ini karena kurangnya
stabilitas dalam tertib sosial disebabkan adanya koeksistensi yang kacau dari tiga
stadia yang berubah-ubah pada masa itu. Comte berusaha untuk memperkuat
masyarakat dan kehidupan sosial melalui filsafat positif ini. Ia akan menempatkan
kesatuan rohani masyarakat yang menempatkan seluruh kemanusiaan di dalam satu
ilmu pengetahuan dan satu organisasi, sehingga muncul ketertiban dan kemajuan
secara umum sebagai sintesis dari abad pertengahan dan periode revolusioner.
Manusia mampu mencapai tujuannya dan intelegensi mencapai titik puncaknya dalam
pengabdian kepada kesejahteraan manusia. Dengan Comte maka sejarah tidak lagi
berupa pembeberan sementara kebenaran mutlak dan pemenuhan tujuan providensial
yang kekal, tetapi berupa sejarah sekuler peradaban, yang kebenarannya adalah
relatif,
karena
terikat
pada
keadaan
dan
kondisi
yang
berubah-ubah
(Kartodirjo,1986:62). Ilmu sejarah mengalami perombakan besar-besaran akibat
pengaruh positivistik yang dihasilkan Comte. Di Perancis Fustel de Coulanges dan
4
Hippolyte Taine ( 1828-1893) mengembangkan sikap keilmiahan positivistik dalam
sejarah (Poespoprodjo,1987:17).
Sikap positivistik ini difokuskan pada pengumpulan fakta yang akurat, namun
tidak semua sejarawan setuju pada positivistik karena positivistik lebih cocok untuk
digunakan pada ilmu alam. Ilmu sejarah bukanlah ilmu alam yang harus selalu pasti.
Positivistik Comte memiliki karakteristik tersendiri yaitu pengamatan (observasi),
percobaan (eksperimen), perbandingan (komparasi), dan metode sejarah. Keempat
karaktersitik merupakan penilaian mutlak yang harus dilakukan dalam pengetahuan
ilmiah sementara penyelidikan sejarah adalah penyelidikan masa lampau yang tidak
bisa diulang kembali sehingga kebenarannya akan sulit dibuktikan melalui keempat
karakteristik tersebut. Beberapa Sejarawan seperti Gottschalk menganggap bahwa
ilmu sejarah merupakan bagian dari ilmu humaniora, karena ilmu sejarah
berhubungan dengan manusia dan segi kehidupannya sehingga ilmu sejarah
seharusnya memiliki standar sendiri. Hal ini dikarenakan rekonstruksi sejarah terjadi
di dalam kepala sejarawan sehingga ia akan membutuhkan imajinasi agar dapat
membayangkan peristiwa masa lampau, sementara penggunaan imajinasi dalam
positivistik sangat ditentang karena tidak akan mampu menghasilkan hasil yang
obyektif. Permasalahan subyektif dan obyektif ini menjadi isu yang penting dalam
ilmu sejarah, karena berkaitan apakah ilmu sejarah bisa dikategorikan sebagai ilmu
atau tidak maka harus dilihat apakah sejarah memiliki kaitan dengan ilmu atau tidak.
5
Menurut Hariyono salah satu syarat utama ilmu adalah adanya pengetahuan
(Hariyono,1995:80). Pengetahuan adalah pemahaman akan sesuatu yang bersifat
spontan tanpa mengetahui seluk beluknya secara mendalam. Ciri pengetahuan adalah
tidak terbuka akan usaha bantahan atau dasar pengamatan dan pemeriksaan.
Pengetahuan ini nantinya akan menuju pada ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan
yang bersifat metodologis, sistematis, dan logis. Maksudnya pengetahuan tersebut
diperoleh dengan menggunakan cara kerja yang terperinci dan telah ditentukan
sebelumnya, metode itu dapat induktif maupun deduktif. Sistematis maksudnya
pengetahuan tersebut merupakan suatu keseluruhan yang mandiri dari hal hal yang
saling berhubungan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Logis maksudnya
proposisi proposisi atau pernyataan pernyataan yang satu dengan yang lain
mempunyai hubungan rasional sehingga dapat ditarik hubungan yang rasional pula.
Ilmu pengetahuan ini menurut ahli ilmu pengetahuan Karl Raimund Popper dalam
bukunya The Logic of Scientific History (1959) mempunyai ciri khas dapat dibantah
(critizable and refutable) atas dasar pengamatan dan pemeriksaan, maksudnya
terbuka untuk dibantah kendati mungkin akan tetap bertahan (Adisusilo Jr,1983:910).
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sejarah termasuk
dalam salah satu bagian ilmu. Hal ini semakin ditegaskan dengan pendapat Dilthey
mengenai perbedaan antara ilmu alam Naturwissenschaften dan ilmu ilmu
kebudayaan Geisteswissenschaften dimana ilmu sejarah dikategorikan sebagai ilmu
6
budaya (Kartodirjo,1982). Pada perkembangannya Ilmu sejarah pada masa kini
memiliki konsep, teori, filsafat, dan fakta. Teori merupakan kaidah yang mendasari
sesuatu yang terjadi dan sudah dilakukan verifikasi didalamnya. Teori bisa juga
terdiri dari ide-ide yang terhubung dalam suatu kebenaran dan diatur oleh berbagai
fakta yang dekat dengan hal tersebut. Fakta di lain pihak, memiliki hubungan yang
erat dengan siapa (who), kapan (when), dimana (where), apa (what), mengapa (why),
dan siapa (who), sementara konsep memiliki kandungan yang bersifat umum dari
sejumlah objek atau individu.
Namun masih ada permasalahan yang lain yaitu rekonstruksi yang dilakukan
oleh sejarawan masih menyisakan perdebatan apakah hal tersebut obyektif atau
subyektif. Rekonstruksi atas peristiwa tersebut terjadi didalam kepala sejarawan yang
berusaha mereka-reka dan merekonstruksi kembali peristiwa yang telah terjadi.
Proses rekontruksi ini seringkali menimbulkan perdebatan apakah tulisan sejarah
yang dihasilkan benar-benar obyektif sesuai dengan fakta dan peristiwa yang telah
terjadi, atau merupakan rekayasa yang dilakukan oleh penulis sejarah dengan maksud
dan tujuan tertentu. Sejarah pun menjadi tidak obyektif dan dapat menjadi
tunggangan atau alat politik yang digunakan untuk menghasut masyarakat.
Moh Ali mencontohkan mengenai pemboman Hiroshima dan Nagasaki sekutu
(Amerika Serikat dan Inggris) memandang peristiwa ini sebagai suatu yang
seharusnya terjadi untuk mengakhiri perang. Bangsa-bangsa yang dijajah (Indonesia,
Birma, dan sebagainya) merasa lega dan bersyukur, sedangkan Jepang sendiri
7
mengutuk perbuatan itu. Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa cerita sejarah sangat
tergantung dari pendirian dan bahwa pendirian pun ditentukan daerah, golongan,
zaman, dan kepribadian seseorang ( Moh Ali,1963:32)
Disini satu kejadian masa lampau dapat dipandang dari berbagai sisi sesuai
dengan pribadi yang melihat sejarah tersebut apakah ia sekutu, bangsa terjajah atau
bangsa Jepang itu sendiri. Sejarawan akan menuliskan sejarah sesuai dengan latar
belakangnya, keobyektifan penulisan pun dapat dilihat dari latar belakang sejarawan
itu sendirinya tentunya hal ini akan memengaruhi subyektivitas sejarawan dalam
memandang peristiwa sejarah.
Sejarah memang memiliki posisi yang unik dalam ilmu pengetahuan karena
ilmu sejarah bisa dikategorikan sebagai ilmu sosial atau ilmu humaniora. Sebagai
ilmu sosial karena ilmu sejarah bersifat empirik dan dapat diteliti dari fakta yang ada.
Ilmu humaniora karena sejarah berkaitan dengan berbagai segi kehidupan manusia,
pada posisi ini ilmu juga sering dilihat sebagai seni. Adanya proses interpretasi dan
rekonstruksi dalam diri sejarawan membuat ilmu sejarah dipandang sebagai suatu
ilmu yang subyektif dan tidak akan bisa berlaku obyektif. Anggapan ini dperkuat
dengan sistem politik yang berlaku sehingga banyak sejarah menjadi tidak obyektif
dan menjadi alat dari kepentingan politik terutama pemerintah.
8
1. Rumusan Masalah
a.
Bagaimana peran nilai dalam obyektifitas ilmu sejarah?
b.
Bagaimana konseps aksiologi ilmu Hugh Lacey?
c.
Bagaimana obyektivitas ilmu sejarah bila dilihat dari
pandangan aksiologi ilmu Hugh Lacey?
2. Keaslian penelitian
Selama ini penelitian mengenai obyektivitas ilmu sejarah ditinjau dari
aksiologi ilmu Hugh Lacey belum banyak dilakukan. penulis hanya
menemukan beberapa laporan penelitian mengenai ilmu sejarah dan
pemikiran Hugh Lacey terhadap ilmu dan nilai, penelitian tersebut
antara lain :
a. Wijaya, Cuk Ananta, 1999. Eksplanasi Ilmiah dalam Ilmu
Sejarah : Menurut Perspektif Filsafat Ilmu Ernest Nagel.
Laporan Penelitian Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada. Laporan penelitian ini meneliti mengenai eksplanasi
ilmiah dalam ilmu sejarah menurut persektif filsafat ilmu
Ernest Nagel.
b. Mustansyir, Rizal. 2008. Relasi Ilmu dan Nilai dalam
Pemikiran Hugh Lacey : Relevansinya bagi Strategi
Pengembangan Ilmu di Indonesia. Laporan Penelitian
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Laporan
penelitian ini meneliti pemikiran Hugh Lacey mengenai
9
relasi ilmu dan nilai dan relevansinya bagi strategi
pengembangan ilmu di Indonesia.
3. Manfaat yang Diharapkan
Penelitian mengenai obyektivitas ilmu sejarah diharapkan dapat memberikan
manfaat seperti :
1. Bagi ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahun
mengenai nilai nilai yang terdapat dalam obyektivitas ilmu sejarah
2. Bagi filsafat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan yang komprehensif
mengenai pandangan Hugh Lacey terhadap obyektivitas ilmu
3. Bagi masyarakat
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan suatu sudut pandang baru
terhadap masyarakat dalam melihat dan memahami obyektivitas ilmu sejarah
B. Tujuan penelitian
Sebagai suatu bentuk penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk
menjawab persoalan yang ada pada rumusan masalah, yaitu :
1. Memaparkan obyektivitas ilmu sejarah
2. Mendeskripsikan pemikiran Hugh Lacey mengenai nilai
3. Memaparkan dan menganalisis mengenai obyektivitas ilmu sejarah dilihat
dari pandangan Hugh Lacey
10
C. Tinjauan Pustaka
Sejarah merupakan salah satu bagian ilmu, menurut Gottschalk ilmu sejarah
sejatinya berusaha mengungkap kejadian atau peristiwa yang telah terjadi di masa
lampau. Tugas sejarawan adalah membahas apa yang dinamis atau genetis yang
menjadi maupun yang statis (yang ada atau yang terjadi) dan ia berusaha untuk
bersikap interpretatif (yakni menerangkan mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi
dan saling berhubungan) maupun bersikap deksriptif (yakni menceritakan apa,
bilamana,
dimana
terjadi,
dan
siapa
yang
ikut
serta
didalamnya)
(Gottsschalk,1975:29). Sejarah menurut Bambang Purwanto merupakan roh dan
cahaya yang memberi pancaran terang untuk berjalan dan meneruskan langkah ke
depan, bukan ruang gelap dimana orang harus kembali. Oleh karena itu, sejarah selalu
bergerak maju di masa kini menuju masa depan dan hanya meninggalkan jejak di
masa lampau. Sejarah tidak dipahami sebagai antikuarian, yang hanya berfungsi
sebagai alat pembenaran terhadap masa lampau yang telah dilalui. Sejarah pada
dasarnya adalah kaca untuk bercermin, yang refleksinya menjadi dasar untuk hidup di
masa kini dan merancang masa depan yang diinginkan (Purwanto,2012:11).
Ilmu sejarah merupakan bagian dari ilmu yang mempelajari perkembangan
seluruh manusia menurut segala aspeknya maka dapat dilihat bahwa obyek ilmu
sejarah adalah seluruh manusia akan tetapi justru menurut perkembangannya.
Tekanan memang terletak pada dimensi waktu akan tetapi tidak terlepas dari bidangbidang konkret. Dicari pemahaman mengenai manusia sendiri dalam tindakan
11
tindakannya yang maju dan menghasilkan suatu dunia manusia tertentu. Pada
dasarnya dipelajari hakikat perkembangan manusia, situasi-situasi, dan kondisikondisi yang memungkinkan perkembangan itu dan konkretisasi dalam tingkah laku
sosial, dengan demikian menjadi jelas sebab apa ilmu sejarah yang membicarakan
dimensi-dimensi yang sama juga dipelajari ilmu-ilmu lain (Bakker,1986:251-252).
Setelah itu tugas seorang sejarawan ialah harus bisa menuliskan atau
menggambarkan peristiwa masa lampau mendekati kebenarannya melalui sumbersumber atau fakta-fakta sejarah. Pada prosesnya sejarawan akan melakukan
rekonstruksi yang terjadi dalam pemikiran si sejarawan sendiri. Proses ini disebut
sebagai interpretasi dan seleksi sejarah. Interpretasi lebih condong untuk ke arah
paham seseorang, sementara seleksi adalah arbitrary and evaluative yang melibatkan
pendirian pribadi sejarawan. Proses ini menimbulkan banyak perdebatan karena
dinilai terlalu subyektif dan melibatkan pendirian pribadi sejarawan karena fakta
sejarah tidak dapat dituliskan kembali secara mentah-mentah, melainkan harus diolah
kembali dari data sejarah (Poespoprodjo,1987:2).
Proses konstruksi masa lampau tertentu, ilmuwan sejarah tak mendapatkan
bahannya begitu saja. Ia harus menggali, meneliti setelah itu menyaring, memeriksa,
dan akhirnya baru menetapkannya. Ilmuwan sejarah dalam melakukan ini, ia
bertindak selektif dan mengatur, dengan demikian sejak memulai ia telah dibimbing
oleh suatu asas tertentu dan bertolak dari sudut pandangan maupun nilai-nilai tertentu
pula. Pemilihan bahan sejarahnya, ilmuwan sejarah tak mungkin tanpa dipengaruhi
oleh diri pribadinya, politik, kebangsaan, agama maupun kebudayaannya. Dengan
begitulah ia memperoleh penglihatan terhadap masa lampau dan selanjutnya dapat
membuat konstruksi gambaran-gambaran peristiwa dari masa lampau tersebut. faktafakta itu nantinya akan dijelaskan arti dan hubungannya satu sama lain, sehingga
memiliki ikatan dan kesatuan (Kartodirjo,1986:7).
12
Penulisan kebenaran suatu peristiwa sejarah haruslah mendekati kebenaran dari
peristiwa itu sendiri dimana sejarah harus bisa obyektif seperti yang dikatakan
Ankersmith, namun murni objektif tidaklah mungkin dilakukan. Dalam bukunya
yang berjudul “Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-Pendapat Modern tentang
Filsafat Sejarah”, Ankersmith memperlihatkan perdebatan antara kaum subyektif dan
obyektif. Kedua perdebatan sama-sama dilandasi oleh nilai yang saling bertentangan.
Menurut kaum subyektifis seorang sejarawan akan terikat dengan tiga subyektivitas
yaitu subyektivitas pribadi, sosial, dan waktu. Ketiga subyektivitas ini terkait dengan
nilai-nilai sejarawan sebagai seorang pribadi, anggota kelompok sosial, dan waktu
dimana dia hidup. Ketiga subyektivitas ini akan selalu melekat pada dirinya.
pembelaan kaum objektivis adalah bahwa seorang sejarawan dalam memproses suatu
peristiwa masa lampau akan terikat dengan nilai nilai baik pada masa sekarang
maupun di masa lampau saat terjadinya peristiwa tersebut, nilai-nilai ini nantinya
akan mampu untuk menjelaskan mengenai sebab akibat terjadinya peristiwa di masa
lampau tersebut sehingga sejarawan mampu mengkaitkan bagian bagian sejarah
(Ankersmith, 1987:329-344).
13
D. Landasan teori
Nilai merupakan cabang baru dalam filsafat yang dipelajari dalam aksiologi
baru diperkenalkan pertama kali pada pertengahan abad 19. Pembelajaran mengenai
nilai seringkali diinspirasi oleh para filsuf seperti Plato yang membicarakan mengenai
cara. Nilai tidak bisa berdiri sendiri, nilai akan berjalan dengan sendirinya namun
akan menempel pada objek fisik/nyata yang memiliki kualitas, baik primer maupun
sekunder. Kualitas primer yaitu kualitas yang tanpanya nilai tidak bisa ada atau
muncul sementara sekunder merupakan kualitas dimana kualitas ini tidak terlalu
diperhitungkan. Misalnya pada marmer, kualitas primernya adalah berat, jenis, bahan
material, sementara kualitas sekundernya adalah warna dan selera. Nilai berbeda
dengan baik, karena pada dasarnya nilai tidak hanya baik namun juga buruk.
Munculnya nilai buruk ini bukan karena tidak adanya nilai baik, melainkan karena
keduanya berjalan beriringan, saat nilai menempel pada objek maka kedua nilai
tersebut akan ikut menempel kepadanya. Ada juga hierarki dalam nilai. Hierarki ini
biasanya muncul saat seseorang dihadapkan pada dua pilihan mengenai nilai yaitu
inferior dan superior. Hal ini tidak terkait dengan klasifikasi nilai melainkan lebih
kepada penilaian subjek terhadap objek dimana saat subjek terkonfrontasi maka ia
biasanya akan memilih nilai yang lebih tinggi meskipun biasanya untuk memotivasi
ia memilih nilai yang inferior (Frondizi,1963:1-13).
Pada dasarnya aksiologi merupakan filsafat moral yang mempertanyakan
mengenai nilai dan kebaikan yang ada pada kehidupan manusia, yang terutama hal
14
estettika, filsafat sosial, filsafat politik, dan feminisme, dan filsafat keagaamaan
dimana nilai-nilai biasanya akan dievaluasi dan dibedakan mana yang baik dan buruk.
Biasanya aksiologi akan mempertanyakan mengenai bagaimana nilai dapat disebut
baik dan buruk, standar nilai baik yang berlaku umum maupun personal, dan standar
umum ilmu.
Mengerti hakikat nilai sangatlah sulit karena pada kenyataanya dasar mengenai
nilai sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena banyaknya nilai yang berbeda-beda,
sikap yang berbeda-beda atas kebingungan mengenai nilai yang ada dan banyaknya
sikap kebingungan mengenai nilai itu sendiri. Banyak hasil yang bermunculan dari
ide mengenai nilai yang sekarang ada hingga mencari esensi nilai terdengar mustahil.
Oleh karena itu Bahm memberikan thesis mengenai nilai yang ada dan dibagi
menjadi dua belas bagian kedalam enam pasangan. Diantaranya adalah nilai baik dan
buruk, sarana dan tujuan, nilai subyektif dan obyektif, nilai nyata dan asli, nilai
aktual dan potensial, nilai murni dan nilai yang telah tercampur (Bahm, 1980: 51-96).
Memasuki ranah ilmu pengetahuan nilai kembali dipertanyakan peranannya karena
demi keobyektifan penelitian, banyak ilmuwan yang menolak nilai-nilai sosial dalam
praktek ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Hugh Lacey yang dalam bukunya
yang berjudul “ Is Science Value Free?” menyatakan bahwa ilmu seharusnya bebas
nilai, namun bebas nilai disini bukanlah berarti tidak memiliki nilai, karena bebas
nilai sejatinya merupakan nilai untuk mengekspresikan praktek ilmuwan dan
15
perwujudan dalam institusi ilmu. Sebuah nilai yang merupakan keobjektifan ilmu itu
sendiri (Lacey,1999:18).
Dalam bukunya ini Lacey menawarkan adanya suatu pandangan baru mengenai
nilai dalam ilmu pengetahuan. Ilmu bebas nilai merupakan suatu nilai sebagai
karakteristik ilmu dalam memilih nilai. Disini Lacey memperkenalkan nilai kognitif
dimana nilai kognitif merupakan karakteristik kepercayaan yang baik dan dapat
diterima secara rasional. Nilai kognitif sendiri merupakan gabungan nilai yang
didalamnya terdapat hasrat yang bisa terwujud dalam satu tindakan dimana hasrat dan
kepercayaan akan merealisasikan tindakannya. (Lacey,1991:45)
Nilai kognitif ini tidak berdiri sendiri melainkan didukung oleh tiga thesis
utama yaitu impartiality (sikap tidak memihak), neutrality (kenetralan), dan
autonomy (otonomi). Impartiality atau sikap tidak memihak bisa juga diartikan
sebagai keadilan, dimana suatu teori akan diterima apabila penerimaannya telah
dianalisis berdasarkan nilai kogntif yang dianalisis melalu penilaian kognitif pula.
Penerimaan tersebut berarti menerima juga fenomena yang ditimbulkan oleh teori
tersebut. Sayangnya keadilan ini tidak bisa membereskan semua permasalahan yang
ada terutama nilai kompleks yang dibawa teori tersebut, oleh karena itu digunakan
netralitas untuk menganalisis nilai-nilai yang dibawa oleh teori tersebut. Nilai
tersebut nantinya akan dikaji ulang dan dilihat kembali hubungannya dengan teori
dan implikasi logisnya. Suatu teori seharusnya memiliki nilai sendiri, oleh karena itu
Lacey menganjurkan pemikirannya yang ketiga yaitu otonomi. Pemikiran yang
16
terakhir ini menganjurkan bahwa seharusnya ilmuwan memiliki nilai sendiri, baik
ilmuwan yang terikat institusi maupun individu, seharusnya memegang erat nilai
otonomi dalam praktek keilmuannya (Lacey,1999:67-87).
E. Metode Penelitian
1. Bahan dan Materi Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian kepustakaan.
Bahan dan materi dari penelitian ini diperoleh dengan cara penelusuran
pustaka, baik objek material maupun objek formal. Data pustaka nantinya
dibagi menjadi dua yaitu data pustaka primer dan sekunder. Pustaka
primer yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Buku Pengantar Ilmu Sejarah, karya Prof.Dr. Kuntowijoyo, 2001,
Bentang pustaka : Yogyakarta
2. Buku Pemikiran dan Perkembangan Histiografi Indonesia : Suatu
Alternatif, karya Sartono Kartodirjo, 1982 Gramedia : Jakarta
3. Buku Is Science Value free? : Value and Scientific Understanding,
karya Hugh Lacey 1999, Routledge : London
Data sekunder merupakan tulisan dari sumber lain yang digunakan
penulis sebagai bahan pelengkap dan tambahan. Bahan bisa diperoleh dari
buku, jurnal, majalah, artikel dan jurnal internet, yang berhubungan
dengan tema penelitian, baik itu berhubungan dengan objek material
maupun formal.
17
2.
Jalannya Penelitian
Penulis berusaha untuk memahami, baik objek material baik secara
tekstual maupun kontekstual, kemudian akan dilakukan analisis terhadap
objek material melalui objek formal dan disampaikan kembali.
Adapun langkah langkah yang akan dilakukan dalam penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Tahap persiapan, mengumpulkan pustaka kajian, baik objek material
maupun objek formal penelitian
2. Tahap pembahasan objek material dan objek formal
3. Tahap analisis sistematis atas kajian objek material dan objek formal
3. Analisis data
Ada tiga unsur metodis yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain :
1. Deskripsi yaitu mencoba untuk menjelaskan tentang nilai dalam
obyektivitas ilmu sejarah
2. Interpretasi yaitu memberikan pemahaman dan/atau pendapat tentang
obyektivitas ilmu sejarah
3. Heuristika yaitu memberikan pengertian baru terhadap obyektivitas
ilmu sejarah melalui pandangan Hugh Lacey
18
F. Hasil yang Telah Dicapai
1. Memperoleh penjelasan mengenai obyektivitas ilmu sejarah
2. Memperoleh gambaran yang jelas mengenai obyektivitas ilmu sejarah
melalui pandangan Hugh Lacey
3. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman bagaimana
ilmuwan memandang obyektivitas ilmu sejarah
G. Sistematika penulisan
BAB I
Merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah penelitian,
rumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan hasil
yang ingin dicapai.
BAB II
Merupakan kajian objek formal yaitu penjelasan dan pemaparan
mengenai pandangan Hugh Lacey terhadap nilai serta biografi Hugh
Lacey.
BAB III
Merupakan kajian objek material yaitu penjelasan mengenai ilmu sejarah
serta sejarah dan perkembangannya hingga memunculkan obyektivitas
dalam ilmu sejarah.
19
BAB IV
Merupakan analisis obyektivitas ilmu sejarah dilihat dari pandangan
aksiologi ilmu Hugh Lacey.
BAB V
Merupakan penutup serta kesimpulan dan saran dari penulis
20
Download