peranan dharmaduta melalui pendekatan

advertisement
PERANAN DHARMADUTA MELALUI PENDEKATAN BUDAYA
TIONGHOA DALAM PEMBINAAN UMAT BUDDHA
DI KABUPATEN TANGERANG
ARTIKEL
OLEH:
LIMIA PURNAMA SARI
NIM 02500110020361
Disusun dan Diajukan sebagai Persyaratan
untuk Memperoleh Gelar Sarjana Dharmaduta Buddha (S.Dt.B.)
Jurusan Dharmaduta
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG BANTEN
2014
ABSTRAK
Maze of perception tentg a ceremony at one of the traditions that have to be
straightened out. There is a slight deviation leads to an understanding that
perception is wrong. The absence of a strong analysis and theory that supports
being, it is increasingly wrong. His name is also trades. Its essence can only be
understood by the live.
Chinese tradition is one of them. They are considered a unique ceremony for the
natives into a special insight into the often discussed. Many of the indigenous
people who think that the ceremony along with their traditional circuit is part of
Buddhism. Indeed, according to the data obtained, many Chinese Buddhists. To
the extent that both be closely related for granted.
However, it remains customary customs and tradition is simply tradition. Its
presence should be appreciated even if it should be preserved. The existence of a
tradition does not know the word coercion for the run. All flows become part of
kehidipan and no longer be a necessity. All running side by side.
This article is here to answer all questions about the basis of the Chinese culture
has been the general polemic about this true or just tradition has been assimilated
by their religion.
Many Chinese community who embrace Buddhism making tradition they do
deemed partially forms of Buddhism. Yet this is a different doctrine. It's just that
they are still running tradition while embracing Buddhism as a living guide to
happiness.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious. Bangsa Indonesia terdiri
dari beranekaragam agama, adat istiadat, bahasa, suku dan budaya, memiliki
tantangan yang sangat berat untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pemerintah memiliki tujuan jelas yang mengharuskan bahwa warga negara
Indonesia harus beragama agar negara Indonesia dapat menjadi negara yang
aman, tenteram, damai, dan sejahtera dengan masyarakatnya yang senantiasa
mengamalkan ajaran agamanya masing-masing. Meskipun terdapat enam agama
besar di dalam negara Indonesia: Islam, Kristen, Katholik, Buddha, Hindu, dan
Kong Hu Cu, bukanlah merupakan hambatan, melainkan dengan keanekaragaman
agama tersebut merupakan potensi dan kekayaan besar bagi pembinaan mental
dan spiritual bangsa. Masing-masing memiliki tokoh agama yang melakukan
pembinaan kepada umatnya. Agama Buddha memiliki tokoh pembabar Dhamma
(Dhammaduta) yang melakukan pembinaan kepada umat Buddha. Peran
Dharmaduta disamping untuk menjaga melestarikan Dhamma juga untuk
memperkokoh keyakinan umat Buddha kepada Triratna.
Dhammaduta memiliki tugas untuk membina umat, memberikan
pengarahan, dan penyuluhan untuk menumbuhkan keyakinan umat Buddha
kepada Triratna, serta dapat melakukan perbuatan yang sesuai dengan ajaran
agama, tetapi hal tersebut sekarang ini sudah jarang dilakukan. Dhammaduta yang
seharusnya melakukan pembinaan terhadap umat Buddha, pada kenyataannya
kurang melakukan pembinaan. Dhammaduta tidak memotivasi umat, datang pada
acara tertentu saja seperti acara pemberkahan perkawinan, kematian, hari raya
umat Buddha, dan tidak membina umat (Wawancara, 8 Desember 2013).
Kebudayaan yang paling menonjol pada umat Buddha yang mayoritas
keturunan Tionghoa di Kabupaten Tangerang adalah upacara Cio Tau, kesenian,
dan tahunan. Umat Buddha pada sekarang ini kenyataannya banyak yang tidak
melakukan pendekatan budaya untuk perkembangan agama. Umat Buddha lebih
cenderung ke hal-hal yang praktis, dan budaya sudah mulai ditinggalkan sebab
memerlukan waktu yang lama dalam persiapan maupun pelaksanaan ritual tradisi
budayanya (wawancara 8 Desember 2013).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti “Peranan
Dhammaduta dalam pembinaan umat Buddha melalui pendekatan budaya di
Kabupaten Tangerang”. Adapun alasan pokok penulis mengangkat masalah
tersebut adalah:
a. Saat ini masih banyak umat Buddha yang memiliki keyakinan yang relatif
rendah terhadap Triratna.
b. Pembinaan umat Buddha oleh Dhammaduta melalui pendekatan budaya di
Kabupaten Tangerang belum dapat terlaksana secara maksimal.
c. Peranan Dhammaduta dalam memotivasi umat Buddha belum dapat
diberdayakan secara maksimal.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah-masalah yang
dapat diiidentifikasi adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya pembinaan umat Buddha oleh Dhammaduta.
b. Pembinaan yang monoton oleh Dhammaduta.
c. Belum diterapkannya pendekatan yang sesuai dengan karakteristik umat
Buddha di Kabupaten Tangerang.
d. Banyak Dhammaduta yang belum melakukan pendekatan budaya untuk
pembinaan umat Buddha di Kabupaten Tangerang.
1.3 Fokus Penelitian
Penulis membatasi tempat penelitian pada beberapa kecamatan yang ada
di Wilayah kabupaten Tangerang. Seperti: Kecamatan Pagedangan, Legok,
Kelapa Dua, Curug, Panongan, Cisauk, dan Tiga Raksa. Hal ini dikarenakan
Wilayah Kabupaten Tangerang secara keseluruhan yang sangat luas, dan ada
beberapa tempat di Kabupaten Tangerang yang belum diketahui oleh Penulis.
1.4 Rumusan Masalah
Bagaimana peranan Dharmaduta dalam pembinaan umat Buddha melalui
pendekatan budaya di Kabupaten Tangerang?
1.5 Tujuan Penulisan
Mendeskripsikan peranan Dharmaduta dalam pembinaan umat Buddha
melalui pendekatan budaya di Kabupaten tangerang.
1.6. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai kegunaan sebagai berikut:
1.6.1 Kegunaan Teoretis
Kegunaan teoretis dari penelitian ini adalah untuk menambah dan
memperkaya pengetahuan, khususnya dalam pembinaan umat Buddha melalui
pendekatan budaya. Upaya inilah yang nantinya menjadi pendukung dalam
memperkokoh keyakinan umat Buddha terhadap Buddha Dhamma yang benarbenar menjadi harapan peneliti.
1.6.2 Kegunaan Praktis
Penulisan ini selain memiliki kegunaan teoretis juga memiliki kegunaan
praktis seperti berikut ini:
a. Bagi Dhammaduta yang mengemban tugas membabarkan Dhamma penulisan
ini dapat dijadikan salah satu pedoman untuk meningkatkan diri dalam
memberikan penjelasan dan ajaran secara maksimal serta teladan yang baik
sehubungan dengan perannya yang penting.
b. Bagi lembaga yang bergerak dalam pembinaan pembabaran Buddha Dhamma
akan meningkatkan tingkat efektivitas bimbingan sehingga akan menghasilkan
Dhammaduta yang diharapkan.
c. Bagi peneliti hasil penulisan ini merupakan salah satu cara untuk menambah
pemahaman dan pengetahuan serta sebagai bekal dalam pembinaan umat
Buddha melalui pendekatan budaya.
BAB II
KONSEP TEORETIS DAN PERTANYAAN PENELITIAN
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Sejarah Awal Dhammaduta
Dalam agama Buddha sendiri sejarah Dhammaduta dapat dilihat dari
kisah-kisah yang memuat kehidupan Sang Buddha khususnya ketika ia
berceramah kepada para pengikutnya maupun kepada orang yang sebelumnya
benci tidak memiliki keyakinan terhadap ajarannya menjadi lunak dan memiliki
keyakinan setelah mendengar khotbahnya. Sejarah awal mengenai pembabaran
Dhamma oleh Sang Buddha merupakan sejarah Dhammaduta dalam agama
Buddha karena dalam masa ini Sang Buddha mulai membabarkan Dhamma
kepada para siswa yang akhirnya para siswa yang menjalankan ajaran Beliau
dapat melihat kebenaran dari ajaran Beliau.
2.1.1.1 Pengertian Dhammaduta
Dhammaduta secara etimologis berasal dari dua kata yaitu: “Dhamma”
yang secara khusus berarti ajaran Buddha atau secara umum berarti segala sesuatu
dan kata “Duta” yang berarti pesuruh, petugas atau pengemban. Dhammaduta
berarti pesuruh atau pengemban dan petugas Dhamma. Sedangkan “Duta” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai orang yang dikirim untuk
menyampaikan pesan. Selain itu memiliki beberapa makna diantaranya adalah
perutusan yang dikirim oleh suatu negara ke negara lain untuk melakukan tugas
khusus di bidang diplomatik, politik, perdagangan, kesenian, dan sebagainya;
tugas yang dirasakan orang sebagai suatu kewajiban untuk melakukannya demi
agama, ideologi, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa Dhammaduta yaitu
orang-orang yang mempunyai tugas untuk menyebarkan Dhamma.
2.1.1.2 Konsep Dhammaduta dalam Agama Buddha
Dhammaduta sebenarnya meniliki peran sangat penting selayaknya
misioner. Misioner dalam buku Relevansi Agama Buddha dalam kehidupan sosial
dijelaskan sebagai berikut:
Misioner dalam agama Buddha disebut duta. Kata tersebut mempunyai
arti orang yang menyampaikan pesan, utusan atau orang yang dikirim
dalam suatu misi khusus. Oleh karena itu, dapat diberi gelar Dhammaduta kepada mereka yang mempunyai misi atau tugas menyebarkan
dhamma (Dhammasiri, 2005: 87).
2.1.1.3 Kompetensi Dhammaduta
Dalam Buku Komunikasi dan Dharmaduta dijelaskan bahwa untuk
keberhasilan tugas sebagai Dharmaduta, terdapat beberapa anjuran dan
keterampilan yang dikemukakan oleh Sang Buddha menurut Priastana (2005: 24)
yaitu: “(1) Delapan Sifat yang Harus Dimiliki; (2) Dhammakathika; (3)
Patisambhida; (4) Tiga Cara Buddha Membabarkan Dhamma; (5) Faktor-Faktor
Kesuksesan Sariputra”.
2.1.2 Peran Pandita sebagai Dharmaduta
2.1.2.1 Pengertian Pandita
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian pandita berasal dari
kata dasar pandeta yang artinya orang pandai-pandai; pertapa; pemuka atau
pemimpin. Jadi dapat dimengerti bahwa pandita adalah orang pandai atau seorang
pertapa yang menjalani kehidupan dalam membina diri serta membina umat
beragama.
Dalam Dhammapada pengertian pandita juga dapat diartikan sebagai
orang bijaksana yaitu “Seandainya seorang bertemu orang bijaksana yang mau
menunjukkan dan memberitahukan kesalahan-kesalahannya seperti orang yang
menunjukkan harta karun, hendaklah ia bergaul dengan orang bijaksana itu.
Sungguh baik dan tak tercela bergaul dengan orang yang bijaksana”
(Dhammapada, Panditavagga: 76).
2.1.3 Budaya
a) Budaya menurut Buddha Dhamma
Budaya memang erat hubungannya dengan tradisi atau kepercayaan yang
memang sudah ada sejak dahulu, kebenaran tradisi tersebut didukung oleh
pandangan dan pemikiran masing-masing orang yang memegang tradisi atau
budaya tersebut.
2.1.3.1 Definisi Budaya
Menurut Kamus Bersar Bahasa Indonesia, budaya berarti pikiran, akal
budi manusia seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya
Dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28E ayat (2),
dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini sangat sesuai
bagi masyarakat yang sangat memegang teguh kepercayaannya dan tetap
melestarikannya sampai saat ini dengan berbagai kegiatan di hari-hari tertentu.
Juga terdapat dalam pasal 28I ayat (3), dijelaskan bahwa identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.
2.1.3.2 Hubungan Antara Bahasa Dan Budaya
Menurut Mulyana (2008: 73-74) dalam bukunya Komunikasi Efektif,
bahasa adalah representasi budaya, atau suatu “peta kasar” yang menggambarkan
budaya, termasuk pandangan dunia, kepercayaan, nilai, pengetahuan, dan
pengalaman yang dianut komunitas bersangkutan. Bahasa merupakan instumen
manusia dalam mengembangkan budaya, menurut Soekadijo (1985: 388) dalam
bukunya Antropologi, setiap pemakai bahasa secara individual memiliki
pengetahuan bawaan yang terbenam dalam-dalam tentang konstruksi kalimat yang
mana yang diperkenankan dalam bahasa yang bersangkutan dan yang mana yang
tidak mungkin dibuat.
2.1.3.3 Hubungan Budaya dengan Tradisi Pernikahan Adat Tionghoa
Pada era yang serba praktis saat ini, banyak tradisi yang hilang tergeser
oleh zaman. Seperti halnya tradisi pernikahan adat Tionghoa. Semakin maraknya
tawaran pernikahan yang lebih praktis, dan modern, kini menjadi pilihan calon
pengantin di Indonesia. Padahal, pernikahan adalah sebuah momen sakral yang
paling luar biasa dalam kehidupan manusia, dimana dekat dengan doa, harapan
dan penghormatan.
Menurut Marga Singgih (2013: 27) upacara pernikahan merupakan adat
pernikahan yang didasarkan atas dasar dan bersumber kepada kekerabatan,
keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi keluarga. Upacara
pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat
berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu disesuaikan dengan
pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa
lampau dan juga pada kebiasaan masa kini.
2.1.3.4 Budaya Upacara Kematian
Menurut Marga Singgih (2009: 1) dalam bukunya yang berjudul
Kematian menjelaskan bahwa kematian bukan akhir dari kehidupan, kematian
justru merupakan awal kehidupan. pada kehidupan.
Upacara kematian dalam tradisi keturunan Tionghoa ada beberapa
tahapan menjelang dimakamkan:
a) Jib Bok
Jib Bok atau jenasah masuk peti. Masukan jenasah ke dalam peti sesuai
waktu yang telah ditentukan dengan digotong beramai ramai terutama oleh
keluarga inti.
b) Mai Song
Mai Song atau malam kembang. Malam kembang adalah malam terakhir
jenasah mendiang ada di rumah duka, karena pada keesokan harinya akan
dimakamkan.
c) Cut Soa
Cut Soa atau berangkat ke pemakaman atau krematorium.
2.1.4 Pembinaan Umat Buddha
Pada permulaan kebangkitan agama Buddha di Indonesia, sistem yang
digunakan adalah sistem pembinaan pasif yaitu menunggu orang datang ke vihara
untuk mempelajari Dhamma dan menjadi penganut aktif agama Buddha bila
sistem tersebut berjalan terus menerus. Menurut Buku Panduan Pandita Dan
Upacarika Magabudhi (2003), bahwa sistem pembinaan pasif adalah pembinaan
bertahap dan berkesinambungan sehingga dapat diharapkan meningkatkan
keimanan (Saddha) umat yang timbul dari pengetahuan Dhamma yang benar.
(Magabudhi, 2003: 53)
2.1.4.1 Pola Dasar Pembinaan Umat Buddha
Menurut Buku Panduan Pandita Dan Upacarika Magabudhi (2003)
menjelaskan:
Dalam memasuki Melinium ke tiga, masyarakat Indonesia akan
menghadapi banyak perubahan karena perkembangan yang pesat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan teknologi informasi telah
menimbulkan globalisasi yang pengaruhnya dapat positif, yang
menguntungkan, dan dapat negatif, yang tidak sesuai dengan ajaran
agama dan budaya serta jati diri bangsa Indonesia. (Magabudhi, 2003:
53).
Dapat dinyatakan bahwa perubahan sosial yang cepat dan merugikan
yang disebut oleh arus globalisasi itu tidak dapat diantisipasi dengan sistem
pembinaan yang pasif atau aktif. Sistem yang digunakan adalah sistem proaktif
yang memasyarakatkan nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang terwujud dalam tekad yang sungguh-sungguh untuk berlindung
kepada Tiratana.
2.1.4.2 Tahapan Pembinaan Umat
Dalam upaya pembinaan umat, maka peningkatan kualitas keyakinan
dilaksanakan dengan ajaran yaitu dengan belajar sehingga diperoleh pengetahuan
Dhamma yang mendalam dan dengan pelaksanaan yaitu pelaksanaan 10 cara
melakukan kebajikan, pelaksanaan upacara dan sebagainya. Para Pembina
melakukan sistem pembinaan proaktif sehingga umat aktif membangkitkan
dirinya dalam pelaksanaan kehidupan beragama. Peran Pembina sangat penting
sebagai motivator bagi umat Buddha.
Sistem pembinaan yang proaktif merupakan sistem dasar pembinaan
umat Buddha, meliputi tiga tahap pembinaan, yaitu tahap pemula, tahap
menengah, dan tahap lanjutan.
a. Tahap Pemula
Pembinaan tahap ini ditunjukan kepada umat Buddha yang baru
mengenal agama Buddha dan bertujuan agar mereka memiliki keyakinan yang
kuat untuk menjadi umat awam dengan mmpelajari, menghayati dan
mengamalkan Dhamma. Dengan demikian Dhamma menjadi pedoman hidup
mereka
b. Tahap Menengah
Pembinaan tahap ini dilanjutkan kepada umat awam yang telah mengenal
Dhamma dengan baik dan ingin secara aktif berpartisipasi sebagai upacarika
dalam pembabaran Dhamma sehingga menimbulkan minat pendengarnya untuk
mempelajari Dhamma serta menimbulkan keyakinan terhadap Dhamma dalam
diri pendengarnya. Pembinaan tahap ini dilakukan melalui Kursus Dharmaduta
dengan materi pengetahuan Dhamma secara umum dan pengetahuan penunjang
seperti teknik berceramah, diskusi, komunikasi dan lain-lain disertai dengan
latihan khotbah.
c. Tahap Lanjutan
Pembinaan tahap ini ditunjukan kepada upacarika yang ingin atau telah
menjadi Pembina umat secara aktif yaitu para Pandita. Dengan harapan agar para
pandita dapat meningkatkan kualitas pengetahuan Dhamma maupun
kemasyarakatan sehingga dapat membimbing umat agar memiliki keyakinan yang
kuat dan pengertian Dhamma yang benar .
2.1.5 Umat Buddha
2.1.5.1 Pengertian Umat Buddha
Menurut Priastana (2005: 189) menerangkan bahwa umat Buddha adalah
seseorang yang menyatakan berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha.
Pernyataan berlindung ini dilakukan dengan mengucapkan Tisarana (Tiga
Perlindungan). Umat Buddha terdiri dari Bhikkhu atau Bhikkhui dan umat awam.
Bhikkhu adalah umat Buddha yang memutuskan untuk meninggalkan kehidupan
duniawi dan memasuki jalan kehidupan menuju kesucian. Bhikkhu tinggal di
vihara atau di tempat terpencil, mencukur rambut dan memakai jubah kuning.
Sebelum menjadi Bhikkhu, seseorang ditahbiskan terlebih dahulu sebagai
Samanera. Seorang Bhikkhu harus melaksanakan dan menaati 227 vinaya atau
peraturan kebhikkhuan.
2.2 Penelitian yang Relevan
2.2.1 Pengaruh Kebudayaan Terhadap Gaya Hidup Masyarakat
Menurut Eko Suwarno dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
Kebudayaan Terhadap Gaya Hidup Masyarakat. Pada masa sekarang ini banyak
gaya hidup masyarakat sudah mulai menyimpang dari budaya yang sudah ada,
karena dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya masuknya budaya asing yang
bertentangan dengan budaya masyarakat itu sendiri.
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskritif dan mengacu pada
gaya hidup bercirikan Buddhis. Hasil dari penelitian skripsi ini membuktikan
bahwa sistem religi, sistem kekerabatan, sistem pengetahuan, sistem bahasa,
sistem kesenian, sistem mata pencaharian dan sistem teknologi sangat berperan
penting terhadap pembentukan dan perkembangan gaya hidup masyarakat.
Simpulan dari penelitian ini adalah pentingnya pemberdayaan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan gaya hidup masyarakat, pengaruh kebudayaan dan
upaya masyarakat dalam memelihara budaya yang sudah ada.
2.2.2 Peranan Dhammaduta terhadap Peningkatan Saddha Umat Buddha
Menurut Suwarni, Iin dalam penelitiannya yang berjudul Peranan
Dhammaduta terhadap Peningkatan Saddha Umat Buddha. Kondisi dimana umat
Buddha mudah terpengaruh oleh agama lain, kurang berani dalam mengakui
agamanya, tidak memahami dengan pasti ajaran Buddha, rendahnya sifat hiri dan
otappa, kurang taat dalam menjalankan sila, meningkatnya egoistis, dan tidak
membiasakan diri melaksanakan meditasi merupakan suatu permasalahan.
Penelitian ini menggunakan metode deskritf kualitatif, dengan kajian pustaka
berhubungan dengan literature tentang peranan Dhammaduta dan saddha umat
Buddha secara umum maupun dalam Agama Buddha.
Hasil penelitian ini menjunjukan bahwa peranan Dhammaduta terhadap
peningkatan saddha umat Buddha sangat penting. Peneliti menyimpulkan bahwa
meningkatkan saddha umat Buddha memerlukan peranan dari Dhammaduta
selaku pembabar Dhamma dengan menerapkan berbagai cara Buddha dan Siswanya dalam membabarkan Dhamma maupun metode menyampaian lisan secara
umum.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan uraian di muka dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Peranan Dhammaduta dalam pembinaan umat Buddha melalui pendekatan
budaya di Kabupaten Tangerang sangat diperlukan untuk menunjang kualitas
umat Buddha.
2. Bentuk pendekatan budaya yang dilakukan Dhammaduta dalam pembinaan
umat Buddha di Kabupaten Tangerang sangat memberikan pengaruh positif.
3. Antusias umat Buddha yang mendengarkan ceramah para Dhammaduta lebih
terlihat ketika berada dalam kondisi sedang melakukan tradisi budaya, seperti
pada acara kematian.
4. Kualitas seorang Dhammaduta dapat ditingkatkan melalui pelatihan,
pengembangan diri, penataran dan workshop dari majelis dengan memilih
metode-metode pendekatan ceramah yang tepat dan sesuai dengan kondisi umat
Buddha di lapangan, seperti yang penulis teliti mengenai pembinaan umat Buddha
oleh Dhammaduta melalui pendekatan budaya.
5. Penggunaan metode pendekatan budaya sangat memberikan pengaruh positif
terhadap peningkatan profesionalitas Dhammaduta dalam pembinaan umat
Buddha khususnya di Kabupaten Tangerang yang mayoritas umatnya adalah
warga keturunan Tionghoa.
6. Dengan penerapan metode pendekatan budaya untuk pembinaan umat Buddha
bukan hanya sekedar mentransfer ilmu, namun aplikasi dari ilmu yang diajarkan
sehingga umat Buddha bukan hanya pandai secra intelektual namun pandai dalam
kemajuan batin melalui ucapan, pikiran, serta perbuatan yang mencerminkan
kebenaran Dhamma.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, penulis ingin memberikan sedikit sumbang
sih berupa saran kepada para pembaca semoga dapat memberikan manfaat bagi
semua yang berkenan membaca hasil penelitian ini.
1. Bagi teman-teman serta umat Buddha khususnya yang berprofesi sebagai
Dhammaduta atau guru, penulis menyarankan agar semua Dhammaduta
berupaya untuk meningkatkan kemampuan membina melalui pemilihan serta
penggunaan metode penyampaian Dhamma yang tepat dengan karakteristik
umat Buddha serta mempraktikkan metode pendekatan budaya dalam
melakukan pembinaan kepada umat Buddha, karena di dalam pendekatan
budaya terkandung nilai luhur yang dapat diterapkan baik oleh Dhammaduta
itu sendiri maupun para umat Buddha yang memiliki budaya masing-masing.
2. Bagi semua umat Buddha di manapun berada melalui penelitian ini, penulis
menyarankan agar dapat mencontoh semangat serta kegigihan Sang Buddha
dalam mengembangkan serta melestarikan Dhamma dengan cinta kasih kepada
siswa-Nya sehingga Dhamma yang indah pada awal, pertengahan dan akhir ini
dapat berkembang hingga saat ini dan tidak akan lapuk oleh waktu.
3. Bagi masyarakat luas penulis menyarankan agar metode pendekatan budaya
dalam pembinaan umat Buddha ini dapat diterapkan guna kemajuan dan
perkembangan umat Buddha di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aritakumara, 2013. Asoka. Jakarta: Dhammacitta Press.
Dhammananda, Sri. 2004. Keyakinan Umat Buddha. Karaniya.
Dhammasiri, S. 2005. Relevansi Agama Buddha Dalam Kehidupan Sosial.
Jakarta:. Graha Metta Sejahtera.
Diputhera, Oka. 1990. Kumpulan Sutta Sutta. Badan Penerbit Buddhis
Aryasuryacandra.
Isvara, dkk. 1989. Sasanavada. Jakarta Selatan: CV Lovina Indah.
Tim Penyusun. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia Pusaka Utama.
Kuan Ming (2011) Buddha dan Bodhisatva Dalam Agama Buddha Tionghoa.
Palembang: Yayasan Serlingpa Dharmakirti.
Marga Singgih, dkk. 2013. Kursus Perkawinan. Jakarta: Perkumpulan Tridharma
(Sam Kauw / San Jiao).
________. 2009. Kematian. Jakarta: Yayasan Bakti.
Mingun Sayadaw, 2009. Riwayat Agung Para Buddha: The Great Chronicle of
Buddhas. Myanmar: Girimangala dan Ehipassiko.
Mulyana, D. 2008. Komunikasi Efektif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nanamoli. 2001. Khuddakapatha: The Minor Readings. London. Pali Text
Society.
Nanamoli dan Bodhi. 2013. Majjhima Nikaya. Jakarta: Dhammacitta Press.
Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist
Centre.
Priastana, J. 2005. Komunikasi dan Dharmaduta. Jakarta: Yasodhara Putri.
Sekretariat Jendral MPR RI. 2012. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia. Jakarta.
Setiawan, B. 2006. Pola Pembinaan Lembaga Keagamaan Buddha. Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitaif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Soma, Thera,dkk. 2010. Kalama sutta. Yogyakarta: In Sight.
MAGABUDHI. 2003. Buku Panduan Pandita Dan Upacarika Magabudhi.
Jakarta Utara: Pengurus Pusat MAGABUDHI.
Usman, S.H. 2004. Memelihara Kerukunan Hidup Umat Beragama. Serang:
Depatemen Agama Kantor Wilayah Provinsi Banten.
Download