EFEKTIVITAS METODE DEMONSTRASI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN AFEKTIF SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DI SEKOLAH DASAR EHIPASSIKO TANGERANG ARTIKEL OLEH Made Desi Handayani NIM: 0250109010279 Disusun sebagai Tugas Akhir Di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang – Banten Jurusan Dharmacarya 2014 ABSTRACT Handayani, Made Desi. 2013. Demonstration of the effectiveness of the method Upgrading Affective Education Students In Buddhism Lesson In SDS Ehipassiko Tangerang. Thesis. Dharmacarya Department of State Colleges Buddhist Srivijaya Tangerang Banten. Supervisor I Sapardi, S.Ag., M.Hum and supervising II Waluyo, M.Pd. Keywords: method of demonstration, affective skills, education Buddhism Issues raised in this study relates to the lack of classroom management system when the learning process in the classroom. Classroom management system resulting in weak affective abilities of students to be low. When the learning process goes something like this lead to less children are encouraged to develop the ability to think. If this problem is left unchecked it can be ascertained that the future generation will not be able to replace the mess that the next administration. The purpose of this study was to determine the effectiveness of the method and to decription demonstration affective in improving the education of students in the subjects of Buddhism. To achieve the research objectives above, the writer used classroom action research conducted in elementary Ehipassiko Tangerang. The method used by the authors in this study is descriptive qualitative method. Given the data analyzed in the form of text and are qualitative, the authors used qualitative data analysis. Qualitative data analysis is a data analysis process consists of three flow events that occur simultaneously in the form of data presentation data reduction process and draw conclusions. These results indicate that the method of demonstration was instrumental in improving students' affective abilities. Affective abilities are skills related to attitudes and values. The important aspect is that affective attitude, interest, self-concept, values, and morals. When the affective aspects can be developed either by the student affective abilities of students increased. Based on these results the authors concluded that the effectiveness of the method of demonstration was instrumental in improving students' affective skills in the learning process. Finally, the author suggested that educators are expected to use appropriate learning method. Application of the method of learning to be done in creating an effective learning environment, namely: build student motivation, engaging students in the learning process and intelligent interest and attention of students. Therefore, learning methods play an important role in the delivery of material to the achievement of learning objectives. 2 I. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan cermin suksesnya bangsa. Kesuksesan bangsa ditandai dengan peningkatan mutu pendidikan. Perbaikan mutu pendidikan berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan bangsa, karena sumber daya manusia adalah faktor penting dalam memperbaiki kondisi dan situasi bangsa. Dalam suatu proses pembelajaran, aspek yang sangat penting untuk mencapai tujuan adalah peran aktif atau partisipasi antara guru dan siswa. Partisipasi antara keduanya sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pembelajaran yang diinginkan. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, para pendidik harus menguasai bahan dan materi pelajaran, mengetahui cara pengelolaan kelas yang baik, dan menyampaikan dengan baik sesuai karakteristik setiap siswa. Oleh karena itu, seorang pendidik harus terampil dan kreatif dalam penyajian materi sehingga siswa dapat belajar dengan suasana yang menyenangkan dan menarik. Penggunaan metode yang kurang tepat dapat menimbulkan kebosanan, sulit dipahami dan monoton sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar. Pembelajaran pendidikan agama Buddha yang menggunakan metode konvensional biasanya membuat siswa kurang aktif, karena tidak dapat mengembangkan keterampilan yang kelak dapat berguna dalam kehidupan sosial. Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, Pendidik harus menciptakan kegiatan belajar yang efektif. Pembelajaran yang efektif dapat membuat anak senang dan dapat berinteraksi satu sama lain. Dalam pembelajaran yang efektif guru memberikan kesempatan kepada anak untuk aktif dan kreatif. Metode pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan afektif siswa terutama pada mata pelajaran pendidikan agama Buddha. Salah satu metode untuk meningkatkan kemampuan afektif siswa dengan menggunakan metode demonstrasi. Metode demonstrasi merupakan metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Dari uraian latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk menelitinya dengan mengambil judul “Efektivitas Metode Demonstrasi dalam Meningkatkan Kemampuan Afektif Siswa pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Buddha di Sekolah Dasar Ehipassiko Tangerang”. 3 II. PEMBAHASAN A. Pengertian Metode Pembelajaran Pada dasarnya guru adalah seorang pendidik. Pendidik adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik dan mengantarkan anak didiknya menjadi orang yang sukses. Secara khusus guru diharapkan mempunyai banyak kemampuan atau keterampilan dalam menjalankan tugasnya di sekolah. Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiata nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, metode dalam rangkaian sistem pembelajaran memegang peran yang sangat penting. Proses pembelajaran merupakan kegiatan interaksi antara siswa dengan guru, yang keduanya sama-sama memiliki kewajiban. Siswa berkewajiban untuk belajar dan guru berkewajiban untuk mengajar. Seperti dijelaskan di dalam Sigalovada Sutta, Digha Nikaya III yaitu kewajiban guru terhadap siswanya. They train him in that where in he has been well trained They make him hold fast that which is well held They thoroughly instruct him in the love of every art They speak well him among his friend and companions They provide for his safety in every quarter. 1. Mereka melatih siswa itu sedemikian rupa, sehingga ia terlatih dengan baik; 2. Mereka membuat ia menguasai apa yang telah diajarkan; 3. Mereka mengajarkan secara mendalam ilmu pengetahuan dan kesenian; 4. Mereka bicara baik tentang muridnya di antara sahabat dan kawan-kawannya; 5. Mereka melengkapi muridnya demi keamanan dalam setiap arah (Davids, 2002: 181) Dari petikan di atas dijelaskan bahwa seorang guru melatih siswanya agar menjadi siswa yang cerdas dalam pengetahuan dan memilki perilaku yang baik kepada siapapun. Guru memberikan ilmu pengetahuan kepada siswanya agar kelak memiliki keterampilan dan memahami sesuatu sesuai dengan apa yang telah diajarkan. Sebagai guru yang baik dan menjadi contoh bagi siswanya, guru juga harus selalu membicarakan kebaikan siswanya, tidak menjelek-jelekan di depan teman-temannya. Di sekolah guru memberikan keamanan untuk siswa-siswanya dalam segala tindakan, sehingga siswa merasa aman dan terlindungi dalam proses pembelajaran. 4 B. Metode Pembelajaran 1. Pengertian Metode Demonstrasi Dalam proses pembelajaran seorang guru harus terampil dan kreatif dalam menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Salah satu metode pembelajaran yang digunakan adalah metode demonstrasi. Metode demonstrasi merupakan metode mengajar yang menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan secara langsung objeknya atau caranya melakukan sesuatu untuk mempertunjukkan proses tertentu. Demonstrasi dapat digunakan pada semua mata pelajaran. Dalam pelaksanaan demonstrasi guru harus sudah yakin bahwa seluruh siswa dapat memperhatikan dan mengamati terhadap objek yang akan didemonstrasikan. 2.Tujuan dan Kegunaan Metode Demonstrasi. Tujuan dan kegunaan metode demonstrasi, antara lain : untuk memudahkan penjelasan sebab penggunaan bahasa lebih terbatas, untuk membantu anak dalam memahami dengan jelas jalannya suatu proses dengan penuh perhatian, untuk menghindari verbalisme, cocok digunakan apabila akan memberikan keterampilan tertentu. Disini guru juga harus harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana mengelola siswa-siswanya dengan baik dan guru mampu memberikan pengetahuan yang telah dimilikinya agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sang Buddha bersabda dalam Sutta Pitaka Digha Nikaya I, Lohicca Sutta, yaitu: There are these three sorts of teacher in the world, lohikka, who are worthy of blame, and who so ever should blame such a one his rebuke would be justified, in accord with the facts and the truth, not improper. Guru yang terpuji adalah guru yang telah sepenuhnya terampil dalam 3 praktek: Moralitas, Konsentrasi, dan Pengetahuan, dan mengajar siswa-siswanya yang menjadi sepenuhnya mantap seperti dia (Davids, 2002: 293) Dari penjelasan sabda Sang Buddha diatas maka seyogyanya guru harus memiliki pengetahuan yang luas dan harus diajarkan kepada siswa-siswanya. Guru yang baik bukan hanya guru yang memiliki pengetahuan saja, tetapi seorang guru harus memiliki moralitas dan tingkah laku yang baik, mencontohkan sikap dan perilaku yang baik terhadap siswasiswanya baik di dalam lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Seorang guru juga harus memiliki konsentrasi yang baik danpengetahuan yang baik, sehingga ketika seseorang guru memiliki ketiganya, ia mampu mengajarkan dan mencontohkannya kepada peserta didiknya. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam metode demonstrasi yakni aturlah tempat duduk yang memungkinkan semua siswa dapat memerhatikan dengan jelas apa yang 5 didemonstrasikan, kemukakan tujuan apa yang harus dicapai oleh siswa. Kemukakan tugastugas apa yang harus dilakukan oleh siswa, misalnya siswa ditugaskan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari pelaksanaan demonstrasi. Mulailah demonstrasi dengan kegiatankegiatan yang merangsang siswa untuk berpikir, misalnya ciptakan suasana yang menyejukkan dengan menghindari suasana yang menegangkan, yakinkan bahwa semua siswa mengikuti jalannya demonstrasi dengan memerhatikan reaksi seluruh siswa dan berikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif memikirkan lebih lanjut sesuai dengan apa yang dilihat dari proses demonstrasi itu. C. Kemampuan Afektif 1. Pengertian Kemampuan Afektif Kemampuan afektif adalah kemampuan yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Kemampuan afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Kemampuan afektif dibagi ke dalam lima jenjang, yaitu: 1) receiving (2) responding (3) valuing (4) organization (5) characterization by evalue or calue complex receiving atau attending (= menerima atua memperhatikan), adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receiving atau attenting adalah kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang di ajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri kedalam nilai itu atau meng-identifikasikan diri dengan nilai itu. Contah hasil belajar afektif jenjang receiving, misalnya: peserta didik bahwa disiplin wajib di tegakkan, sifat malas dan tidak di siplin harus disingkirkan jauh-jauh. Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara. Jenjang ini lebih tinggi daripada jenjang receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajarinya lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi. Valuing (menilai atau menghargai), Menilai atau menghargai artinya mem-berikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik disini tidak hanya mau menerima 6 nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu mulai di camkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut telah stabil dalam peserta didik. Contoh hasil belajar efektif jenjang valuing adalah tumbuhnya kemampuan yang kuat pada diri peseta didik untuk berlaku disiplin, baik disekolah, dirumah maupun di tengah-tengahkehidupanmasyarakat. Organization (mengatur ataumengorganisasikan), artinya memper-temukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa pada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu nilai denagan nilai lain., pemantapan dan perioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh nilai efektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada peringatan hari kemerdekaan nasional tahun 1995. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai), yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Disini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalal suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkat afektif tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki phyloshopphy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini peserta didik telah memiliki sistem nilai yang telah mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang lama, sehingga membentu karakteristik “pola hidup” tingkah lakunya menetap dan kosisten. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. 1. Sikap Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan menirukan sesuatu yang positif melalui penguatan serta menerima informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Menurut Fishbein & Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap 7 peserta didik terhadap objek misalnya sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif. 2. Minat Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi. Penilaian minat dapat digunakan untuk: 1) mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran, 2) mengetahui bakatdan minat peserta didik yang sebenarnya, 3) pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik, 4) menggambarkan keadaan langsung di lapangan atau kelas. 3. Konsep Diri Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga institusi seperti sekolah. Konsep diri yang positif atau negatif, dan intensitasnya dapat dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi. Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat. Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian diri meliputi: 1) pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik, 2) peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai, 3) memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik, 4) peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran, 5) melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik, 6) peserta didik memahami kemampuan dirinya, 7) peserta didik belajar terbuka 8 dengan orang lain, 8) Peserta didik mampu menilai dirinya, 9) peserta didik dapat mencari materi sendiri, dan 10) Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.Nilai Menurut Rokeach (1968), nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik atau buruk. Sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan. Target nilai cenderung menjadi ide dan dapat juga berupa sikap dan perilaku yang positif atau negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan memberi kontribusi positif terhadap masyarakat. 4. Moral Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun, Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak. Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang. Kemampuan afektif lain yang penting meliputi: 1) Kejujuran: peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orang lain, 2) Integritas: peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistic, 3) Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan, dan 4) Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang. 9 2. Pendidikan Agama Buddha Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Sattha Deva Manussanam). Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Penderitaan bersumber pada keinginan rendah (tanha). Keinginan (tanha) tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda” (Dhp.243). Belajar merupakan jalan satu-satunya untuk dapat membebaskan diri dari kebodohan. Sang Buddha juga menjelaskan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. “Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi; dagingnya bertambah tetapi kebijaksanaannya tidak berkembang” (Dhp. 152). Hasil penelitian yang relevan Untuk mendukung penelitian ini, berikut dikemukakan hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini: Akhmad Masuki (2009) dalam skripsi yang berjudul “Penerapan Metode Demonstrasi dan Pemberian Tugas Belajar (Resitasi) untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Kelas IV Di SDN Merjosari III Malang” menyatakan bahwa tiga siklus yang diterapkan, sudah dapat dilihat perkembangan pada delapan prestasi yang dijadikan variabel dalam penelitian ini, yaitu keaktifan individu, keaktifan dalam kelompok, nilai ulangan harian dan ujian praktik, ketepatan mengerjakan tugas, memiliki indikator materi pembelajaran, siswa memperhatikan ketika guru menjelaskan dan siswa tanggap terhadap instruksi. Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa penerapan metode demonstrasi dan pemberian tugas belajar (resitasi) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam kelas IV SDN Merjosari III Malang. Andi Fuan Rachmadi (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Penerapan Metode Demonstrasi (Demonstration Method) pada Materi Perilaku Konsumen dan Produsen untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri 5 Malang” menyatakan bahwa adanya peningkatan persentase ketuntasan belajar sesudah tindakan. Penelitian terdahulu menerapkan metode demonstrasi dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa melalui penelitian tindakan kelas. Hasil refleksi maupun saran-saran dari penelitian terdahulu dapat dijadikan sebagai dasar dalam melakukan penelitian tindakan kelas. Hal-hal yang menyebabkan penelitian kurang berhasil dapat dijadikan pengetahuan agar tidak diulangi lagi 10 dalam penelitian ini. Hal yang menyebabkan penelitian terdahulu berhasil akan dijadikan sebagai pedoman. Penelitian yang dilakukan dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran Fiqih kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda Bandulan Malang. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan merupakan jawaban sementara berupa tindakan (action) atas rumusan permasalahan yang ditetapkan dalam perencanaan penelitian tindakan kelas. Hipotesis tindakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah apabila upaya penerapan metode demonstrasi pada mata pelajaran pendidikan agama Buddha dapat berjalan efektif, maka kemampuan afektif siswa akan meningkat. Desain Penelitian Penelitian ini adalah jenis pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Data yang dihasilkan kemudian dideskripsikan untuk kemudian dianalisis dan direduksi. Pada tahap ini peneliti mereduksi segala informasi yang telah didapat pada tahap pertama. Pada tahap reduksi ini peneliti menyortir data dengan cara memilih data yang penting, dan berguna. Data yang dianggap penting diuraikan dan dianalisis kemudian ditarik kesimpulan. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan diawali kegiatan pra tindakan, yaitu dari Maret sampai dengan Mei 2013. Penelitian ini dilaksanakan di SD Ehipassiko BSD Tangerang. III. PENUTUP A. Simpulan Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: 1. Metode Demonstrasi yang diterapkan melalui langkah pembelajaran demonstrasi mampu meningkatkan kemampuan afektis siswa kelas II di SDS Ehipassiko pada pelajaran Pendidikan Agama Buddha. 2. Proses pembelajaran dengan metode demonstrasi lebih menyenangkan dan menarik. Siswa terlihat aktif, percaya diri, antusias, dan bersemangat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Buddha. 3. Metode demonstrasi dapat meningkatkan kemampuan afektif siswa. B. Implikasi Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa metode demonstrasi mampu meningkatkan kemampuan afektif siswa kelas II SDS Ehipassiko pada mata 11 pelajaran Agama Buddha. Metode demonstrasi terhadap peningkatan kemampuan afektif siswa memberikan implikasi kepada beberapa pihak yaitu: 1. Bagi siswa Metode demonstrasi yang diterapkan mampu meningkatkan kemampuan afektif siswa. Kemampuan afektif yang baik mendorong peningkatan hasil belajar siswa sehingga memperoleh nilai yang memuaskan. 2. Bagi guru Penerapan metode pembelajaran demonstrasi dapat digunakan guru sebagai acuan untuk meningkatkan kemampuan afektif dan hasil belajar siswa. C. Saran Hasil penelitian yang membuktikan adanya dampak yang positif antara metode demonstrasi dengan peningkatan kemampuan afektif siswa khususnya pada pembelajaran Agama Buddha di SDS Ehipassiko, maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Guru SDS Ehipassiko dapat menggunakan metode pembelajaran demonstrasi agar kemampuan afektif dan hasil belajar siswa meningkatkan sehingga mencapai kompetensi dasar yang ditargetkan. 2. Siswa selalu antusias dalam proses pembelajaran, percaya diri berpendapat, berkomunikasi dan berkerjasama, mengaktualisasikan materi yang dipelajari dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat memperoleh manfaat langsung. 3. Siswa lebih meningkatkan kemampuan afektif, sebab terbukti bahwa siswa yang memiliki hasil belajar yang baik adalah siswa yang memiliki kemampuan afektif yang tinggi. 12 IV. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Rohani. 1991. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Azwar, Saifuddin.1995. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. H.Saddatissa. 1999. Sutta Nipata. Klaten: Vihara Bodhivamsa. John D. Ireland. 1998. Ittivuttaka. Bandung: Lembaga Anagarini Indonesia. Majalah Buddha Cakkhu, edisi Magha 2534. 1991. Jakarta: Dhammadipa Arama. Majid, Abdul.2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muhadi. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Shira Media. Mukti, W.K. 2008. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Ekayana Buddhis Centre. Panjika. 1994. Kamus Umum Buddha Dharma. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre. Pusaka Jati, Suhartoyo dan Suyanto. 2010. Pedoman Penulisan skripsi. Tangerang Banten: Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Srwijaya. Roestiyah. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Saebani, Beni Ahmad. 2008. Metode Penelitian. Bandung: CV Pustaka Setia. Sanjaya,Wina.2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sudaryono. 2012. Dasar-dasar Evaluasi pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu. Syah, Muhibbin. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Tanpa nama.1997. Dhammapada. Jakarta: Hanuman Sakti. Teja S.M Rashid. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Bodhi. Tim Penterjemah. 2002. Dhamma Vibhanga. Yogyakarta: Vidyasena Vihara Vidyaloka. Tim Penterjemah. 2005. Dhammapada. Jakarta: Dewi Kayana Abadi. U KO LAY. 2000. Panduan Tipitaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa. Bhikkhu Tejanando. Tanpa tahun. Renungan Menuju Bijak. 13