Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat1 Atmarita, Tatang S. Fallah2 Abstrak Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualtias, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak bangsa. Tujuan dari analisis adalah untuk mengetahui kecenderungan masalah gizi dan kesehatan masyarakat serta determinan yang mempengaruhi masalah ini. Analisis menggunakan data utama dari Susenas 1989 sampai dengan 2003, dan data lainnya yang mempunyai informasi status gizi dan kesehatan masyarakat. Kajian dilakukan juga berdasarkan perbedaan antar kabupaten, antar provinsi, serta perbedaan antara perkotaan dan perdesaan. Cara “Bivariate dan Multivariate” analisis diaplikasikan pada penulisan ini untuk menjelaskan perubahan status gizi dan kesehatan masyarakat serta determinannya untuk dapat memberikan rekomendasi pada kebijakan program perbaikan gizi dan kesehatan masyarakat dimasa yang akan datang. Hasil kajian ini secara umum menunjukkan bahwa masalah gizi dan kesehatan masyarakat masih cukup dominan. Dari indikator kesehatan, walaupun terjadi peningkatan status kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya umur harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi dan balita, akan tetapi masih tercatat sekitar 24% kabupaten/kota dengan angka kematian bayi >50 per 1000 lahir hidup. Penyebab kematian memasuki tahun 2000 masih didominasi penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit sirkulasi dan pernafasan. Masih rendahnya status kesehatan ini antara lain disebabkan karena faktor lingkungan atau tercemarnya lingkungan air dan udara. Disamping itu, faktor perilaku juga berpengaruh untuk terjadinya penyakit kronis, seperti jantung, kanker, dan lain-lain. Tingginya angka kematian ini juga dampak dari kekurangan gizi pada penduduk. Mulai dari bayi dilahirkan, masalahnya sudah mulai muncul, yaitu dengan banyaknya bayi lahir dengan berat badan rencah (BBLR<2.5 Kg). Masalah ini berlanjut dengan tingginya masalah gizi kurang pada balita, anak usia sekolah, remaja, dewasa sampai dengan usia lanjut. Hasil kajian lain yang tidak kalah pentingnya adalah semakin jelasnya fenomena “double burden” yang menimpa penduduk Indonesia terutama di wilayah perkotaan, ditandai dengan semakin meningkatnya masalah gizi lebih, serta meningkatnya proporsi ibu dengan gizi lebih yang mempunyai anak pendek atau kurus. Makalah ini juga mendiskusikan asumsi penurunan masalah gizi sampai dengan 2015 dengan berbagai alternatif intervensi. Peningkatan SDM ini untuk masa yang akan datang perlu dilakukan dengan memperbaiki atau memperkuat intervensi yang ada menjadi lebih efektif, bermanfaat untuk kelompok sasaran terutama penduduk rawan dan miskin. Perbaikan kualitas pelayanan kesehatan dan gizi pada penduduk menjadi prioritas, selain meningkatkan pendidikan dan mengurangi kemiskinan, terutama pada kabupaten/kota yang tingkat keparahannya sangat berat. Pelayanan kesehatan dan gizi untuk yang akan datang juga harus memperhatikan pertumbuhan penduduk perkotaan yang akan membawa berbagai masalah lain. Dengan peningkatan kualitas intervensi kepada masyarakat, diasumsikan penurunan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat tercapai. 1 2 Makalah disajikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004 Direktorat Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan. 1 I. Pendahuluan Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima di samping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM. Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan dari penglihatan atau pengamatan biasa, akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Masa kehamilan merupakan periode yang sangat menentukan kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi pada saat lahir dan balita. United Nations (Januari, 2000)3 memfokuskan usaha perbaikan gizi dalam kaitannya dengan upaya peningkatan SDM pada seluruh kelompok umur, dengan mengikuti siklus kehidupan. Pada bagan 1 dapat dilihat kelompok penduduk yang perlu mendapat perhatian pada upaya perbaikan gizi. Pada bagan 1 ini diperlihatkan juga faktor yang mempengaruhi memburuknya keadaan gizi, yaitu pelayanan kesehatan yang tidak memadai, penyakit infeksi, pola asuh, konsumsi makanan yang kurang, dan lain-lain yang pada akhirnya berdampak pada kematian. Untuk lebih jelas mengetahui faktor penyebab masalah gizi, bagan 2 (Unicef, 19984) menunjukkan secara sistimatis determinan yang berpengaruh pada masalah gizi yang dapat terjadi pada masyarakat. Sehingga upaya perbaikan gizi akan lebih efektif dengan selalu mengkaji faktor penyebab tersebut. Uraian berikut ini merupakan kajian status gizi dan kesehatan penduduk yang menunjukkan fakta yang terjadi pada masyarakat Indonesia disertai dengan faktor penyebabnya. Prevalensi status gizi dan kesehatan diterjemahkan ke jumlah penduduk, dan angka prevalensi tahun terakhir digunakan untuk proyeksi sampai tahun 2015. Kajian ini diakhiri dengan rekomendasi untuk alternatif intervensi pada masa yang akan datang. 3 4 Nutrition throughout life cycle. 4th report on The World Nutrition Situation, January 2000. Unicef (1998). The State of the World’s Children 1998. Oxford: Oxford University Press. 2 Bagan 1. Gizi menurut daur kehidupan USIA LANJUT KURANG GIZI BBLR Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai IMR, perkembangan mental terhambat, risiko penyakit kronis pada usia dewasa Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar BALITA KEP Gizi janin tidak baik Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang WUS KEK BUMIL KEK (KENAIKAN BB RENDAH) MMR Tumbuh kembang terhambat Pelayanan kesehatan tidak memadai REMAJA & USIA SEKOLAH GANGGUAN PERTUMBUHAN Konsumsi Kurang Produktivitas fisik berkurang/rendah Bagan 2. Penyebab kurang gizi Dampak Penyebab langsung Penyebab Tidak langsung KURANG GIZI Makan Tidak Seimbang Tidak Cukup Persediaan Pangan Penyakit Infeksi Pola Asuh Anak Tidak Memadai Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan Pokok Masalah di Masyarakat Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan Akar Masalah (nasional) Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial 3 II. Dasar Analisis Analisis dilakukan berdasarkan data survei dan laporan yang ada sampai dengan tahun 2003, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Data antropometri balita dari Susenas 1989 sampai dengan 2003 Data antropometri tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS) 1994 dan 1999 Data survei Indeks Massa Tubuh (IMT) di seluruh ibu kota provinsi, 1997 Data survei dari NSS/HKI Data Survei Vitamin A (Suvita) 1978 dan 1992 Data survei anemia, SKRT 1995 dan 2001 Data survei Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) sampai dengan 2003 Data kor Susenas 1995, 2000, 2003 End Decade Statistical report. BPS-UNICEF 2000 Laporan analisis status gizi dan kesehatan ibu dan anak, SKRT 2001 Indonesian Human Development Report, 2001 Laporan Studi Mortalitas 2001 Laporan studi angka kematian ibu, 2003 Laporan kemiskinan, BPS 2002 Data pemetaan pangan, gizi dan kemiskinan, 2002 Laporan SDKI 2002 Selanjutnya analisis memperhatikan transisi demografi, terutama yang terjadi berdasarkan sensus penduduk 1990 dan 2000. Figure 1 memperlihatkan kecenderungan komposisi penduduk menurut kelompok umur. Transisi demografi yang pada tahun 1990 masih didominasi oleh kelompok usia muda pada piramida tahun 2000 sudah bergeser pada kelompok usia yang lebih tua. Figure 1. Piramid penduduk 1990 dan 2000 Piramid penduduk tahun 1990 Piramid penduduk tahun 2000 Laki Laki Perempuan 75+ 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 -15 -10 -5 Perempuan 75+ 70-74 65-69 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 0 5 Persen 10 15 -15 -10 -5 0 5 10 15 Persen Sumber: BPS, SP 1990 dan SP 2000 4 Figure 2 memperjelas kecenderungan perubahan proporsi kelompok umur dari sensus penduduk 1970 sampai dengan 2000. Informasi kecenderungan penduduk ini menjadi penting untuk intervensi yang akan datang dan tidak saja bertumpu pada kesehatan dan gizi balita, tapi pada kelompok umur lainnya yaitu usia produktif dan usia 50 tahun keatas yang proporsinya terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025, proporsi 0-4 tahun akan menjadi 7.3%, 5-14 tahun akan menjadi 15%, 15-64 tahun menjadi 68.4%, dan usia 65+ tahun akan menjadi 9.2%. Figure 2: Penduduk menurut Kelompok Umur 2000 46.4 4.71 3.75 3.25 2.51 10.39 24.94 7.12 11.71 10 8.88 16.14 20 14.44 30 20.95 27.83 40 26.47 % 50 8.96 1990 8.20 1980 50.64 1970 60 47.64 70 55.07 80 0 0-4 5-14 15-49 50-64 65+ Kelompok Umur Dimensi lain yang perlu diperhatikan untuk pelayanan kesehatan dan gizi adalah urbanisasi. Penduduk daerah perkotaan meningkat dari 17,3% di tahun 1970 menjadi 37,0% pada tahun 2000, dan menjadi 42% pada tahun 2003. Semakin meningkatknya penduduk perkotaan, mengharuskan strategi pelayanan kesehatan dan gizi yang akan datang mengikuti karakteristik penduduk perkotaan yang berbeda dengan perdesaan. Analisis masalah gizi dan kesehatan sebagian diterjemahkan ke jumlah penduduk, sehingga lebih jelas permasalahannya. Jumlah penduduk dikutip dari hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dengan perkiraan jumlah penduduk 203.456.005, serta laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Analisis memperhatikan jumlah penduduk menurut SP 1980: 146.934.948 orang, SP 1990: 178.631.196 orang, dan laju pertumbuhan penduduk 1980-1990 yaitu 1,97 (BPS, 2001). Proyeksi sampai dengan 2015 berpedoman pada keadaan penduduk 2000 dengan menggunakan laju pertumbuhan penduduk yang terakhir. 5 Analisis Status Gizi dan Kesehatan 1. Status Kesehatan penduduk Status kesehatan dinilai berdasarkan usia harapan hidup, angka kematian bayi dan angka kematian balita. Figure 3 menunjukkan kecenderungan ketiga indikator tersebut, yang menunjukkan terjadinya peningkatan kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan hidup dan menurunnya angka kematian bayi dan balita. Figure 3. Kecenderungan Usia Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka kematian balita (AKABA) – Indonesia 1980-2002 56 .0 63 .2 64 .4 .2 66 46 .0 .0 48 .0 58 43 .5 60 49 .0 61 .0 70 .6 80 66 .2 80 .0 100 92 .8 99 .0 120 40 20 0 AKB/1000 LH AKABA/1000 LH 1980 1990 1996 1999 UHH(Tahun) 2002 Sumber: WDR 1987, UNICEF 2000, IHDR 2001, BPS 2000, SDKI 2002/2003 Peningkatan status kesehatan ini tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada Figure 4 berikut ini menunjukkan pada tahun 2002, ada 65% kabupaten di Indonesia dengan AKB antara 25-50 per 1000 LH, bahkan 24% kabupaten dengan AKB >50%. Perbedaan yang menyolok juga terlihat antara Kota-Desa. Kajian Susenas 1995, 1998 dan 2001 menunjukan perbedaan Angka kematian Bayi maupun angka kematian balita sekitar 20 per 1000 antara Kota dan Desa. Indikator kesehatan lain yaitu angka kematian ibu (AKI) yang tidak mengalami perubahan yang berarti. Kecenderungan AKI per 100.000 kelahiran hidup diperkirakan dari SKRT yaitu: 618 (1986); 325 (1995); dan 377 (2001); atau dari SDKI yaitu: 380 (1994); dan 318 (1997)5. 5 Soemantri S, Tinjuan kembali angka kematian ibu di Indonesia, 2003 6 Figure 4. Persen kabupaten berdasarkan perubahan AKB 1999 dan 2002 70 60 50 40 % Kab 30 20 10 0 <25/1000 LH 25-50/1000 LH 1999 8.2 61.9 >50/1000 lh 29.9 2002 10.9 65.1 24.0 AKB 2. Status gizi penduduk Berikut ini merupakan kajian status gizi penduduk menurut kelompok umur sampai dengan 2003 berkaitan dengan masalah gizi makro (khususnya Kurang Energi dan Protein) dan gizi mikro (khususnya Kurang Vitamin A, Anemia Gizi Besi, dan Gangguan Akibat Kurang Yodium). 2.1. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR <2500 gram) Secara umum, Indonesia masih belum mempunyai angka untuk BBLR yang diperoleh berdasarkan survei nasional. Proporsi BBLR diketahui berdasarkan estimasi yang sifatnya sangat kasar diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan juga dari studi terserak. Seperti yang terlihat pada Tabel 1, proporsi BBLR berkisar antara 7 – 16% selama periode 1986-19996, demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16%. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5% dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang sebelum dan selama kehamilan. Dampak dari tingginya angka BBLR ini akan berpengaruh pada tinggi rendahnya angka kematian bayi. Tabel 1. Proporsi BBLR SDKI SDKI Perkotaan Perdesaan Rentang Provinsi 6 1986-1991 7,3 1989-1994 7,1 6,8 7,3 2,3-16,7 1992-1997 7,7 6,6 8,4 3,6-15,6 Laporan Indonesia untuk persiapan End Decade Goal 2000 (Bapenas dan Unicef, 2000). 7 2.2. Status gizi pada balita Masalah gizi kurang pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas dan survei atau pemantauan lainnya. Gizi kurang pada balita ini dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan. Menurut Susenas, pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37,5% menurun menjadi 27,5% tahun 2003. Terjadi penurunan gizi kurang 10% atau sebesar 26,7% dari tahun 1989 sampai dengan tahun 20037. Tabel 2 menunjukkan jumlah penderita gizi buruk dan gizi kurang dengan memperhatikan jumlah penduduk8 dan proporsi balita9 pada tahun pengamatan yang sama. Dapat dilihat terjadi penurunan gizi kurang yang cukup berarti dari tahun 1989 : 7.986.279 menjadi 4.415.158 pada tahun 2000. Akan tetapi terjadi peningkatan kembali sesudah tahun 2000, dan pada tahun 2003 jumlah gizi kurang pada balita menjadi 5.117.409. Distribusi besaran masalah gizi menurut kabupaten dapat dilihat pada Figure 5. Tabel 2. Jumlah balita gizi buruk (BB/U<-3SD) dan gizi kurang (BB/U <-2SD) Susenas 1989-2003 Tahun Total Penduduk Total Balita Prevalensi Jumlah balita dengan Gizi buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang Gizi Buruk Gizi Kurang Buruk+Kurang 1989 177,614,965 21,313,796 6.3 31.2 37.5 1,342,769 6,643,510 7,986,279 1992 185,323,458 22,238,815 7.2 28.3 35.6 1,607,866 6,302,480 7,910,346 1995 195,860,899 21,544,699 11.6 20.0 31.6 2,490,567 4,313,249 6,803,816 1998 206,398,340 20,639,834 10.5 19.0 29.5 2,169,247 3,921,568 6,090,815 1999 209,910,821 19,941,528 8.1 18.3 26.4 1,617,258 3,639,329 5,256,587 2000 203,456,005 17,904,128 7.5 17.1 24.7 1,348,181 3,066,977 4,415,158 2001 206,070,543 18,134,208 6.3 19.8 26.1 1,142,455 3,590,573 4,733,028 2002 208,749,460 18,369,952 8.0 19.3 27.3 1,469,596 3,545,401 5,014,997 2003 211,463,203 18,608,762 8.3 19.2 27.5 1,544.527 3,572,882 5,117,409 Perlu dicatat jumlah penderita gizi buruk yang terlihat meningkat cukup tajam dari tahun 1989 ke tahun 1995, kemudian cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Diperkirakan gambaran prevalensi gizi buruk ini ‘kurang akurat’ dan cenderung ‘overestimate’. Prevalensi gizi buruk pada balita ini perlu di konfirmasi dengan hasil survei lainnya. SKRT pada tahun 2001 melaporkan prevalensi gizi buruk 8,5%, lebih tinggi dari Susenas pada tahun yang sama. HKI, di beberapa wilayah perdesaan di Sumatera barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok, dan Sulawesi Selatan melaporkan prevalensi gizi buruk yang juga fluktuatif dari tahun 1998 sampai dengan 2001, berkisar dari 3.2% di Jawa Tengah sampai 9.1% di Lombok. Sementara pada 7 Goal Repelita (1998): prevalensi Gizi kurang pada balita menjadi 25%; World Summit for Children (WSC) goal menjadi 19% pada tahun 2000. 8 Jumlah penduduk tahun 1989 adalah estimasi berdasarkan SP tahun 1980 dengan laju pertumbuhan penduduk 2.32; jumlah penduduk tahun 1992-1999 adalah estimasi berdasarkan SP tahun 1990 dengan laju pertumbuhan penduduk 1.97; jumlah penduduk tahun 2000 berdasarkan SP tahun 2000. 9 Proporsi balita diperkirakan 12% dari total penduduk tahun 1989 dan 1992, kemudian 11% tahun 1995, 10% tahun 1998, 9.5% tahun 1999 dan 8.88% tahun 2000 sampai 2002. 8 daerah kumuh perkotaan, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar, prevalensi gizi buruk berkisar dari 4.3% di Jakarta sampai 11.8% di Makassar pada tahun 2002. Sedangkan prevalensi gizi kurang yang diperoleh dari Susenas, ada kemungkinan ‘under estimate’ jika dibandingkan dnegna survei/studi yang sama. Dari survei/studi ini, pada umumnya menunjukkan prevalensi gizi kurang lebih tinggi 5-7% dari perkiraan Susenas. Figure 5 Kajian gizi kurang lainnya adalah dari beberapa studi/survei yang melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif/peka dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti terlihat pada tabel 3 prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2SD) sesudah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi wasting di atas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita. Tabel 3. Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < - 2SD), 1990-2001 IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev.JPS,99 SKRT, 01 Total Laki-laki Perempuan Kota Desa 9.7 10.8 8.7 8.6 9.5 7.6 13.4 13.9 12.7 13.5 13.3 11.6 13.3 10.0 13.7 14.0 13.7 15.8 16.9 14.5 15.2 16.2 IBT – Survei Indonesia Bagian Timur; Suvita – Survei Nasional Vitamin A; SKIA – Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS – Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT – Survei Kesehatan Rumah Tangga 9 Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi anak balita yang pendek (stunting <-2 SD). Tabel 4 menunjukkan prevalensi anak balita stunting dari tahun 1992 sampai dengan 2002 dari beberapa survei. Masih sekitar 30-40 persen anak balita di Indonesia diklasifikasikan pendek. Tabel 4. Prevalensi Pendek/Stunting anak balita <-2SD Survei Suvita, 92 (15 prov) IBT, 91 (4 prov) SKIA, 95 (Nas) JPS, 98-99 (5 Prov) NSS-HKI, 1999 -Pedesaan - Sumatera Barat - Banten - Jawa Barat - Jawa Tengah - Jawa Timur - Lombok (NTB) NSS-HKI, 1999 -Pedesaan - Sumatera Barat - Lampung - Banten - Jawa Barat - Jawa Tengah - Jawa Timur - Lombok (NTB) - Sulawesi Selatan NSS- HKI, 2001 – Pedesaan - Sumatera Barat - Lampung - Banten - Jawa Barat - Jawa Tengah - Jawa Timur - Lombok (NTB) - Sulawesi Selatan NSS-HKI, 2002 – Pedesaan - Sumatera Barat - Lampung - Banten - Jawa Barat - Jawa Tengah - Jawa Timur - Lombok (NTB) - Sulawesi Selatan NSS-HKI, 2000 – Kumuh perkotaan - Jakarta - Semarang - Surabaya - Makassar Stunting <-2SD 41.4 44.5 45.9 43.8 36.5 28.4 30.7 36.0 34.5 44.0 37.9 27.3 31.0 33.0 30.8 34.9 46.9 37.0 37.0 29.5 33.0 33.4 29.5 33.5 48.2 37.3 37.2 30.4 37.4 35.4 29.0 31.2 48.8 37.6 31.0 30.2 27.7 43.1 10 NSS-HKI, 2001 – Kumuh perkotaan - Jakarta - Semarang - Surabaya - Makassar JPS: Jaring Pengaman Sosial NSS-HKI: Survei gizi dan Kesehatan HKI 28.8 28.2 27.9 42.6 Dari data NSS/HKI, tinggi badan rata-rata anak balita ini pada umumnya mendekati rujukan hanya sampai dengan usia 5-6 bulan, kemudian perbedaan tinggi badan menjadi melebar setelah usia 6 bulan, baik pada anak laki-laki maupun perempuan (Figure 6). Kondisinya sama dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Figure 6. Tinggi badan rata-rata anak laki-laki dan perempuan 0-60 bulan dibanding rujukan, NSS/HKI 1999-2002 Anak Perempuan 0-60 bulan 110 110 100 100 90 90 80 1999 70 2000 Tinggi badan (cm) Tinggi badan (cm) Anak laki-laki 0-60 bulan 80 1999 70 2000 2001 2001 2002 Ref 60 50 2002 Ref 60 50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Umur (bulan) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 Umur (bulan) Catatan: Tinggi badan rata-rata tersebut di atas diperoleh berdasarkan pengukuran tinggi badan di wilayah pedesaan provinsi Sumatera Barat, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lombok (NTB), dan Sulawesi Selatan yang dilakukan HKI pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Jumlah sample balita adalah sbb: 11 Provinsi Sumatera Barat Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Lombok/NTB Sulawesi Selatan Total Jumlah sampel anak balita 2000 2001 2002 22468 19621 4409 13190 12942 3160 1810 3161 4011 1021 11666 17421 12443 2845 18495 25348 24175 5391 9268 15131 12183 2597 9584 15628 11995 2568 14516 14940 2922 58596 126863 112310 24913 1999 7773 2.3. Status gizi pada anak baru masuk sekolah (TBABS 1994, 1999) Akibat dari tingginya BBLR dan gizi kurang pada balita, berdampak juga pada gangguan pertumbuhan pada anak usia baru masuk sekolah. Indonesia telah melaksanakan pengukuran tinggi badan pada kelompok anak ini secara nasional pada tahun 1994 dan 199910. Tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Pada tahun 1994, prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6-9 tahun (anak pendek) adalah 39,8% (lihat tabel 5). Pengukuran yang sama dilakukan pada tahun 1999, prevalensi ini hanya berkurang 3,7%, yaitu menjadi 36,1%. Terlihat juga prevalensi pendek ini semakin meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, baik pada anak laki-laki maupun perempuan. Kondisi anak Kota-Desa berdasarkan survei ini berbeda. Anak di kota lebih baik dibanding anak di desa. Figure 7 menunjukkan distribusi z-score tinggi badan menurut umur pada anak usia 6-9 tahun baik di kota maupun di desa dan perubahannya dari tahun 1994 ke tahun 1999. Dapat disimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30-40% anak dikategorikan pendek. Jika dibandingkan antara tahun 1994 dan 1999, hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi. Selain itu masih dijumpai sekitar 9-10% anak yang dikategorikan sangat pendek. 10 TBABS adalah survei untuk mengetahui tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah (anak kelas I), dimana pengukuran dilakukan pada awal masuk sekolah. Dari kedua survei TBABS 1994 dan 1999, umur rata-rata anak masuk sekolah adalah 7 tahun (50%). Pada waktu pengukuran dijumpai anak usia 6 sampai dengan 9 tahun. Dari kedua survei; proporsi anak baru masuk sekolah usia 6 tahun meningkat dari 13.6% (1994) menjadi 16.4% (1999); dan proporsi anak baru masuk sekolah usia 9 tahun berkurang dari 8.2% (1994) menjadi 6.0% (1999). 12 Tabel 5. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan dan umur (Stunting <-2SD) Pada anak baru masuk sekolah, TBABS 1994 dan 1999 Survei/ tahun Lokasi N Sampel Jenis Kelamin Tinggi Badan menurut umur Umur (tahun) Pendek (Stunting) Tinggi Badan*) <-3 SD -3 to -2 SD Rata2 (cm) TBABS National 435,816 L+P 6-9 10.7 29.1 /1994 225,779 Laki-laki 6-9 13.0 30.1 28,663 Laki-laki 6 4.1 18.9 108.9 101,796 Laki-laki 7 9.1 28.1 110.8 74,815 Laki-laki 8 17.9 35.2 112.9 20,505 Laki-laki 9 26.7 37.1 116.1 210,037 Perempuan 6-9 8.2 28.1 30,685 Perempuan 6 2.9 16.5 107.7 100,001 Perempuan 7 5.9 25.8 109.7 64,147 Perempuan 8 11.9 34.8 111.8 15,204 Perempuan 9 19.1 37.9 115.0 TBABS National 361,126 L+P 6-9 9.1 27.3 /1999 186,626 Laki-laki 6-9 11.1 28.9 28,021 Laki-laki 6 4.0 18.2 108.9 93,083 Laki-laki 7 8.1 27.1 111.0 52,737 Laki-laki 8 16.5 35.9 113.2 12,785 Laki-laki 9 27.0 36.9 116.1 174,500 Perempuan 6-9 6.9 25.6 31,106 Perempuan 6 2.8 15.9 107.8 90,660 Perempuan 7 5.3 23.8 110.0 43,739 Perempuan 8 10.7 33.8 112.1 8,995 Perempuan 9 19.4 36.9 115.2 *) Tinggi badan rata-rata yang dicapai pada tahun 1994 dan 1999 ini baru mencapai 90% dari baku rujukan NCHS/WHO Figure 7. Distribusi Z-score Tinggi Badan menurut umur anak usia 6-9 tahun dibanding rujukan di Kota dan Desa tahun (TBABS, 1994 dan 1999). Kota Desa 25 25 1994 1994 20 20 1999 1999 Ref Ref 15 % % 15 10 10 5 5 0 0 -5 -4.5 -4 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Standar Deviasi -5 -4.5 -4 -3.5 -3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Standar Deviasi 13 2.4. Status gizi pada Usia Produktif Masalah gizi kurang berlanjut pada kelompok umur berikutnya. Tidak tersedia secara khusus informasi atau data yang dapat digunakan untuk anak usia sekolah (laki-laki dan perempuan) 7-18 tahun. Data yang tersedia hanya untuk WUS usia 15-49 tahun. Dua cara dilakukan untuk mengetahui status gizi pada WUS yaitu dengan mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan mengukur berat badan dan tinggi badan untuk mendapatkan indeks massa tubuh (IMT). Status gizi kurang berdasarkan LILA < 23.5 cm digunakan untuk menggambarkan risiko kekurangan energi kronis (KEK). WUS dengan risiko KEK diasumsikan cenderung untuk melahirkan bayi BBLR. Sedangkan dengan IMT, status gizi WUS dapat diklasifikasikan sebagai kurus jika IMT <18.5 dan gemuk jika IMT >25. Analisis secara nasional (1999 – 2003) menggambarkan bahwa proporsi LILA <23,5 cm adalah 24,9% pada tahun 1999 dan menurun menjadi 16,7% pada tahun 2003. Pada umumnya proporsi WUS dengan risiko KEK cukup tinggi pada usia muda (15-19 tahun), dan menurun pada kelompok umur lebih tua. (Lihat Figure 8). Prevalensi LILA <23.5 cm pada tahun 2003 sampai mencapai >35% pada WUS usia 15-19 tahun. Figure 8. Proporsi WUS risiko KEK (Lila <23.5 cm): 1999-2003 50% 1999 % WUS (LILA<23.5 cm 40% 2000 2001 30% 2002 2003 20% 10% 0% 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Umur (tahun) Pola yang hampir sama adalah kajian wanita perkotaan menurut IMT pada survei tahun 1996/97 di seluruh ibu kota provinsi di Indonesia, seperti yang disajikan pada Figure 9. Terlihat proporsi IMT <18.5 (kurus) lebih tinggi pada usia muda 18-24 tahun, kemudian menurun untuk usia berikutnya sampai dengan 40-44 tahun, dan meningkat lagi pada usia 45–49 tahun. Masalah gizi pada usia produktif sebenarnya tidak saja karena kurus (IMT<18.5) akan tetapi juga kegemukan (IMT>25) bahkan obesitas (IMT>27 atau IMT >30). Pada survei di 27 ibu kota provinsi tahun 1996/1997, dua masalah gizi ini sudah terlihat dengan jelas. (Figure 10). 14 Figure 9. Proporsi IMT <18.5 pada wanita perkotaan, survei IMT 1997 30 25 24.8 20 15.8 IMT <18.5 (%) 15 10.6 9.4 10 9.9 8.4 5 0 18-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Kelompok umur Figure 10. Masalah gizi kurang dan gizi lebih usia dewasa di perkotaan, 1996/1997 50.0 <18.5 Laki-laki 45.0 <18.5 Perempuan 40.0 >25 Laki-laki 35.0 >25 Perempuan 30.0 % 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 18-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Umur (tahun) Dua masalah gizi (“double burden”) ini juga tidak saja terjadi pada usia produktif di ibu kota provinsi, akan tetapi di wilayah kumuh perkotaan maupun perdesaan juga sudah mulai terlihat dan ada kecenderungan meningkat terutama untuk masalah kegemukan. Hal ini dapat dilihat pada Figure 11, analisis dari data HKI 1999 dan 2001 yang memisahkan dua ekstrim prevalensi kurus (IMT<18.5) dan prevalensi obesitas (IMT >30) pada wanita usia produktif. Pada daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya), masalah kurus banyak terjadi pada usia muda, dan masalah obesitas sudah mulai terlihat pada usia 30 tahun ke atas dengan prevalensi >5%. Masalah obesitas pada usia >30 tahun ini meningkat dari tahun 1999 ke tahun 2001. Di wilayah perdesaan (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Lampung, Sumbar, Lombok, Sulsel), masalah yang sama sudah mulai tampak, hanya prevalensinya lebih rendah dari wilayah kumuh perkotaan. 15 Figure 11. Masalah gizi kurang dan obesitas pada wanita usia produktif, HKI 1999 dan 2001 Kumuh Perkotaan Perdesaan 30 30 1999 <18.5 25 1999 >=30 1999 <18.5 25 1999 >=30 2001 <18.5 20 2001 <18.5 20 2001 >=30 % 15 % 15 10 10 5 5 0 2001 >=30 0 15-19 20-24 25-29 30-34 Umur (Tahun) 35-39 40-44 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 Umur (Tahun) 2.5. Masalah gizi mikro Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium, kurang vitamin A dan kurang zat besi. Menurut World Summit for Children (WSC) goal, diharapkan pada tahun 2000 seluruh negara sudah tidak lagi mempunyai masalah gizi mikro, yang ditandai dengan sudah universalnya konsumsi garam beryodium, seluruh anak dan ibu nifas telah mendapat kapsul vitamin A, tidak dijumpai lagi kasus xeropthalmia, menurunnya prevalensi anemia gizi besi pada wanita usia subur sebesar sepertiga dari kondisi tahun 1990. Untuk masalah kurang vitamin A, Indonesia dinyatakan bebas dari xeropthalmia pada tahun 1992. Walapun bebas dari xerophthalmia, survei nasional vitamin A tahun 1992 masih menjumpai 50% dari balita mempunyai serum retinol <20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi balita dengan serum retinol <20 mcg/100 ml ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia, dan menjadi sangat tergantung dengan kapsul vitamin A dosis tinggi. Selain itu penyuluhan untuk mengkonsumsi sayur dan buah berwarna menjadi sangat penting untuk mempertahankan Indonesia tetap bebas dari xeropthalmia. Ada kemungkinan penyuluhan kurang berhasil, maka cakupan kapsul kurang vitamin A yang <80%11 akan membuka kemungkinan munculnya kasus xeropthalmia. Hal ini terbukti dengan laporan NTB pada tahun 2000 lalu yang masih menemukan kasus xeropthalmia. Ada kemungkinan provinsi lain yang belum berhasil mencakup >80% kapsul vitamin A terdistribusi pada balita akan menemukan kembali kasus xeropthalmia. Besaran masalah kurang yodium di Indonesia dipantau berdasarkan survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998 dan 2003. Terjadi penurunan yang cukup berarti, dimana pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 30%. Prevalensi ini menurun menjadi 27.9% pada tahun 1990, dan selanjutnya menjadi 9,8% pada tahun 1996/1998. Survei tahun 2003 prevalensi ini sedikit meningkat 11 Cakupan kapsul vitamin A dosis tinggi diharapkan 80% minimal untuk mencegah munculnya kasus xeropthalmia, kecuali konsumsi sayur dan buah berwarna sudah memadai/mencukupi kebutuhan seharihari. 16 menjadi 11.1%, walaupun dilaporkan pada daerah endemik berat, prevalensi GAKY turun cukup berarti. Survei tahun 2003 merupakan survei nasional yang mengevaluasi dampak dari intensifikasi program penanggulangan GAKY setelah dilakukan data dasar tahun 1996/1998. Kegiatan utama dari program ini adalah mengupayakan peningkatan konsumsi garam beryodium, dan juga memberikan kapsul yodium terutama pada daerah endemik berat dan sedang yang dinilai berdasarkan data dasar 1996/1998. Garam beryodium sampai dengan tahun 2003, dikonsumsi oleh 73.2% rumah tangga secara adekuat/cukup. Angka ini cukup bervariasi antar wilayah kabupaten, mulai dari <40% sampai yang sudah >90% rumah tangga menkonsumsi garam beryodium. Figure 12 berikut menunjukkan hasil yang positif untuk penggunaan garam beryodium. Terjadi peningkatan jumlah kabupaten menjadi 104 pada tahun 2003 dimana lebih dari 90% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium. Intervensi pada wilayah endemik berat dan sedang adalah dengan mendistribusikan kapsul yodium, khususnya pada ibu hamil, wanita usia subur, dan anak usia sekolah. Pemantauan pemberian kapsul ini masih kurang baik. Survei evaluasi 2003, menemukan hanya 30% cakupan kapsul yodium ini sampai pada sasaran, sementara pada laporan program, cakupan ini berkisar antara 60-75%. Masalah GAKY masih cukup serius di Indonesia. Untuk mencapai universal konsumsi garam beryodium pada tahun 2005 memerlukan strategi yang komprehensif. Dari hasil analisis survei 1996/1998 dan survey evaluasi 2003 menunjukkan adanya peningkatan jumlah kabupaten yang dulunya tidak endemik, atau endemik ringan, menjadi daerah endemik sedang atau berat. Walaupun ada penurunan prevalensi GAKY pada daerah endemik berat dan sedang, surveilans GAKY ini sangat diperlukan, sehingga daerah yang berisiko untuk menjadi endemik dapat selalu terpantau. (Lihat tabel 6) Figure 12. Distribusi kabupaten menurut rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium cukup: 1998-2003. 120 100 80 Jml Kab 60 40 20 0 <40% 40-70% 70-90% >90% 1998 66 54 78 70 1999 61 69 88 50 2000 49 86 90 43 2001 40 87 94 47 2002 34 74 86 74 2003 24 64 76 104 17 Tabel 6. Total Goitre Rate (TGR) pada 268 kabupaten yang sama dari Survei 1996/1998 dan 2003 Klasifikasi kabupaten menurut TGR tahun 1998 Non Endemik Endemik Ringan Endemik Sedang Total Endemik Berat kabupaten Non Endemik 86 26 2 1 115 Klasifikasi kab Endemik Ringan 28 52 13 3 96 menurut TGR Endemik Sedang 5 18 7 5 35 tahun 2003 Endemik Berat 3 8 6 5 22 Total kabupaten 122 104 28 14 268 Tidak berubah Memburuk Membaik 150 68 50 Sumber: National IDD survey 1998, and National IDD evaluation survey 2003 Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Dua survei nasional (Survei Kesehatan Rumah Tangga/SKRT) tahun 1995 dan 2001 hanya dapat menunjukkan kecenderungan prevalensi anemia pada balita, perempuan usia 15-44 tahun dan ibu hamil (Figure 13). Prevalensi anemi pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001); pada wanita usia subur 15-44 tahun dari 39.5% (1995) menjadi 27.9% (2001). SKRT 2001 juga mengkaji prevalensi anemia pada balita dengan kelompok umur: < 6 bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan, 24-35 bulan, 36-47 bulan, dan 48-59 bulan. Figure 14 menunjukkan bahwa pada bayi <6 bulan (61.3%), bayi 6-11 bulan (64.8%), dan anak usia 12-23 bulan (58%). Selanjutnya prevalensi menurun untuk anak usia 2 sampai 5 tahun. Figure 13. Prevalensi Anemia menurut SKRT 1995 dan 2001 100 Persen 80 60 40 20 0 0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun 15-44 tahun 45-44 tahun 55-64 tahun 65+ tahun Ibu hamil L-1995 35.7 46.4 45.8 58.3 53.7 62.5 70.0 P-1995 45.2 48.0 57.1 39.5 39.5 40.5 45.8 L+P 2001 48.1 P-2001 27.9 50.9 Ibu menyusui 45.1 40.1 18 Figure 14. Prevalensi anemia pada anak balita, SKRT 2001 100.0 80.0 Persen 60.0 40.0 20.0 0.0 % Anemia < 6 bln 6-11 bln 12-23 bln 24-35 bln 36-47 bln 48-59 bln 61.3 64.8 58.0 45.1 38.6 32.1 Informasi lain adalah dari hasil survei NSS- HKI tahun 1999 dan 2000 pada beberapa provinsi di Indonesia yang melakukan analisis prevalensi anemia pada WUS dan balita (tabel 6). Pada balita prevalensi anemia masih cukup tinggi dan berkisar antara 40-70%, dan pada WUS berkisar antara 20-40%. Tabel 6. Prevalensi anemia pada WUS dan balita (NSS-HKI) Tahun 1999 dan 2000 Lokasi Sumbar Lombok Lampung Makassar Sulsel Surabaya Jatim Jabar Semarang Jateng Jakarta Wanita Usia Subur 1999 2000 29.2 34.0 32.3 25.3 24.1 27.9 37.1 27.8 34.0 27.1 28.7 26.5 28.9 26.5 21.9 27.5 23.4 25.8 42.5 33.3 Anak balita 1999 2000 46.9 53.9 65.8 66.1 56.8 58.6 63.5 53.6 65.5 58.8 62.6 68.1 64.6 57.9 44.7 51.0 54.7 51.8 71.9 63.5 Indonesia masih belum secara komprehensif menanggulangi masalah anemia gizi ini. Pemetaan secara nasional untuk masalah anemia menurut provinsi maupun kabupaten masih belum dilaksanakan. Hasil pemetaan yang dilakukan provinsi Jawa Barat tahun 1997, menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 62,2%, dan pemetaan yang dilakukan di Jawa Tengah tahun 1999 menunjukkan prevalensi anemia pada ibu hamil 58,1%. Intervensi anemia secara nasional masih memprioritaskan ibu hamil dengan distribusi tablet besi yang cakupannya masih sulit dipantau. 19 III. Faktor yang berpengaruh pada status gizi dan kesehatan Analisis berikut menguraikan faktor yang erat kaitannya dengan perubahan status kesehatan dan gizi penduduk, yaitu mulai dari ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh, penyakit infeksi/non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan. Kerangka konsep UNICEF seperti pada bagan 2 digunakan untuk mengkaji faktor penyebab masalah gizi maupun kesehatan. Data yang digunakan pada umumnya dari data Kor Susenas 1995, 2000, 2002 dan 2003 dengan aggregat tingkat kabupaten, dan juga data HKI. 1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga Ketahanan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Untuk itu diperlukan survei konsumsi rumah tangga yang mencatat jumlah (kualitas dan kuantitas) yang dikonsumsi setiap hari oleh anggota keluarga. Indonesia belum pernah secara nasional melakukan survei konsumsi tingkat rumah tangga dan mencatat jumlah yang dimakan untuk setiap individu. Secara nasional Indonesia pernah melakukan survei konsumsi tahun 1995-1998 untuk mengetahui tingkat defisit tingkat rumah tangga terhadap energi dan protein. Dari kajian survei konsumsi ini, diketahui bahwa rata-rata rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi energi berturut-turut dari tahun 1995-1998 adalah: 1999; 1969; 2051; dan 1990 Kkal/kap/hari dan protein: 46; 49.5; 49.9; dan 49.1 gram/kap/hari. Rata-rata konsumsi energi dan protein ini bervariasi antar provinsi dan kabupaten. Dari survei konsumsi ini dikaji juga persen rumah tangga yang defisit energi mapun protein. Disimpulkan bahwa dari tahun 1995-1998, persentasi rumah tangga dengan defisit energi bekisar antara 45 – 52% ; dan rumah tangga defisit protein berkisar antara 25 – 35% (Latief, et.al, 2000). Berdasarkan kor Susenas, informasi ketahanan pangan tingkat rumah tangga hanya dapat diketahui berdasarkan perkiraan pengeluaran pangan dalam seminggu terakhir. Dari kajian kor Susenas 1995, 2000, dan 2003 dilakukan perhitungan rasio pengeluaran untuk setiap item bahan makanan terhadap total pengeluaran pangan. Terlihat perubahan rasio pengeluaran pangan sumber energi dari 32,64% tahun 1995 menjadi 24,2% tahun 2003. Pengeluaran konsumsi makanan jadi meningkat dari 7,9% tahun 1995 menjadi 8,7% tahun 2003, demikian juga terjadi peningkatan pengeluaran untuk konsumsi lainnya, terutama ikan, daging, dan buah-buahan. Jika dikaji perbedaan antara Kota dan Desa, analisis Kor Susenas 2003 menunjukkan pengeluaran untuk konsumsi di Kota lebih baik dibanding Desa, dan rumah tangga di Kota lebih banyak mengeluarkan uang untuk makanan jadi dibanding rumah tangga di Desa. (Lihat figure 15) Walaupun terlihat ada perbaikan pola pengeluaran makanan tingkat rumah tangga pada tahun 2003, akan tetapi jika dilihat dari rasio pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total, masih sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum cukup baik. Pengeluaran terbesar rumah tangga masih pada makanan. Pada Figure 16 berikut, mengklasikasikan kabupaten berdasarkan 4 tingkat % pengeluaran makanan terhadap pengeluaran total: 1) <55%; 2) 55-65%; 3) 65-75%; dan 4) >75%. Terlihat ada perbaikan 20 dari tahun 2000 ke tahun 2003, akan tetapi kondisinya hampir sama dengan tahun 1995. Pada tahun 2003, terlihat sekali perbedaan antara Kota dan Desa. Figure 15. Nilai rata-rata rasio pengeluaran item bahan pangan terhadap total pengeluran pangan tingkat rumah tangga Pebedaan tahun 1995, 2000, 2003 Perbedaan Kota Desa - 2003 80 80 60 4.02 3.95 3.74 4.27 6.86 7.85 5.01 3.82 4.91 4.40 4.62 11.54 40 60 4.59 4.01 4.00 8.08 7.99 5.86 4.32 4.91 5.41 4.00 4.62 11.97 11.82 7.90 Buah Kacang2-an 50 Sayur Telur & Susu 11.82 4.19 4.10 7.99 9.94 % 5.05 4.00 4.52 50 70 4.59 Daging % 70 40 12.69 Buah Kacang2-an Sayur Telur & Susu Daging Ikan Ikan Sumber Energi 30 30 Sumber Energi Makanan Jadi 32.64 28.32 20 24.22 Makanan Jadi 20.52 20 10 24.22 26.31 10 8.70 8.25 7.95 10.64 0 1995 2000 6.84 8.70 Desa Kota+Desa 0 2003 Kota Figure 16. Perubahan persen Kabupaten/Kota berdasarkan % pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran tingkat rumah tangga (1995, 2000, 2003) Perbedaan tahun 1995, 2000, dan 2003 Perbedaan Kota – Desa, 2003 70.0 70.0 1995 60.0 56.8 2000 60.0 2003 50.0 63.0 Kota 57.5 53.6 50.0 57.5 56.2 Desa Kota+Desa 40.0 40.0 % Kab/Kota 30.0 33.9 %Kab/Kota 30.4 29.3 29.3 30.0 21.8 20.0 10.0 5.3 1.8 20.0 16.2 14.3 7.9 5.3 10.0 19.6 16.1 8.4 7.9 5.3 1.5 1.3 0.0 0.0 <55% 55-65% 65-75% % pengeluaran pangan/non-pangan 75+% <55% 55-65% 65-75% 75+% %pengeluaran pangan/non-pangan Untuk diketahui juga, selain ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, maka keamanan pangan yang dikonsumsi setiap individu juga sangat berperan untuk kesehatan dan gizi. Terutama pada rumah tangga di perkotaan dimana konsumsi makanan jadi yang semakin meningkat. Masalah keamanan pangan tidak dibahas pada analisis ini karena ketersdiaan data yang kurang. 2. Morbiditas Informasi prevalensi menurut jenis penyakit, terutama yang berkaitan dengan masalah gizi, tidak diketahui secara lengkap. Pada Figure 17 dapat dilihat kecenderungan pola penyakit yang menyebabkan kematian tahun 1995 dan 2001. Terlihat penyakit infeksi masih dominan, diikuti dengan penyakit sirkulasi dan pernafasan. Penyebab kematian yang ditunjukkan dengan penyakit sirkulasi memperlihatkan meningkatnya penyakit 21 degeneratif baik pada laki-laki maupun perempuan. Bahkan pada perempuan, kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi ini meningkat cukup tinggi, dari 123 ke 191 per 100.000 penduduk. Terlihat juga kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan neoplasma cenderung meningkat dari tahun 1995-2001. Figure 17. Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia menurut jenis kelamin, SKRT 1995 dan 2001 700.0 600.0 500.0 400.0 100,000 pddk 300.0 200.0 100.0 0.0 L-1995 L-2001 P-1995 P-2001 Neoplasma 34.9 49.1 38.0 45.5 Kecelakaan 52.7 77.4 21.4 20.9 Pencernaan 56.8 62.0 38.7 45.3 Pernafasan 124.9 97.8 102.4 74.6 Sirkulasi 150.9 147.8 123.1 191.4 Infeksi 213.3 195.3 192.3 154.6 Sumber: Laporan Studi Mortalitas, Litbangkes 2002 SKRT 1980, 1986, 1992, 1995 dan 2001 juga mencatat proporsi kematian karena ‘Noncommunicable diseases/NCD’ meningkat dari 25.41% (1980) menjadi 48.53% (2001). Proporsi kematian karena ‘Cardiovscular diseases/CVD’ meningkat dari 9.1% tahun 1986 menjadi 26.3% tahun 2001; ‘Ischaemic heart disease’ dari 2.5% (1986) menjadi 14.9% (2001); dan stroke dari 5.5% (1986) menjadi 11.5% (2001). Kematian karena kanker dari 3.4% (1986) menjadi 6% (2001). Dari penyakit infeksi, ada beberapa penyakit yang prevalensinya meningkat, seperti malaria, demam berdarah, TBC, dan HIV/AIDS. Angka insidens malaria menurun dari 21 per 100,000 penduduk tahun 1989 menjadi 9 per 100.000 penduduk tahun 1996 di Jawa-Bali. Akan tetapi angka ini meningkat kembali menjadi 20 per 100.000 penduduk tahun 1998. Prevalensi malaria di luar Jawa-Bali meningkat 3,97% tahun 1995 meningkat menjadi 4,78% tahun 1997. Angka insidens demam berdarah tahun 1996 tercatat 23,22 per 100.000 penduduk meningkat menjadi 35,19 per 100,000 penduduk tahun 1998. Walaupun prevalensi TBC dinyatakan menurun dari 290 per 100.000 penduduk pada periode 1979-1982 menjadi 240 per 100.000 penduduk pada akhir tahun 1998, akan tetapi distribusinya untuk setiap provinsi tidak merata. Pada beberapa kabupaten seperti Jawa Barat, Aceh dan Bali, masih ditemukan prevalensi TBC berada antara 650-960 per 100.000 penduduk. Untuk HIV/AIDS, pada akhir tahun 1999, 23 provinsi telah 22 melaporkan adanya kasus HIV, dimana 14 diantara mereka penderita AIDS. Prevalensi secara nasional untuk AIDS di Indonesia adalah 0,11 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi ini bervariasi untuk setiap provinsi. Di Jakarta penderita AIDS 10 kali lebih banyak dari angka nasional, sementara Irian Jaya prevalensi AIDS 40 kali lebih tinggi dari angka nasional, atau 4,4 per 100.000 penduduk. 3. Kebiasaan makan dan perilaku hidup sehat Kebiasaan makan dinilai berdasarkan perilaku anggota rumah tangga mengkonsumsi makanan sehari-hari. Dalam kor Susenas 2003, informasi ini dapat diketahui dengan membedakan anggota rumah tangga usia 10 tahun keatas untuk laki-laki dan perempuan dan juga berdasarkan tempat tinggal – Kota atau Desa. Penilaian dilakukan dari berapa kali konsumsi sayur, buah, makanan sumber hewani, dan nabati dalam seminggu terakhir. Seperti pada Figure 18 berikut tidak terlihat perbedaan yang menyolok antara laki-laki dan perempuan, keduanya rata-rata mengkonsumsi 3-9 kali keempat jenis makanan dalam seminggu terakhir. Laki-laki maupun perempuan mengkonsumsi sayuran pada umumnya lebih sering dibanding konsumsi buah. Jika membedakan antara Kota dan Desa, konsumsi sayuran lebih sering dikonsumsi di Desa dibanding Kota, sedangkan jenis makanan lain hampir sama antara Kota dan Desa. Figure 18. Perilaku mengkonsumsi makanan menurut jenis kelamin dan penduduk KotaDesa, 2003. Laki-laki Perempuan 100% 100% 80% 80% 60% 60% 40% 40% 20% 20% 0% 0% <3 kali 3-9 kali Sayur 10-15 kali Buah Nabati 16+kali <3 kali Hewani Kota Desa 100% 100% 80% 80% 60% 60% 40% 40% 20% 20% 0% <3 kali 3-9 kali Sayur 10-15 kali Buah Nabati Hewani 3-9 kali Sayur 16+kali 10-15 kali Buah Nabati Buah Nabati 16+kali Hewani 0% <3 kali 3-9 kali Sayur 10-15 kali 16+kali Hewani 23 Perilaku kesehatan yang merupakan salah satu penyebab atau risiko utama dari beberapa penyakit kronis seperti penyakit jantung, stroke, kanker paru, kanker saluran pernapasan bagian atas adalah merokok. Persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang merokok di Indonesia tidak banyak berubah pada periode 1995-2001 atau hanya meningkat 1,5% dari 26,2% (tahun 1995) menjadi 27,7% (tahun 2001). Jika diperhatikan prevalensi merokok menurut jenis kelamin didapatkan perbedaan persentase yang mencolok antara penduduk laki laki dan perempuan. Persentasi perokok perempuan masih cukup rendah, yaitu kurang dari 1%. Yang perlu diwaspadai adalah kebiasaaan merokok pada laki-laki meningkat cukup tajam menjadi 40,7% pada tahun 2003. Pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi rokok ini juga meningkat dari rata-rata 9,15% terhadap pengeluaran pangan total pada tahun 1995 menjadi 10,03% tahun 2000 dan 13,15% tahun 2003. Jika dibuat tiga klasifikasi pengeluaran rokok ini menjadi <10%, 10-15%, dan >15% terhadap pengeluaran pangan total; maka pada tahun 2003 terdapat hampir 27% kabupaten di Indonesia, rumah tangganya mengeluarkan uang >=15% dari total pengeluaran pangan untuk konsumsi rokok, serta hampir 61% kabupaten masuk pada klasifikasi 10-15% untuk konsumsi rokok (lihat Figure 19). Figure 19. Jumlah kabupaten berdasarkan rasio pengeluaran konsumsi rokok terhadap pengeluaran pangan total 120 100 0.33 80 34.65 1.07 26.90 45.71 15+% Jml Kab (%) 60 10-15% 60.82 40 <10% 65.02 53.21 20 12.28 0 1995 2000 2003 Tahun 4. Pola Asuh Analisis pola asuh yang dapat dikaji adalah pemberian ASI pada anak balita. Informasi ini dapat dikaji berdasarkan Susenas 1995 dan 2003. Secara nasional pemberian ASI terutama pada bayi di bawah 1 tahun menurun dari 46,5% tahun 1995 menjadi 31,1% pada tahun 2003 (Lihat figure 20). Provinsi terendah memberikan ASI adalah Aceh (23,7%) dan tertinggi NTB (42,6%). 24 Figure 20. Kecenderungan Pemberian ASI menurut provinsi, Susenas 1995 dan 2003 80 1995 70 2003 60 % 50 40 30 20 10 82 94 To ta l 75 81 73 74 71 72 63 64 61 62 52 53 36 51 34 35 32 33 19 31 17 18 15 16 13 14 12 11 0 Provinsi Jika dikaji berdasarkan lamanya pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan, terlihat ada kecenderungan meningkat dari tahun 1995 yaitu 35% menjadi 41% pada tahun 2003. Pemberian ASI saja sampai usia 6 bulan relatif masih rendah dan tidak ada peningkatan dari tahun 1995 ke tahun 2003, yaitu sekitar 15-17%. (Lihat figure 21). Figure 21. Persentasi pemberian ASI saja sampai 4 bulan dan 6 bulan menurut Provinsi, Susenas 1995 dan 2003 ASI saja sampai 4 bulan ASI saja sampai 6 bulan 80.0 80.0 70.0 70.0 1995 1995 2003 60.0 50.0 50.0 % % 2003 60.0 40.0 40.0 30.0 30.0 20.0 20.0 10.0 10.0 0.0 0.0 11 12 13 14 15 16 17 18 19 31 32 33 34 35 36 51 52 53 61 62 63 64 71 72 73 74 75 81 82 94 11 12 13 14 15 16 Provinsi 17 18 19 31 32 33 34 35 36 51 52 53 61 62 63 64 71 72 73 74 75 81 82 94 Provinsi 5. Kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat. Kecenderungan masalah lingkungan yang menjadi issue penting saat ini antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya sumber daya alam, terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air maupun udara. Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996 ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40% rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa 25 sanitasi yang memadai. Hanya di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses air bersih. Figure 22: Proporsi rumahtangga dengan kriteria kesehatan lingkungan 1996, 1999, 2003 70.0 A : RT - punya akses air B : RT - dengan lantai tanah C : RT - tanpa sanitasi 60.0 50.0 40.0 % RT 30.0 20.0 10.0 0.0 A B C Sumatera A B C Jkt, Jogja, Bali A B C A B C A Jabar, Banten, NTB,NTT,Maluku, Jateng, Jatim Papua B C A Kalimantan B C Sulawesi 1996 46.1 9.6 24.4 58.5 10.8 19.7 53.4 31.5 29.7 49.3 32.4 38.5 40.3 2.8 31.6 47.9 8.1 40.3 1999 46.9 6.8 22.5 61.5 7.6 16.1 50.5 25.2 28.3 49.9 27.7 37.4 41.7 2.0 24.1 49.2 6.3 37.9 2003 60.2 9.2 20.0 58.0 7.3 11.1 56.9 22.1 25.0 26.6 29.6 35.4 38.4 3.6 26.0 43.7 8.2 36.6 Sumber: Analisis Susenas 1996, 1999, dan 2003. Analisis pelayanan kesehatan dasar yang dapt dilakukan dari Susenas 2003, adalah kelahiran pertama dan kedua yang dibantu oleh tenaga medis (dokter, bidan, tenaga kesehatan lainnya atau non-medis (dukun, kerabat, lainnya). Rata-rata anak pertama lahir dengan tenaga medis adalah: 62,05%; dan non-medis: 37,95%. Sedangkan kelahiran anak kedua, rata-rata ditolong tenaga medis: 68,95%; dan non-medis 31,05%. Dari angka rata-rata ini, jika kabupaten diklasifikasikan menjadi 4 untuk kelahiran tenaga medis, yaitu: <25%; 25-50%, 50-75%, dan >=75%; maka dapat dilihat bahwa ada peningkatan jumlah kabupaten untuk kelahiran anak kedua yang >75% dibantu tenaga medis. Demikian sebaliknya kelahiran kedua yang ditolong tenaga-non medis (klasifikasi kabupaten: <10%, 10-20%, 20-30%. >=40%). (Figure 23) Figure 23. Jumlah kabupaten berdasarkan kelahiran pertama dan kedua dengan tenaga medis dan non-medis Tenaga Medis Tenaga Non-medis 60 60 50 50 40 40 Pertama Jml Kab (%) 30 Kedua Pertama Jml Kab (%) 30 20 20 10 10 Kedua 0 0 <25% 25-50% 50-75% Klasifikasi melahirkan dengan tenga medis 75+% <25% 25-50% 50-75% 75+% Klasifikasi melahirkan dengan tenga non-medis 26 Sedangkan pelayanan gizi yang dilakukan melalui Posyandu, terutama untuk pemantauan pertumbuhan dan penyuluhan gizi pada Susenas tidak ada informasinya. Pengamatan berdasarkan laporan program aktivitas Posyandu ini cukup baik untuk balita terutama sampai usia 2 tahun dengan integrasi imunisasi. Aktivitas selanjutnya sampai usia 5 tahun, cakupan program atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi, mulai dari terendah 10% sampai tertinggi 80%. Jika diamati pemantauan pertumbuhan yang dilakukan rutin setiap bulan, partisipasinya masih sangat rendah berkisar antara 1-5%. 6. Pendidikan Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Data dari Susenas menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia telah menurun dari 57,1% di tahun 1961, menjadi 12,75% pada tahun 1994. Selanjutnya, telah terjadi peningkatan angka melek huruf, khususnya pada wanita, yakni dari 78,7% pada tahun 1990 pada kelompok usia 10 tahun keatas. Pada tahun 1995, angka melek huruf ini menjadi 82,9%, dan pada tahun 2003 menjadi lebih baik yaitu 87,7%, dengan distribusi yang agak berbeda antara perkotaan (93,0%) dan perdesaan (83,8%). Sedangkan pada laki-laki angka melek huruf adalah 94,2%, dimana perkotaan lebih baik dari perdesaan: 97,2% dan 91,9%. Sedangkan Angka Partisipasi Murni untuk tingkat nasional, terlihat ada peningkatan sedikit untuk anak SD, SLTP, dan SLTA dari tahun 1995 ke tahun 2002. Proporsi masuk sekolah tingkat SLTA terlihat masih cukup jauh untuk mencapai 50% terutama untuk perdesaan. (lihat tabel 7). Pada tahun 2003, jika analisis kepemilikan ijazah atau sekolah yang ditamatkan dilakukan hanya pada kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga, maka terlihat masih rendahnya tingkat pendidikan kepala/ibu rumah tangga. Hanya 40% dari laki-laki yang berpendidikan SLTP ke atas, 60% tidak sekolah dan tamat SD; pada perempuan presentasinya lebih tinggi, yaitu 70% tidak sekolah dan hanya tamat SD. (Lihat figure 24). 27 Tabel 7. Angka Partisipasi Murni (APM) pada SD, SLTP dan SLTA berdasarkan Gender, Susenas 1995, 1998, dan 2002. Tingkat Pendidikan 1995 Laki-Laki Perempuan SD -Perkotaan -Perdesaan Total SLTP -Perkotaan -Perdesaan Total SLTA -Perkotaan -Perdesaan Total 1998 Laki-Laki Perempuan 2002 Laki-Laki Perempuan 92.99 90.76 91.47 92.29 91.34 91.64 92.97 91.92 92.13 92.50 92.02 92.18 92.76 92.58 92.65 92.34 93.05 92.76 66.65 42.56 50.77 66.42 42.92 51.32 69.33 48.87 56.09 70.14 50.49 57.86 71.38 53.29 60.88 72.34 55.01 62.44 52.18 21.76 33.52 48.00 19.93 31.74 56.84 24.29 37.70 54.30 24.21 37.25 54.15 25.63 38.65 51.35 25.15 37.54 Figure 24. Persentasi kepemilikan ijazah penduduk dewasa laki-laki dan perempuan, 2003 40 35 Laki-laki Perempuan 30 % 25 20 15 10 5 0 Tidak sekolah SD SLTP SLTA DI/DIII DIV/S1/S2/S3 Kepemilikan Ijazah 7. Kemiskinan Pada tahun 1970-an, Indonesia dikategorikan dalam kelompok “Poor Country”, berpindah menjadi “low-income country” pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995 masuk dalam ranking “middle-income countries” (>$650). Pada tahun 1997 pendapatan per kapita per tahun mencapai $1100. Krisis ekonomi menurunkan pendapatan per kapita menjadi $670 pada tahun 1999, dan mulai meningkat kembali pada tahun 2000 ($703). Krisis ekonomi telah menciptakan turunnya lapangan kerja dan banyaknya pengangguran. Indikator penting untuk mengukur tingkat pencapaian pembangunan adalah penurunan angka kemiskinan. Sampai dengan tahun 1996, penduduk miskin di Indonesia terus 28 mengalami penurunan baik jumlah maupun persentasenya. Pada tahun 1980 penduduk miskin berjumlah 42,3 juta (28,7%), turun menjadi 15,1% pada tahun 1990, dan menjadi 11,3% pada tahun 1996. Namun dengan terjadinya krisis moneter yang diikuti oleh krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan 1997 dan berlanjut hingga 1998, maka jumlah penduduk miskin meningkat kembali dalam beberapa tahun berikutnya, bahkan mencapai angka 18.2% pada tahun 2002. Distribusi penduduk miskin ini bervariasi antar kabupaten, mulai dari yang terendah 2,6% sampai dengan yang tertinggi mencapai 61%. Jika kabupaten dibedakan berdasarkan persen kemiskinan, maka distribusinya adalah sebagai Figure 25 berikut: Figure 25. Jumlah Kabupaten berdasarkan persen kemiskinan, 2002 50 37.54 40 27.57 30 Jml Kab (%) 20 13.49 10.26 10 5.87 5.28 0 <5 5-10 10-20 20-30 30-40 40+ Persen miskin IV. Analisis determinan masalah kesehatan dan gizi Dari uraian di atas, diketahui ada peningkatan status gizi dan status kesehatan penduduk Indonesia dilihat secara nasional, provinsi, maupun tingkat kabupaten. Walaupun demikian, masalah gizi dan kesehatan ini masih cukup dominan pada wilayah tertentu. Penurunan masalah gizi kurang, terutama pada balita, jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia dapat menurunkan dari 39,9% tahun 1987 menjadi 27,3% pada tahun 2002. Sementara Filipina berhasil mengurangi masalah gizi kurang pada balita dari 33,2% tahun 1982 menjadi 31,8% tahun 1998. Pada tabel 8 dapat dilihat perbandingan masalah gizi kurang balita dengan negara lain pada tahun 2001. 29 Table 8. Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di ASIA, 2001 Negara Bangladesh India Cambodia Pakistan Myanmar Vietnam Srilangka Indonesia Thailand Malaysia China Gizi kurang (BB/U <-2SD) (%) 47.8 47.0 45.9 38.2 36.0 33.1 33.0 26.1 18.6 18.3 9.6 Gizi kurang (TB/U < -2SD) (%) 44.8 45.6 46.0 37.2 36.4 17.0 45.6 16.0 16.7 Berat badan bayi lahir rendah/BBLR (%) 30.0 25.5 8.9 21.4 16.0 8.9 17.0 7.7 7.2 5.9 Pada uraian sebelumnya dijelaskan juga kemungkinan faktor atau penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi dan kesehatan dengan mengikuti kerangka pikir Unicef, mulai dari penyebab langsung, ketahanan pangan tingkat rumah tangga sampai akar masalahnya, yaitu tingkat pendidikan dan kemiskinan. Selanjutnya untuk mempertajam analisis situasi kesehatan dan gizi ini, dilakukan kajian penyebab tersebut di atas. Analisis dilakukan berdasarkan agregat kabupaten dari data Susenas 2003, dengan menggunakan: Angka Kematian Bayi (AKB) untuk menilai perubahan status kesehatan, dan Prevalensi Status gizi pada balita untuk menilai perubahan status gizi. Analisis regresi linier digunakan untuk mengamati asumsi perubahan AKB dan prevalensi status gizi pada beberapa variabel sosial ekonomi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa perubahan AKB sangat siginifikan terjadi jika dilakukan upaya: 1. Penurunan kemiskinan 2. Peningkatan status gizi pada balita 3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang DI/DIII pada laki-laki 4. Peningkatan pendidikan sampai minimal jenjang SLTP pada perempuan 5. Menambah jumlah rumah tangga yang memiliki tempat buang air besar sendiri 6. Memperkecil persentasi rumah dengan lantai tanah 7. Mengurangi angka morbiditas 8. Meningkatkan pertolongan persalinan dengan tenaga medis 9. Mengurangi perkawinan muda 10. Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok Sedangkan perubahan status gizi sangat signifikan terjadi jika dilakukan upaya: 1. Penurunan kemiskinan 2. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada laki-laki 3. Peningkatan pendidikan sampai jenjang SLTP pada perempuan 30 4. 5. 6. 7. 8. Peningkatan pengeluran untuk konsumsi sumber energi Peningkatan pengeluaran untuk konsumsi telur dan susu Mengurangi pengeluaran konsumsi rokok Meningkatkan penggunaan KB pada perempuan Mengurangi angka morbiditas Informasi yang tidak dapat dikaji dari Susenas adalah pengaruh pekerjaan terhadap status gizi. Data HKI berikut ini menunjukkan perbedaan status gizi (gizi kurang berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB < -2 SD) menurut jenis pekerjaan bapak dan ibu pada daerah kumuh perkotaan dan perdesaan. (Figure 26 dan 27). Dapat dilihat bahwa anak balita dari pegawai negeri prevalensi gizi kurang pada balita pada umumnya lebih rendah dibanding jenis pekerjaan yang lain. Figure 26. Prevalensi gizi kurang balita berdasarkan jenis pekerjaan bapak di Kumuh perkotaan dan Perdesaan (Data HKI 1999-2001) Kumuh perkotaan Perdesaan 50 50 39.5 40 38.9 34.0 35.7 30.732.8 40 35.8 31.5 30 37.2 32.9 35.2 30.9 36.2 31.1 30 25.1 % Balita 38.7 32.5 30.6 25.9 24.3 %Balita 20 20 10.2 9.8 8.6 10 9.7 9.9 10 0 5.6 5.5 5.4 5.7 5.1 0 Petani Buruk Pedagang Pegawai Negeri Tidak bekerja Petani Buruk Pedagang Jenis Pekerjaan BB/U<-2SD TB/U<-2SD Pegawai Negeri Tidak bekerja Jenis Pekerjaan BB/TB<-2SD BB/U<-2SD TB/U<-2SD BB/TB<-2SD Figure 27. Prevalensi gizi kurang balita berdasarkan jenis pekerjaan ibu di Kumuh perkotaan dan Perdesaan (Data HKI 1999-2001) Kumuh perkotaan 50 40 Perdesaan 50 47.6 39.6 36.9 38.1 39.5 35.9 37.3 40 46.0 38.5 38.5 33.1 32.3 30 33.3 29.3 30 25.1 21.8 % Balita 25.2 22.5 % Balita 20 10 46.4 37.8 20 9.3 9.6 4.8 7.7 10.1 10 0 5.8 5.6 5.2 4.4 5.4 0 Petani Buruk Pedagang Pegawai Negeri Tidak bekerja Petani Buruk Jenis Pekerjaan BB/U<-2SD TB/U<-2SD Pedagang Pegawai Negeri Tidak bekerja Jenis Pekerjaan BB/TB<-2SD BB/U<-2SD TB/U<-2SD BB/TB<-2SD 31 V. Proyeksi status gizi penduduk sampai 2015 Dari uraian sebelumnya status kesehatan penduduk disebut tergantung dari keadaan gizi. Jika status gizi penduduk dapat diperbaiki, maka status kesehatan dapat tercapai. Berikut ini hanya memfokuskan proyeksi status gizi, berdasarkan situasi terakhir 2003 di Indonesia dan dibahas dengan memperhatikan Indonesia Sehat 2010, World Fit for Children 2002, dan Millenium Development Goal 2015. Penurunan status gizi tergantung dari banyak faktor. Berdasarkan uraian sebelumnya dan juga yang tertuang pada bagan 1 dan bagan 2, penyebab yang mendasar adalah: o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan konsumsi makanan tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan (lihat tabel 10): 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang dari 1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG, 2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah ketahanan pangan melanda 2025 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada tahun 2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total keluarga yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20% kabupaten di perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran pangan/non pangan antara 65-75%. o Ketahanan pangan tingkat rumah tangga ini berkaitan erat dengan kemiskinan, yang berdasarkan kajian Susenas 2002, diketahui proporsi penduduk miskin adalah 18.2% atau 38,4 juta penduduk (BPS, 2002). Sebaran penduduk miskin tingkat kabupaten sangat bervariasi, masih ada sekitar 15% kabupaten dengan persen penduduk miskin > 30% o Ketidak seimbangan antar wilayah (kecamatan, kabupaten) yang terlihat dari variasi prevalensi berat ringannya masalah gizi, masalah kesehatan lainnya, dan masalah kemiskinan. Seperti diungkapan pada uraian sebelumnya bawah ada 75% kabupaten di Indonesia menanggung beban dengan prevalensi gizi kurang pada balita >20%. o Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang masih belum universal. Penyakit infeksi penyebab kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997 prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001 prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak berbeda dari tahun ketahun yaitu masingmasing 11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah sebesar 11%. o Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak berfungsi. Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah balita yang ada. o Pemberian ASI saja pada umumnya masih rendah, dan adanya kecenderungan yang menurun dari tahun 1995 ke tahun 2003. Lebih lanjut pemberian ASI saja 32 sampai 6 bulan cenderung renda, hanya sekitar 15-17%. Setelah itu pemberian makanan pendamping ASI menjadi masalah dan berakibat pada penghambatan pertumbuhan. o Masih tingginya prevalensi anak pendek yang menunjukkan masalah gizi di Indonesia merupakan masalah kronis. o Masih tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, rendahnya pendapatan dan rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan indeks SDM rendah. o Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan nonpemerintah (tahun 2000: Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun). Dari besaran masalah gizi 2003 dan penyebab yang multi faktor, maka dapat diprediksi proyeksi kecenderungan gizi yad seperti berikut: 1. Proyeksi prevalensi gizi kurang pada balita Dari uraian sebelumnya, penurunan prevalensi gizi kurang pada balita (berat badan menurut umur) yang dikaji berdasarkan Susenas 1989 sampai dengan 2003 adalah sebesar 27% atau penurunan prevalensi sekitar 2% per tahun. Telah banyak intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan status gizi pada balita, antara lain pelayanan gizi melalui Posyandu. Dengan meningkatkan upaya pelayanan status gizi terutama berkaitan dengan peningkatan konseling gizi kepada masyarakat, diharapkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang minimal sama dengan periode sebelumnya atau sebesar 30%. Pada hasil kajian Susenas 2003, prevalensi gizi kurang adalah 19,2% dan gizi buruk 8,3%. Dengan asumsi penurunan 30%, diperkirakan pada tahun 2015 prevalensi gizi kurang menjadi 13,7% dan prevalensi gizi buruk menjadi 5.7% 2. Proyeksi prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah Perubahan ukuran fisik penduduk merupakan salah satu indikator keberhasilan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sudah diketahui bersama bahwa dibanyak negara anak-anak tumbuh lebih cepat dari 20-30 tahun yang lalu. Mereka tidak hanya matang lebih awal tetapi juga mencapai pertumbuhan dewasa lebih cepat. Dari beberapa penelitian yang dilakukan pada beberapa negara, menunjukkan adanya perbedaan tinggi badan antara kelompok usia 20 tahun dan 60 tahun pada pria maupun wanita dewasa setinggi kurang lebih 8 cm. Dinyatakan pula bahwa pada kebanyakan negara sedang berkembang ‘secular trend” dari kenaikan tinggi badan adalah 1 cm untuk setiap decade semenjak tahun 1850. Perubahan ini sangat erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perubahan kualitas hidup manusia. Di Indonesia penelitian “secular trend” kenaikan tinggi badan penduduk dari satu waktu tertentu. Informasi yang ada adalah hasil survei ansional 1978 dan 1992 pada anak balita dari 15 provinsi. Dari hasil kedua survei tersebut, dinyatakan bahwa ada perubahan rata-rata tinggi badan sebesar 2,3 cm pada anak laki-laki dan 2,4 cm pada anak perempuan dalam jangka waktu 14 tahun. Analisis yang dilakukan pada survei TBABS menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang (stunting) pada anak baru masuk sekolah tahun 1994-1999 sebesar 3.7%. Stunting 33 atau pendek merupakan masalah gizi kronis dan pada umumnya penurunan sangat lambat. Pengalaman kenaikan tinggi badan rata-rata dari generasi ke generasi pada negara sedang berkembang pada umumnya setinggi 1 cm dalam periode 10 tahun. Dari tabel 6 terlihat kenaikan tinggi badan rata-rata anak baru masuk sekolah dari tahun 1994 ke tahun 1999 dalam waktu 5 tahun berkisar antara 0.1-0.3 cm. Dengan situasi tahun 1999 dengan penurunan hanya 3,7% dalam kurun waktu 5 tahun, serta menggunakan asumsi yang sama dengan penurunan prevalensi gizi kurang pada balita, yaitu 40% maka pada tahun 2015 prevalensi stunting pada anak baru masuk sekolah diasumsikan akan menjadi 24%. 3. Proyeksi KEK pada Wanita Usia Subur Berdasarkan kajian Susenas 1999-2003, penurunan proporsi risiko KEK berkisar antara 5-8% dalam kurun waktu 4 tahun tergantung pada kelompok umur. Kelompok wanita usia subur sampai dengan tahun 2003 belum menjadi prioritas program perbaikan gizi. Untuk peningkatan status gizi penduduk, kelompok umur ini terutama pada WUS usia 15 – 19 tahun harus menjadi prioritas untuk masa yang akan datang. Seperti yang terlihat pada Figure 10, 35-40% WUS usia 15-19 tahun berisiko KEK. Intervensi yang dilakukan untuk kelompok umur ini mungkin tidak terlalu kompleks dibanding intervensi pada balita atau ibu hamil. Akan tetapi intervensi yang dilakukan akan lebih banyak bermanfaat untuk membangun sumber daya manusia generasi mendatang. Dengan menggunakan asumsi penurunan yang terjadi dari tahun 1999 – 2003 untuk kelompok umur 15-19 tahun. Dengan posisi proporsi resiko KEK 35% pada tahun 2003, pada tahun 2015 asumsinya akan menjadi 20%. Asumsi penurunan proporsi KEK pada kelompok WUS 15-19 tahun 2015 diharapkan dapat menekan terjadinya BBLR, menurunkan prevalensi gizi kurang pada balita dan juga mempercepat kenaikan tinggi badan anak Indonesia. 4. Proyeksi masalah gizi mikro Masalah gizi mikro yang sudah terungkap sampai dengan tahun 2003 adalah masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi. Masih banyak masalah gizi mikro lainnya yang belum terungkap akan tetapi berperan sangat penting terhadap status gizi penduduk, seperti masalah kurang kalsium, kurang asam folat, kurang vitamin B1, kurang zink. Mayoritas intervensi yang telah dilakukan untuk mengurangi masalah KVA, GAKY dan Anemia Gizi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi atau pemberian kapsul vitamin A, kapsul yodium, maupun tablet besi. Strategi lain yang jauh lebih efektif seperti fortifikasi, penyuluhan untuk penganekaragaman makanan masih belum dilaksanakan. Untuk proyeksi masalah gizi mikro sampai dengan tahun 2015 sesuai dengan informasi yang tersedia sampai dengan tahun 2003 ini hanya dapat dilakukan untuk masalah KVA, GAKY dan anemia gizi. Data dasar untuk keseluruhan masalah gizi mikro untuk waktu mendatang perlu dilakukan, karena informasi untuk kurang kalsium, zink, asam folat, 34 vitamin B1 hanya tersedia dari hasil informasi konsumsi makanan pada tingkat rumah tangga yang cenderung defrisit dalam makanan sehari-hari. Pada uraian sebelumnya diketahui masalah KVA pada balita diketahui hanya dari hasil survei 1992. Pada survei tersebut dinyatakan masalah xeroftalmia sebagai dampak dari KVA sudah dinyatakan bebas dari Indonesia, akan tetapi 50% balita masih menderita serum retinal <20 mg, dimana dengan situasi ini akan dapat mencetus kembali munculnya kasus xeroftalmia. Dari beberapa laporan, kasus xeroftalmia ternyata sudah mulai muncul kembali, terutama di NTB. Pemberian kapsul vitamin A pada balita diasumsikan belum mencapai seluruh balita. Intervensi KVA dengan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi untuk 5 tahun kedepan masih dianggap perlu, selain strategi lain (fortifikasi, penyuluhan, dan penganekaragaman makanan) mulai diintensifkan. Diharapkan dengan “multiple strategy” 50% KVA pada balita dapat ditekan menjadi 25% pada tahun 2015, atau penurunan 50%. Tahun 2003 ini sudah dilakukan evaluasi penanggulangan GAKY untuk mengetahui prevalensi GAKY setelah informasi terakhir adalah 9,8% pada tahun 1996/1998. pada tahun 1996 diasumsikan prevalensi GAKY akan diturunkan sekurang-kurangnya 50% pada tahun 2003 setelah intensifikasi proyek penanggulangan GAKY (IP-GAKY) 19972003. Akan tetapi, penurunan ini secara nasional tidak terjadi, masih banyak masalah yang belum teratasi secara tuntas dalam penanggulangan ini, antara lain konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga masih belum universal (SUSENAS 2003 menunjukkan hanya 73% rumah tangga mengkonsumsi garam beryodium). Selain itu pemantauan pemberian kapsul yodium pada daerah endemik berat dan sedang tidak diketahui sampai sejauh mana kapsul ini diberikan pada kelompok sasaran. Mengingat masalah GAKY sangat erat kaitannya dengan kandungan yodium dalam tanah, pada umumnya prevalensi GAKY pada penduduk yang tinggal di daerah endemik berat dan sedang dapat menurun setelah intervensi kapsul yodium dalam periode tertentu dan akan membaik jika konsumsi garam beryodium dapat universal. Akan tetapi jika pemberian kapsul tidak tepat sasaran dan garam beyodium tidak bisa universal, prevalensi GAKY ada kemungkinan akan meningkat lagi. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan prevalensi GAKY tidak bisa seratus persen ditanggulangi dalam kurun waktu 12 tahun kedepan (sampai dengan 2015). Diharapkan TGR pada tahun 2015 dapat ditekan menjadi kurang dari 5%. Penanggulangan anemia sampai dengan 2002 masih difokuskan pada ibu hamil. Seperti yang diungkapkan pada uraian sebelumnya prevalensi anemia pada ibu hamil menurun dari 50,9% (1995) menjadi 40% (2001). Penanggulangan anemia untuk yang akan datang diharapkan tidak saja untuk ibu hamil, akan tetapi juga untuk wanita usia subur dalam rangka menekan angka kematian ibu dan meningkatkan produktivitas kerja. Angka prevalensi anemia pada WUS menurut SKRT 2001 adalah 27,1%. Diproyeksikan angka ini menjadi 20% pada tahun 2015. Asumsi penurunan hanya sekitar 30% sampai dengan 2015, karena sampai dengan tahun 2002, intervensi penanggulangan anemia pada WUS masih belum intensif. 35 Asumsi penurunan prevalensi masalah gizi ini perlu disempurnakan dengan memperhatikan angka kecenderungan kematian, pola penyakit, tingkat konsumsi, pendapatan dan pendidikan. Selain itu sampai dengan tahun 2003, masih banyak masalah gizi yang belum terungkap terutama berkaitan dengan masalah gizi mikro lainnya yang mempunyai peran penting dalam perbaikan gizi secara menyeluruh. VI. Pemikiran program perbaikan gizi dan kesehatan untuk yang akan datang Berangkat dari besarnya masalah gizi dan kesehatan serta bervariasinya faktor penyebab masalah ini antar wilayah, maka diperlukan program yang komprehensif dan terintegrasi baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional. Jelas sekali kerja sama antar sektor terkait menjadi penting, selain mengurangi aktivitas yang tumpang tindih dan tidak terarah. Berikut ini merupakan pemikiran untuk program yang akan datang, antara lain: 1. Banyak hal yang harus diperkuat untuk melaksanakan program perbaikan gizi, mulai dari ketersediaan data dan informasi secara periodik untuk dapat digunakan dalam perencanaan program yang benar dan efektif. Kajian strategi program yang efisien untuk masa yang datang mutlak diperlukan, mulai dari tingkat nasional sampai dengan kabupaten. 2. Melakukan penanggulangan program perbaikan gizi dan kesehatan yang bersifat preventif untuk jangka panjang, sementara kuratif dapat diberikan pada kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Bentuk program efektif seperti perbaikan perilaku kesehatan dan gizi tingkat keluarga dilakukan secara professional mulai dipikirkan, dan tentunya dengan ketentuan atau kriteria yang spesifik lokal. 3. Melakukan strategi program khusus untuk penanggulangan kemiskinan, baik di daerah perkotaan maupun perdesaan dalam bentuk strategi pemberdayaan keluarga dan menciptakan kerja sama yang baik dengan swasta. 4. Secara bertahap melakukan peningkatan pendidikan, strategi ini merupakan strategi jangka panjang yang dapat mengangkat Indonesia dari berbagai masalah gizi dan kesehatan. 36 Daftar Rujukan 1. Nutrition throughout life cycle. 4th report on The World Nutrition Situation, January 2000 2. Unicef (1998). The State of the World’s Children 1998. Oxford: Oxford University Press. 3. Draft II – Rencana Aksi program Pangan dan gizi nasional, Depkes 2000 4. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta 1998 5. Widyakarya Nasioanl Pangan dan Gizi VII, Jakarta 2000 6. End decade statistical report: Data and Descriptive Analysis, BPS-Unicef 2000 7. World Development Report 2000/2001: Attacking poverty 8. WHO, 2000. Nutrition for Health and Development 9. Puguh B Irawan and Henning Romdiati. Dampak krisis ekonomi terhadap kemiskinan dan beberapa implikasinya untuk strategi pembangunan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII, 2001. 10. IDHR, 2001. Indonesia Human Development Report 2001. Towards a new consensus Democracy and human development in Indonesia. 11. Laporan studi angka kematian bayi dan balita Susenas 1995, 1998 dan 2001, Litbangkes, Depkes 2002 12. Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola Penyakit dan penyebab kematian di Indonesia, Litbangkes, Depkes 2002 13. Soemantri S, Tinjauan kembali angka kematian ibu di Indonesia, 2003. 14. Laporan SKRT 1995 dan 2001, Status gizi wanita usia subur dan balita, Litbangkes, Depkes 2003 37