ISSN - eJournal IAIN Jember

advertisement
ISSN: 1907-4336
KONSEP BELAJAR DAN PEMBELAJARAN HUMANISTIK
PERSPEKTIF PAOLO FREIRE DAN
KH. ABDUL WAHID HASYIM
Nurul Anam
Abstrak :
Dalam konteks pendidikan, terdapat konsep belajar dan
pembelajaran yang memiliki peran sangat strategis di dalam
menentukan masa depan generasi bangsa Indonesia. Dalam tataran aplikasinya, konsep belajar dan pembelajaran di Indonesia tersebut masih menemui beberapa permasalahan yaitu
masih adanya proses dehumanisasi. Ini bisa dilihat dari orientasi posisi siswa sebagai subyek diputarbalikkan 180 derajat
menjadi objek belajar. konsep belajar dan pembelajaran humanistik Paolo Freire dan KH. Abdul Wahid Hasyim bisa dajidikan
solusi. Paolo Freire sangat tidak setuju adanya “penyumbatan”
kebabasan peserta didik di dalam wilayah belajar dan pembelajaran. Proses belajar yang mengerdilkan peran-peran peserta
didik cenderung menerapkan metode pembelajaran”gaya
bank”, bukan metode pembelajaran “hadap-masalah”. KH.
Abdul Wahid Hasyim juga menentang adanya dehumanisasi
realitas belajar dan pembelajaran. Wahid Hasyim melalui salah
satu artikelnya yang berjudul, “Abdullah Ubaid sebagai Pendidik” menyatakan bahwa peserta didik harus diposisikan sebagai student oriented dan dalam prosesnya guru dapat menerapkan metode pembelajaran ala Abdullah Ubaid.
Kata Kunci: Konsep belajar, Humanistik.
A. Pendahuluan

Jurusan Tarbiyah STAIN Jember
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
Masa depan Indonesia sangat tergantung terhadap eksistensi pendidikan. Dalam konteks pendidikan, terdapat konsep
belajar dan pembelajaran yang memiliki peran sangat strategis di
dalam menentukan masa depan generasi bangsa Indonesia. Generasi bangsa akan kehilangan jati diri apabila dia itu diam dari
eksistensinya. Sebaliknya, generasi bangsa akan menemukan jati
diri di saat dia berusaha untuk memaknai dan mewarnai eksistensinya melalui proses belajar dan proses pembelajaran. Konsep
belajar dan pembelajaran sebagai media yang akan mengarahkan
generasi bangsa Indonesia memahami apa dan siapa dirinya,
mengapa hidup, bagaimana masyarakat itu hidup dan ke mana
arah dan tujuan masyarakat itu hidup.
Sampai saat ini, secara konseptual, pembelajaran di Indonesia memiliki arah yang sangat bagus. Hal ini bisa dilihat dari
aspek definitif pendidikan yaitu sebagai berikut:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara.”1
Definisi di atas ini semakin memperlihatkan arah yang ideal
ketika dipadukan dengan fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia, yaitu:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
1
Tim Redaksi Fokusmedia, Sisdiknas (Bandung: Fokusmedia2003), 6.
Nurul Anam
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”2
Namun, secara implementatif, definisi, fungsi dan tujuan
pendidikan di Indonesia tersebut masih menemui beberapa permasalahan.. Salah satu permasalahannya adalah masih adanya
proses dehumanisasi. Posisi peserta didik sebagai subyek diputarbalikkan 180 derajat menjadi objek belajar dan pembelajaran.
Keadaan ini juga dipertegas oleh Anita Lie3 yang menyatakan
bahwa persoalan fundamental di dalam sistem pendidikan nasional adalah masalah dehumanisasi. Peoses belajar dan pembelajara seharusnya menghormati dan menghargai martabat manusia
berikut sekalian hak asasinya. Peserta didik harus tumbuh dalam
kemanusiaannya sebagai subjek melalui proses belajar dan pembelajaran, tetapi kenyataannya banyak contoh menunjukkan betapa peserta didik diperlakukan sebagai objek demi kepentingan
privaisnya. Dengan demikian, proses belajar dan pembelajaran di
Indonesia masih belum mengarah pada proses memanusiakan
manusia atau dengan kata lain peserta didik masih belum diposisikan sebagai sosok peserta didik.
Untuk mengatasi problematika semacam itu, maka harus
ada formulasi konsep belajar dan pembelajaran yang memanusiakan manusia. Selama ini, banyak para tokoh pendidikan yang
menyusun konsep belajar dan pembelajaran humanistik, di antaranya Paolo Freire dan KH. Abdul Wahid Hasyim. Paolo Freire
sangat tidak setuju adanya “penyumbatan” kebabasan peserta
didik di dalam wilayah belajar dan pembelajaran. Proses belajar
yang mengerdilkan peran-peran peserta didik cenderung men-
2
Tim Redaksi Fokusmedia, Sisdiknas, 6.
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, (Yogyakarta: Teras,
2008), h. 26.
3
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
erapkan metode pembelajaran”gaya bank”. Peserta didik
bagaikan gelas yang selalu dituangi air terus menerus dengan
tanpa melihat dan menyadari bahwa air yang dituangkan itu sudah meluap keluar. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Paolo Freire menawarkan metode “hadap-masalah”, yaitu metode
pembelajaran yang tidak “menindas” dan bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan realitas.
KH. Abdul Wahid Hasyim juga menentang adanya dehumanisasi dalam realitas belajar dan pembelajaran. Wahid Hasyim
melalui salah satu artikelnya yang berjudul,“Abdullah Ubaid sebagai Pendidik” menyatakan bahwa peserta didik harus diposisikan sebagai student oriented. Peserta didik mempunyai hak untuk
menumbuhkembangkan potensi yang ada di dalam dirinya dan
pendidik hanya sebagai tauladan, fasilitator, motivator dan pendorong peserta didik agar selalu istiqomah dalam menuntut ilmu.
Dari pemikiran cemerlang dua tokoh tersebut, terdapat beberapa hal yang sangat menarik untuk dibahas secara diskriptif
komparatif untuk menemukan formulasi konsep belajar
(deskriptif) dan pembelajaran (preskriptif)4 yang solutif dari
adanya krisis kebebasan peserta didik di dalam lembaga pendidikan. Di dalam tulisan ini terdapat fokus kajian yang akan dibahas
yaitu: bagaimana konsep belajar dan pembelajaran humanistik
dalam perspektif Paolo Freire dan K.H. Abdul Wahid Hasyim?.
B. Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik serta Problematikanya
4
Bruner (dalam Degeng, 1989) mengemukakan bahwa konsep (teori) belajar
adalah deskriptif dan konsep pembelajaran adalah preskriptif. Deskriptif
karena tujuan utama konsep belajar adalah menjelaskan proses belajar, sedangkan preskriptif karena tujuan utama konsep pembelajaran adalah
menetapkan metode pembelajaran yang optimal. Lihat lebih komprehensif di
C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), h. 11.
Nurul Anam
1. Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa
yang paling sempurna di bandingkan dengan makhluk lain.
Manusia dengan potensi akal pikiran, jasmani dan rohaninya
diberi kebebasan untuk menjalankan amanat yang telah digariskan oleh Tuhan. Menurut Bahruddin5 terdapat beberapa ayat alQur’an yang menunjukkan kemerdekaan dan kebebasan manusia
dalam kepribadiannya, di antaranya terdapat pada surah al-Kahfi:
29, Al-Baqarah: 256, dan Al-Kafirun: 6. Berdasarkan dari
pemikiran ini, sebenarnya prinsip-prinsip semangat pendidikan
humanistik sudah tersurat di dalam al-Qur’an. Menurut pandangan Islam adalah manusia sebagai ciptaan Allah yang paling
sempurna, yang diamanatkan sebagai khalifat di muka bumi (QS.
Al-Baqarah: 29) yang memiliki dimensi jasmani, rohaniah dan ruh
(fitrah ketauhidan) yangmampu tumbuh dan berkembang baik
secara fisik maupun psikis dan mampu beradaptasi dengan lingkungan. Manusia juga merupakan sosok pribadi berdasarkan potensi diri secara individual yang mampu mengembangkan dirinya
menurut kemampuan individunya, yang sepenuhnya diperuntukkan guna memenuhi misi di permukaan bumi yaitu
mengabdi kepada Allah. Oleh karena itu, konsep belajar humanistik dalam Islam adalah menempatkan manusia secara proporsional berdasarkan kemampuan manusia itu sendiri.
Menurut Hujair AH. Sanaky6 konsep belajar humanistik
merupakan suatu teori yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanistikasi), yakni makhluk ciptaan Tu-
5
Burhanuddin, Pembelajaran Humanistik: Sebauah Alternatif Konsep Pembelajaran Memanusiakan Manusia, Telabang: Jurnal Kependidikan Volume
1, Nomor 1, Januari-Juni 2008, h. 51-52.
6
Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani di Indonesia, (Yogyakarta: Satria Insan Presss Bekerjasama
dengan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia [UII], 2003), h.
265.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
han dengan fitrahnya. Manusia sebagai makhluk hidup, ia harus
mampu melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan
hidupnya. Maka posisi pembelajaran dapat membangun proses
humanistikasi, artinya menghargai hak-hak asasi manusia, seperti
hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk berbuat kasih sayang, dan lain
sebagainya. Konsep belajar humanistik diharapkan dapat
mengembalikan peran dan fungsi manusia yaitu mengembalikan
manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk (khairu
ummah). Manusia “yang manusiawi” yang dihasilkan oleh proses
belajar yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan dan
membentuk manusia berpikir, berasa dan berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang dapat
mengganti sifat individualistik, egoistik dan egosentrik.
Dengan demikian, konsep belajar merupakan proses dekonstruksi yang memproduksi wacana untuk membangkitkan
kesadaran kritis kemanuisaan. Proses belajar identik dengan
proses pembebasan manusia. Pendirian ini berangkat dari asumsi
bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah
mengalami proses dehumanisasi.7 Istilah humanis merupakan
kata sifat dari homo (manusia). Secara istilah humaniora/humanis
yang memiliki muatan pengertian sebagai bahan proses belajar
yang mecerminkan keutuhan manusia dan membantu agar
manusia menjadi lebih manusiawi. Konsep belajar humanistik
tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi mengajak untuk
menghayati, menyelami, serta memahami berbagai bentuk ekspresi ragam manusia. Oleh karena itu, dapat disebut tidak semata menyentuh intelektual anak, tetapi lebih jauh adalah sisi kemanusiaannya itu sendiri, baik dalam konteks individual maupun
sosio-kultural. Dengan kata lain, konsep belajar humanistik mem7
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetensi dan Keadilan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. viii.
Nurul Anam
iliki peran yang sangat signifikan dan memiliki tujuan untuk
pengangkatan manusia ke arah insani atau lebih tegas lagi “memanusiakan manusia”.8
Di dalam konsep belajar, Carl R. Rogers sebagai seorang ahli psikologi humanistik di dunia pendidikan mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik. Prinsipprinsip tersebut meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar
untuk perubahan.9 Dengan demikian, kelas yang ada di dalam
lembaga pendidikan seharusnya cerminan masyarakat yang lebih
luas dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar kehidupan
nyata. Dalam proses belajar pendidik hendaknya membangun
lingkungan sosial belajar yang dicirikan dengan prosedur demokrasi dan proses ilmiah. Tanggung jawab pendidik adalah memotivasi peserta didik agar belajar secara kooperatif dan untuk
memikirkan hal-hal penting di tengah-tengah masyarakat nanti.
Di samping upaya pemecahan masalah di dalam kelompok kecil
mereka, peserta didik belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui
interaksi setiap hari di antara mereka.10
Untuk mempermudah pendidik menerapkan konsep belajar
yang humanistik, pendidik harus menggunakan metode-metode
pembelajara yang sesuai dengan semangat dan prinsip-prinsip
belajar humanistik. Menurut Ratna Syifa’a Rachmahana11 banyak
sekali metode-metode pembelajaran yang merupakan aplikasi
dari konsep belajar humanistik, di antaranya adalah sebagai berikut:
8
Sunhaji, Paradigma Pendidikan Kritis: Menuju Humanisasi Pendidikan,
Insania: Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan P3M STAIN Purwokerto,
Vol. 13, No. 1, 4 Jan-Apr 2008, h. 114.
9
Ratna Syifa’a Rachmahana, Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam
Pendidikan, El-Tarbawy: Jurnal Pendidikan Islam, No. 1. Vol. I. 2008, h.
101.
10
Burhanuddin, Pembelajaran Humanistik…, h. 52.
11
Ratna Syifa’a Rachmahana, Psikologi Humanistik…, h. 107-114.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
a. Open Learning (Pembelajaran Terbuka)
Pembelajara Terbuka adalah suatu metode yang
memberikan kesempatan kepada murid untuk bergerak
secara bebas di sekitar kelas dan memilih aktivitas belajar
mereka sendiri. Guru hanya berperan sebagai pembimbing.
Ciri utama dari proses ini adalah murid bekerja secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil.
b. Student Centered Learning (Belajar yang Terpusat pada
Siswa)
Student Centered Learning atau disingkat SCL merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan peserta didik
secara aktif dan mandiri, serta bertanggung jawab atas
pembelajaran yang dilakukan. Dengan SCL peserta diharapkan mampu mengembangkan ketrampilan berpikir
secara kritis, mengembangkan sistem dukungan sosial untuk pembelajaran mereka, mampu memilih gaya belajar
yang paling efektif dan diharapkan menjadi life-long learner
dan memiliki jiwa entrepreneur.
2. Problematika Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Konsep belajar dan pembelajaran yang menindas merupakan suatu bentuk proses yang tidak menghargai manusia sebagai
peserta didik yang memiliki martabat dan hak asasi yang sama
untuk merasakan pendidikan yang berkualitas. Proses itu cenderung memperlakukan peserta didik menjadi sebuah individu yang
pasif. Dari posisi peserta didik seperti ini, proses belajar itu
cenderung sewenang-sewenang dalam setiap mengambil dan
menjalankan keputusan. Dengan kata lain, proses belajar dan
pembelajaran yang menindas sama saja dengan proses yang disebut “dehumanistik”. Proses belajar dan pembelajaran seperti ini
telah merusak sendi-sendi pendidikan di Indonesia.
Indikasi-indikasi realistis proses belajar dan pembelajaran
yang mengarah pada pola belajar seperti itu banyak sekali. Salah
Nurul Anam
satu indikasinya, yaitu masih berorientasi pada teacher oriented.
Walaupun konsep belajar dan pembelajaran di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu seperti
Sisdiknas, kurikulum dan sebagainya, tetapi di dalam proses belajar dan pembelajarannya, sebagian dari pendidik di Indonesia
masih berorientasi pada proses belajar yang teacher oriented
dengan metode ceramah sebagai metode pembelajarannya. Pendidik sebagai pusat orientasi dari proses belajar yang berlangsung
dan peserta didik sebagai “pendengar setia” atau pasif. Pola belajar seperti ini akan mengakibatkan peserta didik sulit mengembangkan potensi yang dimilikinya. Peserta didik yang hanya dijadikan objek tersebut tidak akan menjadikan peserta didik lebih
aktif, inofatif dan kreatif di dalam proses belajar. Kemampuan,
minat dan bakat yang seharusnya diapresiasikan dengan sempurna menjadi terhambat karena otoritas pendidik yang tidak menjadikan peserta mandiri.
Keadaan seperti ini diperparah lagi dengan peran dan perilaku negatif pendidik yang otoriter tersebut di dalam proses belajar. Menurut Mulyasa12 ada tujuh peran dan perilaku negatif
yang sering dilakukan pendidik dan ironisnya hal tersebut sering
dilakukan berulang-ulang dan tidak disadari oleh para pendidik
(salah kaprah). Tujuh kesalahan tersebut yaitu mengambil jalan
pintas dalam proses belajar, menunggu peserta didik berperilaku
negatif, menggunakan destructive discipline, mengabaikan perbedaan peserta didik, merasa paling pandai, tidak adil (diskriminatif), dan memaksa hak peserta didik.
Di saat kondisi belajar seperti itu, out put peserta didik yang
berkualitas menjadi sebuah impian yang tidak akan pernah terealisasi. Prose belajar hanya akan mencetak out put peserta didik
yang tidak kritis, kreatif, kompetitif dan relevantif terhadap
perkembangan zaman yang sangat cepat ini. Kondisi ini harus
12
M. Walid, Mengajar, Profesi Atau Seni, Draf Buku, 2009, 7-15.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
menjadi sebuah perhatian dari semua pihak, karena apabila
keadaan ini tidak cepat diatasi, maka jangan harap Negara Indonesia menjadi sebuah negara yang maju dan berperadaban tinggi.
C. Profil Singkat Paolo Freire dan K.H. Wahid Hasyim
1. Paolo Freire
Freire dilahirkan di Recife, Brasil pada 19 September 1921. Ia
berasal dari keluarga kelas menengah yang oleh karena keadaan
ekonomi nasional yang buruk saat itu, membuatnya juga merasakan apa artinya kekurangan dan kelaparan. Ia mempunyai latar
belakang pendidikan di bidang hukum dan sempat berkarier dalam jangka waktu yang pendek sebagai seorang pengacara.
Kemudian ia menjadi guru bahasa Portugis selama 6 tahun (19411947). Sekitar tahun 1944 ia menikah dengan seorang guru bernama Elza Maia Costa Olievera. Pernikahan nilah yang memantapkan pergeseran interesnya dari bidang hukum ke bidang pendidikan.
Pada tahun 1964 terjadi kudeta militer di Brasil dan ia dihukum dan diasingkan. Ia memulai masa lima belas tahun pembuangannya dan tinggal untuk sementara waktu di Bolivia, Chili,
dan Jenewa. Pada tahun 1979, Freire kembali ke Brasil dan
menempati posisi penting di Universitas Sao Paulo. Tahun 1988 ia
ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan untuk kota Sao Paulo.
Freire meninggal pada 2 Mei 1997, dalam usia 75, akibat penyakit jantung. Selama hidupnya, ia menerima beberapa gelar
doktor honoris causa dari berbagai universitas di seluruh dunia.
Ia juga menerima beberapa penghargaan, di antaranya:
UNESCO’s Peace Prize tahun 1987, dan dari The Association of
Christian Educators of the United States sebagai The Outstanding
Christian Educator, pada tahun 1985.
2. K. H. Wahid Hasyim
Pada tanggal 1 Juni 1914 M., K.H. Abdul Wahid Hasyim lahir
dari pasangan KH. M. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah. Sejak
Nurul Anam
kecil Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng. Setelah lulus,
Wahid menjadi santri kelana, salah satunya belajar di Pondok Siwalan Panji Sidoarjo dan Pesantren Lirboyo Kediri. Tahun 1929
dia kembali ke pesantren Tebuireng.
Setelah pulang dari tanah suci, Wahid terjun ke masyarakat
dan membantu ayahnya mengajar, menyusun kurikulum, menulis surat balasan dan mewakili ayahnya menghadiri pertemuan
dengan para tokoh. Di saat itu, Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar di Tebuireng, seperti mengusulkan Madrasah
Nidzamiyah. Awalnya ditolak, tetapi akhirnya diterima oleh
ayahnya karena 70% kurikulumnya berisi materi pelajaran umum.
Pada Tahun 1947, Wahid Hasyim diangkat menjadi pemimpin
pesantren Tebuireng setelah ayahnya meninggal dunia.
Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS,
dia diangkat menjadi Menteri Agama selama tiga kali kabinet,
yakni Kabinet Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman. Selama menjabat, Wahid Hasyim mengeluarkan beberapa keputusan, yaitu: 1)
mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950,
yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta; 2) mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda Aceh,
Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta; dan sebagainya.
D. Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik Paolo Freire
dan K.H. Abdul Wahid Hasyim
1. Konsep Belajar Humanistik
a. Pengertian
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
Menurut Paulo Freire13 belajar merupakan suatu proses yang
berorientasi pada upaya untuk membebaskan para peserta didik
sebagai objek yang ditindas oleh guru. Peserta didik diberi
kebebasan yang luas untuk berfikir kritis dan mendapatkan
pengetahuan agar dirinya mampu mengembangkan segala potensi kecerdasan yang dimilikinya. Pendidik dan peserta didik yang
bersama-sama mengamati realitas. Keduanya berposisi sebagai
subyek. Tidak saja dalam tugas menyingkap realitas itu untuk
dapat mengetahuinya secara kritis, tetapi juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan itu. Ketika mereka memperoleh
pengetahuan tentang realitas ini melalui pemikiran dan kegiatan
bersama, mereka menyadari dirinya sebagai pencipta kembali
pengetahuan yang tetap.
Senada dengan pendapat di atas, secara implisit K.H. Abdul
Wahid Hasyim14 berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses
yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk
melakukan proses pembentukan kemandirian dalam mencari,
memahami dan mempraktekkannya. Pendapat Wahid Hasyim ini
tampak jelas di dalam karya tulisnya yang berjudul “Abdullah
Ubaid sebagai pendidik”. Di dalam tulisan tersebut juga, Wahid
Hasyim memberikan sebuah posisi terhadap pendidik sebagai
partner bersama dengan peserta didik. Pendidik sebagai suri
tauladan, fasilitator, motivator dan pendorong agar peserta didik
dengan sendirinya mendapatkan ilmu yang sedang dia tempuh.
Proses belajar humanistik menempatkan peserta didik sebagai student oriented. Peserta didik diberi kebabasan untuk
13
Paolo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Penerj. Agung Prihanto dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta:
REäD Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007), h. 191-195; dan Paolo
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Penerj. Tim Redaksi, (Jakarta: LP3ES,
2008), h. 50.
14
Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h. 118.
Nurul Anam
mengembangkan potensi-potensi kecerdasan yang dimilikinya.
Setiap peserta didik memiliki kecenderungan untuk mengembangkan potensi kecerdasan masing-masing. Perbedaan tersebut
tidak boleh dipasung karena perbedaan itu adalah fitrah. Apabila
guru mampu mensinergikan dengan baik, maka perbedaan itu
akan menciptakan suatu kondisi proses belajar yang variatif dan
lebih bermakna.
Di dalam perspektif Paolo Freire15 belajar pada hakekatnya
merupakan proses untuk mendapatkan pengetahuan, skill atau
keterampilan dan sikap. Dalam proses pembelajarannya peserta
didik harus memakai pendekatan ilmiah dalam berdialektika
dengan dunia sehingga dapat menjelaskan realita secara utuh dan
benar. Dalam konteks ini dibenarkan adanya sintesis pengetahuan
guru dan siswa melalui dialog. Peran guru adalah memaparkan
masalah tentang situasi eksistensi yang dikodifikasi untuk membantu siswa agar memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap
realitas. Secara filosofis, menempatkan guru sebagai mitra, fasilitator, teman siswa dalam mencari dan berdialog dari pada hanya
memindahkan informasi yang harus diingat oleh siswa.
Selain berperan seperti itu, pendidik memberikan keluasan
kepada peserta didik untuk berkreasi. Dalam hal ini, pendidik
tidak memberikan ruang yang lebar lahirnya mental meminta
ilmu pengetahuan atau mendidik peserta didik untuk tidak
menunggu “dituangkan” ilmu di dalam diri peserta didik. Peserta
didik diberikan kesempatan untuk menciptakan kesadaran akan
kemampuannya yang besar dan kepercayaan diri yang tertanam
dalam dirinya.16
b. Landasan Filosofis
Secara filosofis, menurut Robert W. Pazmiño pendidikan
humanistik Paolo Freire banyak dipengaruhi oleh aliran filsafat
15
16
Burhanuddin, Pembelajaran Humanis…, h. 53.
Mohammad Rifai, Wahid Hasyim…, h. 118.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
fenomenologi, personalisme, eksistensialisme, marxisme dan
rekonstruksionisme.17 Alirah pemikiran rekonstruksionisme sangat mempengaruhi pemikiran cemerlangnya. George R. Knight18
menyatakan ada beberapa prinsip utama dari rekonstruksionisme, yang intinya adalah: peradaban dunia sedang berada dalam
krisis di mana solusi efektifnya adalah penciptaan suatu tatanan
sosial yang menyeluruh; proses belajar adalah salah satu agen
utama untuk melakukan rekonstruksi terhadap tatanan sosial;
dan metode pembelajaran harus didasarkan pada prinsip-prinsip
demokratis yang bertujuan untuk mengenali dan menjawab tantangan sosial yang ada. Dari ketiga prinsip ini, sekolah bukanlah
sebagai transmitor (penyampai) kebudayaan yang bersifat pasif,
tetapi sebagai agen yang menjadi pionir yang aktif dalam
melakukan reformasi sosial. Hal ini terlihat secara jelas dalam
pemikiran Freire.
Menurut Freire, proses belajar seharusnya diorientasikan pada proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan.
Proses belajar yang humanis bukan proses transformasi yang
mengasingkan ilmu pengetahuan, namun merupakan proses yang
otentik untuk mencari ilmu pengetahuan guna memenuhi hasrat
keinginan peserta didik dan pendidik dengan kesadaran untuk
menciptakan ilmu pengetahuan baru.19 Dengan kata lain, proses
belajar merupakan proses penyadaran yang mengarah pada konsep pembebasan dinamis dan pada apa yang disebutnya sebagai
“kemanusiaan yang lebih utuh”. Hasil dari proses ini disebut conscientizacao, atau tingkat kesadaran di mana setiap individu mam-
17
Wahyu Pramudya, Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire: antara
Banking Concept of Education, Problem Posing Method, dan Pendidikan
Kristen di Indonesia. Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan, 2/2, Oktober
2001, h. 261.
18
Ibid. h. 262. Selengkapnya lihat George R. Knight, Philosophy of Education, (Michigan: Andrew University Press, 1989), h. 116-119.
19
Paolo Freire, Politik Pendidikan…, h. 191-192.
Nurul Anam
pu melihat sistem sosial secara kritis.20 Lebih lanjut, Daniel
Schipani21 menjelaskan bahwa konsientasi dalam pemahaman
Freire adalah:
“. . . denotes an integrated process of liberative learning and
teaching as well as personal and societal transformation.
Conscientization thus names the process of emerging critical
consciousness whereby people become aware of the historical
forces that shape their lives as well as their potential for freedom and creativity; the term also connotes the actual movement toward liberation and human emergence in persons,
communities, and societies.”
Penjelasan di atas mendeskripsikan bahwa konsientasi bertujuan untuk melakukan dekonstruksi terhadap proses dehumanisasi. Bagi paolo Freire dehumanisasi bersifat mendua, dalam
pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga
atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat
manusia sejati, mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, karena mereka
dibuat tidak berdaya dan dibenamkan ke dalam “kebudayaan
bisu” (submerged in the culture of science). Sedangkan minoritas
kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai
hakekat keberadaan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi manusia sesamanya.
Semangat filosofis pendidikan Paolo Freire di atas juga dimiliki oleh K.H. Abdul Wahid Hasyim. Secara filosofis, pemikiran
humanistik Wahid Hasyim dipengaruhi oleh filsafat ketuhanan
pada khususnya dan falsafah Pancasila pada umumnya. Hal ini
20
William A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paolo Freire,
Penerj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 3.
21
Daniel Schipani, “Liberation Theology and Religious Education” dalam
Theologies of Religious Education, (ed. Randolph Crumph Miller; Birmingham: Religious Education, 1996), h. 307-308.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
dapat dilihat salah satunya dari karya Wahid Hasyim yang berjudul, “Pendidikan Ketuhanan”, “Kemajuan Bahasa, Berarti
Kemajuan Bangsa” dan “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik”.
Menurut Muhammah Rifai22 Wahid Hasyim menekankan pentingnya filsafat ketuhanan sebagai dasar merancang proses belajar
yang humanistik. Nilai-nilai ketuhanan perlu ditanamkan sebagai
nilai perjuangan atau ruh proses belajar agar semangat proses
belajar tidak keluar dari batas-batas tuntunan agama dan bernilai
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih mulia dan
bermartabat.
Selain itu, pendidikan humanistik di Indonesia harus berlandaskan pada falsafah Pancasila agar manusia Indonesia
berkarakter Indonesia dan kebal terhadap segala bentuk dominasi
kolonialisme baru dari Barat yang akan meruntuhkan eksistensi
Bangsa Indonesia. Misi ini sesuai dengan konsep generik pendidikan yang mengindonesia yaitu pendidikan yang
menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya; yang mampu memanusiakan manusia, membudidayakan dan mengindonesiakan
anak bangsa; yang menuntun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berlandaskan Pancasila.23
Salah satu kontribusi pemikiran Wahid Hasyim untuk
mewujudkan cita-cita falsafah Pancasila tersebut adalah mendidik
manusia Indonesia untuk selalu bangga berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan salah satu hal yang dapat memperkuat
karakter bangsa. Tidak hanya bangsa Indonesia, namun semua
bangsa di dunia juga memperlihatkan bagaimana bahasa menunjukkan kekuatan sebuah bangsa. Dari bahasa inilah, masyarakat
Mohammad Rifai, Wahid Hasyim…, h. 121.
Gunawan, Rangkuman Isi Buku: Menuju Jati Diri Pendidikan Yang
Mengindonesia, dalam buku, Menuju Jati Diri Pendidikan Yang
Mengindonesia, (Yogyakarta: Komite Rekonstruksi Pendidikan Daerah
Istimewa Yogyakarta bekerja sama dengan Gadjah Mada University Press,
2009), xi-xiii.
22
23
Nurul Anam
Indonesia bersatu untuk memperjuangkan kemerdekaan. Untuk
itu, di dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, manusia Indonesia harus bangga berbahasa Indonesia dan selalu
meningkatkan belajar bahasa yang baik dan benar.24 Bagaima
dengan bahasa asing?, Wahid Hasyim bukan menafikan bahasa
asing untuk dipelajari, tetapi dalam hal ini bahasa Indonesia menjadi bahasa yang harus dinomorsatukan untuk dipelajari.
2. Konsep Pembelajaran Humanistik
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa bagi Paolo
Freire, proses belajar senantiasa merupakan tindakan politik, baik
untuk mempertahankan status quo ataupun untuk menciptakan
perubahan sosial. Menurutnya, kedua kecenderungan tersebut
terlihat dengan jelas melalui pengamatan yang seksama terhadap
metode pembelajaran di dalam kelas. Mereka yang menggunakan
pembelajaran sebagai alat untuk mempertahankan status quo
menerapkan “gaya bank” dan mereka yang ingin menciptakan
perubahan sosial menerapkan “hadap-masalah”.
Menurut Freire dalam konsep pembelajaran “gaya bank”.
Pendidik menampilkan diri dihadapan peserta didik sebagai
orang yang berada pada pihak yang berlawanan; dengan
menganggap peserta didik mutlak bodoh dan mengukuhkan
keberadaan dirinya sebagai sosok yang paling pintar. Pembelajaran “gaya bank” memelihara dan bahkan mempertajam kontradiksi antara pendidik dan peserta didik melalui cara-cara dan kebiasaan-kebiasaan: pendidik mengajar, peserta didik diajar; pendidik berfikir, peserta didik difikirkan; pendidik bercerita, peserta
didik mendengarkan; dan sebagainya.25
Setidaknya terdapat tiga asumsi yang melatarbelakangi konsep pembelajaran “baya bank”. Pertama, pemahaman yang keliru
24
25
Mohammad Rifai, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953…h. 119.
Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas..., h. 53-54.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
tentang manusia sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang
bertindak. Kedua, adanya dikotomi antara manusia dan dunia:
seorang manusia semata-mata ada di dunia dan bukan bersama
dengan dunia atau manusia lainnya; seorang manusia hanyalah
penonton dan bukan re-kreator. Ketiga, manusia adalah makhluk
hidup yang dapat diatur dan dikuasai sepenuhnya.26 Dengan
demikian, pembelajaran yang melalui kebiasaan-kebiasaan seperti
di atas akan mencerminkan bahwa siswa yang baik bukanlah
yang menampakkan keraguannya atau ingin mengetahui alasan
di balik fakta, atau yang selalu menolak dijadikan obyek pembelajaran; namun siswa dikatakan baik bila ia penurut, meninggalkan
cara berpikir kritis, mematuhi aturan yang sudah ada, dan
beranggapan bahwa mejadi seekor ‘binatang’ itu baik.27
Untuk mengatasi permasalah pembelajaran seperti itu, maka
guru harus menerapkan metode pembelajaran “hadap-masalah”.
Menurut Freire28 pembelajaran “hadap-masalah” adalah sikap
revlusioner terhadap masa depan dan menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi makhluk yang
tidak pernah sempurna dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Manusia mengetahui bahwa dirinya adalah
makhluk yang tidak pernah selesai dan mereka sadar akan ketidak sempurnaan mereka.
Daniel S. Schipani29 berpendapat bahwa metode pembelajaran “hadap-masalah” yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pembelajaran hadap-masalah. Manusia
Wahyu Pramudya, Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire…, h. 263.
Paolo Freire, Politik Pendidikan…, h. 196.
28
Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas..., h. 70-71.
29
Pendapat ini dikutip oleh Marthen Manggeng, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, Intim: Jurnal Teologi Kontekstual, Edisi No. 8, Semester Genap 2005, h.
42. Selengkapnya lihat Daniel S. Schipani, Religious Education Encounters
Liberation Theology, (Alabama: Religious Education Press, 1988), h. 13.
26
27
Nurul Anam
tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi
ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia.
Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada peserta didik
supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang
demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Menurut William A. Smith, Freire membagi tiga tingkatan
kesadaran manusia, yaitu:
a. kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat
berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri
kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di
bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
b. kesadaran naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan
untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi
masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi
bukan dialog.
c. kesadaran kritis. Kesadaran kritis ditandai dengan
kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri
dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu
merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.30
Bagi Freire31 metode pembelajaran “hadap-masalah” merupakan suatu proses praksis pembebasan yang manusiawi menuju
manusia yang memiliki kesadaran kritis. Kesadaran kritis ini adalah bekal bagi manusia untuk melawan dominasi dehumanistik.
30
31
William A. Smith, Conscientizacao…, h. 54-101
Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas..., h. 73.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
Untuk tujuan itu, pendidikan ini mendorong para pendidik dan
peserta didik untuk menjadi subyek dari proses pendidikan
dengan membuang ototarianisme serta intelektualisme yang
mengasingkan. Hasil yang diharapkan dari pendidikan hadapmasalah dari perspektif Freire ini adalah peserta didik diharapkan
tidak demikian saja menerima keberadaannya, tetapi berani untuk
secara kritis mempertanyakan keberadaannya, bahkan mengubahnya. Pendidikan hadap-masalah dianggap berhasil ketika
murid tidak menjadi penghafal informasi, tetapi ketika ia tahu
dengan kritis informasi yang dimilikinya, apa kaitan informasi itu
dengan dirinya, serta bagaimana memanfaatkannya untuk
melakukan suatu perubahan.32
Metode pembelajaran yang humanis juga ditawarkan oleh
K.H. A. Wahid Hasyim. Metode pendidikan Wahid Hasyim ini
lebih praksis dibandingkan metode pembelajaran ala Paolo Freire
tentang metode pembelajaran hadap-masalah. Melalui artikel
yang berjudul “Abdullah Ubaid sebagai Pendidik”, Wahid
Hasyim ingin menyampaikan pesan bahwa metode pendidikan
ala Abdullah Ubaid merupakan cerminan yang harus ditauladani.
Artikel tersebut dimulai dengan menceritakan bagaimana Wahid
Hasyim menerima tamu bernamama Abdullah Ubaid bersama
dua anaknya. Di sela-sela pertemuan ini kemudian terjadi suatu
kenyataan proses pembelajaran yang sangat mengesankan meskipun tidak terjadi dalam pembelajaran formal yang penuh
dengan berbagai aneka ragam media pembelajaran untuk menciptakan suasana yang mendukung proses pembelajaran.
Pendidikan yang sangat berkesan dan bermakna ini dimulai
dengan hidangan minuman teh dari tuan rumah yang diberikan
kepada tamu, baik kepada Abdullah Ubaid maupun kepada
kedua anaknya yang masih kecil. Di sela-sela obrolan Wahid
Hasyim dan Abdullah Ubaid, salah satu anak Abdullah Ubaid
32
Wahyu Pramudya, Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire…, h. 265.
Nurul Anam
ingin meminum teh, Abdullah Ubaid berkata kepada anaknya,
“Itu air tehnya sudah tersedia, minumlah”. Si anak lalu berkata
bahwa airnya masih panas. Sang bapak menjawab agar air teh itu
dituangkan ke piring cangkir. Si anak menyatakan ia takut nanti
jika air tehnya tumpah. Si bapak menjawab,”Tumpahpun tidak
apa-apa, toh yang tuan rumah (Wahid Hasyim) tidak akan marah,
bukankah begitu saudara?”. Tanpa berpikir panjang, Wahid
Hasyim menjawab, “Tidak jadi apa”.
Sesudah mendapatkan idzin dan toleransi dari sang tuan rumah, si anak dengan berhati-hati segera mungkin menuangkan
air tehnya ke piring dan membiarkan teh yang panas itu terasa
dingin. Beberapa saat kemudian, si anak itu minta tolong lagi
kepada bapaknya, “Bapak, tolonglah minumkan air tehnya ini
kepada saya”. Si bapak dengan penuh bersahaja menjawab, “ Minumlah sendiri, engkau sudah pintar meminum, jangan takut
akan tumpah.” Si anak menjawab, “Kalau tumpah nanti pakaian
akan jadi kotor, jika kotor nanti akan diganti yang bersih.” Pada
waktu itu, Abdullah Ubaid sudah menyediakan pakaian ganti
untuk si anak kesayangannya tersebut. Akhirnya, anak itu berhasil melalui proses pendidikan itu dengan mulus, yakni air teh
yang diminum si anak tidak tumpah dan si anak merasakan hasil
perjuangan yang ia rasakan sendiri baik rasa tehnya yang manis
dan pengetahuan bagaimana cara meminum teh yang masih
panas.33
Bagi Wahid Hasyim, metode pembelajaran ala Abdullah
Ubaid memberikan inspirasi dan motivasi bagaimana cara mendidik yang baik dan benar. Lebih-lebih dalam hal ini cara pendidik mendidik anak kecil yang masih butuh bimbingan dari
orang tuanya. Anak kecil merupakan masa keemasan yang harus
33
Kisah Ini bisa dilihat di dalam artikel K.H. Wahid Hasyim, Abdullah
Ubaid Sebagai Pendidik, Suluh NU, Agustus 1941, Th. I No.5; dan juga
Mohammad Rifai, Wahid Hasyim…, 117-118.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
diperhatikan perkembangannya oleh para pendidik. Menurut
Wiji Hidayati dan Sri Purnami perkembangan masa anak-anak
awal sangat kritis bagi perkembangan berikutnya. Dari perspektif
psikodinamika, masa kanak-kanak awal sangat menentukan
perkembangan kepribadian pada usia dewasa. Stimulasi yang
positif dalam bentuk bimbingan, latihan dan pemberian pengalaman akan sangat membantu anak mencapai tahap perkembangan
optimal pada setiap asepek perkembangannya.34
Selain itu, menurut Muhammad Rifai35 hikmah di balik
metode pembelajaran ala Abdullah Ubaid bagi Wahid Hasyim
adalah terdapat suri teladan untuk mendidik anak secara sederhana, tetapi masuk dalam kesadaran si anak. Si anak diajarkan
kemandirian sejak kecil dengan tidak memberi ruang yang lebar
bagi lahirnya mental meminta. Akan tetapi, menciptakan
kesadaran akan kemampuannya yang besar dan kepercayaan diri
yang tertanam dalam dirinya. Di dalam metode pembelajaran ala
Abdullah Ubaid juga mendeskripsikan cara untuk mendidik anak
agar menjadi sosok yang berani, merdeka dan memiliki kebebabasan untuk membangkitkan dalam dirinya bahwa dirinya bisa
asal terus berusaha untuk mencapai yang diimpikannya. Si anak
dijauhkan dari rasa takut bersalah ketika melakukan kesalahan
karena setiap manusia di dunia ini pasti akan melakukan kesalahan.
E. Penutup
Konsep belajar dan pembelajaran humanistik yang digagas
oleh Paolo Freire dan K.H. Abdul Wahid Hasyim memberi warna
34
Wiji Hidayati dan Sri Purnami, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta:
Teras, 2008), h. 124-125.
35
Mohammad Rifai, Wahid Hasyim…, 118-119.
Nurul Anam
tersendiri dan kontribusi besar bagi pendidikan di Indonesia untuk mengatasi proses yang dehumanistik. Dari konsep kedua
tokoh tersebut, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaannya meliputi: 1) pengakuan terhadap keberadaan fitrah
manusia, yakni manusia memiliki kemampuan atau potensi dalam dirinya untuk berkembang; 2) konsep belajar humanistik,
yakni menjadikan proses belajar sebagai media pembentukan
manusia seutuhnya, dan pembebasan sebagai tujuan proses belajar; 3) sama-sama memandang pendidik sebagai seseorang yang
mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau tuntunan,
juga menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didik; 4) memandang peserta didik sebagai makhluk yang memiliki potensi
untuk memahami diri sendiri menurut kodratnya.
Adapun perbedaannya meliputi: 1) konsep belajar Freire
ingin mengkonstruk suatu teori yang berorientasi pada upaya untuk keluar dari belenggu penindasan dengan berlandaskan pada
filsafat rekonstruksionisme. Wahid Hasyim, lebih mengutamakan
nilai religius, kebudayaan atau budi pekerti dengan berlandaskan
pada filsafat Ketuhanan pada khususnya dan falsafah Pancasila
pada umumnya; dan 2) konsep pembelajaran yang digunakan
Freire yaitu metode pembelajaran hadap masalah. Metode ini
berorientasi pada upaya untuk mengembangkan peserta didik
berfikir lebih kritis dalam menghadapi masalah dan memecahkan
masalah. Sedangkan Wahid Hasyim menggunakan metode ala
Abdullah Ubaid yang bersifat membimbing dan menanamkan
kemandirian pada peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya secara utuh.
Beberapa nilai yang menjadi titik tekan dari pemikiran Freire
dan Wahid Hasyim yang bisa dihubungkan ke dalam konsep
belajar dan pembelajaran di Indonesia yaitu: pertama nilai-nilai
kemanusiaan, yaitu bahwa manusia sebenarnya mempunyai potensi untuk berkembang dan berubah. Kedua, nilai persamaan
atau kesetaraan, yakni proses belajar dan pembelajaran seha-
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
rusnya memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi
dalam proses belajar dan pembelajaran. Ketiga, ketiganya
menginginkan peserta didik dapat aktif berpartisipasi atau ikut
andil dalam berjalannya proses belajar dan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Burhanuddin, Pembelajaran Humanistik: Sebauah Alternatif Konsep
Pembelajaran Memanusiakan Manusia, Telabang: Jurnal
Kependidikan Volume 1, Nomor 1, Januari-Juni 2008.
Freire, Paolo, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Penerj. Agung Prihanto dan Fuad Arif Fudiyartanto, Yogyakarta: REäD Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
2007.
-----------------, Pendidikan Kaum Tertindas, Penerj. Tim Redaksi,
Jakarta: LP3ES, 2008.
Gunawan, Rangkuman Isi Buku: Menuju Jati Diri Pendidikan Yang
Mengindonesia, dalam buku, Menuju Jati Diri Pendidikan Yang
Mengindonesia,
Yogyakarta:
Komite
Rekonstruksi
Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta bekerja sama
dengan Gadjah Mada University Press, 2009.
Hasyim, Abdul Wahid, Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik, Suluh NU,
Agustus 1941, Th. I No.5.
------------------------------, Kemajuan Bahasa, Berarti Kemajuan Bangsa,
Suara Ansor, Rajab Th. No. 3.
------------------------------, Pendidikan Ketuhanan, Mimbar Agama, Tahun I No.5-6, 17 Nopember, 17 Desember 1950.
Nurul Anam
Hidayati, Wiji dan Sri Purnami, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Teras, 2008.
Knight, George R., Philosophy of Education, Michigan: Andrew
University Press, 1989.
Manggeng, Marthen, Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo
Freire dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, Intim: Jurnal
Teologi Kontekstual, Edisi No. 8, Semester Genap 2005.
Pramudya, Wahyu, Mengenal Filsafat Pendidikan Paulo Freire: antara
Banking Concept of Education, Problem Posing Method, dan
Pendidikan Kristen di Indonesia. VERITAS: Jurnal Teologi dan
Pelayanan, 2/2, Oktober 2001.
Rachmahana, Ratna Syifa’a, Psikologi Humanistik dan Aplikasinya
dalam Pendidikan, El-Tarbawy: Jurnal Pendidikan Islam, No. 1.
Vol. I. 2008.
Rembangy, Musthofa, Pendidikan Transformatif, Yogyakarta: Teras,
2008.
Rifai, Mohammad, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
Sanaky, Hujair AH., Paradigma Pendidikan Islam: Membangun
Masyarakat Madani di Indonesia, Yogyakarta: Satria Insan
Presss Bekerjasama dengan Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia [UII], 2003.
Schipani, Daniel, “Liberation Theology and Religious Education”
dalam Theologies of Religious Education, ed. Randolph
Crumph Miller; Birmingham: Religious Education, 1996.
Schipani, Daniel S., Religious Education Encounters Liberation Theology, Alabama: Religious Education Press, 1988.
Konsep Belajar dan Pembelajaran Humanistik
Perspektif Paolo Freire
Smith, William A., Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paolo Freire,
Penerj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Sunhaji, Paradigma Pendidikan Kritis: Menuju Humanisasi Pendidikan, Insania: Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan P3M
STAIN Purwokerto, Vol. 13, No. 1, 4 Jan-Apr 2008.
ISSN: 1907-4336
Download