PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK TRANSPARANSI: Suatu konsepsi dan aplikasi di Kota Banjarbaru* Mahrus Aryadi** A. Pendahuluan Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia merupakan amanat konstitusi (UUD 1945), yang menegaskan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Jalan satusatunya untuk mencapai tujuan di atas adalah melalui kegiatan pembangunan nasional. Pembangunan tersebut meliputi semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, dan sosial budaya serta pertahanan-keamanan. Hakekat dari pembangunan negara kita adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Menurut Koten dalam INFID (1993), pembangunan adalah suatu proses yang didalamnya anggota masyarakat bisa meningkatkan kemampuan pribadi dan kelembagaan mereka, untuk mengerahkan dan mengelola sumberdaya yang tersedia, demi menciptakan perbaikan-perbaikan mutu kehidupan mereka secara sinambung dan adil, yang sesuai dengan aspirasi-aspirasi mereka sendiri. Lebih lanjut ia menandaskan, pembangunan bukanlah persoalan pertumbuhan atau peningkatan hasil, melainkan transformasi yang merujuk pada keadilan, kesinambungan dan inklusifitas sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat global. Apabila pembangunan tidak mengacu pada hal tersebut, maka akan terjadi konflik yang menghadapkan masyarakat dengan masyarakat dan atau masyarakat dengan negara. Secara jujur harus diakui, bahwa konflik social yang meletus dan meluas sejak tuntutan reformasi di tahun 1998 hanyalah merupakan satu dari banyak “buah” politik dari pemerintah Orba yang sentralistik dan otoriter selama kurun waktu yang cukup panjang. Agar tidak terulang kesalahan tersebut diatas, maka saat ini perlu digalakkan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam mendukung pembangunan nasional, khususnya dalam hal mendukung transparansi pemanfaatan dan pemerataan dana publik. Mengingat masyarakat lokal yang hingga saat ini dalam kenyataannya dari sisi kapasitas tawar (bargaining power) --- akibat keterbatasan “informasi” yang diperoleh dan kesibukan harian untuk ekonomi keluarga --- adalah yang paling lemah, maka kapasitas ini harus ditingkatkan. Konsepsi inilah yang secara luas dikenal dengan upaya pemberdayaan masyarakat (empowering local community), khususnya dalam mendukung transparansi untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance) sebagai bagian dari Negara yang menganut demokrasi, dengan tujuan akhir kesejahteraan masyarakat secara adil. 1 B. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan masyarakat atau masyarakat yang berdaya dalam konteks kekinian adalah masyarakat yang memiliki kepedulian dan kapasitas dalam menetapkan prioritas dan pemanfaatan dana publik yang sangat penting bagi upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Sumodiningrat (1997) dalam Sardjono (2004) mengemukakan, bahwa keberdayaan masyarakat secara umum adalah unsurunsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan hidup; dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuan hidup. Dengan keberdayaan tinggi, masyarakat tidak saja akan mampu mempertahankan hak-haknya (termasuk dalam pengambilan keputusan), terutama dalam berhubungan dengan pemerintah ataupun pihak pengusaha. Berdasarkan pendekatan proses, maka pemberdayaan masyarakat dimulai dari dalam masyarakat sendiri dan selanjutnya dibawa keluar institusi public (Pemerintah Daerah), pihak swasta (perusahaan) dan lembaga-lembaga lainnya. Menurut Whitmore (1998) dalam Sardjono (2004), bahwa pada dasarnya pemberdayaan bukalah sesuatu yang dilakukan suatu pihak ‘untuk’ (for) atau ‘terhadap’ (to) pihak lainnya, akan tetapi pemberdayaan merupakan aktivitas reflektif, yaitu proses yang hanya dapat diawali dan dipertahankan pihak bersangkutan yang menginginkan kapasitas (power) atau penentuan nasib sendiri. Berbagai pihak lainnya hanya membantu dan bekerjasama dalam proses pemberdayaan ini dengan cara menciptakan iklim, hubungan, sumberdaya dan prosedur yang memungkinkan masyarakat mengembangkan kehidupannya. C. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Menurut Himmelman (1994); Sardjono (2004), ada dua kegiatan dasar sebagai strategi pemberdayaan masyarakat yang berbasiskan kolaboratif, yaitu: Pertama, mengorganisir suatu masyarakat dengan dukungan adanya tujuan kerjasama yang ditetapkan oleh masyarakat yang bersangkutan; Kedua, memfasilitasi proses yang menyatukan pihakpihak luar dengan dukungan tujuan masyarakat dimaksud. Pendekatan di atas dapat menjamin keberlangsungan tujuan, proses dan produk kerjasama di dalam masyarakat serta meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menentukan nasib sendiri. Beberapa prinsip kunci yang dapat dilaksanakan dalam pemberdayaan masyarakat secara kolaboratif adalah sebagai berikut: a) Proses diawali dalam masyarakat dan dibantu dengan pengorganisasian masyarakat; diskusi-diskusi diawali dengan menitikberatkan pada asumsi dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut; b) Identifikasi permasalahan masyarakat, meliputi analisis kecendrungan berdasarkan data dan contoh-contoh narasi dari masyarakat lokal. Seluruh cerita dari masyarakat diberi kredibilitas yang sama dalam menetapkan prioritas penanganannya; c) Prioritas-prioritas masyarakat terefleksikan dalam kolaborasi. Organisasi masyarakat memilih wakil-wakilnya untuk bernegosiasi dalam kolaborasi dengan organisasiorganisasi publik, swasta dan NGO strategis di luar masyarakat yang teridentifikasi; d) Negosiasi dengan lembaga-lembaga dan organisasi luar tersebut menghasilkan persetujuan yang akan dilaksanakan secara kolaboratif dengan tujuan yang 2 e) f) g) h) ditetapkan oleh masyarakat, dan dalam proses-proses serta administrasi pemerintahan, dimana kekuatan terbagi secara merata antara masyarakat dan pihak luar; Struktur pemerintah dan adminsitratif termasuk di dalamnya badan pengambil keputusan, panitia eksekutif, kelompok aksi yang akan melaksanakan rencana dan staf yang disetujui oleh masyarakat untuk membantu kolaborasi; Sasaran kegiatan dilaksanakan melalui rencana aksi yang didukung secara penuh oleh masyarakat lokal dan wakil-wakil dari institusi-institusi public, swasta serta NGO dari luar; Kesepakatan untuk penilaian dan evaluasi dalam lingkungan public memberikan kesempatan bagi organisasi masyarakat lokal untuk memantau kemajuan kolaborasi; Adanya control masyarakat terhadap sumberdaya yang dibutuhkan bagi kelangsungan upaya-upaya yang dilakukan setelah masa kolaborasi berakhir. Dari prinsip-prinsip di atas, maka diharapkan ‘kita’ sebagai pihak luar dari masyarakat yang mau memberdayakan diri sendiri haruslah dapat menempatkan diri sesuai dengan fungsi dan kapasitas yang diemban (sebagai penyuluh, pendamping, peneliti, pengusaha atau lainnya). D. Permasalahan Pemberdayaan Masyarakat untuk Transparansi Beberapa masalah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, seperti dikemukan Ndraha (1987) antara lain adalah: a. Terdapat kecendrungan hanya kaum elit komunitas saja yang mampu dan berkesempatan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan kebijakan dan pengambilan keputusan b. Sampai sejauh ini, pembangunan masyarakat belum berhasil sepenuhnya dalam usahanya mendorong perubahan social melalui pemberdayaan masyarakat. c. Hingga saat ini pemerdayaan masyarakat lebih berbau politik, artinya pemberdayaan masyarakat dijadikan alat komunikasi politik dan symbol politik d. Semakin besar komunitas semakin bervariasi kepentingannya, sehingga terdapat kepentingan yang saling bersaing atau kompetitif e. Oleh karena pemberdayaan masyarakat cenderung bekerja menurut model konsensus, artinya hanya kepentingan yang sangat umum sifatnya yang diperhatikan, sementara kepentingan lapisan dan kelompok masyarakat di dalam komunitas, terabaikan. Berdasarkan kegiatan pendampingan terhadap masyarakat Kota Banjarbaru dalam rangka mendukung program Tata Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean Governance), seperti pelatihan, seminar dan FGD (Focus Group Discussion) beberapa permasalahan yang ditemukan dan solusi yang sedang dan akan dilakukan antara lain adalah: 1. Informasi program atau perencanaan pemerintah kota belum menyentuh ke masyarakat, sehingga kepedulian masyarakat terhadap tindak lanjut program tidak tumbuh. Mendorong dan memfasilitasi serta berpartisipasi dalam membuat alat dan sarana informasi agar bisa sampai keakar rumput, seperti pembuatan leaflet, dialog dan lewat media. 3 2. Pelaksanaan Musrenbangdes bersifat “normative” dan “simbolik”, sehingga menumbuhkan sikap apriori disebagian masyarakat terhadap kegiatan tersebut. Memberikan pelatihan dan FGD kepada komponen masyarakat untuk bisa menyadari, memahami dan ikut terlibat dalam kegiatan perencanaan ditiap-tiap fasenya. 3. Keberadaan Ormas seperti Forum RT/RW sudah cukup baik dalam mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat, meskipun dalam tataran komunikasi dan koordinasi sering ditemukan “ketidak-nyambungan” antar pengurus. Menjadi jembatan penghubung antar pengurus Forum RT/RW dan media penerima informasi “terkini” yang ada dimasyarakat. 4. Keinginan tingkat pimpinan (Walikota dan Wakil Walikota) untuk melaksanakan program Tata Pemerintahan yang Baik tinggi, namun pada level pelaksana tidak “nyambung”, sehingga hasilnya tidak sesuai harapan. Melakukan fasilitasi kepada pihak terkait untuk dapat menjadi bagian integral dalam pelaksanaan kegiatan yang telah dicanangkan oleh Walikota/ Wakil Walikota. Dari kesemua uraian di atas, akar permasalahan yang perlu kita atasi bersama adalah rendahnya integritas kita terhadap pembangunan bangsa ini. Demokrasi hanya dapat bermanfaat jika komponen penyusunnya mempunyai integritas yang baik. Pemberdayaan masyarakat hanyalah salah satu usaha untuk membangun integritas masyarakat dalam mendukung pembangunan bangsa dan negara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Demikian tulisan ini kami sampaikan dengan segala keterbatasan. Kepada pelaksana kegiatan kami menghaturkan terima kasih atas kepercayaannya dan semoga bermanfaat. Terima kasih. Banjarbaru, Medio November 2009 * Disampaikan dalam: School of Democracy, dengan tema Pembangunan Demokrasi, Negara Bangsa dan Kesejahteraan Rakyat, dilaksanakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Banjarbaru (FKMB) dengan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Indonesia, 14-15 November 2009, di Banjarbaru **Dewan Pendiri LSM BASTARI, mitra Transparency International Indonesia di Banjarbaru dan Staf Pengajar Fakultas Kehutanan UNLAM. 4