1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Teknologi komunikasi sudah menjadi bagian krusial dalam kehidupan manusia di berbagai tingkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kecepatan dan kemudahan akses internet bagi berbagai lapisan masyarakat. Fasilitas yang tadinya terkesan eksklusif dan hanya berperan sebagai kebutuhan tersier ini semakin merambah aspekaspek terkecil dalam kehidupan manusia, sehingga kebutuhannya menjadi mutlak. Contoh yang paling mudah: pemanfaatan mobile internet device yang sejatinya menunjang produktivitas ‘diturunkan’ menjadi alat untuk chatting dan media sosial, dengan harga yang sangat terjangkau, sehingga masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas sekalipun dapat memilikinya. Sebagai industri yang dituntut untuk selalu memahami dan mengikuti tren di masyarakat, periklanan juga memanfaatkan perkembangan teknologi ini semaksimal mungkin. Bovee (1992:7) pada Taflinger (1996) menyatakan bahwa: “Advertising is the non-personal communication of information usually paid for and usually persuasive in nature about products, services or ideas by identified sponsors through the various media”. Melalui iklan, penjual dapat merancang terlebih dahulu pesan yang akan disampaikan, menguji dan meneliti potensi dari audiens terlebih dahulu. Periklanan dilakukan melalui media berbasis teknologi, maka dapat menjangkau lebih banyak calon pembeli dalam satu waktu. Karena kemudahan, efisiensi dan jangkauannya ini iklan digunakan secara agresif oleh para pemasar untuk menyasar target audiensnya. Teknologi informasi dan komunikasi juga dioptimalkan pemanfaatannya demi penyampaian pesan komersil kepada audiens. Sebagai konsumen produk maupun konsumen media, masyarakat diterpa iklan dari segala arah dan di setiap waktu. Iklan hadir pada saat mereka sedang beristirahat dan menonton acara kesayangan mereka di televisi. Beberapa dari iklan ini terpasang 1 pada jeda waktu (atau area pada media cetak) khusus, dan ada juga yang berusaha lebih agresif dengan menampilkan logo brand atau peletakan produk di dalam konten media yang sedang berlangsung. Saat konsumen ini berhenti mengkonsumsi media dan beraktivitas, iklan akan menghampiri mereka melalui media luar ruang seperti baliho dan banner, menyamarkan bentuk iklan pada media yang unik (unconventional media) hingga ambient ad. Apapun ditempuh dari segala arah demi bisa pesan komersial kepada konsumen. Iklan seolah tidak memberi ruang bagi konsumen untuk bebas darinya. Menurut Walker-Smith (pada Johnson, 2006), secara kasar setiap orang terpapar pada setidaknya 5000 iklan setiap harinya. Lebih lanjut, Walker-Smith juga menyatakan bahwa “It seems like the goal of most marketers and advertisers nowadays is to cover every blank space with some kind of brand logo or a promotion or an advertisement”. Dengan terpaan iklan yang begitu dahsyat ini, para produsen berharap bahwa audiens akan terpersuasi dan berperilaku konsumtif tanpa henti. Sayangnya, perilaku audiens terhadap serbuan iklan ini justru berbanding terbalik dengan harapan dari para pemasang iklan. Audiens cenderung mengambil sikap terhadap pesan komersil yang diberikan kepada mereka, dan sikap ini kebanyakan bersifat negatif (audiens memiliki pemikiran: “aku tidak suka iklan”. Ketidaksukaan ini terwujud dalam perilaku penghindaran iklan, misalnya mengabaikan iklannya (penghindaran kognitif), meninggalkan ruangan (penghindaran fisik) atau mengganti saluran televisi (penghindaran mekanis) (Clancey, 1994 pada Baek dan Morimoto, 2012). Perilaku penghindaran iklan pada media konvensional sudah menjadi fenomena yang sangat besar, sehingga biro iklan dan produsen harus benar-benar menjadikannya pertimbangan saat membuat sebuah iklan. Perilaku penghindaran iklan ini juga mulai ditemukan pada media baru atau Internet. Hasil survei Vizu (2008) menyatakan bahwa 48.3% audiens menganggap bahwa internet adalah media dengan iklan paling mengganggu, dan 35.9% menyatakan bahwa Internet adalah media yang membutuhkan usaha paling banyak 2 untuk menghindari iklannya. Iklan dalam bentuk pre-roll video di situs YouTube misalnya, cenderung dibenci oleh kebanyakan pengguna sehingga hal yang paling mereka nantikan dari penayangan iklan tersebut adalah tombol “skip this ad”. Bahkan pihak YouTube sendiri mengakui bahwa sebelum ada tombol “skip this ad” 50% pengguna lebih memilih untuk sama sekali tidak menonton video yang awalnya ingin mereka tonton (Rodgers, 2009). Fenomena penghindaran iklan sudah menjadi hal yang besar di dunia komunikasi. Banyak riset yang telah dilakukan untuk mencari tahu alasan audiens melakukan perilaku penghindaran, jenis-jenis penghindaran, dampak-dampak negatifnya hingga cara-cara yang dapat ditempuh oleh pemasang iklan agar iklannya tidak dihindari (lihat Speck dan Elliott, 1997; Rumbo, 2002; Barros et al, 2003; Cho dan Cheon, 2004; Kim dan Pasadeos, 2006; Texeira, 2009; Lee dan Morris, 2010; Duff dan Faber, 2011; Baek dan Morimoto, 2012). Kebanyakan riset perilaku penghindaran iklan mengarah pada analisis audiens; bagaimana audiens media konvensional hanya terbatas pada menghindari iklan tetapi tidak bisa berbuat banyak terhadap konten media konvensional yang mereka konsumsi. Mereka bisa mengabaikan konten iklan, mengganti saluran dan meninggalkan ruangan, berhenti mengkonsumsi media tetapi iklan tersebut tetaplah ada. Lain halnya dengan pengguna media baru yang bisa melakukan usaha aktif untuk menghindari iklan. Selain melakukan penghindaran iklan seperti audiens media konvensional, sifat media baru yang interaktif dan lebih memberikan kendali pada penggunanya memungkinkan pengguna untuk melakukan modifikasi terhadap media, sehingga mereka bisa melenyapkan iklan dari media yang sedang mereka gunakan. Misalnya dengan memasang piranti lunak Ad-Block pada peramban (browser) mereka atau membeli aplikasi premium pada mobile internet device agar bisa terbebas dari iklan. Penulis mengasumsikan bahwa keunikan perilaku bermedia pada pengguna media baru dapat berpengaruh terhadap cara mereka menghindari iklan yang ditayangkan pada media tersebut. Riset-riset sebelumnya mengenai perilaku 3 penghindaran iklan tidak mempertimbangkan karakteristik ini, mereka sudah memiliki asumsi awal bahwa pengguna media baru tidak suka iklan sebelum melakukan penelitian, serta hanya berorientasi pada kegiatan mengakses internet melalui peramban (lihat Cho dan Cheon, 2004; Putra dan Herawati, 2013 dan Speck dan Elliott, 1997). Padahal seiring dengan perkembangan teknologi, pemanfaatan media baru sudah merambah ke hal-hal di luar peramban seperti media sosial dan penggunaan mobile internet device. Penulis ingin melakukan pendekatan konstruktivis terhadap masalah ini dan meneliti lebih lanjut mengenai perilaku penghindaran iklan di internet oleh para pengguna mobile internet device. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana perilaku penghindaran iklan dan pesan komersil pada mobile internet device dilakukan?” C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku penghindaran iklan dan pesan komersil oleh pengguna mobile internet device. D. Objek Penelitian Penelitian ini akan membahas tentang perilaku pengguna mobile internet device di Indonesia dalam menerima pesan komersil maka lokus dari penelitian ini adalah penerima pesan. Lebih lanjut, fokus dari penelitian adalah perilaku audiens sebagai dampak dari penerimaan sebuah pesan. Penelitian sebelumnya (lihat Cho dan Cheon, 2004; Putra dan Herawati, 2013) mengenai perilaku penghindaran iklan di media baru hanya berfokus pada pengguna internet yang mengakses internet melalui perangkat lunak peramban pada komputer. Dua penelitian tersebut tidak memasuki ranah pengguna mobile internet device. 4 Sementara menurut data dari eMarketer (2014), diperkirakan ada sekitar 1.75 milliar pengguna mobile internet device di seluruh dunia per tahun 2014, dan jumlah ini akan terus meningkat. Tren periklanan digital yang mencakup media mobile internet device juga terus meningkat, tampak dari nilai periklanan yang mencapai 31 milliar dollar pada tahun 2014. Mengingat signifikansi pengguna mobile internet device dalam periklanan pada media baru, penulis menentukan bahwa objek pada penelitian ini adalah pengguna mobile internet device di Indonesia. E. Manfaat Penelitian Penelitian ini akan bermanfaat bagi: a. Praktisi, sebagai salah satu referensi untuk memetakan perilaku penghindaran iklan di media baru. b. Akademisi, sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih lanjut pada bidang komunikasi pemasaran, media baru dan perilaku konsumen. F. Kerangka Teori 1. Perilaku bermedia pengguna media baru Manusia tidak bisa terlepas dari konsumsi media. Perilaku dalam mengkonsumsi media ini dikenal dengan istilah media habit, atau kebiasaankebiasaan seseorang dalam memanfaatkan media sehari-harinya. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh media yang dikonsumsi, gaya hidup, usia dan banyak hal lainnya. Misalnya media habit seorang pekerja berbeda dengan seorang ibu rumah tangga. Pekerja cenderung mengkonsumsi media di waktu istirahat dan malam hari, sementara ibu rumah tangga akan mengkonsumsi media dalam intensitas yang lebih tinggi. Melalui penelitian media habit, pelaku industri komunikasi pemasaran dapat memetakan aktivitas target audiens berdasarkan konsumsi medianya, misal kapan dan berapa lama ia menonton televisi, membaca surat 5 kabar, mengakses internet lewat komputer, mengakses media sosial, hingga jalan yang dia lewati setiap harinya untuk berkegiatan. Belakangan ini, konsumsi media baru mulai menunjukkan porsi yang cukup signifikan dalam media habit masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan karena harga mobile internet device cenderung menurun dan sebaran jaringan 3G sudah mulai mencakup area-area yang sebelumnya tidak tersentuh (Danova, 2014). Menurut Markplus Insight dan Marketeers (pada Lukman, 2013), Indonesia memiliki 74.6 juta pengguna internet atau sekitar seperempat dari keseluruhan populasinya. Diperkirakan jumlah pengguna ini akan menembus angka 100 juta pengguna pada tahun 2015. 31.7 juta pengguna masuk ke dalam kategori netizen; istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pengguna yang menghabiskan waktu paling tidak tiga jam per hari untuk berinternet, dan 86% pengguna mengakses internet melalui mobile internet device. Di samping itu, Roy Morgan Research (pada eMarketer, 2013) memperkirakan bahwa pada awal tahun 2014, 28.6% pengguna telepon seluler di Indonesia akan beralih ke mobile internet device. Media baru sendiri adalah media yang tidak masuk ke parameter media konvensional: satu arah, tidak interaktif, umpan balik dari audiens tidak diberikan secara langsung, dan audiens yang bersifat pasif. Meskipun sama-sama berangkat dari fungsi untuk memberi informasi, untuk mengedukasi dan memengaruhi opini, tetapi hadirnya media baru yang berbasis internet memberikan ruang partisipasi bagi audiensnya; satu keunggulan yang tidak ditawarkan oleh media konvensional (Khrishnasamy, 2014). Umumnya, media baru memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Berfungsi informatif maupun sebagai sarana komunikasi interpersonal Berbasis komputer dan internet Merupakan konvergensi dari media konvensional Memberi ruang untuk User Generated Content. Mengenai hadirnya media baru, Neuman (pada Sharp, 2001) menyatakan: 6 “We are witnessing the evolution of a universal interconnected network of audio, video, and electronic text communications that will blur the distinction between interpersonal and mass communication and between public and private communication”. Media baru memfasilitasi terjadinya konvergensi beberapa media dan prinsip komunikasi; melalui media baru, pesan dalam bentuk audio, visual maupun teks dapat tersampaikan melalui satu media saja, tidak terpisah seperti media konvensional. Komunikasi massa dan interpersonal seperti tidak memiliki batas yang jelas, demikian pula komunikasi di ranah publik maupun privat. Contohnya penggunaan Twitter, di mana seorang pengguna dapat mengirimkan sebuah cuit yang mengandung teks dan video kepada pengguna lainnya. Meski cuitan tersebut hanya ditujukan pada seorang pengguna lain, tetapi semua orang dapat mengakses pesan tersebut dengan mudah. Menurut Neuman (2001), media baru dapat: • Membuat jarak geografis menjadi tidak berarti. • Meningkatkan volume komunikasi secara signifikan. • Meningkatkan kecepatan berkomunikasi. • Memberikan kesempatan untuk berkomunikasi secara interaktif. • Membuat berbagai bentuk komunikasi yang sebelumnya terpisah untuk menyatu dan terkait satu sama lain. Salah satu ciri khas dari media baru adalah adanya interaktivitas antara audiens dengan media. Menurut Bezjian-Avery, Calder, and Lacobucci (1998), interaktivitas adalah kemampuan untuk mengendalikan informasi. Pada media konvensional, audiens tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan informasi apa yang ingin mereka konsumsi. Mereka hanya bisa menerima apapun yang diberikan oleh media, atau tidak mengkonsumsinya sama sekali. Audiens tidak bisa, misalnya, menginginkan informasi tentang berita terkini dan memperolehnya saat itu juga di televisi, karena program yang berisi berita hanya ditayangkan pada 7 jam yang sudah ditentukan oleh stasiun televisi tersebut. Sebaliknya pada media baru, informasi tersebut dapat diperoleh kapan saja. Audiens hanya perlu untuk mengetikkan kata kunci berita yang diinginkan pada mesin pencari, dan artikel berita tersebut akan segera diberikan kepadanya. Perbedaan interaktivitas ini juga ditemukan pada konteks komunikasi pemasaran. Bezjian-Avery, Calder, and Lacobucci (1998) menyatakan bahwa pada periklanan tradisional, penyampaian pesan bersifat linear/searah dan konsumen terpapar informasi produk secara pasif, sementara pada periklanan interaktif, konsumen secara aktif menjelajahi informasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya media baru merubah cara audiens dalam menerima pesan komersial. Audiens yang tadinya menerima terpaan iklan yang hadir di berbagai media konvensional, sekarang bisa menentukan sendiri iklan apa yang ingin dia terima informasinya. Banyak dari iklan di media baru yang memiliki bentuk menarik seperti permainan video (lihat Chou, 2013) dan situs interaktif sehingga audiens tidak merasa sedang diberi iklan; mereka justru memperoleh pengalaman yang menyenangkan dalam mengakses internet. Interaktivitas ini menyebabkan perbedaan penyebutan istilah penerima pesan antara media konvensional dengan media baru. Penerima pesan pada media konvensional disebut dengan istilah audiens, menunjukkan bahwa mereka adalah pihak yang hanya menerima pesan dan tidak secara aktif memberikan umpan balik yang bersifat langsung kepada pengirim pesan. Audiens juga tidak memiliki kemampuan untuk mengelola pesan dan penerimaannya. Sementara penerima pesan pada media baru disebut dengan istilah user atau pengguna. Istilah ini merujuk pada cara konsumsi audiens media baru yang secara aktif mencari sendiri pesan yang ingin mereka terima, dan memanfaatkan media baru untuk berbagai kebutuhan. Media yang digunakan untuk membaca berita dan membaca situs-situs pendidikan adalah media yang sama yang digunakan untuk menonton video clip musik untuk hiburan, bermain game dan melakukan chatting dengan orang-orang 8 terdekat maupun jauh. Audiens media baru lebih memanfaatkan media baru dengan cara 'menggunakan' daripada 'menerima pesan/mendengarkan'. Stuart (2008) menyatakan bahwa digitalisasi media menyebabkan audiens lebih memiliki kendali dalam bermedia. Pengguna menentukan pesan apa yang ingin dia terima pada saat mengakses media tersebut. Jika pengguna tidak menyukai suatu jenis informasi, maka ia tidak harus mengkonsumsi media tersebut dan bisa mencari informasi lainnya dengan mudah tanpa diperlukan usaha lebih seperti mengganti medianya. Kendali yang disebut Stuart (2008) ini sampai ke titik dimana pengguna (yang diposisikan sebagai audiens) pada akhirnya dapat menggunakan media baru untuk menciptakan kontennya dan saluran medianya sendiri. Fenomena ini mencetuskan istilah user generated content atau UGC. Menurut Rouse (2013), UGC adalah informasi yang dipublikasikan oleh kontributor tidak berbayar pada sebuah website. Informasi ini dapat berupa tulisan, foto, blog, diskusi, tanggapan terhadap polling hingga komentar di media sosial. Contohnya adalah forum-forum online seperti Reddit dan Kaskus, Blog seperti Blogspot dan Wordpress, sarana berbagi multimedia seperti DeviantArt, YouTube dan Soundcloud hingga media sosial seperti Facebook dan Twitter. UGC merupakan karakteristik yang unik dan tidak akan pernah ditemukan di media massa konvensional. Pada contoh website di atas, semua orang awalnya adalah audiens/pengguna yang sama-sama mengkonsumsi pesan. Website tersebut kemudian memberikan ruang bagi para penggunanya untuk menciptakan kontennya sendiri dan diakses oleh pengguna lainnya. Beberapa pengguna YouTube misalnya, menjadi sangat terkenal karena konten dari akun mereka ditonton jutaan pengguna lain dari seluruh penjuru dunia setiap harinya, menjadikan para pengguna ini seperti memiliki stasiun TV sendiri. Brand juga memanfaatkan popularitas pengguna YouTube ini untuk memasang iklan pada saluran mereka. Para pengguna ini telah bergeser posisinya dari audiens menjadi 9 komunikator dan media pada media baru. Sebuah fenomena yang sulit ditemukan dalam skala serupa pada media konvensional. Cho dan Cheon (2004) menyatakan bahwa pengguna media baru memiliki sifat goal oriented, atau pemenuhan tujuan. Ketika mengakses media baru, pengguna tidak melakukannya secara asal; mereka sudah memiliki tujuan dan motivasi penggunaan. Misalnya, pengguna dapat menentukan apakah mobile internet device yang ia miliki akan menjadi media untuk bekerja (diisi dengan aplikasi bisnis dan pekerjaan), informatif (diisi dengan portal berita atau aplikasi pembaca e-book), hiburan (diisi dengan konten hiburan seperti permainan, musik dan video) atau gabungan dari semuanya. Tujuan pengguna dalam mengakses media baru sendiri sesungguhnya tidak berbeda dengan media konvensional. Seperti yang tertera pada penjelasan mengenai Uses & Gratifications Theory, McQuail (1983: 82-83 pada Miller, 2002: 244), menyatakan bahwa ada lima kategori tujuan dalam mengkonsumsi media; informasi (misalnya mencari tahu tentang kejadian terkini di sekitar), identitas personal (misalnya mencari penguatan untuk nilai-nilai personal), integrasi dan interaksi sosial (misalnya berhubungan dengan keluarga, teman dan masyarakat) serta hiburan (misalnya untuk mengisi waktu, melepaskan beban emosional, melarikan diri dari masalah, mencari kenikmatan estetis). Audiens/pengguna, dalam proses konsumsi media, selalu melakukan evaluasi terhadap kepuasan yang mereka peroleh. Kepuasan ini diukur dengan cara membandingkannya dengan ekspektasi sebelum mengkonsumsi media serta kemungkinan pemenuhannya dari media alternatif, jika gagal. Pencarian alternatif ini dilakukan dengan motivasi agar tujuan kepuasan yang dicari pengguna tetap tercapai. Iklan, di sisi lain, selalu berusaha untuk menarik perhatian audiens dari kegiatan apapun yang sedang mereka lakukan. Maka dari itu, dapat dinyatakan bahwa saat audiens mencari kepuasan dengan mengkonsumsi media, iklan hadir untuk menggagalkan pemenuhan tujuan tersebut. Sesuai dengan karakteristik audiens yang sangat menginginkan agar kepuasannya tercapai, mereka akan segera 10 mencari alternatif ketika terpapar iklan saat mengkonsumsi media. Terdapat dua alternatif yang dapat mereka lakukan: mencari media lain, atau menghindari gangguan/iklan. 2. Perilaku penghindaran iklan Menurut Speck dan Elliott (1997), perilaku penghindaran iklan adalah segala usaha yang dilakukan oleh pengguna media untuk mengurangi terpaan konten iklan. Audiens sudah tidak lagi menerima dan mengevaluasi iklan berdasarkan pesan yang dibawa oleh iklan, tetapi juga objek iklan itu sendiri. Dalam konteks pesan komersil, iklan juga dianggap audiens sebagai pesan, sesuai dengan McLuhan (1999) yang menyatakan bahwa medium yang digunakan untuk menyampaikan pesan adalah pesan itu sendiri. Proses penerimaan pesan ini akan menghasilkan sikap dan perilaku audiens terhadap pesan, dalam hal ini ketidaksukaan mereka terhadap iklan. Fenomena ini sudah bukan merupakan hal baru sehingga layak mendapatkan perhatian dari keseluruhan industri periklanan maupun peneliti di bidang komunikasi pemasaran. Untuk membuktikan tingginya fenomena penghindaran iklan ini, biro survei Vizu dan Greg Stuart melakukan survei kepada 2000 responden mengenai alasan mereka dalam menghindari iklan. Survei ini bertujuan untuk mengukur pendapat pengguna internet mengenai sikap mereka terhadap iklan di berbagai media, dan perilaku mereka dalam menghindari iklan. Hasilnya, 62% responden sangat tidak menyukai atau tidak menyukai iklan, 73% menganggap iklan sangat mengganggu, dan 56% menginginkan iklan untuk dilenyapkan sepenuhnya dari kehidupan mereka (Vizu, 2008:2). Sikap negatif yang dimiliki konsumen terhadap gencarnya terpaan iklan menyebabkan mereka untuk mencari cara untuk menghindari iklan. Menurut Speck dan Elliott (1997:61), penghindaran iklan adalah segala tindakan pengguna media untuk mengurangi terpaan konten periklanan. Hal ini salah satunya disebabkan oleh persebaran iklan yang terlalu banyak (Zanot, 1984 dalam Cho dan 11 Cheon, 2004). Contoh dari tindakan ini adalah pengacuhan iklan (penghindaran secara kognitif), meninggalkan ruangan di mana televisi itu berada (penghindaran secara fisik), atau mengganti saluran televisi (penghindaran secara mekanis) (Clancey, 1994). Perilaku penghindaran iklan juga ditemukan pada media konvensional lainnya, misalnya mengganti saluran radio (Heeter dan Greenberg, 1985) dan membalik halaman majalah atau surat kabar yang menampilkan sebuah iklan (Bellamy dan Walker, 1996). Seorang pengguna internet rata-rata mengakses internet selama 60 jam setiap bulannya dan mengunjungi 2.646 situs, artinya mereka terpapar media baru dengan intensitas yang cukup tinggi. Dalam konteks periklanan, internet adalah hasil konvergensi dari media konvensional yang sudah ada, seperti televisi, radio, billboard, majalah dan sebagainya (Miller, 1986). Oleh karena itu, beberapa wujud iklan di internet juga masih berupa iklan di media konvensional, seperti pre-roll video (menyerupai iklan televisi) dan banner dalam berbagai bentuk (menyerupai iklan di media cetak). Iklan di internet juga bisa berbentuk button, banner ads, pop-up ads, paid text links, sponsorships, target sites, superstitials, e-mail ads dan sebagainya (Zeff dan Aronson, 1999 pada Cho dan Cheon, 2004). Tingginya terpaan iklan melalui internet juga didukung oleh kepemilikan mobile internet device yang semakin pesat beberapa tahun terakhir. Mobile internet device adalah telepon selular yang mampu menjalankan berbagai fungsi komputer dalam versi yang disederhanakan. Saat ini kepemilikan mobile internet device meningkat pesat di seluruh dunia. Harga yang semakin terjangkau serta perkembangan teknologi jaringan 3G dan 4G yang semakin maju menjadi alasan utama migrasi pengguna telepon seluler ke mobile internet device. Benda yang dulunya dianggap prestis dan hanya bisa dimiliki oleh golongan tertentu dengan kemampuan ekonomi kuat, sekarang dapat dibeli oleh orang dengan di kelas menengah bawah sekalipun. Business Insider menyatakan bahwa ada dua mobile internet device pada setiap sembilan orang di seluruh dunia, atau 1.4 milliar mobile 12 internet device pada akhir tahun 2013, sementara eMarketer memperkirakan bahwa akan ada 1.75 milliar pengguna mobile internet device pada tahun 2014. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, penggunaan mobile internet device menuntut penggunanya untuk selalu terhubung dengan internet dan menggunakan berbagai aplikasi sesuai dengan kebutuhannya. Aplikasi ini terbagi menjadi dua kategori: gratis dan berbayar. Secara fasilitas dan fitur, perbedaan antara aplikasi gratis dan berbayar tidaklah banyak, akan tetapi aplikasi gratis memberikan ruang iklan di dalamnya. Iklan ini hadir dalam bentuk pop-up pada bagian tertentu di layar, terkadang menutupi keseluruhan layar dengan tombol tutup yang sulit dicari/ditekan. Kehadiran iklan ini secara umum mengganggu pengguna dalam menggunakan aplikasi tersebut, akibatnya beberapa orang memilih untuk membeli versi berbayarnya agar bisa terhindar dari iklan. Pada penggunaan mobile internet device untuk browsing, terpaan iklannya tidak berbeda jauh dengan iklan di internet pada umumnya. Tetapi ketika pengguna mobile internet device ini menggunakan media sosial, iklan hadir dalam bentuk berbeda, yaitu promoted post dan tailored personalized digital advertisement. Promoted post adalah fitur yang memperbolehkan sebuah post tampil lebih sering di news feed Facebook/lini masa Twitter seseorang meski orang tersebut tidak berlangganan pada akun yang dipromosikan. Sekilas iklan ini tidak berbentuk seperti iklan pada ruang tertentu, karena ia tampil pada bagian yang umumnya berisi post dari teman-teman pengguna tersebut. Pengguna baru dapat menyadari bahwa post tersebut adalah iklan ketika melihat tanda berupa frase “promoted”/”promoted tweets”. Bentuk iklan ini disamarkan karena pengguna internet memiliki kecenderungan untuk menghindari apapun yang tampak seperti banner ad di internet (Benway, 1999 pada Cho dan Cheon, 2004). Bentuk informal dari promoted post adalah paid tweets atau twit berbayar. Jika pada promoted post pemasang iklan meminta kepada media sosial (misal Facebook atau Twitter), pada twit berbayar permintaan diajukan kepada akun yang 13 memiliki pengikut banyak, biasanya berupa artis atau selebtwit1. Pemilik akun ini diharapkan untuk membuat post yang bertujuan untuk mempromosikan suatu brand kepada para pengikutnya. Metode iklan digital seperti ini sudah sangat sering digunakan berbagai brand dan biro iklan, hingga para pemilik akun populer mulai menetapkan harga tiap post-nya. Misalnya akun @KhloeKardashian milik selebriti Khloe Kardashian yang setiap cuitnya bernilai $13.000. Bentuk lain dari periklanan di media baru adalah tailored personalized digital advertisement. Personalisasi dapat memiliki arti yang berbeda-beda bagi para penjual (Vesanen, 2007), dan Baek dan Morimoto (2012) menyatakan bahwa ada dua jenis personalisasi pada konteks komunikasi pemasaran, yaitu; a. personalisasi pemasaran dimana para penjual menawarkan produk spesifik bagi konsumen berdasarkan informasi konsumen, termasuk di dalamnya menciptakan diferensiasi produk terlepas dari prinsip produksi massal (Gillen, 2000 dan Goldsmith dan Freiden, 2004) dan b. personalisasi iklan, yaitu usaha-usaha komunikasi dengan berbagai cara yang bertujuan untuk menciptakan penawaran yang dirancang secara spesifik dan unik. Iklan menggunakan personalisasi berdasarkan data-data konsumen agar produsen dapat menciptakan pesan yang tepat sasaran dengan penempatan iklan pada media yang akurat. Untuk menciptakan pesan yang dikustomisasi secara individual tersebut, para penjual memanfaatkan data-data pribadi konsumen seperti nama, sejarah belanja mereka, demografis, psikografis, lokasi dan ketertarikan gaya hidup (Baek dan Morimoto, 2012). Konsumen akan merasa familiar dengan produk yang dipromosikan dan merasa produk tersebut dapat menjawab kebutuhan mereka. Dengan metode ini, diharapkan konsumen tidak merasa bahwa mereka terpaksa melihat iklan tersebut dan tidak melakukan penghindaran terhadap iklan. Personalisasi periklanan juga bertujuan untuk mengurangi persepsi negatif konsumen terhadap penjual (Morimoto dan Chang, 2006). Konsumen selalu 1 Singkatan dari Selebriti Twitter: pengguna Twitter dengan jumlah pengikut ribuan dan merupakan tokoh yang terkenal di dunia maya. 14 menanggapi informasi baru secara kritis dan tidak serta-merta menerima pesan apa adanya. Proses decoding pesan selalu terjadi setiap saat, yang dilandasi oleh pemahaman konsumen maupun pengalaman sebelumnya. Proses mengkritisi dan menolak pesan ini akan semakin kuat terjadi jika konsumen merasa bahwa kehadiran pesan tersebut mengurangi atau menghilangkan kebebasan berperilaku mereka (Brehm, 1966 dan Brehm dan Brehm, 1981). Pada konteks komunikasi pemasaran, konsumen cenderung menjadi waspada ketika diberi pesan atau penawaran persuasif (Baek dan Morimoto, 2012) bahkan menjadi skeptis terhadap segala bentuk iklan (Obermiller dan Spangenberg, 1998, 2000) Pada penerapannya, personalisasi iklan tidak selalu menimbulkan hasil yang sesuai dengan harapan pemasang iklan. Banyak personalisasi iklan yang tidak direspon dengan baik oleh audiens, sehingga menimbulkan perilaku penghindaran iklan. Sikap negatif ini disebabkan oleh pemikiran konsumen yang menganggap bahwa usaha pemasaran dan periklanan yang dipersonalisasi telah menjadi terlalu personal (White, et al, 2008) sehingga mengganggu ranah privasi mereka maupun kebebasan untuk berpikir dan mengambil keputusan (Baek dan Morimoto, 2012). Isu privasi menjadi penting mengingat sifat dari personalisasi iklan yang memanfaatkan data pribadi konsumen. Konsumen yang menerima pesan periklanan personal dari pemasang iklan yang tidak dikenal mengganggap bahwa informasi pribadi mereka telah disalahgunakan oleh pihak ketiga (Okazaki, Li dan Hirose, 2009 pada Baek dan Morimoto, 2012). Ketakutan ini disebabkan karena proses pemanfaatan dan perolehan data pribadi konsumen dilakukan dengan menggunakan teknologi geo-location seperti Global Positioning System (GPS) atau Cell of Origin (COO) yang membuat para pemasar dapat mengetahui lokasi konsumen dari telepon genggam milik mereka (Bauer, et al, 2005 pada Baek dan Morimoto, 2012). Pada media baru, perolehan data personal untuk kebutuhan beriklan menjadi semakin terperinci. Metode paling mudah adalah menggunakan IP address dari sebuah komputer/mobile internet device yang sedang terhubung dengan internet, 15 kemudian menayangkan iklan yang relevan secara geografis meski pengguna tersebut sedang mengakses situs internasional. Misalnya pengguna internet dari Indonesia yang sedang membuka situs YouTube, akan diterpa oleh iklan dari produk yang berasal dari Indonesia saja. Contoh lainnya adalah layanan tailored ads milik Facebook. Pada situs ini, pemasang iklan akan diberi pilihan untuk mendeskripsikan secara rinci mengenai target audiens yang diinginkan. Pemasang iklan dapat mendeskripsikan usia, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi, hobi hingga waktu online mereka di Facebook. Masalahnya, kemampuan periklanan yang semakin gencar dan intrusif terhadap konsumen berbanding terbalik dengan cara konsumen merespons iklan tersebut. Terlepas dari berbagai data pendukung, riset dan proses berjam-jam untuk memproduksi dan menayangkan sebuah iklan di media apapun, ada titik di mana audiens merasa jenuh dan menunjukkan sikap yang negatif lalu memberikan penolakan. Edwards, Li dan Lee (2002) mencoba melihat perilaku respons negatif pengguna internet terhadap pop-up ads berdasarkan pada teori psychological reactance (Brehm, 1966). Pada penelitian tersebut, Edwards et al menemukan bahwa hadirnya iklan dalam bentuk pop-up merupakan paksaan paparan terhadap audiens, dan ini menyebabkan perilaku penghindaran periklanan. Berdasarkan metode identifikasi dan penyaringannya, terdapat dua jenis perilaku penghindaran iklan, yaitu secara refleksif dan secara diskriminatif (Speck dan Elliott, 1997). Penghindaran iklan secara refleksif adalah penghindaran yang dilakukan secara masif dan sporadis, dilakukan oleh audiens yang sama sekali tidak mau terpapar iklan saat ia mengkonsumsi media. Audiens akan menghindari apapun yang tampak sebagai iklan bagi dirinya. Mereka tidak melihat sama sekali apa isi dari iklan tersebut, dan memiliki pemikiran bahwa semua iklan harus dihindari, apapun isinya. Sementara penghindaran diskriminatif adalah tindakan penghindaran yang lebih toleran terhadap iklan; pengguna melakukan diskriminasi atas konten iklan sebelum memutuskan untuk menghindar. 16 Penyebab perilaku penghindaran periklanan pengguna media baru sudah pernah diteliti oleh Cho dan Cheon dengan judul Why Do People Avoid Advertising on the Internet? pada tahun 2004. Pada penelitian tersebut, Cho dan Cheon menyatakan bahwa ada tiga hal utama yang menjadi penyebab perilaku penghindaran iklan di Internet, yaitu: a. anggapan pergeseran tujuan Internet adalah media yang berorientasi pada tujuan penggunanya. Ketika seorang pengguna mengakses internet, ia sudah memiliki tujuan awal dalam mengkonsumsi media ini, misalnya untuk memeriksa surat elektronik terbaru, membaca berita, mengakses media sosial, menikmati konten multimedia dan lainnya. Saat menggunakan internet, pengguna cenderung mengalami pergeseran tujuan yang diarahkan oleh iklan dan hal ini mengakibatkan ketidaksukaan, sikap negatif dan penghindaran iklan. b. anggapan kekacauan iklan di internet Iklan di internet dianggap lebih agresif dibandingkan dengan iklan di media lainnya (Li, Edwards dan Lee, 2002). Salah satu bentuk agresifitas ini adalah banyaknya iklan yang terpajang dalam satu laman internet, karena biaya yang rendah dan banyaknya opsi ruangan penempatan iklan. Pengguna sudah mulai menganggap bahwa jumlah iklan ini terlalu berlebihan sehingga mereka merasa terganggu (Elliott dan Speck, 1997) c. pengalaman buruk yang pernah dialami sebelumnya. Dalam konteks iklan di internet, pengguna memiliki ketidakpuasan terhadap produk yang diiklankan atau mereka memiliki anggapan kekurangan alasan untuk meng-klik iklan tersebut. Iklan juga dapat menjadi sarana bagi pengguna yang tidak berniat baik untuk meretas dan mencuri data pengguna yang mengaksesnya. Banyaknya iklan juga berpengaruh kepada pemakaian kuota dan kecepatan mengakses internet, yang merupakan pertimbangan utama dari pengguna internet (Cho dan Cheon, 2004). Pengalaman buruk ini 17 menyebabkan pengguna menghindari sumber dari pengalaman tersebut, yaitu iklan. Penelitian Cho dan Cheon dianggap memiliki keterbatasan sampel, yaitu 266 responden dan jumlah ini terhitung kecil dibandingkan dengan keseluruhan pengguna internet di seluruh dunia. Oleh karena itu, Cho dan Cheon merekomendasikan kalangan akademisi untuk melakukan replikasi penelitian ini. Salah satunya dilakukan oleh Putra dan Herawati (2013) di Yogyakarta, dengan alasan perbedaan karakteristik demografis dan pemahaman terhadap teknologi antara pengguna internet di Yogyakarta dan Amerika. Putra dan Herawati menganggap bahwa mahasiswa di Yogyakarta tidak memiliki pemahaman teknologi sebaik mahasiswa di Amerika, sehingga perilaku penghindaran iklannya akan berbeda. Hasil replikasi ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana 97.5% responden disimpulkan memiliki perilaku penghindaran iklan di internet yang tinggi dan 2.5% memiliki perilaku sedang. Pengguna internet sengaja mengabaikan iklan apapun di Web, tidak melihat banner ads, tidak melihat pop-up ads, tidak melihat iklan apapun di Web, tidak memperhatikan banner ads, tidak memperhatikan pop-up ads, tidak memperhatikan iklan apapun di Web, tidak meng-klik iklan apapun di Web, meskipun iklan tersebut menarik perhatian pengguna dan pengguna internet termasuk membenci banner ads, pop-up ads, iklan apapun di Web dan mengganggap bahwa lebih baik jika tidak ada banner ads di Web, pop-up ads, iklan apapun di Web (Putra dan Herawati, 2013). Pada akhirnya, dugaan Putra dan Herawati bahwa perbedaan karakteristik pengguna berdampak terhadap perilaku penghindaran iklan di media baru tidak terbukti. 3. Periklanan pada mobile internet device Iklan pada perangkat bergerak (mobile ads) merupakan perkembangan dari iklan online/internet. Menurut Yu (2013:5), mobile ads adalah pesan komersial 18 berbasis teks dan grafik yang dikirimkan ke konsumen melalui mobile devices. Seperti yang telah diketahui, tingginya penggunaan perangkat bergerak tidak terlepas dari semakin meningkatnya penetrasi Internet di masyarakat (eMarketer, 2014). Berangkat dari konsep “perangkat untuk mengakses internet di mana saja”, penggunaan mobile internet device telah berkembang menjadi alat yang penggunaannya terintegrasi dengan internet. Sehingga, iklan di mobile internet device kemudian memiliki media tersendiri untuk tampil pada target audiensnya, tidak seperti dulu di mana iklan hanya bisa tampil pada saat pengguna melakukan kegiatan browsing. Sebagaimana iklan di media konvensional yang menggunakan media habit pengguna untuk menentukan pemasangan medianya, iklan pada mobile internet device pun memiliki pertimbangan yang sama. Menurut Lorette (2014), secara prinsip terdapat enam jenis iklan yang hadir pada mobile internet device: - Google AdWords/search engine marketing Iklan berbentuk teks yang tampil pada bagian atas, bawah dan/atau samping laman saat menggunakan mesin pencari. Gambar 1.1: Contoh Google AdWords/Search Engine Marketing pada laman mesin pencari Google (dok. pribadi) 19 - content ads Teks atau iklan banner yang relevan dengan konten laman yang sedang diakses oleh pengguna. Misalnya pengguna sedang mengakses berita tentang teknologi fotografi terkini, maka pada bagian akhir berita tersebut akan tertera berita terkait fotografi, yang sesungguhnya merupakan iklan. - display ads Iklan berbentuk gambar yang tertera pada suatu laman internet, bersifat statis maupun dinamis. Terdiri dari banner dan pop-up. Gambar 1.2: Contoh content ads (dok. pribadi) Gambar 1.3: Contoh display ads pada sebuah situs (dok. pribadi) 20 - search engine optimization Pemanfaatan kata kunci tertentu untuk memastikan sebuah website berada pada urutan teratas ketika seorang pengguna menggunakan mesin pencari, meskipun dalam sudut pandang pengguna, usaha ini tidak nampak sebagai iklan. - media sosial Menampilkan iklan pada jejaring media sosial (misalnya promoted post), atau menggunakan media sosial itu sendiri sebagai media periklanan. Harapan dari penggunaan media sosial untuk beriklan adalah untuk menciptakan word of mouth secara digital, atau dikenal juga dengan istilah Electronic Word of Mouth (eWoM). Gambar 1.4: Contoh post berbayar pada media sosial (dok. pribadi) - e-mail marketing Ketika seorang pengguna menyetujui untuk berlangganan pada suatu situs, maka situs tersebut berhak untuk mengirimnya artikel dalam bentuk newsletter, yang juga berfungsi sebagai media iklan. 21 Keenam jenis iklan tersebut ternyata sesuai dengan kebiasaan user dalam menggunakan mobile internet device. Biro riset pemasaran Salesforce (2014) menyatakan bahwa rata-rata setiap pengguna mobile internet device menggunakan alatnya selama 3.3 jam per hari, dengan aktivitas utama membuka email, sms, browsing, media sosial, menonton video online, mencari berita, serta bermain games. Situs yang umumnya dikunjungi adalah Twitter, YouTube, Amazon, Facebook, CNN dan Instagram. Setidaknya 26% menggunakan aplikasi untuk mengakses situs-situs tersebut alih-alih browser. Sementara riset lainnya yang dilakukan oleh Oei (2013) menunjukkan bahwa penggunaan utama mobile internet device oleh user Indonesia adalah untuk mengakses media sosial, hiburan, mencari informasi umum, bermain games, membuka email, dan menggunakan search engine untuk informasi lokal. Situs media sosial yang paling sering dikunjungi adalah Twitter, YouTube, Facebook dan Google+. Sesuai dengan pernyataan di awal, mobile ads juga menyesuaikan kebiasaan yang dilakukan oleh target audiensnya dalam menggunakan mobile internet device. Maka mobile ads akan ditemukan pada saat user sedang melakukan browsing, mengakses media sosial, serta menggunakan aplikasi2. Jenis iklan yang ditemukan pada mobile internet device berdasarkan kegiatan tersebut adalah: interstitial ads, off-deck ads, pop-up ads, banner ads, content ads, Google Adwords, promoted post, post berbayar pada media sosial, iklan dari pengguna lain secara acak, dan pre-roll video ads. G. Kerangka Konsep Penelitian Cho dan Cheon (2004) maupun Putra dan Herawati (2013) mengenai perilaku penghindaran iklan di media baru memiliki beberapa keterbatasan, utamanya 2 Aplikasi adalah piranti lunak yang dapat dijalankan pada mobile internet device yang memiliki sistem operasi. Game juga termasuk dalam kategori aplikasi. 22 terkait dengan perkembangan teknologi media baru hingga saat penelitian ini dibuat. Pertama, kedua penelitian terdahulu berangkat dari sebuah pemikiran bahwa pengguna media baru pasti melakukan perilaku penghindaran iklan3. Kedua, kedua penelitian tersebut tidak menunjukkan perilaku penghindaran iklan yang didasari oleh karakteristik pengguna media baru. Ketiga, kedua penelitian tersebut tidak membahas tentang pengguna yang mengakses media baru melalui mobile internet device. Penelitian ini tidak berangkat dari sebuah dugaan bahwa pengguna media baru pasti melakukan penghindaran iklan, tetapi justru berusaha untuk mencari tahu apakah pengguna media baru memang menunjukkan perilaku penghindaran iklan. Penelitian ini juga mempertimbangkan adanya aspek kendali dan pengelolaan konten media yang lebih kuat pada pengguna media baru, serta wujudnya dalam perilaku penghindaran iklan. Terakhir, penelitian ini secara spesifik membahas tentang perilaku penghindaran iklan oleh pengguna mobile internet device, sebuah populasi yang signifikan dalam dunia periklanan digital. Menurut riset dari MarketPlus (2013), ada 71 juta pengguna internet aktif di Indonesia dan setengahnya masuk ke dalam kategori netizen. Lebih lanjut, 86% dari netizen mengakses internet melalui mobile internet device dan kegiatan yang paling banyak dilakukan adalah mengakses media sosial. Iklan hadir pada aplikasi tidak berbayar di mobile internet device, hadir dalam bentuk aplikasi pada mobile internet device, hadir pada sosial media dan juga penggunanya. Artinya, terpaan iklan melalui mobile internet device memang sangat tinggi. Fenomena ini tidak diteliti oleh Cho dan Cheon maupun Putra dan Herawati. Oleh karena itu, penelitian “Survei Perilaku Penghindaran Iklan dan Pesan Komersil pada Mobile internet device” ini bukan merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya, tetapi merupakan pengayaan pada bidang periklanan di media baru. 3 Cho dan Cheon (2004:90) menyatakan “Based on extant communication, psychology and marketing theories, and research, we theorize that Internet users exercise ad avoidance on the Internet because of perceived goal impediment, perceived ad clutter, and prior negative experience.” Sementara Putra dan Herawati (2013:5) menyatakan “Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitian Cho dan Cheon (2004)”. 23 Sesuai dengan judul, maka ada satu konsep yang digunakan pada penelitian ini, yaitu “penghindaran iklan”. Menurut Chatterjee (2008), perilaku penghindaran iklan dapat diukur dengan dua dimensi, yaitu kognitif dan mekanis. Penghindaran secara kognitif dilakukan oleh audiens ketika ia berusaha untuk mengabaikan/sengaja tidak melihat iklan yang berada pada lingkungan di sekitarnya. Audiens akan mengalihkan perhatiannya secara sengaja kepada hal lain ketika terpapar iklan. Sementara penghindaran secara mekanis (disebut juga secara fisik) adalah penghindaran iklan yang dilakukan dengan cara menghilangkan keberadaan iklan, umumnya menggunakan bantuan alat mekanis. Audiens akan melakukan tindakan khusus untuk menghilangkan iklan pada lingkungan di sekitarnya. Misalnya dengan memasang aplikasi penghalang iklan AdBlock pada mobile internet device. Konsep ini juga digunakan untuk mengukur perilaku penghindaran iklan pada media konvensional (lihat Speck dan Elliott, 1997:68) dan pada internet (lihat Chatterjee, 2008:52). Oleh karena itu, penulis memilih untuk menggunakan konsep tersebut untuk mengukur perilaku penghindaran iklan pada mobile internet device. Pertimbangan lainnya adalah adanya kesamaan jenis iklan serta karakteristik pengguna internet dengan mobile internet device. Tabel 1.1 Tabel Operasionalisasi Konsep Konsep Variabel Dimensi Item Penghindaran Perilaku Kognitif Mengabaikan display ads Ordinal iklan Skala (pop-up dan banner) pada mobile internet device Mengabaikan iklan Ordinal interstitial dan off deck pada mobile internet device 24 Mengabaikan Google Ordinal Adwords mobile pada internet device konten Ordinal Mengabaikan promosi pada media sosial Mengabaikan pre-roll video Ordinal ads pada mobile internet device Mekanis Meng-install piranti lunak Ordinal penghalang iklan AdBlock aplikasi Ordinal Meng-install premium Mematikan internet saat Ordinal menggunakan aplikasi unfollow Ordinal Melakukan terhadap akun media sosial yang memiliki konten promosi Memblokir akun media Ordinal sosial yang memiliki konten promosi Menutup display ads (pop- Ordinal up dan banner) pada mobile internet device Menutup iklan interstitial Ordinal dan off deck pada mobile 25 internet device Menutup Google Adwords Ordinal pada mobile internet device Menutup pre-roll video ads Ordinal pada mobile internet device H. Definisi Operasional Menurut Singarimbun (1995:42), variabel adalah sesuatu yang memiliki variasi nilai sebagai operasionalisasi konsep sehingga dapat diteliti secara empiris. Dengan memilih dimensi tertentu, konsep dapat memiliki variasi nilai. Definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Dimensi kognitif Dimensi ini mengukur perilaku penghindaran iklan pada mobile internet device secara kognitif, yaitu dengan cara mengalihkan perhatian pada hal selain iklan/mengabaikan iklan. Item pada dimensi ini menyesuaikan dengan jenis iklan yang dipaparkan pada berbagai saluran pada mobile internet device. o Mengabaikan iklan interstitial o Mengabaikan iklan off-deck o Mengabaikan iklan banner o Mengabaikan iklan pop up o Mengabaikan iklan content ads o Mengabaikan iklan Google AdWords o Mengabaikan post berbayar oleh pengguna media sosial lain o Mengabaikan pre-roll video ads di YouTube 2. Dimensi mekanis 26 Dimensi ini mengukur perilaku penghindaran iklan pada mobile internet device secara mekanis, di mana pengguna akan melakukan penghindaran iklan dengan cara menghilangkan iklan dari lingkungan persepsi pengguna tersebut. o Menginstall piranti lunak AdBlock untuk menghilangkan iklan o Menginstall aplikasi premium untuk menghilangkan iklan o Mematikan internet saat menggunakan aplikasi untuk menghilangkan iklan o Melakukan unfollow terhadap akun yang memiliki konten komersil pada media sosial o Memblokir akun yang memiliki konten komersil pada media sosial o Menutup iklan interstitial o Menutup iklan off-deck o Menutup iklan banner o Menutup iklan pop up o Menutup iklan content ads o Menutup iklan Google AdWords o Menutup pre-roll video ads di YouTube I. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan metode penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perilaku penghindaran iklan pada mobile internet device beserta wujud penghindarannya. Oleh karena itu, peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survey. 2. Populasi dan sampel 27 Penelitian kuantitatif membutuhkan populasi dan sampel untuk memperoleh data. a. Populasi Pada penelitian ini, populasi yang diteliti adalah netizen, yaitu pengguna internet yang mengakses selama lebih dari tiga jam per hari (Lukman, 2013). Menurut data dari Markplus Insight, Marketeers dan Kementrian Komunikasi dan Informatika Indonesia tahun 2014, ada 74.6 juta pengguna internet di Indonesia dan 31.7 juta pengguna masuk dalam kategori netizen. Lebih lanjut, penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 86% dari netizen mengakses internet melalui mobile internet device. Populasi = (jumlah netizen di Indonesia) * (jumlah pengguna mobile internet device) Populasi = 31.700.000 * 86% = 27.262.000 orang. b. Sampel Peneliti mengalami kesulitan untuk melakukan penelitian terhadap populasi sebesar itu. Maka peneliti perlu menentukan sampel yang representatif. Menurut Taylor (2009), sampel merupakan bagian dari populasi yang hendak diteliti. Sampel pada penelitian ini akan ditentukan melalui rumus Slovin, dengan toleransi kesalahan 1%, 5% dan 10%. Data untuk penelitian ini akan diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada pengguna mobile internet device dengan tingkat kesalahan 5%. Ukuran sampel yang akan diteliti adalah sebagai berikut: Keterangan: 28 n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = Presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, dalam penelitian ini sebesar 5%. Berdasarkan rumus di atas, dari populasi sebesar 27.262.000 diperoleh hasil 399.99 dan dibulatkan menjadi 400 orang. Maka sampel untuk penelitian ini adalah 400 orang pengguna mobile internet device. 3. Teknik pengambilan sampel Sampel pada penelitian ini akan ditentukan melalui teknik purposive sampling. Kasiram (2008, pada Widyaningtyas, 2013:30) menyatakan bahwa teknik purposive sampling adalah penunjukan sampel yang didasarkan atas ciriciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Karakteristik utama dari populasi yang akan diteliti adalah memiliki mobile internet device dan terbiasa mengakses internet melalui mobile internet device. Orang-orang yang tidak memiliki kriteria tersebut tidak dapat menjadi sampel. 4. Data dan teknik pengumpulan data Peneliti akan memanfaatkan baik data primer maupun sekunder untuk penelitian ini. Walliman (2005: 153) menyatakan bahwa pengumpulan data merupakan bagian yang penting dari sebuah penelitian, dan dapat berupa data primer (informasi yang diperoleh peneliti pertama kali) ataupun sekunder (informasi sudah pernah diperoleh orang lain untuk kemudian diolah kembali dengan cara yang berbeda). Penelitian ini akan menggunakan data primer dan sekunder, mengingat orientasi penelitian yang bertujuan untuk memperkaya pengetahuan di bidang periklanan digital. 29 Data sekunder diperoleh dari berbagai macam data dan informasi dari bukubuku literasi mengenai periklanan digital, serta penelitian tentang perilaku penghindaran iklan dan media baru, khususnya terkait mobile internet device. Data primer akan diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan mengirimkan suatu daftar pertanyaan kepada responden untuk diisi (Sukandarrumidi, 2004:78). Ada tujuh jenis pertanyaan mendasar yang dapat ditanyakan melalui kuesioner, yaitu kuantitas atau informasi, kategori, daftar atau pilihan ganda, skala, peringkat, tabel yang kompleks atau pertanyaan terbuka (Walliman, 2005:179). Kuesioner kemudian akan disebarkan secara online hingga mencapai jumlah 400 responden. 5. Uji validitas Idrus (2009:123) menyatakan bahwa keabsahan data dalam penelitian kuantitatif akan merujuk pada validitas instrumen dan skala. Suatu instrumen penelitian dapat dinyatakan valid ketika memiliki validitas konten, logika, empiris dan statistik. Terlebih lagi, instrumen penelitian yang valid berarti perolehan data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Menurut Idrus (2009:128), metode yang sering digunakan untuk mencari validitas instrumen adalah korelasi produk momen melalui Pearson correlation antara rhitung setiap butir pertanyaan dengan rtabel, atau disebut juga dengan istilah inter item-total correlation. Jika nilai rhitung sebuah butir pertanyaan lebih besar daripada nilai rtabel, maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid dan dapat digunakan pada kuesioner. Sebaliknya, jika rhitung butir pertanyaan tersebut lebih kecil atau sama dengan rtabel, maka pertanyaan tersebut dinyatakan tidak valid dan harus diganti. 6. Uji reliabilitas 30 Reliabilitas instrumen adalah tingkat konsistensi instrumen saat digunakan oleh peneliti yang berbeda pada waktu yang berbeda. Instrumen penelitian harus bersifat dapat dipercaya, artinya tetap akan menunjukkan hasil yang seragam meskipun digunakan oleh orang yang berbeda. Meskipun ada berbagai cara untuk menguji reliabilitas instrumen penelitian (lihat Idrus, 2009:132-144), peneliti akan menggunakan fitur dari piranti lunak SPSS untuk menguji reliabilitas melalui uji Cronbach alpha. Instrumen dianggap konsisten jika koefisien Cronbach alpha mendekati angka 1 (dengan rentang 0 hingga 1). 7. Teknik analisis data Penelitian “Survei Perilaku Penghindaran Iklan dan Pesan Komersil pada Mobile internet device” bersifat deskriptif dan bertujuan untuk memahami fenomena yang terjadi pada konteks terkait. Hanya ada satu variabel yang digunakan, maka peneliti akan melakukan analisis data dengan teknik analisis deskriptif. Menurut Rakhmat (1991:23), analisis deskriptif bertujuan untuk a.) mengumpulkan informasi secara rinci yang melukiskan fenomena yang terjadi, b.) mengidentifikasi masalah dan c.) menentukan tindakan yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang serupa. Idrus (2009:166) menyatakan bahwa analisis statistik deskriptif dapat mencakup: - Mode: merupakan nilai dengan frekuensi kemunculan tertinggi. Mode digunakan untuk mencari kecenderungan jawaban responden terhadap sebuah pernyataan. - Median: merupakan nilai tengah dari sebaran data yang ada. - Mean: merupakan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai yang ada. Mean digunakan untuk melihat kecenderungan umum jawaban responden. 31 Peneliti menggunakan pengukuran kecenderungan pusat (measures of central tendency) untuk melakukan analisis data yang diperoleh dari pengisian kuesioner. Menurut Stockburger (2014), kecenderungan pusat adalah nilai yang menunjukkan keterwakilan (representativeness). Artinya, deskripsi data yang diperoleh melalui analisis kecenderungan pusat terhadap sampel merupakan representasi dari bukti empiris pada fenomena tersebut. Hasil analisis akan dipaparkan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabel Crosstab. 32