1 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Teknologi komunikasi sudah menjadi bagian krusial dalam kehidupan manusia di
berbagai tingkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kecepatan dan kemudahan
akses internet bagi berbagai lapisan masyarakat. Fasilitas yang tadinya terkesan
eksklusif dan hanya berperan sebagai kebutuhan tersier ini semakin merambah aspekaspek terkecil dalam kehidupan manusia, sehingga kebutuhannya menjadi mutlak.
Contoh yang paling mudah: pemanfaatan mobile internet device yang sejatinya
menunjang produktivitas ‘diturunkan’ menjadi alat untuk chatting dan media sosial,
dengan harga yang sangat terjangkau, sehingga masyarakat dengan kemampuan
ekonomi terbatas sekalipun dapat memilikinya.
Sebagai industri yang dituntut untuk selalu memahami dan mengikuti tren di
masyarakat, periklanan juga memanfaatkan perkembangan teknologi ini semaksimal
mungkin. Bovee (1992:7) pada Taflinger (1996) menyatakan bahwa: “Advertising is
the non-personal communication of information usually paid for and usually
persuasive in nature about products, services or ideas by identified sponsors through
the various media”. Melalui iklan, penjual dapat merancang terlebih dahulu pesan
yang akan disampaikan, menguji dan meneliti potensi dari audiens terlebih dahulu.
Periklanan dilakukan melalui media berbasis teknologi, maka dapat menjangkau lebih
banyak calon pembeli dalam satu waktu. Karena kemudahan, efisiensi dan
jangkauannya ini iklan digunakan secara agresif oleh para pemasar untuk menyasar
target audiensnya. Teknologi informasi dan komunikasi juga dioptimalkan
pemanfaatannya demi penyampaian pesan komersil kepada audiens.
Sebagai konsumen produk maupun konsumen media, masyarakat diterpa iklan
dari segala arah dan di setiap waktu. Iklan hadir pada saat mereka sedang beristirahat
dan menonton acara kesayangan mereka di televisi. Beberapa dari iklan ini terpasang
1
pada jeda waktu (atau area pada media cetak) khusus, dan ada juga yang berusaha
lebih agresif dengan menampilkan logo brand atau peletakan produk di dalam konten
media yang sedang berlangsung. Saat konsumen ini berhenti mengkonsumsi media
dan beraktivitas, iklan akan menghampiri mereka melalui media luar ruang seperti
baliho dan banner, menyamarkan bentuk iklan pada media yang unik (unconventional
media) hingga ambient ad. Apapun ditempuh dari segala arah demi bisa pesan
komersial kepada konsumen.
Iklan seolah tidak memberi ruang bagi konsumen untuk bebas darinya. Menurut
Walker-Smith (pada Johnson, 2006), secara kasar setiap orang terpapar pada
setidaknya 5000 iklan setiap harinya. Lebih lanjut, Walker-Smith juga menyatakan
bahwa “It seems like the goal of most marketers and advertisers nowadays is to cover
every blank space with some kind of brand logo or a promotion or an
advertisement”. Dengan terpaan iklan yang begitu dahsyat ini, para produsen
berharap bahwa audiens akan terpersuasi dan berperilaku konsumtif tanpa henti.
Sayangnya, perilaku audiens terhadap serbuan iklan ini justru berbanding terbalik
dengan harapan dari para pemasang iklan.
Audiens cenderung mengambil sikap terhadap pesan komersil yang diberikan
kepada mereka, dan sikap ini kebanyakan bersifat negatif (audiens memiliki
pemikiran: “aku tidak suka iklan”. Ketidaksukaan ini terwujud dalam perilaku
penghindaran iklan, misalnya mengabaikan iklannya (penghindaran kognitif),
meninggalkan ruangan (penghindaran fisik) atau mengganti saluran televisi
(penghindaran mekanis) (Clancey, 1994 pada Baek dan Morimoto, 2012). Perilaku
penghindaran iklan pada media konvensional sudah menjadi fenomena yang sangat
besar, sehingga biro iklan dan produsen harus benar-benar menjadikannya
pertimbangan saat membuat sebuah iklan.
Perilaku penghindaran iklan ini juga mulai ditemukan pada media baru atau
Internet. Hasil survei Vizu (2008) menyatakan bahwa 48.3% audiens menganggap
bahwa internet adalah media dengan iklan paling mengganggu, dan 35.9%
menyatakan bahwa Internet adalah media yang membutuhkan usaha paling banyak
2
untuk menghindari iklannya. Iklan dalam bentuk pre-roll video di situs YouTube
misalnya, cenderung dibenci oleh kebanyakan pengguna sehingga hal yang paling
mereka nantikan dari penayangan iklan tersebut adalah tombol “skip this ad”. Bahkan
pihak YouTube sendiri mengakui bahwa sebelum ada tombol “skip this ad” 50%
pengguna lebih memilih untuk sama sekali tidak menonton video yang awalnya ingin
mereka tonton (Rodgers, 2009).
Fenomena penghindaran iklan sudah menjadi hal yang besar di dunia
komunikasi. Banyak riset yang telah dilakukan untuk mencari tahu alasan audiens
melakukan perilaku penghindaran, jenis-jenis penghindaran, dampak-dampak
negatifnya hingga cara-cara yang dapat ditempuh oleh pemasang iklan agar iklannya
tidak dihindari (lihat Speck dan Elliott, 1997; Rumbo, 2002; Barros et al, 2003; Cho
dan Cheon, 2004; Kim dan Pasadeos, 2006; Texeira, 2009; Lee dan Morris, 2010;
Duff dan Faber, 2011; Baek dan Morimoto, 2012). Kebanyakan riset perilaku
penghindaran iklan mengarah pada analisis audiens; bagaimana audiens media
konvensional hanya terbatas pada menghindari iklan tetapi tidak bisa berbuat banyak
terhadap konten media konvensional yang mereka konsumsi. Mereka bisa
mengabaikan konten iklan, mengganti saluran dan meninggalkan ruangan, berhenti
mengkonsumsi media tetapi iklan tersebut tetaplah ada.
Lain halnya dengan pengguna media baru yang bisa melakukan usaha aktif untuk
menghindari iklan. Selain melakukan penghindaran iklan seperti audiens media
konvensional, sifat media baru yang interaktif dan lebih memberikan kendali pada
penggunanya memungkinkan pengguna untuk melakukan modifikasi terhadap media,
sehingga mereka bisa melenyapkan iklan dari media yang sedang mereka gunakan.
Misalnya dengan memasang piranti lunak Ad-Block pada peramban (browser)
mereka atau membeli aplikasi premium pada mobile internet device agar bisa
terbebas dari iklan.
Penulis mengasumsikan bahwa keunikan perilaku bermedia pada pengguna
media baru dapat berpengaruh terhadap cara mereka menghindari iklan yang
ditayangkan pada media tersebut. Riset-riset sebelumnya mengenai perilaku
3
penghindaran iklan tidak mempertimbangkan karakteristik ini, mereka sudah
memiliki asumsi awal bahwa pengguna media baru tidak suka iklan sebelum
melakukan penelitian, serta hanya berorientasi pada kegiatan mengakses internet
melalui peramban (lihat Cho dan Cheon, 2004; Putra dan Herawati, 2013 dan Speck
dan Elliott, 1997). Padahal seiring dengan perkembangan teknologi, pemanfaatan
media baru sudah merambah ke hal-hal di luar peramban seperti media sosial dan
penggunaan
mobile
internet
device.
Penulis
ingin melakukan
pendekatan
konstruktivis terhadap masalah ini dan meneliti lebih lanjut mengenai perilaku
penghindaran iklan di internet oleh para pengguna mobile internet device.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “Bagaimana perilaku penghindaran iklan dan pesan
komersil pada mobile internet device dilakukan?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku penghindaran iklan dan
pesan komersil oleh pengguna mobile internet device.
D. Objek Penelitian
Penelitian ini akan membahas tentang perilaku pengguna mobile internet device
di Indonesia dalam menerima pesan komersil maka lokus dari penelitian ini adalah
penerima pesan. Lebih lanjut, fokus dari penelitian adalah perilaku audiens sebagai
dampak dari penerimaan sebuah pesan.
Penelitian sebelumnya (lihat Cho dan Cheon, 2004; Putra dan Herawati, 2013)
mengenai perilaku penghindaran iklan di media baru hanya berfokus pada pengguna
internet yang mengakses internet melalui perangkat lunak peramban pada komputer.
Dua penelitian tersebut tidak memasuki ranah pengguna mobile internet device.
4
Sementara menurut data dari eMarketer (2014), diperkirakan ada sekitar 1.75 milliar
pengguna mobile internet device di seluruh dunia per tahun 2014, dan jumlah ini akan
terus meningkat. Tren periklanan digital yang mencakup media mobile internet device
juga terus meningkat, tampak dari nilai periklanan yang mencapai 31 milliar dollar
pada tahun 2014. Mengingat signifikansi pengguna mobile internet device dalam
periklanan pada media baru, penulis menentukan bahwa objek pada penelitian ini
adalah pengguna mobile internet device di Indonesia.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan bermanfaat bagi:
a. Praktisi, sebagai salah satu referensi untuk memetakan perilaku
penghindaran iklan di media baru.
b. Akademisi, sebagai landasan untuk melakukan penelitian lebih lanjut pada
bidang komunikasi pemasaran, media baru dan perilaku konsumen.
F. Kerangka Teori
1. Perilaku bermedia pengguna media baru
Manusia tidak bisa terlepas dari konsumsi media. Perilaku dalam
mengkonsumsi media ini dikenal dengan istilah media habit, atau kebiasaankebiasaan seseorang dalam memanfaatkan media sehari-harinya. Kebiasaan ini
dipengaruhi oleh media yang dikonsumsi, gaya hidup, usia dan banyak hal lainnya.
Misalnya media habit seorang pekerja berbeda dengan seorang ibu rumah tangga.
Pekerja cenderung mengkonsumsi media di waktu istirahat dan malam hari,
sementara ibu rumah tangga akan mengkonsumsi media dalam intensitas yang
lebih tinggi.
Melalui penelitian media habit, pelaku industri komunikasi
pemasaran dapat memetakan aktivitas target audiens berdasarkan konsumsi
medianya, misal kapan dan berapa lama ia menonton televisi, membaca surat
5
kabar, mengakses internet lewat komputer, mengakses media sosial, hingga jalan
yang dia lewati setiap harinya untuk berkegiatan.
Belakangan ini, konsumsi media baru mulai menunjukkan porsi yang cukup
signifikan dalam media habit masyarakat pada umumnya. Hal ini disebabkan
karena harga mobile internet device cenderung menurun dan sebaran jaringan 3G
sudah mulai mencakup area-area yang sebelumnya tidak tersentuh (Danova,
2014). Menurut Markplus Insight dan Marketeers (pada Lukman, 2013), Indonesia
memiliki 74.6 juta pengguna internet atau sekitar seperempat dari keseluruhan
populasinya. Diperkirakan jumlah pengguna ini akan menembus angka 100 juta
pengguna pada tahun 2015. 31.7 juta pengguna masuk ke dalam kategori netizen;
istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pengguna yang menghabiskan
waktu paling tidak tiga jam per hari untuk berinternet, dan 86% pengguna
mengakses internet melalui mobile internet device. Di samping itu, Roy Morgan
Research (pada eMarketer, 2013) memperkirakan bahwa pada awal tahun 2014,
28.6% pengguna telepon seluler di Indonesia akan beralih ke mobile internet
device.
Media baru sendiri adalah media yang tidak masuk ke parameter media
konvensional: satu arah, tidak interaktif, umpan balik dari audiens tidak diberikan
secara langsung, dan audiens yang bersifat pasif. Meskipun sama-sama berangkat
dari fungsi untuk memberi informasi, untuk mengedukasi dan memengaruhi opini,
tetapi hadirnya media baru yang berbasis internet memberikan ruang partisipasi
bagi audiensnya; satu keunggulan yang tidak ditawarkan oleh media konvensional
(Khrishnasamy, 2014). Umumnya, media baru memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Berfungsi informatif maupun sebagai sarana komunikasi interpersonal

Berbasis komputer dan internet

Merupakan konvergensi dari media konvensional

Memberi ruang untuk User Generated Content.
Mengenai hadirnya media baru, Neuman (pada Sharp, 2001) menyatakan:
6
“We are witnessing the evolution of a universal interconnected
network of audio, video, and electronic text communications that will
blur the distinction between interpersonal and mass communication
and between public and private communication”.
Media baru memfasilitasi terjadinya konvergensi beberapa media dan prinsip
komunikasi; melalui media baru, pesan dalam bentuk audio, visual maupun teks
dapat tersampaikan melalui satu media saja, tidak terpisah seperti media
konvensional. Komunikasi massa dan interpersonal seperti tidak memiliki batas
yang jelas, demikian pula komunikasi di ranah publik maupun privat. Contohnya
penggunaan Twitter, di mana seorang pengguna dapat mengirimkan sebuah cuit
yang mengandung teks dan video kepada pengguna lainnya. Meski cuitan tersebut
hanya ditujukan pada seorang pengguna lain, tetapi semua orang dapat mengakses
pesan tersebut dengan mudah.
Menurut Neuman (2001), media baru dapat:
• Membuat jarak geografis menjadi tidak berarti.
• Meningkatkan volume komunikasi secara signifikan.
• Meningkatkan kecepatan berkomunikasi.
• Memberikan kesempatan untuk berkomunikasi secara interaktif.
• Membuat berbagai bentuk komunikasi yang sebelumnya terpisah untuk
menyatu dan terkait satu sama lain.
Salah satu ciri khas dari media baru adalah adanya interaktivitas antara
audiens dengan media. Menurut Bezjian-Avery, Calder, and Lacobucci (1998),
interaktivitas adalah kemampuan untuk mengendalikan informasi. Pada media
konvensional, audiens tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan informasi
apa yang ingin mereka konsumsi. Mereka hanya bisa menerima apapun yang
diberikan oleh media, atau tidak mengkonsumsinya sama sekali. Audiens tidak
bisa, misalnya, menginginkan informasi tentang berita terkini dan memperolehnya
saat itu juga di televisi, karena program yang berisi berita hanya ditayangkan pada
7
jam yang sudah ditentukan oleh stasiun televisi tersebut. Sebaliknya pada media
baru, informasi tersebut dapat diperoleh kapan saja. Audiens hanya perlu untuk
mengetikkan kata kunci berita yang diinginkan pada mesin pencari, dan artikel
berita tersebut akan segera diberikan kepadanya.
Perbedaan interaktivitas ini juga ditemukan pada konteks komunikasi
pemasaran. Bezjian-Avery, Calder, and Lacobucci (1998) menyatakan bahwa pada
periklanan tradisional, penyampaian pesan bersifat linear/searah dan konsumen
terpapar informasi produk secara pasif, sementara pada periklanan interaktif,
konsumen secara aktif menjelajahi informasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
hadirnya media baru merubah cara audiens dalam menerima pesan komersial.
Audiens yang tadinya menerima terpaan iklan yang hadir di berbagai media
konvensional, sekarang bisa menentukan sendiri iklan apa yang ingin dia terima
informasinya. Banyak dari iklan di media baru yang memiliki bentuk menarik
seperti permainan video (lihat Chou, 2013) dan situs interaktif sehingga audiens
tidak merasa sedang diberi iklan; mereka justru memperoleh pengalaman yang
menyenangkan dalam mengakses internet.
Interaktivitas ini menyebabkan perbedaan penyebutan istilah penerima pesan
antara media konvensional dengan media baru. Penerima pesan pada media
konvensional disebut dengan istilah audiens, menunjukkan bahwa mereka adalah
pihak yang hanya menerima pesan dan tidak secara aktif memberikan umpan balik
yang bersifat langsung kepada pengirim pesan. Audiens juga tidak memiliki
kemampuan untuk mengelola pesan dan penerimaannya. Sementara penerima
pesan pada media baru disebut dengan istilah user atau pengguna. Istilah ini
merujuk pada cara konsumsi audiens media baru yang secara aktif mencari sendiri
pesan yang ingin mereka terima, dan memanfaatkan media baru untuk berbagai
kebutuhan. Media yang digunakan untuk membaca berita dan membaca situs-situs
pendidikan adalah media yang sama yang digunakan untuk menonton video clip
musik untuk hiburan, bermain game dan melakukan chatting dengan orang-orang
8
terdekat maupun jauh. Audiens media baru lebih memanfaatkan media baru
dengan cara 'menggunakan' daripada 'menerima pesan/mendengarkan'.
Stuart (2008) menyatakan bahwa digitalisasi media menyebabkan audiens
lebih memiliki kendali dalam bermedia. Pengguna menentukan pesan apa yang
ingin dia terima pada saat mengakses media tersebut. Jika pengguna tidak
menyukai suatu jenis informasi, maka ia tidak harus mengkonsumsi media tersebut
dan bisa mencari informasi lainnya dengan mudah tanpa diperlukan usaha lebih
seperti mengganti medianya.
Kendali yang disebut Stuart (2008) ini sampai ke titik dimana pengguna (yang
diposisikan sebagai audiens) pada akhirnya dapat menggunakan media baru untuk
menciptakan kontennya dan saluran medianya sendiri. Fenomena ini mencetuskan
istilah user generated content atau UGC. Menurut Rouse (2013), UGC adalah
informasi yang dipublikasikan oleh kontributor tidak berbayar pada sebuah
website. Informasi ini dapat berupa tulisan, foto, blog, diskusi, tanggapan terhadap
polling hingga komentar di media sosial. Contohnya adalah forum-forum online
seperti Reddit dan Kaskus, Blog seperti Blogspot dan Wordpress, sarana berbagi
multimedia seperti DeviantArt, YouTube dan Soundcloud hingga media sosial
seperti Facebook dan Twitter.
UGC merupakan karakteristik yang unik dan tidak akan pernah ditemukan di
media massa konvensional. Pada contoh website di atas, semua orang awalnya
adalah audiens/pengguna yang sama-sama mengkonsumsi pesan. Website tersebut
kemudian memberikan ruang bagi para penggunanya untuk menciptakan
kontennya sendiri dan diakses oleh pengguna lainnya. Beberapa pengguna
YouTube misalnya, menjadi sangat terkenal karena konten dari akun mereka
ditonton jutaan pengguna lain dari seluruh penjuru dunia setiap harinya,
menjadikan para pengguna ini seperti memiliki stasiun TV sendiri. Brand juga
memanfaatkan popularitas pengguna YouTube ini untuk memasang iklan pada
saluran mereka. Para pengguna ini telah bergeser posisinya dari audiens menjadi
9
komunikator dan media pada media baru. Sebuah fenomena yang sulit ditemukan
dalam skala serupa pada media konvensional.
Cho dan Cheon (2004) menyatakan bahwa pengguna media baru memiliki
sifat goal oriented, atau pemenuhan tujuan. Ketika mengakses media baru,
pengguna tidak melakukannya secara asal; mereka sudah memiliki tujuan dan
motivasi penggunaan.
Misalnya, pengguna dapat menentukan apakah mobile
internet device yang ia miliki akan menjadi media untuk bekerja (diisi dengan
aplikasi bisnis dan pekerjaan), informatif (diisi dengan portal berita atau aplikasi
pembaca e-book), hiburan (diisi dengan konten hiburan seperti permainan, musik
dan video) atau gabungan dari semuanya.
Tujuan pengguna dalam mengakses media baru sendiri sesungguhnya tidak
berbeda dengan media konvensional. Seperti yang tertera pada penjelasan
mengenai Uses & Gratifications Theory, McQuail (1983: 82-83 pada Miller, 2002:
244), menyatakan bahwa ada lima kategori tujuan dalam mengkonsumsi media;
informasi (misalnya mencari tahu tentang kejadian terkini di sekitar), identitas
personal (misalnya mencari penguatan untuk nilai-nilai personal), integrasi dan
interaksi sosial (misalnya berhubungan dengan keluarga, teman dan masyarakat)
serta hiburan (misalnya untuk mengisi waktu, melepaskan beban emosional,
melarikan diri dari masalah, mencari kenikmatan estetis). Audiens/pengguna,
dalam proses konsumsi media, selalu melakukan evaluasi terhadap kepuasan yang
mereka peroleh. Kepuasan ini diukur dengan cara membandingkannya dengan
ekspektasi sebelum mengkonsumsi media serta kemungkinan pemenuhannya dari
media alternatif, jika gagal. Pencarian alternatif ini dilakukan dengan motivasi
agar tujuan kepuasan yang dicari pengguna tetap tercapai.
Iklan, di sisi lain, selalu berusaha untuk menarik perhatian audiens dari
kegiatan apapun yang sedang mereka lakukan. Maka dari itu, dapat dinyatakan
bahwa saat audiens mencari kepuasan dengan mengkonsumsi media, iklan hadir
untuk menggagalkan pemenuhan tujuan tersebut. Sesuai dengan karakteristik
audiens yang sangat menginginkan agar kepuasannya tercapai, mereka akan segera
10
mencari alternatif ketika terpapar iklan saat mengkonsumsi media. Terdapat dua
alternatif yang dapat mereka lakukan: mencari media lain, atau menghindari
gangguan/iklan.
2.
Perilaku penghindaran iklan
Menurut Speck dan Elliott (1997), perilaku penghindaran iklan adalah segala
usaha yang dilakukan oleh pengguna media untuk mengurangi terpaan konten
iklan. Audiens sudah tidak lagi menerima dan mengevaluasi iklan berdasarkan
pesan yang dibawa oleh iklan, tetapi juga objek iklan itu sendiri. Dalam konteks
pesan komersil, iklan juga dianggap audiens sebagai pesan, sesuai dengan
McLuhan (1999) yang menyatakan bahwa medium yang digunakan untuk
menyampaikan pesan adalah pesan itu sendiri. Proses penerimaan pesan ini akan
menghasilkan sikap dan perilaku audiens terhadap pesan, dalam hal ini
ketidaksukaan mereka terhadap iklan. Fenomena ini sudah bukan merupakan hal
baru sehingga layak mendapatkan perhatian dari keseluruhan industri periklanan
maupun peneliti di bidang komunikasi pemasaran.
Untuk membuktikan tingginya fenomena penghindaran iklan ini, biro survei
Vizu dan Greg Stuart melakukan survei kepada 2000 responden mengenai alasan
mereka dalam menghindari iklan. Survei ini bertujuan untuk mengukur pendapat
pengguna internet mengenai sikap mereka terhadap iklan di berbagai media, dan
perilaku mereka dalam menghindari iklan. Hasilnya, 62% responden sangat tidak
menyukai atau tidak menyukai iklan, 73% menganggap iklan sangat mengganggu,
dan 56% menginginkan iklan untuk dilenyapkan sepenuhnya dari kehidupan
mereka (Vizu, 2008:2).
Sikap negatif yang dimiliki konsumen terhadap gencarnya terpaan iklan
menyebabkan mereka untuk mencari cara untuk menghindari iklan. Menurut
Speck dan Elliott (1997:61), penghindaran iklan adalah segala tindakan pengguna
media untuk mengurangi terpaan konten periklanan. Hal ini salah satunya
disebabkan oleh persebaran iklan yang terlalu banyak (Zanot, 1984 dalam Cho dan
11
Cheon, 2004). Contoh dari tindakan ini adalah pengacuhan iklan (penghindaran
secara kognitif), meninggalkan ruangan di mana televisi itu berada (penghindaran
secara fisik), atau mengganti saluran televisi (penghindaran secara mekanis)
(Clancey, 1994). Perilaku penghindaran iklan juga ditemukan pada media
konvensional lainnya, misalnya mengganti saluran radio (Heeter dan Greenberg,
1985) dan membalik halaman majalah atau surat kabar yang menampilkan sebuah
iklan (Bellamy dan Walker, 1996).
Seorang pengguna internet rata-rata mengakses internet selama 60 jam setiap
bulannya dan mengunjungi 2.646 situs, artinya mereka terpapar media baru
dengan intensitas yang cukup tinggi. Dalam konteks periklanan, internet adalah
hasil konvergensi dari media konvensional yang sudah ada, seperti televisi, radio,
billboard, majalah dan sebagainya (Miller, 1986). Oleh karena itu, beberapa wujud
iklan di internet juga masih berupa iklan di media konvensional, seperti pre-roll
video (menyerupai iklan televisi) dan banner dalam berbagai bentuk (menyerupai
iklan di media cetak). Iklan di internet juga bisa berbentuk button, banner ads,
pop-up ads, paid text links, sponsorships, target sites, superstitials, e-mail ads dan
sebagainya (Zeff dan Aronson, 1999 pada Cho dan Cheon, 2004).
Tingginya terpaan iklan melalui internet juga didukung oleh kepemilikan
mobile internet device yang semakin pesat beberapa tahun terakhir. Mobile
internet device adalah telepon selular yang mampu menjalankan berbagai fungsi
komputer dalam versi yang disederhanakan. Saat ini kepemilikan mobile internet
device meningkat pesat di seluruh dunia. Harga yang semakin terjangkau serta
perkembangan teknologi jaringan 3G dan 4G yang semakin maju menjadi alasan
utama migrasi pengguna telepon seluler ke mobile internet device. Benda yang
dulunya dianggap prestis dan hanya bisa dimiliki oleh golongan tertentu dengan
kemampuan ekonomi kuat, sekarang dapat dibeli oleh orang dengan di kelas
menengah bawah sekalipun. Business Insider menyatakan bahwa ada dua mobile
internet device pada setiap sembilan orang di seluruh dunia, atau 1.4 milliar mobile
12
internet device pada akhir tahun 2013, sementara eMarketer memperkirakan
bahwa akan ada 1.75 milliar pengguna mobile internet device pada tahun 2014.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, penggunaan mobile internet device
menuntut penggunanya untuk selalu terhubung dengan internet dan menggunakan
berbagai aplikasi sesuai dengan kebutuhannya. Aplikasi ini terbagi menjadi dua
kategori: gratis dan berbayar. Secara fasilitas dan fitur, perbedaan antara aplikasi
gratis dan berbayar tidaklah banyak, akan tetapi aplikasi gratis memberikan ruang
iklan di dalamnya. Iklan ini hadir dalam bentuk pop-up pada bagian tertentu di
layar, terkadang menutupi keseluruhan layar dengan tombol tutup yang sulit
dicari/ditekan. Kehadiran iklan ini secara umum mengganggu pengguna dalam
menggunakan aplikasi tersebut, akibatnya beberapa orang memilih untuk membeli
versi berbayarnya agar bisa terhindar dari iklan.
Pada penggunaan mobile internet device untuk browsing, terpaan iklannya
tidak berbeda jauh dengan iklan di internet pada umumnya. Tetapi ketika
pengguna mobile internet device ini menggunakan media sosial, iklan hadir dalam
bentuk berbeda, yaitu promoted post dan tailored personalized digital
advertisement. Promoted post adalah fitur yang memperbolehkan sebuah post
tampil lebih sering di news feed Facebook/lini masa Twitter seseorang meski
orang tersebut tidak berlangganan pada akun yang dipromosikan. Sekilas iklan ini
tidak berbentuk seperti iklan pada ruang tertentu, karena ia tampil pada bagian
yang umumnya berisi post dari teman-teman pengguna tersebut. Pengguna baru
dapat menyadari bahwa post tersebut adalah iklan ketika melihat tanda berupa
frase “promoted”/”promoted tweets”. Bentuk iklan ini disamarkan karena
pengguna internet memiliki kecenderungan untuk menghindari apapun yang
tampak seperti banner ad di internet (Benway, 1999 pada Cho dan Cheon, 2004).
Bentuk informal dari promoted post adalah paid tweets atau twit berbayar.
Jika pada promoted post pemasang iklan meminta kepada media sosial (misal
Facebook atau Twitter), pada twit berbayar permintaan diajukan kepada akun yang
13
memiliki pengikut banyak, biasanya berupa artis atau selebtwit1. Pemilik akun ini
diharapkan untuk membuat post yang bertujuan untuk mempromosikan suatu
brand kepada para pengikutnya. Metode iklan digital seperti ini sudah sangat
sering digunakan berbagai brand dan biro iklan, hingga para pemilik akun populer
mulai menetapkan harga tiap post-nya. Misalnya akun @KhloeKardashian milik
selebriti Khloe Kardashian yang setiap cuitnya bernilai $13.000.
Bentuk lain dari periklanan di media baru adalah tailored personalized digital
advertisement. Personalisasi dapat memiliki arti yang berbeda-beda bagi para
penjual (Vesanen, 2007), dan Baek dan Morimoto (2012) menyatakan bahwa ada
dua jenis personalisasi pada konteks komunikasi pemasaran, yaitu; a. personalisasi
pemasaran dimana para penjual menawarkan produk spesifik bagi konsumen
berdasarkan informasi konsumen, termasuk di dalamnya menciptakan diferensiasi
produk terlepas dari prinsip produksi massal (Gillen, 2000 dan Goldsmith dan
Freiden, 2004) dan b. personalisasi iklan, yaitu usaha-usaha komunikasi dengan
berbagai cara yang bertujuan untuk menciptakan penawaran yang dirancang secara
spesifik dan unik. Iklan menggunakan personalisasi berdasarkan data-data
konsumen agar produsen dapat menciptakan pesan yang tepat sasaran dengan
penempatan iklan pada media yang akurat.
Untuk menciptakan pesan yang dikustomisasi secara individual tersebut, para
penjual memanfaatkan data-data pribadi konsumen seperti nama, sejarah belanja
mereka, demografis, psikografis, lokasi dan ketertarikan gaya hidup (Baek dan
Morimoto, 2012). Konsumen akan merasa familiar dengan produk yang
dipromosikan dan merasa produk tersebut dapat menjawab kebutuhan mereka.
Dengan metode ini, diharapkan konsumen tidak merasa bahwa mereka terpaksa
melihat iklan tersebut dan tidak melakukan penghindaran terhadap iklan.
Personalisasi periklanan juga bertujuan untuk mengurangi persepsi negatif
konsumen terhadap penjual (Morimoto dan Chang, 2006). Konsumen selalu
1
Singkatan dari Selebriti Twitter: pengguna Twitter dengan jumlah pengikut ribuan dan merupakan
tokoh yang terkenal di dunia maya.
14
menanggapi informasi baru secara kritis dan tidak serta-merta menerima pesan apa
adanya. Proses decoding pesan selalu terjadi setiap saat, yang dilandasi oleh
pemahaman konsumen maupun pengalaman sebelumnya. Proses mengkritisi dan
menolak pesan ini akan semakin kuat terjadi jika konsumen merasa bahwa
kehadiran pesan tersebut mengurangi atau menghilangkan kebebasan berperilaku
mereka (Brehm, 1966 dan Brehm dan Brehm, 1981). Pada konteks komunikasi
pemasaran, konsumen cenderung menjadi waspada ketika diberi pesan atau
penawaran persuasif (Baek dan Morimoto, 2012) bahkan menjadi skeptis terhadap
segala bentuk iklan (Obermiller dan Spangenberg, 1998, 2000)
Pada penerapannya, personalisasi iklan tidak selalu menimbulkan hasil yang
sesuai dengan harapan pemasang iklan. Banyak personalisasi iklan yang tidak
direspon dengan baik oleh audiens, sehingga menimbulkan perilaku penghindaran
iklan. Sikap negatif ini disebabkan oleh pemikiran konsumen yang menganggap
bahwa usaha pemasaran dan periklanan yang dipersonalisasi telah menjadi terlalu
personal (White, et al, 2008) sehingga mengganggu ranah privasi mereka maupun
kebebasan untuk berpikir dan mengambil keputusan (Baek dan Morimoto, 2012).
Isu privasi menjadi penting mengingat sifat dari personalisasi iklan yang
memanfaatkan data pribadi konsumen.
Konsumen yang menerima pesan
periklanan personal dari pemasang iklan yang tidak dikenal mengganggap bahwa
informasi pribadi mereka telah disalahgunakan oleh pihak ketiga (Okazaki, Li dan
Hirose, 2009 pada Baek dan Morimoto, 2012). Ketakutan ini disebabkan karena
proses pemanfaatan dan perolehan data pribadi konsumen dilakukan dengan
menggunakan teknologi geo-location seperti Global Positioning System (GPS)
atau Cell of Origin (COO) yang membuat para pemasar dapat mengetahui lokasi
konsumen dari telepon genggam milik mereka (Bauer, et al, 2005 pada Baek dan
Morimoto, 2012).
Pada media baru, perolehan data personal untuk kebutuhan beriklan menjadi
semakin terperinci. Metode paling mudah adalah menggunakan IP address dari
sebuah komputer/mobile internet device yang sedang terhubung dengan internet,
15
kemudian menayangkan iklan yang relevan secara geografis meski pengguna
tersebut sedang mengakses situs internasional. Misalnya pengguna internet dari
Indonesia yang sedang membuka situs YouTube, akan diterpa oleh iklan dari
produk yang berasal dari Indonesia saja. Contoh lainnya adalah layanan tailored
ads milik Facebook. Pada situs ini, pemasang iklan akan diberi pilihan untuk
mendeskripsikan secara rinci mengenai target audiens yang diinginkan. Pemasang
iklan dapat mendeskripsikan usia, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi, hobi hingga
waktu online mereka di Facebook.
Masalahnya, kemampuan periklanan yang semakin gencar dan intrusif
terhadap konsumen berbanding terbalik dengan cara konsumen merespons iklan
tersebut. Terlepas dari berbagai data pendukung, riset dan proses berjam-jam
untuk memproduksi dan menayangkan sebuah iklan di media apapun, ada titik di
mana audiens merasa jenuh dan menunjukkan sikap yang negatif lalu memberikan
penolakan. Edwards, Li dan Lee (2002) mencoba melihat perilaku respons negatif
pengguna internet terhadap pop-up ads berdasarkan pada teori psychological
reactance (Brehm, 1966). Pada penelitian tersebut, Edwards et al menemukan
bahwa hadirnya iklan dalam bentuk pop-up merupakan paksaan paparan terhadap
audiens, dan ini menyebabkan perilaku penghindaran periklanan.
Berdasarkan metode identifikasi dan penyaringannya, terdapat dua jenis
perilaku penghindaran iklan, yaitu secara refleksif dan secara diskriminatif (Speck
dan Elliott, 1997). Penghindaran iklan secara refleksif adalah penghindaran yang
dilakukan secara masif dan sporadis, dilakukan oleh audiens yang sama sekali
tidak mau terpapar iklan saat ia mengkonsumsi media. Audiens akan menghindari
apapun yang tampak sebagai iklan bagi dirinya. Mereka tidak melihat sama sekali
apa isi dari iklan tersebut, dan memiliki pemikiran bahwa semua iklan harus
dihindari, apapun isinya. Sementara penghindaran diskriminatif adalah tindakan
penghindaran yang lebih toleran terhadap iklan; pengguna melakukan diskriminasi
atas konten iklan sebelum memutuskan untuk menghindar.
16
Penyebab perilaku penghindaran periklanan pengguna media baru sudah
pernah diteliti oleh Cho dan Cheon dengan judul Why Do People Avoid
Advertising on the Internet? pada tahun 2004. Pada penelitian tersebut, Cho dan
Cheon menyatakan bahwa ada tiga hal utama yang menjadi penyebab perilaku
penghindaran iklan di Internet, yaitu:
a. anggapan pergeseran tujuan
Internet adalah media yang berorientasi pada tujuan penggunanya. Ketika
seorang pengguna mengakses internet, ia sudah memiliki tujuan awal dalam
mengkonsumsi media ini, misalnya untuk memeriksa surat elektronik terbaru,
membaca berita, mengakses media sosial, menikmati konten multimedia dan
lainnya. Saat menggunakan internet, pengguna cenderung mengalami
pergeseran tujuan yang diarahkan oleh iklan dan hal ini mengakibatkan
ketidaksukaan, sikap negatif dan penghindaran iklan.
b. anggapan kekacauan iklan di internet
Iklan di internet dianggap lebih agresif dibandingkan dengan iklan di
media lainnya (Li, Edwards dan Lee, 2002). Salah satu bentuk agresifitas ini
adalah banyaknya iklan yang terpajang dalam satu laman internet, karena
biaya yang rendah dan banyaknya opsi ruangan penempatan iklan. Pengguna
sudah mulai menganggap bahwa jumlah iklan ini terlalu berlebihan sehingga
mereka merasa terganggu (Elliott dan Speck, 1997)
c. pengalaman buruk yang pernah dialami sebelumnya.
Dalam konteks iklan di internet, pengguna memiliki ketidakpuasan
terhadap produk yang diiklankan atau mereka memiliki anggapan kekurangan
alasan untuk meng-klik iklan tersebut. Iklan juga dapat menjadi sarana bagi
pengguna yang tidak berniat baik untuk meretas dan mencuri data pengguna
yang mengaksesnya. Banyaknya iklan juga berpengaruh kepada pemakaian
kuota dan kecepatan mengakses internet, yang merupakan pertimbangan
utama dari pengguna internet (Cho dan Cheon, 2004). Pengalaman buruk ini
17
menyebabkan pengguna menghindari sumber dari pengalaman tersebut, yaitu
iklan.
Penelitian Cho dan Cheon dianggap memiliki keterbatasan sampel, yaitu 266
responden dan jumlah ini terhitung kecil dibandingkan dengan keseluruhan
pengguna internet di seluruh dunia. Oleh karena itu, Cho dan Cheon
merekomendasikan kalangan akademisi untuk melakukan replikasi penelitian ini.
Salah satunya dilakukan oleh Putra dan Herawati (2013) di Yogyakarta, dengan
alasan perbedaan karakteristik demografis dan pemahaman terhadap teknologi
antara pengguna internet di Yogyakarta dan Amerika. Putra dan Herawati
menganggap bahwa mahasiswa di Yogyakarta tidak memiliki pemahaman
teknologi sebaik mahasiswa di Amerika, sehingga perilaku penghindaran iklannya
akan berbeda.
Hasil replikasi ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana
97.5% responden disimpulkan memiliki perilaku penghindaran iklan di internet
yang tinggi dan 2.5% memiliki perilaku sedang. Pengguna internet sengaja
mengabaikan iklan apapun di Web, tidak melihat banner ads, tidak melihat pop-up
ads, tidak melihat iklan apapun di Web, tidak memperhatikan banner ads, tidak
memperhatikan pop-up ads, tidak memperhatikan iklan apapun di Web, tidak
meng-klik iklan apapun di Web, meskipun iklan tersebut menarik perhatian
pengguna dan pengguna internet termasuk membenci banner ads, pop-up ads,
iklan apapun di Web dan mengganggap bahwa lebih baik jika tidak ada banner
ads di Web, pop-up ads, iklan apapun di Web (Putra dan Herawati, 2013). Pada
akhirnya, dugaan Putra dan Herawati bahwa perbedaan karakteristik pengguna
berdampak terhadap perilaku penghindaran iklan di media baru tidak terbukti.
3.
Periklanan pada mobile internet device
Iklan pada perangkat bergerak (mobile ads) merupakan perkembangan dari
iklan online/internet. Menurut Yu (2013:5), mobile ads adalah pesan komersial
18
berbasis teks dan grafik yang dikirimkan ke konsumen melalui mobile devices.
Seperti yang telah diketahui, tingginya penggunaan perangkat bergerak tidak
terlepas dari semakin meningkatnya penetrasi Internet di masyarakat (eMarketer,
2014). Berangkat dari konsep “perangkat untuk mengakses internet di mana saja”,
penggunaan mobile internet device telah berkembang menjadi alat yang
penggunaannya terintegrasi dengan internet. Sehingga, iklan di mobile internet
device kemudian memiliki media tersendiri untuk tampil pada target audiensnya,
tidak seperti dulu di mana iklan hanya bisa tampil pada saat pengguna melakukan
kegiatan browsing.
Sebagaimana iklan di media konvensional yang menggunakan media habit
pengguna untuk menentukan pemasangan medianya, iklan pada mobile internet
device pun memiliki pertimbangan yang sama. Menurut Lorette (2014), secara
prinsip terdapat enam jenis iklan yang hadir pada mobile internet device:
- Google AdWords/search engine marketing
Iklan berbentuk teks yang tampil pada bagian atas, bawah dan/atau
samping laman saat menggunakan mesin pencari.
Gambar 1.1: Contoh Google AdWords/Search Engine Marketing pada
laman mesin pencari Google (dok. pribadi)
19
- content ads
Teks atau iklan banner yang relevan dengan konten laman yang
sedang diakses oleh pengguna. Misalnya pengguna sedang mengakses
berita tentang teknologi fotografi terkini, maka pada bagian akhir berita
tersebut akan tertera berita terkait fotografi, yang sesungguhnya merupakan
iklan.
- display ads
Iklan berbentuk gambar yang tertera pada suatu laman internet, bersifat
statis maupun dinamis. Terdiri dari banner dan pop-up.
Gambar 1.2: Contoh content ads (dok. pribadi)
Gambar 1.3: Contoh display ads pada sebuah situs (dok.
pribadi)
20
- search engine optimization
Pemanfaatan kata kunci tertentu untuk memastikan sebuah website
berada pada urutan teratas ketika seorang pengguna menggunakan mesin
pencari, meskipun dalam sudut pandang pengguna, usaha ini tidak nampak
sebagai iklan.
- media sosial
Menampilkan iklan pada jejaring media sosial (misalnya promoted
post), atau menggunakan media sosial itu sendiri sebagai media periklanan.
Harapan dari penggunaan media sosial untuk beriklan adalah untuk
menciptakan word of mouth secara digital, atau dikenal juga dengan istilah
Electronic Word of Mouth (eWoM).
Gambar 1.4: Contoh post berbayar pada media sosial (dok.
pribadi)
- e-mail marketing
Ketika seorang pengguna menyetujui untuk berlangganan pada suatu
situs, maka situs tersebut berhak untuk mengirimnya artikel dalam bentuk
newsletter, yang juga berfungsi sebagai media iklan.
21
Keenam jenis iklan tersebut ternyata sesuai dengan kebiasaan user dalam
menggunakan mobile internet device. Biro riset pemasaran Salesforce (2014)
menyatakan bahwa rata-rata setiap pengguna mobile internet device menggunakan
alatnya selama 3.3 jam per hari, dengan aktivitas utama membuka email, sms,
browsing, media sosial, menonton video online, mencari berita, serta bermain
games. Situs yang umumnya dikunjungi adalah Twitter, YouTube, Amazon,
Facebook, CNN dan Instagram. Setidaknya 26% menggunakan aplikasi untuk
mengakses situs-situs tersebut alih-alih browser.
Sementara riset lainnya yang dilakukan oleh Oei (2013) menunjukkan bahwa
penggunaan utama mobile internet device oleh user Indonesia adalah untuk
mengakses media sosial, hiburan, mencari informasi umum, bermain games,
membuka email, dan menggunakan search engine untuk informasi lokal. Situs
media sosial yang paling sering dikunjungi adalah Twitter, YouTube, Facebook
dan Google+.
Sesuai dengan pernyataan di awal, mobile ads juga menyesuaikan kebiasaan
yang dilakukan oleh target audiensnya dalam menggunakan mobile internet
device. Maka mobile ads akan ditemukan pada saat user sedang melakukan
browsing, mengakses media sosial, serta menggunakan aplikasi2. Jenis iklan yang
ditemukan pada mobile internet device berdasarkan kegiatan tersebut adalah:
interstitial ads, off-deck ads, pop-up ads, banner ads, content ads, Google
Adwords, promoted post, post berbayar pada media sosial, iklan dari pengguna lain
secara acak, dan pre-roll video ads.
G. Kerangka Konsep
Penelitian Cho dan Cheon (2004) maupun Putra dan Herawati (2013) mengenai
perilaku penghindaran iklan di media baru memiliki beberapa keterbatasan, utamanya
2
Aplikasi adalah piranti lunak yang dapat dijalankan pada mobile internet device yang memiliki sistem
operasi. Game juga termasuk dalam kategori aplikasi.
22
terkait dengan perkembangan teknologi media baru hingga saat penelitian ini dibuat.
Pertama, kedua penelitian terdahulu berangkat dari sebuah pemikiran bahwa
pengguna media baru pasti melakukan perilaku penghindaran iklan3. Kedua, kedua
penelitian tersebut tidak menunjukkan perilaku penghindaran iklan yang didasari oleh
karakteristik pengguna media baru. Ketiga, kedua penelitian tersebut tidak membahas
tentang pengguna yang mengakses media baru melalui mobile internet device.
Penelitian ini tidak berangkat dari sebuah dugaan bahwa pengguna media baru
pasti melakukan penghindaran iklan, tetapi justru berusaha untuk mencari tahu
apakah pengguna media baru memang menunjukkan perilaku penghindaran iklan.
Penelitian ini juga mempertimbangkan adanya aspek kendali dan pengelolaan konten
media yang lebih kuat pada pengguna media baru, serta wujudnya dalam perilaku
penghindaran iklan. Terakhir, penelitian ini secara spesifik membahas tentang
perilaku penghindaran iklan oleh pengguna mobile internet device, sebuah populasi
yang signifikan dalam dunia periklanan digital.
Menurut riset dari MarketPlus (2013), ada 71 juta pengguna internet aktif di
Indonesia dan setengahnya masuk ke dalam kategori netizen. Lebih lanjut, 86% dari
netizen mengakses internet melalui mobile internet device dan kegiatan yang paling
banyak dilakukan adalah mengakses media sosial. Iklan hadir pada aplikasi tidak
berbayar di mobile internet device, hadir dalam bentuk aplikasi pada mobile internet
device, hadir pada sosial media dan juga penggunanya. Artinya, terpaan iklan melalui
mobile internet device memang sangat tinggi. Fenomena ini tidak diteliti oleh Cho
dan Cheon maupun Putra dan Herawati. Oleh karena itu, penelitian “Survei Perilaku
Penghindaran Iklan dan Pesan Komersil pada Mobile internet device” ini bukan
merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya, tetapi merupakan pengayaan pada
bidang periklanan di media baru.
3
Cho dan Cheon (2004:90) menyatakan “Based on extant communication, psychology and marketing
theories, and research, we theorize that Internet users exercise ad avoidance on the Internet because
of perceived goal impediment, perceived ad clutter, and prior negative experience.” Sementara Putra
dan Herawati (2013:5) menyatakan “Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitian Cho
dan Cheon (2004)”.
23
Sesuai dengan judul, maka ada satu konsep yang digunakan pada penelitian ini,
yaitu “penghindaran iklan”. Menurut Chatterjee (2008), perilaku penghindaran iklan
dapat diukur dengan dua dimensi, yaitu kognitif dan mekanis. Penghindaran secara
kognitif dilakukan oleh audiens ketika ia berusaha untuk mengabaikan/sengaja tidak
melihat iklan yang berada pada lingkungan di sekitarnya. Audiens akan mengalihkan
perhatiannya secara sengaja kepada hal lain ketika terpapar iklan. Sementara
penghindaran secara mekanis (disebut juga secara fisik) adalah penghindaran iklan
yang
dilakukan
dengan
cara
menghilangkan
keberadaan
iklan,
umumnya
menggunakan bantuan alat mekanis. Audiens akan melakukan tindakan khusus untuk
menghilangkan iklan pada lingkungan di sekitarnya. Misalnya dengan memasang
aplikasi penghalang iklan AdBlock pada mobile internet device.
Konsep ini juga digunakan untuk mengukur perilaku penghindaran iklan pada
media konvensional (lihat Speck dan Elliott, 1997:68) dan pada internet (lihat
Chatterjee, 2008:52). Oleh karena itu, penulis memilih untuk menggunakan konsep
tersebut untuk mengukur perilaku penghindaran iklan pada mobile internet device.
Pertimbangan lainnya adalah adanya kesamaan jenis iklan serta karakteristik
pengguna internet dengan mobile internet device.
Tabel 1.1
Tabel Operasionalisasi Konsep
Konsep
Variabel
Dimensi
Item
Penghindaran
Perilaku
Kognitif
Mengabaikan display ads Ordinal
iklan
Skala
(pop-up dan banner) pada
mobile internet device
Mengabaikan
iklan Ordinal
interstitial dan off deck
pada mobile internet device
24
Mengabaikan
Google Ordinal
Adwords
mobile
pada
internet device
konten Ordinal
Mengabaikan
promosi pada media sosial
Mengabaikan pre-roll video Ordinal
ads pada mobile internet
device
Mekanis
Meng-install piranti lunak Ordinal
penghalang iklan AdBlock
aplikasi Ordinal
Meng-install
premium
Mematikan
internet
saat Ordinal
menggunakan aplikasi
unfollow Ordinal
Melakukan
terhadap akun media sosial
yang
memiliki
konten
promosi
Memblokir
akun
media Ordinal
sosial yang memiliki konten
promosi
Menutup display ads (pop- Ordinal
up dan banner) pada mobile
internet device
Menutup iklan interstitial Ordinal
dan off deck pada mobile
25
internet device
Menutup Google Adwords Ordinal
pada mobile internet device
Menutup pre-roll video ads Ordinal
pada mobile internet device
H. Definisi Operasional
Menurut Singarimbun (1995:42), variabel adalah sesuatu yang memiliki variasi
nilai sebagai operasionalisasi konsep sehingga dapat diteliti secara empiris. Dengan
memilih dimensi tertentu, konsep dapat memiliki variasi nilai. Definisi operasional
untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
1. Dimensi kognitif
Dimensi ini mengukur perilaku penghindaran iklan pada mobile internet
device secara kognitif, yaitu dengan cara mengalihkan perhatian pada hal
selain iklan/mengabaikan iklan. Item pada dimensi ini menyesuaikan dengan
jenis iklan yang dipaparkan pada berbagai saluran pada mobile internet
device.
o Mengabaikan iklan interstitial
o Mengabaikan iklan off-deck
o Mengabaikan iklan banner
o Mengabaikan iklan pop up
o Mengabaikan iklan content ads
o Mengabaikan iklan Google AdWords
o Mengabaikan post berbayar oleh pengguna media sosial lain
o Mengabaikan pre-roll video ads di YouTube
2. Dimensi mekanis
26
Dimensi ini mengukur perilaku penghindaran iklan pada mobile internet
device secara mekanis, di mana pengguna akan melakukan penghindaran
iklan dengan cara menghilangkan iklan dari lingkungan persepsi pengguna
tersebut.
o Menginstall piranti lunak AdBlock untuk menghilangkan iklan
o Menginstall aplikasi premium untuk menghilangkan iklan
o Mematikan internet saat menggunakan aplikasi untuk menghilangkan
iklan
o Melakukan unfollow terhadap akun yang memiliki konten komersil
pada media sosial
o Memblokir akun yang memiliki konten komersil pada media sosial
o Menutup iklan interstitial
o Menutup iklan off-deck
o Menutup iklan banner
o Menutup iklan pop up
o Menutup iklan content ads
o Menutup iklan Google AdWords
o Menutup pre-roll video ads di YouTube
I.
Metodologi Penelitian
1.
Jenis dan metode penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perilaku
penghindaran iklan pada mobile internet device beserta wujud penghindarannya.
Oleh karena itu, peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan metode survey.
2.
Populasi dan sampel
27
Penelitian kuantitatif membutuhkan populasi dan sampel untuk memperoleh
data.
a. Populasi
Pada penelitian ini, populasi yang diteliti adalah netizen, yaitu pengguna
internet yang mengakses selama lebih dari tiga jam per hari (Lukman, 2013).
Menurut data dari Markplus Insight, Marketeers dan Kementrian Komunikasi
dan Informatika Indonesia tahun 2014, ada 74.6 juta pengguna internet di
Indonesia dan 31.7 juta pengguna masuk dalam kategori netizen. Lebih lanjut,
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa 86% dari netizen mengakses
internet melalui mobile internet device.
Populasi = (jumlah netizen di Indonesia) * (jumlah pengguna mobile internet
device)
Populasi = 31.700.000 * 86% = 27.262.000 orang.
b.
Sampel
Peneliti mengalami kesulitan untuk melakukan penelitian terhadap populasi
sebesar itu. Maka peneliti perlu menentukan sampel yang representatif.
Menurut Taylor (2009), sampel merupakan bagian dari populasi yang hendak
diteliti. Sampel pada penelitian ini akan ditentukan melalui rumus Slovin,
dengan toleransi kesalahan 1%, 5% dan 10%. Data untuk penelitian ini akan
diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada pengguna mobile internet
device dengan tingkat kesalahan 5%. Ukuran sampel yang akan diteliti adalah
sebagai berikut:
Keterangan:
28
n
=
ukuran sampel
N
=
ukuran populasi
e
=
Presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan, dalam
penelitian ini sebesar 5%.
Berdasarkan rumus di atas, dari populasi sebesar 27.262.000 diperoleh hasil
399.99 dan dibulatkan menjadi 400 orang. Maka sampel untuk penelitian ini
adalah 400 orang pengguna mobile internet device.
3. Teknik pengambilan sampel
Sampel pada penelitian ini akan ditentukan melalui teknik purposive
sampling. Kasiram (2008, pada Widyaningtyas, 2013:30) menyatakan bahwa
teknik purposive sampling adalah penunjukan sampel yang didasarkan atas ciriciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Karakteristik
utama dari populasi yang akan diteliti adalah memiliki mobile internet device dan
terbiasa mengakses internet melalui mobile internet device. Orang-orang yang
tidak memiliki kriteria tersebut tidak dapat menjadi sampel.
4. Data dan teknik pengumpulan data
Peneliti akan memanfaatkan baik data primer maupun sekunder untuk
penelitian ini. Walliman (2005: 153) menyatakan bahwa pengumpulan data
merupakan bagian yang penting dari sebuah penelitian, dan dapat berupa data
primer (informasi yang diperoleh peneliti pertama kali) ataupun sekunder
(informasi sudah pernah diperoleh orang lain untuk kemudian diolah kembali
dengan cara yang berbeda). Penelitian ini akan menggunakan data primer dan
sekunder, mengingat orientasi penelitian yang bertujuan untuk memperkaya
pengetahuan di bidang periklanan digital.
29
Data sekunder diperoleh dari berbagai macam data dan informasi dari bukubuku literasi mengenai periklanan digital, serta penelitian tentang perilaku
penghindaran iklan dan media baru, khususnya terkait mobile internet device.
Data primer akan diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner adalah teknik
pengumpulan data dengan mengirimkan suatu daftar pertanyaan kepada
responden untuk diisi (Sukandarrumidi, 2004:78). Ada tujuh jenis pertanyaan
mendasar yang dapat ditanyakan melalui kuesioner, yaitu kuantitas atau
informasi, kategori, daftar atau pilihan ganda, skala, peringkat, tabel yang
kompleks atau pertanyaan terbuka (Walliman, 2005:179). Kuesioner kemudian
akan disebarkan secara online hingga mencapai jumlah 400 responden.
5. Uji validitas
Idrus (2009:123) menyatakan bahwa keabsahan data dalam penelitian
kuantitatif akan merujuk pada validitas instrumen dan skala. Suatu instrumen
penelitian dapat dinyatakan valid ketika memiliki validitas konten, logika,
empiris dan statistik. Terlebih lagi, instrumen penelitian yang valid berarti
perolehan data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Menurut Idrus (2009:128), metode yang sering digunakan untuk mencari
validitas instrumen adalah korelasi produk momen melalui Pearson correlation
antara rhitung setiap butir pertanyaan dengan rtabel, atau disebut juga dengan
istilah inter item-total correlation. Jika nilai rhitung sebuah butir pertanyaan
lebih besar daripada nilai rtabel, maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid
dan dapat digunakan pada kuesioner. Sebaliknya, jika rhitung butir pertanyaan
tersebut lebih kecil atau sama dengan rtabel, maka pertanyaan tersebut
dinyatakan tidak valid dan harus diganti.
6. Uji reliabilitas
30
Reliabilitas instrumen adalah tingkat konsistensi instrumen saat digunakan
oleh peneliti yang berbeda pada waktu yang berbeda. Instrumen penelitian harus
bersifat dapat dipercaya, artinya tetap akan menunjukkan hasil yang seragam
meskipun digunakan oleh orang yang berbeda. Meskipun ada berbagai cara untuk
menguji reliabilitas instrumen penelitian (lihat Idrus, 2009:132-144), peneliti
akan menggunakan fitur dari piranti lunak SPSS untuk menguji reliabilitas
melalui uji Cronbach alpha. Instrumen dianggap konsisten jika koefisien
Cronbach alpha mendekati angka 1 (dengan rentang 0 hingga 1).
7. Teknik analisis data
Penelitian “Survei Perilaku Penghindaran Iklan dan Pesan Komersil pada
Mobile internet device” bersifat deskriptif dan bertujuan untuk memahami
fenomena yang terjadi pada konteks terkait. Hanya ada satu variabel yang
digunakan, maka peneliti akan melakukan analisis data dengan teknik analisis
deskriptif. Menurut Rakhmat (1991:23), analisis deskriptif bertujuan untuk a.)
mengumpulkan informasi secara rinci yang melukiskan fenomena yang terjadi,
b.) mengidentifikasi masalah dan c.) menentukan tindakan yang dilakukan
orang lain dalam menghadapi masalah yang serupa.
Idrus (2009:166) menyatakan bahwa analisis statistik deskriptif dapat
mencakup:
- Mode: merupakan nilai dengan frekuensi kemunculan tertinggi. Mode
digunakan untuk mencari kecenderungan jawaban responden
terhadap sebuah pernyataan.
- Median: merupakan nilai tengah dari sebaran data yang ada.
- Mean: merupakan nilai rata-rata dari keseluruhan nilai yang ada. Mean
digunakan untuk melihat kecenderungan umum jawaban responden.
31
Peneliti menggunakan pengukuran kecenderungan pusat (measures of
central tendency) untuk melakukan analisis data yang diperoleh dari pengisian
kuesioner. Menurut Stockburger (2014), kecenderungan pusat adalah nilai yang
menunjukkan keterwakilan (representativeness). Artinya, deskripsi data yang
diperoleh melalui analisis kecenderungan pusat terhadap sampel merupakan
representasi dari bukti empiris pada fenomena tersebut.
Hasil analisis akan dipaparkan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabel
Crosstab.
32
Download