BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya (UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009). Dari definisi tersebut, Santosa (2013) menjabarkan komponen lingkungan hidup menjadi tiga jenis yakni (1) komponen abiotik meliputi atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, dan oseanosfer. (2) komponen biotik meliputi flora dan fauna dan (3) komponen kultural yang terdiri atas manusia dan peradabannya. Ketiga komponen ini saling berinteraksi dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Supardi (2003) menjelaskan interaksi antara manusia dengan lingkungannya mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi seperti kerusakan tanah, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Keadaan ini makin diperbesar dengan adanya penggalian dan pemanfaatan sumber-sumber alam untuk menunjang kehidupan manusia akibat pertumbuhan penduduk. Santosa (2013) menjelaskan pengelolaan lingkungan hidup dan SDA yang tidak tepat menyebabkan penyusutan SDA lebih cepat dari waktu normal dan berujung pada krisis energi, pangan dan air. Sementara kerusakan dan pecemaran lingkungan hidup akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan, kesehatan manusia yang menurun, biaya hidup yang semakin meningkat dan menurunnya kualitas hidup manusia. Menyadari hal tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian sejak dini terhadap berbagai bentuk kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satunya adalah melalui kewajiban penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) sebagai 1 perangkat preemtif dalam mencegah pencemaran lingkungan. AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan (PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan). Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah telah menetapkan kewajiban penyusunan dokumen AMDAL bagi setiap rencana usaha/kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan. Dokumen AMDAL wajib di susun oleh pemrakarsa sebelum kegiatan usaha dimulai dan terdiri atas 4 (empat) bagian yakni dokumen Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Tujuan penyusunan dokumen AMDAL adalah untuk memprediksikan dan mengelola dampak lingkungan yang mungkin muncul dari suatu usaha/kegiatan agar tidak mencemari lingkungan. Dokumen AMDAL yang telah disusun pemrakarsa selanjutnya diuji oleh tim komisi penilai yang dibentuk pemerintah untuk menilai kelayakan lingkungan suatu rencana usaha/kegiatan. Penetapan status kelayakan lingkungan ini sekaligus menjadi dasar penerbitan izin lingkungan yang merupakan salah satu syarat bagi penerbitan izin suatu usaha. Selanjutnya, setiap pemrakarsa yang sudah mengantongi izin lingkungan berkewajiban untuk menjalankan RKLRPL dalam setiap tahapan kegiatan/usaha. Selain itu, pemrakarsa juga berkewajiban menyampaikan laporan pelaksanaan RKL-RPL secara berkala setiap semester kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) setempat. Kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin lingkungan membawa konsekuensi hukum berupa kewajiban untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pengelolaan lingkungan oleh pemrakarsa. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang mewajibkan Bupati Kobar melalui pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap implementasi RKL-RPL oleh pemrakarsa. Bagi pemrakarsa yang terbukti melalaikan kewajiban lingkungan akan mendapatkan 2 ancaman sanksi administratif hingga pidana tergantung tingkat kesalahan yang dilakukan. Dengan demikian, peran BLH di daerah dalam menjalankan fungsi monev RKL-RPL menjadi sangat penting dalam menjamin ketaatan pemrakarsa dan mencegah pencemaran lingkungan. Peran tersebut terukur dalam bentuk kinerja monev RKL-RPL. Rivai dan Basri (2005, dalam Edy Sutrisno dkk, 2009) mendefinisikan kinerja sebagai hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan pada periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan seperti standar hasil kerja, target, sasaran, atau kriteria yang telah dintentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Dalam kenyataannya, capaian kinerja monev RKL-RPL oleh BLH masih rendah. Indikatornya, terlihat dari masih banyak pemrakarsa yang melalaikan kewajiban lingkungan. Mengutip Adiwibowo (2004, dalam Tias, 2009), beberapa faktor yang menjadi penyebab pelaksanaan AMDAL (RKL-RPL) kurang optimal adalah sebagai berikut : (1) AMDAL dan implementasinya masih dipandang sebagai beban dan bukan sebagai kewajiban untuk mengelola lingkungan hidup; (2) tidak ada insentif bagi pemrakarsa yang: menyusun atau tidak menyusun AMDAL; menyusun AMDAL secara baik dan benar dan yang asal jadi; mengimplementasikan hasil AMDAL (RKL-RPL) dengan yang tidak berniat melaksanakan hasil AMDAL; (3) AMDAL masih dipandang sebagai instrumen perizinan daripada sebagai instrumen pencegahan dampak lingkungan; (4) Lemahnya penegakan hukum terhadap: kegiatan/usaha yang tidak menyusun AMDAL; AMDAL disusun pada saat kegiatan sudah mulai; kegiatan usaha yang tidak mengimplementasikan RKL atau RPL; dan 3 (5) belum ada integrasi AMDAL, izin lokasi dan izin operasi. Belum optimalnya implementasi AMDAL dalam kegiatan pembangunan juga terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Hingga tahun 2013, di Kabupaten Kobar terdapat 26 (dua puluh enam) pemrakarsa yang sudah memiliki dokumen AMDAL dan wajib menyampaikan laporan realisasi RKL-RPL ke BLH sekali dalam setiap semester. Rinciannya, sebanyak 18 usaha bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, 4 usaha di sektor pertambangan, 3 usaha dibidang kehutanan dan 1 usaha di bidang transportasi laut. Mengacu pada rekapitulasi data yang dilakukan BLH, tercatat ada 5 (lima) pemrakarsa yang tidak pernah sama sekali menyerahkan laporan pelaksanaan RKL-RPL pada dua tahun terakhir (2012-2013). Ketiadaan laporan RKL-RPL menjadikan kegiatan pengelolaan lingkungan oleh pemrakarsa tidak terpantau dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Indikasinya terlihat dari berbagai kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di Kabupaten Kobar akibat kelalaian pemrakarsa. Salah satunya adalah kasus pencemaran Sungai Arut yang terjadi hampir setiap tahun. Berikut ini penulis tampilkan dua kutipan berita kasus pencemaran Sungai Arut yang dimuat dalam situs harian lokal Borneonews. Penelitian Unibra : Sungai Arut Berstatus SANGAT RUSAK Senin, 13 April 2015 - 14:30 WIB HASIL penelitian Universitas Brawijaya (Unibra), Malang, Jawa Timur (Jatim) status kerusakan habitat sumber daya ikan di perairan Sungai Arut berstatus Sangat Rusak. Dan dalam presentasi sumber daya ikan diperairan sungai Arut nilai kerusakannya (NK) mencapai 94,23%. “Sudah sedemikian parahnya kerusakan Sungai Arut. Untuk ekosistemnya bisa saya katakan 70% rusak,” ujar Hepy, Kepala Bidang (Kabid) Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kotawaringin Barat (Kobar) beberapa waktu lalu. Padahal Sungai Arut merupakan sentra penghasil ikan. Berbagai jenis ikan dipelihara dalam keramba apung disepanjang bantaran Arut. Di antaranya, Patin, Nila, Emas, Gurame, Bawal, dan ikan air tawar lainnya. Hasil budidaya ikan keramba apung bantaran Sungai Arut memasok kebutuhan ikan di Pasar Tradisional Indra Sari dan Pasar Saik Indra Kencana, Pangkalan Bun. (www.borneonews.co.id) 4 Diduga Akibat Tumpahan CPO PT Gemareksa: Mangrove Di Pinggiran Perairan Kumai Mati Sabtu, 13 Juni 2015 - 13:13 WIB Tumpahnya Crude Palm Oil (CPO) atau minyak mentah milik PT.Gemareksa Mekarsari di Perairan Kumai pada Minggu, (17/5/2015) lalu membawa dampak matinya biota sungai seperti Mangrove di sekitar perairan Kumai, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Akibatnya, masyarakat nelayan di Kecamatan Kumai mengeluh, hasil tangkapan mereka sudah jauh menurun. Dalam sehari biasanya hasil tangkapan berupa udang mencapai 4 kilogram. Sejak sebulan ini nelayan mengaku sulit mendapatkan hasil, dalam sehari mendapatkan satu kilogram saja sudah beruntung. Diduga matinya tanaman bakau termasuk nipah yang merupakan tempat berkembangbiaknya dan menjadi tempat yang nyaman bagi udang dan ikan menjadi penyebabnya. Menurut nelayan, tanaman bakau yang mati bisa dilihat dari pinggiran sungai kumai di lokasi tumpahnya CPO hingga ke perairan Desa Kubu, panjangnya mencapai puluhan kilometer. "Jelas penyebabnya karena tumpahan CPO yang terkombinasi dengan detergen menurut keterangan perusahaan, sehingga menjadi racun buat ikan-ikan dan tumbuhan," Kata Ahmad Jagam, perwakilan Nelayan Kumai, Jumat (12/6/2015). (www.borneonews.co.id) Adapun dari sisi administrasi pelaporan, hampir seluruh laporan RKL-RPL yang masuk ke BLH Kobar belum sesuai format yang diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan Laporan RKL dan RPL. Akibatnya, BLH mengalami kesulitan dalam melakukan evaluasi atas laporan yang dikirim pihak pemrakarsa. Sedangkan untuk kegiatan monev RKL-RPL di lapangan belum mampu menjangkau seluruh unit usaha pemrakarsa yang wajib diawasi karena keterbatasan SDM dan anggaran. Akibatnya, target dan realisasi kegiatan monev RKL-RPL dalam setahun tidak pernah mencapai 100 persen dari objek yang wajib diawasi. Meski demikian, beragam masalah yang menyertai pelaksanaan monev RKLRPL belum teridentifikasi dan terakomodasi dalam proses evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah (LAKIP). Penyebabnya, karena LAKIP hanya mengukur capaian kinerja dari aspek fisik dan keuangan belaka. Kinerja akan 5 di anggap berhasil ketika telah melaksanakan program yang direncanakan dan anggaran terserap 100 persen (tidak ada sisa). Tidak mengherankan apabila capaian kinerja monev RKL-RPL dalam LAKIP BLH setiap tahun selalu mencapai 100 persen atau sangat berhasil. Padahal, menurut Soleh dan Suripto (2011), objektivitas laporan semacam ini patut dipertanyakan karena selama ini budaya asal bapak senang (ABS) di lingkungan organisasi pemerintah bukanlah sesuatu yang baru. Secara konsepsional, LAKIP pada dasarnya sangat bagus, namun dalam operasionalisasinya sering dilaksanakan dengan tidak jujur dan hanya sekedar memenuhi kewajiban formal (formal obligation). Kelemahan lainnya adalah penyusunan LAKIP hanya bersandar pada indikator dan klaim sepihak dari penyelenggara layanan publik (BLH) dan tidak mengakomodasi aspirasi serta partisipasi publik. Alhasil, apa yang menjadi persepsi dan keinginan publik tidak mampu ditangkap dan tidak sejalan dengan program pemerintah. Menurut Dwiyanto (2006), penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitas. Tetapi juga harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik sering kali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memililiki alternatif sumber pelayanan. Dari uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian kinerja monev RKL-RPL di luar indikator versi pemerintah. Sejumlah pakar telah merumuskan beberapa indikator alternatif untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Dwiyanto (2006) menggunakan lima kriteria dalam mengukur kinerja birokrasi publik yakni produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas. Sementara itu, Lenvine (1990, dalam Dwiyanto, 1995, dan Tjandra dkk, 2005) mengusulkan tiga konsep yang bisa di pergunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik yaitu responsiveness, responsibility, dan accountability. Yang dimaksud responsivitas (responsiveness) adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan 6 mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsibilitas (responsibility) menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit atau eksplisit. Akuntabilitas menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Mengacu pada konsep tersebut, maka pengukuran kinerja monev RKL-RPL dalam penelitian ini akan menggunakan teori-teori yang sudah ada sebagai konfirmasi atas teori substantif yang dirumuskan dari hasil penelitian. Perumusan teori substantif sendiri dihasilkan dari analisis terhadap proses yang berlangsung selama monev RKL-RPL dengan melibatkan sudut pandang dan partisipasi pihak eksternal (publik). Caranya dengan mengumpulkan dan menilai persepsi dari seluruh informan yang terlibat dalam monev RKL-RPL. Persepsi atau pendapat yang muncul dari para informan akan menjadi indikator dan tolok ukur dalam menilai kinerja monev BLH Kobar. Sehingga, optimal tidaknya kinerja monev BLH ditentukan oleh tingkat kepuasan publik dan bukan pada hasil akhir berupa kuantitas kegiatan dan serapan anggaran sebagaimana yang lazim digunakan pemerintah. Tujuannya untuk memperoleh suatu penilaian yang faktual, objektif dan menyeluruh dalam mengukur capaian kinerja monev RKL-RPL. Selain itu, pendekatan semacam ini diharapkan mampu mengungkap berbagai kendala dan faktor-faktor yang selama ini mempengaruhi kinerja monev RKL-RPL. Dari hasil kajian tersebut kemudian dirumuskan strategi sebagai solusi untuk mengatasi berbagai kendala yang ada dan mampu meningkatkan kinerja monev RKL-RPL. Dengan terwujudnya kinerja monev RKL-RPL yang optimal diharapkan akan mampu mendorong ketaatan pemrakarsa dalam menjalankan kewajiban lingkungan untuk mencegah timbulnya pencemaran, menciptakan kelestarian lingkungan dan mewujudkan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. 7 1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan lingkungan melalui kegiatan monev RKL-RPL berperan penting dalam mengendalikan kegiatan pemrakarsa agar tidak mencemari lingkungan. Optimal tidaknya kinerja monev BLH secara otomatis akan berdampak langsung bagi kelestarian lingkungan hidup. Atas dasar ini, peneliti bermaksud mengkaji secara mendalam capaian kinerja monev BLH melalui rumusan permasalahan penelitian sebagai berikut ini. (1) Bagaimana kinerja monev BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL ? (2) Bagaimana persepsi publik terhadap kinerja monev BLH Kobar ? (3) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja monev BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL ? (4) Bagaimana merumuskan strategi kebijakan untuk meningkatkan kinerja monev BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL ? Untuk menjawab rumusan permasalahan tersebut, maka penting untuk dilakukan penelitian secara mendetail tentang “Kajian Kinerja Badan Lingkungan Hidup (BLH) Dalam Rangka Implementasi RKL-RPL di Kabupaten Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimatan Tengah.” 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan lingkup kajian penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Mengetahui kinerja monev BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL; (2) Menemukan konsep persepsi publik terhadap kinerja monev RKL-RPL; (3) Menganalisa faktor faktor yang mempengaruhi kinerja monev RKL-RPL; serta (4) Merumuskan strategi kebijakan untuk meningkatkan kinerja monev RKL-RPL. 8 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Secara teoritis, menambah referensi dibidang pengembangan kelembagaan khususnya organisasi pemerintah yang menangani perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Mampu mengetahui capaian kinerja BLH dan faktor faktor yang mempengaruhi monev RKL-RPL . (3) Sebagai bahan masukan bagi BLH Kobar dalam merumuskan strategi kebijakan guna meningkatkan kinerja monev RKL-RPL. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai kinerja instansi lingkungan hidup di daerah sudah banyak dilakukan peneliti terdahulu. Hampir semua penelitian tersebut mengulas kinerja instansi BLH secara umum ditinjau dari aspek administrasi publik. Namun, ada pula yang sudah melakukan penelitian pada bidang kinerja tertentu yang lebih spesifik secara mendalam. Berikut ini ditampilkan sejumlah penelitian yang dimaksud. (1) Permana (2002) melakukan penelitian mengenai kinerja Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) di Kabupaten Purwakarta. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja organisasi DPLH Kabupaten Purwakarta dan faktor faktor apa saja yang mempengaruhinya. Metode penelitian yang digunakan adalah deksriptif kualitatif dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja DPLH Kabupaten Purwakarta belum optimal karena masih banyak ditemukan kegiatan pembangunan di Kabupaten Purwakarta khususnya dalam bidang pertambangan yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja organisasi DPLH antara lain struktur organisasi yang belum memadai, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia 9 (SDM) yang rendah dan minimnya dukungan anggaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ditetapkan sejumlah strategi internal dan eksternal. Secara internal dilakukan penataan ulang struktur organisasi dan merekrut tenaga teknis yang berkompeten dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) khususnya dari sektor pertambangan. Secara eksternal, melakukan penataan peraturan dan penegakan hukum dibidang pengelolaan lingkungan dan membentuk asosiasi pengusaha pertambangan untuk memudahkan dalam koordinasi, pembinaan serta pengawasan. (2) Parwidi (2004) melakukan penelitian mengenai peran pemerintah dalam pengendalian penerapan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) kegiatan bidang pariwisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis penerapan RKL-RPL dalam penerbitan izin usaha dan atau kegiatan pariwisata, mengevaluasi upaya penaatan RKL-RPL serta mengkaji pelaksanaan pemantauan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaksanaan RKL-RPL. Metode penelitian yang digunakan berupa kuantitatif dengan wawancara dan kuisoner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan RKL-RPL di dalam izin usaha pariwisata di Provinsi DIY belum sesuai dengan ketentuan pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan baik sebagai syarat izin usaha pariwisata maupun sebagai kewajiban dalam izin usaha pariwisata yang diterbitkan. Sedangkan upaya penaatan pelaksanaan RKL-RPL masih terbatas pada sanksi administratif berupa teguran tertulis. (3) Rumkorem (2005) melakukan penelitian mengenai kinerja Bapedalda Kota Jayapura dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja Bapedalda Kota Jayapura dalam pengelolaan lingkungan hidup dan faktor faktor apa yang mempengaruhi kinerjanya. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja Bapedalda Kota Jayapura dalam pengelolaan lingkungan hidup mengalami 10 peningkatan. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan produktivitas organisasi, responsivitas yang baik, peningkatan kualitas pelayanan dan koordinasi yang baik dalam organisasi tersebut (4) Sirait (2006) melakukan penelitian mengenai kinerja organisasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Tanjung Balai. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui penyebab kinerja DLHK Kota Tanjung Balai belum optimal dan faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan wawancara, observasi dan teknik dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja DLHK Kota Tanjung Balai belum optimal karena capaian hasil program secara umum hanya 87,50 persen, Khusus dalam pengelolaan sampah yang merupakan kegiatan inti DLHK Kota Tanjung Balai hanya mencapai 66,05 persen. Dari hasil penelitian, ditemukan sejumlah faktor yang menyebakan rendahnya kinerja DLHK meliputi struktur organisasi yang belum optimal, kurangnya sumber daya manusia secara kuantitas maupun kualitas, kurangnya anggaran dan terbatasnya kewenangan lembaga dalam mengambil kebijakan di bidang anggaran dan lingkungan hidup. Saran saran yang direkomendasikan antara lain membuat uraian tugas secara merata, menambah sumber daya manusia sesuai kebutuhan, menambah anggaran dan fasilitas kebersihan dan diberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Adapun penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Setidaknya ada tiga hal yang membedakan penelitian kali ini dengan penelitian sebelumnya. Pertama, dari sisi ruang lingkup penelitian yang sifatnya spesifik pada fungsi tertentu yakni kinerja BLH dalam monev RKL-RPL. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menilai kinerja organisasi secara umum dan meliputi seluruh aspek. Kedua, dalam lingkup kajian RKL-RPL, penelitian ini menitikberatkan kinerja BLH dalam bidang monev pada semua bidang usaha yang wajib RKL-RPL serta tidak membatasi bidang usaha tertentu. Inilah yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian Parwidi (2004) yang hanya membatasi pada bidang usaha pariwisata. Perbedaan lainnya adalah bahwa penelitian 11 ini membatasi pada kajian kinerja BLH dibidang monev dalam tahapan implementasi RKL-RPL. Penelitian tidak mengulas tentang kinerja BLH dalam hal prosedur perizinan dan pengesahan dokumen AMDAL yang diajukan pemrakarsa. Ketiga, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan tidak menggunakan metode kuantitatif sebagaimana dalam penelitian Parwidi sebelumnya. Penelitian deskriptif kualitatif fokus kepada kajian terhadap proses kegiatan monev RKL-RPL dan bukan pada hasil akhir atau perbandingan antar variabel. Melalui pendekatan kualitatif, penulis mencoba melakukan eksplorasi mengenai persepsi publik terhadap kinerja BLH Kobar dalam bidang monev implementasi RKL-RPL. Kelompok publik yang menjadi informan melibatkan seluruh pihak yang terlibat dalam monev RKL-RPL yakni aparatur BLH sebagai pengawas, pemrakarsa sebagai pelaksana RKL-RPL, dan masyarakat umum termasuk aktivis LSM lingkungan, wartawan dan anggota DPRD sebagai objek penerima dampak dan kekuatan kontrol publik. Pelibatan pihak pihak di luar BLH dan pemrakarsa sebagai informan dimaksudkan agar dalam melakukan kajian kinerja monev mampu diperoleh hasil penelitian yang objektif dan menyeluruh. Selain itu, sebagai sarana untuk menyerap aspirasi publik dan feedback (umpan balik) yang beharga bagi perbaikan kinerja BLH ke depan. Secara mendasar, pelibatan peran dan aspirasi masyarakat merupakan perwujudan tata pemerintahan yang baik berbasis pada akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik. Sementara itu, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi lapangan dan studi dokumen yang terkait dengan monev RKLRPL. Dalam penelitian ini, penulis merumuskan teori berdasarkan atas temuan fakta di lapangan (teori substantif) dan di konfirmasi dengan teori yang sudah ada. Hasil penelitian dapat berupa penguatan terhadap teori yang ada atau penemuan teori baru berdasarkan kebenaran empirik. Sehingga, masalah penelitian yang ada bersifat sementara dan akan terus berkembang mengikuti temuan data di lapangan. Pada Tabel 1.1 berikut ini penulis tampilkan 12 sejumlah penelitian terdahulu. Tabel 1.1 Keaslian dan Perbandingan Penelitian Nama Judul Tujuan Metode Hasil H. Jejen Hendra Kinerja Organisasi Publik : Kasus di Untuk mengetahui bagaimana kinerja Deskriptif kualitatif dengan Permana (2002) / Dinas Pengelolaan Lingkungan Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup teknik observasi, wawancara 1. Kabupaten Purwakarta belum optimal karena MAP Hidup Kabupaten Purwakarta Kabupaten Purwakarta dan faktor dan teknik dokumentasi ditemukan masih banyaknya kegiatan faktor apa yang mempengaruhinya Kinerja Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup pembangunan yang menimbulkan dampat negatif yang serius terhadap lingkungan. 2. Ada tiga faktor penyebab yang mempengaruhi kinerja Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni struktur organisasi, kurangnya kualitas serta kuantitas SDM dan anggaran yang belum memadai 3. Strategi yang dapat dilakukan meliputi penataan peraturan dan penegakan hukum, penataan ulang struktur organisasi dan membentuk asosiasi pengusaha/penambang serta optimalisasi pemungutan pajak dan merekrut tenaga teknis. Parwidi (2004) / MPL Peran Pemerintah Dalam Menganalisis penerapan RKL-RPL Pengendalian Penerapan Rencana dalam penerbitan izin usaha dan atau sesuai dengan ketentuan pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan kegiatan pariwisata, mengevaluasi Nomor 27 Tahun 1999 baik sebagai syarat izin usaha Rencana Pemantauan Lingkungan upaya penaatan RKL-RPL serta pariwisata maupun sebagai kewajiban dalam izin usaha (RPL) Kegiatan Bidang Pariwisata di mengkaji pelaksanaan pemantauan pariwisata yang diterbitkan. Upaya penaatan pelaksanaan Provinsi Daerah Istimewa yang dilakukan pemerintah terhadap RKL-RPL masih terbatas pada sanksi administratif berupa Yogyakarta pelaksanaan RKL RPL teguran tertulis. Gustav Bernard Kinerja Bapedalda Kota Jayapura Mengetahui bagaimana kinerja Deskriptif kualitatif dengan Kinerja Bapedalda Kota Jayapura mengalami peningkatan. Hal Rumkorem (2005) / Dalam Pengelolaan Lingkungan Bapedalda Kota Jayapura dalam wawancara, observasi dan ini ditandai dengan adanya peningkatan produktivitas MAP Hidup pengelolaan lingkungan hidup dan dokumentasi organisasi, responsivitas yang baik, peningkatan kualitas faktor faktor yang mempengaruhinya. 13 Penelitian kuantitatif Penerapan RKL-RPL di dalam izin usaha pariwisata belum pelayanan dan koordinasi yang baik dalam organisasi itu. Lanjutan Tabel 1.1 Nama Judul Tujuan Metode Hasil Adhar Sirait (2006) / Kinerja Organisasi Dinas Lingkungan Untuk mengetahui penyebab kinerja Kualitatif dengan wawancara, MAP Hidup dan Kebersihan Kota Tanjung Dinas Lingkungan Hidup dan observasi dan teknik 1. belum optimal dalam pencapaian hasil karena Balai Kebersihan Kota Tanjung Balai belum dokumentasi capaian hasil program secara umum baru optimal dan faktor apa saja yang Kinerja DLHK Kota Tanjung Balai telah baik tetapi mencapai 87,50 % mempengaruhi kinerja tersebut 2. Khusus pengelolaan persampahan yang merupakan kegiatan rutin dan kegiatan inti hanya mencapai 66,05 % 3. Faktor yang menentukan kinerja DLHK meliputi struktur organisasi yang belum optimal, kurangnya sumber daya manusia secara kuantitas maupun kualitas, kurangnya anggaran dan terbatasnya kewenangan lembaga dalam mengambil kebijakan di bidang anggaran dan lingkungan hidup. 4. Saran saran yang direkomendasikan antara lain membuat uraian tugas secara merata, menambah sumber daya manusia sesuai kebutuhan, menambah anggaran dan fasilitas kebersihan dan diberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Andri Saputra (2015) Kajian Kinerja Badan Lingkungan Untuk mengetahui kinerja monev BLH Deskriptif kualitatif dengan / MPL Hidup Dalam Rangka Implementasi dan faktor faktor apa saja yang wawancara mendalam dan RKL-RPL di Kabupaten mempengaruhinya dalam mendorong dokumentasi Kotawaringin Barat, Provinsi implementasi RKL-RPL di Kabupaten Kalimantan Tengah Kotawaringin Barat Sumber : Telaah Pustaka, 2014 14 1.6. Batasan operasional (1) Organisasi : Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan organisasi adalah kesatuan susunan yang terdiri atas bagian-bagian orang dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu. (2) Kinerja : Menurut Rue & Byars (1981:375) (dalam Pasolong,2008), kinerja adalah tingkat pencapaian hasil. (3) Indikator Kinerja : USAID (2009) mendefinisikan indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian hasil. (4) Pengukuran Kinerja : Mahsun (2006), pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. (5) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 11 UU 32/2009 tentang PPLH). (6) Pemrakarsa adalah setiap orang atau instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas suatu usaha dan atau kegiatan yang akan dilaksanakan (pasal 1 ayat 12 PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan). (7) Rencana Pengelolaan Lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut RKL, adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 8 PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan). (8) Rencana Pemantauan Lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut RPL, adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 9 PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan). 15