pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan
dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya
(UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009). Dari definisi tersebut, Santosa (2013)
menjabarkan komponen lingkungan hidup menjadi tiga jenis yakni (1) komponen
abiotik meliputi atmosfer, litosfer, pedosfer, hidrosfer, dan oseanosfer. (2) komponen
biotik meliputi flora dan fauna dan (3) komponen kultural yang terdiri atas manusia
dan peradabannya. Ketiga komponen ini saling berinteraksi dan saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain. Supardi (2003) menjelaskan interaksi antara manusia
dengan lingkungannya mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi seperti
kerusakan tanah, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Keadaan ini makin
diperbesar dengan adanya penggalian dan pemanfaatan sumber-sumber alam untuk
menunjang kehidupan manusia akibat pertumbuhan penduduk. Santosa (2013)
menjelaskan pengelolaan lingkungan hidup dan SDA yang tidak tepat menyebabkan
penyusutan SDA lebih cepat dari waktu normal dan berujung pada krisis energi,
pangan dan air. Sementara kerusakan dan pecemaran lingkungan hidup akan
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan, kesehatan manusia
yang menurun, biaya hidup yang semakin meningkat dan menurunnya kualitas hidup
manusia.
Menyadari hal tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian sejak dini terhadap
berbagai bentuk kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan. Salah satunya adalah melalui kewajiban penyusunan
dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) sebagai
1
perangkat preemtif dalam mencegah pencemaran lingkungan. AMDAL adalah kajian
mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan (PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan).
Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah telah menetapkan kewajiban
penyusunan dokumen AMDAL bagi setiap rencana usaha/kegiatan yang berdampak
besar dan penting terhadap lingkungan. Dokumen AMDAL wajib di susun oleh
pemrakarsa sebelum kegiatan usaha dimulai dan terdiri atas 4 (empat) bagian yakni
dokumen Kerangka Acuan (KA), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Tujuan penyusunan dokumen AMDAL adalah untuk memprediksikan dan mengelola
dampak lingkungan yang mungkin muncul dari suatu usaha/kegiatan agar tidak
mencemari lingkungan. Dokumen AMDAL yang telah disusun pemrakarsa
selanjutnya diuji oleh tim komisi penilai yang dibentuk pemerintah untuk menilai
kelayakan lingkungan suatu rencana usaha/kegiatan. Penetapan status kelayakan
lingkungan ini sekaligus menjadi dasar penerbitan izin lingkungan yang merupakan
salah satu syarat bagi penerbitan izin suatu usaha. Selanjutnya, setiap pemrakarsa
yang sudah mengantongi izin lingkungan berkewajiban untuk menjalankan RKLRPL dalam setiap tahapan kegiatan/usaha. Selain itu, pemrakarsa juga berkewajiban
menyampaikan laporan pelaksanaan RKL-RPL secara berkala setiap semester
kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) setempat.
Kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin lingkungan membawa
konsekuensi hukum berupa kewajiban untuk melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan pengelolaan lingkungan oleh pemrakarsa. Ketentuan ini tertuang dalam
pasal 71 dan 72 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang mewajibkan Bupati Kobar melalui
pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) untuk melakukan monitoring dan
evaluasi (monev) terhadap implementasi RKL-RPL oleh pemrakarsa. Bagi
pemrakarsa yang terbukti melalaikan kewajiban lingkungan akan mendapatkan
2
ancaman sanksi administratif hingga pidana tergantung tingkat kesalahan yang
dilakukan. Dengan demikian, peran BLH di daerah dalam menjalankan fungsi monev
RKL-RPL menjadi sangat penting dalam menjamin ketaatan pemrakarsa dan
mencegah pencemaran lingkungan. Peran tersebut terukur dalam bentuk kinerja
monev RKL-RPL. Rivai dan Basri
(2005, dalam Edy Sutrisno dkk, 2009)
mendefinisikan kinerja sebagai hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara
keseluruhan pada periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan
berbagai kemungkinan seperti standar hasil kerja, target, sasaran, atau kriteria yang
telah dintentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Dalam kenyataannya, capaian kinerja monev RKL-RPL oleh BLH masih
rendah. Indikatornya, terlihat dari masih banyak pemrakarsa yang melalaikan
kewajiban lingkungan. Mengutip Adiwibowo (2004, dalam Tias, 2009), beberapa
faktor yang menjadi penyebab pelaksanaan AMDAL (RKL-RPL) kurang optimal
adalah sebagai berikut :
(1)
AMDAL dan implementasinya masih dipandang sebagai beban dan bukan
sebagai kewajiban untuk mengelola lingkungan hidup;
(2)
tidak ada insentif bagi pemrakarsa yang:

menyusun atau tidak menyusun AMDAL;

menyusun AMDAL secara baik dan benar dan yang asal jadi;

mengimplementasikan hasil AMDAL (RKL-RPL) dengan yang tidak
berniat melaksanakan hasil AMDAL;
(3)
AMDAL masih dipandang sebagai instrumen perizinan daripada sebagai
instrumen pencegahan dampak lingkungan;
(4)
Lemahnya penegakan hukum terhadap:

kegiatan/usaha yang tidak menyusun AMDAL;

AMDAL disusun pada saat kegiatan sudah mulai;

kegiatan usaha yang tidak mengimplementasikan RKL atau RPL; dan
3
(5)
belum ada integrasi AMDAL, izin lokasi dan izin operasi.
Belum optimalnya implementasi AMDAL dalam kegiatan pembangunan juga
terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Hingga tahun 2013, di Kabupaten
Kobar terdapat 26 (dua puluh enam) pemrakarsa yang sudah memiliki dokumen
AMDAL dan wajib menyampaikan laporan realisasi RKL-RPL ke BLH sekali dalam
setiap semester. Rinciannya, sebanyak 18 usaha bergerak di sektor perkebunan
kelapa sawit, 4 usaha di sektor pertambangan, 3 usaha dibidang kehutanan dan 1
usaha di bidang transportasi laut. Mengacu pada rekapitulasi data yang dilakukan
BLH, tercatat ada 5 (lima) pemrakarsa yang tidak pernah sama sekali menyerahkan
laporan pelaksanaan RKL-RPL pada dua tahun terakhir (2012-2013). Ketiadaan
laporan RKL-RPL menjadikan kegiatan pengelolaan lingkungan oleh pemrakarsa
tidak terpantau dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Indikasinya
terlihat dari berbagai kasus pencemaran lingkungan yang terjadi di Kabupaten Kobar
akibat kelalaian pemrakarsa. Salah satunya adalah kasus pencemaran Sungai Arut
yang terjadi hampir setiap tahun. Berikut ini penulis tampilkan dua kutipan berita
kasus pencemaran Sungai Arut yang dimuat dalam situs harian lokal Borneonews.
Penelitian Unibra : Sungai Arut Berstatus SANGAT RUSAK
Senin, 13 April 2015 - 14:30 WIB
HASIL penelitian Universitas Brawijaya (Unibra), Malang, Jawa Timur (Jatim) status
kerusakan habitat sumber daya ikan di perairan Sungai Arut berstatus Sangat Rusak.
Dan dalam presentasi sumber daya ikan diperairan sungai Arut nilai kerusakannya
(NK) mencapai 94,23%. “Sudah sedemikian parahnya kerusakan Sungai Arut. Untuk
ekosistemnya bisa saya katakan 70% rusak,” ujar Hepy, Kepala Bidang (Kabid)
Pengelolaan
Sumberdaya
Perairan,
Dinas
Kelautan
dan
Perikanan
(DKP)
Kotawaringin Barat (Kobar) beberapa waktu lalu. Padahal Sungai Arut merupakan
sentra penghasil ikan. Berbagai jenis ikan dipelihara dalam keramba apung
disepanjang bantaran Arut. Di antaranya, Patin, Nila, Emas, Gurame, Bawal, dan ikan
air tawar lainnya. Hasil budidaya ikan keramba apung bantaran Sungai Arut memasok
kebutuhan ikan di Pasar Tradisional Indra Sari dan Pasar Saik Indra Kencana,
Pangkalan Bun. (www.borneonews.co.id)
4
Diduga Akibat Tumpahan CPO PT Gemareksa: Mangrove Di Pinggiran
Perairan Kumai Mati
Sabtu, 13 Juni 2015 - 13:13 WIB
Tumpahnya Crude Palm Oil (CPO) atau minyak mentah milik PT.Gemareksa
Mekarsari di Perairan Kumai pada Minggu, (17/5/2015) lalu membawa dampak
matinya biota sungai seperti Mangrove di sekitar perairan Kumai, Kecamatan Kumai,
Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Akibatnya, masyarakat nelayan di Kecamatan
Kumai mengeluh, hasil tangkapan mereka sudah jauh menurun. Dalam sehari biasanya
hasil tangkapan berupa udang mencapai 4 kilogram. Sejak sebulan ini nelayan
mengaku sulit mendapatkan hasil, dalam sehari mendapatkan satu kilogram saja sudah
beruntung. Diduga matinya tanaman bakau termasuk nipah yang merupakan tempat
berkembangbiaknya dan menjadi tempat yang nyaman bagi udang dan ikan menjadi
penyebabnya. Menurut nelayan, tanaman bakau yang mati bisa dilihat dari pinggiran
sungai kumai di lokasi tumpahnya CPO hingga ke perairan Desa Kubu, panjangnya
mencapai puluhan kilometer. "Jelas penyebabnya karena tumpahan CPO yang
terkombinasi dengan detergen menurut keterangan perusahaan, sehingga menjadi
racun buat ikan-ikan dan tumbuhan," Kata Ahmad Jagam, perwakilan Nelayan Kumai,
Jumat (12/6/2015). (www.borneonews.co.id)
Adapun dari sisi administrasi pelaporan, hampir seluruh laporan RKL-RPL
yang masuk ke BLH Kobar belum sesuai format yang diatur dalam Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan
Laporan RKL dan RPL. Akibatnya, BLH mengalami kesulitan dalam melakukan
evaluasi atas laporan yang dikirim pihak pemrakarsa. Sedangkan untuk kegiatan
monev RKL-RPL di lapangan belum mampu menjangkau seluruh unit usaha
pemrakarsa yang wajib diawasi karena keterbatasan SDM dan anggaran. Akibatnya,
target dan realisasi kegiatan monev RKL-RPL dalam setahun tidak pernah mencapai
100 persen dari objek yang wajib diawasi.
Meski demikian, beragam masalah yang menyertai pelaksanaan monev RKLRPL belum teridentifikasi dan terakomodasi dalam proses evaluasi Laporan
Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah (LAKIP). Penyebabnya, karena LAKIP
hanya mengukur capaian kinerja dari aspek fisik dan keuangan belaka. Kinerja akan
5
di anggap berhasil ketika telah melaksanakan program yang direncanakan dan
anggaran terserap 100 persen (tidak ada sisa). Tidak mengherankan apabila capaian
kinerja monev RKL-RPL dalam LAKIP BLH setiap tahun selalu mencapai 100
persen atau sangat berhasil. Padahal, menurut Soleh dan Suripto (2011), objektivitas
laporan semacam ini patut dipertanyakan karena selama ini budaya asal bapak
senang (ABS) di lingkungan organisasi pemerintah bukanlah sesuatu yang baru.
Secara konsepsional, LAKIP pada dasarnya sangat bagus, namun dalam
operasionalisasinya sering dilaksanakan dengan tidak jujur dan hanya sekedar
memenuhi kewajiban formal (formal obligation).
Kelemahan lainnya adalah
penyusunan LAKIP hanya bersandar pada indikator dan klaim sepihak dari
penyelenggara layanan publik (BLH) dan tidak mengakomodasi aspirasi serta
partisipasi publik. Alhasil, apa yang menjadi persepsi dan keinginan publik tidak
mampu ditangkap dan tidak sejalan dengan program pemerintah. Menurut Dwiyanto
(2006), penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan
menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi
dan efektivitas. Tetapi juga harus dilihat juga dari indikator-indikator yang melekat
pada pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi
pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik sering kali memiliki
kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memililiki alternatif
sumber pelayanan.
Dari uraian di atas, maka dipandang perlu untuk melakukan kajian kinerja
monev RKL-RPL di luar indikator versi pemerintah. Sejumlah pakar telah
merumuskan beberapa indikator alternatif untuk mengukur kinerja birokrasi publik.
Dwiyanto (2006) menggunakan lima kriteria dalam mengukur kinerja birokrasi
publik yakni produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan
akuntabilitas. Sementara itu, Lenvine (1990, dalam Dwiyanto, 1995, dan Tjandra
dkk, 2005) mengusulkan tiga konsep yang bisa di pergunakan untuk mengukur
kinerja birokrasi publik yaitu responsiveness, responsibility, dan accountability.
Yang dimaksud responsivitas (responsiveness) adalah kemampuan organisasi untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan
6
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan
aspirasi
masyarakat.
Responsibilitas
(responsibility)
menjelaskan
apakah
pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang
implisit atau eksplisit. Akuntabilitas menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat.
Mengacu pada konsep tersebut, maka pengukuran kinerja monev RKL-RPL dalam
penelitian ini akan menggunakan teori-teori yang sudah ada sebagai konfirmasi atas
teori substantif yang dirumuskan dari hasil penelitian.
Perumusan teori substantif sendiri dihasilkan dari analisis terhadap proses yang
berlangsung selama monev RKL-RPL dengan melibatkan sudut pandang dan
partisipasi pihak eksternal (publik). Caranya dengan mengumpulkan dan menilai
persepsi dari seluruh informan yang terlibat dalam monev RKL-RPL. Persepsi atau
pendapat yang muncul dari para informan akan menjadi indikator dan tolok ukur
dalam menilai kinerja monev BLH Kobar. Sehingga, optimal tidaknya kinerja monev
BLH ditentukan oleh tingkat kepuasan publik dan bukan pada hasil akhir berupa
kuantitas kegiatan dan serapan anggaran sebagaimana yang lazim digunakan
pemerintah. Tujuannya untuk memperoleh suatu penilaian yang faktual, objektif dan
menyeluruh dalam mengukur capaian kinerja monev RKL-RPL. Selain itu,
pendekatan semacam ini diharapkan mampu mengungkap berbagai kendala dan
faktor-faktor yang selama ini mempengaruhi kinerja monev RKL-RPL. Dari hasil
kajian tersebut kemudian dirumuskan strategi sebagai solusi untuk mengatasi
berbagai kendala yang ada dan mampu meningkatkan kinerja monev RKL-RPL.
Dengan terwujudnya kinerja monev RKL-RPL yang optimal diharapkan akan
mampu mendorong ketaatan pemrakarsa dalam menjalankan kewajiban lingkungan
untuk mencegah timbulnya pencemaran, menciptakan kelestarian lingkungan dan
mewujudkan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.
7
1.2. Perumusan Masalah
Pengelolaan lingkungan melalui kegiatan monev RKL-RPL berperan penting
dalam mengendalikan kegiatan pemrakarsa agar tidak mencemari lingkungan.
Optimal tidaknya kinerja monev BLH secara otomatis akan berdampak langsung
bagi kelestarian lingkungan hidup. Atas dasar ini, peneliti bermaksud mengkaji
secara mendalam capaian kinerja monev BLH melalui rumusan permasalahan
penelitian sebagai berikut ini.
(1)
Bagaimana kinerja monev BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL ?
(2)
Bagaimana persepsi publik terhadap kinerja monev BLH Kobar ?
(3)
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja monev BLH Kobar dalam
implementasi RKL-RPL ?
(4)
Bagaimana merumuskan strategi kebijakan untuk meningkatkan kinerja monev
BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL ?
Untuk menjawab rumusan permasalahan tersebut, maka penting untuk
dilakukan penelitian secara mendetail tentang “Kajian Kinerja Badan Lingkungan
Hidup (BLH) Dalam Rangka Implementasi RKL-RPL
di Kabupaten
Kotawaringin Barat, Provinsi Kalimatan Tengah.”
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan lingkup kajian penelitian diatas, maka
tujuan penelitian ini adalah untuk:
(1)
Mengetahui kinerja monev BLH Kobar dalam implementasi RKL-RPL;
(2)
Menemukan konsep persepsi publik terhadap kinerja monev RKL-RPL;
(3)
Menganalisa faktor faktor yang mempengaruhi kinerja monev RKL-RPL; serta
(4)
Merumuskan strategi kebijakan untuk meningkatkan kinerja monev RKL-RPL.
8
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
(1)
Secara teoritis, menambah referensi dibidang pengembangan kelembagaan
khususnya
organisasi pemerintah
yang
menangani
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2)
Mampu
mengetahui
capaian
kinerja
BLH
dan
faktor
faktor
yang
mempengaruhi monev RKL-RPL .
(3)
Sebagai bahan masukan bagi BLH Kobar dalam merumuskan strategi
kebijakan guna meningkatkan kinerja monev RKL-RPL.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai kinerja instansi lingkungan hidup di daerah sudah banyak
dilakukan peneliti terdahulu. Hampir semua penelitian tersebut mengulas kinerja
instansi BLH secara umum ditinjau dari aspek administrasi publik. Namun, ada pula
yang sudah melakukan penelitian pada bidang kinerja tertentu yang lebih spesifik
secara mendalam. Berikut ini ditampilkan sejumlah penelitian yang dimaksud.
(1)
Permana (2002) melakukan penelitian mengenai kinerja Dinas Pengelolaan
Lingkungan Hidup (DPLH) di Kabupaten Purwakarta. Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui bagaimana kinerja organisasi DPLH Kabupaten
Purwakarta dan faktor faktor apa saja yang mempengaruhinya. Metode
penelitian yang digunakan adalah deksriptif kualitatif dengan teknik observasi,
wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja DPLH
Kabupaten Purwakarta belum optimal karena masih banyak ditemukan
kegiatan pembangunan di Kabupaten Purwakarta khususnya dalam bidang
pertambangan yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi kinerja organisasi DPLH antara lain struktur
organisasi yang belum memadai, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia
9
(SDM) yang rendah dan minimnya dukungan anggaran. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, ditetapkan sejumlah strategi internal dan eksternal.
Secara internal dilakukan penataan ulang struktur organisasi dan merekrut
tenaga teknis yang berkompeten dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) khususnya dari sektor pertambangan. Secara eksternal,
melakukan penataan peraturan dan penegakan hukum dibidang pengelolaan
lingkungan dan membentuk asosiasi pengusaha pertambangan untuk
memudahkan dalam koordinasi, pembinaan serta pengawasan.
(2)
Parwidi (2004) melakukan penelitian mengenai peran pemerintah dalam
pengendalian penerapan rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana
pemantauan lingkungan (RPL) kegiatan bidang pariwisata di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis penerapan
RKL-RPL dalam penerbitan izin usaha dan atau kegiatan pariwisata,
mengevaluasi upaya penaatan RKL-RPL serta mengkaji pelaksanaan
pemantauan yang dilakukan pemerintah terhadap pelaksanaan RKL-RPL.
Metode penelitian yang digunakan berupa kuantitatif dengan wawancara dan
kuisoner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan RKL-RPL di dalam
izin usaha pariwisata di Provinsi DIY belum sesuai dengan ketentuan pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan baik sebagai syarat izin usaha pariwisata maupun sebagai
kewajiban dalam izin usaha pariwisata yang diterbitkan. Sedangkan upaya
penaatan pelaksanaan RKL-RPL masih terbatas pada sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(3)
Rumkorem (2005) melakukan penelitian mengenai kinerja Bapedalda Kota
Jayapura dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui bagaimana kinerja Bapedalda Kota Jayapura dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan faktor faktor apa yang mempengaruhi
kinerjanya.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja
Bapedalda Kota Jayapura dalam pengelolaan lingkungan hidup mengalami
10
peningkatan. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan produktivitas
organisasi, responsivitas yang baik, peningkatan kualitas pelayanan dan
koordinasi yang baik dalam organisasi tersebut
(4)
Sirait (2006) melakukan penelitian mengenai kinerja organisasi Dinas
Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Tanjung Balai. Tujuan
penelitian adalah untuk mengetahui penyebab kinerja DLHK Kota Tanjung
Balai belum optimal dan faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan wawancara,
observasi dan teknik dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan kinerja
DLHK Kota Tanjung Balai belum optimal karena capaian hasil program secara
umum hanya 87,50 persen, Khusus dalam pengelolaan sampah yang
merupakan kegiatan inti DLHK Kota Tanjung Balai hanya mencapai 66,05
persen. Dari hasil penelitian, ditemukan sejumlah faktor yang menyebakan
rendahnya kinerja DLHK meliputi struktur organisasi yang belum optimal,
kurangnya sumber daya manusia secara kuantitas maupun kualitas, kurangnya
anggaran dan terbatasnya kewenangan lembaga dalam mengambil kebijakan di
bidang anggaran dan lingkungan hidup. Saran saran yang direkomendasikan
antara lain membuat uraian tugas secara merata, menambah sumber daya
manusia sesuai kebutuhan, menambah anggaran dan fasilitas kebersihan dan
diberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Adapun penelitian yang akan penulis lakukan berbeda dengan penelitian
sebelumnya. Setidaknya ada tiga hal yang membedakan penelitian kali ini dengan
penelitian sebelumnya. Pertama, dari sisi ruang lingkup penelitian yang sifatnya
spesifik pada fungsi tertentu yakni kinerja BLH dalam monev RKL-RPL. Berbeda
dengan penelitian sebelumnya yang menilai kinerja organisasi secara umum dan
meliputi seluruh aspek. Kedua, dalam lingkup kajian RKL-RPL, penelitian ini
menitikberatkan kinerja BLH dalam bidang monev pada semua bidang usaha yang
wajib RKL-RPL serta tidak membatasi bidang usaha tertentu. Inilah yang
membedakan penelitian penulis dengan penelitian Parwidi (2004) yang hanya
membatasi pada bidang usaha pariwisata. Perbedaan lainnya adalah bahwa penelitian
11
ini membatasi pada kajian kinerja BLH dibidang monev dalam tahapan implementasi
RKL-RPL. Penelitian tidak mengulas tentang kinerja BLH dalam hal prosedur
perizinan dan pengesahan dokumen AMDAL yang diajukan pemrakarsa. Ketiga,
metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
dan tidak menggunakan metode kuantitatif sebagaimana dalam penelitian Parwidi
sebelumnya. Penelitian deskriptif kualitatif fokus kepada kajian terhadap proses
kegiatan monev RKL-RPL dan bukan pada hasil akhir atau perbandingan antar
variabel.
Melalui pendekatan kualitatif, penulis mencoba melakukan eksplorasi
mengenai persepsi publik terhadap kinerja BLH Kobar dalam bidang monev
implementasi RKL-RPL. Kelompok publik yang menjadi informan melibatkan
seluruh pihak yang terlibat dalam monev RKL-RPL yakni aparatur BLH sebagai
pengawas, pemrakarsa sebagai pelaksana RKL-RPL, dan masyarakat umum
termasuk aktivis LSM lingkungan, wartawan dan anggota DPRD sebagai objek
penerima dampak dan kekuatan kontrol publik. Pelibatan pihak pihak di luar BLH
dan pemrakarsa sebagai informan dimaksudkan agar dalam melakukan kajian kinerja
monev mampu diperoleh hasil penelitian yang objektif dan menyeluruh. Selain itu,
sebagai sarana untuk menyerap aspirasi publik dan feedback (umpan balik) yang
beharga bagi perbaikan kinerja BLH ke depan. Secara mendasar, pelibatan peran dan
aspirasi masyarakat merupakan perwujudan tata pemerintahan yang baik berbasis
pada akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik.
Sementara itu, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
mendalam, observasi lapangan dan studi dokumen yang terkait dengan monev RKLRPL. Dalam penelitian ini, penulis merumuskan teori berdasarkan atas temuan fakta
di lapangan (teori substantif) dan di konfirmasi dengan teori yang sudah ada. Hasil
penelitian dapat berupa penguatan terhadap teori yang ada atau penemuan teori baru
berdasarkan kebenaran empirik. Sehingga, masalah penelitian yang ada bersifat
sementara dan akan terus berkembang mengikuti temuan data di lapangan. Pada
Tabel
1.1
berikut
ini
penulis
tampilkan
12
sejumlah
penelitian
terdahulu.
Tabel 1.1 Keaslian dan Perbandingan Penelitian
Nama
Judul
Tujuan
Metode
Hasil
H. Jejen Hendra
Kinerja Organisasi Publik : Kasus di
Untuk mengetahui bagaimana kinerja
Deskriptif kualitatif dengan
Permana (2002) /
Dinas Pengelolaan Lingkungan
Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup
teknik observasi, wawancara
1.
Kabupaten Purwakarta belum optimal karena
MAP
Hidup Kabupaten Purwakarta
Kabupaten Purwakarta dan faktor
dan teknik dokumentasi
ditemukan masih banyaknya kegiatan
faktor apa yang mempengaruhinya
Kinerja Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup
pembangunan yang menimbulkan dampat negatif
yang serius terhadap lingkungan.
2.
Ada tiga faktor penyebab yang mempengaruhi
kinerja Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup yakni
struktur organisasi, kurangnya kualitas serta
kuantitas SDM dan anggaran yang belum memadai
3.
Strategi yang dapat dilakukan meliputi penataan
peraturan dan penegakan hukum, penataan ulang
struktur organisasi dan membentuk asosiasi
pengusaha/penambang serta optimalisasi
pemungutan pajak dan merekrut tenaga teknis.
Parwidi (2004) / MPL
Peran Pemerintah Dalam
Menganalisis penerapan RKL-RPL
Pengendalian Penerapan Rencana
dalam penerbitan izin usaha dan atau
sesuai dengan ketentuan pasal 7 Peraturan Pemerintah
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan
kegiatan pariwisata, mengevaluasi
Nomor 27 Tahun 1999 baik sebagai syarat izin usaha
Rencana Pemantauan Lingkungan
upaya penaatan RKL-RPL serta
pariwisata maupun sebagai kewajiban dalam izin usaha
(RPL) Kegiatan Bidang Pariwisata di
mengkaji pelaksanaan pemantauan
pariwisata yang diterbitkan. Upaya penaatan pelaksanaan
Provinsi Daerah Istimewa
yang dilakukan pemerintah terhadap
RKL-RPL masih terbatas pada sanksi administratif berupa
Yogyakarta
pelaksanaan RKL RPL
teguran tertulis.
Gustav Bernard
Kinerja Bapedalda Kota Jayapura
Mengetahui bagaimana kinerja
Deskriptif kualitatif dengan
Kinerja Bapedalda Kota Jayapura mengalami peningkatan. Hal
Rumkorem (2005) /
Dalam Pengelolaan Lingkungan
Bapedalda Kota Jayapura dalam
wawancara, observasi dan
ini ditandai dengan adanya peningkatan produktivitas
MAP
Hidup
pengelolaan lingkungan hidup dan
dokumentasi
organisasi, responsivitas yang baik, peningkatan kualitas
faktor faktor yang mempengaruhinya.
13
Penelitian kuantitatif
Penerapan RKL-RPL di dalam izin usaha pariwisata belum
pelayanan dan koordinasi yang baik dalam organisasi itu.
Lanjutan Tabel 1.1
Nama
Judul
Tujuan
Metode
Hasil
Adhar Sirait (2006) /
Kinerja Organisasi Dinas Lingkungan
Untuk mengetahui penyebab kinerja
Kualitatif dengan wawancara,
MAP
Hidup dan Kebersihan Kota Tanjung
Dinas Lingkungan Hidup dan
observasi dan teknik
1.
belum optimal dalam pencapaian hasil karena
Balai
Kebersihan Kota Tanjung Balai belum
dokumentasi
capaian hasil program secara umum baru
optimal dan faktor apa saja yang
Kinerja DLHK Kota Tanjung Balai telah baik tetapi
mencapai 87,50 %
mempengaruhi kinerja tersebut
2.
Khusus pengelolaan persampahan yang
merupakan kegiatan rutin dan kegiatan inti hanya
mencapai 66,05 %
3.
Faktor yang menentukan kinerja DLHK meliputi
struktur organisasi yang belum optimal, kurangnya
sumber daya manusia secara kuantitas maupun
kualitas, kurangnya anggaran dan terbatasnya
kewenangan lembaga dalam mengambil kebijakan
di bidang anggaran dan lingkungan hidup.
4.
Saran saran yang direkomendasikan antara lain
membuat uraian tugas secara merata, menambah
sumber daya manusia sesuai kebutuhan,
menambah anggaran dan fasilitas kebersihan dan
diberikan kewenangan yang lebih besar dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
Andri Saputra (2015)
Kajian Kinerja Badan Lingkungan
Untuk mengetahui kinerja monev BLH
Deskriptif kualitatif dengan
/ MPL
Hidup Dalam Rangka Implementasi
dan faktor faktor apa saja yang
wawancara mendalam dan
RKL-RPL di Kabupaten
mempengaruhinya dalam mendorong
dokumentasi
Kotawaringin Barat, Provinsi
implementasi RKL-RPL di Kabupaten
Kalimantan Tengah
Kotawaringin Barat
Sumber : Telaah Pustaka, 2014
14
1.6. Batasan operasional
(1)
Organisasi : Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan
organisasi adalah kesatuan susunan yang terdiri atas bagian-bagian orang
dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu.
(2)
Kinerja : Menurut Rue & Byars (1981:375) (dalam Pasolong,2008),
kinerja adalah tingkat pencapaian hasil.
(3)
Indikator Kinerja : USAID (2009) mendefinisikan indikator kinerja
adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan
tingkat pencapaian hasil.
(4)
Pengukuran Kinerja : Mahsun (2006), pengukuran kinerja adalah suatu
proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang
telah ditentukan sebelumnya.
(5)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut
AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan (pasal 1 ayat 11 UU 32/2009 tentang PPLH).
(6)
Pemrakarsa adalah setiap orang atau instansi pemerintah yang
bertanggung jawab atas suatu usaha dan atau kegiatan yang akan
dilaksanakan (pasal 1 ayat 12 PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan).
(7)
Rencana Pengelolaan Lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut RKL,
adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang
ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 8
PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan).
(8)
Rencana Pemantauan Lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut RPL,
adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena
dampak akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 ayat 9 PP
27/2012 tentang Izin Lingkungan).
15
Download