Kolusi Penguasa-Pengusaha Selasa, 16 Februari 2010 | 02:41 WIB Oleh Didik J Rachbini Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pandangan tentang bahaya kolusi penguasa dengan pengusaha, publik ingat dan langsung mengaitkannya dengan masalah rivalitas politik yang terjadi saat ini, terutama berkenaan dengan kasus Bank Century. Isu ini menjadi sangat sensitif dan langsung menjadi panas karena berasosiasi langsung dengan masalah ekonomi politik. Apakah pandangan Presiden sejatinya ditujukan langsung atau tidak kepada rival politiknya? Atau apakah itu pernyataan bersifat umum atau ditujukan langsung pada kasus Century? Tampaknya hanya Presiden yang tahu. Kondisi politik saat ini memanas, isu Century merupakan masalah ekonomi politik negara dan bisnis, dan ada kontekstualitas pernyataan Presiden dengan masalah sekarang. Pemenang Nobel Ekonomi, Mancur Olson, pernah mencermati permasalahan serupa, yakni hubungan pengusaha dan penguasa. Secara teoretis, ini berkaitan dengan masalah kelembagaan pasar dan negara, serta bagaimana membuat aturan main paling baik untuk kedua tatanan dalam konteks kebangsaan yang modern. Presiden menyatakan, kolusi atau campur aduk penguasa dan pengusaha merupakan biang kehancuran bangsa dan negara. Pandangan ini sama dan sebangun dengan pandangan Mancur Olson. Pada awal 1980-an, Olson mengembangkan teori tindakan kolektif dalam rangka menjelaskan jatuh dan bangunnya suatu bangsa (The Rise and Decline of Nations). Buku ini membahas teori tindakan kolektif dalam kaitan hubungan pengusaha dengan penguasa. Dicari sebab-musabab, mengapa suatu negara mengalami kemunduran dan yang lain tidak. Dari pemikirannya ditemukan satu faktor utama yang menyebabkan kehancuran suatu bangsa, yakni gangguan koalisi pengusaha yang berkolusi dengan penguasa dalam sistem kelembagaan negara. Ide dasar yang ditemukan Olson adalah eksistensi suatu koalisi distributif kecil dan cenderung berkembang terus dari waktu ke waktu di suatu negara. Kelompok asosiasi industri, kelompok pengusaha, kelompok produsen (gula, kapas, dan komoditas lainnya) memiliki insentif yang kuat untuk membangun lobi politik dan kemudian mempunyai pengaruh politik yang semakin besar sehingga secara signifikan memengaruhi kebijakan negara dan kebijakan publik pada umumnya. Kelompok ini berkembang seperti jamur di tingkat pusat ataupun lokal. Karena kekuatan sumber daya ekonomi dan uang, kelompok ini mempunyai kekuatan lobi yang kuat sehingga perkembangannya menyebabkan kolusi pengusaha dan penguasa semakin meluas. Akibatkan kehancuran Kebijakan yang lahir dari proses lobi kolusif seperti ini bisa mengalami komplikasi dan mengalami disorientasi tujuan untuk melakukan efisiensi dalam ekonomi. Kelompok ini dan birokrasi yang dipengaruhinya cenderung menjadi proteksionis, oligopoli-monopoli, antipersaingan dan antiteknologi sehingga akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan mengacaukan dinamika sistem internal. Namun, karena manfaat lobi tersebut sangat besar untuk kelompok mereka sendiri, kecenderungan kebijakan seperti ini cenderung berlanjut dalam jangka panjang. Kondisi ini menyebabkan aspek efisiensi hancur, keadilan tertindas, sampai akhirnya memukul ekonomi rakyat karena digantikan ekonomi konglomerasi. Inilah wajah ekonomi kita sebenarnya, yang diwariskan dari ekonomi Orde Baru dan cenderung akan dilanjutkan pada masa demokrasi ini. Insentif dan manfaat lobi tersebut hanya didistribusikan pada kalangan terbatas terkait dengan kelompok kecil tersebut. Karena itu, Olson menyebut kelompok ini sebagai kelompok small distributional coalition, koalisi kecil yang melakukan lobi kepada penguasa dan mendistribusikan manfaat perburuan rente ekonominya kepada kalangan kecil pula. Namun, biaya ekonomi dan sosialnya tersebar ke seluruh sistem sosial ekonomi dan masyarakat luas. Di sini aspek keadilan ekonomi tak terwujud karena tertutup ekonomi konglomerasi. Ketika koalisi semakin besar dan besar, beban proteksi, beban inefisiensi, dan beban rente ekonomi jadi semakin besar. Inilah yang kemudian jadi sebab kemandekan pertumbuhan ekonomi dan kehancuran bangsa, yang dimulai dari kehancuran ekonomi kemudian menjalar pada kehancuran sosial dan politiknya. Pandangan teoretis seperti ini tak berbeda dengan pandangan yang disampaikan Presiden. Jadi, pandangan tentang kolusi pengusaha dan penguasa juga bersifat teoretis dan normatif, umum. Akan tetapi, karena kontektualitas politik sedang panas, pandangan tersebut jadi isu yang panas pula, yang berasosiasi dengan permasalahan pada saat ini. Secara teoretis, di sinilah letak urgensi dan pentingnya pandangan yang disampaikan Presiden. Kolusi penguasa dan pengusaha adalah penyebab kehancuran bangsa. Namun, Presiden punya kuasa dan menjadi penguasa, yang harus harus konsisten sebagai penguasa, tidak hanya menyampaikan pandangan dan wacana saja. Sekarang saatnya membuat arsitektur hukum ekonomi, aturan main, UU dan norma yang memisahkan negara dan pasar secara baik, membedakan peran penguasa dan pengusaha, serta tidak mencampuradukkannya. Hukum ekonomi harus diimplementasikan secara detail dan cermat di setiap sudut sistem pemerintahan. Titik kritis ekonomi Orde Baru berakar dari permasalahan ekonomi politik ini. Kehancuran ekonomi Orde Baru tak lain berakar dari campur aduk peranan penguasa dan pengusaha, hukum ekonomi lemah, dan tak ada aturan main pemisahan penguasa dan pengusaha. Didik J Rachbini Ekonom