sejarah civil law dan common law system, hubungannya dalam

advertisement
SEJARAH CIVIL LAW DAN COMMON LAW SYSTEM,
HUBUNGANNYA DALAM PERKEMBANGAN
HUKUM DI INDONESIA
MATA KULIAH : SEJARAH DAN POLITIK HUKUM
DOSEN : H. L. Syapruddin, SH., M.Hum.
Disusun Oleh Kelompok V :
Achmad Syauqi
Achmad
Baiq Ika Febriyanti
Fania Eka Yulilestari
Feni Aryani
12B 012 003
12B 012 004
12B 012 014
12B 012 025
12B 012 028
I Ketut Bayu Pawana 12B 012 043
Riny Sufraeni Hendarti 12B 012 089
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2012
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada berbagai kasus perdebatan konsep atau sistem hukum yang akan
digunakan dalam penyelesaian suatu perkara, seringkali masyarakat umum
dihadapkan pada pilihan-pilihan penyelesaian secara adat, negara, ataukah berdasar
norma-norma agama. Menjadi menarik karena semua cara penyelesaian tersebut
tidak jarang digunakan antara satu dengan lainnya di wilayah dengan budaya yang
berbeda, atau bahkan di wilayah yang sama untuk kasus sama dengan waktu dan
penduduk yang berbeda generasi. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
beragam kebudayaan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pengakuan
hukum-hukum yang hidup di masyarakat selain hukum negara.
Beberapa orang lantas menilai sistematika hukum di indonesia tidak
memiliki kejelasan arah dan konsistensi. Secara konstitusi telah memiliki hirarki
peraturan perundang-undangan dengan berbagai undang-undang yang telah
terkodifikasi maupun parsial. Ini adalah ciri bahwa Indonesia merupakan penganut
civil law. Namun pada pelaksanaannya hukum negara tersebut menjadi kehilangan
eksistensinya tatkala dihadapkan pada kemauan masyarakat yang sangat kuat untuk
menerapkan hukum mereka sendiri atas persoalan-persoalan kemasyarakatan yang
dihadapi. Padahal perilaku hukum yang demikian merupakan ciri dari penerapan
sistem Common Law. Belum lagi dalam beberapa persoalan pembagian harta,
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim dihadapkan pada pilihan pembagian
menurut peraturan negara ataukah secara agama yang penyelesaiannya tentu pada
ruang peradilan yang berbeda pula.
Barangkali beberapa orang boleh mengatakan, bahwa penerimaan asas
konkordasi oleh Pemerintah Indonesia terhadap hukum warisan kolonial Belanda
yang terkodifikasi dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht) maupun KUHPerdata
(Burgerlijk Wetboek), menyebabkan sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi
oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Akan tetapi apakah hal tersebut
lantas menjadikan sistem hukum di Indonesia adalah civil law system? Belum tentu!
Karena pengaruh bukanlah identik, dipengaruhi bukan berarti dianut.
1
Lantas dengan penerapan hukum-hukum adat di beberapa wilayah
Indonesia, atau beberapa konsep hukum ekonomi yang mengadopsi konsep-konsep
sistem hukum Anglo Saxon, seperti penjatuhan sanksi bangkrut dengan semua
konsekuensi ekonominya sebagai hukuman bagi debitur nakal, atau mengedepankan
penyelesaian sengketa melalui proses perdamaian di luar sidang berupa mediasi dan
arbitrase, yang semuanya tidak dikenal dalam civil law system, apakah lantas
membuat Indonesia dianggap menganut common law system? Tentu juga tidak!
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang unik. Beberapa sarjana
hukum mengatakan bahwa sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum
Indonesia itu sendiri. Sebuah sistem yang dibangun dari proses penemuan,
pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.
Hingga kemudian lahirlah Teori Hukum Pembangunan yang dipelopori Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmaja.
Teori Mochtar tersebut dikenal juga sebagai Madzhab Unpad, karena
profesinya sebagai guru besar hukum di Universitas Padjajaran. Menurut Mochtar,
hukum adalah sarana pembaruan masyarakat. Pandangannya tentang konsep hukum
tersebut sebenarnya merupakan modifikasi dari konsep hukum Roscoe Pound yang
merupakan pelopor aliran sociological jurisprudence, yakni hukum ideal adalah
hukum yang dibuat dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat
(law as a tool of social engineering). Aliran ini memiliki pandangan nyaris sama
dengan madzhab sejarah yang dipelopori Von Savigny, bahwa suatu hukum tidak
dapat berlaku secara universal karena keberlakuannya sangat bergantung pada
volkgeist atau jiwa rakyat yang mendiami suatu bangsa. Kedua pandangan dalam
aliran tersebut yang menjiwai teori hukum pembangunan, sesungguhnya adalah yang
melatari penerapan common law di negara Inggris, Amerika, dan beberapa negara
jajahan Inggris lainnya.
B. Permasalahan
Dari uraian latar belakang di atas, tampak bahwa sistematika hukum di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh civil law system, namun dalam praktek di
beberapa masyarakat adat Indonesia yang majemuk juga tidak lepas dari karakteristik
common law system. Setidaknya ada lebih dari 23 sistem hukum adat di Indonesia,
diantaranya; Aceh, Gayo dan Batak, Nias, Minangkabau, Mentawai, Sumatra
2
Selatan, Enggano, Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan (Dayak), SangiheTalaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar), Maluku Utara,
Maluku Ambon, Maluku Tenggara, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur, Bali dan
Lombok, Jawa dan Madura, Jawa Mataraman, serta Jawa Barat (Sunda).
Hal tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan sebagai persoalan atas
sistematika hukum yang ada di Indonesia, yaitu: “Sistem hukum apakah
sesungguhnya yang hidup dan berkembang di negara Indonesia?”. Melalui makalah
ini kami akan menguraikan sejarah tentang civil law system, common law system, dan
hubungannya dalam perkembangan hukum di Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem, secara terminologi adalah keseluruhan bagian atau komponen yang
saling mempengaruhi satu sama lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga
sistem hukum dunia dapat dimaknai sebagai kesatuan atau keseluruhan kaidah
hukum yang berlaku di negara-negara atau daerah di dunia untuk mencapai tujuan
hukum di masing-masing negara atau daerah tersebut. Pada masa kini, sistem hukum
dunia terdiri dari; sistem hukum sipil (civil law), sistem hukum Anglo Saxon
(common law), sistem hukum agama, sistem hukum adat, dan sistem hukum negaranegara blok timur (sosialis).
Dari kelima sistem hukum yang ada, dua sistem hukum sangat mendominasi
sistem-sistem hukum yang digunakan banyak negara di dunia, yaitu civil law system
dengan istilah Rechtstaat dan common law system dengan istilah Rule of Law.
Berbagai literatur hukum Indonesia yang ada nyaris tidak ada yang menerjemahkan
keduanya, karena memang sulit mencari padanan langsungnya.
Namun demikian, mengacu definisi terminologi asal kata keduanya,
common law dimaknai sebagai hukum yang dibuat berdasarkan adat atau tradisi yang
berlaku dalam masyarakat, juga keputusan-keputusan hakim. Sistem hukum ini
dulunya kebanyakan tidaklah tertulis, tetapi kini banyak yang dikodifikasikan. Bukan
sebagai undang-undang, melainkan jurisprudence atas keputusan-keputusan yang
pernah dibuat. Meski sifatnya adalah hukum kebiasaan atau kasus per kasus, akan
tetapi common law tidaklah sama dengan hukum adat (customary law) yang diakui
keberadaannya di Indonesia maupun case law.
Berbeda dengan common law, sejak awal civil law merupakan hukum yang
dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh lembaga yang oleh negara
diberikan otoritas untuk kepentingan tersebut, seperti lembaga legislatif. Selanjutnya
secara rinci kedua sistem tersebut diuraikan dalam pembahasan berikut ini.
A. SEJARAH CIVIL LAW SYSTEM
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran
Eropa. Kekhasan sistem civil law terletak pada tekanannya dalam penggunaan
4
aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis dalam sistematika hukumnya. Awal
perkembangannya di daratan Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa
Kontinental. Sistem ini kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada
daerah-daerah jajahannya.
Civil law dikenal juga sebagai Romano-Germanic Legal System atau sistem
hukum Romawi-Jerman. Hal ini karena sejarah kelahiran sistem civil law yang
sangat dipengaruhi sistem hukum Kerajaan Romawi dan Negara Jerman kala itu.
Sebagai sistem hukum yang mendapat pengaruh kerajan Romawi, Civil law
merupakan sistem hukum tertua sekaligus paling berpengaruh di dunia.
Berawal sekitar abad 450 SM, Kerajaan Romawi membuat kumpulan
peraturan tertulis pertama yang disebut sebagai “Twelve Tables of Rome”. Sistem
hukum Romawi ini menyebar ke berbagai belahan dunia seiring meluasnya Kerajaan
Romawi. Sepuluh abad kemudian, atau pada akhir abad V M oleh kaisar Romawi
Justinianus kumpulan-kumpulan peraturan ini dikodifikasikan sebagai Corpus Juries
Civilize (hukum yang terkodifikasi), yang penulisannya selesai pada tahun 534 M.
Ada empat hal yang dimuat dalam Corpus Juries Civilize, yaitu:
1. Caudex, yakni aturan-aturan dan putusan-putusan yang dibuat oleh para kaisar
sebelum Justinianus,
2. Novellae, yakni aturan-aturan hukum yang diundangkan pada masa kekaisaran
Justinianus sendiri,
3. Institutie, yakni suatu buku ajar kecil yang dimaksudkan sebagai pengantar bagi
mereka yang baru belajar hukum,
4. Digesta, yakni sekumpulan besar pendapat para yuris romawi ketika itu
mengenai ribuan proposisi hukum yang berkaitan dengan semua hukum yang
mengatur warga Negara Romawi.
Menurut sistem ini, hukum haruslah dikodifikasi sebagai dasar berlakunya
hukum dalam suatu negara. Ketika Eropa memiliki pemerintahan sendiri, hukum
Romawi digunakan sebagai dasar dari hukum nasional masing-masing negara.
Penemuan Justinianus semakin mendapat tempat pada masa pencerahan dan
rasionalisme (abad XV-XVII M). Pandangan-pandangan para filsuf masa itu, seperti
Huge de Groot alias Grotius (1583-1645) yang menekankan pendekatan rasional
dalam struktur hukum dan perlunya penyusunan materi hukum secara sistematis, atau
Christoper Wolff (1679-1754) yang berkebangsaan Jerman dengan usahanya
5
membangun sebuah sistem hukum yang menyeluruh dan rasional berdasarkan
metode ilmiah, menyadarkan dan memunculkan semangat kodifikasi di berbagai
negara Eropa.
Luasnya kekuasaan Romawi hingga ke Eropa Timur yang berpusat di
Konstantinopel, menjadikan pengaruh sistem hukum romawi tidak terkikis kendati
Kerajaan Romawi telah runtuh, bahkan menjadi sumber kodifikasi hukum Eropa
Kontinental. Semangat rasionalisme yang menyebabkan revolusi Perancis, membawa
negara tersebut sejak 21 Maret 1804 menjadi peletak tata hukum baru melalui
diterbitkannya Code Civil yang merupakan bagian dari Codex Napoleon, yakni
kaidah-kaidah hukum Napoleon Bonaparte yang terkodifikasi dalam 3 buku; code
penal, code civil, dan code de commerce. Setengah abad kemudian di Jerman juga
terbentuk code civil pada tahun 1896.
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastian hukum. Sebagai bekas
wilayah jajahan Perancis, oleh Belanda code civil Perancis diadopsi menjadi
KUHPerdata pada tahun 1838. Begitupun Code de Commerce Perancis dijadikan
sebagai KUHDagang Belanda. Berdasarkan asas konkordansi keduanya dijadikan
sebagai undang-undang keperdataan dan perdagangan di negara-negara jajahan
Belanda, termasuk di Indonesia sejak tahun 1848 dan berlaku hingga sekarang.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental adalah,
bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Model sistem
seperti ini dipelopori oleh diantaranya Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl.
Menurut Stahl konsep sistem hukum ditandai oleh empat unsur pokok:
1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
2. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara yang didasarkan pada teori trias
politika,
3. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur),
dan
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh penerintah.
Prinsip hukum melalui keempat unsur tersebut diwujudkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang tersusun sistematis di dalam kodifikasi atau
kompilasi tertentu. Tidak ada hukum selain undang-undang, yang tujuannya untuk
6
menciptakan kepastian hukum itu sendiri. Dan kepastian hukum hanya dapat
diwujudkan jika pergaulan atau hubungan dalam masyarakat diatur dengan
peraturan-peraturan hukum yang tertulis.
Dalam sistem Eropa Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk
menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya
boleh menafsirkan peraturan-peraturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang
melekat. Putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang
berperkara saja (Doktrins Res Ajudicata).
Mengingat sifatnya yang berorientasi pada unsur kedaulatan (sovereignty),
termasuk dalam menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum dalam
sistem Eropa Kontinental, meliputi:
1. Peraturan perundang-undangan, sebagai sumber hukum formal utama yang
dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif (Statutes), dan terbagi menjadi:
a. Peraturan (regel), yakni keputusan pemerintah yang isinya berlaku dan
mengikat secara umum, bukan hanya ditujukan pada orang-orang tertentu.
b. Penetapan atau ketetapan (beschikking), yakni keputusan pemerintah yang
hanya berlaku bagi orang atau peruntukan tertentu saja.
c. Vonis, yakni keputusan badan peradilan (hakim) yang menetapkan hukum
atas kasus konkret tertentu sebagai penyelesaian.
2. Kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat
selama tidak bertentangan dengan undang-undang. Kebiasaan atau tradisi
merupakan sumber hukum tertua, yang digali sebagian dari hukum di luar
Undang-Undang.
Kebiasaan adalah pengulangan perilaku yang sama di dalam masyarakat setiap
kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama. Kebiasaan menjadi suatu hukum
apabila kebiasaan itu diyakini oleh masyarakat sebagai suatu kewajiban hukum
karena dirasakan sesuai dengan tuntutan keadilan. Di samping itu, suatu
kebiasaan juga dapat menjadi hukum kebiasaan karena dikonstatir oleh hakim
dalam putusannya.
Persyaratan untuk dapat menjadi hukum kebiasaan, adalah:
a. Syarat materiil berupa adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap atau
diulang, yaitu harus dapat ditunjukkan adanya suatu rangkaian perbuatan
yang sama dan berlangsung selama jangka waktu yang lama.
7
b. Syarat intelektual, yaitu kebiasaan itu harus menimbulkan keyakinan umum
(necessitatis) bahwa suatu perbuatan merupakan kewajiban hukum.
Keyakinan ini harus didukung bukan hanya dengan keberlangsungan terus
menerus, juga adanya keyakinan bahwa memang seharusnya demikian.
c. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan itu di langgar.
3. Traktat, yaitu perjanjian antarnegara.
Traktat dibedakan antara perjanjian antarnegara yang sifatnya penting (treaty)
dan perjanjian antarnegara yang bersifat biasa atau tidak begitu penting
(agreement). Berdasarkan jenisnya traktat dibedakan pula antara perjanjian
bilateral (dilakukan hanya oleh dua negara) dan perjanjian multilateral
(dilakukan oleh lebih dari dua negara). Perjanjian multilateral ada yang bersifat
terbuka, yakni setelah traktat itu berlaku masih terbuka kemungkinan negaranegara lain yang tidak turut serta dalam pembentukannya untuk menjadi peserta
dari traktat tersebut, dan ada yang bersifat tertutup, yakni negara lain yang tidak
terlibat dalam pembentukannya tidak dapat menjadi peserta pada traktat
termaksud.
Traktat hanya dapat diselenggarakan oleh subjek-subjek hukum pada Hukum
Internasional, yaitu; negara yang berdaulat, badan-badan internasional, dan tahta
suci Vatikan (Sri Paus).
4. Yurisprudensi, dalam konteks sistem civil law merupakan putusan hakim di
semua tingkatan badan peradilan, yang kemudian dijadikan dasar untuk
menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari. Dalam sistem kontinental,
hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai
perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan putusan dalam sistem
kontinental, maka hakim diikat oleh undang-undang. Di sini Hakim berpikir
secara deduktif, dari undang-undang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus.
Perbedaan yurisprudensi dengan undang-undang adalah putusan pengadilan
berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang-orang
tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat
abstrak karena mengikat setiap orang.
Merunut sumber-sumber hukum yang digunakan tersebut, maka sistem
hukum Eropa Kontinental terbagi ke dalam dua golongan hukum, yaitu:
a. Hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum,
8
disebut hukum publik, dan
b. Hukum yang mengatur hubungan perdata artinya yang mengatur hubungan
orang, disebut hukum privat.
Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur
kekuasaan dan wewenang penguasa negara, serta hubungan-hubungan antara
masyarakat dan negara. Termasuk di dalamnya adalah hukum tatanegara, hukum
administrasi negara, hukum pidana dan lainnya. Pada sisi lain hukum privat
mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara
individu-individu dalam memenuhi kebutuhan individunya. Termasuk hukum privat
adalah hukum sipil (perdata) dan hukum dagang.
Namun demikian, perkembangan peradaban manusia saat sekarang
menyebabkan batas-batas antara hukum publik dan hukum privat semakin sulit
ditemukan, disebabkan:
a. banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat menuntut intensifitas sosialisasi
makna kepentingan umum di dalam hukum sebagai urusan yang perlu dilindungi
dan dijamin. Misalnya, dalam hukum perburuhan dan hukum agraria;
b. tingginya persoalan individu di dalam masyarakat yang semakin kompleks,
mendorong keterlibatan negara semakin jauh ke dalam bidang kehidupan yang
sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan. Misalnya, bidang
perdagangan, bidang perjanjian, dan perlindungan hak-hak asasi manusia seperti
tercermin dalam undang-undang perkawinan, KDRT dan perlindungan anak.
Di samping pembagian dalam dua golongan hukum, sistem civil law yang
berjiwa sistematika hukum Romawi-Jerman cenderung memiliki kesamaan ciri
dalam strukturnya, meliputi:
a. terbaginya hukum menjadi bidang-bidang hukum tertentu, seperti: Hukum Tata
Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Agraria, Hukum Perdata
Internasional, dan sebagainya;
b. adanya penyatuan atau unifikasi dalam hukum menjadi satu hukum negara yang
diberlakukan
untuk
seluruh
penduduk
berdasarkan
teritorial
negara
bersangkutan, dengan tidak membedakan golongan, tidak diskriminatif atau
memandang setiap orang berkedudukan sama dimuka hukum;
c. hukum-hukum tertulis yang ada disatukan dalam klasifikasi-klasifikasi sebagai
sebuah kodifikasi hukum. Kansil memberikan pengertian kodifikasi sebagai
9
pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara
sistematis dan lengkap. Tujuan kodifikasi adalah untuk memperoleh kepastian
hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum. Beberapa contoh
kodifikasi hukum adalah:
1)
Kodifikasi hukum di Eropa adalah Corpus Juries Civilize (mengenai Hukum
Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari Kerajaan Romawi
Timur dalam tahun 527-565 dan dan Code Civil (mengenai Hukum Perdata)
yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis pada tahun 1604, juga
2)
Kodifikasi hukum di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918).
Beberapa negara di dunia yang sistematika hukumnya banyak dipengaruhi
civil law system, yaitu: Albania, Austria, Belanda, Belgia, Bulgaria, Brasil, Chili,
Republik Ceko, Denmark, Republik Dominika, Ekuador, Estonia, Finlandia,
Guatemala, Haiti, Hongaria, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kolombia, Kroasia,
Latvia, Lituania, Luxemburg, Makau, Malta (namun hukum publiknya juga
mendapat pengaruh common law system), Meksiko, Norwegia, Panama, Perancis,
Peru, Polandia, Portugal, Rusia, Slovakia, Spanyol, Swedia, Swiss, Thailand,
Taiwan, Vietnam, dan Yunani1.
B. SEJARAH COMMON LAW SYSTEM
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui
universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang melalui
pengajaran turun temurun secara lisan dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
Common law system diterapkan dan mulai berkembang sejak abad XVI di Negara
Inggris. Di dukung keadaan geografis serta perkembangan politik dan sosial yang
terus menerus, sistem hukum ini dengan pesat berkembang hingga di luar wilayah
Inggris, seperti di Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni Inggris (negara
persemakmuran / commonwealth).
Dalam sistem ini tidak dikenal sumber hukum baku. Sumber hukum
tertinggi hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan / telah
menjadi keputusan pengadilan. Sumber hukum yang berasal dari kebiasaan inilah
1
http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_hukum_di_dunia
10
yang kemudian menjadikan sistem hukum ini disebut Common Law System atau Uri
Written Law (hukum tidak tertulis).
Sejarah hukum common law dimulai dari tahun 1066 ketika sistem
pemerintahan di Inggris bersifat feodalistis, dengan melakukan pembagian wilayahwilayah yang dikuasakan ke tangan Lord dan rakyat harus menyewanya kepada Lord
tersebut. Kekuasaan Lord yang semakin besar menyebabkan ia dapat membentuk
pengadilan sendiri yang dinamakan dengan minoral court. Pengadilan ini
menjalankan tugasnya berdasarkan hukum kebiasaan setempat dan hukum yang
ditetapkan oleh Lord sendiri. Akibatnya muncul kesewenangan dan berbagai
penyelewengan yang juga melahirkan pemberontakan-pemberontakan hingga
akhirnya tercium oleh Raja Henry II (1154-1180).
Kerajaan Inggris lantas berinisiatif mengambil beberapa kebijaksanaan,
yaitu:
a. Disusunnya suatu kitab yang memuat hukum Inggris pada waktu itu. Agar
mendapatkan kepastian hukum kitab tersebut ditulis dalam bahasa latin oleh
Glanvild chief justitior dari Henry II dengan judul Legibus Angliae;
b. Diberlakukannya writ system, yakni surat perintah dari raja kepada tergugat agar
membuktikan bahwa hak-hak dari penggugat itu tidak benar. Dengan demikian
tergugat mendapat kesempatan untuk membela diri;
c. Diadakannya sentralisasi pengadilan (Royal Court) yang tidak lagi mendasarkan
pada hukum kebiasaan setempat melainkan pada Common Law, yang merupakan
suatu unifikasi hukum kebiasaan yang sudah diputus oleh hakim (yurisprudensi).
Hal ini menjadi langkah besar bagi kemajuan hukum di Inggris pada masa itu.
Akibat banyaknya perkara dan keterbatasan Royal Court dan sistem Writ
dalam mengadili, maka penduduk Inggris kemudian mencari keadilan kepada
pimpinan gereja atau Lord of Chancellor.
Pengadilan yang dilakukan oleh pimpinan gereja menurut sistem hukum
Inggris tidaklah bertentangan, karena pada saat itu pengadilan Royal Court
didasarkan pada common law dan hakim-hakimnya bertindak atas nama raja (fons
iustitiae atau raja selaku sumber keadilan dan kelayakan). Sedangkan pengadilan
Court of Chancery didasarkan pada hukum gereja atau hukum kanonik dan hakimnya
adalah seorang rohaniawan. Sistem penyelesaian perkara di pengadilan ini dikenal
sebagai sistem equity, yakni sistem penyelesaian perkara yang didasarkan pada
11
hukum alam (ketuhanan) atau keadilan. Dengan semakin banyaknya minat dari
masyarakat untuk mencari keadilan kepada Lord of Chancellor menyebabkan
terbentuknya pengadilan tersendiri yaitu Court of Chancerry di samping Royal Court
yang telah ada.
Untuk keselarasan, maka pengadilan Inggris melakukan reorganisasi
(judicature act) pada tahun 1873-1875, yaitu meletakkan satu atap pengadilan Royal
Court dan Court of Chancerry. Penyelesaian-penyelesaian perkara tidak lagi
berbeda, yakni perkara-perkara Common Law (cases at Common Law) maupun
perkara-perkara Equity (cases at Equity) sama-sama diajukan ke salah satu
pengadilan tersebut.
Dalam arti sempit, hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara
Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan
kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim. Undang-undang nyaris
tidak memiliki pengaruh terhadap evolusi common law ini. Akan tetapi common law
dalam artian ini tidak mencakup seluruh tatanan hukum Inggris, karena di samping
peradilan oleh pengadilan-pengadilan kerajaan telah berkembang pula statute law,
yakni hukum undang-undang yang dikeluarkan oleh pembuat undang-undang
(legislatif).
Meski dalam common law dikenal adanya statute law, tetapi secara
fundamental berbeda dalam perkembangannya dengan tatanan-tatanan hukum Eropa
Kontinental. Berkembang di daratan Inggris yang sejak abad X dikenal dengan
sebutan Anglo-Saxon (karena penduduknya yang berasal dari suku Angle, Saxon, dan
Jute), sistem common law dikenal pula dengan istilah sistem hukum Anglo-Saxon.
Konsep negara hukum Anglo-Saxon atau dikenal sebagai Anglo-Saxon Rule
of Law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris) menekankan pada tiga tolok ukur:
1. Supremasi hukum (supremacy of law),
2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law),dan
3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on
individual rights).
Sebagai sistem hukum yang lebih mengutamakan pada hukum kebiasaan
dan hukum adat masyarakat, maka dalam common law kedudukan kebiasaan dalam
masyarakat lebih berperan daripada undang-undang dan selalu menyesuaikan dengan
12
perkembangan masyarakat yang semakin maju. Sumber-sumber hukum dalam sistem
Anglo-Saxon pun memiliki perbedaan fundamental dengan tidak tersusun secara
sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental.
Adapun sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi:
1. Yurisprudensi (judicial decisions), yakni hakim mempunyai wewenang yang
luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsipprinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim–hakim lain
dalam memutuskan perkara sejenis (hukum hakim, rechterrecht, judge made
law). Dalam hal ini hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan
yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
Yurisprudensi merupakan sumber hukum yang utama dan terpenting dalam
sistem common law. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan
terdahulu apabila dihadapkan pada suatu kasus. Oleh karenanya di sini hakim
berpikir secara induktif. Asas keterikatan hakim pada precedent disebut stare
decisis et quieta non movere (pengadilan yang tingkatannya lebih rendah harus
mengikuti keputusan yang lebih tinggi), yang lazimnya disingkat stare decisis
atau disebut juga the binding force of precedent (perkara yang sama harus
diproses dengan cara yang mirip atau sama). Hakim hanya terikat pada isi
putusan pengadilan yang esensial atau disebut ratio decidendi, yakni
berhubungan langsung dengan pokok perkara. Sedangkan dalam hal yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara, yakni sebatas merupakan
tambahan dan ilustrasi atau disebut obiter dicto, maka hakim dapat menilai
sebagai suasana yang meliputi pokok perkara menurut pandangan hakim itu
sendiri. Putusan yang bersifat “binding precedent” berarti putusan tersebut
memiliki kekuatan yang meyakinkan.
2. Statute Law, yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya
undang-undang dalam sistem kontinental. Statute Law merupakan sumber
hukum kedua setelah yurisprudensi. Untuk melaksanakan Statute Law dibuat
perangkat peraturan pelaksanaan oleh instansi-instansi pemerintah yang
bersangkutan.
Fungsi Statute Law sebatas pelengkap common law yang terkadang memiliki
celah-celah, dan tidak ditujukan untuk mengatur suatu permasalahan secara
menyeluruh.
13
Pembentukan hukum melalui statuta law menjadi penting setelah Perang Dunia
II akibat desakan perubahan peraturan-peraturan secara cepat, dibandingkan
dengan yurisprudensi yang dirasakan lamban. Pembentukan statute law oleh
Parlemen sebenarnya merupakan bentuk penyimpangan sistem common law,
yakni bentuknya yang berupa undang-undang (written law),dan dapat merubah
putusan pengadilan (yurisprudensi) dengan suatu undang-undang baru. Namun
tindakan parlemen untuk mengubah yurisprudensi ini dibatasi oleh pendapat
umum serta pendapat para sarjana hukum. Sehingga meski memiliki hukum
tertulis, masih dibatasi pendapat-pendapat umum maupun para sarjana hukum
secara obyektif yang didasarkan pada pengetahuan atas kebiasaan atau common
law yang telah ada.
3. Custom, yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama berabad-abad di Inggris
sehingga menjadi sumber nilai-nilai. Dari nilai-nilai ini hakim menggali serta
membentuk norma-norma hukum. Custom ini kemudian dituangkan dalam
putusan pengadilan. Di Inggris dikenal dua macam custom, yaitu local custom
(kebiasaan setempat) dan commercial custom (kebiasaan yang menyangkut
perdagangan).
4. Reason (akal sehat). Reason atau common senses berfungsi sebagai sumber
hukum jika sumber hukum yang lain tidak memberikan penyelesaian terhadap
perkara yang sedang ditangani oleh hakim, artinya tidak didapatkan norma
hukum yang mampu memberikan penyelesaian mengenai perkara yang sedang
diperiksa. Reason merupakan cara penemuan hukum dalam sistem common law
ketika menghadapi masalah-masalah hukum yang tidak ditemukan norma-norma
hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain. Dengan reason, para hakim
dibantu untuk menemukan norma-norma hukum untuk memberikan keputusan.
Beberapa negara yang sistem hukumnya banyak dipengaruhi oleh common
law system, diantaranya: Amerika Serikat, Australia, Inggris (Britania), Hongkong,
India, Republik Irlandia, Kanada, Pakistan, dan Selandia Baru. Khusus di India dan
Pakistan beberapa aspek hukum privat banyak dipengaruhi oleh Hukum Agama,
seperti Islam, dan Hindu.
Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo-Saxon di Amerika mengenal
juga pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat. Pengertian yang diberikan kepada
hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum
14
Eropa Kontinental. Sedangkan bagi hukum privat pengertiannya agak menyimpang,
yakni bukan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang, melainkan
lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property),
hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law oc contract), dan
hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts,) yang kesemuanya tersebar
di dalam peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasaan.
C. PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA
Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang
didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk
memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun
sebagai negara kepulauan yang memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, di
Indonesia juga berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaranajaran hukum Islam dalam kehidupan bangsa Indonesia sebagai konsekuensi
penduduknya yang mayoritas muslim. Sehingga di beberapa daerah hukum adat turut
pula dipengaruhi oleh nilai-nilai ajaran Islam.
Sifat keberlakuan hukum adat di Indonesia sendiri cukup kuat, karena
tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan sehari-hari masyarakat adat dan
telah dikonstituir oleh pengetua adat, yang jika dilanggar maka akan mendapat akibat
hukum berupa kecaman atau dikucilkan dari kehidupan bersama, dibuang ke daerah
lain, terputusnya komunikasi dengan sanak keluarga, hingga hukuman fisik berupa
kerja berat atau denda berupa penggantian sejumlah harta miliknya.
Asas konkordasi atas sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut
Indonesia tidak lepas dari pengaruh Belanda yang pernah menjajah Indonesia selama
ratusan tahun lamanya. Sistem hukum Belanda sendiri merupakan sistem hukum
yang mengadopsi Codex Napoleon yang bersumber dari hukum Romawi. Karena
sistem ini yang berkembang kali pertama adalah hukum perdatanya yang mengatur
hubungan individu semua anggota masyarakat, maka sistem hukum Eropa
Kontinental sebagaimana diadopsi Belanda dan berlaku di Indonesia disebut sebagai
civil law system.
Berdasarkan asas konkordansi pula sejak tahun 1848 hukum di Nederland
berlaku bagi seluruh penduduk di Hindia Belanda. Pada waktu itu penduduk Hindia
Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, dan Bumi Putra. Golongan
15
penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara
sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam
perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah
Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undang-undang
tersendiri, seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja,
Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, atau Undang-undang
Rahasia Dagang.
Di Belanda sendiri ketiga kitab undang-undang tersebut telah mengalami
berkali-kali perubahan, namun di Indonesia perubahan terjadi melalui mekanisme
pembentukan berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata,
KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang-undang ini juga terjadi oleh
karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran
terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi.
Setelah Indonesia merdeka dan mengundang kembali datangnya investasi
asing pada tahun 1967, maka mendorong perdagangan internasional Indonesia ke
pasar dunia, dan berusaha mendapat pinjaman-pinjaman luar negeri dari negaranegara maju. Akibatnya lambat laun pengaruh common law secara disadari atau tidak
menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia.
Common law mempengaruhi hukum Indonesia melalui perjanjian-perjanjian
atau konvensi-konvensi internasional di mana Indonesia menjadi anggotanya. Mulai
perjanjian antara para pengusaha, lahirnya institusi-institusi keuangan baru, hingga
pengaruh para sarjana hukum yang mendapat pendidikan di negara-negara Common
Law seperti Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Penetrasi common law dalam
sistem hukum Indonesia lebih banyak diakibatkan keterlibatan Indonesia menjadi
anggota berbagai konvensi internasional, di mana sistem common law adalah
dominan.
Dalam hukum ekonomi, perjanjian GATT (General Agreement on Tarif and
Trade), WTO (World Trade Organisation), TRIMs (Trade Related Investment
Measures) atau peraturan di bidang investasi yang berhubungan dengan
perdagangan, dan TRIPs (Trade Releted Intellectual Property Rights) atau peraturan
yang berhubungan dengan hak milik intelektual, banyak mempengaruhi undang-
16
undang di bidang hak milik dan investasi di Indonesia. Begitupun datangnya modal
asing yang dalam implementasinya melahirkan sistem seperti Joint Venture
Agreement, Franchise Agreement, maupun pola pinjaman jangka pendek dalam
sistem Commercial Paper (CP), semuanya merupakan bentuk-bentuk kontrak dalam
sistem common law.
Belum lagi isu-isu pemanasan global yang membawa keterlibatan
organisasi-organisasi lingkungan hidup internasional secara tidak langsung pada
ajaran Legal Standing, atau Class Action sebagai bentuk gugatan masyarakat
terhadap perlindungan hak-hak konsumennya, pun Derivative Action sebagai cara
dalam gugatan pemegang saham minoritas kepada direksi dan komisaris perseroan
terbatas atas nama perusahaan. Semua penyelesaian hukum tersebut sama sekali
tidak dikenal dalam sistem civil law.
Tampak dari gambaran di atas, Indonesia adalah penganut pluralisme
hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil Law, dan Common Law yang
kesemuanya hidup berdampingan. Keanekaragaman sistem hukum yang ada
menjadikan pembangunan hukum di Indonesia sulit untuk diciptakannya suatu
unifikasi hukum yang berlaku menyeluruh. Unifikasi hanya terbatas pada bidangbidang hukum yang netral, seperti ekonomi, perdagangan, perburuhan, dan pidana.
Sebaliknya Unifikasi tidak dapat dilakukan pada bidang-bidang yang bersangkutan
dengan agama dan adat, seperti perkawinan dan warisan, hak untuk mati, hak untuk
menggugurkan kandungan, maupun perkawinan sesama jenis.
Dalam dunia kontemporer, dikenal tiga tradisi hukum yang utama, yakni
civil law, common law, dan socialist law. Dari sudut perspektif sejarah dikenal dua
model strategi pembangunan hukum, yaitu ortodoks (preventif) dan responsif.
Strategi pembangunan hukum ortodoks mengandung ciri keterlibatan sangat
dominan lembaga-lembaga negara (eksekutif dan legislatif) dalam menentukan arah
pembangunan bagi masyarakat. Strategi ini biasanya dianut oleh negara-negara
dengan sistem hukum civil law dan socialist law. Sedangkan strategi pembangunan
hukum responsif mengandung ciri adanya peranan besar lembaga peradilan dan
partisipasi luas kelompok-kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat dalam
menentukan arah perkembangan hukum. Keadaan ini memungkinkan dihasilkannya
produk hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan sosial atau individu dalam
masyarakat. Dalam pengertian demikian, maka tradisi hukum kebiasaan dan hukum
17
adat dalam sistem common law adalah penganut strategi pembangunan hukum
responsif.
Mengamati perkembangan hukum adat yang semakin mendapat tempat
dalam konstitusi negara UUD RI Tahun 1945 pada Pasal 18B ayat (2), yang jika
dihubungkan dengan arah pembangunan hukum di Indonesia yang cenderung
dogmatis dan pragmatis, maka sesungguhnya pada skala nasional di Indonesia yang
menganut civil law system antara civil law maupun common law dapat dikatakan
tidak ada lagi perbedaan signifikan. Hal ini tampak dalam undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman, dinyatakan bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya”.
Dari rumusan klausul di atas tampak bahwa hakim di Indonesia diwajibkan
bersikap aktif dalam menggali dan menemukan hukum (rechtsvinding dan
rechtsvorming). Konsekuensinya pengadilan atau hakim juga merupakan unsur yang
cukup penting dalam pembangunan hukum, terutama fungsinya dalam membuat
hukum baru. Kenyataan ini menempatkan sistem hukum di Indonesia juga telah
masuk ke dalam alam sistem hukum common law.
Sebagaimana dikemukakan dalam Teori Hukum Pembangunan Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmaja, bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan juga termasuk lembaga
dan proses dalam mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam kenyataan di
masyarakat.
Kata
asas
menggambarkan
bahwa
penggagas
memperhatikan
pandangan aliran hukum alam, karena asas itu ada kaitannya dengan nilai-nilai moral
tertinggi, yaitu keadilan. Adapun kata kaidah menggambarkan bahwa Mochtar
memperhatikan pengaruh aliran Positivisme Hukum, karena kata kaidah mempunyai
sifat normatif. Kata lembaga menggambarkan bahwa teori tersebut memperhatikan
pandangan Mazhab Sejarah, karena yang dimaksud disini adalah lembaga hukum
adat.
Sedangkan kata proses dimaksudkan pada proses disini adalah proses
terbentuknya putusan hakim pengadilan.
Kesimpulannya, perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
keanekaragaman agama, adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia
itu sendiri, civil law, common law, maupun hukum-hukum adat yang ada.
18
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat lima sistem hukum di dunia, yaitu; sistem hukum sipil (civil law),
sistem hukum Anglo-Saxon (common law), sistem hukum agama, sistem hukum
adat, dan sistem hukum negara-negara blok timur (sosialis). Dari kelima sistem
hukum tersebut, civil law system dan common law system merupakan dua sistem
hukum yang mendominasi sistem-sistem hukum di negara-negara belahan dunia.
Civil law system merupakan sistem hukum yang berkembang di dataran
Eropa. Sistem ini menekankan pada penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya
tertulis dalam sistematika hukumnya. Karena awal perkembangannya di daratan
Eropa Timur sehingga dikenal sebagai sistem Eropa Kontinental.
Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental, kodifikasi hukum merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk terwujudnya kepastiam hukum. Prinsip utama
yang menjadi dasar sistem hukum Eropa kontinental adalah bahwa hukum
memperoleh kekuatan mengikat karena diwujudkan. Dalam sistem Eropa
Kontinental hakim tidak memiliki keleluasaan untuk menciptakan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat masyarakat, dan hanya boleh menafsirkan peraturanperaturan yang telah ada berdasarkan wewenang yang melekat. Putusan hakim dalam
suatu perkara hanyalah mengikat pihak yang berperkara saja. Sumber hukum dalam
sistem civil law, meliputi: peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan yang
hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan
dengan undang-undang, traktat atau perjanjian antarnegara, dan yurisprudensi yakni
putusan hakim di semua tingkatan badan peradilan
Bertolak belakang dengan sistem civil law yang diajarkan melalui
universitas-universitas, sistem common law hidup dan berkembang secara turun
temurun dalam kebiasaan-kebiasaan di masyarakat.
Sumber hukum tertinggi
hanyalah kebiasaan masyarakat yang dikembangkan di pengadilan dan telah menjadi
keputusan pengadilan. Hakekat common law sebagaimana dipraktekkan negara
Inggris ketika itu adalah sebuah judge made law, yaitu hukum yang dibentuk oleh
peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan oleh kekuasaan yang diberikan
kepada preseden-preseden (putusan terdahulu) para hakim.
19
Sumber-sumber hukum dalam sistem common law, meliputi: yurisprudensi
yakni hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturanperaturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai
pegangan bagi hakim–hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis, statute law
yakni peraturan yang dibuat oleh parlemen Inggris seperti layaknya undang-undang
dalam sistem kontinental, custom yakni kebiasaan yang sudah berlaku selama
berabad-abad di Inggris sehingga menjadi sumber nilai-nilai, dan Reason (akal sehat)
yakni berfungsi sebagai sumber hukum jika sumber hukum yang lain tidak
memberikan penyelesaian terhadap perkara yang sedang ditangani oleh hakim
Sistem hukum di Indonesia saat ini merupakan sistem hukum yang
didasarkan pada asas konkordasi, yakni menerima secara sukarela untuk
memperlakukan sistem hukum yang berasal dari daratan Eropa Kontinental. Namun
Indonesia juga memiliki beragam tradisi dalam masyarakatnya, yang di dalamnya
berlaku hukum adat sebagai hukum asli. Belum lagi penetrasi ajaran-ajaran hukum
Islam yang di beberapa daerah turut mempengaruhi hukum adat.
Setelah Indonesia merdeka dan mulai masuknya investasi asing, lambat laun
pengaruh common law menginfiltrasi perkembangan hukum di Indonesia. Akibatnya
di Indonesia terdapat pluralisme hukum, meliputi; Hukum Adat, Hukum Islam, Civil
Law dan Common Law yang kesemuanya hidup berdampingan. Sehingga
perkembangan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keanekaragaman agama,
adat, masyarakat dan sistem hukum yang hidup di Indonesia itu sendiri, civil law,
common law, maupun hukum-hukum adat yang ada
20
Download