6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infark Miokardium Non Elevasi Segmen ST SKA adalah suatu definisi operasional yang menggambarkan spektrum kondisi terjadinya iskemia dan atau infark miokardium yang disebabkan penurunan aliran darah koroner yang bersifat tiba-tiba (Amsterdam, 2014) Berdasarkan pedoman tatalaksana SKA yang dikeluarkan oleh PERKI tahun 2015 diagnosis SKANEST yang terdiri dari IMANEST dan APTS ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa adanya elevasi segmen ST yang persisten pada dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. IMANEST dan APTS dibedakan berdasarkan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi IMANEST. Pada APTS marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada SKA, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (Irmalita, 2015). Berdasarkan pedoman tatalaksana SKA oleh PERKI tahun 2015 depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥ 0,1 mV di sadapan lainnya. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai spesifisitas tinggi untuk untuk iskemia akut. Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG diagnostik dikategorikan sebagai perubahan EKG nondiagnostik (Irmalita, 2015). Pasien dengan IMANEST memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan APTS. Pasien dengan APTS memiliki risiko kematian jangka pendek sebesar 1,5-2,0% sedangkan pasien dengan IMANEST dan IMAEST memiliki risiko yang hampir sama yakni 3-5% (Braunwald E 2012). Universitas Sumatera Utara 7 2.2. Stratifikasi Risiko Pasien IMANEST SKANEST memiliki spektrum klinis dan risiko yang amat lebar maka proses stratifikasi risiko harus dilakukan sesegera mungkin. Stratifikasi risiko awal memiliki peranan penting dalam menentukan prognosis dan strategi pengobatan yang akan dilakukan (Hamm, 2011; Akkerhuis, 2001). Stratifikasi risiko adalah suatu proses berkelanjutan hingga pasien dipulangkan dari rumah sakit dan proses ini dapat mengubah berbagai strategi pengobatan setiap waktunya. Bahkan setelah pasien dipulangkan, pasien masih dapat berada dalam risiko tinggi untuk terjadinya KKvM (Hamm, 2011). Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang paling sering digunakan adalah skor TIMI dan GRACE. Skor TIMI dihasilkan dari penelitian TIMI 11b dan divalidasi pada beberapa percobaan seperti TACTICS-TIMI 18. Kekurangan dari skor TIMI adalah ketidakmampuannya untuk mendiskriminasi risiko secara lebih rinci. Skor GRACE merupakan skor paling mutakhir namun lebih rumit dan membutuhkan penggunaan aplikasi komputer dalam penghitungannya. Satu skor lagi yang tidak terlalu terkenal adalah skor PURSUIT (Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable angina: Receptor Suppression Using Integrilin Therapy). Pada suatu penelitian oleh Goncalves dkk yang meneliti penggunaan skor GRACE, TIMI, dan PURSUIT pada populasi yang sama di suatu pusat kesehatan pada 460 pasien. Hasilnya terlihat bahwa skor GRACE merupakan yang terbaik dalam menilai risiko kematian atau infark miokardium dalam 1 tahun (De Araujo Goncalves, 2005). Hal ini sejalan dengan penelitian Aragam dkk yang melihat bahwa daya diskriminasi skor GRACE lebih baik dibandingkan TIMI (Aragam, 2009). Perbandingan variabel yang digunakan dari ketiga skor di atas dapat dilihat pada tabel 2.1. Universitas Sumatera Utara 8 Tabel 2.1. Perbandingan tiga sistem skor pada SKANEST (Chandra, 2012) Variabel Usia Jenis kelamin Faktor resiko konvensional Angina TIMI ≥65 tahun Tidak dipertimbangkan ≥3 faktor resiko GRACE Resiko meningkat pada usia 40-80 Tidak dipertimbangkan ≥1 episode angina saat istirahat dalam 24 jam Penggunaan aspirin 1 minggu sebelum SKA Frekuensi denyut jantung Tekanan darah sistolik PURSUIT Resiko meningkat pada usia 50-80 Laki-laki meningkat 1.0 Tergantung klasifikasi CCS √ Henti jantung saat tiba di RS Perubahan EKG √ Kelas killip Enzim jantung √ Kreatinin serum Angiografi √ koroner Keterangan : √: termasuk dalam variabel penilaian Skor meningkat pada 70-220 Peningkatan TD menurunkan resiko √ √ √ √ √ √ √ 2.2.1. Skor GRACE pada IMANEST Skor GRACE adalah sistem skor yang direkomendasikan oleh pedoman tatalaksana oleh ESC yang diaplikasikan pada saat pasien masuk dan pulang. Klasifikasi GRACE ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan, 1 tahun, dan 3 tahun setelah keluar dari rumah sakit (Granger, 2003; Elbarouni, 2009). Skor GRACE dan klasifikasinya dapat dilihat pada tabel 2.2. dan 2.3. Universitas Sumatera Utara 9 Tabel 2.2. Skor GRACE untuk SKANEST (Granger, 2003) Prediktor Usia dalam tahun <40 40-49 50-59 60-69 70-79 80 Laju denyut jantung (kali per menit) <70 70-89 90-109 110-149 150-199 >200 Tekanan darah sistolik (mmHg) <80 80-99 100-119 120-139 140-159 160-199 >200 Kreatinin (μmol/L) 0-34 35-70 71-105 106-140 141-176 177-353 ≥354 Gagal jantung berdasarkan Killip I II III IV Henti jantung saat tiba di RS Peningkatan marka jantung Deviasi segmen ST Skor 0 18 36 55 73 91 0 7 13 23 36 46 63 58 47 37 26 11 0 2 5 8 11 14 23 31 0 21 43 64 43 15 30 Universitas Sumatera Utara 10 Tabel 2.3. Stratifikasi risiko berdasarkan skor GRACE (Fox, 2006; Hamm, 2011) Prediktor Kematian di RS Skor Risiko ≤108 <1% 109-140 1-3% >140 >3% Prediktor Kematian 6 bulan Skor Risiko ≤88 Rendah (<3%) 89-118 Sedang (3-8%) >118 Tinggi (>8%) 2.2.2 Penentuan Risiko Pasien IMANEST Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan di atas, pada pedoman tatalaksana oleh ESC yang diadopsi oleh PERKI pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok risiko, yaitu risiko sangat tinggi dan risiko tinggi (Hamm, 2011). Penentuan risiko ini berperan dalam penentuan perlu atau tidaknya dilakukan strategi invasif seperti terlihat pada tabel 2.4.. Tabel 2.4. Kriteria stratifikasi risiko sangat tinggi dan tinggi untuk strategi invasif berdasarkan pedoman tatalaksana ESC 2011 (Hamm, 2011) Kelompok Risiko Risiko Sangat Tinggi Risiko Tinggi Primer Sekunder Kriteria Angina refrakter Gagal jantung akut Aritmia ventrikel mengancam jiwa Keadaan hemodinamik tidak stabil Kenaikan atau penurunan troponin yang relevan Perubahan gelombang T atau segmen ST yang dinamis (simptomatik maupun tanpa gejala) Diabetes mellitus Insufisiensi ginjal (eGFR <60 mL/menit/1,73m2) Penurunan fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi <40%) Paska infark baru Riwayat IKP dalam 1 bulan Riwayat CABG Skor GRACE menengah hingga tinggi 2.3. Ekokardiografi Pada Pasien IMANEST Penggunaan ekokardiografi pada pasien IMA memiliki beberapa peranan, antara lain: 1. Diagnosis IMA pada pasien dengan nyeri dada dimana hasil EKG tidak memberikan gambaran spesifik. Ekokardiografi dapat memberi hasil diagnosis Universitas Sumatera Utara 11 adanya abnormalitas gerakan miokardium secara cepat. Abnormalitas ini merupakan akibat dari adanya infark miokardium (Cheitlin, 2003). 2. Estimasi besarnya miokardium yang terkena dampak IMA dan melihat perbedaan luasnya infark setelah terapi reperfusi. Fungsi sistolik global dan regional ventrikel kiri dapat meningkat terutama setelah terapi reperfusi (Cheitlin, 2003). 3. Evaluasi pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik (Cheitlin, 2003). 4. Deteksi komplikasi. Ekokardiografi juga berguna dalam melihat adanya komplikasi dari IMA yakni perluasan disfungsi miokardium, abnormalitas katup, defek septum interventrikular, dan ruptur miokardium (Cheitlin, 2003). 5. Stratifikasi risiko. Indikator prognostik yang paling kuat pada pasien pasca IMA adalah derajat disfungsi sistolik ventrikel kiri, volume ventrikel kiri, bentuk ventrikel kiri (sferisitas), adanya abnormalitas gerakan miokardium akibat suatu PJK, regurgitasi mitral, disfungsi diastolik, dan adanya gagal jantung (Braunwald, 2012; Bursi, 2006; Cheitlin, 2003; Scirica, 2010; Vartdal, 2007; Wong, 2004) Sebagai alat non invasif yang mudah dan dapat dilakukan sewaktu-waktu maka ekokardiografi menjadi alat yang sangat berguna pada pasien IMA (Cheitlin, 2003). 2.3.1. Pemeriksaan FEVK Pada Pasien IMANEST Berdasarkan kaskade iskemia, yang dimunculkan oleh Hauser dkk tahun 1985 terjadi tahapan kejadian klinis yang terjadi sejalan dengan iskemia. Perfusi ke miokardium ditentukan oleh aliran darah koroner dan konsumsi oksigen oleh miokardium. Adanya ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan ini akan menyebabkan terjadinya iskemia. Kejadian ini dapat menimbulkan manifestasi klinis atau tidak. Ekokardiografi dapat menilai terjadinya perubahan patofisiologi ini mulai dari tahap awal dan lebih sensitif dibandingkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan EKG (Herzog, 2009; Nesto, 2009). Universitas Sumatera Utara 12 Gambar 2.1. Kaskade Iskemia (Herzog E 2009) Sekali terjadi ketidakseimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen dan melewati ambang batas maka akan terjadi abnormalitas fungsi miokardium. Karakteristik dari disfungsi akibat iskemia adalah terjadi gangguan secara regional sesuai dengan distribusi aliran koroner. Segmen yang dinilai adalah 17 segmen berdasarkan ketetapan dari American Society of Echocardiography (ASE). Segmen yang paling awal terpengaruh adalah yang paling distal. Seperti contoh pada kasus oklusi total pada pembuluh darah Left Anterior Descending (LAD) maka terjadi abnormalitas mulai dari paling distal yakni di daerah apeks, kemudian diikuti daerah medial dan basal. Pengukuran fungsi sistolik lebih bermakna dibandingkan pengukuran fungsi diastolik dalam diagnosis, pengobatan, dan prognosis pasien dengan SKA (Herzog E 2009). Oklusi dari pembuluh darah koroner epikardium pada saat SKA akan mengakibatkan kehilangan fungsi kontraksi dari segmen miokardium yang disuplai oleh arteri tersebut. Luasnya kerusakan ini bergantung pada keparahan dan lamanya terjadi oklusi. Pada pasien APTS, gerakan dinding biasanya masih normal kecuali pemeriksaan dilakukan pada saat episode nyeri dada. Pada pasien IMANEST oklusi biasanya terjadi pada cabang pembuluh darah pada pasien dengan distribusi kolateral yang sudah tersedia. Maka kehilangan kontraktilitas biasanya terbatas Universitas Sumatera Utara 13 pada daerah subendokardium. Namun pada pemeriksaan ekokardiografi transtoraks biasa terlihat pada seluruh lapisan dinding jantung. Sedangkan pada IMAEST, oklusi biasa terjadi pada pembuluh darah utama tanpa tersedia pembuluh kolateral sehingga terjadi gangguan kontraktilitas lebih luas (Herzog, 2009). Herzog (2009) menyatkan perhitungan luasnya kerusakan kontraktilitas dilakukan semikuantitatif dengan menggunakan tiga parameter, yaitu: 1. Keparahan kehilangan kontraktilitas a. Normal : kontraktilitas bagus b. Hipokinetik : kontraktilitas berkurang parsial c. Akinetik: kontraktilitas tidak ada d. Diskinesis: gerakan paradoks dari segmen yang terkena pada saat sistol e. Aneurisma: pergerakan ke arah luar dari segmen yang terkena pada saat sistol dan diastol 2. Jumlah dan lokasi terjadinya disfungsi miokardium 3. Kemungkinan area distribusi koroner yang terlibat Gambar 2.2. Perkembangan disfungsi miokardium pada SKA (Herzog, 2009). Penghitungan fungsi sistolik global dapat dengan menggunakan indeks skor gerakan dinding dan FEVK. Penghitungan yang paling sering digunakan dalam menilai fungsi sistolik global adalah pemeriksaan FEVK dimana pemeriksaan ini lebih praktis (Rimington, 2007). Pemeriksaan ini dilakukan dengan menghitung Universitas Sumatera Utara 14 volume sistolik dan diastolik ventrikel kiri dan membaginya dengan rumus pada gambar 2.3. Gambar 2.3. Metode pengitungan FEVK (Rimington, 2007) Nilai FEVK yang didapatkan kemudian dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan seperti terlihat pada tabel 2.5. Tabel 2.5. Tingkatan fungsi sistolik berdasarkan FEVK (Rimington, 2007) Normal Menurun ringan Menurun sedang Menurun berat ≥55% 45-54% 30-44% <30% Penghitungan ini dapat dilakukan dengan metode Teichholtz dengan modalitas M-mode dan metode Simpson dengan menghitung volume. Penghitungan dengan metode Teichholtz ini hanya bisa dilakukan bila tidak terjadi abnormalitas gerakan dinding. Dikarenakan pada IMA terjadi abnormalitas gerakan dinding jantung maka sebaiknya dilakukan penghitungan dengan metode Simpson (Rimington, 2007). Pengukuran ini dapat dilakukan manual dan pada beberapa alat ekokardiografi dapat dilakukan secara semiotomatis dimana pemeriksa cukup melakukan pelacakan batas endokardium ventrikel kiri pada saat sistol dan diastol, kemudian mesin akan menghitungnya secara otomatis seperti pada gambar 2.4 (Herzog, 2009, Otterstad, 2002) Universitas Sumatera Utara 15 Gambar 2.4. Penghitungan FEVK menggunakan rumus Simpson secara semiotomatis (Herzog, 2009) Walaupun penghitungan dengan metode Simpson lebih akurat namun pada penelitian Arora dkk yang melihat perbedaan penghitungan FEVK dengan metode Teichholtz dengan Simpson pada pemeriksaan Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMRI), menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan pada rata-rata FEVK (Arora, 2010). Pada beberapa keadaan dimana terjadinya regurgitasi aorta dan mitral maka pengukuran dengan metode Simpson juga memiliki kekurangan dimana metode ini menghitung volume sekuncup yang merupakan jumlah dari volume regurgitan ditambah volume sekuncup sebenarnya sehingga memberi hasil yang lebih tinggi dari normal (Herzog, 2009). Pemeriksaan FEVK dinilai lebih akurat dibandingkan dengan indeks skor gerakan dinding. Hal ini karena pada pemeriksaan indeks skor gerakan dinding tidak memperkirakan daerah yang normal dan hiperdinamik pada pasien IMA. Sebagai contoh pada dua pasien dengan IMA akibat oklusi di LAD. Satu pasien mengalami hiperkinesis gerakan dinding, satu lagi tidak. Bila dengan penghitungan indeks skor gerakan dinding maka nilainya akan sama sedangkan bila dengan FEVK maka pasien dengan hiperkinesis akan memperlihatkan nilai lebih tinggi (Herzog, 2009). Berdasarkan pedoman tatalaksana SKANEST oleh European Society of Cardiology (ESC) tahun 2015, pemeriksaan fungsi sistolik global dan regional Universitas Sumatera Utara 16 ventrikel kiri menempati rekomendasi kelas I tingkat bukti C dalam diagnosis (Roffi, 2015). Berbagai penelitian telah memperlihatkan bahwa FEVK merupakan salah satu prediktor yang paling kuat dalam menilai prognosis pasien dengan penyakit jantung iskemik termasuk SKA (Herzog, 2009; Multicenter Postinfarction Research Group, 1983). Pada pasien IMA, FEVK merupakan prediktor paling kuat untuk mortalitas dan risiko aritmia mengancam jiwa pada pasien IMA. Setelah kejadian SKA terlewati, maka FEVK tersisa juga menjadi indikator penting dalam penatalaksanaan pasien, yakni dalam penentuan pemakaian alat bantu implantable cardioverter-defibrillator (ICD) (Herzog, 2009; Zorzi, 2015). Pada pasien dengan gagal jantung paska IMA, maka terdapat grafik yang linear antara mortalitas dengan nilai FEVK (Curtis, 2003; Herzog, 2009). Gambar 2.5. Hubungan FEVK dengan mortalitas pasien gagal jantung paska IMA (Herzog, 2009) 2.4. Nilai Prognostik FEVK dan Skor GRACE pada Pasien SKA dan IMANEST Penelitian Bedetti dkk pada 487 pasien SKA tahun 2008 menunjukkan bahwa echo score merupakan suatu prediktor yang sangat kuat dalam memprediksi KKvM. Echo score ini terdiri dari nilai FEVK, ultrasound lung comets (ULCs), Universitas Sumatera Utara 17 dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE). Rentang skornya dari nilai 0 hingga 9. Skornya dapat dilihat pada tabel 2.6 (Bedetti, 2010). Tabel 2.6 Penilaian Echo Score (Bedetti, 2010) Skor FEVK TAPSE ULCs 0 ≥50% ≥20mm ≤5 1 40-49% 15-20 mm 6-15 2 30-39% 10-14 mm 16-30 3 <30% <10 mm >30 Penilaian echo score ini terbukti akurat dalam memprediksi keluaran klinis pasien dengan SKA. Pada uji Kaplan-Meier terlihat bahwa nilai echo score terbukti memberikan nilai prognostik kematian selama dan 6 bulan. Pada uji multivariat, nilai echo score juga terlihat bermakna bersama skor GRACE, bahkan lebih tinggi dibandingkan skor GRACE. Lebih khususnya, nilai echo score sangat baik diaplikasikan pada pasien risiko sedang untuk memprediksi lebih lanjut risiko pasien (Bedetti, 2010). Penelitian Liu dkk tahun 2011 yang meneliti nilai prediktif penambahan HbA1C pada skor GRACE pada 549 pasien SKA tanpa diabetes militus (DM) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) memperlihatkan bahwa FEVK dan skor GRACE serta nilai HbA1C bermakna dalam memprediksi KKvM yakni kematian dan IMA nonfatal. FEVK dan skor GRACE juga terlihat konsisten memberikan nilai prognostik bahkan setelah dilakukan uji univariat dan multivariat (Liu, 2015). Penelitian Kobayashi dkk yang meneliti nilai prognostik left ventricular end diastolik pressure (LVEDP) pada 367 pasien NSTEMI tahun 2013-2014 yang menjalani prosedur angiografi koroner terhadap KKvM (mortalitas dan gagal jantung akut selama perawatan) memperlihatkan bahwa peningkatan LVEDP >22 mmHg berhubungan dengan risiko KKvM. Nilai FEVK terlihat berhubungan secara signifikan dengan nilai LVEDP. Pasien dengan LVEDP < 22 mmHG memiliki nilai rerata FEVK sebesar 60% dibandingkan dengan 52% pada pasien dengan LVEDP >22 mmHg (Kobayashi, 2015). Penelitian Zorzi dkk tahun 2015 yang meneliti faktor-faktor risiko terjadinya aritmia mengancam jiwa (takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel) dan kematian selama perawatan pada populasi pasien IMANEST menunjukkan bahwa Universitas Sumatera Utara 18 dari 1325 pasien (69.7% pria, usia rata-rata 70 tahun) angka kejadian aritmia mengancam jiwa sebesar 1.5% dan kematian sebesar 4.7%. Prediktor independen kejadian aritmia mengancam jiwa adalah skor GRACE >140 (odds ratio = 6.9 95% CI 1.5-30.6, nilai p 0.01) dan FEVK < 35% (OR=3.7 95% CI 1.5-9.4, nilai p 0.006). Kedua parameter ini juga bermakna dalam prediksi kematian dengan OR masingmasing sebesar 11.9 dan 3.7. Probabilitas kumulatif pasien dengan skor GRACE >140 dan FEVK <35% untuk mengalami aritmia mengancam jiwa sebesar 9.2% dan kematian sebesar 23%. Hal ini sangat bermakna dibandingkan pada pasien dengan skor GRACE ≥ 140 namun dengan FEVK ≥35% yang hanya 0.2% risiko aritmia mengancam jiwa dan 0% risiko kematian. Probabilitas kumulatif dapat dilihat pada beberapa gambar 2.6. dan 2.7. (Zorzi, 2015). Gambar 2.6. Stratifikasi risiko untuk kejadian aritmia mengancam jiwa selama perawatan. Piramida risiko berdasarkan skor GRACE dan FEVK (Zorzi, 2015) Universitas Sumatera Utara 19 Gambar 2.7. Stratifikasi risiko untuk kejadian kematian selama perawatan. Piramida risiko berdasarkan skor GRACE dan FEVK (Zorzi, 2015) Penelitian Barthel dkk yang meneliti nilai prognostik laju pernafasan sebagai prediktor risiko mortalitas jangka panjang (hingga 5 tahun) pada 941 pasien dengan IMA pada tahun 2005 juga memperlihatkan bahwa FEVK dan skor GRACE merupakan prediktor independen untuk mortalitas (Barthel, 2013). Pada uji statistik log-rank di studi Barthel dkk ini memperlihatkan bahwa pada pasien dengan skor GRACE < 120, berapapun nilai FEVK dan laju respirasi, tidak akan memperlihatkan pengaruh nilai prognostik yang signifikan. Sebaliknya pada nilai skor GRACE ≥120, kedua nilai baik laju pernafasan maupun nilai FEVK memberikan nilai prognosis yang signifikan seperti terlihat pada gambar 2.8 (Barthel, 2013). Universitas Sumatera Utara 20 Gambar 2.8. Nilai kumulatif rata-rata untuk resiko kematian berdasarkan skor GRACE, frekuensi pernafasan, dan FEVK (Barthel, 2013) Studi Guler dkk pada 115 pasien SKANEST tahun 2009 yang meneliti nilai prognostik penambahan nilai lipoprotein(a) [Lp(a)] pada skor GRACE memperlihatkan bahwa variabel yang signifikan untuk memprediksi KKvM (kematian dan rehospitalisasi dalam 1 tahun) pada uji univariat adalah kadar hemoglobin, kraetinin, usia, FEVK, riwayat IMA, dan kelas Killip. Namun kemudian pada uji multivariat yang bermakna hanya riwayat IMA dan kadar Lp(a). Pada studi ini dilakukan uji penambahan nilai Lp(a) pada skor GRACE dan terlihat memberikan penambahan nilai prognostik. (Guler, 2013). Penelitian Abu-Assi dengan jumlah populasi yang cukup besar yakni 5985 pasien dengan SKA tahun 2010 yang bertujuan melihat apakah FEVK kiri memberikan peningkatan nilai prognostik pada skor GRACE memperlihatkan bahwa nilai FEVK tidak memberikan penambahan nilai prognostik (Abu-Assi, 2010). Universitas Sumatera Utara 21 2.5.Kerangka Teori Gambar 2.9. Diagram Kerangka Teori Universitas Sumatera Utara 22 2.6. Kerangka Konsep Gambar 2.10. Diagram Kerangka Konsep Universitas Sumatera Utara