bab i pendahuluan - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Memiliki hewan peliharaan sudah menjadi fenomena yang diterima oleh
masyarakat secara umum pada zaman sekarang ini. Di Indonesia, khususnya di
Kota Medan, perkembangan pesat dalam tren memiliki hewan peliharaan dapat
terlihat secara langsung. Munculnya tempat-tempat yang menyediakan layanan
bagi hewan peliharaan di setiap daerah, seperti pet shop atau klinik hewan,
mengindikasikan semakin banyak masyarakat yang memiliki hewan peliharaan.
Kelompok atau komunitas yang menyebut dirinya sebagai „pecinta hewan‟ pun
semakin banyak muncul. Bahkan, terdapat beberapa komunitas atau kelompok
non-profit yang didirikan hanya semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan
hewan di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan tersebut, peran hewan peliharaan juga
mulai memiliki perubahan. Dulunya masyarakat cenderung memandang hewan
peliharaan hanya dengan fungsi praktisnya, seperti anjing sebagai penjaga rumah
atau kebun dan kucing sebagai pemburu tikus di rumah. Walaupun beberapa
orang masih memiliki pandangan tersebut, beberapa orang lainnya mulai melihat
peran yang lain dari hewan peliharaan. Beberapanya memilih untuk memiliki
hewan peliharaan sebagai hobi dikarenakan bermain dengan hewan peliharaan
dianggap sebagai aktivitas yang menyenangkan. Ada juga yang memiliki hewan
1
Universitas Sumatera Utara
peliharaan untuk dijadikan pendamping atau teman dalam aktivitas sehari-hari
(companion) (Herzog, 2011).
Hewan peliharaan dapat dianggap sebagai teman atau pendamping bagi
pemiliknya karena dukungan sosial yang diperoleh pemilik hewan peliharaan dari
hewan peliharaannya. Hal ini didukung oleh Compton (dalam Nurlayli &
Hidayati, 2014) yang mengkategorikan hewan peliharaan sebagai salah satu
dukungan sosial yang dapat meningkatkan kesehatan fisik dan well-being
manusia. Menyentuh, membelai, memeluk, atau berbicara dengan hewan
peliharaan dapat membuat individu merasa lebih baik (Hart, 2000). Hewan
peliharaan memiliki peran yang mampu menggantikan peran orang lain di dalam
kehidupan pemiliknya, yang disebut sebagai surrogate function oleh Pohnert
(2010). Hewan peliharaan dalam hubungannya dengan manusia bersifat jujur,
loyal, menerima, dan mengekspresikan afeksinya secara terbuka kepada
pemiliknya. Sifat-sifat hewan peliharaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan
individu dalam memiliki harga diri dan perasaan dicintai (Smolkovic, Fajfar &
Mlinaric, 2012). Tidak hanya sebagai pengganti (substitute) peran manusia
lainnya, hewan peliharaan memiliki peran tersendiri yang memberikan pemiliknya
sebuah hubungan yang bersifat aman dan konsisten (Beck & Madresh, 2008).
Memiliki hewan peliharaan nyatanya memberikan beberapa manfaat dan
pengaruh positif bagi kesehatan dan perilaku manusia (Serpell, 1991). Hal ini
didukung oleh beberapa hasil penelitian, salah satunya penelitian eksperimen
Allen (2003) yang menemukan bahwa individu yang memiliki anjing atau kucing
2
Universitas Sumatera Utara
sebagai peliharaan memiliki tingkat tekanan darah yang lebih rendah daripada
yang tidak memiliki hewan peliharaan. Dari penelitian tersebut juga diketahui
bahwa respon stres individu dapat diubah dengan adanya kehadiran hewan
peliharaan pada lingkungan sosial. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh
hasil penelitian dari Siegel (dalam McConnell, Brown, Shoda, Stayton, & Martin,
2011) yang menemukan bahwa individu yang memiliki hewan peliharaan
memiliki kecenderungan lebih rendah untuk meninggal dari penyakit jantung
daripada yang tidak memiliki peliharaan. Tidak hanya secara fisik, hewan
peliharaan juga ditemukan memberikan manfaat positif secara psikologis bagi
pemiliknya. Penelitian McConnell, Brown, Shoda, Stayton, & Martin (2011)
menemukan bahwa hewan peliharaan mampu meningkatkan well-being pemilik
anjing dan kucing secara fisik maupun psikologis, dengan menjadi sumber
dukungan sosial bagi pemiliknya.
Menurut Seligman (2011) well-being merupakan kombinasi dari perasaan
baik mengenai diri sendiri dan perasaan memiliki makna hidup, pencapaian dan
hubungan yang baik dengan orang lain. Tingkat well-being yang tinggi
digambarkan dengan konsep flourishing yang dikemukakan oleh Martin
Seligman. Seligman (2011) mengemukakan bahwa terdapat lima elemen penting
yang berhubungan dengan well-being yaitu positive emotion, engagement,
relationships, meaning dan achievement yang sering disingkat sebagai PERMA.
Tingkat well-being yang baik akan membuat individu mampu untuk menjalin
hubungan yang positif dengan orang lain, memiliki rasa kontrol terhadap
kehidupannya, dan rasa memiliki tujuan hidup (Response Ability, 2014). Dengan
3
Universitas Sumatera Utara
kata lain, well-being merupakan hal yang penting untuk dimiliki karena wellbeing membantu individu untuk berfungsi dengan baik di dalam kehidupannya.
Well-being juga mempengaruhi kesehatan mental, yaitu kemampuan individu
untuk mengatur pikiran, perasaan dan perilakunya sehingga individu lebih mampu
membangun hubungan positif, mencapai tujuannya dan menikmati kehidupannya
(Response Ability, 2014).
Well-being menjadi salah satu konsep yang paling sering dikaitkan untuk
melihat manfaat positif yang diperoleh dari memiliki hewan peliharaan. Dalam
penelitian McConnell et al. (2011), individu yang memiliki hewan peliharaan
memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi daripada individu yang tidak
memiliki hewan peliharaan. Individu yang memiliki hewan peliharaan memiliki
harga diri yang lebih tinggi, tingkat aktivitas dan olahraga yang lebih tinggi, dan
tingkat kesepian yang lebih rendah daripada individu yang tidak memiliki hewan
peliharaan (McConnell et al., 2011).
Tidak hanya sebatas memiliki dan mengurus hewan peliharaan, memiliki
ikatan atau hubungan yang dekat dengan hewan peliharaan menjadi hal yang lebih
penting untuk dilihat dalam mengetahui manfaat yang diberikan peliharaan
terhadap well-being (Brown & Katcher, 2001). Ikatan atau hubungan emosional
yang bertahan lama antara pemilik dengan hewan peliharaannya disebut dengan
pet attachment (Karen, 2010). Hewan peliharaan dapat memberikan berbagai
bentuk dukungan emosional kepada pemiliknya,
salah satunya seperti
memberikan kenyamanan dan companionship ketika menghadapi masa sulit.
4
Universitas Sumatera Utara
Manfaat yang diberikan hewan peliharaan bagi pemiliknya membuat hewan
peliharaan mampu menggantikan figur attachment yang umumnya diperoleh
individu dari manusia lain (Sable, 1995; Smolkovic, Fajfar & Mlinaric, 2012).
Banyak perilaku yang sama yang ditunjukkan oleh pemilik terhadap hewan
peliharaannya dengan perilaku yang ditunjukkan oleh ibu kepada anaknya, seperti
membelai, memeluk, menyentuh, dan tidur di samping satu sama lain (Bierer,
dalam Karen, 2010). Pet attachment dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu waktu
dan kegiatan yang dihabiskan bersama dan ditujukan kepada hewan peliharaan,
ketertarikan terhadap hewan peliharaan, pengetahuan dan kepedulian terhadap
hewan peliharaan, dan tanggung jawab perilaku terhadap hewan peliharaan dan
kebutuhannya (Melson, dalam Sable, 1995).
Semakin banyak waktu yang dihabiskan dengan hewan peliharaan, emosi
positif yang dialami oleh pemilik semakin meningkat dan emosi negatif yang
dialami dapat diminimalisir (Hart, 2000). Hal ini didukung oleh penelitian
Garrity, Stallones, Marx, dan Johnson (1987) dimana individu lanjut usia yang
memiliki tingkat pet attachment yang tinggi memiliki tingkat depresi yang lebih
rendah. Penelitian dari Sable (dalam Sable, 1995) juga menemukan bahwa wanita
janda yang memiliki hewan peliharaan merasakan tingkat loneliness yang lebih
rendah daripada yang tidak. Wanita yang menjadi subjek pada penelitian tersebut
mengakui bahwa mereka memeluk dan berbagi perasaan mereka kepada hewan
peliharaan mereka. Bahkan berdasarkan hasil dari penelitian McConnell et al.
(2011), individu yang mengalami loneliness secara efektif mampu meringankan
emosi negatif tersebut ketika berpikir mengenai hewan peliharaannya. Hal ini
5
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan hewan peliharaan mampu memenuhi kebutuhan sosial dan mampu
memberikan
perasaan
senang
kepada
pemiliknya
ketika
bermain
dan
menghabiskan waktu bersama dengan hewan peliharaannya.
Penelitian Brown & Katcher (2001) menemukan bahwa individu dengan
tingkat disosiasi yang tinggi memiliki pet attachment yang lebih tinggi daripada
individu dengan tingkat disosiasi rendah. Tingkat disosiasi yang tinggi biasanya
berkorelasi dengan kekerasan yang dialami pada masa anak-anak, yang mampu
membuat individu merasa sulit untuk memberikan rasa kepercayaan mereka
kepada sosok manusia lain. Dalam hal ini, hubungan yang dekat dengan hewan
peliharaan dapat menggantikan hubungan individu dengan manusia lain,
membantu individu untuk belajar memberikan rasa kepercayaan, dan memberikan
rasa aman bagi individu secara emosional. Hal tersebut juga didukung oleh
penelitian Stammbach dan Turner (dalam Smolkovic et al., 2012) yang
menemukan bahwa kucing dapat berperan sebagai sumber tambahan untuk
dukungan emosional, khususnya jika pemilik hewan peliharaan memiliki tingkat
attachment yang tinggi terhadap hewan peliharaannya. Begitu juga dengan hasil
penelitian Garrity et al. (1987) yang menemukan bahwa pemilik hewan peliharaan
yang mengalami kehilangan pasangan yang memiliki tingkat pet attachment yang
tinggi mengalami tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan pemilik
yang memiliki tingkat pet attachment yang lebih rendah. Dari hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa tingkat attachment terhadap hewan peliharaan
berkaitan dengan status emosional pemiliknya, yang berkaitan erat dengan wellbeing.
6
Universitas Sumatera Utara
Walaupun beberapa hasil penelitian menemukan bahwa pet attachment
memberikan manfaat positif yang mengarah kepada peningkatan well-being bagi
pemiliknya, penelitian lainnya menemukan hasil yang berbeda. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Levinson, pet attachment tidak memiliki hubungan
dengan tingkat depresi (dalam Hart, 2000). Hasil yang berlawanan juga ditemukan
dalam penelitian yang dilakukan oleh Stallones, Marx, Garrity, dan Johnson
(1990) pada individu dewasa madya, yaitu pet attachment secara signifikan
berhubungan secara positif dengan ketegangan emosional. Hasil tersebut
diasumsikan disebabkan oleh pandangan subjek yang melihat hewan peliharaan
sebagai tambahan stresor bagi kehidupannya (Stallones et al., 1990). Begitu juga
dengan hasil penelitian Smolkovic et al. (2012) yang menemukan bahwa tidak
terdapat hubungan antara pet attachment dengan hubungan interpersonal, yang
diasumsikan terjadi karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
pet attachment individu yang memiliki hewan peliharaan.
Terdapat beberapa faktor yang mampu mempengaruhi tinggi rendahnya
tingkat pet attachment individu. Berdasarkan gender, perempuan ditemukan
memiliki tingkat pet attachment yang lebih tinggi daripada laki-laki, walaupun
pada hasil penelitian Karen (2010) tidak terdapat perbedaan pada keduanya.
Lamanya individu memiliki hewan peliharaan juga mempengaruhi tingkat pet
attahcment, dimana individu yang memiliki peliharaan dalam jangka waktu lebih
dari tiga tahun cenderung memiliki tingkat pet attachment yang lebih tinggi
(Smolkovic et al., 2012). Pemilik anjing ditemukan memiliki tingkat pet
attachment yang lebih tinggi daripada pemilik kucing dalam penelitian Smolkovic
7
Universitas Sumatera Utara
et al. (1990). Hal ini dikarenakan anjing lebih membutuhkan perawatan secara
individual dan interaksi yang lebih bervariasi, seperti diajak untuk berjalan keluar
atau dilatih (Valentinčič; Zasloff & Kidd, dalam Smolkovic et al., 2012). Budaya
juga menjadi faktor yang memiliki pengaruh pada pet attachment. Pada
kebanyakan budaya Barat, seperti di Inggris, individu memandang hewan
peliharaan mereka sebagai teman dekat. Berbeda dengan budaya Timur seperti di
Jepang dan Hong Kong, individu memandang hewan peliharaannya sebagai
hewan yang memiliki peran proyektif. Hewan peliharaan, khususnya anjing,
dipelihara untuk menunjukkan tingkat kesuksesan individu (Karen, 2010). Faktorfaktor ini menjadi penting untuk dilihat karena akan mempengaruhi tingkat pet
attachment.
Berdasarkan paparan di atas, muncul sebuah pertanyaan yaitu apakah
memiliki hubungan yang dekat dengan hewan peliharaan selalu diikuti dengan
well-being yang tinggi pada pemiliknya atau sebaliknya? Dari pertanyaan ini,
peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara pet attachment dengan well-being
pada individu yang memiliki hewan peliharaan.
I.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat hubungan pet
attachment dengan well-being pada individu yang memiliki hewan peliharaan?
8
Universitas Sumatera Utara
I.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pet
attachment dengan well-being pada individu yang memiliki hewan peliharaan.
I.4
Manfaat Penelitian
I.4.1
Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi
untuk mengembangkan bidang ilmu Psikologi Klinis berkaitan dengan pet
attachment dan well-being.
I.4.2
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
saran
kepada
individu
yang
memiliki
peliharaan
untuk
lebih
memperhatikan tingkat kelekatan terhadap hewan peliharaan agar dapat
meningkatkan well-being mereka.
I.5
Sistematika Penulisan
Bab I
: Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
9
Universitas Sumatera Utara
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari pet
attachment dan well-being.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan identifikasi variabel-variabel yang diteliti,
defenisi operasional, subjek penelitian, alat ukur yang digunakan,
metode pengambilan sampel, prosedur pelaksanaan penelitian,
dan metode analisa data.
Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari analisis data yang berisi tentang gambaran
subjek penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang
telah dilakukan.
10
Universitas Sumatera Utara
Download