Pengelolaan Lahan Tailing Timah di Pulau Bangka

advertisement
Pengelolaan Lahan Tailing Timah di Pulau Bangka: Penelitian yang Telah Dilakukan dan Prospek
ke Depan
Tin Mining Tailings Management in Bangka Island: Past Research and Prospects
Ismed Inonu1
1
Program Studi Agroteknologi-FPPB, Universitas Bangka Belitung.
Jl. Diponegoro No.01 Sungailiat Bangka Kep. Bangka Belitung 33215
ABSTRACT
Tin mining activities have been taking place in Bangka Island since early years ago. Impacts of mining
operations are decrease in soil physical and chemical properties, changes in land topography, losses of
natural vegetations, and diminishing wildlife habitat. Ex-tin mining land is widely covered by the spread of
tailings. Tin tailings have poor physical and chemical characteristic, soil conditions and unfavourable
micro-climate. To reuse ex-tin mining land, especially tailing land, reclaimation and rehabilitation programs
be required. Applications of various ameliorants and technology has been tested to obtain satisfactory
results, particularly the addition of organic matters. A number of specific local plant species including
industrial forest tree such as acacia, and some fruit tree species have been selected for ex-tin mining land
revegetation. In future, research in revegetation technique will be focused on usage of locally potential
organic matter for tailing amendment and selection of some revegetation species which are more useful to
increase social economic community.
Keywords : tin mining, tailing, revegetation, organic matter
PENDAHULUAN
Pembangunan memerlukan sumberdaya alam
(SDA), antara lain mineral, batubara dan panas bumi.
Indonesia relatif kaya dengan berbagai SDA yang
harus dioptimalkan pemanfaatannya, salah satunya
adalah bijih timah dengan kandungan stannum (Sn).
Menurut Noer (1998), mineral utama pembentuk timah
adalah kasiterit (SnO2) dengan batuan pembawanya
berupa granit.
Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah
terbesar di Indonesia.
Dari luas Pulau Bangka
1.294.050 ha, sebesar 27,56 % daratan pulau ini
merupakan areal Kuasa Penambangan (KP) timah. PT.
Tambang Timah (anak perusahaan PT. Timah Tbk)
menguasai lahan seluas 321.577 ha dan PT. Kobatin
seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka 2000). Selain
kedua perusahan tersebut, izin kuasa penambangan
(KP) timah juga diberikan kepada perusahaan swasta.
Sampai dengan pertengahan tahun 2007, jumlah KP
timah mencapai 101 izin dengan luas pencadangan
320.219 ha, dan yang telah ditambang 6.084 ha (Dinas
Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2007).
Penambangan timah di darat dilakukan dengan
sistem tambang semprot, tambang dalam dan kapal
keruk darat (Sujitno 2007). Kegiatan operasi tambang
berdampak secara nyata terhadap lingkungan hidup.
Selama operasi penambangan, kawasan tertutup
vegetasi berubah secara keseluruhan menjadi lahan
terbuka dengan topografi yang beragam. Kondisi
tanah
asli
mengalamai
perubahan
setelah
penambangan, dan erosi menyebabkan sedimentasi
saluran air dan sungai (Tanpibal dan Sahunalu 1989).
Selain itu menurut Setiadi (2006), terjadi juga
gangguan terhadap vegetasi, hewan dan tanah yang
ada, serta ekosistem alami Dampak kehilangan
vegetasi dan degradasi lahan secara potensial dapat
menyebabkan erosi tanah, kehilangan biodiversitas,
berkurangnya habitat hewan liar, dan degradasi daerah
penampung air.
Pertambangan
adalah
kegiatan
dengan
penggunaan lahan yang bersifat sementara, oleh karena
itu lahan pasca tambang dapat dimanfaatkan untuk
berbagai kegiatan produktif lain.
Untuk
memanfaatkan lahan pasca tambang maka harus ada
upaya untuk memulihkan kembali lahan yang telah
rusak akibat dari kegiatan penambangan. Upaya
perbaikan lahan bekas tambang dilakukan melalui
program reklamasi dan revegetasi.
Tulisan ini mengulas hasil-hasil penelitian yang
dilakukan pada lahan tailing dengan harapan dapat
memberikan acuan literatur untuk pengelolaan lahan
yang srupa di masa datang.
Dampak Operasi Tambang Timah di Pulau
Bangka. Kerusakan akibat penambangan timah di
Pulau Bangka semakin meningkat terutama sejak
berkembangnya
penambangan
inkonvensional.
Sebelum tahun 1998, komoditi timah termasuk
komoditi strategis yang perdagangannya terbatas,
sehingga kegiatan penambangan dan perdagangan
timah hanya boleh dilakukan oleh perusahaan PT.
Timah dan PT, Koba Tin. Pada tahun 1998 terjadi
krisis ekonomi di Indonesia. Atas permintaan Bupati
Bangka, PT Timah Tbk mengizinkan masyarakat
menambang di sebagian wilayah kuasa penambangan
(KP) yang sudah ditinggalkan.
Sebagai timbal
baliknya dan untuk memenuhi ketentuan mengenai
barang tambang strategis, masyarakat harus menjual
pasir timahnya hanya kepada PT Timah. Semenjak
saat itu dikenal isitilah tambang inkonvensional (TI).
Disebut sebagai tambang inkonvensional karena
metode penambangannya tidak seperti penambangan
terbuka (open mining), tetapi hanya dengan mesin
penyedot tanah dan air. Kegiatan TI tersebut menjadi
semakin marak sejak dikeluarkannya SK Menperindag
Nomor. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999
yang mengkategorikan timah sebagai barang bebas
(tidak diawasi) dan pencabutan status timah sebagai
komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi
oleh satu BUMN dan dapat dieskpor secara bebas
(www.bangka.go.id).
Sejak dicabutnya status timah sebagai barang
strategis, mata rantai kegiatan penambangan timah
mulai dari kegiatan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan
dan penjualan komoditi timah tidak hanya dilakukan
oleh perusahaan besar PT.Timah Tbk dan PT.Koba
Tin, tetapi juga oleh masyarakat.
Kegiatan
penambangan timah oleh masyarakat tidak saja hanya
dilakukan di wilayah KP PT. Timah, tetapi juga
dilakukan hampir di setiap lokasi yang mengandung
deposit timah. Penambangan dilakukan di lahan-lahan
pertanian, perkebunan, hutan, sungai, pantai, bahkan
sekarang sudah merambah ke laut.
Dampak kegiatan penambangan timah, baik
tambang konvensional maupun inkonvensional
terhadap lingkungan fisik berupa bertambahnya lahan
kritis akibat berkurangnya hutan, rusaknya lahan
pertanian dan kebun (Gambar 1). Menurut hasil
rekapitulasi Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung (2005), luas hutan di Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung + 690.092 Ha, seluas + 97.159 Ha
(14%) telah mengalami kerusakan. Lahan kritis yang
terbentuk juga semakin meningkat, sampai tahun 2005
di Pulau Bangka seluas 464.673 Ha. Selain itu,
dilaporkan juga bahwa semua sungai besar yang ada,
seperti Sungai Kepoh, Sungai Antan, Sungai Kampak,
Sungai Mancung dan Sungai Kurau umumnya sudah
tercemar terutama kekeruhan akibat partikel tanah dari
pencucian pasir timah yang mengalir ke sungai-sungai.
Terbentuknya kolong (lubang bekas penggalian timah)
menyebabkan perubahan topografi daratan yang
semula kering menjadi tergenang. Jumlah kolong
yang terdapat di Pulau Bangka dan Belitung sampai
dengan tahun 2006 adalah 991 buah dengan luas total
4.638 ha (Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung 2007).
Penggolongan Tailing Timah. Secara umum,
lahan bekas tambang timah terdiri dari kolong (lahan
bekas penambangan yang berbentuk semacam danau
kecil dengan kedalaman mencapai 40 m), overburden
(timbunan liat hasil galian), dan hamparan taling yang
berupa rawa atau lahan kering (Sujitno 2007). Tailing
merupakan bahan dengan komponen utama berupa
fraksi pasir bercampur kerikil, dan sejalan dengan
waktu timbunan tailing ini akan membentuk hamparan
tailing (Latifah, 2000). Menurut Majid et al. (1994)
tailing timah adalah hamparan sisa pencucian bahan
galian timah pada tambang aluvial.
Gambar 1 Lokasi lahan bekas penambangan timah di
selatan Gunung Mangkol Kabupaten
Bangka Tengah (Dokumen Sub Dinas
Kehutanan Dinas Pertanian dan Kehutanan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
2004)
Sebagian besar biji timah ditemukan pada
deposit alluvial dan operasi penambangan dilakukan
dengan dua metode yang menggunakan air untuk
memisahkan timah secara mekanis dari tanah yang
mengandung timah. Hal ini menyebabkan tanah
menjadi terbagi dua, yaitu pasir (sand) dan lumpur
(slime), karena itu tailing sisa penambangan
dikategorikan menjadi sand tailing dan slime tailing
(Tanpibal dan Sahunalu, 1989).
Sand tailing
bertekstur sangat kasar dan memperlihatkan tidak
adanya perkembangan profil dan agregasi )Gambar 2ª).
Slime tailing terutama terdiri dari mineral dan tanah
yang sangat halus (silt dan clay), serta memiliki
struktur lempeng (Gambar 2b).
Sifat Fisik. Karakteristik fisik lahan bekas
tambang timah, terutama tailing telah banyak
dilaporkan oleh peneliti. Hasil analisis tailing di lahan
bekas tambang timah PT. Koba Tin di Bemban
Kabupaten Bangka Tengah menunjukkan kandungan
fraksi pasir sangat tinggi (88-96%) (Pusat Penelitian
Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB 2002). Santi
(2005) melaporkan, sand tailing timah Kedangkal IV
PT. Koba Tin Kabupaten Bangka Tengah memiliki
fraksi pasir 90,94%, sementara liat 7,06% dan debu
2,00%. Hanura (2005) juga melaporkan sandy tailing
timah di lahan reklamasi TB 1.9. PT. Timah Desa
Riding Panjang Kabupaten Bangka fraksi pasir
mencapai 84%, sementara fraksi liat dan debu masingmasing sebesar 5% dan 11%. Sementara tailing humat
(humic tailing) fraksi pasir lebih rendah yaitu 41%,
sedangkan debu 45% dan liat 14%.
A
B
Gambar 2 Jenis-jenis lahan bekas tambang timah PT
Kobatin di Kedangkan VI Koba
Kabupaten Bangka Tengah (a) Tailing
pasir dan (b) Slime tailing
Mitchell (1957) dalam Ang (1994) melaporkan
tekstur tailing timah di Semenajung Malaysia. Pada
tailing umur 5 tahun, kandungan rata-rata partikel pasir
kasar 66,0%, pasir halus 22,6%, debu (silt) 4,5% dan
liat (clay) 6,3%. Sejalan dengan waktu, kandungan liat
mengalami penurunan akibat erosi. Pada tailing umur
15 tahun, partikel liat menjadi 2,4 % sementara
kandungan pasir kasar meningkat menjadi 70,2%.
Sementara kandungan pasir halus 20,6% dan debu
6,4%. Lahan sand tailing timah di Thailand seperti
yang dilaporkan Tanpibal dan Sahunalu (1989)
didominasi oleh material kasar khususnya pasir,
sementara slime tailing didominasi oleh fraksi liat dan
debu.
Sifat Kimia. Sifat fisik tailing timah dengan
fraksi pasir yang tinggi akan berimplikasi terhadap
sifat-sifat kimia. Kapasitas tukar kation (KTK) pada
sandy tailing 4,35 Cmol/kg (Santi 2005) dan 2,27
Cmol/kg (Hanura 2005) sedangkan pada humic tailing
6,99 Cmol/kg. KTK yang sangat rendah yaitu 0,95-
1,15 cmol kg-1 juga dilaporkan Pusat Penelitian
Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB (2002).
Reaksi tanah tailing tergolong sangat masam
sampai masam dengan kisaran pH 2,7-4,75 (Santi 2005
dan Hanura 2005) sedangkan hasil penelitian Pusat
Penelitian Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB
(2002), pH berkisar 4,7-5,6.
Tailing timah di
Semenanjung Malaysia juga tergolong masam dengan
pH 5-6 (Mitchell 1957 dalam Ang 1994)
Kandungan unsur-unsur hara utama seperti N, P,
dan K di sandy tailing dan humic tailing tergolong
rendah sampai sangat rendah. Kandungan N-total
berkisar 0,03-0,17%, P-Bray 4,20-10,65 μg g-1, K-dd
0,00-0,32 C molkg-1. Unsur-unsur Na, Ca dan Mg
juga tergolong rendah (Santi 2005 dan Hanura 2005).
Kondisi yang sama juga ditemukan pada lahan tailing
timah di Semenanjung Malaysia seperti yang
dilaporkan Awang (1988) dan di Thailand oleh
Tanpibal dan Sahunalu (1989). Rendahnya kandungan
unsur-unsur tersebut disebabkan karena unsur-unsur
hara sebagian besar sudah tercuci pada proses
pencucian pasir timah di sakhan dan terangkut oleh
aliran permukaan. Selain itu, porositas tanah yang
tinggi karena fraksi tanah didominasi oleh pasir dan
rendahnya fraksi liat dan bahan organik menyebabkan
unsur-unsur yang tersisa mudah mengalami pelindian
(leaching).
Kandungan Bahan Organik Tailing. Sandy
tailing timah mengandung bahan organik yang rendah,
dengan kisaran 0,1-2% (Palaniappan 1972 dalam Ang
1994), namun akan mengalami peningkatan sejalan
dengan waktu. Hal ini disebabkan adanya vegetasi
perintis yang tumbuh di tailing-tailing yang sudah
lama. Meskipun demikian, pada tailing umur 20
tahun, bahan organik hanya mencapai 3,5%. Lahan
sandy tailing timah PT Koba Tin di Bangka Tengah
yang berumur lebih dari 15 tahun, kandungan bahan
organik sangat rendah (0,27%) (Santi 2005). Di T.B.
1,9 PT Timah Kabupaten Bangka kandungan bahan
organik relatif lebih tinggi yaitu 2,33% sementara
humic tailing tergolong sedang (7,2%) (Hanura 2005).
Mikroklimat Lahan Tailing. Kelembaban
udara di tailing timah tergolong rendah. Palaniappan
(1972) dalam Ang (1994) mengukur kandungan uap
air lapang pada sand tailing hanya mencapai 1 ml per
100 g tailing pasir kering. Porositas tinggi dari
partikel pasir akan menurunkan kapasitas pegang air.
Kelembaban udara di sekitar tailing juga rendah.
Akibat dari area yang terbuka, temperatur udara di
tailing timah tinggi (40-50°C) yang akan berakibat
tingginya evaporasi sehingga akan menurunkan
kelembaban udara relatif di atmosfer (Lim et al., 1981
dan Tan dan Khoo 1981 dalam Awang 1994).
Mitchell (1959) dalam Ang et al (1999) mencatat suhu
maksimum permukaan 48,8 OC pada sandy tailing.
Tanpibal dan Sahunalu (1989) juga melaporkan
temperatur permukaan sand tailing berkisar 4050OC.Gene
PENELITIAN REKLAMASI LAHAN BEKAS
TAMBANG TIMAH DI BANGKA
Pengertian dan Landasan Hukum Reklamasi
Lahan. Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki
atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai
akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat
berfungsi
secara
optimal
sesuai
dengan
kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi
Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan,
1997). Ruang lingkup reklamasi lahan meliputi: (1)
pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki
lahan yang terganggu ekologinya, dan (2)
mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah
diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya
(Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas
Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
2006).
Landasan hukum utama kegiatan reklamasi
adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada Pasal 30 dari
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa apabila
selesai melakukan penambangan bahan galian pada
suatu
tempat
pekerjaan,
pemegang
Kuasa
Penambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya
bagi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang
Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang
Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 46
ayat (4) disebutkan bahwa sebelum meninggalkan
bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan
maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus
terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan
terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan
dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat
membahayakan keamanan umum.
Peraturan
pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam Keputusan
Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor
1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan
Perusakan
dan
Pencemaran
Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum.
Pada Pasal 12 ayat (1) reklamasi areal bekas tambang
harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan
persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2),
reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh
Direktur Jenderal. Pada Pasal 13 ayat (1), Kepala
Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah
bekas tambang, termasuk daerah sekitar project area
sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.
Kondisi dan Permasalahan Reklamasi dan
Revegetasi di Bangka. sampai tahun 2006, luas lahan
bekas tambang timah PT. Timah Tbk. dan PT. Koba
Tin yang telah direklamasi adalah 6.683,27 ha dan
yang belum direklamasi 2700,37 ha (Tabel 2).
Sementara itu, luas lahan bekas penambangan timah
inkonvensional yang belum direklamasi 1.008 ha.
PT. Timah Tbk selaku perusahaan pertambangan
timah utama di Indonesia mulai melakukan penelitian
secara sistematis dan teratur untuk reklamasi lahan
pasca tambang timah pada tahun 1982 bekerjasama
dengan Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pertanian (PT. Timah Tbk. 2002).
Revegetasi selama lebih dari 6 tahun dengan A.
mangium di lahan pasca tambang PT. Timah Tbk
dikategorikan berhasil (Latifah 2000).
PT. Koba Tin sudah mulai melakukan upaya
reklamasi dan revegetasi pada tahun 1976 dengan
melakukan berbagai percobaan. Semenjak tahun 19881989, perusahaan telah mulai kegiatan reklamasi
dengan penanaman tanaman pohon seperti akasia,
sengon dan gelam (Setiawan 2003). Sampai tahun
2006, PT. Koba Tin telah mereklamasi 3.364 ha lahan
bekas tambang di Koba (Kabupaten Bangka Tengah)
dan Payung (Kabupaten Bangka Selatan) (Tabel 1).
Permasalahan utama reklamasi dan revegetasi
lahan bekas tambang timah di Provinsi Bangka
Belitung adalah pembukaan lahan yang telah
direklamasi oleh penambang ilegal. Lemahnya
supremasi hukum dan kebutuhan ekonomi masyarakat
yang sangat tergantung dengan timah memicu
penambangan kembali lahan-lahan bekas tambang
timah PT Timah dan PT Koba Tin oleh masyarakat
yang dikenal dengan tambang inkonvensional. Lahan
bekas tambang, baik yang belum direklamasi maupun
yang telah direklamasi akan ditambang kembali oleh
masyarakat untuk mengambil deposit biji timah yang
masih tersisa. Kegiatan ini menghambat pemulihan
lahan pasca penambangan karena lahan tersebut harus
direklamasi
dan
direvegetasi
kembali
yang
membutuhkan tambahan biaya dan waktu. Bahkan
sejak tahun 2001, PT. Timah untuk sementara
menghentikan program reklamasinya dan baru
dilanjutkan kembali pada tahun 2006.
Metode Reklamasi. Teknik reklamasi lahan
bekas kegiatan penambangan dapat dilakukan dengan
mengkombinasikan berbagai metode seperti teknikmekanik, biologi-vegetasi dan kimia-fisik. Pada tahap
awal lahan perlu disiapkan, antara lain dengan
mengembalikan lapisan top soil yang relatif subur
(Jasper 2002; Ward 2000), mengkontur ulang
(meratakan) dan memadatkan bagian tertentu yang
berguna untuk menstabilkan permukaan lahan
(Osborne 1996; Koch et al. 1996).
Kegiatan
penanaman (revegetasi) umumnya segera dilakukan
untuk meningkatkan penutupan tanah yang berguna
untuk
mengendalikan
erosi
dan
akhirnya
mengembalikan bahan organik dan kesuburan tanah
(Koch 1987).
Tabel 1 Kondisi dan luas lahan bekas penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2006
No
Wilayah Produksi
sudah
belum
Tambang
Inkonvensional
sudah
belum
Lahan Reklamasi
Kolong
Revegetasi
sudah
belum
sudah
belum
1
Bangka
(Sungailiat dan Belinyu)
1.621,5
418,00
90,5
1.953
446,17
296
1621,5
418,00
2
Bangka Selatan (Toboali, Koba
dan Sungai Selan)
686,02
39,66
350
1400
471,26
118
686,02
39,66
3
4
5
Bangka Barat (Muntok, Jebus
dan Tempilang)
Belitung (Belitung dan Belitung
Timur)
PT. Koba Tin (Koba dan Payung)
718,5
115,5
127,5
871
118,08
130
718,5
115,5
1.528,7
185,21
195
782
677,14
343
1.528,7
185,21
3.363
1.942
245
1.243
2.925,2
104
3.364
1.942
Jumlah
6.683,27
2.700,37
1.008
6.259
4.637,85
991
7.918,72
2.700,37
Sumber: Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2007).
Dalam sistem penambangan yang benar, hasil
galian berupa top soil yang banyak mengandung bahan
organik dan relatif lebih subur serta lapisan sub soil
yang kurang subur karena didominasi oleh liat
dipisahkan dan ditempatkan pada penampungan
khusus.
Timbunan liat hasil galian (overburden)
tersebut pada kegiatan reklamasi akan ditimbunkan
kembali. Pada lahan-lahan bekas tambang timah di
Bangka-Belitung, kedua jenis overburden ini
umumnya tercampur atau dicampurkan pada saat
penimbunan kembali (mining closure) pada kegiatan
reklamasi. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan
kesuburan tanah terutama pada timbunan overburden
sehingga
untuk
merevegetasinya
memerlukan
amandemen tanah dan penambahan pupuk buatan
dalam jumlah yang banyak.
Reklamasi lahan-lahan terganggu melibatkan
sejumlah langkah yang berurutan sebagai berikut: (i)
karakteristikasi lahan. (ii) rekayasa dan perencanaan
reklamasi, (iii) pengelolaan material, (iv) rekonstruksi
topografis, (v) pengembalian topsoil atau pengganti
yang sesuai, (vi) manipulasi permukaan lahan, (vii)
amandemen tanah, (viii) revegetasi, (ix) irigasi (jika
dibutuhkan), dan (x) pemeliharaan dan pemantauan
(Toy dan Black 2000).
Pada tahap awal kegiatan reklamasi lahan di
lapangan awal, rekonstuksi lahan dan manajemen top
soil perlu dilakukan. Pada kegiatan ini, lahan yang
masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan
penimbunan
kembali
(backfilling)
dengan
memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan
dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase) yang
kemungkinan
terganggu
(Rahmawaty
2002).
Pengembalian lapisan top soil yang relatif subur
dengan cara menghamparkan dan meratakannya di atas
overburden atau tailing pasir (Ward 2000; Jasper
2002).
Pembenahan tanah (soil amandment) dilakukan
untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia lahan tailing.
Ang (1994) menemukan suksesi secara alami pada
restorasi tailing pasir timah tanpa adanya campur
tangan manusia akan membutuhkan waktu yang lama.
Dengan sejumlah karakterisitik yang tidak sesuai,
kemajuan restorasi alami dari kesuburan tanah lambat.
Selama 20 tahun, level kesuburan tanah hanya
mencapai seperlima dari kesuburan tanah yang tidak
tergangggu.
Pemulihan secara aktif keadaan lahan pasca
tambang yang terganggu melibatkan berbagai masukan
teknologi untuk memulihkan komunitas vegetasi,
menurunkan erosi dan membenahi kondisi tanah
(Tongway dan Ludwig 2002). Sejumlah aplikasi
teknologi telah dicobakan untuk memperbaiki kondisi
lahan tailing dan meningkatkan pertumbuhan tanaman,
seperti pemberian bahan organik, pupuk kimiawi,
mulsa, Rhizobium, mikoriza dan asam humat (Pusat
Penelitian Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB
2002).
Untuk meningkatkan kualitas dan kesehatan
lahan bekas pertambangan, langkah awal yang
dilakukan adalah peningkatan kadar bahan organik
tanah (Hadi dan Sudiharto 2004). Bahan organik
sangat berguna untuk perbaikan sifat fisik dan kimia
tanah yang menjadi faktor penentu kesuburan tanah.
Bahan organik dapat berperan sebagai penstabil tanah
(soil conditioner). Senyawa bahan organik tanah
mengikat partikel utama pada agregat secara kimia dan
fisik, sehingga meningkatkan stabilitas agregat dan
menghambat pembongkarannya (Tisdall dan Oades
1982) Bahan organik juga berperan sebagai penyedia
unsur hara, sumber makanan dan energi bagi
mikroorganisme
tanah,
dan
mempertahankan
kelembaban tanah (Stevenson 1982).
Penambahan bahan organik dapat memperbaiki
sifat-sifat fisik dan kimia tailing timah di Malaysia
(Awang 1988). Pemberian bahan organik dan tanah
mineral (latosol) dapat meningkatkan kesuburan kimia
bahan tailing, yang ditandai dengan peningkatan
ketersediaan unsur N, P dan K. Secara individu, bahan
organik meningkatkan kadar hara lebih tinggi daripada
tanah latosol (Suryanto dan Susetyo 1997).
Naning et al. (1999) juga melaporkan perlakuan
bahan organik berpengaruh nyata terhadap sifat kimia
bahan tailing timah serta mampu memperbaiki
pertumbuhan tanaman jagung. Pada penelitian yang
sama, diperoleh juga bahwa jenis bahan organik yang
paling berpengaruh adalah seresah akasia, tetapi
respon pertumbuhan jagung terbaik diperoleh pada
bahan organik Colopogonium. Hasil penelitian Gofar
et al. (1999), menunjukkan aplikasi bahan organik
meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung yang
ditanam di lahan tailing secara nyata. Penelitian
kerjasama PT. Koba Tin dengan Pusat Studi
Bioteknologi Hutan dan Lingkungan IPB (2002)
menunjukkan penggunaan bio-organik (kompos, asam
humat, dan top soil) potensial digunakan untuk
menggantikan aplikasi top soil standar pada reklamasi
lahan bekas tambang.
Penelitian Hanura (2005), pemberian kompos
200 ton/ha pada sandy tailing dan humic tailing
cenderung memberikan pengaruh terbaik terhadap
sifat-sifat kimia bahan tailing dan pertumbuhan
tanaman kedelai sampai fase primordia.
Dari
penelitian Santi (2005) diperoleh kesimpulan bahwa
perbaikan tailing dengan overburden dan kompos
dapat meningkatkan pertumbuhan nilam. Komposisi
media terbaik yaitu 50% tailing, 30% overburden dan
20% kompos. Menurut hasil penelitian Khodijah et al.
(2007). bahan pencampur kompos lebih baik
dibandingkan top soil di pertumbuhan awal jarak pagar
(Jatropha curcas L.) pada media tanam tailing timah.
Perbandingan tailing dan kompos terbaik yaitu 1:2.
Penelitian aplikasi mikroriza pada lahan tailing
masih sangat terbatas. Mikoriza Vesikular Arbuskula
(MVA) berperan sebagai bioproteksi dengan
meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan,
berperan mengefektifkan siklus hara dan bersinergi
dengan mikroorganisme lain (Setiadi 2002). MVA
juga berperan dalam mengatasi defisiensi fosfat dalam
tanah (Haselwandter dan Bowen 1996 dalam
Nurtjahya 2003). Menurut Miller dan Jastrow (1992),
kontribusi asosiasi mikroriza terhadap ekosistem
restorasi lahan bekas tambang tergambar pada
sejumlah level organisasi. Peranan terbesar adalah
kaitannya dengan produser primer dengan pengurai
tanah untuk meningkatkan siklus hara.
Hasil
penelitian Noortjahyani (2000), menunjukkan aplikasi
biostimulan Nature’s bio dan MVA pada lahan tailing
bekas penambangan tembaga di PT. Freeport Provinsi
Papua dapat meningkatkan tingkat infeksi akar,
kandungan N dan P, serta dapat menekan penyerapan
Cu dalam tanaman kedelai.
Revegetasi Lahan Tailing Timah. Tahap
terakhir dari kegiatan reklamasi lahan tambang adalah
revegetasi. Revegetasi adalah usaha atau kegiatan
penanaman kembali lahan bekas tambang (Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Departemen Kehutanan 1997).
Menurut Setiadi
(2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup reestablishment komunitas tumbuhan asli secara
berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran
permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan
estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung
menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan
habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah
dan kualitas air.
Spesies pohon multiguna (multipurpose tree
species, MPTS) seperti Acacia mangium, Acacia
auriculiformis dan Leucaena diversifolia telah
digunakan untuk silvikultur di lahan bekas tambang di
Semenanjung Malaysia sejak 1987 (Awang 1994). PT.
Timah Tbk selaku perusahaan pertambangan timah
utama di Indonesia juga menggunakan MPTS untuk
revegetasi dengan spesies utama berupa akasia (A.
mangium dan
A. auriculiformis (Sujitno 2007).
Sementara itu, PT. Koba Tin sudah mulai melakukan
upaya reklamasi dan revegetasi pada tahun 1976
dengan melakukan berbagai percobaan. Semenjak
tahun 1988-1989, perusahaan telah mulai kegiatan
reklamasi dengan penanaman tanaman pohon seperti
akasia, sengon Leucaena diversifolia dan gelam
(Eucalyptus urophylla) (Setiawan 2003).
PROSPEK METODE REKLAMASI LAHAN
TAMBANG DI BANGKA KE DEPAN
Reklamasi lahan bekas penambangan timah ke
depan bertumpu pada pemanfaatan berbagai sumber
bahan organik dan pemilihan spesies revegetasi yang
tepat guna. Bahan-bahan organik yang tersedia secara
lokal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
khususnya Pulau Bangka dapat dimanfaatkan untuk
membenahi lahan bekas penambangan timah. Potensi
bahan organik seperti tandan kosong kelapa sawit,
limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit cukup
tersedia di Pulau Bangka. Selama ini pemanfaatan
limbah tersebut hanya terbatas untuk menambah unsur
hara tanaman kelapa sawit milik perusahaan melalui
aplikasi lahan (land application) dan belum pernah
digunakan untuk memperbaiki karakteristik lahan
bekas penambangan timah. Potensi bahan organik
sampah kota Di Kota Pangkalpinang dan Sungailiat,
tempat pembuangan akhir sampah (TPA) sudah
dilengkapi dengan alat pencacah sampah organik.
Setelah dicacah, sampah organik tersebut dapat
didekomposisi lebih lanjut menjadi kompos yang dapat
digunakan sebagai bahan pembenah tanah pada
reklamasi lahan bekas tambang timah. Demikian juga
kotoran ternak seperti ayam potong dan sapi yang
dihasilkan sejumlah peternakan di Pulau Bangka
berpotensi untuk dimanfaatkan dalam program
reklamasi.
Meskipun potensinya cukup besar,
penelitian mengenai efektivitas bahan-bahan tersebut
bagi perbaikan lahan bekas tambang timah sejauh ini
belum pernah dilakukan.
Pemilihan spesies tanaman untuk revegetasi
merupakan tahap yang paling penting dalam upaya
merestorasi lahan tambang (Rahmawaty 2002).
Menurut Setiadi (2006), untuk memastikan
keberhasilan penanaman pohon pada lahan yang
mengalami degradasi dan mengembalikan fungsi
ekosistem memerlukan suatu strategi yang meliputi
pemilihan
jenis tumbuhan asli
yang dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi iklim lokal dan
kondisi lahan yang ada, serta melalui pendekatan
aplikasi teknik revegetasi mencakup perlakuan
silvikultur, perbaikan lahan, dan pengelolaan lahan.
Menurut Ang (1994), untuk menghijaukan kembali
lahan tailing timah, salah satu strategi yang perlu
diperhatikan adalah seleksi spesies.
Pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam
didasarkan pada adaptabilitas, cepat tumbuh, teknik
silvikultur diketahui, ketersediaan bahan tanaman,
serta dapat bersimbiosis dengan mikroba (Rahmawaty
2002). Tanaman yang dipilih berupa spesies yang
cepat tumbuh, resisten terhadap kekeringan, dan
mampu tumbuh pada tanah yang miskin unsur hara
(ITTO 2002 dalam Nurtjahya 2003).
Ditinjau dari aspek konservasi lahan, revegetasi
dengan menggunakan jenis MPTS yang telah
dilakukan berhasil menghijaukan kembali lahan-lahan
bekas tambang serta mampu mencegah erosi. Secara
ekologi, penghutanan kembali lahan bekas tambang
dengan MPTS terutama tanaman akasia kurang
menunjukkan keragaman spesies karena tanaman
akasia menghasilkan eksudat akar yang bersifat
alelopati bagi tanaman lain.
Selain itu,
perkembangbiakan akasia melalui biji dan vegetatif
(tunas akar) cenderung ekstensif. Kedua hal tersebut
menghambat pertumbuhan tanaman lain yang ada di
sekitarnya, sehingga vegetasi cenderung homogen.
Selain itu, apabila tanaman ini akan dimanfaatkan
untuk bahan baku pulp dan kertas harus melalui
penebangan dan penanaman kembali. Metode
revegetasi ke depan perlu mengembangkan spesiesspesies lain untuk revegetasi selain spesies yang sudah
ada. Idealnya, spesies revegetasi yang digunakan
adalah spesies yang memenuhi persyaratan sebagai
tanaman reklamasi, secara teknis dapat dilaksanakan
dengan mudah dan murah dan secara ekonomis,
menghasilkan produk yang bermanfaat (kayu dan non
kayu). Jenis-jenis tanaman perkebunan (misalnya
karet dan kelapa sawit), tanaman buah (misalnya
mangga, jeruk, jambu air), tanaman kehutanan spesifik
Bangka perlu dikembangkan sebagai alternatif. Di
lahan rekalamasi PT. Koba Tin, beberapa tanaman
tersebut berhasil tumbuh dan berproduksi.
Penelitian yang komprehensif mengenai rekayasa
lahan dan genetis tanaman-tanaman tersebut perlu
dilakukan untuk memperoleh paket teknologi
reklamasi dan revegetasi yang mudah dan murah
sehingga program reklamasi dapat dipercepat.
KESIMPULAN
1. Dampak terbesar dari operasi penambangan timah
di Pulau Bangka adalah semakin meluasnya laha
kritis dan marjinal dalam bentuk lahan tailing
yang mempunyai sifat fisik dan kimia tanah serta
iklim mikro yang jelek, sehingga untuk
memanfaatkannya kembali untuk lahan pertanian
diperlukan upaya reklamasi lahan.
2. Masalah-masalah dalam reklamasi dan revegetasi
lahan di Pulau Bangka antara lain pembongkaran
kembali lahan yang telah direklamasi oleh
masyarakat, manajemen pengelolaan tanah bekas
galian yang tidak tepat dan pemilihan spesies
revegetasi yang kurang bermanfaat secara
ekonomis bagi masyarakat lokal.
3. Sejumlah penelitian teknologi reklamasi lahan
tailing bekas penambangan timah telah dilakukan
untuk memulihkan kembali lahan tailing melalui
pemberian berbagai jenis bahan organik dan
penggunaan
mikroorganisme
yang
menguntungkan.
4. Penelitian teknik reklamasi dan rehabiltasi lahan
tailing bekas penambangan timah di Pulau Bangka
ke depan diarahkan pada pemanfaatan potensi
sumber bahan organik lokal dan penggunaan
spesies eksotik yang tidak saja bermanfaat secara
ekologis, tetapi juga secara ekonomis mampu
meningkatkan pendatapan dan kesejehteraan
masyarakat di sekitar lokasi reklamasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ang LH.
1994.
Problems and propects of
afforestation on sandy tin tailings in Peninsular
Malaysia. J. of Tropical Forest Science 7(1):87105.
Ang LH., Seel WE. and Mullins C.
1999.
Microclimate and water status of sand tailing at
an-ex-mining site in Peninsular Malaysia. J. of
Tropical Foret Science 11(1):157-170.
Awang K. 1988. Tin tailings and their possible
reclamation in Malaysia in Adisoemanto, S.
(ed.). 1988.
in Regional Workshop
on
Ecodevelopment Process for degraded land
resources in Southeast Asia, Bogor 23-25
August 1988.
Awang K. 1994. Growth of three multipurpose tree
species on tin tailings in Malaysia. J. of Tropical
Foret Science 7(1): 106-112.
Bappeda Bangka. 2000. Profil Investasi Bangka.
Bappeda Bangka, Sungailiat.
Bapedalda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
2007. Kondisi kerusakan lingkungan hidup di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Bahan
Presentasi Bapedalda Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung, Pangkalpinang.
Dinas Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. 2007. Profil bidang pertambanagn di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dinas
Pertambangan Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung, Pangkalpinang.
Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
2006. Peraturan Tentang Reklamasi Tambang.
Makalah disampaikan pada “Seminar Nasional
Rehabilitasi
Lahan
Tambang”
11 Februari 2006, Kampus UGM Bulaksumur,
Yogyakarta
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial Departemen Kehutanan. 1997. Pedoman
Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Jakarta.
Gofar N., Marsi dan Purnamayani R. 1999. Respon
tanaman jagung (Zea mays L) pada bahan tailing
pasca penambangan timah yang diameliorasi
dengan bahan organik, zeolit dan tanah lapisan
atas. Tanaman Tropika 2 (2,1):16-24.
Hadi H dan Sudiharto. 2004. Pengembangan
Perkebunan Karet di Daerah sekitar tambang
batubara:Kasus
di
Kabupaten
Tabalong
Kalimantan Selatan. Warta Perkaretan 23(3):2836.
Hanura 2005. Perbaikan sifat kimia bahan tailing asal
lahan pasca penambangan timah yang diberi
kompos dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
tanaman kedelai. Tesis. Program Studi Ilmu
Tanaman Program Pascasarjana Universitas
Sriwijaya (tidak dipublikasikan).
Jasper D. 2002. Rehabilitation, indicators and
monitoring of. In R. Lal (ed). Encyclopedia of
soil science. Marcel Dekker, Inc., New York, pp
1101-1104.
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran
Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan
Umum.
Koch JM. 1987. Nitrogen accumulation in a
rehabilitated bauxite-mined area in the Darling
Range, Western Australia. Australian Forest
Research 17: 59-72.
Koch JM., Ward SC., Grant CD., and Ainsworth GL.
1996.
Effects of bauxite mine restoration
operations on topsoil seed reserves in the jarrah
forest of Western Australia. Restoration Ecology
4: 368-376.
Latifah 2000.
Keragaman Pertumbuhan Acacia
mangium Wild pada lahan bekas tambang timah
(studi kasus di area kerja PT. Tambang Timah).
Tesis Magister Ilmu Kehutanan Program
Pascasarjana IPB, Bogor (tidak dipublikasikan)
Madjid NM., Hashim A. and Abdol I. 1994.
Rehabilitation of ex-tin mining land by
agroforestry practice. J. Tropical Forest Science
7(1): 113-127.
Miller RM. and
Jastrow JD. 1992.
The
application of VA mycorrhyzae to
Ecosystem Restoration and Recalamation.
In MJ. Allen (Eds.) Mycorrhizal functioning
and Integrative Fungal Process. Chapman
and Hall, New York.
Naning MI., Diha MA. dan Gofar N. 1999. Perbaikan
sifat kimia bahan tailing asal lahan
pascapenambangan timah dan pertumbuhan
tanaman jagung dengan pemberian bahan
organik dan zeolit. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Universitas Sriwijaya, Palembang.
Noer A. 1998. Potensi dan prospek investasi di sektor
pertambangan dan energi 1998-1999 dalam
Nazwar Nazaruddin (ed.).
Departemen
Pertambangan dan Energi dan Yayasan Krida
Caraka Bhumi, Jakarta.
Noortjahyani. 2000.
Aplikasi bio stimulan dan
mikoriza vesikilar arbuskula (MVA) pada tailing
Timika Irian Jaya dan pengaruhnya terhadap
infeksi mikoriza serta kandungan N, P, K dan Ca
tanamn kedelai. Publikasi Berkala Penelitian
Pascasarjana Universitas Padjajaran 11(1):1-12.
Nurtjahya E. 2003. Potential local tree candidates for
revegetating sandy tin tailing in Bangka Island.
Literature Review. Term paper Introductory
Science Philosophy Graduate Program Institut
Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).
Nurtjahya E. 2005. Suksesi lahan Pasca Tambang
Timah di Pulau Bangka. Laporan Penelitian
DP2M Dikti. Stiper Bangka, Sungailiat.
Khodijah NS., Cik Ona, dan Zasari M. 2007. Upaya
perbaikan kesuburan media tanam bekas
penambangan timah pada pertumbuhan awal
tanaman jarak pagar (jatropha curcas). Laporan
Penelitian Dosen.
Universitas Bangka
Belitung,Pangkalpinang (tidak dipublikasikan).
Osborne JM. 1996. Self-sustainable reclamation: shrub
and tree establishment on saline mine wastes.
International Journal of Surface Mining,
Reclamation and Environment 10:91-95.
Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang
Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang
Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
Pusat Penelitian Bioteknologi Hutan dan Lingkungan
IPB. 2002. Effect of bio-organic on soil and
plant improvement of post tin mine site at PT.
Koba Tin Project Area, Bangka.
Pusat
Penelitian Bioteknologi IPB, Bogor.
PT. Timah Tbk. 1991. Laporan Utama Studi Evaluasi
Lingkungan Unit Penambangan dan Unit
Peleburan Timah Pulau Bangka Vol 1 dan 3. PT
Timah
Tbk,
Pangkalpinang
(tidak
dipublikasikan).
PT. Timah Tbk. 2006. Pandang dengan mata hati:
Catatan perjalanan kepedulian PT. Timah
terhadap Lingkungan dan Masyarakat. PT.
Timah Tbk, Pangkalpinang.
Rahmawaty. 2002. Restorasi lahan bekas tambang
berdasarkan
kaidah
ekologi.
www.library.usu.ac.id. Diakses tanggal 9 Juni
2008.
Santi R. 2005. Pertumbuhan Nilam (Pogostemon
cablin Benth) pada sandy tailing asal lahan
pasca penambangan timah yang diberi kompos
dan tanah kupasan (overburden).
Tesis.
Program Studi Ilmu Tanaman Program
Pascasarjana Universitas Sriwijaya (tidak
dipublikasikan).
Setiadi Y. 2002. Effect of Bio-organic on soil and
plant productivity improvement of dust tin mine
site at PT Koba Tin Project Area Bangka.
Report to Enviromental Forest Biotechnology
Laboratory. Bogor. (Unpublished).
Setiadi Y. 2006. The Revegetation Strategies for
Rehabilitating Degraded Land after Mine
Operation. www.mm.helsinki. (diakses tanggal
24 Npember 2007).
Setiawan IE. 2003. Evaluasi tigkat keberhasilan
revegetasi pada lahanbekas tambang timah PT.
Koba Tin Koba Bangka Tengah. Skripsi pada
Jurusan Konservasi Sumbedaya Hutan Fakultas
Kehutanan IPB, Bogor (tidak dipublikasikan)
Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry: Genesis,
Composition, Reactions. A Wiley Interscience
Publication, New York.
Sujitno S. 2007. Sejarah Timah di Pulau Bangka. PT.
Tambang Timah Tbk. Pangkalpinang.
Suryanto dan Susetyo W. 1997. Perlakuan bahan
organik dan tanah mineral pada bahan tailing
terhadap ketersediaan unsur hara makro dan
unsur logam mikro.
J. Ilmu Tanah dan
Lingkungan 1(1):41-45.
Tanpibal, V. dan p. Sahunalu .1989. Characteristics
and management of tin mine tailing in Thailand.
Soil Technology 2:17-26.
Tisdall JM. and Oades JM. 1982. Organic matter and
water stable aggregates in soils. J. Soil Sci.
33:41-63.
Tongway DJ. and Ludwig J.A. 2002. Australian semiarid lands and savannas. dalam M.R. Perrow and
A.J. Davy (eds). Handbook of ecological
restoration. Volume 2: Restoration in practice.
Cambridge University Press, pp 486-502.
Toy TJ., and Black JP.
2000.
Topographic
reconstruction: the theory and practice
sBarnhisel, R.I, R.G. Darmody, dan W.L.Daniels
(eds.). Reclamation of Drastically Disturbed
Lands. Am. Soc. Of Agronomy Inc, Crop
Science Soc.of Am. Inc, and Soil Science Soc.of
Am. Inc, Madison.
Ward SC. 2000. Soil development on rehabilitated
bauxite mines in south-west Australia.
Australian Journal of Soil Research 38:4.
Download