BAB II Bakteri Filosfer Ageratum conyzoides L. dan Degradasi

advertisement
7
BAB II
Bakteri Filosfer Ageratum conyzoides L. dan Degradasi Kitin
A. Keragaman Bakteri Filosfer
Permukaan tanaman umumnya dihuni oleh berbagai jenis mikroorganisme,
seperti bakteri dan fungi (Lindow & Bradl 2003). Koloni mikroorganisme
berbeda-beda, sesuai dengan jenis tanaman dan jaringan yang didiaminya, seperti
daun, akar ataupun bunga. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keragaman mikroorganisme yang mendiami pemukaan daun, yaitu radiasi
ultraviolet, kelembaban, kecepatan angin dan sumber nutrisi. Komunitas bakteri
filosfer yang tidak ternaungi kanopi atau setengah ternaungi, akan sangat
dipengaruhi oleh radiasi ultraviolet. Adanya radiasi ini menyebabkan
dihasilkannya dua jenis mikroorganisme filosfer, yaitu mikroorganisme sensitif
ultraviolet dan mikroorganisme yang toleran terhadap ultraviolet (Lindow 2006;
Lindow & Bradl 2003; Wilson et al.,2006). Bakteri yang bersifat toleran
terhadap UV adalah bakteri yang memiliki pigmen. Pigmen itu diantaranya,
merah muda, orange dan kuning (Sundin & Jacob 2001).
Keragaman bakteri filosfer juga sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan
kecepatan angin, kelembaban dapat diperoleh dari air hujan dan embun.
Kelembaban ini dapat hilang disebabkan oleh temperatur, angin dan aktivitas sel
tanaman. Kelembaban dan kecepatan angin mempengaruhi mobilitas bakteri,
yang akhirnya dapat menentukan keberadaan bakteri. Hal lain yang dapat
menentukan keragaman dan keberadaan bakteri filosfer, yaitu nutrisi.
Kelimpahan
nutrisi
pada
daun
dapat
mengindikasikan
keberadaan
8
mikroorganisme. Terutama nutrisi sumber karbon dan sumber nitrogen (Lindow,
2006; Wilson et al.,2006).
Banyak sekali kesulitan dalam proses identifikasi mikroorganisme pada
permukaan tanaman, karena tidak semua mikroorganisme dapat diisolasi
(dikultur) pada media tumbuh di laboratorium. Namun, hal ini dapat diatasi oleh
adanya teknik identifikasi secara molekuler, bahkan bagi mikroorganisme yang
bersifat unculturable sekalipun. Dalam teknik identifikasi ini, gen yang banyak
digunakan adalah gen 16S rRNA untuk identifikasi bakteri dan gen 18S rRNA
untuk fungi (Wilson et al.,2006). Contoh bakteri penghuni filosfer adalah
Pseudomonas fluorescens, Pseudomonas syringae, Bacillus cereus, Bacillus
subtilis, Erwinia herbicola, Erwinia amylivora dan Serratia sp, dan telah
diketahui bahwa bakteri tersebut memiliki aktivitas kitinolitik (Lindow & Bradl
2003; Yurnaliza, 2002; El-Hamshary and Khattab, 2008). Menurut Busam
(1997), patogenitas mikrooorganisme terhadap tanaman dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya mengeluarkan protein dalam bentuk enzim kitinase
dan hal ini dapat memicu reaksi ketahanan sistemik (systemic acquired
resistance/SAR) tanaman, Systemic acquired resistance atau SAR dapat memicu
tanaman untuk menghasilkan metabolit sekunder dalam sel tanaman tersebut
(Percival, 2001; Busam 1997).
B. Deskripsi dan Klasifikasi Ageratum conyzoides L
Ageratum conyzoides merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae.
Memiliki habitus herba dengan tinggi 30 cm sampai 80 cm, duduk daun oposita
dan memiliki trikoma glandular (Ming, 1999). Tumbuhan ini di berbagai daerah
9
di Indonesia memiliki nama yang berbeda antara lain di Jawa disebut bandotan.
Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai
tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan ini, dapat
ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar saluran air
pada ketinggian 1 m sampai 2.100 m di atas permukaan laut (Sukamto, 2007).
Meskipun dianggap gulma, tanaman ini juga sering digunakan sebagai obat
tradisional oleh sebagian masyarakat Indonesia. Tanaman ini digunakan untuk
mengobati berbagai jenis penyakit kulit, malaria, influenza, radang paru-paru dan
tumor (Utami dan Robara 2008).
Klasifikasi Ageratum conyzoides L menurut Sukamto (2007) dan Ming (1999).
Divisio
:
Magnoliophyta
Classis
:
Magnoliopsida
Ordo
:
Asterales
Famili
:
Asteraceae
Genus
:
Ageratum
Species
:
Ageratum conyzoides L.
Gambar 2.1 Ageratum conyzoides
(Dokumentasi Pribadi)
Daun Ageratum conyzoides L yang ada di kebun botani UPI memiliki
kandungan kimia seperti beta-caryophyllene, precocone II (6,7-dimethoxy, 2,2dimethyl Ageratochrome), phytol, dan flavoniod (Hardikasari, 2009). Diketahui
bahwa metabolit sekunder yang berasal baik dari tanaman maupun hewan
menunjukkan beragam aktivitas biologi. Begitu pula senyawa yang terkandung
pada daun A. conyzoides, beberapa penelitian telah dilakukan, di antaranya
10
sebagai antifungi Candida albicans dan Trichophyton mentagrophytes (Hapsakti,
2009; Hardikasari, 2009). Ekstrak daun A. conyzoides juga digunakan sebagai
antibakteri Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan Pseudomonas
aeruginosa (Desiarianty, 2009; Pramitha, 2009; Rosantika, 2009).
C. Kitin dan Kitinase
Kitin adalah polisakarida paling melimpah kedua di alam setelah selulosa.
Kitin terdapat dalam komponen struktural eksoskeleton dari serangga dan
Crustacea, juga terdapat di dalam dinding sel ragi dan jamur yang jumlahnya
berkisar antara 30-60 % (Laila dan Hendri. 2008). Kitin memiliki struktur yang
mirip selulosa. Bila selulosa tersusun atas monomer glukosa, maka kitin tersusun
dari monomer N-asetilglukosamin. Struktur kitin secara jelas dapat dilihat pada
gambar 2.2
2
1
1
3
Gambar 2.2 Struktur Kitin 1. ikatan β-1,4 antar subunit Nasetilglukosamina 2. Gugus hidroksil 3. Gugus Asetil (Modifikasi Hogg,2005)
Kitin dilaporkan telah dapat digunakan sebagai bahan pendukung untuk
beberapa enzim, seperti papain, laktase, kimotripsin, asam pospatase, dan
glukosa isomerase. Sebagai bahan pendukung enzim penggunaannya yang
terbesar adalah pada industri makanan dan kosmetik (Laila dan Hendri, 2008).
Kitin memiliki tingkat kelarutan yang sangat rendah dalam air, serta mengalami
biodegradasi melalui beberapa mekanisme dengan melibatkan kompleks enzim.
Salah satu enzim yang dapat mengurai kitin adalah kitinase.
11
Kitinase adalah enzim yang umum diproduksi sel bakteri, cendawan,
hewan, dan tumbuhan (Pudjihartati, et al. 2006). Enzim kitinase yang dihasilkan
tumbuhan dapat menghidrolisis ikatan β-1,4 antar subunit N-asetilglukosamina
(NAcGlc) pada polimer kitin. Hidrolisis polimer kitin sebagai salah satu
komponen dinding sel hifa cendawan dapat menghambat pertumbuhan hifa. Oleh
sebab itu, kitinase dikenal sebagai salah satu protein anti cendawan (Wang et al.
2005 dalam Pudjihartati et al. 2006). Berdasarkan cara kerja hidrolisis, kitinase
dikelompokkan menjadi tiga tipe utama, yaitu: (i) endokitinase, yang memotong
secara acak polimer kitin secara internal sehingga menghasilkan oligomer
pendek, (ii) eksokitinase (1,4-β-kitobiosidase), yang memotong unit trimer
kitobiosa pada ujung terminal polimer kitin, dan (iii) N-asetilglukosamidase,
yang memotong unit monomer pada ujung terminal polimer kitin (Brurberg et al.
1996 dalam Pudjihartati et al. 2006). Menurut Oku (1994) dalam Pudjihartati et
al. (2006), peranan kitinase pada ketahanan tanaman terhadap serangan pathogen
terjadi melalui dua cara, yaitu: (i) menghambat pertumbuhan cendawan dengan
secara langsung menghidrolisis dinding miselia cendawan dan (ii) melalui
pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi
ketahanan sistemik (systemic acquired resistance/SAR) pada inang.
Menurut Angelova (2006), elisitor adalah senyawa-senyawa penginduksi
ketahanan sistemik pada tanaman. Elisitor mampu menginduksi berbagai jenis
ketahanan sistemik tanaman, diantaranya sintesis metabolit sekunder. Elisitor
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu elisitor biotik dan abiotik. Elisitor
biotik ditemukan pada awal tahun 1970-an, sejak saat itu banyak publikasi yang
menunjukan fakta bahwa derivat suatu senyawa yang dihasilkan oleh bakteri,
12
dapat menginduksi pertahanan sistemik pada tanaman. Elisitor biotik merupakan
molekul-molekul yang berasal dari pathogen atau tanaman itu sendiri.
Berdasarkan asal substansi pemicu ketahanan sistemik, elisitor biotik dapat
dikelompokan kembali menjadi dua, yaitu elisitor eksogen (substansi pemicu
berasal dari pathogen) dan elisitor endogen (substansi pemicu berasal dari
tanaman). Beberapa molekul yang dapat menjadi elisitor, yaitu polisakarida,
oligosakarida, protein, glikoprotein dan asam lemak.
D. Gen 16S rRNA
Sebuah ribosom prokariotik bila dilihat melalui mikroskop elektron,
tersusun dari dua subunit, yaitu sub unit besar dan subunit kecil. Subunit ribosom
dibangun oleh protein-protein dan molekul-molekul RNA, yang disebut RNA
ribosom (rRNA, ribosomal RNA). Sekitar 60% dari berat suatu ribosom terdiri
dari RNA (Campbell et al. 2000:327-328). Pada prokariot terdapat tiga jenis
rRNAs, yaitu: 16S, 23S dan 5S (Olsen et al. 1986). Baik pada eukariota maupun
prokariota, subunit besar dan kecil bergabung untuk membentuk ribosom
fungsional hanya ketika kedua subunit tersebut terikat pada molekul mRNA
(Campbell et al. 2000:328). Pengikatan ini terjadi pada 16S rRNA di bagian sub
unit 30S (subunit kecil) pada ribosom prokariot, karena pada mRNA prokariot
terdapat urutan basa tertentu yang disebut sebagai tempat pengikatan ribosom
(ribosom binding site) atau urutan Shine-Dalgarno (5’-AGGAGGU-3’), urutan ini
spesifik dikenali oleh 16S rRNA, dengan demikan dapat dikatakan bahwa, sikuen
16S rRNA berfungsi sebagai sikuen anti-Shine-Dalgarno (Korostelev et al. 2007;
Moat et al.,2002). Gen 16S rRNA berukuran panjang antara 1500-1550 pb dan
13
kaya akan basa nitrogen guanin dan sitosin (Moat et al. 2002:56; Clarridge,
2004:842).
Pada gen 16S rRNA terdapat suatu daerah yang dinamakan daerah lestari
(conserved area) dan daerah variabel, sebagian atau seluruh urutan basa pada
daerah inilah yang akan menjadi urutan basa yang akan dikenali oleh primer gen
16S. Daerah lestari (conserved area) pada gen 16S rRNA umumnya memiliki
ukuran sekitar 540 pb (Clarridge, 2004:842). Hal ini yang menjadikan gen 16S
rRNA sebagai alat dalam metode identifikasi bakteri pada bidang molekuler. Gen
16S rRNA memiliki beberapa keunggulan yang memperkuat penggunaanya
sebagai alat identifikasi diantaranya, gen ini relatif konstan dan tidak berubah
dalam jangka waktu yang sangat lama atau dengan kata lain laju mutasinya
sangat kecil (Janda and Abbott, 2007:2761). Pada bidang molekuler terdapat
beberapa jenis primer yang dihasilkan dari gen 16S rRNA, menurut Marchesi
(1997), primer yang paling baik dan stabil adalah primer 63f dan 1387r.
E. PCR (Polymerse Chain Reaction)
Polymerase Chain Reaction merupakan suatu teknik atau metode
perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.3. Menurut Paul (2007), PCR
meliputi tiga tahapan dalam satu siklus, yaitu:
1. Tahap Denaturasi
Tahap ini berlangsung pada suhu tinggi, antara 92-96oC.Hal ini
dimaksudkan untuk memisahkan double-strand DNA, menjadi rantai utas
tunggal. Pemisahan ini diakibatkan oleh suhu tinggi, yang memicu putusnya
ikatan hydrogen pada DNA. Setelah DNA menjadi rantai utas tunggal, maka
14
DNA siap menjadi template (“cetakan”) bagi primer (rantai pendek
nukleotida atau yang biasa disebut oligonukleotida yang urutan basa
nitrogennya telah diketahui).
2. Tahap annealing
Pada tahap ini primer menempel pada bagian DNA template yang
komplementer urutan basa nitrogennya. Ini dilakukan pada suhu antara 42–
65°C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan
tidak terjadinya penempelan primer pada DNA target atau primer menempel
di sembarang tempat. Lamanya waktu yang digunakan pada tahap ini
biasanya tergantung kepada primer yang digunakan.
3. Tahap elongasi (pemanjangan)
Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA-polimerase yang
digunakan pada reaksi. Secara universal, biasanya enzim yang digunakan
adalah Taqpolimerase yang diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus. Enzim
ini relative stabil bekerja pada suhu tinggi dan tidak terdenaturasi lebih cepat.
Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 72° C.
15
Gambar 2.3 Bagan Proses dalam mesin PCR (Paul, 2007:105)
Ketiga proses di atas diulang-ulang antara 25–30 kali. Akibat proses diatas
pula dihasilkan rantai DNA baru yang akan dijadikan template badi primer lain.
Karena hal ini berlangsung secara berulang dan terus menerus, maka dihasilkanlah
DNA yang berlimpah sesuai dengan jumlah primer. Pada akhirnya akan
dihasilkan amplikon, yaitu produk PCR, yang selanjutnya dapat digunakan untuk
berbagai keperluan dalam bidang molekuler.
F. Elektroforesis
Produk
PCR
(amplikon)
dapat
divisulisasikan
melalui
metode
elektroforesis atau “running”. Prinsip dasar teknik elektroforesis adalah
pemisahan molekul bermuatan oleh medan listrik. Dalam proses ini molekulmolekul tersebut dipisahkan berdasarkan laju perpindahannya oleh gaya gerak
listrik di dalam matriks gel. Medium (matriks gel) elektroforesis yang paling
umum digunakan adalah agarosa. Gambar 2.4 akan memperjelas tentang agarosa
dan single bands amplikon setelah selesai proses elektroforesis. Konsentrasi
agarosa yang digunakan sesuai dengan asam nukleat yang diidentifikasi yaitu
antara 0,1-70 kb. Dalam proses elektroforesis, sampel molekul ditempatkan ke
dalam sumur (well) pada gel yang ditempatkan di dalam larutan penyangga, dan
listrik dialirkan kepadanya.
16
Agarose
Single band
Single
band
(-)
(+)
Gambar 2.4 Agarosa dan single bands amplikon setelah selesai proses
elektroforesis ( Modifikasi Tortora et al., 2010)
Karena asam nukleat bermuatan negatif dan akan berjalan menuju kutub
positif, maka well (sumur) agarosa pada alat elektroforesis diletakan dikutub
negatif. Kecepatan migrasi molekul polar (bermuatan) bervariasi tergantung rasio
massa dengan muatan, ukuran molekul, berat molekul dan konformasi molekul
itu sendiri. Hasil elektroforesis dapat dilihat satelah diwarnai, dan dilihat dengan
bantuan cahaya UV. Pewarna etidium bromida dapat dicampurkan langsung
dalam gel, gel buffer ataupun setelah elektroforesis berakhir. Etidium bromida
akan berinteraksi dengan basa dari molekul DNA dan akan memberikan warna
“orange fluoresance” (berpendar) dibawah lampu Ultra Violet (UV).
G. Sikuensing DNA
Salah satu metode identifikasi organisme adalah sikuensing. Pada
prinsipnya sikuensing adalah metode yang digunakan untuk mendapatkan urutan
basa DNA suatu organisme dengan menggunakan mesin sequencer. Metode ini
mengalami perkembangan yang progresif setelah Sanger menemukan metode
sikuensing yang baru pada tahun 1977. Sanger memanfaatkan dua sifat salah satu
subunit enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat
17
tersebut adalah kemampuannya untuk mensintesis DNA dengan adanya dNTP
dan ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul
dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula
pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan
gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan
fosfodiester (Paul., 2007:102; Moat et al., 2002:172-173). Gambaran umum
proses sikuensing dapat dilihat pada gambar 2.5.
18
Primer
3’
Template yang tidak diketahui urutan
basanya
DNA Polymerse, empat dNTPs,
empat ddNTPs
Dye terlihat pada segmen DNA yang
dicopy dari template (DNA target
sikuensing)
Migrasi
DNA
Dye terlihat pada pada gel
elektroforesis
Sinar Laser
Detektor
Laser
Hasil pembacaan komputer
Gambar 2.5 Sebuah DNA template ditambahkan primer, DNA polymerase,
deoxynucleotides dan dideoxynucleotides. Molekul ddNTPs dilabeli dengan
pewarna (dye) yang akan berfluoresensi. Panjang gelombang saat fluroresensi
ditangkap oleh detektor dan diterjemahkan oleh computer dalam bentuk grafik
(Modifikasi Lehninger, 1997; Moat et al., 2002:172-173).
19
Saat produk sikuensing diseparasikan pada matriks gel, sinar laser ion
argon akan menyebabkan eksitasi elektron pada molekul DNA hasil sikuensing
yang ujungnya mengandung molekul dideoxynucleotide terminator dye. Hal ini
menyebabkan
molekul
DNA
yang
ukurannya
berbeda-beda
akan
berfluororesensi. Panjang gelombang yang dihasilkan saat fluroresensi inilah
yang akan ditangkap oleh detektor dan diterjemahkan menjadi urutan nukleotida
dari gen yang disikuensing. Secara otomatis komputer akan memproses data dari
detektor dan hasil sikuen akan muncul dalam bentuk grafik pembacaan sikuen
yang dapat dicetak dan lebih memudahkan proses sikuensing DNA.
H. Bioinformatika
Bioinformatika merupakan kajian yang memadukan disiplin biologi
molekul, matematika dan teknik informasi (TI). Ilmu ini didefinisikan sebagai
aplikasi
dari
alat
komputasi
dan
analisa
untuk
menangkap
dan
menginterpretasikan data-data biologi molekul. Biologi molekul sendiri juga
merupakan bidang interdisipliner, mempelajari kehidupan dalam level molekul.
Kajian baru Bioinformatika ini tak lepas dari perkembangan biologi molekul
modern yang ditandai dengan kemampuan manusia untuk memahami genom,
yaitu cetak biru informasi genetik yang menentukan sifat setiap makhluk hidup
yang disandi dalam bentuk pita molekul DNA (asam deoksiribonukleat).
Kemampuan untuk memahami dan memanipulasi kode genetik DNA ini sangat
didukung oleh TI melalui perangkat perangkat keras maupun lunak. Hal ini bisa
dilihat pada upaya Celera Genomics, perusahaan bioteknologi Amerika Serikat
yang melakukan pembacaan sekuen genom manusia yang secara maksimal
memanfaatkan TI sehingga bisa melakukan pekerjaannya dalam waktu yang
20
singkat (hanya beberapa tahun), dibanding usaha konsorsium lembaga riset
publik AS, Eropa, dan lain-lain, yang memakan waktu lebih dari 10 tahun
(Aprijani and Elfaizi, 2004)
Bioinformatika yang digunakan pada penelitian ini berkaitan dengan
analisis filogenetik. Teknologi ini merupakan salah satu tahapan yang digunakan
untuk mengetahui informasi yang kita butuhkan tentang spasies bakteri yang kita
analisis. Sekuen dianalisis dengan cara mencari homologi atau membandingkan
(pensejajaran) hasil sekuen yang kita miliki dengan yang terdapat di “GenBank”.
Homologi dicari dengan menggunakan teknik BLAST pada server National
Center for Biotechnology Information atau server lain sebagai “GenBank”.
Beberapa server yang menyimpan database mengenai data biologi molekuler,
diantaranya adalah GenBank NCBI (National Center for Biotechnology
Information) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/Web/Genbank/index/htm), European
Molecular
Biology
Laoratory
Nucleotide
Sequence
(http://www.ebi.ac.uk/ebi_docs/embl_db.html), Ribosomal Database Project-II
(http://www.rdp.cme.msu.edu/) (Moat et al., 2002; Cole., 2005; Clarridge, 2004;
Aprijani and Elfaizi, 2004).
Download