TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH PELAYARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN KAPAL PELAYARAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KUHAP Oleh: I.TAJUDIN. S.H. NIP. 132 312 770 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN 2009 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan mempunyai luas laut (dua) kali lebih besar bila dibandingkan dengan luas daratan. Hal ini meyebabkan pentingnya arti dari hubungan laut sebagai sarana transportasi antar pulau dalam mewujudkan persatuan, kesatuan, pertahanan dan keamanan, politik, sosial, budaya, khususnya di sektor ekonomi dan perdagangan. Namun sampai saat ini pengelolaan, pemberdayaan dan pemanfaatan perairan termasuk laut oleh negara belum optimal untuk kesejahteraan rakyat. Perhubungan laut merupakan salah satu sarana dalam melakukan hubungan dalam lingkup yang lebih besar yaitu tingkat internasional untuk kepentingan ekspor dan impor negara kita dengan mengunakan kapal. Kapal yang digunakan dalam hubungan internasional bisa kapal milik perusahaan pelayaran Indonesia, akan tetapi tidak menutup kemungkinan kapal-kapal asing yang disewa untuk itu.1 Sebelum dikenalnya kapal-kapal modern yang banyak digunakan pada masa ini, nenek moyang bangsa Indonesia yang memang dikenal sebagai sebuah bangsa pelaut yang handal, banyak menggunakan kapal-kapal 1 Djoko Triyanto, Bekerja Di Kapal, Mandar Maju, Bandung, hlm. 2 3 tradisional dalam melakukan pelayaran dan berhubungan antar pulau ataupun dengan negara tetangga. Salah satu kapal tradisional yang terkenal hingga ke mancanegara adalah kapal Pinisi yang merupakan kapal kebanggaan masyarakat Bugis (M akassar). Bahkan keberadaan kapal/perahu pinisi sangat diakui oleh negara-negara lain sebagai salah satu perahu tradisional yang terbaik yang pernah ada di dunia. 2 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, disebutkan bahwa hanya kapal-kapal yang mempunyai bobot kotor diatas 300 m³ dan digerakkan dengan mesin yang dapat digunakan untuk kepentingankepentingan pengangkutan, baik penumpang ataupun barang. Hal ini sedikit berbeda dengan kenyataannya, bahkan hingga saat ini kapal Pinisi yang tidak digerakkan oleh mesin juga banyak yang dipergunakan sebagai sarana pengangkutan, terutama oleh suku Bugis di Sulawesi Selatan. Secara umum, kapal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Kapal laut biasa, yaitu setiap alat pengangkutan yang dipergunakan atau dimaksudkan untuk pengangkutan di laut. 2. Kapal Niaga, yaitu setiap kapal yang digerakkan secara mekanis dan digunakan untuk pengangkutan barang dan/atau penumpang untuk umum dengan pungutan biaya.3 2 3 Baharudin Lopa, Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan, Alumni, Bandung, hlm. 6 Soekardono, Hukum Perkapalan Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 3 4 Namun dalam perkembangannya, apal-kapal k niaga atau perdagangan modern terbagi atas bermacam-macam jenis, tergantung pada tujuan apa kapal itu dibuat. Secara umum kapal-kapal tersebut dapat dibagi dalam 4 (empat) kategori utama: 1. Kapal-kapal untuk mengangkut penumpang 2. Kapal-kapal untuk pengangkut barang 3. Kapal-kapal untuk usaha perikanan 4. Kapal-kapal untuk keperluan khusus (yang tidak termasuk kategori ke dalam salah satu dari ketiga kategori di atas).4 Dalam menempuh suatu perjalanan selain harus memenuhi kelayakan kapal, sebuah kapal harus mempunyai perangkat atau perlengkapan, antara lain pengemudi kapal atau dikenal sebagai nakhoda, perwira kapal, dan juga beberapa anak buah kapal (klasi), dimana ketiga pihak tersebut dituntut untuk saling mendukung dan bekerja sama agar proses pelayaran dapat berjalan dengan baik. Pentingnya faktor perhubungan dan pengangkutan pada saat ini, sehingga dituangkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyebutkan : “Pelayaran sebagai salah satu moda transportasi diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi pelataran nasional dalam rangka menunjang, menggerakkan, dan 4 Frederik I. Hermawan, Perkembangan Kegiatan Maritim Sebuah Pengantar Studi Ilmu Maritim, Alumni, Bandung, hlm. 4 5 mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memantapkan perwujudan wawasan nusantara serta memperkukuh ketahanan nasional” Selain itu, Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang pelayaran tersebut juga mengelompokkan jenis-jenis pelaran. Pelayaran di Indonesia dikelompokkan menjadi: 1. Pelayaran dalam negeri 2. Pelayaran luar negeri 3. Pelayaran rakyat 4. Pelayaran sungai, Danau, dan Penyeberangan 5. Pelayaran untuk angkutan penyandang cacat 6. Pelayaran perintis 7. Pelayaran untuk barang khusus dan berbahaya Semakin penting dan majunya pelayanan pelayaran laut dan modernnya kapal-kapal yang digunakan, maka semakin besar peranan manusia dikuasai peralatan yang serba otomatis. Oleh karenanya di lain pihak bertambah meningkat pula tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan ketentuan-ketentuan dan menjamin diakuinya serta dihayatinya mengenai perlunya keselamatan pelayaran. Dalam hal ini, diserahkan kepada pengelolaan perairan untuk pelaksanaannya. Di era kemajuan teknologi dan komunikasi ini, kapal-kapal yang banyak digunakan sebagai sarana pengangkutan juga telah banyak tersentuh oleh teknologi. Sudah tidak ada lagi kapal-kapal pengangkut penumpang 6 ataupun barang yang tidak dilengkapi sarana navigasi yang canggih. Ini sangat beralasan mengingat kita membutuhkan suatu kenyamanan dan terutama keamanan dalam melakukan pelayaran. Keselamatan pelayaran lazimnya dijamin oleh mutu kapal yang terawat baik disertai dengan adanya kecakapan dari seluruh awak kapal. Untuk menjadi bagian dari perlengkapan kapal, nakhoda, perwira kapal ataupun klasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya syarat pendidikan, kesehatan dan syarat lainnya, antara lain pengalaman dan jam melaut.5 Selama ini, telah banyak terjadinya kecelakaan kapal yang disebabkan karena dilanggarnya salah satu syarat diatas (human error), maupun dikarenakan oleh faktor alam. Terlebih apabila kita melihat kondisi geografis dan territorial dari perairan yang ada di Indonesia. Gelombang yang tinggi dan pusaran-pusaran air di tengah laut, bukanlah suatu hal yang langka di perairan Indonesia, bahkan di beberapa wilayah, hal itu terjadi secara terus menerus dengan berdasar pada a j ngka waktu tertentu. Oleh karena itu, selain keadaan geografis yang menguntungkan tersebut, tidak dapat menutupi keadaan alam yang sesungguhnya dari alam Indonesia yang menyimpan banyak misteri dan fenomena alam. Untuk itulah dibutuhkan awak kapal yang cakap dalam mengarungi pelayaran di wilayah Indonesia. 5 Djoko Triyanto, loc cit 7 Perpaduan antara faktor kesalahan manusia (human error) dan faktor alam yang juga termasuk salah satu penyebab terbesar dari terjadinya kecelakaan kapal, terutama di wilayah perairan Indonesia. Salah satu contohnya adalah kecelakaan yang menimpa KM Senopati Nusantara. Dalam kasus ini, walaupun kecelakaan terjadi dalam kondisi cuaca yang buruk, yaitu terjadi ditengah kondisi badai dan ombak yang tinggi, namun dibalik itu terdapat adanya dugaan bahwa kecelakaan tersebut disebabkan karena adanya kesalahan dalam pengelolaan moda kapal dan adanya kesalahan dari nakhoda kapal yang keliru membaca situasi. Selain itu, KM Senopati Nusantara juga di duga memiliki peralatan/sarana bantu keselamatan yang sangat tidak memadai untuk diterapkan dalam kapal yang bermuatan lebih dari 500 orang. Bahkan dalam persidangan yang digelar oleh Mahkamah Pelayaran, ada beberapa kecelakaan ini, pihak yang terutama telah dinyatakan nakhoda KM bersalah Senopati atas musibah Nusantara, Wiratno Tjendanawasih. Akan tetapi hal ini tidak cukup kuat untuk mendorong pihak kepolisian melakukan penyelidikan lanjutan atas insiden ini, bahkan seakan menganggap bahwa permasalahan ini telah selesai dengan dibayarkannya ganti rugi kepada korban ataupun kepada keluarga korban. Selain kasus diatas, masih banyak kasus lain yang serupa dengan kasus yang menimpa KM Senopati Nusantara, namun tetap saja langkah penyelesaian yang diambil tidak dapat memuaskan pihak korban. Karena 8 pada umumnya kecelakaan kapal laut banyak yang dianggap sebagai musibah yang disebabkan oleh faktor alam, tanpa memperhitungkan faktor kesalahan yang dibuat oleh manusia. Sehingga tidak ada perlindungan yang baik bagi korban dan keluarga korban kecelakaan kapal, sedangkan kecelakaan kapal laut masih sering terjadi. B. Identifikasi Masalah Dari uraian diatas dapat dirumuskaan beberapa permasalahan yang perlu dikaji yaitu 1. Bagaimana kedudukan putusan Mahkamah Pelayaran dalam sistem peradilan pidana Indonesia dalam konteks Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana? 2. Bagaimana tanggung jawab nakhoda dan perusahaan pelayaran nasional terhadap kecelakaan kapal laut?. 9 BAB II TINJAUAN TENTANG MAHKAMAH PELAYARAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN KAPAL PELAYARAN Pertumbuhan sistem transportasi di Indonesia berlangsung pesat dan menjanjikan, walaupun sarana dan prasana pendukung dari sistem transportasi itu cenderung mengalami suatu perubahan yang sangat lambat. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan yang tinggi akan pentingnya transportasi di Indonesia, terutama sebagai sarana pendukung pembangunan. Indonesia merupakan negara kepulauan, yang bila dilihat wujudnya kedalam terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau sedangkan keluarnya merupakan suatu archipelago yang terletak antara Benua Asia disebelah Utara dan Benua Australia di sebelah Selatan serta Samudera Indonesia disebelah Barat dan Samudera Pasifik di sebelah Timur. Sebuah kondisi geografis yang sangat strategis dan sangat menguntungkan bila dilihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah perdagangan. Kondisi alam Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau menjadikan Indonesia sejak zaman dahulu e t rkenal sebagai Negara Maritim yang memiliki armada laut, baik sebagai armada perang maupun armada niaga atau perdagangan yang cukup kuat. Hal ini dapat kita temukan pada sejarah kerajaan-kerajaan nusantara yang pernah ada dan pada umumnya terletak di tepi pantai, seperti kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit pada awal 10 berdirinya. Kejayaan kerajaan-kerajaan itu, dimungkinkan karena adanya armada laut yang kuat. Armada laut yang kuat, menjamin adanya suatu armada dagang yang besar. Letak geografis Indonesia dapat dikatakan mempunyai kedudukan geografis di tengah-tengah jalur lalu lintas silang dunia. Dimana dengan kedudukan strategis tersebut, dipandang dari segi kesejahteraan dibidang politik, ekonomi dan sosial budaya terutama dalam sistem kelautannya sangat menguntungkan kepentingan bangsa. Namun pemerintah Indonesia belum memanfaatkan dengan baik apa yang semestinya dapat menjadi keuntungan besar bagi Indonesia. Keamanan di wilayah perairan Indonesia tidak mendapat jaminan dari aparat yang berwenang, sehingga kejahatan di laut sangat tinggi. Bahkan perairan Indonesia juga dikenal sebagai sarang bajak laut, menyerupai wilayah perairan Karibia pada abad XVIII dan XIX. Hal ini tentu saja membuat banyak kapal dagang asing yang berpikir ulang, bahkan cenderung enggan untuk singgah di wilayah Indonesia.6 Dalam black’s law dictionary, disebutkan bahwa: “Hukum maritim adalah sistem hukum anglo-saxon meliputi substansi yang sangat luas, yaitu perangkat hukum yang terdiri dari kaidahkaidah hukum yang dikeluarkan oleh pengusaha, keputusankeputusan pengadilan dan juga kebiasaan dalam praktik mengenai pelayaran/pengangkutan barang dan orang, kepelautan, kepelabuhan dan segala hal yang berhubungan dengan pelayaran” 6 Baharudin Lopa, Op. cit, hlm 9 11 Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sudah saatnya kita meletakan pembangunan nasional berbasis maritim sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta atas anugerah Tanah Air berbentuk kepulauan dengan 2/3 wilayahnya adalah laut dan berada di posisi silang. Pembangunan yang terjadi di Indonesia sebagaimana negara-negara besar lainnya di dunia, dimulai dar i daerah pesisir pantai. Roda perekonomian bergerak dari laut, karena laut merupakan sarana transportasi yang murah dan dapat menjangkau wilayah-wilayah terpencil dengan mudah. Untuk itulah perlunya sebuah pelabuhan sebagai sarana pendukung pembangunan, agar semua wilayah tersebut dapat turut merasakan dampak pembangunan. Pada mulanya, hanya ada beberapa pelabuhan yang ada di Indonesia. Pelabuhan ini semuanya merupakan pelabuhan dagang yang cukup ramai. Pelabuhan-pelabuhan itu antara lain Pelabuhan Malaka, Pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Makassar dan beberapa lainnya. Sedangkan sebagai penghubung antar pulau, pelabuhan-pelabuhan besar yang khusus dipergunakan untuk itu belum dibuat. Sehingga hanya mempergunakan pelabuhan yang seadanya dan hanya kapal yang berukuran kecil saja yang dapat menjangkaunya. Istilah yang dipergunakan pada mulanya adalah bandar untuk pelayaran yang dilakukan di Indonesia, namun dalam perkembangan yang 12 dibakukan menjadi pelabuhan sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “port”. Bandar adalah pelabuhan-pelabuhan atau sungai-sungai yang digunakan sebagai tempat singgah atau tempat berlabuh, tempat kepil pada jembatan punggah dan di jembatan muat, dermaga dan cerocok dan tempat-tempat kepil lain bagi kapal-kapal, beserta daerah laut yang dimaksudkan untuk tempat-tempat singgah dari kapal-kapal yang berhubungan dengan saratnya atau soal-soal lain, tidak dapat masuk dalam batas-batas tempat singgah yang biasa.7 Jika dilihat dari Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, disebutkan bahwa : “Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas dan/atau pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat pemindahan intra dan antar moda transportasi.” Selain pelabuhan, salah satu faktor penting dalam pelayaran adalah kapal. Karena semua pelayaran pengangkutan, baik pengangkutan barang ataupun penumpang pasti membutuhkan kapal sebagai pendukungnya. Selain dikarenakan daya muat yang lebih besar dibandingkan dengan perahu tradisional, kapal juga memiliki perlengkapan dan peralatan yang jauh lebih 7 Andi Hamzah, Laut Teritorial dan Perairan Indonesia (Himpunan Ordonansi, Undang-undang dan Peraturan Lainnya), Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, hlm. 48. 13 baik daripada perahu tradisional. Sehingga keamanan dan kenyamanan pelayaran lebih terjamin. Menurut Pasal 309 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, disebutkan bahwa : “Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun juga. Kecuali apabila ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal ini dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Sedangkan yang dimaksud dengan alat perlengkapan kapal adalah segala benda yang bukan suatu bagian daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu.” Dalam hubungan kerja di bidang transportasi laut, kita mengenal adanya 3 (tiga) kelompok orang, yaitu : pengusaha kapal atau perusahaan pelayaran, nakhoda dan anak buah kapal, baik sebagai perwira kapal ataupun klasi. Tiap-tiap orang yang terlibat bekerja dalam kapal harus bekerja sama dengan baik agar tujuan dari pelayaran itu terpenuhi. Ketiga pihak yang terlibat tersebut, umumnya terikat oleh suatu perjanjian tertentu, dan harus memiliki izin tertentu untuk dapat bekerja sama dalam sebuah usaha pelayaran. Ini tentu saja dimaksudkan agar tiap-tiap pihak dapat bekerja dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan apa yang telah tertuang dalam surat izin ataupun perjanjian tersebut. Sehingga apabila terjadi suatu masalah dalam pelayaran yang disebabkan oleh human error, maka akan dengan langsung dapat diketahui dan diantisipasi, sehingga tidak menyebabkan terjadinya masalah yang lebih besar. 14 Bagaimanapun kecakapan seluruh awak kapal dalam menempuh suatu pelayaran, resiko akan terjadinya kecelakaan kapal ditengah laut tetap ada. Sehingga dibutuhkan pengawasan yang baik dan ketat atas sistem transportasi, terutama transportasi air. Pertanggung jawaban atas tenggelamnya kapal atau terjadinya kecelakaan kapal lainnya memerlukan penanganan melalui peraturan perundang-undangan atau lembaga-lembaga yang agak lebih istimewa jika dibandingkan dengan kecelakaan transportasi darat. Lembaga yang berkompeten menangani kecelakaan kapal atau pelayaran Indonesia adalah Mahkamah Pelayaran. Menurut Muchsan, bahwa suatu badan atau lembaga untuk dapat disebut sebagai peradilan harus memenuhi syarat-syarat :8 1. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan. 2. Adanya suatu perselisihan hukum yang kongkrit. 3. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak. 4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan. Berdasarkan uraian diatas, maka Mahkamah Pelayaran memang memenuhi syarat sebagai suatu lembaga peradilan. Mahkamah Pelayaran merupakan suatu badan peradilan semu administratif (Quasi rechtspraak) 8 Muchasan, Hukum Perkapalan Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, hlm. 23 15 dalam lingkungan Departemen Perhubungan dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri Perhubungan. Pemeriksaan Mahkamah Pelayaran dapat digunakan oleh seseorang atau badan Hukum Perdata yang tidak puas terhadap keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (beschiking), dalam hal ini keadaan atau kondisi dalam bidang pelayaran. Ketika telah terjadinya suatu kecelakaan, maka telah menjadi tugas dari mahkamah pelayaran untuk menyelidiki dan memutuskan apa yang telah terjadi, dan menentukan apa penyebab dari kecelakaan itu. Selain itu, apabila dimungkinkan, Mahkamah Pelayaran juga dapat memaksa perusahaan kapal untuk membayarkan ganti rugi terhadap korban. Bila hal ini dikaitkan dengan Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, putusan oleh Mahkamah Pelayaran merupakan suatu alat bukti yang sah. Karena dapat dimasukkan dalam kategori alat bukti, yaitu alat bukti surat (Pasal 184 KUHAP), sehingga dapat dipergunakan di muka pengadilan. Di dalam kecelakaan kapal, jika didalam penyelidikan ditemukan adanya dugaan prosedural/administratif kelalaian menyangkut atau esalahan k perizinan kapal yang dan bersifat administratif lainnya, maka pihak yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah pengusaha kapal atau perusahaan pelayaran (vicarious liability), dimana suatu pihak dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang bukan secara langsung dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan jika ditemukan dugaan 16 adanya kelalaian pada saat beroperasinya kapal tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan, maka pihak yang dapat dipertanggung jawabkan atas kecelakaan tersebut adalah Nakhoda kapal dan/atau awak kapal (strict liability) karena terdawa langsung dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang diperbuat. 17 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Mahkamah Pelayaran adalah suatu badan peradilan semu administratif (Quasi Rechtspraak), karena berada dibawah pejabat administratif (Menteri Perhubungan), dengan tugas untuk mengadili kasus-kasus atau pelanggaran terhadap keselamatan pelayaran yang diajukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Mahkamah Pelayaran hanya berhak mengeluarkan sanksi yang sifatnya administratif dan berupa ketetapan (beschiking) oleh karena itu kewenangan Mahkamah Pelayaran hanya berlaku bagi pihak-pihak tertentu saja (nakhoda, awak kapal, pengusaha kapal dan pihak-pihak yang terkait dalam pelayaran laut). Namun demikian, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pelayaran sebagai suatu lembaga peradilan semu administratif dapat dipergunakan sebagai bukti awal penyidik apabila ditemukan adanya indikasi suatu tindak pidana. Jika kasus kecelakaan kapal tersebut dibawa ke pengadilan, maka putusan Mahkamah Pelayaran dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti yaitu alat bukti surat. 18 2. Di dalam kecelakaan kapal, jika didalam penyelidikan ditemukan adanya dugaan kelalaian atau esalahan k yang bersifat prosedural/administratif menyangkut perizinan kapal dan administratif lainnya, maka pihak yang dapat dimintai pertanggung jawaban adalah pengusaha kapal atau perusahaan pelayaran (vicarious liability), dimana suatu pihak dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang bukan secara langsung dilakukan oleh terdakwa. Sedangkan jika ditemukan dugaan adanya kelalaian pada saat beroperasinya kapal tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan, maka pihak yang dapat dipertanggung jawabkan atas kecelakaan tersebut adalah Nakhoda kapal dan/atau awak kapal (strict liability) karena terdawa langsung dimintai pertanggung jawaban atas kesalahan yang diperbuat. B. Saran 1. Harus dibuat suatu aturan/undang-undang yang tegas yang memuat segala aturan dan ketentuan yang mengatur masalah pelayaran, terutama dalam hal-hal yang menyangkut masalah keselamatan pelayaran. Dengan kata lain, kedudukan Mahkamah Pelayaran sebagai salah satu lembaga peradilan semu administratif harus lebih diperkuat lagi. 19 2. Pengawasan dan pemeriksaan dari lembaga pengayom, dalam hal ini Dirjen Perhubungan Laut sangat kurang, sehingga sangat rentan terjadi penyimpangan. Untuk itu Dirjen Perhubungan Laut dituntut untuk lebih aktif dalam melaksanakan tugasnya. Tidak hanya memeriksa penumpang dan angkutan barang, melainkan juga turut memeriksa kelayakan kapal dan kelayakan nakhoda serta awak kapal. Salah satu bentuknya adalah dengan cara rutin mengadakan pemeriksaan dan uji kelayakan terutama menyangkut kapal dan penyelenggara pelayaran. 20 DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Laut Teritorial dan Perairan Indonesia (Himpunan Ordonansi, Undang-undang dan Peraturan Lainnya), Akademika Pressindo, Jakarta, 1984. Baharudin Lopa, Hukum Laut, Pelayaran dan Perniagaan, Alumni, Bandung. Djoko Triyanto, Bekerja Di Kapal, Mandar Maju, Bandung. Frederik I. Hermawan, Perkembangan Kegiatan Maritim Sebuah Pengantar Studi Ilmu Maritim, Alumni, Bandung. Muchasan, Hukum Perkapalan Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Soekardono, Hukum Perkapalan Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta. Peraturan perundang-undangan Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana (KUHAP). Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.