5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelainan Refraksi Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat di retina, melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia, dan astigmatisma (Ilyas, 2013). Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning. Sistem optik diperlukan untuk memasukkan sinar atau bayangan benda ke dalam mata. Diketahui bola mata mempunyai panjang kira - kira 2 cm, untuk memfokuskan sinar ke dalam bintik kuning (bagian selaput jala yang menerima rangsangan) diperlukan kekuatan 50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik api pada titik 2.0 cm (Ilyas, 2006). Penurunan visus biasanya disebabkan oleh kelainan refraksi. Biasanya penderita telah mendapat kacamata dari seorang optometris. Penglihatan penderita yang buruk dapat disebabkan oleh kelainan refraksi, hal ini dapat diketahui dengan menggunakan pinhole. Pada mata tanpa kelainan refraksi (emetropia), sinar dari kejauhan difokuskan pada retina oleh kornea dan lensa pada saat mata dalam keadaan istirahat (relax). Peran kornea adalah dua per tiga dan lensa berperan sepertiga dari daya refraksi mata. Kelainan kornea, misalnya keratokonus, bisa menyebabkan kelainan refraksi yang berat (A R Elkington, 1996). Pada mata yang tidak memerlukan kaca mata terdapat 2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan 50.0 dioptri. Kornea atau selaput bening mempunyai kekuatan 80% atau 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 20% atau 10 dioptri. Bila kekuatan pembiasan ini berubah, maka sinar akan Universitas Sumatera Utara 6 difokuskan lebih di depan selaput jala (seperti rabun jauh, miopia), dan dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata negatif atau sinar difokuskan di belakang selaput jala seperti pada rabun dekat (hipermetropia), yang dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa positif. Bila pembiasan sinar tidak pada satu titik atau pada astigmat dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder (Ilyas, 2006). Refraksi adalah titik fokus jauh dasar (tanpa bantuan alat) yang bervariasi di antara mata individu normal, tergantung bentuk bola mata dan korneanya. Mata emetrop secara alami memiliki fokus yang optimal untuk penglihatan jauh. Mata ametrop (yakni, mata miopia, hipermetropia, atau astigmatisma) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk melihat jauh. Gangguan optik ini disebut kelainan refraksi. Refraksi adalah prosedur untuk menentukan dan mengukur setiap kelainan optik (Vanghan & Asbury, 2012). Pada keadaan tidak terfokusnya sinar pada selaput jala, hal yang dapat dilakukan adalah memperlemah pembiasan sinar seperti miopia (rabun jauh) dengan mengunakan lensa negatif untuk memindahkan fokus sinar ke belakang atau selaput jala. Bila sinar dibiaskan di belakang selaput jala seperti pada hipermetropia (rabun dekat) maka diperlukan lensa positif untuk menggeser sinar ke depan sehingga penglihatan semakin jelas. Lensa positif ataupun lensa negatif dapat digunakan dalam bentuk kaca mata ataupun lensa kontak. Penggeseran bayangan sinar dapat pula dilakukan dengan tindakan bedah yang dinamakan bedah refraktif (Ilyas, 2006). Daya refraksi mata ditentukan oleh daya refraksi media yang bening dan panjang sumbu mata. Media yang bening adalah kornea, bilik mata depan, lensa, dan badan kaca. Panjang sumbu mata normal kira-kira 24 mm. Jika panjang sumbu mata bertambah l mm (menjadi 25 mm), maka terjadi miopia -3 dioptri. Daya refraksi mata emetropia adalah 65 dioptri, 42 dioptri oleh kornea dan 23 dioptri oleh lensa, sehingga cairan mata dan badan kaca tidak memiliki daya refraksi (Fritz Hollwich, 1993). Universitas Sumatera Utara 7 Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina. Secara umum, terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat mengakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga pada mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisma (Perdami, 2010). Emetropia Astigmat Universitas Sumatera Utara 8 Hipermetropia Miopia Gambar 1 Pembiasan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi (Gerhard K. Lang, 2000) dan (A K Khurana, 2007). Interpretasi yang tepat mengenai informasi visual bergantung pada kemampuan mata memfokuskan berkas cahaya yang datang ke retina. Mata emetrop (normal) secara alami berfokus optimal bagi penglihatan jauh. Sedangkan mata ametrop (yakni, mata hipemetropia, miopia, atau astigmatisma) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik dan ganggguan optik ini disebut kelainan refraksi. Kelainan refraksi bersifat herediter. Cara pewarisannya kompleks, karena melibatkan banyak variabel. Walaupun diwariskan, kelainan refraksi tidak harus ada sejak lahir (Vaughan DG, 2000). Refraksi dapat ditentukan secara subyektif, yaitu dengan menempatkan lensa di depan masing-masing mata, ataupun secara obyektif yang dapat ditentukan dengan menggunakan retinoskopi atau refrakstometer. Untuk menentukan refraksi pada anak-anak dianjurkan untuk melumpuhkan akomodasi Universitas Sumatera Utara 9 (sikloplegia) dengan menggunakan obat tetes mata (atropin, siklogil) (Fritz Hollwich, 1993). Sinar dari obyek dekat ialah divergen dan difokuskan ke retina oleh proses akomodasi. Otot-otot siliar berkontraksi, memungkinkan bentuk lensa lebih cembung yang memiliki kemampuan konvergensi lebih besar. Semakin tua lensa makan akan semakin bertambah kaku dan walaupun otot-otot siliar berkontraksi, lensa tidak bertambah cembung. Hal ini mulai terjadi pada usia 40 tahun ke atas, dimana pekerjaan jarak dekat berangur-angsur sukar dikerjakan (presbiopia). Obyek mesti diposisikan lebih jauh untuk mengurangi kebutuhan daya akomodasi. Dalam keadaan seperti ini, detil-detil halus tidak lagi dapat terlihat (A R Elkington, 1996). Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya, saat mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, yaitu Pungtum Proksimum, yang merupakan titik terdekat yang masih dapat dilihat dengan jelas oleh seseorang. Titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola saat mata istirahat. Pada emetropia pungtum remotum terletak di depan mata, sedangkan pada mata hipermetropia titik semu berada di belakang mata (Ilyas, 2013). 2.1.1. Miopia Miopia atau rabun jauh adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (Perdami, 2014). Bila bayangan benda yang terletak Universitas Sumatera Utara 10 jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang tidak berakomodasi, mata tersebut mengalami miopia, atau rabun jauh (Vanghan & Asbury, 2012). Pada mata miopia, sinar sejajar yang masuk ke dalam mata difokuskan di dalam badan kaca. Jika penderita miopia tanpa koreksi melihat ke obyek yang jauh, maka sinar divergen yang akan mencapai retina sehingga bayangan menjadi kabur. Hal ini disebabkan daya refraksi terlalu kuat atau sumbu mata terlalu panjang (Fritz Hollwich, 1993). Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea. Titik fokus sinar yang datang dari benda yang jauh terletak di depan retina. Titik jauh (pungtum remotum) terletak lebih dekat atau sinar datang tidak sejajar (Ilyas, 2006). Miopia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu myopia axial, miopia kurvatura, miopia indeks refraksi dan perubahan posisi lensa (Perdami, 2014). Type of Classification Clinical Entity Classes of Myopia - Simple Myopia - Nocturnal Myopia - Pseudomyopia - Degenerative myopia - Induced myopia Universitas Sumatera Utara 11 Degree - Low myopia (<3.00 D) - Medium myopia (3.00 D-6.00 D) High myopia (>6.00 D) Tabe l 2.1. Clas sifica Age of Onset - Congenital myopia (present at birth and persisting through infancy) tion Syste - Youth-onset myopia (<20 years of age) ms - Early adult-onset myopia (20-40 years of for Myo age) - Late adult-onset myopia (>40 years of pia (Ame age) rican Optometric Association, 2006) Pada mata dengan simple myopia, status refraksinya disebabkan oleh dimensi bola mata yang terlalu panjang, atau indeks bias kornea maupun lensa kristalin yang terlalu tinggi (American Optometric Association, 2006). Mata dengan Nokturnal myopia adalah miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekitar kurang cahaya atau gelap. Hal ini dikarenakan fokus titik jauh mata seseorang bervariasi terhadap level pencahayaan yang ada. Miopia ini disebabkan oleh pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia (American Optometric Association, 2006). Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar. Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia oleh karena respon akomodasi yang tidak sesuai (American Optometric Association, 2006). Universitas Sumatera Utara 12 Degenerative myopia disebut juga malignant, pathological, atau progressive myopia. Perubahan malignant dapat terjadi karena gangguan fungsi penglihatan, seperti perubahan lapangan pandang. Glaukoma dan Retinal detachment adalah sekuele yang sering terjadi (American Optometric Association, 2006). Induced myopia disebut juga acquired myopia, merupakan miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat–obatan, kadar gula darah yang bervariasi maupun terjadinya sklerosis pada nukleus lensa. Acquired myopia bersifat sementara dan reversibel (American Optometric Association, 2006). Gejala miopia terpenting yang timbul ialah buram saat melihat jauh, sakit kepala dan cenderung menjadi juling saat melihat jauh. Pasien akan lebih jelas melihat dalam posisi yang lebih dekat. Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi sferis negative terkecil yang memberikan ketajaman pengelihatan maksimal (Perdami, 2014). 2.1.2. Hipermetropia Hiperopia (hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya panjang sumbu (hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital tertentu, atau menurunnya indeks refraksi (hiperopia refraktif), seperti pada afakia. Hiperopia adalah suatu konsep yang lebih sulit dijelaskan daripada miopia. Istilah "farsighted" berperan dalam menimbulkan kesulitan tersebut, selain juga seringnya terdapat kesalahpahaman di kalangan awam bahwa presbiopia adalah farsightedness dan bahwa seseorang yang melihat jauh dengan baik artinya farsighted (Vanghan & Asbury, 2012). Berdasarkan akomodasi hipermetropia dibedakan secara klinis menjadi hipermetropia manifest, hipermetropia manifest absolute, hipermetropia manifest fakultatif, hipermetropia laten dan hipermetropia total (Perdami, 2014). Hipermetropia dapat dikenali dengan beberapa gejala sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 13 a) Biasanya pasien pada usia tua mengeluh pengelihatan jauh kabur. b) Pengelihatan dekat lebih cepat buram. Akan lebih terasa pada keadaan kelelahan atau penerangan yang kurang. c) Sakit kepala pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat dekat dalam jangka panjang. Jarang terjadi di pagi hari, cenderung terjadi setelah siang hari dan membaik spontan bila kegiatan melihat dekat dihentikan. d) Eyestrain / ketegangan pada mata. e) Sensitif terhadap cahaya. f) Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp. Ciliaris diikuti pengelihatan buram intermiten. Hipermetropia dapat disebabkan oleh (Ilyas, 2013): a) Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek. b) Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina. c) Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata. Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori (American Optometric Association, 2008): a) Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi. b) Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena gagal kembang, penyakit mata, atau trauma. c) Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi. Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan refraksinya, yaitu: (American Optometric Association, 2008) Universitas Sumatera Utara 14 a) Hipermetropia ringan (≤ +2,00 D) b) Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D) c) Hipermetropia berat (≥+5,00 D) Hipertropia dikenal dalam bentuk (Ilyas, 2013): - Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kaca mata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa sikloplegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal. - Hipermetropia absolut, adalah kelainan refraksi yang tidak diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermetropia fakultatif dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia manifes. - Hipermetropia fakultatif, adalah kelainan hipermetropia yang dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kaca mata dan bila diberikan kaca mata positif akan memberikan penglihatan normal, sehingga otot akomodasinya akan beristirahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif. - Hipermetropia laten, adalah kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi Universitas Sumatera Utara 15 sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hiper metropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya masih kuat. - Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan sikloplegia. 2.1.3. Astigmatisme Astigmatisma adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian. Pada astigmatisma regular terdapat dua meridian utama yang terletak saling tegak lurus. Gelaja astigmatisma biasanya dikenali dengan penglihatan yang kabur, head tilting, mempersempit palpebra dan mendekati objek untuk melihat lebih jelas. Penatalaksanaan astigmatisma dilakukan dengan lensa silinder bersama sferis (Perdami, 2014). Astigmatisma merupakan suatu kondisi dimana kornea memiliki lengkungan yang abnormal, sehingga menyebabkan gangguan penglihatan. Kornea yang normal berbentuk bulat, tetapi pada astigmatisma kornea berbentuk oval, sehingga menyebabkan ketidakfokusan pada cahaya yang masuk ke mata. Astigmatisma merupakan kondisi yang umum diderita dan sering terjadi bersamaan dengan miopia (rabun jauh) atau hiperopia (rabun dekat). Penyebab astigmatisma seringkali tidak diketahui. Astigmatisma biasanya ada sejak lahir. Tahap astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak memerlukan koreksi apapun. Meskipun jarang, astigmatisma mungkin juga disebabkan oleh seringnya menggosok mata dengan keras (seperti pada anak yang mengidap alergi konjungtivitis) atau penyakit kornea mata seperti keratokonus. Astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa korektif seperti kacamata atau lensa kontak. Alat bantu penglihatan ini dapat membantu memfokuskan cahaya yang masuk ke retina mata. Cara lain untuk mengkoreksi astigmatisma adalah operasi refraktif seperti LASIK, dan implan lensa kontak (Singapore National Eye Centre, 2014) Universitas Sumatera Utara 16 Astigmatisme adalah kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda (Bruce James, 2006). Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang disebut sebagai astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas, 2013). Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi againts the rule (astigmat tidak lazim). - Astigmat tidak lazim (astigmatisme againts the rule): Suatu keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut. - Astigmat regular: Astigmat yang memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang teratur dapat berbentuk garis, lonjong atau lingkaran. - Astigmat iregular: Astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling tegak lurus. Astigmat iregular dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda. Universitas Sumatera Utara 17 2.2. Faktor Risiko Kelainan Refraksi 2.2.1. Membaca Buku Survei epidemiologis menunjukkan bahwa miopia sering terjadi pada orang yang menghabiskan lebih banyak waktu membaca atau melakukan pekerjaan dengan jarak dekat daripada mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu tanpa menggunakan mata dalam jarak pandang dekat. Miopia berdampak terhadap tugas sekolah dan hasil penilaian. Proses ini terus berlanjut hingga dekade ketiga kehidupan, dimana mahasiswa pascasarjana, microscopists, dan militer mendapat miopia akibat pekerjaan dengan jarak pandangan dekat yang terlalu sering (Douglas R. Fredrick, 2001) Faktor lingkungan berperan besar terhadap prevalensi kelainan refraksi pada anak. Survei membuktikan bahwa anak-anak yang bersekolah di perkotaan lebih banyak menderita mata rabun (32,68%) dibandingkan dengan anak yang bersekolah di pedesaan (9,78%). Sejumlah penelitian dilakukan untuk membuktikan hal tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang bersekolah di perkotaan menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca dan menulis daripada yang bersekolah di pedesaan. Pada anak kelas 1-3 SD, perbedaan waktu belajarnya bisa mencapai 107 menit per hari, dan di kelas 4-6 SD serta kelas 7-9 SMP, perbedaan waktu belajarnya bisa sampai 160 dan 224 menit per hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara intensitas belajar siswa dengan miopia. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas pekerjaan yang menggunakan jarak pandang dekat berpengaruh besar terhadap kejadian myopia. Hasil yang sama diperoleh dari penelitian di Singapura, Israel, daerah pedesaan di Cina Utara, HongKong dan Orinda. Perbandingan prevalensi miopia pada anak sekolah di perkotaan dan di pedesaan menunjukkan bagaimana faktor lingkungan dapat mengubah distribusi refraksi (Lian Hong Pi, 2010). Universitas Sumatera Utara 18 2.2.2. Pemakaian alat elektronik Permainan anak yang dulu hanya dapat dilakukan secara tradisional dan sederhana, seperti menyusun puzzle di atas papan sederhana, kini dapat dilakukan dengan menggunakan komputer dengan pilihan permainan yang lebih variatif. Pilihan pemainan yang lebih banyak inilah yang menyebabkan sebagian besar anak-anak beralih dari permainan tradisional ke permainan dengan menggunakan komputer, atau yang lebih dikenal dengan sebutan video game. Kirriemuir and McFarlane (2006) mendefinisikan video game/digital game sebagai suatu media yang menyediakan informasi digital dalam bentuk visual kepada penggunanya; menerima masukan data dari penggunanya; memproses data yang masuk sesuai peraturan yang telah diprogram; dan mengubah informasi digital yang disesuaikan untuk penggunanya. Berkaitan dengan hal di atas, Rini (2014) menyebutkan beberapa pengaruh buruk game bagi anak, antara lain pengaruh terhadap kesehatan sendiri, kepribadian, pendidikan/prestasi, serta terhadap keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang memiliki kebiasaan main game berisiko mengalami stres, kerusakan mata, maag, dan epilepsi. Pada perkembangan kepribadiannya, anak bisa menjadi agresif hingga melakukan tindakan kekerasan kepada keluarga atau masyarakat. Sedangkan dalam pendidikan, anak yang suka main game berlama-lama memiliki masalah untuk berkonsentrasi saat menerima pelajaran. Walaupun kebiasaan main video game dapat memberi pengaruh positif, namun tanpa pengawasan dapat memberi pengaruh negatif yang lebih banyak. Broto (2006) mengemukakan bahwa anak-anak pada usia sekitar tujuh tahun mulai tertarik pada video game dan sepertiga anak usia awal belasan tahun bermain video game setiap hari, serta 7% dari mereka bermain video game paling sedikit 30 jam per minggu. Artinya, mereka dapat duduk bermain game di depan alat elektronik dengan mata terbuka lebih dari empat jam setiap hari. Akibat main game dalam waktu yang lama dapat menyebabkan anak tersebut lebih berisiko tinggi untuk mengalami kelainan refraksi pada mata, terutama rabun jauh (miopia) akibat aktivitas dalam jarak pandang dekat tersebut. Universitas Sumatera Utara 19 2.2.3. Menonton Televisi Dari hasil penelitian Anatasia Vanny, menunjukkan prevalensi kelainan refraksi terbesar didapatkan pada kelompok usia 5-6 tahun. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti aktivitas dan kebiasaan anak, misalnya kebiasaan menonton televisi yang terlalu dekat. 2.2.4. Penggunaan komputer Menghabiskan waktu yang lama menggunakan komputer atau menonton televisi dapat menyebabkan mata menjadi lelah dan penglihatan kabur. Menggunakan komputer tidak menyebabkan kerusakan permanen pada mata. Namun, bekerja pada komputer adalah pekerjaan yang dapat mengakibtkan kelelahan pada mata. Seorang yang memiliki masalah terhadap penglihatan tanpa dikoreksi dapat menyebabkan ketidaknyamanan dalam penggunaan komputer dan dapat menyebabkan penglihatan kabur serta ketegangan mata. Setiap kali menggunakan komputer atau menonton televisi, mata cenderung kurang berkedip. Hal ini dapat menyebabkan mata menjadi kering dan menyebabkan efek yang lebih buruk jika berada di lingkungan yang ber-AC (Better Health Channel, 2014). Peningkatan penggunaan komputer di tempat kerja telah menyebabkan peningkatan masalah kesehatan. Banyak keluhan dari orang yang bekerja dengan menggunakan komputer seperti ketidaknyamanan okular, ketegangan otot, dan stres. Tingkat ketidaknyamanan tampaknya meningkat dengan jumlah penggunaan komputer. Ketidaknyamanan visual dan gejala terkait yang terjadi pada pekerja komputer harus diakui sebagai masalah kesehatan yang berkembang. Masalah penglihatan yang berkaitan dengan pekerjaan yang dialami selama penggunaan komputer dalam jarak dekat disebut “Computer Vision Syndrome”. Masalah penglihatan yang dialami oleh operator komputer umumnya hanya bersifat sementara dan akan menurun setelah berhenti bekerja menggunakan komputer. Namun, beberapa pekerja mungkin mengalami gangguan kemampuan visual, penglihatan yang kabur, bahkan setelah bekerja. Jika tidak ada upaya untuk mengoreksi penyebab masalah ini, kejadian ini akan terus kambuh dan mungkin Universitas Sumatera Utara 20 memburuk. Pekerjaan secara visual dan fisik yang melelahkan dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas, peningkatan kesalahan, dan kepuasan kerja berkurang, oleh karena itu, langkah-langkah harus diambil untuk mengurangi potensi pengembangan stres dan ketidaknyamanan fisik dan okular yang terkait di tempat kerja (American Optometric Association, 1997). 2.3. Pemeriksaan Tajam Penglihatan 2.3.1 Pemeriksaan Visus Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan perifer. Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya, “kartu Snellen” yang sudah dikenal, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka yang sesuai dengan suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak yang memungkinkan semua huruf dalam baris itu terbaca oleh mata normal. Misalnya, huruf-huruf pada baris “40” cukup besar untuk dapat dibaca mata normal dari jarak 40 kaki. Sesuai konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh yaitu 20 kaki (6 meter), atau dekat yaitu 14 inci. Untuk keperluan diagnostik, ketajaman penglihatan yang diukur pada jarak jauh merupakan standar pembanding dan selalu diuji terpisah pada masing-masing mata. Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka (misalnya “20/40”). Angka pertama adalah jarak uji (dalam kaki) antara “kartu” dan pasien, dan angka kedua adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien. Penglihatan 20/20 adalah normal; penglihatan 20/60 berarti huruf yang cukup besar untuk dibaca dari jarak 60 kaki oleh mata-normal baru bisa dibaca oleh mata pasien dari jarak 20 kaki. Kartu yang berisi angka-angka dapat digunakan pada pasien yang tidak terbiasa dengan abjad Inggris. Kartu “E- buta huruf” dipakai untuk menguji anakanak kecil atau pasien dengan hambatan bahasa. Gambar “E” secara acak dirotasi dengan empat orientasi yang berbeda. Untuk setiap sasaran, pasien diminta Universitas Sumatera Utara 21 menunjuk arah yang sesuai dengan arah ketiga “batang” gambar E. Kebanyakan anak dapat diuji dengan cara ini sejak usia 3,5 tahun. Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi diukur tanpa kacamata atau lensa kontak. Ketajaman terkoreksi berarti menggunakan alat-alat bantu tadi. Mengingat buruknya ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi dapat disebabkan oleh kelainan refraksi semata, untuk menilai kesehatan mata secara lebih relevan, digunakan ketajaman penglihatan yang terkoreksi (Vanghan & Asbury, 2012). 2.3.2 Pemeriksaan Tajam Penglihat Dengan Hitung Jari Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300 (Ilyas, 2009). 2.3.3 Uji “Pinhole” Jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya tidak tersedia, ketajaman penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan dengan uji penglihatan melalui pinhole. Penglihatan kabur akibat refraksi (misalnya: miopia, hiperopia, astigmatisme) disebabkan oleh banyaknya berkas sinar tak terfokus yang masuk ke pupil dan mencapai retina. Ini mengakibatkan terbentuknya bayangan yang tidak terfokus tajam. Universitas Sumatera Utara 22 Melihat kartu Snellen melalui sebuah plakat dengan banyak lubang kecil mencegah sebagian besar berkas tak terfokus yang memasuki mata. Hanya sejumlah kecil berkas sejajar-sentral yang bisa mencapai retina sehingga dihasilkan bayangan yang lebih tajam. Dengan demikian, pasien dapat membaca huruf pada satu atau dua baris dari barisan huruf yang bisa terbaca saat memakai kacamata koreksi yang sesuai (Vanghan & Asbury, 2012). 2.3.4 Pemeriksaan Dengan Sinar Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta nol (Ilyas, 2009). 2.4 Koreksi Kelainan Refraksi 2.4.1 Lensa Kacamata Kacamata masih merupakan metode yang paling aman untuk memperbaiki refraksi. Untuk mengurangi aberasi nonkromatik, lensa dibuat dalam bentuk meniskus (kurva terkoreksi) dan dimiringkan ke depan (pantascopic tilt) (Vanghan & Asbury, 2012). Pengobatan hipermetropia adalah dengan koreksi kaca mata menggunakan lensa sferis positif (+) terbesar yang memberikan penglihatan jauh terjelas. Dikoreksi dengan lensa sferis negatif (-) terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal, agar tanpa akomodasi dapat melihat dengan baik. Untuk memperbaiki gangguan penglihatan astigmat dapat dikoreksi dengan kaca mata cilinder yang mempunyai kekuatan refraksi hanya pada bidang tertentu yang ditentukan oleh axisnya (Euis & Nur, 2008) Table 2.4.1 Metode untuk memperbaiki refraksi (Ilyas, 2013). Bentuk-bentuk Lensa koreksi Kuasa Universitas Sumatera Utara 23 kelainan Miopia Lensa (-) Refraktif Aksial Hipermetropia Lensa (+) Bias kuat Bola mata panjang Bias lemah Bola mata pendek Astigmat regular Kacamata silinder Kurvatur 2 meridian tegak lurus Astigmat irregular Lensa kontak Kurvatur kornea iregular 2.4.2 Lensa Kontak Lensa kontak pertama merupakan lensa sklera kaca berisi cairan. Lensa ini sulit dipakai untuk jangka panjang serta menyebabkan edema kornea dan rasa tidak enak pada mata. Lensa kornea keras, yang terbuat dari polimetil metakrilat, merupakan lensa kontak pertama yang benar-benar berhasil dan diterima secara luas sebagai pengganti kacamata. Pengembangan selanjutnya antara lain adalah lensa kaku yang permeabel-udara, yang terbuat dari asetat butirat selulosa, silikon, atau berbagai polimer plastik dan silikon; dan lensa kontak lunak, yang terbuat dari beragam plastik hidrogel; semuanya memberikan kenyamanan yang lebih baik, tetapi risiko terjadinya komplikasi serius lebih besar (Vanghan & Asbury, 2012). 2.3.3 Bedah Keratorefraktif Bedah keratorefraktif mencakup serangkaian metode untuk mengubah kelengkungan permukaan anterior mata. Efek refraktif yang diinginkan secara umum diperoleh dari hasil empiris tindakan-tindakan serupa pada pasien lain dan bukan didasarkan pada perhitungan optis matematis (Vanghan & Asbury, 2012). 2.4.4 Lensa Intraokular Penanaman lensa intraokular (IOL) telah menjadi metode pilihan untuk koreksi kelainan refraksi pada afakia. Tersedia sejumlah rancangan, termasuk lensa lipat, yang terbuat dari plastik hidrogel, yang dapat disisipkan ke dalam Universitas Sumatera Utara 24 mata melalui suatu insisi kecil; dan lensa kaku, yang paling sering terdiri atas suatu optic: terbuat dari polimetilmetakrilat dan lengkungan (haptik), terbuat dari bahan yang sama atau polipropilen. Posisi paling aman bagi lensa intraokular adalah di dalam kantung kapsul yang utuh setelah pembedahan ekstrakapsular (Vanghan & Asbury, 2012). 2.4.5 Ekstraksi Lensa Jernih Untuk Miopia Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia sedang sampai tinggi; hasil tindakan ini tidak kalah memuaskan dengan yang dicapai oleh bedah keratorefraktif menggunakan laser. Namun, perlu dipikirkan komplikasi operasi dan pascaoperasi bedah intraokular, khususnya pada miopia tinggi (Vanghan & Asbury, 2012). Universitas Sumatera Utara