MASYARAKAT PENDUKUNG TRADISI MEGALITIK: PENGHUNI AWAL SITUS TANJUNGRAYA, KECAMATAN SUKAU, LAMPUNG BARAT MEGALITHIC PEOPLE: THE EARLY OCCUPATION OF TANJUNG RAYA SITES, SUKAU DISTRICT, WEST LAMPUNG Nurul Laili Balai Arkeologi Bandung Jl. Raya Cinunuk km17 Cileunyi, Bandung E-mail: [email protected] ABSTRACT The Tanjung Raya site is the site of ancient settlement located in the District of Sukau, West Lampung. The traces of human settlement in the past found in the site are an inscription, megalithic tradition remains, ceramics, potteries, and megalithic sculptures. The site was occupied before the inscription emerged. The presence of inscription in the Tanjung Raya site provides clues to early settlers in the site of the Tanjung Raya as an ancient inscription recipient as well as the inhabitants of the site. The approaches taken by the analysis writing are the material culture and sociological approaches. The earliest inhabitant of the settlement site is public support for the Tanjung Raya megalithic tradition. The ceramics in the Tanjung Raya site can be equated with inscription equipment brought by the settlers as a group that carried the inscription. The density of the ceramic findings obtained in the Tanjung Raya site showed that there was a relationship or social interaction between two groups of inhabitant. Keywords: tradition, megalithic, Tanjung Raya, occupation, interaction. ABSTRAK Situs Tanjung Raya merupakan situs permukiman masa lampau yang berada di Kecamatan Sukau, Lampung Barat. Jejak permukiman manusia masa lampau di situs Tanjung Raya di antaranya prasasti, tinggalan tradisi megalitik, keramik, tembikar, dan arca megalitik. Situs ini telah dihuni sebelum hadirnya prasasti. Keberadaan prasasti di situs Tanjung Raya memberikan petunjuk bahwa di Tanjungraya telah terdapat masyarakat penerima prasasti yang merupakan masyarakat yang menghuni situs. Pendekatan yang dilakukan dalam tulisan ini melalui pendekatan kebudayaan materi dan pendekatan sosiologi. Berdasarkan hasil penelitian, penghuni awal dari pemukiman situs Tanjung Raya adalah masyarakat pendukung tradisi megalitik. Salah satu tinggalan berupa keramik di situs Tanjung Raya, pertanggalannya bisa disejajarkan dengan prasasti yang merupakan peralatan yang dibawa oleh kelompok pendatang sebagai kelompok yang membawa prasasti. Kepadatan temuan keramik yang diperoleh di situs Tanjung Raya menunjukkan kedua kelompok masyarakat telah terjadi hubungan ataupun interaksi sosial yang dinamis. Kata Kunci: tradisi, megalitik, Tanjung Raya, penghunian, interaksi 1 Pendahuluan Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lampau melalui tinggalan materi. Beberapa tinggalan manusia masa lampau tersebut terkategori sebagai artefak, ekofak, fitur, situs, ataupun kawasan (Atmodjo, 2004: 2-11; UU RI No 11, 2010: 2 - 6). Artefak mempunyai definisi semua benda, baik secara keseluruhan maupun sebagian, merupakan hasil aktivitas manusia. Misalnya, alat batu, tempayan tembikar, piring porselin, patung, naskah kuna, prasasti, dan lain-lain. Pengertian ekofak mengacu pada benda alam yang berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Misalnya, fosil binatang, fosil tumbuhan, batuan, sedangkan yang dimaksud dengan fitur adalah suatu gejala yang tidak dapat dipindahkan dari matriknya tanpa merusak. Misalnya lubang bekas tempat sampah, benteng tanah, parit, bangunan, lapisan tanah (stratigrafi), sedangkan situs merupakan suatu lokasi di mana terdapat artefak, ekofak, atau fetur. Adapun dua situs atau lebih dalam satuan ruang geografis yang letaknya saling berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas disebut dengan kawasan. Salah satu tinggalan manusia masa lampau yang cukup banyak diperoleh adalah materi tinggalan megalitik. Istilah megalitik dilihat dari etimologinya berarti batu besar (mega= besar , lithos= batu) (Soejono, 2010: 248), jadi megalitik dapat diartikan sebagai suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar. Menurut F.A Wagner dalam bukunya “Indonesia: The Art of an Island Group” menyatakan bahwa megalit yang diartikan sebagai batu besar di beberapa tempat akan membawa konsep yang keliru. Menurutnya megalitik tidak hanya batu besar akan tetapi juga batu kecil dan bahkan tanpa monumen dapat dikatakan berciri megalitik bila benda tersebut dimaksudkan untuk pemujaan arwah nenek moyang (Wagner, 1962: 72). Menurut von Heine Geldern bangunan megalitik didirikan untuk menghindarkan bahaya yang mungkin mengancam perjalanan arwah dan menjamin penghidupan yang abadi bagi orang-orang yang mendirikan bangunan maupun untuk mereka yang sudah meninggal (Heine Geldern,1945: 149). Budaya megalitik merupakan peradaban yang dicirikan oleh adanya bangunan atau benda yang biasanya difungsikan untuk hal-hal yang bersifat seperti upacaraupacara keagamaan mapun penguburan, walaupun tidak menutup kemungkinan juga 2 dimanfaatkan untuk aspek-aspek lainnya. Budaya megalitik di Indonesia berkembang pada masa Austro-prasejarah (Prasetyo, 2012: 1) Wujud materi tinggalan megalitik hasil penelitian yang telah dilakukan di Indonesia terdiri dari menhir, dolmen, sarkofagus, bangunan teras berundak, arca menhir, arca megalitik, batu bergores, batu berlubang, kubur batu, tahta batu, lumpang batu, pandusa, dan waruga (Hekeeren, 1958: 44-79; Soejono, 2010: 253-285). Beberapa tinggalan tradisi megalitik diperoleh juga di kawasan Lampung. Untuk Kabupaten Lampung Barat, temuan tinggalan tradisi megalitik juga banyak diperoleh di beberapa situs, yaitu di situs Kenali, situs Sukarame, situs Kajadian, situs Kerbang, situs Cabangdua, situs Purawiwitan, situs Batujagur, situs Tlagamukmin, situs Batuberak, situs Batutameng, situs Purajaya, situs Batujaya, situs Campang, situs Ciptamulya, situs Bungin, situs Air Ringkih, situs Harakuning ( Sukendar, 1979); situs Tanjung Raya (Widyastuti, 2011: 17-26; Rusyanti, 2012: 131-142); kawasan Ranau (Laili, 2012: 21-40). Salah satu situs yang memiliki tinggalan tradisi megalitik adalah situs Tanjung Raya. Berdasarkan tinggalan arkeologis situs Tanjung Raya merupakan situs pemukiman yang multi komponen dengan beberapa tinggalan arkeologi (Widyastuti, 2011; Rusyanti, 2012). Tinggalan arkeologi tersebut berupa tradisi megalitik, prasasti, tembikar dan keramik, serta arca megalitik. Keberlangsungan permukiman di situs Tanjung Raya sementara didasarkan pada pertanggalan relatif. Keberadaan prasasti di situs Tanjung Raya dapat menunjukkan pertanggalan relatif berdasarkan paleografi. Tinggalan prasasti Tanjung Raya terdiri dari dua prasasti, yaitu prasasti Tanjung Raya I dan prasasti Tanjung Raya II, keseluruhannya berupa bongkahan batu. Menurut Winarto (2006), prasasti Tanjung Raya I berdasarkan pengamatan oleh Hasan Djafar dan Buchori disimpulkan bahwa prasasti tersebut terdiri dari delapan baris dengan huruf Jawa Kuna. Bentuk huruf cenderung persegi (Widyastuti, 2011: 22) Berdasarkan prasasti Tanjung paleografi, Raya I diperkirakan berasal dari sekitar Prasasti Tanjung Raya (Dok. Balar Bandung, 2011) 3 abad ke-10 M. Adapun prasasati Tanjung Raya II dipahatkan pada bongkah batu tegak dengan tulisan pada prasasti berbunyi “Batu Pahat” sehingga prasasti inipun disebut dengan prasasti Batu Pahat. Berdasarkan paleografinya, Winarto (2006) memperkirakan prasasti ini berasal dari abad ke-14 M. Tulisan yang terpahat berhuruf Jawa Kuna dengan bentuk agak membulat dan berbahasa Melayu Kuna (Widyastuti, 2011: 21-22). Kondisi huruf yang sudah sangat aus mengakibatkan prasasti ini tidak dapat dibaca sehingga isi prasasti tidak dapat diketahui. Temuan lain, yaitu keramik, dapat juga memberikan petunjuk pertanggalan meskipun masih secara relatif. Menurut Widyastuti (2011), dalam “Arkeologi: Pola Pemukiman dan Lingkungan Hidup” yang menelaah masa penghunian dan pemanfaatan situs yang pernah berlangsung di situs Tanjung Raya, temuan keramik dan paleografi prasasti Tanjung Raya I dan II menunjukkan kesesuaian pertanggalan. Kehadiran prasasti dan pemanfaatan keramik di situs Tanjung Raya bersamaan waktunya, paleografi prasasti Tanjung Raya diperkirakan berasal dari abad ke-10 dan abad ke-14 M, sedangkan hasil analisis keramik menunjukkan keramik tersebut berasal dari masa Cina masa Dinasti Song, yaitu yang berasal dari sekitar abad ke 10-13 M. Penghunian situs terus berlanjut hingga pada masa sesudahnya, ditunjukkan oleh temuan keramik masa dinasti Yuan (abad ke-13-14 M), Ming (abad ke-14–17 M, dan Qing (abad ke 1720 M). Tinggalan keramik yang diperoleh selain dapat dijadikan petunjuk pertanggalan relatif dapat juga dijadikan petunjuk mengenai fungsi situs ataupun pemanfaatan situs, melalui tipologi keramik. Berdasarkan tipologi fragmen keramik di situs Tanjung Raya terdiri dari tiga jenis yaitu mangkuk, piring, dan guci. Ketiga jenis tersebut tergolong dalam tipe kelompok barang-barang yang sering dimanfaatkan untuk keperluan seharihari atau seringkali disebut dengan kelompok dapur yang berada pada suatu permukiman penduduk. Dengan demikian, prasasti Tanjung Raya ditempatkan pada lahan yang merupakan permukiman penduduk (Widyastuti, 2011: 23-25). Penempatan prasasti diletakkan di permukiman penduduk, selanjutnya muncul permasalahan siapakah pendukung atau masyarakat permukiman awal situs Tanjung Raya yang menerima prasasti Tanjung Raya I dan II. Apakah masyarakat pendukung keramik yang secara relatif telah dimulai sejak abad 10 M atau jauh sebelumnya. Hal lain yang menarik adalah dengan adanya prasasti berarti ada kedatangan kelompok 4 masyarakat lain di luar pendukung situs Tanjung Raya, sejauh mana interaksi yang terjadi antar penghuni situs dengan kelompok masyarakat pembawa prasasti, yaitu interaksi yang intens atau hubungan sesaat, yaitu hubungan formalitas antara penguasa dengan masyarakat yang dikuasai. Dengan demikian, hasil tulisan akan melengkapi data tentang keberlangsungan penghunian di situs Tanjung Raya. Pendekatan yang dilakukan dalam tulisan ini merupakan pendekatan kebudayaan materi (Chaksana, 2006: 5-6) dan pendekatan sosiologi (Soekanto, 1990: 15-27). Melalui pendekatan kebudayaan materi diperoleh tinggalan materi sebagai pemikiran produk budaya yang mencerminkan pranata dan gagasan yang terkandung di dalam materi tinggalan tersebut. Dengan demikian, pengamatan dilakukan pada artefak yang diperoleh di situs Tanjung Raya. Untuk menyelesaikan permasalahan selanjutnya juga dipergunakan pendekatan sosiologi terutama dengan teori interaksi sosial. Melalui pendekatan sosiologi dapat diketahui interaksi yang kemungkinan terjadi antara masyarakat penghuni situs Tanjung Raya dengan kelompok pembawa prasasti. Kondisi ini dijelaskan melalui artefak yang diperoleh di situs sebagai jejak aktivitas masa lampau. Tinggalan Arkeologi Situs Tanjung Raya Penamaan situs Tanjung Raya diselaraskan pada temuan prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Tanjung Raya. Saat ini Tanjung Raya merupakan nama sebuah desa tempat situs megalitik berada. Situs ini oleh penduduk setempat dikenal juga dengan nama chakmumung yang artinya pulau menggantung. Pengertian ”menggantung” didasarkan pada kondisi lahan situs yang dikelilingi lahan yang lebih rendah. Lahan ini sekarang difungsikan sebagai sawah. Pada lahan lebih rendah tersebut pada beberapa bagian terdapat kolam dengan mata air (Widyastuti, 2010: 21; Rusyanti, 2012: 148) Penelitian tahun 2009, 2010, dan 2012 yang telah dilakukan oleh tim Balai Arkeologi Bandung menunjukkan bagian yang diperkirakan sebagai jalan masuk berada di sisi barat laut. Pengamatan yang dilakukan membagi dua area, yaitu utara dan selatan. Berdasarkan pengamataan permukaan temuan di area selatan tidak diperoleh jejak arkeologis, sedangkan di bagian utara banyak diperoleh tinggalan arkeologi berupa tinggalan tradisi megalitik, keramik dan tembikar, prasasti, serta temuan penduduk 5 berupa arca megalitik (Widyastuti, 2010: 21-22; Rusyanti, 2012: 148-155). Dengan demikian area aktivitas pendukung situs Tanjung Raya hanya memanfaatkan area utara. Area utara situs, berdasarkan tinggalan arkeologi, menunjukkan pemanfaatan ruang secara merata, baik di sisi barat maupun di sisi timur (Rusyanti, 2012: 148-155). Di sisi barat terdapat jejak aktivitas manusia masa lampau berupa fragmen keramik dan tembikar yang tersebar secara merata serta menhir, tatanan batu, dan dolmen. Dolmen di situs ini terdiri dari batu datar di bagian atas dan beberapa batu sebagai kaki penyangga terletak di bagian bawah. Keseluruhan bagian dolmen, baik bagian atas maupun kaki berbahan andesit dan tidak mengalami pengerjaan oleh manusia. Batu penyangga yang teramati terdapat di sisi selatan berjumlah dua batu. Kondisi batu penyangga, satu batu tidak utuh terlihat, sebagian bagian besar batu tertimbun tanah dan tepat berada di bawah menyangga batu datar, adapun satu batu lagi sudah terlepas dari asosiasinya pada posisi tidak menyangga batu datar. Ukuran batu datar pada bagian panjang 260 centimeter, lebar 180 Dolmen di Sisi Barat Situs Tanjung Raya (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2012) centimeter, dan tebal 35 centimeter. Ukuran kaki penyangga yang teramati berukuran tinggi kurang lebih 4 cm. Menhir berada di antara dolmen dan susunan batu datar. Menhir terletak di 16 meter sebelah selatan dolmen. Menhir berbentuk melengkung dan meruncing pada bagian atas, beorientasi ke arah timur laut. Artefak ini dibuat dari bahan batuan andesit. Ukuran menhir tinggi Menhir di Sisi Barat Situs Tanjung Raya (Dok. Balai Arkeologi Bandung, 2012) 55 cm, lebar 50 cm, dan tebal 25 cm. Di sisi barat berdekatan dengan lokasi dolmen dan menhir terdapat sebaran batuan mengelompok. Batu terbuat dari bahan andesit. 6 Sisi timur, di area ini terdapat prasasti Tanjung Raya I dan II, temuan arca, keramik Cina dan Eropa, serta tinggalan tradisi megalitik berupa batu datar. Prasasti Tanjung Raya diperoleh di sisi timur laut dekat jalan masuk situs. Kondisi prasasti dalam keadaan baik dan cukup terawat. Sebaran fragmen tembikar juga masih dijumpai disekitar luar cungkup hingga lahan garapan pertanian di sekitarnya dalam jumlah yang relatif sedikit dibandingkan dengan area lain. Temuan lain berupa batu datar, yang disebut dengan nama batu datar I. Batu datar ini berada di kompleks perkebunan kopi milik keluarga Zulkifli Batu datar ini terbuat dari monolit Batu datar I di Sisi Timur Situs Tanjung Raya (Dok.Balar Bandung, 2012) andesit pada bagian permukaan atas berupa bidang datar. Batu datar memiliki ukuran panjang 150 cm, lebar 180 cm dan tinggi 55 cm Temuan batu datar yang lain terletak di 1, 2 meter sebelah selatan batu datar I. Batu datar ini disebut dengan batu datar II. Pengamatan yang dilakukan pada objek lebih menunjukkan terminologi batu datar daripada dolmen. Batu datar ini berupa monolit berbahan batuan andesit memilki ukuran panjang 150 cm, lebar 100 cm, dan tinggi 54 cm. Sisi timur situs Tanjung Raya juga diperoleh dua arca yang menggambarkan dua tokoh, yaitu tokoh laki-laki dan perempuan. Identifikasi jenis kelamin arca didasarkan pada bentuk badan. Arca laki-laki lebih tinggi daripada arca perempuan yang terlihat lebih tambun. Tanda kelamin sekunder perempuan juga terlihat dari dada yang membusung. Pahatan pada kedua arca terlihat kasar dan tidak simetris. Menurut Rusyanti (2012: 152), bentuk dari arca tersebut menimbulkan asumsi sebagai arca polinesia. Arca polinesia pada awalnya merupakan istilah untuk mengelompokkan arca yang golongannya tidak jelas. Istilah tersebut dipopulerkan oleh Krom sedangkan Brumund menyebutnya dengan arca tipe Pajajaran. Secara umum bentuk dan ciri arca polinesia berbeda dengan arca masa Hindu-Buddha yang sangat ketat mengikuti akidah ikonografi.Arca polinesia seringkali dikenali dari bentuknya yang tidak simetris, kepala arca sering tidak seimbang dengan badan, tidak lengkap, hidung pesek dan mulut 7 kadang-kadang hanya garis. Badan sering tidak berlengan dan bagian bawah merupakan gumpalan batu yang diberikan beberapa garis. Menurut Groeneveldt dalam Mulia (1980) arca semacam itu ditemukan di daerah yang tidak terpengaruh oleh kebudayaan Hindu dan dapat dianggap sebagai hasil ciptaan penduduk asli tanpa bantuan pengaruh kebudayaan lain (Rusyanti, 2012: 131-142). Pembahasan Tradisi megalitik berhubungan erat dengan tinggalan megalitik. Tradisi pendirian tinggalan ataupun bangunan megalitik dilandasi oleh kepercayaan pada hubungan yang senantiasa harus terbangun dengan baik antara yang hidup dan yang mati. Keyakinan yang paling mendasar adalah kepercayaan akan adanya pengaruh yang kuat dari yang telah mati kepada sistem kehidupan, baik kesejahteraan masyarakat maupun kesuburan tanaman. Untuk itu diperlukan bangunan megalitik sebagai persembahan kepada yang mati untuk dijadikan media penghormatan, tempat singgah, maupun simbol yang mati ( Soejono, 2010:248). Tinggalan megalitik yang diperoleh di situs Tanjung Raya menunjukkan temuan yang ada tidak berkait dengan penguburan tetapi berkait dengan upacara pemujaaan. Hal ini dibuktikan pada penggalian yang dilakukan di sekitar dolmen tidak ditemukan indikasi kubur. Dolmen dan batu datar merupakan salah satu tinggalan arkeologis yang biasanya dipergunakan sebagai tempat sesaji. Batu datar dalam tradisi megalitik merupakan perangkat untuk menempatkan sesaji sebagai komponen ritual pemujaan yang dilakukan. Dalam beberapa kasus, batu datar juga ditopang oleh batu-batu kecil sebagai kaki-kaki, dalam budaya megalitik disebut dolmen. Fungsi dolmen dapat dipergunakan sebagai media pemujaan dan ada juga yang dipergunakan sebagai penguburan. Data etnografi yang menunjukkan bahwa dolmen dipergunakan sebagai media pemujaan diperlihatkan oleh suku bangsa Sabu. Suku bangsa Sabu menggunakan dolmen sebagai media untuk menghormati roh atau sebagai tempat sesaji atau melakukan upacara dalam kaitannya dengan pemujaan arwah leluhur. Selain itu, dolmen juga dipakai sebagai tempat duduk kepala suku atau raja-raja. Kondisi ini membuat dolmen dipandang sebagai tempat keramat dalam melakukan pertemuan-pertemuan (Suastika, 2006: 70). 8 Batu tegak atau menhir biasanya mengacu pada sebuah batu yang didirikan secara tegak baik mengalami pengerjaan ataupun yang belum. Banyak pendapat mengenai fungsi menhir, di antaranya adalah sebagai lambang dari arwah yang diperingati, sebagai tahta bagi kedatangan arwah pemimpin atau arwah leluhur, dan sekaligus pula sebagai media penghormatan terhadap nenek moyang. Menhir juga bisa berfungsi sebagai tempat penghormatan atau tempat upacara, lambang laki-laki, tempat mengikat atau menyembelih hewan korban seperti kerbau, dan sebagai tempat bermusyawarah (Hoop, 1932: 109-112; Soejono, 1989: 255; Sukendar, 1985: 43). Rentang waktu masa penghunian di situs Tanjung Raya berdasarkan pertanggalan relatif, yaitu melalui keramik asing yang diperoleh dapat disimpulkan penghunian berkisar abad ke 10-13 M ditunjukkan oleh temuan fragmen keramik Cina masa Dinasti Song. Penghunian situs terus berlanjut hingga pada masa sesudahnya, ditunjukkan oleh temuan keramik masa dinasti Yuan (abad ke-13-14 M), Ming (abad ke-14–17 M, dan Qing (abad ke 17-20 M). Megalitik di Indonesia, menurut pendapat Heine Geldern masuk di Indonesia melalui dua waktu yang berbeda yang terkategori mejadi megalitik tua dan megalitik muda. Megalitik tua berkembang pada masa jelas bahwa neolitik ( ± 2500 – 1500 SM), bangunan yang dihasilkan yaitu menhir, dolmen, undak batu, jalan batu, dan bangunan lain yang bersifat monumental. Adapun megalitik muda berkembang pada masa perunggu besi. di antara tinggalannya yaitu kubur peti batu, sarkofagus, dan sebagainya yang bersifat ornamental (Heine Geldern, 1945: 149). Pendapat ini masih banyak diragukan oleh para ahli. Beberapa penelitian megalitik terbaru di Indonesia melemahkan pendapat Geldern, hasil pertanggalan situs-situs megalitik Indonesia menunjukkan kisaran umur megalitik diawali dari abad 4 SM sampai dengan abad 17 M. Wilayah Sulawesi memberikan sumbangan data pertanggalan yang cukup tua yaitu sekitar abad 4 SMawal M sampai yang termuda sekitar abad 11-14 M. Untuk megalitik di Sumatera kisaran diawali dari abad 4-7 Masehi di Jambi sampai yang termuda di Nias (abad 15-17 Masehi). Demikian pula dengan pertanggalan di Jawa sekitar abad 7-9 M yang tertua dan abad 15-17 di Bojonegoro. Bukti-bukti arkeologis hingga sampai saat ini menggambarkan bahwa budaya megalitik muncul dalam satu gelombang dan bukan 9 dua gelombang seperti yang dikemukakan Geldern (1945) (Prasetyo, Bagyo, 2012: 1314). Penghunian situs Tanjung Raya merujuk pada pertanggalan keramik, paleografi prasasti, serta analogi pertanggalan situs megalitik yang telah dilakukan, pada umumnya di Indonesia dan khususnya di situs-situs Sumatera maka kemungkinan penghunian situs Tanjung Raya paling awal sudah dimulai dari abad ke-4 M oleh masyarakat pendukung budaya megalitik. Kehadiran tinggalan megalitik dan arca megalitik dimulai sebelum kedatangan kelompk pembawa keramik dan prasasti yang jauh lebih muda yaitu paling awal abad ke-10 M. Penghunian terus berlanjut hingga abad 10 M, saat kedatangan kelompok pembawa prasasti Tanjung Raya I yang secara paleografi diperkirakan berasal dari abad ke-10 M. Kelompok tersebut juga membawa peralatan rumah tangga berupa keramik Cina dari dinasti Song, secara relatif dari sekitar abad 10-13 M. Pemukiman Tanjung Raya terus berlanjut hingga masa sesudahnya, yaitu kedatangan kelompok pembawa prasasti Tanjung Raya II. Paleografi prasasti tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-14 M. Kelompok tersebut juga membawa peralatan rumah tangga berupa keramik Cina dari dinasti Yuan (abad ke-13 – 14 M), Ming (abad ke-14 – 17 M), dan Qing (abad ke-17 – 20 M). Asal usul kelompok pembawa prasasti belum dapat diketahui karena isi prasasti Tanjung Raya yang tidak terbaca menyebabkan tidak diketahui informasi yang terkandung dalam prasasti. Informasi yang diperoleh berupa angka tahun yang terbaca dari paleografi yang ada serta huruf jawa dengan bahasa melayu. Dengan demikian belum ada keterangan lebih lanjut mengenai asal pembawa ataupun pembuat prasasti. Masyarakat pendukung situs Tanjung Raya dengan kelompok masyarakat pembawa prasasti telah terjadi interaksi. Interaksi yang dimaksud adalah interaksi sosial, hubungan timbal balik yang dinamis antara kedua kelompok tersebut ( Soekanto, 1990: 65-95). Kedua kelompok ini telah terjadi kontak secara langsung dan positif sehingga kelompok pembawa prasasti diterima dengan baik oleh pendukung situs Tanjung Raya. Kondisi tersebut teramati melalui tinggalan arkeologi yang ada, yaitu sebaran fragmen keramik yang diindikasikan sebagai peralatan rumah tangga yang secara relatif berasal dari abad ke-10 M hingga abad ke-17 M yaitu dari dinasti Song hingga Qing. Data mengenai kepadatan keramik di situs Tanjung Raya menunjukkan 10 bahwa peralatan rumah tangga jenis ini cukup popular sehingga menjadi pilihan untuk dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat pendukung situs Tanjung Raya. Masyarakat pendukung budaya megalitik sebagai penghuni awal merupakan masyarakat yang teratur dan besar kemungkinan telah terjadi kehidupan mapan, dengan organisasi sosial yang teratur. Hal ini sejalan dengan Sutaba (1999: 11-15), bahwa masyarakat pendukung tradisi megalitik menempatkan peranan dan kedudukan seorang pemimpin menjadi sangat penting. Dengan demikian di dalam masyarakat tradisi megalitik terdapat kelompok sosial fungsional, yaitu kelompok para pemimpin, kelompok yang menguasai teknologi dan keterampilan khusus yang terdiri dari undagi batu dan kayu; kelompok rohaniwan yang mengatur dan melaksanakan upacara-upacara untuk keselamatan dan kesejahteraan masyarakat; dan kelompok yang tidak menguasai teknologi dan keterampilan tertentu. Kelompok pembawa prasasti dalam memilih lokasi untuk meletakkan prasasti tentunya mempertimbangkan beberapa hal termasuk membangun komunikasi dengan penghuni awal Tanjung Raya. Hal tersebut mengingat prasasti merupakan dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang raja atau pejabat kerajaan. Oleh karena itu prasasti merupakan sumber utama untuk mengetahui hak dan kewajiban seseorang, suatu desa atau bangunan suci dan peristiwa yang melatarbelakangi penentuan hak dan kewajiban tersebut (Wibowo, 1992: 63). Prasasti setidaknya yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagian besar berisi keputusan atau maklumat tentang penetapan suatu daerah atau sebidang tanah menjadi perdikan (sima), dan peringatan akan terjadinya suatu peristiwa. Meskipun demikian, ada juga prasasti yang hanya memuat tulisan yang amat pendek berupa satu kata, nama, ataupun angka tahun saja (Boechari, 2012: 6, Djafar, 1994:197) Kasus Tanjung Raya jelas menunjukkan bahwa masyarakat Tanjung Raya merupakan masyarakat yang telah mapan sehingga prasasti diletakkan pada wilayah masyarakat Tanjung Raya. Pemilihan lokasi untuk penempatan prasasti dipilih secara strategis, yaitu di timur laut , di mana lokasi ini merupakan lokasi yang masih kosong belum dimanfaatkan untuk aktivitas permukiman. Hal ini didukung oleh tidak adanya tinggalan tradisi megalitik dan sebaran tembikar ataupun keramik yang sangat sedikit. 11 Kebun Peratin Batu Putih Siring Timur Putih Sebaran Tinggalan Arkeologis Situs Tanjung Raya (Dok. Balar Bandung, 2012) 12 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pendukung tinggalan megalitiklah yang merupakan masyarakat awal dari pemukiman situs Tanjung Raya. Simpulan ini didasarkan pada analogi pertanggalan situs-situs megalitik di Indonesia dan temuan tinggalan tradisi megalitik yang cukup merata di situs Tanjung Raya dan analogi bahwa peletakan prasasti oleh penguasa dapat dipastikan dilakukan pada suatu kelompok masyarakat karena isi prasasti ditujukan untuk masyarakat. Apabila dikaitkan dengan pemanfaatan ruang yang ada, prasasti Tanjung Raya ditempatkan pada lokasi yang dekat dengan pintu masuk dan merupakan lahan kosong yang belum dimanfaatkan oleh pendukung situs. Kepadatan keramik di situs Tanjung Raya menunjukkan peralatan rumah tangga jenis keramik ini cukup popular dan dimanfaatkan oleh masyarakat pendukung situs Tanjung Raya. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa pendukung situs Tanjungraya diterima dengan baik sehingga terjadi hubungan ataupun interaksi sosial yang dinamis antara pendatang dan penghuni situs Tanjung Raya. DAFTAR PUSTAKA Atmodjo, Junus Satrio. 2004. Vademekum Benda Cagar Budaya. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Boechari. 2012. Epigrafi dan Sejarah Indonesia, hlm 3 - 28. Dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti (Kumpulan Tulisan Boechari). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Chaksana, A.H dan Bambang Budi Utomo. 2006. Permukiman dalam Perspektif Arkeologi. Dalam Permukiman di Indonesia Perspektif Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi NAsional. Djafar Hasan.1994. Prasasti Huludayeuh. Berkala Arkeologi Tahun XIV Edisi KhususEvaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna: 197 – 202. Yogyakarta: Balai Arkeologi. Heine Geldern, R.Von. 1945. Prehistoric Research in The Netherlands Indies. Science and Scientist in the Netherlands Indies. New Yor, Board for the Netherlands Indies, Surinam, and Curacao. Hekeeren, H.R. van. 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia.VKI. XXII.’sGravenhage-Martinus. 13 Hoop, A.N.J Th. a Th. van der. 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. Translated by W. Shirlaw, Zuthpen. W.J Theime & Cie. Laili, Nurul. 2012. Penghunian dan Interaksi Pendukung Situs-situs di Kawasan Danau Ranau, Lampung Barat. Dalam Purbawidya Vol .1 No. 1 Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Prasetyo, Bagyo. 2012. Budaya Megalitik Indonesia: Hasil Penelitian dan Permasalahannya. Makalah EHPA disampaikan pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi 2012. Solo: Pusat Arkeologi Nasional Rusyanti. 2012. Keruangan Situs Tanjungraya Lampung. Dalam Arkeologi Ruang: Lintas Waktu Sejak Prasejarah hingga Kolonial di Situs-Situs Jawa Barat dan Lampung: 131 – 142. Bandung: Alqaprint Soejono, R.P. 1989. Beberapa Masalah Tentang Tradisi Megalitik. Dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) VI a: 221-231. Jakarta: IAAI Soejono, R.P dan Leirissa, R.Z (ed)., 2010. Jaman Prasejarah Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia I (cet.4)-Edisi Pemuktahiran. Jakarta: Balai Pustaka. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Suastika, I Made. 2006. Batu Kuku di Desa Tejakula. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar Sukendar, Haris. 1979. Laporan Penelitian Kepurbakalaan Lampung. Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sukendar, Haris. 1985. Peninggalan Tradisi Megalitik di Daerah Cianjur. Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Sukendar, Haris. 1996. Album Tradisi Megalitik di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sutaba. I Made. 1999. Keberagaman Dalam Perkembangan Tradisi Megalitik Di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Wagner, F.A.1962. Indonesia: The Art of an Island Group. Art of the World Series. Wibowo A.S.1992. Riwayat Penyelidikan Prasasti di Indonesia. Dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional: 63-105. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Widyastuti, Endang. 2011. Masa Penghunian dan Pemanfaatan Situs Tanjung Raya Lampung. Dalam Supratikno Rahardjo (Ed). Arkeologi : Pola Pemukiman dan Lingkungan Hidup: 17-26. Bandung: Alqaprint 14 Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya 15