JUMAT, 26 SEPTEMBER 2014 Upaya Mitigasi Bencana Oleh Admiral Musa Julius Informasi peningkatan status aktivitas Gunung Slamet menjadi ’’awas’’ (level III) pada 12 Agustus 2014 dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memberi sinyal waspada bagi warga Purbalingga dan sekitarnya. Gunung tipe strato berbentuk kerucut itu secara administratif masuk wilayah Kabupaten Pemalang, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Purbalingga. T anggal 10 Maret lalu, aktivitas gunung berketinggian 3.432 m di atas permukaan laut tersebut, naik dari ’’normal’’ke ’’waspada’’, dan pada 30 Maret meningkat menjadi ’’siaga’’. Tanggal 12 Mei turun jadi ’’waspada’’tapi sejak 12 Agustus kembali menjadi ’’siaga’’ hingga kini. Dikhawatirkan erupsi mengganggu aktivitas warga di sekitarnya akibat sebaran material abu vulkanik. Tak hanya abu vulkanik, PVMBG menginformasikan bahaya lontaran batu pijar ke wilayah beradius 4 km dari pusat erupsi, dan lahar yang bisa mengalir ke lembah-lembah sungai yang berhulu di gunung itu. Diperkirakan saat turun hujan, daerah barat dan barat laut bisa terkena lahar karena bukaan sumbernya menuju arah itu. Manusia tak bisa menghindari bencana. Fakta ini membuktikan bahwa dampak ben- cana alam mau tidak mau harus dikenal dan diwaspadai, terutama berkait efek negatif yang berisiko mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Upaya awal yang umumnya dilakukan masyarakat terkait dengan prabencana adalah melakukan mitigasi bencana. Upaya Antisipasi Untuk meminimalisasi dampak sebaran material abu vulkanik gunung berapi yang lagi ’’marah’’, masyarakat dapat mengantisipasi dengan membaca arah angin dari situs bmkg.go.id. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), instansi yang berwenang dalam memprediksi cuaca, memiliki data harian arah angin yang mudah diakses di website-nya. Arah angin pada September ini cenderung ke barat dan barat laut, yang berarti sebaran material abu vulkanik berisiko menimpa wilayah Kabupaten Pemalang, Tegal, dan Brebes.Warga di daerah tersebut bisa menimimalisasi dampak dengan menutup rapat lubang ventilasi rumah, saluran air, menyediakan masker dan sebagainya. Informasi dari instansi terkait ada baiknya dimanfaatkan untuk menyusun langkah antisipatif meliputi adaptasi dan mitigasi bencana tektonik ataupun hidrometeorologis. Sebagaimana BMKG yang memberikan layanan informasi cuaca hingga peta-peta risiko bencana banjir yang dapat diakses langsung dari website-nya. Instansi itu juga memberikan informasi dini gempa bumi dan tsunami yang dapat diakses dengan mudah dari situs, atau melalui email dan pesan singkat via ponsel (SMS). Adapun PVMBG siap memberikan informasi terkini sehubungan dengan aktivitas gunung api aktif di seluruh Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terlihat baik dalam menjalankan tugas utamanya dalam fungsi penanggulangan. Namun akan lebih baik andai masyarakat menjali bekerja sama dengan pemerintah dalam menjalankan fungsi melakukan mitigasi. Misalnya pemda dan masyarakat aktif memantau kondisi bendungan/dam atau sungai. Dalam hal antisipasi bahaya kerusakan dan jatuhnya korban jiwa akibat gempa bumi, pemda dapat mengevaluasi konstruksi bangunan di masing-masing wilayah. Selanjutnya merekonstruksi supaya menjadi bangunan tahan gempa. Begitu juga dalam hal antisipasi tsunami, masyarakat pesisir bisa diberikan sosialisasi tentang sirine penanda tsunami. Adapun kegiatan yang bersifat fisik, pemda bisa membangun konstruksi penghalang tsunami seperti tembok besar, karang, atau hutan mangrove berskala besar. Adapun reboisasi dan terasering dapat dilakukan untuk mencegah longsor dan kebakaran hutan. Upaya itu harus terus dilakukan demi menjaga keseimbangan ekosistem. (10) — Admiral Musa Julius, pengamat meteorologi dan geofisika Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta Pusat Diketik 1,5 spasi maksimal satu folio, ditandatangani dan dilengkapi fotokopi identitas diri. Isi seluruhnya tanggung jawab penulis dan tidak melayani permintaan identitas yang dirahasiakan. Redaksi berhak melakukan editing. Kirimkan ke alamat: [email protected] Soal Tarif Parkir Inap di Stasiun Poncol Kami berterima kasih sekali kepada PT KAI yang selama ini telah menyediakan perjalanan kereta api dengan pelayanan yang memuaskan. Kami selama ini menggunakan kereta api pada akhir minggu yaitu hari Jumíat, dengan menitipkan sepeda motor di tempat parkir Stasiun Poncol dengan biaya Rp. 5.000 per malam yang kami ambil pada hari Senin pagi dengan total biaya Rp 15.000. Tapi sungguh terkejutnya kami ketika ada pengumuman di pintu keluar, bahwa per 1 Oktober 2014 biaya parkir inap untuk sepeda motor naik menjadi Rp 10.000 per malam. Bisa dibayangkan apabila kami menitipkan sepeda motor seperti biasa selama 3 hari, yang semula Rp 15.000 menjadi Rp 30.000 yang hampir sama dengan harga tiket kereta api yang kami naiki. Memang dengan meningkatnya pelayanan kereta api selama ini, banyak warga yang menggunakan moda transportasi kereta api apalagi bagi warga yang penglaju pada akhir minggu. Meningkatnya warga yang menggunakan kereta api, semakin banyak pula warga yang menginapkan sepeda motornya di Stasiun Poncol yang berakibat juga tempat parkir stasiun menjadi ramai. Dengan banyaknya motor yang menginap di Stasiun Poncol, tidak menjadi alasan bagi PT KAI untuk menaikkan biaya parkir inap sepeda motor. Karena memberatkan kami dan penumpang lain yang sering menggunakan kereta api setiap minggu. Mohon untuk PT KAI dapat mempertimbangkan kembali kenaikan parkir inap sepeda motor di Stasiun Poncol. Jaya terus perkeretaapian Indonesia. Miftakhudin Jl Gemah Sari XII No 330 Semarang Mewaspadai Strombolian Slamet Oleh Setiady Dwi angkaian letusan Gunung Slamet (3.432 meter di atas permukaan air laut atau mdpl) mengingatkan pada letusan Gunung Anak Krakatau yang berketinggian 315 mdpl di Selat Sunda tahun 2008. Letusan dua gunung itu sama-sama bertipe strombolian. Artinya terlihat seperti muncratan lava pijar, dan pada malam hari mirip kembang api sehingga lebih menawarkan sebagai tontonan mengasyikkan. Pada siang hari, bisa terlihat kepulan asap bisa pekat atau keputihan setinggi ratusan meter diiringi dentuman keras atau lava pijar yang melesat cepat. Kita tak perlu takut sepanjang berada di luar zona steril. ’’Induk’’ dari Gunung Anak Krakatau, yakni Gunung Krakatau, pernah menggegerkan dunia lewat letusan dahsyatnya pada Agustus 1883. Kini, lontaran lava pijar Gunung Anak Krakatau, dalam 5 tahun terakhir bisa diamati dari jarak sejauh 42 km. Dentumannya pun masih bisa menggetarkan kaca jendela pos pengamatan di Pasauran, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, sejauh jarak itu. Abu yang dilontarkan menyebar hingga sejauh 60 km, bergantung arah angin. Gempa vulkanik yang terjadi mencapai ribuan kali. Seperti erupsi Gunung Slamet saat ini, gempa letusan dan embusan asap banyak mewarnai pola Gunung Anak Krakatau. Vulkanolog Igan Supriatna Sutawijaya menganalisis, pola itu lebih disebabkan pergerakan lava dangkal yang sangat cair tapi miskin gas sehingga letusan tidak bakal eksplosif. Apakah fenomena letusan Gunung Slamet seperti itu? Seperti pernyataan banyak pakar, dapur magma tiap gunung berapi berdiri sendiri. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pun belum pernah menaikkan status Gunung Anak Krakatau lebih dari ’’siaga’’. Hal itu berbeda dari status Gunung Slamet yang fluktuatif. Lokasi Gunung Anak Krakatau jauh dari permukiman karena berada di tengah Selat Sunda. Andai meletus pun, lontaran material hanya jatuh menimpa badan gunung itu. Adapun penetapan zona steril sejauh 3 km dari gunung itu lebih dimaksudkan guna menjaga keselamatan aktivitas nelayan dan pelancong yang berwisata. Bagaimana dengan Gunung Slamet? Sekilas, pola letusannya tidak jauh berbeda dari Gunung Anak Krakatau. Vulkanolog Dr Mas Atje Purbawinata menyebut kecil kemungkinan gunung di barat Jateng yang kini berstatus ’’siaga’’ itu dalam sekejap berubah eksplosif. Perlu penelitian lanjutan guna memetakan karakter gunung api itu, terutama berkait material letusan terbaru. Analisis kimia batuan hasil letusan-letusan terakhir sangat diperlukan. Realitas itu dapat menolong untuk mengetahui komposisi magma yang sekarang, sekaligus melihat apakah ada perubahan karakter magmatik pembentuk letusannya. Karakter strombolian masih tetap dominan terkait dengan letusan Gunung Slamet yang secara administratif masuk Kabupaten Pemalang, Banyumas, Brebes, Tegal, R dan Purbalingga. Letusan seperti itu cenderung diakhiri aliran lava. Tapi tngkat kecepatan aliran lava, tidak secepat aliran piroklastik (awan panas) sehingga warga di daerah terdampak bisa mengantisipasi. Perlu Waspada Kelambatan itu lebih disebabkan oleh komposisi magma Gunung Slamet yang bersifat basa, dan bukannya bersifat asam. Dalam periode keaktifannya, ketika kali pertama terjadi letusan, Gunung Slamet akan mengalirkan lava basaltik melalui arah bukaan kawah yang sekarang terbentuk atau membentuk sumbat lava di dalam kawah. Leleran lava basaltik pun hanya bersifat efusif, kebalikan dari eksplosif. Dengan demikian, lava hanya akan mengalir dalam jarak sesuai dengan perkiraan potensi volume magma. Dalam sejarahnya, gunung itu belum per- Kecil kemungkinannya Gunung Slamet yang kini berstatus ’’siaga’’ itu dalam sekejap berubah menjadi eksplosif nah meletus secara eksplosif yang mengakibatkan aliran awan panas atau guguran kubah lava seperti halnya tipe letusan Gunung Merapi apalagi Gunung Sinabung. Terlepas dari risiko bahaya yang ditimbulkan, masyarakat di sekitar Gunung Slamet tetap perlu waspada. Mereka bisa tetap menjalankan aktivitas sehari-hari dengan mengikuti arahan dari pejabat lembaga/ instansi yang terkait. (10) — Setiady Dwi, wartawan Suara Merdeka di Bandung Email Baru Berhubung e-mail lama mengalami gangguan, kini kirimkan artikel wacana lokal (hal 7) ke: [email protected]. dan: [email protected]. Panjang maksimal 6.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai. (Red)