analisis keanekaragaman iktiofauna di hutan mangrove carocok

advertisement
ANALISIS KEANEKARAGAMAN IKTIOFAUNA DI HUTAN MANGROVE
CAROCOK TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN
ARTIKEL
INDRA SYAMSON
NPM : 1210018112007
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS BUNG HATTA
2015
ANALISIS KEANEKARAGAMAN IKTIOFAUNA DI HUTAN MANGROVE CAROCOK
TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN
Indra Syamson1, Eni Kamal2, Usman Bulanin2
1)
Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Pesisir dan Kelautan, Program Pascasarjana,
Universitas Bung Hatta
2)
Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Pesisir dan Kelautan, Program Pascasarjana,
Universitas Bung Hatta
Email:[email protected].
ABSTRAK
Ekosistem hutan mangrove mempunyai sifat dan bentuk yang khas, serta
mempunyai fungsi dan manfaat sebagai sumberdaya pembangunan. Fungsi hutan
mangrove sebagai fungsi biologis, dikenal sebagai daerah asuhan (nursery ground)
dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan, udang, kepiting, kerang, dan
biota perairan lainnya. Untuk menentukan keanekaragaman iktiofauna di Carocok
Tarusan Pesisir Selatan, pada bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Desember
2014 telah dilakukan pengambilan sampel di empat stasiun dengan menggunakan
jaring tiga lapis (trammel net), jaring insang (gill net), dan bubu lipat. Selama
penelitian telah terkumpul ikan sebanyak 1.114 ekor terdiri dari 15 species dan 12
genus. Apogon caramensis, Mugil dussumieri, dan Panaeus monodon merupakan
species yang dominan. Indeks keanekaragaman (H) cukup rendah berkisar 0,0698
– 0,1566. Indeks kemerataan (E) berkisar antara 0,0696 – 0,1835. Indek kekayaan
jenis (d) berkisar 1,5941 – 4,7824. Indeks similiritas/kesamaan/kemiripan (λ)
berkisar 0,0140 – 0,0530
Kata kunci: Keanekaragaman, iktiofauna,, hutan mangrove, Carocok Tarusan
ANALYZE OF DIVERSITY IN THE FOREST MANGROVE ICHTHYOFAUNA
CAROCOK TARUSAN PESISIR SELATAN DISTRICT
Indra Syamson1, Eni Kamal2, Usman Bulanin2
1)
2)
Student of Coastal Management and Marine Aquatic Resources, Postgraduate of Bung Hatta University
Lecture of Coastal Management and Marine Aquatic Resources, Postgraduate of Bung Hatta University
Email:[email protected].
Abstract
Mangrove forest ecosystems have specific character and spesific shape, if has
function as delopment resources too. Mangrove forests function as a biological
function, known as the breeding (nursery grounds) and spawning (spawning ground)
for fish, shrimp, crabs, shellfish, and other aquatic biota. To determine the diversity
iktiofauna in Carocok Tarusan Pesisir Selatan, in July 2014 through the month of
December 2014 has been conducted sampling at four stations using three layers
nets (trammel net) gill nets (gill net), and traps fold. During the study has collected s
1,114 fish consists of 15 species and 12 genera. Apogon caramensis, Mugil
dussumieri, and Panaeus monodon they are the dominant species. diversity index
(H) is quite low ranging from 0.0698 to 0.1566. Evenness index (E) ranged from
0.0696 to 0.1835. Index of species richness (d) ranges from 1.5941 to 4.7824.
Similiritas index / sameness / similarity (λ) range from 0.0140 to 0.0530
keyword: Diversity, ichthyofauna,, mangrove forests, Carocok Tarusan
I.
PENDAHULUAN
Ekosistem
hutan
mangrove
mempunyai sifat dan bentuk yang khas,
serta mempunyai fungsi dan manfaat
sebagai
sumberdaya
pembangunan.
Fungsi hutan mangrove sebagai sumber
daya ekonomi maupun ekologi, dan telah
lama dirasakan masyarakat yang hidup di
sekitar wilayah tersebut.
Hutan
mangrove
memiliki
kandungan bahan organik yang tinggi,
yang merupakan sebagai salah satu
mata rantai dalam suatu ekologi. Bahan
organik sangat berperan penting bagi
makhluk
hidup
yang
berdomosili
dikawasan
hutan mangrove
yaitu,
sebagai tempat sumber makanan dan
tempat
asuhan
beranekaragam
iktiofauna.
Berbeda dengan ekosistem pesisir
lainnya, komponen dasar dari rantai
makanan di ekosistem hutan manggrove
bukanlah tumbuhan manggrove itu
sendiri, tetapi sarasah yang berasal dari
tumbuhan manggrove (daun, ranting,
buah, batang, dsb). Sebagai sarasah
manggrove didekomposisi oleh bakteri
dan fungi menjadi zat hara (nutrien)
terlarut
yang
dapat
dimanfaatkan
langsung oleh fitoplanton, alga ataupun
tumbuhan mangrove itu sendiri. Dalam
proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai
partikel sarasah (detritus) dimanfaatkan
oleh ikan, udang dan kepiting sebagai
makanannya. Proses makan memakan
dalam berbagai kategori dan tingkatan
biota
membentuk
suatu
jaringan
makanan
yang.komplek,sehingga
ekosistem mangrove merupakan habitat,
nursery
ground,
feeding
ground,
spawning ground bagi fauna di perairan,
Kamal (2006).
Penelitian
tentang
keanekaragaman
iktiofauna di hutan mangrove Carocok
Tarusan belum pernah dilakukan. Namum
dengan demikian kajian ini sangan penting
dilakukan untuk mengetahui ragam
iktiofauna daerah ini. Perlu kita ketahui
bahwa banyak orang dan makhluk hidup
lainnya yang menggantungkan hidupnya
di daerah ini. Secara umum diharapkan
dapat memberikan gambaran mengenai
keanekaragaman species ikan di daerah
ini, dan dalam rangka pengelolaan
sumberdaya ikan
II. TINJAUAN PUSTAKA
Untuk kelestarian ekosistem di hutan
mangrove sangat dipengaruhi oleh factor
lingkungan. Apabila factor lingkungan
tidak
stabil
akan
mengakibatkan
kerusakan ekosistem hutan mangrove.
Menurut Dahuri (2003), ada tiga
parameter
lingkungan
utama
yang
menentukan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air
tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan
stabilitas substrat.
Kamal (2006), menjelaskan bahwa
hutan manggrove adalah suatu ekosistem
yang mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok ;
1.
Funsi fisik, menjaga garis pantai
agar tetap stabil, melindungi pantai dari
gempuran ombak dan abrasi, menjadi
wilayah penyangga terhadap rembesan air
laut
(intrusi)
dan
sebagai
filter
pencemaran yang masuk kelaut;
2.
Fungsi biologis, sebagai daerah
asuhan dan tempat pemijahan (nursery
ground dan spauning ground) bagi ikan,
udang, kepiting, kerang
dan biota
perairan
lainnya
seperti
tempat
persinggahan
burung-burung
yang
bermigrasi serta tempat habitat alami
berbagai jenis biota flora dan fauna
lainnya;
3.
Fungsi ekonomis sebagai sumber
bahan
bakar
(arang
dan
kayu
bakar),bahan bangunan (balok, atap
rumah, tikar), perikanan, pertanian,
makanan, obat-obatan, minuman, bahan
mentah kertas, bahan pembuatan kapal
(gading-gading) dan lainnya.
Berkaitan
hutan
mangrove
sebagai
fungsi biologis bersamaan
pendapat
Zahid (2011), menjelaskan
bahwa keberadaan larva, dan juwana ikan
di estuari mayangan sebagai bagian dari
komposisi spesies menunjukkan peran
fungsional estuari yang berhubungan
dengan hutan mangrove sebagai daerah
pemijahan, pembesaran, perlindungan,
dan lumbung makanan.
Kerusakan ekosistem mangrove
erat hubungan dengan pertambahan
jumlah
penduduk.
Bengen
(2004)
menyatakan bahwa: Dengan pertumbuhan
penduduk yang tinggi dan pesatnya
kegiatan pembangunan di pesisir bagi
berbagai
peruntukan
(pemukiman,
perikanan, pelabuhan, dll), tentu dapat
menimbulkan tekanan ekologis terhadap
ekosistem pesisir. Meningkatnya tekanan
ini
tentunya
berdampak
terhadap
kerusakan ekosistem hutan mangrove itu
sendiri baik secara langsung (misalnya
kegiatan penebangan atau konversi lahan)
maupun
tak
langsung
(misalnya
pencemaran
oleh
limbah
berbagai
kegiatan pembangunan). Kita ketahui
bahwa setiap jenis ikan mempunyai tipe
tingkah laku yang berbeda terhadap
situasi lingkungan. Menurut Praditya
(2013) menjelaskan bahwa klasifikasi ikan
yang terdapat dalam ekosistem mangrove
ada 4 (empat) tipe ikan yaitu Ikan penetap
sejati, Ikan penetap sementara, Ikan
pengunjung pada periode pasang, dan
Ikan pengunjung musiman.
Beberapa pakar mancanegara
melakukan penelitian tentang ikan –ikan
di daerah perairan mangrove di antaranya
Wilcox et al. (1975) dalam Genisa .(2004).
yang meneliti hutan mangrove Bahama
menemukan 56 jenis ikan. Karena
kebanyakan sampel ikan yang diambilnya
adalah juvenile, maka dia menduga
bahwa hutan mangrove merupakan
nursery ground dari berbagai jenis ikan.
Selain dari itu penelitian yang dilakukan
Genisa (2004 ) menjelaskan gambaran
umum keanekaragaman jenis ikan yang
berada di daerah
mangrove Sungai
Mahakam, didapatkan telah terkumpul
ikan sebanyak 1.684 ekor terdiri dari 80
jenis yang mewakili 44 suku. Sardinella
fimbriata,
Leiognathus
elongatus,
Rastrelliger
kanagurta dan Apogon
caramensis, merupakan jenis-jenis yang
dominan. Sebaran individu
per jenis
setiap pengamatan
hampir merata.
Indeks keanekaragaman jenis (H) cukup
tinggi yaitu berkisar antara 0,5300 –
1,5547. Indeks kemerataan (l) berkisar
antara 0,3308 – 0,9198. Sedangkan
indeks kekayaan jenis (d) berkisar antara
13,1801 – 23,7026 . Ganesa et al., (2002)
dalam penelitian yang dilakukan di sekitar
estuaria Mamberamo, irian Jaya, suku
Clupeidae tertangkap lima jenis yaitu
Anodontostoma
chacunda,
Clupea
malanura, Clupea lile, Ilisha melastoma
dan Setipinna papnensis. Sedangkan di
estuaria
Digul, Irian Jaya hanya
tertangkap satu jenis yaitu Sardinella
fimbriata Genisa (2003)
III. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dari bulan Juli
2014 hingga bulan Desember 2014 di
ekosistem hutan mangrove Carocok
Tarusan. Penelitian ditetapkan
di 4
(empat) stasiun.. Pada setiap stasiun
pengamatan ditetapkan koordinat titik lokasi
penangkapan. Untuk stasiun A (Carocok)
koordinatnya 1º 15҆҆҆ 20” LS dan 100º 25҆҆
30” BT. Untuk stasiun B (Bukit Ameh)
koordinatnya 1º 15҆҆҆ 30” LS dan 100º 25҆҆
00” BT. Untuk stasiun C (Pincuran Didiah)
titik koordinatnya, 1º 14҆ 37,37” LS dan
100º 24҆ 40“ BT Untuk stasiun D (Sungai
Gemuruh) koordinatnya 1º 13҆ 50” LS dan
100º 25҆ 40” BT.( gambar 1)
Metode yang dilakukan dalam
penelitian
ini
adalah
dengan
mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Data primer ini diperoleh melalui
pengamatan secara langsung di lokasi
penelitian. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari dinas terkait , wawancara
langsung dan studi literatur.
Alat tangkap yang digunakan dalam
pengambilan sampel terdiri dari Jaring tiga
lapis (trammel net), Jaring insang (gill net),
dan bubu lipat. Operasi penangkapan
dilakukan pada saat pasang surut dan
pasang naik pada tanggal 21 setiap bulan
Hijriah sampai dengan tanggal 7 setiap
bulan Hijriah (Bulan gelap). Pada setiap
stasiun operasi penangkapan dicatat data
kualitas air dan kondisi lingkungan. Untuk
setiap sampel dilakukan penimbangan berat
dan panjang dan kemudian dilakukan
penimbangan
berat
total.
Langkah
berikutnya
memisahkan ikan menurut
genus. Kemudian dari genus di identifikasi
menurut spesies. Kemudian melakukan
pengukuran panjang tiap spesies dan data
tersebut masukkan dalam tabel. Identifikasi
sebagian besar dilakukan di lapangan untuk
ikan yang sudah pasti spesiesnya, dan
sisanya dilakukan di laboratorium.
Untuk pengukuran parameter suhu,
salinitas, pH, DO, kecerahan dilakukan
secara periodik dengan rentang waktu 2
(dua) jam sekali, kemudian dirata-ratakan
dan dibuat dalam bentuk tabel Seluruh data
di peroleh dikumpulkan dan dibuat tabel
untuk
mempermudah
dalam
proses
perhitungan dan analisa. Analisa yang
dilakukan
meliputi,
Indeks
Keanekaragaman, indeks kemerataan,
indeks kekayaan jenis, indeks similaritas.
-
D
C
B
A
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat (2010)
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di hutan mangrove Carocok Tarusan Pesisir Selatan
Keterangan :
A = Stasiun A
B = Stasiun B
C = Stasiun C
D = Stasiun D
E ≈ 0 : Tidak merata.
3. Indeks Kekayaan Jenis.
1 .Keanekaragaman
Dalam
mempelajari
indek
keanekaragaman jenis dihitung menurut
rumus dari Shannon (Bengen, 2003)
Dapat
dihitung
menggunakan rumus dari
dalam Genisa (2006)
dengan
Margalef
D = S – 1 / log N
N = Jumlah seluruh individu
Ni = Jumlah individu ke I
S = Jumlah jenis
Tolak ukur indeks keanekaragaman tersaji
pada tabel 1 (nilai indek Shanon-Wiener).
Tabel1:
Nilai
tolak
ukur
keanekaragaman
Nilai tolak
ukur
indeks
Keterangan
H ̕ ˂ 1,0
Keanekaragaman
rendah,
miskin,produktifitas sangat rendah sebagai
indikasi adanya tekanan yang berat dan
ekosistem tidak stabil
1,0 ˂ H ̕ ˂
3,322
Keanekaragaman sedang, produktifitas
cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang,
tekanan ekologis sedang
H ̕ >3,322
Keanekaragaman
tinggi,
stabilitas
ekosistem mantap, produktifitas tinggi,
tahan terhadap tekanan ekologis
2. Indeks Kemerataan.
Dapat dihitung menurut rumus dari
Pielou dalam Genisa (2006)
E = H / Log S
H = Indek keanekaragaman
S = jumlah jenis
Kategori tingkat kemeretaan (Santoso
1995)
E ≈ 1 : Merata.
N = jumlah seluruh individu
Ni = jumlah individuke i
S = Jumlah jenis
4. Similaritas / Kesamaan / Kemiripan
Dalam
menentukan
kemiripan
digunakan
indeks
Morisita
yang
didasarkan atas indeks
dominasi
Simpson. Untuk dua komunitas , misalnya
komunitas 1 dan komunitas 2, Indeks
dominasi Simpson untuk komunitas 1
dapat dihitung dengan rumus (Bengen,
2003).
X
= banyaknya individu spesies ke –i
yang terdapat pada komunitas ke
–1
N1 = total individu seluruhnya pada
komunitas ke – 1 .
ʎ1 = komunitas 1
Kriteria :Indeks dominasi antara 0 - 1
D ≤ 0,5 tidak terdapat spesies yang
mendominasi
spesies
lainnya.
D ≥ 0,5 terdapat spesies yang
mendominasi spesies lainnya.
.Similaritas indeks Jaccard
a
JI=-------------------------a+b+c+d
a = Jumlah contoh dimana terdapat
kedua spesies b = Jumlah contoh dimana
terdapat hanya spesies A . c = jumlah
contoh dimana terdapat hanya spesies B.
d = Jumlah contoh dimana kedua spesies
tidak terdapat
Berdasarkan jumlah spesies dan
genus dapat dilihat dalam bentuk gambar
2 di bawah ini
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kemelipahan Hasil Tangkapan
Dari hasil pengamatan dilapangan
kawasan Teluk Tarusan mempunyai
potensi
ekosistem hutan mangrove,
estuaria, terumbu karang, padang lamun,
dan beberapa pulau sangat kecil.
Hamparan hutan mangrove hampir
mengelilingi seluruh pantai, dan desertai
dengan bukit yang cukup tinggi yang
mengelilinginya. Di bagian Timur sedang
di bangun jalan menuju Desa Mandeh,
Sungai Nyalo dan sungai Pinang.
Berdasarkan
hasil
tangkapan
selama penelitian
terhadap iktiofauna
Spesies yang berhasil tertangkap secara
total adalah 1.114 ekor terdiri dari 13
spesies yang mewakili 12 genus (table 3).
Akan tetapi untuk masing-masing stasiun
pengamatan terdapat perbedaan untuk
jumlah spesies maupun genus (table 2).
Dari tabel 2 dan gambar 2 pada
stasiun A dengan hasil tangkapan
berjumlah 323 ekor, terdiri dari 13 spesies
dan mewakili 11 genus. Stasiun B dengan
hasil tangkapan 245 ekor, yang terdiri dari
11 spesies terdiri dari 10 genus. Stasiun
C dengan hasil tangkapan berjumlah 223
ekor, terdiri dari 10 spesies dan mewakili
9 genus Stasiun D dengan hasil
tangkapan 323 ekor, yang terdiri dari 5
spesies terdiri dari 5 genus.
Gambar 2. Jumlah spesies dan genus
untuk tiap stasiun (2015)
Gambar 3. Dibawah ini menggambarkan
ketidakstabilan jumlah individu ditiap
stasiun
Gambar 3 Grafik Kemelimpahan jumlah
individu ,untuk tiap stasiun
(2015)
Gambar 3 melukiskan kemelimpahan
jumlah individu, yang berhasil ditangkap di
setiap stasiun di daerah mangrove
perairan pantai Carocok Tarusan. Disini
dapat dengan jelas dilihat perbandingan
jumlah individu antara stasiun A, stasiun
B ,stasiun C, dan stasiun D. Stasiun A ,
dan stasiun B mengambarkan bahwa total
individu cukup tinggi,
Sedangkan antara stasiun A,
stasiun B, dan stasiun C perbedaan
jumlah spesies tidak begitu mencolok, .
Yaitu untuk stasiun A 13 spesies, stasiun
B 11 spesies dan stasiun C 10 spesies,
dan stasiun D 5 spesies. Untuk lebih jelas
dapat dilihat pada gambar 2..
Sedangkan antara stasiun A,
stasiun B, dan stasiun C perbedaan
jumlah spesies tidak begitu mencolok.
Yaitu untuk stasiun A 13 spesies, stasiun
B 11 spesies, stasiun C 10 spesies
Tabel 2..Keanekaragaman jenis ikan di daerah perairan hutan mangrove Pantai
CarocokTarusan Kab. Pesisir Selatan
Nama
No
Stasiun
Genus/species
Total
Comon
Lokal
A
B
C
D
1
Epinephelus
lanceolatus
Kerapu kertang
Kerapu .karatang
15
9
--
--
24
2
Epinephelus coioides
Kerapu lumpur
Kerapu .lumpur
10
--
8
--
18
3
Epinephelus
fuscoguttatus
Kerapu macan
Kerapu macan
4
4
2
--
10
4
Lutjanus fulviflamus
Tanda 2
Tando 2
4
--
--
--
4
5
Lutjanus
argentimaculatus
Kakap .merah
Nawi
--
--
--
25
25
6
Apogon ceramensis
Siriding
Sariding
119
107
74
58
358
7
Mugil dussumieri
Belanak
Belanak
30
11
1
133
175
8
Panaeus monodon
Udang windu
Udang .windu
43
29
35
--
107
9
Scyla serata
Kepiting bakau
Kepiting
14
17
16
69
116
.bakau
10
Siganus javus
Baronang
Baronang
32
31
32
--
95
11
Tetraodon stellatus
Buntal
Bonta
20
8
33
--
61
12
Lates calcarifer
Kakap .putih
Kakap .putih
11
10
--
--
21
13
Toxotes jaculatos
Sumpit
Sumpit
13
14
15
38
80
14
Zanclus cornutus
Bona
Bona
8
5
--
--
13
15
Tylosurus macrolepis
Todak
Todak
--
--
7
--
7
Total Individu
323
245
223
323
1.114
Total Species
13
11
10
5
15
Total Genus
11
10
9
5
12
25 %
Mahmudi et.all.,(2008), menjelaskan bahwa
dan stasiun D 5 spesies. Untuk lebih jelas sarasah mangrove yang jatuh dan tertimbun
dapat dilihat pada gambar 4.
di lantai hutan mangalami dekomposisi oleh
berbagai jasad renik untuk menghasilkan
detritus dan mineral bagi kesuburan tanah,
serta sumber bagi kehidupan fitoplankton
yang berkedudukan sebagai produser
primer
4.2.
Gambar 4. Grafik jumlah spesies tiap
stasiun (2015)
Indeks keanekaragaman dari hasil
penangkapan untuk ke empat lokasi stasiun
dapat dilahat dalam tabel 3, disini terlihat
perbandingan antara stasiun A, B, C, dan D.
Tabel 3. Indeks keanekaragaman Jenis
(H),indeks
kemerataan
(E),
indeks .kekayaan jenis (D)
similaritas /kesamaan / kemiripan
(λ).
Stasiun
Indeks
No
A
B
C
D
1
H
0,1566
0,0698
0,0782
0,1231
2
E
0,1406
0,0696
0,0818
0,1835
3
D
4,7824
4,2568
3,8326
1,5941
4
Λ
0,0140
0,0211
0,0186
0,0530
Ji
AB =
73 %
BC =
53 %
CD =
26,66
%
AC =
60 %
BD =
26 %
AD
=
Indeks keanekaragaman (H)
Berdasarkan data pada table 1,
menunjukkan
bahwa
apabila
indek
keanekaragaman kecil dari 1, hal ini
menunjukkan
keanekargaman
rendah,
miskin, produktifitas sangat rendah sebagai
indikasi adanya tekanan yang berat dan
ekosistem tidak stabi. Dari hasil analisis
yang dilakukan tentang keanekaragaman
menunjukkan angka kecil dari 1 (Tabel 3).
Menunjukkan
rata-rata
indeks
keanekaragaman dibawah angka satu yaitu,
0,0725 -0,1487.
Menurut Lloyod & Ghelardi (1964)
dalam Ganesa (2006) menyatakan bahwa
keanekaragaman jenis tinggi bila banyak
jenis yang mendominasi ekosistem tersebut,
dan keanekaragaman jenis rendah bila
hanya satu jenis saja yang terdapat di
dalamnya mendominasi komunitas tersebut.
Tinggi rendahnya keanekaragaman jenis di
pengaruhi oleh banyak factor dan salah satu
factor adalah kualitas lingkungan.
Pada tabel 3 jelas terlihat bahwa
indeks keanekaragaman jenis (H) untuk ke
empat perairan berkisar antara 0,0725 –
0,1487 dimana spesies Apogon ceremensis
(siriding) yang hampir mendominasi di
seluruh perairan dengan jumlah 358 ekor,
sedangkan yang berikutnya didominasi oleh
spesies Mugil dussumieri (Belanak) dengan
jumlah 175 ekor.
Menurut MC Manus et all. ,(1981)
dalan Genisa(2006), melaporkan bahwa
perbedaan keragaman jenis ikan erat
hubungan dengan subtract, sedangkan
kelimpahan
erat
hubungan
dengan
kesuburan perairan . hasil lain menunjukkan
bahwa sebagian besar ikan yang tertangkap
berada pada stadia fingerling (ikan muda)
dan Juvenil (benih). Dibandingkan dengan
hasil penelitian tersebut nampak bahwa
keanekaragaman
di
perairan
pantai
Carocok cukup rendah. Ini menunjukkan
indikasi bahwa bahwa hasil tangkapan
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
diantaranya adalah, luas lokasi, habitat,
musim, kedalamn perairan, subtrat, dan
lain sebagainya.
Menurut Lloyod & Ghelardi (1964)
dalam Genisa (2006) mengatakan bahwa
keanekaragaman jenis tinggi bila banyak
jenis yang mendominasi ekosistem tersebut
dan keanekaragaman jenis rendah bila
hanya satu jenis saja yang terdapat
didalamnya
mendominasi
komunitas
tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan , yaitu hanya
beberapa jenis ikan yang mendominasi.
Berdasarkan data ini sudah bisa dipastikan
bahwa keanekaragaman tergolong rendah.
Hal ini akibat dari kondisi dari parameter
lingkungan.
4.3. Indek Kemerataan (E).
Indek kemerataan(E) yang diperoleh
dari keempat perairan
berkisar antara
0,0696 – 0,1835. Menurut Adum (1971)
dalam Genisa (2006) nilai indek kemerataan
itu tinggi jika tidak terjadi pemusatan
individu pada suatu jenis tertentu.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
untuk keempat perairan menunjukkan indek
kemerataan stasiun D tertinggi yaitu yaitu
karena species Mugil dussumieri (Belanak)
mempunyai jumlah individu yang tertangkap
sangat tinggi yaitu 133 ekor. Tingginya hasil
tangkapan di stasiun D ini selain perairan in
cukup jauh dari perairan lainnya juga
dipengaruhi oleh factor salinitas, karena
ikan ini umunya sering berada pada
perairan yang salinitasnya relative rendah
yaitu rata-rata pada saat pasang 29 ppt dan
pada saat surut 27 ppt, hal ini dikarenakan
oleh perairan ini di aliri oleh aliran sungai
yang cukup besar.
Untuk melihat tingkat
Indek
kemerataan(E) pada suatu tempat perairan
dapat dilihat pada angka indeks kemerataan
yang diperoleh dari keempat stasiun
berkisar antara 0,0696 – 0,1835. Menurut
Adum (1971) dalam Genisa (2006) nilai
indeks kemerataan itu tinggi jika tidak terjadi
pemusatan individu pada suatu jenis
tertentu.
Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan
untuk
keempat
stasiun
menunjukkan indek kemerataan stasiun D
yang lebih tinggi yaitu 0,1835, kemudian
dilanjutkan dengan stasiun A yang indek
kemerataannya 0,1406 tertinggi kedua
setelah stasiun D karena perairan ini
didominasi oleh tertangkapnya jenisi
Apogon ceramensis(Seriding) sebanyak 119
ekor. Dari hasil penelitian jenis ikan ini
tertangkap hampir merata di seluruh stasiun
. Untuk stasiun D yaitu karena species
Mugil
dussumieri (Belanak) mempunyai
jumlah individu yang tertangkap sangat
tinggi yaitu 133 ekor.
4.4.
Indek Kekayaan Jenis (D)
Indek kekayaan jenis (D) keempat
stasiun berkisar 1,5941 – 4,7099. Dapat
kita lihat dari keempat stasiun, species yang
paling banyak tertangkap adalah stasiun A
dengan jumlah 13 species dengan nilai
indek kekayaan jenis 4,7099. Sedangkan
kekayaan jenis yang paling rendah adalah
stasiun D yaitu individu yang tertangkap
berjumlah 5 species dengan indek
kekayaan jenis 1,5941 (Tabel 3)..
Apabila dibandingkan dengan yang
dilakukan di empat stasiun pengamatan,
,jenis yang paling banyak tertangkap pada
stasiun D adalah berjumlah 58 jenis. Jadi
dapat dikatakan bahwa kekayaan jenis di
empat lokasi perairan tergolong rendah
apabila
dibandingkan
dengan
yang
dilakukan oleh Genisa (1999) Indeks
kekayaan jenis keempat stasiun di daerah
mangrove sungai Musi Banyuasin selama 4
kali pengamatan mempunyai nilai lebih
tinggi yaitu antara 17,6880 – 30,7066.
Berdasarkan perbandingan ini sudah jelas
bahwa bahwa perairan Pantai Carocok
tergolong rendah hal ini disebabkan oleh
factor lingkungan.
Apabila lingkungan
sudah rusak, akan berakibat pada habitat
iktiofauna pada perairan tersebut akan
terganggu.
4.5.
Similiritas / Kesamaan / Kemiripan
Berdasarkan tabel 3 jelas terlihat
bahwa nilai indek similiritas keseluruhan
stasiun tergolong rendah, dengan kisaran
0,0128 – 0,0530. Hal ini berarti terdapat
stasiun yang hampir tidak mengalami
dominasi spesies tertentu. Dari keempat
stasiun, hanya stasiun D yang mempunyai
nilai indek similiritas yang lebih tinggi, yaitu
0,0530, Hal ini menunjukkan perairan
tersebut mempunyai kekayaan jenis yang
rendah
dengan sebaran tidak merata,
sedangkan staiun A, B, dan C bisa
dikatakan mengalami mendekati hampir
sama yaitu, 0,0140, 0,0211, dan 0,0186.
Dengan adanya nilai indeks ini menandakan
bahwa tidak semua spesies memiliki daya
adaptasi dan kemampuan bertahan hidup
yang sama di suatu tempat. Dengan kata
lain bahwa untuk setiap spesies mempunyai
habitat hidupnya masing-masing. Apabila
habitat terganggu secara otomatis spesies
ini tidak akan bertahan hidup, dengan kata
lain akan
pindah ketempat lain yang
habitatnya
sesuai.
Dari
pengamatan
dilapangan membuktikan bahwa kerusakan
hutan mangrove akan mempengaruhi
ekosistem pada perairan tersebut.
Fungsi
kemiripan
menghitung
kesamaan dan ketidaksamaan antara dua
objek yang diobservasi. Objek yang
dimaksud disini adalah komunitas yang
saling berbeda
menyatakan bahwa
kemiripan
suatu
komunitas
dengan
komunitas lain dapat dinyatakan dengan
koefisien similiritas ( similarity coefficients)
dan memiliki nilai yang bervariasi antara 0
(jika kedua komunitas benar-benar berbeda)
hingga 1 (jika kedua komunitas identik).
Berdasarkan
hasil
pengamatan
menunjukkan nilai similitas stasiun A nilai
similiritasnya adalah 0,0128, stasiun B
=0,0211, stasiun C= 0,0186 dan stasiun D
adalah 0,0530. Berarti untuk kempat stasiun
ini tergolong rendah .
Pengujian similaritas indeks jaccard di
dasarkan pada ada / hadir atau tidaknya
dalam suatu penarikan contoh. Jadi disini
dapat dilihat hubungan antara satu perairan
dengan perairan yang lainnya. Dari hasil
analisa yang dilakukan hubungan stasiun
A dengan stasiun B, didapatkan hubungan
kehadiran species stasiun A dengan
species stasiun B sebanyak 73 %. Ini berarti
hubungan stasiun A dan stasiun B sangat
dekat apabila dibandingkan dengan stasiun
C dan D.
Hubungan kedekatan kedua antara
stasiun A dengan stasiun C yaitu sebanyak
60 %. Ini berarti hubungan kedua terdekat
adalah dengan stasiun C, dibandingkan
dengan stasiun D.
Sedangkan hubungan kedekatan
ketiga stasiun A adalah dengan perairan D
yaitu sebanyak 25 % . Sedangkan
hubungan kedekatan species stasiun B
dengan stasiun C sebanyak 53 %, demikian
juga halnya dengan Species stasiun B
dengan stasiun D sebanyak 26 %(Tabel
3).Untuk lebih jelasnya
hubungan
similaritas ini dapat juga digambarkan
dalam bentuk grafik , yaitu antara perairan
A, B, C, dan D (Gambar 4)
Gambar
4. Garafik hubungan similaritasi
antara stasiun A,B,C, dan D,
(2015).
masyarakat,dan
limbah
pelabuhan.
Sedangkan untuk perairan B memang
berdekatan dengan stasiun A namun
mempunyai kondisi lingkungan yang
berbeda. Dari hasil penelitian dilpangan
bahwa stasiun B masih banyak di jumpai
beberapa kelompok terumbu karang yang
masih hidup dan hutan mangrove yang
kerusakannya masih belum parah, dan
mempunyai ketebalan sedimen rata-rata
10,45 cm..
Hubungan kedekatan kedua antara
stasiun A dengan stasiun C yaitu sebanyak
60 %. Ini berarti hubungan kedua terdekat
adalah dengan stasiun C, dibandingkan
dengan stasiun D. Untuk perairan
mempunyai subtrat yang lumpur berpasir
dengan ketebalan rata-rata 4,5 cm. Untuk
lokasi stasiun C di depan perairan masih
ditemukan terumbu karang yang masih
hidup dan beberapa keramba jaring apung
masyarakat, dan berdekatan dengan pintu
masuk air laut saat pasang.
Sedangkan hubungan kedekatan
ketiga stasiun A adalah dengan stasiun D
yaitu sebanyak 25 %. Untuk lokasi stasiun D
memang berdekatan dengan muara sungai
yang cukup besar yang berada di tengah
hutan mangrove. Dari tabel 3 dapat dilihat
bahwa jumlah species sedikit dibandingkan
dengan species lainnya, tetapi mempunyai
jumlah individu yang mendominasi cukup
banyak. Sedangkan hubungan kedekatan
species
stasiun B dengan stasiun C
sebanyak 53 %, demikian juga halnya
dengan Species stasiun B dengan stasiun D
sebanyak 26 %(Tabel 3). Untuk lebih
jelasnya hubungan asosiasi ini dapat juga
digambarkan dalam bentuk grafik , yaitu
antara stasiun A, B, C, dan D (Gambar 4)
Pengujian similaritas di dasarkan
pada ada / hadirnya atau tidaknya dalam
suatu penarikan contoh. Jadi disini dapat
dilihat hubungan antara satu perairan
dengan perairan yang lainnya.
Dari hasil analisa yang dilakukan
hubungan yang pertama, yaitu stasiun A
dengan stasiun B, didapatkan hubungan
kehadiran species stasiun A dengan
species stasiun B sebanyak 73 %. Ini berarti
hubungan stasiun A dan stasiun B sangat
dekat apabila dibandingkan dengan stasiun
C dan D .Kita ketahui bahwa stasiun A
lokasinya
berdekatan
dengan
lokasi
pelabuhan, yaitu sedimen yang tebal yaitu
rata-rata 32,25 cm. Hal ini disebabkan oleh
aktifitas
pelabuhan,disamping
aktifitas
penduduk yang tidak terkendalikan, yaitu 4.6. Hubungan Keanekaragaman dengan
berupa
pembuangan
hasil
limbah
Parameter lingkungan
Suhu rata-rata pada setiap stasiun
menunjukkan fluktuasi yang relatif kecil.
Untuk stasiun A, suhu rata-rata pada saat
pasang 31,45ºC dan pada saat surut 30ºC.
Stasiun B suhu rata-rata pada saat pasang
30,25ºC dan pada saat surut 29,50ºC.
Stasiun C suhu rata-rata pada saat pasang
32,30ºC dan pada saat surut 29,40ºC.
Sedangkan untuk stasiun D suhu rata-rata
pada saat pasang 31,40ºC dan pada saat
surut
29,45ºC.
Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004
Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota
Laut, melaporkan bahwa suhu optimal untuk
hutan mangrove berkisar antara 28 -- 32⁰C.
sesuai dengan kondisi yang ada di
lapangan menggambarkan bahwa suhu
rata-rata di hutan mangrove masih dalam
batas normal yaitu 29,50--32⁰C mendukung
dalam
kehidupan
biota-biota
serta
pertumbuhan hutan mangrove (tabel 4).
Kadar salinitas setiap perairan berfluktuasi
relatif kecil. Untuk stasiun A, pada saat
pasang 31 ppt dan saat surut 30 ppt.
Stasiun B pada saar pasang 32 ppt dan
saat surut 31 ppt. Stasiun C pada saat
pasang 32 ppt dan pada saat surut 32 ppt.
Sedangkan untuk stasiun D pada saat
pasang 29 ppt dan pada saat surut 27 ppt.
Sesuai dengan laporan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004
Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota
Laut, bahwa salinitas untuk kehidupan biota
laut di hutan mangrove yaitu 0 (nol) sampai
34 ppt. Dengan demikian kadar salinitas
perairan Carocok Tarusan berada dalam
kondisi ideal, yaitu 27 - 32 ppt hal ini karena
adanya masukan air laut pada saat pasang
dan masukan air tawar daridari beberapa
anak sungai yang bersumber dari
perbukitan di sekitarnya. untuk lebih jelas
lihat tabel 4 dan gambar 3.
Gambar 3. Grafik hubungan antara salinitas
dengan
indeks
keanekaragakan tiap stasiun,
Gambar 2. Grafik hubungan antara suhu
2015
dengan
indeks
keanekaragaman tiap stasiun,
Begitu juga halnya dengan dengan
2015.
kadar pH (Puissance negative de H atau
Gambar 3. Grafik hubungan antara salinitas logaritma negative dari kepekatan ion H
dengan indeks
keanekaragakan tiap yang terlepas dalam suatu larutan/ cairan)
di perairan Carocok Tarusan yaitu: Untuk
stasiun, 2015.
stasiun A pada saat pasang 7,10 dan saat
surut 6,45. Untuk stasiun B pada saat
pasang 7,00 dan pada saat surut 6,90.
Berdasarkan ketentuan ini dapat
Untuk stasiun C pada saat pasang 7,00 dan dikatakan pH perairan pantai Carocok
saat surut 7,00.
Tarusan ideal, yaitu kisaran pH 6,45 –
7,10,(tabel 4 dan gambar 4).
Tabel 4. Data hasil pengukuran parameter liongkungan pada masing-masing stasiun.
Stasiun
N
o
Parameter
Sa
tuan
A
B
C
D
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
Pasang
Surut
1
Suhu
ºC
31,45
30,12
30,25
29,50
32,30
29,75
31,40
29,45
2
Salinitas
PPT
31
30
32
31
32
32
29
27
7,10
6,45
7,00
6,90
7,00
7,00
7,00
6,50
5,2
5,5
5,3
5,5
5,5
5,5
5,5
5,5
3
4
PH
DO
-ppm
5
Kedalaman
m
1,4
0,2
1,4
0,2
1,4
0,2
1,4
0,2
6
Kecerahan
m
0,5
0,2
0,4
0,2
0,6
0,2
0,7
0,2
7
Ketebalan
sedimen
Cm
52,25
52,25
45,45
45,45
30,5
30,5
47,0
47,0
Lumpur
ber
Lum
pur ber
Lum
pur
ber
Lumpur
ber
pasir
pasir
8
Subtrat
Lumpur
berpasir
Lum
pur ber
Lumpur
berpasir
Pasir
. Demikian juga halnya dengan stasiun D
pada saat pasang 7,00 dan pada saat surut
6,50. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No.51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air
Laut untuk Biota Laut, melaporkan bahwa
pH yang ideal untuk biota air laut adalah
berkisar antara 6,5 -- 8,5. Sama dengan
Suwondo at.all., (2006) menjelaskan bahwa
kisaran pH 6,5 – 9 masih mendukung
Gambar
kehidupan perairan mangrove.
Berdasarkan ketentuan ini dapat dikatakan
pH perairan pantai Carocok Tarusan ideal,
yaitu kisaran pH 6,45 – 7,10,(tabel 4 dan
gambar 4).
pasir
Lumpur
pasir
ber
pasir
4.Grafik hubungan antara pH
dengan
indeks
keanekaragaman tiap stasiun,
2015.
Dengan demikian hutan mangrove yang
berada di perairan Carocok Tarusan ideal
untuk kehidupan iktiofauna. Untuk stasiun A
pada saat pasang kadar oksigen 5,2 ppm
dan surut 5,5 ppm. Untuk stasiun B pada
saat pasang kadar oksigen 5,3 ppm dan
surut 5,5 ppm. Stasiun C pada saat pasang
kadar oksigen 5,5 ppm dan saat surut 5,3,
sedang untuk stasiun D pada saat pasang
kadar oksigen 5,5 ppm dan saat surut 5,5
ppm, (tebel 4 dan gambar 5). Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun
2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk
Biota Laut, melaporkan bahwa kadar
oksigen terlarut yang ideal untuk kehidupan
ikan dalan air adalah > 5 ppm, jika kurang
dari itu resiko kematian ikan akan semakin
tinggi. Namun tidak semua ikan seperti itu,
sebab ada juga beberapa ikan yang mampu
hidup kadar oksigen ekstrim. Berdasarkan
data yang diambil di lapangan pada saat
penelitian rata-rata di atas 5 ppm, berarti
kondisi air laut dalam batas ideal.
Dari hasil pengamatan bahwa stasiun D ini
dialiri oleh sungai yang debit air yang cukub
besar yang kondisi hutan mangrove
tergolong rusak sedang.
Berdasarkan
spesies ikan yang
mendominasi untuk setiap stasiun terdapat
perbedaan yang cukup jelas,( gambar 6),
hal ini disebabkan oleh habitat setiap
spesies ikan sudah pasti berbeda. Untuk
stasiun D didomoinasi oleh spesies Mugil
dussumieri, karena ikan spesies ini lebih
menyukai salinitas rendah, dapat dilihat
pada tabel 5. Demikian juga halnya dengan
spesies
Luthanus
argentinaculatus
habitatnya lebih menyukai daerah salitas
rendah yaitu daerah muara sungai.
Berdasarkan data yang diperoleh di
lapangan bahwa, untuk spesies setiap
stasiun didominasi oleh spesies berbeda hal
ini disebabkan oleh habitat iktiofauna itu
masing-masing. Sesuai apa dikatakan oleh
MC Manus et. all.,(1981) dalam Genisa
(2006), menjelaskan bahwa perbedaan
keragaman jenis ikan erat hubungannya
dengan subtract, sedangkan kelimpahan
erat hubungannya dengan kesuburan
perairan.
Ket. Ac = Apogon ceramensis Pm = Panaeus
monodon Sj = Siganus javus Ts = Tetraodon
stellatus Md = Mugil dussumieri Ss = Scyla serrata
Gambar 5. Grafik hubungan DO dengan
indeks keanekaragaman tiap Gambar 6 . Grafik jumlah spesies yang
stasiun,2015.
dominan tiap stasiun, 2015.
Kalau dilihat dari jenis ikan yang
tertangkap ternyata didominasi oleh spesies V. KESIMPULAN DAN SARAN
ikan yang menyukai salinitas agak rendah.
5.1. Kesimpulan
1. Nilai indeks keanekaragaman untuk
stasiun A (Carocok) ,stasiun B (Bukit
Ameh), stasiun C (Pincuran Didiah), dan
stasiun D (Sungai Gemuruh) tergolong
rendah yaitu : rata-rata dibawah angka
1(satu).
2. Nilai indeks kemerataan rata-rata
rendah yaitu < 1 (satu).
3. Berdasarkan
hasil
pengamatan
menunjukkan nilai similaritas memiliki
nilai bervariasi diantara angka 0 (Nol)
dan angka 1 (satu),
4. Indeks kekayaan jenis untuk semua
perairan dapat digolong rendah karena
mendekati angka 0 (Nol).
5. Spesies yang hidup di perairan A
(Carocok), B (Bukit Ameh) dan C
(Pincuran Didiah) bersimilaritas dekat,
sedangkan dengan perairan D (Sungai
Gemuruh) bersimilaritas jauh.
6. Keberadaan spesies yang hampir
merata di seluruh stasiun adalah jenis
Apogon ceramensis, Scyla serata, dan
taxotes jaculatos.
7. Jumlah total ikan yang tertangkap di
perairan pantai Carocok
sebanyak
1.114 ekor yang terdiri dari 15 spesies
dan 12 genus.
Intensif Sistem Tertutup yang
Ramah Lingkungan. Jepara BBAP
Jepara.
Adiwijaya,H.2009. Kondisi Mangrove
Pantai Timur Surabaya dan
Dampaknya Terhadap lingkungan
Hidup. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan Vol. 1 Edisi Khusus.
Asriyana,M.F. Rahadrjo,S. Sukumin, D.F.
Lumban
Batu,
dan
E.S
Kartamiharja.
2009.
Keanekaragaman Ikan di Perairan
Teluk Kendari Sulaesi Tenggara.
Jurnal Iktiologi Indonesia, 9 (2) : 97
– 112 2009.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem
dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya
Peisisr
dan
Lautan,
Institut
Pertanian Bogor.
Bengen
D.G. 2001. Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
PKSPL – IPB Bogor.
Bengen,
D.G. 2001. Pedoman Teknis
Pengenalan
dan
Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan –
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Indonesia.
Bengen,D.G.
2003.
Sinopsis
Teknik
5.2. Saran
Pengambilan Contoh Dan Analisa
Data Biofisik Sumberdaya Pesisir
1. Diharapkan untuk menjaga hutan
Dan Laut. Penerbit PKSPL-IPB 023 2003.
mangrove agar keanekaragaman biota
disekitar mangrove dapat diperhatikan.
Bengen,D.G. 2004. Sinopsis Ekosistem dan
2. Dengan melihat kondisi yang ada perlu
Sumberdaya Alam Pesisir dan
pemantauan secara berkala terhadap
Laut
Serta
Prinsip
keanekaragaman ikan untuk menjamin
Pengelolaannya. Penerbit PKSPLIPB 02-3 2004.
kemantapan
ekosistem
dan
keberlanjutan sumberdaya ikan.
Blaber, S.J.M. 1997. Fish and fisheries of
tropical estuaries. Chapman &Hall.
DAFTAR PUSTAKA
London. 367 p.
Adiwidjaya, D. 2004. Budidaya Udang
Vaname (Litopenaeus vanamei)
Budiman, 2006.
Analisis Sebaran Ikan
Demersal
Sebagai
Basis
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir
Indonesia. Jurnal Oseana Volume
di Kabupaten Kendal. Tesis
XXIV, Nomor 1 1999 17 – 38
Program Pasca Sarjana Undip
Genisa,A.S. 2003 . Sebaran dan struktur
Semarang.
komunitas ikan di sekitar estuaria
Digul, Irian Jaya. Jurnal Ilmu
Dahuri, R., Rais, J.M, Ginting S.P, dan
Sitepu, M.J, 1995. Pengelolaan
Kelautan dan Perikanan “Torani”
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Universitas Hasanuddin Makasar 2
Lautan Secara Terpadu. PT
(12): 57 – 63.
Pradnya Paramita, Jakarta.
Genisa,A.S. 2004. Sebaran dan struktur
Dinas Hidro-oseanografi, TNI AL ,2010.
komunitas ikan di sekitar estuaria
Daftar Pasang Surut / Tide
Citarum, Ciliwung dan Cisadane,
Tabels,Kepulauan
Teluk
Jakarta.
Jurnal
Ilmu
Indonesia/Indonesia Archipelago.
Kelautan Dam Perikanan “Torani”
Dikeluarkan di Jakarta Oleh Dinas
Universitas Hasanuddin Makasar
Hidro-oseanografi, TNI AL.
No.1 Vol. 14 Maret 2004 : 01 – 07.
Dinas kelautan dan Perikanan Pemerintah Genisa,A.S, 2006. Keanekaragaman Fauna
Sumatera Barat 2010. Laporan
Ikan Di Perairan Mangrove Sungai
Akhir
Penyusunan
Pemetaan
Mahakan Kalimantan Timur. Jurnal
Hutan Mangrove di Sumatera
Oseanologi dan Limnologi di
Barat 2010. Lokasi Kab. Pesisir
Indonesia 2006. (41): 39 – 53.
Selatan dan Kota Padang, Dinas
Kelautan dan Perikanan Sumatera Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove
Sebagai
Pendukung
Sumber
Barat.
Hayati Perikanan Pantai. Jurnal
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Litbang Pertanian, 23 (1).
Pesisir Selatan (2011) Laporan
Status Lingkungan Hidup Daerah Hadipurnomo,1995. Fungsi dan Manfaat
Mangrove di Dalam Mintakat
(SLHD). Pemerintah Kabupaten
Pantai (coastal Zone) , Duta
Pesisir Selatan.
Rimba/ Maret – April /177FAO
Rome,1982.
Hutching,P
and
178/XXI1995. Hal 11.
P.Saenger. Ecology of Mangroves.
University
of
Queensland, Haryono, 2012. Iktiofauna Perairan Lahan
Gambut Pada Musim Penghujan di
London,1987 Mann, K.H. Ecology
Kalimantan
Tengah.
Jurnal
of Coastal Water. Second Edition.
Iktiologi Indonesia, 12(1):83-9.
Blackwell Science. 2000 Saenger,
P. E. J, Hegerl, and J.P.S. Davie.
Hukom,F.D, 2010. Keanekaragaman dan
Global
Status
of
Mangrove
Kelimpahan Sumberdaya Ikan di
Ecosystems.
Teluk Klabat ,Perairan Bangka
Belitung. Jurnal Iktiologi Indonesia,
Fitriana,Y.R. 2006. Kenekaragaman dan
10 (1) : 11 – 23, 2010
Kemelimpahan Makrozoobentos di
Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi
Kamal,E. Hermalena,L. Tamin,R. dan
Taman Hutan Raya Ngurah Rai
Suardi,ML.(2005).
Mangrove
Bali. Jurnal Biodiversitas. Vol. 7 (1)
Sumatera Barat. Pusat Kajian
hal. 67-72 Januari 2006.
Mangrove dan Kawasan Pesisir.
Genisa,A.S. 1999. Pengenalan Jenis-Jenis
Ikan Laut Ekonomis Penting Di
Penerbit Bung Hatta Press.
Kamal,2006. Potensi Dan Pelestarian
Sumberdaya
Pesisir
Hutan
Mangrove Dan Terumbu Karang Di
Sumatera Barat Jurnal, Mangrove
Dan Pesisir, Vol. VI (2) 2006.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of
Ecology.
W.B.
Sounders,
Philadelphia, London and Toronto
574 pp.
KEPMEN Negara Lingkungan Hidup No. 51
tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Peraturan Pemerintah Nomor. 82 Tahun
2001.Tentang
Pengelolaan
Laut Untuk Biota Laut.
Kualitas Air Dan Pengendalian
KEPMEN Negara Lingkungan Hidup No.
Pencemaran Air.
201 Tahun 2004. Tentang Kriteria
Baku Mutu Air Laut dan Pedoman Praditya.R.K. 2013. Ekosistem Hutan
Mangrove. Teknik Lingkungan,
Penentuan Kerusakan Mangrove.
Fakultas
Teknik
Sipil
&
Ludwig, J.A. Reynolds.J.F. 1988. Stastical
Perencanaan Universitas Islam
ecology. A primer methods and
Indonesia.
computing. John Wiley & Sons.
Purnami.A.T, Sunarto, dan
Setyono.P.
New York
2010. Study of Bentos Community
Mahmudi,M.
Soewardi,K.
Kusmana,C.
Based on Diversity And Similarity
Hardjomiddjojo,H. dan Damar,A.
Indeks In Cengklik Dam Boyolali.
Jurnal Ekosains Vol. II (2) Juli
2008. Laju Dekomposisi Serasah
Mangrove
Dan
Kontribusinya
2010.
Terhadap Nutrien Di Hutan
Mangrove
Reboisasi.
Jurnal Restu.I.W. 2002. Kajian Pengembangan
Wisata Mangrove di Taman Hutan
Penelitian Perikanan Vol.II (1) Juni
Raya Ngurah Rai Wilayah Pesisir
2008 19-25.
Selatan Bali. Tesis : Program
Nuddin H. dan Graziano R, 2011. Analisis
Pascasarjana Institut Pertanian
Indikator
Utama
Pengelolaan
Bogor.
Hutan
Mangrove
Berbasis
dan
Kunci
Masyarakat di Desa Curahsawo , Saanin,H.1984.Taksonomi
Identifikasi
Ikan
1.
Penerbit
Kec.
Gending
Kabupaten
Binacipta.
Probolinggo.
Jurnal
Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan,
Saanin,H.1984.Taksonomi
dan
Kunci
Hal. 29. Vol. 6 (1), Juni 2011.
Identifikasi Ikan 2. Penerbit
Terakreditasi
B
No.
Binacipta.
335/AU1/P2MBI/04/2011.
Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan
Nurgayah, W. 2008. Tesis. Tipologi
Ekosistem Mangrove. Makalah
Fungsional
Mangrove
dan
disamapaikan pada Lokakarya
Keterkaitannya dengan Komunitas
Nasional Pengembangan Sistem
Iktiofauna
di
Pulau
Lentea
Pengawasan
Ekosistem
Laut
Kecamatan Kaledupa Selatan
Tahun 2000. Jakarta Indonesia.
Kabupaten Wakatobi Sulawesi
Tenggara.
Simanjuntak, C.P.H, Sulistiono, Rahardjo,
M.F, dan Zahid A. 2011.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu
Iktiodiversitas di perairan Teluk
Pendekatan
Ekologis.
PT
Bintuni,Papua
Barat.
Jurnal
Gramedia Jakarta.
Iktiologi Indonesia, 11(2):107-126,
Suprapto, Herlisman, dan Wgiyo,K.2006.
Kondisi Perairan Dasar Dan
Kelimpahan Populasi Bentos Di
Perairan Arafura. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia Vol.12 (3)
hal. 211-217 Desember 2006.
Suwondo, Febrita E, Sumanti F, 2006.
Struktur Komunitas Gastropoda
Pada Hutan Mangrove Di Pulau
Sipora
Kabupaten
Kepulauan
Mentawai Sumatera Barat. Jurnal
Biogenesis Vol. 2 (1): 25-29
Zahid, A, Simanjuntak,C.P.H, Rahardjo,
M.F, dan Sulistio. 2011. Iktiofauna
Ekosistem Estuaria Mayangan
Jawa Barat.
Jurnal Iktiologi
Indonesia, 11 (1) 77-85 Juni 2011.
Download