Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan

advertisement
Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura
Yudistira Aria Satyakusuma dan Ning Rahayu
Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Transfer pricing merupakan praktik yang lazim digunakan oleh multinational enterprises dalam kegiatan usahanya.
Transfer pricing yang dilakukan oleh multinational enterprises memungkinkan terjadinya pengenaan pajak
berganda. Untuk mendapatkan kepastian dalam metode transfer pricing yang dilakukannya maka advance pricing
agreement dapat digunakan. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai penerapan advance pricing
agreement di Indonesia dan faktor-faktor yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penerapan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif didapatkan melalui
studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah penerapan advance pricing agreement di
Indonesia masih memiliki banyak kekurangan bila dibandingkan dengan Singapura, faktor-faktor penghambat
penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan saran agar Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di
Indonesia memperbaiki peraturan pelaksana advance pricing agreement dan mengatasi faktor-faktor penghambat
penerapan advance pricing agreement di Indonesia.
Analysis on Advance Pricing Agreement Application in Indonesia and Singapore
Abstract
Transfer pricing is a common practices used by multinational enterprises in their business activities. Transfer pricing
used by multinational enterprises leads to possibility of double taxation. To get a certainty on their transfer pricing
method, multinational enterprises can use advance pricing agreement. This study aims to provide an overview of
advance pricing agreement application in Indonesia and obstacles faced by Directorate General of Tax in its
application. The method use was a qualitative study with qualitative data analysis. Qualitative data was obtained
through study of literature and in-depth interviews. The result of this study is advance pricing agreement application
in Indonesia still have many inadequacy compared with Singapore, obstacle on advance pricing agreement
application in Indonesia and suggestion so Directorate General of Tax as Indonesian tax authority can make
improvement on advance pricing agreement regulation and how to overcome obstacles on advance pricing agreement
implementation in Indonesia.
Key Words: Advance Pricing Agreement, transfer pricing, double taxation
Pendahuluan
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional, dan teknologi memberikan dampak
signifikan terhadap ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi global juga dibantu oleh perusahaan
multinasional (Multinational enterprises) sebagai pelaku perdagangan internasional yang
memanfaatkan perkembangan teknologi, transportasi dan komunikasi untuk menjalankan usaha
nya di beberapa negara.
Ada beberapa alasan mengapa investor asing dari negara maju melakukan investasi di negara
berkembang. Lal Das menyebutkan bahwa ada tiga alasan utama yang mendorong investor asing
dari negara maju melakukan investasi di negara berkembang. Pertama adalah pemahaman bahwa
keuntungan dari modal yang diperoleh di negaranya kurang memadai, kedua adalah sebagai
upaya untuk mengkombinasikan modal yang dimilikinya dengan tenaga kerja yang murah di
negara tujuan investasi untuk mengurangi biaya produksi, dan ketiga adalah penggunaan bahan
baku di negara berkembang yang dekat dengan sumbernya (Rahayu, 2008, p. 2).
Berkembangnya multinational enterprises di Indonesia membuka jalan terjadinya cross-border
transaction atas transaksi intracompany antara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam
satu grup (related parties). Transaksi antar related parties adalah masalah penting dalam hal
perpajakan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi dengan
related parties dan transaksi yang tidak dipengaruhi oleh related parties (independen). Transaksi
antar related parties memungkinkan adanya perhitungan harga, imbalan, atau persyaratan dagang
(term of trade) pembiayaan dan pelaksanaan bisnis antar related parties ditentukan berdasarkan
kebijakan harga transfer (transfer pricing) sebagai salah satu cara dalam melakukan manajemen
pajak (tax planning) yang bertujuan untuk melakukan penghematan pembayaran pajak (tax
saving) (Gunadi, 2007, p. 222).
Otoritas pajak suatu negara dalam usahanya untuk melindungi penerimaan negara di bidang
perpajakan umumnya memberlakukan keharusan pelaporan dokumentasi transfer pricing (TP
Doc / Transfer Pricing Documentation) atas transaksi yang dilakukan oleh wajib pajaknya
dengan related parties untuk membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan dengan related
parties sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle) sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value). Pada dasarnya
arm’s length principle adalah prinsip dimana dalam melakukan transaksi dengan related parties
harus sama dengan transaksi antara pihak yang tidak tergabung dalam related parties. Dalam
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
menentukan arm’s length principle, untuk suatu komoditas atau barang berwujud, fair market
value dapat terlihat dari perbandingan harga serupa dengan pihak lain di luar related party.
Berbeda dengan penentuan arm’s length principle untuk suatu barang khusus, barang tidak
berwujud, atau jasa yang terkadang sulit untuk menentukan barang atau jasa pembanding yang
digunakan untuk menentukan arm’s length principle.
Dalam penentuan arm’s length principle oleh wajib pajak, terkadang terjadi dispute antara
otoritas pajak dengan wajib pajak mengenai metode yang digunakan dalam penentuan arm’s
length principle. Untuk mengurangi ketidakpastian bagi wajib pajak yang menunggu disetujui
atau tidaknya arm’s length principle yang telah ditentukannya oleh otoritas pajak melalui
pemeriksaan dan penyidikan pajak yang memakan waktu dan dana yang tidak sedikit, wajib
pajak dapat melakukan negosiasi di muka mengenai metode transfer pricing yang dilakukannya
dengan memanfaatkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement / APA). Advance
pricing agreement dikembangkan sebagai suatu alternatif dalam mengatasi masalah penentuan
metode transfer pricing dengan menegosiasikan metode transfer pricing yang digunakan oleh
wajib pajak dengan otoritas pajak dan bila diperlukan dengan mitra otoritas pajak negara lain (tax
treaty partner).
Perbedaan sistem perpajakan antara dua Negara akan menyebabkan terjadinya pengenaan pajak
berganda terhadap penghasilan orang atau badan yang sama (Surahmat, 2005, p. 2) untuk
menghindari hal tersebut advance pricing agreement dapat digunakan karena advance pricing
agreement adalah salah satu bentuk dari advance ruling system yaitu sebuah sistemb dalam
perpajakan yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk mendapatkan suatu kepastian pajak atas
kegiatan bisnisnya. Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak dapat memperoleh
kepastian perpajakan atas kegiatan bisnisnya untuk menghindari kesalahan dan sanksi yang
mungkin didapatkan karena ketidaktahuannya. Advance pricing agreement juga dapat dilakukan
secara bilateral dan multilateral untuk menghindari terjadinya pajak berganda.
Sebagai salah satu pendekatan yang proaktif dalam menangani permasalahan transfer pricing,
advance pricing agreement dapat meningkatkan baik efektifitas maupun efisiensi perusahaan
dengan memberikan sebuah perkembangan administratif dalam hal penentuan metode transfer
pricing dan mencegah terjadinya dispute di masa yang akan datang dengan otoritas pajak
mengenai metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak dan memberikan suatu
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
kepastian dan mengurangi biaya yang mungkin terjadi karena advance pricing agreement
merupakan suatu perjanjian yang mengikat. Banyak negara yang telah mengadopsi advance
pricing agreement sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan transfer pricing yang telah
mendunia, tercatat per januari 2012 telah ada lebih dari 30 negara yang mengadopsi advance
pricing agreement (Ernst &Young Global survey 2010).
Perkembangan advance pricing agreement di Indonesia yang terbilang lambat sejak pertama kali
diundangkan mulai mencapai titik cerah saat PER-69/PJ/2010 dikeluarkan karena untuk pertama
kali nya sejak diundangkan wajib pajak di Indonesia mendapatkan suatu panduan (guidelines)
untuk memulai proses pengajuan advance pricing agreement. PER-69/PJ/2010 mengatur tentang
tata cara pengajuan advance pricing agreement meskipun belum secara sempurna memberikan
hal-hal yang dirasa penting bagi wajib pajak untuk menggunakan advance pricing agreement
dalam penentuan metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak. Namun sejak
keluarnya PER-69/PJ/2010 hingga tahun 2014 belum ada satu pun perusahaan yang proses
pengajuan advance pricing agreement nya dapat diselesaikan (hasil wawancara dengan Anung
Andang Wiratama), berbeda dengan Singapura yang pada tahun 2012 saja berhasil
merampungkan 11 pengajuan advance pricing agreement secara unilateral dan bilateral.
Dalam proses pematangan yurisdiksi transfer pricing oleh pemerintah Indonesia salah satu yang
harus diperhatikan adalah penting nya peran advance pricing agreement sebagai solusi dalam
pencegahan penyalahgunaan transfer pricing khususnya bagi multinational enterprises yang
banyak berekspansi ke Indonesia. Lambatnya perkembangan advance pricing agreement di
Indonesia bertolak belakang dengan perkembangan advance pricing arrangement di Singapura,
dengan adanya beberapa faktor yang menghambat perkembangan advance pricing agreement di
Indonesia. Pokok permasalahan di atas dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan di Singapura?
2. Apa faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia?
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan bagaimana penerapan advance pricing
agreement di Indonesia dan Singapura serta menjelaskan faktor-faktor yang menghambat
penerapan advance pricing agreement di Indonesia.
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Tinjauan Teoritis
1. Perusahaan multinasional ( Multinational Enterprise / MNE )
Menurut Rugman (2007, p. 1) adalah perusahaan yang menjalankan produksi dan atau
mendistribusikan produk dan atau jasa antar Negara. Ekspansi yang dilakukan oleh
multinational enterprises dalam bentuk Foreign Direct Investment / FDI untuk menjalankan
usahanya dapat terbagi menjadi dua yaitu cabang (branch) dan anak perusahaan (subsidiary
company)
2. Tax Planning
Mohammad Zain dalam buku Manajemen Perpajakan, menyatakan bahwa tax planning
adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa
sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam
posisi yang paling minimal sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku maupun secara komersial. Lebih lanjut, ia
juga menyimpulkan bahwa tax planning adalah perbuatan yang sifatnya mengurangi beban
pajak secara legal dan bukan mengurangi kesanggupan memenuhi kewajiban perpajakannya
melunasi utang-utang pajaknya.
3. Transfer Pricing
Transfer pricing dapat disimpulkan sebagai salah satu strategi tax planning yang sering
dilakukan oleh MNE yang tergabung dalam related parties dimana pemberian imbalan atas
suatu jasa dan atau barang dapat direkayasa sedemikian rupa sesuai dengan kebijaksanaan
induk perusahaan. Hal tersebut dilakukan karena umumnya MNE
bertujuan untuk
memaksimalkan laba perusahaan secara keseluruhan. Menurut Santoso (2007, p. 59) transfer
pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan
dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas bagi multinational enterprises.
4. Advance Pricing Agreement
Menurut Gunadi (2007, p. 249) advance pricing agreement adalah suatu perjanjian yang
mengikat kedua belah pihak (wajib pajak dan otoritas pajak) yang dimulai dengan
permintaan wajib pajak untuk memperoleh kepastian atas metode transfer pricing yang
dilakukannya. Salah satu kepastian yang diperoleh dengan adanya advance pricing
agreement adalah terhindar dari pengenaan pajak berganda jika dilakukan secara bilateral
atau multilateral yang diakibatkan oleh perbedaan yurisdiksi fiskal (Knechtle,1979, p. 23)
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena dapat
memberikan pemahaman menyeluruh atas penerapan advance pricing agreement di indonesia,dan
memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan advance pricing
agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Singapura.
Salah satu ciri dari penelitian kualitatif adalah digunakannya metode-metode kualitatif. Metode
yang sering digunakan pada penelitian kualitatif adalah pengamatan, wawancara, atau penalahaan
dokumen (Lexy J. Moleong, 2007, p. 9). Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan (Library Research)
2. Studi Lapangan (field research)
Analisis data dilakukan sejalan dengan pengumpulan data, tidak ada aturan baku untuk
menganalisis data kualitatif. Data yang berasal dari wawancara dianalisis secara deskriptif dan
diilustrasikan dengan contoh-contoh, termasuk kutipan-kutipan dan rangkuman dari dokumen
dianalisis secara verbal (Lexy J. Moleong, 2007, p. 36). Studi kepustakaan dilakukan dengan
mempelajari dan menelaah berbagai literature untuk mengumpulkan sebanyak mungkin
pengetahuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang dapat diterapkan dalam
penelitian yang dilakukan.
Agar penelitian menjadi fokus dan terarah peneliti membatasi penelitian ini pada penerapan
advance pricing agreement di Indonesia, faktor–faktor yang menghambat penerapan advance
pricing agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di
Singapura. Penelitian tidak dilakukan untuk menentukan metode transfer pricing yang tepat
dalam pengajuan permohonan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Melalui perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura
diperoleh data sebagai berikut:
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Tabel 1. Perbandingan Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura
Proses APA
Sejarah
Indonesia
Singapura
Diundangkan pertama Diperkenalkan
kali pada tahun 2000 tahun
dan
pada Indonesia
2006
peraturan peraturan
dan membutuhkan waktu
pelaksana 10
pelaksana dikeluarkan dikeluarkan
pada tahun 2010
Perbedaan
tahun
untuk
pada mengeluarkan
tahun 2008
peraturan
pelaksana
sedangkan Singapura
hanya membutuhkan 2
tahun
Pertemuan Awal
Pertemuan dilakukan Pertemuan dilakukan Pertemuan
awal
di
antara wajib pajak dan antara wajib pajak dan Indonesia membahas
Direktorat
Pajak
membahas
Jenderal Inland
Revenue kemungkinan
untuk Authority
of diikutsetakannya
advance Singapore
untuk otoritas pajak asing
pricing agreement dan membahas
perlu
tidaknya pricing
mengikutsertakan
Inland
otoritas pajak asing
Authority
advance dalam
pembahasan
agreement. advance
pricing
Revenue agreement sedangkan
of di
Singapura
Singapore mendorong pengajuan
wajib pajaknya untuk pricing
mengadakan
advance
agreement
secara bilateral atau
pembahasan advance multilateral dilakukan
pricing
agreement dengan metode MAP
dengan otoritas pajak APA
yaitu
dengan
asing jika mengajukan mengajukan advance
advance
agreement
pricing pricing
bilateral juga dengan otoritas
atau multilateral
Pengajuan Formal
Wajib
pajak Wajib
agreement
pajak asing
pajak Tidak ada perbedaan
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
mengajukan
mengajukan
permohonan
formal permohonan
setelah
melakukan setelah
pertemuan
Direktorat dengan
Jenderal
Pajak
formal proses
pengajuan
melakukan advance
awal pertemuan
dengan
yang signifikan dalam
pricing
awal agreement
secara
Inland formal di Indonesia
dan Revenue Authority of dan Singapura
melengkapi informasi Singapore
dan
yang diperlukan untuk melengkapi informasi
pembahasan
yang diperlukan untuk
pembahasan
Pembahasan
Pembahasan
Pembahasan
Proses
pembahasan
dilakukan antara wajib dilakukan antara wajib advance
pajak
pricing
dengan pajak dengan Inland agreement
Direktorat
Jenderal Revenue Authority of unilateral
secara
dilakukan
Pajak (unilateral) atau Singapore (unilateral) antara wajib pajak dan
Direktorat
Jenderal atau Inland Revenue otoritas
Pajak dengan otoritas Authority
pajak
asing
(bilateral
terkait Singapore
pajak,
of sedangkan
untuk
dengan bilateral
dan
atau otoritas pajak asing multilateral dilakukan
multilateral)
terkait (bilateral atau antara otoritas pajak
multilateral)
dengan otoritas pajak
asing terkait melalui
mutual
agreement
procedure
Penerbitan
Diterbitkan
selesai
setelah Diterbitkan
setelah Penerbitan
melakukan melakukan pertemuan pricing agreement di
pembahasan
dalam akhir
antara
wajib Indonesia
jangka waktu 20 hari pajak dengan Inland melalui
kerja
advance
dan
harus Revenue Authority of akhir
disepakati oleh wajib Singapore
tidak
pertemuan
namun
tetap
untuk harus disepakati oleh
pajak dan Direktorat mensepakati advance Direktorat
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Jenderal
Jenderal Pajak
pricing agreement dan Pajak dan wajib pajak
mendiskusikan detail
advance
pricing
agreement Evaluasi
Evaluasi atas advance Evaluasi
pricing
agreement dengan
dilakukan Proses
evaluasi
mewajibkan terhadap
advance
yang telah disepakati wajib
pajak pricing agreement di
dilakukan dengan cara melaporkan
laporan Indonesia
dan
mewajibkan
wajib tahunan
pajak
untuk diserahkan bersamaan mewajibkan pelaporan
melaporkan
yang Singapura
laporan dengan annual income tahunan
tahunan paling lama 4 tax
return
atas
(SPT pelaksanaan advance
bulan setelah tahun tahunan)
pricing agreement
pajak berakhir.
1. Perbandingan Pertemuan Awal dan Pembahasan
Dalam proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia melalui perbandingan
dengan Singapura sesuai dengan tabel di atas dapat dilihat bahwa proses pembahasan
advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral di Singapura berawal dari wajib
pajak yang juga melakukan pembahasan advance pricing arrangement dengan otoritas pajak
asing, sedangkan proses pembahasan tersebut di Indonesia berawal dari permohonan wajib
pajak.
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Gambar 1 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Indonesia
Gambar 2 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Singapura
Melalui kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada pembahasan
advance pricing agreement secara bilateral di Indonesia sesuai ilustrasi tersebut adalah PT. A
mengajukan permohonan advance pricing agreement kepada Direktur Jenderal Pajak,
Direktur Jenderal Pajak kemudian memanfaatkan Exchange of Information dengan otoritas
pajak asing untuk kemudian mengundang otoritas pajak asing tersebut melalui APA, setelah
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
terjadi kesepakatan maka otoritas pajak asing tersebut akan melakukan coresponding
adjustment kepada A Corp. Sedangkan proses yang terjadi di Singapura melalui ilustrasi di
atas adalah A Corp berkoordinasi dengan related party mereka di luar negeri yaitu A Bhd
untuk bersama-sama mengajukan advance pricing agreement kepada otoritas pajak masingmasing Negara lalu otoritas pajak masing-masing negara akan menggunakan Exchange of
Information untuk kemudian bersama-sama melakukan mutual agreement procedure.
Pembahasan advance pricing agreement di Indonesia dilaksanakan oleh Subdirektorat
Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional sedangkan di Singapura pembahasan
advance pricing agreement dilaksanakan oleh Corporate Tax Division dalam hal advance
pricing agreement yang diajukan adalah unilateral karena masih merupakan bagian dari
advance ruling system yang berlaku di Singapura, dan International Tax Affairs and
Relations Branch jika advance pricing agreement yang diajukan adalah bilateral atau
multilateral. Pembahasan advance pricing agreement secara bilateral atau multilateral akan
dilakukan oleh otoritas pajak Negara yang terkait dengan advance pricing agreement
tersebut.
Tahapan pembahasan advance pricing agreement adalah tahapan yang paling lama dalam
proses pengajuan advance pricing agreement ditambah lagi jika advance pricing agreement
yang diajukan berupa bilateral dan multilateral karena kesepakatan yang ingin dicapai bukan
hanya antara wajib pajak dan otoritas pajak melainkan memerlukan kesepakatan dengan
otoritas pajak asing yang terkait untuk menghindari terjadinya double taxation. Pembahasan
advance pricing agreement sebaiknya dilakukan oleh tim yang kompeten dan memiliki
pengalaman, khususnya dalam bidang audit untuk mengetahui secara pasti apakah metode
transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak telah sesuai dengan fakta dan negosiator
yang memahami perpajakan internasional untuk melakukan negosiasi dengan otoritas pajak
asing agar melakukan corresponding adjustment. Dalam proses pembahasan secara bilateral
dan multilateral sebaiknya turut melibatkan wajib pajak untuk menyampaikan pandangannya
terhadap metode transfer pricing yang digunakannya agar dapat menjadi pertimbangan para
otoritas pajak yang terlibat.
Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement seperti yang dilakukan oleh
Singapura juga dapat ditiru di Indonesia karena tidaklah relevan dalam pembahasan advance
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
pricing agreement secara unilateral melibatkan tim pelaksana yang memiliki spesialisasi
dalam perpajakan internasional. Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing
agreement tersebut juga berdampak pada load kerja yang dilakukan tim pembahasan
sehingga akan lebih efektif jika pembagian kerja dilakukan berdasarkan jenis advance
pricing agreement yang diajukan.
Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement unilateral dapat
dilimpahkan kepada Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan Badan karena sesuai dengan
fungsinya yang tertulis pada PMK 184/PMK.01/2010 pasal 415 salah satunya adalah
penyiapan dan penyusunan petunjuk pelaksanaan dan penegasan (ruling) di bidang Pajak
Penghasilan Badan. Dengan fungsi Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan Badan untuk
memberikan penegasan (ruling) maka akan relevan dengan sifat dari advance pricing
agreement secara unilateral karena masih termasuk dalam advance ruling system.
2. Perbandingan Jangka Waktu Berlakunya Advance Pricing Agreement
Advance pricing agreement merupakan suatu kesepakatan yang memberikan kepastian
kepada wajib pajak atas metode transfer pricing pada suatu transaksi terhadap related party
yang akan dilakukannya dalam suatu periode yang telah disepakati. Periode yang dicakup
dalam advance pricing agreement belum termasuk dengan periode sebelumnya yang dapat
disesuaikan (compensating adjustment) jika wajib pajak merasa periode sebelumnya belum
mencerminkan hasil advance pricing agreement (roll-back).
Periode yang berlaku dalam advance pricing agreement di Indonesia paling lama adalah 3
tahun pajak yang dihitung sejak tahun pajak saat advance pricing agreement disepakati.
Periode roll-back di Indonesia diperbolehkan selama tahun pajak yang bersangkutan belum
pernah dilakukan pemeriksaan, keberatan, banding, dan tidak terdapat indikasi tindak pidana
di bidang perpajakan, kriteria tersebut berlaku untuk advance pricing agreement secara
unilateral, bilateral, dan multilateral.
Berbeda dengan Indonesia, periode yang dicakup dalam advance pricing arrangement di
Singapura paling lama adalah 5 tahun. Periode roll-back di Singapura diperbolehkan untuk
advance pricing arrangement secara bilateral dan multilateral namun tidak melebihi 2 tahun
sejak periode yang dicakup oleh advance pricing arrangement sepanjang tidak ada
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
perubahan besar dalam metode transfer pricing yang digunakan. Dalam advance pricing
arrangement
secara
unilateral,
Inland
Revenue
Authority
of
Singapore
tidak
memperbolehkan adanya periode roll-back.
Jangka waktu berlakunya advance pricing agreement di Indonesia sebaiknya ditingkatkan
paling tidak menjadi paling lama 5 tahun karena proses pengajuan advance pricing
agreement memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Analisis penulis juga didukung oleh OECD yang menyebutkan bahwa jangka waktu yang
efektif dalam berlakunya advance pricing agreement adalah 3 sampai 5 tahun yang berarti
jangka waktu berlakunya advance pricing agreement di Indonesia adalah jangka waktu
minimum seperti yang disarankan oleh OECD, ditambah lagi dalam PER-69/PJ/2010 belum
mengatur tentang proses renegosiasi advance pricing agreement yang akan atau sudah
berakhir sehingga dikhawatirkan wajib pajak akan merasa tidak efektif untuk mengikuti
program advance pricing agreement di Indonesia karena tidak dapat memberikan efek yang
signifikan terhadap kegiatan usaha wajib pajak.
Masa roll-back di Indonesia diperbolehkan selama belum pernah dilakukan pemeriksaan,
keberatan, banding dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, namun
menurut pasal 8 Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan (Undang-Undang KUP) tertulis bahwa pembetulan Surat Pemberitahuan
harus disampaikan paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan. Dengan kata lain masa
roll-back yang berlaku sesungguhnya di Indonesia adalah 3 tahun (2 tahun sebelum
daluwarsa penetapan), kecuali metode transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak dalam
advance pricing agreement tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu 5 tahun
(daluwarsa penetapan) yang menyebabkan wajib pajak tidak harus melakukan pembetulan
Surat Pemberitahuan sehingga masa roll-back adalah 5 tahun. Fakta yang terjadi di lapangan
ternyata berbeda dengan analisis penulis, berdasarkan wawancara dengan Bapak X, Transfer
Pricing Manager di salah satu konsultan pajak terkemuka di Indonesia, diketahui bahwa
hasil diskusi Bapak X dengan tim pelaksana advance pricing agreement menyimpulkan
bahwa roll-back ternyata hanya diberikan sejak tahun pajak pengajuan advance pricing
agreement, hal ini tidak dijelaskan di PER-69/PJ/2010 sehingga penulis merasa Direktorat
Jenderal Pajak harus menjelaskan lebih lanjut tentang masa roll-back yang diperbolehkan.
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
3. Tim Pelaksana Advance Pricing Agreement
Menurut OECD Guidelines, tim pelaksanaan advance pricing agreement harus mempunyai
transfer pricing specialist dalam bidang audit namun mempunyai peran yang berbeda dengan
transfer pricing specialist pada audit lapangan. Advance pricing agreement merupakan salah
satu solusi penanganan transfer pricing yang menyepakati metode transfer pricing yang
digunakan oleh wajib pajak dan prinsip kewajaran dan kelaziman yang digunakan. Untuk
mengetahui dengan tepat, maka tim pelaksana advance pricing agreement harus memiliki
auditor yang dapat menguji perumusan advance pricing agreement yang diberikan oleh wajib
pajak.
Berdasarkan wawancara dengan Anung Andang Wiratama, Pelaksana Seksi Perjanjian Asia
Pasifik, Direktorat Jenderal Pajak, proses seleksi yang telah dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak hanya menguji kemampuan Bahasa Inggris dan perpajakan internasional
sehingga penulis menganggap peningkatan kompetensi di tim pelaksana advance pricing
agreement belum tepat sasaran. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan dua hal
yaitu dengan merekrut ahli-ahli di bidang yang diperlukan, atau dengan melakukan pelatihan
khusus, training, dan program kesempatan pendidikan. Proses rekrutmen dalam tim
pelaksana advance pricing agreement sebaiknya dilakukan dalam beberapa bidang seperti
ahli industri keuangan, manufacturing, jasa, minyak dan gas, pertambangan dan lain-lain, ahli
ekonomi, ahli perpajakan internasional dan auditor transfer pricing.
Peningkatan kompetensi dalam berbagai bidang industri dilakukan agar Direktorat Jenderal
Pajak dapat menggali lebih dalam tentang kegiatan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak
yang mengajukan advance pricing agreement. Sifat advance pricing agreement yang
merupakan sebuah individual ruling berarti dalam pelaksanaan advance pricing agreement
Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menerapkan prinsip umum suatu usaha karena mungkin
akan bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan sehingga diperlukan ahli dalam
bidang usaha wajib pajak yang mengajukan advance pricing agreement untuk mengetahui
fakta di lapangan.
Ahli ekonomi dalam tim pelaksana advance pricing agreement diperlukan untuk mengetahui
apakah critical assumptions yang diajukan saat pengajuan advance pricing agreement oleh
wajib pajak telah sesuai dengan proyeksi yang akan datang atau tidak. Critical assumptions
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
merupakan proyeksi atas beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha wajib
pajak di masa yang akan datang yang juga mempengaruhi apakah metode transfer pricing
yang dicakup dalam advance pricing agreement akan tetap relevan atau tidak.
Ahli perpajakan internasional dibutuhkan dalam tim pelaksana advance pricing agreement
untuk melakukan perjanjian perpajakan internasional seperti mutual agreement procedure
dalam hal advance pricing agreement bilateral atau multilateral. Keahlian perpajakan
internasional juga diperlukan untuk menentukan adjustment pada transaksi transfer pricing
yang diajukan dalam rangka penghindaran pengenaan pajak berganda.
Auditor transfer pricing diperlukan dalam tim pelaksana advance pricing agreement untuk
mengetahui apakah metode transfer pricing yang diajukan sudah tepat atau tidak. Auditor
dalam pelaksanaan advance pricing agreement sebaiknya mempunyai peran yang berbeda
dengan auditor lapangan.
4. Perbandingan Sistem Hukum
Perbedaan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan Singapura juga membedakan
penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura. Sistem hukum yang
berlaku di Indonesia adalah Civil Law yang banyak berkembang di benua Eropa dan dibawa
ke Indonesia oleh Belanda. Civil law menurut Tetley (1994, p, 596) “Civil law is highly
systematised and structured and relies on declaration of broad, general principles, often
ignoring the details” yang dapat diartikan dengan “Civil law sangat tersistematis dan
terstruktur dan bergantung kepada deklarasi secara umum, prinsip umum, seringkali tidak
melihat detail” Singapura yang lama diduduki oleh Inggris menganut sistem Common law
yang banyak berkembang di Inggris. Common law menurut Tetley (1994, p, 597) “Common
law adalah tradisi hukum yang berkembang di Inggris. Prinsip yang muncul dalam hampir
semua keputusan tergantung kepada fakta spesifik keadaan yang muncul dalam perselisihan
yang ditangani”
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Civil law menggunakan prinsip yang
berlaku secara umum sedangkan Common law lebih melihat fakta spesifik yang terjadi dalam
suatu situasi.
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Berdasarkan perbedaan tersebut penerapan advance pricing agreement di Indonesia akan
lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan Singapura karena advance pricing agreement
merupakan salah satu bentuk individual ruling. Dalam sistem civil law, hukum diterapkan
secara umum dengan menggunakan prinsip yang berlaku secara umum sehingga berbeda
dengan bentuk individual ruling yang ditentukan melalui fakta spesifik yang terjadi yang
mungkin bertentangan dengan prinsip umum dan mungkin berbeda dengan peraturan yang
berlaku.
Tabel 2. Advance Pricing Agreement di Beberapa Negara Tahun 2010
Negara
Sistem Hukum
Jumlah APA yang
berlaku
Kanada
Common Law
96
Amerika Serikat
Common Law
973
Inggris
Common Law
72
Jerman
Civil Law
12
Spanyol
Civil Law
30
Prancis
Civil Law
76
Berdasarkan data yang penulis kumpulkan dari beberapa sumber tersebut dapat terlihat bahwa
melalui perbandingan singkat sistem hukum di beberapa Negara terhadap advance pricing
agreement yang dihasilkannya Negara dengan sistem hukum common law melakukan
advance pricing agreement yang lebih banyak dibandingkan dengan Negara civil law, ratarata perbandingan di atas adalah 380 per Negara common law berbanding dengan 39 per
Negara civil law. Perbandingan juga dapat dilakukan antara Indonesia dengan India, India
yang menggunakan civil law baru mempunyai peraturan advance pricing agreement pada
Agustus 2012, namun pada Maret 2014 India sudah menerbitkan 5 advance pricing
agreement unilateral, berbeda dengan Indonesia yang lebih dulu mempunyai peraturan
pelaksana advance pricing agreement pada tahun 2010 namun hingga sekarang belum ada
satupun permohonan advance pricing agreement yang disepakati.
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
5. Faktor Penghambat Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia
Faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dapat dibagi menjadi
dua yaitu
1. Faktor Internal
a. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna
Terdapat beberapa kekurangan dalam PER 69/PJ/2010 yaitu belum memuat
tentang jangka waktu minimal pengajuan advance pricing agreement, kurang
mengatur tentang perlindungan hukum bagi wajib pajak atas informasi yang
diberikannya, belum mengatur tentang proses renegosiasi, dan periode roll-back
yang belum jelas.
b. Proses advance pricing agreement yang belum tepat
Proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia berbeda dengan
Singapura yang menggunakan proses MAP APA dalam pengajuan advance
pricing agreement secara bilateral dan multilateral.
c. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
i. Struktur Organisasi yang kurang memadai
Tidak ada direktorat khusus perpajakan internasional di Direktorat Jenderal
Pajak.
ii. Kurangnya kompetensi tim pelaksana
Tim pelaksana advance pricing agreement hanya terdiri dari auditor,dan
ahli perpajakan internasional dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris,
tidak sesuai dengan kebutuhan advance pricing agreement yang paling
tidak terdiri dari ekonom, ahli industri, ahli perpajakan internasional, dan
auditor.
iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan
Wawancara dengan Gunadi menyebutkan bahwa dalam pengambilan
keputusan diperlukan keberanian moral karena advance pricing agreement
merupakan kesepakatan yang bisa berbeda dengan peraturan yang ada.
d. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait
Advance pricing agreement merupakan kebijakan pemerintah Indonesia jadi
sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak bekerjasama dengan aparatur penegak hukum
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
seperti kepolisian, kejaksaan dan juga dengan komisi pemberantasan korupsi, hal
ini dikarenakan advance pricing agreement tidak mengikuti aturan yang berlaku
umum karena sifatnya adalah individual ruling.
2. Faktor Eksternal
a. Biaya dan waktu
Dalam pengajuan advance pricing agreement terdapat beberapa kelemahan antara
lain, biaya menggunakan jasa konsultan pajak, biaya pengurusan dokumen yang
diperlukan, dan waktu penyelesaian yang lama.
b. Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak
Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak terbagi menjadi dua yaitu keraguan
terhadap konsistensi Direktorat Jenderal Pajak dalam menerapkan peraturan dan
keraguan terhadap kompetensi tim pelaksana advance pricing agreement
c. Kerahasiaan Informasi
Kerahasiaan informasi merupakan keraguan utama wajib pajak karena infomasi
yang diberikan saat pengajuan advance pricing agreement merupakan informasi
rahasia yang tidak dapat diberikan kepada pihak lain.
Simpulan
Berdasarkan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura,
penulis bersimpulan bahwa penerapan advance pricing agreement di Indonesia masih tertinggal
dengan peraturan di Singapura antara lain, pertemuan awal di Indonesia tidak melibatkan otoritas
pajak asing, jangka waktu berlakunya advance pricing agreement hanya 3 tahun sedangkan
proses pengajuan memakan waktu yang lama, tidak adanya subdirektorat khusus untuk
perpajakan internasional di Direktorat Jenderal Pajak, dan sistem hukum Indonesia yang tidak
mendukung penerapan advance pricing agreement.
Faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement dapat dibagi menjadi dua yaitu:
a. Faktor Internal
1. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna
2. Proses advance pricing agreement yang belum tepat
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
3. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
i. Struktur Organisasi
ii. Kurangnya kompetensi sumber daya manusia
iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan
4. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait
b. Faktor Eksternal
1. Biaya dan waktu
2. Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak
3. Kerahasiaan Informasi
Saran
1. Dalam perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura dapat
terlihat bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Negara lain khususnya
dengan Singapura. Untuk menerapkan advance pricing agreement di Indonesia maka
Direktorat Jenderal Pajak dapat meniru beberapa ketentuan advance pricing agreement yang
diatur di Singapura contohnya seperti mengikuti Singapura dalam hal pertemuan awal agar
pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral dapat dipercepat.
2. Dalam menghadapi faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement
Indonesia, penulis mempunyai beberapa saran yang dapat diterapkan yaitu:
a) Proses pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral sebaiknya
mendorong wajib pajak untuk berinisiatif melakukan advance pricing agreement dengan
otoritas pajak Negara lain yang terkait melalui related party mereka.
b) Kompetensi tim yang menangani advance pricing agreement dan juga tim audit transfer
pricing sebaiknya ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti memasukan ahli industri,
ekonom, dan audit pada tim pelaksana advance pricing agreement dan juga dengan
melakukan pelatihan-pelatihan khusus dan kerjasama dengan institusi pendidikan terkait.
c) Direktorat Jenderal Pajak harus menunjukan konsistensi dalam penerapan aturan
perpajakan yang berlaku untuk meningkatkan kepercayaan wajib pajak. Konsistensi dapat
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
ditunjukan dengan menerapkan kebijakan yang telah diterbitkan sesuai dengan
ketentuannya.
d) Kerahasiaan informasi wajib pajak merupakan faktor penghambat yang paling utama
maka Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya menggunakan mekanisme tertentu untuk
melindungi informasi wajib pajak, salah satu contohnya adalah dengan membuat nondisclosure agreement secara spesifik dalam setiap pengajuan advance pricing agreement.
Daftar Referensi
Buku
Gunadi.2004. Transfer Pricing: Suatu Tujuan Akuntansi, Manajemen dan Pajak. Jakarta: PT
Bina Rena Pariwara
_____. 2007. Pajak internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Rugman, Alan M. 2007. The Regional Multinationals: MNE and ‘Global’ Strategic
Management. United Kingdom: University Press, Cambridge.
Tetley, William Q.C. 1994 International Conflict of Laws, Common, Civil and Maritime.
Montreal: International Shipping Publications
Wallace, Cynthia Day. 2002 The Multinational Enterprise and Legal Control : Host State
Sovereignty in an Era of Economic Globalization. The Netherlands: Kluwer Law
International.
Zain, Mohammad 2007 Manajemen Perpajakan, Salemba empat
Disertasi
Rahayu, Ning. 2008. Praktik penghindaran pajak tax avoidance pada foreign direct invesment
yang berbentuk subsidiary company (PT PMA) di suatu kajian tentang kebijakan anti tax
avoidance. Disertasi Fisip Universitas Indonesia.
Analisis Penerapan..., Yudistira Aria S, FISIP UI, 2014
Download