rindu dwi malateki solihin kaitan antara

advertisement
i
KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN
PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK
USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kaitan antara
Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia
Prasekolah di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Rindu Dwi Malateki Solihin
NIM I151114141
iv
RINGKASAN
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Kaitan antara Pertumbuhan dengan
Perkembangan Kognitif dan Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh FAISAL ANWAR dan DADANG SUKANDAR.
Pertumbuhan anak salah satunya dapat dilihat dari indeks tinggi badan
menurut umur. Menurut Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia
mencapai 35.7%. Khusus di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita
mencapai 35.4% pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010.
Angka tersebut masih dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih
tergolong masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas
30%. Stunting pada anak dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan
diantaranya gangguan kognitif (Walker et al. 2005) dan motorik (Paiva et al.
2012), tetapi penelitian di Indonesia yang mengarah kepada penilaian aspek
pertumbuhan dan perkembangan masih terbatas dan hasilnya bervariasi.
Tujuan umum penelitian ini yaitu menganalisis kaitan antara pertumbuhan
(TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia prasekolah.
Secara khusus bertujuan untuk: 1) Menganalisis karakteristik keluarga dan anak
usia prasekolah; 2) Menganalisis pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan dan
pengasuhan anak ibu; 3) Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah; 4)
Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik)
anak usia prasekolah; 5) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi anak,
karakteristik anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik)
dan status gizi anak (TB/U); 6) Menganalisis hubungan antara karakteristik
keluarga dengan pengetahuan (gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik
keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan)
ibu, dan praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak; dan
7) Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U)
dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.
Penelitian ini termasuk penelitian survei yang dilakukan terhadap 73 anak
usia 3-5 tahun di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan kriteria inklusi: 1) berusia 3-5
tahun; 2); mempunyai orang tua lengkap dan bersedia diambil data; 3) mempunyai
data berat badan dan tinggi badan saat lahir; 4) tidak mempunyai cacat bawaan.
Kriteria eksklusi penelitian adalah anak sedang menjalani pengobatan atau sedang
sakit. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik keluarga, pengetahuan dan praktek gizi, kesehatan
dan pengasuhan anak pada ibu, karakteristik anak, perkembangan anak (kognitif
dan motorik), pertumbuhan anak (TB/U), dan pola konsumsi anak. Data sekunder
meliputi gambaran umum lokasi penelitian, jumlah dan karakteristik anak.
Analisis statistik dilakukan dengan SPSS 16 for Windows. Analisis
deskriptif menggambarkan sebaran variabel berdasarkan persen dan rataan.
Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara: 1)
karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola konsumsi anak, perkembangan
(kognitif dan motorik) dan tinggi badan anak menurut umur; 2) karakteristik
keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak;
v
3) karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek ibu mengenai gizi,
kesehatan, dan pengasuhan anak); dan 4) praktek ibu mengenai gizi dan kesehatan
dengan tingkat kecukupan gizi anak. Untuk melihat faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan
motorik) anak, digunakan analisis regresi berganda.
Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh balita mempunyai
karakteristik normal. Ukuran keluarga balita lebih banyak berada pada kategori
kecil dan termasuk keluarga miskin. Lebih dari separuh balita mempunyai anggota
keluarga yang tergolong perokok aktif. Rata-rata pendidikan terakhir ayah adalah
SMA dan bekerja sebagai buruh sedangkan ibu adalah SD atau SMA dan tidak
bekerja. Lebih dari separuh ibu mempunyai tinggi badan dan IMT yang tergolong
normal dan mempunyai tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan yang tergolong
sedang, sedangkan tingkat pengetahuan pengasuhan tergolong tinggi. Praktek
kesehatan ibu tergolong tinggi sedangkan praktek gizi dan pengasuhan ibu
tergolong sedang. Balita terbiasa makan tiga kali sehari dan tidak selalu
menghabiskan makanannya. Sebagian besar balita tidak mendapat ASI eksklusif
selama enam bulan dan tidak terbiasa minum susu secara teratur. Pada umumnya,
gangguan makan balita adalah kebiasaan jajan. Hampir seluruh ibu menyiapkan
dan menyuapi balita makan sambil bermain di luar rumah. lebih dari separuh
balita mempunyai TB/U normal, tetapi tingkat perkembangan kognitif dan
motorik halusnya rendah, sedangkan tingkat perkembangan motorik kasar
tergolong sedang.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) tinggi badan ibu,
tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor), dan
panjang lahir balita dengan TB/U balita; 2) TB/U balita, lama mengikuti PAUD,
dan usia balita dengan tingkat perkembangan motorik (halus dan kasar) balita; 3)
TB/U balita, lama mengikuti PAUD, usia balita, dan lingkungan pengasuhan
dengan tingkat perkembangan kognitif balita; 4) lama pendidikan ibu dengan
tingkat pengetahuan gizi ibu; 5) lama pendidikan ibu dan pendapatan/kap/bulan
keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara besar keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara praktek gizi ibu dengan tingkat kecukupan gizi
balita.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap TB/U balita adalah
tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus
balita adalah TB/U balita dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar
balita adalah usia balita, perkembangan kognitif dan motorik halus balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita
adalah lama mengikuti PAUD dan perkembangan motorik kasar balita.
Kata kunci: kognitif, motorik, perkembangan, pertumbuhan, prasekolah
vi
SUMMARY
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN. Relationship between Growth, Cognitive
Development, and Motor Development among Preschool Children in Bogor
District. Supervised by FAISAL ANWAR and DADANG SUKANDAR.
Children growth is reflected by height for age index. According to
Riskesdas (2010), stunting among under five children in Indonesia reached
35.7%. Specifically in West Java province, the prevalence of stunting in under
five children reached 35.4% in 2007 and decreased to 33.7% in 2010. The number
was still below the national stunting prevalence, but it was a high public health
problem according to WHO reference because it was above 30%. Stunting in
under five children causes variety of developmental disorders including cognitive
(Walker et al. 2005) and motor (Paiva et al. 2012) disorders. Studies in Indonesia,
which leads to growth and development aspects are still limited and the results are
varied.
The main objective of this study was to analyze relationship between
growth, cognitive development, and motor development in preschool children.
Specifically, it was aimed to : 1)analyze the characteristics of families and
preschool children ; 2)analyze the knowledge and practice of nutrition, health and
child care; 3)analyze the consumption pattern of preschool children ; 4)analyze
growth (height for age) and development (cognitive and motor) of preschool
children; 5)analyze the relationship between consumption patterns of children,
child characteristics, family characteristics, development (cognitive and motor)
and children‟s nutritional status (height for age); 6)analyze the relationship
between family characteristics, mother‟s knowledge (nutrition, health , and child
care), mother‟s practices (nutrition, health and child care), and children‟s nutrient
adequacy level; 7)analyze the factors that influence growth (height for age) and
development (cognitive and motor) of preschool children.
This survey was conducted to 73 children aged 3-5 years in Cibanteng
village, Bogor District, West Java. Sampling was carried out with inclusion
criteria: 1)children age 3-5 years, 2); had complete parents and willing to join the
survey, 3) data of weight and height at birth were available; 4) do not have
congenital abnormalities. Exclusion criteria were: children were sick or under any
medical treatments. Data collected included primary and secondary data. Primary
data included family characteristics, knowledge and practice (nutrition, health and
child care) child characteristics, child development (cognitive and motor), child
growth (height for age), and consumption patterns of children. Secondary data
included description of the study location and children characteristics.
Statistical analysis was performed by SPSS 16 for Windows. Descriptive
analysis described the distribution of the variable based on percent and average.
Pearson correlation analysis was used to analyze the relationship between: 1)
family characteristics, child characteristics, consumption patterns of children,
development (cognitive and motor) and height for age; 2) family characteristics
and mother's knowledge (nutrition, health, and child care); 3) family
characteristics and mother‟s knowledge practices (nutrition, health, and child
care), 4) practice of mother (nutrition and health) and children‟s nutrient adequacy
vii
level. Factors that affect growth (TB/U) and development (cognitive and motor)
of children were analized by linear multiple regression.
This study showed that more than half of the children had normal
characteristics. Families size mostly were small and they were poor. More than
half children had family members that were active smokers. The average of
father‟s education level was high school and worked as labor, while the mother
was elementary or high school and not working. Mother‟s height and BMI were
relatively normal. Level of mother‟s nutrition knowledge and health were
classified as moderate, while the knowledge level of child care was high. Level of
health practices was high while the level of nutrition practices and child care were
moderate. Most children ate three times a day and did not always finish their food.
Most children were not exclusively breastfed for six months (89.0%) and did not
drink milk regularly. Snacking was a common children‟s eating disorder. Almost
all mothers prepared and fed their children by themselves. More than half of the
children had normal height for age, but level of cognitive and fine motor
development were low, while gross motor development level were moderate.
There was significant positive relationship between: 1) mother‟s height,
children‟s nutrient adequacy level (energy, protein, iron, vitamin A, calcium,
phosphorus), birth length of children, and children height for age; 2) children
height for age, early education, age of the children, and level of motor (fine and
gross) development; 3) children height for age, early education, age of the
children, psychosocial stimulation, and level of cognitive development; 4)
mother's education level and mother‟s nutrition knowledge; 5) mother's education
level, family income, and mother‟s health practices. There was significant
negative relationship between family size, nutrition knowledge level and child
care practices level of mother. There was no significant relationship between
mother‟s nutrition and health practices and children‟s nutrient adequacy level.
Factors that significantly influenced children height for age were mother‟s
height and children‟s nutrient adequacy level (energy and protein). Factors that
significantly influenced the level of fine motor development were children height
for age and gross motor development level. Factors that significantly influenced
the level of gross motor development were children‟s age, cognitive and fine
motor development level. Factors that significantly influenced the level of
cognitive development were early education and gross motor development level.
Keywords: cognitive development, growth, motor development, preschool
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAITAN ANTARA PERTUMBUHAN DENGAN
PERKEMBANGAN KOGNITIF DAN MOTORIK PADA ANAK
USIA PRASEKOLAH DI KABUPATEN BOGOR
RINDU DWI MALATEKI SOLIHIN
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS
xi
Judul Tesis : Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan
Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor
Nama
: Rindu Dwi Malateki Solihin
NIM
: I151114141
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS
Ketua
Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
drh M Rizal M Damanik, MRepSc PhD
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
(18 Desember 2013)
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis
yang berjudul “Kaitan Antara Pertumbuhan dengan Perkembangan Kognitif dan
Motorik pada Anak Usia Prasekolah di Kabupaten Bogor” diajukan sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Gizi
Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku
komisi pembimbing yang telah memberikan usulan, saran, kritik dan motivasi
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji luar komisi yang telah
memberikan saran dalam penyempurnaan penulisan tesis ini.
3. Kedua orang tua, Rahmat Solihin Sm.Hk (Alm) dan Dra. Titin Kusumawati
beserta semua keluarga besar penulis yang tak henti-hentinya mendoakan dan
memberikan motivasi.
4. Gugum Gumbira, S.Ik beserta keluarga yang senantiasa memberikan perhatian
dan motivasi kepada penulis.
5. Darwin Warsono, S.Sos selaku Kepala Desa Cibanteng yang telah
memberikan izin pengambilan data penelitian.
6. Nuraeni, Susanti dan seluruh kader posyandu Desa Cibanteng yang telah
memberikan bantuan selama pengambilan data penelitian.
7. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian: Ima Karimah,
S.Gz; Nurlaely Fitriana, S.Gz; Siti Alvianti, S.Gz; Risma Junita, S.KPm;
Catur Dwi Anggarawati, SP; Ida Parida, SP; dan Tatit Sastrini, SP.
8. Teman-teman mahasiswa Ilmu Gizi Masyarakat yang telah memberikan
motivasi dan bantuan selama penulis melangsungkan studi di sekolah
Pascasarjana IPB.
9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak
langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak permasalahan untuk
dikaji terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak,
sehingga dibutuhkan penelitian-penelitian serupa lainnya yang lebih mendalam
untuk menyempurnakan hasil penelitian ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2013
Rindu Dwi Malateki Solihin
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
2
2
3
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Determinan Stunting pada Anak
Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak
Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak
4
4
10
16
3 KERANGKA PEMIKIRAN
19
4 METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Teknik Pemilihan Sampel
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
22
22
22
23
26
29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Karakteristik Umum Balita
Riwayat Kelahiran Balita
Riwayat PemberianASI dan MP-ASI Balita
Preferensi Makanan dan Minuman Balita
Kebiasaan Makan Balita
Tingkat Kecukupan Gizi Balita
Pertumbuhan Balita
Tingkat Perkembangan Kognitif dan Motorik Balita
Karakteristik Fisik dan Kondisi Fisiologis Ibu
Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu
Tingkat Pengetahuan Ibu
Praktek Ibu
Praktek Pengasuhan Ibu
Karakteristik Keluarga Balita
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
31
31
34
36
38
40
42
44
46
47
48
50
51
57
61
64
66
xiv
Hubungan Praktek Ibu
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Praktek Ibu
Hubungan Tinggi Badan Balita Menurut Umur
Hubungan Tingkat Perkembangan Motorik dan Kognitif Balita
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan Balita
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus Balita
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik kasar Balita
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Balita
68
69
71
74
78
82
84
86
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
88
88
89
DAFTAR PUSTAKA
90
LAMPIRAN
104
RIWAYAT HIDUP
108
xv
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
Pondasi perkembangan motorik
Tahap perkembangan kognitif Piaget
Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data
Kategori pertumbuhan anak berdasarkan TB/U
Kriteria tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996)
Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng
Jumlah penduduk menurut struktur usia
Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk
Sarana dan Prasarana Desa Cibanteng
Sebaran balita menurut karateristiknya
Sebaran balita menurut riwayat kelahiran
Sebaran balita menurut riwayat pemberian ASI dan MP-ASI
Sebaran balita menurut preferensi pangan dan minuman
Sebaran balita menurut kebiasaan makan
Sebaran balita menurut tingkat kecukupan gizi
Sebaran balita menurut indeks tinggi badan menurut umur
Sebaran balita menurut tingkat perkembangan
Sebaran ibu balita menurut karakteristik fisik dan fisiologi
Sebaran ibu balita menurut karakteristik sosial ekonomi
Sebaran ibu balita menurut tingkat pengetahuan
Sebaran ibu balita menurut praktek
Sebaran balita menurut lingkungan pengasuhan
Sebaran balita menurut karakteristik keluarga
Hubungan karakteristik ibu dengan tingkat pengetahuan ibu
Hubungan karakteristik ibu dengan praktek ibu
Hubungan tingkat pengetahuan dengan praktek ibu
Hubungan TB/U balita dengan karakteristik keluarga
Hubungan TB/U balita dengan karakteristik balita
Hubungan tingkat perkembangan motorik halus balita dengan
karakteristik balita
Hubungan tingkat perkembangan motorik kasar balita dengan
karakteristik balita
Hubungan tingkat perkembangan kognitif balita dengan
karakteristik balita
Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
13
14
24
27
27
31
32
33
34
36
37
39
41
43
45
46
48
49
51
52
57
62
65
67
69
70
72
73
75
76
77
79
82
85
86
xvi
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif
dan motorik pada anak usia prasekolah
2 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan
benar
3 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan kesehatan
dengan benar
4 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan pengasuhan
dengan benar
5 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek gizi dengan benar
6 Sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek kesehatan dengan
Benar
21
53
54
56
58
60
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
Peta lokasi penelitian
Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
Dokumentasi kegiatan pengukuran perkembangan anak
105
106
106
106
107
107
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gizi berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi
terlibat dalam berbagai reaksi matabolisme pada berbagai sistem tubuh yang
diantaranya bertanggung jawab terhadap perkembangan fisik dan mental.
Malnutrisi pada anak merupakan masalah yang kompleks, multidimensi, dan
saling berhubungan. Di Indonesia, spektrum malnutrisi sangat luas yang tersebar
di seluruh tahap kehidupan, diantaranya dalam bentuk Kurang Energi Protein
(KEP), kekurangan zat gizi mikro, berat bayi lahir rendah, dan gangguan
pertumbuhan yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (Atmarita
2005).
Pertumbuhan anak salah satunya tercermin dari indeks tinggi badan
menurut umur. Berdasarkan indeks tersebut maka anak dikelompokan menjadi
stunting atau normal. Stunting merupakan kondisi kurang gizi menurut indeks
tinggi badan menurut umur (TB/U). Stunting mengindikasikan pertumbuhan yang
rendah dan efek kumulatif dari kekurangan atau ketidakcukupan asupan energi,
zat gizi makro atau zat gizi mikro dalam jangka panjang atau hasil dari infeksi
kronis atau infeksi yang terjadi berulang kali (Umeta et al. 2003). Menurut
Riskesdas (2010), stunting pada anak balita di Indonesia mencapai 35.7%. Khusus
di Provinsi Jawa Barat, prevalensi stunting pada balita mencapai 35.4% pada
tahun 2007 dan menurun menjadi 33.7% pada tahun 2010. Angka tersebut masih
dibawah angka stunting nasional yaitu 35.7% tetapi masih tergolong masalah
publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih diatas 30%. Stunting dapat
menyebabkan gangguan perkembangan diantaranya gangguan kecerdasan
(Walker et al. 2005) dan perkembangan motorik (Pollit 2000)
Gangguan pertumbuhan yang dicirikan dengan rendahnya tinggi badan
menurut umur (stunting) sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Pada
anak stunting seringkali mengalami penurunan kinerja sistem syaraf yang
berimplikasi pada rendahnya kecerdasan anak. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan bahwa kurang gizi pada usia dini, salah satunya tercermin dari
keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ
yang dicirikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di
sekolah. Menurut World Bank (2006), stunting dapat menyebabkan kehilangan IQ
sebesar 5-11 poin. Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan kemampuan
kognitif yang rendah di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi
pada usia muda (Walker et al. 2005).
Selain itu, stunting dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan
sistem motorik baik pada anak yang normal maupun pada anak yang mengidap
penyakit tertentu. Anak stunting yang terekspos oleh HIV mempunyai skor
kemampuan motorik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan anak normal
(McDonald et al. 2012). Penurunan fungsi motorik pada anak stunting yang tidak
mempunyai kelainan bawaan dikaitkan dengan rendahnya kemampuan mekanik
dari otot tricep surae, sehingga lambatnya kematangan fungsi otot tersebut
menyebabkan kemampuan motorik anak stunting terhambat (Paiva et al. 2012).
2
Pada umumnya, peneliti hanya meneliti aspek pertumbuhan dan
perkembangan secara terpisah. Penelitian-penelitian di Indonesia yang mengarah
kepada penilaian aspek pertumbuhan sekaligus perkembangan anak masih terbatas
dan hasilnya masih bervariasi. Penelitian Marlina (2012) menyebutkan tidak ada
hubungan signifikan antara stunting dengan perkembangan kognitif anak usia
prasekolah. Sebaliknya, sebuah penelitian terhadap kelompok stunting dan normal
menunjukan bahwa kelompok stunting mempunyai skor perkembangan bahasa
dan kognitif yang lebih rendah secara signifikan jika dibandingkan dengan
kelompok normal, dan terdapat hubungan yang nyata antara kejadian stunting
dengan perkembangan bahasa dan kognitif anak (Hanum 2012). Penelitian ini
dilakukan untuk melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya dengan
melihat pengaruh stunting baik terhadap perkembangan kognitif maupun terhadap
dimensi perkembangan yang lain yaitu perkembangan motorik pada anak usia
prasekolah.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang ingin diteliti
adalah: 1) bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak,
tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan
pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur; 2) bagaimana
hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi,
kesehatan, dan pengasuhan anak; 3) bagaimana hubungan antara karakteristik
keluarga dan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak
dengan praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu; 4) bagaimana hubungan
antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak usia
prasekolah; dan 5) faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
(TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kaitan antara
pertumbuhan (TB/U) dengan perkembangan kognitif dan motorik pada anak usia
prasekolah.
Tujuan Khusus
1. Menganalisis karakteristik keluarga dan karakteristik anak usia prasekolah
2. Menganalisis pengetahuan dan praktek ibu mengenai gizi, kesehatan dan
pengasuhan anak
3. Menganalisis pola konsumsi anak usia prasekolah
4. Menganalisis pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan
motorik) anak usia prasekolah
5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi anak, karakteristik
anak, karakteristik keluarga, perkembangan (kognitif dan motorik) dan
pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur
3
6. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan
(gizi, kesehatan, dan pengasuhan) ibu, karakteristik keluarga dan
pengetahuan ibu dengan praktek (gizi, kesehatan dan pengasuhan) ibu, dan
praktek (gizi dan kesehatan) ibu dengan tingkat kecukupan gizi anak.
7. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
(TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia prasekolah.
Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik anak,
tingkat kecukupan gizi anak, perkembangan (kognitif dan motorik) dan
pertumbuhan anak berdasarkan tinggi badan menurut umur.
2. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu
mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak.
3. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu
mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak dengan praktek gizi,
kesehatan, dan pengasuhan ibu.
4. Terdapat hubungan antara praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat
kecukupan gizi anak usia prasekolah.
5. Terdapat pengaruh dari karakteristik keluarga dan anak terhadap
pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan (kognitif dan motorik) anak usia
prasekolah.
Manfaat
Memberikan informasi kepada orang tua akan pentingnya menjaga status
gizi dan memberikan stimulasi psikososial pada anak agar mencapai kematangan
perkembangan kognitif dan motorik yang optimal. Selain itu, dapat pula menjadi
bahan rujukan bagi para pembuat kebijakan dalam merencanakan program
intervensi gizi pada anak usia prasekolah sehingga program intervensi gizi lebih
difokuskan pada penurunan prevalensi stunting pada kelompok anak usia di
bawah lima tahun.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Determinan Stunting pada Anak
Pertumbuhan pada anak merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi
masyarakat karena erat kaitannya dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang
lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan
lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat
pendidikan (Depkes 2009). Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang
tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati defisit 2SD
dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi
internasional (Manary & Solomons 2009). Hasil studi kohort di Brazil,
Guatemala, India, Filipina, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa stunting
dalam dua tahun pertama kehidupan merupakan faktor risiko untuk konsentrasi
glukosa yang tinggi, tekanan darah, dan profil lipid yang merugikan setelah
dewasa (Victora et al. 2008). Walaupun demikian, penyebab dan etiologi stunting
pada anak jauh kurang dipahami jika dibandingkan dengan konsekuensinya.
Stunting dapat terjadi secara luas di lingkungan yang miskin (Reyes et al. 2004;
Khomsan et al. 2013), bahkan di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan
(Teshome et al. 2009). Dalam suatu populasi, seorang anak dapat menjadi stunted
atau tidak, atau secara lebih luas, suatu populasi dapat menjadi lebih stunted
dibandingkan populasi lainnya. Hal ini berarti bahwa diperlukan pemahaman yang
baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak menjadi stunting baik pada
tingkat individu maupun ekologi.
Jenis Kelamin Anak
Jenis kelamin anak sering dijadikan faktor risiko dalam menganalisis
masalah stunting di beberapa wilayah atau negara. Pada tahun 2006, sebuah
penelitian cross sectional dilakukan oleh Teshome et al. terhadap 622 pasang ibubalita (usia 0-59 bulan). Hasil penelitiannya menyatakan bahwa anak laki-laki
mempunyai risiko menjadi stunting 1.5 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan
anak perempuan. Teshome et al. mengkaitkan hal tersebut dengan sex preference
yang dilakukan oleh ibu atau caregiver dimana anak laki-laki relatif dirugikan
dengan pola asuh gizi yang berbeda dengan anak perempuan. Oleh sebab itu,
Teshome et al. menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
perbedaan pola asuh pada anak laki-laki dan perempuan. Melengkapi hal tersebut,
penelitian Nzala et al. (2011) terhadap 6142 anak balita di Zambia menunjukan
bahwa anak laki-laki mempunyai risiko menjadi stunted yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan anak perempuan dikarenakan adanya kebudayaan di zambia
dimana anak laki-laki terbiasa makan dengan ayahnya, yang berati lebih sedikit
makanan yang didapat, sementara anak perempuan terbiasa makan dengan ibu
mereka dan mendapat makanan yang lebih banyak. Selain itu, pengeluaran energi
anak laki-laki lebih besar jika dibandingkan dengan anak perempuan karena anak
laki-laki lebih aktif bermain. Walaupun kedua penelitian tersebut memasukkan
jenis kelamin sebagai faktor risiko stunting, tapi dalam penelitian lain jenis
kelamin tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting
(Schoenbaum et al. 1995; Kshatryia & Ghosh 2008; Ekpo et al. 2008).
5
Usia Anak
Stunting merupakan proses kumulatif yang berlangsung lama bahkan sejak
masih dalam kandungan. Oleh sebab itu, faktor usia menjadi berpengaruh
terhadap kejadian stunting dalam beberapa penelitian di Ethiopia (Teshome et al.
2009; Yimer 2000) dan negara berkembang lainnya (Kumar et al. 2006). Pada
penelitian Teshome et al. (2009), risiko stunting meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, dimana anak dengan usia 13-24 bulan berisiko lebih tinggi
mengalami stunting dibandingkan dengan anak dengan usia yang lebih muda (< 7
bulan). Hasil penelitian Teshome et al. (2009) menggarisbawahi pentingnya dua
tahun pertama kehidupan sebagai masa paling kritis untuk intervensi gizi sehingga
diperlukan program-program yang meningkatkan status gizi pada anak-anak yang
rentan. Anak dengan usia kurang dari 24 bulan merespon jauh lebih cepat
terhadap perbaikan pertumbuhan dibandingkan anak dengan usia lebih tua.
Setelah anak mencapai 2 tahun, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi
stunting yang telah terjadi sebelumnya.
Status Kesehatan Anak
Status kesehatan pada anak juga turut berperan dalam menimbulkan
masalah stunting khususnya diare (El Taguri et al. 2007; Teshome et al. 2009;
Nzala et al. 2011). Diare berhubungan positif dan signifikan dengan stunting
dimana anak-anak yang mengalami diare berisiko 2,3 kali menjadi stunting
dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare, sementara prevalensi malaria lebih
besar pada mereka yang stunting akan tetapi tidak ditemukan hubungan yang
signifikan (Teshome et al. 2009). Selain diare, infeksi pernapasan akut juga
ditemui pada anak stunting walaupun tidak setingi insiden diare (Nzala et al.
2011). Menurut Eastwood (2003) infeksi dan diare berkontribusi terhadap
kejadian stunting karena dapat mengganggu proses metabolisme dalam tubuh
sehingga menyebabkan pertumbuhan anak tidak optimal, akan tetapi dalam
penelitian Nasikhah (2012) infeksi pernapasan akut tidak terbukti berhubungan
secara signifikan dengan kejadian stunting.
Status Kelahiran Anak
Status kelahiran berkonribusi terhadap kejadian stunting pada anak (Ricci
& Becker 1996; Kusharisupeni 2002; Santos et al. 2009). Berdasarkan penelitian
kohort prospektif selama 12 bulan yang dilakukan Kusharisupeni (2002), ukuran
tubuh pada saat lahir mampu memprediksi pertumbuhan janin, dimana pada saat
usia 12 bulan kelompok bayi yang lahir dengan berat badan rendah (<2.500 gram)
tidak mencapai panjang badan yang dicapai oleh kelompok normal, meskipun
kelompok normal sendiri tidak bertumbuh optimal. Dengan demikian catch up
growth pada kelompok BBLR tidak memadai. Temuan lain dari penelitian
Kusharisupeni (2002) adalah rata-rata panjang badan kelompok prematur berada
di persentil ke-10, dimana panjang lahir kelompok normal baik bayi perempuan
maupun laki-laki berada pada persentil ke-20 standar WHO. Artinya, panjang
badan yang jauh di bawah rata-rata pada umumnya, disebabkan karena sudah
terjadi retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan (Kusharisupeni 2002). Lebih
jauh, Santos et al. (2009) menyatakan bahwa peluang bayi late preterm (kelahiran
saat usia kehamilan 34-36 minggu) menjadi stunting di usia 12 bulan adalah 2.35
6
kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi yang lahir normal, peluang
tersebut menjadi 2.3 kali ketika usia 24 bulan.
Asupan Zat Gizi Anak
Masalah stunting pada anak tidak dapat dipisahkan dari asupan zat gizi
anak baik yang berasal dari makanan, minuman, maupun ASI. Zat gizi diperlukan
oleh tubuh untuk mengganti dan memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga sangat
vital dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kulit manusia akan mengalami
pergantian sel setiap tujuh tahun, lemak yang berada di bawah kulit hari ini tidak
sama dengan lemak yang berada di bawah kulit setahun yang lalu, sel darah merah
akan diperbaharui setiap 120 hari, dan seluruh lapisan pencernaan akan
diperbaharui setiap tiga sampai lima hari (Whitney & Rolfes 2011). Untuk itu,
seorang anak harus terus menerus memenuhi asupan gizinya untuk menjaga
proses tersebut tetap berlangsung.
Mikronutrien yang seringkali dianggap penting dalam pertumbuhan balita
maupun usia prasekolah adalah vitamin A, Fe dang Zn (Fahmida et al. 2007;
Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Sebuah penelitian terhadap 800 balita si
NTT, Indonesia menunjukan bahwa zat gizi mikro (zink, besi, dan vitamin A)
berperan dalam pertumbuhan linear balita stunting (Fahmida et al. 2007). TB/U
balita stunting pada kelompok yang diberi Zn+Fe dan kelompok yang diberi
Zn+Fe+Vit A meningkat secara signifikan setelah 4 bulan suplementasi,
ditunjukan dengan angka pertumbuhan 1.1-1.5 cm lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kelompok plasebo, sementara pada kelompok Zn tidak berbeda secara
signifikan dengan plasebo. Setelah 6 bulan kemudian dilakukan follow-up,
perbedaan TB/U diantara ke empat kelompok menjadi tidak berbeda secara
signifikan, tetapi kelompok Zn+Fe dan kelompok Zn+Fe+vit A masih tetap
mempunyai nilai TB/U yang lebih tinggi jika dibandingkan kelompok Zn dan
plasebo. Dalam kesimpulannya, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya
mengkoreksi status Fe balita dibandingkan dengan status Zinc. Zinc akan
mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan jika status besi atau hemoglobin
yang rendah dikoreksi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pertumbuhan yang
optimal, Zinc harus diberikan bersama-sama dengan besi dengan pertimbangan
rasio Zn:Fe yang tepat. Fahmida et al. (2007) juga menekankan pentingnya peran
zat gizi makro (energi dan protein) dalam meningkatkan pertumbuhan balita.
Peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan
pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein
yang cukup (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001).
Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan
kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan
optimal, sedangkan protein berguna untuk membangun serta memelihara sel-sel
dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004), kebutuhan
vitamin A anak usia 3-5 tahun adalah 400-450 RE/hari, zinc 8.2-9.7 mg/hari, besi
8-9 mg/hari, energi 1000-1550 Kal/hari, dan protein 25-39 gram/hari.
Selain itu, kalsium dan fosfor (bersama-sama dengan vitamin D) berperan
dalam proses mineralisasi tulang dan pertumbuhan pada anak-anak. Vitamin C
diperlukan dalam pembentukan kolagen yang mempengaruhi integritas struktur
sel di semua jaringan ikat seperti tulang rawan, matriks tulang, dan tendon otot.
Kekurangan vitamin dan mineral tersebut berakibat pada terhambatnya
7
pertumbuhan tulang sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada
anak prasekolah (Brown et al. 2011; Almatsier 2006). Menurut WKNPG (2004),
kebutuhan kalsium anak usia 3-5 tahun adalah 500 mg/hari, fosfor 400 mg/hari,
vitamin D 5 µg/hari, dan vitamin C 40-45 mg/hari.
Pemberian ASI dan MP-ASI
Pemberian ASI eksklusif secara tepat sejak bayi hingga usia 6 bulan
merupakan intervensi utama dalam mengatasi berat badan lahir rendah dan
sekaligus meningkatkan IQ. Bayi yang tidak disusui secara eksklusif tidak hanya
akan terganggu pertumbuhannya akan tetapi juga tidak akan mendapat stimulasi
optimal untuk perkembangan otak karena melalui proses menyusui eksklusif akan
terbentuk hubungan kasih sayang antara ibu dan anak (Syarief et al. 2009). WHO
(2002) menganjurkan pemberian ASI ekslusif kepada bayi hingga usia 6 bulan.
Hal ini disebabkan banyak kandungan dan manfaat ASI yang masih dibutuhkan
anak dan justru meningkat di tahun kedua (12-24 bulan), seperti zat anti bodi,
lemak, dan vitamin A. Akan tetapi, durasi menyusui yang semakin lama dapat
meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak
memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai usia anak (Teshome et al. 2009; Gugsa
et al. 1999). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa penyapihan kolostrum,
lama menyusui, usia pengenalan MP-ASI, frekuensi makan, cara pemberian
makan, dan jenis makanan yang diberikan pertama kali sebagai MP-ASI
berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting pada balita (Teshome et
al. 2009).
Ukuran Keluarga
Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi faktor penentu dalam
memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antar anggota rumah tangga.
Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor kualitas
sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan secara
merata (Djauhari & Friyanto 1993). Sebuah penelitian terhadap 1000 anak usia 712 tahun di iran menunjukan bahwa ukuran keluarga sangat mempengaruhi
jumlah penyediaan makanan dalam rumah tangga, dimana semakin besar ukuran
keluarga maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga
tersebut (Hajian-Tilaki et al. 2011). Ukuran keluarga bukan merupakan satusatunya karakteristik keluarga yang berhubungan dengan kejadian stunting pada
anak. Pada penelitian Semba et al. (2008) tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara stunting dengan ukuran keluarga, dimana ukuran keluarga antara kelompok
stunting tidak berbeda signifikan dengan kelompok normal (Astari et al. 2006)
Tingkat Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena
berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi
(Rahmawati 2006; Supariasa et al. 2002). Pendidikan orang tua tidak
berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi
melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan
kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Oleh sebab itu, dalam beberapa
penelitian hasilnya bervariasi.
8
Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara
pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi (Madanijah 2003), stimulasi psikososial
yang diberikan pada anak (Latifah et al. 2010), dan kejadian stunting (Zottarelli et
al. 2007; Rayhan & Khan 2006; Astari et al. 2006; Fitri 2012). Sementara itu,
beberapa hasil penelitian lain tidak menunjukan hubungan yang nyata antara
pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak (Nasikhah 2012), bahkan pada
penelitian Riyadi et al. (2011) terhadap 3 wilayah menunjukkan bahwa dua
wilayah penelitian tidak mempunyai keeratan hubungan antara pendidikan ibu
dengan kejadian stunting pada anak.
Pengetahuan dan Praktek Ibu mengenai Gizi dan Kesehatan
Pengetahuan merupakan hasil gabungan antara kemampuan, pengalaman,
intuisi, gagasan, dan motivasi dari sumber yang kompeten sehingga membentuk
sebuah informasi dan data. Sumber yang kompeten tersebut dapat berupa koran,
majalah, email, artikel, iklan dan manusia (Hendrik 2003). Konsep adopsi
perilaku yang diperkenalkan oleh Rogers (1962) menyatakan bahwa sebelum
seseorang mengadopsi suatu perilaku atau praktek tertentu, ia akan melewati tahap
awal yang disebut dengan awareness yaitu adanya kesadaran akan adanya suatu
stimuli tertentu. Artinya, orang tersebut akan mempunyai sebuah pengetahuan
baru yang disebabkan oleh adanya stimuli yang diterimanya. Praktek pengasuhan
gizi dan kesehatan yang dilakukan seorang ibu merupakan hasil dari proses
panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh suatu
stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial maupun
media informasi.
Sebuah penelitian di Mozambik menunjukkan bahwa pengetahuan
kesehatan ibu berpengaruh positif terhadap tinggi badan anak usia dibawah dua
tahun, terutama didaerah dengan kasus stunting yang ekstrim (Broeck 2007).
Sebelumnya, Christiaensen dan Alderman (2004) menemukan bahwa pengetahuan
gizi ibu (dilihat dari kemampuan untuk melihat gangguan pertumbuhan)
merupakan determinan penting pada anak dengan malnutrisi kronis termasuk
stunting. Block (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu dapat
menjadi pengganti pendidikan ibu dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Oleh
sebab itu, intervensi pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan
pengetahuan dan praktek gizi ibu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hasil review
terhadap studi-studi tentang intervensi gizi yang menunjukkan bahwa pendidikan
gizi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anak usia 6-24 bulan (Imdad et al.
2011).
Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan orang tua khususnya ibu turut mempengaruhi intensitas dan
kualitas pola-pola hubungan yang terbentuk dalam keluarga, termasuk pola asuh
gizi dan kesehatan pada anak. Ibu yang mempunyai pekerjaan di luar berarti
mempunyai pekerjaan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, hal tersebut
mempengaruhi kelekatan hubungan dengan anak karena rendahnya kualitas dan
kuantitas komunikasi yang terbentuk (Perangin-angin 2006). Berdasarkan hasil
penelitian Marlina (2012), pekerjaan ibu berhubungan dengan tingkat kecukupan
energi pada anak. Hal ini menurut Satoto (1990) dapat dijelaskan sebagai
konsekuensi logis dimana ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah
9
untuk mencari nafkah memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan
merawat anak.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga mempengaruhi stunting melalui mekanisme akses
terhadap pangan yang berkualitas. Rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan
daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga
kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi
keluarga (Riyadi et al. 1990). Menurut Miller dan Rodgers (2009), pada level
rumah tangga, tingkat pendapatan akan berhubungan dengan akses terhadap
pembelian makanan dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan
maka akan semakin tinggi akses terhadap daya beli makanan yang bergizi, air
bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak,
penyimpanan pangan dan higenitas dan pelayanan kesehatan. Sejalan dengan
Martianto dan Ariani (2004) yang menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang
dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan
makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi
dua kali dalam sehari. Hasil penelitian Faiza et al. (2007) memperlihatkan
hubungan signifikan antara status ekonomi dengan kejadian gizi buruk, dimana
anak yang berasal dari keluarga dengan status gizi yang rendah mempunyai
peluang untuk menderita gizi buruk sebesar 3.5 kali jika dibandingkan dengan
anak yang berasal dari keluarga yang berstatus ekonomi tinggi.
Status Merokok Keluarga
Kejadian stunting juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua
yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan.
Merokok memperburuk dampak kemiskinan, seperti pengeluaran untuk tembakau
dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan,
dan pendidikan (Semba et al. 2007). Jumlah uang yang dibelanjakan untuk
membeli rokok banyak terjadi dinegara dengan penghasilan rendah. Sebagai
contoh, di negara Vietnam pada tahun 1996, perokok menghabiskan rata-rata
49.05 Dolar untuk rokok per tahun, nilai tersebut lebih besar 1.5 kali dari biaya
untuk pendidikan, 5 kali dari biaya kesehatan, dan sekitar sepertiga kali untuk
makanan per kapita per tahun (Jenkins et al. 1997). Di Indonesia, dalam rumah
tangga di mana sang ayah adalah seorang perokok, tembakau menghabiskan 22%
dari uang belanja rumah tangga mingguan per kapita, dimana lebih sedikit uang
yang dibelanjakan untuk makanan dibandingkan dengan rumah tangga non
perokok (Semba et al. 2007). Selain itu, merokok juga berkaitan dengan kejadian
stunting melalui mekanisme klinis dari kandungan racun dalam tembakau
terhadap status gizi (Mishra & Retherford 2007) dan penundaan pertumbuhan
skeletal (Kawakita et al. 2008).
Faktor Keturunan (Genetik)
Selain faktor eksternal, faktor internal seperti genetik juga berpengaruh
terhadap kejadian stunting anak. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek
akibat defisiensi hormon pertumbuhan memiliki gen dalam kromosom yang
membawa sifat pendek sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen
tersebut dan tumbuh stunting. Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat
10
kekurangan zat gizi atau penyakit, kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi
badan normal selama anak tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain (Amigo
et al. 1997). Orang tua dengan tinggi badan yang pendek berpeluang melahirkan
anak yang pendek pula (Astari 2006; Rahayu 2011; Nasikhah 2012). Pada
penelitian Zottarelli et al. (2007), penurunan kejadian stunting yang signifikan
teramati dari peningkatan tinggi ibu. Di antara ibu yang mempunyai tinggi kurang
dari 150 cm, 30,89% anak-anaknya mengalami stunting. Penurunan persentase
sampai 13.61% pada anak dengan ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.
Kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko
stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya
kurang dari 150 cm, dan menurunkan risiko stunting sebesar 59% jika anak lahir
dari ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.
Hubungan Pertumbuhan dengan Perkembangan Anak
Menurut Yusuf (2006), perkembangan merupakan perubahan-perubahan
yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik
menyangkut fisik maupun psikis. Sistematis berarti perubahan dalam
perkembangan itu bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling
mempengaruhi antara fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang
harmonis. Progresif berarti perubahan-perubahan yang terjadi bersifat maju,
meningkat, dan mendalam baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif
(psikis). Berkesinambungan berarti perubahan pada bagian atau fungsi individu
berlangsung secara beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan dan
acak. tetapi sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan yaitu: 1) perkembangan
merupakan proses yang tidak pernah berhenti; 2) semua aspek perkembangan,
baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah
hubungan yang positif; 3) perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu
dimana setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap
sebelumnya. Perkembangan di daerah kepala terjadi lebih dahulu kemudian
diikuti perkembangan kaudal atau anggota tubuh (pola sefalokaudal).
Perkembangan didaerah proksimal (gerak dasar) terjadi sebelum perkembangan
kebagian distal seperti jari-jari yang mempunyai kemampuan gerak halus (pola
proksimodistal). Perkembangan berjalan dari umum ke khusus, dari konkret ke
abstrak, dari egosentrisme ke perspektivisme, dan dari outter control ke inner
control; 4) pertumbuhan dan perkembangan mempunyai kecepatan yang berbedabeda pada masing-masing anak; 5) perkembangan berkorelasi dengan
pertumbuhan, bila pertumbuhan berlangsung cepat, perkembangan pun
meningkat. Anak sehat bertambah umur, bertambah berat dan tinggi badannya
serta bertambah kepandaiannya; 6) perkembangan memiliki tahap yang berurutan,
tidak bisa terjadi terbalik. Misalnya anak mampu berdiri sebelum berjalan dan
sebagainya.
Instrumen penilaian perkembangan anak usia prasekolah (2.5-6.5 tahun)
telah dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan
Departemen Pendidikan Nasional (Puskur Diknas 2004), yang meliputi instrumen
penilaian perkembangan kognitif, bahasa, motorik halus, motorik kasar, menolong
11
diri sendiri, dan sosial emosional. Penilaian perkembangan kognitif meliputi
ketajaman menbedakan stimulus, perhatian, kemampuan memanipulasi benda,
imitasi, vokalisasi, daya ingat, mengatasi masalah, dan menyebutkan nama objek.
Penilaian perkembangan motorik meliputi kemampuan motorik kasar (mengukur
kemampuan berjalan diatas garis lurus, berlari, melompat, membungkukan badan,
koordinasi mata dan kaki, koordinasi mata dan tangan, melambungkan bola,
berdiri satu kaki, dan berjalan diatas titian) dan motorik halus (membangun
menara, meremas, menggambar, menjiplak, melipat, dan menggunting).
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua proses yang saling
berhubungan. Bertambahnya keterampilan anak baik mental maupun motorik
akan mampengaruhi perkembangan sel-sel otak, saraf, tulang dan sebagainya.
Gangguan perkembangan tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya
kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan
lambatnya respon sosial (Yuliana et al. 2004). Stunting merupakan gangguan
pertumbuhan yang dapat menyebabkan berbagai gangguan perkembangan
diantaranya gangguan perkembangan kognitif (Walker et al. 2005), dan
perkembangan motorik (Pollit 2000).
Hingga tahun 1999, hubungan antara stunting dengan perkembangan anak
masih belum jelas. Hasil yang bervariasi dihubungkan dengan kemungkinan
adanya mekanisme yang berbeda tergantung dari zat gizi apa yang menjadi
defisien dalam tubuh anak (Grantham-McGregor et al. 1999). Selain itu,
caregiver mungkin kurang memberikan rangsangan terhadap anak apatis,
sehingga dapat memperburuk perkembangan anak (Chavez & Martinez 1982).
Hipotesis lain menyebutkan bahwa anak stunting bisa menyebabkan orang dewasa
memperlakukan mereka seperti anak-anak kecil sehingga tidak memberikan
rangsangan yang sesuai dengan usia anak.
Perkembangan anak tidak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan atau status
gizi anak. Sebagaimana prinsip perkembangan bahwa semua aspek
perkembangan, baik kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama
lain dengan arah hubungan yang positif. Satu hipotesis menyatakan bahwa anak
yang mengalami stunting akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah
sehingga tingkat aktifitasnya rendah (Levitsky 1979). Aktifitas fisik dan
perkembangan motorik yang rendah dihubungkan dengan perkembangan kognitif
anak. Menurut Piaget, meningkatkanya kemampuan intelektual merupakan sebuah
akibat dari perilaku gerak dan konsekuensinya. Menurutnya, gerak selalu
berhubungan dengan proses berpikir sehingga pengetahuan muncul sebagai akibat
dari perilaku yang terjadi melalui gerak tubuh. Hal tersebut sejalan dengan teori
gerak Kephart dan Delaco. Kephart menyatakan bahwa kurangnya kemampuan
belajar pada anak adalah hasil dari kurangnya integrasi sensori yang merupakan
langkah dalam persepsi proses gerak, sedangkan Delaco meyakini bahwa unsurunsur dalam fungsi kognitif yang optimal merupakan pengembangan dari
dominasi kontrol otak.
Perkembangan Motorik
Menurut Hurlock (2000), perkembangan motorik adalah perkembangan
pengendalian gerak jasmaniah melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf dan otot
yang terkoordinasi. Pengendalian berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan
massa yang ada pada waktu lahir. Perkembangan motorik beriringan dengan
12
proses pertumbuhan secara genetis atau kematangan fisik anak (Santrock 2007).
Teori yang menjelaskan secara detail tentang sistematika motorik anak adalah
Dynamic System Theory yang dikembangkan Thelen dan whiteneyer. Teori
tersebut mengungkapkan bahwa untuk membangun kemampuan motorik anak
harus mempersepsikan sesuatu di lingkungannya yang memotivasi mereka untuk
melakukan sesuatu dan menggunakan persepsi mereka tersebut untuk bergerak.
Perkembangan motor ditandai oleh beberapa ciri yaitu kemampuan yang
berkembang secara sistematik, tiap penguasaan kemampuan baru mempersiapkan
bayi untuk kemampuan berikutnya. Pertama kali bayi akan belajar keterampilan
sederhana, kemudian mengkombinasikannya ke dalam sistem tindakan yang
semakin kompleks, yang menghasilkan cakupan gerakan yang lebih luas atau
lebih tepat dan kontrol yang lebih efektif terhadap lingkungan (Papalia et al.
2008).
Setelah lahir, dalam hal kontrol kepala, sebagian besar bayi dapat
menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika
ditidurkan tengkurap, banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi
untuk dapat diputarkan. Dalam 2 atau 3 bulan pertama, mereka akan mengangkat
kepala mereka semakin tinggi hingga suatu ketika sampai pada titik di mana
mereka kehilangan keseimbangan dan berguling. Pada usia 4 bulan, hampir semua
bayi dapat menjaga kepala mereka tetap tegak ketika digendong atau dalam posisi
duduk. Selain itu, bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Apabila telapak
tangan bayi ditekan, maka tangan akan menggenggam dengan kuat. Pada usia 3.5
bulan, sebagian besar bayi dapat menggenggam benda berukuran sedang seperti
mainan, tetapi kesulitan untuk menggenggam objek berukuran kecil. Kemudian
mereka akan mencoba menggenggam objek dengan satu tangan dan
mengalihkannya ke tangan yang lain. Antara usia 7-11 bulan, tangan mereka
sudah cukup terkoordinasi untuk mengambil benda kecil seperti daun, dengan
menggunakan pincer grasp. Setelah itu ketepatan kontrol tangan semakin
meningkat. Pada bulan ke 15, bayi normal dapat membangun sebuah menara
dengan dua kotak. Beberapa bulan setelah ulang tahun yang ketiga, seorang anak
dapat menyalin lingkaran dengan baik (Papalia et al. 2008).
Dalam hal locomotion, setelah 3 bulan seorang bayi yang normal akan
mulai berguling dengan sengaja. Pertama dari muka ke belakang kemudian dari
belakang ke muka. Bayi normal dapat duduk tanpa bersandar pada usia 6 bulan,
dan diperkirakan bisa duduk tanpa bantuan sekitar 2,5 bulan kemudian. Antara 610 bulan, sebagian besar bayi mulai bergerak merangkak dan merayap dengan
kekuatan mereka sendiri. Pencapaian self-locomotion ini sangat mempengaruhi
perkembangan kognitif dan psikososial. Dengan bertumpu pada tangan atau
perabot, bayi normal dapat berdiri di usia 7 bulan ke atas. Kurang lebih 4 bulan
kemudian, bayi sudah dapat berdiri sendiri. Seorang bayi normal dapat berdiri
dengan baik sekitar 2 minggu sebelum ulang tahun pertamanya. Semua
perkembangan ini mengarah kepada pencapaian keterampilan motorik utama pada
bayi yaitu berjalan. Segera setelah mereka dapat berdiri sendiri dengan baik, pada
sekitar 11.5 bulan, sebagian besar bayi melakukan langkah pertama mereka.
Dalam beberapa minggu, segera setelah ulang tahun pertamanya, anak normal
akan dapat berjalan dengan baik (Papalia et al. 2008)
Tabel 1 menunjukkan usia rata-rata pada saat anak dapat melakukan tiap
keterampilan sebanyak 50% dan 90%, merujuk pada Denver Training Manual II.
13
Ketika membahas tentang apa yang “rata-rata” dapat dilakukan oleh seorang bayi,
maka hal tersebut merujuk kepada 50% nilain Denver. Pada kenyataannya,
definisi kenormalan mencakup area yang luas, dimana sebagian dari para bayi
menguasai keterampilan tersebut sebelum usia yang seharusnya, sedangkan
sebagian yang lain justru setelah usia yang seharusnya. Akan tetapi nilai ini belum
tentu valid untuk anak dari budaya lain di luar budaya barat. Di indonesia, skala
Denver sudah umum dipakai untuk menilai perkembangan pada anak, termasuk
perkembangan motorik.
Tabel 1 Pondasi perkembangan motorik
Keterampilan
Bergulimg
Menggenggam mainan
Duduk sendiri
Berdiri ketika dipegang
Menggenggam dengan ibu jari dan jari lain
Berdiri sendiri dengan baik
Berjalan dengan baik
Membangun menara dari dua balok
Menaiki tangga
Loncat di tempat
Meniru lingkaran
50%
3.2 bulan
3.3 bulan
5.9 bulan
7.2 bulan
8.2 bulan
11.5 bulan
12.3 bulan
14.8 bulan
16.6 bulan
23.8 bulan
3.4 tahun
90%
5.4 bulan
5.9 bulan
6.8 bulan
8.5 bulan
10.2 bulan
13.7 bulan
14.9 bulan
20.6 bulan
21.6 bulan
2.4 tahun
4.0 tahun
Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau
masa anak-anak, yang mana terjadi dalam usia anak dan terbagi dalam 3 tahapan
yaitu infancytoddlerhood di usia 0 sampai 3 tahun, early childhood usia 3 sampai
6 tahun, dan middle childhood usia 6 sampai 11 tahun. Seperti yang diungkapkan
Papalia et al. (2008), pada usia 3-6 tahun, kesehatan fisik anak mulai stabil. Anak
tidak mengalami sakit seperti usia sebelumnya. Hal ini menyebabkan
perkembangan fisik jadi lebih maskimal dari pada usia sebelumnya.
Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik
kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau sebagian besar
atau seluruh anggota tubuh, contohnya kemampuan duduk, menendang, berlari,
naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang
menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, contohnya
kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret, menyusun balok,
menggunting, menulis dan sebagainya (Yusuf 2006).
Sejak tahun 1970an, hubungan antara stunting dengan perkembangan
motorik telah temukan dalam berbagai studi (Powell & McGregor 1985; Lasky et
al. 1981; Monckeberg 1972; Sigman et al. 1989). Anak yang mengalami stunting
diketahui akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat
aktifitasnya rendah. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan rasa ingin tahu
terhadap lingkungannya dan kurang mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga
gagal dalam mencapai perkembagan motorik dan keterampilan dibandingkan
dengan anak normal pada umumnya (Levitsky 1979). Perilaku ini juga terlihat
pada anak dengan defisiensi besi (Lozoff et al. 1985), zinc (Sazawal et al. 1996;
Bentley et al. 1997), dan energi (Torun & Viteri 1981; Viteri & Torun 1981).
Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Paiva et al. (2012) terhadap
55 anak stunting prapubertas di Brazil. Paiva et al. meneliti hubungan antara
14
stunting dengan perkembangan motorik anak yang dinilai dari kemampuan
mekanik otot tricep surae dengan menggunakan alat ergometer. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kemampuan motorik pada anak stunting rendah
sebagai akibat dari terhambatnya proses kematangan otot sehingga kemampuan
mekanik otot berkurang.
Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental
yang meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan
bahasa (Papalia et al. 2008) yang terbentuk dari interaksi antara faktor internal
dengan lingkungan yang termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan luar
keluarga (Dariyo 2007). Salah satu pendiri teori perkembangan kognitif yang
banyak dirujuk adalah Jean Piaget. Menurut Piaget, anak secara aktif membangun
pemahaman dan pengetahuan tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan
kognitif (Santrock 2007). Masing-masing tahapan perkembangan mempunyai
keunikan dan kemampuan tersendiri, serta membangun pencapaian dari setiap
tahapan (Ormrod 2003). Tahapan perkembangan tersebut terdiri dari tahap
sensorimotorik (0-2 tahun), preoperational (2-7 tahun), concret operational (7-12
tahun) dan formal operational (>12 tahun) (Papalia et al. 2008; Santrock 2007).
Tabel 2 Tahap perkembangan kognitif Piaget
Tahap
Sensorimotorik
Umur
0-2 tahun
preoperational
2-7 tahun
concret operational
7-12 tahun
formal operational
(>12 tahun)
Perkembangan kognitif
Perkembangan perlahan pada ketrampilan sensori
dan motorik. Kurang dapat membedakan konsep
diri dan lingkungan, namun interaksi yang berarti
dan pencapaian konsep objek yang permanen
Pengembangan kemapuan bahasa dan konsep
diri. Anak cenderung egosentris. Mulai muncul
kemampuan mencapai imajinasi pikiran.
Kemampuan persepsi meningkat, namun masih
ditentukan oleh penampilan fisik yang terlihat.
Belum mengerti konsep konservasi, pola pikir
masih bersifat intuitif dan impulsif.
Mulai memahami hukum konservasi dan operasi
yang
bersifat
kebalikan.
Mulai
dapat
mengelompokkan, menyusun menurut ukuran
dan bentuk, serta mengenal konsep hubungan.
Mulai dapat berpikir abstrak dan menjelaskan
konsep. Masalah diselesaikan dengan penjelasan
dan logika, serta mampu membuat hipotesa.
Pada tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun) bayi membentuk pemahaman
tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensorik,
misalnya melihat dan mendengar dengan tindakan fisik dan motorik, sehingga
disebut “sensorimotorik”. Di akhir tahap ini, anak mampu menghasilkan pola-pola
sensorimotorik yang kompleks dan menggunakan simbol-simbol yang primitif
(Santrock 2007).
Tahap selanjutnya adalah tahap praoperasional (usia 2-7 tahun).
Pemahaman anak tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui
kegiatan sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik.
15
Kegiatan simbolik dapat berupa percakapan melalui telepon mainan atau berpurapura menjadi bapak atau ibu dan kegiatan simbolik lainnya. Tahap ini sangat
berperan dalam perkembangan kognitif anak karena melibatkan proses berpikir
yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang
memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan
sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun
pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan
tidak terorganisir dengan baik (Santrock 2007).
Pada tahap preoperasional anak-anak cenderung mendemonstrasikan
persepsi mereka dengan beberapa karakteristik warna, bentuk, dan ukuran.
Mereka juga sudah mengkategorikan konsep (Papalia 1979). Tahap
praoperasional diklasifikasikan dalam dua sub tahap yakni subtahap fungsi
simbolik dan sub tahap berpikir intuitif. Subtahap simbolik terjadi ketika anak
berusia 2-4 tahun. Pada subtahap ini anak memiliki kemampuan menggambarkan
objek secara fisik misalnya menyusun puzzel atau menyusun balok menjadi
bangunan tertentu. Subtahap ini juga dikenal dengan subtahap berpikir egosentris,
yakni ketidakmampuan anak anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir
orang lain. Sedangkan subtahap berpikir intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa
ini disebut subtahap berpikir secara intuisi karena saat ini anak kelihatannya
mengerti sesuatu padahal ia tidak mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan
balok itu dapat disusun menjadi rumah. Dengan kata lain anak belum memiliki
kemampuan kritis tentang apa yang ada dibalik suatu kejadian (Santrock 2007).
Tahap operasional kongkrit (7-12 tahun) adalah tahap dimana kemampuan
anak untuk berpikir logis sudah berkembang, dengan syarat objek yang menjadi
sumber berpikir logis tersebut hadir secara kongkrit. Kemampuan berpikir logis
terwujud dalam kemampuan mengklasifikasikan objek sesuai dengan
klasifikasinya, mengurutkan benda sesuai dengan tata urutnya, dan kemampuan
berpikir secara deduktif (Santrock 2007). Tahap operasional formal (12 tahun
sampai dewasa) ditandai oleh perpindahan dari cara berpikir kongkrit ke cara
berpikir abstrak, yang dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan ide-ide,
memprediksi kejadian yang terjadi dan melakukan proses berpikir ilmiah, yakni
mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran
hipotesis tersebut (Santrock 2007).
Perkembangan kognitif anak dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal (Dariyo 2007). Faktor eksternal termasuk status
ekonomi keluarga. Dalam studi Meksiko, hubungan yang signifikan antara
stunting dengan fungsi kognitif muncul pada anak-anak pedesaan yang miskin
tetapi tidak muncul pada anak-anak kelas menengah. Peneliti menyimpulkan
bahwa stunting pada anak-anak kelas menengah terutama disebabkan oleh
kecenderungan genetik, dengan demikian tidak dikaitkan dengan penurunan
fungsi neurosensori, sedangkan stunting pada anak-anak miskin di pedesaan
terutama disebabkan oleh gizi buruk sehingga dikaitkan dengan defisit fungsional
terutama dalam hal integrasi neurosensori (Cravioto et al. 1966).
Pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan perkembangan
kognitif anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas,
efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan
anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Soedjatmiko (2008) menekankan
pentingnya stimulasi kognitif dibandingkan dengan pendidikan orang tua karena
16
walaupun pendidikan orang tua tinggi, apabila tidak menyediakan kebutuhan
pokok untuk perkembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak
akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak
berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi, belum tentu mereka tidak cerdas,
sehingga perkembangan kognitif anak dapat tetap berkembang optimal asalkan
diberikan stimulasi kognitif sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan
remaja. Akan tetapi, orang tua dengan pendidikan yang tinggi lebih diharapkan
sampai kepada perubahan pengetahuan dan tingkah laku yang baik sehingga dapat
memberikan stimulasi yang mendukung bagi perkembangan kognitif anak. Hasil
penelitian kohort yang dilakukan oleh Schady (2011) terhadap 2118 anak di
daerah pedesaan Ekuator secara menunjukkan bahwa pendidikan orang tua
memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif anak.
Sesuai dengan prinsip perkembangan, anak-anak dengan gangguan
pertumbuhan seperti stunting akan mempunyai perkembangan kognitif yang tidak
optimal. Hipotesisi lain mengemukakan bahwa anak stunting mempunyai ukuran
kepala yang lebih kecil, dan jika dibandingkan dengan pengukuran antropometri
lainnya, ukuran kapala pada usia dini merupakan prediktor kuat nilai IQ pada usia
7 tahun (Grantham-McGregor et al. 1997). Studi serupa yang lebih baru dilakukan
oleh Chang et al. (2002), yang meneliti pengaruh stunting terhadap perkembangan
kognitif anak usia 9-24 bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan
dengan anak normal, anak stunting mempunyai kemampuan kognitif yang rendah
di usia 11-12 tahun, yang tercermin dari kemampuan aritmetik, mengeja,
membaca kata dan membaca komprehensif, sehingga pencapaian pendidikan anak
stunting lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak normal. Penelitian
pada usia yang lebih tinggi juga dilakukan oleh Kar et al. (2007) di Kota
Bangalore yang menguji pengaruh stunting pada anak usia 5-7 tahun dan 8-10
tahun terhadap perkembangan kognitif dengan menggunakan ukuran
neuropsikologis. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa anak kurang gizi
yang tercermin dalam keadaan stunting mempunyai masalah pada pemusatan
perhatian, memori, pembelajaran dan kemampuan visuospatial. Kar et al. (2007)
menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya dapat mempengaruhi perkembangan
kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap yang lebih tinggi sehingga
menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang.
Peran Lingkungan Pengasuhan Terhadap Perkembangan Anak
Pengukuran lingkungan pengasuhan anak salah satunya dapat dilakukan
dengan alat bantu HOME Inventory, dimana kualitas lingkungan anak dilihat dari
apakah orang tua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orang tua
memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orang tua memberikan suasana
yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana
tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif
bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orang
tua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah.
HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory)
dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna mengukur lingkungan
pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas maupun
17
kuantitas, yang dirancang oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen ini terdiri
dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak. Masingmasing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak
sesuai pertanyaan). Instrumen HOME (Home Observation for Measurement of the
Enviroment Inventory) ini terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan
pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun)
dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Terdapat delapan dimensi dalam instrumen
HOME yang biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak
usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik,
variasi stimulasi, hukuman, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta
lingkungan fisik. Selain untuk memprediksi perkembangan kognitif, instrumen
HOME juga bisa digunakan untuk memprediksi pencapaian akademik,
perkembangan bahasa, serta kualitas kesehatan yang telah diuji pada beberapa
etnis di seluruh dunia. Semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula
perkembangan anak (Anwar 2002).
Pola asuh anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain
dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan,
dan memberikan kasih sayang. Hal-hal tersebut berhubungan dengan keadaan ibu
yang meliputi kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang
pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan sehari-hari, dan sebagainya
(Soekirman 2000).
Menurut Sternberg dan Grigorenko (2001), lingkungan pengasuhan
merupakan faktor “genetik” yang juga diwariskan. Walau bagaimanapun,
perbedaan dalam lingkungan pengasuhan sebagian merupakan respon terhadap
perbedaan genetik di antara anak-anak yang dibesarkan (emosi, minat,
kemampuan, dan sebagainya). Analisis dengan menggunakan ukuran standar
lingkungan pengasuhan seperti Skala Lingkungan Keluarga (FES) dan Home
Observation for the Measurement of Environment (HOME) menunjukkan bahwa
perbedaan kondisi dalam membesarkan anak-anak (kehangatan dari orang tua,
mainan yang disediakan, dan sebagainya) sekitar 40% diwariskan. Sebagai bukti,
kembar identik yang diasuh terpisah menilai lingkungan masa kecil mereka lebih
mirip dibandingkan dengan kembar fraternal yang diasuh bersama-sama. Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang benar-benar mengamati interaksi
orangtua dan anak yang membuktikan bahwa adanya pengaruh genetik pada
lingkungan pengasuhan (Scarr 1996). Selain itu, sekitar separuh dari korelasi
fenotipik antara HOME dan IQ anak-anak adalah genetik. Artinya, variasi
substansial dalam kedua lingkungan HOME dan IQ dapat ditelusuri ke gen yang
sama (Plomin et al. 1997).
Pola asuh mencakup stimulasi psokososial, yaitu kegiatan bermain sejak
bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi
dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem
indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati
musik dan ruang serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008).
Depdiknas (2002) mendefinisikan stimulasi psikososial sebagai stimulasi
pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan
motorik anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2003) menunjukkan bahwa
status gizi dan perkembangan anak secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan
18
pengasuhan. Sejalan dengan hal tersebut, Miquelote et al. (2012) meneliti
hubungan antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan kognitif dan
motorik anak balita yang diukur dengan menggunakan instrumen Home
Environment for Motor Development dengan skala Bayley untuk perkembangan
balita. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat berhubungan kuat antara
lingkungan pengasuhan yang mencakup stimulasi motorik terhadap
perkembangan motorik dan bahkan kognitif balita. Lingkungan pengasuhan lebih
penting dibandingkan dengan materi, terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh
Zeitlin et al. (2000) yang menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah
dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang
memadai dan tepat. Kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai terbukti
berperan penting dalam tumbuh kembang anak. Anak-anak dengan kelompok
keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan pola pengasuhan, yaitu
perilaku pemberian ASI (Jus‟at et al. 2000).
Walker et al. (2005) meneliti pengaruh suplementasi gizi dan stimulasi
psikososial terhadap perkembangan kognitif anak stunting dan normal usia 9-24
bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan stimulasi
psikososial, suplementasi tidak mempunyai efek yang signifikan dengan
perkembangan kognitif anak di usia 17-18 tahun. Anak stunting yang tidak
mendapat stimulasi psikososial mempunyai skor kognitif yang lebih rendah.
Stunting pada anak usia dini dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan
pendidikan di akhir masa remaja, yang dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia
dini.
Lingkungan pengasuhan juga dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut
hasil penelitian Latifah et al. (2010), terdapat hubungan yang signifikan antara
pendidikan ayah dan ibu dengan stimulasi psikososial. Selain itu, semakin besar
suatu keluarga maka semakin sedikit pembagian perhatian pada masing-masing
anggota keluarga. Oleh karena itu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan dan
perawatan anak. Besar keluarga dalam beberapa penelitian berhubungan dengan
kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak. Hasil penelitian Sa‟diyyah (1998)
terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa
curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga, budaya dan
wilayah tempat tinggal. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang
dicurahkan ibu untuk anaknya. Pada masyarakat tradisional dan modern, ibu yang
bekerja akan menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga kualitas
pengasuhan anak tidak terkontrol dengan baik.
Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah
untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk
mengasuh dan merawat anak. Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan
adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan
ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap
anaknya terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana edukasi bagi anak.
Anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial rendah kurang memperoleh
rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua sering kali sibuk atau terlalu
dibebani oleh masalah ekonomi (Beck 1998). Latifah et al. (2010) menyatakan
bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita
keluarga dengan stimulasi psikososial.
19
3
KERANGKA PEMIKIRAN
Pertumbuhan pada anak merupakan merupakan cerminan dari keadaan
sosial ekonomi masyarakat karena hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi yang
terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan
sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang
kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Stunting merupakan gangguan
pertumbuhan yang tercermin dari keadaan tubuh yang pendek sehingga melewati
defisit 2SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi
referensi. Anak usia dini yang mengalami stunting biasanya mempunyai masalah
dalam perkembangan, walaupun faktor pengasuhan turut berperan dalam
membentuk perkembangan anak.
Anak dengan gangguan pertumbuhan (stunting) cenderung mengalami
penurunan kinerja sistem syaraf, terlihat dari kemampuan kognitif yang rendah di
akhir masa remaja. Penurunan fungsi motorik pada anak stunting dapat
disebabkan oleh rendahnya kemampuan mekanik dari sistem otot tricep surae
sehingga menghambat kemampuan motorik mereka. Oleh karena itu, gangguan
pertumbuhan (stunting) mungkin dapat mempengaruhi fungsi motorik dan
kognitif secara bersamaan.
Gangguan pertumbuhan dapat terjadi secara luas baik di lingkungan yang
miskin maupun di lingkungan yang relatif surplus bahan pangan. Dalam suatu
populasi, seorang anak dapat menjadi stunted atau tidak. Oleh sebab itu,
diperlukan pemahaman yang baik tentang mengapa dan bagaimana anak-anak
menjadi stunting baik pada tingkat individu maupun ekologi. Stunting pada anak
dapat disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor ekonomi, sosial, maupun
budaya. Hal tersebut tercermin dalam karakteristik anak, karakteristik keluarga
anak, dan konsumsi anak. Ketiga aspek tersebut seringkali dipertimbangkan
sebagai faktor-faktor yang dapat menjadi risiko dalam munculnya gangguan
pertumbuhan pada anak usia prasekolah.
Usia dan jenis kelamin termasuk variabel karakteristik anak yang penting
dan seringkali menjadi dasar dalam klasifikasi demografi pada penelitian survei.
Jenis kelamin dapat menyebabkan pola asuh gizi dan pengeluaran energi yang
berbeda sehingga diduga dapat menyebabkan magnitud stunting yang berbeda
pada kedua jenis kelamin. Stunting adalah proses kumulatif yang dimulai dalam
rahim dan terus berlanjut sampai sekitar tiga tahun setelah kelahiran, sehingga
dalam beberapa studi ditemukan hubungan yang signifikan antara kejadian
stunting dan usia anak.
Gangguan pertumbuhan juga dikaitkan dengan status kesehatan khususnya
diare. Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak.
Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan malnutrisi pada anak sehingga
efek jangka panjangnya dapat menyebabkan stunting. Selain status kesehatan,
status kelahiran juga turut berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Bayi dengan
panjang lahir dibawah normal menandakan telah terjadi retardasi pertumbuhan
ketika masih dalam kandungan, sedangkan bayi dengan berat lahir rendah
mempunyai kejar tumbuh (catch up growth) yang tidak sempurna di kemudian
hari sehingga pertumbuhan anak tersebut tehambat.
20
Karakteristik keluarga turut berperan dalam munculnya gangguan
pertumbuhan pada anak. Ukuran rumah tangga yang besar biasanya menjadi
faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan dalam
keluarga. Pada kondisi tersebut, faktor kuantitas lebih diutamakan daripada faktor
kualitas sehingga diharapkan seluruh anggota keluarga mendapatkan makanan.
Pekerjaan orang tua khususnya ibu turut mempengaruhi intensitas dan kualitas
pola-pola hubungan yang terbentuk dalam keluarga, termasuk pola asuh gizi dan
kesehatan pada anak. Ibu yang mempunyai pekerjaan di luar berarti mempunyai
pekerjaan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, hal tersebut mempengaruhi
kelekatan hubungan dengan anak karena rendahnya kualitas dan kuantitas
komunikasi yang terbentuk
Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena
berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi.
Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah
dan konsumsi pangan keluarga kurang bergizi yang akhirnya akan mempengaruhi
kesehatan dan status gizi keluarga. Gangguan pertumbuhan juga banyak
ditemukan pada keluarga dengan orang tua yang merokok hal tersebut berkaitan
dengan alokasi pengeluaran untuk pangan atau konsekuensi klinis dari tembakau
terhadap status gizi dan penundaan pertumbuhan skeletal. Selain faktor eksternal,
faktor internal seperti genetik juga berpengaruh terhadap pertumbuhan anak.
Orang tua dengan tinggi badan yang pendek berpeluang melahirkan anak yang
pendek pula.
Konsumsi zat gizi yang berasal dari makanan atau ASI pada anak balita
menjadi faktor lain yang sering dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan pada
anak. Konsumsi zat gizi anak meliputi pemberian kolostrum, lama pemberian
ASI, jenis makanan, usia pertama kali diperkenalkan MP-ASI, dan pola asuh
makan. ASI dan kolostrum memberikan efek protektif terhadap balita dan bayi
yang baru lahir. Akan tetapi, durasi menyusui yang semakin lama dapat
meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak
memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai usia anak. MP-ASI sangat dibutuhkan
anak untuk memenuhi kebutuhan gizi yang tidak cukup dari ASI.
Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam mencapai pertumbuhan yang
optimal bukan hanya dengan menyediakan pangan dalam jumlah dan kualitas
yang baik, tetapi juga harus memperhatikan pola asuh makan yang tepat bagi
anak. Sebuah wilayah surplus pangan tidak menjamin penduduknya terbebas dari
masalah stunting. Hal tersebut dapat terjadi karena status gizi dan perkembangan
anak secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan pengasuhan. Praktek
pengasuhan gizi dan kesehatan yang dilakukan oleh seorang ibu merupakan hasil
dari proses panjang yang dimulai dari adanya pengetahuan yang disebabkan oleh
suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat berasal dari lingkungan sosial
maupun media informasi.
21
Karakteristik anak:
Jenis kelamin
Status kesehatan
Berat badan lahir
Panjang badan lahir
Prematuritas
Perkembangan anak:
Pertumbuhan anak:
motorik
Pola konsumsi anak:
tingkat kecukupan gizi
riwayat pemberian ASI
dan MP-ASI
kebiasaan makan
Praktek pengasuhan gizi
dan kesehatan oleh ibu
Pengetahuan gizi dan
kesehatan pada ibu
Praktek pengasuhan anak oleh
ibu
Pengetahuan pengasuhan anak
pada ibu
Karakteristik keluarga:
Besar keluarga
dapatan perkapita keluarga
Pekerjaan orang tua
Status merokok keluarga
Riwayat penyakit kehamilan ibu
Gambar 1 Kaitan pertumbuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik pada
anak usia prasekolah
22
4
METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian
Desain
Penelitian ini termasuk penelitian yang menggunakan desain survei,
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan (TB/U) dan
perkembangan kognitif dan motorik yang ada di kelompok tertentu. Penelitian ini
termasuk penelitian survei dimana penyebab dan efek diobservasi pada saat yang
sama, akan tetapi data yang diambil juga meliputi data yang menggambarkan
kondisi masa lalu. Pengambilan data dilakukan hanya sekali dan digunakan untuk
mengidentifikasi karakteristik dan menilai hubungan antara variabel-variabel yang
diteliti.
Lokasi
Penelitian dilakukan di Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Kecamatan Ciampea terletak sekitar 30 km dari pusat
Pemerintahan Kabupaten, 130 km dari pusat Ibukota Propinsi, dan 60 km dari
pusat Ibukota Negara. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian
dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa prevalensi balita pendek
di Kabupaten Bogor mencapai 25.5% (Riyadi et al. 2006) dan tergolong masalah
publik yang sedang menurut acuan WHO karena berada pada kisaran 20-29%.
Waktu
Persiapan penelitian meliputi pemilihan lokasi dan sasaran, pembuatan
kuesioner, uji coba kuesioner, dan pengambilan data di lapangan. Penelitian ini
berlangsung selama 2 Bulan yaitu dari bulan Juni 2013 sampai bulan Agustus
2013.
Teknik Pemilihan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah anak berusia 3-5 tahun
yang berada di Desa Cibanteng. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan data yang ada di posyandu Desa Cibanteng. Pemilihan contoh anak
usia 3-5 tahun didasarkan atas pertimbangan bahwa kelompok usia tersebut
merupakan kelompok usia yang sedang mengalami perkembangan fase awal yang
cukup pesat meliputi perkembangan kognitif dan motorik (Chamidah 2009). Usia
3-5 tahun merupakan usia transisi dari lingkungan keluarga menuju lingkungan
sekolah dimana pada usia ini anak mulai disiapkan untuk memasuki masa sekolah
sehingga mulai diberikan stimulasi psikososial (Khomsan et al. 2012). Dari
seluruh anak berusia 3-5 tahun yang ada di posyandu Desa Cibanteng, dipilih
contoh secara purposive dengan kriteria inklusi: 1) berusia 3-5 tahun; 2);
mempunyai orang tua lengkap dan bersedia diambil data; 3) mempunyai data
berat badan dan tinggi badan saat lahir; 4) tidak mempunyai cacat atau kelainan
bawaan. Kriteria eksklusi penelitian adalah anak sedang menjalani pengobatan
atau sedang sakit.
23
Pertimbangan penggunaan kriteria inklusi adalah untuk menghindari
terjadinya bias seleksi karena adanya kemungkinan pengaruh yang berbeda dari
status gizi yang berbeda terhadap perkembangan kognitif dan motorik balita.
Pertimbangan penggunaan kriteria eksklusi adalah peneliti ingin melihat
kemampuan kognitif dan motorik anak sehari-hari, tidak dipengaruhi oleh status
kesehatan balita pada saat diambil data. Anak yang sedang sakit cenderung lebih
rewel ketika akan diambil data sehingga tidak diikutsertakan dalam penelitian.
Pengambilan contoh dilakukan dengan cara melakukan screening untuk
mengetahui anak yang masuk kedalam kriteria inklusi dan eksklusi penelitian
melalui penelusuran data posyandu. Ukuran sampel dihitung berdasarkan rumus
pendugaan proporsi seperti yang dikemukakan oleh Ariawan (1997).
Dimana:
n
= jumlah minimal sampel yang diambil
= 95% (peluang)
1-α
p
= 25.5% proporsi balita stunting di kabupaten bogor (Riyadi et al. 2006)
d
= kesalahan yang dapat ditaksir (presisi) = 0.1
Sehingga:
= 73
Berdasarkan hasil survei lokasi penelitian sebelumnya, diketahui bahwa
jumlah posyandu yang berada di Desa Cibanteng berjumlah 12 posyandu. Dari
jumlah tersebut maka diambil contoh secara proporsional sebanyak 73 balita
sehingga tiap posyandu diambil balita kurang lebih sebanyak 6 atau 7 orang balita
yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi penelitian.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan langsung melalui pengukuran yang meliputi
data karakteristik keluarga, data pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak
pada ibu, data karakteristik anak, data perkembangan anak (kognitif dan motorik),
data pertumbuhan anak (TB/U), data pola konsumsi anak, dan data lingkungan
pengasuhan anak yang meliputi praktek pengasuhan gizi, kesehatan, dan stimulasi
psikososial oleh ibu. Data sekunder didapatkan dengan penelusuran literatur yang
meliputi data mengenai gambaran umum lokasi penelitian serta jumlah dan
karakteristik anak prasekolah yang ada di posyandu Desa Cibanteng. Secara lebih
rinci, cara pengumpulan data dan pengolahan data untuk masing-masing variabel
atau peubah ditampilkan pada Tabel 3.
24
Tabel 3 Peubah, cara pengumpulan data, dan pengolahan data
cara pengumpulan
data
No
Peubah
Data Primer
A. Data Karateristik Keluarga
1.
Besar keluarga
Wawancara
2.
Pendidikan orang tua
Wawancara
3.
4.
Pekerjaan orang tua
Pendapatan/kapita keluarga
Wawancara
Wawancara
5.
Tinggi badan ibu
6.
7.
8.
Usia orang tua
Status merokok keluarga
Riwayat penyakit kehamilan
Pengukuran
langsung
Wawancara
Wawancara
Wawancara, buku
KIA atau catatan
kehamilan
B. Data Pengetahuan Ibu
9. Pengetahuan gizi
10. Pengetahuan kesehatan
11. Pengetahuan pengasuhan anak
C. Data Praktek Ibu
12. Praktek pengasuhan gizi
Wawancara
Wawancara
Pengolahan data
Kecil (≤4 orang)
Sedang(5-7 orang)
Besar(>7 orang)
(BKKBN 2003)
Lama menempuh pendidikan
formal (tahun)
Kategorikal
BPS (2012) dan gold
standard (Sukandar et al.
2008)
<150 cm, 150-155 cm atau
>155cm
Dalam tahun dan bulan
Merokok/Tidak merokok
Jenis penyakit yang diderita
ibu selama hamil
Rendah: <60%
Sedang: 60%-79%
Tinggi: ≥80%
Rendah: <60%
Sedang: 60%-79%
Tinggi: ≥80%
13. Praktek pengasuhan kesehatan
Wawancara
14. Praktek Pengasuhan anak
HOME inventory
(55 poin)
Rendah: 0-29
Sedang: 24-32
Tinggi: 46-55
FFQ modifikasi
Wawancara
Depkes (1996)
Lama pemberian ASI
eksklusif dan jenis MP-ASI
yang diberikan
Deskriptif
D. Data Pola Konsumsi Anak
15. Tingkat kecukupan gizi
16. Riwayat pemberian ASI dan
MP-ASI
17. Kebiasaan makan
E. Data Karakteristik Anak
18. Umur
19. Jenis kelamin
20. Status kesehatan
Wawancara
21. Berat badan lahir
Wawancara dan
melihat KMS
Wawancara dan
melihat KMS
Wawancara dan
melihat KMS
22. Panjang badan lahir
23. Prematuritas
Wawancara
Wawancara
Wawancara
Dalam tahun dan bulan
Laki-laki/perempuan
Jenis dan lama penyakit yang
diderita oleh anak sejak lahir
dan satu bulan terakhir
<2.500 gram
≥2.500 gram
Pendek: <48 cm
Normal: ≥48 cm
Cukup bulan (≥37 minggu)
Prematur (<37 minggu)
25
No
Peubah
F. Data Perkembangan Anak
cara pengumpulan
data
24.
Perkembangan kognitif
Tes perkembangan
anak (Puskur 2004)
25.
Perkembangan motorik
Tes perkembangan
anak (Puskur 2004)
Pengolahan data
Rendah: <60%
Sedang: 60%-79%
Tinggi: ≥80%
Rendah: <60%
Sedang: 60%-79%
Tinggi: ≥80%
G. Data Pertumbuhan Anak
26.
TB/U
Data Sekunder
27. Profil wilayah penelitian
28. Jumlah anak
Wawancara dan
Pengukuran
langsung
Z-score TB/U
Penelusuran literatur
Data posyandu
Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik. Data
karakteristik keluarga, praktek pengasuhan gizi, praktek pengasuhan kesehatan,
pengetahuan gizi ibu, pengetahuan kesehatan ibu, pengetahuan pengasuhan anak
pada ibu, karakteristik anak, status merokok keluarga, kebiasaan makan, dan
riwayat pemberian ASI dan MP-ASI diambil dengan menggunakan kuesioner.
Data tingkat kecukupan gizi anak diukur dengan menggunakan metode food
frequency yang dimodifikasi. Metode FFQ yang dimodifikasi berguna untuk
mengetahui gambaran pola konsumsi anak sejak masa lalu hingga masa kini yang
ditambahkan dengan komponen ukuran rumah tangga untuk mengetahui
gambaran asupan zat gizi tertentu yang berkaitan dengan pertumbuhan anak
seperti energi, protein, besi, kalsium, fosfor, dan vitamin A sejak anak mulai
diperkenalkan dengan MP-ASI.
Data praktek pengasuhan anak oleh ibu diambil dengan menggunakan
HOME (Home Observation for Measurements of the Environment) untuk anak
usia 3-5 tahun. HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment
Inventory) dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna mengukur
lingkungan pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas
maupun kuantitas, yang dirancang oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen
HOME terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang
diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia
prasekolah (3-6 tahun). Terdapat delapan dimensi dalam instrumen HOME yang
biasa digunakan untuk memprediksi perkembangan kognitif anak usia prasekolah
yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, variasi stimulasi,
hukuman, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta lingkungan fisik.
Data pertumbuhan anak (TB/U) diambil dengan mengukur secara
langsung tinggi badan anak menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm,
sedangkan data usia anak didapat dengan wawancara atau melihat KMS. Data
prematuritas, berat, dan panjang lahir anak didapat dengan wawancara atau
melihat KMS. Data status kesehatan anak dan riwayat penyakit selama kehamilan
ibu didapat melalui wawancara dan melihat buku KIA atau catatan kehamilan.
Data tinggi badan orang tua diambil melalui pengukuran langsung dengan
menggunakan microtoise. Data perkembangan kognitif dan motorik diambil
dengan mengisi tes berdasarkan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat
26
Kurikulum Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional (2004). Instrumen
penilaian perkembangan anak Depdiknas (2004) terdiri dari serangkaian tes yang
disesuaikan menurut usia dan tahap perkembangan anak. Data sekunder yang
meliputi data mengenai gambaran umum lokasi penelitian dan jumlah anak
diperoleh melalui posyandu dan penelusuran literatur.
Pengolahan dan Analisis Data
Data diolah dalam beberapa tahap yaitu: 1) penyusunan kode untuk
memudahkan proses entry data; 2) pembersihan data atau cleaning data untuk
menghindari kesalahan dalam memasukan data; 3) skoring terhadap nilai
pengetahuan gizi, nilai pengetahuan kesehatan anak, nilai pengetahuan
pengasuhan anak, perkembangan kognitif, perkembangan motorik, praktek
pengasuhan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak; 4) kategorisasi terhadap data
skor; 6) analisis deskriptif, analisis korelasi, dan analisis regresi berganda dengan
menggunakan SPSS 16 for Windows dan SAS.
Skoring terhadap nilai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak
didapatkan dari 20 pertanyaan dengan tiga kategori jawaban. Setiap jawaban
benar pada pertanyaan tentang pengetahuan bernilai satu dan jawaban selain itu
bernilai 0. Skoring terhadap nilai praktek pengasuhan gizi dan kesehatan
didapatkan dari 20 pertanyaan dengan dua kategori jawaban. Setiap jawaban
diberi nilai 1 apabila menjawab ya, dan 0 apabila menjawab tidak. Tingkat
pengetahuan dan praktek merupakan persentase dari jumlah skor aktual terhadap
jumlah skor yang diharapkan dikali dengan 100%. Tingkat pengetahuan dan
praktek dikategorikan rendah jika bernilai kurang dari 60%, dikategorikan sedang
jika bernilai 60%-79%, dan dikategorikan tinggi jika bernilai lebih dari sama
dengan 80% (Khomsan 2000).
Data perkembangan kognitif dan motorik anak diukur dengan
menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Anak Usia
Dini Departemen Pendidikan Nasional (2004) berdasarkan usia anak. Instrumen
perkembangan motorik anak meliputi perkembangan motorik kasar dan motorik
halus yang dibedakan berdasarkan usia anak. Skor tes perkembangan anak
diakumulasi untuk setiap jenis perkembangan. Tingkat perkembangan kognitif
dan motorik anak merupakan persentase dari jumlah skor aktual terhadap jumlah
skor yang diharapkan dikali dengan 100%. Tingkat perkembangan kognitif dan
motorik anak dikategorikan rendah apabila skornya kurang dari 60%, sedang jika
skornya 60%-79%, dan tinggi jika skornya lebih dari sama dengan 80%
(Khomsan et al. 2013). Praktek pengasuhan anak dinilai dari kuesioner dengan
menggunakan alat ukur HOME inventory. Instrumen ini terdiri dari 55 butir
pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak yang dibagi atas
delapan sub skala yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik,
kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, model, variasi stimulasi, dan
hukuman. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan)
dan 0 (apabila tidak sesuai pertanyaan). Semakin tinggi skor HOME, maka
semakin baik pula perkembangan anak (Anwar 2002).
Data tingkat pendidikan orang tua diukur dari jumlah tahun mengikuti
pendidikan formal yang dikategorikan kedalam jenjang pendidikan Sekolah Dasar
27
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau
Perguruan Tinggi (PT). Data besar keluarga diukur berdasarkan jumlah anggota
keluarga yang tinggal dalam satu pengelolaan keuangan bersama dan kemudian
dikategorikan ke dalam keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar
(BKKBN 2003). Data pendapatan keluarga diukur dengan menjumlahkan
pendapatan seluruh anggota keluarga yang berasal dari pekerjaan utama,
pekerjaan tambahan, atau sumber-sumber lainnya yang dihitung selama satu
tahun. Data pendapatan keluarga dibagi dengan ukuran keluarga untuk
menentukan pendapatan per kapita keluarga. Keluarga dikategorikan miskin
apabila pendapatan per kapita keluarga dibawah garis kemiskinan wilayah. Garis
kemiskinan Kabupaten Bogor tahun 2010 adalah sebesar Rp 214.338/kapita/bulan
(BPS 2012). Jika menggunakan pendekatan gold standard, maka garis kemiskinan
untuk wilayah pedesaan setara dengan 2.29 gram emas murni atau setara dengan
Rp 1.147.290/kap/bulan (Sukandar et al. 2008). Data tinggi badan ibu
dikategorikan menjadi <150cm, 150-155 cm dan >155 cm (Zottarelli et al. 2007).
Data riwayat penyakit kehamilan ibu meliputi infeksi TORCH (toxoplasma,
rubella, cytomegalovirus, herpes simplex), malaria, preeklampsia-eklampsia,
hiperemesis, dan gejala anemia (Nasikhah 2012). Data prematuritas anak
dikelompokan menjadi usia kelahiran prematur (<37 minggu) dan usia kelahiran
normal (≥37 minggu), sementara data panjang badan lahir anak dikelompokan
menjadi pendek (<48 cm) dan normal (≥48 cm) (Kemenkes 2010). Data
pertumbuhan anak (TB/U) dikategorikan berdasarkan kesepakatan ahli gizi di
Indonesia berdasarkan standar WHO/NCHS (LIPI 2000) (Tabel 4).
Tabel 4 kategori pertumbuhan anak berdasarkan TB/U
Indikator
Tinggi badan menurut
umur (TB/U)
Kategori status gizi
Sangat pendek
Pendek
Normal
Keterangan
z-score <-3
-3 ≤ z-score < -2
z-score ≥-2
Sumber: LIPI (2000)
Data tingkat kecukupan gizi anak diolah dengan menggunakan FFQ yang
dimodifikasi dengan menambahkan komponen ukuran rumah tangga sehingga
diketahui jumlah konsumsi energi, protein, besi, kalsium, fosfor, dan vitamin A.
Instrumen yang digunakan dalam menghitung kandungan gizi adalah daftar
komposisi bahan makanan. Tingkat kecukupan gizi masing-masing zat gizi
merupakan perbandingan konsumsi zat gizi aktual terhadap angka kecukupan gizi
yang dianjurkan sesuai dengan kelompok umurnya, kemudian dikalikan dengan
100%. Klasifikasi tingkat kecukupan vitamin dan mineral yaitu kurang (<77%
AKG) dan cukup (≥77 % AKG) (Gibson 2005). Sedangkan untuk kriteria tingkat
kecukupan energi dan protein menggunakan cutoff yang didasarkan atas kriteria
Depkes (1996). Secara lebih rinci diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kriteria tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996)
Kriteria
Lebih
Normal
Defisit tingkat ringan
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat berat
Cutoff
≥120% AKG
90-119 % AKG
80-89 % AKG
70-79 % AKG
< 70 % AKG
28
Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS 16 for Windows.
Analisis deskriptif menggambarkan sebaran variabel yang diteliti berdasarkan
persen dan rataan. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis
hubungan antara: 1) karakteristik keluarga, karakteristik anak, TKG anak,
perkembangan (kognitif dan motorik) dan tinggi badan anak menurut umur; 2)
karakteristik keluarga dengan pengetahuan ibu mengenai gizi, kesehatan, dan
pengasuhan anak; 3) karakteristik keluarga dan pengetahuan ibu dengan praktek
ibu mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak); dan 4) praktek ibu mengenai
gizi dan kesehatan dengan tingkat kecukupan gizi anak. Untuk melihat faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan (TB/U) dan perkembangan
(kognitif dan motorik) anak, digunakan analisis regresi berganda dengan model:
Model 1:
y1 = β0 + β1 X1 +β2X2 + β3X3 +β4X4 + β5X5 +β6X6 + β7X7 + β8X8 + β9X9 +ε
Keterangan:
y1
= z-score (TB/U)
β0
= Intersep
β1X1 = Panjang badan lahir anak
β2X2 = Prematuritas anak ketika lahir
β3X3 = Status kesehatan anak sejak lahir
β4X4 = Tinggi badan ibu
β5X5 = Usia mulai diperkenalkan MP-ASI
β6X6 = Konsumsi energi
β7X7 = Konsumsi protein
β8X8 = Pendapatan perkapita keluarga
β9X9 = Status merokok anggota keluarga
= Galat (error)
ε
Model 2:
y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε
Keterangan:
y2
= Perkembangan motorik halus anak prasekolah
β0
= Intersep
β1X1 = Status kesehatan anak sejak lahir
β2X2 = Lama mengikuti PAUD
β3X3 = Usia anak
β4X4 = Lama pendidikan ibu
β5X5 = z-score (TB/U)
β6X6 = Praktik ibu terhadap pengasuhan anak (HOME)
β7X7 = Perkembangan kognitif anak
β8X8 = Perkembangan motorik kasar anak
ε
= Galat (error)
Model 3:
y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε
Keterangan:
29
y2
β0
β1 X1
β2 X2
β3 X3
β4 X4
β5 X5
β6 X6
β7 X7
β8 X8
ε
= Perkembangan motorik kasar anak prasekolah
= Intersep
= Status kesehatan anak sejak lahir
= Lama mengikuti PAUD
= Usia anak
= Lama pendidikan ibu
= z-score (TB/U)
= Praktik ibu terhadap pengasuhan anak (HOME)
= Perkembangan kognitif anak
= Perkembangan motorik halus anak
= Galat (error)
Model 4:
y2 = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 + ε
Keterangan:
y2
= Perkembangan kognitif anak prasekolah
β0
= Intersep
β1X1 = Status kesehatan anak sejak lahir
β2X2 = Lama mengikuti PAUD
β3X3 = Usia anak
β4X4 = Lama pendidikan ibu
β5X5 = z-score (TB/U)
β6X6 = Praktik ibu terhadap pengasuhan anak (HOME)
β7X7 = Perkembangan motorik halus anak
β8X8 = Perkembangan motorik kasar anak
ε
= Galat (error)
Setelah diketahui faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan
variabel terikat, maka dilakukan analisis regresi ulang dengan menggunakan
software SAS untuk mengetahui seberapa besar kontribusi dari masing-masing
faktor tersebut terhadap variabel terikat.
Definisi Operasional
Anak usia prasekolah adalah anak laki-laki dan perempuan yang berusia 3-5
tahun.
Status kesehatan anak adalah lama dan jenis penyakit yang telah atau sedang
diderita oleh anak sejak lahir dan selama satu bulan terakhir.
Berat badan lahir anak adalah berat badan anak prasekolah pada saat lahir yang
diketahui dengan melihat KMS, dikelompokkan menjadi BBLR (<2500
gram) dan normal (≥2500 gram) (Kemenkes 2010).
Panjang badan lahir anak adalah panjang badan anak prasekolah pada saat lahir
yang diketahui dengan melihat KMS, dikelompokan menjadi pendek (<48
cm) dan normal (≥48 cm) (Kemenkes 2010).
Prematuritas adalah usia kehamilan saat anak lahir, dikelompokan menjadi
prematur (<37 minggu) dan normal (≥37 minggu) (Kemenkes 2010).
30
Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu
pengelolaan keuangan keluarga, kemudian dikategorikan ke dalam
keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar.
Pendapatan perkapita keluarga adalah pendapatan keluarga dibagi dengan
besar keluarga, kemudian dikategorikan miskin apabila pendapatan per
kapita keluarga dibawah Rp 204.199/kapita/bulan.
Pertumbuhan anak adalah keadaan anak usia prasekolah yang diakibatkan oleh
konsumsi, pencernaan, penyerapan, penggunaan, dan pengeluaran zat gizi
yang diukur menggunakan indikator TB/U.
Perkembangan motorik fenomena perkembangan anak yang meliputi
perkembangan motorik kasar dan halus. Motorik kasar melibatkan
sebagian besar bagian tubuh dan otot yang lebih besar. Motorik halus
melibatkan bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot kecil.
Pengukuran perkembangan motorik adalah serangkaian tes yang dilakukan
untuk melihat perkembangan motorik anak prasekolah dengan
menggunakan instrumen perkembangan anak yang terdiri dari pertanyaan
motorik halus dan motorik kasar (Puskur Diknas 2004).
Perkembangan kognitif adalah fenomena perkembangan anak mengenai konsep
atau pengertian, meliputi pengenalan warna, suara, rasa, tekstur, nama, dan
konsep yang lebih abstrak dan majemuk (Yusuf 2006).
Pengukuran perkembangan kognitif adalah serangkaian tes yang dilakukan
untuk melihat perkembangan kognitif anak prasekolah dengan
menggunakan instrumen perkembangan anak (Puskur Diknas 2004).
Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah penguasaan materi ibu yang
berhubungan dengan pangan, gizi, dan kesehatan anak yang dinilai
berdasarkan persentase total jawaban benar dari serangkaian pertanyaan
yang diajukan.
Pengetahuan pengasuhan anak adalah penguasaan materi ibu yang berhubungan
dengan pengasuhan anak yang dinilai berdasarkan persentase total jawaban
benar dari serangkaian pertanyaan yang diajukan.
Praktek gizi dan kesehatan adalah kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh ibu
terhadap anak yang meliputi penyediaan makanan anak dan pemeliharaan
kesehatan anak.
Praktek pengasuhan anak adalah kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh ibu
terhadap anak yang meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa,
lingkungan fisik, kehangatan dan kasih sayang, stimulasi akademik,
model, pengalaman, dan hukuman yang diukur dengan menggunakan
instrumen HOME Inventory yang terdiri dari 55 pertanyaan dan bernilai
maksimal 55 poin.
Asupan gizi adalah jumlah energi, protein, dan mikronutrien (besi, kalsium,
fosfor, vitamin A) yang dikonsumsi anak usia prasekolah yang diukur
dengan menggunakan metode FFQ yang domodifikasi.
Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan jumlah konsumsi zat gizi terhadap
angka kecukupan gizi tersebut sesuai dengan kelompok umur, dikalikan
dengan 100%.
31
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Keadaan Geografis
Desa Cibanteng merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Ciampea Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 162,185 Ha, terdiri dari 45 RT
(Rukun Tetangga) dan 8 RW (Rukun Warga) dengan luas areal pesawahan 20,9
Ha dan tanah atau daratan seluas 141.285 Ha. Desa Cibanteng berbatasan dengan
Desa benteng di sebelah utara, Desa Babakan di sebelah timur, Desa Cihideung
Ilir dan Cihideung Udik di sebelah selatan, serta Desa Bojong Jengkol di sebelah
barat.
Apabila diukur dengan menggunakan alat transportasi yang digunakan
masyarakat umum di Desa Cibanteng, maka waktu tempuh Desa Cibanteng
adalah :
a) jarak ke ibukota Kecamatan
:2
Km
b) jarak ke ibukota Kabupaten
: 25 Km
c) jarak ke ibukota Propinsi
: 132 Km
d) jarak ke ibukota negara
: 56 Km
e) Waktu tempuh untuk ke ibukota Kecamatan
: 0,5 jam
f)
Waktu tempuh untuk ke ibukota Kabupaten
:2
jam
Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng bervariasi. Sebagian besar lahan di
Desa Cibanteng digunakan untuk pemukiman penduduk, sedangkan luas lahan
yang digunakan untuk sekolah hanya 1.8 Ha. Secara lebih lengkap, Tabel 6
memperlihatkan luas lahan Desa Cibanteng yang digunakan untuk berbagai
fungsi.
Tabel 6 Pemanfaatan lahan di Desa Cibanteng
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Pemanfaatan Lahan
Pemukiman
Sekolah
Tempat ibadah
Kuburan
Jalan
Kantor desa
Irigasi
Empang
Luas (Ha)
80
1.8
1
1
2.7
0.034
37
0.3
Keadaan Sosial Ekonomi
Jumlah kepala keluarga yang berada di Desa Cibanteng sebanyak 4682
kepala keluarga. Jika dilihat dari usia, maka penduduk yang terdapat di Desa
Cibanteng lebih banyak berada pada kelompok usia 26-35 tahun. Sedangkan
jumlah balita mencapai 2087 orang. Selain itu, persentase penduduk laki-laki
lebih banyak jika dibandingkan dengan penduduk perempuan. Secara lengkap,
jumlah penduduk menurut struktur usia di Desa Cibanteng diperlihatkan pada
Tabel 7.
32
Tabel 7 Jumlah penduduk menurut struktur usia
Kelompok Usia
0-12 Bulan
13-4 Tahun
5-6 Tahun
7-12 Tahun
13-15 Tahun
16-18 Tahun
19-25 Tahun
26-35 Tahun
36-45 Tahun
46-50 Tahun
51-60 Tahun
61-75 Tahun
76 Th keatas
Jumlah
Jumlah Jiwa
Laki-laki
Perempuan
411
383
672
621
596
483
878
784
605
527
648
589
952
935
1058
1102
902
917
736
755
657
522
496
502
66
100
8677
8220
Jumlah
794
1293
1079
1662
1132
1237
1887
2260
1809
1491
1179
998
166
16.897
Sebagian besar penduduk Desa Cibanteng bermata pencaharian sebagai
buruh harian lepas, sedangkan pendidikan penduduk lebih banyak berada pada
tingkat SD/MI. Jika dilihat dari jumlah tenaga kesehatan yang ada di Desa
Cibanteng, maka sebagian besar tenaga kesehatan yang tersedia adalah kader
posyandu yang dibantu oleh seorang bidan desa (Tabel 8). Idealnya, sebuah
posyandu mempunyai kader minimal lima orang. Akan tetapi, di Desa Cibanteng,
cukup sulit mencari kader yang mau menjadi sukarelawan di sebuah posyandu.
Sebagai contoh di Posyandu Kuntum Mekar 1, hanya terdapat dua kader yang
aktif, sedangkan ketiga kader lainnya tidak aktif dikarenakan alasan kurangnya
kesejahteraan bagi kader terutama dalam hal insentif. Secara keseluruhan hanya
terdapat 40 kader yang terdaftar di kantor desa yang tersebar di seluruh posyandu
yang ada di Desa Cibanteng. Jumlah balita di masing-masing posyandu beragam.
Akan tetapi belum terdapat pendataan yang baik mengenai jumlah pasti balita
yang terdaftar di masing-masing posyandu. Oleh karena itu, cukup sulit untuk
mengetahui berapa jumlah pasti balita yang terdaftar di masing-masing posyandu
tersebut. Hanya ada beberapa posyandu yang mempunyai pendataan cukup baik,
sebagai contoh, di Posyandu Kuntum Mekar 1 terdapat sekitar 132 balita yang
tersebar di tiga RT, termasuk di dalamnya terdapat 68 balita yang berusia 3-5
tahun.
Pelayanan kesehatan di masing-masing posyandu dilakukan dengan
berbagai cara akan tetapi tidak jauh berbeda satu sama lain. Setiap penimbangan
dilakukan rutin setiap bulan dengan cara yang umum dilakukan yaitu ibu dan
balita mendatangi posyandu. Akan tetapi, untuk imunisasi biasanya ibu dan balita
mendatangi langsung bidan desa atau ada juga yang datang ke posyandu ketika
ada jadwal posyandu. Pemberian kapsul vitamin A diberikan dua kali setahun
yaitu setiap bulan februari dan agustus. Pemberian kapsul vitamin A di Desa
Cibanteng relatif sulit karena masih terdapat kepercayaan yang salah yang
berkembang di masyarakat. Pemberian kapsul vitamin A biasanya dilakukan oleh
kader bersama tokoh masyarakat melalui kunjungan dari pintu ke pintu.
33
Tabel 8 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk
Mata Pencaharian
Mata pencaharian:
Petani
Buruh harian lepas
Wiraswasta
Pegawai Negeri Sipil
TNI/Polri
Guru
Pegawai swasta
Pendidikan:
PAUD
TK/RA/TPA
SD/MI
SLTP/MTS
SLTA/MA
Diploma
DII/DIII
DIV/sarjana
S2/S3
Tenaga kesehatan:
Dokter praktek swasta
Bidan desa
Bidan praktek swasta
Dukun beranak
Kader posyandu
Jumlah (orang)
110
902
250
137
23
140
587
104
164
1989
1237
1848
88
170
270
27
2
1
3
2
40
Sarana pendidikan yang paling banyak terdapat di Desa Cibanteng adalah
Taman Kanak-kanak dan TPA, sedangkan untuk fasilitas olah raga disediakan
lapangan badminton sebanyak enam lapangan. Fasilitas kesehatan yang paling
banyak terdapat di Desa Cibanteng adalah posyandu yaitu sebanyak dua belas
posyandu yang tersebar di seluruh Desa Cibanteng. Setiap posyandu di beri nama
Posyandu Kuntum Mekar. Satu posyandu biasanya mencakup beberapa RT.
Sebagai contoh, Posyandu Kuntum Mekar 1 merupakan salah satu posyandu yang
ada di Desa Cibanteng yang terletak di RT 02 dan mecakup tiga RT yaitu RT 1,
RT 2, dan RT 3. Tidak seluruh posyandu mempunyai tempat khusus untuk
pelayanan kesehatan, sebagian posyandu masih menumpang di rumah warga atau
kader dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Jadwal posyandu biasanya
berubah setiap bulan tergantung jadwal bidan desa yang masih sering berubah
sesuai jadwal dari pihak rumah sakit. Apabila jadwal bidan desa sudah tetap,
maka jadwal posyandu dilaksanakan secara rutin. Selain itu, jadwal posyandu juga
bisa berubah menyesuaikan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan di desa
seperti ketika bulan puasa tiba. Selain sebagai tempat pelayanan kesehatan,
posyandu juga bisa merangkap sebagai gedung PAUD (Pendidikan Anak Usia
Dini) bagi balita, seperti yang ada di Posyandu Kuntum Mekar 5. Secara lengkap,
gambaran sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Cibanteng ditampilkan pada
Tabel 9.
34
Tabel 9 Sarana dan Prasarana Desa Cibanteng
Sarana dan Prasarana
Pemerintahan:
Kantor desa
Balai pertemuan
Pos kamling
Pendidikan:
TK/TPA
SD/MI
MTS
SLTA/MA
Pondok Pesantren
Majelis taklim
Kesehatan:
Poliklinik
Posyandu
Tempat ibadah
Mesjid
Mushala
Fasilitas olah raga:
Lapangan badminton
Fasilitas umum:
Wartel
Pom bensin
Bengkel
Mini market
Kios/toko/warung
Jumlah (unit)
1
1
30
19
9
1
2
3
18
3
12
12
25
6
2
1
7
3
88
Karakteristik Umum Balita
Secara umum, jumlah balita laki-laki dan perempuan pada penelitian ini
hampir sama. Jika dilihat dari keikutsertaan PAUD, hanya 11% balita yang
mengikuti PAUD (Tabel 10). Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi
secara nasional yang menunjukan bahwa akses anak usia dini terhadap layanan
pendidikan melalui pendidikan anak usia dini (PAUD) masih terbatas dan tidak
merata. Menurut Renstra Departemen Pendidikan Nasional tahun 2006-2010, dari
sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan PAUD hanya 7,2
juta (25,3%). Di antara anak-anak yang memperoleh kesempatan mengikuti
PAUD tersebut, pada umumnya berasal dari keluarga mampu di daerah perkotaan.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin dan anakanak perdesaan belum memperoleh kesempatan mengikuti PAUD secara
proporsional. Di sisi lain, program PAUD bertujuan agar semua anak usia dini
(usia 0-6 tahun), baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan tumbuh
dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan sesuai
tahap-tahap perkembangan atau tingkat usia mereka.
35
Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar balita dilahirkan dengan dibantu
oleh bidan desa (74.0%). Walaupun demikian, masih ada balita yang
persalinannya dibantu oleh dukun bayi atau paraji (12.3%). Hal tersebut
disebabkan oleh tradisi dan adat istiadat yang masih dipegang oleh beberapa
keluarga di Desa Cibanteng. Sejalan dengan penelitian kualitatif yang dilakukan
oleh Anggorodi (2009) yang menyatakan bahwa alasan utama yang menyebabkan
seorang ibu masih menggunakan dukun bayi atau paraji dalam proses kelahiran
anak adalah karena faktor kepercayaan dan adat-istiadat. Dukun bayi dianggap
sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan khusus dalam menangani proses
kelahiran bayi walaupun pada kenyataanya seringkali tidak sesuai dengan konsep
kedokteran modern.
Selain itu, hampir keseluruhan balita tidak mempunyai masalah selama
kehamilan dan persalinan (90.4%), sehingga sebagian besar balita dilahirkan
secara normal (Tabel 10). Tingginya angka ibu yang melahirkan secara normal di
Desa Cibanteng menggambarkan status gizi dan kesehatan ibu serta pemanfaatan
pelayanan kesehatan yang baik. Lebih dari separuh ibu mempunyai status gizi
normal (Tabel 10) dan terbiasa mememeriksakan kehamilan secara rutin melalui
bidan atau tenaga kesehatan terlatih (97.3%). Menurut hasil Survai Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, baik di pedesaan maupun di perkotaan,
terdapat kecenderungan peningkatan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan terlatih selama pemeriksaan kehamilan dan kelahiran. Secara
keseluruhan, tren ibu hamil yang diperiksa oleh tenaga kesehatan meningkat dari
92 persen pada SDKI 2002-2003 menjadi 96 persen pada SDKI 2012. Persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 66 persen pada SDKI 20022003 menjadi 83 persen pada SDKI 2012.
Berdasarkan Tabel 10, jenis penyakit yang pernah dialami oleh sebagian
besar balita adalah influenza (97.3%) dan Diare (75.3%). Tidak jauh berbeda
dengan status kesehatan balita selama satu bulan terakhir, jenis penyakit yang
paling banyak diderita oleh balita selama satu bulan terakhir adalah influenza
(42.5%) dan diare (19.2%). Menurut Survei Morbiditas Diare tahun 2010 yang
dilakukan kementrian kesehatan Indonesia, angka kesakitan diare balita tahun
2000-2010 tidak menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan. Pada tahun
2000 angka kesakitan balita 1.278 per 1000 turun menjadi 1.100 per 1000 pada
tahun 2003 dan naik lagi pada tahun 2006 kemudian turun pada tahun 2010.
Selain itu, rata-rata kejadian diare di pedesaan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan perkotaan (Kemenkes 2011). Akan tetapi, berdasarkan Tabel 10 cukup
banyak balita dalam penelitian ini yang mempunyai status kesehatan baik selama
satu bulan terakhir (23.3%).
Balita yang pernah mengalami influenza dan diare tidak semuanya
langsung dibawa ke unit pelayanan kesehatan. Sebanyak 12.3% anak yang
menderita influenza dan 10.9% anak yang menderita diare biasanya hanya
diberikan obat warung atau dibiarkan sampai sembuh dengan sendirinya.
Sebagian besar ibu balita yang tidak membawa anaknya ke unit pelayanan
kesehatan mempunyai alasan ekonomi atau praktek kesehatan yang salah. Mereka
cenderung berfikir bahwa influenza dan diare merupakan penyakit yang biasa
terjadi pada anak dan akan sembuh dengan sendirinya tanpa harus meminta
bantuan tenaga kesehatan.
36
Tabel 10 Sebaran balita menurut karateristiknya
Variabel
Jenis kelamin balita:
Laki-laki
Perempuan
Keikutsertaan PAUD:
Ya
Tidak
Tempat kelahiran balita:
Bidan
Rumah Sakit
Rumah
Penolong persalinan balita:
Dukun bayi/paraji
Bidan
Dokter
Riwayat penyakit selama kehamilan balita:
Tidak ada
Maag kronis
Lainnya
Masalah selama kelahiran balita:
Tidak ada
Letak sungsang
Pinggul kecil
Pendarahan
Hipertensi
Jenis persalinan balita:
Biasa/spontan
Operasi
Status kesehatan balita sejak lahir:
Infeksi paru-paru
Diare
Influenza
Cacar
Penyakit kulit
Asma
Campak
Lainnya
Status kesehatan balita sebulan terakhir:
Tidak ada
Diare
Influenza
Asma
Penyakit kulit
Cacar
Jumlah balita
n (73)
% (100)
37
36
50.7
49.3
8
65
11.0
89.0
51
10
12
69.9
13.7
16.4
9
54
10
12.3
74.0
13.7
66
4
3
90.4
5.5
4.1
66
1
3
2
1
90.4
1.4
4.1
2.7
1.4
69
4
94.5
5.5
3
55
71
21
6
9
15
5
4.1
75.3
97.3
28.8
8.2
12.3
20.6
6.8
17
14
31
1
5
1
23.3
19.2
42.5
1.4
6.8
1.4
Riwayat Kelahiran Balita
Berdasarkan Tabel 11, rata-rata usia balita pada penelitian ini adalah 45.6
bulan. Hampir separuh dari jumlah balita berada pada kelompok usia 42-53 bulan.
37
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, balita pada penelitian ini berada
pada tahap perkembangan praoperasional (usia 2-7 tahun). Pemahaman anak
tentang benda-benda disekitarnya tidak hanya dilakukan melalui kegiatan
sensorimotor akan tetapi juga melalui kegiatan yang bersifat simbolik. Tahap ini
sangat berperan dalam perkembangan kognitif anak karena melibatkan proses
berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang
memungkinkan anak mengkaitkannya dengan kegiatan yang dilakukan
sebelumnya. Tahap ini merupakan masa permulaan anak untuk membangun
pemikirannya. Oleh sebab itu cara berpikir anak pada tahap ini belum stabil dan
tidak terorganisir dengan baik (Santrock 2007). Sebagaimana perkembangan
kognitif, anak prasekolah juga mengalami perkembangan motorik yang pesat tapi
bervariasi dalam hal kemampuan beradaptasi, tergantung kepada potensi genetik
dan peluang mereka untuk belajar dan mempraktekan kemampuan motoris
(Papalia et al. 2008).
Tabel 11 Sebaran balita menurut riwayat kelahiran
Variabel
Usia balita:
36-41 bulan
42-53 bulan
54-60 bulan
Rata-rata ± SD
Prematuritas:
Ya (< 9 bulan)
Tidak ( ≥ 9 bulan)
Rata-rata ±SD
Berat badan lahir balita:
Rendah (< 2500 gram)
Normal (≥ 2500 gram)
Rata-rata ±SD
Panjang badan lahir balita:
Pendek (< 48 cm)
Normal (≥ 48 cm)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
26
35.6
34
46.6
13
17.8
45.58 ± 7.71
8
65
11.0
89.0
8.95 ± 0.31
1
72
1.4
98.6
3.19 ± 0.46
17
23.3
56
76.7
48.19 ± 2.87
Berdasarkan prematuritas, maka sebagian besar balita tergolong lahir
dengan keadaan cukup bulan dengan rata-rata usia kelahiran 8.95 bulan (Tabel
11). Bayi yang lahir prematur belum tentu mempunyai berat badan lahir yang
rendah. Terlihat dari hasil penelitian ini bahwa walaupun terdapat 11.0% balita
yang lahir prematur, jumlah balita yang mempunyai berat badan lahir normal
mencapai 98.6% dengan rata-rata berat lahir 3.19 gram. Secara nasional, menurut
Riskesdas (2010), jumlah bayi yang lahir dengan berat badan rendah di Indonesia
mencapai 11.1% dan terdapat kecenderungan bahwa di perkotaan anak balita yang
ditimbang ketika baru lahir lebih tinggi daripada di perdesaan. Sementara di
Kabupaten Bogor, sejalan dengan hasil penelitian, jumlah bayi dengan berat
badan lahir rendah cukup sedikit yaitu hanya 5.7% jika dibandingkan dengan
angka nasional pada tahun yang sama yang mencapai 11.5% (Riskesdas 2007).
Selain itu, Tabel 11 juga memperlihatkan bahwa rata-rata penjang badan
lahir balita adalah 48.19 cm dan sebagian besar tergolong normal menurut
38
Kementrian Kesehatan (2010). Walaupun demikian, masih terdapat 23.3% balita
yang lahir dengan panjang lahir yang tergolong pendek. Data mengenai panjang
badan lahir di Indonesia masih terbatas. Data panjang lahir balita penting untuk
menduga gambaran umum status gizi ibu dan bayi selama masa kehamilan karena
panjang badan yang jauh di bawah rata-rata pada umumnya disebabkan karena
sudah terjadi retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan yang salah satunya
bisa diakibatkan oleh keadaan gizi ibu hamil (Kusharisupeni 2002).
Riwayat Pemberian ASI dan MP-ASI Balita
Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 90.4% ibu balita memberikan ASI
eksklusif selama kurang dari enam bulan, dan hanya 9.6% balita yang diberikan
ASI eksklusif selama enam bulan. Lebih dari separuh dari ibu yang tidak
memberikan ASI eksklusif mempunyai alasan bahwa ASI yang dihasilkan terlalu
sedikit untuk memenuhi kebutuhan bayi mereka. Selain itu, ibu yang mempunyai
alasan malas memberikan ASI eksklusif juga cukup tinggi (16.7%). Sebaliknya,
hanya ada dua dari enam ibu yang memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan
yang mempunyai alasan bahwa ASI eksklusif selama enam bulan penting
diberikan pada bayi. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi secara
nasional. Riskesdas (2010) dan SDKI (2012) menunjukan tren pemberian ASI
eksklusif yang sama, keduanya memperlihatkan bahwa persentase menyusui
eksklusif semakin menurun dengan meningkatnya kelompok umur bayi. Pada bayi
yang berumur 5 bulan menyusui eksklusif hanya 15,3% (Riskesdas 2010),
sedangkan untuk bayi yang diberikan ASI eksklusif selama enam sampai delapan
bulan hanya sebesar 3.4% (SDKI 2012). Khusus di Kabupaten Bogor, persentase
bayi yang diberikan ASI eksklusif menurut profil kesehatan Provinsi Jawa Barat
tahun 2007 mencapai 23.54%. Rendahnya ibu yang memberikan ASI eksklusif
selama enam bulan dapat disebabkan salah satunya oleh rendahnya pengetahuan
ibu mengenai ASI eksklusif, terbukti dalam penelitian ini kurang dari separuh
jumlah keseluruhan ibu yang mengetahui ASI eksklusif sebaiknya diberikan
selama enam bulan (Gambar 2).
Selain pemberian ASI eksklusif, Tabel 12 juga menunjukkan usia mulai
diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI). Terdapat lebih banyak balita
yang mulai diberikan MP-ASI ketika usia kurang dari 6 bulan. MP-ASI yang
pertama kali dan paling sering diberikan pada balita sebagian besar berupa bubur
bayi instan atau kemasan praktis cepat saji buatan pabrik. Menurut Kemenkes
(2010), MP-ASI yang pertama diberikan (6-9 bulan) sebaiknya berupa makanan
lumat, yaitu makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang merata dan
bentuknya lebih kasar dari makanan lumat halus, contohnya bubur susu, bubur
sumsum, pisang saring yang dikerok, pepaya saring, tomat saring, nasi tim saring,
dan sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan makanan lunak (9-12 bulan), dan
makanan padat atau makanan keluarga (>12 bulan). Dengan demikian, sebagian
besar ibu balita tidak mengikuti pedoman pemberian MP-ASI yang dianjurkan
oleh Kementrian Kesehatan RI. Secara nasional, persentase ibu balita yang
memberikan MP-ASI pada anak usia 6-23 bulan yang sesuai dengan praktekpraktek yang direkomendasikan tentang pengaturan waktu, frekuensi dan
kualitas hanya mencapai 41% (SDKI 2007).
39
Tabel 12 Sebaran balita menurut riwayat pemberian ASI dan MP-ASI
Variabel
Lama pemberian ASI eksklusif:
< 4 bulan
4-5.9 bulan
6 bulan
Alasan tidak memberikan ASI eksklusif (6 bulan):
ASI sedikit
Balita rewel jika hanya diberi ASI
Ibu malas
Alasan memberikan ASI eksklusif:
ASI banyak
ASI Penting untuk balita
Usia diberikan MP-ASI pertama kali:
< 4 bulan
4-5.9 bulan
6 bulan
> 6 bulan
Jenis MP-ASI yang pertama kali diberikan:
Biskuit bayi
Bubur bayi instan
Pisang
Usia diberikan minuman selain ASI pertama kali:
< 4 bulan
4-5.9 bulan
6 bulan
> 6 bulan
Jenis minuman selain ASI yang pertama diberikan:
Air putih
Kopi
Madu
Kopi+madu
Susu formula
Usia balita saat diperkenalkan dengan makanan keluarga:
< 1 tahun
1 tahun
> 1 tahun
Jumlah balita
n (73)
% (100)
54
12
7
74.0
16.4
9.6
34
21
11
46.6
28.8
15.1
5
2
6.8
2.7
11
22
32
8
15.1
30.1
43.8
11.0
8
58
7
11.0
79.4
9.6
53
11
8
1
72.5
15.1
11.0
1.4
26
15
12
11
9
35.6
20.6
16.4
15.1
12.3
4
32
37
5.5
43.8
50.7
Sebanyak 87.6% balita mulai diberikan minuman selain ASI sejak usia
kurang dari enam bulan. Jenis minuman selain ASI yang pertama kali dan paling
sering diberikan pada balita sebagian besar adalah air putih. Di sisi lain, cukup
banyak ibu yang memberikan kopi, madu, atau teh pada balita ketika usia balita
kurang dari enam bulan (Tabel 12). Hal tersebut dilakukan karena ibu balita masih
mempercayai kepercayaan atau tradisi yang dilakukan turun temurun. Pemberian
teh, kopi, atau madu pada bayi sangat tidak dianjurkan. Menurut National Health
and Medical Research Council (2012), madu bisa saja mengandung spora
Clostridium botulinum sehingga tidak boleh diberikan pada bayi di bawah usia 12
bulan. Lebih dari 1.500 kasus botulisme pada bayi telah dikonfirmasi di Amerika
Serikat sejak tahun 1976. 551 Dari jumlah tersebut, 95% terjadi pada bayi usia
antara 6 minggu dan 6 bulan. Walaupun makanan lain mungkin mengandung
40
spora Clostridium botulinum, konsumsi madu telah berulang kali dikaitkan
dengan botulisme pada bayi. Selain itu, baik kopi maupun teh mengandung kafein
yang tidak bisa dicerna secara sempurna oleh bayi. Bahkan seorang ibu yang
menyusui tidak dianjurkan mengkonsumsi minuman berkafein secara berlebihan
karena dapat mempengaruhi bayi melalui ASI. di Australia, terdapat laporan
subjektif dari ibu-ibu menyusui bahwa bayi-bayi mereka menjadi lebih gelisah
dan mudah rewel setelah ibu-ibu menyusui tersebut mengkonsumsi minuman
berkafein seperti teh dan kopi secara berlebihan. Walaupun demikian, belum ada
penelitian lebih lanjut mengenai efek kafein terhadap perilaku bayi.
Pengenalan makanan keluarga yang dilakukan oleh lebih dari separuh ibu
balita dimulai ketika balita berusia lebih dari satu tahun. Hal tersebut sesuai
dengan anjuran Kemenkes (2010) yang menyatakan bahwa makanan padat atau
makanan keluarga boleh dikenalkan ketika usia balita lebih dari satu tahun secara
bertahap sesuai dengan kemampuan anak.
Preferensi Makanan dan Minuman Balita
Preferensi makanan dan minuman didefinisikan sebagai derajat kesukaan
atau ketidaksukaan terhadap makanan dan minuman tertentu. Berdasarkan Tabel
13, pangan hewani yang sebagian besar disukai oleh balita adalah telur ayam.
Untuk jenis minuman, sebanyak 76.7% balita lebih memilih air putih. Hampir
separuh dari jumlah balita menyukai buah-buahan berupa jeruk. Selain itu, hampir
separuh dari jumlah balita yang menyukai sayuran yang diolah menjadi sayur sop,
dan terdapat sebanyak 9.6% balita yang tidak menyukai sayuran. Kebiasaan
mengkonsumsi sayuran pada anak usia prasekolah dalam beberapa penelitian
masih rendah, hasil ini sejlan dengan penelitian Putriana (2010) di Semarang yang
menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi sayur pada anak prasekolah masih kurang
dari anjuran. Sayuran, sebagaimana buah-buahan, selain mengandung mineral dan
vitamin juga mengandung serat yang bermanfaat untuk mencegah konstipasi.
Kecukupan total serat pangan didasarkan pada review IOM (2005) tentang
penelitian manfaat total serat pangan dalam mengendalikan kolesterol terkait
dengan menurunkan risiko penyakit jantung koroner, yaitu 14 g/1000 kkal. Angka
tersebut juga diterapkan pada anak usia 1-8 tahun untuk mencegah konstipasi.
Semakin rendah konsumsi atau kecukupan energi seseorang semakin rendah pula
kecukupan serat pangannya. Anjuran kecukupan serat ini harus disertai dengan
anjuran minum yang memenuhi kecukupan air.
Preferensi memainkan suatu peran penting di dalam menjelaskan pola
makanan anak, sebagaimana kaitannya dengan penerimaan makanan (Birch &
Fischer 1998). Riset menunjukkan bahwa anak-anak mengembangkan pilihan
makanan mereka seiring dengan pertumbuhan mereka dan paparan terhadap
berbagai karakteristik makanan, antara lain tekstur, rasa dan bumbu (Birch 1999).
Skinner et al. (1998) menambahkan anak-anak juga mempelajarinya dari model
dalam keluarga dan di luar rumah bersama teman-teman mereka. Berbagai macam
pilihan (preferensi) makanan merupakan hasil interaksi dari kondisi-kondisi saling
mempengaruhi yang berbeda, apa yang dipilih seorang anak untuk dimakan
adalah kumpulan atau hasil interaksi dari beberapa faktor, antara lain keturunan,
budaya, serta status sosial dan ekonomi.
41
Anak-anak yang dibesarkan dengan ibu atau pengasuh yang biasa
memperlihatkan perilaku makan sehat, seperti kebiasaan makan buah dan sayur,
akan mempunyai preferensi makanan yang baik terhadap buah dan sayuran
(Skinner et al. 2002). Preferensi makanan juga dipengaruhi oleh kondisi yang lain.
Anak-anak cenderung menghindari makanan yang telah dikaitkan dengan
perasaan yang tidak menyenangkan, seperti mual, sakit, kecemasan, dan
sebagainya, ditandai dengan adanya argumen dan sikap yang negatif oleh anak.
Anak-anak juga menerima atau menolak makanan berdasarkan kualitas makanan,
seperti rasa, tekstur, bau, suhu atau penampilan, serta faktor lingkungan, seperti
kehadiran orang lain dan konsekuensi apabila ia makan atau tidak makan.
Misalnya, anak makan karena menginginkan perhatian dari ibu atau pengasuh,
atau bisa juga anak tidak makan karena ingin mendapatkan makanan ringan atau
jajanan. Meningkatkan keterbiasaan terhadap rasa meningkatkan kemungkinan
penerimaan. Ibu atau pengasuh dapat mengatasi sulitnya preferensi pangan pada
anak dengan mencampurkan makanan baru dengan makanan yang disukai anak
dan mengulanginya berkali-kali sampai makanan baru tersebut tidak lagi asing
bagi anak (Black & Hurley 2007).
Tabel 13 Sebaran balita menurut preferensi pangan dan minuman
Variabel
Buah yang disukai balita:
Jeruk
Lengkeng
Semangka
Apel
Melon
Pisang
Lainnya
Sayur yang disukai balita:
Tidak ada
Sop
Bayam
Jajanan yang disukai balita:
Chiki
Es
Biskuit
Permen
Coklat
Lainnya
Pangan hewani yang disukai balita:
Daging ayam
Telur ayam
Ikan basah/segar
Ikan asin
Minuman yang disukai balita:
Air putih
Es
Susu
Lainnya
Jumlah balita
n (73)
% (100)
35
7
9
6
6
4
6
47.9
9.6
12.3
8.2
8.2
5.5
8.2
8
34
31
11.0
46.6
42.5
34
12
3
15
3
5
46.6
16.4
4.1
20.6
4.1
6.8
24
37
10
2
32.9
50.7
13.7
2.7
56
5
9
3
76.7
6.8
12.3
4.1
42
Kebiasaan Makan Balita
Balita usia pra-sekolah merupakan konsumen aktif. Mereka sudah dapat
memilih makanan yang disukainya. Anak balita merupakan kelompok yang
menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi
setiap kilogram berat badannya. Di sisi lain, anak balita merupakan kelompok
umur yang paling sering mengalami kekurangan zat gizi karena masih dalam
tahap perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya
(Sediaoetama 2008). Kebiasaan makan dapat terbentuk sejak usia balita yang
merupakan masa penting dalam kehidupan seseorang karena pada masa inilah
ditanamkan sikap, kebiasaan dan pola tingkah laku yang memegang peranan
menentukan dalam perkembangan individu selanjutnya. Dalam masyarakat
Indonesia, ibu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap
tugas pengasuhan, kesehatan dan pertumbuhan anak. Dari studi yang pernah
dilakukan diketahui posisi orang tua khususnya ibu turut menentukan kebiasaan
makan pada balita (Wati & Rahardjo 2011; Christin & Seher 2011).
Lebih dari separuh jumlah balita dalam penelitian ini mempunyai
frekuensi makan tiga kali dalam sehari dan tidak selalu menghabiskan
makanannya. Peran ibu atau pengasuh dalam membentuk kebiasaan makan yang
baik pada balita sangat penting. Kehadiran ibu dalam kegiatan makan balita tidak
menjamin balita akan mempunyai kebiasaan makan yang baik. Pada penelitian ini,
lebih dari separuh jumlah balita terbiasa makan disuapi oleh ibunya sambil
bermain. Selain menyuapi balita, hampir seluruh ibu juga mengolah sendiri
makanan untuk balita. Walaupun demikian, persentase kebiasaan jajan mendekati
waktu makan utama pada balita masih tinggi, akibatnya menggangu waktu makan
utama balita. Jajanan yang paling umum dikonsumsi oleh balita dalam penelitian
ini adalah chiki-chikian (Tabel 13). Balita cenderung tidak menghabiskan
makannya karena sebelumnya lebih memilih untuk membeli jajanan. Menurut
Suhardjo (1989), makanan jajanan yang umumnya disukai anak-anak adalah kuekue yang biasanya sebagian besar dibuat dari tepung dan gula. Dengan
mengkonsumsi jajanan ini anak cenderung mendapat tambahan energi, di sisi lain
tambahan zat pembangun dan zat pengatur sangat sedikit. Setelah jajan, anak
sering merasa kenyang sehingga selera makannya berkurang dan tidak dapat
menghabiskan makanannya.
Data mengenai tingkat konsumsi jajanan balita secara nasional di
Indonesia masih terbatas, sementara di Amerika Serikat, penelitian Piernas dan
Popkin (2010) menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja di Amerika Serikat
mengkonsumsi hampir tiga snack setiap hari. Persentase kebiasaan jajan dari
tahun 1989 sampai 2006 mengalami kenaikan. Penelitian Piernas dan Popkin
(2010) juga menemukan adanya peningkatan konsumsi diantaranya snack asin
yang padat kalori, permen, serta minuman seperti minuman buah dan terjadi
penurunan konsumsi jus buah dan buah-buahan sebagai jajanan pada anak.
Sebelumnya penelitian Channoonmuang dan Klunklin (2006) menyebutkan
bahwa asupan natrium pada anak yang memiliki kebiasaan jajan cenderung
berlebihan. Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Handayani (2011)
menunjukan bahwa pemenuhan makan balita dari makanan jajanan di Kabupaten
Demak merupakan hal yang diutamakan dari segi penyediaan dana dan sering
menggantikan porsi makan untuk siang atau sore hari bagi balita. Makanan
43
jajanan merupakan penyumbang yang sangat dominan untuk memenuhi
kebutuhan protein dan terutama untuk memenuhi kebutuhan kalori balita.
Handayani (2011) mengkaitkan kebiasaan jajan tersebut dengan food ideology
yang berdasarkan sudut pandang spesifik dari penentu pemilihan makanan dalam
rumah tangga khususnya ibu. Food ideology tersebut berupa kepercayaan bahwa
balita harus mencapai kesehatan yang maksimum dengan cara memfasilitasi
semua kebutuhan balita termasuk keinginan jajan.
Tabel 14 Sebaran balita menurut kebiasaan makan
Variabel
Frekuensi makan dalam sehari
2 kali
3 kali
Kebiasaan balita menghabiskan makanan:
Selalu
Kadang-kadang
Tidak pernah
Gangguan makan balita:
Nafsu makan rendah
Pilih-pilih makanan
Tidak suka sayur
Waktu makan lama
Jajan ketika waktu makan
situasi balita biasa makan:
Tenang (di depan tv/di dalam rumah)
Ramai (sambil bermain di luar rumah)
Kebiasaan makan balita:
Sendiri
Disuapi
Yang menyiapkan makan balita:
Ibu
Nenek
Yang menemani makan balita:
Ibu
Nenek
Kebiasaan minum susu balita:
Tidak minum susu
2 kali/minggu (tidak teratur)
3 kali/minggu (tidak teratur)
4 kali/minggu (tidak teratur)
5 kali/minggu (tidak teratur)
1 kali/hari (teratur)
2 kali/hari (teratur)
Alasan balita tidak diberikan susu secara teratur:
Tidak suka susu
Diare
Tidak mampu secara ekonomi
Alasan balita diberikan susu secara teratur:
Konsumsi pangan balita rendah
Balita suka susu
Jumlah balita
n (73)
% (100)
25
48
34.2
65.8
32
40
1
43.8
54.8
1.4
20
13
11
7
23
27.4
17.8
15.1
9.6
31.5
23
50
31.5
68.5
24
49
32.9
67.1
67
6
91.8
8.2
66
7
90.4
9.6
22
19
12
8
1
8
3
30.1
26.0
16.4
11.0
1.4
11.0
4.1
44
13
5
60.3
17.8
6.8
7
4
9.6
5.5
44
Selain kebiasaan jajan yang tinggi, kebiasaan minum susu balita pada
penelitian ini masih rendah. Balita yang tidak terbiasa minum susu lebih banyak
ditemukan dalam penelitian ini (30.1%), hanya ada 15.1% balita yang terbiasa
minum susu secara teratur setiap hari. Alasan balita tidak diberikan susu secara
teratur adalah karena balita tidak suka minum susu, tetapi terdapat 6.8% balita
yang tidak diberikan susu secara teratur karena alasan ekonomi. Sebanyak 9.6%
ibu memberikan susu secara teratur pada balita karena konsumsi pangan balita
rendah (Tabel 14). Secara umum, konsumsi susu kental manis orang indonesia
masih rendah yaitu 0.064 gram/kap/minggu, sedangkan konsumsi susu bubuk bayi
kaleng baru mencapai 0.023 gram/kap/minggu (Susenas 2010). Menurut Khomsan
(2007), budaya minum susu yang masih sangat rendah dipahami dari beberapa
segi. Pertama, susu masih dianggap barang mahal. Ditengah kondisi ekonomi
yang sulit akibat krisis berkepanjangan, maka dapat dimaklumi jika mayoritas
masyarakat Indonesia lebih mementingkan membeli pangan sumber karbohidrat
jika dibandingkan dengan pangan sumber protein. Mahalnya harga susu dapat
disebabkan oleh sistem peternakan sapi perah di Indonesia yang belum efisien.
Dan hal ini terjadi karena sapi perah sebenarnya berasal dari negara-negara
subtropis, sehingga ketika harus berproduksi dinegara tropis seperti Indonesia
susu yang dihasilkan tidak sebanyak seperti dinegara asalnya.
Tingkat Kecukupan Gizi Balita
Tingkat kecukupan gizi merupakan perbandingan antara asupan zat gizi
aktual terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Berdasarkan Tabel 15
diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi balita adalah 75.15% dan
sebarannya lebih banyak berada pada kategori defisit tingkat ringan menurut
kriteria Departemen Kesehatan (1996), dan hanya terdapat 4.1% balita yang
berada pada kategori normal. Persentase balita yang mempunyai tingkat
kecukupan energi kurang dari 70% AKE cukup tinggi yaitu 32.9%. Secara
nasional, gambaran situasi konsumsi energi orang indonesia yang mengkonsumsi
energi di bawah 70% AKE pada tahun 2010 adalah sebanyak 40.7%, sedangkan
pada kelompok usia balita terdapat 24.7%. Khusus di provinsi Jawa Barat, jumlah
balita yang mengkonsumsi energi dibawah 70% AKE ada sebanyak 21.7%
(Riskesdas 2010). Selanjutnya, tidak seperti tingkat kecukupan energi, rata-rata
tingkat kecukupan protein balita pada penelitian ini adalah 80.64% dan
sebarannya lebih banyak berada pada kategori normal menurut kriteria
Departemen Kesehatan (1996). Akan tetapi, sebagaimana tingkat kecukupan
energi, balita yang mempunyai tingkat kecukupan protein di bawah 70% AKP
masih tinggi yaitu 32.9% (Tabel 15). Secara nasional, tingkat kecukupan protein
balita yang berada di bawah 80% AKP ada sebanyak 18.4%, sedangkan untuk
khusus untuk Provinsi Jawa Barat terdapat sekitar 21.5% (Riskesdas 2010).
Sebagaimana hasil penelitian ini, penelitian-penelitian lain yang
menghitung tingkat kecukupan gizi, termasuk energi dan protein, seringkali
menunjukkan tingginya persentase responden yang mempunyai tingkat kecukupan
gizi yang rendah (<70% AKG). Penelitian Riyadi et al. (2011) di tiga desa di
Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa sebanyak 37.6% balita mengalami
defisit energi (<70%AKE) dan sebanyak 74.5% balita mengalami defisit protein
45
(<70%AKP). Tingkat kecukupan energi dan protein balita seringkali dihubungkan
dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga, salah satunya pendapatan perkapita
keluarga. Penelitian Dewi dan Hidayanti (2012) menunjukkan adanya hubungan
antara tingkat kecukupan energi dengan pendapatan perkapita keluarga dimana
balita dengan keluarga yang kondisi ekonomi miskin mempunyai resiko sebesar
20,036 kali untuk mengalami kekurangan energi dibandingkan anak yang kondisi
ekonomi keluarganya tidak miskin. Pada penelitian ini, sebanyak 93.2% balita
berada pada keluarga yang tergolong miskin (Sukandar et al. 2008). Selain itu,
pendidikan orang tua terutama ibu juga dihubungakan dengan tingkat konsumsi
energi dan protein balita dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka
semakin baik tingkat kecukupan energi dan protein balita (Retnaningsih et al.
2011). Pada penelitian ini persentase ibu yang mempunyai pendidikan terakhir
setara Sekolah Dasar (SD) cukup tinggi (37.0%). Selain itu, sebagaimana metode
survei konsumsi pangan yang bergantung pada ingatan responden, tingginya balita
yang mempunyai tingkat kecukupan energi dan protein yang rendah juga dapat
disebabkan oleh keterbatasan ibu dalam mengingat makanan apa saja yang sering
dikonsumsi oleh balita dan berapa ukuran rumah tangga yang digunakan.
Tabel 15 Sebaran balita menurut tingkat kecukupan gizi
Variabel
Tingkat kecukupan energi:
Normal (90-119% AKE)
Defisit tingkat ringan (80-89% AKE)
Defisit tingkat sedang (70-79% AKE)
Defisit tingkat berat (< 70% AKE)
Rata-rata ±SD
Tingkat kecukupan protein:
Normal (90-119% AKP)
Defisit tingkat ringan (80-89% AKP)
Defisit tingkat sedang (70-79% AKP)
Defisit tingkat berat (< 70% AKP)
Rata-rata ±SD
Tingkat kecukupan besi:
Kurang (< 77% AKG)
Cukup (≥77% AKG)
Rata-rata ±SD
Tingkat kecukupan vitamin A:
Kurang (< 77% AKG)
Cukup (≥77% AKG)
Rata-rata ±SD
Tingkat kecukupan kalsium:
Kurang (< 77% AKG)
Cukup (≥77% AKG)
Rata-rata ±SD
Tingkat kecukupan fosfor:
Kurang (< 77% AKG)
Cukup (≥77% AKG)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
3
27
19
24
4.1
37.0
26.0
32.9
75.15 ± 11.1
27
15
7
24
37.0
20.6
9.6
32.9
80.64 ± 15.99
50
23
68.5
31.5
70.86 ± 23.52
67
6
91.8
8.2
45.24 ± 23.72
68
5
93.2
6.8
39.22 ± 23.06
17
23.3
56
76.7
104.68 ± 33.27
46
Rata-rata tingkat kecukupan besi, vitamin A, kalsium dan fosfor balita
berturut-turut adalah sebesar 70.86%, 45.24%, 39.22%, dan 104.68%.
Berdasarkan sebarannya, tingkat kecukupan besi, vitamin A dan kalsium balita
sebagian besar berada pada kategori kurang menurut Gibson (2005) yaitu dibawah
77% AKG. Sedangkan tingkat kecukupan fosfor balita sebagian besar berada pada
kategori cukup. Fosfor banyak ditemukan pada telur. Sebagai gambaran, lebih
dari separuh jumlah balita dalam penelitian ini lebih menyukai telur jika
dibandingkan dengan pangan hewani lainnya (Tabel 13). Rendahnya asupan besi,
vitamin A, dan kalsium balita berbandingan lurus dengan asupan energi dan
protein balita. Semakin rendah asupan energi dan protein balita maka semakin
rendah pula asupan besi, vitamin A, dan kalsium balita. Vitamin dan mineral
banyak ditemukan pada susu termasuk besi, vitamin, kalsium, dan fosfor. Pada
penelitian ini, kebiasaan minum susu balita masih rendah (Tabel 14) sehingga
diduga turut berperan dalam asupan besi, vitamin A, fosfor, dan kalsium balita.
Pada keluarga miskin, pola konsumsi balita cenderung tidak berubah. Sehingga
diasumsikan bisa menggambarkan tingkat kecukupan gizi sejak masa lalu, hal
tersebut terkait dengan masalah pertumbuhan (TB/U) yang muncul sebagai efek
dari kekurangan gizi jangka panjang
Pertumbuhan Balita
Pertumbuhan balita dalam penelitian ini hanya dilihat dari indeks tinggi
badan menurut umur. Secara global, prevalensi stunting pada balita di dunia
semakin menurun dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2010
jumlah balita stunting di dunia turun dari 40% menjadi 24% dimana diprediksi
terjadi penurunan sebesar 2.1% setiap tahunnya (UNICEF, WHO, World Bank
2012). Khusus di Indonesia, menurut Riskesdas (2010), masalah stunting masih
menjadi masalah publik yang paling tinggi (35.7%) jika dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya seperti masalah balita gizi kurang (17.9%), masalah balita
kurus (13.3%), maupun masalah balita yang mengalami kegemukan (14.2%).
Berdasarkan kriteria WHO/NCHS, rata-rata z-score balita pada penelitian ini
adalah sebesar -1.37 dengan standar deviasi 1.01. Jika dilihat dari sebarannya,
maka lebih dari separuh jumlah balita (69.9%) berada pada kategori normal
menurut acuan WHO/NCHS. Balita yang tinggi badannya dibawah normal
(pendek dan sangat pendek) cukup tinggi dalam penelitian ini yaitu mencapai
30.2% (Tabel 16). Angka tersebut masih berada di bawah angka balita stunting
nasional yang mencapai 35.7% (Riskesdas 2010), akan tetapi masih tergolong
masalah publik yang tinggi menurut acuan WHO karena masih di atas 30%.
Tabel 16 Sebaran balita menurut indeks tinggi badan menurut umur
TB/U
Sangat pendek (z-score < -3 SD)
Pendek (-3 SD ≤ z-score < -2 SD)
Normal (z-score ≥ -2 SD)
Rata-rata ± SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
1
1.4
21
28.8
51
69.9
-1.37 ± 1.01
47
Stunting dihubungkan dengan berbagai faktor. Cakupan pelayanan
kesehatan yang rendah dapat menjadi salah satu penyebabnya. Sebagai gambaran,
pada tahun 2007 cakupan balita usia 12-23 bulan yang mendapat imunisasi
lengkap di Kabupaten Bogor hanya 39.2%, lebih rendah dari pencapaian nasional
(46,2%) dan masih jauh dari target nasional (80%). Jumlah balita yang tidak
mendapat kapsul vitamin A di Kabupaten Bogor mencapai 31.1% (Riskesdas
Provinsi Jawa Barat 2007).
Tingkat Perkembangan Kognitif dan Motorik Balita
Berdasarkan Tabel 17, diketahui bahwa rata-rata tingkat perkembangan
kognitif, motorik halus, dan motorik kasar balita berturut-turut adalah sebesar
55.91%, 54.11%, dan 65.62%. Jika dilihat dari sebarannya, maka lebih dari
separuh jumlah balita mempunyai tingkat perkembangan kognitif dan motorik
halus yang rendah. Sebaliknya, hampir separuh dari jumlah balita mempunyai
tingkat perkembangan motorik kasar yang sedang. Konsep perkembangan kognitif
yang banyak digunakan adalah konsep perkembangan kognitif Jean Piaget,
seorang teoritikus asal Swiss. Teori Piaget memandang perkembangan kognitif
sebagai produk usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka.
Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget, maka balita dalam penelitian ini
termasuk kedalam tahap perkembangan praoperasional, dimana anak belum siap
untuk terlibat dalam operasi atau manipulasi mental yang mensyaratkan pemikiran
logis. Karakteristik anak dalam tahap ini adalah perluasan penggunaan pemikiran
simbolis atau kemampuan representasional. Pada tahap ini anak diharapkan
mampu menggunakan simbol, memahami identitas, memahami sebab akibat,
mampu mengklasifikasi, dan memahami angka (Papalia et al. 2008). Rendahnya
tingkat perkembangan kognitif sebagaimana yang dialami sebagian besar balita
pada penelitian ini menurut Piaget dapat disebabkan oleh kegagalan anak untuk
beradaptasi dengan lingkungan sehingga gagal pula dalam membuat struktur
kognitif yang semakin kompleks. Stimulasi dari luar sangat berperan dalam
kematangan perkembangan kognitif. Sebagai gambaran, keikutsertaan balita
dalam PAUD pada penelitian ini rendah hanya mencakup 11.0% (Tabel 10).
Selain perkembangan kognitif, perkembangan motorik pada anak usia
prasekolah juga cukup pesat, namun tidak secepat masa sebelumnya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Papalia et al. (2008), anak usia prasekolah
mempunyai kemajuan yang pesat dalam hal motorik kasar seperti berlari,
melompat dan aktifitas lain yang melibatkan otot besar. Sebanyak 26% balita
dalam penelitian ini mempunyai tingkat perkembangan motorik kasar yang tinggi,
menandakan bahwa kemampuan beradaptasi mereka terhadap lingkungan sangat
baik, yang di dukung oleh potensi genetik dan peluang mereka untuk belajar dan
mempraktekan keterampilan motorik. Perkembangan fisik, khususnya
kemampuan motorik kasar, akan meningkat dengan sempurna dalam permainan
yang aktif, bebas dan tidak terstruktur (Papalia et al. 2008). Sebagai gambaran,
sebagian besar balita dalam penelitian ini terbiasa bermain di luar rumah bersama
teman-temannya seperti bermain bola dan berlari tanpa dibatasi oleh orang tuanya
sehingga lebih memungkinkan mereka untuk mempraktekkan kemampuan
motorik kasarnya dengan bebas.
48
Tabel 17 Sebaran balita menurut tingkat perkembangan
Variabel
Tingkat perkembangan kognitif:
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Tingkat perkembangan motorik halus:
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Tingkat perkembangan motorik kasar:
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
40
25
8
54.8
34.2
11.0
55.91 ± 17.22
50
21
2
68.5
28.8
2.7
54.11 ± 13.57
24
30
19
32.9
41.1
26.0
65.62 ± 17.38
Sebagaimana kemampuan motorik kasar, kemampuan motorik halus juga
melibatkan fungsi otot seperti mengancing baju, mewarnai gambar, dan kegiatankegiatan lain yang melibatkan koordinasi mata-tangan dan otot yang lebih kecil.
Tidak seperti tingkat perkembangan motorik kasar, lebih dari separuh jumlah
balita dalam penelitian ini mempunyai tingkat perkembangan motorik halus yang
rendah. Sebagai gambaran, sebagian besar balita dalam penelitian ini mempunyai
kegiatan bermain yang lebih mengutamakan keterampilan motorik kasar seperti
berlari, melompat, dan bermain bola jika dibandingkan dengan kemampuan
motorik halus seperti mewarnai gambar atau menulis. Hal tersebut yang diduga
menjadi alasan kenapa sebagian besar balita dalam penelitian ini mempunyai
keterampilan motorik halus yang rendah tetapi di sisi lain rata-rata kemampuan
motorik kasarnya lebih tinggi.
Karakteristik Fisik dan Kondisi Fisiologis Ibu
Rata-rata usia ibu berada pada usia dewasa madya (20-39 tahun) menurut
Hurlock (2000). Pada usia ini menurut Hurlock, seorang ibu lebih memperhatikan
kepentingannya sendiri jika dibandingkan dengan kepentingan anaknya sehingga
mempengaruhi kualitas dan kuantitas pengasuhan. Tinggi badan ibu
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kurang dari 150 cm, 150-155 cm, dan lebih dari
155 cm. Pengelompokan tersebut didasarkan pada penelitian Zottarelli et al.
(2007) yang menemukan bahwa kelahiran anak dari ibu yang mempunyai tinggi
150-160 cm menurunkan risiko stunting sebesar 40% dibandingkan anak yang
lahir dari ibu yang tingginya kurang dari 150 cm. Berdasarkan Tabel 18, lebih
dari separuh jumlah ibu dalam penelitian ini mempunyai tinggi badan lebih dari
150 cm dengan rata-rata tinggi badan 151.72 ± 5.3. Akan tetapi, jumlah ibu yang
mempunyai tinggi badan kurang dari 150 cm juga cukup tinggi yaitu 35.6%. Jika
dilihat berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur, maka lebih dari separuh
jumlah ibu tergolong mempunyai status gizi normal menurut acuan Depkes (1996)
dengan rata-rata indeks massa tubuh sebesar 23.34 ± 3.52. Indeks berat badan
49
menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai
status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan
searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa et
al. 2002). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda secara nasional, data Riskesdas
(2010) menunjukan bahwa ibu-ibu yang berada diantara rentang usia 20-39 lebih
banyak berada pada kategori status gizi normal.
Tabel 18 Sebaran ibu balita menurut karakteristik fisik dan fisiologi
Variabel
Tinggi badan ibu:
< 150 cm
150-155 cm
>155 cm
Rata-rata ±SD
IMT ibu:
< 17.0 (kurus berat)
17.0-18.4 (kurus ringan)
18.5-25.0 (normal)
25.1-27.0 (gemuk ringan)
> 27.0 (gemuk berat)
Rata-rata ±SD
Usia ibu:
Dewasa muda (20-39tahun)
Dewasa madya (40-65 tahun)
Rata-rata ±SD
Usia ibu saat hamil pertama kali:
< 20 tahun
20-25 tahun
> 25 tahun
Rata-rata ±SD
Jumlah kehamilan ibu:
≤ 2 kali
3-7 kali
> 7 kali
Jumlah keguguran ibu:
0 kali
1 kali
> 1 kali
Status fisiologis ibu saat ini:
Hamil
Menyusui
Tidak hamil dan tidak menyusui
Penyakit yang diderita ibu sebulan terakhir:
Tidak ada
Maag kronis
Influenza
Hipertensi
Gejala anemia
Lainnya
Jumlah ibu balita
n (73)
% (100)
26
30
17
35.6
41.1
23.3
151.72 ± 5.3
2
2
45
13
11
2.7
2.7
61.6
17.8
15.1
23.34 ± 3.52
64
9
87.7
12.3
31.66 ± 5.79
16
52
5
21.9
71.2
6.9
21.73 ± 2.96
51
20
2
69.9
27.4
2.7
55
17
1
75.3
23.3
1.4
4
13
56
5.5
17.8
76.7
36
6
18
5
2
6
49.3
8.2
28.9
6.8
2.7
9.6
50
Jika dilihat dari usia ibu pertama kali melahirkan, maka sebagian besar ibu
melahirkan pertama kali pada rentang usia 20-25 tahun dengan rata-rata usia
melahirkan pertama kali 21.73 ± 2.96. Secara nasional, data SDKI 2007
menunjukkan bahwa angka kehamilan dan kelahiran pada usia muda (<20 tahun)
masih sekitar 8,5%, namun angka ini turun dibandingkan kondisi pada SDKI
2002-2003 yaitu 10,2%. Menurut BKKBN (2008), usia ideal bagi seorang ibu
untuk mempunyai anak pertama kali adalah ketika usia ibu mencapai 20 tahun
karena kehamilan pertama kali dibawah usia 20 tahun diantaranya dapat
mengakibatkan keguguran, peningkatan risiko kematian saat melahirkan, berat
bayi lahir rendah, dan bayi lahir sebelum waktunya. Hal tersebut diakibatkan
karena kondisi rahim dan panggul belum berkembang secara optimal. Dalam
penelitian ini, masih terdapat 21.9% ibu yang melahirkan pertama kali pada usia
kurang dari 20 tahun, dan terdapat sekitar 24.7% ibu yang pernah mengalami
keguguran setidaknya sekali saat masa kehamilan.
Jika dilihat dari jumlah kelahiran hidup, maka lebih dari sebagian ibu
pernah melahirkan hidup kurang dari atau sama dengan dua kali, akan tetapi
jumlah ibu yang melahirkan lebih dari dua kali ada sebanyak 30.1%. BKKBN
(2008) menyarankan untuk memiliki dua anak pada periode usia 20-35 tahun
dengan jarak ideal antara dua kelahiran bagi pasangan usia subur adalah sekitar 78 tahun. Pemanfaatan pelayanan kesehatan selama kehamilan menunjukan bahwa
hampir keseluruhan ibu biasa memeriksa kehamilan di bidan (97.3%). Ketika
kegiatan wawancara berlangsung, terdapat ibu yang sedang hamil (5.5%) dan
menyusui (17.8%), akan tetapi sebagian besar ibu tidak dalam keadaan hamil atau
menyusui (76.7%). Status kesehatan ibu satu bulan terakhir menunjukkan bahwa
hampir separuh ibu tidak mengalami keluhan kesakitan. Penyakit yang paling
banyak dialami oleh ibu selama satu bulan terakhir adalah influenza (24.7%).
Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu
Berdasarkan Tabel 19, pendidikan terakhir ibu yang lebih dominan adalah
SD atau SMA (37.0%). Sebagian besar ibu tidak bekerja atau hanya menjadi ibu
rumah tangga (65.8%). Tetapi, terdapat 20.6% ibu yang bekerja sebagai buruh
atau jasa dan berpenghasilan kurang dari Rp 500.000,00 atau Rp 500.000,00-Rp
1000.000,00 (15.1%). Ibu yang tidak bekerja diharapkan mempunyai lebih banyak
waktu untuk memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Sebagai
gambaran, pada penelitian ini sebagian besar ibu mengolah dan menyiapkan
sendiri makanan untuk anaknya (Tabel 14). Walaupun demikian, status pekerjaan
ibu (bekerja atau tidak bekerja) tidak menjamin asupan gizi anak memadai. Hal
tersebut terlihat dari asupan gizi anak (energi, besi, vitamin A, dan kalsium) yang
sebagian besar masih dibawah normal (Tabel 15). Selain itu, status pekerjaan ibu
juga tidak menjamin perkembangan balita menjadi optimal. Hal tersebut terlihat
dari tingkat perkembangan kognitif dan motorik halus balita masih rendah (Tabel
17). Ibu yang bekerja di sektor swasta umumnya bekerja sebagai karyawan pabrik
konveksi. Sementara ibu yang bekerja sebagai buruh atau jasa umumnya bekerja
sebagai pembantu rumah tangga tidak tetap, sedangkan ibu yang bekerja sebagai
wiraswasta umumnya bekerja sebagai pedagang. Hanya ada satu orang ibu dalam
penelitian ini yang bekerja sebagai PNS.
51
Tabel 19 Sebaran ibu balita menurut karakteristik sosial ekonomi
Variabel
Pendidikan terakhir ibu:
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan ibu:
PNS
Buruh/jasa
Wiraswasta
Swasta
Tidak bekerja/IRT
Penghasilan ibu:
Rp 0,00
< Rp 500.000,00
Rp 500.000-Rp 1.000.000,00
>Rp 1.000.000
Usia ibu saat menikah:
< 20 tahun
20-25 tahun
> 25 tahun
Jumlah ibu balita
n (73)
% (100)
27
13
27
6
37.0
17.8
37.0
8.2
1
15
7
2
48
1.4
20.6
9.6
2.7
65.8
48
11
11
3
65.8
15.1
15.1
4.1
18
52
3
24.7
71.2
4.1
Selain itu, Tabel 19 juga memperlihatkan bahwa usia ibu ketika menikah
pertama kali pada umumnya berada pada rentang usia 20-25 tahun (71.2%).
Menurut BKKBN (2008), usia yang ideal untuk seorang perempuan menikah
adalah 20 tahun. Akan tetapi terdapat sekitar 24.7% ibu yang menikah pertama
kali pada usia kurang dari 20 tahun. Secara nasional data SDKI tahun 2002-2003
menunjukkan bahwa median usia menikah pertama kali berada pada kisaran usia
19,2 tahun, kemudian meningkat menjadi 19.8 tahun pada tahun 2007. Angka ini
mengindikasikan bahwa separuh dari pasangan usia subur di Indonesia menikah
dibawah usia 20 tahun (BKKBN 2008).
Tingkat Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu dalam penelitian ini terbagi atas tiga yaitu tingkat
pengetahuan gizi, tingkat pengetahuan kesehatan, dan tingkat pengetahuan
pengasuhan anak. Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat
pengetahuan gizi ibu adalah 66.23 ± 16.15. Jika dilihat dari sebarannya,
berdasarkan Khomsan (2000) maka lebih dari separuh jumlah ibu mempunyai
tingkat pengetahuan gizi yang sedang (52.1%). Begitu juga dengan tingkat
pengetahuan kesehatan ibu, separuh dari jumlah ibu mempunyai tingkat
pengetahuan kesehatan yang sedang (50.7%) dengan rata-rata 71.92 ± 14.83.
Sedangkan untuk tingkat pengetahuan pengasuhan anak, sebagian besar ibu
mempunyai tingkat pengetahuan pengasuhan anak yang tergolong tinggi (90.4%)
dengan rata-rata 89.04 ± 10.82 (Tabel 20). Pengetahuan gizi, kesehatan, dan
pengasuhan anak pada ibu menurut Hendrik (2003) dapat dipandang sebagai hasil
gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari
52
sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data. Sumber
yang kompeten tersebut dapat berupa koran, majalah, email, artikel, iklan dan
manusia. Sebagai gambaran, kebiasaan membaca koran, majalah, atau media
cetak lainnya pada ibu dalam penelitian ini tergolong rendah yaitu hanya 1.4% ibu
yang berlangganan koran atau majalah dan membacanya setiap hari.
Tabel 20 Sebaran ibu balita menurut tingkat pengetahuan
Variabel
Tingkat pengetahuan gizi
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Tingkat pengetahuan kesehatan
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Tingkat pengetahuan pengasuhan balita
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
19
38
16
26.0
52.1
21.9
66.23 ± 16.15
9
37
27
12.3
50.7
37.0
71.92 ± 14.83
1
6
66
1.4
8.2
90.4
89.04 ± 10.82
Sebuah penelitian di Mozambik menunjukkan bahwa pengetahuan
kesehatan ibu berpengaruh positif terhadap tinggi badan anak usia dibawah dua
tahun, terutama didaerah dengan kasus stunting yang ekstrim (Broeck 2007).
Sebelumnya, Christiaensen dan Alderman (2004) menemukan bahwa pengetahuan
gizi ibu (dilihat dari kemampuan untuk melihat gangguan pertumbuhan)
merupakan determinan penting pada anak dengan malnutrisi kronis termasuk
stunting. Block (2007) juga menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu dapat
menjadi pengganti pendidikan ibu dalam mengatasi masalah gizi pada anak. Oleh
sebab itu, intervensi pendidikan gizi sangat penting untuk meningkatkan
pengetahuan dan praktek gizi ibu, sebagaimana yang ditunjukan oleh hasil review
terhadap studi-studi tentang intervensi gizi yang menunjukkan bahwa pendidikan
gizi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan anak usia 6-24 bulan (Imdad et al.
2011).
Berdasarkan sebaran jawaban benar ibu terhadap pertanyaan mengenai
pengetahuan gizi terlihat bahwa lebih dari separuh jumlah ibu tidak mengetahui
berapa lama ASI eksklusif sebaiknya diberikan kepada anak. Hanya 21.9% ibu
yang mengetahui bahwa berat bayi lahir yang normal adalah lebih dari atau sama
dengan 2500 gram. Persentase ibu yang mengetahui usia yang tepat bagi anak
untuk mulai diperkenalkan makanan keluarga hanya 32.9%. Selain itu, kurang
dari separuh jumlah ibu yang mengetahui fungsi protein bagi pertumbuhan dan
manfaat sinar matahari pagi bagi anak. Selama kegiatan wawancara berlangsung
tidak ditemukan mitos pangan pada ibu, terlihat bahwa sebanyak 86.3% ibu
percaya bahwa kolostrum bukan merupakan air susu yang basi, bahkan 94.5% ibu
percaya bahwa ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak. Secara lebih
lengkap disajikan pada Gambar 2.
53
protein hewani banyak terdapat pada
daging-dagingan
protein nabati banyak terdapat pada
kacang-kacangan
protein berfungsi untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh
jeruk banyak mengandung vitamin C yang
dapat mencegah sariawan
87.7
68.5
72.6
90.4
ikan laut banyak mengandung yodium
67.1
kekurangan zat besi dapat menyebabkan
anemia
vitamin D dan kalsium dapat memperkuat
tulang
sinar matahari pagi bermanfaat untuk
menghasilkan vitamin D
mencuci beras berlebihan dapat
mengakibatkan vitamin B berkurang
protein bermanfaat untuk mengganti sel
tubuh yang rusak
ASI eksklusif berarti memberi ASI saja
selama 6 bulan
76.7
76.7
35.6
64.4
24.7
74
ASI eksklusif diberikan selama 6 bulan
47.9
MP-ASI diberikan setelah balita berusia 6
bulan
BBLR yaitu bayi yang beratnya kurang dari
2500 gram
balita gizi buruk pada KMS akan berwarna
merah
DHA dan omega 3 pada susu berfungsi
untuk kecerdasan
balita diperkenalkan makanan keluarga
setelah berusia 1 tahun
Vitamin A dosis tinggi diberikan 2 kali
setahun
95.9
21.9
61.6
84.9
32.9
60.3
kolostrum bukan air susu basi
86.3
ASI dapat meningkatkan daya tahan tubuh
balita
94.5
0
20
40
60
80
100
Gambar 2 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan gizi dengan
benar
Berdasarkan Gambar 2 juga diketahui bahwa sebanyak 84.9% ibu
mengetahui manfaat susu bagi balita salah satunya yaitu berfungsi untuk
kecerdasan otak karena susu banyak mengandung DHA dan omega 3 yang baik
untuk perkembangan otak anak. Dalam wawancara lebih lanjut, ibu-ibu yang
menjawab benar pertanyaan tersebut sebagian besar mengetahui manfaat susu
54
bagi kecerdasan anak dari televisi. Hal tersebut menandakan bahwa televisi cukup
berperan sebagai sumber informasi bagi ibu termasuk informasi gizi.
kehilangan cairan akibat diare dapat
diberikan larutan gula garam
imunisasi mulai diberikan sejak bayi baru
lahir
imunisasi BCG dilakukan umtuk mencegah
penyakit TBC
imunisasi BCG sebaiknya diberikan
sebanyak 1 kali
Imunisasi DPT sebaiknya diberikan
sebanyak 3 kali
Imunisasi polio sebaiknya diberikan
sebanyak 4 kali
Imunisasi campak sebaiknya diberikan
sebanyak 1 kali
Kapsul vitamin A diberikan 2 kali dalam
setahun
Makanan dan minuman yang tidak bersih
dapat mengakibatkan balita diare
Menimbang berat badan balita sebaiknya
dilakukan sebulan sekali
Warna hijau pada KMS menandakan
pertumbuhan balita baik
Warna merah pada KMS menandakan
pertumbuhan balita buruk
Jika berat badan balita maka arah garis
dalam KMS akan menurun
Imunisasi bermanfaat untuk meningkatkan
kekebalan tubuh balita
Setelah mandi balita dikeringkan dengan
handuk khusus balita yang dimandikan
Balita sebaiknya menyikan gigi sesudah
makan dan sebelum tidur
Sebelum menyuapi balita ibu mencuci
tangan dengan sabun
Ibu tidak boleh meniup makanan balita
yang masih panas
Saat balita bermain di luar rumah maka
sebaiknya menggunakan alas kaki
Tanda-tanda balita sehat diantaranya nafsu
makan baik
61.6
56.2
46.6
54.8
52.1
45.2
82.2
68.5
95.9
89
74
54.8
84.9
98.6
94.5
32.9
90.4
63
95.9
97.3
0
20
40
60
80
100
Gambar 3 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan kesehatan
dengan benar
Selain pengetahuan gizi, disajikan pula sebaran ibu yang menjawab
dengan benar pertanyaan mengenai pengetahuan kesehatan (Gambar 3).
Sebagaimana tingkat pengetahuan gizi, rata-rata tingkat pengetahuan kesehatan
55
ibu juga tergolong sedang (Tabel 20). Pengetahuan ibu mengenai kesehatan mulut
anak cukup rendah, terlihat dari sebaran ibu yang menjawab dengan benar
pertanyaan mengenai kapan anak sebaiknya menggosok gigi hanya sebanyak
32.9%. Selain itu, pengetahuan ibu mengenai imunisasi pada anak juga masih
rendah, Gambar 3 menunjukkan bahwa walaupun sebanyak 98.6% ibu
mengetahui manfaat imunisasi terhadap kekebalan tubuh anak, akan tetapi kurang
dari separuh ibu yang mengetahui fungsi imunisasi BCG bagi anak dan berapa
kali sebaiknya ibu memberikan imunisasi polio pada anak.
Pengetahuan ibu mengenai Kartu Menuju Sehat (KMS) anak juga masih
rendah, terlihat dari hampir separuh ibu yang tidak mengetahui makna dari warna
merah pada garis pertumbuhan anak pada KMS. Pengetahuan ibu mengenai
kebersihan makanan bagi anak cukup baik. Akan tetapi, walaupun sebanyak
90.4% ibu mengetahui bahwa ibu harus mencuci tangan dengan menggunakan
sabun sebelum menyuapi balita, masih terdapat sekitar 37% ibu yang tidak
mengetahui bahwa ibu tidak boleh meniup makanan yang masih panas sebelum
diberikan kepada balita. Hal tersebut karena masih ada ibu yang percaya bahwa
meniup makanan panas sebelum diberikan kepada anak tidak akan berpengaruh
buruk terhadap kesehatan anak.
Selanjutnya, Gambar 4 menunjukkan sebaran ibu yang menjawab benar
pertanyaan tentang pengetahuan pengasuhan anak. Berbeda dengan tingkat
pengetahuan gizi dan kesehatan, rata-rata tingkat pengetahuan pengasuhan ibu
tergolong tinggi (Tabel 20). Sebagian besar ibu mengetahui mainan-mainan yang
bersifat edukatif bagi anak seperti balok dengan berbagai ukuran dan mainan alat
musik. Sebagian besar ibu juga mengetahui bagaimana caranya memberikan
stimulasi bahasa dan kognitif pada anak, diantaranya adalah dengan memberikan
buku cerita bergambar pada anak ataupun mengajak anak pergi ke museum.
Selain itu, sebagian besar ibu juga mengetahui bagaimana menyediakan
lingkungan bermain yang baik bagi anak dan bagaimana membangun rasa percaya
diri dan kasih sayang pada anak yaitu dengan cara memberikan pujian ataupun
membiasakan mengenalkan anak dengan tamu yang datang ke rumah.
Pengetahuan ibu mengenai hukuman fisik pada anak tergolong baik. Hampir
seluruh ibu mengetahui bahwa membiasakan kedisiplinan pada anak tidak harus
melalui hukuman fisik, tetapi dengan diberikan nasihat secara baik-baik apabila
anak melakukan kesalahan. Akan tetapi, hampir separuh dari ibu tidak mengetahui
bahwa melatih kemampuan motorik anak dapat dilakukan dengan mengajarkan
anak menggambar atau menulis.
Ibu merupakan tokoh penting yang berperan dalam tumbuh kembang anak
karena memiliki hubungan yang istimewa. Hubungan tersebut dikatakan sebagai
kedekatan antara ibu dan anak yang akan mempengaruhi model mental diri anak,
yaitu pandangan terhadap diri sendiri dan orang lain. Ibu adalah lingkungan yang
pertama dikenal oleh anak, yang menyiapkan dan memberi makan anak,
memperhatikan kesehatan anak, serta mengajak anak bermain (Patmonodewo
2001). Oleh karena itu, seorang ibu perlu mempelajari bagaimana caranya
mendidik dan meyediakan lingkungan pengasuhan yang benar bagi anak. Dengan
pengetahuan yang dimiliki ibu ditambah dengan kemauan untuk menerapkannya
dalam kegiatan mengasuh anak sehari-hari, diharapkan ibu dapat menjadi faktor
utama yang berperan dalam membentuk mental seorang anak. Pengetahuan
tentang pengasuhan anak sangat penting karena menurut (Notoatmodjo 2007)
56
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak
didasari oleh pengetahuan. Secara lebih lengkap, sebaran ibu yang menjawab
benar mengenai pengetahuan pengasuhan anak ditampilkan pada Gambar 4.
Mainan balok dapat melatih perkembangan
kognitif balita
90.4
Buku cerita dapat mendorong balita untuk
mau belajar membaca
97.3
menggambar dapat melatih kemampuan
motorik balita
58.9
membiasakan mengucapkan terima kasih
dapat melatih kemampuan bahasa balita
91.8
ibu harus menggunakan bahasa yang baik
dan benar untuk melatih kemampuan …
97.3
Membiasakan balita untuk menceritakan
pengalamannya merupakan bentuk …
84.9
Lingkungan yang baik untuk bermain balita
adalah lingkungan yang mempunyai …
97.3
Kondisi rumah yang baik untuk balita adalah
kondisi yang aman dari bahaya
93.2
Menciptakan kasih sayang pada balita dapat
dilakukan dengan mencium dan memeluk …
95.9
Menjawab pertanyaan balita dengan penuh
perhatian dapat membangun kehangatan …
95.9
Membangun kebanggan pada balita dapat
dilakukan dengan memberikan pujian jika …
97.3
Stimulasi motorik dapat dilakukan dengan
mendorong balita untuk belajar menulis
54.8
Mengajarkan balita membaca adalah salah
satu cara untuk meningkatkan motivasi …
78.2
Ketika ada keluarga yang datang ke rumah
sebaiknya diperkenalkan pada balita
93.2
Membentuk perilaku yang baik pada balita
dapat dilakukan dengan mengajarkan …
86.3
Membelikan balita mainan alat musik dapat
mengasah keterampilan balita
75.3
Mengajak balita ke museum dapat
menstimulasi perkembangan kognitif balita
97.3
Balita sebaiknya didorong untuk
membereskan mainannya sendiri
98.6
Balita sebaiknya dibiasakan mempunyai
jadwal kegiatan yang teratur, contohnya …
98.6
Balita yang nakal sebaiknya tidak diberikan
hukuman fisik tetapi dinasihati dengan …
98.6
0
20
40
60
80
100
Gambar 4 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan pengetahuan pengasuhan
anak dengan benar
57
Praktek Ibu
Sebagaimana tingkat pengetahuan, praktek ibu terbagi menjadi tiga yaitu
praktek gizi, praktek kesehatan, dan praktek pengasuhanan anak yang dilihat dari
skor lingkungan pengasuhan. Berdasarkan Tabel 21, diketahui bahwa hampir
separuh dari jumlah ibu mempunyai praktek gizi yang tergolong sedang (49.3%)
menurut Khomsan (2000), dengan rata-rata skor praktek gizi 72.74 ± 12.47. Ratarata skor praktek pengasuhan ibu lebih tinggi jika dibandingkan dengan skor
praktek gizi ibu yaitu 32.52 ± 6.05. Jika dilihat dari sebarannya maka lebih dari
separuh jumlah ibu mempunyai praktek pengasuhan anak yang tergolong sedang
(72.6%). Rata-rata praktek kesehatan ibu lebih tinggi jika dibandingkan dengan
rata-rata praktek gizi dan pengasuhan yaitu 80.75 ± 18.12. Dengan demikian,
sebagian besar ibu mempunyai praktek kesehatan yang tergolong tinggi (74.0%).
Tabel 21 Sebaran ibu balita menurut praktek
Variabel
Praktek gizi
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Praktek kesehatan
Rendah (<60%)
Sedang (60-79%)
Tinggi (≥ 80%)
Rata-rata ±SD
Praktek pengasuhan balita
Rendah (0-29 poin)
Sedang (30-45 poin)
Tinggi (46-55 poin)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
8
36
29
11.0
49.3
39.7
72.74 ± 12.47
9
10
54
12.3
13.7
74.0
80.75 ± 18.12
19
53
1
26.0
72.6
1.4
32.52 ± 6.05
Menurut Kajian UNICEF Indonesia (2012), asupan gizi yang tidak cukup
dan timbulnya penyakit pada balita disebabkan karena praktek pemberian makan
balita yang tidak tepat, penyakit dan infeksi yang terjadi berulang-ulang, serta
perilaku kebersihan dan pengasuhan yang buruk. Gambar 5 memperlihatkan
sebaran ibu yang mempunyai praktek gizi yang benar. Hanya terdapat 9.6% ibu
yang memberikan ASI eksklusif selama enam bulan (Gambar 5). Lebih jauh lagi,
sebagian besar balita tidak termasuk kategori ASI eksklusif karena terdapat 87.6%
ibu yang telah memberikan cairan selain ASI pada bayi ketika usia kurang dari
enam bulan, selain itu terdapat sekitar 1.4% ibu yang telah memberikan makanan
pada bayi ketika usia kurang dari enam bulan. Secara keseluruhan terdapat 89.0%
balita yang tidak diberikan ASI secara eksklusif (Tabel 12). Hal tersebut termasuk
ke dalam kategori praktek gizi yang salah. Secara nasional, SDKI (2007) mencatat
bahwa persentase ibu balita di Indonesia yang memberikan MP-ASI pada anak
usia 6-23 bulan yang sesuai dengan praktek-praktek yang direkomendasikan
tentang pengaturan waktu, frekuensi dan kualitas hanya mencapai 41%.
58
Ibu memberikan kolostrum ketika bayi baru
lahir
Ibu memberikan ASI saja sampai balita
berusia 6 bulan
Ibu memberikan MP-ASI ketika usia balita
lebih dari 6 bulan
Ibu membiasakan balita untuk makan secara
teratur
Ibu memberikan balita kesempatan untuk
memilih makanan yang disukainya
Ibu memperkenalkan makanan baru pada
balita
Ibu mendorong balita untuk menghabiskan
makanannya
91.8
9.6
54.8
87.7
89
83.6
94.5
Ibu mengolah sendiri makanan untuk balita
97.4
Ketika bayi, ibu membiasakan menjemur
balita ketika pagi
Ibu menyediakan buah-buahan di rumah
untuk balita
Ibu tidak memberikan susu formula sejak usia
balita kurang dari 6 bulan
Ibu tidak memperbolehkan balita untuk jajan
sesuai kemauan mereka
Ibu memberikan porsi makan balita sesuai
kebutuhannya
Ibu tidak mengunyah dulu makanan yang
keras sebelum diberikan pada balita
bu tidak menyuruh orang lain untuk
menyuapi makan balita
Ibu tidak memberi kopi/teh/madu ketika usia
balita kurang dari 6 bulan
79.5
79.5
72.6
63
39.7
64.4
89
68.5
Ibu tidak memaksa balita untuk minum susu
64.4
Ibu tidak membiarkan balita ketika balita
tidak mau makan
ibu tidak percaya mitos ikan dapat
menyebabkan cacingan
Ibu tidak memberikan air tajin pada balita
ketika tidak ada susu
84.9
89
76.7
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Gambar 5 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek gizi dengan benar
Selain itu, hanya terdapat sekitar 39.7% ibu balita yang memberikan porsi
makan sesuai dengan kebutuhan balita. Gangguan makan (eating disorders) pada
balita menjadi alasan utama ibu tidak memberikan porsi makan sesuai kebutuhan
balita. Sebagai gambaran, sebanyak 27.4% balita dalam penelitian ini mempunyai
nafsu makan yang rendah, sementara 31.5% balita lainnya mempunyai kebiasaan
59
jajan untuk menggantikan waktu makan mereka (Tabel 14). Rendahnya persentase
ibu yang memberikan porsi makan sesuai dengan kebutuhan balita diduga menjadi
penyebab rendahnya asupan gizi pada balita, dimana sebagian besar balita
mempunyai tingkat asupan energi yang tergolong defisit (Tabel 15). Walaupun
demikian, sebanyak 94.5% ibu dalam penelitian ini berusaha mendorong balita
untuk selalu menghabiskan makanannya.
Persentase ibu yang memberikan teh, madu, atau kopi pada balita di
bawah enam bulan masih cukup tinggi yaitu sebesar 31.5% (Gambar 5). Hal
tersebut termasuk praktek gizi yang berbahaya karena madu bisa saja
mengandung spora Clostridium botulinum sehingga tidak boleh diberikan pada
bayi di bawah usia 12 bulan. Selain itu, baik kopi maupun teh mengandung kafein
yang tidak bisa dicerna secara sempurna oleh bayi, walaupun masih diperlukan
penelitian lebih lanjut mengenai efek kafein terhadap perilaku bayi (National
Health and Medical Research Council 2012). Selanjutnya, terdapat sekitar 23.3%
ibu yang memberikan air tajin kepada balita ketika tidak ada susu. Wawancara
lebih lanjut menunjukkan bahwa ibu-ibu yang memberikan air tajin pada balita
percaya bahwa secara fisik air tajin tidak berbeda jauh dengan air susu sehingga
dapat digunakan untuk menggantikan susu, bahkan sebagian dari mereka ada yang
menganggap bahwa kandungan gizi air tajin sama dengan air susu.
Gambar 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh jumlah ibu hanya
menimbang berat badan anak ketika ada kesempatan saja. Data nasional
menunjukkan bahwa secara keseluruhan, selama enam bulan terakhir, anak umur
6-59 bulan yang ditimbang secara rutin (4 kali atau lebih), ditimbang 1-3 kali dan
yang tidak pernah ditimbang berturut-turut adalah sebanyak 49,4%, 26,9%, dan
23,8%. Riskesdas (2010) melihat bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi
tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin rendah persentase anak umur 659 bulan yang tidak pernah ditimbang. Sebagai gambaran, dalam penelitian ini
terdapat 37.0% ibu yang mempunyai pendidikan terakhir SD dan sebagian ibu
tergolong keluarga miskin menurut acuan Sukandar et al. (2008). Dari aspek
kesehatan mulut, diketahui bahwa lebih dari separuh ibu hanya membersihkan
gigi balita ketika mandi saja. Selain itu, sebanyak 61.6% ibu juga terbiasa meniup
makanan yang masih panas dengan cara ditiup sebelum diberikan pada balita.
Menurut salah satu penelitian, infeksi S.mutans paling banyak terjadi pada balita
melalui kontak saliva. Penularan terjadi terutama secara transmisi vertikal yaitu
dari ibu atau pengasuh seperti mencicipi atau meniup makanan bayi sebelum
menyuapi mereka. Apabila ibu mempunyai tingkat S.mutans yang tinggi, maka
anak-anak mereka dapat terpapar lebih awal dengan infeksi tersebut dan berisiko
tinggi mengalami karies gigi (Losso et al. 2009). Sebuah studi telah menemukan
bahwa pada anak yang memiliki karies gigi, tingkat konsentrasi S.mutans pada
plak dan saliva mereka adalah sebanyak 30-40% (Vadiakas 2008).
Walaupun demikian, sebagian besar ibu mengaku telah memberikan
imunisasi dengan lengkap yang mencakup imunisasi BCG, DPT, Polio, dan
Campak. Selain itu sebagian besar ibu juga mengaku telah memberikan kapsul
vitamin A bagi balita dua kali dalam setahun. Akan tetapi, tidak semua ibu
menjawab dengan yakin. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu ibu
lupa anaknya sudah diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah
diimunisasi, ibu tidak mengetahui secara pasti jenis imunisasi yang telah
diberikan, catatan dalam KMS dan KIA tidak lengkap, atau ibu tidak dapat
60
menunjukkan KMS, buku KIA atau catatan kesehatan anak karena hilang atau
tidak disimpan oleh ibu. Secara nasional, cakupan imunisasi pada balita masih
beragam. Data Riskesdas (2010) menunjukkan persentase imunisasi menurut
jenisnya yang tertinggi sampai terendah adalah imunisasi BCG (77,9%), imunisasi
Campak (74,4%), Imunisasi polio (66,7%), dan Imunisasi DPT (61,9%).
Ibu tidak mencuci botol susu balita hanya
dengan air dingin
Ibu tidak mencuci baju balita hanya ketika
terlihat kotor saja
ibu tidak mendiamkan balita sampai sembuh
sendiri ketika sakit
Ibu tidak mencuci tangan hanya dengan air
saja ketika akan menyuapi balita
Ibu tidak mendinginkan makanan balita yang
masih panas dengan cara ditiup
Ibu tidak membersihkan gigi balita hanya
ketika mandi saja
ibu tidak mencuci rambut balita hanya ketika
balita mau saja
Ibu tidak mengeringkan badan balita setelah
mandi dengan handuk milik siapa saja
Ibu tidak memandikan balita hanya ketika
balita mau mandi saja
ibu tidak menimbang berat badan balita
hanya jika ada kesempatan saja
Ibu membawa balita ibu ke posyandu setiap
bulan
ibu memberikan kapsul vitamin A dua kali
setahun
71.2
94.5
98.6
61.6
38.4
49.3
89
86.3
91.8
43.8
79.5
82.2
ibu memberikan imunisasi campak lengkap
95.9
ibu memberikan imunisasi polio lengkap
90.4
ibu memberikan imunisasi DPT lengkap
90.4
ibu memberikan imunisasi BCG lengkap
91.8
ibu memberikan imunisasi ketika balita baru
lahir
93.2
ibu memberikan oralit ketika balita diare
78.1
ibu menyuruh balita ibu memakai alas kaki
ketika bermain di luar
Ibu mencuci dulu bahan makanan sebelum
diolah
90.4
98.6
0
20
40
60
80
100
Gambar 6 sebaran ibu balita yang menjawab pertanyaan praktek kesehatan dengan
benar
61
Praktek Pengasuhan Ibu
Praktek pengasuhan ibu dilihat dari kualitas lingkungan pengasuhan yang
diukur dengan menggunakan instrumen HOME (Home Observation for
Measurements of the Environment) yang dikembangkan oleh Cadwell dan
Bradley (1984). HOME terdiri dari delapan bagian yang masing-masing
mengukur tingkat stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik,
kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi, dan
hukuman fisik. Ketegorisasi skor total dan skor sub bagian HOME menggunakan
acuan Cadwell dan Bradley (1984).
Stimulasi Belajar. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui bahwa sebagian
besar keluarga memberikan stimulasi belajar dalam tingkat sedang (76.7%).
Stimulasi belajar yang dimaksud meliputi penyediaan mainan edukatif bagi anak
seperti balok berbagai ukuran, puzzle, papan warna, papan angka, dan sebagainya.
Hampir separuh ibu (47.9%) tidak menyediakan mainan yang memperkenalkan
angka-angka pada balita. Selain itu, keseluruhan ibu dalam penelitian ini tidak
menyediakan buku bacaan atau buku cerita untuk anak, dalam hal ini ibu kurang
membiasakan anak untuk gemar membaca. Hal tersebut juga terlihat dari
kebiasaan membaca keluarga, hanya 1.4% keluarga yang terbiasa membeli koran
atau majalah dan membacanya setiap hari. Selain itu, hanya terdapat sekitar
17.8% balita yang dibelikan album musik anak-anak untuk menstimulasi
perkembangan balita.
Stimulasi Bahasa. Stimulasi bahasa yang dilihat diantaranya apakah
anak diajari nama-nama binatang dan huruf-huruf alphabet atau tidak, apakah
anak diajari mengucapkan salam, terima kasih, dan maaf atau tidak. Selain itu
dilihat pula apakah ibu berbicara dengan tata bahasa yang benar, apakah ibu
mendengarkan anak ketika berbicara, dan apakah apakah suara ibu membawa
perasaan positif saat berbicara dengan anak. Secara keseluruhan, sebagian besar
ibu mempunyai tingkat stimulasi bahasa yang sedang, namun sekitar 15.1%
tingkat stimulasi bahasa ibu tergolong rendah (Tabel 22). Hampir keseluruhan ibu
membawa perasaan positif saat berbicara pada anak (95.5%). Ibu menggunakan
tata bahasa yang baik dan mengajarkan anak untuk biasa mengucapkan terima
kasih (93.2%). Akan tetapi, masih terdapat sekitar 38.4% ibu tidak biasa
mendorong anak untuk bercerita mengenai pengalamannya sehari-hari atau ibu
tidak meluangkan waktu untuk mendengarkan anak bercerita. Sekitar 37.0% ibu
tidak menyediakan mainan yang memperkenalkan nama-nama binatang pada
anak, dan sebanyak 28.8% ibu tidak mendorong anak untuk belajar huruf.
Lingkungan Fisik. Lingkungan fisik yang diamati meliputi keamanan dan
kenyamanan lingkungan balita. Berdasarkan Tabel 22, separuh balita mempunyai
lingkungan fisik yang tergolong sedang (50.7%), sementara 42.5% balita lainnya
mempunyai kondisi lingkungan fisik yang tergolong rendah. Hanya terdapat
sebanyak 13.7% keluarga yang mempunyai interior dalam rumah yang tidak
terlihat gelap dan monoton serta luas lantai per orangnya sekitar 9 m2. Hampir
separuh balita mempunyai kondisi rumah yang kurang tertata dengan baik
(49.3%) dan 21.9% bangunan rumah balita tidak terlihat aman secara potensial.
Walaupun demikian, lebih dari separuh balita mempunyai lingkungan sekitar yang
asri (terdapat pohon dan rumput) dan kondisi rumah yang tidak terlalu sesak oleh
perabot (61.6%).
62
Tabel 22 Sebaran balita menurut lingkungan pengasuhan
Variabel
Stimulasi belajar
Rendah (0-2 poin)
Sedang (3-9 poin)
Rata-rata ±SD
Stimulasi bahasa
Rendah (0-4 poin)
Sedang (5-6 poin)
Tinggi (7 poin)
Rata-rata ±SD
Lingkungan fisik
Rendah (0-3 poin)
Sedang (4-6 poin)
Tinggi (7 poin)
Rata-rata ±SD
Kehangatan dan penerimaan
Rendah (0-3 poin)
Sedang (4-5 poin)
Tinggi (6-7 poin)
Rata-rata ±SD
Stimulasi akademik
Rendah (0-2 poin)
Sedang (3-4 poin)
Tinggi (5 poin)
Rata-rata ±SD
Modeling
Rendah (0-1 poin)
Sedang (2-3 poin)
Tinggi (4-5 poin)
Rata-rata ±SD
Variasi stimulasi
Rendah (0-4 poin)
Sedang (5-7 poin)
Tinggi (8-9 poin)
Rata-rata ±SD
Hukuman fisik
Rendah (0-2 poin)
Sedang (3 poin)
Tinggi (4 poin)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
17
56
23.3
76.7
4.04 ± 2.11
11
38
24
15.1
52.1
32.9
5.70 ± 1.35
31
37
5
42.5
50.7
6.8
3.60 ± 1.87
35
31
7
47.9
42.5
9.6
3.52 ± 1.50
19
27
27
26.0
37.0
37.0
3.52 ± 1.55
6
21
46
8.2
28.8
63.0
3.52 ± 1.04
22
50
1
30.1
68.5
1.4
5.10 ± 1.32
8
9
56
11.0
12.3
76.7
3.60 ± 0.86
Kehangatan dan Penerimaan. Pada bagian ini diamati bagaimana peran
ibu sebagai pengasuh mampu menjawab pertanyaan atau permintaan anak dengan
ucapan yang baik, ibu mampu memberikan pujian, sentuhan, pelukan, belaian,
ataupun ciuman pada anak. Berdasarkan Tabel 22, rata-rata nilai kehangatan dan
penerimaan ibu adalah 3.52 ± 1.50 dimana lebih banyak ibu yang mempunyai
tingkat kehangatan dan penerimaan yang tergolong rendah (47.9%). Sebagian
besar ibu tidak memeluk anak setiap hari (61.6%), tidak memuji anak secara
spontan paling sedikit dua kali selama wawancara (86.3%), tidak memperhatikan,
63
mencium, atau memeluk anak sedikitnya sekali selama wawancara (87.7%), dan
tidak membantu anak untuk mendemonstrasikan beberapa kemampuan anak
selama wawancara (72.6%). Walaupun demikian, sebagian besar ibu berbicara
pada anak paling sedikit dua kali selama wawancara (90.4%), menjawab
pertanyaan anak dengan baik (86.3%), dan merespon perkataan anak secara lisan
(83.6%).
Stimulasi Akademik. Pada bagian ini dilihat apakah anak diajari tentang
warna, perkataan yang terpola seperti nyayian, pengertian ruang atau dimensi,
angka, dan membaca kata-kata yang sederhana. Rata-rata skor stimulasi akademik
yang diberikan oleh ibu adalah 3.52 ± 1.55 dimana sebarannya hampir merata
untuk setiap ketegori terutama kategori sedang dan tinggi (Tabel 22). Sebagian
besar ibu mendorong anak untuk belajar warna (71.2%), perkataan yang terpola
(91.8%), hubungan ruang atau letak (65.8%), dan angka (72.6%). Akan tetapi
hampir sebagian ibu tidak mendorong anak untuk membaca kata-kata sederhana
(49.3%).
Model. Modeling yang dimaksud berkaitan dengan perilaku ibu dalam
menerapkan kebiasaan tertentu pada anak. Lebih dari separuh jumlah ibu
mempunyai tingkat modeling yang tinggi (63.0%) dimana rata-rata skor modeling
ibu adalah 3.52 ± 1.04 (Tabel 22). sebagian besar anak mampu mengekspresikan
perasaan negatif tanpa dendam (87.7%) dan tidak banyak menuntut makanan
tertentu ketika makan (63.0%). Sebagai hiburan, sebanyak 97.3% anak
menggunakan televisi sebagai hiburannya. Walaupun demikian, sebagian besar
ibu tidak membiasakan memperkenalkan tamu kepada anak (80.8%)
Variasi Stimulasi. Konsep variasi stimulasi adalah kombinasi antara
penyediaan sarana dan peran aktif orang tua dalam merangsang perkembangan
anak. Lebih dari separuh ibu mempunyai tingkat variasi stimulasi yang sedang
dengan rata-rata skor variasi stimulasi sebesar 5.10 ± 1.32 (Tabel 22). Sebagian
besar anak tidak dibiasakan diajak bepergian oleh keluarga minimal sekali
seminggu (87.7%), dan tidak pernah diajak pergi ke tempat-tempat yang dapat
menambah wawasan anak seperti museum (79.5%). Selain itu, seluruh ibu dalam
penelitian ini tidak terbiasa menempel atau memajang prakarya anak di rumah
sehingga variasi stimulasi yang terlihat kurang. Walaupun demikian, hampir
seluruh anak sering diberi kebebasan untuk memilih beberapa makanan atau merk
di toko (94.5%). Anak juga didorong untuk membereskan sendiri mainannya
(84.9%), dan makan bersama orang tua paling sedikit satu kali waktu makan
dalam sehari (79.5%).
Hukuman Fisik. Hukuman fisik ibu terhadap anak dilihat dari perlakuan
ibu yang tidak memarahi anak baik dengan kata-kata, isyarat, maupun fisik seperti
mencubit, memukul dan hukuman fisik lainnya secara belebihan, serta perlakuan
ibu yang tidak membatasi atau melarang anak secara fisik. Berdasarkan Tabel 22,
diketahui bahwa sebagian besar hukuman fisik yang diberikan ibu tergolong baik
(76.7%) dengan rata-rata skor 3.60 ± 0.86. Sebagian besar ibu tidak menunjukkan
kemarahan pada anak lebih dari sekali selama wawancara berlangsung (90.4%),
tidak memaksa anak dengan keras untuk tetap berada di posisi yang diinginkan
ibu (89.0%), tidak menampar, memukul, mencubit, atau kekerasan fisik lainnya
selama kegiatan wawancara berlangsung (97.3%), dan tidak memberikan
hukuman kepada anak lebih dari sekali selama satu minggu terakhir (83.6%).
Penjelasan mengenai konsep hukuman pada anak dikemukakan oleh beberapa
64
ahli, Papalia et al. (2008) merangkumnya dalam beberapa poin, diantaranya: 1)
orang tua kadang menghukum anak untuk menghentikan perilaku yang tidak
inginkan tanpa memberikan “imbalan” ketika anak berperilaku baik. Dengan
demikian tanpa disadari orang tua telah menguatkan perilaku nakal anak; 2)
hukuman pada anak akan menjadi sangat efektif apabila disertai dengan
penjelasan pendek dan sederhana; 3) anak yang dihukum secara kasar dan sering
akan bertindak secara agresif karena anak bisa saja mengalami masalah dalam
menginterpretasikan tindakan dan perkataan orang lain; 4) anak bisa mengalami
ketakutan yang berlebihan jika orang tua memarahi mereka dengan berlebihan
sehingga akhirnya anak akan berusaha menghindari orang tua. Hal tersebut justru
akan melemahkan fungsi orang tua sebagai sosok yang mampu mempengaruhi
perilaku anak.
Karakteristik Keluarga Balita
Berdasarkan Tabel 23 diketahui bahwa lebih dari separuh balita termasuk
ke dalam keluarga kecil menurut BKKBN (2003). Ukuran rumah tangga yang
besar biasanya menjadi faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan
distribusi pangan antar anggota rumah tangga. Sebuah penelitian terhadap 1000
anak usia 7-12 tahun di iran menunjukan bahwa ukuran keluarga sangat
mempengaruhi jumlah penyediaan makanan dalam rumah tangga, dimana
semakin besar ukuran keluarga maka semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan
gizi anggota keluarga tersebut (Hajian-Tilaki et al. 2011).
Hampir separuh dari ayah balita mempunyai pendidikan terakhir SMA
(43.8%), sedangkan 11.0% ayah balita merupakan lulusan perguruan tinggi (Tabel
23). Pendidikan orang tua tidak berhubungan secara langsung dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain
seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung
(Satoto 1990). Akan tetapi, dibandingkan dengan tingkat pendidikan ayah, tingkat
pendidikan ibu lebih sering dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan
anak. Latar belakang pendidikan biasanya dihubungkan dengan pekerjaan.
Hampir separuh dari ayah balita mempunyai pekerjaan sebagai buruh atau jasa
(45.2%). Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan dan perkembangan anak
biasanya dikaitkan dengan pekerjaan ibu, sedangkan pekerjaan ayah lebih
dikaitkan dengan pendapatan per kapita keluarga yang pada akhirnya juga turut
berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sebagaimana ibu, lebih dari separuh ayah balita masuk ke dalam
kelompok usia dewasa muda (68.5%) menurut Hurlock (2000). Pada usia ini,
Santrock (2009) menambahkan bahwa individu akan menyesuaikan diri dengan
pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Periode ini merupakan
rentang yang sulit dalam kehidupan seseorang karena mereka dituntut untuk
mandiri secara ekonomi dan mandiri dalam mengambil keputusan. Lebih jauh, di
masa ini para dewasa awal mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai
perspektif yang dipegang oleh orang lain. individu akan mulai berubah dari
orientasi mencari pengetahuan menjadi orientasi menerapkan apa yang diketahui
untuk mengejar karir dan membentuk keluarga.
65
Tabel 23 Sebaran balita menurut karakteristik keluarga
Variabel
Besar keluarga:
Kecil (≤ 4 orang)
Sedang (5-7 orang)
Besar (> 7 orang)
Pendidikan ayah:
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan ayah:
PNS
Buruh/jasa
Wiraswasta
Swasta
Usia ayah:
Dewasa muda (20-39 tahun)
Dewasa madya (40-65 tahun)
Status merokok anggota keluarga:
Tidak merokok
Ayah perokok
Kakek perokok
Ayah dan kakek perokok
Pendapatan ayah:
≤ Rp 1.000.000,00
Rp 1.000.001-Rp 2.000.000,0
Rp 2.000.001,00-Rp 3.000.000,00
Rp 3.000.001-Rp 4.000.000,00
>Rp 4.000.000,00
Pendapatan /kap/bulan keluarga (BPS 2012):
Miskin (≤ Rp 214.338,00)
Tidak miskin (> Rp 214.338,00)
Pendapatan keluarga (sukandar et al. 2008):
Miskin (≤ Rp 1.147.290,00)
Tidak miskin (> Rp 1.147.290,00)
Rata-rata ±SD
Jumlah balita
n (73)
% (100)
44
26
3
60.3
35.6
4.1
15
18
32
8
20.6
24.7
43.8
11.0
5
33
25
10
6.8
45.2
34.2
13.7
50
23
68.5
31.5
22
45
2
4
30.1
61.6
2.7
5.5
13
41
11
3
5
17.8
56.2
15.1
4.1
6.8
5
68
6.8
93.2
68
93.2
5
6.8
565460 ± 410942
Berdasarkan status merokok keluarga, maka lebih dari separuh balita
mempunyai ayah perokok (61.6%). Pengeluaran untuk tembakau dapat
mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan, dan
pendidikan (Semba et al. 2007). Selain itu, rokok juga mengandung racun yang
dapat mempengaruhi status gizi anak (Mishra & Retherford 2007; Kawakita et al.
2008). Secara nasional, data Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa prevalensi
penduduk umur 15 tahun ke atas yang merokok tiap hari sebesar 28,2 persen.
Selain itu data Riskesdas (2010) juga menunjukkan bahwa prevalensi perokok
dalam rumah lebih banyak pada laki-laki, berstatus kawin, tinggal di perdesaan,
dengan pendidikan rendah. Menurut pekerjaan, prevalensi perokok dalam rumah
ketika bersama anggota keluarga lebih banyak yang bekerja sebagai petani,
nelayan, atau buruh. Terdapat beberapa kemiripan dengan hasil penelitian ini
66
dimana hampir separuh ayah balita pada penelitian ini bekerja sebagai buruh atau
jasa (45.2%).
Jika dilihat dari pendapatan ayah, lebih dari separuh ayah balita
mempunyai pendapatan Rp 1000.000,00 sampai dengan Rp 2000.000,00.
Pendapatan per kapita keluarga digunakan sebagai pendekatan untuk menentukan
keluarga miskin dan tidak miskin. Salah satu konsep penghitungan kemiskinan
yang diaplikasikan di banyak negara termasuk Indonesia adalah konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. BPS memandang kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan. Akan tetapi, kebutuhan tersebut dihitung secara umum dan
tidak mempertimbangkan kebutuhan khusus setiap kelompok usia. Sedangkan
Sukandar et al. (2008) merumuskan kemiskinan dengan mempertimbangkan
kebutuhan khusus tiap kelompok usia. Dasar penetapannya hampir mirip dengan
konsep BKKBN yaitu lebih melihat dari sisi kesejahteraannya. Kebutuhan setiap
kelompok usia berbeda antara anak-anak dan dewasa, antara ibu hamil dan ibu
yang tidak hamil, dan sebagainya. Pada penelitian Sukandar et al. (2008),
kebutuhan yang paling tinggi adalah ibu hamil dan menyusui. Selain itu, Sukandar
et al. (2008) juga memperhitungkan faktor penyusutan pada kebutuhan non
pangan seperti pakaian, rumah, dan sebagainya sehingga dinilai lebih riil dalam
menetapkan berapa rupiah yang dibutuhkan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya. Penelitian Sukandar et al. (2008) berhasilkan merumuskan
garis kemiskinan baru yang pada waktu itu setara dengan 2.29 gram emas murni
atau setara dengan Rp 1.147.290/kap/bulan jika menggunakan harga emas saat
penelitian ini berlangsung. Emas murni dinilai lebih stabil terhadap perubahan
nilai tukar rupiah. Berdasarkan dua konsep garis kemiskinan tersebut maka
sebanyak 93.2% keluarga balita tergolong keluarga tidak miskin menurut standar
BPS (2012) sedangkan jika menggunakan standar Sukandar et al. (2008) maka
sebanyak 93.2% keluarga balita tergolong keluarga miskin.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu dihubungakan dengan beberapa karakteristik
keluarga (Tabel 24). Berdasarkan analisis korelasi terlihat bahwa tingkat
pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dengan lama pendidikan ibu secara
signifikan. Semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin tinggi tingkat
pendidikan gizi ibu. Menurut Rahmawati (2006) dan Supariasa et al. (2002),
tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi pola asuh anak karena
berhubungan dengan cara berpikir dan keterbukaan terhadap informasi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Madanijah (2003) yang
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ibu dengan pengetahuan
gizi ibu. Intervensi gizi yang diberikan pada penelitian Madanijah (2003) terbukti
meningkatkan pengetahuan gizi ibu secara signifikan. Hal tersebut berarti
pendidikan ibu terutama yang berkaitan dengan gizi, turut berperan dalam
peningkatan pengetahuan gizi ibu. Pendidikan ibu dalam penelitian ini dilihat
secara umum dan tidak fokus pada pendidikan gizi yang diterima ibu. Akan tetapi
semakin tinggi pendidikan formal yang dimiliki ibu maka kemungkinan atau
peluang untuk menerima informasi khususnya informasi gizi juga akan semakin
67
besar. Dalam penelitian Khaliq et al. (2008) terlihat bahwa tingkat pendidikan ibu
berhubungan secara signifikan dengan tingkat pengetahuan ibu mengenai vitamin
A, dimana pengetahuan ibu yang rendah mengenai vitamin A diduga karena
rendahnya level pendidikan formal ibu sehingga kesempatan ibu untuk menerima
pendidikan gizi juga lebih rendah. Walaupun demikian, tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara lama pendidikan ibu dengan tingkat pengetahuan kesehatan
dan pengasuhan ibu. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh dari
pendidikan formal akan tetapi dapat diperoleh dari pendidikan nonformal.
Sehingga diduga pengetahuan kesehatan dan pengasuhan ibu dalam penelitian ini
lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan nonformal ibu. Pengetahuan
pengasuhan jarang ditemukan pada pendidikan formal, sebaliknya pengetahuan
pengasuhan lebih sering didapatkan secara turun temurun atau berdasarkan
kebiasaan, sedangkan pengetahuan kesehatan bisa saja didapatkan ibu melalui
tenaga kesehatan atau media informasi lainnya baik media cetak maupun media
elektronik.
Tabel 24 Hubungan karakteristik ibu dengan tingkat pengetahuan ibu
Variabel
Tingkat pengetahuan gizi ibu:
Usia ibu
Lama pendidikan ibu
Pendapatan/kap/bulan keluarga
IMT ibu
Tingkat pengetahuan kesehatan ibu:
Usia ibu
Lama pendidikan ibu
Pendapatan/kap/bulan keluarga
IMT ibu
Tingkat pengetahuan pengasuhan anak:
Usia ibu
Lama pendidikan ibu
Pendapatan/kap/bulan keluarga
IMT ibu
* Signifikan pada α=5%
r
p-value
-0.204
0.257
0.228
-0.028
0.083
0.028*
0.052
0.814
0.054
0.120
0.152
-0.038
0.651
0.313
0.199
0.751
-0.169
0.010
0.174
0.009
0.152
0.933
0.141
0.938
Selain itu, hasil uji Chi-Square juga menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara status pekerjaan ibu (bekerja dan tidak bekerja) dengan tingkat
pengetahuan ibu baik gizi, kesehatan, maupun pengasuhan. Hal tersebut bisa
terjadi karena status pekerjaan ibu (bekerja dan tidak bekerja) berhubungan
dengan tingkat pengetahuan ibu secara langsung tetapi melalui mekanisme lain
seperti pemanfaatan sumber daya (termasuk waktu) dan kesempatan untuk
menerima informasi gizi, kesehatan, dan pengasuhan. Oleh sebab itu, belum tentu
ibu yang bekerja menerima informasi gizi, kesehatan dan pengasuhan yang lebih
baik jika dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Begitu pula dengan
karakteristik kelurga yang lain seperti pendapatan keluarga per kapita per bulan
dan usia ibu. Selain itu, beberapa karakteristik keluarga balita mungkin kurang
heterogen (usia ibu, pendapatan per kapita keluarga, status pekerjaan ibu),
sehingga diduga tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat
pengetahuan ibu., baik pengetahuan gizi, pengetahuan kesehatan, maupun
pengetahuan pengasuhan anak.
68
Hubungan Praktek ibu
Praktek ibu dihubungakan dengan beberapa karakteristik keluarga (Tabel
25). Berdasarkan analisis korelasi diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara karakteristik keluarga dengan praktek gizi dan kesehatan ibu.
Karakteristik keluarga yang kurang homogen diduga menjadi penyebab kenapa
hubungan yang terjadi kurang signifikan terhadap praktek gizi dan kesehatan ibu.
Akan tetapi, terdapat hubungan positif yang signifikan antara lama pendidikan ibu
dengan praktek pengasuhan ibu dimana semakin tinggi tingkat pendidikan ibu
maka semakin tinggi praktek ibu mengenai pengasuhan anak. Keluarga yang
mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung lebih memahami
bagaimana cara menyediakan lingkungan pengasuhan yang baik bagi anak. Hal
ini karena keluarga dengan pendidikan tinggi, didukung oleh pendapatan tinggi,
mempunyai akses informasi yang lebih memungkinkan. Sehingga dengan adanya
informasi, baik yang berasal dari buku, koran, media audio, media audio visual
ataupun dari rekan kerja menyebabkan mereka lebih mengetahui dan memahami
bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Hurlock (1980) bahwa pendidikan orangtua akan mempengaruhi pengasuhan yang
diterapkan pada anak. Pendidikan tinggi yang dicapai oleh orangtua akan lebih
membantu orangtua memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara
langsung akan berpengaruh terhadap pemilihan model pengasuhan yang akan
diterapkan pada anak.
Secara segnifikan, besar keluarga berhubungan negatif dengan praktek
pengasuhan ibu (Tabel 25). Semakin kecil ukuran keluarga maka semakin tinggi
praktek pengasuhan ibu. Lingkungan pengasuhan dipengaruhi oleh jumlah anak
dalam keluarga. Keluarga yang lebih besar, terutama dengan tempat tinggal yang
sempit dan tingkat ekonomi yang rendah, menyebabkan orang tua cenderung
memperlakukan anak lebih bersifat autoritarian dan lebih mengutamakan
penggunaan hukuman fisik, serta lebih sedikit memberikan penjelasan mengenai
peraturan yang seharusnya dipatuhi oleh setiap anggota keluarga (Berns 1997).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Latifah et al. (2010), bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran keluarga dengan stimulasi
psikososial yang diberikan. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit
pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu akan
mempengaruhi kualitas pengasuhan dan perawatan anak. Besar keluarga dalam
penelitian lain juga berhubungan dengan kualitas pengasuhan yang diberikan pada
anak. Hasil penelitian Sa‟diyyah (1998) terhadap keluarga yang memiliki anak
usia 24-59 bulan menunjukkan bahwa curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi
oleh besar keluarga. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang
dicurahkan ibu untuk anaknya.
Selain itu, pendapatan keluarga/kapita/bulan juga berhubungan positif
secara signifikan dengan praktek ibu (Tabel 25). Semakin tinggi pendapatan
keluarga/kapita/bulan maka semakin tinggi praktek pengasuhan. Perbedaan
tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang
berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola
pengasuhan orang tua terhadap anaknya terutama dalam penyediaan sarana dan
prasarana edukasi bagi anak. Anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial
rendah kurang memperoleh rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua
69
sering kali sibuk atau terlalu dibebani oleh masalah ekonomi (Beck 1998). Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Latifah et al. (2010) yang
menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per
kapita keluarga dengan stimulasi psikososial yang diberikan.
Tabel 25 Hubungan karakteristik ibu dengan praktek ibu
Variabel
Hubungan praktek gizi ibu:
Usia ibu
Lama pendidikan ibu
Besar keluarga
Pendapatan/kap/bulan keluarga
IMT ibu
Hubungan praktek kesehatan ibu:
Usia ibu
Lama pendidikan ibu
Besar keluarga
Pendapatan/kap/bulan keluarga
IMT ibu
Hubungan praktek pengasuhan anak:
Usia ibu
Lama pendidikan ibu
Besar keluarga
Pendapatan/kap/bulan keluarga
IMT ibu
* Signifikan pada α=5%
**signifikan pada α=1%
r
p-value
0.031
-0.034
0.000
0.223
0.067
0.792
0.773
0.999
0.058
0.557
0.133
0.175
0.028
0.113
-0.047
0.262
0.139
0.816
0.343
0.691
-0.086
0.498
-0.273
0.3.02
0.230
0.469
0.000**
0.019*
0.009**
0.050
Pada masyarakat tradisional dan modern, ibu yang bekerja akan
menitipkan anaknya untuk diasuh oleh orang lain sehingga kualitas pengasuhan
anak tidak terkontrol dengan baik (Sa‟diyyah 1998). Menurut Satoto (1990), ibu
rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara
otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.
Akan tetapi dalam penelitian ini, hasil uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu (bekerja dan tidak bekerja)
dengan praktek pengasuhan ibu, begitu juga dengan praktek gizi dan kesehatan.
Ketersediaan waktu yang lebih banyak tidak berarti ibu lebih baik dalam
memperaktekkan gizi, kesehatan, dan pengasuhan. Menurut Green (1980), praktek
atau perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor pemungkin
(sarana dan prasarana), dan faktor penguat (tenaga kesehatan). Selain itu, diduga
karena karakteristik keluarga balita kurang heterogen sehingga hubungan yang
muncul tidak signifikan. Sebagai gambaran, sebagian besar ibu dalam penbelitian
ini berstatus tidak bekerja (65.8%).
Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Praktek Ibu
Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa tingkat pengetahuan ibu
behubungan positif dengan praktek ibu secara signifikan. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu maka semakin tinggi pula
70
praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan ibu. Pengetahuan merupakan hasil
gabungan antara kemampuan, pengalaman, intuisi, gagasan, dan motivasi dari
sumber yang kompeten sehingga membentuk sebuah informasi dan data. Sumber
yang kompeten tersebut dapat berupa koran, majalah, email, artikel, iklan dan
manusia (Hendrik 2003). Konsep adopsi perilaku (praktek) yang diperkenalkan
oleh Rogers (1962) menyatakan bahwa sebelum seseorang mengadopsi suatu
praktek tertentu, ia akan melewati tahap awal yang disebut dengan awareness
yaitu adanya kesadaran akan adanya suatu stimuli tertentu. Artinya, orang tersebut
akan mempunyai sebuah pengetahuan baru yang disebabkan oleh adanya stimuli
yang diterimanya. Praktek gizi, kesehatan atau pengasuhan yang terjadi pada
seorang ibu merupakan buah dari proses panjang yang dimulai dari adanya
pengetahuan yang disebabkan oleh suatu stimuli tertentu. Stimuli tersebut dapat
berasal dari lingkungan sosial maupun media informasi. Pengetahuanpengetahuan tersebut kemudian akan membentuk suatu sikap baik itu positif
maupun negatif. Teori mengenai pembentukan sikap yang dikembangkan oleh
Ajzen dan Fishbein (1980) menekankan proses kognitif serta menganggap bahwa
manusia secara sistematis memanfaatkan informasi yang tersedia di sekitarnya,
kemudian menggunakan nalarnya dalam memutuskan perilaku atau praktek apa
yang akan diambilnya. Artinya, sikap terhadap gizi, kesehatan, dan pengasuhan
anak tidak begitu saja muncul pada ibu, tetapi bisa saja didasari oleh pengetahuan
yang sebelumnya didapatkan melalui hasil evaluasi ibu terhadap lingkungan
sehingga membentuk sebuah pengalaman baru yang mempengaruhi perasaannya
yang pada akhirnya ikut menentukan kecenderungan apakah ibu tersebut akan
mengadopsi praktek gizi, kesehatan, dan pengasuhan yang baik atau tidak.
Tabel 26 Hubungan tingkat pengetahuan dengan praktek ibu
Variabel
Tingkat pengetahuan-praktek gizi
Tingkat pengetahuan-praktek kesehatan
Tingkat pengetahuan-praktek pengasuhan anak
* Signifikan pada α=5%
**signifikan pada α=1%
r
0.283
0.550
0.286
p-value
0.015*
0.000**
0.014*
Menurut Green (1980), perilaku kesehatan pada seseorang dapat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor
penguat. Faktor predisposisi merupakan faktor yang memotivasi suatu perilaku
atau mempermudah terjadinya perilaku seseorang, contohnya pengetahuan. Faktor
pemungkin merupakan faktor pendukung perilaku seseorang, contohnya fasilitas,
sarana dan prasarana. Sedangkan faktor penguat adalah faktor yang memperkuat
perilaku seseorang, contohnya tenaga kesehatan. Dalam hal ini, pengetahuan ibu
mengenai gizi, kesehatan, dan pengasuhan menjadi faktor predisposisi dalam
pembentukan perilaku gizi, kesehatan dan pengasuhan ibu. Sebagai contoh,
pengetahuan kesehatan yang baik lebih memungkinkan ibu untuk melakukan
praktek kesehatan yang baik pula. Misalnya, sebagian besar ibu dalam penelitian
ini mengetahui bahwa kolostrum bukan merupakan air susu basi (Gambar 2), dan
pada prakteknya, sebagian besar ibu juga memberikan kolostrum bagi anak-anak
mereka (Gambar 5). Dengan demikian, dalam penelitian ini pengetahuan ibu
terbukti secara signifikan berhubungan positif dengan praktek ibu. Sebagai faktor
pemungkin, Desa Cibanteng mempunyai dua belas posyandu yang tersebar di
71
seluruh desa (Tabel 9). Selain itu, keberadaan bidan desa dan kader posyandu
dapat menjadi faktor penguat terjadinya perilaku gizi, kesehatan, dan pengasuhan
yang baik pada ibu. Akan tetapi dalam penelitian ini, faktor pemungkin dan faktor
penguat tidak dianalisis lebih lanjut.
Praktek gizi dan kesehatan yang baik diharapkan dapat menjadi salah satu
fator pemungkin terpenuhinya kecukupan gizi balita. Akan tetapi dalam penelitian
ini tidak cukup bukti untuk menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
praktek gizi dan kesehatan ibu dengan tingkat kecukupan gizi balita (energi,
protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor). Hal tersebut diduga karena praktek gizi
dan kesehatan yang diukur pada ibu bersifat umum, tidak khusus pada praktek
memberi makan atau feeding practices pada balita sehingga kurang bisa
menggambarkan hubungan antara praktek gizi dan kesehatan dengan tingkat
kecukupan gizi balita. Tetapi sebagai gambaran, sebanyak 39.7% ibu dalam
penelitian ini tidak memberikan porsi makan sesuai kebutuhan balita (Gambar 5)
dan sebanyak 37% balita dalam penelitian ini mempunyai tingkat kecukupan
energi yang tergolong defisit tingkat ringan (Tabel 15).
Hubungan Tinggi Badan Balita Menurut Umur
Tinggi badan balita menurut umur dihubungkan dengan beberapa
karakteristik keluarga (Tabel 27). Berdasarkan uji korelasi, tinggi badan ibu
berhubungan positif dengan tinggi badan balita secara signifikan. Semakin tinggi
ibu maka semakin tinggi pula balita. Hal ini menunjukkan bahwa faktor hereditas
turut berperan dalam variasi tinggi badan balita. Fenotip individu ditentukan oleh
genotip (alel spesifik dan kombinasi alel yang telah diwariskan oleh kedua orang
tua), lingkungan tempat individu dibesarkan, dan interaksi antara gen dan
lingkungan individu. Dalam hal ini, tinggi badan balita ditentukan oleh genetik
(apakah orang tua relatif pendek atau tinggi), lingkungan (apakah balita mendapat
asupan gizi yang cukup selama masa pertumbuhan atau tidak), dan interaksi
antara gen dan lingkungan (Amigo et al. 1997). Dalam beberapa penelitian lain,
terbukti bahwa tinggi badan orang tua berhubungan dengan tinggi badan anak
(Rahayu 2011; Nasikhah 2012). Penelitian Astari (2006) terhadap 70 balita usia 612 bulan di Kabupaten bogor menunjukkan bahwa tinggi badan ibu berhubungan
positif dengan tinggi badan balita walaupun setelah dilakukan uji regresi
hubungan keduanya menjadi tidak bermakna. Menurut Van de-Waal (1993),
hubungan antara faktor genetik dengan tinggi badan balita biasanya kurang
terlihat pada usia balita kurang dari dua tahun, hubungan tersebut biasanya terlihat
setelah balita berusia dua tahun atau lebih. Penjelasan mengenai kaitan antara
genetik (tinggi badan ibu) dengan tinggi badan balita akan dibahas lebih lanjut
pada pembahasan mengenai uji regresi berganda tentang faktor-faktor apa saja
yang berpengaruh terhadap tinggi badan balita.
Kejadian stunting juga banyak ditemukan pada keluarga dengan orang tua
yang merokok hal tersebut berkaitan dengan alokasi pengeluaran untuk pangan.
Merokok memperburuk dampak kemiskinan, seperti pengeluaran untuk tembakau
dapat mengalihkan pendapatan rumah tangga dari makanan, pakaian, kesehatan,
dan pendidikan (Semba et al. 2007). Jumlah uang yang dibelanjakan untuk
membeli rokok banyak terjadi dinegara dengan penghasilan rendah. Sebagai
contoh, di negara Vietnam pada tahun 1996, perokok menghabiskan rata-rata
72
49.05 Dolar untuk rokok per tahun, nilai tersebut lebih besar 1.5 kali dari biaya
untuk pendidikan, 5 kali dari biaya kesehatan, dan sekitar sepertiga kali untuk
makanan per kapita per tahun (Jenkins et al. 1997). Di Indonesia, dalam rumah
tangga di mana sang ayah adalah seorang perokok, tembakau menghabiskan 22%
dari uang belanja rumah tangga mingguan per kapita, dimana lebih sedikit uang
yang dibelanjakan untuk makanan dibandingkan dengan rumah tangga non
perokok (Semba et al. 2007). Selain itu, merokok juga berkaitan dengan kejadian
stunting melalui mekanisme klinis dari kandungan racun dalam tembakau
terhadap status gizi (Mishra & Retherford 2007) dan penundaan pertumbuhan
skeletal (Kawakita et al. 2008). Akan tetapi dalam penelitian ini, berdasarkan
hasil uji Chi-Square terlihat bahwa tidak terdapat hubungan yang sihnifikan antara
status merokok anggota keluarga (ada atau tidak ada anggota keluarga yang
merokok) dengan tinggi badan balita menurut umur. Selain status merokok
keluarga, hasil uji Chi-Square juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan antara riwayat penyakit selama kehamilan balita dan status pekerjaan
ibu dengan tinggi badan balita menurut umur. Hal tersebut diduga karena datadata tersebut kurang cenderung homogen sehingga hubungan yang muncul tidak
signifikan. Sebagai gambaran, sebagian besar keluarga balita mempunyai anggota
keluarga perokok (70%). Selain itu, sebagian besar ibu balita tidak bekerja (66%)
dan tidak ada riwayat penyakit selama kehamilan balita (90%).
Tabel 27 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik keluarga
Variabel
Besar keluarga
Pendapatan perkapita keluarga
Tinggi badan ibu
Lama pendidikan ayah
Lama pendidikan ibu
**signifikan pada α=1%
r
0.94
0.216
0.372
0.206
0.100
p-value
0.430
0.067
0.001**
0.080
0.401
Selain karateristik keluarga, tinggi badan balita juga duhubungan dengan
karakteristik balita tersebut (Tabel 28). Berdasarkan uji korelasi terlihat bahwa
tingkat kecukupan gizi balita (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, dan
fosfor) berhubungan positif dengan tinggi badan balita secara signifikan. Semakin
tinggi tingkat kecukupan gizi balita (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, dan
fosfor) maka semakin tinggi tinggi badan balita menurut umur. Zat gizi diperlukan
oleh tubuh untuk mengganti dan memperbaiki sel-sel yang rusak sehingga sangat
vital dalam pertumbuhan balita. Mikronutrien yang seringkali dianggap penting
dalam pertumbuhan balita diantaranya vitamin A, Fe dang Zn (Fahmida et al.
2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001). Sebuah penelitian terhadap 800
balita si NTT, Indonesia menunjukan bahwa zat gizi mikro (zink, besi, dan
vitamin A) berperan dalam pertumbuhan linear balita stunting (Fahmida et al.
2007). Dalam kesimpulannya, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya
mengkoreksi status Fe balita dibandingkan dengan status Zinc. Zinc akan
mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan jika status besi atau hemoglobin
yang rendah dikoreksi. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pertumbuhan yang
optimal, Zinc harus diberikan bersama-sama dengan besi dengan pertimbangan
rasio Zn:Fe yang tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka asupan zinc
73
pada penelitian ini tidak diteliti, disamping adanya keterbatasan instrumen DKBM
(Daftar Komposisi Bahan Makanan) dalam menyediakan data kandungan zinc
masing-masing bahan pangan.
Peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk meningkatkan
pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi dan protein
yang cukup (Fahmida et al. 2007; Rivera et al. 2003; Bhandari et al. 2001).
Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan
kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan
optimal, sedangkan protein berguna untuk membangun serta memelihara sel-sel
dan jaringan tubuh (Almatsier 2006). Selain itu, kalsium dan fosfor (bersamasama dengan vitamin D) berperan dalam proses mineralisasi tulang dan
pertumbuhan pada anak-anak. Kekurangan vitamin dan mineral tersebut berakibat
pada terhambatnya pertumbuhan tulang sehingga dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada anak prasekolah (Brown et al. 2011; Almatsier 2006).
Tabel 28 Hubungan TB/U balita dengan karakteristik balita
Variabel
Usia balita
Tingkat Kecukupan Energi
Tingkat Kecukupan Protein
Tingkat Kecukupan Besi
Tingkat Kecukupan Vitamin A
Tingkat Kecukupan Kalsium
Tingkat Kecukupan Fosfor
Lama pemberian ASI eksklusif
Usia mulai diberikan MP-ASI
Panjang badan lahir balita
Berat badan lahir
Status kesehatan balita sejak lahir
Prematuritas balita
**signifikan pada α=1%
r
0.125
0.730
0.744
0.347
0.543
0.587
0.624
-0.024
-0.116
0.357
0.034
-0.209
0.054
p-value
0.293
0.000**
0.000**
0.003**
0.000**
0.000**
0.000**
0.837
0.327
0.002**
0.777
0.077
0.649
Selain tingkat kecukupan gizi, panjang badan lahir juga berhubungan
positif dengan tinggi badan balita secara signifikan. Semakin panjang badan balita
ketika lahir maka semakin tinggi badan balita menurut umur. Menurut
Kusharisupeni (2002), rata-rata panjang badan kelompok prematur berada di
persentil ke-10, dimana panjang lahir kelompok normal baik bayi perempuan
maupun laki-laki berada pada persentil ke-20 standar WHO. Artinya, panjang
badan yang jauh di bawah rata-rata pada umumnya, sebagaimana yang dialami
oleh kurang dari separuh balita pada penelitian ini, disebabkan karena sudah
terjadi retardasi pertumbuhan saat dalam kandungan sehingga efek jangka
panjangnya dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan (stunting).
Lebih jauh, Santos et al. (2009) menyatakan bahwa peluang bayi late
preterm (kelahiran saat usia kehamilan 34-36 minggu) menjadi stunting di usia 12
bulan adalah 2.35 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bayi yang lahir
normal, peluang tersebut menjadi 2.3 kali ketika usia 24 bulan. Selain itu, ukuran
tubuh pada saat lahir mampu memprediksi pertumbuhan janin, dimana pada saat
usia 12 bulan kelompok bayi yang lahir dengan berat badan rendah (<2.500 gram)
74
tidak mencapai panjang badan yang dicapai oleh kelompok normal, meskipun
kelompok normal sendiri tidak bertumbuh optimal (Kusharisupeni 2002). Dengan
demikian catch up growth pada kelompok BBLR tidak memadai. Status kesehatan
pada anak juga turut berperan dalam menimbulkan masalah stunting khususnya
diare. Diare berhubungan positif dan signifikan dengan stunting dimana anakanak yang mengalami diare berisiko 2,3 kali menjadi stunting dibandingkan
dengan anak-anak tanpa diare (Teshome et al. 2009). Menurut Eastwood (2003)
infeksi dan diare berkontribusi terhadap kejadian stunting karena dapat
mengganggu proses metabolisme dalam tubuh sehingga menyebabkan
pertumbuhan anak tidak optimal. Durasi menyusui yang semakin lama dapat
meningkatkan risiko stunting pada anak disebabkan ibu cenderung tidak
memberikan MP-ASI dengan cukup sesuai dengan usia anak (Teshome et al.
2009).
Akan tetapi pada penelitian ini, baik prematuritas, status kesehatan, lama
pemberian ASI eksklusif, usia mulai diberikan MP-ASI, maupun berat badan lahir
tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tinggi badan balita menurut
umur. Dalam hal ini tingkat kecukupan gizi lebih besar hubungannya terhadap
tinggi badan balita menurut umur jika dibandingkan dengan prematuritas, status
kesehatan, lama pemberian ASI eksklusif, usia mulai diberikan MP-ASI, maupun
berat badan lahir. Balita yang mempunyai berat badan lahir rendah masih bisa
diupayakan mengejar pertumbuhannya apabila tingkat kecukupan gizinya
dipenuhi selama dua tahun pertama kehidupan (Teshome et al. 2009). Selain itu,
kurangnya signifikansi pada karakteristik lain diduga karena data-data tersebut
cenderung homogen. Sebagian besar balita pada penelitian ini tergolong tidak
prematur dan mempunyai berat badan lahir normal. Sebagian besar balita
diberikan ASI eksklusif kurang dari enam bulan dan status kesehatan balita sejak
lahir relatif tidak jauh berbeda.
Hubungan Tingkat Perkembangan Motorik dan Kognitif Balita
Perkembangan motorik meliputi perkembangan motorik kasar dan halus.
Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar atau
sebagian besar atau seluruh anggota tubuh, contohnya kemampuan duduk,
menendang, berlari, naik-turun tangga dan sebagainya. Sedangkan motorik halus
adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh
tertentu, contohnya kemampuan memindahkan benda dari tangan, mencoret-coret,
menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya (Yusuf 2006). Sementara
perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental yang
meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan
bahasa (Papalia et al. 2008) yang terbentuk dari interaksi antara faktor internal
dengan lingkungan yang termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan luar
keluarga (Dariyo 2007). Berdasarkan uji korelasi diketahui bahwa tinggi badan
balita menurut umur berhubungan positif dengan tingkat perkembangan kognitif
(Tabel 31) dan motorik balita secara signifikan, baik motorik halus (Tabel 29)
maupun motorik kasar (Tabel 30). Semakin tinggi balita maka semakin tinggi
tingkat perkembangan kognitif dan motoriknya. Menurut Santrock (2007),
perkembangan kognitif dan motorik (baik halus maupun kasar) beriringan dengan
75
proses pertumbuhan secara genetis atau kematangan fisik anak. Hal tersebut
karena perkembangan bersifat sistematis, yang berarti perubahan dalam
perkembangan bersifat saling tergantung satu sama lain atau saling mempengaruhi
dan merupakan satu kesatuan yang harmonis (Yusuf 2006).
Hubungan antara tinggi badan dengan kemampuan kognitif balita
dijelaskan oleh hipotesis lain yang mengemukakan bahwa anak stunting
mempunyai ukuran kepala yang lebih kecil sehingga berhubungan dengan volume
otak dan daya berpikir (Grantham-McGregor et al. 1997), akan tetapi dalam
penelitian ini tidak dilakukan pengukuran terhadap lingkar kepala balita. Pendapat
lain dikemukakan oleh Chang et al. (2002) yang menyatakan bahwa stunting
berhubungan dengan perkembangan kognitif yang tercermin dari kemampuan
aritmetik, mengeja, membaca kata dan membaca komprehensif, sehingga
pencapaian pendidikan anak stunting lebih rendah jika dibandingkan dengan
anak-anak normal. Penelitian Kar et al. (2007) menyatakan bahwa anak kurang
gizi yang tercermin dalam keadaan stunting mempunyai masalah pada pemusatan
perhatian, memori, pembelajaran dan kemampuan visuospatial. Kar et al. (2007)
menyimpulkan bahwa stunting tidak hanya dapat mempengaruhi perkembangan
kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap yang lebih tinggi sehingga
menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang.
Tabel 29 Hubungan tingkat perkembangan motorik halus balita dengan
karakteristik balita
Variabel
TB/U
Lama mengikuti PAUD
Lingkungan pengasuhan
Usia balita
Status kesehatan balita sejak lahir
Lama pendidikan ibu
Pendapatan keluarga/kap/bulan
**signifikan pada α=1%
r
0.475
0.342
0.196
0.349
0.003
0.128
0.156
p-value
0.000**
0.003**
0.096
0.002**
0.978
0.279
0.188
Selain tinggi badan, faktor lain yang juga berhubungan secara signifikan
dengan tingkat perkembangan motorik balita adalah lama mengikuti PAUD.
Bahkan, lama mengikuti PAUD juga berhubungan positif dengan tingkat
perkembangan kognitif balita secara signifikan (Tabel 31). Hubungan yang positif
menandakan bahwa semakin lama seorang balita mengikuti PAUD maka semakin
tinggi tingkat perkembangan motorik dan kognitif balita. Menurut Sudjarwo
(2010), PAUD dibangun dengan konsep bermain sambil belajar sehingga akan
mengarahkan anak pada pengembangan kemampuan yang beragam. PAUD dapat
menjadi bekal bagi pembentukan karakter anak karena pendidikan yang diberikan
sejak dini bagi anak akan membantu mengembangkan potensi anak secara
optimal. Hasil akhir yang diharapkan setelah mengikuti PAUD adalah anak akan
menjadi lebih mandiri, disiplin, dan mudah diarahkan untuk menyerap ilmu
pengetahuan secara optimal.
Selanjutnya, usia balita berhubungan positif secara signifikan dengan
tingkat perkembangan kognitif (Tabel 31), motorik halus (Tabel 29), dan motorik
kasar (Tabel 30). Semain besar usia balita maka semakin tinggi tingkat
76
perkembangan kognitif dan motoriknya. Sebagaimana prinsip perkembangan yang
dikemukakan oleh Papalia et al. (2008) bahwa perkembangan merupakan
perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kematangan yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan. Sistematis
berarti perubahan dalam perkembangan bersifat saling tergantung satu sama lain
atau saling mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Progresif
berarti perubahan-perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan
mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Berkesinambungan berarti
perubahan pada bagian atau fungsi individu berlangsung secara beraturan atau
berurutan, tidak terjadi secara kebetulan dan acak. Oleh sebab itu, seiring dengan
bertambahnya usia, maka perkembangan motorik balita juga akan semakin
meningkat secara signifikan, baik kognitif (Tabel 31), motorik halus (Tabel 29),
maupun motorik kasar (Tabel 30). Peningkatan perkembangan motorik balita dari
tahun ke tahun didukung oleh perkembangan fisik yang semakin matang seiring
dengan bertambahnya usia balita.
Tabel 30 Hubungan tingkat perkembangan motorik kasar balita dengan
karakteristik balita
Variabel
TB/U
Lama mengikuti PAUD
Lingkungan pengasuhan
Usia balita
Status kesehatan balita sejak lahir
Lama pendidikan ibu
Pendapatan keluarga/kap/bulan
* Signifikan pada α=5%
**signifikan pada α=1%
r
0.262
0.326
0.204
0.569
0.017
-0.032
-0.078
p-value
0.025*
0.005**
0.084
0.000**
0.887
0.786
0.514
Pada penelitian lain, lingkungan pengasuhan terbukti berhubungan
signifikan dengan perkembangan kognitif dan motorik anak. Miquelote et al.
(2012) meneliti hubungan antara lingkungan pengasuhan dengan perkembangan
motorik dan kognitif anak balita yang diukur dengan menggunakan instrumen
yang sama yaitu Home Environment for Motor Development untuk perkembangan
balita. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat berhubungan kuat antara
lingkungan pengasuhan dengan perkembangan kognitif dan motorik balita.
Lingkungan pengasuhan mencakup stimulasi psikososial, yaitu kegiatan bermain
sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari,
bervariasi dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui
semua sistem indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi,
emosi, motorik, serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008).
Walker et al. (2005) menekankan pentingnya lingkungan pengasuhan, stunting
pada anak usia dini dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan pendidikan di
akhir masa remaja, tetapi dapat dikoreksi dengan stimulasi pada usia dini. Akan
tetapi pada penelitian ini, hubungan yang signifikan hanya ditemui pada tingkat
perkembangan kognitif balita (Tabel 31) dan tidak terdapat cukup bukti untuk
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara lingkungan pengasuhan
dengan kemampuan motorik anak, baik motorik halus (Tabel 29) maupun motorik
77
kasar (Tabel 30). Hal tersebut diduga dapat terjadi karena jumlah sampel yang
kecil atau sampel kurang heterogen dimana sebagian besar balita mempunyai
lingkungan pengasuhan yang sedang (73%). Selain itu, kelemahan instrumen
HOME adalah beberapa item HOME menjadi kurang relevan secara kultur dalam
keluarga non-barat (Bradley et al. 2001) sehingga diduga menyebakan hubungan
yang terjadi kurang signifikan untuk menilai perkembangan motorik pada balita
dalam penelitian ini.
Tabel 31 Hubungan tingkat perkembangan kognitif balita dengan karakteristik
balita
Variabel
TB/U
Lama mengikuti PAUD
Lingkungan pengasuhan
Usia balita
Status kesehatan balita sejak lahir
Lama pendidikan ibu
Pendapatan keluarga/kap/bulan
* Signifikan pada α=5%
**signifikan pada α=1%
r
0.272
0.475
0.284
0.276
0.009
0.059
-0.094
p-value
0.020*
0.000**
0.015*
0.018*
0.940
0.623
0.429
Berdasarkan penelitian Hart dan Risley (1996), terlihat bahwa orang tua
yang berasal dari keluarga kelas atas menghabiskan lebih banyak waktu dengan
anak, berbicara lebih banyak dengan anak, dan menunjukkan ketertarikan lebih
tinggi terhadap apa yang anak katakan. Sedangkan orang tua yang berasal dari
keluarga kelas bawah cenderung sering mengatakan kalimat bernada negatif
seperti “berhenti” atau “jangan” sehingga menghambat perkembangan anak. Akan
tetapi pada penelitian ini, tidak terdapat cukup bukti untuk menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga per kapita per bulan dengan
perkembangan anak baik perkembangan motorik halus (Tabel 29), perkembangan
motorik kasar (Tabel 30), maupun perkembangan kognitif (Tabel 31). Selain
karena karakteristik balita yang relatif homogen, diduga karena ekonomi tidak
berhubungan langsung dengan perkembangan anak tetapi melalui mekanisme lain
yang berhubungan dengan kemampuan menyediakan sumberdaya pendidikan dan
melalui kemunculan efek psikologis negatif pada orang tua terhadap praktek
pengasuhan mereka (Papalia et al. 2008). Akan tetapi, menyediakan sumberdaya
pendidikan bagi anak tidak harus dengan sarana dan prasarana mahal. Dalam
penelitian ini, baik penyediaan sumberdaya pendidikan bagi anak maupun efek
psikologis negatif pada orang tua yang disebabkan oleh ekonomi tidak diteliti
lebih lanjut.
Selain itu, lama pendidikan orang ibu dalam penelitian ini tidak
berhubungan signifikan dengan tingkat perkembangan balita. Hal tersebut karena
tingkat pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan perkembangan
anak, tetapi melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi
penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi perkembangan anak
secara tidak langsung (Satoto 1990). Soedjatmiko (2008) menekankan pentingnya
stimulasi psikososial dibandingkan dengan pendidikan orang tua karena walaupun
pendidikan orang tua tinggi, apabila tidak menyediakan kebutuhan pokok untuk
78
perkembangannya, maka potensi anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan
orang tua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi,
belum tentu mereka tidak cerdas, sehingga perkembangan anak dapat tetap
optimal asalkan diberikan stimulasi psikososial sejak di dalam kandungan sampai
usia sekolah dan remaja.
Status kesehatan balita dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan
tingkat perkembangan balita baik perkembangan motorik halus (Tabel 29),
perkembangan motorik kasar (Tabel 30), maupun perkembangan kognitif (Tabel
31). Hal tersebut karena pada penelitian ini, penyakit yang diderita anak bukan
merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi perkembangan anak (Tabel 10).
Sejak awal, anak-anak balita yang mempunyai penyakit bawaan atau cacat yang
dapat mempengaruhi perkembangan balita dijadikan kriteria eksklusi penelitian.
Begitu juga dengan riwayat penyakit kehamilan ibu. Hasil uji Chi-Square tidak
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dikarenakan sebagian besar balita
tidak mempunyai riwayat penyakit kehamilan yang dapat mengganggu
perkembangan balita (Tabel 10).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan Balita
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tinggi badan anak diuji
menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel bebas karakteristik
keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 2). Setelah itu dilakukan uji regresi
ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita yang signifikan
pengaruhnya terhadap tinggi badan balita, hasilnya ditampilkan pada Tabel 32.
Berdasarkan uji regresi berganda maka tinggi badan ibu, tingkat kecukupan energi
balita, dan tingkat kecukupan protein balita berpengaruh signifikan terhadap
tinggi badan balita secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien
determinasi sebesar 0.613. Artinya, sebesar 61.3% keragaman dari tinggi badan
balita bisa dijelaskan oleh variabel tinggi badan ibu, tingkat kecukupan energi dan
tingkat kecukupan protein balita.
Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, tinggi badan ibu
berkontribusi sebesar 55.3% terhadap tinggi badan balita menurut umur. Tingkat
kecukupan protein berkontribusi sebesar 3.4% terhadap tinggi badan balita
menurut umur setelah variabel tinggi badan ibu dimasukkan ke dalam model.
Sementara itu, tingkat kecukupan energi berkontribusi sebesar 2.6% terhadap
tinggi badan balita menurut umur setelah variabel tinggi badan ibu dan tingkat
kecukupan protein dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi berdasarkan model,
terlihat bahwa setiap penambahan satu cm tinggi badan ibu, akan menambah zscore TB/U balita sebesar 0.032 satuan. Selain itu, setiap penambahan satu
persen tingkat kecukupan energi balita, akan menambah z-score TB/U balita
sebesar 0.032 satuan. Sedangkan setiap penambahan satu persen tingkat
kecukupan protein balita, akan menambah z-score TB/U balita sebesar 0.024
satuan.
Berdasarkan model pada Tabel 32, terlihat bahwa tinggi badan anak
dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan. Menurut Papalia et al. (2008),
sebagaimana perkembangan, pertumbuhan juga dipengaruhi oleh genetik dan
lingkungan. Jika seorang anak mewarisi gen “tinggi” dari orang tuanya, maka
79
peluangnya untuk menjadi tinggi lebih besar dibandingkan anak lain yang tidak
mempunyai gen tersebut. Akan tetapi, jika anak tersebut tidak mempunyai asupan
gizi yang memadai, terutama pada masa kritis kehidupan, maka potensi genetik
untuk menjadi tinggi tersebut tidak akan terekspresikan dengan baik. Itulah yang
disebut oleh Papalia et al. (2008) sebagai interaksi antara genetik dan lingkungan.
Aksi genetik yang memicu pertumbuhan (termasuk tinggi badan) biasanya diatur
dalam level hormonal yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti gizi. Oleh
karena itu, sejak awal, genetik dan lingkungan saling berhubungan satu sama lain
(Brown 1999).
Tabel 32 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U
Variabel
Konstanta
Tinggi badan ibu
Tingkat kecukupan protein
Tingkat kecukupan energi
R2 total
F (Sig)
* Signifikan pada α=5%
**signifikan pada α=1%
B
-10.698
0.032
0.024
0.032
R2 parsial
0.553
0.034
0.026
0.613
36.438 (0.000)
Sig.
0.000**
0.033*
0.010*
0.015*
Dasar dari keturunan adalah sebuah senyawa kimia yang disebut
Deoxyribo-Nucleic Acid (DNA) yang memuat semua materi turunan yang
diwariskan dari orang tua biologis kepada anak termasuk tinggi badan. DNA
membawa instruksi biokimia yang mengarahkan formasi tiap sel dalam tubuh dan
memberitahukan kepada sel bagaimana membuat protein yang memungkinkan
mereka untuk melakukan fungsi tubuh tertentu. Struktur DNA terdiri dari empat
senyawa basa yang saling berpasangan dalam empat kombinasi dimana sekitar
tiga milyar pasang basa ini menciptakan kode genetik yang akan menentukan
semua ciri bawaan termasuk tinggi badan. Pada saat pembentukan, sebuah zigot
telah mempunyai semua informasi biologis yang dibutuhkan untuk mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangannya menjadi bayi manusia. Semua itu terjadi
melalui pembelahan berulang atau mitosis. Ketika membelah, lingkaran DNA
yang terdapat di dalamnya ikut menggandakan diri sehingga tiap sel yang baru
terbentuk akan mempunyai struktur DNA yang sama dengan informasi turunan
yang sama (Papalia et al. 2008).
Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat defisiensi hormon
pertumbuhan memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek
sehingga memperbesar peluang anak mewarisi gen tersebut dan tumbuh stunting.
Akan tetapi, bila orang tua pendek akibat kekurangan zat gizi atau penyakit,
kemungkinan anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak
tersebut tidak terpapar faktor risiko yang lain (Amigo et al. 1997). Pada penelitian
Zottarelli et al. (2007), penurunan kejadian stunting yang signifikan teramati dari
peningkatan tinggi ibu. Di antara ibu yang mempunyai tinggi kurang dari 150 cm,
30,89% anak-anaknya mengalami stunting. Penurunan persentase sampai 13.61%
pada anak dengan ibu yang mempunyai tinggi lebih dari 160 cm. Kelahiran anak
dari ibu yang mempunyai tinggi 150-160 cm menurunkan risiko stunting sebesar
40% dibandingkan anak yang lahir dari ibu yang tingginya kurang dari 150 cm,
80
dan menurunkan risiko stunting sebesar 59% jika anak lahir dari ibu yang
mempunyai tinggi lebih dari 160 cm.
Konsep pengukuran seberapa besar pengaruh genetik terhadap tinggi
badan dijelaskan berdasarkan berapa banyak variasi (perbedaan antara individu)
dalam hal tinggi badan yang disebabkan oleh efek genetik. Menurut Lai (2006),
seorang ahli biologi molekuler dari U.S Department of Agriculture, sekitar 6080% dari perbedaan tinggi badan antar individu ditentukan oleh faktor genetik,
sedangkan 20-40% dapat dikaitkan dengan dampak lingkungan, terutama gizi. Hal
tersebut didasarkan pada perkiraan "heritabilitas" dari tinggi badan manusia, yaitu
proporsi dari total variasi tinggi badan yang disebabkan oleh faktor genetik.
Seringkali, berbagai penelitian menentukan tingkat heritabilitas dengan
memperkirakan tingkat kemiripan antar kerabat dalam keluarga. Sehingga
diharapkan dapat memisahkan efek genetik dari efek lingkungan dengan
menghubungkan kemiripan genetik antar saudara dengan kesamaan tinggi badan
mereka.
Visscher et al. (2006) dari Queensland Institute of Medical Research di
Australia melaporkan bahwa heritabilitas dari tinggi badan adalah sebesar 80%,
berdasarkan 3.375 pasang saudara di Australia. Perkiraan ini dianggap objektif
karena didasarkan pada populasi besar saudara kembar dan saudara kandung. Di
Amerika utara, tingkat heritabilitas tinggi badan diperkirakan sebesar 73% untuk
ras kaukasoid (Deng et al. 2002). Penelitian lain bahkan menunjukkan tingkat
heritabilitas tinggi badan pada ras kaukasoid (inggris atau irlandia) lebih besar
dari 80% (Wiltshire et al. 2002). Studi mengenai tingkat heritabilitas pada jenis
kelamin dilakukan oleh Silventoinen et al. (2003) terhadap laki-laki dan
perempuan di delapan negara. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa tingkat
heritabilitas tinggi badan pada perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan
laki-laki. Dalam populasi Asia, heritabilitas tinggi badan jauh lebih rendah dari
80%. Sebagai contoh, pada tahun 2004 Miao Xin Li dan timnya dari China
memperkirakan heritabilitas tinggi badan sebesar 65%, didasarkan pada 385
populasi keluarga di Cina. Populasi etnis yang berbeda memiliki latar belakang
genetik yang berbeda dan hidup dalam lingkungan yang berbeda sehingga
heritabilitas tinggi badan dapat bervariasi antar populasi, dan bahkan antar jenis
kelamin. Keberagaman tingkat heritabilitas terutama disebabkan karena latar
belakang genetik dan lingkungan yang berbeda antar kelompok seperti iklim,
kebiasaan makan dan gaya hidup.
Asupan gizi merupakan faktor lingkungan yang bersama-sama dengan
faktor genetik, mempengaruhi tinggi badan balita. Berdasarkan bahasan
sebelumnya dikemukakan bahwa kontribusi lingkungan terhadap tinggi badan
seseorang berkisar antara 20-40% tergatung oleh karakteristik gen dan lingkungan
pada masing-masing populasi dan etnis. Pada populasi dengan kondisi lingkungan
yang baik, kontribusi genetik bisa saja lebih tinggi, sementara pada lingkungan
yang buruk kontribusi genetik mungkin saja lebih rendah. Sebagai faktor
lingkungan, Fahmida et al. (2007) menekankan pentingnya peran zat gizi terutama
zat gizi makro (energi dan protein) dalam meningkatkan pertumbuhan balita. Gizi
merupakan penentu penting dalam pertumbuhan karena pembelahan sel
membutuhkan cukup gizi untuk memproduksi protein yang diperlukan dan
makromolekul lainnya. Pertumbuhan pada periode bayi tampaknya paling sensitif
terhadap status gizi, hal ini didukung oleh pengamatan bahwa sebagian besar
81
perbedaan kecepatan pertumbuhan dan tinggi badan antara negara berkembang
dan negara maju terjadi selama periode dari 6 bulan sampai 24 bulan usia (Brush
et al. 1993; Vella et al. 1994).
Pada penelitian Fahmida et al. (2007) terhadap 800 balita di Indonesia
menunjukan bahwa peningkatan status mikronutrien saja tidak cukup untuk
meningkatkan pertumbuhan yang optimal, harus diimbangi dengan asupan energi
dan protein yang cukup. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Bhandari et al.
(2001) yang meneliti pengaruh suplementasi mikronutrien terhadap pertumbuhan
balita, Bhandari dan tim menemukan bahwa pengaruh mikronutrien relatif kecil
terhadap pertumbuhan apabila tidak diimbangi oleh asupan energi dan protein
yang cukup. Energi dan protein tampaknya menjadi “fator pembatas” dalam
pertumbuhan jika dibandingkan dengan mikronutrien (Fahmida et al. 2007;
Bhandari et al. 2001; Rivera et al. 2003).
Energi diperlukan tubuh untuk mendukung semua mekanisme biologis dan
kimiawi dalam tubuh sehingga semua unit kehidupan dapat berjalan dengan
optimal. Energi bisa diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein yang ada
dalam bahan makanan. Pada pertumbuhan, energi diperlukan untuk menunjang
aktifitas fisik dan metobilsme yang meningkat. Energi diperlukan pada setiap
reaksi biokimia yang terjadi di dalam tubuh. Kekurangan energi dapat
menyebabkan marasmus. Kekurangan energi pada anak prasekolah di India
dihubungakan dengan kejadian morbiditas yang tinggi dan efek jangka
panjangnya dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan anak baik berat badan
maupun tinggi badan (Ramachandran & Gopalan 2009). Kadar hormon
pertumbuhan berkurang pada anak yang mengalami kekurangan energi. Bila
kekurangan energi tersebut dikoreksi pada usia muda, maka sebagian besar anak
akan mencapai pertumbuhan (tinggi dan berat badan) yang menyerupai saudara
mereka yang normal (Van de-Waal 1993).
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein. Separuhnya terdapat
didalam otot, seperlima ada di dalam tulang, sepersepuluh ada di kulit, dan
selebihnya ada di dalam jaringan lain dan cairan tubuh. Semua enzim, berbagai
hormon, pengangkut zat-zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya
adalah protein. Selain itu, asam amino yang membentuk protein berperan sebagai
prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul
yang esensial untuk kehidupan. Fungsi lain protein yang khas dan tidak bisa
digantikan adalah membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh, oleh
sebab itu protein sangat berperan dalam pertumbuhan balita (Almatsier 2004).
Sembilan asam amino yang berbeda (leusin, isoleusin, valin, triptofan, fenilalanin,
metionin, treonin, lisin, dan histidin) dipercaya sangat berperan untuk
pertumbuhan dan ketiadaan atau kekurangan salah satunya akan menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan. Selain itu, peran protein lainnya yang sangat penting
adalah sebagai pembangun DNA pada manusia. Variasi pada balita, termasuk
tinggi badan, terletak pada susunan dan urutan asam amino yang membentuk
DNA. “Petunjuk pembuatan” tiap jenis protein dalam tubuh balita terletak pada
informasi genetik yang diterima oleh balita pada tahap pembuahan. Informasi ini
terletak pada DNA yang berada pada setiap inti sel. Untuk membuat protein
tertentu, suatu sel harus mempunyai semua jenis asam amino yang dibutuhkan
pada waktu yang sama dalam jumlah yang dibutuhkan. Bila tubuh kekurangan
82
asam amino nonesensial (asam amino yang dapat disintesis dalam tubuh), maka
tubuh dapat segera membuatnya asalkan tersedia cukup asam amino lain sebagai
pemasok nitrogen yang dibutuhkan. Apabila tubuh kekurangan asam amino
esensial (asam amino yang tidak dapat disintesis dalam tubuh sehingga harus
diperoleh dari makanan), maka tubuh tidak dapat melanjutkan pembuatan protein
yang diperlukan, atau asam amino esensial yang dubutuhkan tersebut harus
diambil dari pemecahan protein lain dalam tubuh atau dipasok dari makanan
(Almatsier 2004). Oleh karena itu, ketersedian protein yang cukup dalam tubuh
sangat penting untuk menjaga proses pertumbuhan balita agar dapat berjalan
dengan optimal.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Halus Balita
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat perkembangan motorik
halus balita diuji dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan
variabel bebas karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 3). Setelah
itu dilakukan uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita
yang signifikan pengaruhnya terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita,
hasilnya ditampilkan pada Tabel 33. Berdasarkan uji regresi berganda, maka
tinggi badan balita menurut umur dan tingkat perkembangan motorik kasar balita
berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus balita
secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar
0.494. Artinya, sebesar 49.4% keragaman dari tingkat perkembangan motorik
halus balita bisa dijelaskan oleh variabel tinggi badan balita menurut umur dan
tingkat perkembangan motorik kasar balita.
Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, perkembangan
motorik kasar balita berkontribusi sebesar 39% terhadap perkembangan motorik
halus balita. Sementara itu, tinggi badan balita menurut umur berkontribusi
sebesar 10.4% terhadap perkembangan motorik halus balita setelah variabel
perkembangan motorik kasar balita dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi
berdasarkan model, terlihat bahwa setiap penambahan satu satuan z-zcore TB/U
balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik halus balita sebesar
4.5%, sedangkan setiap penambahan satu persen tingkat perkembangan motorik
kasar balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik halus balita
sebesar 0.42%.
Tabel 33 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus
Variabel
Konstanta
Perkembangan motorik kasar
TB/U balita
R2 total
F (Sig)
**signifikan pada α=1%
B
32.756
0.419
4.501
R2 parsial
0.390
0.104
Sig.
0.000**
0.000**
0.000**
0.494
34.213 (0.000)
Indikator Tinggi badan menurut umur mencerminkan status gizi masa lalu.
Nilai TB/U yang rendah mengindikasikan adanya asupan gizi yang tidak memadai
yang terakumulasi selama jangka waktu yang panjang. Sedangkan gangguan
83
perkembangan pada anak tidak serta merta terjadi namun salah satunya
merupakan hasil dari gangguan pertumbuhan dalam jangka waktu yang lama
karena pada prinsipnya perkembangan berkorelasi dengan pertumbuhan. Sejak
tahun 1970an, hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik telah
temukan dalam berbagai studi (Powell & McGregor 1985; Lasky et al. 1981;
Monckeberg 1972; Sigman et al. 1989). Hingga tahun 1999, hubungan antara
stunting dengan perkembangan anak masih belum jelas. Hasil yang bervariasi
dihubungkan dengan kemungkinan adanya mekanisme yang berbeda tergantung
dari zat gizi apa yang menjadi defisien dalam tubuh anak (Grantham-McGregor et
al. 1999) didukung oleh caregiver yang mungkin kurang memberikan rangsangan
terhadap anak apatis, sehingga dapat memperburuk perkembangan anak (Chavez
& Martinez 1982).
Anak yang mengalami stunting diketahui akan mempunyai perkembangan
motorik yang rendah sehingga tingkat aktifitasnya rendah. Hal tersebut
menyebabkan anak kehilangan rasa ingin tahu terhadap lingkungannya dan
kurang mengeksplorasi lingkungan mereka sehingga gagal dalam mencapai
perkembagan motorik dan keterampilan dibandingkan dengan anak normal pada
umumnya (Levitsky 1979). Salah satu penelitian terbaru dilakukan oleh Paiva et
al. (2012) terhadap 55 anak stunting prapubertas di Brazil. Paiva et al. meneliti
hubungan antara stunting dengan perkembangan motorik anak yang dinilai dari
kemampuan mekanik otot tricep surae dengan menggunakan alat ergometer. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan motorik pada anak stunting
rendah sebagai akibat dari terhambatnya proses kematangan otot sehingga
kemampuan mekanik otot berkurang. Pada anak, penundaan kematangan fungsi
otot tersebut dapat disebabkan oleh asupan gizi yang tidak memadai dalam jangka
panjang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rendahnya kemampuan
motorik pada anak stunting dapat disebabkan karena kematangan fungsi otot yang
terganggu ataupun karena menurunnya rasa ingin tahu dan antusiasme anak
terhadap lingkungan sehingga anak cenderung bertindak pasif. Beberapa
penelitian pada anak stunting menunjukkan bahwa kelompok anak yang tidak
mendapat suplementasi menunjukkan perilaku lebih tenang dan pendiam (Chavez
& Martinez 1979). Dalam sebuah studi, anak stunting yang berusia antara 9 dan
24 bulan memiliki perbedaan perilaku salah satunya kurang antusias dalam
menjelajahi lingkungan mereka dibandingkan dengan anak normal (MeeksGardner & Grantham-McGregor 1994). Oleh karena itu, stunting kemungkinan
dapat mempengaruhi fungsi motorik dan psikologis pada seseorang secara
bersamaan.
Selain itu, tidak hanya pertumbuhan, setiap dimensi perkembangan
(termasuk motorik kasar dan motorik halus) juga saling mempengaruhi satu sama
lain. Sebagaimana prinsip perkembangan yang dikemukakan oleh papalia et al.
(2008) bahwa semua aspek perkembangan saling mempengaruhi satu sama lain
dengan arah hubungan yang positif. Semakin baik tingkat perkembangan motorik
kasar balita maka semakin baik tingkat perkembangan motorik halus balita.
Menurut Papalia et al. (2008), sebagaimana kemampuan motorik kasar,
kemampuan motorik halus mulai berkembang sejak hari pertama kelahiran dan
keduanya berkembang secara bersamaan dalam tingkat yang bervariasi tergantung
pengalaman khusus bayi dengan lingkungannya yang dipengaruhi oleh kondisi
fisik dan lingkungan (Thelen 1995). Tetapi di beberapa bagian tubuh, kemampuan
84
motorik kasar berkembang lebih dulu sebelum motorik halusnya, sebagai contoh
bayi akan belajar terlebih dahulu untuk menggerakan keseluruhan tangannya
sebelum dia belajar menggenggam. Selain berkembang secara bersamaan, kedua
kemampuan motorik tersebut juga saling mempengaruhi sata sama lain. Ketika
bayi mulai dapat berjalan dengan baik maka eksplorasi terhadap lingkungan dan
kontrol fisik juga semakin meningkat sehingga kesempatan mereka untuk
mempraktekan kemampuan motorik halusnya semakin besar. Sebagai contoh,
kematangan otot bahu dan lengan atas merupakan pondasi yang kokoh bagi balita
untuk dapat mengembangkan kemampuan menulisnya. Dengan demikian, sejalan
dengan berkembanganya kemampuan motorik kasar, kemampuan motorik halus
balita juga meningkat.
Selain itu, Papalia et al. (2008) juga menghubungkan kemampuan motorik
halus balita yang semakin berkembang dengan kematangan otak dan
perkembangan kognitif yang semakin kompleks. Dalam penelitian ini, walaupun
uji korelasi menunjukkan bahwa perkembangan kognitif balita berhubungan
positif dan signifikan dengan perkembangan motorik halusnya, tetapi belum
ditemukan cukup bukti untuk menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan
perkembangan kognitif terhadap perkembangan motorik halus balita (Lampiran
3). Oleh sebab itu, penelitian-penelitian serupa selanjutnya dengan jumlah sampel
yang lebih besar dan lebih beragam diperlukan untuk menyempurnakan hasil
penelitian ini.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Motorik Kasar Balita
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat perkembangan motorik
kasar balita diuji menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel
bebas karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 4). Setelah itu
dilakukan uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita
yang signifikan pengaruhnya terhadap tingkat perkembangan motorik kasar balita,
hasilnya ditampilkan padaTabel 34. Berdasarkan uji regresi berganda maka usia
balita, tingkat perkembangan kognitif balita, dan tingkat perkembangan motorik
halus balita berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar
balita secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi
sebesar 0.580. Artinya, sebesar 58.0% keragaman dari tingkat perkembangan
motorik kasar balita bisa dijelaskan oleh variabel usia balita, tingkat
perkembangan kognitif balita, dan tingkat perkembangan motorik halus balita.
Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, perkembangan
motorik halus balita berkontribusi sebesar 39% terhadap perkembangan motorik
kasar balita. Usia balita berkontribusi sebesar 14.1% terhadap perkembangan
motorik kasar balita setelah variabel perkembangan motorik halus balita
dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, perkembangan kognitif balita
berkontribusi sebesar 4.9% terhadap perkembangan motorik kasar balita setelah
variabel perkembangan motorik halus balita dan usia balita dimasukkan ke dalam
model. Akan tetapi berdasarkan model, terlihat bahwa setiap penambahan satu
bulan usia balita, maka akan menambah tingkat perkembangan motorik kasar
balita sebesar 0.46%. selain itu, setiap penambahan satu persen tingkat
perkembangan kognitif balita, maka akan menambah tingkat perkembangan
85
motorik kasar balita sebesar 0.26%. Sedangkan setiap penambahan satu persen
tingkat perkembangan motorik halus balita, maka akan menambah tingkat
perkembangan motorik kasar balita sebesar 0.46%.
Tabel 34 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar
Variabel
Konstanta
Perkembangan motorik halus
Usia balita
Perkembangan kognitif
R2 total
F (Sig)
**signifikan pada α=1%
B
-12.267
0.463
0.463
0.262
R2 parsial
0.390
0.141
0.049
0.580
31.715 (0.000)
Sig.
0.161
0.000**
0.000**
0.006**
Perkembangan motorik kasar pada balita prasekolah (3-5 tahun)
berlangsung sangat pesat. Hal tersebut didukung oleh kematangan fisik yang
semakin baik sejalan dengan bertambahnya usia. Pada usia tiga tahun, balita
belum mempunyai kemampuan untuk berhenti secara mendadak, akan tetapi
sejalan dengan bertambahnya usia maka kematangan fisik semakin baik, sehingga
di usia empat tahun rata-rata balita sudah mempunyai kontrol untuk berhenti
secara mendadak (Papalia et al. 2008). Pengamatan yang dilakukan oleh Thelen
(1995) menunjukkan bahwa reflek berjalan muncul pada bayi yang baru lahir
ketika diberdirikan dengan kaki menyentuh permukaan. Perilaku ini biasanya
menghilang pada bulan ke empat dan muncul lagi pada akhir tahun pertama ketika
bayi sudah siap untuk berjalan. Menurut Thelen (1995), kematangan otak saja
tidak cukup untuk menjelaskan perkembangan motorik kasar pada balita tetapi
juga harus mempertimbangkan peran dari kematangan fisik yang semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan kondisi lingkungan. Alih-alih
sebagai penganggung jawab tunggal terhadap munculnya kemampuan motorik
kasar balita, kematangan otak hanyalah merupakan bagian dari proses tersebut.
Pengamatan terhadap kemampuan motorik anak usia 2-5 tahun
menunjukkan bahwa perubahan dalam kemampuan motorik anak merefleksikan
kematangan otak sekaligus otot (Papalia et al. 2008). Menurut Thelen (1995), bayi
yang normal mengembangkan keterampilan yang sama dengan urutan yang sama
karena mereka dibangun dengan cara yang sama dan memiliki tantangan dan
kebutuhan fisik yang sama. Karena itu, kemudian mereka akan menemukan
bahwa dalam sebagian besar situasi, berjalan merupakan cara yang paling efisien
jika dibandingkan dengan merangkak. Pergeseran gerakan dari merangkak
menjadi berjalan menandai perubahan fundamental dalam tujuan anak untuk
mencapai sesuatu, hal tersebut merefleksikan perkembangan kognitif anak yang
semakin baik.
Selain itu, perkembangan motorik halus juga turut mempengaruhi
perkembangan motorik kasar balita. Sebagai contoh, kematangan otot jari yang
baik akan memantapkan kemampuan menggenggam bola sehingga balita dapat
melempar bola dengan baik. Dalam skema tindakan yang kompleks, baik
kemampuan motorik kasar maupun halus saling bekerja sama satu sama lain.
Seiring dengan berkembangnya kedua kemampuan motorik tersebut, anak usia
prasekolah terus menggabungkan berbagai kemampuan yang telah mereka miliki
dengan yang baru mereka dapatkan, untuk menghasilkan kemampuan motorik
86
yang lebih kompleks, yang disebut dengan sistem tindakan. Sistem tindakan ini
menghasilkan cakupan gerakan yang lebih luas atau lebih tepat dan kontrol yang
lebih efektif terhadap lingkungan. Sebagai contoh, dalam hal belajar berjalan,
pertama-tama seorang bayi akan dapat mengontrol beberapa gerakan tangan dan
kaki yang berbeda sebelum kemudian menyatukan semua gerakan tersebut untuk
melakukan langkah pertama (Papalia et al. 2008).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Balita
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat perkembangan kognitif
balita diuji menggunakan analisis regresi linier berganda dengan variabel bebas
karakteristik keluaga dan karakteristik balita (Lampiran 5). Setelah itu dilakukan
uji regresi ulang terhadap variabel karakteristik keluarga dan balita yang
signifikan pengaruhnya terhadap tingkat perkembangan kognitif balita, hasilnya
ditampilkan padaTabel 35. Berdasarkan uji regresi berganda maka lama mengikuti
PAUD dan tingkat perkembangan motorik kasar balita berpengaruh signifikan
terhadap tingkat perkembangan kognitif balita secara bersama-sama. Model ini
mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.398. Artinya, sebesar 39.8%
keragaman dari tingkat perkembangan kognitif balita bisa dijelaskan oleh variabel
lama mengikuti PAUD dan tingkat perkembangan motorik kasar balita.
Setelah dimasukkan pertama ke dalam model regresi, perkembangan
motorik kasar balita berkontribusi sebesar 23.5% terhadap perkembangan kognitif
balita. Sementara itu, lama mengikuti PAUD berkontribusi sebesar 16.3%
terhadap perkembangan kognitif balita setelah variabel perkembangan motorik
kasar balita dimasukkan ke dalam model. Akan tetapi berdasarkan model, terlihat
bahwa setiap penambahan satu bulan mengikuti PAUD, maka akan menambah
tingkat perkembangan kognitif balita sebesar 1.39%. Sedangkan setiap
penambahan satu persen tingkat perkembangan motorik kasar balita akan
menambah tingkat perkembangan kognitif balita sebesar 0.44%.
Tabel 35 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
Variabel
Konstanta
Perkembangan motorik kasar
Lama mengikuti PAUD
R2 total
F (Sig)
**signifikan pada α=1%
B
25.553
0.436
1.386
R2 parsial
0.235
0.163
Sig.
0.000**
0.000**
0.001**
0.398
23.182 (0.000)
Menurut UU nomor 20 tahun 2003 pasal 1 butir 14 tentang sistem
pendidikan nasional, pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Berdasarkan undang-undang tersebut
maka diharapkan PAUD dapat menjadi pondasi yang kokoh dalam
mengembangkan berbagai keterampilan anak termasuk kemampuan kognitif anak.
Papalia et al. (2008) merangkum beberapa hasil penelitian mengenai pendidikan
87
anak usia dini yang telah dilakukan, diantaranya anak-anak dengan pengalaman
pendidikan usia dini yang panjang cenderung lebih mudah beradaptasi di taman
kanak-kanak dibandingkan mereka yang hanya sebentar atau tidak pernah sama
sekali merasakan pendidikan usia dini. Anak-anak yang memulai taman kanakkanak dengan teman yang mereka ketahui dan sukai cenderung akan lebih baik.
Anak yang sebelumnya lebih matang secara kognitif memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk berpartisipasi dan berprestasi, sedangkan anak yang
kurang berpartisipasi cenderung merasa sendiri dan ingin terus berada di rumah.
Perkembangan kognitif anak tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan.
Sebagaimana prinsip perkembangan bahwa semua aspek perkembangan, baik
kognitif maupun motorik saling mempengaruhi satu sama lain dengan arah
hubungan yang positif. Satu hipotesis menyatakan bahwa anak yang mengalami
stunting akan mempunyai perkembangan motorik yang rendah sehingga tingkat
aktifitasnya rendah (Levitsky 1979). Aktifitas fisik dan perkembangan motorik
yang rendah dihubungkan dengan perkembangan kognitif anak. Menurut Piaget,
meningkatkanya kemampuan intelektual merupakan sebuah akibat dari perilaku
gerak dan konsekuensinya. Menurutnya, gerak selalu berhubungan dengan proses
berpikir sehingga pengetahuan muncul sebagai akibat dari perilaku yang terjadi
melalui gerak tubuh. Hal tersebut sejalan dengan teori gerak Kephart dan Delaco.
Kephart menyatakan bahwa kurangnya kemampuan belajar pada anak adalah hasil
dari kurangnya integrasi sensori yang merupakan langkah dalam persepsi proses
gerak, sedangkan Delaco meyakini bahwa unsur-unsur dalam fungsi kognitif yang
optimal merupakan pengembangan dari dominasi kontrol otak.
Pada penelitian ini, walaupun uji korelasi menunjukkan bahwa TB/U
balita berhubungan positif dan signifikan dengan perkembangan kognitifnya
(Tabel 31), tapi belum ditemukan cukup bukti untuk menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan dari TB/U balita terhadap perkembangan kognitifnya
(Lampiran 5). Dalam studi di Meksiko, hubungan yang signifikan antara stunting
dan fungsi kognitif muncul pada anak-anak pedesaan yang sangat miskin tapi
tidak muncul pada anak-anak kelas menengah, lalu disimpulkan bahwa stunting
pada anak-anak kelas menengah terutama disebabkan oleh kecenderungan
genetik, dengan demikian tidak dikaitkan dengan penurunan fungsi neurosensori,
sedangkan stunting pada anak-anak sangat miskin di pedesaan terutama
disebabkan oleh gizi buruk sehingga dikaitkan dengan defisit fungsional terutama
dalam hal integrasi neurosensori (Cravioto et al. 1966). Sejalan dengan hal
tersebut, pada penelitian ini, faktor genetik lebih besar kontribusinya terhadap
tinggi badan balita menurut umur jika dibandingkan dengan faktor gizi (Tabel 32),
sehingga diduga bahwa stunting pada balita dalam penelitian ini lebih disebabkan
oleh faktor keturunan, bukan karena faktor gizi, sehingga tidak mempengaruhi
perkembangan kognitifnya secara signifikan.
88
6
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proporsi antara balita laki-laki dan perempuan yang relatif sama, dimana
sebagian besar balita tidak mengikuti PAUD. Hampir seluruh balita tidak
mempunyai masalah selama kelahiran atau kehamilan dan lahir normal dalam hal
berat badan, panjang badan, dan prematuritas. Penyakit yang umum dialami oleh
hampir semua balita adalah influenza. Ukuran keluarga balita lebih banyak berada
pada kategori kecil, termasuk keluarga miskin, dan tergolong perokok aktif. Ratarata pendidikan terakhir ayah adalah SMA dan bekerja sebagai buruh sedangkan
ibu adalah SD atau SMA dan tidak bekerja. Sebagian besar ibu mempunyai tinggi
badan dan IMT tergolong normal. Lebih dari sebagian ibu mempunyai tingkat
pengetahuan gizi dan kesehatan yang tergolong sedang sedangkan hampir seluruh
ibu mempunyai tingkat pengetahuan pengasuhan yang tergolong tinggi. Lebih dari
sebagian ibu mempunyai praktek kesehatan yang tergolong tinggi sedangkan
praktek gizi dan pengasuhan ibu tergolong sedang.
Lebih dari separuh balita terbiasa makan tiga kali sehari dan tidak selalu
menghabiskan makanannya. Sebagian besar balita tidak mendapat ASI eksklusif
selama enam bulan dan tidak terbiasa minum susu secara teratur. Gangguan
makan yang biasa dialami balita adalah kebiasaan jajan di waktu makan utama,
terutama jajanan chiki-chikian. Sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan
minuman yang paling banyak disukai balita berturut-turut adalah jeruk, sop, telur
ayam, dan air putih. Hampir seluruh ibu menyiapkan, menemani, dan menyuapi
balita makan sambil bermain di luar rumah. Sebagian besar balita mempunyai
TB/U normal, tetapi tingkat perkembangan kognitif dan motorik halusnya rendah,
sedangkan tingkat perkembangan motorik kasar tergolong sedang.
Terdapat hubungan positif yang signifikan antara: 1) tinggi badan ibu,
tingkat kecukupan gizi (energi, protein, besi, vitamin A, kalsium, fosfor), dan
panjang lahir balita dengan TB/U balita; 2) TB/U balita, lama mengikuti PAUD,
dan usia balita dengan tingkat perkembangan motorik (halus dan kasar) balita; 3)
TB/U balita, lama mengikuti PAUD, usia balita, dan lingkungan pengasuhan
dengan tingkat perkembangan kognitif balita; 4) lama pendidikan ibu dengan
tingkat pengetahuan gizi ibu; 5) lama pendidikan ibu dan pendapatan/kap/bulan
keluarga dengan praktek pengasuhan ibu. Terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara: 1) besar keluarga dengan tingkat pengetahuan gizi dan praktek
pengasuhan ibu. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara praktek gizi ibu
dengan tingkat kecukupan gizi balita.
Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap TB/U balita adalah
tinggi badan ibu dan tingkat kecukupan gizi (energi dan protein) balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik halus
balita adalah TB/U balita dan tingkat perkembangan motorik kasar balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan motorik kasar
balita adalah usia balita, perkembangan kognitif dan motorik halus balita. Faktorfaktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan kognitif balita
adalah lama mengikuti PAUD dan perkembangan motorik kasar balita.
89
Saran
Intervensi pendidikan gizi, kesehatan, dan pengasuhan diperlukan bagi ibu
untuk mendukung terjadinya perilaku yang baik. Meningkatan pertumbuhan dan
perkembangan balita bisa melalui pemantauan asupan gizi, baik gizi makro
(energi dan protein) maupun gizi mikro (besi, vitamin A, kalsium dan fosfor).
Selain itu peran lingkungan pengasuhan sangat penting bagi perkembangan balita.
Pendidikan anak usia dini perlu diperkenalkan pada balita usia prasekolah agar
mendukung perkembangan kognitif dan motorik balita serta siap memasuki
jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Bagi penelitian serupa lebih lanjut
diharapkan melibatkan responden dengan jumlah yang lebih besar dan
karakteristik yang lebih beragam.
90
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen I, Fishbein M. 1980. Understanding Attitude and Predicting Social
Behavior. New York: Prectice Hall.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
Anggorodi R. 2009. Dukun bayi dalam persalinan oleh masyarakat Indonesia.
Makara Kesehatan 13(1): 9-14. www.journal.ui.ac.id [2 Okt 2013].
Anwar F. 2002. Model pengasuhan anak bawah dua tahun dalam meningkatkan
status gizi dan perkembangan psikososial [disertasi]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Amigo H, Buston P, Radrigan ME. 1997. Is there a relationship between parents‟s
short height and their children‟s? social interclass epidemiologic study. Rev
Med Chil 125(8). www.ncbi.nlm.nih.gov [13 April 2013].
Ariawan I. 1997. Besar Sampel Pada Penelitian Kesehatan dan Gizi Masyarakat.
Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.
Astari LD. 2006. Faktor-aktor yang berpengaruh terhadap kejadia stunting balita
usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Astari LD, Nasoetion A, Dwiriani CM. 2006. Hubungan konsumsi ASI dan MPASI serta kejadian stunting anak usia 6-12 bulan di Kabupaten Bogor.
Media Gizi dan Keluarga 30(1):15-23.
Atmarita. 2005. Nutrition problem in Indonesia. An Integrated International
Seminar and Workshop on Lifestyle-Related Diseases. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2008. Pendewasaan Usia
Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi bagi Remaja Indonesia. Jakarta:
BKKBN.
Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Barat Dalam Angka 2011. http://jabar.bps.go.id
[23 April 2013].
________. 2010. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Kementrian Kesehatan. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia,
Laporan Pendahuluan. Jakarta: BPS.
________. 2012. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, Kesehatan
Reproduksi Remaja, Laporan Pendahuluan. Jakarta: BPS.
91
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2007. Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia. Jakarta: BKKBN.
Beck J. 1998. Meningkatkan Kecerdasaan Anak. Jakarta. Pustaka Delapratasa.
Bentley ME, Caulfield LE, Ram M, Santizo MC, Hurtado E, Rivera JA, Ruel MT,
Brown KH. 1997. Zinc supplementation affects the activity patterns of rural
Guatemalan infants. J Nutr 127:1333–8. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 Juni
2013].
Bhandari N, Bahl R, Taneja S. 2001. Effect of micronutrient supplementation on
linear growth of children. British Journal of Nutrition 85(2):131-137. doi:
10.1049/BJN2000305.
Birch LL. 1999. Development of food preferences. Annual Review of Nutrition
19:41-62. www.ncbi.nlm.nih.gov [4 Okt 2013].
Birch LL, Fisher JO. 1998. Development of eating behaviors among children and
adolescents. Pediatrics 101: 539-549. www.pediatrics.aappublications.org
[20 Okt 2013].
BKKBN. 2003. Kamus Istilah Kependudukan Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera. Jakarta: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Black MM, Hurley KM. 2007. Helping children develop healthy eating habits.
Encyclopedia
on
Early
Childhood
Developmen.
www.childencyclopedia.com [2 Okt 2013].
Block SA. 2007. Maternal nutrition knowledge versus schooling as determinants
of child micronutrient status. Oxford Economic Papers 59: 330-353. doi:
10.1093/oep/gpm001
Bradley RH, Corwyn RF, McAdoo HP, Coll CG. 2001. The home environment of
children in the united states: part 1: variation by age, ethnicity, and poverty
status. Child Development 72(6): 1844-1867. www.ncbi.nlm.nih.gov [4 Okt
2013].
Broeck KV. 2007. Child height and maternal health care knowledge in
Mozambique. Denmark: University of Copenhagen. www.econ.ku.dk [1
April 2013].
Brown JE, Isaacs JS, Krinke UB, Lechtenberg E, Murtaugh MA, Sharbaugh C,
Splett PL, Stang J, Wooldridge NH. 2011. Nutrition Through the Life Cycle,
Fourth Edition. Canada: Wadsworth Cengage Learning.
Brown B. 1999. Optimizing expression of the common human genome for child
development. Current Dirrections in Psychological Science 8(2): 37-41.
doi: 10.1111/1467-8721.00009. http://cdp.sagepub.com [10 Okt 2013].
92
Brush G, Harrison GA, Zumrawi FY. 1993. A path analysis of some determinants
of infant growth in Khartoum. Annals of human biology 20: 381-387.
www.ncbi.nlm.nih.gov [4 Okt 2013].
Caldwel BM, Bradley R. 1984. Home Observation for Measurement of the
Environment (HOME). University of Arcansas: Little Rock.
Chamidah AN. 2009. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan
Anak. Jurnal pendidikan khusus 5(2).
Chang SM, Walker SP, Grantham-McGregor S, Powell CA. 2002. Early
childhood stunting and later behaviour and school achievement. J Child
Psychol Psyc 43:775-783. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 Juni 2013].
Channoonmuang S, Klunklin K. 2006. Snack consumption in normal and
undernourished preschool children in Northeastern Thailand. J Med Assoc
Thai 89(5): 706-713. www.ncbi.nlm.nih.gov [10 Okt 2013].
Chavez A, Martinez C. 1979. Consequences of insufficient nutrition on child
character and behavior. In: Levitsky DA, ed. Malnutrition, environment, and
behavior: new perspectives. Ithaca, NY, USA: Cornell University Press.
________. 1982. Growing up in a developing community. Guatemala City:
Institute of Nutrition of Central America and Panama.
Christiaensen L, Alderman H. 2004. Child malnutrition in ethiopia: can maternal
knowledge augment the role of income?. Economic Development and
Cultural Change 52(2): 287-312.
Christin L, Seher. 2011. Parent-Child
www.todaysdietitian.com [6 Okt 2013].
Interaction
During
Feeding.
Cravioto J, DeLicardie E, Birch H. 1966. Nutrition, growth, and neuro-integrative
development: an experimental and ecologic study. Pediatrics 38:319–72.
Dariyo A. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung :
PT. Refika Adtama
Deng HW, Xu FH, Liu YZ, Shen H, Deng H, Huang QY. et al. 2002. A wholegenome linkage scan suggests several genomic regions potentially
containing QTLs underlying the variation of stature. The Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism 87(11): 5151-5159. doi:10.1210/jc.2002020474 www.jcem.endojournals.org [5 Okt 2013].
Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang
Dewasa. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Acuan Menu Pembelajaran pada
Pendidikan Anak Usia Dini (menu pembelajaran generik). Jakarta:
Depdiknas.
93
_________. 2006. Rencana Strategis Dinas Pendidikan Nasional 2005-2010,
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Dewi LM, Hidayanti L. 2012. Kontribusi kondisi ekonomi keluarga terhadap
status gizi (BB/TB skor z) pada anak usia 3-5 tahun.
www.journal.unsil.ac.id [2 Okt 2013].
Djauhari A, Friyanto S. 1993. Ciri-ciri rumah tangga defisit energi di pedesaan
Jawa Tengah. Forum Agro Ekonomi 2(2):60-67.
Eastwood M. 2003. Principle of Himan Nutrition Second Edition. Oxford:
Blackwell Publishing Company.
Ekpo UF, Omotayo AM, Dipeolu MA. 2008. Prevalence of malnutrition among
settled pastoral Fulani children in Southwest Nigeria. Biomed central 1:7.
doi:10.1186/1756-0500-1-7.
El-Taguri A, Betilmal I, Mahmud SM, Ahmed AM, Goulet O, Galan P, Hercberg
S. 2007. Risk factors for stunting among under-fives in Libya. Public
Health Nutrition 12(8):1141-1149. doi: 10.1017/S1368980008003716.
Fahmida U, Rumawas JSP, Utomo B, Patmonodewo S, Schultink W. 2007. Zinciron, but not zinc-alone supplementation, increased linear growth of stunted
infants with low haemoglobin. Asia Pac J Clin Nutr 16 (2):301-309.
Faiza R, Elnovriza D, Syafianti. 2007. Faktor risiko kejadian gizi buruk pada anak
(12-59 bulan) di wilayah kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang
Timur Kota Padang tahun 2007. Media Gizi dan Keluarga 31:80-86.
Fernald LC, Grantham-McGregor SM. 1997. Effects of early childhood undernutrition on stress response. Trans R Soc Trop Med Hyg 91:500.
Fitri. 2012. Berat lahir sebagai faktor dominan terjadinya stunting pada balita (1259 bulan) di Sumatera (analisis data riskesdas 2010) [tesis]. Depok: Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford
University Press.
Gugsa A, Makau WK, Muroki NM. 1999. Childfeeding practices as predictors of
nutritional status of children in a slum area in Addis Ababa, Ethiopia.
Ethiopian Journal Health Development 13(3):229-238. http://ejhd.uib.no [1
April 2013].
Grantham-McGregor SM, Fernald LC, Sethuraman K. 1999. Effect of health and
nutrition on cognitive and behavioural development in children in the first
three years of life. Food and Nutrition Bulletin 2(1):53-75.
Grantham-McGregor SM, Walker SP, Chang SM, Powell CA. 1997. Effects of
early childhood supplementation with and without stimulation on later
development in stunted Jamaican children. Am J Clin Nutr 66:247–53.
94
Green LW. 1980. Health Education Planning: a diagnostic approach (1st edition).
California: Mayfield Publishing Company.
Hajian-Tilaki KO, Sajjadi P, Razavi A. 2011. Prevalence of overweight and
obesity and associated risk factors in urband primary-school children in
Badol, Islamic Republic of Iran. Eastern Mediterranean Health Journal
2:109-114. www.emro.who.int [13 April 2013].
Handayani OWK, 2011. Nilai Anak dan Jajanan dalam Konteks Sosiokultural:
Studi tentang Status Gizi Balita pada Lingkungan Rentan Gizi di Desa
Pecuk Kecamatan Mijen Kabupaten Demak Jawa Tengah. Semarang:
Universitas Negeri Semarang Press.
Hanum NL. 2012. Pola asuh makan, perkembangan bahasa dan kognitif pada anak
balita stunted dan normal di kelurahan sumur batu bantar gebang bekasi
[skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Hart B, Risley T. 1996. Individual differences in early intellektual experience og
typical american children: beyond SES, race, and IQ. The American
Psychologucal Association.
Hendrik. 2003. Sekilas Tentang Knowledge Management. Jakarta: Artikel Populer
Ilmu Komputer.
Hurlock EB. 2000. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga.
Imdad A, Yakoob MW, Bhutta ZA. 2011. Impact of maternal edication about
complementary feeding and provision of complementary foods on child
growth in developing countries. Biomed Central 11(3):S25. doi:
10.1186/1471-2458-11-S3-S25.
Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intake for Energy, Carbohydrate,
Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids. A Report of
the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper Reference Levels of
Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary Reference Intakes, and the
Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference
Intakes. Washington DC: National Academies Press.
Jenkins CN, Dai PX, Ngoc DH, Kinh HV, Hoang TT, Bales S, Stewart S, McPhee
S. 1997. Tobacco use in Vietnam: prevalence, predictors, and the role of the
transnational tobacco corporations. Journal of the American Medical
Association 227:1726–1731. www.who.int [13 April 2013].
Jus‟at I. Jahari AB. Achmadi RL. Soekirman. 2000. Penyimpanagn positif
masalah KEP di Jakarta Utara dan di Pedesaan Kabupaten Bogor Jawa
Barat, Prosiding WNPG VII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kar BR, Rao SL, Chandramouli BA. 2008. Cognitive development in children
with chronic protein energy malnutrition. Biomed Central 4:31. doi:
10.1186/1744-9081-4-31. www.biomedcentral.com [1 April 2013].
95
Kawakita A, Sato K, Makino H, Ikegami H, Takayama S, Toyama Y, Umezawa
A. 2008. Nicotine acts on growth plate chondrocytes to delay skeletal
growth through the α7 neuronal nicotinic acetylcholine receptor. PLoS ONE
3(12): e3945. doi:10.1371/journal.pone.0003945
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.
_________. 2007. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Kemenkes
RI.
________. 2010. Panduan Pelayanan Kesehatan Bayi Baru Lahir Berbasis
Perlindungan Anak. Jakarta: Kemenkes RI.
________. 2010. Pedomam Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta: Kemenkes RI.
________. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Khaliq R, Rahman RU, Rizvi F, Afzal M. 2008. Knowledge, attitude, and
practices among mothers of children under five years regarding vitamin A
intake. Ann. Pak. Inst. Med. Sci 4(2): 121-124. www.apims.net [5 Okt
2013].
Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Program Studi
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Khomsan A, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Oktarina. 2013. Growth,
Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children
in Poor Farmer and Non-Farmer Households. Bogor: IPB Press.
Kshatriya GK, Ghosh A. 2008. Undernutrition among the tribal children in India:
tribes of Coastal, Himalayan and Desert ecology. Anthropol. Anz 66: 355363. www.ncbi.nlm.nih.gov [11 April 2013].
Kumar D, Goel NK, Mittal PC, Misra P. 2006. Influence of infant-feeding
practices on nutritional status of under-five children. Indian Journal of
Pediatrics 73(5):417-421. www.ijppediatricsindia.org [1 April 2013]
Kusharisupeni. 2002. Peran status kelahiran terhadap stunting pada bayi: sebuah
studi prospektif. Jurnal Kedokteran Trisakti 23:73-80. www.univmed.org [9
Juni 2013].
Lai CQ. 2006. How much of human height is genetic and how much is due to
nutrition?. www.scientificamerican.com [20 Okt 2013].
Lasky RE, Klein RE, Yarbrough C, Engle PL, Lechtig A, Martorell R. 1981. The
relationship between physical growth and infant behavioral development in
rural Guatemala. ChildDev 52:219-26. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 Mei 2013].
Latifah E, Hastuti D, Latifah M. 2010. Pengaruh pemberian ASI dan stimulasi
psikososial terhadap perkembangan sosial-emosi anak balita pada keluarga
ibu bekerja dan tidak bekerja. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen 3:35-45.
96
Levitsky DA. 1979. Malnutrition and hunger to learn. Di dalam: Levitsky DA,
editor. Malnutrition, environment and behavior. Ithaca, NY, USA (US):
Cornell University Press.
LIPI. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta (ID): Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Losso EM, Travares MC, da Silva J, Urban C. 2009. Severe early childhood
caries:
an
integral
approach.
J
Pediatr
85(4):
295-300.
doi:10.2223/JPED.1908.
Lozoff B, Wolf AW, Urrutia JJ, Viteri FE. 1985. Abnormal behavior and low
developmental test scores in iron-deficient anemic infants. J Dev Behav
Pediatr 6:69–75. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 Juni 2013].
Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI-SEHAT” bagi ibu serta
dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi
pangan, dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
McDonald CM, Manji KP, Kupka R, Bellinger DC, Spiegelman D, Kisenge R,
Msamanga G, Fawzi WW, Duggan CP. 2012. Stunting and wasting are
associated with poorer psychomotor and mental development in HIVexposed tanzanian infants. The journal of nutrition 143(2):204-214. doi:
10.3945/jn.112.168682 www.jn.nutrition.org [21 Mar 2013].
Manary MJ, Solomons NW. 2009. Public Health Nutrition. Gibney MJ, Margetts
BM, Kearney JM, Arab, editor. Oxford (GB): Blackwell Publishing.
Marlina PWN. 2012. Studi keterkaitan antara status gizi dan pola asuh lingkungan
dengan perkembangan kognitif anak usia prasekolah pada keluarga miskin
kecamatan jalancagak kabupaten subang [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Martianto D, Ariani. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola konsumsi
Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Widyakarya Nasional Pangan
dan Gizi VIII: Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan
Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI.
Meeks-Gardner JM, Grantham-McGregor SM. 1994. Physical activity,
undernutrition and child development. Proc Nutr Soc 53:241–8.
www.ncbi.nlm.nih.gov [1 April 2013].
Miquelote AF, Santos DC, Caçola PM, Montebelo MI, Gabbard C. 2012. Effect
of the home environment on motor and cognitive behavior of infants. Infant
Behavior and Development 35:329– 334. doi: 10.1016/j.infbeh.2012.02.002.
www.ncbi.nlm.nih.gov [1 April 2013].
Miller, Rodgers. 2009. Mother‟s Education and Children „s Nutritional Status:
New Evidence from Cambodia. Asian Development Review 26(1):131-165.
www.policy.rutgers.edu [13 April 2013].
97
Mishra V, Retherford RD. 2007. Does biofuel smoke contribute to anaemia and
stunting in early childhood?. International Journal of Epidemiology 36:117–
129. www.ije.oxfordjournals.org [1 April 2013].
Mönckeberg F. 1972. Malnutrition and mental capacity. Di dalam: Nutrition, the
nervous system and behaviour. Scientific Publication No. 251. Washington
(US): Pan American Health Organization.
Nasikhah R. 2012. Artikel Penelitian: Faktor risiko kejadian stunting pada balita
usia 24-36 bulan di Kecamatan Semarang Timur. Semarang: Program Studi
Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
National Health and medical research council. 2012. eat for health, infant feeding
guidelines, information for health workers. Canberra: NHMRC Publication.
www.nhmrc.gov.au [12 Okt 2013].
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nzala SH, Siziya S, Babaniyi O, Songolo P, Muula AS, Rudatsikira E. 2011.
Demographic, cultural and environmental factors associated with frequency
and severity of malnutrition among Zambian children less than five years of
age. Journal of Public Health and Epidemiology 3(8): 362-370.
www.academicjournals.org [1 April 2013].
Ormrod JE. 2003. Educational Psychology Developing Learners (4th ed). USA
(US): Merill Prentice Hall.
Paiva Md, Souza TO, Canon F, Pérot C, Xavier LC, Ferraz KM, Osório MM,
Manhães-de-Castro R, Lambertz D. 2012. Stunting delays maturation of
triceps surae mechanical properties and motor performance in prepubertal
children. Eur J Appl Physiol 112:4053–4061. doi: 10.1007/s00421-0122387-8. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 April 2013].
Papalia DE, Olds SW, Fieldman RD. 2008. Perkembangan Manusia. Brian M,
penerjemah. Jakarta (ID): Salemba Humanika. Terjemahan dari: Human
Development.
_________. 1979. A Child’s World Infancy Through Adolesence. (2nd ed). USA
(US): McGraw-Hill.
Patmonodewo S. 2001. Intervensi Dini suatu Usaha Alternatif Guna
Meningkatkan Kualitas Bangsa. Bunga Rampai Psikologi Perkembangan
Pribadi dari Bayi sampai Lanjut Usia. Jakarta: UI Press.
Perangin-angin A. 2006. Hubungan pola asuh dan status gizi anak 0-24 bulan
pada keluarga miskin di Kelurahan Gundalingi Kecamatan Brastagi
Kabupaten Karo tahun 2006 [skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
98
Piernas C, Popkin BM. 2010. Trends in snacking among U.S. children. Health
Affairs
29(3):
398-404.
doi:10.1377/hlthaff.2009.0666
www.ncbi.nlm.nih.gov [11 Okt 2013].
Plomin R, DeFries JC, McClearn GE, Rutter M. 1997. Behavior genetics 3rd
edition. New York (US): Freeman.
Pollit E. 2000. A development view of the undernourished child: background and
purpose of the study in Pangalengan, Indonesia. European Journal of
Clinical Nutrition 54:S2-10. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 April 2013].
Powell CA, Grantham McGregor S. 1985. The ecology of nutritional status and
development in young children in Kingston, Jamaica. Am J Clin Nutr
41:1322–31. www.ncbi.nlm.nih.gov [9 April 2013].
Pusat Kurikulum Pendidikan Nasional. 2004. Instrumen Penelitian Kompetensi
(Perkembangan) Anak Usia 3.5-6.4 tahun. Jakarta (ID): Pusat Kurikulum,
Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Putriana MI. 2010. Konsumsi sayur dan buah pada anak prasekolah terkait dengan
pengetahuan gizi dan sikap ibu [artikel penelitian]. Semarang: Program
Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Rahayu LS. 2011. Associated of height of parents with changes of stunting status
from 6-12 months to 3-4 years [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Rahayu L, Megawangi R, Martianto D. 2003. Pola pengasuhan, status gizi, dan
kemampuan kognitif anak usia sekolah di lingkungan pesantren dan
keluarga serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Media Gizi dan
Keluarga 27(2):25-33.
Rahmawati D. 2006. Status gizi dan perkembangan anak usia dini di Taman
Pendidikan Karakter Sutera Alam, Desa Sukamantri. Bogor [Skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Ramachandran P, Gopalan HS. 2009. Undernutrition and risk of infections in
preschool children. Indian J Med Res 130 (5): 579-583.
www.icmr.nic.in/publications/ijmr [20 Okt 2013].
Rayhan MI, Khan MSH. 2006. Factors causing malnutrition among under five
children in Bangladesh. Pakistan journal nutrition 5(6):558-562. doi:
10.3923/pjn.2006.558.562 www.bvsde.paho [13 April 2013].
Retnaningsih CH, Putra BS, Sumardi. 2011. Penilaian status gizi berdasarkan
kecukupan energi (kalori) dan protein pada balita (usia 3-5 tahun) di Desa
Gogik Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Seri Kajian Ilmiah
14(2). www.unika.ac.id [11 Okt 2013].
Reyes H, Cuevas RP, Sandoval A, Castillo R, Santos JI, Doubova SP, Gutierrez
G. 2004. The family as a determinant of stunting in children living in
99
conditions of extreme poverty: a case-control study. Biomed Central 4:57.
doi: 10.1186/1471-2458-4-57. www.biomedcentral.com [11April 2013].
Ricci JA, Becker JA. 1996. Risk factors for wasting and stunting among children
in Metro Cebu, Philippines. Am J Clin Nutr 63: 966-77.
www.ajcn.nutrition.org [11 April 2013].
Rivera JA, Hotz C, Cossio TG, Neufeld L, Guerra AG. 2003. The effect of
micronutrient deficiencies on child growth: a review of results from
community-based supplementation trial. The Journal of Nutrition 133:
4010–4020. www.jn.nutrition.org [13 April 2013].
Riyadi H, Retnaningsih, Martianto D, Kustiyah L. 1990. Pendugaan faktor-faktor
yang mempengaruhi usia penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan
Kecamatan Ciomas. Penelitian dibiayai dari Dip Suplemen. Bogor: Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Riyadi H, Khomsan A, Sukandar D, Anwar F, Mudjajanto ES. 2006. Studi tentang
status gizi pada rumah tangga miskin dan tidak miskin. Gizi Indonesia
29(1):33-46. www.repository.ipb.ac.id [6 April 2004].
Riyadi H, Martianto D, Hastuti D, Damayanthi E, Murtilaksono K. 2011. Faktorfaktor yang mempengaruhi status gizi anak balita di Kabupaten Timor
Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Journal of Nutrition and
Food 6(1):66–73. www.journal.ipb.ac.id [9 Juni 2013].
Rogers E. 1962. Diffusion of Innovations. New York (US): Free Press.
Sa‟diyyah NY. 1998. Pengaruh karakteristik keluarga dan pola pengasuhan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (studi kasus pada etnis jawa
dan Minang) [tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Santos IS, Mutijasevich A, Domingues MR, Barros AJD, Victora CG, Barros FC.
2009. Late preterm birth is a risk factor for growth faltering in early
childhood: a cohort study. Biomed Central 9:71. doi:10.1186/1471-2431-971. www.biomedcentral.com [11 April 2013].
Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak Edisi Sebelas. Rachmawati M,
Kuswanti A, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Child
Development.
________. 2009. Life Span development (12th Ed). New York: McGraw-Hill
International
Satoto, 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak. Pengamatan Anak Umur 018 bulan di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah
[disertasi]. Semarang:Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.
Sazawal S, Bentley M, Black RE, Dhingra P, George S, Bhan MK. 1996. Effect
of zinc supplementation on observed activity in low socioeconomic Indian
100
preschool children. Pediatrics 98:1132–7. www.pediatrics..org [1 Juni
2013].
Scarr S. 1996. How people make their own environments: Implications for parents
and policy makers. Psychology, Public Policy, and Law 2(2):204-228.
http://psycnet.apa.org [1 Juni 2013].
Schady N. 2011. Parents‟ Education, Mothers‟ Vocabulary, and Cognitive
Development in Early Childhood: Longitudinal Evidence From Ecuador.
American Journal of Public Health 101 (12): 2299-2307. doi:
10.2105/AJPH.2011.300253. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 Juni 2013].
Schoenbaum M, Tulchinsky TH, Abed Y. 1995. Gender differences in nutritional
status and feeding patterns among infants in the Gaza Strip. Am J Public
Health. 85(7):965–969. www.pubmedcentral.nih.gov [11 April 2013].
Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian rakyat.
Semba RD, Kalm LM, de Pee S, Ricks MO, Sari M, Bloem MW. 2007. Paternal
smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor
urban families in Indonesia. Public Health Nutrition 10(1):7–15.
www.ncbi.nlm.nih.gov [13 April 2013].
Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW. 2008. Effect parental
formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a
cross-sectional
study.
Lancet
371:322-328.
doi:10.1016/S01406736(08)60169-5. www.thelancet.com [13 April 2013].
Sigman M, Neumann C, Baksh M, Bwibo N, McDonald MA. 1989. Relationship
between nutrition and development in Kenyan toddlers. J Pediatr 115:357–
64. www.ncbi.nlm.nih.gov [1 Juni 2013].
Silventoinen K, Sammalisto S, Perola M, Boomsma DI, Cornes BK, Davis C,
Dunkel L, Lange MD, Harris RJ, Hjelmborg JVB, et al. 2003. Heritability
of adult body height: a comparative study of twin cohorts in eight countries.
Twin Research 6(5):399-408. www.ncbi.nlm.nih.gov [8 Okt 2013].
Skinner JD, Carruth BR, Bounds W, Ziegler P, Reidy K. 2002. Do food-related
experiences in the first 2 years of life predict dietary variety in school-aged
children? Journal of Nutrition Education and Behavior 34(6):310-315.
www.jneb.org [10 Okt 2013].
Skinner JD, Carruth BR, Moran III JD, Houk K, Schmidhammer J, Reed A,
Coletta F, Cotter R & Ott D. 1998. Toddlers‟ food preferences: concordance
with family members‟ preferences. J. Nutr. Educ. 30(1):17-22
www.sciencedirect.com [22 Okt 2013].
Soedjatmiko. 2008. Pentingnya Nutrisi dan Stimulasi Dini Pada Bayi dan Balita
Untuk Mengembangkan Kecerdasan Multipel dan Kreativitas Anak. Buletin
PADU Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini7(3): 13-25.
101
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk keluarga dan Masyarakat.
Jakarta (ID): Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen pendidikan
Nasional.
Sternberg RJ, Grigorenko EL. 2001. Environmental Effects on Cognitive Abilities.
New York (US): Cambridge University Press.
Sudjarwo S. 2010. Evaluasi Perkembangan PAUD di 50 Kabupaten Tertinggal.
Buletin PAUD Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini 9(2): 3-12.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Sukandar D, Suhanda NS, Amalia L, Khairunisa. 2008. Analisis diskriminan
untuk menentukan indikator garis kemiskinan. Jurnal Gizi dan Pangan 3(2):
94-100.
Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Buku
Kedokteran EGC.
Syarief H. Komala LR. Sardjuani N. 2009. Studi Kebijakan Pengembangan Anak
Usia Dini yang Holistik dan Terintegrasi. Jakarta (ID): Bappenas.
Teshome B, Makau WK, Getahun Z, Taye G. 2009. Magnitude and determinants
of stunting in children underfive years of age in food surplus region of
Ethiopia: The case of West Gojam Zone. Ethiopian Journal Health
Development 23(2):98-106. http://ejhd.uib.no [1 April 2013].
Thelen E. 1995. Motor development: a new syntesis. American Psychologist
50(2): 79-95. doi: 10.1037/0003-066X.50.2.79. www.apa.org [17 Okt
2013].
Torun B, Viteri FE. 1981. Energy requirements of pre-school children and the
effects of varying energy intakes on protein metabolism. Di dalam: Torun B,
Young VR, Rand WM, editor. Protein-energy requirements of developing
countries: evaluation of new data. Tokyo (JP): United Nations University.
Umeta M, West CE, Verhoef H, Haidar J, Hautvast JGAJ. 2003. Factors
associated with stunting in infants aged 5–11 Months in the Dodota-Sire
District, Rural Ethiopia. Journal of Nutrition 133: 1064–1069.
UNICEF, WHO, World Bank. 2012. Level and Trend in Child Malnutrition.
Geneva: WHO
Van de Waal HAD. 1993. Environment factors influencing growth and pubertal
development. Environmental Health Perspectives Supplements 101(2): 3944. www.ncbi.nlm.nih.gov [22 Okt 2013].
Vadiakas G. 2008. Case definition, aetiology and risk assessment of early
childhood caries (ECC): a revisited review. Eur Arch Paediatr Dent 9(3):
114-125. Doi: 10.1007/BF03262622 http://link.springer.com [15 Okt 2013].
102
Vella V, Tomkins A, Borghesi A, Migliori GB, Oryem VY. 1994. Determinants
of stuntingand recovery from stunting in northwest Uganda. International
journal of epidemiology 23: 782-786. doi:10.1093/ije/23.4.782
www.ije.oxfordjournals.org [15 Okt 2013].
Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, Sachdev HS.
2008. Maternal and child undernutrition study group: maternal and child
undernutrition: consequences for adult health and human capital. Lancet
371:340-357. doi: 10.1016/S0140-6736(07)61692-4 www.thelancet.com [11
April 2013].
Visscher PM, Medland SE, Ferreira MAR, Morley KL, Zhu G, Cornes BK,
Montgomerry GW, Martin NG. 2006. Assumption free estimation of
heritability from genome-wide identity-by-descent sharing between full
siblings. Plos Genetics 2(3). DOI: 10.1371/journal.pgen.0020041
www.plosgenetics.org [22 Okt 2013].
Viteri FE, Torun B. 1981. Nutrition, physical activity and growth. Di dalam:
Ritzen M, Aperia A, Hall K, Larson A, Zetterberg A, Zetterstrom R, editor.
The biology of normal human growth. New York (US): Raven Press.
Walker SP, Chang SM, Powell CA, McGregor SM. 2005. Effects of early
childhood psychosocial stimulation and nutritional supplementation on
cognition and education in growth-retarded Jamaican children: prospective
cohort study. www.thelancet.com [21 Mar 2013].
Wati EK, Rahardjo S. 2011. Peran ibu dalam pembentukan pola konsumsi makan
pada balita di Puskesmas II Sumbang Kabupaten Banyumas.
www.journal.unsil.ac.id [2 Okt 2013].
Whitney E, Rolfes SR. 2011. Understanding Nutrition, Twelfth Edition. Canada :
Wadsworth Cengage Learning.
Wiltshire S, Frayling TM, Hattersley AT, Hitman GA, Walker M, Levy JC, et al.
2002. Evidence for linkage of stature to chromosome 3p26 in a large U.K.
Family data set ascertained for type 2 diabetes. American Journal of Human
Genetics 70:543–546. www.ncbi.nlm.nih.gov [6 Okt 2013].
WKNPG. 2004. Angka Kecukupan Gizi dan Label Gizi. Jakarta (ID): WKNPG.
World Bank. 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development, A strategy
for Large-Scale Action. Washington (US): World Bank.
__________. 2002. Nutrient Adequacy of Exclusive Breastfeeding for The Term
Infant During the First Six Months of Life. Geneva: WHO.
Yimer G. 2000. Malnutrition among children in southern Ethiopia: Levels and
risk factors. Ethiopian Journal Health Development 14 (3):283-292.
http://ejhd.uib.no [1 April 2013]
103
Yuliana. 2007. Pengaruh penyuluhan gizi dan stimulasi psikososial terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak usia prasekolah [disertasi]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Yuliana, Martianto D, Briawan D, Sukandar D. 2004. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan mental, psikomotor dan prilaku bayi usia 811 bulan di kota Bogor. Jurnal Media Gizi dan Keluarga 28(2): 38-45.
Yusuf S. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung (ID): Rosda
Karya.
Zeitlin M. 2000. Gizi Balita di Negara-negara Berkembang, Peran Pola Asuh
Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif untuk Program Gizi, dalam
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII,: 125 – 143.
Zottarelli LK, Sunil TS, Rajaram S. 2007. Influence of parental and
socioeconomis factors on stunting in children under 5 years in egypt.
Eastern
Mediterranean
Health
Journal
13(6):1330-1342.
www.emro.who.int [29 Mar 2013].
105
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian (Desa Cibanteng)
106
Lampiran 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi TB/U
Variabel
Konstanta
Tinggi badan ibu
Pendapatan keluarga/kap/bulan
Usia mulai diberikan MP-ASI
Panjang badan lahir balita
Status kesehatan balita sejak lahir
Prematuritas
Tingkat kecukupan energi
Tingkat kecukupan protein
Status merokok keluarga
R2
F (Sig)
B
-12.661
0.034
-2.275E-10
0.023
0.039
-0.049
0.006
0.030
0.024
0.025
Sig.
0.001
0.045
0.999
0.616
0.203
0.617
0.983
0.044
0.027
0.826
0.794
11.977 (0.000)
Lampiran 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik halus
Variabel
Konstanta
Usia balita
Perkembangan kognitif
Perkembangan motorik kasar
Status kesehatan balita sejak lahir
TB/U balita
Lama pendidikan ibu
HOME
Lama mengikuti PAUD
R2
F (Sig)
B
20.366
0.055
0.127
0.336
1.301
4.186
0.576
-0.036
0.135
Sig.
0.080
0.779
0.161
0.001
0.328
0.001
0.190
0.878
0.691
0.539
9.339 (0.000)
Lampiran 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik kasar
Variabel
Konstanta
Usia balita
Perkembangan kognitif
Status kesehatan balita sejak lahir
TB/U balita
Lama pendidikan ibu
HOME
Lama mengikuti PAUD
Perkembangan motorik halus
R2
F (Sig)
B
-22.503
0.879
0.268
0.128
-0.213
-0.418
0.334
-0.387
0.482
0.596
11.788 (0.000)
Sig.
0.108
0.000
0.012
0.936
0.896
0.423
0.233
0.341
0.001
107
Lampiran 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif
Variabel
Konstanta
Status kesehatan balita sejak lahir
TB/U balita
HOME
Usia balita
Lama mengikuti PAUD
Lama pendidikan ibu
Perkembangan motorik kasar
Perkembangan motorik halus
R2
F (Sig)
B
20.564
-0.297
0.497
0.450
-0.279
1.319
-0.312
0.353
0.240
0.457
6.734 (0.000)
Lampiran 6 Dokumentasi kegiatan pengukuran perkembangan anak
Sig.
0.202
0.872
0.790
0.161
0.303
0.004
0.608
0.012
0.161
108
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Tasikmalaya pada tanggal 16 Mei 1989. Penulis
merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Rahmat Solihin Sm.Hk
(Alm) dan Dra. Titin Kusumawati. Institusi pendidikan pertama yang dimasuki
penulis adalah Taman Kanak-kanak Mathla‟ul Anwar Malingping selama satu
tahun yaitu dari tahun 1994 sampai tahun 1995. Enam tahun kemudian, yaitu pada
tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Cilangkahan 2 dan
melanjutkan ke sekolah menengah pertama di SLTPN 1 Malingping sampai tahun
2004. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti pendidikan non formal bahasa
inggris selama satu tahun di yayasan Jamiyyatul Mubtadi pada tahun 2001-2002.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Malingping sampai tamat
pada tahun 2007. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Gizi
Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) angkatan
44 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007.
Selama masa kuliah, penulis pernah mengikuti beberapa organisasi yaitu
Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Banten, Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM) Gentra Kaheman divisi Event Organizer, dan anggota klub keprofesian
Himagizi untuk Kulinari. Penulis juga pernah bergabung dengan kepanitiaan
seperti Pamitran (Gentra Kaheman) pada tahun 2008, Open House 45 tahun 2008,
dan Masa Perkenalan Departemen (MPD) 45 tahun 2009. Selain itu, penulis juga
sering mengikuti berbagai seminar seperti seminar keprofesian, seminar Fruit and
Vegetable Juice for Health, seminar nasional Al-Quran dan Sains, dan
sebagainya. Pada bulan Juli-Agustus tahun 2010 penulis mengikuti Kuliah Kerja
Profesi di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, dan pada
April 2011 penulis melaksanakan Internship Dietetik (ID) selama tiga minggu di
Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Bogor. Setelah lulus dari Departemen Gizi
Masyarakat IPB pada tahun 2011, penulis langsung mengambil program magister
Ilmu Gizi Masyarakat di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada
tahun ajaran 2011/2012. Saat ini, penulis terdaftar sebagai anggota pengurus
ISAGI (Ikatan Sarjana Gizi Indonesia) untuk bidang kewirausahaan.
Download