Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 PERJANJIAN JUAL BELI FIKTIF SEBAGAI TRIK PENCAIRAN KREDIT DENGAN SISTEM JAMINAN FIDUSIA Oleh : Siti Zulaekha,SH. Abstrak : Hukum positif kita berlaku azaz Fictie Hukum yang menegaskan bahwa seseorang dianggap tahu tentang hukum. Disamping itu, juga berlaku azas Lex Posteriori Derogat Lex Priori bahwa hukum yang terbaru mengsampingkan hukum yang terdahulu (lebih lama). Dalam sistem jaminan fidusia, pokok terpenting adalah perlindungan hukum bagi kreditur atas jaminan bahwa benda objek jamian benar-benar berada ditangan pemohon kredit (nasabah). Perlindungan dan jaminan hukum ini adalah untuk menyeimbangkan kepentingan leasing (yang telah berprestasi terlebih dahulu dengan mengucurkan kreditnya) dengan nasabah yang harus membayar kewajibannya sampai lunas. Kata Kunci : Jual beli, Jaminan fiducia dan leasing A. Latar Belakang Permasalahan Hadirnya lembaga jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam UU no. 42 tahun 1999 dalam sistem hukum jaminan di Indonesia, mendapat respon positif dari kalangan pelaku bisnis khususnya mereka yang bergerak dalam bidang lembaga pendanaan (leasing). Sebab, lembaga jaminan fidusia ini dinilai sebagai penyempurna dari lembaga jaminan yang telah berlaku sebelumnya seperti hypotheek. Dengan keluasan ketentuan fidusia yakni benda objek jaminan tetap berada di tangah kreditur (pemohon kredit), bukti hak atas pihak dengan akta jaminan fidusia yang memuat titel eksetuoriall, dianggap mewakili semua kepentingan para pihak. Bagi piohak debitur, dia tetap bisa menjalankan usaha dengan objek jaminan tersebut, dengan harapan hasil usaha debitur (pemohon kredit) mampu mengangsur hutang-hutangnya kepadal kreditur dengan lancar. Sementara bagi kreditur, berdasarka undang-undang, bisa langsung melaksanakan eksekusi atas jaminan dengan mengajuka n permohonan penetapan ekseksusi kepada ketua pengadilan PN setempat. Tidak hanya itu, semua pihak sebenarnya telah terikat pada UU tersebut, telah menjamin para pihak khususnya kreditur 47 Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 terbatas dari kecurangankecurangan yang mungkin terjadi. Sebab, kemungkinan untuk melakukan kecurangan untuk menerbitkan sutu pejanjian perdata yang kemungkinan kerugian dikemudianhari bagi para pihak, dalam undang-undang telah dihadangkan dengan ketentuan pasal 35 dan pasal 36 UU yang bersangutan. Pasal 35, “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun da n paling lama 5 (lima) dan dend paling sedikit Rp. 10.000.000,o (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,(seratus juta rupiah).” Pasal 36, “Pemberian fidusia yang mengalihka, menggadaiakan, atau menyewakan benda menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan 48 tertulis terlebih dari penerimaan fidusia, dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,0 (lima puluh juta rupiah).” Meskipun demikian, sesempurna apapun aturan hukum itu ternyata masih meninggalkan celah yang bisa disiasati oleh para pihak (khususnya debitur) untuk mengelabuhi pihak lawannya (kreditur). Kenyataan ini terbukti dengan maraknya perjanjian jual beli fiktif sebagai upaya unutk mendapatkan bukti hak yang selanjutnya digunakan sebagai pengajuan persyaratan jaminan kepasa suatu lembaga pembiayaan. Padahal, jual beli yang terjadi adalah fiktif belaka dan hanya digunakan sebagai trik untuk mengelabuhi leasing agar kredit segera cair. Kasus tersebut terjadi di lembaga pembiayaan (leasing) Pro Car International Finance di Magelang yang menerapkan sistem jaminan fidusia untuk sarana kredit mobil . selama dua tahun beroprasi di Magelang dan wiayah Kedu, Pro Car Internsional telah mendapati kasus perjanjian jual beli fiktif yang Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 dilakukan oleh nasabah sebanyak 6 kali. Untuk yang keena, kalinya yang telah terjadi setahun lalu, pihak Pro Car terpaksa memperkarakan ke pihak yang berwajib (polwil Kedu). Dari sekian kalinga dikibuli oleh para nasabah yang telah terikat dengan perjanjian sebagaimana tertuang dalam akta jaminan fidusia, pihal leasing Pro Car International dirugikan tidak kurang dari 1 milyar rupiah. Modu kejahatan semua perkara sama yakni dibuatnya perjanjian jual beli fiktif oleh nasabah. Keberanian Pro Car untuk membongkar maraknya kasus perjanjian jual beli ekektif ini dimasudkan untuk menggertak pemohon kredit agar tidak agi melakukan kecurangan atas pertasi yang t elah dikeluarkan oleh pemberi kredit (leasing). Adapun kasus posisi kasus yang terjadi dileasing Pro Car International Finance adalah mulanya pada bulan Mei tahun 2003, Muh. Roni yang bergerak daam bidang developer, berniat membeli tiga buah mobil menibus jurusan Wonosobo – Magelang ke showroom mobil milik Ferdinand Marpaung di Jalan Ahmad Yani, kot Magelang. Namun, karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar harga tiga unit minibus, Roni kebingungan dan berkonsultasi kepada Marpaung. Setelah berbicara lama Marpaung menyarankan kepada Muh. Roni agara membayar dengan sistem kredit. Kemudian Marpaung menghubungi Pro Car untuk menanyakan sistem kredit apa yang paling tepat mengingat Muh. Roni dan Marpaung samasama bergerak dalam bidang bisnis, Marpaung bergerak dalam usaha showroom mobil sedangkan Muh. Roni menjalankan bisnsis developer perumahan. Selaku calon pembeli 3 unit minibus ke showroom dan juga selaku calon nasabah Pro Car, lembaga pembiayaan ini akhirnya melakukan survey di rumah Muh. Roni. Lembaga pembiayaa ini akhirnya melakukan survei di rumh Muh.Roni. waktu itu Muh. Roni dan Marpaung mengantarkan surveyor dari Pro Car ke kandang tiga unit minibus di wilayah Kecamatan Kadangan, Kabupaten Temanggung. Kedatangan surveyor disamping untuk mengecek nomor rangka dan nomor mesin ketiga unit 49 Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 minibus tersebut. Tidak hanya itu, surveyor juga melakukan surveyor juga melakuak surfe terhadap usahan. Muh. Roni. Untuk meyakinkan pihak leasing, Muh Roni dan Ferdinan Marpaung membuat surat peryantaan bersama secara tertulis yang pasa intinya beris dan satu unit bus dn satu unit mobil kijang adalah benar-benar milik Marpaung dan akan dibeli secara kredit oleh Muh, Roni Roni. Setelah dianggap layak sebagai nasaba serta yakin bahwa mobil-mobil itu milik Ferdinan Marpaung, pihak Pro car menyetujui pengucuan kredit sebesar 230 juta dengan jaminan tiga unit minibus serta satu unit Toyota Kijang. Akhirnya Muh. Roni menyerahkan BPKB 3 unit minibus serta BPKB 1 unit mobil Toyota Kijang. Sebelumnya, pihak pRo Car dengan sepengetahuan dan kesepakatan Muh. Roni sudah membuat akta jaminan sepengetahun dan kesepakatan Muh. Roni sudah membuat akta jaminan fidusia yang mengikat kedua belah pihak (Muh. Roni dan Pro Car). Dari bulan pertama hingga bulan keempat, Muh. Roni masih 50 lancar membayar angsran. Namun pada bulan ke-5, Roni berhenti membayar angsuran. Setela dua bulan secara berturut-turut tidak mampu mengangsur kredit, Pro Car melakukan penyitaan terhadap suatu unt bus yang sedang mengkal diterminl Bus Madureso Temanggung. Setelah bus disita, beberapa hari kemudian muncul penyitaan ulang dari Polrees Temanggung . penyitan oleh Polres temanggung terkait dengan laporan dari Slmeter Sayekti yang marasa ditipu oleh Muh. Roni. Semetara oleh Polres Temanggung, bekaitan dengan perkembangan penyidikan atas laporan Slamet Sayekti. Pihak Pro Car International Finance disangka sebagai pelaku penadah sebagaimana diatur dalam pasal 480 KUHP. Sedangkan tindak pidana penadahan ini didasarkan oleh fakta bahwa BPKB tiga unit milik bus yang sebanarnya milik Slamet Sayekti dikuasai oleh Pro Car tanpa sepengetahuan korban (Slamet Sayekti). Atas penguasaan barang sitaan (menurut versi Polres Temanggung) Pro Car juga dituduh telah melakukan tindak Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 pidana yang diatur dalam pasal 216 KUHP yakti mengahalangihalangi proses penyidikan. Atas tekanan ini, minibus yang telah disita pihak leasing dierahkan ke peiliknya yakni Slaet Sayekti untuk tetap beroperasi sebagai angkutan umum. Pro Car sendiri, karena tela merugikan baik secara moral mapupun materiil, mengabil tindakan hukum dengan cara melaporkan Muh. Roni ke Polwil, Kedu. Oleh Pro Car, Muh. Roni anggap telah memberikan keterangan menyesatkan yang dituangkan surat kesepaatan bersama dengan Marpaung sehingga timbul suatu keadaan seakan-akan Muh. Roni benarbenar membeli tiga unit bus dari Marpaung. Disamping itu, Muh. Roni juga telah memindahkan objek jaminan berupa satu unit mobil kijang kepada pihak lain yang saat ini berdomisili di Semarang Muh. Roni sendiri resmi menjadi tersangka kasus penipuan ditahan di Polres Semarang. Berdasarkan pengembangan penyidikan di Polwil Kedu, uang yang telah dicairkan oleh Pro Car, oleh kedua tersangka ternyata digunakan untuk membeli tanah di Kabupaten Semarang. Tanah ini kemudian didirikan bangunan perumahan. Adapun BPKB tiga unit minibus yang sebenarnya milik Slamet Sayekti yang berada di tangan Muh. Roni dulunya, Roni berjanji akan membeli minibs milik Slamet tetapi ternyata Roni tidak membelinya dan BPKBnya ternyata telah diserahkan ke Pro Car untuk jaminan Fidusia kredit senilai 230 juta. Karena terbukti melakuka persekongkolan dengan Muh. Roni, Ferdinand Marpaung memberikan tawaran untuk merecovery utang-utang berikut bunganya kepasa Pro Car. Pihak Pro Car sendiri tidak menerima tawaran Marpaung untuk merecovery semua utang-utang nasabah. Pro Car menghendaki agar proses hukum yang terus, pihak penyidik sendiri hingga kini masih terus meproses kasus tersebut. B. Batasan Masalah 1. Pihak Leasing terjegal tindak pidana atas pernyataan bersama nasabah dan pihak shiowroom yang menyesatkan 51 Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 /jual beli fiktif objek jaminan fidusia 2. Bagaimana leasing benar-bear mendapatka jaminan bahwa objek jaminan fidusia adalah tetap berada dalam penguasaan nasabah ? C. Kerangka Pemikiran 1. Pengertian Fidusia Sesuai dengan bunyi ketentan umum pasal 1 ayat (1) UU no. 42 tahun 1999, fidusia adalah pengalihan kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. 2. Beberapa Istilah Fidusia Zekerheids Eigendom (Hak Milik Sebagai Jaminan) Bezitstoos zekerhcidsrecht (Jaminan tanpa menguasai) Verruind Pand Begrip (Gadai yang diperluas) Eigendom Overdracht tot Zekerheid (Penyerahan hak milik secara jaminan) Bezitloos Pand (Gadai tanpa pengusaan) Een Vorkapt Pand Recht (Gadai berselubung) 52 Uitbaouw dari Pand (Gadai yang diperluas) 3. Hukum Jaminan yang Direkayasa Jaminan Fidusia merupakan rekayasa atas jaminan-jaminan yang telah ada sebelumnya yang mencakup jenis benda objek jeminan dan yang paling utama adalah menyangkut penguasaan benda objek jaminan. Adapun rekayasa hukum pada jaminan fidusia adalah penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik bendanya. (jaminan Fidusia : Munir Fuady, SH.,LLM, hal : 5). Hal ini disebut sebagai Constitutum Posessorium yang dilakukan secara bertahab yakni : fase perjanjian obligaotoir yakni perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan fidusia antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia : fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomt) yakni penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur yang dilakukan secara constitutum posessorium yakni penyerahan hak mili tanpa menyerahkan fisik Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 benda dan fase perjanjian pinjam pakai dalam hal ini benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada kreditur dipinjampakaikan kepada debitur sehingga praktis benda setelah diikat dengan jamnan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitur. 4. Perjanjian Bersifat Assessoir Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjajian yang bersifat assessoir (perjanjian ikutan) dari perjanjian induknya yakni perjanjian utang piutang karena merupakan perjanjian, maka ketentuannya mengikuti ketentuan-ketentuan umum perjanian sebagaimana diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata yakni bahwa perjanjian menjadi undangundang bagi para pihak yang membuatnya. Karena berlaku sebagai undang-undang, maka kedua belah pihak terikat dalam ketentuan itu. Para pihak haru soiap menerima konsekuensi hukum atas perjanjian yang telah dibuatnya. Sifat assessoir dari perjanjian fidusia membawa konsekuesi bahwa perjanjian jaminan fidusia demi hukum hapus jika perjanjian induknya juga hapus. 5. Azas Lex Specialis Derogat Lex Generalis Karena UU no. 42 tahun 1999 merupakan undang-undang bersifat khusus yakni hanya mengatur ketentuan-ketentuan jaminan fidusia, maka kepadanya berlaku azas hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum (Lex Specialis Derograt Lex Generalis) sepajang tidak bertentangan dengan ketentua yang umum, sepert ketentuan dengan proses eksekusi, dalam undang-undang tersebut disediakan banyak pilihan antara lain secara parate eksekusi baik eksekusi dibawah tangan maupun eksekusi secara lelang. Fiat Eksekusi (eksekusi dengan memohon penetapa ketua PN) serta eksekusi dengan gugatan biasa. Eksekusi dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan masih mungkin 53 Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata. 6. Eksekusi Objek Jaminan Eksekusi objek jaminan fidusia dilakukan kalau debitur melakukan wanprestasi atas kewajibannya kepada kreditur. Pada prinsipya, eksekusi ini menganut azas proses yang cepat dengan proses sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum. D. Pembahasan Penerapabn tindak pidana penadah (pasal 480 KUHP) serta tindak pidana menghalang-halangi polisi dalam melakukan penyidikan terhadap Leasing Pro Car International Finance yang telah menguasai tiga BPKB minibus sebagai jaminan fidusia tanpa sepengetahuan pemilik yang seberannya (Slamet Sayekti), merupakan bukti bahwa para penegak hukum (penyidik, penuntut, dan pemutus) belum engetahui apalagi memahami adanya UU no. 42 tahun 1999 tentang fidusia. Kalau para penegak hukum saja belum memahami produk hukum baru 54 itu, apalagi masyarakat yang sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan hukum itu. Padal, para penegak hukum adalah pihak yang mestinya palig berkepentingan karena mereka berkecimpung dalam proses penegakan hukum. Mereka setidaknya menjadi parameter pertama yang seharusnya mengetahui infoemasi lahirnya peraturan perundang-undangan. Padahal dalam hukum positif kita berlaku azaz Fictie Hukum yang menegaskan bahwa seseorang dianggap tahun tentang hukum. Disamping itu, berkaitan dengan hal ini juga berlaku azas Lex Posteriori Derogat Lex Priori bahwa hukum yang terbaru mengsampingkan hukum yang terdahulu (lebih lama). Fakta dan fenomena ini menjadi penting karena sangat mungkin terjadi bahwa penyidik, penuntut dan pemutus akan melakukan kesalahan fatal dalam penerapan hukumnya. Padahal secara khusus dalam UU no. 42 tahun 1999 sudah mengatur ketentuan pidana yaitu pada pasal yang diatur 35 dan pasal 36 yang merupakan Lex Spesialis. Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 Sementara pada posisi lain, para penegak huku tetap bersikeras pada penerapan hukum lex Generalisnya yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap suatu peristiwa yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tentang fidusia. Tindakan yang diambil Polres Temanggung dalam menyelidik kasus penipuan sebagaimana yang dilaporkan oleh Slamet Sayekti yang mengakibatkan ditetapkannya Pro Car International Finance sebagi tersangka penada, merupakan bukti bahwa penyidik sangat ceroboh dalam menangani kasus ini. Penyidik tidak memandang permasalahan yang terjadi secara menyeluruh Pro Car International didasarkan oleh alas hukum perdata yang sah yakni dengan egacu pada pernyataan bersama antara Ferdinand Marpaung dengan Muh, Roni bahwa tiga unit minibus d an satu unit kijang adalah benar-benar milik Fedinand selaku Showroom mobil serta perjanjian jual beli yang mengintat para pihak (penjual dan pembeli). Pernyataan bersama dan perjanjian jual beli inilah yang menjadi dasar keyakinan Pro Car bahwa baik marpaung maupun Muh, Roni sama-sama beritikad baik untuk melakukan kerjasama dalam bentuk utang-putang dengan jaminan fidusia. Telebih, jaminan fidusia lebih didasarkan pada “Penyerahan Hak Milik Secara Kepercayaan”. Secara perdata menganut perjanjian antara kedua tersangka itu adalah sah. Karena hukum perdata menganut paham kebenaran materiil, maka leasing dilingdungi oleh hukum. Artinya pihak leasing Pro Car Intenational dengan dengan iktikad baik menilai bahwa Muh. Roni layak untuk menjadi masabah. Karenanya, persekongkolan dan niatan jahat yang ada dibalik itu adalah diluar sepengetahuan pihak kreditur. Mencuatnya kasus pengelabuhan kreditur oleh debitur dengan cara membuat perjanjian jual beli fiktif sehingga seakan-akan telah terjadi perpindahan hak baik dari pemilik semula maupun pihak ketiga yang telah melakukan perbutan curang (bedrog) kepada nasabah sebenarnya merupakan suatu fakta 55 Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 bahwa penyerahan bukti oleh pemohon kredit kepada pemberi kredit yang dianggap sederhana ternyata menjadi inti permasalahan leasing yang menerapkan jaminan dengan secara fidusia. Dalam sistem jaminan fidusia, pokok terpeting adalah perlindungan hukum bagi kreditur atas jaminan bahwa benda objek jemian benar-benar berada ditangan pemohon kredit (nasabah). Perlindungan dan jaminan hukum ini adalah untuk menyeimbangkan keentingan leasing (yang telah berprestasi terlebih dahulu dengan mengucurkan kreditnya) dengan nasabah yang harus membayar kewajibannya sampai lunas. Hal ini (penguasaan objek benda bergerak) juga menjadi sumber permasalahan lian dalam kasus tersebut. Meski dalam undnag-undang telah diatur secara tegas sebagaimana tercantum dalam pasal 20 , “Jaminan Fidusia tetap mengikuti banda yang menjadi objek jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan 56 fidusia.” Akan tetapi dalam kenyataannya, debitur masih sangat leluasa, berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, melakukan pembenahan jaminan lagi (digadaikan atau disewakan) terhadap objek jaminan atau dapat juga melakuka perbuatan hukuk lain berkanaan dengan pemindahan objek jaminan tanpa sepengetahuan leasing. Jaminan penguasaan objek jaminan pada debitur ini sebenarnya berkaitan dengan proses eksekusi oleh kreditur kalau debitur dikemudian hari melakukan cidera janji. Ini juga sekaligus merupakan bukti bahwa kreditur selaku pihak yang berprestasi terlebih dahulu benarbenar mendapatkan perlindungan hukum. Dalam kasus yang menimpa Pro Car Intenational finance, surveyor memiliki peranan yang sangat penting karena ditangan surveyor inilah hal-hal yangberkaitan dengan nasabah dan kemungkinankemungkinan persekongkolan yang dilakukan nasabah dengan pihak lain (showroom) surveyor juga harus secara hukum Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 bagaimana seharusnya proses pemindahan hak itu terjadi. Kasus yang terjadi di Pro Car Intertanioal Finance, surveyor tidak menyaksikan sendiri/sebenarnya penyerahan (evering) fisik tiga unit minibus serta satu unt Toyota Kijang, dari pihak showroom (penjual mobil), kepada Muh. Roni (calon pembeli) sebagaimana yang adiatud dalam psal 612 KUHPer. Surveyor hanya tahu bahawa tiga unit minibus milik Muh. Rono seperti yang tercantun dalam kepakaan bersama tertulis yag ekaligus telha dinyakata terjadi perintiwa jual beli antara Ferdinand Marpaung dengan Muh. Roni. E. Kesimpulan Hadirnya jaminan fidusia sebagaimana diatur UU no.42 tahun 1999 dengan keleluasaan debitur dalam menguasai objek jaminan benda bergerak, ternyata menjadi bumeranng tersendiri bagi kreditur (lembaga pendanaan). Sebab dengan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, khususnya dibidang hukum utang piutang, pengoperan benda yang bertatus sebagai jaminan fidusia sangat mudah terjadi bahkan dioanggap sebagai hal yang lumrah. Atas dasar fakta ini, surveyor selaku perwkilan dari leasing harus memahami baik tentang hukumnya (sebagai contoh hukum jual beli) maupun hukum yang hidup dalam masyarakat. Data ini bisa diperoleh saat surve terhadap nasabah berlangsung. Ketentuan tentang hukum jual beli dan hal-hal yang menyertainya seperti bagaimana seharusnya proses penyerahan benda bergerak itu terjadi menurut hukum merupakan satu langkah untuk membentengi dipindahkannya objek jaminan fidusia kepada pihak lain sebelu eksekusi berlangsung kalau debitur melakukan wanprestasi. Secara normatif, keleluasaan pemohon kredit (debitur, nasabah) unutk menguasai benda bergerak objek jaminan fidusai sebenrnya telah dibentengi setidaknya oleh tiga pasal 20, pasal 35 dan pasal 36. Meskipun demikian, kebiasaan-kebisaan yang hidup dalam masyarakat yang sebenarnya juga termasuk dalam 57 Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 koridor hukum positif tidak boleh diabaikan. Disinilah peran surveyor menjadi penting. F. Daftar Rujukan Munir Fuady, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003. R. Soesilo, Undang-Undang Hukum Pindana (KUHP), Politea, Bogor, 1996 R. Subekti, Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999 Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Fidusia 58