Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008 47 PERJANJIAN

advertisement
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
PERJANJIAN JUAL BELI FIKTIF SEBAGAI TRIK PENCAIRAN
KREDIT DENGAN SISTEM JAMINAN FIDUSIA
Oleh : Siti Zulaekha,SH.
Abstrak :
Hukum positif kita berlaku azaz Fictie Hukum yang menegaskan bahwa
seseorang dianggap tahu tentang hukum. Disamping itu, juga berlaku azas Lex
Posteriori Derogat Lex Priori bahwa hukum yang terbaru mengsampingkan
hukum yang terdahulu (lebih lama). Dalam sistem jaminan fidusia, pokok
terpenting adalah perlindungan hukum bagi kreditur atas jaminan bahwa benda
objek jamian benar-benar berada ditangan pemohon kredit (nasabah).
Perlindungan dan jaminan hukum ini adalah untuk menyeimbangkan kepentingan
leasing (yang telah berprestasi terlebih dahulu dengan mengucurkan kreditnya)
dengan nasabah yang harus membayar kewajibannya sampai lunas.
Kata Kunci : Jual beli, Jaminan fiducia dan leasing
A. Latar Belakang Permasalahan
Hadirnya
lembaga
jaminan fidusia sebagaimana
diatur dalam UU no. 42 tahun
1999 dalam sistem hukum
jaminan di Indonesia, mendapat
respon positif dari kalangan
pelaku bisnis khususnya mereka
yang bergerak dalam bidang
lembaga pendanaan (leasing).
Sebab, lembaga jaminan fidusia
ini dinilai sebagai penyempurna
dari lembaga jaminan yang telah
berlaku
sebelumnya
seperti
hypotheek. Dengan keluasan
ketentuan fidusia yakni benda
objek jaminan tetap berada di
tangah kreditur (pemohon kredit),
bukti hak atas pihak dengan akta
jaminan fidusia yang memuat titel
eksetuoriall, dianggap mewakili
semua kepentingan para pihak.
Bagi piohak debitur, dia tetap
bisa menjalankan usaha dengan
objek jaminan tersebut, dengan
harapan hasil usaha debitur
(pemohon
kredit)
mampu
mengangsur
hutang-hutangnya
kepadal kreditur dengan lancar.
Sementara
bagi
kreditur,
berdasarka undang-undang, bisa
langsung melaksanakan eksekusi
atas jaminan dengan mengajuka n
permohonan
penetapan
ekseksusi
kepada
ketua
pengadilan PN setempat.
Tidak hanya itu, semua
pihak sebenarnya telah terikat
pada UU tersebut, telah menjamin
para pihak khususnya kreditur
47
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
terbatas
dari
kecurangankecurangan yang mungkin terjadi.
Sebab,
kemungkinan
untuk
melakukan kecurangan untuk
menerbitkan
sutu
pejanjian
perdata
yang
kemungkinan
kerugian dikemudianhari bagi
para pihak, dalam undang-undang
telah
dihadangkan
dengan
ketentuan pasal 35 dan pasal 36
UU yang bersangutan.
Pasal 35, “Setiap orang
yang
dengan
sengaja
memalsukan,
mengubah,
menghilangkan atau dengan cara
apapun memberikan keterangan
secara menyesatkan, yang jika hal
tersebut diketahui oleh salah satu
pihak tidak melahirkan perjanjian
jaminan fidusia, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun da n paling lama 5
(lima) dan dend paling sedikit Rp.
10.000.000,o (sepuluh juta rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.
100.000.000,(seratus
juta
rupiah).”
Pasal 36, “Pemberian
fidusia
yang
mengalihka,
menggadaiakan,
atau
menyewakan benda menjadi objek
jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud dalam pasal 23 ayat (2)
yang dilakukan tanpa persetujuan
48
tertulis terlebih dari penerimaan
fidusia, dipidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp. 50.000.000,0
(lima puluh juta rupiah).”
Meskipun
demikian,
sesempurna apapun aturan hukum
itu ternyata masih meninggalkan
celah yang bisa disiasati oleh para
pihak (khususnya debitur) untuk
mengelabuhi pihak lawannya
(kreditur).
Kenyataan ini terbukti
dengan maraknya perjanjian jual
beli fiktif sebagai upaya unutk
mendapatkan bukti hak yang
selanjutnya digunakan sebagai
pengajuan persyaratan jaminan
kepasa
suatu
lembaga
pembiayaan. Padahal, jual beli
yang terjadi adalah fiktif belaka
dan hanya digunakan sebagai trik
untuk mengelabuhi leasing agar
kredit segera cair.
Kasus tersebut terjadi di
lembaga pembiayaan (leasing) Pro
Car International Finance di
Magelang
yang
menerapkan
sistem jaminan fidusia untuk
sarana kredit mobil . selama dua
tahun beroprasi di Magelang dan
wiayah
Kedu,
Pro
Car
Internsional telah mendapati kasus
perjanjian jual beli fiktif yang
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
dilakukan oleh nasabah sebanyak
6 kali. Untuk yang keena, kalinya
yang telah terjadi setahun lalu,
pihak
Pro
Car
terpaksa
memperkarakan ke pihak yang
berwajib (polwil Kedu). Dari
sekian kalinga dikibuli oleh para
nasabah yang telah terikat dengan
perjanjian sebagaimana tertuang
dalam akta jaminan fidusia, pihal
leasing Pro Car International
dirugikan tidak kurang dari 1
milyar rupiah. Modu kejahatan
semua perkara sama yakni
dibuatnya perjanjian jual beli
fiktif oleh nasabah.
Keberanian Pro Car untuk
membongkar maraknya kasus
perjanjian jual beli ekektif ini
dimasudkan untuk menggertak
pemohon kredit agar tidak agi
melakukan
kecurangan
atas
pertasi yang t elah dikeluarkan
oleh pemberi kredit (leasing).
Adapun kasus posisi kasus
yang terjadi dileasing Pro Car
International
Finance adalah
mulanya pada bulan Mei tahun
2003, Muh. Roni yang bergerak
daam bidang developer, berniat
membeli tiga buah mobil menibus
jurusan Wonosobo – Magelang ke
showroom mobil milik Ferdinand
Marpaung di Jalan Ahmad Yani,
kot Magelang. Namun, karena
tidak memiliki cukup uang untuk
membayar harga tiga unit
minibus, Roni kebingungan dan
berkonsultasi kepada Marpaung.
Setelah berbicara lama Marpaung
menyarankan kepada Muh. Roni
agara membayar dengan sistem
kredit.
Kemudian
Marpaung
menghubungi Pro Car untuk
menanyakan sistem kredit apa
yang paling tepat mengingat
Muh. Roni dan Marpaung samasama bergerak dalam bidang
bisnis, Marpaung bergerak dalam
usaha showroom mobil sedangkan
Muh. Roni menjalankan bisnsis
developer perumahan. Selaku
calon pembeli 3 unit minibus ke
showroom dan juga selaku calon
nasabah Pro Car, lembaga
pembiayaan
ini
akhirnya
melakukan survey di rumah Muh.
Roni. Lembaga pembiayaa ini
akhirnya melakukan survei di
rumh Muh.Roni. waktu itu Muh.
Roni
dan
Marpaung
mengantarkan surveyor dari Pro
Car ke kandang tiga unit minibus
di wilayah Kecamatan Kadangan,
Kabupaten
Temanggung.
Kedatangan surveyor disamping
untuk mengecek nomor rangka
dan nomor mesin ketiga unit
49
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
minibus tersebut. Tidak hanya itu,
surveyor juga melakukan surveyor
juga melakuak surfe terhadap
usahan. Muh. Roni. Untuk
meyakinkan pihak leasing, Muh
Roni dan Ferdinan Marpaung
membuat
surat
peryantaan
bersama secara tertulis yang pasa
intinya beris dan satu unit bus dn
satu unit mobil kijang adalah
benar-benar milik Marpaung dan
akan dibeli secara kredit oleh
Muh, Roni Roni.
Setelah dianggap layak
sebagai nasaba serta yakin bahwa
mobil-mobil itu milik Ferdinan
Marpaung,
pihak
Pro
car
menyetujui pengucuan kredit
sebesar 230 juta dengan jaminan
tiga unit minibus serta satu unit
Toyota Kijang. Akhirnya Muh.
Roni menyerahkan BPKB 3 unit
minibus serta BPKB 1 unit mobil
Toyota Kijang. Sebelumnya,
pihak
pRo Car dengan
sepengetahuan dan kesepakatan
Muh. Roni sudah membuat akta
jaminan
sepengetahun
dan
kesepakatan Muh. Roni sudah
membuat akta jaminan fidusia
yang mengikat kedua belah pihak
(Muh. Roni dan Pro Car).
Dari bulan pertama hingga
bulan keempat, Muh. Roni masih
50
lancar membayar angsran. Namun
pada bulan ke-5, Roni berhenti
membayar angsuran. Setela dua
bulan secara berturut-turut tidak
mampu mengangsur kredit, Pro
Car
melakukan
penyitaan
terhadap suatu unt bus yang
sedang mengkal diterminl Bus
Madureso Temanggung.
Setelah
bus
disita,
beberapa hari kemudian muncul
penyitaan ulang dari Polrees
Temanggung . penyitan oleh
Polres temanggung terkait dengan
laporan dari Slmeter Sayekti yang
marasa ditipu oleh Muh. Roni.
Semetara
oleh
Polres
Temanggung, bekaitan dengan
perkembangan penyidikan atas
laporan Slamet Sayekti. Pihak Pro
Car
International
Finance
disangka sebagai pelaku penadah
sebagaimana diatur dalam pasal
480 KUHP. Sedangkan tindak
pidana penadahan ini didasarkan
oleh fakta bahwa BPKB tiga unit
milik bus yang sebanarnya milik
Slamet Sayekti dikuasai oleh Pro
Car tanpa sepengetahuan korban
(Slamet
Sayekti).
Atas
penguasaan
barang
sitaan
(menurut
versi
Polres
Temanggung) Pro Car juga
dituduh telah melakukan tindak
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
pidana yang diatur dalam pasal
216 KUHP yakti mengahalangihalangi proses penyidikan. Atas
tekanan ini, minibus yang telah
disita pihak leasing dierahkan ke
peiliknya yakni Slaet Sayekti
untuk tetap beroperasi sebagai
angkutan umum.
Pro Car sendiri, karena
tela merugikan baik secara moral
mapupun
materiil,
mengabil
tindakan hukum dengan cara
melaporkan Muh. Roni ke Polwil,
Kedu. Oleh Pro Car, Muh. Roni
anggap
telah
memberikan
keterangan menyesatkan yang
dituangkan
surat
kesepaatan
bersama
dengan
Marpaung
sehingga timbul suatu keadaan
seakan-akan Muh. Roni benarbenar membeli tiga unit bus dari
Marpaung. Disamping itu, Muh.
Roni juga telah memindahkan
objek jaminan berupa satu unit
mobil kijang kepada pihak lain
yang saat ini berdomisili di
Semarang Muh. Roni sendiri
resmi menjadi tersangka kasus
penipuan ditahan di Polres
Semarang.
Berdasarkan
pengembangan penyidikan di
Polwil Kedu, uang yang telah
dicairkan oleh Pro Car, oleh
kedua
tersangka
ternyata
digunakan untuk membeli tanah
di Kabupaten Semarang. Tanah
ini kemudian didirikan bangunan
perumahan. Adapun BPKB tiga
unit minibus yang sebenarnya
milik Slamet Sayekti yang berada
di tangan Muh. Roni dulunya,
Roni berjanji akan
membeli
minibs milik Slamet tetapi
ternyata Roni tidak membelinya
dan BPKBnya ternyata telah
diserahkan ke Pro Car untuk
jaminan Fidusia kredit senilai 230
juta. Karena terbukti melakuka
persekongkolan dengan Muh.
Roni,
Ferdinand
Marpaung
memberikan
tawaran
untuk
merecovery utang-utang berikut
bunganya kepasa Pro Car. Pihak
Pro Car sendiri tidak menerima
tawaran
Marpaung
untuk
merecovery semua utang-utang
nasabah. Pro Car menghendaki
agar proses hukum yang terus,
pihak penyidik sendiri hingga kini
masih
terus meproses kasus
tersebut.
B. Batasan Masalah
1. Pihak Leasing terjegal tindak
pidana
atas
pernyataan
bersama nasabah dan pihak
shiowroom yang menyesatkan
51
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
/jual beli fiktif objek jaminan
fidusia
2. Bagaimana leasing benar-bear
mendapatka jaminan bahwa
objek jaminan fidusia adalah
tetap
berada
dalam
penguasaan nasabah ?
C. Kerangka Pemikiran
1. Pengertian Fidusia
Sesuai dengan bunyi ketentan
umum pasal 1 ayat (1) UU no.
42 tahun 1999, fidusia adalah
pengalihan kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa
benda
yang
hak
kepemilikannya
dialihkan
tersebut
tetap
dalam
penguasaan pemilik benda.
2. Beberapa Istilah Fidusia
Zekerheids Eigendom (Hak
Milik Sebagai Jaminan)
Bezitstoos
zekerhcidsrecht
(Jaminan tanpa menguasai)
Verruind Pand Begrip (Gadai
yang diperluas)
Eigendom Overdracht tot
Zekerheid (Penyerahan hak
milik secara jaminan)
Bezitloos Pand (Gadai tanpa
pengusaan)
Een Vorkapt Pand Recht
(Gadai berselubung)
52
Uitbaouw dari Pand (Gadai
yang diperluas)
3. Hukum
Jaminan
yang
Direkayasa
Jaminan Fidusia merupakan
rekayasa atas jaminan-jaminan
yang telah ada sebelumnya
yang mencakup jenis benda
objek jeminan dan yang paling
utama adalah menyangkut
penguasaan
benda
objek
jaminan. Adapun rekayasa
hukum pada jaminan fidusia
adalah penyerahan hak milik
tanpa
menyerahkan fisik
bendanya. (jaminan Fidusia :
Munir Fuady, SH.,LLM, hal :
5). Hal ini disebut sebagai
Constitutum
Posessorium
yang
dilakukan
secara
bertahab
yakni
:
fase
perjanjian obligaotoir yakni
perjanjian pinjam meminjam
uang dengan jaminan fidusia
antara pemberi fidusia dengan
penerima fidusia :
fase
perjanjian
kebendaan
(zakelijke
overeenskomt)
yakni penyerahan hak milik
dari debitur kepada kreditur
yang
dilakukan
secara
constitutum
posessorium
yakni penyerahan hak mili
tanpa
menyerahkan fisik
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
benda dan fase perjanjian
pinjam pakai dalam hal ini
benda objek fidusia yang hak
miliknya sudah berpindah
kepada
kreditur
dipinjampakaikan
kepada
debitur sehingga praktis benda
setelah diikat dengan jamnan
fidusia tetap saja dikuasai
secara fisik oleh pihak debitur.
4. Perjanjian Bersifat Assessoir
Perjanjian jaminan fidusia
merupakan perjanjajian yang
bersifat assessoir (perjanjian
ikutan)
dari
perjanjian
induknya yakni perjanjian
utang
piutang
karena
merupakan perjanjian, maka
ketentuannya
mengikuti
ketentuan-ketentuan
umum
perjanian sebagaimana diatur
dalam pasal 1338 KUH
Perdata
yakni
bahwa
perjanjian menjadi undangundang bagi para pihak yang
membuatnya. Karena berlaku
sebagai undang-undang, maka
kedua belah pihak terikat
dalam ketentuan itu. Para
pihak haru soiap menerima
konsekuensi
hukum
atas
perjanjian
yang
telah
dibuatnya. Sifat assessoir dari
perjanjian fidusia membawa
konsekuesi bahwa perjanjian
jaminan
fidusia demi hukum hapus jika
perjanjian induknya juga
hapus.
5. Azas Lex Specialis Derogat
Lex Generalis
Karena UU no. 42 tahun 1999
merupakan
undang-undang
bersifat khusus yakni hanya
mengatur ketentuan-ketentuan
jaminan
fidusia,
maka
kepadanya berlaku
azas
hukum
yang
khusus
mengesampingkan
hukum
yang umum (Lex Specialis
Derograt
Lex
Generalis)
sepajang tidak bertentangan
dengan ketentua yang umum,
sepert
ketentuan
dengan
proses
eksekusi, dalam
undang-undang
tersebut
disediakan banyak pilihan
antara lain secara parate
eksekusi
baik
eksekusi
dibawah
tangan
maupun
eksekusi secara lelang. Fiat
Eksekusi (eksekusi dengan
memohon penetapa ketua PN)
serta eksekusi dengan gugatan
biasa.
Eksekusi
dengan
cara
mengajukan
gugatan
ke
pengadilan masih mungkin
53
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
sesuai
dengan
ketentuan
Hukum Acara Perdata.
6. Eksekusi Objek Jaminan
Eksekusi
objek
jaminan
fidusia
dilakukan
kalau
debitur
melakukan
wanprestasi
atas
kewajibannya kepada kreditur.
Pada prinsipya, eksekusi ini
menganut azas proses yang
cepat
dengan
proses
sederhana,
efisien
dan
mengandung
kepastian
hukum.
D. Pembahasan
Penerapabn tindak pidana
penadah (pasal 480 KUHP) serta
tindak pidana menghalang-halangi
polisi
dalam
melakukan
penyidikan terhadap Leasing Pro
Car International Finance yang
telah menguasai tiga BPKB
minibus sebagai jaminan fidusia
tanpa sepengetahuan pemilik yang
seberannya (Slamet Sayekti),
merupakan bukti
bahwa para
penegak
hukum
(penyidik,
penuntut, dan pemutus) belum
engetahui apalagi memahami
adanya UU no. 42 tahun 1999
tentang fidusia. Kalau para
penegak hukum saja belum
memahami produk hukum baru
54
itu, apalagi
masyarakat yang
sama sekali tidak bersentuhan
langsung dengan
hukum itu.
Padal, para penegak hukum
adalah pihak yang mestinya palig
berkepentingan karena mereka
berkecimpung
dalam
proses
penegakan
hukum.
Mereka
setidaknya menjadi parameter
pertama
yang
seharusnya
mengetahui infoemasi lahirnya
peraturan perundang-undangan.
Padahal dalam hukum
positif kita berlaku azaz Fictie
Hukum yang menegaskan bahwa
seseorang dianggap tahun tentang
hukum. Disamping itu, berkaitan
dengan hal ini juga berlaku azas
Lex Posteriori Derogat Lex Priori
bahwa hukum yang terbaru
mengsampingkan hukum yang
terdahulu (lebih lama). Fakta dan
fenomena ini menjadi penting
karena sangat mungkin terjadi
bahwa penyidik, penuntut dan
pemutus
akan
melakukan
kesalahan fatal dalam penerapan
hukumnya. Padahal secara khusus
dalam UU no. 42 tahun 1999
sudah mengatur ketentuan pidana
yaitu pada pasal yang diatur 35
dan pasal 36 yang merupakan Lex
Spesialis.
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
Sementara pada
posisi
lain, para penegak huku tetap
bersikeras pada penerapan hukum
lex Generalisnya yakni Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) terhadap suatu peristiwa
yang telah diatur secara khusus
dalam undang-undang tentang
fidusia.
Tindakan yang diambil
Polres
Temanggung
dalam
menyelidik kasus
penipuan
sebagaimana yang dilaporkan oleh
Slamet
Sayekti
yang
mengakibatkan ditetapkannya Pro
Car International Finance sebagi
tersangka penada, merupakan
bukti bahwa penyidik sangat
ceroboh dalam menangani kasus
ini. Penyidik tidak memandang
permasalahan yang terjadi secara
menyeluruh Pro Car International
didasarkan oleh alas hukum
perdata yang sah yakni dengan
egacu pada pernyataan bersama
antara
Ferdinand
Marpaung
dengan Muh, Roni bahwa tiga
unit minibus d an satu unit kijang
adalah
benar-benar
milik
Fedinand selaku Showroom mobil
serta perjanjian jual beli yang
mengintat para pihak (penjual dan
pembeli).
Pernyataan bersama dan
perjanjian jual beli inilah yang
menjadi dasar keyakinan Pro Car
bahwa baik marpaung maupun
Muh, Roni sama-sama beritikad
baik untuk melakukan kerjasama
dalam
bentuk
utang-putang
dengan jaminan fidusia. Telebih,
jaminan fidusia lebih didasarkan
pada “Penyerahan Hak Milik
Secara Kepercayaan”. Secara
perdata menganut perjanjian
antara kedua tersangka itu adalah
sah. Karena hukum perdata
menganut
paham kebenaran
materiil, maka leasing dilingdungi
oleh hukum. Artinya pihak leasing
Pro Car Intenational dengan
dengan iktikad baik menilai
bahwa Muh. Roni layak untuk
menjadi masabah. Karenanya,
persekongkolan dan niatan jahat
yang ada dibalik itu adalah diluar
sepengetahuan pihak kreditur.
Mencuatnya
kasus
pengelabuhan
kreditur
oleh
debitur dengan cara membuat
perjanjian jual beli fiktif sehingga
seakan-akan
telah
terjadi
perpindahan hak baik dari pemilik
semula maupun pihak ketiga yang
telah melakukan perbutan curang
(bedrog)
kepada
nasabah
sebenarnya merupakan suatu fakta
55
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
bahwa penyerahan bukti oleh
pemohon kredit kepada pemberi
kredit yang dianggap sederhana
ternyata
menjadi
inti
permasalahan
leasing
yang
menerapkan jaminan dengan
secara fidusia.
Dalam sistem jaminan
fidusia, pokok terpeting adalah
perlindungan hukum bagi kreditur
atas jaminan bahwa benda objek
jemian
benar-benar
berada
ditangan
pemohon
kredit
(nasabah). Perlindungan dan
jaminan hukum ini adalah untuk
menyeimbangkan
keentingan
leasing (yang telah berprestasi
terlebih
dahulu
dengan
mengucurkan kreditnya) dengan
nasabah yang harus membayar
kewajibannya sampai lunas.
Hal ini (penguasaan objek
benda bergerak) juga menjadi
sumber permasalahan lian dalam
kasus tersebut. Meski dalam
undnag-undang telah diatur secara
tegas sebagaimana tercantum
dalam pasal 20 , “Jaminan Fidusia
tetap mengikuti banda yang
menjadi objek jaminan Fidusia
dalam tangan siapapun benda
tersebut
berada,
kecuali
pengalihan atas benda persediaan
yang menjadi objek jaminan
56
fidusia.” Akan tetapi dalam
kenyataannya, debitur masih
sangat
leluasa,
berdasarkan
kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat,
melakukan
pembenahan
jaminan
lagi
(digadaikan atau disewakan)
terhadap objek jaminan atau dapat
juga melakuka perbuatan hukuk
lain
berkanaan
dengan
pemindahan objek jaminan tanpa
sepengetahuan leasing.
Jaminan penguasaan objek
jaminan
pada
debitur
ini
sebenarnya berkaitan dengan
proses eksekusi oleh kreditur
kalau debitur dikemudian hari
melakukan cidera janji. Ini juga
sekaligus merupakan bukti bahwa
kreditur selaku pihak yang
berprestasi terlebih dahulu benarbenar mendapatkan perlindungan
hukum.
Dalam
kasus
yang
menimpa Pro Car Intenational
finance,
surveyor
memiliki
peranan yang sangat penting
karena ditangan surveyor inilah
hal-hal yangberkaitan dengan
nasabah
dan
kemungkinankemungkinan
persekongkolan
yang dilakukan nasabah dengan
pihak lain (showroom) surveyor
juga
harus
secara
hukum
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
bagaimana seharusnya proses
pemindahan hak itu terjadi.
Kasus yang terjadi di Pro
Car Intertanioal Finance, surveyor
tidak
menyaksikan
sendiri/sebenarnya
penyerahan
(evering) fisik tiga unit minibus
serta satu unt Toyota Kijang, dari
pihak showroom (penjual mobil),
kepada Muh. Roni (calon
pembeli)
sebagaimana
yang
adiatud dalam psal 612 KUHPer.
Surveyor hanya tahu bahawa tiga
unit minibus milik Muh. Rono
seperti yang tercantun dalam
kepakaan bersama tertulis yag
ekaligus telha dinyakata terjadi
perintiwa
jual
beli
antara
Ferdinand
Marpaung dengan
Muh. Roni.
E. Kesimpulan
Hadirnya jaminan fidusia
sebagaimana diatur UU no.42
tahun 1999 dengan keleluasaan
debitur dalam menguasai objek
jaminan benda bergerak, ternyata
menjadi bumeranng tersendiri
bagi
kreditur
(lembaga
pendanaan).
Sebab
dengan
kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat, khususnya dibidang
hukum utang piutang, pengoperan
benda yang bertatus sebagai
jaminan fidusia sangat mudah
terjadi bahkan dioanggap sebagai
hal yang lumrah.
Atas dasar fakta ini,
surveyor selaku perwkilan dari
leasing harus memahami baik
tentang
hukumnya
(sebagai
contoh hukum jual beli) maupun
hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Data
ini
bisa
diperoleh saat surve terhadap
nasabah berlangsung.
Ketentuan tentang hukum
jual beli dan hal-hal yang
menyertainya seperti bagaimana
seharusnya proses penyerahan
benda bergerak itu terjadi menurut
hukum merupakan satu langkah
untuk
membentengi
dipindahkannya objek jaminan
fidusia kepada pihak lain sebelu
eksekusi
berlangsung
kalau
debitur melakukan wanprestasi.
Secara
normatif,
keleluasaan
pemohon
kredit
(debitur,
nasabah)
unutk
menguasai benda bergerak objek
jaminan fidusai sebenrnya telah
dibentengi setidaknya oleh tiga
pasal 20, pasal 35 dan pasal 36.
Meskipun
demikian,
kebiasaan-kebisaan yang hidup
dalam
masyarakat
yang
sebenarnya juga termasuk dalam
57
Pena Justisia Volume VII No. 14, Tahun 2008
koridor hukum positif tidak boleh
diabaikan.
Disinilah
peran
surveyor menjadi penting.
F. Daftar Rujukan
Munir Fuady, Jaminan Fidusia,
PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung 2003.
R.
Soesilo, Undang-Undang
Hukum Pindana (KUHP),
Politea, Bogor, 1996
R. Subekti, Tjitrosudibio, Kitab
Undang-undang Hukum
Perdata,
Pradnya
Paramita, Jakarta, 1999
Undang-Undang No.42 tahun
1999 tentang Fidusia
58
Download