KETERKAITAN HUJAN DI NANGGO ACEH DARUSSALAM DENGAN SUHU MUKA LAUTAN PASIFIK; (Bahagian dari Upaya Mitigasi Dampak Kekurangan Air Pada Budidaya Padi) Drs. Ahmad Farhan, M.Si Wardah, SPd, M.Bio I. PENDAHULUAN Propinsi Aceh memiliki Iklim dua musim, yaitu Musim Hujan (MK) dan Musim kemarau (MK). Kondisi musim dapat diprediksi dengan menggunakan parameter prediksi, antara lain kondisi Sea Surface Themperature (SST) Pasifik dan India (Faqih, dan Boer, 2002). Prediksi tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kesiagaan dan mitigasi resiko bencana iklim, dan prediksi perlu dilakukan untuk kondisi spesifik lokal (Irianto, 2005). Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antara SST Pasifik dan India dengan Ch di NAD. Apabila fluktuasi SST Pasifik dan India berkaitan dengan Ch di NAD, maka indek SOI (Surface Ocilation Index) Pasifik dan IOD (Index Ocean Dippol) India dapat dijadkan prediktan untuk prediksi Ch dan anomalinya di NAD. Keluaran dari penelitian ini berupa peta spatial yang bermanfaat untuk 1) memberi informasi ilmiah terhadap keterkaitan SST Pasifik dan Ch seasenal di NAD dan 2) Menjadi dasar ilmiah untuk menentukan variabel in-put dalam pengembangan model prediksi Ch dan keadaan hujan (normal/anomali) di kawasan NAD. Asumsi dasar bahwa hujan merupakan parameter iklim yang berhubungan dengan keadaan suhu muka laut digunakan untuk merumuskan permasalahan penelitian. Asumsi tersebut, dijadikan jastifikasi untuk merumuskan masalah penelitian “Apakah SST Pasifik dan India berkaitan erat dengan Ch di kawasan NAD ?” Pengkajian ini bertujuan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keeratan hubungan antara SST Pasifik dan India dengan Ch seasenal NAD, dalam rangka menanmbah literatur kajian ilmiah yang berkaitan dengan atmosfir fisik yang spesifik lokal (propinsi Aceh). Hasil kajian dapat digunakan untuk menentukan prediktan yang tepat dalam memprediksi musim di NAD. Dalam jangka panjang, hasil penelitian ini mendukung stabilitas usaha tani, diversivikasi usaha tani, mitigasi bencana yang disebabkan oleh anomali iklim, stabilitas ketahanan pangan dan stabilitas perekonomian di NAD. II. KAJIANAN PUSTAKA 1 Kejadian Hujan Di Zona Peredaran Munson Hujan merupakan parameter iklim yang terjadi akibat ketikmantapan atmosfire yang ditentukan oleh masukan energi matahari. Oleh sebab itu, variabilitas iklim, terkait dengan giografi dan topografi; letak wilayah pada lintang dan ketinggian, serta posisi daratan terhadap lautan yang mengitarinya. Propinsi Aceh, merupakan salah satu kawasan Muson, sehinga Ch (curah hujan)nya berhubungan dengan siklus Muson dari aktifitas Hetlay dan Pasat dari aktifitas Walker. Hal ini disebabkan intensitas pergerakan Monson berinteraksi dengan Walker ketika memasuki kawasan equator; arah dan intensitas Muson dipengaruhi oleh Walker. Dengan demikian, keadaan Ch dikawasan Muson equator, berkaitan dengan SST (Sea Surface Temperature) samudera Pasifik. Khusus di kawasan Muson equator yg berdampingan dengan lautan India, seperti pulau Sumatera dan Jawa bagian barat, aktifitas Muson juga terpengaruh oleh aktifitas palung tekanan rendah-tinggi dari lautan tersebut. Ch dan keadaan hujan pada periode tertentu dipengaruhi oleh aktiftas tiga angin; Muson, pasat tenggara dan Pasat lautan India. Anomali SST di lautan Pasifik dan India berpengaruh terhadap Ch dan keadaan hujan. Muson Barat laut yang lembab bertiup dari Asia menuju Australia menyebabkan Ch tinggi di kawasan equator; dalam periode tersebut terjadi MH. Moson tenggara (timuran) yang kering bergerak dari Australia menuju Asia, menyebabkan kawasan edar Muson di sekitar equator mengalami Ch rendah; MK berlangsung dalam siklus tersebut. Keadaan Ch dan keadaan hujan berubah pada masa2 terjadi anomali SST Pasifik dan atau India. Anomali iklim yang terjadi lautan india dikenal dengan PMJ (peredaran Meredian Julian), yg disebabkan oleh anomali ketidak-mantapan udara permukaan akibat peningkatan SST secara ekstrim di lautan India bagian barat (500 - 700 BT; 00 - 100 LS) dengan lautan India bagian timur (900 – 1100 BT; 00 100 LS) yang berulang dalam siklus 3 – 7 tahun (Boer dan Faqih, 2005). Palung udara tekanan rendah membentuk kawasan konveksi udara dalam skala sekitar 3.000 km horizontal (Kirono dan Partrige,2002). Tingkat anomali digambarkan dengan IOD (Indian Ocean Dipole). Letak wilayah NAD di ekuator belahan utara (60 LU) dan berhadapan secara langsung dengan samudera India (pantai barat-selatan) dan selat malaka (pantai timur-utara). Ch di NAD dipengaruhi oleh fluktuasi SST India. Dengan demikian, anomali IOD antara kawasan India bahagian barat dengan bahagian timur yg dikenal dengan PMJ (Peredaran Madden-Julian), mempengaruhi keadaan Ch Seasenal NAD. Berdasarkan topografi dan giografi NAD, terjadi perbedaan variasi Ch di NAD dengan daerah Indonesia bagian barat lainnya. Ketidak-mantapan admosfer lokal, mempengaruhi kejadian dan keadaan hujan di NAD. Pada fase-fase MK, aktifitas siklon trofis lokal berpengarauh kuat sehingga menjadi faktor dominan yang berpengaruh terhadap Ch di NAD. Oleh sebab itu, prediksi Ch di NAD harus dikaji untuk keadaan spesifik lokal. III. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di darussalam Banda Aceh. Durasi penelitian berlangsung dari Mai – November 2014. Penelitian ini menggunakan data-data sekunder sebagai berikut: a. Ch bulanan dari stasion klimatologi di NAD periode pengamatan 30 tahun b. SOI dan SST Pasifik, diperoleh dari NOA dan data bese NCL Analissis data dilakukan menggunakan softwere Microchof Exel, dan Program Prediksi iklim NCL. Tahapan analisis diilustrasikan melalui Gambar 1. Ch musiman dikelompok-kelompok sebagai berikut: - Ch musiman Desember-Januari-Februari (DJF) - Ch musiman Maret-April-Mai (MAM) - Ch musiman Juni-Juli-Agustus (JJA) dan - Ch Musiman September-Oktober-November (SON) 9 Rancangan kegiatan pelaksanaan penelitian dirangkum pada Gambar 1 Data Ch bulanan dari stasion-stasion klomatologi NAD Microsoft Ch musiman Exel wilayah NAD PCA (Soft ware NCL) Data indek SST Analisis Data Ch dan SOI korelasi Spatial musiman (data bese NCL) (Soft ware NCL) Ortogonal Peta spatial ketrkaitan Ch NAD dgn SST Pasifik dan India Gambar 1. Flow chat kerangka tahapan pelaksanaan penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Ch tahunan di propinsi Aceh “(NAD) Nanggro Aceh darussalam” berkisar 1.490 - 3.900 mm, terendah di kawasan pantai utara dan tertinggi di kawasan pantai barat. Namun demikian, keputusan ini belum didukung oleh tingkat resprentasi data yang cukup. Hai ini, mengingat kerapatan stasion pengamatan hujan dan kualitas data kurang baik. 1. Keterkaitan Antara Ch di NAD dengan SST Pasifik dan India Curah hujan di NAD di tinjau atas empat periode yaitu, a) DesemberJanuari-Februari (DJF), b) Maret-April-Mai (MAM), c) Juni-Juli-Agustus (JJA) dan d) September, Oktober-November (SON). Pengelompokan ini dilakukan atas pertimbangan keterwakilan periode ENSO; (SON aktifitas awal dan DJF periode puncak) dan periode PMJ (JJA periode awal dan SON periode akhir) (Sout African Weather Servis, 2006 dan Selvaraju, 2003). Korelasi spasial antara indek rata-rata Ch di NAD dengan indek rata-rata SST Pasifik dan India dianalisis dalam periode yang sama (lag 0 mont leaf). Gambar 2. Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman NAD dengan rata indek SST Pasifik dan India. Keterkaitan antara Ch di NAD dengan SST Pasifik dan India terlihat lemah dalam periode DJF (Gambar 2). Hal ini disebabkan, sistem palung tekanan rendah dan tekanan tinggi lebih intensif di sekitar wilayah Nino-1 2 (Boer dan Faqih, 2005, Soler at al. 2009). Posisinya wilayah interaksi lautan - atmosfir di Pasifik equator tersebut dekat dengan Amerika latin. Dalam periode tersebut, angin Walker bertiup ke arah timur, sehingga berpengaruh terhadap Ch di kawasan timur lautan Pasifik sekitar Peru. Sedangkan terhadap kawasan barat Pasifik tidak memberi pengaruh yang kuat. Keadaan yag sama juga terjadi antara Ch NAD dengan sistem interaksi lautan-atmosfir di kawasan kajian wilayah IOD (Indian Ocean Dipole; 50o -70o BT; 0o – 10o Ls dan 90o – 110o BT; 0o-10o Ls) (Selvaraju, 2003). Dalam periode DJF, tidak ditemukan keterkaitan antara kedua variabel prediktan dan prediksi. Keterkaitan antara Ch NAD dengan interaksi palung tekanan rendah-tinggi dengan koefisen korelasi 0, 4 - 0,6, terjadi di lautan India bagian laut Jawa (100o – 130o BT; 10o-20o LS). Akan tetapi, kawasan tersebut tidak termasuk kawasan kajian peristiwa IOD (Boer dan Faqih, 2005, Selvaraju, 2003). Dengan demikian, pengaruh anomali IOD, tidak dapat digunakan untuk menjelaskan anomali Ch seasen periode DJF di NAD. Selama periode DJF, matahari berada di belahan bumi utara. Intensitas matahari yang tinggi, menyebabkan palung tekanan tinggi terjadi di lautan India kawasan laut Jawa yang berdampingan dengan benua Australia. Palung tekanan tinggi di kawasan tersebut berhubungan dengan Muson barat laut yang lembab dan menyebabkan kawasan Indonesia bahagian barat dan tengah mengalami banyak hujan (Winarso dan McBride, 2002). Oleh sebab itu Ch periode DJF di NAD tidak terkait dengan SST Pasifik dan India. Ch lebih didominasi oleh Muson barat laut yang digerakkan oleh sistem palung tekanan rendah – tinggi antara perairan Asia dan Australia . Keadaan ini, berbeda dengan kawasan Jawa, terutama DKI dan Jawa barat, Ch periode DJF, saat berlangsungnya puncak ENSO, Ch masih terkait dengan SST Pasifik, bahkan untuk kawasan Asia timur keterkaitan berlanjut sampai periode JJA (D. Manatsa at al. 2010 dan Luo et al. 2010). Ketidak terkaitan antara Ch seasenal NAD periode DJF dengan SST Pasifik, dapat digunakan sebagai indikator untuk menjelaskan pendeknya periode dampak El Nino yang berpengaruh terhadap Ch di NAD. Singkatnya rentang waktu pengaruh El Nino di NAD menyebabkan daerah ini termasuk daerah kawasan dampak El Nino ringan (Kirono dan Partrige, 2002). Gambar 3 Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman MAM dengan rata indek SST Pasifik dan India. Keterkaitan antara Ch seasenal NAD dengan SST Pasifik terjadi dalam periode MAM (Gambar 3). Koefisien korelasi sedang - tinggi (-0,4 – -0,8). Tingkat keterkaitan cukup erat (koefisen korelasi -0,8) terjadi antara Ch NAD periode MAM dengan SST Pasifik kawasan Nino 3 4 (1700 - 1200 BB, 50 - 50 LS). Kawasan ini merupakan lautan Pasifik yang aktifitas interaksi lautan – atmosfir memberi kontribusi besar terhadap keadan Ch di Indonesia (Prabowo dan Nocholl, 2002). Ch Seasenal MAM di NAD, tidak tekait erat dengan SST India. Titik korelasi lemah terlihat dibeberapa tempat; salah satunya disekitar pantai barat ujung pulau Sumatera. Meskipun terlihat lemah, kemungkinan dapat digunakan untuk menjastifikasi perbedaan Ch antara pantai barat dengan pantai utara. Akan tetapi, belum diperoleh literatur yang mengungkapkan pengaruh antara SST India di luar zona PMJ (lautan India timur bahagian lintang utara) terhadap kawasan sekitarnya. Hal ini diduga, keterkaitan tersebut, kemungkinan terjadi dari instabilitas bersifat lokal yang disebabkan oleh badai-badai trofis dalam durasi tidak terlalu lama serta frekuensi perulangan tidak konsisten Untuk memperoleh bukti ilmiah yang mampu menjelaskan huungan siklon trofis lokal di sekitar pantai barat dan selatan NAD, perlu dilakukan kajian lebih spesifik. Giografi dan topografi serta Ch dan keragamannya cukup tinggi, kajian iklim meso spesifik lokasi yang serius. Gambar 4. Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman JJA dengan rata indek SST Pasifik dan India. Keterkaitan Ch seaseanal NAD dengan SST Pasifik dan India terjadi dalam tinjauan periode JJA (Gambar 4). Kedua kawasan ENSO dan terkait dengan Ch seasaen NAD. Tingginya tekanan udara di daerah perairan Indinesia (warna kuning) turut mempengaruhi keadaan lokal golak atmosfir lokal sekitar NAD, yg merupakan variabel yang mempengaruhi Ch pada masa peralihan. Tetapi, kondisi ini perlu dilakukan telaahan lanjut, mengingat pola interaksi ini belum banyak diungkap. Hal ini diduga karena pola instabilitas laut – atmosfir terjadi temporal dan biasanya berlangsung dalam waktu singkat yang ditandai sebagai badai tropis akibat dari aktifitas equatorial (Winarso dan McBride, 2002). Gambar 5 Peta korelasi spasial rata-rata indek Ch musiman NAD dengan rata indek SST Pasifik dan India. Pola keterkaitan Ch Seasoanal NAD dengan SST Pasifik dan India, berlanjut sampai periode SON (gambar 5). Interaksi Angin Passat dari siklus Walker dan Muson barat laut mempengaruhi variasi Ch (Lim dan Kim. 2007) Periode ini, merupakan periode awal musim hujan di NAD. Perawanan atmosfir mulai meningkat di bulan September, meskipun kejadian hujan masih jarang (Boer, at al., 1999). Keadaan ini menyebabkan Ch September mulai terlihat peningkatan dibandingkan Agustus. Awal musim hujan baru terjadi pada bulan Oktober. Memasuki November, terjadi puncak hujan primer di NAD kawasan pantai utara. Siklus SON, merupakan periode awal dari kejadian iklim ekstrim El Nino dan sklus iklim ekstrim IOD. Oleh sebab itu, siklus SON pada tahun-tahun ENSO dan tahun-tahun IOD, perlu diwaspadai untuk mitigasi dampak kekeringan. Khususnya dalam kegiatan budi daya padi sawah yang merupakan sektor pengguna air terbesar. Kondisi kehati-hatian dalam perencanaan musim tanam padi sangat dibutuhkan. Apalagi sistem sawah beririgasi di NAD, umumnya menggunakan bendung sebagai intake sumber air. Areal irigasi yang sumber utama dari bendung, sangat rentan terhadap resiko kekeringan pada saat terjadi anomali iklim (Farhan dan Kartaatmadja, 2001). Mitigasi resiko kekurangan air pada sistem budidaya tanaman padi dan sektor kehidupan lainnya dapat diperkecil dengan melakukan prediksi keadaan musim (Balitklimat, 2004). Untuk itu dilakukan kajian kemungkinan prediksi Ch sesenal dengan menggukan anomali SST Pasifik dan India. 2 Peluang Prediksi Ch seasenal NAD Analisis keterkaitan Ch seasenal NAD dengan SST Pasifik dan India, diperoleh indikasi keterkaitan antara indek SST (prediktan) dengan Ch seasenal NAD (prediksi). Nilai korelasi spasial berkisar -0,4 - -0,8. Keterkaitan terjadi dalam 3 periode tinjauan, yaitu Maret - November (MAM, JJA dan SON). Indikasi keterkaitan tersebut menjastifikasi untuk dilakukan analisis lanjut. Periode analisis dibuat lebih rinci, sehingga diperoleh informasi yang lebih informatif. Analisis lanjut terhadap Ch seasenal NAD adalah sebagai berikut: MAM, AMJ, MJJ, JJA, JAS, ASO dan SON. Keterkaitan Ch seasenal NAD pada masing-masing periode dianalisis menggunakan prediktan 1 – 3 bulan ke belakang (lag mont leaf). Hasil analisis ini menjadi informasi berapa lama variabel SST dapat digunakan sebagai prediktan untuk memprediksi Ch seasenal NAD. Hasil analisis korelasi spasial untuk delapan periode Ch tiga bulanan NAD, sampai tiga lag mont leaf untuk semua periode dirangkumkan pada Tabel 6.1. Keterkaitan Ch Seasenal NAD dengan SST Pasifik terjadi dalam periode MAM – MJJ. Pola keterkaikan menguat pada periode awal tinjauan (MAM) dan melemah pada periode berikutnya, sampai tidak terkait memasuki periode JJA. Keterkaitan mulai menguat kembali dalam periode ASO – SON Pola keterkaitan tersebut sama dengan keadaan hujan di wilayah Indonesia barat lainnya (Naylor, et al., 2002) . Keterkaitan ini berhubungan dengan posisi matahari di belahan bumi. NAD terletak di posisi 60 LU, sehingga periode keterkaitan Ch dengan SST Pasifik berasosiasi dengan posisi matahari di sekitar equator belahan utara, dan ketidak terkaitan dalam periode JJA, bertepatan dengan posisi matahari mendekati kutup utara (Prabowo dan Nicholls, 2002). Periode JJA merupakan siklus Munson tenggara dari benua Australia menuju benua Asia. Angin Walker dari equator Pasifik, bergabung dengan Monsun tenggara menuju benua Asia. Zona konversi berada di benua Asia, sehingga periode dalam tersebut NAD musim kemarau. Tabel 6.1 Zona korelasi spasial dan koefisien korelasi antara indek rata-rata Ch seasenal NAD dengan anomali SST Pasifik dan India. Seasen (1) Koefisien Korelasi (4) (5) 1 160 E – 170 W ; 0 – 5o LU -0,8 2 160 E – 170 W ; 0 – 5o LU -0,8 3 160 E – 170 W; 0 – 5o LU -0,4 1 - - 2 - - 3 - - 1 160 E – 170 W ; 0 – 10o LU -0,8 2 160 E – 170 W ; 0 – 5o LU -0,4 3 160 E – 170 W; 0 – 5o LU -0,4 (3) (4) (5) 1 - - 2 - - 3 - - 1 170 E – 170 W ; 0 – 5o LU -0,8 2 170 E – 180 W ; 0 – 5o LU -0,4 3 165 E – 170 W; 0 – 5o LU -0,4 1 - - 2 - - (mont leaf) (2) (3) Pasifik India MAM Pasifik (2) India AMJ Pasifik MJJ koordinat Zona Korelasi Spasial(*) Lag Zona Lautan India Pasifik India JJA Pasifik India JAS Pasifik India ASO Pasifik India SON (*) 3 - - 1 - - 2 - - 3 - - 1 - - 2 - - 3 - - 1 170 E – 170 W ; 0 – 5o LU -0,4 2 - - 3 - - 1 70 E – 90 E ; 0 – 10o LS -0,8 2 70 E – 90 E ; 5o – 10o LS -0,8 3 - - 1 170 E – 160 W ; 0 – 5o LU -0,8 2 170 E – 150 W ; 0 – 10o LU -0,8 3 165 E – 175 E ; 0 – 5o LU -0,8 1 70 E – 80 E ; 0 – 10o LS -0,8 2 70 E – 80 E ; 0o – 5o LS -0,8 3 65 E – 80 E ; 0o – 10o LS -0,8 1 180 E – 150 W ; 0 – 5o LU -0,8 2 180 E – 150 W ; 0 – 5o LU -0,8 3 180 E – 150 E ; 0 – 5o LU -0,8 1 - - 2 - - 3 - - hanya diambil yg di zona Nino 3 4 untuk kawasan Pasifik dan zona IOD untuk kawasan India Keterkaitan yang kuat dalam periode yg panjang, menjadi indikator bahwa SST Pasifik di kawasan ENSO khususnya daerah Nino 3-4 dapat digunakan sebagai prediktan untuk memprediksi Ch seasenal NAD (Mei dan Hendon, 2009). Tingkat korelasi dan luas wilayah SST Pasifik yang berkorelasi kuat berkurang dengan meningkatnya jarak (lag mont leaf). Meskipun terjadi pengurangan luas wilayah korelasi spasial, SST Pasifik sampai 3 bulan sebelumnya, layak digunakan sebagai prediktan untuk prediksi CH seasenal NAD (Mei dan Hendon, 2009). Selain berguna untuk prediktan, keterkaitan CH seasenal NAD dengan SST Pasifik dalam periode ASO – SON, perlu diwaspadai. Keadaan ini menjadi indikasi bahwa periode awal anomali iklim dikawasan ENSO (El Nino dan La Nina) yang biasanya dimulai dari Agustus - Maret berpengaruh terhadap anomali iklim NAD. Ketidak-terkaitan antara CH Seasenal NAD dengan SST pasifik dalam periode DJF yang merupakan puncak ENSO (Luo et al., 2010), mengindikasikan bahwa penguruh ENSO terhadap iklim di NAD relatif terhadap ringan dibandingkan dengan kawasan pulau Jawa. Meskipun demikian, pengaruh ENSO terhadap Ch di NAD perlu mendapat perhatian. Hal ini disebabkan fase awal ENSO (Agustus – November) berpengaruh dengan Ch seasenal NAD, dan merupakan periode musim hujan di NAD yang berasosiasi dengan masa tanam padi MH, sehingga terpaan kekringan dapat mereduksi produksi (Subbiah, 2006). Ketidak terkaitnya Ch seasenal NAD pada periode JJA tidak hanya dengan SST Pasifik, tetapi juga dengan SST India wilayah IOD. Keadaan ini berhubungan dengan masa peralihan musim di NAD. Dalam masa tersebut Ch di NAD sangat rendah, yg berasosiasi dengan masa Musim Kemarau. Dominasi pengaruh Ch di NAD dalam periode tersebut terkait dengan golak atmosfir lokal, yg terkait dengan siklus angin laut - darat. Hal ini, menunjukkan peristiwa IOD; anomali SST India periode Muson sammer yang berlangsung dalam periode Juni Agustus (Fujinami et al. 2010), tidak memberi dampak anomali iklim di kawasan NAD. Namun demikian dalam kondisi IOD yang kuat, peristiwa dapat berlanjut sampai mencapai puncak pada Oktober dan melemah memasuki November; kekeringan melanda Indonesia wilayah barat dan Australia barat (Smith at al. 2000). Hal ini mengingat keterkaitan antara Ch sesenal NAD dengan SST India berlangsung dalam periode JAS – ASO. Periode tersebut Ch seseanal NAD, tidak hanya berhubungan dengan SST Pasifik (daerah Nino), tetapi juga berkaitan dengan SST India barat (daerah terjadinya IOD). Keterkaitan Ch seasenal NAD dengan SST India dalam periode Juli – Oktober, sesuai dengan fakta, bahwa golak SST India dimulai pada Juni, mencapai puncak pada Oktober dan segera melemah memasuku November (Boer dan Faqih, 2005). Keterkaitan Ch seasenal NAD dengan SST Pasifik dan India dalam periode JJA dan SON menjadi indikasi bahwa anomali SST di wilayah Nino (ENSO) dan anomali SST di lautan India (IOD), akan menyebabkan anomali Ch di NAD. El Nino menyebabkan reduksi Ch yang segnifikan periode September – Desember (Murphy, 2007), dan untuk kawasan Indonesia bahagian barat lainnya, dampaknya masih berlangsung sampai periode Desember - Februari (Moron et al. 2009). IOD positif akan menyebabkan pengurangan Ch yang puncaknya terjadi pada bulan Oktober. Keadaan sebaliknya berlaku apabila La Nina dan IOD negatif. Apabila IOD negatif terjadi bersamaan dengan EL Nino, maka dampak El Nino di Indonesia akan berkurang (Boer dan Wahab, 2007; Manatsa at al. 2010; Nagura dan Konda, 2007). V. SIMPULAN DAN SARAN Ch sesenal NAD berkorelasi berkorelasi negatif dengan SST Pasifik dan India. Korelasi dengan SST Pasifik berlangsung dalam periode Maret – Mai dan September – November. Keterkaitan Ch Seanal NAD dengan SST India berlangsung dalam periode Juli – Oktober. Hasil analisis ini, sesuai dengan teoriteori yang telah dikaji oleh ahli-ahli klimatologi. Oleh sebab itu, SST Pasik dan India layak digunakan sebagai prediktan Ch seasenal NAD. Keterkaitan Ch sasenal NAD dengan SST Pasifik dan India cukup erat (koefisien korelasi mencapai -0,8) sampai lag3 mont leaf, memungkinkan prediksi dini Ch musiman NAD 3 bulan mendatang. Dengan demikian, mitigasi terhadap kemungkinan bencana iklim yg mungkin terjadi di berbagai sektor kehidupan dapat dilakukan. Meskipun keterkaitan Ch seasenal NAD dengan SST Pasifik dan India sudah cukup erat untuk periode-periode tertentu, namun keragaman Ch antara berbagai lokasi (kawasan pantai timur, utara dan barat) cukup bervariasi, dibutuhkan analisis serupa yang lebih spesifik pada masing-masing lokasi (kawasan NAD). Hal ini dimaksudkan untuk mendapat model prediksi Ch musiman yg lebih pretisi dan akuasi tinggi. Model prediksi yang dibangun dengan varian spesifik lokasi, berpeluang menghasilkan skill yang handal. VI. DAFTAR PUSTAKA Boer, R., Notodiputro K.A, dan Las, I. 1999. Prediction or Daily Rainfall Characteristiics from Monthly Climate Indices. proceeding of the second international conference on science and technpligy for the assessment of the global climate change and its impact on Indonesian maritime continent; 29 Nopember - 01 Desember 1999. Boer, R. Dan A. Faqih. 2005. Global Climate Forcing Factors and Rainfall Variability in West Java: Case study in Bandung district. J. Agromet. XVIII No. 2, Bogor. Pp. 1-11. Farhan, A. dan Kartaatmadja 2001. Pengkajian Peluang Peningkatan Efisien Air Irigasi Yang Bersumber Dari Waduk. j. Saint Teks edisi khusus Oktober 2001. Universitas Semarang. Pp. 641-652. Faqih, A dan Boer, R. 2002. Panduan Praktikum Penggunaan Climlab 2000. Analisis hubungan anomali curah hujan dengan suhu muka laut di kawasan Pasifik, India dan Atlantik. Bahan Pelatihan Dosen PT se Sumatera - Kalimantan dalam bidang pemodelan dan simulasi pertanian dan lingkungan, Bogor 1 - 13 Juli 2002. Faqih, A. 2003. Analisis pola Spasial dan Temporal Anomali Suhu Permukaan Laut di Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik Serta Kaitannya dengan Anomali Curah Hujan Bulanan. Skripsi jurasan Giomet FMIPA IPB, Bogor. Irianto, G. 2005. Model Prediksi Anomali Iklim untuk Mengurangi Resiko Pertanian. Hasil penelitian Unggulan periode 2003 - 2004. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor. http//:Jatiluhur. dikunjungi 21 Desember 2005. Kirono, DGC dan I. J. Partridge. 2002. Iklim dan SOI. Kapan Hujan Turun. Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia.Primary Industries Queensland. Naylor, R., W. Falcon, D. Rochberg, N. Wada. 2002. El Nino/Southern Oscilation Climate data Predict Rice Production in Indonesia. Center for Environmental Science and Policy, Institude for International Stadies, Stanford University, California. Prabowo, M dan N. Nicholls. 2002. Osilasi selatan. Kapan Hujan Turun. Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia.Primary Industries Queensland. Selvaraju. R. 2003. Impact of El Nino – Southern Oscilation on Indian Foodgrain Production. J. International of Climatology. 23:187-206. Winarso, P. A. Dan J. Mc Bride. 2002. Iklim. Kapan Hujan Turun. Dampak Osilasi Selatan dan El Nino di Indonesia.Primary Industries Queensland. D. Manatsa , C. H. Matarira, G. Mukwada. 2010. Relative impacts of ENSO and Indian Ocean dipole/zonal mode on east SADC rainfall. International Journal of Climatology. Mei, Z dan Hendon, H. H. 2009. Representation and prediction of the Indian Ocean dipole in the POAMA seasonal forecast model. Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society. Volume 135; 337 - 352. http://www3.interscience.wiley.com/journal/113388514/home Murphy, B. F. 2007. A review of recent climate variability and climate change in southeastern Australia. International Journal of Climatology Volume 28; 859 - 879