PDF (Naskah Publikasi) - Universitas Muhammadiyah Surakarta

advertisement
BAHASA JAWA USIA ANAK-ANAK : KAJIAN METABAHASA
SEMANTIK ALAMI DI TK AL HIDAYAH V KWARASAN
GROGOL SUKOHARJO
Untuk Memenuhi Persyaratan
Guna Mencapai Derajat Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Disusun:
ANDI SETYA ARDIANTA
NIM A 310 070 127
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
0
1
BAHASA JAWA USIA ANAK-ANAK : KAJIAN METABAHASA
SEMANTIK ALAMI DI TK AL HIDAYAH V KWARASAN
GROGOL SUKOHARJO
Andi Setya Ardianta
NIM A 310 070 127
ABSTRAK
Penelitian ini ada dua tujuan yaitu :1) Mengetahui karakteristik semantik
bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. 2) Mendisikripsikan pola-pola kalimat
bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Tempat
penelitian
dilaksanakan di Taman Kanak-kanak (TK) Al Hidayah V Kwarasan, Grogol,
Sukoharjo. sampel dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 10 anak TK, yang
terdiri anak putra sebanyak 5 anak dan putri 5 anak. Teknik untuk mengumpulkan
data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1) rekam, (2) catat, dan dokumentasi.
Kesimpulan hasil penelitian yaitu: (1) Karakteristik semantik bahasa Jawa anakanak usia 4 – 6 tahun. Bahasa Jawa pada anak-anak dianalisis kelas kata
dibedakan menjadi tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina,
adjektiva, partikel, dan numeralia. Dua kategori kata yang mendominasi produksi
kosa kata bahasa Jawa anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %).
Fakta bahasa ini terjadi karena verba dan nomina merupakan kelompok kata
yang cenderung dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. (2) Polapola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Pola kalimat atau struktur
kalimat bahasa Jawa yang digunakan oleh anak berpola kalimat sederhana. Ada
empat jenis pola bahasa Jawa pada anak, yaitu pola SP, SPO, SPK, dan SPOK.
Pola S-P: Adikku mangan (Adiku makan). Pola S-P-O: Aku maem roti (Saya
makan roti). Pola S-P-K: Dista melu mamae (Dista ikut mamanya). Pola S-P-OK: Aku pendak dino digawekku ibuku sego goreng (Aku setiap hari dibuatkan ibu
nasi goreng).
Kata Kunci: Bahasa Jawa Anak, Metabahasa Semantik
2
PENDAHULUAN
Penggunaan bahasa yang terkait dengan unsur-unsur di luar bahasa dapat
dilihat dalam berbagai peristiwa tutur. Dalam hal ini dilakukan oleh penutur
tertentu dengan nilai, norma budaya, dan adat istiadatnya. Aitchison (dalam
Mulyadi dan Siregar, 2006: 4) mengatakan bahwa penggunaan bahasa, dengan
berbagai ragamnya, sebagai alat berkomunikasi untuk menyatakan perasaan dan
emosi dalam kaitannya dengan kontak sosial dan sebagai alat transmisi budaya.
Keraf (2002:88) menyatakan bahwa kata adalah sebuah rangkaian bunyi
atau simbol tertulis yang menyebabkan orang berpikir tentang sesuatu hal dan
makna sebuah kata.
Dikatakan oleh Dardjowidjojo (2003: 225), bahwa penguasaan kosa kata
yang digunakan untuk berbahasa oleh anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga
sebagai tempat pemerolehan bahasa yang utama dan pertama (bahasa daerah atau
bahasa ibu).
Perkembangan pemakaian bahasa pada anak dipengaruhi oleh meningkatnya
usia anak. Semakin anak bertambah umur, maka akan semakin banyak kosa kata
yang dikuasi. Hurlock (2003: 115) berpendapat bahwa perkembangan bahasa
yang dikuasai anak dipengaruhi oleh perkembangan usia anak dan lingkungan.
Sewaktu anak masih berusia di bawah 3 tahun, waktu anak lebih banyak berada
dalam lingkungan keluarga sehingga bahasa yang dikuasaipun juga hanya berasal
dari lingkungan keluarga. Selanjutnya, setelah anak berusia 3 tahun ke atas di
mana anak mulai masuk sekolah di Taman Kanak-kanak, anak melakukan
hubungan sosial keluar rumah. Anak yang telah bersosialisasi dengan dunia di
luar rumah akan menemui kosa kata yang lebih banyak dan beraneka ragam.
Teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) merupakan salah satu kajian
semantik leksikal yang berasumsi bahwa pada setiap bahasa terdapat seperangkat
makna yang tidak dapat diuraikan menjadi makna yang lebih sederhana. Makna
yang tidak dapat diuraikan menjadi komponen semantik yang lebih sederhana itu
merupakan inti semantik (semantic core). Dalam teori MSA, inti semantik itu
disebut primitiva makna. Primitiva makna diduga dikuasai anak-anak lebih awal
(Arnawa, 2009: 3).
1
Dalam penelitian ini, ada dua tujuan yaitu: mengetahui karakteristik
semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun dan mendisikripsikan pola-pola
kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian dengan memberikan data
seteliti mungkin tentang manusia atau gejala lainnya, maksudnya adalah untuk
mempertegas dan dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori baru.
Tempat
penelitian dilaksanakan di Taman
Kanak-kanak (TK)
Al
Hidayah V Kwarasan, Grogol, Sukoharjo. Waktu penelitian diperkirakan kurang
lebih selama empat bulan (dari awal sampai akhir penelitian), yaitu dari bulan
Mei sampai dengan bulan Agustus 2012.
Data dalam penelitian adalah kosa kata pada anak-anak TK. Data primer
ini diperoleh dari responden anak-anak di Taman Kanak-kanak (TK) Al Hidayah
V Kwarasan, Grogol, Sukoharjo. Data sekunder dapat berupa sumber pustaka
seperti buku, makalah ilmiah, dokumentasi, dan dokumen pribadi.
Ciri-ciri atau karakteristik sample penelitian ini, antara lain: (1) anak yang
berusia 4-6 tahun, (2) sekolah di Taman Kanak-kanak, dan (3) anak yang pandai
dan tidak malu berbicara atau melakukan komunikasi. Berdasarkan tehnik
sampling yang dipilih, maka sampel dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 10
anak TK, yang terdiri anak putra sebanyak 5 anak dan putri 5 anak.
Teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1)
rekam, (2) catat, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah
model interaktif, yang terdiri empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
2
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik semantik
bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Pengetahuan tentang karakteristik
semantik bahasa Jawa usia anak-anak diharapkan dapat dijadikan pijakan untuk :
(1) memberikan penjelasan terhadap representasi primitiva makna bahasa Jawa
anak-anak usia 4-6 tahun; dan (2) mengidentifikasi pola-pola kalimat kanonik
bahasa Jawa anak-anak usia 4-6 tahun.
Penelitian ini ditekankan pada komponen bentuk bahasa, khususnya pada
komponen semantik dan sintaksis, sedangkan penelitian terhadap komponen
semantik bahasa anak-anak masih jarang dilakukan. Keterbatasan penelitian pada
komponen semantik bahasa anak-anak merupakan salah satu alasan penelitian ini
dilakukan. Komponen semantik bahasa.
Penelitian bahasa Jawa telah banyak dilakukan, tetapi ada perbeda dalam
kajian antara penelitian satu dengan penelitian sekarang. Ada lima penelitian yang
sama objek yaitu bahasa Jawa. Perbedaannya, pada lima penelitian terdahulu
dengan penelitian sekarang, sebagai berikut:
1.
Subiyanto (2010) telah melakukan dengan kajian proses fonologis bahasa
Jawa : kajian teori optimalitas.
2.
Saddhono, dkk., (2010) melakukan penelitiannya wacana bahasa jawa dalam
khotbah jumat di kota surakarta: perspektif kajian linguistik kultural.
3.
Sudjalil (2011) telah melakukan penelitian studi pemetaan dialek bahasa Jawa
sub Malangan (studi awal menuju ke arah studi geografi dialek bahasa Jawa
Malangan di kotamadya Malang).
4.
Krishandini (2011) telah melakukan penelitian kontrastif afiksasi verba
Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia.
5.
Bagiya dan Abdulah (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Bahasa
Jawa di Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjar Negara ditemukan
perbdaan dialek antara bahasa Jawa Banjarnegara.
Dari penjelasan persamaan dan perbedaan penelitian sekarang dengan tiga
penelitian terdahulu membuktikan bahwa penelitian sekarang belum ada yang
3
melakukan penelitian karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6
tahun dan pola-pola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun.
Anak yang berumur antara 5-6 tahun belum mencapai kematangan dalam
fisik, intelektual, moral dan sosialnya sehingga belum siap untuk menerima
pendidikan formal. Di rumah pendidikan berbahasa sebagain dasar diberikan pada
anak untuk mengembangkan sikap, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan
berbahasa. Dengan kata lain anak TK memerlukan pendidikan berbahasa yang
dilaksanakan di rumah, agar anak dapat mengembangkan segenap kemampuannya
untuk hidup dalam masyarakat dan untuk memenuhi syarat dalam melanjutkan
studi yang lebih tinggi (SD).
Karakteristik Kemampuan Bahasa Anak Usia 5-6 Tahun
1) Sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosakata.
2) Lingkup kosakata yang dapat diucapkan anak menyangkut: warna, ukuran,
bentuk, rasa, bau, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan,
jarak, permukaan (kasar-halus).
3) Anak usia 5-6 tahun sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang
baik.
4) Dapat
berpartisipasi
dalam
suatu
percakapan.
Anak
sudah
dapat
mendengarkan orang lain berbicara dan mennaggapi pembicaraan tersebut.
5) Percakapan yang dilakukan oleh anak usia 5-6 tahun telah menyangkut
berbagai komentarnya terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan
orang lain, serta apa yang dilihatnya. Anak pada usia 5-6 tahun sudah dapat
melakukan ekspresi diri, menulis, membaca, dan bahkan berpuisi.
Ragam baha yang digunakan oleh anak menggunakan ragam bahasa santai.
Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi
untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman pada waktu beristirahat,
berolahraga, berekreasi, dsb. Ragam ini banyak menggunakan bentuk alegro,
yakni bentuk ujaran yang dipendekkan. Misalnya sesoorang bertanya tentang
tugas kepada temanya. Sesuai tingkatan bahasa yang ada dalam bahasa Jawa,
bahasa yang digunakan anak adalah bahasa ngoko untuk berbicara dengan
4
temannya dan bahasa krama digunakan oleh anak kepada orang yang lebih tua
(ibu guru atau orangtua).
Bahasa ngoko digunakan untuk berbicara dengan orang yang sebaya atau
orang yang sudah akrab, bisa juga digunakan oleh orang yang kedudukannya lebih
tinggi untuk berbicara kepada bawahnnya. Dalam ragam fungsiolek menurut
Martin Joos, bahasa ngoko dapat diterapkan dalam ragam santai dan akrab.
Misalnya berbicara dengan teman sebaya: “Sapa sik jupuk bukuku ning meja kae
Bud?”
Bahasa krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua
(umur maupun kekerabatan) dan tinggi kedudukannya, juga ketika berhicara
dengan orang yang belum kenal. Bahasa kromo berfungsi sebagai wujud
menghargai dan menghormarti orang yang diajak berbicara. Bahasa krama dibagi
menjadi dua yaitu krama madya dan krama inggil. Madya artinya tengah, jadi
bahasa ini terletak di tengah-tengah antara bahasa ngoko dan krama. Penggunaan
bahasa ini terbatas untuk berbicara dengan orang tua atau yang dituakan akan
tetapi sifat hubunganya sudah akrab. Dalam kalimat, krama madya bisanya
bercampur dengan ngoko bisa juga dengan krama inggil. Misalnya adik berbicara
dengan kakaknya: “Mas, mbok benjing aku diterke teng pasar tumbas sepatu”.
Kalimat tersebut merupakan gabungan dari kama yaitu „benjing‟; krama madya
yaitu „tumbas, „teng „; dan ngoko yaitu „aku‟, „diterke‟. Krama madya ini
digunakan juga dalam ragam santai.
Selanjutnya, bahasa Jawa tersebut dianalisis dengan menggunakan teori
Metabahasa Semantik Alami (MSA) merupakan salah satu kajian semantik
leksikal yang berasumsi bahwa pada setiap bahasa terdapat seperangkat makna
yang tidak dapat diuraikan menjadi makna yang lebih sederhana. Makna yang
tidak dapat diuraikan menjadi komponen semantik yang lebih sederhana itu
merupakan inti semantik (semantic core). Dalam teori MSA, inti semantik itu
disebut primitiva makna. Primitiva makna diduga dikuasai anak-anak lebih awal.
5
Berdasarkan penelitian para ahli, pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia
adalah sebagai berikut.
a. KB + KK : Adik memasak.
b. KB + KS : kakak itu baik.
c. KB + KBil : Harga tas itu dua puluh lima ribu rupiah.
d. KB + (KD + KB) : Tinggalnya di surabaya.
e. KB1 + KK + KB2 : james membaca buku.
Kalimat Memiliki Subjek yang Jelas. Berdasarkan kaidah tata bahasa,
kalimat harus memiliki subjek yang jelas. Jika subjek tidak ada atau tidak jelas,
berarti kalimat tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai kalimat.
Pada
kenyataannya,
jelas.
banyak
dijumpai
kalimat
yang
subjeknya
tidak
Ketidakjelasan subjek tersebut pada umumnya terjadi karena subjek didahului
oleh kata depan. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut.
Untuk
pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara.
Kalimat Memiliki Predikat yang Jelas. Selain harus memiliki subjek,
kalimat juga harus memiliki predikat. Berikut adalah contoh kalimat yang tidak
berpredikat. Untuk mendapatkan data yang valid, peneliti harus ke lapangan.
Kalimat di atas tidak berpredikat. Untuk memperbaiki kalimat tersebut, di
belakang kata harus perlu ditambahkan kata kerja, misalnya pergi atau terjun,
yang akan berfungsi sebagai predikat. Perhatikan kalimat perbaikan berikut ini.
(.a) Untuk mendapatkan data yang valid, / peneliti / harus pergi / ke lapangan. K S
P K (.b) Untuk mendapatkan data yang valid, / peneliti / harus terjun / ke
lapangan. K S P K Demikian pula halnya dengan kalimat (17), di belakang subjek
penelitian ini perlu ditambahkan kata dilakukan atau dilaksanakan yang akan
berfungsi sebagai predikat.
Adapun ciri-ciri kalimat inti adalah sebagai berikut.
• bersusun S/P
• terdiri atas dua kata (S bisa ditambah ini, itu)
• kalimat berita•
6
Dari dua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat inti dari
kalimat perluasan adalah rangkaian dari subjek inti (yang dipokokkan) dengan
predikat inti (yang menerangkan pokok).
Menurut Sigel dan Cocking (2000:5) pemerolehan bahasa merupakan
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling
baik dan sederhana dari bahasa yang bersangkutan.
Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat
bahasa target dengan sifat alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan
komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan
artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz. dalam Sukartiningsih,
2009:12), dan pemerolehan bahasa dibedakan menjadi pemerolehan bahasa
pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika
anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan
ini dapat satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat
juga dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan dapat
lebih dari dua bahasa (multilingual FLA). Pemerolehan bahasa kedua terjadi jika
seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahasa pertama atau merupakan
proses seseorang mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa
asing.
Menurut Vygotsky pemerolehan bahasa pertama diperoleh dari interaksi
anak dengan lingkungannya, walaupun anak sudah memiliki potensi dasar atau
piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky disebut language acquisition
device (LAD), potensi itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat
stimulus dari lingkungan.
Clark dan Clark (dalam Sukartiningsih, 2009: 3) berpendapat bahwa pada
usia kurang lebih 5 tahun proses perkembangan bahasa anak sudah menyerupai
bahasa orang dewasa, baik aspek bunyi, bentuk kata, tata kali maupun organisasi
wacana. Namun, proses perkembangan makna pada bahasa anak tidak otomatis
sejalan dengan proses perkembangan aspek struktur bahasanya. Hal itu
7
disebabkan dalam proses pemerolehan makna bahasa, proses pengaitan antara
makna dan struktur bahasa bukan merupakan proses yang mudah bagi anak.
Mulyadi dan Rumnasari (2006:14) memberikan contoh sebagai bahan
perbandingan padanan istilah Indonesia dan Jawa, sebagai berikut:
(1) Fonologi _ tata / kawruh swara
(2) Morfologi _ tata / kawruh tembung
(3) Sintaksis _ tata / kawruh ukara
(4) Semantik _ tata / kawruh teges, makna, arti (?)
Secara istilah, semantik adalah salah satu cabang ilmu bahasa yang
mengkhususkan perhatian dan pengkajiannya dalam persoalan makna. Hal dan
makna yang sama dipakai juga oleh bidang semantik bahasa Jawa.
Dari hasil pembehasan dapat diketahui bahwa Karakteristik semantik
bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun dianalisis kelas kata dibedakan menjadi
tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel, dan
numeralia. Dua kategori kata yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa
anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi
karena verba dan nomina merupakan kelompok kata yang cenderung
dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. Selain didasarkan kategori
kata, identifikasi produksi kosa kata bahasa Jawa usia anak-anak juga dilakukan
berdasarkan referennya. Referen kosa kata produksi anak-anak dibedakan menjadi
dua, yaitu kosa kata yang bereferen fisik dan mental. Disebut bereferen fisik
apabila kosa kata itu merujuk kepada aspek-aspek fisik (ragawi) dan kebendaan
yang konkret; dan disebut bereferen mental apabila kosa kata itu merujuk kepada
aspek-aspek konseptual, emosional, dan abstrak. bahasa Jawa anak-anak usia 4 –
6 tahun didominasi oleh kosa kata yang bereferen fisik (88,80 %). (2) Pola-pola
kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun . Ada empat jenis pola bahasa
Jawa pada anak, yaitu pola SP, SPO, SPK, dan SPOK.
Hasil penelitian tersebut berbeda dengan tiga penelitian terdahulu.
Penelitian Mulyadi dan Rumnasari (2006) diperoleh kesimpulan bahwa teori
MMA menggunakan konsep makna asali, polisemi, aloleksi, dan sintaksis makna
universal dalam analisis makna. Cirinya ialah membatasi makna kata dengan
8
teknik parafrase. Skenario semantis disusun dari perangkat makna asali dan
melalui perangkat itu dapat diungkapkan persamaan dan perbedaan makna kata.
Deskripsi maknanya bersifat tuntas dan tidak berputar-putar. Linguis adakalanya
bersikap skeptis terhadap munculnya suatu teori baru. Ini bukan sikap yang bijak.
Untuk menilai sebuah teori dan mengetahui manfaat teori itu bagi kepentingan
ilmu pengetahuan, teori tersebut perlu diuji pada sebuah bahasa. Teori MMA
terbukti dapat digunakan untuk mengungkapkan fenomena semantis bahasa
Indonesia.
Kemudian hasil kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Arnawa (2009)
menyimpulkan bahwa karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6
tahun diderivasi dari primitiva makna. Primitiva makna merupakan fitur semantik
primitiva universal. Fitur semantik primitiva yang paling dikuasai anak-anak
adalah prototipe substantiva yang disusul oleh prototipe tindakan. Derivasi
primitiva makna dalam produksi bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun
direpresentasikan dalam berbagai pola kalimat kanonik. Berdasarkan fakta lingual
ini, dapat diketahui bahwa komponen semantik dapat digunakan untuk
menjelaskan komponen bentuk pada produksi bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6
tahun.
Selanjutnya hasil penelitian Indrawati (2010) menyimpulkan bahwa teori
MSA mampu digunakan untuk megeksplikasi makna asali dan menganalisis
struktur semantis MM. Analisis makna yang diutamakan dalam teori MSA ini
adalah analisis dari makna ke bentuk bukan sejawaknya. Makian Madura
memiliki referensi, seperti bagian tubuh manusia, istilah kekerabatan, binatang,
mahluk halus, profesi, sesuatu yang buruk, keadaan mental, keadaan fisik
seseorang, dan aktivitas sosial yang memiliki makna asali antara lain seseorang,
sesuatu, badan, bagian, buruk, terjadi, memikirkan, merasakan, mengetahui,
melakukan, dan lain-lain.
9
Karakteristik Semantik Bahasa Jawa Anak-Anak Usia 4 – 6 Tahun
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada sepuluh anak 4 – 6 tahun
dapat diperoleh berupa kalimat, dengan pola kalimatnya, sebagai berikut:
Tabel 1
Struktur Kalimat yang Digunakan pada Subjek Penelitian
No
Pola
Kalimat
Identitas Subjek
D
1
2
3
4
SP
SPOK
SPK
SPKK
N
Ag
An
K
D
Di
-
Ka
-
-
I
S
-
-
Dari data tersebut berikut ini disajikan tabel ragam yang digunakan
oleh subjek penelitian.
Tabel 2
Contoh kalimat yang Digunakan Subjek Penelitian
No
1
2
3
Pola
Kalimat
Kalimat
SP
Nur ayo jajan!
Wis mangan durung?
Maem bareng yuk
La………..kowe mau melu lomba ra?
Ora ki Dis….aku pilih nonton
Mau kowe ngerti aku melu lomba
Kowe menang ya Dis
Aku diajari nggambar yo dis
SPOK Lha piye tho, aku meh jajan nanging ra duwe duit
Mbak kiki ayo mangkat, selak telat!
Kosek to dis, aku lagi nganggo sepatu iki lho
Hoo aku linggih neng tengah dienteni mamaku
SPK
Aku mung duwe dhuwit sewu ki
Kok dibungkus? Maem kene wae bareng-bareng
Eneng konco-konco liyani mas, ga enak maem dhewe
Sik to dis! Lho aku wis rampung nganggo sepatu, ayo
mangkat
Mas ayo mas…..mbak kiki kowe ngonceng mburi lho ya
Ngerti no, kowe linggih neng tengah to
Aku yo ngerti, seneng yo dis ntuk piala
Sa aku njaluk panganane yo
10
4
SPKK
Sithik wae Sa
Aku njupuk sing iki ya
Mas ian iki lho ngeyel, ora entuk yo ora etuk
Yo limang atus limang atus no, nur, kowe mang atus aku
yo mang atus, sesuk wis to tak jajake genti, tenan aku ra
ngapusi
Util banget dinjaluki sithik we ra entuk, mengko nek aku
tuku kowe ora takeki lho
Ma…..mas ian iki lho nakal, njaluk ra entuk nekad
Nganggo sepatu we kok suwe banget, ayo mas mbak
kiki ditinggal wae
Kamu senangnya begitu kok Dis, kemarin aku yang
bonceng belakang, sekarang aku yang bonceng di depan
no
Aku mau entuk piala, juara gambar nomor telu
Anak-anak usia 4 – 6 tahun telah dapat memproduksi 398 kosa kata
bahasa Jawa. Karakteristik semantik bahasa Jawa pada anak-anak dianalisis
kelas kata berdasarkan pendapat Kridalaksana (2005: 15) dibedakan menjadi
tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel,
dan numeralia. Persebaran kosa kata tersebut dapat disajikan dalam tabel 4.
Tabel 3. Tabulasi Kosa Kata Bahasa Jawa
Anak-Anak Usia 4 – 6 Tahun
No
1
2
3
4
5
6
7
Kategori
Nomina
Verba
Adverbia
Pronomina
Adjektiva
Partikel
Numeralia
Jumlah
Jumlah
109
186
40
19
16
17
11
398
Persentase
27,34 %
46,69 %
10,05 %
4,72 %
4,22 %
4,23 %
2,75 %
100
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa ada dua kategori kata
yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa anak-anak, yakni verba (46,69
%) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi karena verba dan nomina
merupakan kelompok kata yang cenderung dipertahankan dalam produksi bahasa
oleh anak-anak. Produksi verba paling banyak daripada kategori lain karena verba
11
menduduki fungsi sentral dalam sebuah kalimat. Kepusatan verba ini dibuktikan
dengan adanya kencenderungan anak-anak yang hanya mengatakan verba pada
kalimat satu kata. Misalnya, anak-anak akan mengatakan maem untuk
menyatakan maksud „Saya ingin makan‟ dan penutur dewasa memahami maksud
anak itu.
SIMPULAN
Hasil penelitian ini sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan ada dua
kesimpulan, yaitu: (1) Karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6
tahun. Bahasa Jawa pada anak-anak dianalisis kelas kata dibedakan menjadi tujuh
macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel, dan
numeralia. Dua kategori kata yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa
anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi
karena verba dan nomina merupakan kelompok kata yang cenderung
dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. (2) Pola-pola kalimat
bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Pola kalimat atau struktur kalimat bahasa
Jawa yang digunakan oleh anak berpola kalimat sederhana. Ada empat jenis pola
bahasa Jawa pada anak, yaitu pola SP, SPO, SPK, dan SPOK. Pola S-P: Adikku
mangan (Adiku makan). Pola S-P-O: Aku maem roti (Saya makan roti). Pola S-PK: Dista melu mamae (Dista ikut mamanya). Pola S-P-O-K: Aku pendak dino
digawekku ibuku sego goreng (Aku setiap hari dibuatkan ibu nasi goreng).
DAFTAR PUSTAKA
Arnawa, Nengah. 2009. Bahasa Bali Usia Anak-Anak : Kajian Metabahasa
Semantik Alami. Linguistika. Vol. 16, No. 30.
Bagiya dan Abdulah, Wakit. 2011. “Bahasa Jawa di Kecamatan Banjarnegara
Kabupaten Banjar Negara”. Jurnal Kebahasaan. Tahun 40. Nomor 8.
Hal. 15-36.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
12
Hurlock, Elizabeth B. 2003. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Indrawati, Diana. 2010. Makian dalam Bahasa Madura: Kajian Metabahasa
Semantik Alami. Jurnal Kebahasaan. Vol. 3. No. 6. Hal. 1-11
Keraf, Gorys. 2002. Gaya Bahasa dan Diksi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Krishandini. 2011. “Analisis Kontrastif Afiksasi Verba Bahasa Jawa dengan
Bahasa Indonesia”. Skripsi. Bandung: Universitas Padjajaran.
Mulyadi, Siregar dan Rumnasari, T. 2006. Kategori dan Peran Semantis Verba
dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume V No.
1. Hal. 5-16.
Saddhono, Kindharu, I Dewa Putu Wijana, dan Soepomo Poedjosoedarmo. 2010.
“ Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat Di Kota Surakarta :
Perspektif Kajian Linguistik Kultural”. Annual Conference on Islamic
Studies. Hal. 717-730.
Subiyanto, Agus. 2010. ”Proses Fonologis Bahasa Jawa : Kajian Teori
Optimalitas”. Skripsi. Semarang: universitas Diponegoro.
Sudjalil. 2011. “Studi Pemetaan Dialek bahasa Jawa Sub Malangan (Studi Awal
Menuju ke Arah Studi Geografi Dialek Bahasa Jawa Malangan di
Kotamadya Malang).” Humanity. Vol. 1. No. 1. Hal. 53-59.
Sukartiningsih, Wahyu. 2009. Konstruksi Semantis Kata Pada Perkembangan
Bahasa Indonesia Anak. Jurnal Bahasa dan Satra. Vol. 3. No. 4. Hal.
205-216.
13
Download