BAHASA JAWA USIA ANAK-ANAK : KAJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI DI TK AL HIDAYAH V KWARASAN GROGOL SUKOHARJO Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Disusun: ANDI SETYA ARDIANTA NIM A 310 070 127 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013 0 1 BAHASA JAWA USIA ANAK-ANAK : KAJIAN METABAHASA SEMANTIK ALAMI DI TK AL HIDAYAH V KWARASAN GROGOL SUKOHARJO Andi Setya Ardianta NIM A 310 070 127 ABSTRAK Penelitian ini ada dua tujuan yaitu :1) Mengetahui karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. 2) Mendisikripsikan pola-pola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Tempat penelitian dilaksanakan di Taman Kanak-kanak (TK) Al Hidayah V Kwarasan, Grogol, Sukoharjo. sampel dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 10 anak TK, yang terdiri anak putra sebanyak 5 anak dan putri 5 anak. Teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1) rekam, (2) catat, dan dokumentasi. Kesimpulan hasil penelitian yaitu: (1) Karakteristik semantik bahasa Jawa anakanak usia 4 – 6 tahun. Bahasa Jawa pada anak-anak dianalisis kelas kata dibedakan menjadi tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel, dan numeralia. Dua kategori kata yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi karena verba dan nomina merupakan kelompok kata yang cenderung dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. (2) Polapola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Pola kalimat atau struktur kalimat bahasa Jawa yang digunakan oleh anak berpola kalimat sederhana. Ada empat jenis pola bahasa Jawa pada anak, yaitu pola SP, SPO, SPK, dan SPOK. Pola S-P: Adikku mangan (Adiku makan). Pola S-P-O: Aku maem roti (Saya makan roti). Pola S-P-K: Dista melu mamae (Dista ikut mamanya). Pola S-P-OK: Aku pendak dino digawekku ibuku sego goreng (Aku setiap hari dibuatkan ibu nasi goreng). Kata Kunci: Bahasa Jawa Anak, Metabahasa Semantik 2 PENDAHULUAN Penggunaan bahasa yang terkait dengan unsur-unsur di luar bahasa dapat dilihat dalam berbagai peristiwa tutur. Dalam hal ini dilakukan oleh penutur tertentu dengan nilai, norma budaya, dan adat istiadatnya. Aitchison (dalam Mulyadi dan Siregar, 2006: 4) mengatakan bahwa penggunaan bahasa, dengan berbagai ragamnya, sebagai alat berkomunikasi untuk menyatakan perasaan dan emosi dalam kaitannya dengan kontak sosial dan sebagai alat transmisi budaya. Keraf (2002:88) menyatakan bahwa kata adalah sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menyebabkan orang berpikir tentang sesuatu hal dan makna sebuah kata. Dikatakan oleh Dardjowidjojo (2003: 225), bahwa penguasaan kosa kata yang digunakan untuk berbahasa oleh anak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga sebagai tempat pemerolehan bahasa yang utama dan pertama (bahasa daerah atau bahasa ibu). Perkembangan pemakaian bahasa pada anak dipengaruhi oleh meningkatnya usia anak. Semakin anak bertambah umur, maka akan semakin banyak kosa kata yang dikuasi. Hurlock (2003: 115) berpendapat bahwa perkembangan bahasa yang dikuasai anak dipengaruhi oleh perkembangan usia anak dan lingkungan. Sewaktu anak masih berusia di bawah 3 tahun, waktu anak lebih banyak berada dalam lingkungan keluarga sehingga bahasa yang dikuasaipun juga hanya berasal dari lingkungan keluarga. Selanjutnya, setelah anak berusia 3 tahun ke atas di mana anak mulai masuk sekolah di Taman Kanak-kanak, anak melakukan hubungan sosial keluar rumah. Anak yang telah bersosialisasi dengan dunia di luar rumah akan menemui kosa kata yang lebih banyak dan beraneka ragam. Teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) merupakan salah satu kajian semantik leksikal yang berasumsi bahwa pada setiap bahasa terdapat seperangkat makna yang tidak dapat diuraikan menjadi makna yang lebih sederhana. Makna yang tidak dapat diuraikan menjadi komponen semantik yang lebih sederhana itu merupakan inti semantik (semantic core). Dalam teori MSA, inti semantik itu disebut primitiva makna. Primitiva makna diduga dikuasai anak-anak lebih awal (Arnawa, 2009: 3). 1 Dalam penelitian ini, ada dua tujuan yaitu: mengetahui karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun dan mendisikripsikan pola-pola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian dengan memberikan data seteliti mungkin tentang manusia atau gejala lainnya, maksudnya adalah untuk mempertegas dan dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori baru. Tempat penelitian dilaksanakan di Taman Kanak-kanak (TK) Al Hidayah V Kwarasan, Grogol, Sukoharjo. Waktu penelitian diperkirakan kurang lebih selama empat bulan (dari awal sampai akhir penelitian), yaitu dari bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2012. Data dalam penelitian adalah kosa kata pada anak-anak TK. Data primer ini diperoleh dari responden anak-anak di Taman Kanak-kanak (TK) Al Hidayah V Kwarasan, Grogol, Sukoharjo. Data sekunder dapat berupa sumber pustaka seperti buku, makalah ilmiah, dokumentasi, dan dokumen pribadi. Ciri-ciri atau karakteristik sample penelitian ini, antara lain: (1) anak yang berusia 4-6 tahun, (2) sekolah di Taman Kanak-kanak, dan (3) anak yang pandai dan tidak malu berbicara atau melakukan komunikasi. Berdasarkan tehnik sampling yang dipilih, maka sampel dalam penelitian ini ditentukan sebanyak 10 anak TK, yang terdiri anak putra sebanyak 5 anak dan putri 5 anak. Teknik untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1) rekam, (2) catat, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif, yang terdiri empat kegiatan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. 2 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Pengetahuan tentang karakteristik semantik bahasa Jawa usia anak-anak diharapkan dapat dijadikan pijakan untuk : (1) memberikan penjelasan terhadap representasi primitiva makna bahasa Jawa anak-anak usia 4-6 tahun; dan (2) mengidentifikasi pola-pola kalimat kanonik bahasa Jawa anak-anak usia 4-6 tahun. Penelitian ini ditekankan pada komponen bentuk bahasa, khususnya pada komponen semantik dan sintaksis, sedangkan penelitian terhadap komponen semantik bahasa anak-anak masih jarang dilakukan. Keterbatasan penelitian pada komponen semantik bahasa anak-anak merupakan salah satu alasan penelitian ini dilakukan. Komponen semantik bahasa. Penelitian bahasa Jawa telah banyak dilakukan, tetapi ada perbeda dalam kajian antara penelitian satu dengan penelitian sekarang. Ada lima penelitian yang sama objek yaitu bahasa Jawa. Perbedaannya, pada lima penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang, sebagai berikut: 1. Subiyanto (2010) telah melakukan dengan kajian proses fonologis bahasa Jawa : kajian teori optimalitas. 2. Saddhono, dkk., (2010) melakukan penelitiannya wacana bahasa jawa dalam khotbah jumat di kota surakarta: perspektif kajian linguistik kultural. 3. Sudjalil (2011) telah melakukan penelitian studi pemetaan dialek bahasa Jawa sub Malangan (studi awal menuju ke arah studi geografi dialek bahasa Jawa Malangan di kotamadya Malang). 4. Krishandini (2011) telah melakukan penelitian kontrastif afiksasi verba Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia. 5. Bagiya dan Abdulah (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Bahasa Jawa di Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjar Negara ditemukan perbdaan dialek antara bahasa Jawa Banjarnegara. Dari penjelasan persamaan dan perbedaan penelitian sekarang dengan tiga penelitian terdahulu membuktikan bahwa penelitian sekarang belum ada yang 3 melakukan penelitian karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun dan pola-pola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Anak yang berumur antara 5-6 tahun belum mencapai kematangan dalam fisik, intelektual, moral dan sosialnya sehingga belum siap untuk menerima pendidikan formal. Di rumah pendidikan berbahasa sebagain dasar diberikan pada anak untuk mengembangkan sikap, kemampuan, pengetahuan dan keterampilan berbahasa. Dengan kata lain anak TK memerlukan pendidikan berbahasa yang dilaksanakan di rumah, agar anak dapat mengembangkan segenap kemampuannya untuk hidup dalam masyarakat dan untuk memenuhi syarat dalam melanjutkan studi yang lebih tinggi (SD). Karakteristik Kemampuan Bahasa Anak Usia 5-6 Tahun 1) Sudah dapat mengucapkan lebih dari 2.500 kosakata. 2) Lingkup kosakata yang dapat diucapkan anak menyangkut: warna, ukuran, bentuk, rasa, bau, keindahan, kecepatan, suhu, perbedaan, perbandingan, jarak, permukaan (kasar-halus). 3) Anak usia 5-6 tahun sudah dapat melakukan peran sebagai pendengar yang baik. 4) Dapat berpartisipasi dalam suatu percakapan. Anak sudah dapat mendengarkan orang lain berbicara dan mennaggapi pembicaraan tersebut. 5) Percakapan yang dilakukan oleh anak usia 5-6 tahun telah menyangkut berbagai komentarnya terhadap apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain, serta apa yang dilihatnya. Anak pada usia 5-6 tahun sudah dapat melakukan ekspresi diri, menulis, membaca, dan bahkan berpuisi. Ragam baha yang digunakan oleh anak menggunakan ragam bahasa santai. Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dsb. Ragam ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk ujaran yang dipendekkan. Misalnya sesoorang bertanya tentang tugas kepada temanya. Sesuai tingkatan bahasa yang ada dalam bahasa Jawa, bahasa yang digunakan anak adalah bahasa ngoko untuk berbicara dengan 4 temannya dan bahasa krama digunakan oleh anak kepada orang yang lebih tua (ibu guru atau orangtua). Bahasa ngoko digunakan untuk berbicara dengan orang yang sebaya atau orang yang sudah akrab, bisa juga digunakan oleh orang yang kedudukannya lebih tinggi untuk berbicara kepada bawahnnya. Dalam ragam fungsiolek menurut Martin Joos, bahasa ngoko dapat diterapkan dalam ragam santai dan akrab. Misalnya berbicara dengan teman sebaya: “Sapa sik jupuk bukuku ning meja kae Bud?” Bahasa krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua (umur maupun kekerabatan) dan tinggi kedudukannya, juga ketika berhicara dengan orang yang belum kenal. Bahasa kromo berfungsi sebagai wujud menghargai dan menghormarti orang yang diajak berbicara. Bahasa krama dibagi menjadi dua yaitu krama madya dan krama inggil. Madya artinya tengah, jadi bahasa ini terletak di tengah-tengah antara bahasa ngoko dan krama. Penggunaan bahasa ini terbatas untuk berbicara dengan orang tua atau yang dituakan akan tetapi sifat hubunganya sudah akrab. Dalam kalimat, krama madya bisanya bercampur dengan ngoko bisa juga dengan krama inggil. Misalnya adik berbicara dengan kakaknya: “Mas, mbok benjing aku diterke teng pasar tumbas sepatu”. Kalimat tersebut merupakan gabungan dari kama yaitu „benjing‟; krama madya yaitu „tumbas, „teng „; dan ngoko yaitu „aku‟, „diterke‟. Krama madya ini digunakan juga dalam ragam santai. Selanjutnya, bahasa Jawa tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Metabahasa Semantik Alami (MSA) merupakan salah satu kajian semantik leksikal yang berasumsi bahwa pada setiap bahasa terdapat seperangkat makna yang tidak dapat diuraikan menjadi makna yang lebih sederhana. Makna yang tidak dapat diuraikan menjadi komponen semantik yang lebih sederhana itu merupakan inti semantik (semantic core). Dalam teori MSA, inti semantik itu disebut primitiva makna. Primitiva makna diduga dikuasai anak-anak lebih awal. 5 Berdasarkan penelitian para ahli, pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. a. KB + KK : Adik memasak. b. KB + KS : kakak itu baik. c. KB + KBil : Harga tas itu dua puluh lima ribu rupiah. d. KB + (KD + KB) : Tinggalnya di surabaya. e. KB1 + KK + KB2 : james membaca buku. Kalimat Memiliki Subjek yang Jelas. Berdasarkan kaidah tata bahasa, kalimat harus memiliki subjek yang jelas. Jika subjek tidak ada atau tidak jelas, berarti kalimat tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai kalimat. Pada kenyataannya, jelas. banyak dijumpai kalimat yang subjeknya tidak Ketidakjelasan subjek tersebut pada umumnya terjadi karena subjek didahului oleh kata depan. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut. Untuk pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara. Kalimat Memiliki Predikat yang Jelas. Selain harus memiliki subjek, kalimat juga harus memiliki predikat. Berikut adalah contoh kalimat yang tidak berpredikat. Untuk mendapatkan data yang valid, peneliti harus ke lapangan. Kalimat di atas tidak berpredikat. Untuk memperbaiki kalimat tersebut, di belakang kata harus perlu ditambahkan kata kerja, misalnya pergi atau terjun, yang akan berfungsi sebagai predikat. Perhatikan kalimat perbaikan berikut ini. (.a) Untuk mendapatkan data yang valid, / peneliti / harus pergi / ke lapangan. K S P K (.b) Untuk mendapatkan data yang valid, / peneliti / harus terjun / ke lapangan. K S P K Demikian pula halnya dengan kalimat (17), di belakang subjek penelitian ini perlu ditambahkan kata dilakukan atau dilaksanakan yang akan berfungsi sebagai predikat. Adapun ciri-ciri kalimat inti adalah sebagai berikut. • bersusun S/P • terdiri atas dua kata (S bisa ditambah ini, itu) • kalimat berita• 6 Dari dua contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa kalimat inti dari kalimat perluasan adalah rangkaian dari subjek inti (yang dipokokkan) dengan predikat inti (yang menerangkan pokok). Menurut Sigel dan Cocking (2000:5) pemerolehan bahasa merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan sederhana dari bahasa yang bersangkutan. Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan informal serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara formal dan artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz. dalam Sukartiningsih, 2009:12), dan pemerolehan bahasa dibedakan menjadi pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa. Pemerolehan ini dapat satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat juga dua bahasa secara bersamaan atau berurutan (bilingual FLA). Bahkan dapat lebih dari dua bahasa (multilingual FLA). Pemerolehan bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahasa pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing. Menurut Vygotsky pemerolehan bahasa pertama diperoleh dari interaksi anak dengan lingkungannya, walaupun anak sudah memiliki potensi dasar atau piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky disebut language acquisition device (LAD), potensi itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Clark dan Clark (dalam Sukartiningsih, 2009: 3) berpendapat bahwa pada usia kurang lebih 5 tahun proses perkembangan bahasa anak sudah menyerupai bahasa orang dewasa, baik aspek bunyi, bentuk kata, tata kali maupun organisasi wacana. Namun, proses perkembangan makna pada bahasa anak tidak otomatis sejalan dengan proses perkembangan aspek struktur bahasanya. Hal itu 7 disebabkan dalam proses pemerolehan makna bahasa, proses pengaitan antara makna dan struktur bahasa bukan merupakan proses yang mudah bagi anak. Mulyadi dan Rumnasari (2006:14) memberikan contoh sebagai bahan perbandingan padanan istilah Indonesia dan Jawa, sebagai berikut: (1) Fonologi _ tata / kawruh swara (2) Morfologi _ tata / kawruh tembung (3) Sintaksis _ tata / kawruh ukara (4) Semantik _ tata / kawruh teges, makna, arti (?) Secara istilah, semantik adalah salah satu cabang ilmu bahasa yang mengkhususkan perhatian dan pengkajiannya dalam persoalan makna. Hal dan makna yang sama dipakai juga oleh bidang semantik bahasa Jawa. Dari hasil pembehasan dapat diketahui bahwa Karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun dianalisis kelas kata dibedakan menjadi tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel, dan numeralia. Dua kategori kata yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi karena verba dan nomina merupakan kelompok kata yang cenderung dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. Selain didasarkan kategori kata, identifikasi produksi kosa kata bahasa Jawa usia anak-anak juga dilakukan berdasarkan referennya. Referen kosa kata produksi anak-anak dibedakan menjadi dua, yaitu kosa kata yang bereferen fisik dan mental. Disebut bereferen fisik apabila kosa kata itu merujuk kepada aspek-aspek fisik (ragawi) dan kebendaan yang konkret; dan disebut bereferen mental apabila kosa kata itu merujuk kepada aspek-aspek konseptual, emosional, dan abstrak. bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun didominasi oleh kosa kata yang bereferen fisik (88,80 %). (2) Pola-pola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun . Ada empat jenis pola bahasa Jawa pada anak, yaitu pola SP, SPO, SPK, dan SPOK. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan tiga penelitian terdahulu. Penelitian Mulyadi dan Rumnasari (2006) diperoleh kesimpulan bahwa teori MMA menggunakan konsep makna asali, polisemi, aloleksi, dan sintaksis makna universal dalam analisis makna. Cirinya ialah membatasi makna kata dengan 8 teknik parafrase. Skenario semantis disusun dari perangkat makna asali dan melalui perangkat itu dapat diungkapkan persamaan dan perbedaan makna kata. Deskripsi maknanya bersifat tuntas dan tidak berputar-putar. Linguis adakalanya bersikap skeptis terhadap munculnya suatu teori baru. Ini bukan sikap yang bijak. Untuk menilai sebuah teori dan mengetahui manfaat teori itu bagi kepentingan ilmu pengetahuan, teori tersebut perlu diuji pada sebuah bahasa. Teori MMA terbukti dapat digunakan untuk mengungkapkan fenomena semantis bahasa Indonesia. Kemudian hasil kesimpulan penelitian yang dilakukan oleh Arnawa (2009) menyimpulkan bahwa karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun diderivasi dari primitiva makna. Primitiva makna merupakan fitur semantik primitiva universal. Fitur semantik primitiva yang paling dikuasai anak-anak adalah prototipe substantiva yang disusul oleh prototipe tindakan. Derivasi primitiva makna dalam produksi bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun direpresentasikan dalam berbagai pola kalimat kanonik. Berdasarkan fakta lingual ini, dapat diketahui bahwa komponen semantik dapat digunakan untuk menjelaskan komponen bentuk pada produksi bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Selanjutnya hasil penelitian Indrawati (2010) menyimpulkan bahwa teori MSA mampu digunakan untuk megeksplikasi makna asali dan menganalisis struktur semantis MM. Analisis makna yang diutamakan dalam teori MSA ini adalah analisis dari makna ke bentuk bukan sejawaknya. Makian Madura memiliki referensi, seperti bagian tubuh manusia, istilah kekerabatan, binatang, mahluk halus, profesi, sesuatu yang buruk, keadaan mental, keadaan fisik seseorang, dan aktivitas sosial yang memiliki makna asali antara lain seseorang, sesuatu, badan, bagian, buruk, terjadi, memikirkan, merasakan, mengetahui, melakukan, dan lain-lain. 9 Karakteristik Semantik Bahasa Jawa Anak-Anak Usia 4 – 6 Tahun Berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada sepuluh anak 4 – 6 tahun dapat diperoleh berupa kalimat, dengan pola kalimatnya, sebagai berikut: Tabel 1 Struktur Kalimat yang Digunakan pada Subjek Penelitian No Pola Kalimat Identitas Subjek D 1 2 3 4 SP SPOK SPK SPKK N Ag An K D Di - Ka - - I S - - Dari data tersebut berikut ini disajikan tabel ragam yang digunakan oleh subjek penelitian. Tabel 2 Contoh kalimat yang Digunakan Subjek Penelitian No 1 2 3 Pola Kalimat Kalimat SP Nur ayo jajan! Wis mangan durung? Maem bareng yuk La………..kowe mau melu lomba ra? Ora ki Dis….aku pilih nonton Mau kowe ngerti aku melu lomba Kowe menang ya Dis Aku diajari nggambar yo dis SPOK Lha piye tho, aku meh jajan nanging ra duwe duit Mbak kiki ayo mangkat, selak telat! Kosek to dis, aku lagi nganggo sepatu iki lho Hoo aku linggih neng tengah dienteni mamaku SPK Aku mung duwe dhuwit sewu ki Kok dibungkus? Maem kene wae bareng-bareng Eneng konco-konco liyani mas, ga enak maem dhewe Sik to dis! Lho aku wis rampung nganggo sepatu, ayo mangkat Mas ayo mas…..mbak kiki kowe ngonceng mburi lho ya Ngerti no, kowe linggih neng tengah to Aku yo ngerti, seneng yo dis ntuk piala Sa aku njaluk panganane yo 10 4 SPKK Sithik wae Sa Aku njupuk sing iki ya Mas ian iki lho ngeyel, ora entuk yo ora etuk Yo limang atus limang atus no, nur, kowe mang atus aku yo mang atus, sesuk wis to tak jajake genti, tenan aku ra ngapusi Util banget dinjaluki sithik we ra entuk, mengko nek aku tuku kowe ora takeki lho Ma…..mas ian iki lho nakal, njaluk ra entuk nekad Nganggo sepatu we kok suwe banget, ayo mas mbak kiki ditinggal wae Kamu senangnya begitu kok Dis, kemarin aku yang bonceng belakang, sekarang aku yang bonceng di depan no Aku mau entuk piala, juara gambar nomor telu Anak-anak usia 4 – 6 tahun telah dapat memproduksi 398 kosa kata bahasa Jawa. Karakteristik semantik bahasa Jawa pada anak-anak dianalisis kelas kata berdasarkan pendapat Kridalaksana (2005: 15) dibedakan menjadi tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel, dan numeralia. Persebaran kosa kata tersebut dapat disajikan dalam tabel 4. Tabel 3. Tabulasi Kosa Kata Bahasa Jawa Anak-Anak Usia 4 – 6 Tahun No 1 2 3 4 5 6 7 Kategori Nomina Verba Adverbia Pronomina Adjektiva Partikel Numeralia Jumlah Jumlah 109 186 40 19 16 17 11 398 Persentase 27,34 % 46,69 % 10,05 % 4,72 % 4,22 % 4,23 % 2,75 % 100 Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa ada dua kategori kata yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi karena verba dan nomina merupakan kelompok kata yang cenderung dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. Produksi verba paling banyak daripada kategori lain karena verba 11 menduduki fungsi sentral dalam sebuah kalimat. Kepusatan verba ini dibuktikan dengan adanya kencenderungan anak-anak yang hanya mengatakan verba pada kalimat satu kata. Misalnya, anak-anak akan mengatakan maem untuk menyatakan maksud „Saya ingin makan‟ dan penutur dewasa memahami maksud anak itu. SIMPULAN Hasil penelitian ini sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan ada dua kesimpulan, yaitu: (1) Karakteristik semantik bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Bahasa Jawa pada anak-anak dianalisis kelas kata dibedakan menjadi tujuh macam, yaitu nomina, verba, adverbial, pronomina, adjektiva, partikel, dan numeralia. Dua kategori kata yang mendominasi produksi kosa kata bahasa Jawa anak-anak, yakni verba (46,69 %) dan nomina (27,34 %). Fakta bahasa ini terjadi karena verba dan nomina merupakan kelompok kata yang cenderung dipertahankan dalam produksi bahasa oleh anak-anak. (2) Pola-pola kalimat bahasa Jawa anak-anak usia 4 – 6 tahun. Pola kalimat atau struktur kalimat bahasa Jawa yang digunakan oleh anak berpola kalimat sederhana. Ada empat jenis pola bahasa Jawa pada anak, yaitu pola SP, SPO, SPK, dan SPOK. Pola S-P: Adikku mangan (Adiku makan). Pola S-P-O: Aku maem roti (Saya makan roti). Pola S-PK: Dista melu mamae (Dista ikut mamanya). Pola S-P-O-K: Aku pendak dino digawekku ibuku sego goreng (Aku setiap hari dibuatkan ibu nasi goreng). DAFTAR PUSTAKA Arnawa, Nengah. 2009. Bahasa Bali Usia Anak-Anak : Kajian Metabahasa Semantik Alami. Linguistika. Vol. 16, No. 30. Bagiya dan Abdulah, Wakit. 2011. “Bahasa Jawa di Kecamatan Banjarnegara Kabupaten Banjar Negara”. Jurnal Kebahasaan. Tahun 40. Nomor 8. Hal. 15-36. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 12 Hurlock, Elizabeth B. 2003. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Indrawati, Diana. 2010. Makian dalam Bahasa Madura: Kajian Metabahasa Semantik Alami. Jurnal Kebahasaan. Vol. 3. No. 6. Hal. 1-11 Keraf, Gorys. 2002. Gaya Bahasa dan Diksi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Krishandini. 2011. “Analisis Kontrastif Afiksasi Verba Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia”. Skripsi. Bandung: Universitas Padjajaran. Mulyadi, Siregar dan Rumnasari, T. 2006. Kategori dan Peran Semantis Verba dalam Bahasa Indonesia. Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Volume V No. 1. Hal. 5-16. Saddhono, Kindharu, I Dewa Putu Wijana, dan Soepomo Poedjosoedarmo. 2010. “ Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat Di Kota Surakarta : Perspektif Kajian Linguistik Kultural”. Annual Conference on Islamic Studies. Hal. 717-730. Subiyanto, Agus. 2010. ”Proses Fonologis Bahasa Jawa : Kajian Teori Optimalitas”. Skripsi. Semarang: universitas Diponegoro. Sudjalil. 2011. “Studi Pemetaan Dialek bahasa Jawa Sub Malangan (Studi Awal Menuju ke Arah Studi Geografi Dialek Bahasa Jawa Malangan di Kotamadya Malang).” Humanity. Vol. 1. No. 1. Hal. 53-59. Sukartiningsih, Wahyu. 2009. Konstruksi Semantis Kata Pada Perkembangan Bahasa Indonesia Anak. Jurnal Bahasa dan Satra. Vol. 3. No. 4. Hal. 205-216. 13