Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran ANALISIS KERENTANAN LONGSOR PADA FASIES PROKSIMAL–MEDIAL GUNUNGAPI GALUNGGUNG DI DAERAH PERBUKITAN SEPULUH RIBU, TASIKMALAYA Michelle Calista Carina1, Johanes Hutabarat2, dan Agung Mulyo3 1 Mahasiswa S1 Prodi Teknik Geologi, Fakultas Teknis Geologi, UNPAD 2 Departemen Geologi Sains, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran 3 Departemen Geologi Terapan, Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Email : [email protected] Abstrak Batuan vulkanik di Perbukitan Sepuluh Ribu, Tasikmalaya memiliki kerentanan longsor yang bervariasi dan keberadaannya perlu diperhatikan mengingat semakin tingginya aktivitas pemanfaatan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan longsor di kawasan Perbukitan Sepuluh Ribu yang terspesifikasi pada fasies proksimal dan medial. Analisis yang dilakukan mengacu hasil pemetaan geologi yang didukung hasil analisis geomorfologi. Hasil pemetaan geologi menunjukkan bahwa bagian barat laut merupakan fasies proksimal, sedangkan bagian tenggara merupakan fasies medial. Fasies proksimal terdiri dari breksi piroklastik grain supported dan matrix supported yang belum terkompaksi dengan baik, sedangkan fasies medial didominasi breksi piroklastik matrix supported dan tuf yang lebih kompak. Analisis geomorfologi menunjukkan fasies proksimal cenderung lebih curam daripada fasies medial. Analisis keseluruhan memberikan informasi bahwa wilayah fasies proksimal memiliki kerentanan longsor lebih tinggi daripada wilayah fasies medial. Kata Kunci : perbukitan sepuluh ribu, longsor, fasies, Galunggung A. Pendahuluan Penelitian ini berlokasi di kawasan Perbukitan Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hills), berdasarkan letak geografis, daerah penelitian terletak pada 108° 09’ 30” BT; 07° 17’ 30” LS hingga 107° 15’ 00” BT; 07° 22’ 56” LS. Sementara secara administratif, daerah penelitian ini termasuk ke Kecamatan Indihiang, Mangkubumi, dan Cihideung, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, yang termasuk dalam Peta Rupabumi Indonesia (BAKOSURTANAL) Lembar Tasikmalaya (1308-414) dan Lembar Kawalu (1308-412). Luas daerah penelitian adalah 100 km2. Perbukitan Sepuluh Ribu merupakan bentang alam unik hasil letusan Gunungapi Galunggung. Menurut Bronto (1989), Perbukitan Sepuluh Ribu merupakan hasil longsoran raksasa akibat letusan Gunungapi Galunggung yang terjadi 4200±150 tahun yang lalu. Kawasan ini disebut Perbukitan Sepuluh Ribu oleh peneliti asal Belanda yakni Escher (1925) karena saat itu terdapat sebanyak 3684 bukit. Keberadaan bukit–bukit tersebut semakin hari semakin berkurang, hal ini diakibatkan oleh eksploitasi atau penggalian bahan galian tipe C secara berlebihan. Eksploitasi dilakukan dengan cara membongkar bukit dan menambangnya tanpa memperhatikan kaidah konservasi lingkungan. Eksploitasi secara berlebihan ini selain menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dikhawatirkan dapat juga memicu terjadinya kebencanaan geologi. Karnawati (2005) menyatakan bencana geologi merupakan bencana yang terjadi akibat proses geologi secara alamiah yang “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran siklus kejadiannya mulai dari skala beberapa tahun hingga beberapa ratus, bahkan jutaan tahun. Klasifikasi bencana geologi meliputi gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung api, gerakan massa tanah dan batuan atau longsor serta banjir. Gerakan massa tanah atau longsor dapat terjadi di berbagai jenis daerah, tak terkecuali daerah vulkanik. Arsyad dkk. (2014) dalam penelitiannya di Lereng Malino–Sinjai, meneliti fenomena longsor di daerah dengan dominasi batuan vulkanik. Hal serupa mungkin saja terjadi pada kawasan Perbukitan Sepuluh Ribu yang juga didominasi oleh batuan vulkanik, yakni breksi vulkanik dengan matriks tuf dan komponen batuan beku andesit. berupa aglomerat berbutir kasar, tebal dan dibatasi oleh lava silikaan, dan berupa lapisan tefra kasar sortasi jelek dengan steeply initial dips. Fasies ini menyebar sejauh 0,5-2 km dari pusat erupsi. Hal ini melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian terkait kemungkinan kerentanan longsor di kawasan Perbukitan Sepuluh Ribu yang merupakan daerah fasies proksimal – medial Gunungapi Galunggung. Fasies ini terdiri dari batuan yaag diendapkan pada bagian sisi gunungapi yang berupa batuan piroklastik dan masih dijumpai lava yang telah mengalami breksiasi kuat. Endapan lahar memiliki bongkah yang mencapai ukuran diameter 10 m dengan bentuk yang angular – sub angular. Endapan ini berasosiasi dengan lapisan piroklastik dengan sortasi bagus dan ukuran butir berkisar antara debu kasar - lapili. Endapan debris yang ada dikontrol oleh air. Endapan ini berada pada moderate-shallow initial dips. Fasies ini dapat meluas sampai 10-15 km dari pusat erupsi. B. Dasar Teori B.1 Fasies Gunungapi Menurut Fisher dan Schminke (1984), istilah fasies digunakan untuk menunjukkan variasi batuan berdasarkan sifat fisik, kimia, dan biologi yang terendapkan pada skala geologi tertentu. Umumnya fasies banyak digunakan untuk batuan sedimen, namun sekarang fasies dapat diterapkan untuk menunjukkan penyebaran batuan dan endapan gunungapi. Bogie and Mackenzie (1998) dalam Syabaruddin, et.al (2003) membagi fasies gunungapi menjadi empat macam (Gambar 1), yakni : Central facies Fasies ini meliputi batuan vulkanik yang berada di dekat lubang gunungapi dan biasanya memiliki bentuk dike dan sill yang bersentuhan dengan stock. Endapan yang ada Proximal facies Fasies ini didominasi oleh autobreksi lava yang tebal dan terdapat endapan piroklastik berbutir kasar, breksi piroklastik dengan sortasi jelek. Endapan ini memiliki moderate-steep initial dips. Fasies ini berada di sekitar fasies sentral dan meluas sampai 510 km dari pusat erupsi. Medial facies Distal facies Fasies ini terdiri batuan vulkanik yang terendapkan dengan baik pada bagran bawah yang memiliki penyebaran lateral yang luas dan menerus. Endapan yang termasut ke dalam fasies ini didominasi oleh endapan epiklastik. Berdasarkan litologi yang terdapat pada daerah penelitian dan jarak lokasi penelitan terhadap sumber erupsi (dalam “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran penelitian ini adalah Gunungapi Galunggung) maka penulis menyimpulkan bahwa lokasi penelitian terdapat pada fasies proksimal – distal Gunungapi Galunggung. B.2 Kekerasan Batuan Batuan padu (Intact rock) merupakan material batuan yang dapat diambil sebagai sample dan diuji di laboratorium, dan bebas dari kemampuan struktural berskala besar, misalnya kekar, bidang-bidang perlapisan, zona gerusan (shear zone). Hunt (2005) membuat klasifikasi kekerasan batuan padu, yang dibagi ke dalam lima kelas dan tingkat kekerasan yan berbeda – beda, yakni very soft, soft, moderate, very hard to hard, dan extremely hard. Berbagai tingkat kekerasan ini juga menggambarkan besar kekuatan batuan tersebut dalam menahan beban, yang dinyatakan dalam satuan tsf (tons per square foot) (Tabel 1). C. Geologi Regional Daerah Penelitian C.1 Fisiografi Regional Berdasarkan pembagian fisiografi oleh Van Bemellen (1949) dan dimodifikasi oleh Martodjodjo (1984), maka daerah penelitian secara regional termasuk ke dalam Zona Bandung dan Zona Gunungapi Kuarter (Gambar 2). Zona Bandung merupakan depresi di antara gunung-gunung (intermontagne depression.) Zona ini melengkung dari Pelabuhan Ratu mengikuti Lembah Cimandiri menerus ke timur melalui Kota Bandung, dan berakhir di Segara Anakan di muara S. Citanduy, dengan lebar antara 20 – 40 km. Zona ini memanjang mulai dari sukabumi bagian barat melalui Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan berakhir di Segara Anakan, pantai selatan Jawa Tengah. Van Bemellen (1949) menganggap Zona Bandung merupakan geantiklin Jawa Barat, kemudian runtuh setelah pengangkatan. Daerah rendah ini kemudian terisi oleh endapan gunungapi muda. Zona Gunungapi Kuarter adalah zona yang berisi gunungapi aktif C.2 Stratigrafi Regional Berdasarkan Peta Geologi Lembar Tasikmalaya skala 1:100.000 (Budhitrisna, 1986) daerah penelitian masuk ke dalam tiga satuan meliputi: Hasil Gunungapi Tua G. Sawal (Sawal Mountain Old Volcanic Products/QTvs) Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Tasikmalaya (Budhitrisna, 1986), satuan ini hanya sedikit tersebar di daerah penelitian. Satuan ini terdiri dari perselingan breksi, lava, tufa, lahar; bersusunan andesit sampai basal, hasil kegiatan gunungapi strato : Gunung Sawal. Hasil Gunungapi Muda G. Talagabodas (Talagabodas Mountain Young Volcanic Products/Qyt) Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Tasikmalaya (Budhiatrisna, 1973), satuan ini merupakan satuan yang tersebar di sebelah tenggara daerah penelitian. Pada satuan ini mengandung perselingan breksi, lava, tufa, dan lahar bersusunan andesit sampai basal; hasil kegiatan gunungapi Kuarter : Gunung Talagabodas. Breksi Gunungapi Gunung Galunggung (Mount Galunggung Volcanic Breccia/Qvb) “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Berdasarkan Peta Geologi Regional Lembar Tasikmalaya (Budhiatrisna, 1973), satuan ini merupakan satuan yang mendominasi dalam daerah penelitian. Pada satuan ini mengandung breksi lahar, breksi lava, endapan aliran piroklastika bersusunan andesit sampai basal; tak seberapa mengeras. Breksi lahar, terdiri atas komponen bongkah lava, breksi lava, dan bahan piroklastika dalam massa dasar pasir lempungan; setempat mengandung kayu ; pejal. Di beberapa tempat dijumpai perlapisan sejajar tak menerus. Dalam keadaan segar endapan piroklastika berwarna kelabu kemerahan; ukuran dari abu sampai bom; lepas sampai tak seberapa mengeras. Satuan ini secara morfologi berupa perbukitan yang oleh Escher (1925) diberi nama Bukit Sepuluh Ribu. D. Metodologi Penelitian Penelitian ini didukung dengan data penelitian yang dilakukan oleh Bronto (1985) dan Dono (2014) di kawasan Perbukitan Sepuluh Ribu dan sekitarnya. Setelah itu dilakukan pemetaan geologi yang meliputi : pengumpulan data lapangan yang mencakup pengamatan batuan, deskripsi megaskopis batuan, uji sifat fisik batuan ( dalam hal ini mencakup uji kompaksi dan kekerasan batuan) penelitian. Selanjutnya adalah tahap analisis studio, yang meliputi analisis citra satelit melalui Citra DEM, analisis geomorfologi yang mencakup analisis morfometri dengan acuan klasifikasi Van Zuidam (1985), analisis morfografi, dan analisis morfogenetik dari hasil pengamatan batuan di lapangan, dan analisis petrografi. Berdasarkan hasil analisis tersebut, selanjutnya dilakukan deliniasi pembagian wilayah tingkat kerentanan longsor pada kawasan Perbukitan Sepuluh Ribu. E. Hasil dan Pembahasan E.1 Geomorfologi Geomorfologi daerah penelitian terbagi menjadi empat satuan, yakni Satuan Perbukitan Vulkanik Agak Curam, Satuan Perbukitan Vulkanik Landai yang mendominasi bagian barat – barat laut wilayah penelitian dan Satuan Perbukitan Vulkanik Agak Landai, Satuan Pedataran Vulkanik yang mendominasi bagian timur laut – barat daya wilayah penelitian. Dari hasil analisis geomorfologi didapatkan bahwa pada pada wilayah barat – barat laut memiliki kemiringan lereng yang lebih curam dibanding daerah lainnya (Gambar 3). E.2 Pengumpulan Data Lapangan Penulis membuat 60 lokasi pengamatan yang merata penyebarannya di daerah penelitian , dan dari hasil pengumpulan data lapangan menunjukkan bahwa singkapan batuan di daerah penelitian terdiri dari breksi aliran piroklastik skoriaan (grain supported), breksi aliran piroklastik skoriaan (matrix supported), breksi piroklastik, lava andesitik, dan tuf. Pada hasil pengamatan di lapangan,dilakukan uji sifat fisik batuan yang berupa uji kekerasan. Sampel – sampel batuan yang mewakili tiap wilayah penelitian ditabulasikan dalam tabel dengan beberapa parameter penting seperti yang terlihat pada Tabel 2. Analisis petrografi dilakukan pada beberapa sampel terpilih yang meliputi sampel lava, fragmen breksi, matriks breksi, dan tuf. Dari analisa yang dilakukan, sampel fragmen breksi skoriaan adalah andesit yang memiliki kenampakan vesikular dan matriks “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran breksi nya adalah lithic tuff. Sampel fragmen breksi piroklastik adalah andesit dan matriks breksi nya adalah lithic tuff. Sampel tuf yang dianalisa menunjukkan nama crystall tuff dan sampel lava andesitik menunjukan batuan andesit yang memiliki tekstur trachytic,yang umum dijumpai pada kenampakan mikroskopis litologi lava. E.3 Deliniasi Wilayah Setelah melakukan pengumpulan data lapangan, analisa geomorfologi, analisis citra satelit dan uji kekerasan batuan, dilakukan deliniasi pembagian wilayah tingkat kerentanan longsor. Hal ini berdasarkan : 1. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa di bagian barat – barat laut daerah penelitian didominasi oleh batuan yang memiliki kekerasan very soft - soft, hal ini ditandai dengan material batuan yang mudah di lepaskan (belum terkompaksi dengan sempurna), sementara itu pada bagian timur laut – barat daya didominasi oleh batuan yang memiliki kekerasan moderate, hal ini ditandai dengan material batuan yang telah terkompaksi dengan cukup baik. Hal ini juga menandakan bahwa di daerah barat – barat laut memiliki batuan yang nilai kekerasannya lebih rendah dibanding daerah timur laut – barat daya. 2. Analisis citra satelit melalui citra DEM ditemukan bahwa daerah barat 0 barat laut didominasi oleh bentukan lahan yang berbukit, sementara daerah timur laut – barat daya didominasi oleh pedataran. 3. Analisa geomorfologi yang menunjukkan bahwa di daerah penelitian memiliki kerapatan kontur yang berbeda, di mana di daerah baratbarat laut memilih kerapatan kontur yang lebih rapat dibanding di daerah timur laut – barat daya dan nilai kemiringan lereng yang berbeda-beda. Pada daerah barat – barat laut daerah penelitian cenderung curam, yakni : 14 – 27o sementara pada daerah timur laut – barat daya cenderung datar, yakni : 2 – 3o. Sehingga penulis membagi wilayah penelitian menjadi dua wilayah dengan tingkat rentan longsor yang berbeda, yakni Wilayah “A” dan Wilayah “B” (Gambar 4). Wilayah A merupakan wilayah yang relatif stabil dibanding dengan wilayah B, hal ini ditandai dengan kemiringan lereng yang dominan datar, kekerasan dan kompaksi batuan yang kuat. Hal ini juga terbukti dengan wilayah A yang banyak dimanfaatkan untuk perkantoran dan pemukiman (Gambar 5). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah A relatif stabil. Sementara itu, wilayah B memiliki tingkat kestabilan yang lebih rendah dibanding wilayah A (dalam hal ini tingkat rentan longsor wilayah B lebih tinggi dibanding wilayah A). Hal ini ditandai dengan kemiringin lereng yang relatif lebih curam dibanding wilayah A, bentuk lahan yang berbukit, kompaksi dan kekerasan batuan yang belum sempurna (masih mudah terlepas). Selain itu wilayah B lebih banyak dimanfaatkan sebagai tambang terbuka (Gambar 5), yang tidak menutup kemungkinan meningkatnya pengurangan daya dukung lahan. F. Kesimpulan dan Saran Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa setidaknya terdapat dua wilayah dengan tingkat kerentanan longsor (tingkat stabilitas lahan) yang berbeda, yakni “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan” Seminar Nasional Ke – III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Wilayah “A” dan Wilayah “B”. Wilayah “B” memiliki tingkat kerentanan longsor yang lebih tinggi (tingkat kestabilan lahan yang lebih rendah) dibandingkan Wilayah “A” hal ini ditunjang dengan dengan hasil pengamatan lapangan, batuan, uji kekerasan batuan, analisis studio, dan bukti pemanfaatan lahan. Maka dari hasil penelitian ini, penulis menyarankan beberapa hal, yakni : pembatasan izin tambang terbuka di Wilayah “B” dan reboisasi atau pemulihan kembali daerah bekas tambang, hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya dukung lahan yang mungkin saja telah berkurang akibat penambangan secara berkelanjutan. Daftar Pustaka Bemmelen, Van.,(1949). The Geology Of Indonesia. Batavia, Departement of Transport Energy and Mining. Escher, B.G., (1925), L.eboulement prehistorique de Tasikmalaya et le volcan Galoungoung (Java), Leidsche Geol. Meded. 1,8 - 21 Fisher, R V., and Schmincke, H. U., (1984), Pyroclastics Rocks, Springer - Verlag Berlin. Hunt, E. Roy. (2005). Characteristics of Geologic Materials and Formations : A Field Guide for Geotechnical Engineers. Florida ; CRC Press Syabaruddin, dkk. (2003). Pemetaan Fasies Vulkanik Pada Daerah Prospek Panasbumi Gunung Ungaran Jawa Tengah. PROCEEDINGS OF JOINT CONVENTION JAKARTA 2003 The 32rd IAGI and The 28th HAGI Annual Convention and Exhibition. Indonesia. 1-4 Zuidam, V., (1983), A Guide Interpretations Aerial Photograph to Geomorphologt Map, ITC, Netherland. Bogie, I., and Mackenzie, IC M., (1998), The Application of a Volcanic Facies Model to an Andesitic stratovolcano Hosted Geothermal System at Wayang Windu, Java, Indonesia Proceedings of New Zealand Geothermal Workshop, Auckland New Zealand Budhitrisna, T., (1986). Geologi Lembar Tasikmalaya, Jawa Barat. Dirjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Bandung Bronto, S. (1989) Volcanic Geology of Galunggung, West Java, Indonesia : A Thesis Submitted in Partial Fulfiment Of The Requirements For Degree Of Doctor Of Philosophy In The University Of Canterbury Dono, dkk. (2014), Studi Batuan Vulkanik Perbukitan Sepuluhribu, Kota Tasikmalaya dan Sekitarnya, PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014, 592 - 605 “Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”