RESPON IMUN Mus musculus BALB-C YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles maculatus (DIPTERA:CULICIDAE) PRA DAN PASCA INFEKSI Plasmodium berghei SEBAGAI MODEL TRANSMISSION BLOCKING VACCINE SKRIPSI Oleh IMAM HANAFY NIM 081810401046 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2013 RESPON IMUN Mus musculus BALB-C YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles maculatus (DIPTERA:CULICIDAE) PRA DAN PASCA INFEKSI Plasmodium berghei SEBAGAI MODEL TRANSMISSION BLOCKING VACCINE SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Studi Biologi (S1) dan mencapai gelar Sarjana Sains Oleh Imam Hanafy NIM 081810401046 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2013 PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan untuk: 1. Alm. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan doa, dukungan, bimbingan, kasih sayang, kerja keras, pengorbanan, dan perjuangan untukku setiap waktu disepanjang hidupnya. 2. semua keluarga besar dan teman-teman yang telah mendukung dan memberi motivasi dalam menempuh pendidikan. 3. guru dan dosen yang telah mendidikku dengan penuh kesabaran sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. 4. Almamater Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. MOTO “Orang yang berilmu dan ahli ibadah memiliki derajat lebih tinggi daripada orang biasa dan ahli ibadah. Oleh karena itu, jangan mau menjadi orang biasa-biasa saja. Jadilah orang yang paham ilmu dunia dan ilmu akhirat. Hikmahnya bukan hanya untuk diri kita sekarang, tapi juga untuk anak cucu kita nantinya” (HR. Muslim)i “Bantinglah otak untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya guna mencari rahasia besar yang terkandung di dalam benda besar yang bernama dunia ini, tetapi pasanglah pelita dalam hati sanubari, yaitu pelita kehidupan jiwa. ( Al- Ghazali )ii i Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam. 2011. Syarah Hadist Pilihan Bukhari-Muslim. Bekasi: PT. Darul Falah. ii Alwi bin Ali Al-Habsy. 2010. Duhai Anak Cucu Adam - Kumpulan Hadits Qudsi. Jakarta: Pustaka Zawiyah. PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: nama : Imam Hanafy NIM : 081810401046 menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah saya yang berjudul “Respon Imun Mus musculus BALB-C yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles maculatus (Diptera: Culicidae) Pra dan Pasca Infeksi Plasmodium berghei sebagai Model Transmission Blocking Vaccine” adalah benar-benar hasil karya sendiri, kecuali kutipan yang sudah saya sebutkan sumbernya, belum pernah diajukan pada institusi manapun, dan bukan karya jiplakan. Saya bertanggung jawab atas keabsahan dan kebenaran isinya sesuai dengan sikap ilmiah yang harus dijunjung tinggi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun serta bersedia mendapat sanksi akademik jika ternyata dikemudian hari pernyataan ini tidak benar. Jember, 22 Januari 2013 Yang menyatakan, Imam Hanafy NIM 081810401046 SKRIPSI RESPON IMUN Mus musculus BALB-C YANG DIVAKSINASI KELENJAR SALIVA Anopheles maculatus (DIPTERA:CULICIDAE) PRA DAN PASCA INFEKSI Plasmodium berghei SEBAGAI MODEL TRANSMISSION BLOCKING VACCINE Oleh Imam Hanafy NIM 081810401046 Pembimbing Dosen Pembimbing Utama : Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, S.Si., M.Si. Dosen Pembimbing Anggota : Sri Mumpuni Wahyu Widajati, S.Pd., M. Si. PENGESAHAN Skripsi berjudul “Respon Imun Mus musculus BALB-C yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles maculatus (Diptera: Culicidae) Pra dan Pasca Infeksi Plasmodium berghei sebagai Model Transmission Blocking Vaccine” telah diuji dan disahkan pada: Hari, tanggal : tempat : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember Tim Penguji: Ketua, Sekretaris, Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, M.Si. NIP. 197509132000032001 Sri Mumpuni Sri Mumpuni WahyuWW, Widajati, S.Pd.,S.Pd., M.Si.M.Si. NIP. 197509132000032001 Anggota I, Anggota II, Dr. Hidayat Teguh Wiyono, M.Pd. NIP. 195805281988021002 Drs. Rudju Winarsa, M.Kes. NIP. 196008161989021001 Mengesahkan Dekan, Prof. Drs. Kusno, DEA., Ph.D NIP 196101081986021001 NIP 1 RINGKASAN Respon Imun Mus musculus BALB-C yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles maculatus (Diptera: Culicidae) Pra dan Pasca Infeksi Plasmodium berghei sebagai Model Transmission Blocking Vaccine; Imam Hanafy, 081810401046; 2013: 45 halaman; Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. Malaria merupakan salah satu penyakit utama di negara-negara tropis dengan mortalitas satu juta kematian per tahunnya. Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus Plasmodium yang diperantarai oleh vektor Anopheles. Di Indonesia malaria telah menyebar ke seluruh kepulauan terutama di bagian timur. Meningkatnya insiden malaria disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu adanya kasus resistensi terhadap obat anti malaria. Strategi baru yang dilakukan adalah dengan mengembangkan vaksin melawan malaria. Penelitian terbaru tentang vaksin malaria menunjukkan bahwa kelenjar saliva mengandung senyawa-senyawa aktif yang memegang peranan penting dalam mentransmisikan patogen ke dalam tubuh inang. Adanya paparan gigitan nyamuk Anopheles yang berulang justru akan memberikan kekebalan terhadap tubuh inang. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan respon imun dari T helper 2 (Th2) ke arah T helper 1 (Th1). Oleh sebab itu kelenjar saliva dari vektor malaria dimungkinkan mampu menghambat transmisi dari patogen sehingga sangat potensial sebagai kandidat target untuk pengembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi kelenjar saliva An. maculatus sebagai model vaksin dalam menghambat transmisi patogen. Hal ini dilakukan dengan mengamati respon imun mencit (sitokin IFN-γ dan IL-4) yang divaksinasi vaksin model tersebut pra dan pasca infeksi P. berghei. Metode yang digunakan antara lain: Rearing An. maculatus, isolasi kelenjar saliva, persiapan hewan coba dan vaksinasi, preparasi P. berghei dan mencit donor, infeksi hewan coba menggunakan P. berghei, pengukuran kadar IFN-γ dan IL-4 dengan metode ELISA (Enzym-linked Immunosorbent Assay). Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah kelenjar saliva An. maculatus terbukti mampu memodulasi respon imun inang. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan kadar sitokin IFN-γ dan IL-4 pada kelompok yang divaksinasi jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi menggunakan vaksin model kelenjar saliva. Faktor immunomodulator yang berperan pada peningkatan kadar IFN-γ dan dan penurunan kadar IL-4 dimungkinkan bersifat soluble (supernatan). Oleh karena itu, perlu dilakukan adanya penelitian lanjutan untuk melakukan karakterisasi protein yang diduga sebagai protein imunomodulator. PRAKATA Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Respon Imun Mus musculus BALB-C yang Divaksinasi Kelenjar Saliva Anopheles maculatus (Diptera: Culicidae) Pra dan Pasca Infeksi Plasmodium berghei sebagai Model Transmission Blocking Vaccine”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. Penyusunan skrpsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. rer. nat. Kartika Senjarini, S.Si., M.Si dan Sri Mumpuni Wahyu Widajati, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu, pikiran, dan perhatiannya untuk membimbing penulisan skripsi ini sejak awal hingga akhir; 2. Dr. Hidayat Teguh, M.Pd. dan Drs. Rudju Winarsa, M.Kes. selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulinan skripsi ini; 3. Sattya Arimurti, S.P., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam masa perkuliahan, dan dr. Yunita Armiyanti, M.Kes. selaku Dosen dalam proyek penelitian yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan dalam penyelesaian penyusunan skripsi ini; 4. bapak dan ibu dosen, serta seluruh staf di Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember, atas segala keikhlasan hati membantu penulis selama masa perkuliahan; 5. kedua orang tua tercinta Alm. M. Qari dan Alm. Rahmah yang telah mencurahkan segala perhatian, kasih sayang, doa tulus selama masa hidupnya yang selalu mengiringi penulis hingga beranjak dewasa; 6. kedua saudara Imam Syafi’i dan Lutfiyati yang selalu memberikan semangat, canda tawa, motivasi dan doa disetiap hari kehidupan penulis; 7. teman-teman laboratorium “TBV Research Group” Ika Agus Rini, Syubbanul Whaton, Zahirah, Harmas, P. Ali, Dini, Dani, Dwi Esti S.Si, Dewi Riska S.Si. Teman “Bakteri Research Group” Arif Setiawan, Madaniyah, Dewi Eka, Dina Fitriyah S.Si. Teman-teman “Sugar Group” terima kasih atas kerja sama, dukungan serta bantuan yang diberikan selama penelitin; 8. teman-teman angkatan 2008, Arifqi Nurmaidah, Niar, Wisnu, Maya, Azizah, Lutfiya dan semuanya teman-teman seperjuangan dan sepenanggungan di Omfalomesenterika terima kasih atas kebersamaan, persaudaraan dan tempat berbagi suka dan duka; 9. dan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuannya dalam menyelesaikan peneitian ini dan telah mendoakan demi suksesnya ujian skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat-Nya dan hanya Allah jualah yang dapat membalas semua kebaikan-kebaikannya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis menerima segala kritik dan saran dari pembaca sekalian. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Jember, Januari 2013 Penulis DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................. i HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................ ii HALAMAN MOTO ............................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................... iv HALAMAN PEMBIMBINGAN .......................................................... v HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... vi RINGKASAN ......................................................................................... vii PRAKATA .............................................................................................. ix DAFTAR ISI ........................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xiv DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ............................................ xv BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 3 1.3 Batasan Masalah .................................................................. 3 1.4 Tujuan ................................................................................... 4 1.5 Manfaat ................................................................................. 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 5 2.1 Malaria dan Epidemiologi.................................................... 5 2.2 Siklus Hidup Plasmodium .................................................... 7 2.3 Vektor Patogen Malaria ...................................................... 9 2.4 An. maculatus sebagai Vektor Utama Malaria di Jawa dan Sumatra ......................................................................... 10 2.5 Peranan Saliva Vektor Anopheles dalam Transmisi Malaria .................................................................................. 13 2.6 Respon Imunologi terhadap Malaria berkaitan dengan Transmisinya oleh Vektor ................................................... 14 2.7 Perkembangan Vaksin Malaria .......................................... 16 2.8 Perkembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Berbasis Saliva Vektor ......................................................... 18 BAB 3. METODE PENELITIAN......................................................... 20 3.1 Waktu dan Tempat .............................................................. 20 3.2 Alat dan Bahan ..................................................................... 20 3.3 Prosedur Penelitian .............................................................. 20 3.3.1 Landing collection dan Rearing An. maculatus ............ 21 3.3.2 Isolasi Kelenjar Saliva An. maculatus .......................... 22 3.3.3 Persiapan Hewan Uji ..................................................... 22 3.3.4 Pembuatan Vaksin ......................................................... 22 3.3.5 Vaksinasi Hewan Uji Mus musculus ............................. 23 3.3.6 Preparasi P. berghei dan Persiapan Mencit Donor ....... 23 3.3.7 Infeksi Hewan Uji dengan P. berghei .......................... 24 3.3.8 Pengumpulan Plasma Hewan Uji .................................. 24 3.3.9 Pengukuran Kadar IFN γ dan IL-4 dengan Metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) ........... 25 3.4 Rancangan Penelitian ......................................................... 26 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ 27 4.1 Kelenjar Saliva An. maculatus ........................................... 27 4.2 Pengukuran Kadar Sitokin IFN-γ dan IL-4 ...................... 28 BAB 5. PENUTUP ................................................................................. 35 5.1 Kesimpulan ........................................................................... 35 5.2 Saran ..................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 36 LAMPIRAN ............................................................................................ 42 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Peta sebaran kejadian luar biasa (KLB) malaria di Indonesia tahun 2006-2009 ........................................................................................ 6 2.2 Siklus hidup Plasmodium ................................................................ 8 2.3 Peta sebaran vektor malaria Indonesia ............................................ 9 2.4 Siklus hidup Anopheles ................................................................... 12 2.5 Morfologi vektor An. maculatus ...................................................... 12 2.6 Vaksin malaria ................................................................................. 17 4.1 Kelenjar saliva Anopheles betina ..................................................... 28 4.2 Kadar sitokin IL-4 dan IFN-γ dari sampel plasma hewan uji pada uji validasi ....................................................................................... 31 4.3 Kadar sitokin IL-4 dan IFN-γ dari sampel plasma hewan uji pada uji populasi ...................................................................................... 33 DAFTAR LAMPIRAN Halaman A. KURVA STANDART ........................................................................ 41 B. 43 HASIL UJI ELISA .............................................................................. DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN 3M : Menguras, Menutup dan Menngubur APC : Antigen Precenting Cell CDC : Centers for Disease Control and Prevention ELISA : Enzyme-Linked Immunosorbent Assay IFN-γ : Interferon γ IL-10 : Interleukin 10 IL-12 : Interleukin 12 IL-2 : Interleukin 2 IL-4 : Interleukin 4 KLB : Kejadian Luar Biasa MSP-1 : Merozoit Surface Protein-1 NaCl : Natrium Klorida NK cell : Natural Killer cell NO : Nitrat Oksidase PBS : Phospat Buffer Saline SG-1 : Salivary Gland 1 (Pelet) SG-2 : Salivary Gland 2 (Supernatan) TBV : Transmission Blocking Vaccine Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 TNF-α : Tumor Nekrosis Factor α TRAP : Thrombospondin-related adhesive protein WHO : World Health Organization WRB UNIT : Walter Reed Biosistemativs Unit. BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan masalah kesehatan terutama di negara-negara tropis dengan mortalitas satu juta kematian per tahunnya (CDC, 2004). Lebih dari 45% penduduk dunia pernah mengalami malaria. Di Indonesia malaria telah menyebar keseluruh kepulauan terutama di bagian timur (Afandi et al., 2008). Malaria mudah menyebar pada sejumlah penduduk, terutama yang bertempat tinggal di daerah persawahan, perkebunan, hutan maupun pantai. Pada tahun 2002, sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Yogyakarta dilaporkan terserang wabah malaria (Anies, 2005). Meningkatnya insiden malaria tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah adanya kasus resistensi terhadap obat anti malaria dan resistensi nyamuk yang menjadi vektor malaria terhadap insektisida. (Harijanto, 2000; WHO, 2010; Carter et al., 2000). Malaria disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Terdapat empat jenis Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Dari keempat jenis Plasmodium malaria tersebut, Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax merupakan penyebab terbanyak kasus malaria. Plasmodium falciparum merupakan penyebab kasus malaria berat dan penyebab utama kematian akibat malaria (Carter et al., 2000; Langhorne et al., 2008). Penelitian membuktikkan bahwa respon sistem imun tubuh terhadap malaria juga berkontribusi pada patofisiologi malaria pada manusia (Perlmann & Blomberg, 2002). Penyebaran penyakit ini diperantarai oleh vektor Anopheles. Di Indonesia terdapat sekitar 80 spesies Anopheles, sedangkan yang dinyatakan sebagai vektor malaria adalah sebanyak 22 spesies dengan tempat perindukan yang berbeda-beda (Gandahusada, 2006). Fauna Anopheles di pulau Jawa sebagaimana hasil penelitian Nurhayati (2008) diantaranya Anopheles maculatus (An. maculatus), An. aconitus, An. vagus, An. balabacensis, An. flavirostris, An. kochi, An. subpictus, An. sundaicus. Di daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta An. maculatus berperan sebagai vektor utama dan juga dibeberapa daerah lain, khususnya di Indonesia bagian barat (Damar, 2002). Selain ditularkan melalui nyamuk, malaria dapat ditularkan secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah yang terinfeksi patogen, serta dari ibu hamil kepada bayinya (Harijanto, 2000). Upaya pemberantasan malaria di Indonesia masih mengalami beberapa kendala antara lain timbulnya resistensi vektor terhadap pestisida serta pengetahuan masyarakat terhadap malaria yang rendah (Zein, 2005). Berbagai hal tersebut diatas menyebabkan mortalitas dan morbiditas malaria tetap tinggi. Hal ini ditandai dengan re-emerging dari malaria pada tahun 2007 (Depkes, 2009). Penanggulangan melalui pemberantasan nyamuk secara langsung dengan gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur) serta pengasapan atau foging diberbagai daerah yang diduga sebagai sarang nyamuk belum menunjukkan hasil yang memuaskan (Depkes RI, 2003). Strategi baru terhadap pemberantasan malaria adalah dengan mengembangkan vaksin melawan malaria. Vaksin malaria cukup sulit untuk dikembangkan karena kompleknya siklus hidup dari Plasmodium serta adanya keanekaragaman sifat antigenik pada setiap fasenya (Ballou et al., 2004). Pengembangan vaksin terbaru lebih memfokuskan pada parasit yang paling sering dijumpai pada kasus-kasus malaria yaitu P. falciparum dan P. vivax. Hal ini disebabkan karena efek dan komplikasi dari spesies ini lebih berat dari spesies yang lain. Pengembangan vaksin malaria memiliki berbagai tipe berdasarkan siklus hidup parasit. Terdapat tipe Preerithrocytic stage vaccine, Blood stage vaccine, dan Transmission Blocking Vaccine (TBV) (Carter et al., 2000). TBV adalah vaksin yang dapat mencegah dan menghentikan terjadinya transmisi patogen dari vektor ke hospes (manusia). Penelitian-penelitian terus dikembangkan untuk mencari kandidat vaksin TBV yang lebih efektif untuk melawan malaria (WHO, 2000). Penelitian terbaru tentang vaksin malaria adalah vaksin TBV berbasis organ dari vektor Arthropoda salah satunya dengan memanfaatkan kelenjar saliva dari vektor malaria. Substansi yang terdapat di dalam kelenjar saliva vektor sebagian besar mengandung anti hemostatik, anti inflamasi dan protein imunomodulator. Adanya protein imunomodulator ini dapat menekan sistem imun inang sehingga saat proses blood feeding, Plasmodium yang terdapat pada kelenjar saliva vektor akan mudah masuk ke dalam tubuh inang (Gillespie et al., 2000). Berdasarkan penelitian dari Donovan et al., (2007) adanya paparan nyamuk Anopheles yang berulang-ulang akan merubah respon imun dari T helper 2 (Th2) ke arah T helper 1 (Th1). Pergeseran respon imun ini menyebabkan kadar interferon-γ (IFN-γ) meningkat dan menurunnya kadar Interleukin-4 (IL-4) yang berperan dalam pengaktifan makrofag yang dilanjutkan dengan produksi Nitrat Oksidase (NO) yang sangat efektif dalam menghambat perkembangan parasit di dalam tubuh inang (Titus et al., 2006; Donovan et al., 2007). Karena pentingnya substansi protein yang terdapat pada kelenjar saliva terhadap modulasi respon imun inang terhadap patogenesis malaria, maka komponen ini kemudian dikembangkan sebagai kandidat target pembuatan TBV. Penelitian ini ingin mengetahui potensi kelenjar saliva An. maculatus yang merupakan salah satu vektor utama malaria di Jawa sebagai model bagi pengembangan TBV melawan malaria. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana profil IFN-γ dan IL-4 pra dan pasca dinjeksi Plasmodium berghei (P. berghei) dari mencit galur BALB-C yang telah divaksinasi menggunakan vaksin model ekstrak kelenjar saliva An. maculatus? 1.3 Batasan Masalah Respon imun yang diamati meliputi pengamatan profil IFN-γ dan IL-4 dari mencit galur BALB-C sebelum divaksinasi, pasca vaksinasi, 24 jam dan 7 hari pasca diinfeksi P. berghei. 1.4 Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ekstrak kelenjar kelenjar saliva An. maculatus sebagai kandidat target potensial pengembangan TBV melawan malaria. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil IFN-γ dan IL-4 sebelum divaksinasi, pasca vaksinasi, 24 jam dan 7 hari pasca dinfeksi P. berghei dari mencit galur BALB-C yang telah divaksinasi kelenjar saliva An. maculatus. 1.5 Manfaat Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan data dan informasi mengenai potensi kelenjar saliva An. maculatus sebagai target pengembangan TBV untuk melawan malaria. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria dan Epidemiologi Malaria merupakan penyakit yang menyerang manusia, burung, kera, hewan melata dan hewan pengerat yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium. Malaria telah diketahui sejak zaman Yunani. Gejala penyakit malaria sangat khas dan mudah dikenal karena demam yang naik turun dan teratur disertai menggigil. Disamping itu terdapat kelainan pada limpa (splenomegali) yaitu limpa membesar dan menjadi keras. Malaria adalah suatu istilah yang diperkenalkan oleh Dr. Francisco Torti pada abad ke 17, malaria berasal dari bahasa Itali Mal = kotor, sedangkan Aria = udara ”udara yang kotor” (Prasetyo, 2006). Penyakit malaria pada manusia disebabkan oleh empat jenis Plasmodium yang masing-masing spesies berbeda. Jenis malaria itu diantaranya adalah malaria tertiana (paling ringan), yang disebabkan oleh P. vivax dengan gejala demam yang dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi, kondisi ini dapat terjadi selama dua minggu pasca infeksi. Demam rimba (jungle fever) atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh P. falciparum. Plasmodium ini merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme dalam bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau dan kematian (Harijanto, 2000). Malaria kuartana merupakan malaria yang disebabkan oleh P. malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika, gejala pertama biasanya terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari. Malaria yang mirip malaria tertiana adalah malaria yang disebabkan oleh P. ovale. Pada masa inkubasnya, protozoa tumbuh di dalam sel hati selama beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sehingga menyebabkan demam, malaria seperti ini paling jarang ditemukan (Harijanto, 2000). P. vivax memiliki jangkauan geografis yang luas, dapat dijumpai di daerah beriklim sedang, subtropis dan tropis. Sedangkan P. falciparum adalah spesies yang paling umum di seluruh daerah tropis dan subtropis. P. malariae ditemukan bersama dengan P. falciparum, sedangkan P. ovale ditemukan terutama di daerah tropis Afrika, tetapi terkadang juga di jumpai di Pasifik Barat (Gandahusada, 2004). Gambar 2.1 Peta sebaran kejadian luar biasa (KLB) malaria di Indonesia tahun 2006-2009. (Sumber : Depkes RI, 2009). Penyakit malaria memiliki hubungan yang erat, baik yang berelasi dengan kehadiran vektor, iklim, kegiatan manusia dan lingkungan setempat. Adanya kerusakan dan eksplorasi lingkungan menyebabkan bertambahnya jumlah dan luas tempat perindukan. Lingkungan akan mempengaruhi kapasitas vektor dalam menularkan Plasmodium dan menyebarkan malaria dari satu orang ke orang lain melalui paparan Anopheles. Oleh karena itu malaria dianggap sebagai penyakit ekologis (WHO, 2000; Ault, 1994). Malaria termasuk penyakit yang penyebarannya luas, yakni di daerah-daerah mulai 60° lintang utara sampai dengan 320 lintang selatan, dari daerah dengan ketinggian 2.500 m, sampai dengan daerah yang letaknya 433 m diatas permukaan laut (Gandahusada, 2006). Umumnya malaria ditemukan pada daerah-daerah terpencil dan sebagian besar penderitanya dari golongan ekonomi lemah. Angka kesakitan malaria sejak 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Di Jawa dan Bali meningkat dari 0.12 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 0.52 per 1000 penduduk pada tahun 1999, pada tahun 2001 0.62 per 1000 penduduk dan pada tahun 2002 0.47 kasus per 1.000. Di luar Jawa dan Bali meningkat dari 16.0 per 1000 penduduk pada tahun 1997 menjadi 25.0 per 1000 penduduk pada tahun 1999, pada tahun 2001 26.2 per 1000 penduduk dan pada tahun 2002 19.65 kasus per 1000 penduduk. Selama tahun 1998-2000 kejadian luar biasa (KLB) malaria terjadi di 11 propinsi yang meliputi 13 kabupaten di 93 desa dengan jumlah penderita hampir 20.000 orang dengan 74 kematian (Anies, 2005; Depkes, 2009). 2.2 Siklus Hidup Plasmodium Siklus hidup Plasmodium dapat dibagi dalam fase seksual eksogen (sporogoni) yang berada di dalam tubuh nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) di dalam tubuh hospes vertebrata. Fase aseksual (skizogoni) dapat dibagi menjadi daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit) dan daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit) (Gandahusada et al., 1998). Anopheles memasukkan Plasmodium (sporozoit) ke tubuh hospes pada saat blood feeding, dan dengan cepat sporozoit ini akan beredar di jaringan subkutan ke pembuluh darah dan akhirnya sampai di hati dalam waktu 45 menit. Plasmodium (sporozoit) mempunyai reseptor TRAP (Thrombospondin-related adhesive protein) yang memungkinkan sporozoit dapat berikatan dengan heparin sulfat proteoglikan pada sel-sel hepatosit di hati. Di sel-sel hepatosit dimulailah reproduksi aseksual untuk membentuk skizon intrasel. Skizon-skizon ini apabila matur akan mengandung ribuan merozoit. Merozoit-merozoit ini akan beredar di aliran darah dan dengan cepat Gambar 2.2 Siklus hidup Plasmodium (Sumber: Centers for Disease Control and Prevention [CDC], 2004). akan menyerang eritrosit untuk memulai siklus eritrositik. Merozoit dapat menempel pada eritrosit melalui reseptor spesifik yang terdapat pada permukaan eritrosit. Di dalam eritrosit, merozoit akan berkembang menjadi tropozoit lalu skizogoni (skizon). Ketika skizon matang, eritrosit ruptur (pecah) dan melepaskan merozoit yang akan menyerang eritrosit lainnya. Beberapa eritrosit akan berkembang ke bentuk seksual (gametosit) yang apabila darah manusia dihisap oleh nyamuk, gametosit ini akan mengalami perkembangan di dalam gut (usus) nyamuk. Perkembangan ini akan membentuk zigot kemudian ookinet dan kemudian menjadi ookista pada dinding gut nyamuk. Ookista yang ruptur akan melepaskan sporozoit dan akan bermigrasi ke kelenjar saliva nyamuk dan siap untuk diinjeksikan ke manusia (Ho & White, 1999). 2.3 Vektor Patogen Malaria Vektor malaria berasal dari Phylum Arthropoda yang secara aktif memindahkan mikroorganisme penyebab penyakit dari penderita kepada orang lain yang sehat. Arthropoda adalah metazoa yang mempunyai tubuh bersegmen segmen. Hewan ini memiliki tonjolan tubuh (appendagis) yang berpasangan seperti antena, kaki dan sayap sehingga tubuhnya simetris (CDC, 2004). Gambar 2.3 Peta sebaran vektor malaria Indonesia. (Sumber: Depkes RI, 2009). Vektor utama malaria adalah Anopheles betina, termasuk Phylum Arthropoda, Class Insecta, Ordo Diptera, Family Culicidae, Genus Anopheles (Meigen, 1818). Genus Anopheles terdiri dari 430 spesies dan hanya 70 yang dikenal sebagai vektor, namun 40 di antaranya dianggap sangat penting di dalam menularkan malaria. Anopheles terdistribusi hampir di seluruh dunia, secara umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, dan tidak terdapat di daerah Pasifik Timur Vanuatu termasuk Polinesia. Pada ketinggian di atas 2500 meter biasanya tidak ditemukan nyamuk Anopheles (WRB UNIT, 2009). Jenis Anopheles tersebut meliputi An. aconitus, An. sundaicus, An. balabasensis, An. minimus, An. barbirostris, An. punctulatus, An. maculatus dan An. karwari. Sementara itu jenis Anopheles yang dominan di Indonesia adalah jenis An. maculatus, An. aconitus, An. farauti, dan An. sundaicus (Hiswani, 2004). Gambar 2.3 merupakan peta sebaran vektor malaria di Indonesia. Perilaku Anopheles dalam kehidupannya memerlukan tempat perindukan vektor (breeding places), tempat untuk mendapatkan umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places). Anopheles betina yang telah kawin, akan beristirahat 1-2 hari kemudian baru mencari makan kembali dengan cara blood feeding pada manusia. Sebagian besar vektor Anopheles bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) (WHO, 1975; CDC, 2010), maka kegiatan blood feeding nyamuk selalu aktif sepanjang malam, dimulai pukul 18.00 sampai dengan 06.00 dan mencapai puncaknya pada pukul 24.00 - 01.00, tetapi terdapat juga Anopheles yang aktif ditengah malam sampai menjelang pagi hari (Depkes, 1995). 2.4 An. maculatus sebagai Vektor Utama Malaria di Jawa dan Sumatra An. maculatus merupakan salah satu vektor penting malaria di Indonesia. Vektor ini merupakan vektor utama di beberapa daerah di Jawa dan Sumatra (Santoso, 2002). An. maculatus merupakan vektor utama pada dataran tinggi seperti wilayah pegunungan dan perbukitan yang memiliki ketinggian 250- 1000 mdpal. Sistem klasifikasi dari An. maculatus adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Diptera Family : Culicidae Genus : Anopheles Spesies : Anopheles maculatus (Meigen, 1818) Anopheles mengalami empat tahap perkembangan dalam siklus hidupnya yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Peletakan telur An. maculatus dipengaruhi oleh kualitas perairan, bahan organik dan kandungan mineral sesuai tempat yang dipilih oleh nyamuk dewasa. Daerah yang disenangi untuk meletakkan telur-telur An. maculatus adalah genangan air dengan dasar tanah seperti di pinggiran sawah dan parit. Telur-telur An. maculatus diletakkan di permukaan air secara individual atau saling berlekatan di ujung-ujungnya. Masing-masing telur memiliki panjang sekitar 0,44 mm dengan sepasang sayap pengapung yang melekat sepanjang kira-kira 0,8 mm di sisi panjangnya. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh setiap ekor nyamuk betina rata-rata 38 butir dengan jumlah maksimum 117 butir (Nugroho, 2009). Suhu optimum untuk perkembangan telur An. maculatus adalah 25-36°C, sedangkan pada suhu 20 dan 40°C akan menurunkan aktivitas fisiologisnya (Santoso, 2002). Larva An. maculatus mempunyai thorax yang lebar dan mempunyai abdomen yang bersegmen-segmen. Larva belum mempunyai kaki. Berbeda dengan larva Aedes, larva An. maculatus tidak mempunyai siphon sehingga posisi larva paralel terhadap permukaan air. Larva bernafas melalui sepasang spirakel yang berada pada segmen abdomen ke-8, sehingga seringkali larva harus naik ke permukaan air. Larva menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memakan alga, bakteri dan mikroorganisme lain yang ada di lapisan permukaan air yang tipis. Tahap telur sampai pupa yang hidup di perairan selama 5-14 hari, tergantung suhu lingkungan. Larva umumnya ditemukan di air yang bersih, parit, tepi sungai dan genangan air hujan. Larva mengalami 4 tahap perkembangan atau instar selama 9-12 hari (Barodji et al., 1985). Larva akan berubah menjadi pupa. Pupa bernafas menggunakan sepasang alat respirasi berbentuk terompet yang ada di dorsal cephalothorax. Umur pupa rata- rata mencapai dua hari (Barodji et al. 1985). Seteleh beberapa hari, bagian ke-6 dorsal dari cephalothorax akan sobek dan nyamuk dewasa akan muncul. An. maculatus dewasa mempunyai bentuk tubuh yang ramping terdiri dari tiga bagian tubuh; kepala, thorax dan abdomen. Kepala mempunyai sepasang mata dan sepasang antena. Gambar 2.4 Siklus hidup Anopheles a. Telur, b. Larva, c. Pupa dan d. Dewasa. (Sumber : Nugroho, 2009). Antena merupakan bagian yang penting untuk mendeteksi bau induk semang dan mendeteksi tempat yang cocok untuk bertelur. Kepala juga mempunyai proboscis yang digunakan untuk menghisap darah dan mempunyai dua sensor palpi. Setelah beberapa hari muncul dari pupa menjadi dewasa, Anopheles dewasa akan melakukan perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi di sore hari dengan cara Anopheles jantan yang mendatangi sekawanan Anopheles betina. Anopheles betina dewasa mampu hidup sampai satu bulan atau bahkan lebih di laboratorium tetapi di alam umumnya 1-2 minggu (Yoshida et al., 2008). Gambar 2.5 Morfologi vektor An. maculatus. (Sumber: WRB UNIT, 2009). 2.5 Peranan Saliva Vektor Anopheles dalam Transmisi Malaria Pada saat proboscis Anopheles menusuk tubuh inang dan menghisap darahnya, vektor mengeluarkan saliva yang sekaligus dapat mentransmisikan patogen ke dalam tubuh manusia. Pada saliva vektor juga mengandung substansi yang memiliki kemampuan untuk menghambat hemostatis, menghambat vasokonstriksi (vasomodulator) dan imunosupresan (imunomodulator) (Andrade et al., 2005; Titus et al., 2006). Faktor vasodilator berfungsi untuk memperlebar pembuluh darah inang sehingga darah akan mudah diserap oleh vektor. Faktor immunomodulator dapat meningkatkan transmisi patogen oleh vektor karena bersifat immunosupresif terhadap inang. Protein imunomodulator terbukti dapat memberikan suatu rangsangan imun terhadap inang. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Cornelie et al., 2007 yang menyebutkan bahwa semakin tinggi paparan An. gambie pada musim malaria maka antibodi anti-saliva yang mengenali dari protein imunogenik pada kelenjar saliva juga semakin tinggi. Tingginya reaksi penolakan terhadap protein saliva dan parasit yang terdapat di dalamnya mengakibatkan terjadinya resistensi inang terhadap protein saliva dan parasit di dalamnya. Resitensi inang tersebut berkaitan dengan respon imun Th1 dengan adanya produksi IFN-γ, IL-2 dan IL-12 (Andrade, 2005). Hasil penelitian Donovan et al., 2007 mengenai paparan gigitan nyamuk An. stephensi yang tidak terinfeksi dan terjadi secara berulang-ulang akan memberikan kekebalan terhadap parasit malaria. Penelitian yang dilakukan oleh Donovan et al., 2007 menunjukkan bahwa hewan coba yang dipapar dengan An. stephensi sebelum diinfeksi dengan P. yoelii mempengaruhi respon imun sistemik dan lokal serta membatasi perkembangan parasit di dalam tubuh inang. Pada inang yang dipapar sebelumnya dengan nyamuk yang tidak terinfeksi didapatkan pengurangan jumlah parasit di dalam hati dan selama siklus eritrositik. Protein imunomodulator yang terdapat pada saliva Anopheles dapat menghambat aktivasi sel T dan B, penghambat inflamasi, sitokin modulator, antikoagulan dan penghambat aktivasi kontak plasma sistem (Titus et al.,2006). Oleh sebab itu pemanfaatan kelenjar saliva Anopheles yang mengandung protein imunomodulator sangat potensial untuk dijadikan kandidat vaksin melawan malaria (Chattopadhyay & Kumar, 2009). 2.6 Respon Imunologi terhadap Malaria berkaitan dengan Transmisinya oleh Vektor Pada saat nyamuk yang terinfeksi blood feeding pada tubuh inang, sporozoit akan masuk kedalam sitem peredaran darah dan tubuh akan merespon untuk melakukan penolakan terhadap antigen yang masuk. Respon imun yang pertama kali terjadi adalah respon imun non-spesifik kemudian dilanjutkan dengan respon imun spesifik. Respon imun non-spesifik pada malaria melibatkan sel imun seperti makrofag, monosit, neutrofil, NK cell (Natural Killer cell) dan sitokin. (Nugroho et al., 2000). Makrofag dan monosit merupakan sel efektor yang penting dalam perlindungan terhadap patogenesis malaria. Makrofag berperan dalam mengontrol infeksi melalui fagositosis dan mensekresikan bahan-bahan terlarut yang dapat bersifat toksik bagi parasit. Makrofag juga mensekresikan sitokin berkenaan dengan fungsinya sebagai sel efektor. Pelepasan IFN-γ yang cepat oleh makrofag dan sel-sel imun lain (sel T memori dan NK cell) pada beberapa jam pertama infeksi malaria menentukan lamanya infeksi dan manifestasi klinis. IL-12 yang disekresikan oleh makrofag mengaktivasi NK cell untuk memproduksi IFN-γ yang sangat kuat pada respon awal infeksi sehingga dapat menghambat replikasi parasit (Tsakonas et al., 2002). Sistem imun spesifik terhadap infeksi malaria mempunyai beberapa ciri khusus yaitu spesifik terhadap spesies, strain dan stadium siklus hidup parasit. Sistem imun spesifik terdiri dari sistem humoral dan sistem seluler (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Imunitas seluler berperan dalam melawan Plasmodium pada stadium pre-eritrositik dan eritrositik. Imunitas seluler dilaksanakan oleh sel limfosit T yang terdiri dari limfosit T helper (CD4+) dan limfosit T sitotoksik (CD8+). Limfosit T helper berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkan dibagi menjadi subset Th1 yang akan mengaktifkan imunitas seluler dan subset Th2 yang akan mengaktifkan imunitas humoral (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Subset Th1 melalui produksi IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk memproduksi NO yang dapat membunuh parasit yang telah menginfeksi hepatosit (Doolan et al., 2000). Pada stadium eritrositik proteksi sistem imun selular dilakukan baik sel limfosit Th1 maupun Th2. Sel limfosit Th1 akan menghasilkan IFN-γ, IL-2, yang akan mengaktifkan makrofag dan sitokin proinflamasi seperti TNF-α (Tumor Nekrosis Factor) untuk imunitas seluler. Pembentukan sitokin pro-inflamasi dan aktivasi makrofag akan menghancurkan eritrosit yang terinfeksi Plasmodium. Sel limfosit Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 yang juga berperan dalam proteksi stadium eritrositik yaitu melalui aktivasi sel B dalam pembentukan antibodi spesifik sejalan dengan berlangsungnya infeksi parasit terhadap eritrosit. Antibodi ini akan menghambat reinvasi eritrosit lebih banyak melalui aktivasi komplemen dan makrofag yang akan mendestruksi eritrosit yang terinfeksi Plasmodium (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sel Th1 dan Th2 mempunyai regulasi silang terhadap diferensiasi dan aktivasinya melalui sitokin yang dihasilkan. IFN-γ yang dihasilkan oleh Th1 dapat menghambat perkembangan dan poliferasi sel-sel Th2. Sebaliknya, IL-4 dan IL-10 yang dihasilkan oleh Th2 juga antagonis terhadap perkembangan sel-sel Th1. Oleh sebab itu, keseimbangan antara sitokin-sitokin yang diproduksi oleh kedua subset tersebut sangat menentukan manifestasi penyakit malaria (Wipasa et al., 2002). Kelenjar saliva nyamuk melalui protein imunomodulatornya pada saat transmisi patogen dapat mempengaruhi respon imun inang. Protein imunomodulator ini memiliki kemampuan memodulasi respon imun inang ke arah Th2 yang akan menurunkan produksi IFN-γ pada awal paparan, sehingga akan menurunkan aktivasi makrofag yang seharusnya dapat mengeliminasi parasit dengan mudah (Andrade, 2005). Namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan dengan adanya paparan yang berulang-ulang menggunakan kelenjar saliva nyamuk telah terbukti dapat memodulasi respon imun ke arah Th1 yang ditandai dengan tingginya produksi IFN-γ dan sekaligus dapat menurunkan derajat parasitemia pada mencit (Donovan et al., 2007). 2.7 Perkembangan Vaksin Malaria Malaria sebagai salah satu penyakit menular sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Upaya pemberantasan malaria tropika dilakukan dengan pendekatan pengobatan, pemberantasan vektor dan pencegahan (Harijanto, 2000). Banyak kendala dalam penanggulangannya, oleh sebab itu dilakukan langkah alternatif untuk mengatasi resistensi malaria, salah satunya dengan pemberian vaksin yang berasal dari stadium parasit malaria. Sejak tahun 1980 kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler dan ilmu kesehatan telah mempercepat identifikasi protein dari P. falciparum yang spesifik untuk setiap tahapan dan epitope serta mekanisme dan respon imun inang. Pengetahuan ini telah dijadikan petunjuk dalam pengembangan sejumlah kandidat vaksin (Richie TL & Saul A, 2000; Hoffman et al., 2002). Pengembangan vaksin malaria pada saat ini ditujukan untuk dua kelompok. Yang pertama adalah populasi di daerah endemik malaria dan yang kedua ditujukan untuk turis dari negara/ daerah non-endemik yang berkunjung ke negara/daerah endemik. Perkembangan di bidang imunologi dan biologi molekuler telah menghasilkan berbagai produk vaksin yang kemudian dapat digunakan untuk diagnosis dan pencegahan malaria. Secara teoritis setiap tahap perkembangan Plasmodium dalam tubuh manusia dapat dibuat vaksin. Selain tahap sporozoit, ada kemungkinan konsep vaksin bekerja pada tahap lain dari siklus hidup Plasmodium. Vaksin pre-eritrositik (hepatik) dibuat berdasarkan konsep penghambatan pelepasan tropozoit dari skizon hati, yaitu dengan menginduksi limfosit T sitotoksik untuk merusak sel-sel hati yang terinfeksi. Vaksin pra-eritrosit merupakan vaksin yang ideal untuk diberikan kepada penduduk di daerah non endemis atau pengunjung yang akan masuk ke daerah endemis karena vaksin ini dapat memberikan perlindungan hingga 90%. Vaksin ini dihasilkan dengan melemahkan parasit stadium sporozoit (WHO, 2001). Vaksin stadium eritrositik dibedakan menjadi anti-komplikasi dan anti-invasi. Untuk anti-komplikasi, pemberian vaksin stadium aseksual bertujuan untuk menghambat perkembangan merozoit dan mengurangi angka kesakitan penderita pada daerah endemis. Sedangkan untuk anti-invasi, pemberian vaksin seksual bertujuan untuk mencegah atau mengurangi transmisi parasit ke inang baru (WHO, 2005). Vaksin eritrositik diharapkan dapat menghambat multipikasi tropozoit yang dilepaskan skizon hati atau mencegah invasi tropozoit terhadap erit rositik. Terdapat konsep pembuatan vaksin yang mampu mencegah perlekatan eritrosit ke dinding pembuluh darah (Roshental, 2008). Fase seksual juga dapat dijadikan dasar pengembangan vaksin. Fase ini tidak berperan imunologis pada manusia, namun berperan dalam mencegah penularan lebih lanjut lewat nyamuk (Carter et al., 2000). Dalam pengembangannya juga mengalami Gambar 2.6 Vaksin malaria (Sumber: Roshental, 2008). kesulitan diantaranya ketersediaan manusia sebagai model, dan ketidakjelasan korelasi imunologis dalam proteksi merozoit. Vaksin malaria fase eritrosit yang telah dikembangkan berbasis Merozoit Surface Protein-1 (MSP-1) yang merupakan ciri khas antigen dalam invasi. Namun sampai saat ini vaksin tersebut masih mengalami beberapa kendala (Moorthy et al., 2004). 2.8 Perkembangan Transmission Blocking Vaccine (TBV) Berbasis Saliva Vektor Pengembangan vaksin terbaru lebih memfokuskan pada parasit yang paling sering dijumpai pada kasus-kasus malaria yaitu P. falciparum dan P. vivax. Hal ini disebabkan karena efek dan komplikasi dari spesies ini lebih berat dari spesies yang lain. Pengembangan vaksin malaria memiliki berbagai tipe berdasarkan siklus hidup parasit. Terdapat tipe Pre-erithrocytic stage vaccine, Blood stage vaccine, dan TBV (Carter et al., 2000). Kandidat vaksin yang saat ini sedang dikembangkan adalah berbasis Gametocytes antigen, Sporozoit antigen, ookinets antigen dan komponen di dalam kelenjar saliva (Brennan et al., 2000; Titus et al., 2006; Ramirez et al., 2009). Beberapa tahun terakhir saliva vektor dikembangkan menjadi TBV karena di dalam saliva vektor tersebut memiliki beberapa subtansi penting dalam mentransmisikan patogen, salah satunya adalah protein imunomodulator yang berpotensi sebagai target pembuatan TBV. Protein imunomodulator yang terdapat pada saliva vektor mampu memberikan rangsangan imun terhadap inang. Sehingga dengan adanya paparan yang berulang maka akan terjadi reaksi penolakan terhadap protein saliva dan parasit di dalamnya. Reaksi penolakan ini menyebabkan terjadinya resistensi host terhadap protein saliva dan parasit di dalamnya. Resistensi ini berkaitan dengan respon imun Th1 dengan adanya produksi IFN-γ, IL-2 dan IL-12. Untuk mencegah resistensi inang, vektor melibatkan protein imunomodulator dari saliva yang dapat menghambat respon imun inang dan mencegah inang menjadi sensitive terhadap komponen vasomodulator yang dikeluarkan oleh vektor saat blood feeding (Andrade, 2005). Dengan demikian saliva Anopheles dapat dipertimbangkan sebagai potensiator non-spesifk yang dapat dijadikan vaksin anti malaria, karena secara efektif dapat melawan infeksi malaria. Sampai saat ini masih belum ditemukan faktor yang berfungsi sebagai imunomodulator dari vektor Anopheles. Jika substansi yang terdapat pada saliva vektor mampu berperan sebagai faktor imunomodulator, maka isolasi dan karakterisasi komponen tersebut merupakan langkah penting bagi pengembangan TBV berbasis saliva vektor melawan malaria. Vaksin ini merupakan pendekatan baru yang tidak hanya melindungi inang terhadap patogen lebih jauh lagi akan memotong transmisinya. BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai bulan November 2012. Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biologi Dasar, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA Universitas Jember. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi kandang nyamuk, kandang marmut, tray, cawan telur, cawan pupa, pipet plastik, aspirometer, jarum diseksi, mikroskop stereo, gelas plastik, kain kassa, petridish, mikropipet, micro tube, sentrifuge, semi dry bloter, tabung reaksi, autoclave, gloves, mikropistil, vortex, beaker glass, aluminium voil, ependorf, parafilm, botol Scott, pH meter, Laminar Air Flow, falcon, insulin dissposible syring 1 cc, kapas, water sonication, steroform, microscope Olympus, cover glass, lemari es (suhu -80°C, -20°C dan 4°C), cryotube, toples tertutup, alat bedah, pinset, vacutainer heparin, haemasitometer, ELISA reader. Bahan-bahan yang dipakai pada penelitian ini antara lain kelenjar saliva vektor An. maculatus, mencit galur BALB-C, Chloroform, NaCl 0,05%, larutan gula, pakan mencit, PBS, Alkohol 70%, Buffer for giemsa, Ethanol, pewarna Giemsa, adjuvant Aluminium hidroksida, air es 4°C, medium plus, medium complete, Kit R&D Mouse IFN-γ dan IL-4 BMS613 Platinum Sandwich ELISA. 3.3 Prosedur Penelitian Pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa langkah kerja yaitu: Landing collection dan Rearing An. maculatus, isolasi kelenjar saliva An. maculatus, persiapan hewan uji, pembuatan vaksin, vaksinasi hewan uji Mus musculus, preparasi P. berghei dan persiapan mencit donor, infeksi hewan uji dengan P. berghei, pengumpulan plasma hewan uji dan pengukuran kadar IFN γ dan IL-4 dengan metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). 3.3.1 Landing collection dan Rearing An. maculatus Rearing Anopheles dilakukan di ruang insektarium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah. Proses rearing diawali dengan pemeliharaan nyamuk dewasa yang didapatkan dari habitat aslinya yaitu di desa Hargotirto, kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta (DIY). Pencarian larva Anopheles dilakukan di genangan-genangan air di tengah hutan, sedangkan Anopheles dewasa ditangkap di kandang ternak yang dekat dengan pemukiman warga. Anopheles ditangkap menggunakan aspirator pada saat landing (hinggap) di daerah sekitar kandang. Anopheles yang didapatkan diidentifikasi secara morfologi menggunakan kunci determinasi insekta (Reid, 1968) yang kemudian dikembangbiakkan dalam skala laboratorium. Pemeliharaan dimulai dari nyamuk dewasa dengan perbandingan yang sama 1:1. Nyamuk dewasa ini dipelihara pada suhu ruang (25-28°C) (Mahmood et al., 1981) dengan diberi 10% larutan sukrosa (Wirez et al., 1981) dan secara periodik digigitkan ke tubuh marmut sebagai sumber darah. Larutan sukrosa 10% dan umpan marmut tersebut diberikan sejak hari pertama nyamuk tersebut mulai dikandangkan. Kelembaban udara dijaga dengan menyelubungi kandang nyamuk menggunakan kain yang dibasahi. Di dalam kandang disediakan kendil dari tanah liat dan diisi air sebanyak sepertiga bagian kendil untuk tempat bertelur nyamuk. Setiap siklus, telur dipanen pada hari keempat sejak pemberian darah marmut (Mahmood et al., 1981). Telur hasil panen dari setiap siklus dibagi dua dan disimpan di bak-bak perbanyakan larva yang diisi air filtrasi sebanyak ¾ nya (Lounibes, 1994). Selama proses pemeliharaan harus diamati faktor-faktor fisik yang berpengaruh di dalamnya, seperti suhu, kelembaban, sinar matahari agar siklus perkembangan nyamuk bisa optimal. 3.3.2 Isolasi Kelenjar Saliva An. maculatus An. maculatus yang digunakan merupakan hasil rearing dari ruang insektarium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah. Sebelum diisolasi kelenjar salivanya, nyamuk betina dewasa dianastesi terlebih dahulu menggunakan chloroform. Isolasi kelenjar saliva dari nyamuk betina dilakukan menggunakan metode Bruce-Chwatt, 1980: (1) meletakkan nyamuk di bawah mikroskop stereo pada sisi kanan slide. (2) jarum diseksi ditangan kiri menekan dengan lembut pada bagian toraks dan jarum diseksi ditangan kanan menarik bagian kepala dengan perlahan-lahan, (3) kelenjar saliva yang melekat pada bagian kepala (bentuk seperti sosis,berupa badan refraktil) dipotong dan dipindah ke dalam Phospat Buffer Saline (PBS). Kelenjar saliva yang telah diisolasi disimpan pada suhu -20 ⁰C sampai diperlukan. 3.3.3 Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah mencit galur BALB-C betina usia 6-8 minggu. Mencit tersebut ditempatkan dalam kandang bersih yang dasarnya diberi sekam. Hewan uji yang digunakan berjumlah 45 ekor dan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, kelompok supernatan dan kelompok pellet. Sebelum diberi perlakuan mencit tersebut harus diaklimatisasi selama 1 minggu agar hewan coba mampu beradaptasi dengan lingkungan kandang. 3.3.4 Pembuatan Vaksin Langkah pertama dalam preparasi vaksin yaitu dengan melakukan (freez & thaw) selama 5 menit pada isolat kelenjar saliva yang telah beku yaitu dengan memasukkan ke dalam air mendidih, kemudian di homogenkan menggunakan mikropistil. Selanjutnya dilihat di bawah stereoscopic microscope sampai seluruh kelenjar saliva homogen. Homogenize dilanjutkan dengan water sonicator selama 30 menit. Langkah selanjutnya disentrifuse dengan kecepatan 14.000 rpm pada suhu 4°C selama 15 menit. Sentrifuge bertujuan untuk memisahkan antara pelet dan supernatan dari kelenjar saliva An. maculatus. Pelet dan supernatan yang diperoleh ditempatkan dalam eppendoft yang berbeda dan digunakan sebagai vaksin. Dalam proses ini akan didapatkan pelet (SG-1) sebagai vaksin I dan supernatan (SG-2) sebagai vaksin II. Sedangkan untuk kelompok kontrol hanya diberi PBS yang diijeksikan pada kelompok kontrol. Pada setiap vaksin diberi penambahan adjuvant gel aluminium hidroksida dan disimpan dalam suhu -20 °C. 3.3.5 Vaksinasi Hewan Uji Mus musculus Proses vaksinasi menggunakan SG- 1 (pelet) dan SG-2 (supernatan) dilakukan sebanyak 3 kali yaitu Imunisasi I, II,dan III dengan interval 2 minggu. Pada setiap vaksinasi, mencit akan diinjeksi sebanyak 100 µL menggunakan disposible syringe 1 cc. Injeksi dilakukan secara subkutan pada bagian femur (paha) kemudian diinjeksikan. Setiap selang waktu satu minggu pasca vaksinasi dilakukan pengambilan plasma dari ujung ekor pada 5 ekor mencit pada masing-masing kelompok perlakuan untuk dilakukan pengujian. 3.3.6 Preparasi P. berghei dan Persiapan Mencit Donor Preparasi P. berghei diawali dengan memeriksa umur dari isolat. Umur isolat tidak boleh dari 3 bulan. Proses selanjutnya adalah melakukan thawing manual dari isolat yang beku pada cryotube sampai berbentuk cairan. Setelah mencair isolat dipindah ke dalam eppendoft kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, lalu pelet dicuci dengan ditambahkan PBS sebanyak tiga sampai lima kali volume pelet. Langkah pencucian pelet dilakukan sebanyak tiga kali. Setelah pencucian pelet yang terakhir, pelet ditambahkan medium complete sampai volume yang dibutuhkan untuk menginfeksi mencit sehat yang akan digunakan sebagai mencit donor. Campuran isolat dan medium complete diresuspensi kemudian dipindahkan ke dalam disposible syringe 1 cc kemudian diinjeksikan sebanyak 200 µl secara intraperitoneal pada mencit donor. Setelah itu dilakukan evaluasi eritrosit mencit donor pada hari ke-3 dengan membuat apusan darah yang diambil dari ujung ekor. Bila positif terinfeksi maka akan dilakukan pengamatan dengan menghitung derajat parasitemianya setiap hari hingga mencapai 15 %. Derajat Parasitemia = 3.3.7 Jumlah eritrosit terinfeksi 1000 eritosit x 100 % (Omar et al., 1987) Infeksi Hewan Uji dengan P. berghei Injeksi P. berghei bertujuan untuk menginfeksikan P. berghei pada mencit BALB-C sebanyak 15 ekor dari masing-masing kelompok yang telah divaksinasi. Inokulasi dilakukan 2 minggu setelah Imunisasi III (Booster II) dengan menginjeksikan isolat P. berghei yang berasal dari mencit donor. Perhitungan untuk pengambilan darah untuk infeksi ke mencit perlakuan: Pengenceran (kali) = derajat parasitemi (%) x jumlah sel x pengenceran 5 x 106 (Jumlah parasit yang diinginkan) =N Jumlah darah yang dibutuhkan : M = jumlah mencit x 200 µl N = (Jumlah darah yang diambil) Rumus ini tidak dipakai jika jumlah sel eritrosit yang anemis terlalu tinggi (>100) maka jumlah pengambilan darah melalui perbandingan 1:100 dari total darah yang dibutuhkan, lalu ditambahkan medium plus. 3.3.8 Pengumpulan Plasma Hewan Uji Pengambilan plasma dari hewan uji pada penelitian ini yaitu melalui ekor. Sebelum darah diambil dari bagian ekor, mencit terlebih dahulu dianastesi menggunakan Xylazine + Ketamin dengan perbandingan 40 µl Xylazine + 60 µl PBS dan dicampurkan 1 ml Ketamin. Campuran total yang didapatkan dari ketiga bahan tersebut adalah 1,1 ml. Selanjutnya dari stok 1,1 ml tersebut diambil 100 µl dan ditambahkan 200 µl PBS. Dari 300 µl hasil campuran kedua larutan tersebut diinjeksikan pada setiap mencit sebanyak 100 µl. Selang waktu 5 menit, ditunggu sampai mencit pingsan dengan tenang dan dilakukan pemotongan sedikit pada ujung ekor. Darah yang keluar dari ekor dihisap menggunakan pipa kapiler kemudian dipindahkan ke eppendorf. Darah yang terdapat dalam tabung eppendorf diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37°C kemudian disentrifuge 13.000 rpm, 10 menit 4°C. Setelah itu bagian supernatannya (plasma) diambil dan ditempatkan pada eppendorf baru dan disimpan pada -20 °C sampai digunakan. 3.3.9 Pengukuran Kadar IFN γ dan IL-4 dengan Metode ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) Sampel yang digunakan dalam tes serologi ini adalah sampel plasma darah dari mencit BALB-C yang diambil masing-masing kelompok (kontrol, SG-1 dan SG2). Respon imun yang diamati adalah kadar sitokin IFN-γ dan IL-4. Kadar IFN-γ dan IL-4 pada penelitian ini diukur menggunakan metode ELISA sandwich yang semuanya dilakukan dalam Microwell Plates yang berjumlah 96 sumuran.. Kelebihan teknik ELISA sandwich ini berada pada tingkat spesitifitasnya yang relatif tinggi karena antigen yang diinginkan harus dapat berinteraksi dengan 2 jenis antibodi, yaitu antibodi penangkap (primer) sebagai penangkap antigen yang diinginkan dan antibodi detektor (sekunder) sebagi antibodi yang berikatan dengan enzim signal untuk mendeteksi keberadaan adanya ikatan antara antigen dan antibodi primer (Crowther, 2001). Enzim yang mampu mengikat antibodi sekunder tersebut adalah streptavidinhorseradish peroxidase (Streptavidin-HRP). Pengamatan warna pada metode ELISA dilakukan dengan penambahan Substrat Solution (tetramethyl-benzidine). Warna yang dihasilkan tersebut akan dianalisis menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 450 nm. Dari analisis tersebut dihasilkan absorbansi standart assay dan assay sampel yang digunakan untuk membuat kurva linier sehingga didapatkan persamaan linier yang akan digunakan untuk mengukur kadar IL-4 dan IFN-γ. Perbandingan jumlah sitokin pada masing-masing tahapan akan memberikan gambaran respon imun mencit yang terinfeksi malaria. 3.4 Rancangan Penelitian S : Sampel K1-15 : Kelompok Kontrol P1-15 : Kelompok Pellet S1-15 : Kelompok Supernatan PP 1 : Pengambilan Plasma Sebelum Vaksinasi, PP 2 : Pengambilan Plasma satu minggu setelah vaksinasi I PP 3 : Pengambilan Plasma satu minggu setelah vaksinasi II PP 4 : Pengambilan Plasma satu hari sebelum infeksi Plasmodium berghei PP 5 : Pengambilan Plasma 24 jam setelah infeksi Plasmodium berghei. PP 6 : Pengambilan Plasma 7 hari setelah infeksi Plasmodium berghei. VN 1 : Vaksinasi Primer VN 2 : Vaksinasi Booster I VN 3 : Vaksinasi Booster II I : Infeksi Plasmodium berghei K1-K15 S VN 1 P1 -P15 S1-S15 P P 1 VN 2 P P 2 VN 3 P P 2 I P P 4 P P 5 P P 6 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelenjar Saliva An. maculatus Anopheles maculatus yang digunakan pada penelitian ini merupakan hasil landing collection dari habitat aslinya di desa Hargotirto, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta (DIY). Nyamuk dewasa yang didapatkan dari lapang dibiakkan dalam skala laboratorium di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga, Jawa Tengah. Hasil isolasi kelenjar saliva didapatkan 1500 pasang. An. maculatus betina memiliki satu pasang kelenjar saliva dan masing-masing terdiri dari 3 lobus. Gambar 4.1 menunjukkan bagian-bagian dari kelenjar saliva Anopheles betina, yaitu dua lobus lateral dan satu lobus medial yang memiliki duktus menuju ke salivary pump yang berada didekat hypopharynx. Kelenjar saliva nyamuk betina bagian lobus lateral dibagi menjadi region proksimal, intermediate dan region distal (Dhar & Khumar, 2003; Jariyapan et al., 2007). Masing-masing lobus pada kelenjar saliva nyamuk betina memiliki fungsi yang berbeda (Dhar & Khumar, 2003). Region distal dari lobus lateral dibutuhkan nyamuk untuk blood feeding. Pada bagian ini disintesis enzim apyrase yang berfungsi sebagai fasilitator dengan cara penghambatan agregasi plantelet yang mempermudah saat blood feeding. Sedangkan enzim alpha-glucoside terakumulasi dalam lobus lateral regio proksimal yang berperan dalam proses ingesti, digestif dan sugarsolubilization. Protein tersebut mampu meningkatkan transmisi patogen dalam tubuh hospes (Dhar & Khumar, 2003). Kelenjar saliva nyamuk betina juga mengandung substansi yang memiliki kemampuan untuk menghambat hemostatis, menghambat vasokonstriksi (vasomodulator) dan imunosupresan (imunomodulator) (Andrade et al., 2005; Titus et al., 2006). PL DL PL ML 500 µm Gambar 4.1 DL B Kelenjar saliva Anopheles betina. Ket: PL: Lobus Proksimal, DL: Lobus Distal, ML: Lobus Medial. A: Kelenjar saliva Anopheles spp. (Jariyapan et al., 2007). B: Hasil isolasi kelenjar saliva An. maculatus (Mikroskop Stereo Nikon, Perbesaran 800x). 4.2 Profil Kadar Sitokin IFN-γ dan IL-4 pada Hewan Coba Sitokin merupakan protein sistem imun yang mengatur interaksi antar sel dan memacu reaktivitas imun baik pada imunitas spesifik maupun non spesifik (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Sitokin yang diamati pada penelitian ini adalah IFN-γ dan IL-4. Penelitian Donovan et al., 2007 juga mengamati kadar sitokin IL-4 dan IFN-γ pada mencit yang sebelumnya telah divaksinasi menggunakan kelenjar saliva An. stephensi. Pengujian sampel kadar sitokin IFN-γ dan IL-4 dibagi menjadi 2 yaitu, uji validasi dan uji populasi. Uji validasi merupakan suatu pengulangan sebanyak 3 kali pada sumuran microplate dari satu sampel serum. Sedangkan uji populasi merupakan jumlah rata-rata dari hasil uji validasi dan 3 sampel serum mencit yang berbeda tetapi masih dalam kelompok perlakuan yang sama. Infeksi malaria menginduksi respon imun baik imunitas humoral maupun seluler (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Pada respon imun humoral, antibodi memberikan proteksi terhadap malaria melalui berbagai mekanisme. Antibodi dapat memblokade invasi merozoit ke eritrosit dan menghambat pertumbuhan parasit didalam eritrosit. Sedangkan imunitas seluler berperan dalam melawan Plasmodium pada stadium eritrositik. Imunitas seluler dilaksanakan oleh limfosit T helper (Th). Sel Th merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap infeksi antigen asing. Limfosit Th berdasarkan jenis sitokin yang dihasilkan dibagi menjadi subset Th1 yang akan mengaktifkan imunitas seluler dan Th2 yang akan mengaktifkan imunitas humoral (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Sitokin IFN-γ berperan penting dalam pembentukan subset Th1. Hal ini terbukti dari pengujian in vitro bahwa netralisasi terhadap IFN-γ dapat menghambat pembentukan subset Th1 tetapi sebaliknya dapat meningkatkan pembentukan subset Th2 (Abbas et al., 2000). Sedangkan sitokin IL-4 berperan dalam pembentukan subset Th2. Meningkatnya kadar sitokin IL-4 dapat mengindikasikan adanya respon imun kearah Th2 (Nugroho et al., 2000). Sitokin yang dihasilkan sel limfosit Th2 berperan sebagai sitokin stimulus utama produksi IgE dan perkembangan Th2 dari sel CD4+. Pengaturan sitokin yang dihasilkan oleh sel Th2 bersifat antagonis terhadap Th1. Jadi respon imun ke arah Th2 akan mengakibatkan penurunan kadar sitokin yang dihasilkan oleh Th 1 yaitu IFN-γ Regulasi silang ini terjadi akibat dari adanya sitokin utama yang diproduksi oleh setiap subset secara positif mengatur subset yang memproduksinya dan mengatur secara negatif subset lainnya (Baratawidjaja & Rengganis, 2010). Grafik pengukuran kadar IFN-γ dan IL-4 pada uji validasi (Gambar 4.3) dan uji populasi (Gambar 4.4) secara umum memiliki pola yang sama yaitu, terjadi peningkatan kadar IFN-γ dari awal sebelum vaksinasi sampai 7 hari pasca infeksi P. berghei. Sedangkan pada pengukuran kadar IL-4 uji validasi maupun uji populasi mengalami penurunan kadar dari awal sebelum vaksinasi sampai 7 hari pasca infeksi P. berghei. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran respon imun ke arah Th1 yang ditunjukkan dengan tingginya kadar sitokin IFN-γ dan rendahnya kadar sitokin IL-4. Subset Th1 mengaktifkan mekanisme imunitas seluler baik yang spesifik maupun yang nonspesifik untuk membunuh parasit malaria pada awal paparan infeksi malaria. Imunitas seluler pada subset Th1 dibangkitkan melalui aktivasi sel T helper, makrofag, monosit dan leukosit dengan mensekresikan IFN-γ dan TNF-α. Fagositfagosit ini akan menghasilkan radikal bebas seperti NO yang dapat menghambat pertumbuhan parasit malaria di dalam tubuh hewan coba (Nugroho et al., 2000). Namun subset Th2 juga berperan dalam imunitas humoral dengan memberikan spesifitas pada antibodi yang dihasilkan oleh limfosit B. Sel-sel Th1 dan Th2 keduanya mempunyai kontribusi dalam imunitas proteksi terhadap infeksi malaria, namun pada saat yang berbeda keseimbangan antara keduanya menentukan manifestasi penyakit. Sel-sel Th1 bertanggung jawab terhadap kontrol parasitemia pada awal infeksi dan selanjutnya diperlukan Th2 untuk menuntaskan penghancuran parasit (Nugroho et al., 2000; Wipasa et al., 2002). Dari kedua hasil pengujian (uji validasi dan uji populasi) sama-sama menunjukkan bahwa mencit yang divaksinasi menggunakan vaksin model kelenjar saliva An. maculatus lebih efektif dalam terjadinya proses regulasi respon imun kearah Th1 yang menguntungkan mencit untuk menghambat perkembangan parasit pada awal paparan di dalam tubuhnya jika dibandingkan dengan mencit kontrol yang tidak divaksinasi kelenjar saliva (Perlman & Bloomberg., 2002; Donovan et al., 2007). Hal ini ditunjukkan dengan naiknya kadar IFN-γ pada uji validasi setelah divaksinasi booster II pada kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, khususnya pada kelompok pelet. Sedangkan pada pengukuran kadar IL-4 pada uji validasi menunjukkan adanya penurunan pada semua kelompok pasca vaksinasi booster II, namun pada kelompok perlakuan memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 4.2). Pada uji populasi juga menunjukkan adanya peningkatan kadar IFN-γ pasca vaksinasi booster II. Begitu juga pada pengukuran IL-4 pada uji populasi, yang menunjukkan adanya penurunan kadar IL-4 pada semua kelompok, namun pada kelompok perlakuan memiliki kadar 400 1200 350 1000 300 250 800 Kadar IFN-G pg/ml 1400 Kadar IL-4 pg/ml yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol (Gambar 4.3). 200 600 150 400 100 200 50 0 0 sebelum vaksinasi IFN-G Kontrol Gambar 4.2 pasca 1 hari pasca vaksinasi infeksi P. Booster IIIFN-G Supernatan berghei 7 hari pasca infeksi P. IFN-G Pelet berghei Kadar sitokin IL-4 dan IFN-γ dari sampel plasma hewan uji pada uji validasi. Adanya paparan yang berulang menggunakan vaksin model menggunakan kelenjar saliva An. maculatus menyebabkan pergeseran respon imun inang ke arah Th1. Data ini sesuai dengan hasil penelitian (Donovan et al., 2007) yang menunjukkan adanya peningkatan kadar IFN-γ pasca divaksinasi menggunakan kelenjar saliva An. stephensi yang dapat mempengaruhi respon imun sistemik dan lokal pada tubuh inang. Hal ini juga menunjukkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin model kelenjar saliva dimungkinkan dapat memicu pembentukan antibodi. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian (Titus et al., 2006) yang menyebutkan bahwa sebagian besar kelenjar saliva Arthropoda dapat memodulasi respon imun ke arah Th2 yang ditandai oleh adanya induksi sitokin IL-4. Namun adanya paparan saliva yang berulang dapat menurunkan kadar IL-4. Hal ini dikarenakan akibat dari vaksinasi booster II, sel T helper tidak lagi aktif menghasilkan IL-4 karena sudah terbentuk sel B memori dari adanya respon imun sekunder. Oleh sebab itu sekresi sitokin IL-4 tidak lagi terjadi sehingga kadarnya semakin turun/sedikit (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Pada uji validasi kadar IFN-γ 1 hari pasca infeksi P. berghei (Gambar. 4.2) pada semua kelompok mengalami peningkatan, namun setelah 7 hari pasca infeksi P. berghei pada kelompok supernatan mengalami peningkatan kadar IFN-γ yang sangat pesat, sedangkan pada kelompok kontrol dan pelet justru mengalami penurunan kadar IFN-γ. Hal yang sama juga terjadi pada uji populasi IFN-γ 1 hari pasca infeksi (Gambar. 4.3), yaitu terjadi peningkatan kadar IFN-γ pada kelompok perlakuan terutama pada kelompok supernatan dan penurunan pada kelompok kontrol. Namun 7 hari pasca infeksi P. berghei pada kelompok kontrol dan pelet mengalami penurunan, sedangkan pada kelompok supernatan memiliki kadar IFN-γ yang paling tinggi. Sedangkan pada pengukuran kadar IL-4 uji validasi 1 hari pasca infeksi P.berghei terjadi penurunan khususnya pada kelompok supernatan sedangkan kelompok kontrol mengalami sedikit peningkatan. Selanjutnya pada pengukuran 7 hari pasca infeksi, kadar IL-4 pada kelompok perlakuan memiki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol. Kadar IL-4 yang paling rendah berada pada kelompok supernatan. Hal serupa juga terjadi pada pengukuran kadar IL-4 uji populasi yang menunjukkan terjadinya penurunan kadar IL-4 pada kelompok supernatan serta memiliki nilai yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan pelet. Peningkatan kadar IFN-γ pada kelompok supernatan ini dapat disebabkan karena adanya aktifitas makrofag yang mensekresikan sitokin IL-12 berkenaan dengan fungsinya sebagai sel efektor. Pelepasan IFN-γ yang cepat pada beberapa jam pertama infeksi malaria menentukan lamanya infeksi dan manifestasi klinis. IL-12 yang disekresikan oleh makrofag mengaktivasi NK cell untuk terus memacu produksi IFN-γ pada respon awal infeksi sehingga dapat menghambat replikasi parasit didalam 1200 350 1000 300 250 Kadar IL-4 mg/ml 800 200 600 150 400 100 200 Kadar IFN-G pg/ml tubuh inang (Tsakonas et al., 2002). 50 0 0 sebelum vaksinasi pasca vaksinasi 1 hari Booster pasca II infeksi 7 hari P. berghei pasca infeksi P. berghei Gambar 4.3 IFN-G Kontrol IFN-G Supernatan IFN-G Pelet IL-4 Kontrol IL-4 Supernatan IL-4 Pelet Kadar sitokin IL-4 dan IFN-γ dari sampel plasma hewan uji pada uji populasi. Penurunan kadar IL-4 dan tingginya kadar IFN-γ pasca infeksi P. berghei ini menunjukkan terjadi perubahan respon imun dari dari subset Th2 ke arah subset Th1 (Wipasa et al., 2002). Sel CD4+ yang teraktivasi oleh antigen (kelenjar saliva An. maculatus) akan berpoliferasi dan memproduksi IL-2 yang akan mengaktifkan IL-4 dan dihasilkan antibodi anti saliva yang berasal dari aktivasi Sel B. Namun dengan adanya vaksinasi booster II dan seiring dengan menurunnya kadar IL-4, antigen saliva memodulasi makrofag dan menyebabkan Antigen Precenting Cell (APC) mensekresikan IL-12. Dengan adanya poliferasi IL-12 secara perlahan menyebabkan disekresikannya kadar IFN-γ, TNF-β yang dihasilkan oleh sel Th1. Infeksi parasit P. berghei menyebabkan terjadi umpan balik positif karena IFN-γ yang diproduksi oleh Th1 akan merangsang sel dendritik atau makrofag untuk menghasilkan lebih banyak IL-12. Tingginya sekresi IL-12 akan memacu sekresi IFN-γ sehingga kadar IFN-γ didalam tubuh inang akan lebih tinggi (Baratawidjaja & Rengganis, 2009). Pada kelompok kontrol perubahan respon imun dimungkinkan terjadi akibat dari adanya pengaruh adjuvant Aluminium hidroksi. Adjuvant Aluminium Hidroksi banyak digunakan dalam vaksinasi karena sangat efektif dalam menginduksi antibodi (Ulanova et al., 2001). Data populasi pada penelitian ini memiliki nilai stardart deviasi yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan pada setiap individu memiliki respon imun yang berbedabeda terhadap adanya antigen yang masuk ke dalam tubuhnya (Martin et al., 2012). Oleh sebab itu data dari uji populasi kurang representatif untuk dijadikan data acuan mengenai kadar IFN-γ dan IL-4, kecuali jumlah sampel lebih banyak atau memenuhi jumlah minimal sampel yaitu sebanyak 9 sampel plasma hewan uji. Dari data uji validasi dan uji populasi diatas menunjukkan bahwa fraksi yang penting untuk mempengaruhi peningkatan kadar IFN-γ dan penurunan kadar IL-4 untuk meregulasi respon imun kearah Th1 yang akan menguntungkan hewan coba dalam menghambat pertumbuhan parasit malaria di dalam tubuhnya dimungkinkan berada pada fraksi protein supernatan. Oleh sebab itu, diduga molekul penting seperti protein imunomodulator yang dapat memodulasi respon imun ke arah Th1 berada pada protein soluble (supernatan) yang berasal dari kelenjar saliva An. maculatus. Hasil ini juga diperkuat dengan hasil penelitian dari Rajab (2012) yang mengamati derajat parasitemia dari mencit yang sama menunjukkan bahwa mencit yang divaksinasi kelenjar saliva An. maculatus fraksi supernatan memiliki derajat parasitemia yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mencit kontrol yang hanya diinjeksi PBS. BAB 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan secara kuantitatif adanya kadar sitokin IFN-γ dan IL-4 pada masing-masing kelompok pada saat sebelum vaksinasi, pasca vaksinasi, 1 hari dan 7 hari pasca dinfeksi P. berghei dari mencit galur BALB-C yang telah divaksinasi menggunakan vaksin model kelenjar saliva An. maculatus. Diduga protein imunomodulator yang mampu memodulasi respon imun inang kearah Th1 berada pada fraksi supernatan (soluble). Hal ini ditunjukkan dengan paling tingginya kadar IFN-γ dan memiliki kadar IL-4 yang paling rendah pada fraksi supernatan tersebut. 5.2 Saran Kelenjar saliva nyamuk yang sudah diisolasi sebaiknya sesegera mungkin untuk dilakukan preparasi menjadi vaksin. Karena semakin pendek waktu penyimpanan maka komponen-komponen protein yang terdapat di dalamnya juga akan semakin bagus jika dibandingkan dengan waktu penyimpanan yang lebih lama. Pada waktu melakukan homogenisasi menggunakan mikropistil, sebaiknya penggerusan dilakukan secara on ice agar suhu di dalam eppendorf tetap dingin sehingga protein yang terdapat di dalam kelenjar saliva kondisinya tetap optimal. Pada saat melakukan anastesi pada hewan coba sebaiknya menggunakan formula Ketamin dan Xylazin seperti yang sudah terdapat pada metode pada BAB 3. Hal ini dikarenakan formulasi ini sudah optimal untuk membuat hewan coba pingsan dengan tenang dan tidak menyebabkan kematian. Karena mecit membutuhkan banyak oksigen untuk kembali sadar seperti keadaan semula. Selain itu kebersihan kandang hewan coba harus tetap terjaga dari awal sampai akhir penelitian. DAFTAR PUSTAKA Buku Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. 2000. Cellular and mollecular immunology. Philadelphia, WB Saunders co. Anies. 2005. Manajemen Berbasis Lingkungan (Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Baratawidjaja, K.G dan Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar Edisi Ke-8. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Press. Baratawidjaja K. G., Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar. Edisi ke-9. Jakarat: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bruce-Chwatt, Leonard Jan. 1985. Essential Malariology. London: William Heinemann Medical Books Ltd. Crowther J. R. 2001. The ELISA Guidebook Vol.149. New Jersey: Humana Press Inc. Damar, T. 2002. Studi Epidemiologi Malaria di Daerah Endemi Malaria Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Salatiga: Litbang Depkes. Departemen Kesehatan Rl. 1995. Pengendalian Nyamuk Anopheles. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria. Jakarta: Direktorat Jendral PPM & PL Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang. Departemen Kesehatan RI. 2009. Keputusan Menkes Nomer: 293/MENKES/SK/IV/2009 tentang Eliminasi Malaria. Jakarta: Depkes. Gandahusada, S.; Ilahude, H.H.D.; Pribadi, W. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Gandahusada, Srisasi., Ilahude, H. Herry D dan Pribadi, W. 2004. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FK UI. Gandahusada, Srisasi. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FK UI. Harijanto, P. N. 2000. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC. Hiswani. 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nugroho A. dan Tumewu-Wagey. 2000. Siklus Hidup Plasmodium Malaria: Epidemiologi, Pathogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Editor: P. N Harijanto. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Nugroho, D. T. 2009. Siklus Perkembangan Pradewasa Anopheles aconitus (Diptera: Culicidae) Pada Dua Jenis Formulasi Pakan Yang Berbeda Di Laboratorium. Bogor: IPB. Nurhayati, Siti. 2008. Pemandulan Anopheles maculatus Sebagai Vektor Penyakit Malaria dengan Radiasi Gamma. Jakarta: Erlangga. Rajab, Z. 2012. Derajat Parasitemia Mencit Galur BALB/C yang Divaksinasi dengan Kelenjar Saliva Anopheles maculatus dengan Adjuvan Aluminium Hidroksida. Jember: Universitas Jember. Santoso, B. 2002. Studi karakteristik habitat Larva Nyamuk Anopheles maculatus Theobald dan Anopheles balabacensis Baisas serta beberapa faktor yang mempengaruhi populasi Larva di Desa Hargotirto kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, DIY. Yogyakarta: UGM Press. Zein, U. 2005. Penanganan Terkini Malaria Falciparum. Medan: Universitas Sumatera Utara. Terbitan Berkala Afandi, D., Sampurna, B., Sutanto, I., Marwoto, J.W., Chairani, N., Himawan, S. 2008. Autopsy findings in severe malaria – a case report. Med J Indonesia; 17 : 210-5. Andrade, Teixeira, Barbal dan Barral-Netto. 2005. Haematophagus Arthropod Saliva And Host Defense System: a Tale of Tear and Blood. Anais da academica Brassileira de Ciencias, 77 (4): 665-693. Ault, S.K. 1994. Malaria. Am. J. Trop. Med. Hyg., 50, 35-49 Barodji, Sularto T, Bambang H, Widiarti, Pradhan GD & Shaw RF. 1985. Life Cycle Study of Malaria Vector Anopheles aconitus Donitz in the Laboratory. Bull. Penelit. Kes. 13: (1) 7 hal. Brennan, Kent, Dhar, Fujioka, Kumar. 2000. Anopheles gambie Salivary Gland Protein as Putative Targets for Blocking Transmission of Malaria Parasite. New York: PNAS, 97 (25): 13859-13864. Carter, Mendis, Miller, Molineaux, Saul. 2000. Malaria Transmission Blocking Vaccine: How Can Their Development be Supported. Amerika: Nature America Inc. CDC. 2004. Malaria, Anopheles Mosquitoes. National Center For Infectious Diseases, Division Of Parasitic Diseases. Chattopadhyay, Rana dan Kumar, Sanjai. 2009. Review Article-malaria vaccine: latest update and Challenges Ahead. Indian Journal of Experimental Biology, 47 (7) : 527-536. Cornelie, Remoue, Doucoure, NDiaye, Sauvage, Boulanger dan Simondon. 2007. An Insight into Immunogenic Salivary Proteins of Anopheles gambiae in African Children. Malaria Journal. 6: 75. Dhar, R., Kumar, N. 2003. Role of Mosquito Salivary Glands. Cur. Sci, 85: 13081313. Doolan, D. L., dan Hoffman, S. L. 2000. The Complexity of Protective Immunity Against Liver-Stage Malaria. J. Immunol. Vol 165:1453–1462. Donovan, Messmore, Scrafford, Sack, Kamhawi and McDowell. 2007. Uninfected Mosquito Bites Confer Protection against Infection with Malaria Parasites. American Society for Microbiologi. Vol. 75 (5): 2523-2530. Gillespie R. D, Mbow M. L., Titus R. G. 2000. The Immunomodulatory Factors of Bloodfeeding Arthropod Saliva. Parasite Immunology. Vol 22: 319-331. Ho & White, N.J. 1999. Molecular Mechanisms of Cytoadherence in Malaria. Am J Physiol Cell Physiol. 276: 1231-1242. Hoffman, S.L., GOH, M.L., Luke, T.C. 2002. Protection of humans againts malaria by immunization with radiation-attenuated Plasmodium falciparum, The Journal of Infectious Disease. 185, 1155-1164. Jariyapan, Choochote, Jitpakdi, Harnnoi, Siriyasatein, Wilkinson, Junkum dan Bates. 2007. Salivary Gland Proteis of The Human Malaria Vector, Anopheles dirus B (Diptera: Culicidae). Rev. Inst. Med. Trop. S. Paulo. Viol. 49 (1): 5-10. Langhorne J., Ndungu F. M., Sponaas A-M., Marsh K. 2008. Immunity to Malaria: More Question than Answer. Nature Immunology, 9 (7): 725-732. Lounibes LP. 1994. Geographical and Development Components of Adult Size of Neotropical Anopheles (Nyssorhynchs). Ecological Entomology 19: 138-146. Mahmood, Farida & William KR. 1981. Duration of the Gonotrophic Cycles of Anopheles culifacies Giles and Anopheless stephensi Liston With Observations on Reproductive and Survivorship During Winter in Punjab Province, Pakistan. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 41: 41-50. Martin. M. E., Dieter, J. A., Luo, Z. 2012. Predicting The Outcome of Infectious Diseases: Variability Among Inbred Mice as a New and Powerfull Tool for Biomarker Discovery. Journal ASM. Vol. 3(5): 00199-12. Moortthy, Good, Hill. 2004. Malaria Vaccine Development. The Lancet, 363. Omar, El-Matarawy, El-Naggar, Abdel, dan El Rehemi. 1987. “The Course Of Plasmodium Berghei Infection In Mice Subjected To Variable Dosages Of The Parasite And The Peak Parasitaemia Obtained Accordingly”. Arab Saudi : Journal of the Egyptian Society of Parasitology, 16(2):757-61. Perlmann, P & Blomberg, M.T. 2002. Malaria and the Immune System in Humans. Chem Immunol. Vol.80, pp 229-242. Ramirez, Garver, Dimopolus. 2009. Plasmodium Infection andIts Risk Factors in Eastern Uganda. UK: Malaria Journal. Reid, J. A. 1968. Anophelini mosquitoes of Malaya and Borneo. Inst. Med. Res. Malaysia. 32. 520 hal. Rosenthal, P. J. 2008. Artesunate for the Treatment of Severe Falciparum Malaria. The New England Journal of Medicine. Vol. 358, Iss. 17, pg. 1829. Titus, R. G., Bishop, J. V dan Mejia, J. S. 2006. The Immunomodulatory Factors of Arthropod Saliva and Potential for These Factors to Serve as Vaccine Targets to Prevent Pathogen Transmission. Parasite Immunology. Vol. 28: 131-141. Tsakonas K. A and Riley E. M. 2002. Innate Immune Response to Malaria: Rapid Induction of IFN-γ from Human NK Cell by Live Plasmodium falciparuminfected erythrocytes. The Journal of Immunology, 169: 2956-2963. Ulanova, M., Tarkowski, A., Hahn-Zoric, M., Hanson, L. A. 2001. The Common Vaccine Adjuvant Aluminum Hydroxide Up-Regulates Accessory Properties of Human Monocytes via an Interleukin-4-Dependent Mechanism. Infection and Immunity, 69: 1151-1159. Wipasa J., Elliot S., Xu H., Good M. F. 2002. Immunity to Asexual Blood Stage malaria and Vaccine Approaches. Immunology and Cell Biology, 80: 401-414. Wirez ZA, Turrentine Jr JD & Fox RC. 1981. Area Repellents for Mosquitoes (Diptera: Culicidae): Identification of the Active Ingridients in A Petroleum Oil Fraction. J. Am. Mosq. Ctrl. Assoc. 18:126-128. World Health Organization. 1975. Manual on Practical Entomology in Malaria Part II. Geneva: WHO. World Health Organization. 2000. Malaria Transmission Blocking Vaccine: an Ideal Public Good. Geneva: WHO Press. World Health Organization. 2001. Malaria Transmission-Blocking-Vaccines: an Ideal Public Good. World Health Organization. 2005. WHO guidelines for the treatment of malaria Geneva: WHO Press. World Health Organization. 2010. World Malaria Report. Geneva: WHO. Walter Reed Biosistemativs Unit. 2009. Mosquito Identification Resource. Walter Reed Army Institute of Research. Yoshida S, Shimada Y and Kondoh D. 2008. Hemolytic C-type lectin CEL-III From Sea Cucumber Expressed In Transgenic Mosquitoes Impairs Malaria Parasite Development. PLoS Pathog. 3 (12): 192. Internet CDC. 2010. Anopheles Mosquitoes. http://www. Centers for Disease Control and Prevention [CDC]/Anopheles, Diakses 19 Januari 2012. Meigen. 1818. Anopheles. http://en.wikipedia.org/wiki/Anopheles, Diakses 21 Februari 2012. Prasetyo, A. Malaria. 2006. From URL: http://.www. Pusat Informasi Penyakit Infeksi khususnya HIV-AIDS - Penyakit - Malaria.htm. Diakses 23 Maret 2012. LAMPIRAN A. KURVA STANDART a. IFN-γ (Pengambilan Plasma Sebelum Vaksinasi, Pasca Vaksinasi Booster II dan 1 hari Pasca Infeksi P. berghei ) Kurva Standart ELISA IFN-γ 3,5 y = 0,004x + 0,008 R² = 0,994 Absorbansi 3,0 2,5 2,0 1,5 Series1 1,0 Linear (Series1) 0,5 0,0 0 200 400 600 800 Konsentrasi pg/ml b. IFN-γ (7 Hari Pasca Infeksi P. berghei) Kurva Standart ELISA IFN-γ 2,50 y = 0,003x - 0,101 R² = 0,992 Absorbansi 2,00 1,50 1,00 Series1 Linear (Series1) 0,50 0,00 0 200 400 600 Konsentrasi pg/ml 800 c. IL-4 (Pengambilan Plasma Sebelum Vaksinasi, Pasca Vaksinasi Booster II dan 1 hari Pasca Infeksi P. berghei ) Kurva Standart ELISA IL-4 2,5 y = 0,003x + 0,370 R² = 0,994 Absorbansi 2 1,5 1 Series1 Linear (Series1) 0,5 0 0 200 400 600 Konsentrasi pg/ml d. IL-4 (7 Hari Pasca Infeksi P. berghei) Kurva Standart ELISA IL-4 Absorbansi 2 y = 0,003x + 0,026 R² = 0,998 1,5 1 Series1 Linear (Series1) 0,5 0 0 200 400 Konsentrasi pg/ml 600 LAMPIRAN B. HASIL UJI ELISA Hasil Uji ELISA IFN-γ (Validasi) Waktu Pengambilan Kontrol SD % Error Supernatan SD % Error Pelet SD % Error Sebelum Vaksinasi 65,39 16,69 25,53 44,28 36,72 82,92 135,67 45,96 33,88 Pasca Vaksinasi Booster II 169,83 89,57 52,74 74,83 4,71 6,30 200,67 41,25 20,56 24 Jam Pasca Infeksi P. berghei 201,50 61,28 30,41 194,83 37,71 19,36 195,94 12,62 6,44 7 Hari Pasca Infeksi P. berghei 33,76 2,52 7,47 358,67 9,94 2,77 29,78 0,00 0,00 Hasil Uji ELISA IL-4 (Validasi) Waktu Pengambilan Kontrol SD % Error Supernatan SD % Error Pelet SD % Error Sebelum Vaksinasi 1208,24 99,64 8,25 1119,61 56,95 5,09 1039,30 59,15 5,69 Pasca Vaksinasi Booster II 463,55 56,47 12,18 605,97 29,81 4,92 512,03 69,43 13,56 24 Jam Pasca Infeksi P. berghei 492,33 67,88 13,79 485,52 48,21 9,93 574,15 19,81 3,45 7 Hari Pasca Infeksi P. berghei 405,53 241,70 59,60 134,94 37,52 27,81 199,65 46,69 23,39 Hasil Uji ELISA IFN-γ (Populasi) Waktu Pengambilan Kontrol SD % Error Supernatan SD % Error Pelet SD % Error Sebelum Vaksinasi 88,35 88,92 100,64 51,87 9,97 19,23 139 27,65 19,89 Pasca Vaksinasi Booster II 238,17 80,23 33,68 112,61 32,76 29,09 172,89 137,95 79,79 1 Hari Pasca Infeksi P. berghei 175,39 61,79 35,23 183,72 11,71 6,37 165,20 32,32 19,57 7 Hari Pasca Infeksi P. berghei 31,35 3,40 10,86 145,61 184,67 126,82 58,11 44,58 76,72 Kontrol SD % Error Supernatan SD % Error Pelet SD % Error Sebelum Vaksinasi 1097,64 99,59 9,07 1006,0 1005,97 98,44 1026,17 33,79 3,29 Pasca Vaksinasi Booster II 478,19 62,66 13,10 621,1 621,12 60,53 633,75 143,74 22,68 1 Hari Pasca Infeksi P. berghei 480,21 60,02 12,50 517,3 517,33 27,93 581,73 125,17 21,52 7 Hari Pasca Infeksi P. berghei 313,62 129,98 41,45 167,8 167,78 66,00 223,18 33,41 14,97 Hasil Uji ELISA IL-4 (Populasi) Waktu Pengambilan