TEORI PERILAKU ORGANISASI PUBLIK Dr. H. Ngusmanto, M.Si Mitra Wacana Media P E N E R B I T TEORI PERILAKU ORGANISASI PUBLIK Dr. H. Ngusmanto, M.Si Editor: Bima Sujendra, S.IP., M.Si Mitra Wacana Media P E N E R B I T Edisi Asli Hak Cipta © 2017, Mitra Wacana Media Telp. : (021) 824-31931 Faks. : (021) 824-31931 Website : http//www.mitrawacanamedia.com E-mail : [email protected] Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan menggunakan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. 2. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerekan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Ngusmanto Teori Perilaku Organisasi Publik/Ngusmanto —Jakarta: Mitra Wacana Media, 2017 1 jil., 17 x 24 cm, 154 hal. ISBN: 978-602-318-237-4 1. Organisasi I. Judul 2. Teori Perilaku Organisasi Publik II. Dr. H. Ngusmanto, M.Si Kata Pengantar A lhamdullilah Wasyukurilah segala puji serta memohon ridha ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk buku yang berjudul: Teori Perilaku Organisasi Publik. Isi buku ini penting untuk dipelajari karena banyak argumentasi yang membenarkan pernyataan ini. Salah satu hal penting yang diungkapkan dalam buku ini berhubungan dengan pentingnya pedekatan perilaku organisasi. Pendekatan perilaku menjelaskan bahwa manusia dalam organisasi merupakan unsur yang sangat penting dan komplek, sehingga pendekatan ini berusaha menjelaskan, menganalisis dan memprediksi tindakan-tindakan, aktivitas-aktivitas dan sikap-sikap manusia di dalam organisasi untuk dikelola, ditata, diarahkan, dikontrol, dimotivasi dan dipenuhi kebutuhannya dalam rangka mengoptimalkan peran manusia dalam organisasi, sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat pencapaian tujuan organisasi seoptimal mungkin. Di sisi lain, pembaca buku juga akan mengetahui bahwa organisasi publik mempunyai 2 (dua) ciri utama yaitu organisasi yang memberikan pelayanan atau melayani publik sebagai tugas utamanya dan pelayanan publik yang diberikan tidak bermotifkan mencari keuntungan (profit), sebagai tujuan akhir. Untuk itu, ruang lingkup perilaku organisasi (organization behavior) mendasarkan kajiannya pada perilaku manusia sebagai individu, dengan pusat perhatian pada tingkah laku, tindakan, perbuatan, sikap dan aktivitas manusia dalam organisasi publik. Boleh juga ruang lingkup perilaku organisasi mencakup 2 (dua) komponen atau kajian yaitu: (1) Komponen individu-individu yang berperilaku, baik itu perilaku secara individu, perilaku kelompok, dan perilaku organisasi; dan (2) Komponen organisasi formal iii Teori Perilaku Organisasi Publik sebagai wadah dari perilaku individu-individu terebut. Oleh karena itu, Perilaku Organisasi Publik dapat memainkan peranan penting dan sangat menentukan terhadap perkembangan organisasi dan keberhasilan kerjanya di masa kini dan mendatang, dalam rangka untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi, setiap organisasi dalam perjalanan kiprahnya dituntut untuk melakukan perubahan dan mengantisipasi perubahan global yang terjadi, sebagai upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang terus berubah, semakin komplek dan canggih. Penulis dalam hal ini juga menyadari sepenuhnya bahwa isi buku ini pasti belum sempurna, sehingga pembaca yang kritis akan mengetahui banyak kelemahan dan kekurangannya, sebagai akibat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu, penulis dengan segala kerendahan hati sangat berharap adanya kritik, saran dan masukan dalam perbaikan isi buku, sehingga isi buku ini dapat memenuhi kelayakan akademik. Sungguhpun begitu, penulis tetap berharap bahwa isi buku ini dapat menjadi bahan bacaan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Teori Perilaku Organisasi dan Perilaku Organisasi Publik serta sumber daya aparatur (birokrasi), sekaligus melengkapi buku-buku Perilaku Organisasi yang telah terbit lebih dahulu. Selain itu, proses penulisan dan penyusunan buku ini berlangsung kurang lebih selama 2 (dua) tahun satu bulan, sebagai konsekuensi kesibukan kerja penulis. Dalam proses penulisan buku, banyak pihak yang membantu dan terus memotivasi penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih serta penghargaan kepada unsur pimpinan Untan dan Fisip, dosen dan mahasiswa Fisip Untan. Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat bagi mahasiswa, pejabat birokrasi dan masyarakat secara umum. Aamiiin. Pontianak, Januari 2017 Penulis, Dr. H. Ngusmanto, M.Si iv Daftar Isi KATA PENGANTAR ............................................................................................................. DAFTAR ISI . ................................................................................................................. iii v BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1.1. Gambaran Umum ................................................................................... 1.2. Metodologi............................................................................................... 1 2 4 BAB 2. PEMAHAMAN TENTANG TEORI DAN PERILAKU ORGANISASI PUBLIK .................... 2.1 Teori .......................................................................................................... 2.2 Perilaku .................................................................................................... 2.3 Organisasi ................................................................................................ 2.4. Perilaku Organisasi Publik .................................................................... 11 11 17 20 28 BAB 3. RUANG LINGKUP PERILAKU ORGANISASI PUBLIK ............................................... 3.1. Keterkaitan Dengan Disiplin Lain ........................................................ 3.2. Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik ........................................ 3.3. Gambaran Ringkas Aspek Kajian ........................................................ 35 36 39 41 BAB 4. TERBENTUKNYA PERILAKU ORGANISASI PUBLIK ................................................ 4.1 Ahli Perilaku Organisasi ........................................................................ 4.2 Terbentuknya Perilaku Organisasi ....................................................... 47 48 53 v Teori Perilaku Organisasi Publik BAB 5. TEORI PERILAKU ORGANISASI DAN BIROKRASI .................................................. 5.1 Teori Perilaku Organisasi...................................................................... 5.2 Teori Perilaku Birokrasi ....................................................................... 61 61 67 BAB 6. KONFLIK DALAM ORGANISASI PUBLIK ............................................................... 6.1. Konsep Konflik........................................................................................ 6.2. Konflik Dalam Organisasi ..................................................................... 6.3. Teori Konflik............................................................................................ 6.4. Resolusi Konflik ...................................................................................... 77 77 82 85 90 BAB 7. KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI PUBLIK ........................................................ 95 7.1. Pengertian komunikasi Dalam Organisasi .......................................... 95 7.2. Proses Komunikasi ................................................................................. 97 7.3. Komunikasi dalam Organisasi ............................................................. 98 7.4. Arti Penting Komunikasi Dalam Organisasi ...................................... 103 BAB 8. MOTIVASI DALAM ORGANISASI PUBLIK .............................................................. 107 BAB 9. BUDAYA ORGANISASI PUBLIK ................................................................................. 113 9.1. Konsep Dan Terbentuknya Budaya Organisasi ................................. 114 9.2. Peran Budaya Organisasi ....................................................................... 122 BAB 10 PENUTUP .............................................................................................................. 131 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 135 DAFTAR ISTILAH ............................................................................................................... 141 INDEK ................................................................................................................. 143 vi BAB 1 Pendahuluan B ab pendahuluan dalam banyak karya ilmiah sepertinya merupakan Bab wajib atau pembuka yang suka atau tidak suka serta mau tidak mau selalu ada. Persoalan dan isi perdebatannya bukan membicarakan ada pendahuluan atau tidak, melainkan berdebat seputar apa isi Bab pendahuluan yang sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan ini cukup beragam. Ada yang mengisi sebagai bab pengantar atau pemanasan dalam setiap memulai menulis buku atau karya ilmiah lainnya, ada yang mengisi sebagai bab gambaran umum tentang isi suatu buku, Bab ringkasan isi buku dan entah apalagi. Intinya bahwa isi Bab pendahuluan tidak sama atau sangat beragam pada masing-masing penulis karya ilmiah. Dalam Bab pendahuluan ini, penulis terinsfirasi dari buku Riggs (1994) yang berjudul Administrasi Pembangunan, Sistem Administrasi dan Birokrasi. Bab pendahuluan dari buku tersebut menurut pemahaman penulis berisi tentang garis besar isi buku pada masing-masing bab. Untuk itu, bab pendahuluan buku ini juga berisi gambaran umum dari masing-masing bab dan ditambah metodologi. Jadi, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi isi dari Bab pendahuluan buku yang diberi judul Teori Perilaku Organisasi Publik yaitu: (1) Gambaran umum dan (2) Metodologi. Gambaran umum berisi tentang isi buku secara garis besar yang disajikan mulai dari Bab 1 tentang pendahuluan sampai dengan Bab 10 tentang penutup, sedangkan metodologi berisi tentang pendekatan yang dipergunakan penulis buku dalam rangka memahami isi buku yang diberi judul atau tema teori perilaku organisasi publik. Penjelasan kedua hal ini diuraikan seperti penjelasan berikut. 1 Teori Perilaku Organisasi Publik 1.1. GAMBARAN UMUM Ngusmanto (2015) menegaskan bahwa kerangka pikir dan isi suatu karya ilmiah akan dapat dipahami oleh pengguna karya atau buku secara lebih baik apabila mereka berusaha membaca semua bab yang dipersiapkan oleh penulis. Realitas menunjukkan bahwa tuntutan demikian menjadi persoalan tersendiri bagi mereka yang memiliki waktu sempit atau sibuk. Untuk mengatasi persoalan tersebut ada 2 (dua) pilihan. Pertama membaca daftar isi buku dan hanya memilih dan membaca pada Bab yang diperlukan saja. Kedua membaca Bab pendahuluan yang umumnya telah memberikan ringkasan isi buku secara garis besar. Dalam bab pendahuluan yang dituangkan dalam Bab I pada buku ini, si pengguna atau pembaca akan mengetahui tema-tema sentral apa saja yang akan dibahas, sehingga pembaca buku akan mendapat gambaran awal atau garis besar tentang isi buku serta metodologi yang dipergunakan oleh penulis buku. Penegasan ini perlu mendapat perhatian karena banyak pembaca buku yang seringkali melewatkan untuk membaca isi bab pendahuan dan banyak yang berpendapat bahwa bab pendahuluan tidak penting. Pada hal isi bab pendahuluan sesungguhnya sangat penting dan dapat membantu si pembaca buku. Tentang pilihan sub-sub pembahasan atau tema pokok dalam buku Teori Perilaku Organisasi Publik oleh penulis banyak terkait dengan kebutuhan mahasiswa yang menekuni kajian ilmu sosial, khususnya matakuliah Teori Perilaku Organisasi Publik. Pilihan tema dan sub tema dalam buku ini harus dilakukan karena untuk menggambarkan perilaku organisasi publik dalam satu buku yang konprehensif tidak mudah. Salah satu penyebabnya karena banyak tema yang saling terkait dan sudah pasti bukunya (isi buku) akan menjadi begitu tebal. Untuk itu, tidak semua tema yang dikaji dalam buku Teori Perilaku Organisasi Publik ditulis dalam buku ini. Tema-tema yang dipilih, dapat penulis jelaskan seperti uraian berikut. Bab 1 sebagai bab pendahuluan berisi 2 (dua) hal penting yaitu gambaran umum dan metodologi. Gambaran umum memberikan informasi tentang tema pokok masingmasing bab mulai dari Bab 1 sampai dengan Bab 10, sedangkan metodologi berisi tentang hampiran atau pendekatan yang dijadikan dasar pijakan untuk memahami isi penting tentang perilaku organisasi dan beberapa sub bab yang dijadikan tema. Bab 2 diberi tema Pemahaman Tentang Teori dan Perilaku Organisasi Publik. Isi subbab dari Bab 2 membahas dan menganalisis 4 (empat) hal penting yang akan dibicarakan yaitu: (1) Teori; (2) Perilaku, (3) Organisasi, dan (4) Perilaku Organisasi Publik. Keempat konsep ini penting untuk dipahami terlebih dahulu, agar sidang pembaca memiliki pegangan yang jelas tentang konsep atau pengertian keempatnya, sekaligus untuk membantu pemahaman yang lebih baik terhadap tema besar buku tentang Teori Perilaku Organisasi Publik. Apabila si pembaca buku mempelajari Bab 2 akan diperoleh banyak informasi seputar pengetian atau definsi masing-masing konsep. 2 Bab 1 – Pendahuluan Bab 3 memilih tema ruang lingkup perilaku organisasi publik. Sub-sub tema yang dibicarakan dalam Bab 3 berkaitan dengan: (1) Keterkaitan atau hubungan disiplin teori perilaku organisasi publik dengan disiplin lain; (2) Ruang lingkup teori perilaku organisasi publik dan (3) Gambaran ringkas beberapa aspek yang dikaji dalam ruang lingkup. Tema-tema penting yang dipilih secara subjektif oleh penulis buku adalah komunikasi dalam organisasi dan organisasi publik, etika perilaku organisasi publik atau birokrasi, motivasi dalam perilaku organisasi, konflik dalam perilaku organisasi dan budaya organisasi. Untuk pembicaraan organisasi publik lebih menekankan pada 2 (dua) ciri utamanya yaitu organisasi yang memberikan pelayanan atau melayani publik dan pelayanan publik yang diberikan tidak bermotifkan mencari keuntungan (profit), sebagai tujuan akhir. Oleh karena itu, organisasi publik yang banyak dibicara adalah: (1) Organisasi negara atau pemerintah pusat atau birokrasi negara atau pemerintah sampai dengan organisasi pemerintah daerah; (2) Yayasan; (3) Organisasi pendidikan seperti sekolah-sekolah dan (4) Kesehatan seperti (Palang Merah Indoneisa (PMI), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dan rumah sakit; serta (5) Organisasi tempat peribadatan seperti Masjid, Gereja, Vihara, Kuil, Kleteng, Pura dan lainnya. Ada pula kajian organisasi publik yang diperluas atau ditambah dengan: (1) Badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) seperti Pegadaian, DAMRI, Garuda Indonesia, BNI, Pertamina dan masih banyak lainnya, (2) organisasi partai politik (Parpol), serta (3) lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beraneka ragam. Apabila 3 (tiga) organisasi terakhir masuk kategori organisasi publik maka ciri utama organisasi publik berfolus pada pemberian pelayanan kepada publik, sedangkan ciri yang berhubungan tidak bermotifkan mencari keuntungan akan gugur dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan atau menggambarkan kepada kita semua bahwa ruang lingkup organisasi publik sangat luas. Sungguhkan begitu, organisasi publik yang banyak dibicarakan dalam buku ini lebih difokuskan pada organisasi publik/negara/pemerintah daerah/birokrasi. Pemahaman penting berikutnya yang disajikan pada Bab 4 memilih tema Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik. Dalam Bab ini akan dikaji dan dianalisis tentang tokoh-tokoh yang membidani lahirnya perilaku dan perilaku organisasi serta inti pemikirannya, sekaligus digambarkan bagaimana terbentuknya perilaku organisasi publik/birokrasi. Bab 5 memilih tema Teori Perilaku Organisasi Publik. Hal mendasar yang dibahas adalah teori perilaku organisasi dan perilaku birokrasi atau organisasi publik, bagaimana inti pemikirannya dan contoh aplikasi teori dimaksud. Bab 6 mengambil tema Konflik Dalam Organisasi. Untuk Bab konflik dalam organisasi akan dikaji dan dianalisis apa itu konflik, mengapa kebanyakan orang Indonesia tidak siap menerima kehadiran konflik secara wajar, dijelaskan juga mana konflik fungsional dan mana konflik disfungsional, teori konflik dan resolusinya. Bab 7 memilih tema Komunikasi Dalam Organisasi. Dalam tema ini akan diulas dan dianalisis tentang konsep komunikasi, perbedaan komunikasi dalam arti umum 3 Teori Perilaku Organisasi Publik dengan komunikasi dalam organisasi, proses komunikasi, ruang lingkup komunikasi dalam organisasi dan komunikasi yang efektif. Bab 8 dipilih dan ditetapkan tema Motivasi Dalam Organisasi. Beberapa hal penting yang akan dikaji dan dianalis adalah konsep motivasi, dan pentingnya motivasi serta hubungan perilaku dengan motivasi. Bab 9 berisi tentang Budaya Organisasi. Dalam bab ini akan mengulas tentang konsep budaya organisasi, terbentuknya budaya organisasi, arti penting budaya organisasi bagi perkembangan dan kemajuan organisasi. Bab 10 merupakan bab penutup yang akan menjelaskan tentang Masa Depan Perilaku Organisasi Publik, dikaitkan dengan kemajuan global. 1.2. METODOLOGI Untuk memahami isi buku yang diberi judul Teori Perilaku Organisasi Publik ini, selain seperti yang telah dijelaskan maka langkah berikutnya perlu mengetahui tentang pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh penulis buku. Dengan pernyataan lain, pendekatan yang dipergunakan dapat membantu pembaca buku tentang logika berpikir, cara atau sudut pandang atau metodologi atau kerangka berpikir si penulis buku dalam menganalisis dan menjelaskan suatu tema atau sub tema, sehingga si pembaca akan memahami apa yang harusnya dipahami. Untuk itu, kita bisa bertanya, di mana nilai penting dari suatu pendekatan dalam penulisan buku? Ngusmanto (2015) menegaskan bahwa nilai penting suatu pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan buku adalah setiap pendekatan yang dipergunakan dapat membantu pembaca, untuk menjawab pertanyaan mengapa isi buku Teori Perilaku Organisasi Publik, dengan tema-tema yang sama dengan buku lain, tetapi uraian yang dikaji tidak sama antara satu penulis dengan penulis buku lainnya. Isi buku satu dengan buku lain dengan topik sama, tetapi isinya berbeda karena penulis buku tersebut memiliki pendekatan yang berbeda. Pemahaman inilah yang dapat membantu pembaca buku atau karya ilmiah, sekaligus menyadarkan tentang pentingnya metodologi dalam menulis suatu karya ilmiah, sebagai suatu pembelajaran. Pendekatan atau hampiran utama yang dipergunakan dalam buku teori perilaku organisasi publik sudah pasti adalah pendekatan perilaku. Pendekatan perilaku menjelaskan bahwa manusia dalam organisasi merupakan unsur yang sangat penting dan komplek, sehingga pendekatan ini berusaha menjelaskan, menganalisis dan memprediksi tindakan-tindakan, aktivitas-aktivitas dan sikap-sikap manusia di dalam organisasi untuk dikelola, ditata, diarahkan, dikontrol, dimotivasi dan dipenuhi kebutuhannya dalam rangka atau upaya untuk mempercepat tercapai tujuan organisasi seoptimal mungkin. Sebelum pendekatan perilaku manjadi kajian dalam perilaku organisasi, manajer atau birokrat dalam waktu yang relatif lama memahami dimensi manusia dalam organisasi melalui asumsi-asumsi ekonomi, suasana kerja 4 Bab 1 – Pendahuluan dan keamanan, yang kemudian dikenal sebagai pendekatan tradisional, sehingga pendekatan-pendekatan hubungan kerja kemanusiaan (human relations) dan psikologi industri menjadi pendekatan utama di masa itu, sebagai upaya memahami dimensi manusia dalam organisasi. Raymond Miles dalam Thoha (2007) menegaskan bahwa pendekatan hubungan kemanusiaan secara sederhana menempatkan karyawan sebagai manusia dan tidak sama dengan mesin (yang tidak mengenal capek) yang dipergunakan dalam berproduksi, perlu dipahami kebutuhan-kebutuhannya dan mereka harus merasa diperhatikan dengan cara didengarkan dan diperhatikan keluhan-keluhannya dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kondisi pekerjaannya atau masalah-masalah lainnya. Hal demikian diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja karyawan, termasuk dalam bekerja sama mencapai produksi yang lebih baik. Siagian (1997:39) juga menegaskan bahwa pelopor utama gerakan ini adalah Elton Mayo, seorang ahli psikologi dari Harvard University. Ia membuktikan hipotesis bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi sikap, perilaku dan produktivitas karyawan. Temuannya menunjukkan bahwa sikap dan perilaku positif serta produktivitas para karyawan tidak terlalu dipengaruhi oleh fasilitas dan kondisi kerja, melainkan lebih dipengaruhi oleh perhatian yang diberikan oleh manajemen pada mereka. Temuan kedua ditegaskan bahwa perilaku seorang pekerja sangat ditentukan oleh dan terikat pada norma-norma kelompok kerja dimana seseorang menjadi anggotanya. Selanjutnya Thoha (2001: 41-46) menegaskan bahwa hampiran (approach) untuk memahami perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) Kognitif; (2) Penguatan (reinforcement) dan (3) Psikoanalitis. Pendekatan kognitif sama dengan formula P=F (I.L) (P=Perilaku; F= Fungsi; I=Individu dan L=lingkungan) yang bermakna bahwa perilaku adalah fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Jadi, manusia dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan dapat mempengaruhi manusia. Pendekatan atau hampiran kognitif memfokuskan ide pada kegiatan mental yang sadar seperti berpikir, mengetahui, memahami, menilai, bersikap, kepercayaan dan pengharapan. Pendekatan kognitif percaya bahwa perilaku seseorang timbul karena disebabkan oleh adanya rangangan (stimulus). Jadi perilaku yang timbul merupakan respon atau jawaban atas rangsangan. Pedekatan penguatan seperti yang dijelaskan oleh Thoha (2001) merupakan gagasan Pavkov dan Thorndike. Pendekatan ini sebagai pendekatan lanjutan dari kognitif. Inti pemikirannya adalah stimulus yang diberikan untuk mengubah perilaku seseorang. Contoh stimulus antara lain dapat berbentuk uang, pangkat, jabatan dan bahkan wanita. Stimulus dalam hal ini berfungsi sebagai penguat. Pejabat yang berkunjung ke suatu daerah akan diberikan service (uang, penginapan, pelayanan yang baik akan jadi penguat) dan apabila service direspon positif maka praktek service 5 Teori Perilaku Organisasi Publik demikian akan diulang-ulang kembali dan bahkan bisa menjadi kebiasaan. Hampiran psikoanalitis memiliki gagasan bahwa perilaku manusia dikuasai oleh personalitasnya atau kepribadiannya. Freud dalam Thoha (2001: 59-61) menegaskan bahwa konsep psikoanalitisnya merangkum 3 (tiga) hal yaitu Id, Ego dan Superego. Id merupakan subsistem dari kepribadian. Id adalah penampungan dan sumber dari semua kekuatan jiwa yang menyebabkan berfungsinya suatu sistem. Dalam praktek, Id dipandang sebagai kawah mendidih yang bersisi pengharapan-pengharapan dan keinginan-keinginan yang memerlukan pemuasan secepatnya, sehingga manusia akan mendapatkan penghargaan, pemuasan dan kesenangan. Dalam pemenuhan pemuasan, perilaku manusia tidak terbelenggu atau faktor pembatas seperti etik, moral, alasan atau logika, sekaligus sebagai sumber ketidaksadaran manusia. Ego sendiri menunjukkan sebaliknya atau sumber rasa sadar manusia. Ego berfungsi ganda yakni melayani dan sekaligus mengendalikan Id dan Superego, sehingga menjadikan manusia belajar dan bertindak sesuai dengan lingkungannya. Superego sendiri merupakan kekuatan moral dari personalitas. Superego menetapkan suatu norma yang memungkinkan ego memutuskan apakah sesuatu benar atau salah, sekaligus dapat bertindak sebagai mediator terhadap hukuman dari penyimpangan-penyimpangan norma. Orang tua, guru dan tokoh-tokoh masyarakat menjadi salah satu faktor penting di dalam pengembangan superego dari anak dan atau manusia. Pemahaman penting berikutnya agar penelaahan atau kajian perilaku organisasi semakin dimengerti dan dipahami lebih baik maka pendekatan perilaku organisasi berikutnya menurut Otomo (1998: 4-5) ditambah beberapa pendekatan lagi yaitu: (1) pendekatan sumber daya manusia (supportif); (2) pendekatan kontingensi; (3) pendekatan produktivitas dan (4) pendekatan sistem. Pendekatan sumber daya manusia dapat membantu manusia (birokrat) agar berprestasi lebih baik, menjadi orang yang lebih bertanggung jawab, dan kemudian berusaha menciptakan suasana di mana mereka dapat menyumbang sampai pada batas kemampuan yang mereka miliki, sehingga mengarah kepada peningkatan keefektifan pelaksanaan tugas. Pendekatan ini seringkali disamakan dengan pendekatan suportif yang bermakna bahwa orang yang lebih baik akan mencapai hasil yang lebih baik pula. Sementara itu, pendekatan kontingensi mengandung pengertian bahwa adanya lingkungan yang berbeda menghendaki praktek perilaku yang berbeda pula untuk mencapai keefektifan. Jadi, lingkungan mempunyai pengaruh yang besar. Pendekatan produktivitas dimaksudkan sebagai ukuran seberapa efisien suatu organisasi dapat menghasilkan keluaran yang diinginkan. Jadi, produktivitas yang lebih baik merupakan ukuran seberapa baik penggunaan sumber daya organisasi. Dalam hal ini, kita perlu memahami bahwa konsep produktivitas tidak hanya diukur dalam kaitannya dengan masukan dan keluaran ekonomis, tetapi masukan manusia dan sosial juga merupakan hal yang penting. Dengan demikian, apabila perilaku organisasi yang lebih baik dapat 6 Bab 1 – Pendahuluan mempertinggi kepuasan kerja, maka hal ini akan dihasilkan keluaran manusia yang baik pula. Akhirnya, perilaku tersebut akan menghasilkan produktivitas yang diinginkan. Pendekatan sistem diterapkan dalam sistem sosial, di mana di dalamnya terdapat seperangkat hubungan manusia yang rumit yang berinteraksi dalam banyak cara. Hal ini berarti bahwa manajer yang akan mengambil keputusan harus mengkaji banyak hal atau pertimbangan dalam rangka menentukan dampaknya terhadap sistem yang lebih besar, sehingga ia memerlukan analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis). Pendekatan selanjutnya adalah pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah dipergunakan untuk menjelaskan perkembangan pemikiran perilaku organisasi, yang berkaitan dengan tokoh-tokoh atau ahli-ahli yang menekuni dan atau membidani lahirnya penggunaan pendekatan perilaku organisasi, sedangkan pendekatan ekologi dipergunakan untuk menjelaskan bahwa organisasi publik itu harus tetap eksis, jadi dewasa, maju dan terus berkembang. Oleh karena itu, manusia (semua anggota organisasi) wajib dan harus selalu berinteraksi dengan lingkungannya (lingkungan fisik, abiotik, lingkungan sosial, ekonomi dan budaya). Dengan pernyataan lain, sukses atau tidaknya organisasi publik, hidup atau matinya organisasi dalam mencapai tujuan organisasi publik sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor ekologi (lingkungan) mulai dari aspek atau variabel politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan keamanan yang membentuk perilaku manusia dalam organisasi publik. Hampiran terakhir adalah budaya. Siklus kehidupan organisasi yang demikian dapat terjadi pada organisasi apapun, termasuk organisasi publik. Salah satu faktor penentu di antara faktor-faktor yang ada adalah budaya organisasi. Budaya organisasi dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku anggota organisasi publik. Anggota organisasi itu sendiri akan dipengaruhi oleh budaya setempat atau budaya organisasi di mana manusia (anggota) bekerja. Budaya di luar organisasi dan budaya anggota organisasi yang dibawa ke dalam organisasi juga dapat mempengaruhi budaya organisasi. Berdasarkan beberapa pendekatan atau hampiran seperti telah dijelaskan maka manfaat utama dari penggunaan pendekatan tersebut dapat menjelaskan tindakantindakan, aktivitas-aktivitas, sikap-sikap dan gerak-gerik manusia di dalam organisasi. Mengapa demikian? Jawabannya adalah pendekatan perilaku selalu berusaha menjelaskan, memprediksi, mengarahkan, mengendalikan dan mengelola tingkah laku manusia sebagai upaya untuk mewujudkan perilaku yang baik secara individu, dalam kelompok dan perilaku dalam organisasi sebagai upaya mewujudkan tujuan organisasi secara optimal. Kajian tentang perilaku manusia sengaja dipelajari karena mempunyai maksud dan tujuan untuk mengenali atau menjelaskan tingkah laku 7 Teori Perilaku Organisasi Publik manusia dan sebagai puncaknya, manajemen dapat memanej perilaku manusia pada umumnya serta perilaku manusia dalam organisasi dan organisasi publik. Perilaku organisasi merupakan ilmu yang interdisipliner, yang dapat menarik sumber-sumber dari ilmu-ilmu yang lain. Jadi, perilaku organisasi menjadi lebih berorientasi pada pelaksanaan kerja. Tujuan yang sangat penting dalam mempelajari perilaku organisasi adalah mengendalikan perilaku-perilaku dalam organisasi. Jika pimpinan organisasi dapat memahami dan menjelaskan perilaku-perilaku yang terjadi dalam organisasi, maka ia akan dapat menciptakan situasi yang menghasilkan perilaku-perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Kemampuan manusia untuk mengendalikan moralitas dan perilaku dari anggota organisasi menjadi isu yang sangat penting pada masa sekarang dan mendatang. Selain itu, penulisan buku yang berjudul Teori Perilaku Organisasi Publik diinspirasi oleh pengalaman penulis yang mengajar mata kuliah Teori Perilaku Organisasi Publik sejak tahun 2000 di S1 dan S2 Program Studi Administrasi Publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura Pontianak Kalimantan Barat (Kalbar) serta Institut Pemerintahan Dalam Negeri Kelas Kalbar dan universitas Terbuka di Kalbar. Dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh penulis seringkali muncul pertanyaan-pertanyaan kritis mahasiswa seperti bagaimana membedakan antara organisasi dengan organisasi publik, untuk apa atau apa nilai penting mempelajari perilaku organisasi publik, apa yang salah dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang banyak prof (guru besar) dan Doktor di bidang administrasi publik, tetapi beberapa perilaku manusia dalam organisasi publik tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi secara optimal dibandingkan fakultas lainnya, mengapa organisasi publik belum dapat memberikan pelayanan yang optimal dan atau belum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat yang optimal, malahan jadi penghambat pembangunan, mengapa persaingan dalam banyak hal di organisasi publik semakin tidak sehat dan tidak rasional di negara kita. Mengapa konflik, komunikasi dan budaya organisasi menjadi bagian ruang lingkup organisasi publik. Beberapa pertanyaan yang muncul menimbulkan tantangan tersediri, dan sekaligus mendorong penulis untuk menulis buku ini. Di sisi lain, penulisan buku ini juga diinspirasi dari beberapa penulis buku tentang perilaku organisasi yang berasal dari dalam dan luar negeri, yang sekaligus menjadi sumber literatur yang diacu oleh penulis. Hal penting berikutnya, ada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh penulis buku, sehingga isi buku ini sebagian mengambil atau bersumber dari hasil penelitian, khususnya penelitian tentang perilaku birokrasi. Tidak ketinggalan pula bahwa isi buku ini sebagian bersumber dari diskusi dengan beberapa staf pengajar yang mengampu matakuliah Teori Perilaku Organisasi Publik, terutama dalam pembicaraan pokok-pokok bahasan. Oleh karena itu, secara metodologi atau kerangka pemikiran penulisan buku dapat dilihat dari pendekatan yang dipergunakan, pengalaman 8 Bab 1 – Pendahuluan mangajar dan berinteraksi dengan mahasiswa strata 1 dan 2, studi literatur dan temuan penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis serta hasil diskusi dengan beberapa staf pengajar matakuliah Teori Perilaku Organisasi Publik. 9 Teori Perilaku Organisasi Publik 10 BAB 2 Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik A da 4 (empat) hal penting yang akan dibicarakan dalam Bab 2 ini dan sekaligus menjadi sub tema Bab. Keempat hal atau sub tema penting Bab ini yaitu: (1) Teori; (2) Perilaku, (3) Organisasi, dan (4) Perilaku Organisasi Publik. Keempat konsep ini penting untuk dipahami terlebih dahulu, agar sidang pembaca memiliki pegangan yang jelas tentang konsep atau pengertian keempatnya, sekaligus untuk membantu pemahaman yang lebih baik terhadap tema besar buku yaitu Teori Perilaku Organisasi Publik. Penjelasan secara rinci keempat konsep dimaksud seperti uraian berikut. 2.1 TEORI Pengalaman penulis dalam berinteraksi dengan banyak kalangan yang terkait dengan pembicaraan teori menemukan realita atau fakta bahwa: (1) Ada keengganan banyak orang untuk membicarakan apa itu teori; (2) Sebagian orang tidak paham apa itu teori; dan (3) Mereka tidak mau belajar untuk mengetahui berbagai teori-teori yang ditemukan oleh para ahli (pakar). Realita demikian, khususnya Ilmu Sosial terjadi karena untuk memahami teori itu sendiri tidak mudah, memerlukan waktu dan konsentrasi khusus. Di sisi lain, ada kesenjangan antara teori dengan dunia empiris (kesajangan antara harapan dengan kenyataan atau antara yang tertulis dengan prakteknya) atau ada kesenjangan antara Das Sollen (harusnya atau teorinya, kaidah atau normanya), sedangkan Das Sein (prakteknya, kenyataan atau implementasinya). Beberapa hal ini menjadi salah satu pertimbangan orang kurang tertarik mempelajari teori. Untuk itu, timbul pertanyaan: Apa itu teori, untuk apa teori dipelajari dan apa manfaat teori itu sendiri. 11 Teori Perilaku Organisasi Publik Sebelum menjawab apa itu teori, banyak anggapan atau pandangan bahwa teori itu merupakan segala sesuatu yang tertulis dalam buku, pernyataan atau bahkan disamakan dengan isi undang-undang (UU). Ada pula pandangan bahwa teori merupakan sesuatu yang idial atau idealnya. Kelompok ini berpandangan bahwa teori itu sulit dipraktekkan dan kebanyakan orang hanya bisa berteori (pandai bicara yang bagus dan ideal), tetapi aplikasi atau prakteknya hanya pepesan kosong atau nol besar. Jadi apapun yang tertulis dalam tulisan atau pernyataan para ahli dan isi peraturan perundang-undangan itu dianggap teori. Bermula dari sini lantas muncul pandangan bahwa ada kesenjangan antara teori dengan kenyataan. Hal inilah yang dalam dunia Ilmu Pengetahuan disamakan dengan pernyataan tertulis yang ditulis oleh para ahli dalam bentuk buku, artikel di jurnal ilmiah atau tulisan ilmiah lainnya. Oleh karena itu, banyak pandangan dan pernyataan bahwa teori itu sulit dipraktekkan atau teori berkaitan dengan kesenjangan antara harapan (teori) dengan kenyataan (praktek) atau banyak gagasan atau ide bagus atau ideal (disamakan dengan teori), tetapi sangat sulit untuk diimplementasikan. Pandangan yang telah diungkap sudah pasti menimbulkan pro dan kontra dalam memahami apa itu teori. Penulis sendiri setuju bahwa apa yang telah didiskusikan di atas merupakan salah satu bentuk atau wujud dari teori itu sendiri. Di sisi lain, teori itu sendiri terus-menerus mengalami perkembangan, sesuai dengan hasil-hasil temuan para ahli. Awal mula penemu teori didominasi dan berasal dari ahli-ahli ilmu alam (sains) atau ilmu pasti, baru kemudian berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Menurut para ahli, perkembangan teori selalu mengikuti suatu proses yang dimulai dari description, prediction, explanation (penggambaran atau mendeskripsikan, pendugaan/peramalan atau memprediksi dan penjelasan). Tiga hal terakhir inilah yang dikenal sebagai fungsi utama suatu teori hingga dewasa ini. Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan apa itu teori maka penulis buku akan menjelaskan beberapa pengetian atau definisi tentang teori menurut pendapat para ahli. Kerlinger (2006: 14-15) menegaskan bahwa teori ialah seperangkat konstruk (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan yang sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu. Lebih lanjut Kerlinger menjelaskan bahwa definisi teori yang telah diungkap mengandung tiga hal yaitu: (1) Sebuah teori adalah seperangkat proposisi yang terdiri atas konstruk-konstruk yang terdefinisikan dan saling tergantung; (2) Teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel (konstruk). Jadi, teori merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu; dan terakhir (3) Teori menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara rinci variabelvariabel tertentu yang terkait dengan variabel-variabel tertentu lainnya. 12 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik Untuk memperluas wawasan tentang apa itu teori, dijelaskan juga pendapat ahli lainnya. Sukmadinata (1999: 17) menyatakan bahwa teori merupakan suatu set atau sistem pernyataan (a set of statement) yang menjelaskan serangkaian hal; Durbin (1988) menegaskan bahwa teori merupakan pernyataan karena teori adalah bagian dari upaya ilmuwan untuk mengungkapkan pemikiran atau idenya. Pernyataan itu ditujukan untuk memperjelas atau memahami serangkaian fakta dan data yang semula terkesan rumit atau bahkan tidak bermakna; Schwandt (2001) memakai pengertian teori bukan hanya sebagai suatu penjelasan, melainkan juga sebagai suatu orientasi atau perspektif (cara pandang) peneliti dalam melihat masalah, memecahkan masalah, dan memahami serta menjelaskan realitas sosial atau dunia kehidupannya (world view). Untuk melengkapi pengertian teori seperti yang telah diungkapkan, Sugiyono (2013: 83-84) sendiri mengutif beberapa definisi tentang teori menurut beberapa ahli yaitu: (1) Wiliam Wierma (1986) menyatakan bahwa a theory is a generalization or series of generalization by which we attempt generalization to explain some phenomena in a systematic manner (teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik); dan (2) Cooper dan Schindler (2003) menegaskan bahwa a theory is a set of systematically interrelated conceps, definition, and proposition that are advanced to explain and predict phenomena (fact). (Teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang tersusun secara sistematis, sehingga teori dapat digunakan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena; Berdasarkan beberapa pengertian teori yang diungkapkan oleh ahli-ahli di atas dapat ditegaskan bahwa teori adalah generalisasi, definisi, pernyataan, pandangan dan dalil yang dapat menggambarkan atau mendeskripsikan, meramalkan atau memprediksi dan menjelaskan secara sistematis dan logis tentang berbagai fenomena kehidupan. Mengacu pada beberapa definisi teori seperti yang telah diungkapkan maka ada beberapa bentuk konkrit dari suatu teori, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Definsi atau pengertian. Jadi, suatu definsi atau pengertian dalam banyak fenomena atau fakta merupakan salah satu bentuk kongkrit dari suatu teori. Contoh definisi: Baucer dan gergen dalam Dunn (2000:1) menegaskan bahwa analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan berupaya meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik; Dye (1992:2) mendefinisikan public policy is whatever governments choose to do or not to do. Public policy may deal with a wide variety of substantive areas: defense, energy, environment, foreign affairs, education, welfare, police, highway, taxation, housing, social security, health, economic opportunity, urban development, inflation and recession, and so on; Price (1968:28) mendefinisikan proses pembuatan kebijakan adalah “a process of interaction 13 Teori Perilaku Organisasi Publik amang scientists, professional leaders, administrators and politicians”; Djohan dan Milwan (2007: 27) menyatakan bahwa tanggung jawab adalah norma yang menuntut kesediaan moral setiap penyelenggaran negara untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional dan tekat untuk terus-menerus meningkatkan mutu profesionalisme, Kehati-hatian dan kecermatan dalam setiap sikap, perilaku, tindakan maupun ucapannya baik di dalam lingkungan kerjanya maupun di luar lingkungan kerja, memikul akibat resiko dan tanggung jawab yang terpaut pada kedudukan, kewenangan dan tugas yang dilaksanakan, kewajiban untuk mengakui kesalahan, kesediaan untuk memperbaiki kesalahnnya secepat mungkin dan memikul akibat dari perilaku, tindakan, keputusan dan ucapan yang salah. b. Hipotesis. Secara umum hipotesis dipahami sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian berdasarkan pada suatu teori yang akan diuji secara empiris. Beberapa contoh hipotesis sebagai bentuk teori antara lain: (1) Ngusmanto (2012): “Keterlambatan formulasi kebijakan umum anggaran berkaitan dengan tanggung jawab, respon, komitmen dan konsistensi dari tim anggaran pemerintah dan badan panggaran DPRD.”; (2) Tingkat Pendidikan dan kekayaan berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa; (3) Orang tua, guru dan masyarakat berkontribusi dalam membentuk perilaku anak. c. Dalil. Bentuk teori berikutnya adalah dalil. Contoh dalil antara lain: Ngusmanto (2012): (1) Baik buruknya proses formulasi kebijakan umum anggaran menjadi tanggung jawab tim anggaran pemeritah dan badan anggaran DPRD; (2) Kerjasama secara profesional antara tim anggaran dengan badan anggaran merupakan salah satu cara mengatasi keterlambatan formulasi suatu kebijakan; (3) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi menjadi pemicu peningkatan kualitas pelayanan publik; (4) Keberhasilan organisasi pemerintah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya memerlukan dukungan organisasi swasta dan organisasi kemasyarakatan, (5) Perilaku birokrasi dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya selalu dimotivasi kepentingan pribadi dan pihak lain; (6) Kehidupan bangsa Indonesia makin terpuruk karena banyak anak bangsa yang meninggalkan nilai-nilai Pancasila; dan (7) Pendidikan Pancasila harus dapat membudayakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Hubungan antar variabel atau proposisi. Beberapa contoh bentuk teori dalam hal ini antara lain: (1) Teori perilaku birokrasi menurut Muchlas (2005:12): Perilaku seseorang tidak terjadi secara kebetulan, tetapi muncul karena pertimbanganpertimbangan tertentu. Dalam psikologi ditemukan bahwa setiap perilaku pasti mempunyai alasan-alasan yang umumnya berhubungan dengan kebutuhan manusia; (2) Teori persekongkolan atau teori konspirasi (conspiracy theory) adalah teori-teori 14 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial atau sejarah) adalah suatu rahasia, dan seringkali memperdaya, direncanakan diam-diam oleh sekelompok rahasia orangorang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh http://id.wikipedia. org/wiki/Teori_persekongkolan; (3) Teori Elit Mosca dalam Varma (1987: 204-205) menyatakan bahwa dalam semua masyarakat selalu muncul dua kelas yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas pertama memiliki jumlah lebih sedikit, tetapi mereka memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan dari kekuasaan. Sementara kelas yang kedua memiliki jumlah lebih besar, tetapi mereka diatur dan dikontrol oleh kelas yang pertama; (4) Chalid (2006): Teori pertumbuhan ekonomi merupakan penjelasan mengenai faktorfaktor apa yang menentukan kenaikan output perkapita dalam jangka panjang dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain, sehingga terjadilah proses pertumbuhan; dan Teori pertumbuhan ekonomi tidak lain merupakan suatu cerita (yang logis) mengenai bagaimana pertumbuhan terjadi; (5) Ngusmanto (2012) menyatakan: Keterlambatan formulasi Kebijakan Umum Anggaran Kota Pontianak Tahun 2011 disebabkan oleh lemahnya tanggung jawab, respon yang kurang, lemahnya komitmen dan kurangnya kosistensi dari tim anggaran pemerintah kota dan badan anggaran DPRD kota Pontianak; “Kerjasama secara profesional antara tim anggaran dengan badan anggaran merupakan salah satu cara mengatasi keterlambatan formulasi suatu kebijakan”. Pernyataan-pernyataan. Contoh pernyataan sebagai bentuk suatu teori antara lain: (1) Kepatuhan membuang sampah pada tempatnya lebih berhubungan dengan masalah mental manusia, bukan masalah kaya dan miskin; (2) Kehadiran handphone melahirkan sikap dan perilaku yang makin individualis dari manusia Indonesia; dan (3) Harga kebutuhan pokok yang terus berajak naik dapat semakin menyulitkan keluarga miskin untuk memenuhi kebutuhan pokok secara layak. Selanjutnya Sukmadinata (1999: 17) menegaskan bahwa ada tiga kelompok karakteristik utama sistem pernyataan suatu teori. Pertama, pernyataan dalam suatu teori bersifat memadukan (unifying statement). Kedua, pernyataan tersebut berisi kaidah-kaidah umum (universal preposition). Ketiga, pernyataan bersifat meramalkan(predictive statement). Rose dalam Sukmadinata (1999:18) menyatakan bahwa karakteristik pernyataan (set of statement) tersebut meliputi definisi, asumsi, dan kaidah-kaidah umum. Dalam rumusan yang lebih kompleks, teori ini juga menyangkut hukum-hukum, hipotesis, dan deduksi-deduksi yang logis-sistematis. Teori harus mampu menjangkau ke depan, bukan hanya menggambarkan apa adanya tetapi mampu meramalkan (prediktif) apa yang akan terjadi atas suatu hal. Pandangan Sukmadinata dan Rose seperti yang telah diungkapkan menegaskan bahwa tidak semua pernyataan merupakan bentuk teori. Selanjutnya, Nazir (2005:19) 15 Teori Perilaku Organisasi Publik menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan jika ingin mengenal teori. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut: a. Teori adalah sebuah set proposisi yang terdiri atas konstrak (construct) yang sudah didefinisikan secara luas dan dengan hubungan unsur-unsur dalam set tersebut secara jelas pula. b. Teori menjelaskan hubungan antar variabel atau antar konstruk (construct) sehingga teori merupakan pandangan yang sistematis dari fenomena-fenomena yang diterangkan oleh variabel dengan jelas kelihatan. c. Teori menerangkan fenomena dengan cara menspesifikasikan variabel mana yang berhubungan dengan variabel mana. Setelah pertanyaan tentang teori itu apa selesai dijelaskan jawabannya seperti yang telah diungkapkan maka pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah untuk apa teori dipelajari dan apa manfaat teori itu sendiri. Nazir (2005: 19-20) menegaskan bahwa teori sebagai alat dari ilmu, sehingga teori mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: a. Teori mendefinisikan orientasi utama dari ilmu dengan cara memberikan definisi terhadap jenis-jenis data yang akan dibuat abstraksinya. b. Teori memberikan rencana (scheme) konseptual, dengan rencana mana fenomenafenomena yang relevan disistematiskan, diklarifikasikan, dan dihubunghubungkan. c. Teori memberi ringkasan terhadap fakta dalam bentuk generalisasi empiris dan sistem generalisasi. d. Teori memberikan prediksi terhadap fakta. e. Teori memperjelas celah-celah di dalam pengetahuan kita. Nazir (2005: 19-20) menjelaskan lebih lanjut tentang teori sebagai orientasi utama dari ilmu bermakna bahwa teori memberikan batasan terhadap ilmu dengan cara memperkecil jangkauan (range) dari fakta yang akan dipelajari. Oleh karena banyak fenomena yang dapat dipelajari dari berbagai aspek, maka teori membatasi aspek mana saja yang akan dipelajari dari suatu fenomena tertentu. Dengan adanya teori, maka kita dapat terbantu dan menentukan jenis fakta mana yang relevan dengan aspek tertentu. Hal ini dapat dicari dan ditentukan. Teori sebagai konseptualisasi dan klasifikasi menekankan bahwa tugas dari ilmu juga mengembangkan sistem klasifikasi dari struktur konsep. Jadi, ilmu memegang peranan penting, karena konsep serta klasifikasi selalu berubah, sebagai konsekuensi pentingnya suatu fenomena yang juga berubah-ubah. Teori meringkaskan fakta atau sama dengan menyusun generalisasi hasil penelitian. Teori juga dapat memadukan generalisasi-generalisasi satu sama lain secara empiris, sehingga hal ini dapat diperoleh suatu ringkasan hubungan antar generalisasi atau pernyataan. Teori memprediksi fakta-fakta. Jadi, teori dalam hal ini 16 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik akan menghasilkan uniformitas dari pengamatan-pengamatan. Dengan adanya uniformitas tersebut, maka teori dapat membuat prediksi terhadap fakta-fakta yang akan datang. Terakhir, teori menjelaskan celah kosong. Maksud dari pernyataan menjelaskan celah kosong bermakna bahwa teori dapat memberikan petunjuk dan memperjelas daerah mana dalam khazanah ilmu pengetahuan yang belum dieksplorasi. Misalnya, adanya teori kriminalitas yang dirumuskan berdasarkan pengamatan terhadap perilaku kelas bawah. Penegasan dan pernyataan demikian telah memperjelas celah bahwa kini dipertanyakan apakah teori tersebut juga berlaku untuk kriminalitas yang terjadi pada anak-anak golongan atas, golongan terdidik, dan generasi muda di kota atau desa sekedar contoh. 2.2 PERILAKU Perilaku yang dibicarakan dalam bab ini sesuai dengan judul buku Teori Perilaku Organisasi Publik, tentu hanya difokuskan pada perilaku manusia. Perilaku manusia sama dengan atau tidak lain membicarakan tentang tingkah laku manusia. Kajian tentang perilaku manusia sengaja dipelajari karena mempunyai maksud dan tujuan untuk mengenali atau menjelaskan tingkah laku manusia, memprediksi, mengarahkan, mengendalikan dan mengelolanya sebagai upaya untuk mewujudkan perilaku yang baik secara individu, dalam kelompok dan perilaku dalam organisasi sebagai upaya mewujudkan tujuan organisasi secara optimal. Oleh karena itu, perilaku yang harus kita kenali, diprediksi dan dijelaskan bisa dalam level: (1) Individu, (2) Dalam Kelompok dan atau Organisasi. Dalam pengertian umum, perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan makhluk hidup. Perilaku adalah “tindakan atau perbuatan. Untuk itu, Notoatmodjo (1987) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Lebih lanjut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (1987) menegaskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Mengapa demikian? Karena perilaku itu sendiri terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, sehingga teori Skinner ini disebut sebagai teori “S-O-R” atau Stimulus -Organisme -Respon. Skinner membedakan perilaku menjadi dua, yakni: 1. Perilaku yang alami (innate behaviour), yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan yang berupa refleks-refleks dan insting-insting. 2. Perilaku operan (operant behaviour) yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar. Khusus perilaku pada manusia maka perilaku operan atau psikologis inilah yang lebih dominan. Sebagian terbesar perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, 17 Teori Perilaku Organisasi Publik perilaku yang diperoleh dan perilaku yang dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak (kognitif). Dijelaskan lebih lanjut oleh Skinner dalam Notoatmodjo (1987) bahwa ada tiga asumsi yang saling berkaitan mengenai perilaku manusia. Pertama, perilaku itu disebabkan; Kedua, perilaku itu digerakan; Ketiga, perilaku itu ditujukan pada sasaran/tujuan. Hal ini bermakna bahwa proses perubahan perilaku mempunyai kesamaan untuk setiap individu, yakni perilaku itu ada penyebabnya, dan terjadinya tidak dengan spontan, dan mengarah kepada suatu sasaran, baik secara ekslusif maupun inklusif. “Secara umum, perilaku berorientasi pada tujuan (goal oriented)”. Dengan perkataan lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu”. Senada dengan itu Ndraha (2003) mendefinisikan perilaku sebagai operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap sesuatu (situasi atau kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi atau organisasi). Selanjutnya, Santosa, (2010: 25) menegaskan bahwa setiap orang mempunyai tingkah laku individual dan sosial. Tingkah laku individual terlihat dari tanggapan, berpikir, dan perasaan, sedangkan tingkah laku sosial terlihat dari kerjasama, konflik, kebiasaan sosial dan aktivitas-aktivitas sosial. Tingkah laku sosial dalam hal ini sama dengan perilaku kelompok dan perilaku organisasi. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut akan terjadi proses yang berurutan, yaitu: 1. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari atau mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest (tertarik), yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus. 3. Evaluation (menimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru 5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Mengacu pada pandangan Rogers seperti yang telah diungkapkan menegaskan bahwa perubahan perilaku manusia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan ada prosesnya. Sebagai contoh seorang pejabat negara (pemimpin) akan membangun dan menginternalkan netralitras birokrasi pada setiap diri aparatur negara. Untuk mewujudkan netralitas ini memerlukan waktu dan proses yang tidak mudah. Untuk itu, Notoatmodjo (2003) menegaskan bahwa apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng. 18 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik Perlu ditegaskan bahwa dalam lingkungan kita, perilaku seseorang dapat dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang dari norma yang berlaku. Benjamin Bloom http://www.definisipengertian.com/2015/07/definisi-pengertian-perilaku-menurut-ahli.html, seorang psikolog pendidikan, membedakan adanya tiga bidang perilaku, yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Kemudian dalam perkembangannya, domain perilaku yang diklasifikasikan oleh Bloom dibagi menjadi tiga tingkat: a. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. b. Sikap (attitude). Sikap merupakan respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. c. Tindakan atau praktik (practice). Tindakan ini merujuk pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk tindakan, yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang telah dimiliki. Lantas timbul pertanyaan: Perilaku atau tingkah laku manusia yang baik itu seperti apa? Jawatan atas pertanyaan ini bisa bermacam-macam, antara lain: 1. Perilaku yang baik merupakan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran agama, nilai-nilai Pancasila, norma, sesuai kode etik, aturan main atau peraturan serta beretika dan atau bermoral, khusus untuk warga negara Indonesia (WNI). 2. Perilaku yang dapat menghantarkan tercapai tujuan pribadi dan keluarganya serta para pemimpinnya 3. Perilaku yang dapat menghantarkan tercapainya tujuan kelompok dan atau organisasi dan lebih jauh lagi tujuan masyarakat. Ukuran perilaku yang baik seperti yang telah diungkapkan bisa saja ditambah ukuran lainnya, di luar ukuran yang telah diungkapkan. Hal ini bermakna bahwa ukuran yang telah disebutkan masih sangat terbuka untuk ditambah. Perilaku berasal dari kata “peri” dan “laku”. Peri berarti cara berbuat, kelakuan perbuatan, dan laku berarti perbuatan, kelakuan, cara menjalankan. Utuk itu, pengertian umum perilaku menurut Notoatmodjo (1987:1) adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup, sedangkan menurut Kwick (1972) dalam Notoatmodjo (1987) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dipelajari. Jadi, perilaku adalah tindakan atau aktivitas organisme, khususnya manusia itu sendiri yang mempunyai bentuk yang sangat luas seperti: Menonton olahraga, mencuci, berdiskusi, berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, berpidato, mendengar, menulis, membaca, dan sebagainya. Oleh karena itu, bentuk perilaku manusia dapat diamati, melalui sikap, gerak-gerik dan tindakannya (aktivitasnya). 19 Teori Perilaku Organisasi Publik Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa ahli yang telah diungkapkan, lantas timbul pertanyaan penting yang perlu dijawab. Pertanyaan tersebut adalah: Apa yang mendorong orang berperilaku tertentu? Pertanyaan ini dapat dijelaskan dalam beberapa teori. Rakhmat (1985: 24) mencoba mengumpulkan gagasan dan pandangan Kaum empirisme, Hedonisme dan Utilitarianisme (Aristoteles, John Locke dan Kaum Empirisme di Inggris) menegaskan bahwa pada waktu manusia lahir tidak mempunyai warna mental. Warna didapat dari pengalaman. Jadi secara psikologis seluruh perilaku manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi. Hedonisme merupakan salah satu paham filsafat etika yang memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan dan menghindari penderitaan, sedangkan Utilitarianisme berpandangan bahwa seluruh perilaku manusia tunduk pada prinsif ganjaran dan hukuman. Ketiganya mejadi kelompok kaum Bihaviorisme. 2.3 ORGANISASI Kehadiran dan pembentukan organisasi apapun dalam kehidupan umat manusia tidak lain dan tidak bukan karena alasan keterbatasan kemampuan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup dan kehidupannya. Realitas kehidupan manusia sejak lahir sampai dengan berusia lanjut (mati) menunjukkan bahwa manusia mempunyai kelemahan dan kebutuhan yang tidak terbatas. Jadi, manusia membentuk organisasi dalam rangka mengatasi kelemahan dan pemenuhan kebutuhannya yang tidak terbatas tersebut seperti kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan prestise dan realisasi diri serta kebutuhan lainnya. Melalui organisasi yang mereka dirikan, manusia dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan. Mereka yang ingin memenuhi kebutuhan sosial budaya mendirikan organisasi pendidikan, dan kesenian, mereka yang ingin memenuhi kebutuhan keamanan mendirikan organisasi keamanan, sedangkan mereka yang ingin memenuhi kebutuhan kesejahteraan, mereka dapat mendirikan organisasi ekonomi seperti koperasi, CV, PT dan bentuk-bentuk usaha ekonomi lainnya. Hal ini juga bermakna bahwa organisasi apapun yang didirikan oleh manusia harus dapat dijadikan wadah atau kendaraan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menghantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan sukses. Untuk itu, manusia modern mempunyai kecenderungan tidak hanya aktif dalam satu organisasi, melainkan aktif ke dalam beberapa organisasi sekaligus. Apabila organisasi yang didirikan tidak dapat menghantarkan manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan sukses, maka organisasi tersebut tidak dapat dijadikan wadah atau sarana atau kendaraan. Jadi, ukuran keberhasilan organisasi bukan hanya dilihat dari dapat menghartarkan kesuksesan pemimpinnya, melainkan juga semua anggota organisasi dan bila memungkinkan bermanfaat bagi anggota masyarakat disekitarnya. 20 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik Dambaan demikian akan dapat diwujudkan apabila anggota organisasi bersedia mematuhi aturan main yang telah ditetapkan dalam organisasi, dapat bekerja sama, melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, sekaligus dibarengi oleh tumbuhnya rasa memiliki pada setiap diri anggota organisasi dan rasa tanggung jawab. Semua tuntutan yang demikian akan dapat direalisasikan, apabila setiap anggota organisasi merasakan bahwa organisasinya dapat dijadikan sarana atau kendaraan menuju kehidupan yang lebih baik, sukses dan kebutuhannya dapat terpenuhi. Demikianlah arti penting kehadiran organisasi bagi kehidupan manusia, secara garis besar. Setelah mengetahui arti penting kehadiran organisasi bagi manusia, lantas kita bisa bertanya: Apa itu organisasi? Jawaban atas pertanyaan ini akan dimulai dari penjelasan tentang makna organisasi. Pengertian atau definisi organisasi dapat dilihat dari segi yang statis (teori Klasik) dan segi yang dinamis atau proses (pendekatan sistem). Teori klasik memandang pengertian organisasi dari segi wadah atau wujud, sedangkan teori sistem memandang organisasi sebagai suatu proses. Berdasarkan kedua pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa pengertian organisasi bisa bermacam-macam atau tergantung dari mana mereka memandang, sehingga pemahaman terhadap organisasi semakin lengkap. Pengertian organisasi ke dalam dua makna tersebut yang minimal perlu diketahui, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengertian organisasi dalam makna yang statis. Beberapa ahli yang diambil pendapatnya yaitu: (1) Arif (1995) menegaskan bahwa organisasi adalah kerjasama orang-orang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai; (2) Malinowski (Dalam Arif, 1995) menegaskan bahwa organisasi sebagai suatu kelompok orang yang bersatu dalam tugas-tugas atau tugas umum, terikat pada lingkungan tertentu, menggunakan alat teknologi dan patuh pada peraturan serta Henry L. Sisk (Dalam Arif, 1995) menegaskan organisasi sebagai suatu kesatuan yaitu sekelompok orang terlibat secara bersamasama di dalam hubungan yang resmi untuk mencapai tujuan-tujuan; (3) Siagian (2003) menegaskan bahwa organisasi adalah tempat di mana kegiatan-kegiatan administrasi dan manajemen dijalankan. Sebagai wadah, organisasi bersifat relatif statis dan memiliki pola dasar struktur organisasi yang relatif permanen; (4) Soedjadi (1995) menegaskan organisasi pada pokoknya adalah sekelompok manusia yang dengan sengaja dipersatukan dalam suatu kerja sama yang efisien untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. 2. Organisasi Sebagai Suatu Proses. Pengertian organisasi sebagai suatu proses atau yang bersifat dinamis akan dikutif beberapa pendapat antara lain: (1) Soedjadi (1995) menegaskan bahwa organisasi dapat juga dipandang sebagai suatu sistem dan bentuk hubungan antara wewenang dan tanggung jawab antara atasan dan bawahan dalam rangka 21 Teori Perilaku Organisasi Publik pencapaian tujuan dengan cara yang sudah ditetapkan dan yang paling efisien; (2) Siagian (2003) menegaskan organisasi sebagai proses interaksi antara orang-orang di dalam organisasi. Organisasi sebagai proses menimbulkan dua jenis hubungan di dalam organisasi yaitu hubungan formal yang menimbulkan organisasi formal dan hubungan informal yang menimbulkan organisasi informal; (3) Barnard (Dalam Arif, 1995) menegaskan organisasi merupakan suatu sistem sosial yang dinamis dari hubungan kerjasama yang bertujuan untuk memuaskan keperluan orang-orang. Beberapa definisi organisasi pada point 1 yang telah diungkap mengkaji pengertian organisasi sebagai suatu wadah kerjasama manusia untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal ini bermakna bahwa mereka memandang organisasi dalam pengetian yang statis. Dalam makna yang demikian Soedjadi (1995) memandang bahwa organisasi dapat memberikan kepastian dan ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan hubungan kerjasama manusia, sedangkan pada point 2 memberikan makna organisasi dari sudut dinamis atau menggunakan teori sistem. Arif (1995) menyatakan bahwa organisasi sebagai suatu sistem yang berproses terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu dengan yang lain menjadi satu kesatuan secara keseluruhan. Bagian-bagian itu terdiri dari faktor-faktor luar dan dalam organisasi. Faktor luar organisasi adalah faktor lingkungan di mana organisasi itu berada seperti faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya, teknologi, hukum, demografi, sumber-sumber alam, langganan, nasabah dan lain sebagainya, sedangkan faktor dalam antara lain orang-orang yang bekerja, tugas dan tanggung jawab, hubungan kerja dan lain-lain. Dengan demikian, makna organisasi dipandang dari segi proses dapat menimbulkan dinamika organisasi. Siagian (2003) dan Soedjadi (1995) menyatakan bahwa dinamika organisasi dapat terjadi karena disebabkan oleh pengaruh: a. Faktor intern, yakni: (1) Adanya tujuan organisasi itu sendiri yang menyebabkan organisasi harus dinamis dan bergerak maju untuk mencapai tujuan itu; (2) Adanya manusia sebagai unsur terpenting dari setiap organisasi; (3) Adanya tata hubungan atau relationship di dalam organisasi b. Faktor ekologi atau faktor lingkungan, yakni yang bersifat: (1) Fisik atau geografis, yaitu: keadaan alam, letak, tempat ataupun daerah di mana organisasi itu ada dan beroperasi; (2) Nonfisik atau sosio-psikologis, yaitu termasuk: konstitusionalpolitis, sosial-politis; sosial-ekonomis; sosial-religius; sosial-budaya; dan teknisteknologis (kemajuan teknik dan ilmu pengetahuan). Selain makna organisasi dapat dikaji sebagai suatu wadah dan sebagai proses, organisasi dapat pula ditinjau dari aspek hubungan antara orang-orang. Dengan adanya hubungan atau interaksi antar anggota organisisasi menimbulkan dua jenis hubungan 22 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik yaitu hubungan formal yang menimbulkan organisasi formal dan hubungan informal yang menimbulkan organisasi informal. Perbedaan kedua jenis organisasi tersebut dapat dinyatakan bahwa organisasi formal mempunyai struktur yang jelas dan dengan sengaja dibentuk, dalam arti setiap tugas, wewenang dan tanggung jawab masingmasing anggota organisasi telah diatur secara resmi yang bersifat hierarkis, sehingga kerja sama dapat dilaksanakan dengan setepat-tepatnya dalam rangka tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan demikian Siagian (2003) menegaskan bahwa organisasi formal mempunyai ciri-ciri: a. Ketentuan-ketentuan tentang pembentukan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara anggotanya, yang dalam organisasi pemerintah ada Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan lainlainnya; sedangkan untuk organisasi-organisasi nonpemerintah ada anggaran dasar, anggaran rumah tangga, keputusan direksi dan sebagainya. b. Terdapat penggolongan jabatan, analisis jabatan dan uraian jabatannya. c. Ada penegasan soal sistem wewenang dan tanggung jawabnya. d. Ada penegasan soal pelimpahan wewenang serta lingkup pengendaliannya (span of control). e. Ada hierarki atau echelonering hubungan staf dan lini serta hubungan-hubungan antara atasan dan bawahan, yang kesemuanya itu secara jelas digambarkan melalui suatu bentuk skema organisasi. Untuk organisasi informal timbul karena tidak semua kebutuhan anggota organisasi dapat dipenuhi melalui hubungan yang bersifat formal. Organisasi informal mengandung makna bahwa hubungan yang terjadi tidak diatur dalam dasar hukum perincian organisasi, tidak terlihat dalam struktur organisasi dan tidak terlihat dalam produk-produk resmi. Siagian (2003) dan Soedjadi (1995) menyatakan bahwa hubungan informal terjadi karena didasarkan pada: a. Adanya persamaan kebutuhan, perasaan, kegemaran di luar organisasi, sikap dan tabiat para anggotanya. b. Adanya persamaan tugas dan tanggung jawab dan kepentingan dari orang-orang tertentu. c. Sifat hakikat dari orang-orang itu sebagai manusia baik sebagai individu, sebagai makhluk sosial (social animal) maupun sebagai makhluk serakah (wanting animal) d. Hubungan yang didasarkan pada hubungan-hubungan pribadi e. Adanya kesamaan keahlian para anggota organisasi Namun demikian, adanya hubungan-hubungan informal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif dalam wujud menyuburkan adanya perasaan-perasaan pilih kasih atau perasaan-perasaan senang dan benci (personal like and dislike), apabila 23 Teori Perilaku Organisasi Publik hubungan tersebut tidak dikelola dengan baik. Untuk itu, perasaan-perasaan yang demikian sejauh mungkin harus dihindarkan. Setiap pimpinan harus berlaku tepat, bijaksana dan objektif, terlepas dari segala perasaan likes and dislikes. Demikian juga di antara para bawahannya haruslah diusahakan jangan sampai ada personal likes and dislikes itu. Hal ini penting sekali diperhatikan, lebih-lebih mengingat bahwa organisasi adalah alat manajemen untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Sungguhpun demikian, Siagian (2003) dan Soedjadi (1995) menegaskan dan harus diakui bahwa organisasi informal justru diperlukan dalam rangka menerapkan teknik-teknik human relations yang setepat-tepatnya termasuk: a. Menambah pengertian-pengertian yang tepat tentang sifat dan tabiat para bawahan. b. Mengadakan pendekatan yang tepat di dalam proses menggerakkan para bawahan. c. Meningkatkan semangat kerja para bawahan. d. Mengokohkan dedikasi setiap anggota terhadap organisasi. Jadi hubungan informal yang mengarah kepada terlaksananya hal-hal yang demikian itulah yang harus dilaksanakan dan dipelihara oleh setiap pimpinan. Namun, jangan sampai melampaui batas, sebab bagaimanapun juga hubungan informal yang dibatasi oleh hierarki, echlonering dan ketentuan-ketentuan sebagai diutarakan di muka selamanya harus tetap ada dalam setiap organisasi. Untuk itu, ukuran sukses tidaknya seorang pimpinan dalam mengelola organisasinya terletak pada dapat tidaknya pimpinan itu memadukan nilai-nilai positif atau nilai kebaikan yang dihasilkan oleh adanya kedua macam hubungan itu. Hal mendasar lain yang tidak kalah penting berhubungan dengan keberhasilan pimpinan. Pimpinan yang berhasil ialah pimpinan yang dapat menggabungkan nilainilai positif dari hubungan-hubungan formal dan informal. Organisasi adalah alat bagi pimpinan untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Jadi, pimpinan yang bijak (arif) adalah pimpinan yang mampu menciptakan dan memelihara adanya organisasi yang sehat, tepat dan sempurna (sound orgianization), yakni suatu organisasi yang baik di dalam proses pembentukannya (organizing) maupun di dalam eksistensi dan operasinya. Jadi, organisasi yang baik adalah organisasi yang dapat memenuhi prinsip-prinsip organisasi. Fayol (1949) menegaskan ada 14 Prinsif organisasi yaitu: (1) Pembagian kerja (Division of work); (2) Wewenang (Authority and responsibility); (3) Disiplin (Discipline); (4) Kesatuan komando (Unity of command); (5) Kesatuan arah (Unity of direction); (6) Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu (Subordinasi kepentingan individu); (7) Remunerasi; (8) Sentralisasi (Centralization); (9) Rantai scalar (Hierarki/Rantai Skalar/Garis Otoritas (tingkatan); (10) Tata tertib atau Ketertiban (Order); (11) Keadilan dan kejujuran; (12) Stabilitas masa kerja para 24 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik pegawai atau Jenjang Karir Personel; (13) Inisiatif atau Prakarsa (Inisiative) dan (14) Esprit de corps atau Semangat kesatuan dan semangat korps. Prinsip-prinsip tersebut, menurut Fayol dapat dijelaskan secara garis besar seperti uraian berikut. 1. Pembagian kerja (Division of work); Pembagian kerja untuk menjamin semua pekerjaan ada bagian yang menangani, sehingga prinsif ini akan melahirkan spesialisasi pekerjaan, setiap anggota organisasi akan terus bertambah pengalaman dan keahlian, semakin produkstif dan efisien. 2. Wewenang (Authority and responsibility); Prinsif wewenang dalam bentuk memberikan perintah atau wewenang penting lainnya harus selalu disertai dengan tanggung jawab. Jika wewenang manajer atau piminan digunakan maka bersamaan itu akan timbul tanggung jawab. Agar penggunaan wewenang efektif wajib dibarengi dengan tanggung jawab yang seimbang, sehingga pemilik wewenang tidak akan menyalahgunakan wewenangnya. Sebaliknya, jika tanggung jawab tidak seimbang atau lebih besar dari wewenang maka tugas dan fungsinya tidak akan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Tanggung jawab terbesar terletak pada top manager atau manajer puncak. Oleh karena itu, kegagalan suatu usaha atau pelaksanaan tugas dan fungsi bukan terletak pada bawahan atau karyawan, melainkan lebih besar ada pada puncak pimpinannya karena ia yang mempunyai wewemang terbesar. Hal ini bermakna bahwa manajer puncak harus mempunyai keahlian dan kepemimpinan dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi yang telah ditetapkan secara optimal. 3. Disiplin (Discipline); Semua anggota organisasi, baik unsur pimpinan maupun staf harus atau wajib mentaati dan menghormati peraturan yang mengatur organisasi. Komitmen ini harus menjadi bagian budaya organisasi. Hal ini akan melahirkan disiplin. Di sisi lain, disiplin yang baik menjadi cermin atau hasil dari suatu kepemimpinan yang efektif. Mereka yang tidak disiplin dan menjunjung tinggi peraturan organisasi harus diberikan hukuman (punishments) yang tegas dan adil, sedangkan mereka yang disiplin juga diberikan rewards. Disiplin juga berhubungan erat dengan wewenang. Apabila wewenang tidak berjalan dengan semestinya, maka disiplin akan hilang. Oleh karena ini, pemegang wewenang (manajer atau unsur pimpinan) harus dapat menanamkan disiplin terhadap dirinya sendiri, sehingga ia dapat menjadi contoh atau teladan, sekaligus mempunyai tanggung jawab terhadap pekerjaan sesuai dengan wewenangnya. Banyak anggota organisasi yang bercermin atau melihat yang di atas. Jika yang di atas tidak dapat memberikan contoh yang baik maka bawahan atau karyawan akan mencontohnya. 25 Teori Perilaku Organisasi Publik 4. Kesatuan komando (Unity of command); Prinsif kesatuan komando atau perintah harus menjadi perhatian setiap anggota organisasi. Karyawan harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab sesuai dengan wewenang yang diperolehnya. Tuntutan demikian akan menjelaskan dan mempertegas kepada setiap anggota organisasi atau karyawan dari mana mereka mendapat perintah dan kemana ia harus mempertangung jawabkan. Setiap pegawai seharusnya menerima perintah hanya dari seorang atasan. Dalam melakasanakan pekerjaan, karyawan harus memperhatikan prinsip kesatuan perintah atau komando, sehingga pelaksanaan kerja dari karyawan tersebut dapat dijalankan dengan baik. Apabila perintah yang diterima oleh karyawan datang dari manajer unit lain maka hal ini akan merusak jalannya wewenang dan tanggung jawab serta pembagian kerja. 5. Kesatuan arah (Unity of direction); Prinsif kesatuan arah atau sasaran harus menjadi pedoman atau pegangan setiap anggota organisasi (pimpinan dan karyawan). Dalam melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan atasan atau manajer maka semua karyawan wajib diarahkan menuju arah yang akan dituju atau menjadi sasarannya. Kesatuan arah terkait dengan pembagian kerja dan kesatuan perintah. Hal ini bermakna bahwa alur yang jelas dari mana karyawan mendapat wewenang untuk melaksanakan pekerjaan dan kepada siapa ia harus mengetahui batas wewenang dan tanggung jawabnya menjadi kunci kejelasan kemana arah karyawan dalam pelaksanaan pekerjaan atau terhindar dari kesalahan. 6. Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu (Subordinasi kepentingan individu); Hal ini bermakna bahwa kepentingan seorang atau kelompok pegawai tidak boleh ditempatkan di atas kepentingan organisasi atau kepentingan umum (yang lebih besar). Setiap karyawan harus menyadari akan tuntutan yang demikian, sehingga mereka siap menempatkan atau mengabdikan kepentingan sendiri kepada kepentingan organisasi atau umum atau yang lebih besar. Pengorbanan yang demikian bukan bermakna tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini menjadi syarat yang sangat penting, agar setiap kegiatan berjalan dengan lancar dan tujuan dapat diwujudkan secara optimal. Supaya tuntutan demikian dapat diwujudkan maka setiap anggota organisasi (pimpinan dan karyawan) harus bangga dengan organisasi, merasa senang dan mempunyai disiplin yang tinggi. 7. Remunerasi; Salah satu konsekuensi dari bekerjanya karyawan adalah ia harus mendapat imbalan (upah atau gaji). Mereka harus diberikan gaji sesuai dengan jasa yang telah disumbangkan atau darma baktinya. Secara umum, upah atau gaji dapat menjadi motivator penting dalam bekerja. Fayol (1987) menunjukkan bahwa 26 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik tidak ada sistem yang sempurna. Demikian juga sistem upah atau penggajian yang dihubungan dengan beban kerja, tetap tidak ada yang sempurna. 8. Sentralisasi (Centralization); Prinsip ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan dalam prinsif ini adalah seberapa besar anggota organisasi dilibatkan atau terlibat dalam pengambilan keputusan. Apakah pengambilan keputusan menggunakan pendekatan sentralisasi (pada manajemen) atau desentralisasi (pada para bawahan). Semua pendekatan ada kelebihan dan sekaligus kekurangan. Pemusatan wewenang akan menimbulkan pemusatan tanggung jawab. Pemusatan wewenang dalam hal ini tidak menghilangkan asas pelimpahan wewenang (delegation of authority). 9. Rantai Scalar (Hierarki/Rantai Skalar/Garis Otoritas (tingkatan); Prinsif ini bermakna bahwa garis wewenang dari manajemen puncak sampai ke tingkat yang paling rendah merupakan garis otoritas atau rantai scalar. Komunikasi yang dibangun harus berpedoman dan mengikuti garis otoritas ini. Sebuah hierarki diperlukan untuk kesatuan arah. Rantai skalar mengacu pada jumlah tingkatan dalam hierarki dari otoritas tertinggi hingga tingkat terendah dalam sebuah organisasi. Kuncinya, garis otoritas tidak boleh terlalu jauh jaraknya atau banyak tingkatan otoritas. 10. Tata tertib atau Ketertiban (Order); Prinsif ini merupakan syarat utama agar karyawan atau orang dapat bekerja dengan tertib atau tidak dalam keadaan kacau balau. Ketertiban dalam suatu pekerjaan dapat terwujud apabila seluruh karyawan, baik atasan maupun bawahan mempunyai disiplin yang tinggi. Oleh karena itu, ketertiban dan disiplin sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan. 11. Keadilan dan kejujuran; Tuntutan akan prinsif keadilan dan kejujuran bukan hanya ditujukan kepada pimpinan, melainkan juga kepada seluruh anggota organisasi. Para manajer harus selalu baik dan jujur terhadap para bawahan, sebaliknya bahawan harus juga jujur kepada manajer. Dalam menjalankan bisnis atau tugas pokok dan fungsi maka keadilan dan kejujuran harus selalu sinergis dan mutlak diperlukan. Hal ini akan memajukan dan mengembangkan organisasi decara optimal. 12. Stabilitas masa kerja para pegawai atau Jenjang Karir Personel; Manajemen organisasi harus menyediakan perencanaan personalia yang teratur dan memastikan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan harus selalu memegang prinsif jenjang karir personel yang pasti dan stabil. Mereka atau karyawan akan bekerja lebih baik jika keamanan pekerjaan dan kemajuan karir medapat jaminan organisasi. 27 Teori Perilaku Organisasi Publik 13. Inisiatif atau Prakarsa (Inisiative) dan Prinsif ini sangat berpengaruh besar pada tumbuhnya inisiatif atau prakarsa anggota organisasi. Prakarsa timbul dari dalam diri seseorang. Prakarsa menimbulkan semangat dan keinginan untuk mewujudkan suatu yang berguna bagi penyelesaian pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Jadi dalam prakarsa terhimpun kehendak, perasaan, pikiran, keahlian dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, setiap prakarsa yang datang dari karyawan harus dihargai. Prakarsa (inisiatif) mengandung arti menghargai orang lain, karena itu hakikatnya manusia butuh penghargaan. Jadi, seorang manajer yang bijak akan menerima dengan senang hati terhadap inisiatif atau prakarsa-prakarsa yang dilahirkan anggota organisasi atau karyawan. 14. Esprit de corps atau Semangat kesatuan dan semangat korps. Prinsif ini mengajarkan semangat kesatuan dan kebersamaan. Setiap anggota organisasi harus dan berusaha memiliki rasa kesatuan, senasib sepenanggungan dan seperjuangan, sehingga prinsif ini dapat menumbuhkan semangat kerja sama yang baik. Manajer atau pemimpin harus mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), bukannya malah menimbulkan friction de corp (perpecahan dalam korps) atau konflik-konflik yang tidak kondusif. Apabila Esprit de corps diaplikasikan di lingkungan birokrat maka hal ini akan mendorong etos kerja Pegawai Negeri Sipil untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat atau Aparatur Sipil Negara (ASN), menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran, dan wawasan kebangsaan ASN, sehingga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diwujudkan. 2.4. PERILAKU ORGANISASI PUBLIK Orang yang sudah belajar tentang organisasi akan dengan mudah membedakan apa itu organisasi dan apa itu organisasi publik. Secara umum, organisasi akan selalu dianggap atau dipandang lebih luas dari organisasi publik atau organisasi publik merupakan bagian dari organisasi atau cabang dari organisasi. Hal ini berarti bahwa perbedaan keduanya terfokus pada luasnya apa yang dikaji. Tegasnya, organisasi lebih luas dibandingkan organisasi publik. Untuk itu, kita bisa mengenal ada organisasi publik atau pemerintah dan organisasi non pemerintah. Bisa juga menyebut organisasi publik dan organisasi privat. Boleh juga menyebut organisasi pemerintah dan organisasi swasta. Sebutan lain lagi adalah ada organisasi publik atau non profit dan organisasi yang mencari profit (keuntungan). Munculnya pengelompokkan jenis organisasi yang beragam demikian dapat terjadi karena perbedaan fokus sasaran dan ada pula yang mengkaji dari segi motif atau kepentingan (tujuan). Jika dilihat dari tujuannya maka 28 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik kita dapat mengenal pengelompokkan organisasi ke dalam organisasi politik, ekonomi dan sosial. Organisasi politik mempunyai motif atau tujuan untuk mendapatkan kekuasaan, organisasi ekonomi untuk mendapatkan atau mengejar keuntungan materi yang sebesar-besarnya, sedangkan organisasi sosial tidak mencari keuntungan materi. Perlu ditegaskan bahwa organisasi publik dalam pemahaman yang luas disamakan dengan organisasi negara dan pemerintah atau birokrasi negara atau pemerintah sampai dengan organisasi pemerintah daerah; organisasi partai politik (Parpol) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beraneka ragam; organisasi yayasan; organisasi pendidikan dan kesehatan seperti (Palang Merah Indoneisa (PMI), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), rumah sakit, dan sekolah; Badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) seperti Pegadaian, DAMRI, Garuda Indonesia, BNI, Pertamina dan masih banyak lainnya, serta organisasi tempat peribadatan seperti Masjid, Gereja, Vihara, Kuil, Kleteng, Pura dan lainnya. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa organisasi-organisasi tersebut dikategorikan sebagai organisasi publik? Jawaban yang dijadikan argumentasi para ahli adalah organisasi tersebut memberikan pelayanan untuk publik, sehingga organisasi dimaksud merupakan organisasi publik. Dengan luas cakupan dari organisasi publik maka apa yang dikaji organisasi publik sangat luas. Persoalan yang kemudian muncul, tidak semua ahli setuju memaknai organisasi publik sedemikian luas seperti yang telah diungkapkan. Banyak pandangan yang menganggap bahwa organisasi publik lebih menekankan pada organisasi negara (birokrasi) atau organisasi pemerintah pusat sampai daerah. Dalam buku inipun pembicaraan organisasi publik atau perilaku organisasi publik lebih difokuskan pada organisasi negara (birokrasi) atau pemerintah pusat sampai ke daerah. Oleh karena itu, sangat tepat apabila organisasi sektor publik sering diartikan sebagai organisasi yang berorientasi pada kepentingan warga negara atau rakyat. Berdasarkan orientasi pada kepentingan warga negara atau rakyat (publik) maka organisasi publik biasanya tidak berorientasi mencari laba sebagai tujuan akhirnya. Itulah karakteristik utama organisasi sektor publik yang identik atau lebih banyak disamakan dengan organisasi negara atau pemerintah atau birokrasi negara atau pemerintah, baik pemerintah pusat sampai dengan pemerintah daerah. Jadi, organisasi publik merupakan organisasi negara atau pemerintah (birokrasi) yang dengan sengaja dibentuk untuk mewujudkan pelayanan kepada publik/rakyat/masyarakat/warga negara, sebagai tujuan utamanya dan sumber pembiayaan berasal dari pajak. Hal ini bermakna bahwa organisasi publik mempunyai tujuan utama untuk memberikan layanan kepada publik atau warga negara, bukannya untuk mencari keuntungan materi. Pelayanan publik yang memuaskan warga negara menjadi komitment utama organisasi publik/negara/pemerintah/birokrasi. Agar pemahaman tentang organisasi publik bertambah baik, kita perlu memahami karakteristiknya. Organisasi publik memiliki karakteristik: (1) Mempunyai 29 Teori Perilaku Organisasi Publik tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan publik atau warga negara/rakyat; (2) Tidak bermotifkan mencari keuntungan materi atau profit-oriented; (3) Pembiayaan organisasi bersumber dari pemungutan atau pembayaran pajak oleh rakyat atau retribusi; (4) Negara (organisasi publik) bisa memaksa warga negara untuk membayar pajak, didenda dan dihukum/sanksi, serta (5) Peraturan yang dibuat pemerintah atau negara berlaku untuk semua warga negara dan bisa menghukum (sebagai tindakan legal atau syah) atau memberikan sanksi bagi pelanggarnya. Jadi, organisasi publik yang memiliki 5 (lima) karakteristik seperti yang telah diungkapkan dapat dijadikan dasar pegangan tentang ciri utama organisasi publik. Bentuk nyata dari organisasi publik tercermin atau terlihat dari organisasi negara/pemerintah/birokrasi. Pemahaman penting berikutnya adalah konsep atau pengetian atau definisi perilaku organisasi. Ada beberapa pengertian perilaku organisasi yang coba dikumpulkan oleh penulis buku. Middleton (2002: 81) menyatakan bahwa organizational behavior (OB) – The study of human behavior, attitudes and performance within an organizational setting. OB draws on theory, methods, and principles fromsuch disciplines as psychology, sociology, and cultural anthropology to learn about individual perception, values, learning capabilities, and actions while working with groups and within the total organization. OB also can involve analyzing the external environment’s effect on the organization and its learning resources, missions, objectives, and strategies. Pengetian yang ditulis oleh Middleton tentang pengetian perilaku organisasi lebih menekankan pada studi tentang sikap dan kinerja manusia dalam pengaturan organisasi, dengan mengacu pada teori, metode dan prinsip-prinsip yang disumbangkan oleh disiplin psikologi, sosiologi dan antropologi budaya. Pengertian perilaku organisasi berikutnya menurut Thoha. Thoha (2001:1) menegaskan bahwa perilaku manusia yang berada dalam suatu kelompok atau organisasi adalah awal dari perilaku organisasi. Perilaku organisasi mendasarkan diri pada ilmu perilaku yang dikembangkan dengan pusat perhatian pada tingkah laku manusia dalam suatu organisasi. Pengetahuan ini didukung oleh dua komponen yakni individu-individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah perilaku. Lebih lanjut Thoha (2001:201) menegaskan bahwa perilaku organisasi merupakan bidang studi yang berhubungan dengan semua aspek kegiatan manusia di dalam suatu organisasi. Hal seperti ini termasuk pengaruh manusia terhadap organisasi dan pengaruh organisasi terhadap manusia, dengan tujuan praktis untuk menentukan bagaimanakah perilaku manusia dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi. Hal ini bermakna bahwa keterampilan dan seni memanejemeni orang menggunakan pendekatan perilaku organisasi (organizational behavior/ OB). Keterampilan hubungan antar manusia ini bagian dari perilaku organisasi dan hubungan masyarakat. Jadi, ada tuntutan tentang keterampilan manusiawi. Tuntutan dalam hal (keterampilan manusia) logis karena realitas menunjukkan bahwa banyak 30 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik masalah organisasi, masalah persaingan, tantangan teknologi dan tuntutan global, serta tuntutan rakyat. Pandangan yang tidak berbeda tentang perilaku organisasi diungkapkan oleh Davis dan Newstrom (1989) yang menyatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang mempelajari dan mengaplikasikan pengetahuan tentang bagaimana manusia berperilaku atau bertindak di dalam organisasi. Demikian juga yang diungkapkan oleh Muchlas yang juga sejalan dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Muchlas (2005:12) menyatakan perilaku organisasi mempelajari apa saja yang dikerjakan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku atau tindakan itu bisa mempengaruhi penampilan organisasi. Selanjutnya, perilaku organisasi dalam arti luas mengkaji hubungan antar manusia, kelompok, organisasi dan sistem sosial, sedangkan Thoha (2008:197) menyatakan bahwa perilaku organisasi pada hakekatnya mendasarkan pada ilmu perilaku itu sendiri yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam suatu organisasi. Davis dan Newstom (1985: 5) menyatakan pendapatnya bahwa perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Ia juga menegaskan bahwa unsur-unsur pokok perilaku organisasi yaitu orang, struktur, teknologi dan lingkungan tempat organisasi beroperasi. Pendapat Davis dan Newstom seperti yang telah diungkapkan makin mempertegas bahwa perilaku organisasi tidak dapat melepaskan diri dari perilaku manusia sebagai anggota organisasi atau mereka yang bukan anggota organisasi. Perilaku organisasi dapat mempelajari perilaku perorangan, kelompok dan struktur seperti pandangan Robin dan Scenmerhorn. Lebih lanjut Davis dan Newstrom (2089) menegaskan bahwa perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang mempelajari dan mengaplikasikan pengetahuan tentang bagaimana manusia berperilaku atau bertindak dalam organisasi. Robbins (1993) menegaskan bahwa perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang menyelidiki dampak dari pengaruh individu, kelompok dan struktur dalam organisasi terhadap perilaku orang-orang yang terlibat dalamnya yang bertujuan untuk mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam meningkatkan efektivitas organisasi. Muchlas (2005: 12) menegaskan bahwa perilaku organisasi terutama mempelajari apa saja yang dikerjakan orang-orang dalam sebuah organisasi dan bagaimana perilaku atau tindakan itu bisa mempengaruhi penampilan organisasi. Perilaku yang dipelajari berkaitan dengan pekerjaan, tugas-tugas tertentu, mangkir kerja, perpindahan kerja, produktivitas, prestasi kerja dan manajemen. Kesepakatan para ahli yang dikumpulkan oleh Muchlas (2005: 12) menegaskan bahwa topik-topik yang dibahas dalam perilaku organisasi antara lain tentang motivasi, perilaku kepemimpinan dan kewenangan, komunikasi antar manusia, stuktur dan proses kelompok, proses belajar, pengembangan sikap dan persepsi, proses-proses 31 Teori Perilaku Organisasi Publik perubahan, konflik, desain kerja dan tres di tempat kerja. Ada perilaku yang tidak rasional menurut pandangan umum (common sense), tetapi orang yang bersangkutan tidak perduli karena punya alasan pribadi yang kuat. Elemen-elemen kunci dalam perilaku organisasi terdiri dari manusia, struktur, teknologi dan lingkungan tempat di mana organisasi tersebut beroperasi. Ketiga elemen pertama selalu berinteraksi satu dengan yang lain dan dipengaruhi oleh dan mempengaruhi lingkungan luarnya. Schenmerhorn et al., (1991: 6) menyatakan bahwa organizational behavior is the study of individuals and groups in organizations, sedangkan Robbin (2003: 1011) menegaskan bahwa perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi yaitu perorangan (individu), kelompok dan struktur. Di samping itu perilaku organisasi menerapkan pengetahuan yang diperoleh mengenai perorangan, kelompok dan efek dari truktur pada perilaku, agar organisasi bekerja lebih efektif. Perilaku organisasi ialah studi mengenai (memperhatikan) apa yang dilakukan orangorang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi. Berdasarkan pendapat yang telah diungkapkan dapat diketahui bahwa mereka yang tertarik untuk melakukan kajian perilaku sosial tidak terlepas dari perilaku individu. Perilaku yang diamati tetap bersumber dari perilaku individu, tetapi perilaku tersebut terjadi dalam situasi sosial atau dalam kontek kelompok. Demikian pula yang terjadi dalam kajian perilaku birokrasi pemerintahan (publik) dan atau perilaku organisasi. Selanjutnya, Santosa, (2010: 25) menegaskan bahwa setiap orang mempunyai tingkah laku individual dan sosial. Tingkah laku individual terlihat dari tanggapan, berpikir, dan perasaan, sedangkan tingkah laku sosial terlihat dari kerjasama, konflik, kebiasaan sosial dan aktivitas-aktivitas sosial, sedangkan Belione (1980:1) menegaskan bahwa Organization theory hypothesis about human behavior ranging from tribes to complex government – and administrative theory-hypothesis about human behavior in work groups as the bases of much public administration theory. Pemikiran Belione mempertegas bahwa teori organisasi memiliki kajian yang sangat luas yaitu membicarakan perilaku manusia mulai dari manusia dalam kelompok suku ke manusia dalam pemerintahan, termasuk perilaku manusia dalam kerja kelompok. Oleh karena itu, mengkaji perilaku manusia bisa mengambil unit analisis individu ataupun kelompok. Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka pemahaman organisasi terkait dengan paradigma yang diyakini. Dalam mempelajari organisasi dikenal 2 paradigma yaitu paradigma mekanisme dan paradigma organisme. Sesuai dengan kajian perilaku birokrasi (publik) maka paradigma organisasi yang dipergunakan adalah paradigma organisme. Thoha (2008:173) menegaskan bahwa paradigma organisme lebih menitik beratkan pada manusianya dan cara manusia berperilaku dalam kegiatan-kegiatan organisasi yang senyatanya. Perilaku manusia dalam hal ini banyak ditentukan oleh 32 Bab 2 – Pemahaman Tentang Teori Dan Perilaku Organisasi Publik faktor lingkungan dan dirinya sendiri. Berdasarkan kedua konsep dasar organisasi tersebut, selanjutnya melahirkan perilaku organisasi. Perilaku organisasi sebagaimana telah dijelaskan termasuk ilmu yang interdisipliner. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dan analisis perilaku organisasi yang sangat terbantu dari sejumlah disiplin ilmu yaitu Psikologi, Sosiologi, Psikologi Sosial, Antropologi dan Ilmu Politik. Bermula dari pemahaman yang demikian maka perilaku organisasi termasuk bidang ilmu perilaku terapan dan merupakan kajian yang kompleks seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta tuntutan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga perilaku organisasi merupakan bidang kajian yang sangat dinamis. Pendekatan perilaku dalam organisasi mengkaji manusia dalam organisasi sebagai unsur yang kompleks dan bagaimana mengelolanya secara efektif. Secara tradisional, Thoha (2001:4) menegaskan bahwa manajer atau birokrat memahami dimensi manusia dalam organisasi didekati dari asumsi ekonomi, sekuriti, suasana kerja dan lain-lain, sehingga pendekatan hubungan kerja kemanusiaan (human relations), psikologi industri dan keteknikan industri (industrial engineering) sebagai hampiran (approach) utama dalam memahami dimensi manusia. Penjelasan yang telah diungkapkan menegaskan bahwa tujuan utama mempelajari perilaku atau tingkah laku manusia dalam organisasi atau perilaku organisasi untuk mengetahui tingkah laku manusia, sehingga tingkah laku tersebut dapat diarahkan, dikendalikan dan dikelola dengan baik dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Perilaku manusia itu sendiri pada dasarnya merupakan wilayah kajian dari psikologi, psikologi sosial dan perilaku organisasi atau perilaku birokrasi pemerintahan (organisasi publik). Perkembangan kajian perilaku juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu lain, seperti Sosiologi, Antropologi dan Psikologi. Selain itu, setiap perilaku dalam birokrasi pemerintahan atau organisasi, ada faktor-faktor yang turut berperan didalamnya. Santosa, (2010:1) menegaskan bahwa psikologi sosial mempelajari tingkah laku manusia di dalam suatu situasi sosial. Selanjutnya, Krech (1962) dalam Santosa, (2010: 2) menegaskan bahwa psikologi sosial mempunyai 2 (dua) tujuan yaitu tujuan teoritis dan praktis. Tujuan teoritis berupaya memahami, mengendalikan dan memprediksi tingkah laku sosial, sedangkan tujuan praktis untuk memecahkan masalah sosial seperti konflik, prasangka, ketegangan sosial, kesukuan dan diskriminasi. Hal mendasar berikutnya tentang perilaku organisasi banyak yang mempertanyakan bagaimana pengaruh manusia terhadap organisasi dan pengaruh organisasi terhadap manusia seperti Scenmerhorn; Robbin; Thoha; dan Muchlas;. Jawaban atas pertanyaan ini adalah lingkungan berpengaruh besar terhadap perilaku manusia. Untuk itu, tujuan utama kajian perilaku organisasi untuk mengkaji bagaimana perilaku manusia mempengaruhi usaha pencapaian tujuan organisasi. Keterampilan dan seni memanejemeni orang menggunakan pendekatan perilaku organisasi (organizational behavior/OB). Keterampilan hubungan antar manusia ini bagian dari 33 Teori Perilaku Organisasi Publik perilaku organisasi serta Hubungan masyarakat. Ada keterampilan manusiawi; banyak masalah organisasi, masalah persaingan, tantangan teknologi dan global, tuntutan rakyat. Pendekatan tradisional memandang manusia itu malas, mereka (manusia) hanya memikirkan uang. Jika kita bisa membuat mereka bahagia maka mereka akan bekerja produktif. Jika ini benar maka masalah-masalah kemanusiaan dalam organisasi akan lebih mudah diatasi. Muchlas (2005: 11) menegaskan bahwa manajemen hanya perlu merekayasa bentuk-bentuk insentif uang, menjamin keamanan dan menjamin suasana kerja yang baik, sehingga moral karyawan akan meningkat dan hasilnya adalah produktivitas yang maksimal. Muchlas (2005: 11) menegaskan bahwa Kesalahan dalam pendekatan tradisional adalah adanya asumsi-asusi yang melupakan banyak aspek problim manusia. Perilaku manusia ditempat kerja ternyata lebih kompleks dan bervariasi, jika hanya diselesaikan melalui pendekatan kesejahteraan finansial. 34 BAB 3 Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik A da beberapa buku tentang perilaku organisasi, tetapi tidak menjelaskan apa isi dari ruang lingkup yang dikajinya. Di sisi lain, ada pula buku yang menjelaskan apa isi ruang lingkup perilaku organisasi. Idealnya, setiap buku harus memberikan gambaran tentang ruang lingkup yang dicakup sebagai pokok bahasan baku. Jika buku ditujukan pada mahasiswa dan dosen maka buku tersebut sudah sangat membantu dosen yang mengampu mata kuliah tersebut dan membantu mahasiswa tentang kedalaman isi matakuliah yang harus diketahui dan dipelajari, sehingga sewaktu mahasiswa sudah lulus dari suatu matakuliah akan mengetahui ruang lingkup dan dapat menjelaskan kepada mahasiswa lain tentang ruang lingkup yang dipelajarinya. Persoalan yang muncul adalah penjelasan ruang lingkup satu buku dengan buku lainnya cukup bervariasi. Bermula dari bervariasinya isi ruang lingkup perilaku organisasi ini maka salah satu yang mendapat perhatian dari buku teori dan perilaku organisasi publik ini membicarakan tentang ruang lingkup. Perlu ditegaskan kembali bahwa ruang lingkup suatu mata kuliah perlu digambarkan agar mahasiswa mengetahui dengan persis apa yang harus dimengerti dan diketahui tentang kedalaman kajian dari suatu mata kuliah. Untuk mengawali pemahaman tentang ruang lingkup maka ada beberapa hal penting yang perlu diketahui. Pertama tahu konsep atau definisi perilaku organisasi publik. Konsep ini penting karena tidak jarang penulis karya ilmiah menjelaskan ruang lingkup berpijak pada konsep atau pengertian. Kedua diketahui tentang pendekatan-pendekatan yang dipergunakan. Ketiga sumbangan atau keterkaitan disiplin ilmu lain. Keempat diketahui isi teorinya. Setelah keempat hal ini diketahui maka kita bisa menemukan dan menggambarkan bagaimana ruang lingkupnya. Untuk point pertama dan kedua 35 Teori Perilaku Organisasi Publik dijelaskan pada Bab II buku ini, sedangkan penjelasan keterkaitan dengan ilmu lain dijelaskan pada Bab III dan teori perilaku organisasi dijelaskan pada Bab IV. Beberapa gagasan atau pendapat para ahli yang terkait dengan kontribusi ilmu lain terhadap perilaku organisasi dan ruang lingkup perilaku organisasi (publik) akan didiskusikan seperti uraian berikut. 3.1. KETERKAITAN DENGAN DISIPLIN LAIN Ada beberapa disiplin ilmu yang memiliki kontribusi besar terhadap lahir dan berkembangnya perilaku organisasi. Bisa juga dikatakan bahwa perilaku organisasi lahir dan berkembang tidak bisa berdiri sendiri, melainkan ada beberapa disiplin lain yang berkontribusi sangat besar atas pekembangannya. Robbins (2005) menegaskan bahwa beberapa disiplin lain yang berkontribusi besar terhadap Perilaku organisasi adalah psikologi, psikologi sosial, sosiologi, antropologi dan ilmu politik. Penjelasan kontribusi dari masing-masing disiplin ilmu dimaksud, dapat dijelaskan seperti uraian berikut. 1. Psikologi Psikologi dikaji dari asal-usul kata (secara harfiah) berasal atau bersumber dari bahasa Yunani, tepatnya bahasa Greek dari 2 (dua) kata yaitu psyche dan logos. Psyche bermakna atau diberi pengertian sama dengan jiwa, sedangkan logos diberikan maka atau arti ilmu. Untuk itu, pengertian psikologi menurut asal-usul kata adalah ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari jiwa (kejiwaan). Jiwa itu sendiri sulit untuk dipelajari karena jiwa dipandang sebagai sesuatu yang abstrak. Supaya jiwa bisa dipahami lebih baik maka jiwa itu sendiri lebih dilihat dari raga atau jasmani serta manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental. Dengan demikian maka ekspresi dari jiwa dapat dilihat dari perilaku atau tingkah laku manusia yang terlihat dari semua aktivitas, sikap, interaksi, tindakan, perbuatan dan penampilan diri dalam kehidupannya. Bruno (2000) menegaskan bahwa pengertian psikologi dapat dijelaskan melalui 3 (tiga) bagian yang saling berhubungan. Pertama, psikologi adalah studi (penyelidikan) mengenai “roh”. Kedua, psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai ”kehidupan mental”. Ketiga psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai “tingkah laku organisme”. Pandangan Bruno bisa dibandingkan dengan William (1948) yang menyatakan dan beranggapan bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental, sedangkan Watson (1966) menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan tentang tingkah laku organisme. Berdasarkan pengertian menurut asalusul kata dan pendapat beberapa ahli yang telah diungkapkan maka psikologi menurut penulis dapat diberikan pengertian atau didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji atau membahas tingkah laku dan proses mental organisme, khususnya manusia, 36 Bab 3 – Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik dengan menelusuri semua aktivitas, sikap, interaksi, perbuatan dan penampilan diri dalam kehidupan manusia, termasuk bagaimana ia berbicara, berjalan, berlari-lari, berolah-raga, bergerak, melihat, mendengar, mengingat, berpikir, pengenalan kembali, penampilan emosi-emosi dalam bentuk tangis, senyum, tres dan marah. Setelah dipahami tentang makna psikologi maka pertanyaan yang harus dijawab adalah apa sumbangan atau kontribusi psikologi terhadap perilaku organisasi. Secara spesifik sumbangan psikologi terhadap perilaku organisasi terlihat dan terkait langsung dengan masalah-masalah kebosanan dan kelelahan manusia, stres, kondisi kerja, persepsi, kepribadian, perubahan perilaku, emosi, marah, latihan, kepemimpinan, motivasi, pengambilan keputusan dan pengukuran sikap. Penegasan ini penting karena perilaku manusia itu sendiri tidak muncul dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh banyak hal seperti masalah-masalah yang telah dijelaskan, kepentingan, tujuan, adat, agama, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan dan persuasi serta lainnya, sehingga dalam praktek ada perilaku manusia yang wajar-wajar saja atau dapat ditoleransi, perilaku yang dapat diterima orang lain atau publik, perilaku aneh dan perilaku menyimpang dari norma atau penilaian umum. Hal ini terjadi karena pengaruh psikologi manusia itu sendiri. Semua ini harus diperhitungkan, sehingga manusia dapat berperilaku yang dapat diterima oleh orang lain atau publik. 2. Psikologi Sosial Psikologis sosial merupakan bidang kajian yang berkembang dari psikologi itu sendiri. Santoso (2010:1) menegaskan bahwa Psikologis sosial mempelajari tingkah laku manusia di dalam suatu situasi sosial. Psikologi sosial mempunyai fokus studi pada pengaruh seseorang terhadap orang lain dalam situasi sosial (kelompok). Robbins (2003) menegaskan bahwa psikologi sosial memberikan perhatian dalam bidang-bidang pengukuran, pemahaman dan perubahan sikap, pola komunikasi, pembangunan kepercayaan, cara kegiatan kelompok memenuhi dan memuaskan kebutuhan individu, serta proses-proses pengambilan keputusan kelompok. Oleh karena itu, sumbangan psikologi sosial terhadap perilaku organisasi terlihat dari pengambilan keputusan kelompok, memecahkan konflik dalam organisasi, penyelesaian ketegangan, diskriminasi, memahami tingkah laku sosial, mengendalikan dan memprediksi tingkah laku sosial atau dalam organisasi. Hal ini akan menumbuhkan keterlibatan atau partisipasi anggota organisasi. Untuk itu, penumbuhan partisipasi diarahkan untuk melibatkan mental dan emosional individu dalam organisasi atau situasi kelompok, sehingga anggota organisasi akan termotivasi berkontribusi mewujudkan tujuan-tujuan kelompok (Organisasi) dan penumbuhan tanggung jawab. 37 Teori Perilaku Organisasi Publik 3. Sosiologi Bapak sosiologi yang ditulis oleh ahli sosiologi adalah seorang filsuf yang berasal dari Perancis bernama Auguste Comte. Ia menulis buku yang begitu populer di kalangan sosiolog, dengan judul Cours de la Philosovie Positive dan memberikan makna sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajian tentang masyarakat. Apabila makna sosiologi dikaji dari asal-usul kata atau makna secara harfiah maka sosiologi berasal dari bahasa Latin dari kata socius dan logos. Socius diberikan arti teman atau kawan, sedangkan logos bermakna ilmu pengetahuan. Jadi, secara harfiah sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kawan atau teman atau masyarakat. Timbul pertanyaan: Apa sumbangan sosiologi terhadap perilaku organisasi? Jawaban atas pertanyaan ini dapat mengacu apa yang menjadi fokus kajian sosiologi. Untuk itu, sumbangan sosiologi terhadap perilaku organisasi berkaitan dengan atau memberikan masukan terhadap dinamika kelompok, proses sosialisasi, tim kerja, komunikasi dalam organisasi, budaya organisasi, struktur organisasi formal, birokrasi, kekuasaan, konflik dan perilaku antar kelompok. 4. Antropologi Antropologi dikaji dari asal-usul bahasa dan kata oleh para ahli berasal dari bahasa Yunani dan 2 (dua) kata yaitu anthropos dan logos. Kata Anthropos diberikan makna manusia, sedangkan Logos bermakna ilmu. Jadi pengertian Antropologi secara harfiah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia. William (1948) sebagai ahli antropologi yang berasal dari Amerika Serikat menegaskan bahwa Antropologi dapat diberikan pengertian sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya. Secara umum ada banyak perbedaan kebudayaan manusia, sehingga ahli Antropologi melakukan studi dan berusaha menjelaskan tentang berbagai macam perbedaan dan persamaan kebudayaan manusia. Oleh karena itu, sumbangan Antropologi terhadap perilaku organisasi terlihat dalam perbedaan-perbedaan fundamental dalam nilai, sikap dan norma tentang perilaku yang dapat diterima dan mempengaruhi cara orang bertindak atau berativitas dalam organisasi, analisis lintas budaya, budaya organisasi dan lingkungan organisasi. 5. Ilmu Politik Banyak aspek yang dikaji oleh ilmu politik menurut para ahli. Budiardjo (2002:9) menyimpulkan dan menegaskan bahwa politik dalam suatu negara selalu berkaitan dengan masalah: (1) Negara (state); (2) Kekuasaan (power); (3) Pengambilan keputusan (decision making), (4) Kebijakan (policy, beleid) dan (6) Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Khusus tentang Pembagian (distribution) dan alokasi (allocation) 38 Bab 3 – Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik atau pembagian dan penjatahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat, Laswell (1959) menulis buku yang sangat terkenal yaitu Who Gets What, When and How (Politik itu selalu berbicara tetang masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana). Bertitik tolak pada pemahaman ini maka pembicaraan politik dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun selalu menarik. Di sisi lain, para ilmuwan politik juga berusaha mempelajari perilaku individu dan kelompok dalam suatu lingkungan politik. Untuk itu, sumbangan yang dapat diambil dari ilmu politik terhadap perilaku organisasi berkaitan dengan pengaruh dan pentingnya struktur konflik, bagaimana alokasi kekuasaan dalam organisasi dan bagaimana orang memanipulasi dan memaknai kekuasaan untuk kepentingan pribadi anggota organisasi. Contohnya adalah kekuasaan dalam memberikan penghargaan didasarkan atas kemampuan pemimpin memberikan ganjaran bagi anggota yang menyelesaikan pekerjaan seperti yang telah ditargetkan. 3.2. RUANG LINGKUP PERILAKU ORGANISASI PUBLIK Ada beberapa jawaban yang dapat dijadikan bahan diskusi untuk pertanyaan ruang lingkup perilaku organisasi publik. Mengapa demikian? Ada beberapa penulis yang memberikan jawaban berbeda. Selain masalah motivasi dan kepemimpinan, ilmu Perilaku Organisasi mengkaji juga beberapa aspek strategis dalam organisasi seperti pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi, stres dan konflik, produktivitas dan atau kinerja, dan sebagainya. Keseluruhan aspek ini selalu terkait dengan masalah perilaku manusia dalam organisasi, sehingga hal tersebut berpengaruh terhadap proses pembentukan perilaku maupun baik buruknya perilaku manusia itu sendiri. Selanjutnya, jawaban atas ruang lingkup perilaku organisasi publik dapat dijelaskan seperti berikut. 1. Kelompok pertama berpandangan bahwa ruang lingkup perilaku organisasi (organization behavior) mendasarkan kajiannya pada perilaku manusia sebagai individu, dengan pusat perhatian pada tingkah laku, tindakan, perbuatan, sikap dan aktivitas manusia dalam organisasi. Ada pula pandangan ruang lingkup perilaku organisasi mencakup 2 (dua) komponen yaitu: (1) Komponen individuindividu yang berperilaku, baik itu perilaku secara individu, perilaku kelompok, dan perilaku organisasi; dan (2) Komponen organisasi formal sebagai wadah dari perilaku individu-individu terebut. Oleh karena itu, mata kuliah Perilaku Organisasi berusaha menjawab, mengapa berbagai unsur atau komponen tadi dapat membentuk karakter, sikap, atau perilaku individu dalam kapasitasnya sebagai anggota suatu organisasi. Thoha (2001:1) menegaskan bahwa Pengetahuan tentang perilaku organisasi ini didukung oleh dua komponen yakni individu39 Teori Perilaku Organisasi Publik individu yang berperilaku dan organisasi sebagai wadah perilaku. Bertitik tolak dari pandangan Thoha ini, selanjutnya dapat diketahui bagaimana pengaruh organisasi terhadap manusia dan sebaliknya, bagaimana pengaruh manusia terhadap organisasi atau ada interaksi dan hubungan antara organisasi dengan perilaku manusia sebagai individu dan sebaliknya. Kesemuanya ini menurut Krech (1962) dalam Santosa, (2010: 2) mempunyai 2 (dua) tujuan yaitu tujuan teoritis dan praktis. Tujuan teoritis berupaya memahami, mengendalikan dan memprediksi tingkah laku sosial, sedangkan tujuan praktis untuk memecahkan masalah sosial seperti konflik, prasangka, ketegangan sosial, kesukuan dan diskriminasi serta untuk mengarahkan, mengendalikan atau memanaj perilaku manusia untuk mencapai tujuan organisasi publik yang telah ditetapkan. 2. Ruang lingkup kelompok kedua mendasarkan kajian dari organisasi publik yang dicakup. Kelompok kedua menekankan bahwa organisasi publik berisi dan mengkaji berbagai jenis organisasi publik. Ada kelompok yang menyamakan organisasi publik tidak berbeda dengan organisasi negara dan pemerintah pusat atau birokrasi negara atau pemerintah sampai dengan organisasi pemerintah daerah; Pendukung kelompok ini cukup banyak. Ada pula kelompok yang mendukung setuju dengan pandangan yang telah diungkapkan, tetapi masih ditambah dengan organisasi kesehatan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah seperti (Palang Merah Indoneisa (PMI), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), rumah sakit, dan sekolah negeri; Badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD) seperti Pegadaian, DAMRI, Garuda Indonesia, BNI, Pertamina, PDAM dan masih banyak lainnya. Ada pula pendukung setuju dengan yang telah diungkapkan, tetapi ia masih menambah dengan organisasi partai politik (Parpol), lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang beraneka ragam; organisasi yayasan; serta organisasi tempat peribadatan seperti masjid, gereja, vihara, Kuil, Kleteng, Pura dan lainnya. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa organisasi-organisasi tersebut dikategorikan sebagai organisasi publik dan begitu banyak yang dicakup? Jawaban yang dijadikan argumentasi para ahli adalah organisasi tersebut merupakan organisasi publik yang memberikan pelayanan kepada publik, sehingga organisasi dimaksud merupakan organisasi publik. Dengan begitu luas cakupan dari organisasi publik maka apa yang dikaji organisasi publik sangat luas dan beraneka ragam perilaku manusia dalam Organisasi dimaksud. Persoalan yang kemudian muncul, tidak semua ahli setuju memaknai organisasi publik sedemikian luas seperti yang telah diungkapkan. Banyak pandangan yang menganggap bahwa organisasi publik lebih menekankan pada organisasi negara (birokrasi) atau organisasi pemerintah pusat sampai daerah. Dalam buku inipun sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya menekankan pada pembicaraan pada organisasi negara (birokrasi) atau 40 Bab 3 – Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik pemerintah pusat sampai ke daerah. 3. Ruang lingkup perilaku organisasi publik yang paling banyak pendukungnya mendasarkan kajian dari yang aspek-aspek atau unsur-unsur, komponen atau sub sistem perilaku organisasi. Aspek yang dicakup dalam ruang lingkup organisasi publik adalah kepemimpinan, motivasi, komunikasi, konflik, budaya organisasi, pembinaan karier, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja (performance), kepuasan, dan pengembangan organisasi (organizational development) dan lainnya. Persoalan yang kemudian muncul adalah banyak aspek atau komponen perilaku organisasi publik yang beragam atau berbeda antara satu ahli dengan ahli lainnya. Oleh karena itu, penulis sendiri dalam pembicaraan ruang lingkup perilaku organisasi publik hanya menekankan pada aspek komunikasi dalam organisasi, Organisasi publik, etika perilaku organisasi publik atau birokrasi, motivasi, konflik dan budaya organisasi. Hal ini bukan bermakna bahwa aspek yang lain tidak penting. 4. Perilaku Organisasi itu sendiri sesungguhnya terbentuk dari perilaku-perilaku individu yang terdapat dalam organisasi. Oleh karena itu, kajian masalah perilaku organisasi berkaitan dengan pembahasan mengenai perilaku individu. Jadi, ruang lingkup kajian ilmu perilaku organisasi hanya terbatas pada dimensi internal dari suatu organisasi. Dalam kaitan ini, aspek-aspek yang menjadi unsur-unsurnya, komponen atau sub sistem dari ilmu perilaku organisasi antara lain adalah: motivasi, kepemimpinan, stres dan atau konflik, pembinaan karir, etika birokrasi, Budaya Organisasi, masalah sistem imbalan, komunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja (performance), kepuasan, pembinaan dan pengembangan organisasi (organizational development), dan sebagainya. 3.3. GAMBARAN RINGKAS ASPEK KAJIAN Telah dijelaskan bahwa Aspek yang dicakup dalam ruang lingkup organisasi publik dan banyak dianalisis oleh ahli perilaku organisasi berkaitan dengan aspek kepemimpinan, motivasi, komunikasi, konflik, budaya organisasi, pembinaan karier, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja (performance), kepuasan, dan pengembangan organisasi (organizational development). Berpijak dari banyak aspek tersebut maka penulis buku hanya akan membicarakan aspek komunikasi dalam organisasi, Organisasi publik, etika perilaku organisasi publik atau birokrasi, motivasi dalam perilaku organisasi, konflik dalam perilaku organisasi dan budaya organisasi. Penjelasan secara garis besar dari aspek ruang lingkup perilaku organisasi yang dipilih, dapat dijelaskan seperti uraian berikut, sedangkan penjelasan yang lebih mendalam dapat dibaca dari beberapa bab dalam buku ini. 41 Teori Perilaku Organisasi Publik 1. Komunikasi Dalam Organisasi Komunikasi menurut asal-usul kata berasal dari bahasa Inggris Communication dan bahasa latin communicatio dari kata communis. Jadi, komunikasi menurut asal-usul kata atau secara harfiah memiliki arti menciptakan kebersamaan dan keharmonisan dalam hubungan 2 (dua) orang atau lebih. Untuk memahami komunikasi, dalam buku ini dijelaskan tentang pendapat Lasswell yang begitu terkenal. Lasswell (1961) menegaskan bahwa pemahaman proses komunikasi dapat dijelaskan melalui paragdigma yang dia buat, dengan menjawab pertanyaan: Who, Say What, In Which Channel, To Whom, and With What Effect (Siapa, mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan dengan efek apa). Paradigma proses komunikasi dari Harold Lasswell (1961) oleh banyak ahli komunikasi merupakan teori komunikasi yang penting, sehingga setiap bicara komunikasi selalu mengutif paradigma ini, yang populer dengan paradigmatic question. Lasswell juga menegaskan bahwa paradigmatic question merupakan unsur-unsur proses komunikasi yaitu: (1) Communicator (Komunikator), (2) Message (Pesan), (3) Media (Media), (4) Communican/Receiver (Komunikan/Penerima) dan (5) Effect (Efek). Komunikasi berperan dan berkontribusi besar pada maju mudurnya atau sukses tidaknya organisasi. Organisasi hanya akan berjalan dan berfungsi dengan baik apabila ada komunikasi di dalamnya. Visi dan misi organisasi, instruksi, perintah, koordinasi, laporan dan lainnya memerlukan proses komunikasi. Semua ini mengandung pesan dan memerlukan unsur komunikasi sebagai telah dijelaskan oleh Lasswell. Interaksi antar manusia dalam organisasi tidak mungkin dapat terjadi, tanpa adanya komunikasi. Kita bisa menerima pesan dan bisa juga sebagai pemberi pesan. Ide atau gagasan tidak akan bisa dipahami orang atau tidak akan sampai kepada anggota organisasi, tanpa adanya komunikasi. Kita bisa saling tukar-menukar informasi dan saling belajar melalui komunikasi. 2. Etika Birokrasi Chandler & Plano: 1982 dalam bukunya The Public Administration Dictionary menegaskan bahwa Ethics is the rules or standards governing, the moral conduct of the members of an organization or management profession (Aturan atau standar pengelolaan yang merupakan pedoman moral bagi administrator publik dalam melaksanakan tugasnya melayani masyarakat). Etika dalam hal ini dapat dipahami sebagai suatu pedoman bagaimana manusia (administrator) atau birokrat bertingkah laku atau bertindak, bersikap dan beraktivitas dalam birokrasi yang baik. Etika bisa juga dimaknai sebagai ajaran mana yang bolah dan mana yang dilarang, atau tentang ajaran baik dan buruk. Semua ini selanjutnya dibakukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang dijunjung tinggi dan diakui oleh masyarakat, khususnya birokrat. Oleh karena itu, ada beberapa contoh perilaku birokrat yang tidak baik atau melanggar 42 Bab 3 – Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik etika Administrasi seperti melakukan kebohongan kepada publik; melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); Melanggar nilai-nilai publik seperti: responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, keadilan, dan lain-lain; Mengorbankan, mengabaikan atau merugikan kepentingan publik dan Melanggar sumpah jabatan, kendaraan Dinas untuk ngojek, fasilitas kantor disalah-gunakan, melakukan perselingkuhan dengan pengusaha dan kegiatan lain yang tidak pantas (patut). Khusus untuk aparatur sipil negara (ASN) diatur melalui undang-undang (UU) ASN Pasal 5 ayat (1) yang diamanahkan bahwa Kode etik dan kode perilaku yang diatur di Indonesia bertujuan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Selanjutnya ayat (2) mengamanahkan bahwa Kode etik dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi pengaturan perilaku agar Pegawai ASN: a. b. c. d. e. melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi; melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin; melayani dengan sikap hormat, sopan, dan tanpa tekanan; melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan etika pemerintahan; f. menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara; g. menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif, dan efisien; h. menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; i. memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada pihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan; j. tidak menyalahgunakan informasi intern negara, tugas, status, kekuasaan, dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; k. memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN; dan l. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin Pegawai ASN. 3. Motivasi Dalam Perilaku Organisasi Setiap orang mulai dari yang paling miskin sampai dengan orang paling kaya atau rakyat jelata sampai presiden sekalipun membutuhkan adanya motivasi. Orang bisa capek, jenuh, bosan dan perasaan lainnya. Salah satu obatnya diberikan motivasi. Siagian (2003:132) menegaskan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan, dalam 43 Teori Perilaku Organisasi Publik bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Perilaku anggota organisasi dipengaruhi oleh keinginan dan kemauannya untuk melaksanakan tugas dalam rangka mencapai tujuan. Keinginan dan kemauan merupakan wujud motivasi. Jadi, motivasi menjadi pendorong utama dalam banyak hal, khususnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) seorang anggota organisasi. Jika ia tidak memiliki motivasi maka Tupoksi tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Gambaran singkat ini telah memperkuat bahwa motivasi menjadi penentu dinamika organisasi. 4. Konflik Dalam Organisasi Banyak orang yang berpandangan dan menganggap bahwa konflik merupakan situasi yang harus dihindari atau konflik sebagai kondisi yang tidak baik dan tidak menyenangkan. Pandangan demikian terjadi karena mereka memberikan makna konflik sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang dianut atau mereka belum paham tentang makna konflik yang konprehensif dan makna yang sesungguhnya. Dalam kondisi yang demikian, tidak heran apabila banyak orang yang tidak siap menerima kehadiran konflik secara wajar. Bagi mereka yang telah belajar dan memahami konflik dengan baik maka mereka akan mengetahui bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia atau kehadiran konflik pasti terjadi atau tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Mengapa demikian? Hal demikian terjadi karena konflik muncul sebagai konsekuensi logis adanya interaksi atau hubungan antar manusia atau anggota organisasi. Jangan berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain, jika tidak menginginkan atau tidak menghendaki adanya konflik. Boleh juga kita mengatakan, silahkan hidup di dalam hutan seorang diri, apabila ia ingin terhindar dari konflik. Persoalan yang perlu didiskusikan adalah menjawab konflik seperti apa yang dapat dipelihara dan konflik mana yang tidak bisa ditoleransi. Konflik mana yang fungsional dan mana disfungsional. Tugas utama unsur pimpinan organisasi adalah mengelola konflik dalam dalam meningkatkan prestasi kerja atau untuk mendukung tercapai tujuan organisasi. Pertanyaan ini dan pendalaman konflik dalam organisasi akan dijelaskan pada Bab tersendiri. 5. Budaya Organisasi Setiap organisasi apapun memerlukan dan perlu membangun budaya organisasi. Budaya menentukan hebat tidaknya organisasi dan selalu menjadi identitas utama organisasi. Untuk itu, budaya organisasi bukan hanya harus ada, tetapi yang jauh lebih 44 Bab 3 – Ruang Lingkup Perilaku Organisasi Publik penting adalah setiap anggota organisasi wajib mengamalkan dan menjunjung tinggi budaya organisasi. Sutrisno (2010; 2) menegaskan bahwa budaya organisasi sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs) atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasi. 45 Teori Perilaku Organisasi Publik 46 BAB 4 Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik D alam Bab 4 ini akan dijelaskan dan dianalisis beberapa tokoh yang memiliki kontribusi cukup besar pada kajian perilaku organisasi. Beberapa pemikir yang memberikan sumbangan cikal bakal kajian perilaku organisasi sampai perkembangan dewasa ini antara lain: (1) Plato (Yunani); (2) Max Waber (Jerman); (3) Frederyc Taylor (Amerika Serikat); (4) Chester Barnard; (5) Henri Fayol; (6) Mary Parker Follett; (7) Frederick Herzberg; (8) Abraham Maslow; (9) Herbert A. Simon; (10) David McClelland; (11) Victor Vroom; (12) Elton Mayo; (13) Douglas McGregor; (14) Warren Bennis; dan (15) Robbins, Stephen P. Beberapa tokoh yang dipilih ini barangkali tidak memuaskan bagi sebagian penulis atau pemikir. Tidak apa dan hal ini wajar saja atau sudah biasa terjadi. Selain itu, sebagian pemikir perilaku organisasi akan dijelaskan ide atau inti gagasannya pada uraian berikut atau tidak semua tokoh ditampilkan idenya. Untuk penulis buku tentang perilaku organisasi di Indonesia juga cukup banyak antara lain: (1) Sondang P. Siagian; (2) Miftah Thoha; (3) Taliziduhu Ndraha; (4) Notoatmodjo; (5) Makmuri Muchlas dan beberapa penulis lainnya. Bahasan penting berikutnya setelah mengungkap ide atau gagasan perilaku organisasi dari beberapa tokoh adalah penjelasan tentang terbentuknya perilaku organisasi (publik) dan hukum-hukum perilaku organisasi. Bahasan ini menjadi pilihan penulis buku karena terbentuknya perilaku menjadi salah satu kajian wajib untuk diketahui bagi siapapun yang sedang mempelajari perilaku organisasi (publik). Demikian juga hukum-hukum perilaku organisasi (publik). Penjelasan tentang beberapa sub bahasan yang dipilih pada Bab IV dijelaskan seperti uraian berikut. 47 Teori Perilaku Organisasi Publik 4.1 AHLI PERILAKU ORGANISASI Penulis ulang kembali bahwa ahli atau tokoh pendukung perilaku organisasi antara lain adalah (1) Plato (Yunani); (2) Max Waber (Jerman); (3) Frederyc Taylor (Amerika Serikat); (4) Chester Barnard; (5) Henri Fayol; (6) Mary Parker Follett; (7) Frederick Herzberg; (8) Abraham Maslow; (9) Herbert A. Simon; (10) David McClelland; (11) Victor Vroom; (12) Elton Mayo; (13) Douglas McGregor; (14) Warren Bennis; dan (15) Robbins, Stephen P. Beberapa ahli atau tokoh yang dipilih oleh penulis buku ini tidak semua dijelaskan ide pemikirannya, melainkan hanya beberapa saja yang dipilih. Bagaimana isi ide atau gagasannya tentang perilaku organisasi, dijelaskan secara garis besar, seperti penjelasan berikut. 4.1.1 Plato Tokoh ini dikenal sebagai salah satu filosof Yunani kuno yang begitu terkenal sampai sekarang. Malahan Plato sendiri diklaim oleh banyak ahli dan ia dianggap sebagai ahli macam-macam ilmu, sehingga tidak jarang ia diklaim sebagai ahli ekonomi, ahli politik, ahli perilaku manusia, ahli hukum, ahli negara dan ahli lainnya. Khusus perilaku manusia yang menjadi pemikiran Plato yang disarikan oleh Indrawijaya (1989: 14) dan Thoha (2007: 11) dinyatakan pandangannya bahwa jiwa manusia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yakni: (1) Philosopic (filsafat); (2) Sprited (ambisi); dan (3) Appetite (nafsu makan). Philosopic merupakan keinginan untuk mencapai ilmu pengetahuan, Sprited merupakan aspek jiwa manusia yang berusaha untuk mencari kekuasaan dan ambisi, sedanglan Appetite merupakan keinginan manusia untuk memenuhi selera hidup antara lain makanan, minum, sandang, papan, seks dan uang atau materi. (the philosophie, the ambitious, and the lovers of gain). Oleh karena itu, manusia menurut Plato digolongkan menjadi 3 (tiga) tipe yaitu: (1) filosofis; (2) ambisius; dan (3) pencinta keberuntungan (lovers of gain). keberuntungan (lovers of gain). 1.1.2 Max Weber Ide dasar Max Weber (1973) tentang perilaku menekankan pada aspek struktur yang ditimbulkan oleh rasa tidak percaya kepada kesanggupan dan kemampuan manusia untuk: (1) menciptakan rasionalitas tertentu; (2) mendapatkan informasi yang baik; dan (3) membuat keputusan yang objektif. Jadi, premis perilaku menusia yang nampak tercermin pada realitas yang menunjukkan bahwa seseorang selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk sampai kepada pertimbangan-pertimbangan yang baik. Untuk itu, struktur merupakan jawabannya. Jadi, cara mengatur struktur (tata hubungan kerja) di dalam organisasi, spesialisasi prosedur dan aturan-aturan menjadi penentu pengambilan keputusan dapat dibuat secara konsisten dan sistimatis. Unsur yang berperan sangat besar dalam organisasi adalah kepatuhan pada prosedur oleh 48 Bab 4 – Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik otoritas dan besarnya rasa tanggung jawab yang ada pada para pejabatnya. Selanjutnya Weber menyatakan bahwa setiap pejabat dapat memperoleh otoritas dari sumbersumber otoritas yang terdiri dari: (1) Otoritas yang rasional dan sah; (2) Otoritas yang tradisional; dan (3) Otoritas kharismatik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Weber bahwa otoritas yang rasional dan sah diciptakan oleh tingkat dan posisi yang dipegang oleh seseorang pejabat didalam suatu hierarki; otoritas yang tradisional diciptakan oleh kelas-kelas dalam masyarakat dan juga oleh adat kebiasaan, sedangkan otoritas kharismatik ditimbulkan oleh potensi kepribadian dari sang pejabat. 4.1.3 Henry Fayol Buku yang sangat terkenal hasil karya Henry Fayol adalah Administrasi Industri dan Umum (General and Industrial Administration) tahun 1919. Teori administrasi yang diusulkan oleh Fayol dikenal sebagai pendekatan fungsional. Karya Fayol yang sangat terkenal terkait dengan 14 prinsip organisasi. Fayol (1949) menegaskan ada 14 Prinsif organisasi yaitu: (1) Pembagian kerja (Division of work); (2) Wewenang (Authority and responsibility); (3) Disiplin (Discipline); (4) Kesatuan komando (Unity of command); (5) Kesatuan arah (Unity of direction); (6) Mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan individu (Subordinasi kepentingan individu); (7) Remunerasi; (8) Sentralisasi (Centralization); (9) Rantai scalar (Hierarki/Rantai Skalar/Garis Otoritas (tingkatan); (10) Tata tertib atau Ketertiban (Order); (11) Keadilan dan kejujuran; (12) Stabilitas masa kerja para pegawai atau Jenjang Karir Personel; (13) Inisiatif atau Prakarsa (Inisiative) dan (14) Esprit de corps atau Semangat kesatuan dan semangat korps. 4.1.4 Taylor Nama lengkap Taylor adalah Frederick Winsloe Taylor (1919). Ia ahli dari Amerika Serikat yang mengenalkan prinsip-prinsip manajemen ilmiah (Principle of Scientific Manajemen). Taylor menyarankan 3 (tiga) hal mendasar sebagai tujuan dari gerakannya yaitu: (1) Amerika Serikat telah dirugikan dengan kerugian yang sangat besar sebagai akibat tidak adanya efisiensi di hampir setiap usaha; (2) Berusaha untuk meyakinkan masyarakat Amerika Serikat bahwa pengobatan ketidak-efesiennya selama ini terletak pada manajemen, bukannya mencari orang-orang yang istimewa dan (3) Ia membuktikan bahwa manajemen yang baik merupakan suatu ilmu yang tepat yang berdasarkan pada hukum-hukum, aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang jelas. Prinsip-prinsip manajemen ilmiah ini dapat diterapkan pada setiap bentuk aktifitas manusia. 49 Teori Perilaku Organisasi Publik 4.1.5 Elton Mayo Pendekatan neo klasik muncul melalui serangkaian percobaan yang telah dilakukan oleh Elton Mayo tahun 1927-1932. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan Human Relations karena aspek yang dikaji berkaitan dengan hubungan antar manusia dalam organisasi. Pendekatan ini bertumpu pada beberapa prinsip sebagaimana disarikan oleh Lubis dan Huseini (1987: 2-3) sebagai berikut: a. Organisasi merupakan suatu sistem sosial di mana hubungan antara para anggotan sebagai wujud interaksi sosial b. Interaksi sosial yang terjadi menyebabkan munculnya kelompok non formal dalam organisasi, yang memiliki norma sendiri dan berlaku serta menjadi pegangan bagi seluruh anggota kelompok. c. Interaksi sosial tersebut perlu diarahkan agar pengaruhnya positif bagi prestasi individu maupun kelompok. Untuk mencapai hal ini memerlukan saluran komunikasi yang efektif yang memudahkan untuk mengarahkan interaksi sosial antar anggota demi peningkatan prestasi. d. Kelompok-kelompok non formal tersebut bisa saja mempunyai tujuan yang berbeda dengan kepentingan organisasi. Oleh karena itu, pola kepemimpinan tidak hanya memperhatikan struktur formal, melainkan juga meperhatikan aspek psiko-sosial pekerja, supaya tujuan kelompok non formal dapat diarahkan sesuai dengan kepentingan organisasi. Untuk itu, manajemen harus memiliki keterampilan social, selain keterampilan teknis, sehingga manajemen mampu membina munculnya ikatan sosial yang baik dalam organisasi. 4.1.6 Douglas McGregor Douglas McGregor (1960) yang menulis tentang The Human Side of Enterprise berpandangan bahwa ada 2 (dua) tipe manusia yaitu tipe X dan tipe Y, yang selanjutnya lebih populer dengan teori X dan teori Y. Kedua teori ini dapat diaplikasikan untuk manajer dan untuk pegawai (karyawan). Teori X menggambarkan perilaku yang cenderung negatif, sedangkan teori Y lebih mengambarkan pada perilaku yang positif sebagaimana disarikan oleh Siagian (1994) dan Thoha (2002). Teori ini seringkali dikategorikan sebagai Teori Organisasi Klasik. Teori X berpandangan bahwa manusia yang cenderung berperilaku negatif mempunyai karakteristik: (1) Manusia tidak senang bekerja atau berusaha menghindari pekerjaan; (2) Untuk itu, supaya manusia mau dan suka bekerja harus dipaksa, diawasi dengan ketat atau diancam dengan berbagai tindakan, agar tujuan organisasi tercapai secara maksimal; (3) Manusia (pekerja atau karyawan) akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila menerima perintah dari atasan; dan (4) Kebanyakan manusia (pekerja) mencari rasa aman di atas faktor-faktor 50 Bab 4 – Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik lainnya serta manusia kurang menunjukkan ambisi untuk maju, sedangkan teori Y berpandangan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku positif, dengan karakteristik: (1) Pekerja memandang bekerja sebagai hal yang bersifat alamiah; (2) Pekerja akan berkerja dengan baik, tanpa harus selalu diarahkan dan diawasi; (3) Pekerja pada umumnya akan menerima tanggung jawab yang lebih besar; dan (4) Manusia (pekerja) akan berusaha menunjukkan kreativitasnya, termasuk berperan dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari tanggung jawab. Implikasi dari kedua teori (Teori X dan Teori Y McGregor) bagi organisasi adalah asumsi-asumsi Teori Y lebih dapat diterima dan dapat membantu manajer dalam mendesain organisasi dalam mencapai tujuan dan bagaimana memotivasi para pegawai untuk dapat bekerja lebih baik. McGregor (1960) menegaskan bahwa tahun 1960-an memperlihatkan antusiasme pekerja yang cukup tinggi untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan organisasi, penciptaan tanggung jawab dan tantangan pekerjaan, termasuk pembangunan hubungan kelompok-kelompok kerja yang lebih baik. Antusiasme ini, sebagian besar, diakibatkan oleh Teori Y dari McGregor dimaksud. 4.1.7 Warren Bennis Warren Gamaliel Bennis merupakan Profesor yang mendirikan Leadership Institute di University of Southern California. Warren Bennis merupakan salah satu pakar di bidang manajemen, khususnya kepemimpinan modern. Buku yang ditulis dan sangat dikenal adalah: (1) Leaders: Strategies for Taking Change, On Becoming A Leader dan (2) Managing People Is Like Herding Cats: Warren Bennis on Leadership. Warren Bennis memberikan penekanan tentang pentingnya kepenguasaan lingkungan oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, Warren Bennis menegaskan bahwa pemimpin yang efektif tidak sekedar terpengaruh oleh arus perubahan lingkungan, melainkan harus bisa menantang dan menguasai lingkungan dengan jalan mengubahnya secara mendasar. Langkah pertama menurut Warren (1994:32) adalah pemimpin menolak untuk dikendalikan orang lain dan memilih untuk mengendalikan diri sendiri; Penguasaan terhadap lingkungan dan pemahaman terhadap-hal-hal yang mendasar seperti visi penuntun (memiliki pandangan yang jelas apa yang akan dilakukan, baik secara profesional ataupun pribadi serta kekuatan untuk menghadapi kemunduran atau kegagalan; Keinginan yang Besar; Integritas. Menurut Warren Bennis, ada tiga bagian penting tentang integritas; Keingintahuan tentang masalah dan lingkungan serta kemauan yang kuat untuk memahami dan mencari solusi atas setiap problem sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat. Seorang pemimpin yang efektif dalam kepemimpinannya juga, selain mengenal diri sendiri, juga harus memiliki pengetahuan dunia, atau pengetahuan global. adalah insting positif. 51 Teori Perilaku Organisasi Publik 4.1.8 Abraham Maslow; dan Maslow (1943) menyumbangkan pemikiran tentang konsep teori yang dikenal dengan hierarki kebutuhan (hierarchy of needs). Maslow menegaskan bahwa kebutuhankebutuhan manusia dengan sendirinya membentuk semacam hierarki, yakni dari kebutuhan fisik (psysiological needs), kebutuhan akan keselamatan atau rasa aman (safety and security needs) kebutuhan sosial (belongingness and love), kebutuhan akan penghargaan dan status (esteem and status), sampai dengan kebutuhan akan perwujudan atau aktualisasi diri (self-actualization). Kebutuhan fisik, keamanan dan sosial merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia atau diusahakan untuk dapat dipenuhi, sedangkan kebutuhan keempat dan kelima hanya sebagian manusia yang dapat dipenuhi. Hal ini tercermin dari gambar segitiga di atas. Makin ke atas makin sedikit orang yang dapat memenuhinya, khususnya kebutuhan keempat dan kelima. Dengan pernyataan lain, kebutuhan fisik atau fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar dari hidup manusia seperti makan, air, pakaian, rumah dan kebutuhan seksual, termasuk didalamnya adalah perlindungan kesehatan. Kebutuhan keselamatan dan rasa aman menggambarkan dorongan setiap orang untuk mencari perlindungan. Kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang atau kebutuhan sosial hubungan interpersonal atau interaksi sosial dengan orang lain, berteman, mempunyai pacar dan berumah tangga. Dalam konteks organisasi, kebutuhan ini diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu team work. Kebutuhan akan status dan penghargaan berkaitan dengan simbolsimbol kesuksesan, seperti gelar kesarjanaan, pengakuan dari orang lain dan pemilikan barang-barang pribadi yang mewah. Manusia dalam hal ini ingin mendemonstrasikan kemampuannya dan membangun reputasi yang bisa dibanggakan di depan publik. Untuk kebutuhan aktualisasi diri merefleksikan hasrat dari individu untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan potensinya secara maksimal. Manusia pada tahap ini menginginkan adanya tantangan atau peluang dalam bekerja, dan dibarengi hasrat untuk mandiri dan menunjukkan tanggung jawab penuh. Semua ini menjadi alasan atau penyebab terjadinya perilaku manusia. 4.1.9 Frederick Herzberg Hasil studi Maslow ini diperluas lebih lanjut oleh Herzberg, yang disarikan oleh Davis dan Newstrom (1989: 71-72) yang menegaskan bahwa Herzberg menolak anggapan faktor pekerjaan tertentu hanya membuat pegawai tidak puas apabila tidak ada kondisi tertentu. Dengan demikian Herzberg membedakan antara faktor iklim baik (hygiene factors) atau faktor pemeliharaan sebagai faktor yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kepuasan dalam diri pegawai, dengan faktor motivasi. Hal ini bermakna kondisi kerja berfungsi untuk menimbulkan motivasi. Faktor motivasi terutama berhubungan dengan isi pekerjaan (job content), sedangkan faktor 52 Bab 4 – Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik pemeliharaan berhubungan dengan isi pekerjaan (job context) karena lebih berkaitan dengan lingkungan di sekitar pekerjaan. Oleh karena teori Herzberg ini membagi kedalam dua faktor yang populer dengan two-factor model of motivation. 4.2 TERBENTUKNYA PERILAKU ORGANISASI Hasil Penelitian Rogers (1974) menemukan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu pertama Awareness (kesadaran) dalam makna orang mulai menyadari arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu; Kedua Interest (ketertarikan) di mana orang mulai tertarik kepada stimulus; Ketiga Evaluation (evaluasi) yang berkaitan dengan menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya; Keempat Trial (mencoba) di mana orang telah mulai mencoba perilaku baru serta Kelima Adoption (menerima) yang bermakna bahwa si subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Notoatmodjo (2009) menegaskan bahwa apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (long lasting). Selain itu, ada beberapa faktor pendorong terbentuknya perilaku. Dessier (1980:99) menegaskan bahwa motode membentuk perilaku yang menyatakan bahwa perilaku manusia terbentuk melalui proses dari adanya kebutuhan (needs), keinginan (want), motivasi, sikap dan niat, yang dapat digambarkan sebagai berikut: Kebutuhan Keinginan Sikap Motivasi Niat Perilaku Gambar. 4.1: Perubahan Perilaku Manusia Sumber: Dessier, Organization Theory, 1980:101 Dalam model yang digambarkan pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa perilaku manusia atau perubahan perilaku manusia dapat terbentuk melalui suatu proses dorongan akan adanya kebutuhan dan kebutuhan akan melahirkan keinginan, 53 Teori Perilaku Organisasi Publik keinginan akan melahirkan motivasi, motivasi akan melahirkan sikap, sikap akan melahirkan niat dan niat akan melahirkan perilaku. Selain itu, Dessier (1980: 105) juga menegaskan bahwa terdapat beberapa hukum perilaku manusia yaitu: a. Hukum Perilaku I: menyatakan bahwa manusia bersifat pasif, sementara lingkungan bersifat aktif. Perilaku manusia ditentukan oleh lingkungan yakni reward dan punishment (behavioristic) b. Hukum Perilaku II: menyatakan bahwa yang dapat merubah perilaku manusia adalah dirinya sendiri (mentalistic) c. Hukum Perilaku III: menyatakan bahwa kegagalan dan kesuksesan akan membentuk perilaku pada masa berikutnya (accomplishment) Pertimbangan lain yang sangat penting untuk memahami perilaku sesuai pendapat Nadler (Dalam Thoha, 2003: 37-47) adalah ada sejumlah prinsip dasar yang membentuk sifat manusia dan menentukan perilaku manusia yaitu: a. Manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya tidak sama b. Manusia memiliki kebutuhan yang berbeda c. Orang berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak d. Seseorang memahami lingkungannya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya e. Orang mempunyai reaksi-reaksi senang atau tidak senang (afektif) Beberapa prinsip yang membentuk sifat manusia dapat menjadi acuan dalam memahami perilaku manusia dalam organisasi atau birokrasi pemerintahan. Bermula dari sini, kita bisa menemukan mengapa perilaku satu orang dengan orang lain berbeda, walaupun objek yang dibicarakan sama. Hal ini dapat terjadi karena perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam membaca situasi dan kondisi yang berkembang atau yang terjadi, pertimbangan kebutuhan dan masa depan yang dapat dipergunakan untuk menentukan bagaimana perilaku yang harus mereka lakukan, pertimbangan pengalaman-pengalaman dalam perjalanan hidupnya dalam berorganisasi serta rekasi-reaksi yang mereka hadapi. Untuk itu, faktor lingkungan menjadi salah satu pertimbangan penting dalam membentuk perilaku manusia. Kita bisa ambil contoh ada karyawan yang berperilaku yang mengedepankan sopan santun di hadapan atasan dan di sisi lain, ada pula karyawan yang kurang dari segi sopan santun. Semua ini terjadi karena ada faktor yang dijadikan pertimbangan oleh pegawai dalam berperilaku. Thoha (2002:184) menyatakan bahwa hakekat perilaku birokrasi merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi tersebut. Individu membawa ke dalam tatanan birokrasi, 54 Bab 4 – Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan pengalaman masa lalunya. Ini semua merupakan karakteristik individu dan karakteristik ini akan dibawa olehnya manakala individu tersebut akan memasuki suatu lingkungan baru, semisal birokrasi atau oragnisasi. Jika karakteristik individu berinteraksi dengan karakteristik birokrasi akan menimbulkan perilaku birokrasi. Untuk itu, model perilaku birokrasi dapat digambarkan seperti Gambar 4.2. Karakteristik individu 1. Kemampuan 2. Kebutuhan 3. Kepercayaan 4. Pengalaman 5. Penghargaan 6. dan lain-lain Perilaku Birokrasi Karakteristik Birokrasi 1. Hierarki 2. Tugas-tugas 3. Wewenang 4. Tanggung jawab 5. Sistem Reward 6. Sistem Kontrol Gambar. 4.2: Model Perilaku Birokrasi Sumber: Thoha, Perspektif Perilaku Birokrasi, 2002: 185 Model perilaku birokrasi seperti Gambar 4.2 menegaskan bahwa karakteristik individu yang berinteraksi dengan birokrasi akan melahirkan perilaku birokrasi. Dengan bahasa lain, untuk memahami perilaku birokrasi harus mengetahui dan memahami karakteristik individu dan birokrasi terlebih dahulu. Pandangan yang hampir sama diungkapkan oleh Ndraha (2003: 521) yang menegaskan bahwa perilaku birokrasi terbentuk dari interaksi antara dua variabel yaitu karakteristik birokrasi dan karakteristik manusia atau lebih spesifik lagi, struktur dan aktor. Setiap karakteristik menimbulkan perilaku tertentu. Antara karakteristik dengan perilaku terdapat hubungan yang sedikit banyak bersifat kausal. Misalnya pada variabel organisasi, hierarki menimbulkan sifat taat bawahan terhadap atasan. Variabel manusia, kepentingan atau kebutuhan hidup manuntut imbalan yang memadahi dari organisasi. Tetapi kadar (Tingkat ketaatan variabel itu, tergantung pada sejauh mana imbalan yang diharapkan dipenuhi oleh organisasi). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perilaku yang berkisar antara soft (perilaku yang penuh amic dan ethic: ketaatan dan keiklasan) dengan hard (command, force, coercion, violence: pembangkangan, perlawanan, permusuhan) merupakan resultant interaksi antara kedua variabel, yang digambarkan Gambar 4.3. 55 Teori Perilaku Organisasi Publik Struktur Organisasi Perilaku Birokrasi Pribadi Pejabat (Aktor) Gambar. 4.3: Model Perilaku Birokrasi Sumber: Ndraha, Kybernology, Ilmu Pemerintahan, 2003: 522 Model yang ditawarkan Ndraha tidak berbeda dengan yang ditawarkan oleh Thoha. Atasan dalam model ini bisa mempergunakan kewenangannya untuk mengendalikan konsekuensi yang tidak terantisipasi atau apabila ada akibat yang tidak diharapkan. Selain model pada Gambar 4.3. ada pula model perilaku birokrasi pemerintahan yang dikaitkan dengan masyarakat. Ndraha (2003: 524) menegaskan bahwa perilaku birokrasi jauh berbeda jika dipahami dalam hubungan pemerintahan. Hubungan birokratik tidak sama dengan hubungan pemerintahan. Ketika birokrasi pemerintahan bertindak keluar, terjadilah hubungan birokratik pemerintahan, tetapi hubungan ini tidak identik dan tidak analog dengan hubungan birokratik. Dalam banyak hal, yang diperintah dan manusia bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat berfungsi sebagai pemegang kedaulatan, pemerintah berada di bawahnya. Tetapi bagaimanapun, antara kedua belah pihak terjadi proses pengaruh mempengaruhi dan ada proses interaksi. Modelnya dapat digambarkan seperti Gambar 4.4. Model pada Gambar 4.4 menegaskan bahwa ada perilaku konsumen (pengguna jasa pemerintahan) yang berbeda dengan perilaku konsumer produk-produk ekonomi. Lingkungan produk ekonomi banyak pilihan (mulai dari pilihan murah dan mudah sampai pada pilihan yang mahal dan sukar), sedangkan konsumen produk pemerintah mengandung “no easy choice”, “no other choice” dan bahkan “no choice”. Dalam hubungan birokratik yang bertindak keluar, manusia atau mereka yang diperintah (publik) bukanlah bawahan pemerintah. Bahkan pada saat rakyat pada posisi pemegang kedaulatan, posisi pemerintah berada di bawahnya. 56 Bab 4 – Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik Struktur Organisasi Perilaku Birokrasi (Aktor) Pribadi Pejabat Konsumer Produk-Produk Pemerintahan Perilaku Birokrasi Pemerintahan (Aktor) Gambar. 4. 4: Model Perilaku Birokrasi Pemerintahan (Aktor) Sumber: Ndraha, Kybernology, Ilmu Pemerintahan, 2003: 524 Apter dalam supriatna (1997: 105) menegaskan bahwa perilaku birokrasi pemerintahan harus mengakomodasi, meyalurkan dan memperjuangkan kepentingan rakyat melalui berbagai kebijakan-kebijakan yang tetap bertopang pada nilai-nilai budaya bangsa, sehingga perilaku birokrasi sesuai dengan budaya dan kepentingan umum (abdi publik) bersifat integral, yang dapat digambarkan pada Gambar 4.5. Nilai Kultural Birokrokrasi Kepentingan Umum Perilaku Gambar 4.5: Perilaku Birokrasi Pemerintahan Sumber: Apter Dalam Supriatna (1997) Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan Kimiskinan Harapan publik terhadap pejabat birokrasi seperti yang diungkapkan oleh Apter hingga kini masih sangat relevan. Pejabat birokrasi harus berperilaku yang dapat mengakomodasi masukan publik, menyalurkan dan memperjuangankan kepentingan publik, melalui kebijakan-kebijakan yang selalu berlandaskan pada nilai budaya bangsa, sehingga perilaku mereka sejalan dengan kepentingan umum, bukan sebaliknya. Gibson (1984: 52) menggambarkan bahwa perilaku individu birokrasi pemerintah dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti Gambar 4.6. 57 Teori Perilaku Organisasi Publik Perilaku Birokrasi Variabel Fisiologis (Kemampuan Fisik dan Mental) Perilaku Birokrasi Variabel Psikologis (Persepsi, Sikap, Kepribadian, Belajar dan Motivasi) Lingkungan (Keluarga, Kebudayaan dan Kelas Sosial) Gambar. 4.6: Perilaku Birokrasi Pemerintahan Sumber: Gibson, 1984: 52 Gambar 4.6 seperti yang telah diungkapkan makin memperkaya wawasan bahwa perilaku birokrasi dipengaruhi oleh banyak variabel. Variabel yang berpengaruh dalam gambar ini terdiri dari variabel fisiologis (dengan penekanan pada kemampuan fisik dan mental), psikologis (dengan penekanan pada persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi) dan lingkungan (dengan penekanan pada keluarga, kebudayaan dan kelas sosial). Perlu ditegaskan pula bahwa kajian atau pendekatan perilaku juga terus berkembang dan makin canggih. Supriatna (1997: 108) menegaskan bahwa pendekatan perilaku birokrasi dewasa ini lebih mengembangkan kualitas, nilai, pelayanan, inovasi, fleksibel, customer dan pemberdayaan masyarakat, yang dapat digambarkan seperti Gambar 4.7. Selanjutnya Kast dan James (2002;390) menegaskan bahwa perilaku adalah cara bertindak dan menunjukkan tingkah laku seseorang. Pola perilaku merupakan model tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Proses perilaku pada umumnya serupa untuk semua individu, walaupun pola perilakunya mungkin berbeda. Ada 3 asumsi yang saling berkaitan mengenai perilaku manusia yaitu: (1) Perilaku itu disebabkan (caused), (2) Perilaku itu digerakkan (motivated) dan (3) Perilaku itu ditunjukan pada sasaran. Ketiga unsur ini saling terkait dan menjadi modal dasar perilaku individu serta berlaku untuk siapa dan kapan saja. 58 Bab 4 – Terbentuknya Perilaku Organisasi Publik Karakteristik Birokrasi Karakteristik Individu Kualitas Fungsi Birokrasi Pelayanan Publik Nilai, Inovasi, Insentif, Fleksibel dan Pemberdayaan Gambar 4.7: Model Perilaku Birokrasi Pemerintahan Sumber: Supriatna, Birokrasi, Pemberdayaan Dan Pengentasan Kemiskinan, 1997 59 Teori Perilaku Organisasi Publik 60 BAB 5 Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi B ab 5 yang diberi tema teori perilaku organisasi dan birokrasi akan mengupas dan menganalisis 2 hal pokok yaitu: (1) Teori perilaku organisasi dan (2) Teori perilaku birokrasi. Kedua sub tema sengaja dipisahkan karena isi teori dari keduanya memang hampir sama, tetapi obyek dan subyeknya berbeda. Seperti apa perbedaan keduanya, dapat dijelaskan seperti uraian berikut. 5.1 TEORI PERILAKU ORGANISASI Telah dijelaskan pada Bab sebelumnya bahwa perilaku manusia merupakan wilayah kajian dari psikologi, psikologi sosial dan perilaku organisasi atau perilaku birokrasi pemerintahan atau publik. Perkembangan kajian perilaku juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu lain, seperti Sosiologi, Antropologi, Psikologi, ilmu politik dan Psikologi Sosial. Selain itu, setiap perilaku dalam birokrasi pemerintahan atau organisasi, ada faktor-faktor yang turut berperan didalamnya. Santosa, (2010:1) menegaskan bahwa psikologi sosial mempelajari tingkah laku manusia di dalam suatu situasi sosial. Selanjutnya, Krech (1962) dalam Santosa, (2010: 2) menegaskan bahwa psikologi sosial mempunyai 2 (dua) tujuan yaitu tujuan teoritis dan praktis. Tujuan teoritis berupaya memahami, mengendalikan dan memprediksi tingkah laku sosial, sedangkan tujuan praktis untuk memecahkan masalah sosial seperti konflik, prasangka, ketegangan sosial, kesukuan dan diskriminasi. Berdasarkan pendapat yang telah diungkapkan dapat diketahui bahwa mereka yang tertarik untuk melakukan kajian perilaku sosial tidak terlepas dari perilaku individu. Perilaku yang diamati tetap bersumber dari perilaku individu, tetapi perilaku 61 Teori Perilaku Organisasi Publik tersebut terjadi dalam situasi sosial atau dalam kontek kelompok. Selanjutnya, Santosa, (2010: 25) menegaskan bahwa setiap orang mempunyai tingkah laku individual dan sosial. Tingkah laku individual terlihat dari tanggapan, berpikir, dan perasaan, sedangkan tingkah laku sosial terlihat dari kerjasama, konflik, kebiasaan sosial dan aktivitas-aktivitas sosial, sedangkan Belione (1980:1) menegaskan bahwa Organization theory hypothesis about human behavior ranging from tribes to complex government and administrative theory-hypothesis about human behavior in work groups as the bases of much public administration theory. Pemikiran Belione mempertegas bahwa teori organisasi memiliki kajian yang sangat luas yaitu membicarakan perilaku manusia mulai dari manusia dalam kelompok suku ke manusia dalam pemerintahan, termasuk perilaku manusia dalam kerja kelompok. Oleh karena itu, mengkaji perilaku manusia bisa mengambil unit analisis individu ataupun kelompok. Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam rangka pemahaman organisasi terkait dengan paradigma yang diyakini. Dalam mempelajari organisasi dikenal 2 (dua) paradigma yaitu paradigma mekanisme dan paradigma organisme. Thoha (2008:173) menegaskan bahwa paradigma organisme lebih menitik beratkan pada manusianya dan cara manusia berperilaku dalam kegiatan-kegiatan organisasi yang senyatanya. Perilaku manusia dalam hal ini banyak ditentukan oleh faktor lingkungan dan dirinya sendiri. Selain itu, teori perilaku organisasi atau The Behaviour Theory of Organization adalah suatu teori yang memandang organisasi dari segi perilaku anggota organisasi. Teori ini berpendapat bahwa baik atau tidaknya, berhasil atau tidaknya organisasi mencapai sasaran yang telah ditetapkan sangat tergantung dari perilaku atau sikap kelakuan (behaviour) dari para anggotanya. Dengan demikian menurut teori ini masalah utama yang dihadapi organisasi adalah bagaimana mengarahkan para anggota untuk berpikir, bersikap, bertingkah laku atau berperilaku sebagai manusia organisasi yang baik. Wursanto (2009) menegaskan bahwa yang dimaksud dengan perilaku dapat berupa sikap, tindakan atau tingkah laku. Perilaku dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) perilaku formal, (2) perilaku informal, dan (3) perilaku non formal. Perilaku organisasi sebagaimana telah dijelaskan termasuk ilmu yang interdisipliner. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dan analisis perilaku organisasi yang sangat terbantu dari sejumlah disiplin ilmu yaitu Psikologi, Sosiologi, Psikologi Sosial, Antropologi dan Ilmu Politik. Bermula dari pemahaman yang demikian maka perilaku organisasi termasuk bidang ilmu perilaku terapan dan merupakan kajian yang kompleks seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi serta tuntutan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga perilaku organisasi merupakan bidang kajian yang sangat dinamis. 62 Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi Middleton (2002: 81) menyatakan bahwa organizational behavior (OB) – The study of human behavior, attitudes and performancewithin an organizational setting. OB draws on theory, methods, and principles fromsuch disciplines as psychology, sociology, and cultural anthropology to learn about individual perception, values, learning capabilities, and actions while working with groups and within the total organization. OB also can involve analyzing the external environment’s effect on the organization and its learning resources, missions, objectives, and strategies. Lebih lanjut Thoha (2008:201) menegaskan bahwa perilaku organisasi merupakan bidang studi yang berhubungan dengan semua aspek kegiatan manusia di dalam suatu organisasi. Hal seperti ini termasuk pengaruh manusia terhadap organisasi dan pengaruh organisasi terhadap manusia, dengan tujuan praktis untuk menentukan bagaimanakah perilaku manusia dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi. Pandangan yang tidak berbeda tentang perilaku organisasi diungkapkan oleh Davis dan Newstrom (1989) yang menyatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang mempelajari dan mengaplikasikan pengetahuan tentang bagaimana manusia berperilaku atau bertindak di dalam organisasi. Demikian juga yang diungkapkan oleh Muchlas yang juga sejalan dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Muchlas (2005:12) menyatakan perilaku organisasi mempelajari apa saja yang dikerjakan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku atau tindakan itu bisa mempengaruhi penampilan organisasi. Selanjutnya, perilaku organisasi dalam arti luas mengkaji hubungan antar manusia, kelompok, organisasi dan sistem sosial, sedangkan Thoha (2008:197) menyatakan bahwa perilaku organisasi pada hakekatnya mendasarkan pada ilmu perilaku itu sendiri yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam suatu organisasi. Selanjutnya, Davis dan Newstom (1985: 5) menyatakan pendapatnya bahwa perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan pengetahuan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi. Ia juga menegaskan bahwa unsur-unsur pokok perilaku organisasi yaitu orang, struktur, teknologi dan lingkungan tempat organisasi beroperasi. Pendapat Davis dan Newstom serta ahli lainnya seperti yang telah diungkapkan makin mempertegas bahwa perilaku organisasi tidak dapat melepaskan diri dari perilaku manusia sebagai anggota organisasi atau mereka yang bukan anggota organisasi. Perilaku organisasi dapat mempelajari perilaku perorangan, kelompok dan struktur seperti pandangan Robbins dan Scenmerhorn. Scenmerhorn et al., (1991: 6) menyatakan bahwa organizational behavior is the study of individuals and groups in organizations, sedangkan Robbins (2003: 10-11) menegaskan bahwa perilaku organisasi mempelajari tiga determinan perilaku dalam organisasi yaitu perorangan (individu), kelompok dan struktur. Di samping itu, perilaku organisasi menerapkan pengetahuan yang diperoleh mengenai perorangan, kelompok dan efek dari struktur pada perilaku, agar organisasi bekerja lebih efektif. Perilaku organisasi 63 Teori Perilaku Organisasi Publik ialah studi mengenai (memperhatikan) apa yang dilakukan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi. Oleh karena itu, Muchlas (2005:12) menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak terjadi secara kebetulan, tetapi muncul karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dalam psikologi ditemukan bahwa setiap perilaku pasti mempunyai alasan-alasan yang umumnya berhubungan dengan kebutuhan manusia. Pertimbangan perilaku individu atau kelompok dalam berbagai literatur selalu berhubungan dengan kebutuhan atau kepentingan. Kebutuhan atau kepentingan tersebut ada yang bersifat subjektif (berhubungan dengan diri atau kelompoknya) dan ada yang objektif yaitu sesuai dengan kebutuhan publik atau masyarakat. Dalam praktek, kedua kebutuhan tersebut (subjektif dan objektif) dapat diperjuangkan sekaligus dan keduanya sangat penting. Perbedaan dalam memperjuangkan kepentingan tersebut terletak pada bobotnya. Ada yang menekankan kebutuhan objektif, ada yang menekankan kebutuhan subjektif dan atau keduanya seimbang. Ada pula pandangan bahwa setiap perilaku manusia selalu dilandasi oleh kepentingan-kepentingan. Hal ini bermakna bahwa untuk menggerakkan atau memperoleh dukungan anggota organisasi wajib memahami perilaku anggota organisasi. Berpijak pada teori perilaku organisasi, dengan mudah kita bisa mengetahui dan menganalisis perilaku manusia yang ada di sekitar kita, di kantor, di pasar serta dimanapun. Mengapa ada laki-laki yang masih bujangan berperilaku suka menolong gadis-gadis? Teori perilaku berpandangan bahwa setiap perilaku seseorang tidak timbul dengan sendirinya, tetapi ada motif didalamnya. Motif perilaku selalu berkaitan dengan kepentingan, tujuan atau kebutuhannya. Untuk itu, perilaku bujangan yang suka membantu gadis-gadis karena ada kepentingan atau kebutuhan seperti ia berharap dapat pacar, ia berharap dikenal sebagai laki-laki yang baik dan suka membantu ataupun motif lainnya. Analisis ini sebagai contoh saja. Sungguhpun begitu, apabila contoh ini diperhatikan dengan baik maka mahasiswa atau pembaca buku lainnya akan tahu dengan persis isi teori perilaku organisasi dan tahu dengan persis bagaimana menggunakan teori ini untuk menganalisis perilaku manusia dalam organisasi. Maslow. (1943)., dalam bukunya Theory of Human Motivation., menegaskan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan yaitu: (1) Kebutuhan Fisiologis (Sandang/pakaian, pangan/makanan, papan/rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain kebutuhan yang berhubungan dengan fisik), (2) Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan (Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya), (3) Kebutuhan Sosial (memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain) (4) Kebutuhan Penghargaan (pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya), serta (5) Kebutuhan Aktualisasi Diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuai dengan bakat dan minatnya (seperti 64 Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikannya akan suatu hal). Kebutuhan manusia sebagaimana dijelaskan oleh Maslow merupakan kebutuhan yang membentuk tingkatan-tingkatan atau memiliki hierarki dari yang paling penting hingga menurun nilai pentingnya dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk mewujudkannya. Pemenuhan berbagai tingkatan kebutuhan manusia yang diungkapkan oleh Maslow menjadi faktor pendorong munculnya motivasi dan perilaku tertentu. Untuk itu, perilaku anggota organisasi (unsur bawahan maupun atasan) juga dapat dijelaskan dengan mempergunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan manusia. Abcanian dan Masannat (1970:124) menegaskan bahwa persons of higher socioeconomic status (SES), such as businessmen and professionals, are more involved ini political opinions. Poor information and no-voting are closely associated with low SES levels, while the converses is true at higher SES levels. Jadi, kondisi sosial ekonomi mempunyai pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku seseorang. Selain itu, kelas dan status seseorang sangat ditentukan oleh pekerjaan dan penghasilan. Ada pula pandangan bahwa setiap perilaku manusia selalu dilandasi oleh kepentingan-kepentingan. Hal ini bermakna bahwa untuk menggerakkan atau memperoleh dukungan anggota organisasi wajib memahami perilaku anggota organisasi. Oleh karena itu, mempelajari perilaku organisasi tidak terlepas dari perilaku manusia di dalamnya. Muchlas (2005:30-31) menyatakan bahwa filosofi perilaku organisasi selalu mempertimbangkan dua premis yaitu premis kenyataan dan premis nilai. Premis kenyataan berisi pandangan deskriptif tentang perilaku dunia dari hasil penelitian ilmu perilaku dan pengalaman-pengalaman, sedangkan premis nilai mewakili pandangan tentang sesuatu yang lebih disenangi dari sasaran tertentu. Lebih tegas Winardi (1989: 140), Hersey (1995:15) berpandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Pandangan ini dapat mengilhami setiap orang yang membacanya bahwa setiap perilaku manusia secara individu maupun sebagai anggota organisasi serta perilaku sosial, selalu diarahkan untuk mencapai atau mewujudkan tujuan yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Hersey (1995:16) juga menyatakan bahwa untuk memahami atau memperkirakan perilaku manusia dapat tercermin atau terlihat melalui aktivitas-aktivitasnya, perlu diketahui motif atau kebutuhan seseorang, yang menimbulkan suatu aktivitas, sedangkan motif adalah ikhwal “mengapanya perilaku. Selanjutnya, Hersey (1995:16) berpendapat bahwa motif dianggap sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan atau gerak hati dalam diri seseorang. Menurut esensinya, motif merupakan dorongan utama aktivitas manusia. Dengan pemahaman yang demikian, setiap perilaku manusia dapat diketahui dari aktivitas-aktivitas yang dilakukannya. Di sisi lain, perilaku manusia tidak muncul dengan sendirinya, tetapi selalu dimotivasi dan memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti tujuan, kebutuhan, keinginan atau harapan, sikap dan kepentingan 65 Teori Perilaku Organisasi Publik mereka. Selain itu, pengaruh penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang menurut Ndraha (1997:36) terkait dengan kemampuan, kebutuhan, cara berpikir untuk menentukan pilihan, pengalaman dan reaksi terhadap sesuatu. Senada dengan pendapat Hersey sebagaimana yang ditegaskan oleh Ndraha (1997:33) yang menyatakan bahwa perilaku (behavior) adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap sesuatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi, atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian. Beberapa pendapat yang telah diungkap semakin mempertegas bahwa untuk memahami perilaku organisasi dapat dilihat dari sikap seseorang dan aktivitasaktivitas yang dilakukannya. Sikap dan aktivitas yang mencerminkan perilaku tidak akan terlepas dari dorongan akan adanya kebutuhan, keinginan atau harapan dan kepentingan, cara berpikir untuk menentukan pilihan, pengalaman dan reaksi mereka terhadap sesuatu (situasi dan kondisi lingkungan). Thoha (2002:184) menyatakan bahwa perilaku merupakan suatu fungsi dari interaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya, dan mempunyai kandungan pengertian bahwa perilaku seseorang itu tidak hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan ditentukan sampai seberapa jauh interaksi antara dirinya dengan lingkungannya, sekaligus merumuskan formula perilaku individu dengan lingkungannya sebebagai berikut: P = f (I,L) P = Perilaku F = fungsi I = Individu L = Lingkungan Gambar 5.1: Interaksi Individu Dengan Lingkungan Sumber: Thoha, Perspektif Perilaku Birokrasi, 2002:184 Formula yang telah diungkapkan menurut Thoha bermakna bahwa perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungan. Dengan kondisi lingkungan yang berbeda, akan menimbulkan pengaruh yang berbeda terhadap perilaku. Formula ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengamati dan menganalisis perilaku anggota organisasi. Perilaku organisasi berdasarkan formula tersebut merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Selanjutnya, 66 Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi perilaku individu yang ditujukan kepada kelompok akan melahirkan perilaku sosial, yang terwujud melalui interaksi individu dengan kelompok yang dalam dunia akademis menjadi kajian Psikologi Sosial, perilaku organisasi dan atau birokrasi pemerintahan. 5.2 TEORI PERILAKU BIROKRASI Kajian tentang perilaku organisasi oleh banyak ahli dianggap lebih luas cakupannya dibandingkan dengan perilaku birokrasi atau organisasi publik. Dengan pernyataan lain, perilaku birokrasi merupakan bagian dari perilaku organisasi. Jadi, organisasi dalam kajian ini bisa berlaku untuk organisasi pemerintah dan non pemerintah, sedangkan birokrasi lebih dipahami sebagai kajian tentang organisasi pemerintahan atau publik. Sungguhpun ada perbedaan yang signifikan antar keduanya, tetapi banyak ahli yang silih berganti menggunakan istilah perilaku organisasi atau birokrasi atau ia kadang-kadang menyebut perilaku organisasi dan kadang menyebut perilaku birokrasi atau organisasi publik. Oleh karena tulisan ini berkaitan dengan organisasi publik atau pemerintahan maka dasar teori yang dipergunakan adalah perilaku birokrasi, dengan tetap meminjam teori perilaku organisasi. Perilaku sumber daya aparatur pemerintah atau mereka yang bekerja di birokrasi pemerintahan, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masih sering mendapat sorotan dan kritik publik, terutama pada saat mereka kurang berhasil memenuhi harapan publik. Kritik dan sorotan publik di Indonesia makin terasa gencar atau meningkat tajam frekuensinya, setelah berbagai media cetak maupun elektronik juga memberikan dukungan dalam wujud mempublikasikan kritik dan sorotan publik. Kedua hal tersebut semakin mendapat soroton publik apabila media sosial juga gencar mengkritisi. Saking dahsatnya penggunaan media sosial maka media sosial menjadi media penekan ataupun pendukung yang sangat diperhitungkan. Realitas ini dengan mudah dapat didengar, disaksikan dan dibaca setiap harinya di berbagai media massa dan media sosial, setelah bangsa ini memasuki era reformasi. Sorotan dan kritik juga banyak yang ditujukan pada aktor atau elit birokrasi karena sebagian mereka masih dianggap kurang melibatkan dan kurang berpihak ke publik. Dalam praktek birokrasi pemerintahan masih banyak ditemukan patologi birokrasi atau penyakit birokrasi atau penyimpangan birokrasi (disfunction of bureaucracy). Siagian (1995: 92-99) menyatakan bahwa patologi atau penyakit birokrasi terdiri dari: (1) Bertindak sewenang-wenang, (2) Pura-pura sibuk , (3) Paksaan, (4) Konspirasi, (5) Sikap takut, (6) Penurunan mutu, (7) Tidak sopan, (8) Diskriminasi, (9) cara kerja yang legalistik, (10) Dramatisasi, (11) Sulit dijangkau, (12) sikap tidak acuh, (13) tidak disiplin, (14) Inersia, (15) Sikap kaku, (16) Tidak berperikemaunusiaan, (17) Tidak Peka, (18) Sikap Tidak sopan, (19) sikap lunak, (20) tidak peduli mutu kerja, (21) salah tindak, (22) semangat yang salah tempat, (23) Negativisme, (24) Melalaikan 67 Teori Perilaku Organisasi Publik tugas, (25) Rasa tanggung jawab yang rendah, (26) Lesu darah, (27) Paperasserie, (28) Melaksanakan kegiatan yang tidak relevan, (29) Cara kerja yang berbelit-belit (redtape), (30) Kerahasian, (31) Mengutamakan kepentingan sendiri, (32) Sabotisme, (33) Sycophancy, (34) Tampering, (35) Imperatif Wilayah kekuasaan, (36) Tokenisme, (37) tidak professional, (38) sikap tidak wajar, (39) melampui wewenang, (40) Vested interst, (41) Petentangan kepentingan dan (42) Pemborosan. Memang pandangan Siagian tersebut sudah lama diungkapkan, tetapi realitas birokrasi di Indonesia masih sangat relevan untuk ditelusuri melalui pendapatnya. Untuk itu, perubahan perilaku birokrat mau tidak mau harus dilakukan karena dewasa ini ada perubahan budaya (culture change) dan perubahan pola pikir (mind set) dalam berbagai aspek kehidupan. Perubahan dalam hal ini dipicu oleh adanya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi penting dan harus terus-menerus dilakukan karena dalam praktek masih terjadi patologi birokrasi. Penyakit ini sudah ada sejak jaman kerajaan, masa penjajahan, masa awal kemerdekaan dan perjungan fisik sampai masa reformasi dewasa ini. Dalam masa kerajaan, sistem birokrasi dikembangkan sesuai dengan kebutuhan raja (the king assessment). Arif Saiful (2006), Dwiyanto (2006) dan Sedarmayanti (2009) menegaskan bahwa ciri-ciri birokrasi masa kerajaan: (1) Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi, (2) Administrasi adalah perluasan rumah tangga istana, (3) Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi raja, (4) Gaji para pegawai adalah kewenangan raja, jadi pegawai mendapat gaji atau tidak adalah kehendak raja, (5) Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat. Selanjutnya para pejabat lokal dalam urusan birokrasi seperti raja-raja kecil. Tindakan apapun tidak akan mendapat sanksi raja, sepanjang mereka tetap loyal kepada raja seperti tetap mengirim upeti atau pajak secara teratur. Perilaku birokrat di masa kerajaan seperti yang telah diungkapkan tetap dipertahankan di masa penjajahan. Birokrasi masa penjajahan secara substansial tidak berbeda dengan masa kerajaan. Corak birokrasi dalam hubungannya dengan publik menurut Arief Saiful (2006: 117-118) dapat dirinci sebagai berikut: (1) Sentralisasi kekuasaan dalam birokrasi masih tetap dominan dalam praktek penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, (2) Keputusan dan kebijakan publik tidak pernah bergeser dari penggunaan pola topdown, (3) Kecenderungan semakin tingginya peran pemerintah pusat dalam proses formulasi kebijakan. Hal demikian masih sangat mewarnai sistem pemerintahan yang terbentuk. Kondisi demikian ditandai dengan beberapa hal yaitu: (a) Mandulnya inisiatif dan peran dari birokrasi pemerintahan lokal. Semua berasal dari pemerintah pusat, (b) Hierarki kekuasaan sangat dominan pada semua tingkat, (c) Semua unit-unit yang ada dalam birokrasi di daerah secara formal bertanggung jawab kepada puncak birokrasi yaitu Gubernur Jenderal Belanda, (4) Stuktur birokrasi ramping, tetapi efisien yang ditopang oleh kekuatan militer yang kuat dan profesional. 68 Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi Selanjutnya birokrasi di masa Orde Lama makin pelik lagi problemnya. Pengaturan birokrasi sangat dipengaruhi oleh perbedaan bentuk negara (Kesatuan atau federal) yang masih menjadi polemik, ancaman disintegrasi dan keutuhan aparatur negara. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan): (1995) menegaskan bahwa ada 2 persoalan dilematis seputar birokrasi. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Indonesia dari penjajahan, tetapi dalam satu sisi mereka tidak memiliki keahlian dan pengalaman dalam bekerja. Kedua, bagaimana menempatkan mantan para pegawai yang telah bekerja saat pemerintahan kolonial Belanda, yang mana mereka mempunyai keahlian dan keterampilan dalam bekerja, akan tetapi mereka dinilai telah berkhianat kepada Indonesia. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa peran sumber daya aparatur pemerintah dalam beberapa aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum, termasuk kebijakan anggaran juga sangat besar, memiliki posisi yang menentukan dan strategis. Mereka bukan hanya sebagai pemikir dan perencana, melainkan juga sebagai pelaksana, pemberi motivator, pengawas pembangunan dan penentu sukses tidaknya pembangunan dalam rangka memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negara. Peran besar, penentu dan strategis dari sumber daya aparatur pemerintahan juga sangat terlibat pada formulasi kebijakan anggaran. Dalam proses formulasi kebijakan tersebut, ada perilaku birokrasi pemerintahan yang dapat diamati dan dianalisis. Oleh karena itu, birokrasi yang harus diciptakan adalah birokrasi yang terbuka, profesional dan akuntabel. Birokrasi yang dapat memicu pemberdayaan masyarakat, dan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi. Birokrasi demikian dapat terwujud apabila terbentuk suatu sistem di mana terjadi mekanisme birokrasi yang efisien dan efektif dengan menjaga sinergi yang konstruktif di antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Untuk sampai kepada harapan tersebut maka pembangunan birokrasi harus berangkat dari titik yang sama. Titik tersebut terkait dengan pilihan untuk membangun birokrasi yang harus dimulai dari elit birokrasi, elit legislatif atau elit yudikatif. Pembangunan birokrasi juga bisa berlangsung bersamaan di ketiga elit tersebut. Pilihan fokus kepada elit penting karena kelompok ini mempunyai pengaruh yang besar dan menentukan di masyarakat. Banyak pakar sosiologi yang menegaskan bahwa masyarakat Indonesia lebih bersifat paternalistik. Masyarakat demikian membetuk pola hubungan yang dalam sosiologi dikenal sebagai pola patron-klien. Patron mewakili kelompok elit, aktor, tokoh, pemimpin, sedangkan klien mewakil masyarakat bawah, pengikut atau bukan aktor dan elit. Kelas elit sebagai penentu, sedangkan klien sebagai pengikut. Untuk itu, apa yang dilakukan oleh kelas elit dengan mudah akan ditiru dan diikuti kelas bawah. Jika elit berperilaku korup maka kelas bawah menjadi tidak percaya atau menjadi ikut-ikutan dengan yang di atas. 69 Teori Perilaku Organisasi Publik Dalam rancangan induk reformasi birokrasi pemerintahan tahun 2005 – 2025 yang dirumuskan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), reformasi birokrasi (RB) memiliki visi terwujudnya pemerintahan negara yang baik (Good Governance). Untuk mewujudkan visi tersebut, dirumuskan misi untuk mewujudkan birokrasi yang bersih, profesional, transparan dan akuntabel dalam merumuskan kebijakan pemerintah, melayani dan memberdayakan masyarakat, dengan sasaran reformasi birokrasi yang mencakup: (1) menciptakan birokrasi yang bersih, (2) birokrasi yang efisien, (3) birokrasi yang transparan, (4) birokrasi yang melayani dan (5) birokrasi yang terdesentralisasi. Berdasarkan rancangan ini maka reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara terus-menerus dan konsisten, sehingga hasil dan kemajuan reformasi dapat dinilai dan diukur keberhasilannya, sekaligus tujuan reformasi dapat diwujudkan. Kristiadi (2009: 2) menegaskan bahwa tujuan praktis reformasi birokrasi adalah menjadikan Instansi Pemerintah sebagai organisasi yang: (1) Memiliki kinerja tinggi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, (2) Efektif, efisien, akuntable, dan terukur, (3) Bersih, disiplin dan memiliki sumber daya manusia yang beretos kerja baik, (4) Responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat, (5) Professional dan berbudaya melayani. Dalam dunia akademis, reformasi birokrasi dapat dikelompokan menjadi reformasi fisik atau organisasi atau Lembaga atau struktur dan reformasi budaya (mental) atau Minset, yang terlihat pada perilaku birokrat. Perilaku birokrat dapat dijelaskan dari teori psikologi, psikologi sosial dan teori perilaku organisasi atau teori perilaku birokrasi pemerintahan, sebagaimana telah dijelaskan. Selain itu, perkembangan kajian perilaku juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu lain, seperti Sosiologi, Antropologi dan Psikologi. Selain itu, setiap perilaku dalam birokrasi pemerintahan atau organisasi, ada faktorfaktor yang turut berperan didalamnya. Pandangan menarik berikutnya seperti yang didiskusikan oleh Marx dan Hegel. Salah satu yang dapat dicatat bahwa birokrasi merupakan instrument yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelaskelas sosial lainnya. Diskusi selengkapnya seperti yang disarikan oleh Thoha. Thoha (2005: 22-23) merangkum perbedaan dan perdebatan antara Marx dan Hegel: Hegel berpandangan bahwa birokrasi merupakan jembatan antara Negara dan rakyat. Rakyat terdiri dari kelompok-kelompok profesional, usahawan dan kelompok-kelompok tertentu yang mewakili kepentingan particular (khusus), sedangkan Negara mewakili kepentingan umum (the general interst). Di antara keduanya, birokrasi pemerintah merupakan medium yang bisa dipergunakan untuk menghubungkan kepentingnan khusus tersebut dengan kepentingan general (umum). Marx sendiri berbeda dengan Hegel. Marx berpandangan bahwa birokrasi tidak mewakili publik, tetapi mewakili diri sendiri. Negara bukan mewakili kepentingan umum. Tidak ada kepentingan umum (general) itu, yang ada adalah kepentingan particular mendominasi kepentingan 70 Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi particular lainnya. Kepentingan particular yang memenangkan perjuangan kelas menjadi kelas yang dominan dan berkuasa. Birokrasi adalah Negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrument yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Birokrasi memihak kepada kelas partikuler yang mendominasi tersebut. Berpijak dari beberapa penjelasan yang telah diungkapkan maka kita dapat mempelajari perilaku birokrasi tidak akan dapat melepaskan diri dari perilaku manusia di dalamnya. Thoha (2008:198) menegaskan bahwa secara tradisional, birokrat memahami dimensi manusia dalam organisasi didekati dari asumsi-asumsi ekonomi, sekuriti, produktivitas, efektivitas dan efisiensi. Selanjutnya, analisis perilaku organisasi dapat dianalisis dari 3 tingkatan yaitu analisis pada tingkat individu, tingkat kelompok dan tingkat organisasi. Birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Pandangan ini dalam praktek dapat diaplikasikan dan salah satu contohnya dalam formulasi kebijakan perencanaan pembangunan dan anggaran yang banyak didominasi oleh pendekatan dari atas (pejabat birokrasi). Menurut pandangan Rasyid (1999: 4) bahwa birokrasi merupakan pihak yang paling aktif dalam kegiatan pengelolaan kekuasaan negara sehari-hari. Selanjutnya Ndraha (2003: 521) menyatakan bahwa birokrasi pemerintahan didefinisikan sebagai struktur pemerintahan yang berfungsi memproduksi jasa publik atau layanan civil tertentu berdasarkan kebijakan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan pilihan dari lingkungan, sedangkan Abdullah (1991: 17) menegaskan bahwa ada beberapa karakteristik birokrasi yang melekat pada tubuh pemerintahan Indonesia yaitu: (1) Aparatur Negara (terutama aparatur pemerintah) masih belum efisien dan efektif, (2) Telah dilaksanakan debirokratisasi dan deregulasi, namun beberapa fungsi, misalnya perijinan masih berbelit-belit, (3) Koordinasi, integritas dan sinkronisasi antara aparat pemerintah terutama dalam perumusan politik pemerintah (public policy) masih sangat lemah, (4) Selain korupsi dan nepotisme, masih terjadi pemborosan keuangan Negara karena kekurang mampuan pejabat (Pegawai Negeri) dan belum berkembangnya profesionalisme (5) Sistem karier dengan sistem prestasi juga belum mapan, (6) Aparat pemerintah masih terlalu sentralisasi, (7) Jumlah pegawai negeri sipil yang besar. Beberapa karakteristik birokrasi yang masih banyak ditemukan antara lain sentralisasi masih kuat, terutama yang terkait dengan kebijakan publik, koordinasi, integritas dan sinkronisasi antara aparat pemerintah masih lemah, belum efisien dan efektif serta belum profesionalisme. Sentralisasi yang kuat akan menyulitkan partisipasi publik, koordinasi menjadi penyakit abadi birokrasi dan profesionalisme yang belum berkembang. Thoha (2002:184) menyatakan bahwa hakekat perilaku birokrasi merupakan hasil interaksi antara individu-individu dengan organisasinya. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku birokrasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu 71 Teori Perilaku Organisasi Publik individu-individu sebagai pendukung organisasi tersebut. Individu membawa ke dalam tatanan birokrasi, kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan pengalamanan masa lalunya. Ini semua merupakan karakteristik individu dan karakteristik ini akan dibawa olehnya manakala individu tersebut akan memasuki suatu lingkungan baru, semisal birokrasi atau oragnisasi. Berpijak pada beberapa permasalahan tentang birokrasi maka Ngusmanto (2015: 110) menegaskan bahwa ada beberapa argumentasi atau alasan penting mengapa reformasi birokrasi perlu mendapat prioritas utama, yaitu: (1) Kemampuan birokrasi dalam menyelenggarakan pembangunan masih kurang memadahi; (2) Netralitas birokrasi belum terbangun, sehingga birokrasi dalam realita cenderung berorientasi kepada yang kuat (mengabdi kepada penguasa) atau mudah ditariktarik atau digoda oleh kelompok elit yang berkuasa; (3) Makin kuatnya politik transaksi dalam birokrasi, sehingga kondisi ini makin menyulitkan upaya mewujudkan clean and good government; (4) Unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi, sehingga birokrasi sering kali menjadi tidak berdaya atau dijadikan alat; (5) Birokrasi sangat lamban dan ada kecenderungan makin bertambah birokratik; (6) Belum diterapkannya prinsif ramping dalam struktur, tetapi kaya dalam hal fungsi. Praktek yang terjadi malahan menerapkan struktur yang gemuk, tetapi fungsi yang minim, sehingga fenomena yang bermunculan tidak efisien, sulit melakukan perubahan atau penyesuaian atau boros dalam penganggaran; (7) Tumbuhnya organisasi baru dengan tugas dan fungsi yang overlapping dengan organisasi yang sudah ada serta masih banyak masalah lainnya. Hal demikian juga bermakna bahwa birokrasi pemerintah belum tepat fungsi dan ukuran (right sizing). Di sisi lain, struktur birokrasi gemuk atau gendut, sehingga kondisi ini akan memunculkan penyakit seperti lamban, menimbulkan rantai atau prosedur yang panjang dan makin menjamurnya KKN. Atas dasar permasalahan yang ada dalam birokrasi dan tahapan kemajuan reformasi yang telah dilakukan pemerintah maka tujuan reformasi birokrasi di Indonesia yang dirumuskan oleh kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) dalam Ngusmanto (2015: 111) adalah menciptakan birokrasi yang profesional, dengan karakteristik: a. b. c. d. e. 72 Berintegritas tinggi Berkinerja tinggi Bebas dan bersih dari KKN Mampu melayani publik Netral Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi f. Sejahtera g. Berdedikasi h. Memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara Berpijak pada beberapa argumentasi permasalahan birokrasi yang telah dijelaskan maka Ngusmanto (2015: 111) menegaskan bahwa pembangunan atau perbaikan birokrasi harus dapat mewujudkan: (1) (2) (3) (4) Birokrasi yang memiliki struktur yang ramping, tetapi kaya akan fungsi Birokrasi yang bersih dan berkualitas; Birokrasi yang transparan (terbuka), profesional dan akuntabel; Birokrasi yang dapat memberdayakan dan menumbuhkan partipasipasi masyarakat (5) Birokrasi yang efisien (6) Birokrasi yang berbudaya melayani (7) Birokrasi yang terdesentralisasi (8) Birokrasi yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan tugas dan fungsi umum dan pembangunan (9) Birokrasi yang responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat Hal penting berikutnya terkait dengan teori perilaku birokrasi. Muchlas (2005:12) menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak terjadi secara kebetulan, tetapi muncul karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Dalam psikologi ditemukan bahwa setiap perilaku pasti mempunyai alasan-alasan yang umumnya berhubungan dengan kebutuhan manusia. Selanjutnya, Winardi (1992: 140), Hersey dan Balnchard (1995:15) berpandangan bahwa perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Pandangan ini dapat mengilhami setiap orang yang membacanya bahwa setiap perilaku manusia secara individu maupun sebagai anggota organisasi atau birokrasi pemerintahan serta perilaku sosial, selalu diarahkan untuk mencapai atau mewujudkan tujuan yang telah mereka tetapkan sebelumnya. Hersey (1995:16) juga menyatakan bahwa untuk memahami atau memperkirakan perilaku manusia dapat tercermin atau terlihat melalui aktivitas-aktivitasnya, perlu diketahui motif atau kebutuhan seseorang, yang menimbulkan suatu aktivitas, sedangkan motif adalah ikhwal “mengapanya perilaku. Selanjutnya, Hersey (1995:16) berpendapat bahwa motif dianggap sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan atau gerak hati dalam diri seseorang. Menurut esensinya, motif merupakan dorongan utama aktivitas manusia. Pertimbanan lain yang sangat penting untuk memahami perilaku sesuai pendapat Nadler (Dalam Thoha, 2003: 37-47) adalah ada sejumlah prinsip dasar yang membentuk sifat manusia dan menentukan kenapa ada perbedaan dalam berperilaku. Prinsip tersebut yaitu: a. Manusia berbeda perilakunya karena kemampuannya tidak sama 73 Teori Perilaku Organisasi Publik b. Manusia memiliki kebutuhan yang berbeda c. Orang berpikir tentang masa depan dan membuat pilihan tentang bagaimana bertindak d. Seseorang memahami lingkungannya dalam hubungannya dengan pengalaman masa lalu dan kebutuhannya e. Orang mempunyai reaksi-reaksi senang atau tidak senang (afektif) Sejumlah prinsif yang telah diungkapkan dan berpengaruh besar terhadap perilaku birokrasi tersebut tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan ada faktor yang pendorongnya. Faktor pendorong terjadinya perilaku birokrasi sangat berkaitan dengan kebutuhan atau kepentingan manusia. Dalam kaitannya dengan kebutuhan maka Maslow (1943) dalam bukunya Theory of Human Motivation menegaskan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan yaitu: (1) Kebutuhan Fisiologis (Sandang/ pakaian, pangan/makanan, papan/rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain kebutuhan yang berhubungan dengan fisik), (2) Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan (Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan lain sebagainya), (3) Kebutuhan Sosial (memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lainlain) (4) Kebutuhan Penghargaan (pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya), serta (5) Kebutuhan Aktualisasi Diri adalah kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuai dengan bakat dan minatnya (seperti mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikannya akan suatu hal). Penulis tegaskan lagi bahwa berpijak pada teori perilaku birokrasi yang telah diungkapkan maka perilaku birokrasi tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan setiap perilaku pasti mempunyai alasan atau kepentingan dan motif di dalamnya. Pertimbangan utama berkaitan dengan kebutuhan atau kepentingannya. Muchlas (2005) dan Thoha (2008) menegaskan bahwa inti teori perilaku birokrasi menganalisis tentang perilaku seseorang dan alasannya. Jadi, perilaku seseorang tidak muncul secara tiba-tiba atau secara kebetulan, melainkan memiliki motif atau alasan tetentu. Dengan meminjam teori ini, kita dapat menganalisis dan mengetahui perilaku pejabat negara atau publik, pejabat birokrasi, pimpinan dan anggota DPR/DPRD, politisi, dosen, mahasiswa dan atau boleh perilaku siapa saja. Salah satu contoh aplikasi teori perilaku birokrasi dapat diperhatikan penjelasan berikut. Dalam beberapa bulan terakhir, kita disuguhi oleh banyak kebijakan pemerintah yang dapat memberatkan masyarakat alias belum pro rakyat. Seperti membangun infrastruktur, tetapi sumber utama pembiayaan berasal dari utang, menghapus dana bantuan sosial, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, kenaikan iuran BPJS, Harga tiket sejumlah kereta api (KA) kelas ekonomi dinaikkan, kenaikan Tarif dasar Listrik, masuknya tenaga kerja asing di satu sisi dan di sisi lain, pengangguran dalam negeri 74 Bab 5 – Teori Perilaku Organisasi Dan Birokrasi tinggi, LPG 5,5 kg (tidak ada subsidi) didorong dapat menekan LPG 3 kg (bersubsidi), produk baru bahan bakar minyak pertalite terus ditingkatkan pasokannya, sedangkan jenis premium dikurangi dan Kenaikan tarif baru STNK dan BPKB yang mulai berlaku sejak 6 Januari 2017. Tarif dasar listrik terpaksa naik karena harga jual selama ini belum memenuhi nilai keekonomian atau PLN rugi terus jika harga tetap rendah, sehingga hutangnya makin membengkak. Oleh karena itu, kebijakan instannya (mudahnya), tarif dasar listrik wajib dinaikkan secara berkelanjutan (setiap dua bulan atau secara berkala). Alasan penting berikutnya, rakyat juga harus diberi pembelajaran untuk hidup hemat listrik dan bahkan tidak tergantung terus-menerus dengan subsidi listrik. Inilah argumentasi pengambil kebijakan dan publik diharapkan dapat memahami dan menerimanya. Naik sih boleh-boleh saja. Persoalannya adalah jangan naik secara berkelanjutan atau berkala setiap 2 -3 bulan sekali, sehingga masyarakat ada kesempatan untuk bernapas atau dapat mengatur biaya hidup, untuk mengatasi harga barang yang semuanya berlomba-lomba naik. Bagaimana dengan produk baru LPG 5,5 kg dan bahan bakar pertalite. Kebijakan ini tidak banyak dipersoalkan publik karena banyak diantara mereka yang belum mencermati dan bahkan tidak tahu. Kebijakan LPG 5,5 kg menurut pengambil kebijakan untuk menghindari penyelewengan elpiji 3 kg di lapangan atau menekan subsidi yang salah sasaran. Selama ini banyak pengguna LPG 3 kg yang sebenarnya bukan haknya. Untuk menarik konsumen pengguna tabung LPG 3 kg dan dapat segera berlalih ke tabung LPG 5,5 kg maka pengambil kebijakan menawarkan kepada mereka untuk tukar langsung tabung LPG 3 kg dengan 5,5 kg tanpa tambahan biaya. Memang di masa awal kebijakan, pemerintah (Pertamina) akan merugi, tetapi hanya sekali dan setelah itu beban subsidi akan berkurang dan bahkan negara bisa terbebas dari beban subsidi serta mendapat keuntungan yang besar tanpa ada demo, protes dan kemarahan publik. Kebijakan kenaikan tarif baru STNK dan BPKB yang mulai berlaku efektif 6 Januari 2017 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB). Besaran kenaikan biaya kepengurusan surat-surat kendaraan ini naik dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan tarif lama. Untuk penerbitan STNK roda dua maupun roda tiga, pada peraturan lama hanya membayar Rp 50.000, peraturan baru membuat tarif menjadi Rp 100.000. Untuk roda empat, dari Rp 75.000 menjadi Rp 200.000. Kenaikan cukup besar terjadi pada penerbitan BPKB baru dan ganti kepemilikan (mutasi). Roda dua dan tiga yang sebelumya dikenakan biaya Rp 80.000, dengan peraturan baru ini, akan menjadi Rp 225.000. Roda empat yang sebelumnya Rp 100.000 kini dikenakan biaya Rp 375.000 atau meningkat tiga kali lipat. Naiknya kelewatan besar dan tentu sangat membebani kehidupan masyarakat menengah ke bawah. 75 Teori Perilaku Organisasi Publik Kebijakan yang dijadikan contoh di atas mengesankan tidak ada masalah bagi pejabat dan orang-orang berduwit atau kelas atas. Berbeda halnya bagi mereka yang kritis dan pro publik. Mereka akan bilang ini contoh kebijakan tidak fair atau akalakalan pemerintah. Mengapa demikian? Karena kebijakan ini kurang transparan dan sangat memberatkan beban keuangan rakyat menengah ke bawah. Premium yang sampai sekarang masih dinikmati oleh masyarakat, telah lama tidak ada subsidi atau sudah sesuai dengan harga pasar (harga yang menguntungkan Pertamina), tetapi tetap lebih murah dibandingkan pertalite. Persoalan yang sudah muncul, beberapa SPBU di Kota Pontianak tidak lagi menjual premium dan beberapa kali premium habis, sedangkan pertalite selalu tersedia. Kita dengan mudah menduga bahwa pasokan premium dikurangi dan pertalite ditambah. Hal ini bermakna bahwa motif bisnisnya lebih menonjol. Di sisi lain, ada kemungkinan juga pasokan premium terus dikurangi dan bahkan di suatu saat tidak diproduksi. Hal ini juga tidak berbeda dengan pengurangan pasokan LPG 3 kg yang disubsidi dan LPG 5,5 kg diperbanyak. Kebijakan sunyi senyap ini tidak terlalu terlihat, berjalan pelan-pelan tetapi pasti akan mengarah pada penghapusan subsidi. Cara demikian tidak akan menimbulkan demo dan kemarahan publik. Berbeda halnya jika diumumkan secara terbuka bahwa pemerintah akan menghapus premium dan LPG 3 kg. Kebijakan ini pasti akan menimbulkan kemarahan dan demo turun ke jalan. Analisis yang telah diungkap dapat ditegaskan bahwa motif utama pengambil kebijakan untuk mengurangi dan bahkan menghapus subsidi. Selama ini subsidi sangat membebani APBN (keuangan negara) dan negara juga memerlukan uang yang banyak untuk melaksanakan program-programnya. Untuk itu, cara instannya adalah menambah utang, mengurangi atau menghapus subsidi dan kebijakan yang terbaru menaikan pelayanan STNK dan BPKB. Publik dalam hal ini, khususnya kelas menengah ke bawah harus siap-siap tidak mendapat subsidi dan siap-siap menghadapi kehidupan yang makin berat sebagai akibat pelayanan yang makin mahal dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang terus merangkak naik. Semoga analisis ini dapat menjadi pembelajaran bagi siapapun. Jangan semuanya cari mudahnya (instannya). Mental indomie demikian sangat berbahaya bagi bangsa dan negara ke depan. 76 BAB 6 Konflik Dalam Organisasi Publik T opik kajian penting dari perilaku organisasi berikutnya berkaitan dengan pembahasan tentang konflik dalam organisasi. Bahasan ini penting karena konflik dalam organisasi pasti terjadi dan di sisi lain, banyak yang memahami bahwa konflik sebagai sesuatu yang buruk atau bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Pandangan ini ada yang benar, tetapi di sisi lain ada pula yang salah. Untuk memahami konflik dengan benar maka kita harus mempelajari topik ini dengan baik. Oleh karena itu, konflik dalam organisasi publik menjadi salah satu ruang lingkup dari perilaku organisasi publik karena konflik itu sendiri merupakan masalah sehari-hari dan selalu terjadi dalam kehidupan organisasi atau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Agar pemahaman akan konflik menjadi lebih baik maka dalam bab ini akan dibahas tentang: (1) Konsep konflik, (2) Konflik Dalam Organisasi, (3) Teori Konflik dan (4) Resolusi konflik. Penjelasan sub topik yang terpilih ini seperti uraian berikut. 6.1. KONSEP KONFLIK Sebelum memberikan pejelasan pengertian atau konsep atau definisi konflik pada bab ini maka kita akan memulai berbicara konflik dengan mengajukan beberapa pertanyaan awal antara lain: Mengapa kebanyakan orang (Indonesia) belum dapat menerima kehadiran konflik secara wajar dalam kehidupan masyarakat/organisasi? Jawaban pertanyaan ini akan bermacam-macam dan banyak faktor penyebabnya. Selanjutnya kita bisa bertanya juga: Mengapa konflik kita perlukan dalam kehidupan organisasi? 2 (dua) pertanyaan ini akan dijawab dalam bab ini. Hasil penelitian, pengalaman 77 Teori Perilaku Organisasi Publik hidup dan interaksi dengan mahasiswa strata 1 dan 2 tentang jawaban atas pertanyaan: mengapa kebanyakan orang belum siap menerima kehadiran konflik secara wajar? Jawaban dari pertanyaan yang telah diungkap karena ada beberapa sebab/Faktor yang berpengaruh. Faktor yang berpengaruh antara lain: 1. Pengetahuan dan pemahaman seseorang atau banyak orang yang masih kurang atau minim tetang apa itu konflik. Siapapun mereka yang masuk dalam kelompok ini, dengan mudah dapat kita prediksi bahwa kelompok ini tidak siap menerima kehadiran konflik secara wajar dan banyak yang beranggapan bahwa konflik sebagai sesuatu yang buruk dan menolok akan kehadirannya. Banyak yang memahami konflik sebagai sesuatu yang negatif, sama dengan kekerasan, pertikaian dan ancaman-ancaman. Ada pula yang memahami konflik bertentangan dengan perdamaian, keharmonisan, keselarasan dan keserasian. 2. Sebagian dari nilai budaya yang tertanam dalam kehidupan kita belum dapat juga menerima atau anti terhadap kehadiran konflik. Hidup kita akan lebih enjoi dalam situasi dan kondisi yang tenang, tertib, selaras, serasi dan harmonis dan tidak ada konflik. Dalam kehidupan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat muncul pandangan dan larangan jangan ada konflik antara anak dengan orang tua. Anak tidak boleh menentang atau berbeda dengan orang tua. Orang tua sudah kenyang dengan pengalaman. Pendapatnya pasti benar. Orang tua mengajarkan bahwa melawan pendapat orang tua sebagai sesuatu yang dipandang tidak sopan, kurang ajar, tidak tahu adat dan lain-lain. Anak yang baik adalah anak yang selalu menurut orang tua. Murid yang baik adalah murid yang patuh pada guru, tidak melawan dan tidak ribud di dalam dan di luar kelas. Guru yang sukses adalah guru yang dapat menertibkan anak didik. 3. Banyak pemimpin kita yang anti konflik. Ia tidak mau ada perbedaan dengan anak buah; Banyak di antara pemimpin yang memegang prinsip harus selalu menang dalam segala hal terhadap anak buah. Banyak juga diantara mereka yang tidak mau dikritik. Jika ada masukan atau kritik, pemimpin tersebut akan menjawab dengan kata: saya sudah tahu atau saya lebih tahu dari anda, sehingga banyak anak buah menjadi takut memberikan masukan dan bahkan anti pati dengan bosnya. Banyak pandangan bahwa manajer yang sukses adalah manajer yang dapat menciptakan ketenangan dan tidak terjadi gejolak di lingkungan bawahan. 4. Dalam kehidupan organisasi juga muncul pandangan bahwa konflik dipandang negatif, sedangkan keharmonisan dipandang positif. Untuk itu, jangan ada atau terjadi konflik. 5. Situasi kehidupan politik kita dalam jangka waktu yang relatif lama, dengan sengaja menanamkan dan menekankan bahwa stabilitas merupakan indikator keberhasilan dan menjadi kunci sukses pembangunan, sehingga perbedaan dianggap sebagai ancaman bagi organisasi dan manajemen (penguasa). 78 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik 6. Agama (Islam) mengajarkan bahwa setiap perbedaan merupakan rahmatan lil allamiin, tetapi dalam praktek sering kurang dipahami, sehingga setiap muncul perbedaan dianggap lain aliran dan bahkan ada yang memandang bukan kawan, tetapi lawan. Realitas lain juga menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia dari Sabang – Merauke dan sejak kelahirannya merupakan masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat yang majemuk atau heterogin. Dimensi majemuk dalam hal ini berkaitkan dengan banyak etnik (suku bangsa), budaya (adat istiadat dan bahasa), agama dan asal daerah atau diistilahkan multikultur, multietnik, multiagama dan multi asal daerah. Hal ini tidak dapat dipungkiri atau terbantahkan oleh siapapun. Belum lagi kita bicara wilayah Indonesia yang begitu luas atau ada 18.100 pulau dan kepulauan berdasarkan hasil survei terbaru atau meningkat dibandingkan 17.508 pulau dan kepulauan yang selama ini dikenal. Masyarakat dengan karakteristik demikian dikaji dari teori konflik, memiliki potensi konflik yang sangat besar. Potensi tersebut makin bertambah besar apabila ada pemicu dan “tukang kompor”nya. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa konflik pribadi, konflik kecil atau “sepele”, kesalahpahaman informasi yang bersumber dari mulut-kemulut, persoalanpersoalan kecil dengan sengaja dibesar-besarkan atau “didramatisir”, dan munculnya isu-isu liar (hoax) yang bertebaran di internet dalam beberapa kasus, dengan mudah melahirkan kekerasan massa atau “amuk” massa atau kekerasan komunal. Lebih prihatin lagi, situasi ini dengan mudah membakar emosi kelompok apabila dibumbui sentimen primordial, dengan “aroma” SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan), sehingga konflik ini bisa merugikan semua pihak seperti terjadi pembakaran, masyarakat bertindak sewenang-wenang, tawuran antar warga, main hakim sendiri, hak-hak kemanusian (humanis) terabaikan dan “kekisruan etnis”. Beberapa contoh penyebab konflik seperti yang telah dijelaskan merupakan konflik dalam makna yang luas (Berkaitan dengan konflik dalam masyarakat pada umumnya dan konflik dalam organisasi). Selain itu, semua pandangan yang telah diungkapkan ada yang benar dan ada yang salah. Persoalan yang perlu didiskusikan berkaitan dengan kapan pandangan tersebut salah dan kapan pandangan tersebut benar atau dapat diterima? Lantas timbul pertanyaan penting berikutnya: Konflik yang mana, kapan dan seperti apa yang harus kita terima secara wajar dan konflik yang mana yang tidak dapat kita terima atau tidak dapat diberikan toleransi sama sekali? Mana konflik yang fungsional dan mana yang disfungsional? Sehubungan dengan potensi besar adanya konflik seperti yang telah diungkapkan, mudah terjadi dan maraknya konflik di masyarakat di negeri ini yang dengan mudah disaksikan dalam kehidupan kita seharihari, lebih khusus lagi konflik dalam organisasi (banyak kegaduhan), sekaligus untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah diungkapkan maka penjelasan berikut akan diawali dari konsep (definisi) atau pengertian konflik. 79 Teori Perilaku Organisasi Publik Pengertian konflik dalam literatur yang dibaca oleh penulis buku cukup banyak dan beragam. Tadjudin (2000) berusaha mengumpulkan dan mengutip beberapa pengertian tentang konflik antara lain: (1) Thomson (1960) Dalam Rabbins (1990) konflik adalah perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain; (2) Thomas (1976) Konflik adalah proses yang dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lainnya telah menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya; (3) Deutch (1976) Konflik adalah jika ada kegiatan yang tidak cocok dengan kepentingannya Pengertian lain dari Robbins (1993) menegaskan bahwa definisi konflik adalah sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Pengertian lain tentang konflik menurut Fuad dan Maskanah (2000:51) adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumber daya. Berpijak dari definisi-definisi konflik seperti yang telah dingkapkan maka penulis berpendapat tentang pengertian konflik adalah proses hubungan individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antar kelompok yang memiliki perbedaan dan pertentangan dalam hal nilai, kepentingan, persepsi dan pandangan tentang sesuatu. Selanjutnya, Robbins (1993) menggolongkan konflik menurut Intensitasnya, yang dapat dirinci sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau kesalahpahaman Mempertanyakan hal-hal yang berbeda Mengajukan serangan-serangan verbal Mengajukan ancaman/ultimatum Melakukan serangan fisik secara agresif Melakukan upaya merusak atau penghancuran kepada pihak lain Perselisihan yang berkaitan dengan: (a) Tujuan; (b) Status; (c) Nilai dan (d) Persepsi atau kepribadian Pandangan Robbins tentang konflik menurut Intensitasnya dapat ditegaskan bahwa point satu merupakan hal yang tidak sulit untuk diterima secara wajar karena hal ini merupakan bagian dari dinamika kehidupan. Intensitas konflik makin meningkat terus sejalan dengan nomor urutnya sampai pada kekerasan fisik dan konflik jenis inilah yang tidak dapat ditoleransi. Berdasarkan makna konflik dan intensitas konflik maka pertanyaan penting yang perlu dijawab berikutnya adalah konflik mana yang dapat diterima secara wajar dan konflik mana yang tidak dapat ditoleransi. Konflik yang dapat kita terima secara wajar dan mana yang perlu dihindari dapat dijelaskan 80 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik seperti uraian berikut. Konflik dapat diterima secara wajar apabila hanya berhenti pada tataran perbedaan pendapat, tujuan, metode dan nilai, sedangkan konflik perlu dihindari apabila: (1) Telah terjadi pertikaian; (2) Telah terjadi kekerasan fisik; (3) Telah membahayakan kehidupan dan (4) Konflik yang mengarah kepada konflik SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Oleh karena itu, berikut ini dibuat skema atau Gambar 6.1 tentang konflik yang mana bisa diterima secara wajar atau ditolerasi dan konflik mana yang tidak bisa ditolerasi, seperti skema berikut. Belum Ada Konflik Ada Perbedaan 1 2 Pertikaian 3 Kekerasan 4 Gambar 6.1 : Batas tentang Konflik mana yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat ditoleransi Titik 1 (satu) sampai dengan titik nomor 2 (dua) merupakan batas titik konflik yang dapat diterima secara wajar atau dapat ditoleransi, sedangkan titik 3 (tiga) dan 4 (empat) merupakan titik batas konflik yang tidak dapat ditolerasi. Suatu perbedaan, pertentangan, ketidaksetujuan atau tidak cocok dalam hal nilai, tujuan, metode, kekuasaan, status, persepsi, kepentingan dan pendapat inilah batas konflik yang dapat diterima secara wajar, sedangkan pertikaian dan kekerasan fisik merupakan batas konflik yang tidak mendapat tolerasi sama sekali. Pengertian konflik seperti yang telah diungkapkan menegaskan bahwa pemicu dan sumber konflik umumnya bermuara pada adanya perbedaan nilai, tujuan, metode, status, kekuasaan dan kelangkaan sumber daya, tidak cocok, tidak sepaham, tidak kompak, ada gangguan dan bahkan ketidaknyamanan dengan pihak lain. Realitas demikian banyak dijumpai dalam kehidupan manusia dan organisasi publik. Dalam kehidupan kita akan terkait langsung dengan hak dan kewajiban, baik yang diatur oleh 81 Teori Perilaku Organisasi Publik negara atau organisasi publik dan atau norma yang berlaku dalam masyarakat. Untuk memperjuangkan hak dan kewajiban maka setiap orang akan berinteraksi dengan orang lain, sehingga interaksi tersebut akan menimbulkan gesekan, benturan, ketidakcocokan, perbedaan dan atau konflik. 6.2. KONFLIK DALAM ORGANISASI Apabila pengertian konflik yang telah diungkapkan dicermati maka konflik dapat dipastikan selalu hadir atau ada dalam kehidupan kita dan bahkan tidak dapat dihindari, baik konflik yang terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat, organisasi, aparatur negara dan bangsa serta antar bangsa. Kita juga dapat menyaksikan bahwa konflik yang selalu terjadi, termasuk konflik antar kelompok karena ada hukum konflik antar kelompok yaitu setiap kelompok mewarisi konflik antar kelompok. Setiap perbedaan dalam hal nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumber daya merupakan potensi konflik. Ada kata kunci yang selalu menjadi ciri adanya konflik yaitu ada perbedaan atau ketidaksetujuan dan atau pertentangan/tidak cocok bahkan sulit didamaikan. Situasi demikian dapat terjadi dalam berbagai kesempatan dan lingkungan. Analisis situasi konflik secara umum dapat pula terjadi karena (1) Benturan kepentingan, (2) Berbeda/ bertentangan pendapat, (3) Berbeda metode, (4) Berbeda nilai, (5) Berbeda persepsi; (6) Berbeda/bertentangan tujuan, (7) Berbeda/bertentangan pandangan dan (8) Ketidak sepakatan alokasi sumber daya yang langka. Usman (2007:5-15) menegaskan bahwa konflik mudah muncul, apabila: (1) Perebutan sumber daya langka; (2) Komunikasi jelek atau tidak ada; (3) Persepsi-salah mengenai masing-masing pihak, (4) Tidak ada rasa saling-percaya; (5) Penyelesaian pertikaian yang tidak tuntas dan (6) Masing-masing pihak meremehkan hubungan antar mereka. Salah satu contoh masalah adalah bayangkan metafora berikut ini: Pohon mangga dengan buah yang lebat tumbuh di pagar batas pekarangan keluarga A dan keluarga B. Akar dan pokok ada di tanah si A, tetapi buahnya bergelantungan di atas tanah B. Masing-masing yakin memiliki hak atas buah mangga itu. Berikan solusi untuk mengatasi konflik yang akan terjadi. Ingat bahwa menyelesaikan konflik di atas kertas sangat mudah, tetapi menyelesaikan konflik yang sesungguhnya terjadi di lapangan memang tidak mudah. Apabila dalam penyelesaian konflik memerlukan penengah atau mediator maka si mediator memerlukan waktu yang panjang, berpengalaman, sabar, tidak memihak, transparan, loby antarpihak beberapa kali, menemukan pihakpihak yang berkonflik, melakukan negosiasi dan baru dapat mengambil keputusan yang tepat, sekaligus memuaskan pihak-pihak yang berkonflik. Dalam budaya di Indonesia, sesuai dengan ajaran Pancasila bahwa masalah konflik dalam banyak hal akan dapat diatasi dan penyelesaiannya dapat memuaskan banyak pihak apabila kita mau menggunakan musyawarah. 82 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik Perlu ditegaskan bahwa konflik yang telah diungkapkan merupakan pemahaman konflik secara umum. Konflik dalam makna umum ini, berbeda dengan konflik dalam organisasi. Robbins (1996) menegaskan bahwa konflik organisasi sebagai sebuah proses di mana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya. Osborn (1998) menegaskan bahwa konflik dalam organisasi merupakan situasi di mana dua orang atau lebih yang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan timbulnya permusuhan satu anggota dengan anggota lainnya. Konflik dalam organisasi itu sendiri dapat berkembang sejalan atau seirama dengan perkembangan dan makin besarnya organisasi. Organisasi yang bertambah besar (usaha, jangkauan, aktivitas dan sumber daya manusianya) akan menjadi bertambah komplek yang terkait langsung dengan arus informasi atau komunikasi, pengambilan keputusan dan kebijakan, pendelegasian wewenang dan pengendaliannya. Belum lagi kompleksitas yang berhubungan langsung dengan sumber daya manusia seperti jabatan dan pola rekruitmen, kompleksitas tugas, kompleksitas kedudukan dan status, hak dan wewenang dan lain-lain. Kompleksitas yang telah diungkapkan menjadi sumber potensial bagi timbulnya konflik dalam organisasi, khususnya konflik sumber daya manusia karena akibat perbedaan tujuan, sikap, persepsi dan motivasi dalam bekerja untuk memajukan dan pengembangan organisasi. Realitas di dunia organisasi menegaskan bahwa setiap anggota organisasi ingin sukses, sehingga mereka memiliki harapan-harapan dan motivasi-motivasi para anggotanya (bawahan maupun atasan), sehingga kompetisi di dalam organisasi bertambah ketat. Bagi mereka yang tidak berhasil atau belum beruntung akan merasa tertekan, sehingga ada di antara mereka melakukan pelanggaran hukum atau peraturan dan terlibat dalam praktik-praktik yang dapat menurunkan nilai kejujuran (trust) seperti penyalah-gunaan jabatan dan finansial serta tidak siap menghadapi persainganpersaingan secara sehat dan ujungnya akan menimbulkan konflik. Konflik dalam organisasi tidak muncul secara tiba-tiba dan langsung menjadi rumit dan besar. Konflik itu sendiri berkembang dan makin menyebar secara bertahap melalui pembicaraan terang-terangan, sembunyi-sembunyi dan “desas-desus”, melalui media massa dan nirmasa. Belum lagi faktor pemicu dalam wujud sikap dan perilaku tidak puas, tidak setuju, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi. Selain itu, kebijakan-kebijakan manajemen organisasi dan proses komunikasi yang berlangsung berpengaruh terhadap munculnya konflik serta perkembangan organisasi di masa kini dan mendatang. Konflik organisasi dapat juga terjadi dan diawali dari masalah alokasi sumber daya yang langka (jabatan) dan bisa juga karena faktor tujuan, kekuasaan, status, nilai, persepsi, kepentingan, hak dan kewajiban, anggaran, metode atau cara 83 Teori Perilaku Organisasi Publik mewujudkan tujuan dan kepribadian. Setiap orang dalam organisasi akan berusaha untuk mendapatkan sumber daya langka tersebut dan tidak jarang terjadi hambat menghambat dan menghalangi pihak lain karena alasan mempunyai kepentingan. Kondisi demikian telah menggambarkan atau mencerminkan kondisi konflik. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa sumber konflik dalam organisasi karena: (1) Komunikasi yang jelek; (2) Kelangkaan sumber daya (terutama jabatan dan finansial); (3) Struktur tugas maupun struktur organisasi; (4) Faktor personal; (5) Perbedaan kepentingan dan nilai serta (6) Faktor lingkungan. Selanjutnya, konflik dikaji dari posisi seseorang dalam struktur organisasi menurut Winardi (1992:174) dirinci menjadi empat macam. Keempat jenis konflik dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Konflik vertical merupakan konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak selevel atau tidak sama dalam organisasi. Contohnya adalah unsur atasan atau manajemen dan bawahan. 2. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjandi antar mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat (selevel) dalam organisasi. Contonya konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat dan antar satuan kerja perangkat daerah (SKPD). 3. Konflik garis-staf, merupakan konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi. 4. Konflik peran, merupakan konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1991), yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive conflict. Menurut Robbins (2005) konflik dapat muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah-pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi, sehingga hal ini menjadi pemicu atau sumber terciptanya konflik. Struktur dalam konteks ini mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. 84 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik Sumber konflik berikutnya berkaitan dengan faktor pribadi, yang mecakup: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan ada tipe kepribadian sangat otoriter, dogmatik, dan tidak menghargai kepada pihak atau orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata seperti serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya. 6.3. TEORI KONFLIK Pembicaraan tentang teori konflik akan diawali dari pendapat Fuad dan Maskanah (2000:55-58) yang menegaskan bahwa untuk memahami konflik dan teori konflik, ada beberapa hal penting yang harus dipahami yaitu: (1) Perspektif konflik; (2) Peta konflik dan (3) Wujud dan jenis konflik. Ketiga hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut seperti uraian berikut. Perspektif konflik bermacam-macam isinya. Ada perspektif mitologi dan historis, perspektif ekonomi-politik, perspektif sosio kultural. Perspektif mitologi dan sejarah merujuk bahwa konflik atas sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan manusia dapat ditelusuri dari sejarah umat manusia. Melalui perspektif ini maka banyak kisah, mitologi dan cerita rakyat yang menggambarkan banyaknya konflik. Perspektif ekonomi politik memandang bahwa konflik merupakan bagian dari pola hubungan antar manusia, kelompok, golongan, masyarakat, bangsa dan negara yang seharusnya dipahami sebagai kenyataan. Scott (1993) dalam Fuad dan Maskanah (2000:55) menegaskan bahwa penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik, sehingga upaya penyelesaiannya harus mempertimbangan faktor ekonomi dan politik. Konflik menurut perspektif ini merupakan bagian dari proses pembangunan yang mengutamakan industrialisasi, namun tanpa mempertimbangkan kepentingan penduduk yang kurang memiliki posisi tawar yang kuat dalam mengakses sumber daya pembangunan. Untuk perspektif sosial-kultural berpandangan bahwa proses industrialisasi mensyaratkan adanya penyesuaian sikap mental, wawasan budaya (terutama yang menyangkut aspek disiplin, penghargaan terhadap waktu, etos kerja yang kuat, kebutuhan untuk berprestasi dan kesediaan untuk masuk dalam persaingan). Penyesuaian ini memerlukan waktu yang lama atau panjang dan jika proses penyesuaian mengalami kegagalan maka hal ini akan terjadi konflik. Dalam realitas menunjukkan bahwa nilai sosio-kultural sangat berperan dalam menjaga harmoni, keselarasan dan kerukunan sosial. 85 Teori Perilaku Organisasi Publik Setelah penjelasan perspektif konflik maka pemahaman penting berikutnya terkait dengan peta konflik. Kebanyakan konflik mempunyai sebab ganda yakni sebagai konsekuensi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai dan mengarah pada konflik yang terbuka. Kita menemukan konflik yang sangat rumit, sehingga pemetaan konflik seperti mendefinisikan situasi kritisnya, permasalahan pokoknya, penyebab pertikaiannya dengan mengamati dan mamahami pihak-pihak yang bertikai. Fuad dan Maskanah (2000:56) menegaskan bahwa pemetaan konflik melalui pengelompokkan dalam ruang-ruang konflik dengan menggunakan kriteria: a. Konflik data terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijak atau mendapat informasi yang salah. b. Konflik kepentingan disebabkan oleh persaingan kepentingan. Konflik ini terjadi ketiga suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan terjadi karena masalah mendasar atau substantif seperti sumber daya atau uang. c. Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi atau stereotif, salah komunikasi dan tingkah laku yang negatif yang berulang (repetitif). d. Konflik nilai terjadi karena disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya. Nilai menjelaskan mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah, mana yang adil dan mana yang tidak adil. e. Konflik struktural terjadi ketika terjadi ketimpangan untuk melakukan akses atau kontrol terhadap sumber daya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, yang biasa memiliki peluang untuk memperoleh akses dan melakukan kontrol. Kelima ruang konflik tersebut umumnya tidak berdiri sendiri, namun merupakan suatu sistem dan saling terkait satu sama lainnya. Hal penting berikutnya adalah wujud dan jenis konflik. Wijardjo dalam Fuad dan Maskanah (2000:57) menegaskan bahwa Konflik dapat berwujud konflik tertutup (laten), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak kutup-kutup konflik. Konflik mencuat adalah perselisihan di mana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. Konflik terbuka merupakan konflik di mana pihak-pihak yang berselisih terlihat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin juga telah mencapai jalan buntu. 86 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik Jenis konflik lain dapat dilihat dari level permasalahan. Berpijak pada level permasalahan maka ada 2 (dua) jenis konflik yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sedangkan konflik horizontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Level dari mereka yang berkonflik selevel atau sejajar. Hendricks (1996) dalam Fuad dan Maskanah (2000:57) menegaskan bahwa ada konflik intra personal dan inter personal. Konflik intrapersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi individu ketika keahlian, kepentingan dan nilai-nilai yang dihadapinya jauh dari menyenangkan, sedangkan konflik interpersonal melibatkan ketidaksesuaian emosi, kepentingan, tujuan dan nilai-nilai antara satu individu/kelompok dengan individu/kelompok lainnya. Beberapa pemikiran yang telah diungkapkan merupakan kajian konflik dalam arti yang luas atau umum, sedangkan jenis konflik dalam organisasi menurut Donnelly (1997: 270) dibagi 2 (dua) yaitu konflik fungsional dan tidak fungsional atau disfungsional. Konflik fungsional adalah pertentangan antara kelompok yang mempertinggi atau menguntungkan prestasi organisasi. Misalnya pertentangan tentang pilihan metode yang paling efisien, sedangkan konflik tidak fungsional atau disfungsional adalah setiap pertentangan antau interaksi antara kelompok yang mengnganggu organisasi atau merintangi upaya pencapaian tujuan organisasi. Sebagai bahan perbandingan Robbins (2003:430) membagi konflik menurut fungsinya menjadi dua macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok. Untuk konflik disfungsional bermakna sebaliknya. Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi atau dapat menghalangi (menghambat) pencapaian tujuan kelompok. Robbins menjelaskan lebih jauh bahwa batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional seringkali tidak jelas atau tidak mudah membedakan. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional. Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja, tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional. Munculnya konflik fungsional dan tidak fungsional dalam organisasi menjadi tugas pimpinan organisasi atau atasan bagaimana mengoptimalkan konflik yang fungsional dan menghilangkan atau mengurangi terjadinya konflik yang tidak fungsional atau disfungsional. Hal penting berikutnya yang perlu dipahami terkait dengan pergeseran pemikiran tentang konflik. Pergeseran pemikiran tentang konflik oleh Fisher, dkk. (2001) dan Tadjudin (2000: 36-37) dikelompokkan menjadi 3 (tiga) 87 Teori Perilaku Organisasi Publik yaitu pandangan tradisional, pemikiran konflik tentang hubungan antarmanusia dan pemikiran mutakhir. Masing-masing kelompok dan isi pemikirannya dapat dijelaskan seperti uraian berikut. Pertama: Pandangan Tradisional (1930 – 1940) menyatakan: (1) Konflik dianggap sebagai penyimpangan terhadap norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat/ organisasi; (2) Konflik sebagai sesuatu yang buruk; (3) Konflik dianggap sepadan dengan tindakan kekerasan, perusakan dan tindakan irasional; (4) Konflik dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan, sesuatu yang negatif. Untuk itu, konflik perlu dihindari serta (5) Konflik dianggap disfungsional. Untuk itu, resolusi konflik menurut pandangan Tradisional boleh dibilang cukup simpel atau sederhana yakni: (1) Mengusahakan tidak terjadi konflik dan (2) Jika konflik tidak dapat dihindari maka: (a) Menyingkirkan/menghilangkan sumber konflik dan (b) Memperbaiki mutu komunikasi. Pemicu dan sekaligus sumber konflik menurut pandangan Tradisional adalah: (1) Komunikasi yang buruk; (2) Kurangnya keterbukaan; (3) Kegagalan manajer/bos untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi bawahan serta (4) Kurangnya kepercayaan di antara orang-orang yang berinteraksi. Kedua: Aliran Pemikiran yang Memandang Konflik sebagai bagian hubungan antar manusia (1940–1970). Aliran kedua berpandangan: (1) Konflik sebagai hal yang alamiah sebagai dampak dari hubungan antar manusia dan (2) Konflik diterima secara wajar dan diakui bahwa konflik bisa bersifat fungsional. Ketiga: Pandangan Mutakhir yang disebut pemikiran interaksi (1970–sekarang) Mereka berpandangan bahwa mereka bukan hanya menerima konflik, melainkan memanfaatkan konflik itu sendiri untuk membangun masyarakat yang lebih dinamik. Jika dalam masyarakat tidak ada konflik maka masyarakat akan menjadi statik, apatis dan tidak responsif terhadap perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, konflik harus dioptimumkan agar tercipta kondisi yang kondosif dan masyarakat memiliki daya tahan, kritis dan kreatif. Fisher, dkk. (2001:7) menegaskan bahwa ada 6 (enam) teori yang dapat Menjelaskan berbagai penyebab terjadinya Konflik yaitu: (1) Teori hubungan masyarakat; (2) Teori negosiasi prinsip; (3) Teori kebutuhan manusia; (4) Teori identitas; (5) Teori kesalahpahaman antar budaya dan (6) Teori transformasi konflik. Masing-masing teori ini memiliki ide dasar pemikiran dan juga menjelaskan bagaimana teori-teori ini menjelaskan langkah pemecahan masalah konflik secara garis besar. Penjelasan secara garis besar sebagaimana dijelaskan oleh Fisher, dkk, seperti uraian berikut. Teori hubungan masyarakat beranggapan bahwa konflik yang terjadi karena disebabkan oleh: (1) Polarisasi yang terus terjadi dan (2) Adanya ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: (1) Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang berkonflik serta (2) Mengusahakan 88 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragamanan yang ada didalamnya. Teori Negosiasi Prinsip Beranggapan atau mempunyai ide dasar bahwa konflik terjadi karena disebabkan oleh: (1) Oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan (2) Perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang berkonflik. Untuk itu, sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: (1) Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu; (2) Membantu mereka untuk meningkatkan negosiasi serta (3) Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak/semua pihak. Teori Kebutuhan Manusia beranggapan bahwa konflik yang berakar dalam karena disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (kebutuhan fisik, mental dan social) yang tidak terpenuhi/terhalangi seperti keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi dan otonomi. Untuk itu, sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: (1) Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan tesebut dan (2) Agar pihak-pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. Teori Identitas beranggapan/berasumsi bahwa konflik terjadi karena disebabkan identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: (1) Fasilitasi lokakarya dan dialog antar pihak yang berkonflik, sehingga mereka dapat menidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan oleh masing-masing serta untut membangun empati dan rekonsiliasi diantara mereka dan (2) Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. Teori Kesalahpahaman Antar Budaya beranggapan/berasumsi bahwa konflik terjadi karena disebabkan oleh ketidak-cocokan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: (1) Menambah pengetahuan budaya pihak lain; (2) Mengurangi stereotif negatif yang dimiliki tehadap pihak lain serta (3) Meningkatkan komunikasi antar budaya. Teori terakhir adalah teori Transpormasi Konflik. Teori ini beranggapan bahwa konflik terjadi karena disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan, yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: (1) Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; (2) Meningkatkan jalinan hubungan diantara pihak-pihak yang berkonflik serta (3) Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamaian, pengampunan, rekonsiliasi dan pengakuan. 89 Teori Perilaku Organisasi Publik 6.4. RESOLUSI KONFLIK Banyak masalah dalam organisasi dan masalah-masalah tersebut dapat menimbulkan konflik dalam organisasi. Beberapa masalah organisasi anatara lain: (1) Penggunaan sarana serta sumber daya yang kurang efisiensi; (2) Pelayanan yang kurang memuaskan; (3) Pelayanan publik masih terjadi diskriminasi; (4) Aturan main belum diinformasikan secara transparan dan pasti; (5) Pelayanan lamban, mahal dan berbelit-belit; (6) Persyaratan administrasi tidak diinformasikan; (7) Terjadi pemborosan penggunaan alat tulis kantor; (8) Sulit menemukan dokumen atau arsip penting; (9) Tidak ada koordinasi, (10) Pengambilan keputusan lamban, (11) Data kepegawaian tidak lengkap, (12) Sistem pertanggung jawaban tidak jelas; (13) Bukti-bukti pendukung administrasi tidak ada; (14) Masalah kesimpangsiuran hubungan kerjasama; (15) Surat yang dikirim tidak sampai ke alamat yang dituju; (16) Pekerjaan yang menggunung; (17) Kemacetan dalam pelaksanaan pekerjaan serta (18) Terjadi pemborosan-pemborosan yang tidak perlu; (19) Tujuan organisasi sulit tercapai secara optimal; (20) Tidak adanya daya saing atau daya saing rendah serta (21) Daya tanggap terhadap tuntutan serta perkembangan situasi dan kondisi kurang. Beberapa contoh yang telah diungkapkan bisa menimbulkan konflik antar bagian dalam organisasi. Konflik lain yang sering terjadi dan sangat menarik untuk didiskusikan adalah konflik jabatan publik, khususnya jabatan birokrasi seperti pejabat eselon I, II, III dan IV. Kelebihan dari mereka yang menjabat dapat dikaji dari 2 (dua) sisi yaitu materi dan non materi. Kelebihan materi terlihat dari mempunyai tunjangan struktural dan kinerja yang sangat besar, pejabat menjadi sumber gula bagi anak buah, mendapat fasilitas kerja seperti ruang kerja yang bagus, ber-AC dan fasilitas kendaraan dinas, sering melakukan perjalanan dinas dan mendapat uang perjalanan dinas. Untuk kelebihan dari segi non materi terlihat dari posisi si pejabat yang lebih dihormati dibandingkan yang tidak menjabat, memiliki pengaruh besar di kantor, informasinya lebih didengar dan bahkan bisa menentukan baik atau tidaknya masa depan pegawai. Berpijak pada kelebihan pejabat birokrasi inilah akar persoalan mengapa orang (birokrat) berlomba-lomba untuk mendapatkan jabatan tersebut, sehingga antar mereka bisa terjadi konflik dan mengganggu upaya mewujudkan prestasi organisasi. Untuk mengatasi konflik disfungsional (resolusi), ada beberapa strategi yang ditawarkan oleh ahli-ahli manajemen konflik. Donnelly (1997: 280-281) menawarkan 4 (empat) strategi yaitu: (1) Perluasan sumber daya; (2) Penghindaran; (3) Pelunakan dan (4) Kompromi; (5) Perintah otoritatif; (6) Mengubah variabel manusia; (7) Mengubah variabel struktural dan (8) Mengidefitifikasi musuh bersama. Donnelly menjelaskan lebih lanjut bahwa salah satu sebab konflik antar kelompok karena terbatasnya sumber daya. Sumber daya langka antara lain jabatan atau kedudukan khusus seperti direktur, kepala dinas atau jabatan lainnya, dana, ruang dan sebagainya. 90 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik Agar konflik disfungsional dapat dikelola dengan baik maka perluasan sumber daya dapat menjadi strategi yang tepat. Jika perusahaan maka perluasan sumber daya bisa dalam wujud pembukaan cabang baru atau perluasan perusahaan, sedangkan untuk jabatan birokrasi mungkin bisa menambah unit baru atau penambahan staf ahli dan lain sebagainya. Ada pula strategi penghindaran (avoidance). Penghindaran konflik memang salah satu solusi, tetapi hanya cocok untuk jangka pendek atau tidak cocok untuk jangka panjang atau tidak dapat menyelesaikan masalah secara efektif karena bersifat sementara. Strategi berikutnya adalah pelunakan (Smoothing) yaitu strategi yang menekankan pada kepentingan bersama daripada kelompok yang sedang berkomplik dan mengabaikan perbedaan antar mereka. Dengan penekanan pada sudut yang sama atas masalah-masalah tertentu, dapat memudahkan jalan menuju satu tujuan yang sama, sedangkan strategi kompromi merupakan strategi yang banyak dimanfaatkan untuk resolusi konflik. Menurut Notz dan Starke dalam Donnelly (1997: 281) menegaskan bahwa kompromi merupakan metode tradisional untuk menanggulangi konflik antar kelompok. Dalam kompromi tidak ada pemenang maupun yang kalah serta keputusan yang diambil atau dicapai mungkin tidak baik bagi kelompok manapun. Kompromi akan efektif apabila masalah konflik terkait dengan dana. Mengapa? Dana dapat dibagi sesuai kesepakatan. Untuk Indonesia maka strategi penyelesaian yang bisa diterima oleh banyak pihak melalui kompromi. Mengapa? Budaya kita memang lebih pas pada jalan kompromi. Strategi perintah otoritatif merupakan penyelesaian konflik dengan penggunaan wewenang. Dalam banyak kasus di birokrasi pemerintah, penggunaan perintah otoritatif paling sering dipergunakan oleh top manajemen atau atasan dalam penyelesaian konflik antar anggota organisasi. Oleh karena ini perintah atasan maka bawahan akan mematuhi perintah ini, sehingga metode ini tidak terlalu efektif dan konflik dapat tumbuh kembali. Untuk metode mengubah variabel manusia melibatkan usaha perubahan perilaku anggota kelompok yang terlibat. Metode ini memfokuskan perhatian pada sebab-sebab terjadinya konflik dan atas sikap orang-orang yang terlibat. Jadi, penekanan ada pada perubahan perilaku anggota kelompok. Metode berikutnya adalah mengubah variabel struktural yakni metode penyelesaian pertikaian antar kelompok melalui perubahan struktural formal organisasi. Struktur berkenaan dengan hubungan yang tetap diantara berbagai pekerjaan dalam organisasi dan mencakup desain pekerjaan dan departemenya. Perubahan struktural dalam praktek berhubungan langsung dengan pemindahan, pertukaran atau pergiliran anggota kelompok atau menunjuk seseorang sebagai koordinator, penghubung atau penengah yang memungkinkan terjadi komunikasi antar kelompok. Dengan komunikasi yang terbangun, akan menumbuhkan hubungan baik dan peningkatan kepercayaan, sehingga konflik akan dapat dikelola lebih baik. 91 Teori Perilaku Organisasi Publik Metode terakhir adalah mengidentifikasi musuh bersama. Kelompok yang bersengketa dapat menyelesaikan perbedaan mereka untuk sementara dan bersatu menghancurkan musuh bersama. Musuh bersama bisa saja sebagai pihak pesaing yang baru saja memperkenalkan produk yang lebih baik. Dengan memandang pesaing baru sebagai musuh bersama maka antar mereka dapat menyelesaikan perbedaan. Beberapa strategi atau metode menyelesaikan konflik seperti yang telah dijelaskan menegaskan bahwa konflik merupakan fenomena sosial, riil ada dalam masyarakat atau organisasi publik dan konflik menjadi bagian dari kehidupan manusia atau tidak dapat dipisahkan dari hidup manusia. Usman (2007:5-15) menegaskan bahwa ada 2 (dua) pendekatan terhadap konflik yaitu: (1) Competitive approach dan (2) Co-operative or collaborative approach. Ada beberapa karasteristik pendekatan kompetitif yaitu: (1) Zero-sum gains (satu menang, yang lain kalah); (2) Kompetisi diantara pihak-pihak, yang masing-masing berusaha saling-mengalahkan, (3) Masing-masing berusaha membuat pihak lain rugi besar kalau meneruskan kompetisi, (4) Paling banter “settlement”, bukan “resolution”, (5) Tingkat kepercayaan sangat rendah dan (6) Hubungan masing-masing pihak memburuk, sedangkan karakteristik pendekatan kooperatif adalah: (1) Positive-sum gains (tidak ada kalah/menang mutlak); (2) Kedua pihak bersama-sama membahas persoalan; (3) Komunikasi tingkat tinggi; (4) Tingkat kepercayaan meningkat; (5) Hubungan membaik dan (6) Hasilnya saling-memuaskan: “resolution” and “transformation”. Kedua pendekatan yang telah diungkapkan juga dapat menjadi resolusi konflik. Pendekatan kompetitif cocok untuk masyarakat tertentu seperti masyarakat sudah dewasa dan menghormati perbedaan, sedangkan pendekatan kompromi atau kooperatif barangkali cocok dalam menyelesaikan kasus-kasus konflik seperti budaya masyarakat mendukung dengan pendekatan kompromi. Untuk Indonesia, pendekatan kompromi atau kooperatif sangat sejalan dengan musyawarah untuk mufakat. Banyak manfaat yang diperoleh dari mereka yang sedang bertikai apabila mau mempraktekkan musyawarah mufakat antara lain: (1) Banyak pihak yang merasa diuntungkan; (2) Hasil lebih memuaskan; (3) Penyelesaian masalah konflik menjadi tuntas; (4) Hubungan menjadi baik; dan (5) Komunikasi lancar. Selanjutnya Donnelly (1997: 285) menawarkan beberapa teknik untuk menumbuhkan atau merangsang timbulnya konflik fungsional yaitu: (1) Komunikasi; (2) Membawa orang luar ke dalam kelompok; (3) Mengubah struktur organisasi dan (4) Merangsang kompetisi. Beberapa teknik penumbuhan konflik fungsional dapat dijelaskan seperti uraian berikut. Teknik komunikasi berfokus pada penggunaan saluran komunikasi secara cerdas, seorang manajer dapat merangsang konflik yang bermanfaat. Misal sengaja digulirkan informasi tentang mutasi. Tujuan penyampaian informasi agar meningkatkan disiplin kerja dan persaingan mencapai tujuan atau prestasi kerja. Hal ini bisa menimbulkan konflik yang fungsional. 92 Bab 6 – Konflik Dalam Organisasi Publik Teknik membawa orang dari luar ke dalam kelompok dapat membangkitkan gairah kerja atau prestasi. Organisasi bisa mengalami staknasi apabila tidak dibangkitkan melalui persaingan. Salah satu teknik dengan memasukkan orang luar ke dalam organisasi melalui penerimaan pegawai baru atau memidahkan orang-orang yang sikap, nilai dan latar belakangnya berbeda dari anggota kelompok yang lain. Masuknya orang luar dapat menjadi teknik meningkatkan konflik fungsional. Berikutnya adalah teknik mengubah struktur organisasi. Teknik ini bukan hanya dapat menyelesaikan konflik antar kelompok, tetapi sangat baik juga untuk menciptakan konflik. Praktek mengubah struktur organisasi melalui reorganisasi. Reorganisasi merupakan perubahan organisasi yang dilakukan dalam rangka menciptakan kompetensi yang sehat. Teknik terakhir adalah merangsang kompetisi. Banyak teknik yang dapat dipilih oleh manajer atau atasan untuk merangsang kompetisi. Seperti penggunaan berbagai insentif seperti hadiah dan bonus bagi mereka yang berprestasi seperti mahasiswa dan dosen berprestasi, karyawan atau staf yang rajin dan lain sebagainya. 93 Teori Perilaku Organisasi Publik 94 BAB 7 Komunikasi Dalam Organisasi Publik K omunikasi menjadi kajian penting dalam Bab 7 karena komunikasi diperlukan dan pasti dilakukan oleh setiap anggota organisasi apapun kedudukan atau jabatannya (atasan dan bawahan) dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, komunikasi menjadi kunci sukses dalam mengenali dan memahami persepsi, sikap, respon atau reaksi dan perilaku semua anggota organisasi. Tidak ada komunikasi, organisasi akan mati. Pernyataan ini membuktikan bahwa komunikasi sangat menentukan maju mudurnya organisasi bahkan mati atau hidupnya organisasi. Berpijak pada arti penting komunikasi dalam organisasi publik maka ada beberapa sub bab dalam Bab ini yang akan dianalisis yaitu: (1) Pengertian komunikasi dalam organisasi; (2) Proses komunikasi; (3) Jenis komunikasi dan (4) Pentingnya komunikasi organisasi. Penjelasan dari masing-masing sub bab seperti uraian berikut. 7.1. PENGERTIAN KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI Komunikasi menurut asal-usul kata berasal dari bahasa Inggris Communication dan bahasa Latin communicatio dari kata communis. Jadi, komunikasi menurut asal-usul kata atau secara harfiah memiliki arti menciptakan kebersamaan dan keharmonisan dalam hubungan 2 (dua) orang atau lebih. Untuk memahami komunikasi, dalam buku ini dijelaskan tentang pendapat Lasswell yang begitu terkenal. Lasswell (1961) menegaskan bahwa pemahaman proses komunikasi dapat dijelaskan melalui paragdigma yang dia buat, dengan menjawab pertanyaan: Who, Say What, In Which Channel, To Whom, and With What Effect (Siapa, mengatakan apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan dengan efek apa). 95 Teori Perilaku Organisasi Publik Pengertian komunikasi dapat ditinjau dalam dua arti. Pertama, komunikasi dalam arti umum dan kedua, komunikasi dalam arti khusus. Komunikasi dalam arti umum dapat dilakukan oleh siapa saja (laki-laki, perempuan, dan tua muda), kapan saja (pagi, siang, sore dan malam hari) dan di manapun (menunjuk tempat seperti di kantor, di pasar, di hotel, di jalan, di warung makan dan tempat lainnya). Dengan pernyataan lain, komunikasi dapat dilakukan oleh pemuda dan pemudi, anak-anak, remaja, orang tua, laki-laki atau perempuan. Komunikasi dapat pula dilakukan di malam hari, sore hari, siang hari, tengah malam, atau bahkan dini hari. Komunikasi juga dapat dilakukan di tengah jalan, di gedung film, di pasar, di warung kopi, di tempat rekreasi, di ruang sekolah atau kuliah dan dimanapun. Komunikasi dalam arti umum tersebut akan berubah menjadi komunikasi dalam arti khusus, apabila dikaitkan dengan sandaran komunikasi. Dalam pokok bahasan ini sandaran komunikasi adalah organisasi. Oleh karena itu, komunikasi dalam organisasi atau komunikasi organisasi termasuk kategori komunikasi dalam arti khusus. Komunikasi organisasi mempunyai makna komunikasi yang dilakukan oleh anggota organisasi dan terjadi di dalam organisasi, dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Beberapa definisi komunikasi organisasi yang minimal perlu diketahui oleh mahasiswa antara lain: a. Davis dalam F.X. Soedjadi (1995) Communication is the process of passing information and understanding from one person to another (komunikasi adalah sebagai proses penyampaian keterangan dan pengertian dari orang satu kepada orang yang lain). b. Redfield, Charles dalam S. Yuwono (1985) Communication is the process of transferring a selected bit of information (a massage) from an information source to a destination. Administrative communication can best regarded as a form of social of human communication in which there are these five elements: a communicator ( a speaker, sender, issuer) who transmits (says, sends, issues) messages (orders, report, suggestions) to a communicatee (addresser, respondent, audience) to influence the behavior of the communicatee as seen in his response (reply, reaction) (Komunikasi adalah proses penyampaian informasi dari suatu sumber informasi ke suatu tujuan. Komunikasi administrasi/organisasi dapat dipandang sebagai suatu komunikasi sosial atau suatu komunikasi antar manusia yang mengandung 5 (lima) unsur yaitu PEMBERI BERITA (pembicara, pengirim), yang MENYAMPAIKAN (mengatakan, mengirim, menyiarkan) BERITA-BERITA (perintah-perintah, laporan-laporan, saran-saran) kepada seseorang PENERIMA BERITA (orang yang dituju, responden, pendengar) untuk mempengaruhi penerima berita sebagaimana dapat dilihat pada REAKSINYA (jawaban). 96 Bab 7 – Komunikasi Dalam Organisasi Publik c. Lasswell (1961) Pengertian komunikasi menurut Lasswell (1961) didefinisikan Siapa (who); Bicara apa (says what); Dengan saluran mana (in which channel); Kepada siapa (to whom) serta dengan pengaruh seperti apa (with what effect). 7.2. PROSES KOMUNIKASI Proses komunikasi itu sendiri dapat terjadi ketika sumber informasi (komunikan) menyampaikan pesan kepada penerima pesan (audience) melalui saluran tertentu atau media (channel). Oleh karena itu, paradigma proses komunikasi yang dikenalkan oleh Harold Lasswell (1961) dinamakan paradigmatic question. Selain itu, paradigma ini oleh banyak ahli komunikasi dianggap sebagai teori komunikasi yang penting, sehingga setiap bicara komunikasi tidak akan terlepas dari pembicaraan paradigmatic question. Lasswell (1961) juga menegaskan bahwa paradigmatic question berisi unsur-unsur komunikasi yang terdiri dari: (1) Communicator (Komunikator), (2) Message (Pesan), (3) Media (Media), (4) Communican/Receiver (Komunikan/ Penerima) dan (5) Effect (Efek). Lebih lanjut Lasswell (1961) menegaskan bahwa komunikasi sebagai suatu proses selalu berbicara tentang siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa atau efek yang bagaimana? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). Selanjutnya Lasswell (1961) memberikan penjelasan secara garis seperti uraian berikut. Pertama: Who? (siapa) membicarakan tentang sumber/ komunikator. Komunikator adalah pelaku utama/pihak yang menyampaikan pesan atau pihak yang memulai komunikasi. Komunikator bisa seorang individu, kelompok, organisasi maupun pemerintah. Kedua, Says What? membicarakan tentang mengatakan apa (isi pesan atau komunikasi). Ketiga, In Which Channel? membicarakan tentang saluran atau media apa (saluran/media) yang dipergunakan agar pesan sampai kepada penerima pesan (komunikan). Media dalam hal ini bisa media massa dan nirmasa atau media sosial seperti Whats App (WA) dan facebook secara on line. Keempat, To Whom? membicarakan tentang kepada siapa pesan harus disampaikan atau penerima pesan (penerima pesan atau audience atau komunikan). Terakhir atau kelima, With What Effect? membicarakan tentang dengan efek apa atau ada perubahan apa atau dampak apa), setelah penerima pesan (audience atau komunikan) menerima pesan. Dampak/efek/perubahan yang terjadi pada diri si komunikan (penerima) pesan dapat dilihat atau diukur dari tujuan komunikasi. Jika tujuan komunikasi ingin melakukan perubahan perilaku maka perilaku seseorang sebagai penerima pesan juga akan mengalami perubahan. Jika tujuan untuk menambah pengetahuan maka komunikan sebagai penerima pesan juga akan bertambah pengetahuannya. 97 Teori Perilaku Organisasi Publik Komunikasi berperan dan berkontribusi besar pada maju mudurnya atau sukses tidaknya organisasi. Organisasi hanya akan berjalan dan berfungsi dengan baik apabila ada komunikasi di dalamnya. Visi dan misi organisasi, instruksi, perintah, koordinasi, laporan dan lainnya memerlukan proses komunikasi. Semua ini mengandung pesan dan memerlukan unsur komunikasi sebagai telah dijelaskan oleh Lasswell. Interaksi antar manusia dalam organisasi tidak mungkin dapat terjadi, tanpa adanya komunikasi. Kita bisa menerima pesan dan bisa juga sebagai pemberi pesan. Ide atau gagasan tidak akan bisa dipahami orang atau tidak akan sampai kepada anggota organisasi, tanpa adanya komunikasi. Kita bisa saling tukar-menukar informasi dan saling belajar melalui komunikasi. 7.3. KOMUNIKASI DALAM ORGANISASI Komunikasi penting dipelajari karena komunikasi diperlukan dan pasti dilakukan oleh setiap anggota organisasi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Penegasan demikian menunjukkan bahwa komunikasi menjadi salah satu faktor yang menentukan terhadap sukses atau tidaknya setiap kegiatan yang harus dilakukan oleh anggota organisasi. Setiap anggota organisasi dalam pelaksanaan kegiatan memerlukan informasi yang cukup, jelas dan lengkap. Demikian pula, agar fungsi dan tugas pemimpin dapat dilaksanakan dengan baik, ia juga memerlukan informasi yang cukup, jelas dan lengkap. Apabila informasi yang mereka perlukan tidak mencukupi kebutuhan, maka pelaksanaan tugas dan fungsi kepemimpinan menjadi terhambat atau bahkan gagal sama sekali, termasuk pelaksanaan tugas setiap anggota organisasi lainnya. Beberapa contoh kegiatan pimpinan yang memerlukan informasi yang cukup dan jelas antara lain terkait dengan kegiatan pengarahan kepada bawahan, penyusunan rencana atau program kerja, pengambilan keputusan dalam rangka penyelesaian masalah, perbaikan kelemahan, dan pengangkatan pembantu-pembatunya. Informasiinformasi yang mereka perlukan dapat diperoleh melalui laporan lisan maupun tertulis dari para bawahan serta dapat pula diperoleh melalui kunjungan langsung ke lapangan di mana bawahan sedang melaksanakan tugas. Sehubungan dengan pentingnya komunikasi dalam organisasi maka uraian berikut akan menjelaskan jenis-jenis komunikasi dalam organisasi yang selalu dipraktekkan dalam kehidupan organisasi. Yuwono (1985) menyatakan bahwa ada bermacam-macam komunikasi organisasi dan komunikasi ini dapat digolongkan ke dalam: (1) Komunikasi menurut struktur organisasi, (2) Menurut bentuk pyramida dan (3) Komunikasi menurut skopenya. Macam-macam komunikasi organisasi yang telah disebutkan, menurut Yuwono dapat dijelaskan secara garis besar seperti uraian berikut. 98 Bab 7 – Komunikasi Dalam Organisasi Publik 7.3.1. Menurut Struktur Organisasi Komunikasi organisasi menurut struktur organisasi dapat dibagi ke dalam komunikasi formal dan komunikasi informal. 1. Komunikasi Formal Komunikasi yang terjadi antar anggota organisasi yang secara tegas telah diatur, direncanakan atau ditentukan secara tegas dalam struktur organisasi. Komunikasi formal dapat mengambil contoh dalam pelaksanaan tugas anggota organisasi, selaku atasan atau pejabat. Dalam pelaksanaan tugas, terjadilah komunikasi yang struktural antara pejabat atau dengan penyataan lain, orang yang menduduki suatu jabatan diwajibkan mengadakan komunikasi yang sesuai dengan jabatannya sampai batas-batas tertentu. Misalnya seorang kepala kantor menolak permohonan seorang pegawai bawahan yang meminta ijin tidak masuk kantor selama setengah hari kerja. Larangan ini dalam kontek hubungan formal. Realitas demikian harus dipahami oleh semua anggota organisasi. Apabila permintaan ijin selalu diberikan, dengan alasan yang tidak jelas maka kondisi ini merupakan contoh buruk untuk pegawai-pegawai lainnya. Oleh karena itu, sebagai kepala kantor saya dengan terpaksa tidak dapat mengabulkan permintaan saudara. Tindakan ini harus mendapar dukungan setiap orang dan tidak boleh merusak hubungan baik di luar hubungan formal. 2. Komunikasi Informal Dalam praktek komunikasi formal tidak selalu mengikuti garis relnya atau sesuai dengan struktur, karena jabatan-jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang yang bermacam-macam kepribadian. Untuk itu, muncul atau lahir komunikasi informal. Jadi, komunikasi informal adalah komunikasi yang terjadi di antara para anggota organisasi atas dasar kehendak atau hasrat pribadi, dan persamaan kepentingan atau hoby yang sama. Komunikasi informal memang perlu ada dalam setiap organisasi karena komunikasi formal belum dapat memenuhi kebutuhan setiap anggota organisasi. Namun demikian, komunikasi informal yang baik perlu mendapat perhatian. Komunikasi informal yang baik adalah komunikasi yang dapat melengkapi komunikasi formal. 7.3.2. Komunikasi Menurut Pyramida Komunikasi menurut pyramida dalam realitas dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam komunikasi yaitu komunikasi ke bawah, komunikasi ke atas dan komunikasi horizontal. Penjelaskan secara rinci, contoh dan perbedaan dari ketiganya, dapat dijelaskan seperti uraian berikut. 1. Komunikasi Ke Bawah Komunikasi ke bawah merupakan komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan 99 Teori Perilaku Organisasi Publik kepada para anggota organisasi (bawahan) dengan maksud untuk memberikan pengertian dan pemahaman kepada mereka mengenai apa yang harus mereka kerjakan dalam kedudukannya sebagai anggota organisasi. Pemberian pengertian dan pemahaman, sekaligus contoh macam-macam kegiatan yang tergolong ke dalam komunikasi ke bawah antara lain: a. Pemberian petunjuk b. Pemberian keterangan umum c. Pemberian perintah d. Pemberian teguran e. Pemberian penghargaan Komunikasi ke bawah dapat diberikan oleh atasan kepada bawahan melalui dan dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dengan mempergunakan gambar-gambar atau simbol-simbol, dalam bentuk surat-surat edaran, pengumuman atau bukubuku pedoman pegawai. Untuk dewasa ini dapat dilakukan melalui email, SMS, komunikasi melalui media sosial khususnya Whats App (WA) dan facebook secara on line. 2. Komunikasi Ke Atas Komunikasi ke atas merupakan komunikasi yang diberikan oleh para anggota organisasi (bawahan) kepada pimpinan dengan maksud untuk memberikan bahan-bahan keterangan yang diperlukan oleh pimpinan, agar fungsi-fungsi kepemimpinan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya. Selain itu, komunikasi ke atas merupakan saluran bagi penyampaian pikiran perasaan para anggota organisasi yang bertalian dengan tugas-tugasnya, termasuk kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan yang dialami oleh bawahan, yang idealnya harus sampai dan diketahui oleh pimpinan. Komunikasi ke atas dapat diberikan melalui macam-macam kegiatan. Contohcontoh komunikasi ke atas antara lain: a. Pemberian laporan b. Pemberian saran c. Pemberian pendapat Komunikasi ke atas sama juga dengan komunikasi ke bawah, dapat dilakukan secara lisan, tertulis, dengan mempergunakan gambar-gambar atau simbolsimbol. Selain itu, komunikasi ke atas termasuk kategori sangat penting. Namun demikian, di antara jenis komunikasi organisasi yang paling sulit untuk ditumbuhkan adalah komunikasi ke atas. Contoh kesulitan dimaksud adalah soal penggunaan telepon. Telepon yang sebenarnya menjadi sarana komunikasi yang dapat memudahkan anggota organisasi untuk berhubungan dengan anggota organisasi yang lain, termasuk kepada atasan, dalam kenyataannya jarang 100 Bab 7 – Komunikasi Dalam Organisasi Publik dipergunakan oleh bawahan untuk berkomunikasi dengan atasan. Bawahan masih merasa sungkan, kawatir dianggap kurang sopan dan alasan-alasan psikologis lainnya. Konsekuensinya, banyak waktu dan tenaga bawahan yang terbuang sia-sia karena mereka harus antri dalam jangka waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi persoalan tersebut, sekaligus dalam rangka memotivasi tumbuhnya komunikasi ke atas, beberapa pimpinan organisasi melakukan langkah-langkah ke arah penumbuhan komunikasi ke atas. Contohnya, perusahaan Pitney – Bowes dalam sebulan sekali menutup perusahaan sebentar guna memberi kesempatan kepada buruh-buruhnya guna mencurahkan rasa ketidakpuasan mereka. Seorang mandor dan seorang buruh yang dipilih diminta untuk mengemukakan masalahmasalah yang tidak dapat dipecahkan kepada kepala-kepala bagiannya. Contoh berikutnya yang dilakukan oleh Presiden United Air Lines pernah mengatakan bahwa ia sendiri akan menjawab setiap surat pegawai bawahan yang dikirimkan kepadanya. Ada pula perusahaan yang pernah mengadakan perlombaan mengarang bagi buruh-buruhnya dengan judul Why I like My Job dan ada pula dengan judul karangan: What I Dislike Most about my Company. 3. Komunikasi Mendatar Komunikasi mendatar merupakan komunikasi dalam organisasi yang dapat dilakukan di antara para pejabat dalam organisasi yang menduduki jabatan kurang lebih sama atau sederajad. Komunikasi mendatar dapat dilakukan dengan: a. Memintakan persetujuan dengan jalan review b. Mengadakan rapat kerja 7.3.3. Komunikasi Menurut Skope Tujuan organisasi aparatur pemerintah tidak dapat diwujudkan oleh organisasi aparatur pemerintah itu sendiri, tanpa melibatkan partisipasi publik (masyarakat). Untuk itu, meskipun organisasi aparatur pemerintah telah dijalankan dengan baik, tetapi kalau masyarakat tidak percaya, maka ketidak percayaan tersebut akan membawa akibat buruk seperti kesulitan menciptakan kewibawaan aparat-aparat pemerintah dan sulitnya memperoleh dukungan. Untuk mengatasi persoalan tersebut, organisasi pemerintah memerlukan kehadiran public-opinion. Mereka ini yang akan terus berusaha untuk memperoleh kepercayaan masyarakat, sehingga masyarakat pada gilirannya akan memberikan dukungan yang sebesar-besarnya atau secara negatif tidak menimbulkan rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan. Sehubungan dengan itu, komunikasi organisasi dikaji dari skopenya, dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu komunikasi intern dan komunikasi ekstern. Penjelasan secara garis besar kedua jenis komunikasi tersebut, dapat dijelaskan seperti uraian berikut. 101 Teori Perilaku Organisasi Publik 1. Komunikasi Intern Komunikasi intern adalah komunikasi yang terjadi dalam lingkungan organisasi sendiri. Macam-macam komunikasi intern terdiri dari: a. Komunikasi formal b. Komunikasi informal c. Komunikasi ke bawah d. Komunikasi ke atas e. Komunikasi mendatar Penjelasan tentang jenis komunikasi intern, dapat dilihat penjelasan yang telah diungkapkan di atas. 2. Komunikasi Ekstern Komunikasi ekstern adalah komunikasi yang terjadi dalam hubungannya dengan publik. Komunikasi ekstern ini mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu: a. Fungsi keluar yaitu memberikan informasi dan ide kepada masyarakat (publik) untuk menimbulkan kepercayaan dan memperoleh dukungan masyarakat. Selain itu, komunikasi ini dilakukan dalam rangka agar masyarakat dapat mengetahui banyak mengenai seluk beluk organisasi aparatur pemerintah. Fungsi ini dapat dilakukan melalui pengeluaran publikasi, penyelenggaraan pidato-pidato di muka umum, mengadakan demontrasi, exposisi atau pameran dan memelihara kelangsungan komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat yang erat hubungannya dengan pelaksanaan tugas-tugas dinasnya b. Fungsi ke dalam yaitu fungsi untuk menjamin organisasi aparatur pemerintah terpelihara pengetahuannya dengan apa yang dipikirkan oleh masyarakat. Dengan melakukan komunikasi ke luar yang teratur diharapkan bahwa organisasi aparatur pemerintah mengetahui kebutuhan-kebutuhan, aspirasi-aspirasi yang hidup serta reaksi-reaksi masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang sedang atau akan dilaksanakan. Hal ini bermakna bahwa komunikasi keluar mempunyai fungsi penasehatan (advisory) yakni memberikan nasehat kepada pimpinan organisasi tentang segala sesuatu yang hidup dalam masyarakat yang perlu mendapat perhatian. Komunikasi ke luar untuk pelaksanaan fungsi ke dalam, dapat dilakukan dengan jalan: (1) Memperhatikan tulisan-tulisan mengenai seluk beluk aparaturnya yang dimuat dalam surat khabar, baik dalam surat pembaca atau artikel atau dalam kolom-kolom khusus yang disediakan. Termasuk memperhatikan komentar publik yang dilakukan melalui media sosial. Kritik atau masukan yang disampaikan melalui media pers perlu ditanggapi dengan bijak dan dipandang sebagai sumbangan yang cukup berarti bagi kemajuan dan perkembangan organisasi, bukan dipandang sebaliknya 102 Bab 7 – Komunikasi Dalam Organisasi Publik (2) Mengadakan kesempatan untuk menerima dan menanggapi surat-surat pengaduan yang berisi keluh kesah, kritik dari warga masyarakat yang ditujukan kepada organisasinya (3) Mengikutsertakan warga masyarakat untuk ikut berkomunikasi secara formal dengan cara mendudukan mereka ke dalam badan-badan penasehat pada aparatur pemerintah 7.4. ARTI PENTING KOMUNIKASI DALAMORGANISASI Komunikasi dalam organisasi yang dilakukan oleh anggota organisasi mempunyai arti penting, baik untuk anggota organisasi pada umumnya maupun pimpinan organisasi. Arti penting komunikasi bagi anggota organisasi pada umumnya, dapat dirinci sebagai berikut: a. Timbulnya kemahiran kerja para personil yang dapat diukur dari personil tidak banyak melakukan kesalahan dalam penanganan tugas dan terampil dalam penanganan tugas b. Timbulnya kemauan kerja para personil yang dapat diukur dari personil menangani tugas tepat pada waktunya, tidak meninggalkan kantor waktu dinas untuk kepentingan pribadi atau golongan c. Timbulnya kerjasama di antara para personil yang dapat diukur dari tidak ada kekembaran pandangan atau penanganan dan tidak ada kekosongan perhatian mengenai hal yang harus ditangani di antara seluruh personil. Sedangkan arti penting komunikasi bagi pimpinan yang dilakukan dengan setepattepatnya mempunyai arti penting, yang dapat dirinci sebagai berikut: a. Melalui komunikasi dapat diperoleh data, informasi dan faktor-faktor lain yang sangat diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan, sebagai sarana pembinaan kerjasama kelompok dan demi pemanfaatan sumber-sumber yang ada dapat dilakukan dengan setepat-tepatnya. Supaya data komunikasi dapat menjadi masukan bagi pengambilan keputusan yang perlu dilakukan oleh pimpinan, maka data komunikasi tersebut perlu memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: (1) Benar Data yang dikehendaki oleh pimpinan yang baik adalah data yang benar. Apabila data tidak benar, dapat menimbulkan macam-macam akibat seperti pandangannya tentang sesuatu hal menjadi keliru, obyek yang terkena dapat menderita kerugian dan apabila yang terkena kekeliruan tersebut pejabat yang kebetulan telah memiliki prasangka jelek maka upaya perbaikan akan sangat sulit dilakukan 103 Teori Perilaku Organisasi Publik (2) Waktu atau kebasian data Persyaratan waktu sangat penting bagi data komunikasi. Persyaratan waktu mengandung makna bahwa data yang diperoleh adalah data yang hangat. Apabila data yang diperoleh adalah data yang basi atau tidak hangat, maka nilai kegunaan data menjadi rendah bahkan tidak berguna sama sekali. Data demikian bisa terkait dengan peluang pasar, badan intelijen, penerimaan pegawai, dan yang sejenis (3) Tempat Perhatian anggota organisasi yang terutama terkait dengan bidang tugas pekerjaannya sendiri. Untuk itu, mereka selalu melihat apakah informasi tersebut penting bagi pelaksanaan tugas-tugas pekerjaannya. Apabila tempat kedudukan data semakin dekat, maka nilai kegunaan data bagi personil yang bersangkutan semakin besar. Persyaratan berikutnya yang perlu diperhitungkan, terkait dengan kegiatan penyampaian informasi. Agar penyampaian informasi berlangsung efektif atau mencapai hasil seperti yang diharapkan, ada beberapa pedoman yang dapat dipergunakan sebagai acuan. b. Jelas Informasi yang jelas akan memudahkan bagi si penerima untuk mengerti dan memahami isi informasi. c. Konsekuen Penyampaian informasi yang dilakukan oleh pejabat perlu memperhatikan jangan sampai terjadi pertentangan satu sama lainnya. Ada informasi tentang kewajiban tertentu, tetapi pejabat lain memberikan informasi yang bertentangan. Konsekuen juga dapat bermakna bahwa isi komunikasi sesuai dengan tujuan organisasi. Beberapa contoh konkrit bentuk ketidak konsekuenan antara lain: (1) Mengumumkan adanya sistem penampungan saran tetapi dalam praktek tidak ada kelanjutannya dan (2) Mengumumkan adanya jaminan pintu terbuka untuk pengajuan pendapat para anggota organisasi, tetapi dalam kenyataannya mempersulit anggota dengan bermacam-macam alasan d. Berkecukupan Penyampaian informasi perlu juga berpedoman kepada asas memadahi kebutuhan atau dapat menyampaikan maksud secara cukup e. Pertimbangan waktu Pertimbangan waktu yang perlu mendapat perhatian dalam penyampaian informasi terdiri dari: (1) Penggunaan waktu yang setepat-tepatnya. Kapan informasi dapat dicerna dengan baik dan kapan waktu yang tidak tepat dan (2) Informasi tersebut dapat dipergunakan pada waktunya. Jadi penyampaian 104 Bab 7 – Komunikasi Dalam Organisasi Publik informasi perlu berpedoman pada asas bahwa informasi yang disampaikan dapat dipergunakan pada waktunya oleh anggota atau pejabat yang menerima f. Pengedaran Informasi di dalam organisasi harus dapat mencapai pejabat-pejabat atau personil yang tepat. Pertanyaan dalam hal ini adalah Siapa yang harus menerima informasi. g. Penyajian data, analisis dan informasi dalam rangka membina kesatuan gerak dan arah yang setepat-tepatnya sehingga pemanfaatan segala sumber yang diperlukan dapat diadakan koordinasi dengan sebaik-baiknya. 105 Teori Perilaku Organisasi Publik 106 BAB 8 Motivasi Dalam Organisasi Publik S etiap orang mulai dari yang paling miskin sampai dengan orang paling kaya atau rakyat jelata sampai presiden sekalipun membutuhkan adanya motivasi. Orang bisa capek, jenuh, bosan dan perasaan lainnya. Salah satu obatnya diberikan motivasi. Siagian (2003:132) menegaskan bahwa motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan, dalam bentuk keahlian atau keterampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dalam menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam realitas banyak ditemukan bahwa tidak mudah membuat orang untuk selalu termotivasi dalam bekerja, belajar, berjuang dan aktivitas lain. Mengapa hal demikian terjadi? Pertanyaan ini setelah ditelusuri penyebabnya ternyata ada bermacam-macam seperti ada rasa bosan atau jenuh dengan rutinitas yang harus dilakukan setiap hari, apa yang dilakukan kurang atau tidak mendapat penghargaan yang sepadan, tidak pernah atau sangat jarang melakukan represing, terlalu serius dan penyebab lainnya. Situasi yang demikian makin menegaskan bahwa kita tidak mudah mempertahankan motivasi yang hebat dan tidak mudah mengobati penurunan motivasi karena motivasi itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, seiring dengan keunikan manusia itu sendiri. Kita bisa juga menemukan bahwa perilaku anggota organisasi dipengaruhi oleh keinginan dan kemauannya untuk melaksanakan tugas dalam rangka mencapai tujuan. Keinginan dan kemauan merupakan wujud motivasi. Jadi, motivasi menjadi pendorong utama dalam banyak hal, khususnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) 107 Teori Perilaku Organisasi Publik seorang anggota organisasi. Jika ia tidak memiliki motivasi maka Tupoksi tidak akan berjalan seperti yang diharapkan. Gambaran singkat ini telah memperkuat bahwa motivasi menjadi penentu dinamika organisasi. Bermula dari sini terlihat dengan jelas bahwa motivasi dalam organisasi sangat penting akan kehadirannya. Muchlas (2005: 181) menegaskan bahwa motivasi sebenarnya adalah hasil interaksi antara individu dengan situasinya, sedangkan motivasi dalam perilaku organisasi Muchlas (2005: 181-182) dan Robbins (1993) merupakan kemauan untuk berjuang/ berusaha ke tingkat yang lebih tinggi menuju tercapainya tujuan organisasi, dengan syarat tidak mengabaikkan kemampuannya untuk memperoleh kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Pengertian ini makin memperkuat bahwa obat terhebat untuk mempertahankan tingkat motivasi seseorang sangat ditentukan dari dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki motivasi untuk bekerja, ia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, walaupun lingkungan tidak ada upaya memberikan motivasi, termasuk unsur pimpinan dan bawahan. Jadi obat motivasi bersumber dari dalam diri manusia (individu). Sungguhpun begitu, motivasi bekerja seseorang selain ditentukan dari dalam dirinya sendiri, tentu akan jauh lebih baik apabila motivasi dari dalam diri tersebut didukung oleh lingkungannya atau motivasi yang bersumber dari lingkungan (orang sekitar seperti keluarga, teman sejawat dan atasan). Selanjutkan untuk memahami motivasi maka kita tidak bisa melepaskan diri dari teori-teori klasik dan teori kontemporer yang berkembang hingga dewasa ini. Teori klasik yang banyak diacu untuk menjelaskan motivasi antara lain adalah teori hierarki kebutuhan yang ditulis oleh Maslow, teori X dan Y yang ditulis oleh McGregor, teori motivasi higienis yang ditulis oleh Herzberg. Masing-masing pemikir yang dikategorikan ke dalam teori klasik ini akan dijelaskan secara garis, seperti uraian berikut. Douglas McGregor (1960) yang menulis tentang The Human Side of Enterprise berpandangan bahwa ada 2 (dua) tipe manusia yaitu tipe X dan tipe Y, yang selanjutnya lebih populer dengan teori X dan teori Y. Kedua teori ini dapat diaplikasikan untuk manajer dan untuk pegawai (karyawan). Teori X menggambarkan perilaku yang cenderung negatif, sedangkan teori Y lebih mengambarkan pada perilaku yang positif sebagaimana disarikan oleh Siagian (1994) dan Thoha (2002). Teori ini seringkali dikategorikan sebagai Teori Organisasi Klasik. Teori X berpandangan bahwa manusia yang cenderung berperilaku negatif mempunyai karakteristik: (1) Manusia tidak senang bekerja atau berusaha menghindari pekerjaan; (2) Untuk itu, supaya manusia mau dan suka bekerja harus dipaksa, diawasi dengan ketat atau diancam dengan berbagai tindakan, agar tujuan organisasi tercapai secara maksimal; (3) Manusia (pekerja atau karyawan) akan berusaha mengelakkan tanggung jawab dan hanya akan bekerja apabila menerima perintah dari atasan; dan (4) Kebanyakan manusia (pekerja) mencari rasa aman di atas faktor-faktor 108 Bab 8 – Motivasi Dalam Organisasi Publik lainnya serta manusia kurang menunjukkan ambisi untuk maju, sedangkan teori Y berpandangan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk berperilaku positif, dengan karakteristik: (1) Pekerja memandang bekerja sebagai hal yang bersifat alamiah; (2) Pekerja akan berkerja dengan baik, tanpa harus selalu diarahkan dan diawasi; (3) Pekerja pada umumnya akan menerima tanggung jawab yang lebih besar; dan (4) Manusia (pekerja) akan berusaha menunjukkan kreativitasnya, termasuk berperan dalam pengambilan keputusan sebagai bagian dari tanggung jawab. Implikasi dari kedua teori (Teori X dan Teori Y McGregor) bagi organisasi adalah asumsi-asumsi Teori Y lebih dapat diterima dan dapat membantu manajer dalam mendesain organisasi dalam mencapai tujuan dan bagaimana memotivasi para pegawai untuk dapat bekerja lebih baik. McGregor (1960) menegaskan bahwa tahun 1960-an memperlihatkan antusiasme pekerja yang cukup tinggi untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan organisasi, penciptaan tanggung jawab dan tantangan pekerjaan, termasuk pembangunan hubungan kelompok-kelompok kerja yang lebih baik. Antusiasme ini, sebagian besar, diakibatkan oleh Teori Y dari McGregor dimaksud. Maslow (1943) menyumbangkan pemikiran tentang konsep teori yang dikenal dengan hierarki kebutuhan (hierarchy of needs). Maslow menegaskan bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia dengan sendirinya membentuk semacam hierarki, yakni dari kebutuhan fisik (psysiological needs), kebutuhan akan keselamatan atau rasa aman (safety and security needs) kebutuhan sosial (belongingness and love), kebutuhan akan penghargaan dan status (esteem and status), sampai dengan kebutuhan akan perwujudan atau aktualisasi diri (self-actualization), yang secara skematis dapat dibuat gambar sebagai berikut: self-actualization needs esteem and status needs belongingness and love safety and security needs psysiological needs Gambar 8.1 : Hierarki Kebutuhan Maslow Sumber : Maslow (1943) 109 Teori Perilaku Organisasi Publik Kebutuhan fisik, keamanan dan sosial merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia atau diusahakan untuk dapat dipenuhi, sedangkan kebutuhan keempat dan kelima hanya sebagian manusia yang dapat dipenuhi. Hal ini tercermin dari gambar segitiga di atas. Makin ke atas makin sedikit orang yang dapat memenuhinya, khususnya kebutuhan keempat dan kelima. Dengan pernyataan lain, kebutuhan fisik atau fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar dari hidup manusia seperti makan, air, pakaian, rumah dan kebutuhan seksual, termasuk didalamnya adalah perlindungan kesehatan. Kebutuhan keselamatan dan rasa aman menggambarkan dorongan setiap orang untuk mencari perlindungan. Kebutuhan rasa memiliki dan kasih sayang atau kebutuhan sosial hubungan interpersonal atau interaksi sosial dengan orang lain, berteman, mempunyai pacar dan berumah tangga. Dalam konteks organisasi, kebutuhan ini diselenggarakan secara bersama-sama dalam suatu team work. Kebutuhan akan status dan penghargaan berkaitan dengan simbolsimbol kesuksesan, seperti gelar kesarjanaan, pengakuan dari orang lain dan pemilikan barang-barang pribadi yang mewah. Manusia dalam hal ini ingin mendemonstrasikan kemampuannya dan membangun reputasi yang bisa dibanggakan di depan publik. Untuk kebutuhan aktualisasi diri merefleksikan hasrat dari individu untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan potensinya secara maksimal. Manusia pada tahap ini menginginkan adanya tantangan atau peluang dalam bekerja, dan dibarengi hasrat untuk mandiri dan menunjukkan tanggung jawab penuh. Semua ini menjadi alasan atau penyebab terjadinya perilaku manusia. Hasil studi Maslow ini diperluas lebih lanjut oleh Herzberg, yang disarikan oleh Davis dan Newstrom (1989: 71-72) yang menegaskan bahwa Herzberg menolak anggapan faktor pekerjaan tertentu hanya membuat pegawai tidak puas apabila tidak ada kondisi tertentu. Dengan demikian Herzberg membedakan antara faktor iklim baik (hygiene factors) atau faktor pemeliharaan sebagai faktor yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat kepuasan dalam diri pegawai, dengan faktor motivasi. Hal ini bermakna kondisi kerja berfungsi untuk menimbulkan motivasi. Faktor motivasi terutama berhubungan dengan isi pekerjaan (job content), sedangkan faktor pemeliharaan berhubungan dengan isi pekerjaan (job context) karena lebih berkaitan dengan lingkungan di sekitar pekerjaan. Oleh karena teori Herzberg ini membagi kedalam dua faktor yang populer dengan two-factor model of motivation. Untuk teori kontemporer yang disarikan oleh Muchlas (2005: 189-207) antara lain teori tentang Existence, Relatedness dan Growth (ERG) dari Clayton Alderfer yang oleh beberapa ahli dikategorikan sebagai wujud modifikasi dari hierarki kebutuhan Maslow, Teori Kebutuhan MeClelland; Teori Evaluasi Kognitif; Teori Karakteristik Tugas; Teori Penetapan Tujuan; Teori Penguatan; Teori Persamaan; Teori Ekspektasi dan Teori Kemampuan dan Kesempatan. Teori ERG dari Clayton Alderfer yang memodifikasi teori Maslow membagi dan mengelompokkan kebutuhan manusia menjadi 3 (tiga) 110 Bab 8 – Motivasi Dalam Organisasi Publik kebutuhan yaitu: (1) Kebutuhan akan keberadaan, terutama mencakup keperluan material pokok; (2) Kebutuhan akan adanya saling berhubungan, suatu keinginan untuk mempertahankan hubungan-hubungan penting sesama manusia atau hubungan sosial dalam rangka memperoleh kepuasan dan (3) Kebutuhan pertumbuhan yaitu keinginan intrinsik untuk pengembangan pribadi (Maslow menamakan kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri). Teori kebutuhan MeClelland yang berfokus pada 3 (tiga) kebutahan yaitu: (1) Keberhasilan; (2) Kekuatan/Kewenangan; dan (3) Afiliasi. Kebutuhan akan keberhasilan menjadi dorongan kuat bagi manusia untuk menjadi yang terbaik, tersukses, untuk mencapai keberhasilan sesuai standar yang telah ditetapkan dan berjuang untuk menjadi sukses. Kebutuhan akan kekuatan dapat mempengaruhi dan menjadikan orang lain berperilaku dengan cara-cara yang dikehendaki oleh si penggerak dan diusahakan, agar orang lain tidak berprilaku yang menyimpang dari yang telah ditentukan. Kebutuhan akan afiliasi merupakan keinginan untuk memiliki hubungan-hubungan persahatan atau hubungan antar manusia secara lebih akrap atau dekat. Pembelajaran dari teori ini adalah banyak orang yang memiliki dorongan kuat untuk berhasil, sehingga ia terus berjuang untuk mencapai keberhasilan daripada mengharapkan penghargaan dari orang lain untuk keberhasilannya. Dalam perilaku organisasi publik, perilaku manusia tidak muncul secara tibatiba. Perilaku manusia muncul karena ada alasan atau penyebab atau memiliki motivasi tertentu. Alasan atau motivasi dibelakang perilaku manusia pada umumnya berhubungan dengan kepentingan dan kebutuhannya. Kepentingan atau kebutuhan manusia pada umumnya berhubungan materi, finansial, jabatan dan non materi yang lain. Mengapa orang memiliki perilaku yang berbeda waktu menghadap atasan, dibandingkan bukan atasan. Mengapa orang berprilaku begitu sopan ketika mau ketemu calon mertua? Beberapa contoh ini salah satu jawabannya adalah manusia berbeda perilakunya karena berbeda motivasi. 111 Teori Perilaku Organisasi Publik 112 BAB 9 Budaya Organisasi Publik O rganisasi dan organisasi publik seperti yang telah dijelaskan pada Bab II telah ditegaskan bahwa makna organisasi dapat ditelusuri dari teori Klasik dan teori sistem. Teori klasik memandang organisasi identik dengan tempat, wadah dan atau alat bagi kegiatan administrasi dan manajemen, sedangkan teori sistem memandang organisasi sebagai sesuatu yang dinamis dan atau menggambarkan interaksi atasan-bawahan dan atau interaksi antar anggota organisasi. Hal ini bermakna bahwa organisasi itu hidup seperti layaknya organisme, sehingga kita mengenal siklus kehidupam organisasi dari lahir, tumbuh, berkembang makin besar dan maju sampai ada yang mengalami kegagalan dan kematian. Siklus kehidupan organisasi yang demikian dapat terjadi pada organisasi apapun, termasuk organisasi publik. Salah satu faktor penentu di antara faktor-faktor yang ada adalah budaya organisasi. Budaya organisasi dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku anggota organisasi publik. Anggota organisasi itu sendiri akan dipengaruhi oleh budaya setempat atau budaya organisasi di mana manusia (anggota) bekerja. Budaya di luar organisasi dan budaya anggota organisasi yang dibawa ke dalam organisasi juga dapat mempengaruhi budaya organisasi, termasuk perilaku organisasi publik. Sehubungan dengan budaya organisasi yang menjadi tema Bab IX maka sub-sub tema yang akan menjadi bahasan yaitu: (1) Konsep Dan Proses Terbentuknya Budaya Organisasi; dan (2) Peran Budaya Organisasi. Pilihan sub topik ini sangat subjektif dari penulis buku. Penjelasan secara mendalam dari masing-masing sub tema, seperti uraian berikut. 113 Teori Perilaku Organisasi Publik 9.1. KONSEP DAN TERBENTUKNYA BUDAYA ORGANISASI Sutrisno (2010 ; 2) menegaskan bahwa budaya organisasi sebagai perangkat sistem nilai-nilai (values), keyakinan-keyakinan (beliefs) atau norma-norma yang telah lama berlaku, disepakati dan diikuti oleh para anggota suatu organisasi sebagai pedoman perilaku dan pemecahan masalah-masalah organisasi. Oleh karena itu, apabila budaya organisasi demikian telah membudaya atau terinternalkan dalam organisasi dan anggotanya maka kelangsungan hidup organisasi akan terjamin. Persoalan yang muncul terkait dengan anggota organisasi itu sendiri. Mengapa Demikian? Sebelum manusia menjadi anggota suatu organisasi, ia sebenarnya telah memiliki budaya yang telah tertanam dalam hidupnya, sehingga ia memerlukan waktu untuk menghayati dan mengamalkan budaya organisasi. Selanjutnya Schein (1990) dalam Muchlas (2005:531) menegaskan secara konprehensif budaya organisasi dapat didefiniskan sebagai sebuah corak dari asumsiasumsi dasar, yang ditemukan atau dikembangkan oleh sebuah kelompok tertentu untuk belajar mengatasi problem-problem kelompok dari adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja dengan baik. Pengertian ini terlalu komplek untuk dipahami maka kita dapat memilih pendapat Sutrisno di atas atau Robbins (2003) yang menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan persepsi umum yang dipegang teguh oleh para anggota organisasi dan menjadi sebuah sistem yang memiliki kebersamaan kepentingan. Gagasan Robbins dalam praktek budaya organisasi yang sederhana terlihat dari atribut atau simbul-simbul yang terlihat dari seragam pakaian dinas yang mencirikan dari organisasi mana orang tersebut berasal. Contoh lain dapat diamati bagaimana hormat anak buah pada atasan. Hal ini akan terlihat dengan nyata di lingkungan kepolisian atau kemiliteran. Mereka yang tidak memberikan hormat kepada mereka yang memiliki pangkat lebih tinggi dianggap sebagai bentuk pelanggaran dan orang yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi. Dalam dunia kemiliteran barangkali tidak ada persoalan menginternalkan budaya organisasi. Berbeda halnya dengan organisasi non militer. Pimpinan organisasi dan anggotanya harus berjuang ekstra keras agar dapat menghayati dan mengamalkan budaya organisasi. Hal penting berikutnya, dalam organisasi ada budaya kuat dan ada budaya lemah. Kedua jenis budaya ini hidup dan ada di setiap organisasi. Robbins (2003) menegaskan bahwa budaya organisasi kuat adalah budaya di mana nilai-nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas anggota organisasi. FaktorFaktor yang Menentukan Kekuatan Budaya Organisasi adalah: (1) Kebersamaan dan (2) Intensitas. Ciri-ciri Budaya Organisasi Kuat adalah: (1) Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, (2) Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam 114 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik perusahaan digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang di dalam perusahaan sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif, (3) Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh orangorang yang bekerja dalam perusahaan, (4) Organisasi memberikan tempat khusus kepada pahlawan-pahlawan organisasi dan secara sistematis menciptakan bermacammacam tingkat pahlawan, (5) Dijumpai banyak ritual, mulai dari ritual sederhana hingga yang mewah, (6) Memiliki jaringan kulturan yang menampung cerita-cerita kehebatan para karyawannya, sedangkan Ciri-Ciri Budaya Organisasi Lemah menurut Deal dan Kennedy dalam Robbins (2003) terdiri dari: (1) Mudah terbentuk kelompokkelompok yang bertentangan satu sama lain, (2) Kesetiaan kepada kelompok melebihi kesetiaan kepada organisasi, (3) Anggota organisasi tidak segan-segan mengorbankan kepentingan organisasi untuk kepentingan kelompok atau kepentingan diri sendiri. Berdasarkan budaya organisasi kuat dan lemah tersebut maka menginternalkan budaya kuat ke dalam organisasi dan anggota organisasi menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Selain itu, pendapat yang telah diungkapkan dapat ditegaskan bahwa budaya organisasi yang kuat tidak cukup hanya berhenti pada slogan semata, tetapi wajib dihayati, dinyatakan dan diimplementasikan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam organisasi. Hal ini akan menjadi penentu atau sangat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi. Kotter dan Heskett (1997:13) menegaskan bahwa walaupun sulit untuk diubah, budaya organisasi dapat dibuat agar bersifat lebih meningkatkan kinerja, sedangkan Garna (1998: 2-3) menegaskan bahwa budaya usaha adalah pola pikir dan perangkat tingkah laku, sedangkan budaya perusahaan adalah institusi sosial wadah dari pola pikir dan tingkah laku tersebut, yaitu sejumlah kohesi, mitos, hero dan simbul-simbul tertentu yang mempunyai makna sangat berarti bagi orang-orang yang bekerja di dalam organisasi (perusahaan) tersebut. Budaya usaha itu berpengaruh terhadap organisasi, para karyawan, jenjang promosinya, pembuatan dan proses pengambilan keputusan, model dan cara berpakainnya sampai kepada jenis olah raga dan tolok ukur status yang ditunjukkan oleh olah raga tertentu bagi para stafnya. Salah satu contoh aplikasi budaya organisasi dalam hal ini mengambil studi di PTPN XIII. Pemahaman budaya organisasi penting karena budaya organisasi menjadi pedoman tingkah laku pelaku bisnis yang bernaung dan berhubungan langsung dengan PTPN XIII. Ngusmanto (2016:321) menegaskan bahwa sistem nilai yang dijadikan pedoman tingkah di lingkungan PTPN XIII mengacu pada tata nilai yang ditetapkan oleh PTPN XIII yang terdiri dari: (1) Integritas (integrity), (2) Disiplin (Diciplin), (3) Perbaikan terus-menerus (continual Improvement), (4) Bertindak segera (Prompt Action), (5) Tanggung jawab (Responsibility), (6) Inovasi (Inovation), (7) Komunikasi (Communication) dan (8) Kerukunan (Harmony). 115 Teori Perilaku Organisasi Publik Jadi, semua pelaku bisnis di bawah naungan PTP XIII dan yang terkait harus berpedoman pada tata nilai yang menjadi budaya organisasi tersebut dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindaknya. Mereka harus sama-sama bertekat untuk dapat berkolaborasi dan bersinergi untuk tumbuh dan berkembang bersama secara berkelanjutan. Hal ini dimungkinkan dan dapat diwujudkan karena mereka memiliki visi dan motif yang sama yaitu mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam membangun bisnisnya sebagai perwujudan budaya organisasi bisnis. Hal inilah yang dapat menjadikan mereka bisa berkembang bersama, maju dan mendapatkan keuntungan secara berkelanjutan. Nilai-nilai mendasar yang minimal menjadi budaya organisasi dan diimplematikan oleh pelaku bisnis di bawah naungan PTPN XIII adalah adanya kebersamaan (kerukunan), memiliki integritas, tanggung jawab, loyal, mematuhi norma perusahaan dan disiplin untuk bisa maju bersama secara berkelanjutan. Mereka yang berjuang untuk mendapatkan “gula” dari usahanya dan memiliki motif untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya merupakan logika bisnis yang dapat diterima secara wajar. Hal demikian juga wajar terjadi pada pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di bawah naungan PTPN XIII Kebun Ngabang. Perilaku bisnis di bawah naungan PTPN, khususnya kebun Ngabang dikaji dari perspektif budaya organisasi telah terjadi penyimpangan atau beberapa persoalan. Penyimpangan perilaku mereka pada prinsipnya terkait dengan tidak diimplementasikannya budaya organisasi yang dibangun oleh PTPN XIII Kebun Ngabang. Beberapa perilaku yang tidak sejalan dengan budaya organisasi antara lain ada diantara pelaku bisnis yang terlibat “permainan” dengan motif untuk “mengeruk” dan “menggerogoti” PTPN demi kepentingan dan mengejar keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompok, mereka “menghalalkan” segala cara melalui penyalahgunakan jabatan, memanfaatkan fasilitas PTPN untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok, tidak jujur dan tidak komitmen, sehingga budaya organisasi sebagai pedoman perilaku yang terdiri dari kebersamaan (kerukunan) antar pelaku bisnis, integritas, tanggung jawab, loyalitas, kepatuhan terhadap norma perusahaan dan disiplin dalam rangka mewujudkan usaha untuk maju bersama antar mereka secara berkelanjutan, masih mengalami kesulitan untuk diwujudkan. Ngusmanto (2016: 328332) menegaskan penjelasan yang lebih rinci dari perilaku yang tergolong menyimpang dari budaya organisasi dan dapat mengancam kelangsungan usaha bisnis, sekaligus untuk menjawab terhadap permasalahan penelitian yang dirumuskan, dapat dijelaskan seperti uraian berikut. Pertama perilaku sebagian unsur pimpinan sampai dengan karyawan kebun serta pabrik pengolahan CPO. Perilaku sebagian unsur pimpinan di lokasi penelitian tidak dapat dijadikan contoh bagi karyawan dan pelaku bisnis di bawah naungan PTPN. Memang tidak ada yang salah dengan bisnis kebun dan bibit sawit. Bisnis dalam hal 116 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik ini akan berdampak tidak positif apabila mereka mendapat perhatian khusus dan kemudahan. Banyak pelaku bisnis di bawah naungan PTPN yang tidak mengetahui dengan apa yang terjadi di dalam perusahaan karena lokasi jauh atau karena kesibukan mengelola kebun sawitnya. Sebagian dari mereka menerapkan prinsip “tahu sama tahu”. Sebagian pelaku bisnis timbul kecemburuan terhadap unsur pimpinan dan karyawan yang berbisnis kelapa sawit, terutama terhadap perlakuan pelayanan yang tidak sama antar pelaku bisnis. Sebagian pelaku bisnis bertanya: apakah pelayanan yang diberikan manajemen sama antara unsur pimpinan dan karyawan yang ikut berbisnis dengan mereka yang bukan unsur pimpinan dan karyawan?. Teori pelayanan publik masih melihat praktek pelayanan di negeri ini yang diskriminatif atau masih melihat siapa yang dilayani. Mereka yang kuat dari segi posisi atau kedudukan sosial di masyarakat akan mendapat pelayanan prima. Demikian juga bagi mereka yang telah dikenal dan memiliki kedekatan dengan bagian pelayanan akan mendapat pelayanan yang lebih cepat dan lebih diperhatikan dibandingkan yang lain. Fenomena kecemburuan yang demikian jika terus dibiarkan akan menimbulkan hubungan yang tidak harmonis. Beberapa ungkapan yang ditemukan antara lain: mereka sih nyaman berbisnis kebun dan bibit sawit, karena ia atau mereka telah memiliki jaringan yang luas. Mereka pasti sulit disaingi. Realitas sejak reformasi di negeri ini, khususnya di kebun sawit adalah adanya perubahan mendasar di lingkungan unsur pimpinan sampai karyawan golongan kecil dari dilarang membeli dan membangun kebun sawit menjadi bebas memiliki kapling kebun kepala sawit dan atau menanam kelapa sawit secara mandiri, termasuk usaha pembibitan kelapa sawit. Beberapa karyawan yang diwawancarai menegaskan bahwa kepemilikan kapling sawit atau menanam sawit sudah terjadi dari dulu. Awalnya diam-diam, tetapi sejak reformasi, mereka sudah terang-terangan. Karyawan yang tidak punya kapling dan hanya mengandalkan gaji, tentu secara ekonomi akan kalah dibandingkan mereka yang memiliki kebun kapling. Hal demikian tidak dilakukan oleh unsur pimpinan sampai karyawan kecil di awal pembangunan PTPN XIII, yang dulu dikenal sebagai PTPN VII karena perusahaan melalui direksi utama (Dirut) melarangnya. Larangan ini sangat relepan apabila dihungan dengan teori sosiologi. Banyak pakar sosiologi yang menegaskan bahwa masyarakat Indonesia lebih bersifat paternalistik. Masyarakat demikian membetuk pola hubungan yang dalam sosiologi dikenal sebagai pola patron-klien. Patron mewakili kelompok elit, aktor, tokoh, pemimpin, sedangkan klien mewakil masyarakat bawah, pengikut atau bukan aktor dan elit. Kelas elit sebagai penentu, sedangkan klien sebagai pengikut. Untuk itu, apa yang dilakukan oleh kelas elit dengan mudah akan ditiru dan diikuti kelas bawah. Sebagian dari kelompok elit di PTPN XIII berpandangan bahwa “jangan bodoh” apabila bekerja di PTPN. Makna jangan bodoh dalam hal ini adalah bekerja di PTPN itu penting, tetapi jangan tidak 117 Teori Perilaku Organisasi Publik ikut berbisnis. Tidak ikut berbisnis berarti suatu “kebodohan” dan secara ekonomi akan tertinggal jauh dengan yang ikut berbisnis kebun dan bibit sawit. Perilaku elit yang demikian inilah yang diikuti oleh karyawan bawah dan pelaku usaha yang terkait. Kedua, perilaku menyimpang dari sebagian karyawan kebun. Sebagian dari mereka menggunakan fasilitas PTPN XIII untuk kepentingan pribadi seperti alat panen. Selesai manen, alat panen dibawa pulang dan dipergunakan untuk memanen di kebun plasma milik teman atau kebun sendiri. Apabila perilaku demikian dibiarkan oleh manajemen, perilaku ini akan dicontoh dan dipraktekkan karyawan lain, yang secara kumulatif dapat merugikan perusahaan. Persoalan yang lebih rumit lagi adalah ada kecenderungan sangat kuat bahwa karyawan panen lebih banyak bekerja untuk mencapai target minimal atau mencapai prestasi normal (PN) = 30 TBS, sedangkan kelebihan PN yang akan dikonversi menjadi bonus kerja atau kerja lembur tidak dan atau belum menjadi prioritas atau nomor dua. Budaya kerja yang telah tertanam pada karyawan adalah asal PN sudah tercapai, mereka sudah cukup aman dari sangsi dan menjadi “merdeka”. PN penting bagi karyawan panen karena mereka mendapat perlengkapan panen, rumah, gaji tetap, tunjangan hari-hari besar agama 1 (satu) tahun sekali dan pengobatan gratis bagi karyawan, istri dan 2 (dua) anaknya. Realitas budaya kerja yang demikian menjadi fenomena menarik karena ada 2 (dua) alasan mendasar yaitu: (1) Banyak karyawan yang memiliki kebun sawit sendiri karena membeli kapling atau menanam sawit secara mandiri, dan (2) Upah memanen di kebun Plasma atau pihak III jauh lebih menguntungkan dibandingkan besar upah di kebun inti. Upah di kebun inti mulai dari Rp 68, 70 dan 72 setiap kg TBS (didasarkan ketinggian kepala sawit, makin tinggi makin mahal), sedangkan upah manen di kebun Plasa dan pihak III mulai dari Rp. 90 – 250/kg. Perbedaan besar upah yang begitu tajam inilah yang menjadi penyebab mengapa banyak karyawan yang hanya termotivasi untuk mengejar PN, sedangkan sisa waktu lainnya untuk bekerja dikebun sendiri atau mencari upah memanen di kebun Plasma temannya. Dalam kontek ini, mereka termasuk kurang kerja keras, kurang disiplin, kurang bertanggung jawab dan kurang integritas atau mereka belum banyak mengimplementasikan budaya organisasi. Ketiga, Petani Kebun Plasma dan Koperasi Unit Desa. Perilaku tidak positif dari sebagian petani Plasma dan pengurus KUD terlihat dari: (1) Sebagian dari mereka mau menerima titipan TBS dari pihak III. Titipan buah dari pihak ketiga tidak terlalu menimbulkan persoalan apabila umur tanaman sudah di atas 9 tahun dan kualitas buah terjamin, sekaligus quotanya belum terlampaui. Persoalannya adalah kualitas TBS dan umur tanam tidak sama. Hal demikian sangat merugikan perusahaan karena umur dan kualitas buah belum memenuhi standar, perusahaan harus membayar mahal. Perilaku demikian dipraktekkan karena mereka sama-sama diuntungkan (yang 118 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik titip maupun dititipi ada komitmen dalam pembagian keuntungan), (2) Menambah berat TBS dengan cara mencampur batu atau pasir yang masih melekat di TBS, (3) Mencampur TBS dari tanaman yang berbeda umur atau kualitas. Tanaman sawit yang sudah berumur 9 tahun ke atas – sampai 20 tahun memililiki kualitas yang bagus dibandingkan dengan umur tanam 3 – 8 tahun, (4) Mencampur TBS matang dengan TBS jelek. Perilaku demikian jika dilakukan oleh banyak petani akan merugikan PTPN secara sistematis dan berkelanjutan, (5) Menjual panen TBS kepada pabrik di luar PTPN XIII untuk menghindari potongan kredit. Perilaku demikian sudah pasti diketahui oleh pihak manajemen KUD. Mereka tidak terlalu perduli dengan perilaku menyimpang karena mereka merupakan kelompok yang mendapatkan keuntungan. Semakin banyak TBS petani plasma, semakin besar vee yang didapat oleh pengurus KUD. Memang tidak semua pengurus berperilaku menyimpang demikian. Ada pula petani Plasma yang memanen TBS, tetapi mereka menjual kepada pabrik swasta, dalam rangka menghindari pemotongan kredit. Memang jumlah mereka tidak banyak dan belum mengganggu aktivitas pabrik karena TBS yang masuk ke pabrik sudah over kapasitas. Perilaku menyimpang demikian tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Keempat, perilaku Petani pihak ke III. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki posisi penting di pemerintahan, wakil rakyat dan PTPN atau karyawan dan orangorang kaya di masyarakat yang bermukim di Ngabang atau di luar kabupaten Landak. Pertumbuhan kebun kelapa sawit terus bertambah dan atau tiada hari tanpa menanam kelapa sawit. Untuk itu, wajar sekali apabila pertumbuhan produk TBS sudah melebihi kapasitas pabrik pengolahan CPO. Memang manajamen kebun dan pabrik Ngabang menempatkan petani Plasma, kebun KKPA dan kebun inti menjadi prioritas pelayanan dibandingkan pihak ke III. Manajemen juga menerapkan budaya antri dan siapa yang duluan, akan dilayani lebih dahulu, sehingga tidak ada pelayanan yang diskriminatif. Hal demikian memang dilakukan oleh manajemen. Sungguhpun begitu, tetap ada kecemburuan terhadap orang-orang “hebat dan berkuasa” dibelakang petani pihak ke III. Mengapa sudah menjelang tutup buku, tetapi pabrik masih menerima TBS yang masuk dan mengapa mereka belum memiliki PK, tetapi bisa memasukkan TBS. Untuk itu, wajar apabila ada kelompok petani Plasma yang memprotes dengan menyatakan: TBS dari kebunnya baru diangkut sebagian, tetapi Quota yang menjadi haknya telah penuh atau terisi. Hal ini tentu ada yang menitip TBS kepada pihak lain. Persoalan demikian bisa makin menyulitkan manajemen di masa-masa mendatang apabila mereka tidak segera mengambil kebijakan. Selama 4 (empat) bulan penerapan sistem quota dalam tahun 2012, sudah 2 (dua) kali permasalahan quota kelompok tani diisi kelompok lain, sehingga mereka yang merasa quotanya diambil oleh pihak lain memprotes manajemen dan mendesak agar TBS-nya tetap diterima perusahaan. Kelima, perilaku pengusaha angkutan TBS. Tidak sedikit pengusaha angkutan yang terlibat dalam bisnis angkutan TBS. Hasil wawancara dengan beberapa sopir 119 Teori Perilaku Organisasi Publik truck diperoleh informasi bahwa mereka menghadapi persoalan: (1) Sulit mendatkan minyak solar, (2) Mereka harus antri memasukkan TBS rata-rata selama 2 hari dan, (3) Infrastruktur jalan yang kurang mendukung, sehingga kebun yang jauh akan menghabiskan waktu hampir satu hari. Mereka memang dibayar dengan upah yang besar, tetapi karena mulai dari mengangkut TBS dari kebun sawit sampai pabrik memerlukan waktu antara 3 – 4 hari, sehingga upah yang besar menjadi kecil. Belum lagi biaya makan dan minum yang harus mereka keluarkan selama menunggu antrian. Hal ini bukan hanya merugikan sang sopir, dan pengusaha angkutan, melainkan juga sangat merugikan petani sawit karena kualitas TBS akan menurun sebagai konsekuensi harus menginap beberapa hari sebelum diolah menjadi CPO. Persoalan yang beberapa kali terjadi adalah sopir truck lebih banyak termotivasi untuk mendapatkan upah, tetapi kurang peduli dengan TBS. Mereka memuat, mengangkut, menimbang dan memasukkan TBS ke pabrik, tanpa memperhatikan kematangan buah dan kualitas TBS yang diangkut. Ia tahu bahwa ada TBS yang kurang matang dan ada yang tercampur dengan pasir dan batu. Persoalannya adalah mereka telah mendapatkan muatan, diangkut dan ditimbang, tetapi setelah disortir oleh petugas pabrik, ada buah yang dikembalikan atau ditolak dan ada yang dipotong beratnya. Kondisi ini bukan hanya merugikan petani dan karyawan sortir, melainkan juga antrian orang lain karena menghabiskan waktu yang sia-sia. Beberapa perilaku menyimpang dari pelaku bisnis perkebunan kelapa sawit terhadap budaya organisasi seperti yang telah dijelaskan, dapat merugikan perusahaan secara terus-menerus dan bahkan akan mengancam kelangsungan hidupnya. Antar pelaku bisnis tersebut berprinsip “tahu sama tahu”, tidak saling mengganggu dan saling membiarkan apabila ada perilaku yang tidak sejalan atau menyimpang. Oleh karena itu, budaya organisasi PTPN XIII seperti yang telah diungkapkan harus bisa dicermati dan diimplementasikan oleh pelaku bisnis perkebunan mulai dari pola pikir dan pola sikap sampai pada pola tindaknya, sehingga mereka bisa berkolaborasi dan bersinergi untuk maju bersama secara berkelanjutan. Ngusmanto (2016: 233) menegaskan bahwa perilaku menyimpang dikaji dari budaya organisasi yang dilakukan oleh pelaku bisnis di bawah naungan PTPN XIII secara perlahan tetapi pasti akan menjauhkan mereka untuk bisa maju bersama secara berkelanjutan. Visi ini penting diwujudkan karena hubungan bisnis yang sebenarnya mereka bangun bukan hanya untuk hubungan jangka pendek atau sesaat, melainkan merupakan hubungan bisnis dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Berdasarkan beberapa perilaku menyimpang seperti yang telah diungkapkan maka ada beberapa langkah kebijakan yang ditempuh oleh manajemen PTPN XIII kebun Ngabang dalam rangka mengimplementasikan budaya organisasi dan meminimalkan kerugian. Langkah tersebut dijelaskan secara rinci seperti uraian berikut. 120 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik Pertama penerapan kebijakan sistem quota. Sistem ini untuk mengetahui besar produksi setiap lahan kebun sawit milik petani plasma, KKPA dan petani pihak III yang telah memiliki PK. Sistem ini penting dalam rangka mengendalikan dan menekan serendah mungkin terjadinya perilaku menyimpang, terutama yang terkait dengan titip-menitip TBS. Perilaku menitip TBS ini dilakukan oleh petani pihak III yang belum memiliki PK, sedangkan petani plasma dan KKPA serta kebun Inti sudah dapat diketahui besar produk TBS-nya dan tidak menimbulkan permasalahan bagi pabrik pengolahan CPO Ngabang. Penegasan ini penting karena mereka telah memiliki ikatan dengan PTPN, sehingga besar produksi TBS-nya sudah diketahui dengan persis. Di sisi lain, supaya sistem quota ini tidak merugikan pelaku bisnis di bawah naungan PTPN maka besar qouto yang ditetapkan telah dinaikkan sebesar 10% dari produksi normal. Untuk itu, jika produksi TBS mengalami kenaikan maka kenaikan yang terjadi tidak akan melebihi quota yang telah ditetapkan. Manajer kebun Ngabang menegaskan bahwa penetapan sistem quota menggunakan rumus tertentu, sehingga kemungkinan salah perhitungan sangat kecil, sekaligus besar produksi sudah ditambah atau dinaikan sebesar 10% dari produksi normal. Sehubungan dengan sistem quota ini maka manajer produksi akan dapat mengetahui kelompok kebun kelapa sawit mana yang quotanya sudah penuh dan mana yang belum penuh. Bagi kelompok yang telah cukup terisi quotanya, mereka tidak dapat lagi memasukkan TBS ke pabrik pengolahan. Apabila masih ada produk TBS yang masuk, sedangkan quota sudah penuh maka manajemen produksi dan manejemen pabrik dengan mudah akan mengetahui bahwa ada TBS titipan dari kelompok tani lain (pihak III). Hal demikian dapat dipastikan akan menimbulkan konflik antara manajemen dengan kelompok tani kelapa sawit. Untuk tahap awal, manajemen masih bisa diajak kompromi dan bersedia menerima TBS, tetapi jika masalah demikian terulang kembali maka manajemen tidak akan memberikan toleransi lagi. Untuk menghindari terulangnya konflik yang sama maka manajemen produksi menyiapkan surat pernyataan untuk ditandatangani ketua kelompok tani. Inti dari surat pernyataan untuk tidak mengulangi perilaku titip-menitip dan akan disanksi berat jika mengulangi kembali. Selama 4 (empat) bulan pemberlakukan sistem quota berdasarkan informasi manajemen PTPN XIII kebun Ngabang sudah terjadi 2 (dua) kali kasus melebihi quota dari kelompok tani yang berbeda. Dengan sistem quota ini, tanggung jawab pelaku usaha di bawah naungan PTPN XIII semakin meningkat. Kedua, penerapan kebijakan Sertifikasi Mutu Penerimaan Buah (SMPB). Sistem ini untuk mengawasi mutu TBS yang akan masuk ke penimbangan TBS yang akan dimasukkan ke pabrik pengolahan, dengan pembutan Pos SMPB. Setiap kendaraan pengangkut TBS sebelum masuk ke timbangan, mereka wajib mendapatkan keterangan SMPB. Surat keterangan ini ada 3 (tiga) jenis yaitu TBS baik, perlu pemeriksaan lebih lanjut dan sangat mencurikan (buah jelek). Umumnya sopir truck yang mengurus 121 Teori Perilaku Organisasi Publik keterangan SMPB tidak mengetahui jika ada 3 (tiga) jenis keterangan SMPB karena ketiganya sangat mirif dan hanya petugas yang dengan mudah mengetahuinya. Jadi, semua sopir truck dengan mudah mendapatkan keterangan SMPB. Kebijakan ini ditempuh untuk menghindari kerugian yang lebih besar yang dialami oleh PTPN XIII. Kerugian-kerugian yang dialami PTPN XIII antara lain: (1) Buah belum matang dicampur dengan buah yang sudah matang, (2) buah yang tidak layak atau jelek tetap dimasukkan seperti buah yang sudah kadaluarsa dan buah matang yang diperam, (3) buah yang dicampur dari tahun tanam yang berbeda, dengan kualitas yang belum sama, (4) Buah yang dicampur pasir dan batu. Semua ini sangat merugikan PTPN XIII. Melalui sistem SMPB, kerugian dapat diminimalkan. Kebijakan ini pun baru berlangsung selama 4 bulan terakhir. Pembentukan Tim Sorting di Loading Ram. Tim ini sudah ada sejak dulu dan dalam 4 (empat) bulan terakhir makin diberdayakan dan harus tegas dalam menangani persoalan kualitas TBS yang akan dimasukkan ke pabrik pengolahan CPO. Setiap truck pengangkut sawit yang masuk pabrik harus melewati sorting loding ram. Tim yang bertugas pada bagian ini akan menerima surat keterangan SMPB dari setiap sopir pengangkut TBS. Mereka akan memeriksa mana yang perlu dicermati atau diperiksa dan mana yang tidak memenuhi persyaratan. Kedua hal inilah yang akan diperiksa. Jika benar bahwa TBS tidak memenuhi persyaratan maka tim akan meminta sopir untuk menurunkan TBS-nya dan menjelaskan kepada sopir tentang permasalahan TBS. Sebagian dari TBS ada yang harus dibawa pulang oleh truck yang besangkutan. Bagi mereka yang dianggap melakukan pelanggaran atau tidak sesuai ketentuan maka petugas sorting akan memberikan sanksi. Beberapa sanksi yang dijatuhkan adalah: (1) memotong berat TBS dan (2) menyuruh sopir untuk membawa pulang TBS atau dikembalikan kepada pemilik TBS. Keempat, bagi karyawan yang hanya bekerja untuk memenuhi PN dan lebih banyak bekerja di luar kebun inti akan dibina dan dimotivasi untuk bisa bekerja mencapai target perusahaan. Mereka yang melakukan pelanggaran akan diberikan teguran lisan, teguran tertulis dan jika tidak ada perubahan maka perusahaan akan memberhentikan orang yang bersangkutan. Hal demikian normal saja dilakukan oleh manajemen karena mereka mendapat gaji tetap, perumahan, tunjangan hari besar agama dan biaya gratis berobat untuk diri dan keluarganya. Oleh karena mereka mendapatkan beberapa hak maka perusahaan juga dapat menjatuhkan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. 9.2. PERAN BUDAYA ORGANISASI Peran budaya organisasi dalam hal ini akan diaplikasi dalam lingkungan organisasi negara (birokrasi). Ngusmanto (2015) menegaskan bahwa dalam berbagai peraturan 122 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik tersebut dengan jelas diamanahkan bagaimana menjadi PNS yang ideal atau seharusnya antara lain: melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang bertanggung jawab, tidak melakukan tindakan tercela, bersih dari KKN, setia pada Pancasila, UUD 1945 dan Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI), berdisiplin, mentaati peraturan yang berlaku, tidak berpolitik praktis, menjaga rahasia Negara, melaksanakan kewajibannya sebaik mungkin, menempatkan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, profesional, serta masih banyak contoh lainnya. Persoalannya adalah ada kesenjangan yang lebar antara yang diatur (harapan) dengan yang dilaksanakan oleh PNS (kenyataan). Sebagai konsekuensi, banyak PNS yang melakukan KKN, tidak disiplin dan ada yang melakukan tindakan tercela dan masih banyak kelemahan lainnya. Pertanyaannya: Mengapa hal demikian terjadi? Hal ini terjadi karena internalisasi budaya organisasi selama ini baru lebih banyak berhenti pada tataran slogan. Oleh karena itu, Ngusmanto (2015) menegaskan budaya organisasi apa dan yang mana yang diperlukan oleh birokrasi pemerintah agar birokrasi dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsi, termasuk fungsi pembangunan. Beberapa budaya organisasi yang harusnya diinternalisasi antara lain: (1) Integritas (integrity), (2) Disiplin (diciplin), (3) Perbaikan terus-menerus (continual improvement), (4) Bertindak segera (Prompt Action), (5) Tanggung jawab (responsibility), (6) Inovasi (inovation), (7) Komunikasi (communication), (8) Profesional, (9) Bebas dari KKN, (10) Ramah, (11) Memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik birokrasi, (12) Jujur, (13) Tidak boros, (14) Efisien, (15) Transparan, (16) Adil, (17) Setia atau loyal kepada bangsa dan negara, (18) Menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, (19) Kerja keras, (20) Malu berbuat tercela, (21) Tidak diskriminatif, (22) Menghargai kualitas, (23) Menunjukkan keteladanan dan masih banyak lainnya. Pilihan budaya organisasi mana yang perlu diprioritaskan, sangat ditentukan oleh permasalahan yang terjadi pada unit kerja masing-masing. Untuk itu, kita bisa menggunakan budaya organisasi yang kuat sebagai prioritas dan yang lemah sebagai tambahan. Budaya organisasi apa dan yang mana yang diperlukan untuk membangun birokrasi? Salah satu contohnya adalah budaya efisien. Mengapa hal ini dipilih? Banyak perilaku birokrasi yang boros yang terkait dengan penggunaan dan pemanfaatan fasilitas, Sarana dan prasarana kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS). Demikian juga ada masalah yang terkait dengan efektifitas dan efisiensi alokasi sumber daya yang terdiri dari Men, Money, Machines, Methods dan Materials. Hal ini mengindikasikan bahwa budaya efisien belum menjadi budaya organisasi, sehingga banyak perilaku yang boros. Di sisi lain, seringkali kita tidak menyadari bahwa masih banyak warga (rakyat) di Indonesia dan NSB yang miskin yang memerlukan perhatian serius, tetapi banyak di antara kita malahan bergaya hidup yang tidak efisien (boros), yang dapat menciderai rasa keadilan rakyat. 123 Teori Perilaku Organisasi Publik Efisiensi dalam segala hal, khususnya manajemen dan organisasi makin relevan dan penting untuk menjadi budaya organisasi karena perkembangan dunia yang makin mengglobal. Globalisasi ditandai oleh kemajuan pesat dibidang teknologi komunikasi elektronik, komputer dan informasi, sekaligus pergantian milenium II ke III yang terjadi dewasa ini, serta era pasar bebas, yang menuntut kompetensi dan kualitas di segala bidang. Mereka yang tidak efisien akan tertinggal dan tergilas oleh persaingan. Mereka yang efisien akan dapat memanfaatkan peluang dan kesempatan, dapat menikmati keuntungan di bidang ekonomi, politik dan sosial budaya atau sesuai dengan aspek yang ditekuninya. Jadi, efisiensi wajib menjadi budaya manajemen pemerintah dan swasta di masa kini dan mendatang dalam rangka memenangkan persaingan global. Pengelola manajemen dan organisasi Negara yang tidak memperhitungkan efisiensi akan berada dibelakang, selalu tertinggal, tidak mampu bersaing, tidak akan memiliki keunggulan komperatif dan malahan akan menghadapi ancaman kebangkrutan atau kematian organisasi. Kebutuhan akan efisiensi makin terasa terutama di negara-negara sedang berkembang. Realitas menunjukkan bahwa banyak organisasi di negara sedang berkembang dapat hidup karena fasilitas negara atau pejabat pemerintah atau publik bukan karena kerja keras, disiplin dan kemampuan bersaing. Indikasinya banyak organisasi yang terjebak oleh konsfirasi, kolusi, korupsi dan nepotisme (K3N). Efisiensi manajemen dan organisasi dalam berbagai tingkatan menjadi penentu tercapainya tujuan organisasi (Negara). Ngusmanto (2015) menegaskan bahwa organisasi ekonomi yang tidak efisien akan mengami kesulitan dan tidak mampu bersaing. Organisasi Pemerintah (birokrasi) yang tidak efisien akan menimbulkan persoalan sebagai berikut: a. Akan menciptakan berbagai kelambanan dan hambatan dalam mewujudkan iklim usaha (investasi) yang kondosif dan menguntungkan b. Pelayanan yang kurang memuaskan c. Menimbulkan berbagai keluhan, prustasi dan kerawanan sosial d. Akan terjadi pemborosan penggunaan sarana yang terdiri dari Men, Money, Machines, Methods dan Materials e. Sulit bersaing, tidak memiliki keunggulan komperatif, dan selalu tertinggal dari bangsa lain. Realitas yang telah diungkapkan menjadi pembelajaran bahwa efisiensi menjadi salah satu prioritas pembangunan administrasi sebagai bagian dari budaya organisasi. Oleh karena begitu pentingnya efisiensi maka efisiensi harus menjadi gerakan bersama dan menjadi budaya warga negara dalam bekerja, kegiatan di luar kerja dan di rumah masing-masing. Supaya budaya organisasi yang dijadikan komitmen birokrasi tidak berhenti pada tahapan slogan semata, tetapi dihayati, dinyatakan dan diimplementasikan 124 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh semua anggota organisasi maka banyak cara yang harus dilakukan. Cara-cara yang harus dilakukan antara lain: (1) Jika ingin mencegah dan memberantas KKN maka semua anggota harus tahu, memiliki kependulian, mau dan mampu melakukan (tercermin dalam tingkah laku sehari-hari) (2) Membangun budaya organisasi merupakan pekerjaan yang tidak mudah, sehingga upaya ini harus secara konsisten dilaksanakan dan semua pihak mau bekerjasama untuk mewujudkan (3) Internalisasi budaya organisasi memerlukan perubahan mindset dan ada dukungan komitmen yang kuat dari semua pihak dan kalangan (dari dalam dan luar birokrasi) (4) Gerakan membangun budaya harus dilakukan secara sistematis, terarah, didukung oleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen; dan (5) Semua orang dalam birokrasi harus membuat pernyataan komitmen bersama tentang berbagai nilai yang akan diinternalkan dalam birokrasi. Misalnya tidak melakukan tindak pidana KKN, bekerja profesional dan tidak diskriminatif serta siap diberikan sanksi apabila melakukan pelanggaran (sekedar contoh) melalui penandatanganan dokumen pakta integritas. Lebih tegas lagi, Ngusmanto (2015) menegaskan bahwa internalisasi budaya organisasi memerlukan langkah-langkah yang dimulai dari tahap pengenalan dan pemahaman (knowing the good atau learning to know) tentang isi budaya organisasi. Cara yang dapat ditempuh melalui pendidikan informal, sosialisasi, penulisan buku praktis untuk diserbarluaskan dan bisa juga melalui diskusi, FGD, publikasi melalui media massa dan media sosial. Dilanjutkan dengan langkah kedua yaitu penumbuhan rasa cinta dan penandatangan dokumen fakta integritas. Akhirnya dihayati, diimplementasikan atau diamalkan melalui tingkah laku sehari-hari, sebagai gerakan bersama. Langkah ini dianggap berhasil apabila semua orang dalam birokrasi paham dan mengetahui dengan persis budaya organisasi, tumbuh rasa cinta dan bertanda tangan pada dokumen fakta integritas dan akhirnya diikuti penghayatan dan pengamalan (doing the good, learning to do, learning to live together dan learning to be) yang tercermin dari tingkah laku semua orang dalam birokrasi; menjadi gerakan bersama yang masif dan menjadi basis gerakan moral. Prioritas pembangunan administrasi selanjutnya adalah pembangunan sinergitas dan partisipasi kekuatan bangsa. Fakta menarik untuk mengawali betapa pentingnya sinergitas kekuatan bangsa terlihat dari makin menguatnya ego dan ego dalam berbagai aktivitas. Kita mengenal munculnya dan begitu kuatnya ego sektoral atau unit kerja sebagai fenomena umum di negeri ini. Ada sisi positif dari ego ini yaitu mereka akan membela sektoralnya atau unit kerjanya, melindungi dan bila diperlukan akan ditutupi kelemahan, kekurangan dan kesalahan. Ego dalam hal ini akan menjadi persoalan besar 125 Teori Perilaku Organisasi Publik apabila mereka akan mewujudkan birokrasi yang lebih berkualitas dan profesional. Mengapa bisa demikian? karena ego hanya akan menyulitkan menentukan titik mulai suatu kegiatan, langkah-langkah yang harus ditempuh dan penentuan tujuan, sehingga ego yang terjadi akan menyulitkan untuk mewujudkan pencapaian tujuan. Oleh karena itu, ego sektoral atau unit kerja menjadi persoalan yang perlu dicarikan solusi. Salah satu solusi untuk mengatasi ego dapat dilakukan melalui Penguatan sinergitas. Pembangunan atau penguatan sinergitas menjadi keniscayaan karena sinergitas menjadi kebutuhan setiap bangsa untuk mewujudkan pencapain tujuan secara optimal. Tidak semua aparatur Negara telah berusaha untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih secara bersama sebagai suatu gerakan. Sudah banyak di antara mereka yang telah berusaha masing-masing, tetapi tidak disinergikan dan tentu saja ada di antara mereka yang masa “bodoh” karena sudah berada di zona nyaman dengan kondisi yang ada. Sebagai konsekuensi tidak bersinergi, hasil kurang optimal atau terkesan tidak ada kemajuan. Idealnya, semua harus bersinergis dalam mewujudkan tujuan. Semua harus bergerak menuju dan mewujutkan titik yang sama yaitu birokrasi yang lebih berkualitas, baik, profesional, cepat, tanggap, bersih, efisien, efektif, tepat ukuran dan fungsi, produktif dan berkinerja tinggi atau apa saja yang akan diwujudkan. Apabila titik yang akan dituju untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih maka semua orang harus bersenirgis ke sana untuk mewujudkannya. Titik yang akan dituju akan dapat diwujudkan apabila: a. Semua pihak mengetahui dan memahami dengan baik dan benar titik mana yang akan dituju b. Semua pihak mempunyai keinginan dan komitmen yang sama ke satu titik c. Semua pihak bersinergis menuju ke titik yang akan dituju, termasuk sinergi dalam konsep (pemikiran) dan tindakan. d. Ada kepedulian, ada yang mengingatkan jika ada kesalahan dan siap dikoreksi dan disanksi apabila melakukan kesalahan. Sinergitas akan makin terbangun dan semakin memudahkan dalam menyelesaikan masalah-masalah besar bangsa dan Negara, apabila sinergitas dalam hal ini didukung oleh partisipasi masyarakat. Tjokrowinoto (1993:48) menegaskan bahwa partisipasi secara aktif dalam pembangunan di lingkungan masyarakat pedesaan sangat dibutuhkan bahkan sudah menjadi mitos dari pembangunan itu sendiri, sehingga hampir semua negara mengumumkan secara luas kebutuhan partisipasi dalam semua proses pembangunan. Partisipasi masyarakat merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara untuk memberikan kontribusi kepada siapa saja dengan maksud dan tujuan yaitu untuk mencapai tujuan kelompok, sehingga mereka diberikan kesempatan dalam berpartisipasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan mengevaluasi 126 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik pelaksanaan pembangunan dengan mengembangkan kreatifitas yang ada dalam pola pikir dan mata hati mereka yang akan disampaikan dalam musyawarah desa (disebut juga “Rapat Desa”). Oleh karena pentingnya partisipasi atau dukungan atau kontribusi atau keikutsertaan masyarakat maka partisipasi menjadi kunci segala sesuatu, termasuk sukses atau tidaknya pelaksanaan pembangunan. Apabila partisipasi ada di mana-mana dan dilakukan oleh banyak orang maka tidak ada pekerjaan yang tidak sukses. Hasil bisa lebih optimal, semua biaya menjadi lebih ringan, pekerjaan lebih lancar, sekaligus partisipasi dalam hal ini akan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dan memiliki terhadap hasil pekerjaan. Persoalan yang muncul dalam 15 tahun terakhir adalah ada penurunan yang signifikan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan. Mengapa fenomena ini terjadi dan faktor apa penyebabnya? Pertanyaan ini harus dapat dijawab oleh administrasi pembangunan karena salah satu tugas pokok dan fungsi administrasi pembangunan adalah membangun partisipasi masyarakat. Jawaban atas pertanyaan ini dijelaskan pada Bab tersendiri. Pembangunan berikutnya terkait dengan pemantapan dan penyempurnaan sistem dan prosedur dalam pelayanan publik. Mengapa sistem dan prosedur menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan administrasi? Pertanyaan demikian muncul karena ada beberapa alasan: (1) Masih menimbulkan banyak keluhan karena lama dan lambat; (2) Menjadi salah satu sumber atau titik korupsi atau penyalahgunaan jabatan atau wewenang; (3) Menjadi sumber atau titik penyebab mengapa investor membatalkan niatnya untuk berinvestasi karena sulitnya mengurus perijinan; dan (4) Menjadi sumber perusak citra bangsa. Persoalan ini tidak terlepas dari keberadaan birokrasi dan tingkah laku birokrat. Birokrasi dalam hal ini menjadi cermin dari proses dan sistem untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur dan pasti. Berpijak pada persoalan demikian maka Menteri PAN dan RB sudah lama menggariskan kepada birokrasi publik tentang berbagai rambu-rambu dalam pemberian pelayanan seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, dan keadilan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance. Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan, menjengkelkan dan mahal. Ada pula yang memandang birokrasi dimaknai sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib, memahami hak dan kewajiban serta berbagai pengaturan lainnya. Lebih tegas lagi, ada pandangan bahwa birokrasi menjadi alat yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi, dan ada pula pandangan negatif bahwa birokrasi menjadi alat untuk memperoleh, mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan melalui berbagai sistem dan prosedur yang kaku, berlebihan, penyimpangan dan menutup diri dari kritik. Oleh karena itu, salah satu yang harus diwujudkan dalam pelayanan publik terkait dengan rambu-rambu kesederhanaan. Kesederhanaan dalam 127 Teori Perilaku Organisasi Publik pelayanan mempunyai maksud bahwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan kepada masyarakat (publik) harus menjadi lebih mudah, lancar, cepat, tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan dilaksanakan, sehingga birokrasi tidak dipandang negatif. Perlu ditegaskan pula bahwa pandangan negatif terhadap birokrasi seperti yang telah diungkapkan dapat menimbulkan pandangan tidak optimis. Mengapa? Kompleksnya permasalahan birokrasi perizinan telah dianggap sebagai masalah abadi dan tidak ada solusinya. Pengalaman beberapa sahabat penulis menuturkan bahwa ada 2 (dua) jalan dalam birokrasi yaitu jalan lurus, tapi lama dan jalan cepat (kilat atau ekspres), tetapi mahal. Ada pula yang memberikan istilah jalan depan (lama) dan jalan belakang, tetapi cepat. Kedua jalan ada harga yang harus dibayar. Dalam rangka memberikan solusi dari kerumitan sistem dan prosedur perizinan seperti yang telah diungkapkan maka pemerintah menetapkan kebijakan dalam wujud penyederhanaan Perizinan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan terintegrasi (one-stop service); Kebijakan ini sangat baik, tetapi dalam implementasinya belum didukung komitmen yang optimal dari birokrat. Jadi, kebijakan yang baik belum berarti atau bermakna, sebelum mendapat dukungan yang optimal dari implementor. Implementor dalam hal ini harus siap memberikan pelayanan yang terbaik, murah, sederhana dan cepat. Perlu ditegaskan bahwa dengan mengacu pada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) No. 5 Tahun 2014 diamahkan tentang Nilai Dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN. Tujuan Kode Etik dan Kode Perilaku diberlakukan untuk menjaga martabat dan kehormatan ASN. Untuk Nilai Dasar berisi: (1) Memegang teguh idiologi Pancasila; (2) Setia dan mempertahankan UUD 1945 serta pemerintah yang sah; (3) Mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia; (4) Menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak; (5) Membuat keputusan berdasarkan prinsip keahlian; (6) Menciptakan lingkungan kerja yang non diskriminatif, (7) Memelihara dan menjunjung tinggi standar etika yang luhur; (8) Mempertanggungjawabkan tindakan dan kinerjanya kepada publik; (9) Memiliki kemampuan dalam melaksanakan kebijakan dan program pemerintah; (10) Memberikan layanan kepada publik secara jujur, tanggap, cepat, tepat, akurat, berdaya guna, berhasil guna, da santun; (11) Mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi; (12) Menghargai komunikasi, konsultasi dan kerja sama; (13) Mengutamakan pencapaian hasil dan mendorong kinerja pegawai; (14) Mendorong kesetaraan dalam pekerjaan dan (15) Meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan yang demokratis sebagai perangkat sistem karier. Untuk Kode Etik dan Kode Perilaku berisi pengaturan perilaku agar pegawai ASN : (1) Melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas tinggi; (2) Melaksanakan tugasnya dengan cermat dan disiplin; (3) Melayani dengan sikap hormat, sopan dan tanpa tekanan; (4) Melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan (5) Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan 128 Bab 9 – Budaya Organisasi Publik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan; (6) Melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau pejabat yang berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan; (7) Menjaga kerahasiaan yang menyangkut kebijakan negara; (8) Menggunakan kekayaan dan barang milik negara secara bertanggung jawab, efektif dan efisien; (9) Menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya; (10) Memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan kepada fihak lain yang memerlukan informasi terkait kepentingan kedinasan; (11) Tidak menyalahgunakan informasi interen negara, tugas, status kekuasaan dan jabatannya untuk mendapat atau mencari keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri atau untuk orang lain; (12) Memegang teguh nilai dasar ASN dan selalu menjaga reputasi dan integritas ASN serta (13) Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin ASN. Nilai Dasar serta kode etik dan kode perilaku ASN ini idialnya menjadi budaya organisasi ASN. Untuk sampai pada tahapan dipahami, dihayati dan diamalkan Nilai Dasar serta kode etik dan kode perilaku maka kementerian pemberdayaan aparatur negara dan Reformasi Birokrasi beserta jajarannya perlu kerja keras, sekaligus didukung oleh ASN itu sendiri. Di sisi lain, sanksi tegas bagi ASN yang melanggar harus dilakukan. 129 Teori Perilaku Organisasi Publik 130 BAB 10 Penutup P erilaku Organisasi dalam kehidupan kita perlu dipahami dan dipelajari agar dapat mengendalikan jalannya suatu organisasi yang jauh lebih optimal. Perilaku Organisasi dapat memainkan peranan penting dan sangat menentukan bagi perkembangan organisasi dan keberhasilan kerjanya di masa kini dan mendatang, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Perilaku organisasi mempelajari dan mengkaji perilaku manusia baik secara individu, kelompok atau organisasi dan organisasi sebagai wadah perilaku manusia untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih efektif dan efisien, sekaligus mempelajari pengaruh manusia sebagai individu dan kelompok terhadap organisasi serta interaksi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok dalam organisasi. Thoha (2001) memprediksi bahwa organisasi-organisasi di masa mendatang di bidang penataan organisasi di masa kini dan mendatang akan mempunyai sifat-sifat yang unik. Struktur organisasi formal akan mengalami penambahan dan perubahan yang bervariasi, sehingga banyak dijumpai organisasi-organisasi baru, yang kadangkadang tanpa menganalisis lebih lanjut struktur formal yang ada. Dalam praktek akan banyak dijumpai organisasi-organisasi tandingan yang non struktural atau muncul organisasi-organisasi non struktural baru. Keadaan seperti ini dinamakan gejala proliferation dalam organisasi yang mengandung makna suatu pertumbuhan yang cepat dari segi struktural yang dibentuk untuk menerobos kesulitan dalam birokrasi. Perkembangan demikian dalam beberapa tahun terakhir telah terlihat dengan jelas, sehingga prinsif organisasi yang diacu bukan raping dalam struktur, melainkan gemuk dalam stuktur. Belum lagi muncul pembentukan badan-badan baru non struktural 131 Teori Perilaku Organisasi Publik seperti komisi pengawas haji Indonesia, Komisi Banding Paten, Dewan Pengupahan Nasional, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Dewan Pertimbangan Kesehatan Nasional, Dewan Koperasi Nasional, Komisi Nasional Lanjut Usia, Komisi Ekonomi Industri Nasional, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Koordinasi Keamanan Laut, Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur, Dewan Gula Nasional, Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik sekedar contoh, yang sebenarnya masih banyak sekali. Hal ini menjadi bukti bahwa ada pandangan organisasi yang sudah ada dipandang kurang mamadahi untuk menjalankan tugas dan fungsi baru yang berkembang. Di satu sisi, memang ada kebutuhan objektif organisasi atau unit baru, tetapi di sisi lain dipertanyakan mengapa tidak mengoptimalkan organisasi yang sudah ada. Pertanyaan ini muncul karena pembentukan organisasi non struktural baru, belum dapat memberikan jaminan mempunyai kinerja yang bagus. Satu hal yang pasti dengan penambahan organisasi bahwa beban rutin negara akan meningkat dan hal ini bisa mengarah pada suatu pemborosan. Belum lagi kepentingan yang ada dibalik pembentukan berbagai organisasi non struktural. Di era pemilihan langsung dalam bentuk pemilihan presiden dan wakilnya, gubernur dan wakilnya, walikota dan wakilnya serta bupati dan wakilnya tidak bisa berjuang sendiri. Mereka harus membentuk tim sukses. Tim sukses yang terbentuk, sudah pasti mempunyai kepentingan. Kepentingan-kepentingan inilah yang harus diakomodasi. Mereka harus dipelihara selama yang diusungnya berkuasa dan cara memelihara yang sangat populer dipenuhi kepentingan dan kebutuhannya. Dalam praktek yang demikian sudah menjadi kelaziman dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Untuk itu, pembentukan organisasi non struktural dipandang sebagai upaya balas jasa terhadap tim sukses. Balas jasa bisa dalam bentuk jabatan dan atau proyek atau finansial. Jadi, setiap organisasi dalam menjalankan roda organisasi atau kiprahnya selalu dituntut untuk melakukan perubahan dan mengantisipasi perubahan global yang terjadi. Hal ini harus dilakukan oleh semua orang dalam organisasi, sebagai upaya menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang semakin komplek dan modern. Jika tuntutan demikian tidak mendapat perhatian maka organisasi yang sudah ada akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan keberadaannya (existence) dan melakukan perkembangan (of growth) serta akan terlindas dalam persaingan global (global emulation). Proses perubahan dalam hal ini berpengaruh signifikan terhadap sikap dari individu/kelompok anggota organisasi. Mereka yang siap mendukung akan menyambut secara positif dengan adanya perubahan, tetapi tentu ada juga yang tidak siap, sehingga mereka mengesankan menolak perubahan. Situasi demikian akan terjadi dan hal ini sebagai wujud adanya konflik, akan menimbulkan keresahan dan menjadi salah satu penyebab mengapa organisasi tidak dapat hidup sehat. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena pada akhirnya akan menurunkan kinerja, 132 Bab 10 – Penutup produktivitas, semangat, kerjasama dan kualitas pelayanan. Apabila hal demikian terjadi maka organisasi tersebut sulit berkembang dan bahkan bisa menjadi mati, khususnya organisasi non pemerintah. 133 Teori Perilaku Organisasi Publik 134 Daftar Pustaka Abcarian, Gilbert dan George S. Masannat,. 1970. Contemporary Political Systems, Charles Scribner’s Sons, New York, Abdullah, Syukur, 1991, Budaya Birokrasi di Indonesia, dalam Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin (eds), Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta, Pustaka Utama Grafit Arif, Syofian, Mirian., 1995. Organisasi dan Manajemen., Jakarta, Universitas Terbuka Arif, Saiful. 2006. Malang., Reformasi Birokrasi dan Demokratisasi Kebijakan Publik, Program Penguatan Simpul Demokrasi Kabupaten Malang Azwar, Azrul., 2012., Gerakan Pramuka sebagai Wadah Pembentuk Karakter Bangsa., disampaikan pada Kuliah Umum Civitas Akademika Universitas Tanjungpura, Pontianak Barnard, M. 2009, Fashion Sebagai Komunikasi: Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender, Jalasutra, Yogyakarta dan Bandung. Belione, J. Carl., 1980. Organization Theory and the New Public Administration, Boston, Allyn and Bacon, Inc. Bennis, Warren. 1994., Menjadi Pemimpin Efektif (On Becaming A Leader)., Elek Media Komputindo Budiardjo, Miriam. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta., Gramedia Bloom, Benjamin., http://www.definisi-pengertian.com/2015/07/definisi-pengertianperilaku-menurut -ahli.html, diakses, Juli 2015 Bratakusumah, D.S, dan Riyadi., 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bruno, F.J. 2000. Menaklukkan Kesepian. Jakarta: PT. Gramedia PustakaUtama. 135 Teori Perilaku Organisasi Publik Budiman, Arief., 1995. Teori Pembangunan Dunia Keiga., Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama Candler, Ralph C. & Plano Jack, C., 1982. The Public Administration dictionary. New York: John Wiley & Sons. Chalid, Pheni,. 2006. Teori dan Isu Pembangunan., Jakarta, Universitas Terbuka Davis, Keith. 1962. Human Relation At Work. Tokyo: Kogakusha Company LTD. Davis, Keith, & Newsstrom, W, Jhon, 1989, Human Behavior A Work; Organizational Behavior, New York McGraw Hill International Dharmawan, 2006., Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya (Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat) Seminar PERAGI Pontianak 10-11 Januari 2006 Dessier. Gary. 1980. Organization Theory: Integrating Structure and Behavior., Englewood Cliffs-New Jersey, Prentice-hall,Inc. Djohan dan Milwan., 2007, Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Gramedia Press Dunn. Willian. 2000. Pengantar Analisis kebijakan Publik. Edisi Kedua, Jogyakarta: Gadjah Mada University Press. Durbin, P. T. (1988). Dictionary of Concepts in the Philosophy of Science, New York: Greenwood Press. Donnelly, Ivancevich, Gibson., 1997. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses., Alih Bahasa oleh Djakarsih, Jakarta., Erlangga Dwiyanto, Agus. 2006., Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Elton, Mayo, George., 1972., Psychology of Pierre Janet, London: Greenwood Press Fayol, Henry. (1841-1925). 1949. General and Industrial management. Controle Paris., Dunod Fuad, H. Faisal dan Maskanah, Siti. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Alam,. Bogor, Pustaka Latin Fisher, Simon, dkk. 2000. Mengelola Konflik: Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak. The British Council: ZED Books Garna, Judistira K., 1998. Budaya Usaha dan Perusahaan, Business and Corporate Culture. Bandung: PPs Unpad. Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara. Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A. Dale Timpe, (Ed.), Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia. URLS Harold D. Laswell, 1959., Who Gets What, When, How. New York, Meridian Books, Inc. 136 Daftar Pustaka ................................, 1961., Political Communication: The Public Language of Political Elites In India, New York Hersey, Faul, Blanchard, 1995. Management of Organization Behavior. Terjemahan Agus Darma. Jakarta, Erlangga. Hick, Herbert, G. and Gullet, G. Ray, (1975). Organization Theory and Behavior. Terjemahan Ali Saefullah. Usaha Nasional: Surabaya. Hettne, Bjorn., 2001. Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia., Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama Ikatan Primordial, Identitas Sosial dan Konflik Komunal, http://juliefisipuns.blogspot. com/ Indrawijaya,. 1989. Perilaku Organisasi. Bandung., Sinar Baru Jones, Gareth R. 1995. Organizational Theory : Text and Cases, Addison Wesley Kast, Feremont E, James F Rosenweig, 2002., Organisasi dan Manajemen. Edisi ke empat, Terjamahan Hasymi Ali, Jakarta. Penerbit Bumi Aksara Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PANRB), 2010., Jakarta. Kerlinger, N. Fred. 2006, Azas-Azas Penelitian Behavioral, Jogyakarta, Gadjah Mada University Press, Terjemahan Landung R. Simatupang, Cetakan kedua Kristiadi, J.B. 2009. Reformasi Birokrasi, Konsep dan Implementasi, Bandung. Bahan Kuliah, Tidak dipublikasi, Pasca Sarjana UNPAD Koentjoroningrat. 1994. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kotter, John P. Dan James L., Heskett. 1998. Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, Alih Bahasa Oleh Benyamin Molan, dari Corporate Culture and Performances, Jakarta, Pearson Education Asia Ptc. Ltd. Dan PT. Prenhallindo Kesadaran Kewargaan Bisa Atasi Konflik Komunal, http://nurulhuda.wordpress. com/2007/10/19/kesadaran-kewargaan-bisa-atasi-konflik-komunal/ Konflik Komunal Di Indonesia. http://indonesianmindset.blogspot.com/2011/10/ konflik-komunal-di-indonesia.html Lepawsky, Albert; 1960. Administration; The Art and Science of Organization and management, New York, alfred A. Knoff. Lubis, Hari dan Martani Huseini. (1987). Teori Organisasi ; Suatu Pendekatan Makro. Jakarta: Pusat Antar Ilmu-ilmu Sosial UI. Maslow.1943., Theory of Human Motivation., Psychological Review McGregor, D. 1960., The Human Side of Enterprise, New York Middleton, John. 2002, Organizational Behavior, First published by Capstone Publishing (a Wiley company), United Kingdom. 137 Teori Perilaku Organisasi Publik Muchlas. Makmuri. 2005. Perilaku Organisasi. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Nazir, 2005, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) I. Jakarta: Reneka Cipta ............, .................. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) II. Jakarta: Reneka Cipta Ngusmanto. 2013. Perilaku Birokrasi Dalam Formulasi Kebijakan Umum Anggaran. Jakarta. Dapur Buku. --------------. 2015., Pemikiran Dan Praktek Administrasi Pembangunan, Jakarta, Mitra Wacana Media. --------------. 2016., Implementasi Budaya Organisasi Oleh Pelaku Bisnis Perkebunan Kelapa Sawit, Srudi di PTPN XIII, Ngabang Kabupaten Landak Kalimantan Barat, Dalam Buku Kebudayaan, Interaksi Sosial, Konflik dan Perdamaian, Pontianak, Alqadrie Center Press. Notoatmodjo, Soekidjo, & Sarwono, Solita. 1987. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia .....................,..............., 2009. Pengembangan Sumberdaya Manusia, Jakarta., PT. Renika Cipta Osborne, David dan Gaebler, Ted., 1998. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Terjemahan, Jakarta, PT. Pustaka Binawan Pressindo. Otomo, W., Widodo, Tri. 1998. Perilaku Organisasi., Bandung, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi, Lembaga Administrasi Negara, Kampus Bandung Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025 Perjanjian Kerja Bersama Antara Direksi PTPN XIII Dengan Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara 2012-2014, PTPN XIII, Pontianak Price, Don K., 1968. The Study of Policy Content: A Framework for Choce, In Austin Ranny (Ed), Political Science and Public Policy, Chicago: Markham. PTPN XIII. 2010. Pedoman Etika Kerja, Pontianak PTPN XIII. 2012. Laporan Produksi Kebun Ngabang, Ngabang Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psiokologi Komunikasi. Bandung, PT Remaja Rosdakarya Rasyid, Ryas, 1999, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru, Jakarta, Yasriwatampone Riggs. W. Fred., 1994. Administrasi Pembangunan Sistem Administrasi dan Birokrasi, Terjemahan oleh Luqman Hakim, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada 138 Daftar Pustaka Robbins, Stephen P., dan Timothy A. Judge. 1979. Perilaku organisasi/Organization Behaviour. Jakarta: Salemba Empat. ..............,.........................., 1994. Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi, Edisi ke 3, Penerbit Arcan ..............,..........................,. 2000., Managing Today, 2nd Ed, Prentice Hall ..............,.........................., 2003. Organizational Behavior, Thent Edition. New Jersey: Pearson Education, Inc. alih bahasa: Molan, Benyamin. (2006). Perilaku Organisasi. Jakarta: Gramedia. ..............,.........................., 2005. Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga. Rogers, Everett M., 1974., Communication In Organization., New York, The Free Press, Macmillan Publising Said, M. Mas’ud. Birokrasi Di Negara Birokratis, Makna, Masalah Dan Dekonstuksi Birokrasi Indonesia. 2007. Yogyakarta: UMM Press. Santoso, Priyo Budi., 1997, Birokrasi Pemerintah Orde Baru, Perspektif Kultural dan Struktural. Jakarta: Rajawali Press. Santosa, Slamet. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial, PT. Refika Aditama, Bandung Sarwono, Sarlito Wirawan. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Press Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan Yang Baik), Bandung: PT. Refika Aditama. Schwandt, T.A. 2001, Dictionary of Qualitative Inquiry, 2nd ed. Thousand Oaks : Sage Publications Schermerhorn., R, John., 1991., Managing Organization Behavior, New York, John Publishing Inc. Siagian, Sondang P. 1994., Patologi Birokrasi, Analisis, Identifikasi Dan Terapinya, Jakarta, Ghalia Indonesia ----------------------------. 2003. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Bumi Angkasa. Soedjadi, FX., 1995., Organization and Methods, Penunjang Berhasilnya Proses Manajemen, Jakarta, Gunung Agung. Sugiyono, 2013., Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), Bandung; Alfabeta, Cetakan Keempat Sukmadinata, N.S., 1999., Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya. Sutrisno, Edy. 2010. Budaya Organisasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Edisi Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Stoner, James A.F., et al., 1995., Management, 6th Ed., Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs 139 Teori Perilaku Organisasi Publik Tadjudin, Djuhendi., 2000., Manajemen Kolaborasi., Bogor. Pustaka Latin. Taylor, Frederick, Winslow., 1919. The Principles Of Scientific Management, New York, Haper and Brothers Publishers. Terry, George R., Franklin, S.G. 1982, Principles of Management, Eight Edition, Homewood : Richard Irwin, Inc., Teori Persekongkolan atau Teori Konspirasi (conspiracy theory), http://id.wikipedia. org/wiki/Teori_persekongkolan Thoha, Miftah. 2001. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada -----------------. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ........,............ 2010. Birokrasi dan Politik Di Indonesia., Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada Thomas, Kuhn, 1989. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Bandung: Remadja Karya, Tim Prima Pena. Tanpa Tahun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Press Usman, Sunyoto., 2007. Konflik Sosial, Yogyakarta, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Republik Indonesia Varma., P.S., 1987., Teori Politik Modern., Jakarta, CV. Rajawali Watson, David., L., 1966., Social Psychology. New Jersey: Scoft Foresmen and Campany Glanview Weber, Max., 1973., Bureaucracy, Dalam Hans H. Gerth, From Max Weber: Essay In Sociology. London, Oxford University Press. Winardi, 1992., Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), Bandung : Tarsito William, James., 1948., The Principles Of Psychology., Haramet Press University Wursanto. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Organisasi, Yogyakarta: Andi Yuwono, S. 1985., Ikhtisar komunikasi administrasi, Yogyakarta, Liberty 140 Daftar Istilah ASN : Aparatur Sipil Negara APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional BNI : Bank Negara Indonesia BUMN/BUMD: Badan Usaha Milik Negara/Daerah BPKB : Buku Pemilik Kendaraan Bermotor DPR : Dewan Perwakilan Rakyat DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah F : Fungsi FGD : Focus Group Discustion FISIP : Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik I : Individu KA : Kereta Api KALBAR : Kalimantan Barat KKN : Korupsi, Kolosi dan Nepotisme KUD : Koperasi Unit Desa L : Lingkungan LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat OB : Organizational Behaviora SDM : Sumber Daya Manusia SMPB : Sertifikasi Mutu Penerimaan Buah 141 Teori Perilaku Organisasi Publik TBS STNK P PMI PAN-RB PLN PP PNS PTPN PT ERG SKPD Tupoksi UNTAN UUD UU WA WNI 142 : Tandan Buah Segar : Surat Tanda Nomor Kendaraan : Perilaku : Palang Merah Indonesia : Pemberdayaan Aparatur Negara – Reformasi Birokrasi : Perusahaan Listrik Negara : Peraturan Pemerintah : Pegawai Negeri Sipil : Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara : Perseroan Terbatas : Existence, Relatedness dan Growth : Satuan Kerja Perangkat Daerah : Tugas Pokok dan Fungsi : Universitas Tanjungpura : Undang-Undang Dasar : Undang-Undang : Whats App : Warga Negara Indonesia Indek A Abcarian, Gilbert 135 Abdullah, Syukur 135 Adat istiadat 79 Aktivitas iii, 4, 7, 13, 17, 18, 19, 32, 36, 37, 39, 62, 65, 66, 73, 83, 107, 119, 125 Aparatur Pemerintah 67, 69, 71, 101, 102, 103 Arif, Saiful 135 Arif, Syofian, Mirian 135 Azwar, Azrul 135 B Barnard, M 135 Belione, J. Carl 135 Bennis, Warren 135 Birokrasi 1, 42, 55, 56, 57, 58, 59, 61, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 127, 129, 135, 137, 138, 139, 140 Bloom, Benjamin 135 Bratakusumah, D.S 135 Bruno, F.J 135 Budaya 4, 7, 41, 44, 89, 91, 113, 114, 115, 118, 122, 123, 135, 136, 137, 138, 139 Budiardjo, Miriam 135 Budiman, Arief 136 C Candler, Ralph C 136 Chalid, Pheni 136 Contoh 3, 14, 17, 18, 25, 43, 54, 64, 74, 76, 79, 82, 90, 98, 99, 100, 104, 111, 115, 116, 123, 143 Teori Perilaku Organisasi Publik D Daerah 3, 5, 17, 22, 29, 40, 41, 68, 79, 84 Davis, Keith 136 Davis, Keith, & Newsstrom 136 definisi 12, 13, 15, 16, 19, 21, 22, 30, 35, 77, 79, 80, 96, 135 Dessier. Gary 136 Dharmawan 136 Djohan dan Milwan 14, 136 Donnelly, Ivancevich, Gibson 136 Dorongan 52, 53, 65, 66, 73, 110, 111 DPRD 14, 15, 74, 141 Dunn. Willian 136 Durbin, P. T 136 Dwiyanto, Agus 136 E Efisien 6, 21, 22, 25, 43, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 87, 123, 124, 126, 127, 129, 131 Ekonomi 4, 7, 15, 20, 22, 29, 33, 48, 56, 65, 69, 71, 74, 85, 89, 117, 118, 124 Elton, Mayo, George 136 Etika 3, 20, 37, 41, 43, 128, 129 F Fayol, Henry 136 Fisher, Simon 136 Fisik 7, 52, 58, 64, 68, 70, 74, 80, 81, 85, 89, 109, 110 Fuad, H. Faisal dan Maskanah 136 Fungsi 5, 12, 15, 16, 21, 25, 27, 44, 66, 71, 72, 73, 98, 100, 102, 107, 123, 126, 127, 132 G Gagasan 5, 6, 12, 20, 36, 42, 47, 98 Garna, Judistira K 136 Gibson, James L 136 Greenhalgh, Leonard 136 H Harold D. Laswell 136 Hersey, Faul, Blanchard 137 Hettne, Bjorn 137 Hick, Herbert, G 137 Hierarki 23, 24, 27, 49, 52, 55, 65, 108, 109, 110 Hukum 15, 22, 23, 47, 48, 49, 54, 69, 82, 83 144 Indek I Ikatan Primordial 137 Ilmu 8, 11, 12, 33, 38, 56, 57, 62, 135, 137, 138, 140, 141 Indonesia 3, 14, 15, 19, 28, 29, 40, 43, 47, 67, 68, 69, 71, 72, 77, 79, 82, 91, 92, 117, 123, 128 Indrawijaya 48, 137 Informasi 2, 14, 42, 43, 48, 79, 83, 84, 86, 92, 96, 97, 98, 102, 103, 104, 105, 120, 121, 124, 129 Infrastruktur 74 Interaksi 42, 50, 66, 98, 138 J Jabatan 5, 23, 27, 43, 83, 84, 90, 91, 99, 101, 111, 116, 127, 132 Jawaban 1, 21, 29, 33, 38, 40, 77, 78, 127 Jones, Gareth R 137 K Kast, Feremont E 137 Kebijakan 13, 14, 15, 43, 57, 68, 69, 70, 71, 74, 75, 76, 83, 86, 119, 120, 121, 128, 129, 136 Kebutuhan 2, 5, 14, 15, 20, 23, 33, 37, 52, 53, 54, 55, 62, 64, 65, 66, 68, 70, 72, 73, 74, 76, 85, 88 Kelompok 5, 7, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 26, 30, 31, 32, 37, 38, 39, 40, 50, 51, 62, 63, 64, 66, 67, 69 Kementerian 70, 137 Kepentingan 14, 20, 23, 24, 26, 28, 29, 37, 39, 43, 49, 50, 55, 57, 64, 65, 66, 68, 70, 74, 80, 81, 82 Keputusan 23, 68 Kerjasama 14, 15 Kerlinger, N. Fred 137 Kesadaran 137 Koentjoroningrat 137 Komunikasi 3, 27, 42, 82, 84, 88, 92, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 115, 123, 135, 138 Konflik 3, 44, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 136, 137, 138, 140 Kotter, John P 137 Kristiadi, J.B 137 L Lembaga 70, 138, 141 Lepawsky, Albert 137 Lubis, Hari 137 M Mahasiswa 2, 8, 9, 35, 64, 74, 78, 93, 96 Manajemen 5, 8, 21, 24, 27, 31, 34, 49, 50, 51, 78, 83, 84, 90, 91, 113, 117, 118, 119, 120, 121, Manusia 4, 5, 6, 7, 8, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 39, 40 Maslow 47, 48, 52, 64, 65, 74, 108, 109, 110, 111, 137 Masyarakat 3, 6, 14, 15, 18, 19, 20, 28, 29, 30, 34, 38, 39, 40, 42, 49, 51, 56, 58, 64, 66, 69, 70, 73 Mcgregor, D 137 Media 67, 83, 97, 100, 102, 125 145 Teori Perilaku Organisasi Publik Menteri 23, 69, 127 Middleton, John 137 Motivasi 3, 4, 31, 37, 39, 41, 43, 44, 52, 53, 58, 65, 83, 107, 108, 110, 111 Muchlas. Makmuri 138 N Nazir 15, 16, 138 Ndraha, Taliziduhu 138 Negara 28, 30, 38, 69, 70, 71, 72, 75, 123, 124, 126, 128, 137, 138, 139, 140, 141, 142 Ngusmanto 2, 4, 14, 15, 72, 73, 115, 116, 120, 122, 123, 124, 125, 138 Nilai 4, 8, 14, 19, 24, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 57, 58, 65, 73, 75, 78, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87 Notoatmodjo, Soekidjo 138 O Objek 18, 19, 53, 54 Organisasi Publik 1, 2, 3, 4, 7, 8, 28, 29, 30, 33, 35, 39, 40, 41, 67, 77, 81, 82, 92, 95, 111, 113 Osborne, David 138 Otomo, W 138 Otoritas 24, 27, 49 P Paradigma 42, 140 Pegawai Negeri Sipil 28, 123, 142 Pejabat Birokrasi, 57, 71, 74, 90 Pelayanan Publik 29, 90 Pembangunan 8, 14, 37, 51, 69, 71, 72, 73, 78, 85, 109, 117, 123, 124, 125, 126, 127 Pembangunan Administrasi 124, 125, 127 Pemerintah 3, 14, 15, 23, 28, 29, 30, 40, 41, 56, 57, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 91, 97, 101 Pendekatan 4, 5, 6, 7, 33, 34, 50, 92, 137 Peraturan 23, 30, 75, 138, 142 Perilaku Organisasi 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 18, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 47, 48, 61, Perspektif 55, 66, 85, 139, 140 Plato 47, 48 Price, Don K 138 Psikologi 5, 14, 30, 33, 36, 37, 61, 64, 70, 73 Publik 1, 2, 3, 4, 7, 8, 13, 14, 28, 29, 30, 32, 33, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 47, 52, 56, 57, 61 R Rakhmat, Jalaludin 138 Rasyid, Ryas 138 Reformasi 139 Riggs. W. Fred 138 Robbins 31, 36, 37, 47, 48, 63, 80, 83, 84, 87, 108, 114, 115, 139 Rogers, Everett M 139 146 Indek S Said, M. Mas’ud 139 Santosa, Slamet 139 Santoso, Priyo Budi 139 Sarwono, Sarlito Wirawan 139 Schermerhorn., R, John 139 Schwandt, T.A 139 Sedarmayanti 68, 139 Siagian, Sondang P 139 Sistem 1, 71, 90, 121, 138 Soedjadi, FX 139 Soekanto, Soerjono 139 Stoner, James A.F 139 Struktur 84, 91, 99, 131, 136, 139 Subjek 18, 53 Sugiyono 13, 139 Sukmadinata, N.S 139 Sumbangan 35, 37, 38, 39, 47, 102 Sumber Daya 6, 67, 69, 70, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 90, 91, 123 Sumber Daya Manusia 6, 70, 83 Sutrisno, Edy 139 T Tadjudin, Djuhendi 140 Tanggung jawab 14, 15, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 37, 49, 50, 51, 52, 68, 108, 109, 110, 116, 121, 127 Taylor, Frederick, Winslow 140 Teori 1, 2, 3, 4, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 21, 49, 50, 51, 61, 62, 64, 67, 77, 85, 88, 89, 108, Terry, George R 140 Thoha, Miftah 140 Thomas, Kuhn 140 Tugas Pokok dan fungsi 27, 44, 107, 123, 127 Tujuan 3, 4, 7, 8, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 33, 37, 40, 44, 49, 50, 51, U Undang-Undang 12 Usman, Sunyoto 140 Utang 74, 76 V Varma 15, 140 W Watson, David 140 Weber, Max 140 147 Teori Perilaku Organisasi Publik William, James 140 Winardi 65, 73, 84, 140 Wursanto 62, 140 Y Yuwono, S 140 148