PESAN MORAL TEMBANG SORONG SERAH AJI KRAMA SEBAGAI

advertisement
PESAN MORAL TEMBANG SORONG SERAH AJI KRAMA SEBAGAI ETIKA
KOMUNIKASI PERKAWINAN MASYARAKAT SASAK
Febrian Abbas
ABSTRAK
Masyarakat Indonesia membutuhkan aturan-aturan yang bisa mengatur dan
mengendalikan kemajemukan adat istiadat dan keyakinan warga negaranya.
Kemajemukan tersebut apabila tidak diatur, maka bisa menyebabkan kekacauan karena
kemajemukan identik dengan perbedaan yang dapat memicu pertikaian dan perselisihan.
Suatu tatanan kehidupan yang harmonis akan terbina, apabila semua warga hidup dan
bertingkah laku sesuai norma-norma yang berlaku. Karena itulah, kelompok sosial
masyarakat sangat membutuhkan aturan-aturan dalam menjalani segala aspek kehidupan.
Aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat disebut adat istiadat. Adat istiadat atau
tata aturan yang sifatnya paten dan turun temurun dari generasi ke generasi dari suatu
kelompok masyarakat yang mesti dijalankan. Dalam melaksanakan adat-istiadat
perkawinan masyarakat suku sasak memiliki tahap-tahapan yang harus dilalui, salah satu
tahapan perkawinan yang dilalui adalah tahapan sorong serah aji karma; sorong artinya
menyodorkan dan serah artinya menyerahterimakan, sedangkan aji artinya nilai atau
harga, dan krama artinya nilai atau harga yang sudah ditetapkan. Sorong Serah merupakan
tradisi turun temurun dari nenek moyang masyarakat Sasak dan sudah melekat dalam
masyarakat Sasak (bersifat aturan yang dipedomani), bahkan beberapa kalangan
masyarakat baik itu tokoh agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri menyatakan
bahwa jika tidak melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi keluarga dan
masyarakat setempat.
Kata Kunci: Pesan, Moral, Perkawinan,Sorong Serah Aji Krama.
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari masyarakat yang majemuk
(Pluralistik), antara lain karena terdiri dari beranekaragam suku bangsa. Masing-masing
suku bangsa mempunyai sistem sosial dan kebudayaan tersendiri. Kemajemukan tersebut
juga dapat dilihat dari keanekaragaman sistem perkawinan. Keanekaragaman sistem
perkawinan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak terbatas hanya pada suku-suku
dalam satu daerah saja, namun juga terjadi pada suku-suku yang berbeda di daerah lain.
Masyarakat Indonesia membutuhkan aturan-aturan yang bisa mengatur dan
mengendalikan kemajemukan tersebut. Kemajemukan itu apabila tidak diatur, maka bisa
menyebabkan kekacauan karena kemajemukan identik dengan perbedaan yang dapat
memicu pertikaian dan perselisihan. Suatu tatanan kehidupan yang harmonis akan
73
terbina, apabila semua warga hidup dan bertingkah laku sesuai norma-norma yang
berlaku. Begitu pula dengan kelompok sosial masyarakat sangat membutuhkan aturanaturan dalam menjalani segala aspek kehidupan. Aturan-aturan yang berlaku dalam
masyarakat disebut adat istiadat. Adat istiadat adalah tata aturan yang sifatnya paten dan
turun temurun dari generasi ke generasi dalam suatu kelompok masyarakat yang mesti
dijalankan.
Dalam melaksanakan adat-istiadat perkawinan, masyarakat suku sasak memiliki
tahap-tahapan yang harus dilalui, salah satunya tahapan yang dilalui adalah tahapan
sorong serah aji krama, artinya menyodorkan dan serah, artinya serah terima, sedangkan
aji, artinya nilai atau harga, dan karma, artinya serah terima nilai atau harga yang sudah
ditetapkan.
Pada masyarakat Lombok khususnya masyarakat Desa Lepak kec. Sakra Timur.
Kab. Lombok Timur istilah aji krama masih membudaya pada semua lapisan masyarakat
terlebih lagi dalam upacara sorong serah. Sorong serah aji krama ini merupakan salah satu
tahapan terpenting karena pada tahapan ini dilakukan penyelesaian pembayaran adat
serta denda kalau ada1.
B. Sorong Serah Aji Krama
Sorong serah merupakan suatu prosesi adat yang mesti dolakukan oleh pihak laki-laki
terhadap wali dan keluarga pihak wanita dalam suatu upacara pernikahan. Menurut
Azhar “sorong “ artinya menyodorkan dan “serah” artinya menyerahkan, sorong serah
artinya serah terima2. Sedangkan “aji” artinya nilai atau harga dan “krama” artinya
ketetapan atau kebiasaan. Jadi “sorong serah aji krama” artinya serah terima nilai atau
harga yang sudah ditetapkan. Dengan kata lain “aji krama” disini berarti serah terima
(pembayaran berupa uang oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan
1(wawancara
dengan Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat Desa Lepak kec. Sakra Timur, pada
tgl.14 Oktober 2012).
2
Azhar, Muhammad, Reramputan/Pelajaran Bahasa Sasak untuk kelas III SLTP (Mataram :
PT Intan
Parwira:, 1996), h. 10.
74
dalam suatu proses pernikahan) yang mana jumlah/nominal uang yang dikeluarkan
sesuai dengan jumlah/nominal yang sudah ditetapkan oleh masyarkat setempat.
Namun ada juga yang mengatakan aji krama itu sebagai “aji Suci” dan mengartikan
“aji” berarti harga dan “Suci” berarti membersihkan. Namun makna yang diberikan di atas
dilihat dari nilai aji krama, dapat dipadukan menjadi satu batasan pengertian “aji krama”
yaitu suatu kesepakatan keseluruhan warga adat suatu wilayah yang mempunyai kesatuan
hukum yang tetap sebagai lambang penyucian nilai kemanusiaan3.
Berangkat dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sorong serah aji
krama berarti: menyerahkan sesuatu yang biasanya berupa (kepeng) dengan jumlah
tertentu, ditambah dengan barang-barang lain seperti kain dan lain-lain, yang secara
keseluruhan dinilai, nilainya harus berjumlah sama dengan jumlah aji krama pihak wanita.
Sorong Serah merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang dan sudah
melekat dalam masyarakat Sasak (bersifat aturan yang dipedomani), bahkan beberapa
kalangan masyarakat baik itu tokoh agama dan tokoh masyarakat adat itu sendiri
menyatakan bahwa jika tidak melaksanakan upacara adat ini akan menjadi aib bagi
keluarga dan masyarakat setempat. Tradisi seperti ini berlaku hampir di seluruh lapisan
masyarakat termasuk juga dalam hal ini masyarakat Sakra yang penulis jadikan obyek
penelitian.
Dari hasil wawancara yang peneliti lakukan mengenai pelaksanaan adat Sorong
Serah dan pesan moral yang terkandung dalam adat Sorong Serah Aji Krama tersebut. Lalu
Aleh salah satu tokoh adat mengatakan ”Pesan moral yang terkandung dalam Sorong
Serah Aji Krama, dalam menyelesaikan suatu persoalan hendaknya dilakukan dengan jalan
musyawarah untuk mufakat secara bersama-sama oleh masyrakat4”. Manaf (informan lain
yang bertindak sebagai Pembayun ‘pelantun tembang’) mengatakan pesan moral yang
terkandung dalam Sorong Serah Aji Krama merupakan warisan kebudayaan yang
berdasarkan ajaran Islam5. Yang mana di dalamnya terkandung ajaran tentang tata cara,
sopan santun, dan tutur kata yang sesuai dengan ajaran Islam.
Di dalam acara Sorong Serah menggunakan utusan pemimpin rombongan dari
pihak perempuan maupun pihak laki-laki yang disebut Pembayun. Pembayun berasal dari
3
4
Depdikbud, 1994, h.16.
Lalu Aaleh, Wawancara, Desa Lepak, 25 Februari 2013.
Manaf, Wawancara, Jantuk, 1 Maret 2013.
5
75
kata pemban dan kayun. Pemban, artinya pembawa amanat, sedangkan kayun, artinya
kemauan. jadi Pembayun artinya pembawa amanat atau kemauan dari kedua belah pihak,
baik dari pihak laki-laki maupun perempuan.
Sorong Serah dalam kebudayaan masyarakat sasak melambangkan bahwa kedua
mempelai antara pengantin pria dan wanita telah resmi melakukan perkawinan secara
adat dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di dalam Sorong serah aji krama biasanya digunakan ungkapan yang disebut
dengan tembang yang merupakan suatu jenis seni suara vokal yang hidup di masyarakat
Lombok terutama di desa-desa. Jenis kesenian ini salah satu fungsinya dihajatkan sebagai
hiburan adat. Tembang sering kali digunakan sebagai rangkaian acara Sorong Serah Aji
Krama oleh masyarakat Sasak termasuk dalam hal ini desa Sakra. Tembang dalam sorong
serah merupakan sebuah ilustrasi dan sebagian besar merupakan sanjungan kepada
pembayun yang menjadi lawan. Penggunaan tembang biasa terjadi pada acara Sorong Serah
Aji Krama apabila kedua belah pihak antara keluarga mempelai laki-laki dengan mempelai
wanita sudah ada perjanjian untuk menggunakan tembang/bewacan.
Jadi untuk menggunakan tembang/bewacan dari kedua belah pihak. Pihak laki-laki
menyiapkan pembayun, demikian pula pihak perempuan harus menyiapkan pembayun.
Tembang pada acara Sorong Serah Aji Krama dalam perkawinan adat sasak memiliki makna
yang mendalam sehingga masih bertahan sampai sekarang di desa Sakra.
C. Konsep tentang Tembang Sorong Serah Aji Krama
Tembang merupakan sebuah lagu atau karya sastra yang sifatnya klasik. Tulisan
tembang ini terdapat pada daun lontar yang ditulis menggunakan pisau yang ujungnya
tajam disebut ‘pemaje’. Tembang merupakan suatu ungkapan perasaan seseorang yang
dilantunkan dengan kata-kata indah dan diucapkan dengan car yang khusus. tembang ini
sangat penting untuk digunakan, karena tembang merupakan penghibur yang apabila
dalam acara tersebut tidak digunakan, maka suasana menjadi kurang meriah.
Hal yang senada diperkuat oleh penuturan seorang tokoh adat dalam suatu
wawancara6 yang menyatakan, tembang merupakan sebuah ungkapan perasaan yang
ditulis dengan kata-kata yang indah dan diucapkan dengan cara khusus, lebih jauh ia
6
Mamiq Hasan, Wawancara, Lepak, 6 Maret 2013.
76
menyatakan, tembang merupakan penghibur dan penggugah hati. Apabila tidak digunakan
akan menimbulkan rasa jenuh dan orang enggan untuk menghadiri acara tersebut.
D. Pesan Moral Sebagai Etika Komunikasi
Moral merupakan penjabaran dari niai-nilai. Moral identik dengan etika. Etika dan
moral memiliki pertalian dengan adat istiadat. Etika adalah cabang ilmu filsafat yang
obyeknya adalah tingkah laku manusia ditinjau dari baik buruknya. Sesungguhnya nilainilai moral telah berakar dalam sifat-sifat manusia itu sendiri, meskipun ada
kecendrungan hewaniyahnya manusia karena sifatnya ingin ,memiliki kualitas-kualitas
tertentu untuk memelihara martabat kemanusiaannya7.
Menurut Lilire, moral berasal dari kata Mores (bahasa latin) yang berarti tata cara
dalam kehidupan atau adat istiadat, sementara itu Dewey, mengatakan moral adalah halhal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau
benar. Magnus Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik buruknya
manusia sebagai manusia sehingga bidang moral merupakan tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang8.
Dalam hidup dan bertingkah laku, manusia menentukan sendiri apa yang hendak
dilakukannya, sesorang terlebih dahulu menentukan mana yang harus dilaksanakan dan
mana yang tidak. Perbuatan yang baik bermuara pada suara hati, suara hatilah yang
selalu membisikkan diri setiap manusia untuk berbuat sesuatu yang membawa manfaat
pada diri pelakunya dan orang lain. Dengan kata lain, seseorang melakukan tindakan
bukan hanya atas keinginan diri sendiri saja melainkan juga atas dasar pertimbangan
yang matang, bahwa apapun yang hendak dilakukannya mengandung didikan, kebaikan,
dan pertumbuhan untuk hal-hal yang positif untuk dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
Dalam interaksi simbolik, Herbert Mead berpendapat bahwa struktur-struktur
sosial, peran-peran dan institusi-institusi mempengaruhi tingkah laku dan individual
hanya melalui makna-makna bersama yang terungkap dalam simbol-simbol kelompok dan
cara-cara simbol ini ditafsirkan dalam pertukaran antara individu-individu9. Pendapat
Bakry, Oemar.. Akhlak Muslim. (Bandung: Aangkasa. 1981), h. 42.
Budiningsih, C. Asri, Pembelajaran Moral, (Jakarta: PT Rinieka Cipta, 2004), h.14.
9Riyadi Soeprapto, Interaksionisme Simbolik Perspektif Sosiologi Modern. (Yogyakarta: Averroes
Press dan Pustaka Pelajar. 2001), h. 25.
7
8
77
Herbert Mead tersebut menegaskan kembali seseorang dalam masyarakat tidak
melakukan suatu tindakan hanya atas dasar kemauannya sendiri melainkan juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti struktur yang ada di masyarakat, perannya
dalam masyarakat, ataupun karena adanya institusi yang mewajibkannya untuk bertindak
atau melakukan sesuatu. Begitu juga Blumer dalam interaksi simbolik proporsi yang
paling mendasar adalah prilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan karena
ditampilkan lewat simbol atau tanda, bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu atas
dasar makna, makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dan sesamanya, makna itu
diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran yang digunakan dalam
menghadapi sesuatu yang dijumpai.
10
Sesungguhnya pesan moral dari tradisi Sorong
Serah masyarakat sasak yakni:

Dalam penyelesaian suatu persoalan hendaknya dilakukan dengan Musyawarah
atau mufakat dan mengerjakan secara bersama-sama,

Sebagai manusia harus memiliki tata krama dan bertutur kata yang santun
sesama manusia.

Mengucapkan rasa syukur atau rasa terimakasih meskipun dikesampingkan

Bertamu ke rumah orang hendaknya bersikap sopan dan mematuhi adat yang
berlaku.
E. Tinjauan tentang Pesan dan Moral
1) Pesan
Pesan merupakan apa yang ingin disampaikan, jika dikaitkan dengan sastra lisan,
pesan berarti apa yang ingin disampaikan si penutur kepada si pendengar, sebab cerita itu
juga mengandung pesan dari si penutur. Ada kalanya pesan itu diungkapkan secara
langsung (melalui lisan), ada juga pesan yang disampaikan secara tidak langsung (melalui
surat)11.
2) Moral
Menurut Lilire, moral berasal dari kata Mores (bahasa latin) yang berarti tata cara
dalam kehidupan atau adat istiadat, sementara itu Dewey, mengatakan moral adalah halhal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau
Zeitlin, Irving M. Memahami Kembali Sosiologi. (Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
1995), h. 331.
10
11
Depdikbud, 1990, h. 14
78
benar. Oleh Magnus Suseno dikatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik buruknya
manusia sebagai manusia sehingga bidang moral merupakan tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang12. Sementara itu dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KKBI) dikatakan bahwa moral adalah ajaran pendidikan mengenai baik
buruknya suatu perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya ataupun merupakan
kedudukan atau kondisi mental yang membuat orang itu tetap berani, bersemangat,
bergairah, maupun berupa ajaran pendidikan kesusilaan, budi pekerti yang baik, adat
sopan santun yang diambil dari berbagai cerita maupun sejarah.
Dalam buku Moral dan Kognisi Islam dikatakan, bahwa nilai-nilai moral telah
berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Meskipun ada kecendrungan hewaniyah, manusia
karena sifatanya ingin memiliki kualitas tertentu untuk memelihara martabat
kemanusiaannya13. Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan,
emosi dan kecenderungan manusia sedangkan aturan pelaksanaannya merupakan aturan
praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan dan konvensi lainnnya,
meskipun kadang-kadang sesuai dengan kriteria moral. Sebagai contoh harga diri (selfresfect), ketekunan, keberanian, kesalehan, dan sejenisnya yang merupakan kualitaskulaitas moral.
Seorang tokoh Muslim AL-Ghazali memberi batasan tentang moral menurut
pandangan Islam yaitu dengan cara menjaga dan memelihara mata dari 4 (empat) hal
yaitu:

Jangan sampai terlalu memandangi orang yang bukan muhrimnya

Jangan melihat aneka ragam keindahan bentuk rupa sehingga dapat memikat
dan menimbulkan keinginan nafsu

Jangan melihat dan memandang orang Islam yang menunjukkan kesinisannya
dan meremehkan

Jengan dugunakan mata ini untuk melihat yang menjadikan tekutnya orang
Islam. 14
12
Budiningsih, C. Asri, Pembelajaran Moral, (Jakarta : PT Rinieka Cipta, 2004), h.14.
Nurdin, Muslim, dkk, Moral dan Kognisi Islam. (Bandung: CV Alfabeta:, 2002),h. 17.
14
Zainuddin, Muhammad, Membangun Moral Menurut AL-Gazali. (Surabaya: AL-Ikhlas. 2007). h.20.
13
79
Nilai moral memiliki arti tersendiri, namun jika nilai dan moral digabungkan
dalam sebuah nilai moral, maka maknanya akan berbeda. Istilah nilai moral termuat
makna baru yang menggambarkan adanya kualitas moral. Watak yang sempurna dengan
nilai nilai luhur (akhlaqul karimah) ini melahirkan tindakan terpuji dan menumbuhkan
motivasi yang bersih (ikhlas).
F. Tinjauan Perkawinan menurut Adat Istiadat Sasak
Setiap masyarakat mempunyai sistem yang mengatur kehidupan dan interaksi
sesama warga masyarakatnya, salah satu model interaksi dalam masyarakat adalah
Perkawinan15. Menurut Alisyahbana, pada keluarga manusia yang berhubungan darah
dan seksualitas diubah menjadi hubungan permanen yang mempunyai harga tersendiri,
bukan hanya atas pasangan yang kawin, juga antara mereka dan anak tersendiri, bukan
antara kedua pasangan saja perkawinan tersebut yang memiliki hubungan.
Selain itu Koentjaraningrat berpendapat bahwa perkawinan adalah peralihan hidup
dari remaja ke tingkat hidup berkeluarga, yaitu perkawinan dalam kebudayaan manusia,
perkawinan merupakan pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan
kelaminnya16. Selain sebagai pengatur kelamin, perkawinan juga mempunyai berbagai
fungsi dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu memberikan perlindungan kepada anakanak hasil perkawinan itu, memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup,
memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi, tetapi juga untuk memelihara hubungan
baik dengan kelompok-kelompok kerabat tertentu.
Dari pendapat ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa perkawinan adalah suatu
kontrak adat istiadat atau pertalian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang dibatasi hak dan kewajibannya, melegimitasi status kekerabatan yang menjembatani
hubungan dengan individu dan kelompok lain. Sedangkan menurut ajaran Islam
perkawinan merupakan suatu perbuatan yang bernilai ibadah, karena mengikuti sunnah
rasul, yang mana dengan perkawinan itulah manusia dapat mengembangbiakkan
keturunan yang kelak diharapkan menjadi khalifah Allah di bumi.
Sudirman, Gumi Sasak Dalam Sejarah untuk SD/MI.(Yayasan Budaya Sasak Lestari: Selong,
2007), h.28.
16 Koentjaraningrat. Pengantar antropologi, (Universitas Indonesia: Jakarta, 1965), h. 30.
15
80
Kaitannya dengan tinjauan perkawinan menurut adatistiadat sasak, bahwa sanya
perkawinan memiliki tahapan-tahapan seperti yang dijumpai pada masyarakat Desa
Lepak kecamatan Sakra Timur berikut ini17:
1) Menarih (beketuan/bertanya)
Menarih atau beketuan merupakan tahapan pertama yang dilakukan dengan
menanyakan kesediaan seorang gadis untuk menjadi istri, dilakukan oleh subandar
(penghubung). Subandar adalah seorang biasanya menyamapaikan pembicaraan kedua
belah pihak (perempuan dan laki-laki) yang menjadi Subandar biasanya orang yang yang
dekat di pihak perempuan (saudara, sahabat, dan sebagainya).
2) Penati (Melamar/Ngelamar)
Pada tahap ini kelurga pihak laki-laki meninggalkan tali janji sebagai tanda
pengikat. Pada suku sasak, bila sudah mendapat kepastian dan kesanggupan seorang
gadis untuk dikawini, ditentukan kapan hari atau malam apa gadis akan dibawa lari oleh
pemuda yang disetujui, biasanya dilakukan pada malam hari.
3) Sebo’ (melarikan Gadis)
Sebo’ artinya sembunyi yakni gadis yang sudah dilarikan di sembunyikan di sebuah
keluarga atau rumah keluarga atau sahabat.
4) Sejati (pembenaran)
Sehari atau setelah berhasil melarikan gadis, maka orang dari pihak laki-laki harus
melakukan Sejati, yaitu memberitahukan kepada orang tua gadis bahwa anaknya sudah
dilarikan oleh pemuda (calon suami), dengan menyebut namanya untuk dijadikan istri.
Pemberitahuannya ini dilakukan oleh dua orang laki-laki berpakaian adat (biasanya kepala
kampung) bersama tokoh adat kampung.
5) Selabar (memberi kabar)
Dua hari setelah dilakukan selabar oleh dua orang yang melakukan sejati, selabar
merupakan pembicaraan terkait upacara pernikahan yang dibicarakan oleh pihak laki-laki
dan perempuan.
6) Sorong Serah dan Nyongkolan
Merupakan tahap terpenting dalam perkawinan, karena pada tahap ini dilakukan
penyelesaian, mengenai persoalan adat yang timbul dari perkawian tersebut. sorong serah
Raba, Manggaukang, dkk, Fakta-fakta Tentang NTB, Lombok dan Sumbawa. (Yayasan
Pembangunan Insan Citra: Mataram, 2002), h. 221.
17
81
ini menyangkut soal materil, keluarga kedua belah pihak serta Krama Gubuk. Oleh sebab
itu, upacara sorong serah ini dapat dikatakan sebagi upacara peyerahan pembayaran adat,
karena calon pengantin laki-laki membawa lari gadis. Nyongkolan merupakan upacara
permohonan maaf
kepada pihak orang tua pengantin wanita atas kesalahan yang
dilakukan oleh pihak pengantin laki-laki yang sekaligus meminta restu atas perkawinan
yang diselenggarakan.
7) Ngelewa (Bejango)
Yang ditandai dengan kedatangan kedua pengantin beserta keluarga ke rumah
keluarga wanita dengan membawa oleh-oleh berupa jajan dan pisang. Sedangkan orang
tua biasanya memberikan barang-barang berupa perabot rumah tangga atau dapur.
G. Penutup
Tembang Sorong Serah Aji Krama merupakan salah satu tahapan dari prosesi
perkawinan secara adat, keberadaaannya menjadikan hal yang menarik bagi peneliti
terkait keberadaannya di masyarakat sebagai cerminan pesan moral, terhadap pola hidup
masyarakat yang terkandung dalam Tembang Sorong Serah merupakan sebuah ilustrasi
dan untuk mengisi keramaian yang berhubungan dengan adat yang mendidik dan santun;
sering kali masyarakat tidak mengetahui pesan moral apa yang terkandung dalam
Tembang Sorong Serah.
Sorong Serah merupakan suatu perbuatan hukum dari pihak laki-laki terhadap wali
dan keluarga pihak wanita dalam suatu upacara.“sorong “ artinya menyodorkan dan “serah”
artinya menyerahkan, sorong serah artinya serah terima. Sedangkan “aji” artinya nilai atau
harga dan “krama” artinya kebiasaan. Jadi “sorong serah aji krama” artinya serah terima
nilai atau harga yang sudah dibiasakan. Jadi “aji krama” disini berarti nilai sekumpulan
penduduk suatu desa atau wialayah tertentu. Namun ada juga mengatakan aji krama itu
sebagai “aji Suci” dan mengartikan “aji” berarti harga dan “Suci” berarti membersihkan.
Namun, makna yang diberikan di atas dilihat dari nilai aji krama, dapat dipadukan menjadi
satu batasan pengertian “aji krama” yaitu suatu kesepakatan keseluruhan warga adat suatu
wilayah yang mempunyai kesatuan hukum yang tetap sebagai lambang penyucian nilai
kemanusiaan. Jadi Sorong Serah Aji Krama merupakan : Penyerahan sesuatu, maka dalam
82
hal ini bentuknya berupa uang (kepeng) dengan jumlah tertentu, ditambah dengan barangbarang lain seperti kain dan lain-lain yang secara keseluruhan dinilai nilainya harus
berjumlah sama dengan jumlah aji krama pihak wanita.
Sesungguhnya pesan moral yang dapat disimpulkan dari beberapa penjelasan di
atas ialah:

Dalam penyelesaian suatu persoalan handaknya dilakukan dengan Musyawarah
atau mufakat dan mengerjakan secara bersama-sama,

Sebagai manusia harus memiliki tata krama dan bertutur kata yang santun
sesama manusia.

Mengucapkan rasa syukur atau rasa terimakasih meskipun dikesampingkan

Bertamu ke rumah orang hendaknya bersikap sopan dan mematuhi adat yang
berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Alisyahbana, S. Takdir. Antropologi Baru. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1986.
Anonim. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah NTB. Mataram: Depdikbud, 1990.
Azhar, Muhammad. Reramputan/Pelajaran Bahasa Sasak untuk kelas III SLTP. Mataram:
PT Intan Parwira, 1996.
Budiningsih, C. Asri. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rinieka Cipta. 2004.
Depdikbud. Fungsi dan Kedudukan Sastra Lisan Melayu Serdang: Jakarta, 1990.
Haricahyono, C. Dimensi-dimensi Pendidikan Moral. Semarang: IKIP Semarang Press,
1995.
Kurnia, Tasniah. Nilai-Nilai Moral pada Tradisi Bejango Dalam Sistem Perkawinan
Masyarakat Sasak: Universitas Mataram, 2008.
Nurdin, Muslim, dkk. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: CV Alfabeta, 2002.
O’Dea, Thomas F. Sosiologi Agama. Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Raba, Manggaukang, dkk.. Fakta-fakta Tentang NTB, Lombok dan Sumbawa.: Mataram.
Yayasan Pembangunan Insan Citra, 2002.
83
Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
Sudikin, Basrowi. Metode penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan
Cendikia, 2002.
Sujarwa. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Team penyusun, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Pengembangan
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan RI, 1977.
Wirabakti, Lalu, dkk. Prosesi Titi Tata Adat Sasak Dalam Aji Krama. Mataram: Pustaka
Widya. 2010.
Walker, John. A. Desain, Sejarah, Budaya sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutra, 2010.
Zainuddin, Muhammad. Membangun Moral Menurut AL-Gazali. Surabaya: AL-Ikhlas,
2007.
84
Download