BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Pada bagian kajian pustaka penulis akan menguraikan beberapa referensi penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan dijalani. Kajian penelitian sebelumnya terkait dengan judul Manajemen Aset Daerah (Analisis Peralihan Fungsi Bangunan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung) ini memang belum pernah diteliti. Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian yang akan dilaksanakan terkait dengan judul Manajemen Aset Daerah (Analisis Peralihan Fungsi Bangunan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung) ini maka akan dicantumkan beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Hestria Noviayanti Siama mahasiswi Program Sarjana, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin dalam skripsinya yang berjudul Manajemen Aset Daerah Studi Pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Tana Toraja. Pada skripsi ini dibahas mengenai penggunaan aset daerah yaitu barang bergerak. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana pengelolaan aset daerah khususnya pada barang bergerak di Kabupaten Tana Toraja. Latar belakang dari penelitian ini salah satunya didasarkan pada salah satu masalah utama pemerintah daerah dalam pengelolaan aset daerah adalah ketidaktertiban administrasi dalam pengendalian inventarisasi aset. Selain itu masalah yang dihadapi Kabupaten Tana Toraja yaitu dalam bidang pengelolaan aset daerah yaitu pada pemanfaatan aset daerah dimana pada praktiknya terdapat beberapa penyalahgunaan dalam pemanfaatan barang milik daerah. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa pelaksanaan inventarisasi aset daerah kurang memberikan peningkatan pengelolaan, karena pengklasifikasian barang yang belum optimal. Pemeliharaan aset daerah juga kurang dilakukan secara periodik dan kurangnya perhatian pegawai terhadap aset daerah yang dipakai setiap harinya. Penghapusan aset daerah dalam meningkatkan pengelolaan yang efektif juga masih relatif kurang baik. Hal ini disebabkan kurang optimalnya pendataan barang dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah. Pengelolaan pengawasan aset daerah juga masih kurang memberikan kontribusi terhadap peningkatan pengelolaan yang efektif, karena pengawasan yang dilakukan belum sepenuhnya secara rutin dilakukan secara langsung dengan mengecek secara langsung dilapangan, sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan terhadap pengelolaan aset daerah yang berakibat pada hilangnya aset daerah. Pada beberapa kasus bahkan terjadi barang yang rusak ringan maupun berat dan pembelian barang tanpa dilakukan pembukuan. Penelitian lain dilakukan Nyemas Hasfi, Martoyo, dan Dwi Haryono (2013) pada jurnal berjudul Pengelolaan Barang Milik Daerah (Suatu Studi Pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sintang). Pada tulisannya peneliti mengemukakan fokus penelitiannya untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pengelolaan barang milik daerah oleh Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kabupaten Sintang serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pengelolaan barang milik daerah pada Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kabupaten Sintang belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Hal ini meliputi aspek perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penerimaan dan penyaluran, penggunaan, penatausahaan, pengamanan dan pemeliharaan, pemanfaatan, penilaian, dan penghapusan barang milik daerah yang kurang sesuai dengan kebutuhan organisasi, sehingga menimbulkan in-efisiensi dan kemubaziran. Pengelolaan barang milik daerah oleh Dinas Pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset Kabupaten Sintang yang belum sepenuhnya terlaksana dengan baik dihadapkan beberapa kendala dibidang organisasi, sumber daya aparatur, aturan dan praktek manajemen pengelolaan barang yang belum sesuai dengan aturan yang ada. Penelitian lain dilakukan pula oleh Darmawan Listyo Bimantoro (2012) dalam skripsi berjudul Perubahan Penggunaan Tanah dan Fungsi Bangunan di Sekitar Obyek Wisata Candi Borobudur dan Taman Kyai Langgeng Tahun 1996 dan 2001 ( Kabupaten dan Kota Magelang, Jawa Tengah). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan penggunaan tanah dan fungsi bangunan disekitar obyek wisata di Magelang yang meliputi obyek wisata Candi Borobudur dan Taman Kyai Langgeng. Penggunaan tanah dan fungsi bangunan yang diteliti adalah penggunaan tanah dan fungsi bangunan disekitar obyek wisata Candi Borobudur dan Taman Kyai Langgeng. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan pendekatan keruangan. Hasil dari penelitian ini adalah perubahan penggunaan tanah dan fungsi bangunan semakin besar apabila mendekati obyek wisata dan pusat kegiatan ekonomi. Berdasarkan penelitian tersebut diatas, masih belum ada kajian mengenai aset daerah yang berada di Provinsi Bali. Sehingga penelitian tersebut yang kemudian menjadi tantangan bagi peneliti untuk memfokuskan penelitiannya pada kajian manajemen aset daerah (analisis peralihan fungsi bangunan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung). 2.2 Landasan Teori 2.2.1 Teori Manajemen Publik Pada dasarnya manajemen publik, yaitu manajemen instansi pemerintah. Samuel E Overman dalam Keban (2004:85), mengemukakan bahwa manajemen publik bukanlah “scientific management”, meskipun sangat dipengaruhi “scientific management”. Manajemen publik bukanlah “policy analysis”, bukan juga administrasi publik, merefleksikan tekanan-tekanan antara orientasi “rationalinstrumental” pada satu pihak, dan orientasi politik kebijakan dipihak lain. Manajemen publik adalah suatu studi interdisipliner dari aspek-aspek umum organisasi dan merupakan gabungan antara fungsi manajemen seperti planning, organizing, dan controlling satu sisi dengan SDM, keuangan, fisik, informasi dan politik disisi lain (Pasolong, 2011 : 83). Berdasarkan pendapat Overman tersebut, J Steven Ott, Albert C Hyde, dan Jay M Shafritzs (1991:xi), mengemukakan bahwa manajemen publik dan kebijakan publik merupakan dua bidang administrasi publik yang saling tumpang tindih. Tetapi untuk membedakan keduanya secara jelas maka dapat dikemukakan bahwa kebijakan publik merefleksikan sistem otak dan syaraf, sementara manajemen publik merepresentasikan sistem jantung dan sirkulasi dalam tubuh manusia. Dengan kata lain, manajemen publik merupakan proses menggerakkan SDM dan non SDM sesuai perintah kebijakan publik (Pasolong, 2011:83). Manajemen Publik berkaitan dengan fungsi dan proses manajemen yang berlaku baik pada sektor publik (pemerintahan) maupun sektor diluar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung (nonprofit sector). Beberapa ahli juga mengemukakan tujuan dari manajemen publik yaitu, menurut Rainey (1990) : Manajemen publik ditujukan untuk meningkatkan tercapainya tujuan sektor publik yaitu lebih efektif dan efisien, pegawainya lebih berkeahlian dan lebih mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya. Sedangkan menurut Graham & Hays (1991) : Manajemen publik bertujuan untuk menjadikan sector public lebih efisien, akuntabel, dan tujuannya tercapai serta lebih mampu menangani berbagai masalah manajerial dan teknis (Islamy : 2003). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen publik adalah proses untuk melayani, mengelola dan mengatur segala urusan publik. Manajemen publik merupakan bagian dari administrasi publik, dimana proses administrasi publik merupakan kegiatan manajemen itu sendiri. Manajemen publik lebih memfokuskan pada bagaimana organisasi publik mengimplementasikan kebijakan publik. Perencanaan, pengorganisasian dan pengontrolan merupakan perangkat utama dalam rangka menyelenggarakan pelayanan pemerintah ataupun publik. Manajemen publik lebih mencurahkan perhatiannya pada sektor publik maupun sektor di luar pemerintahan yang tidak bertujuan mencari untung. 2.2.2 Teori Manajemen Perubahan Manajemen perubahan adalah suatu proses secara sistematis dalam menerapkan pengetahuan, sarana, dan sumber daya yang diperlukan untuk mempengaruhi perubahan pada orang yang akan terkena dampak dari proses tersebut (Potts dan LaMarsh, 2004:16 dalam buku Wibowo, 2011:241). Manajemen perubahan dalam implementasinya memerlukan waktu dan tujuan yang terencana dan strategis sehingga mampu memberikan manfaat dengan adanya perubahan tersebut. Secara umum, perubahan dalam suatu organisasi sudah merupakan kewajiban tetapi perubahan yang dilakukan oleh tiap-tiap organisasi tidak akan sama dan disesuaikan dengan tujuan dari masing-masing organisasi tersebut. Secara singkat, manajemen perubahan dapat diartikan sebagai proses untuk membuat sesuatu yang berbeda dan menuju arah yang lebih baik. Perubahan merupakan suatu fenomena yang pernah terjadi dalam kehidupan organisasi, meskipun banyak yang berpendapat bahwa kecepatan dan besaran perubahan telah meningkat secara signifikan beberapa tahun belakangan ini. Oleh karena itu, kita melihat bahwa dalam waktu yang relatif pendek, kebanyakan organisasi dan pekerjanya telah mengalami perubahan secara subtansial tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya (Burnes, 2000:250). Manajemen perubahan, sesuai dengan namanya digunakan untuk melakukan perubahan atau untuk menghadapi perubahan. Perubahan perlu dilakukan karena situasi dan kondisi berubah, tuntutan, dan bahkan perkembangan pada tataran praktispun mengharuskannya untuk melakukan perubahan. Manajemen perubahan tidak hanya perlu diterapkan pada perubahan yang sifatnya relatif dapat diprediksi (predictable), tetapi manajemen perubahan juga relevan untuk menghadapi perubahan drastis yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diprediksikan jauh sebelumnya (unpredictable). Terdapat dua pendekatan utama untuk manajemen perubahan yaitu perubahan terencana ( planned change) dan pendekatan darurat (emergent approach). Kedua pendekatan ini dapat dipergunakan tergantung pada kondisi lingkungan yang dihadapi (Wibowo, 2011:246). 1. Planned Change (Perubahan Terencana) Bullock dan Batten (Burnes, 2000:272) mengemukakan bahwa untuk melakukan perubahan terencana perlu dilakukan empat fase tindakan yaitu sebagai berikut: a. Exploration phase (fase eksplorasi) : dalam tahap ini organisasi menggali dan memutuskan apakah ingin membuat perubahan spesifik dalam operasi, dan jika demikian, apakah mempunyai komitmen terhadap sumber daya untuk merencanakan perubahan; b. Planning phase (fase perencanaan) : tahap berikutnya adalah menyangkut pemahaman masalah dan kepentingan organisasi; c. Action phase (fase tindakan) : pada tahap ini organisasi mengimplementasikan perubahan yang ditarik dari perencanaan. Proses perubahan menyangkut desain untuk menggerakkan organisasi dari keadaan sekarang menuju keadaan yang akan datang; d. Integration phase (fase integrasi) : tahapan ini dimulai begitu perubahan telah sukses di implementasi. Hal ini berkaitan dengan mengonsolidasi dan menstabilisasi perubahan sehingga mereka menjadi bagian organisasi normal. 2. Emergent Approach (Pendekatan Darurat) Emergent approach memberikan arahan dengan melakukan penekanan pada lima gambaran organisasi yang dapat mengembangkan atau menghalangi keberhasilan perubahan yaitu sebagai berikut: 1. Organizational structure (struktur organisasi) : stuktur organisasi adalah perubahan struktural menuju pada suatu organisasi dengan lebih banyak delegasi; 2. Organizational culture (budaya organisasi) : budaya organisasi adalah suatu upaya untuk memengaruhi perubahan dalam suatu organisasi sekadar dengan berusaha mengubah budayanya mengasumsikan bahwa terdapat hubungan linear yang tidak beralasan antara budaya organisasi dengan kinerjanya; 3. Organizational learning (organisasi pembelajaran) : pembelajaran memainkan peran kunci dalam menyiapkan orang untuk bersedia melakukan perubahan atau membiarkan mereka menghalangi perubahan; 4. Manajerial behaviour (perilaku manajerial) : pendekatan perilaku manajerial memerlukan perubahan yang radikal dalam perilaku manajer; 5. Power and politics (kekuatan dan politik) : meskipun advokasi terhadap emergent change cenderung melihat kekuatan dan politik dari perspektif yang berbeda, mereka semua mengenal arti pentingnya perubahan yang harus dikelola jika perubahan ingin menjadi efektif. 2.3 Kerangka Konsep 2.3.1 Manajemen Aset Daerah 1. Manajemen Manajemen berasal dari bahasa Inggris yaitu management. Pada kamus bahasa Inggris oleh John M. Echols dan Hassan Shadily, manajemen (management) berarti pengelolaan, dan ini berasal dari kata kerja to manage yang artinya mengurus, mengatur, melaksanakan, memperlakukan, dan mengelola. Menurut Ensiklopedi Administrasi Indonesia, manajemen adalah segenap kekuatan menggerakkan sekelompok orang yang mengerahkan fasilitas dalam satu usaha kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Selain itu di dalam buku Prinsip-prinsip manajemen ( George R. Terry, 2009:15) dinyatakan bahwa terdapat empat fungsi manajemen yaitu: 1. Perencanaan (Planning) : proses yang menyangkut upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi kecenderungan di masa yang akan datang dan penentuan strategi dan taktik yang tepat untuk mewujudkan target dan tujuan organisasi; 2. Pengorganisasian (Organizing) : proses yang menyangkut bagaimana strategi dan taktik yang telah dirumuskan dalam perencanaan didesain dalam sebuah struktur organisasi yang tepat dan tangguh, sistem dan lingkungan organisasi yang kondusif, dan dapat memastikan bahwa semua pihak dalam organisasi dapat bekerja secara efektif dan efisien guna pencapaian tujuan organisasi; 3. Pengarahan atau Penggerakan (Actuating) : proses implementasi program agar dapat dijalankan oleh seluruh pihak dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak tersebut dapat menjalankan tanggung jawabnya dengan penuh kesadaran dan produktifitas yang tinggi; 4. Pengawasan (Controlling) : proses yang dilakukan untuk memastikan seluruh rangkaian kegiatan yang telah direncanakan, diorganisasikan dan diimplementasikan dapat berjalan sesuai dengan target yang diharapkan sekalipun berbagai perubahan terjadi dalam lingkungan dunia bisnis yang dihadapi. 2. Aset (Asset) Aset berasal dari bahasa Inggris yang berarti barang atau sesuatu barang yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value), dimana nilai tukar dimiliki oleh instansi, organisasi, badan usaha ataupun individu (perorangan). Aset (Asset) adalah barang, yang dalam pengertian hukum disebut benda, yang terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (Intangible), yang tercakup dalam aktiva/kekayaan atau harta kekayaan dari suatu instansi, organisasi, badan usaha atau individu perorangan. Selain itu pengertian Aset dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007, dimana aset mempunyai pengertian yang sama yaitu semua barang yang dibeli atau yang diperoleh atas beban APBD atau APBN atau yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. 3. Manajemen Aset Manajemen aset sebetulnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen keuangan dan secara umum terkait dengan administrasi pembangunan daerah khususnya yang berkaitan dengan nilai aset, pemanfaatan aset, pencatatan nilai aset dalam neraca tahunan daerah, maupun dalam penyusunan prioritas dalam pembangunan. Tujuan manajemen aset kedepan diarahkan untuk menjamin pengembangan kapasitas yang berkelanjutan dari pemerintahan daerah, maka dituntut agar dapat mengembangkan atau mengoptimalkan pemanfaatan aset daerah guna meningkatkan atau mendongkrak pendapatan asli daerah, yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan guna mencapai pemenuhan persyaratan optimal bagi pelayanan tugas dan fungsi instansinya terhadap masyarakat. Menurut Siregar (2004) manajemen aset merupakan salah satu profesi atau keahlian yang belum sepenuhnya berkembang dan populer di lingkungan pemerintahan maupun di satuan kerja atau instansi. Manajemen aset itu sendiri sebenarnya kedepannya terdiri dari lima tahapan kerja yang satu sama lainnya saling terikat yaitu : Inventarisasi Aset, Legal Audit, Penilaian Aset, Optimalisasi Aset, dan Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset (SIMA) dalam Pengawasan dan Pengendalian Aset. 4. Manajemen Aset Daerah Dalam rangka mewujudkan tertib administrasi terhadap pengelolaan barang daerah perlu diatur pedoman kerjanya, untuk itu telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dimaksudkan bahwa barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah. Di dalam lampirannya dijelaskan tentang pengertian barang milik daerah yaitu semua kekayaan daerah baik yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun yang berasal dari perolehan lain yang sah, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak beserta bagian-bagiannya ataupun yang merupakan satuan tertentu yang dapat dinilai, dihitung, diukur atau ditimang termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan kecuali uang dan surat-surat berharga lainnya. Pengelolaan barang daerah adalah rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang daerah yang meliputi, perencanaan kebutuhan dan penganggaran, penggunaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran, penatausahaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindah-tanganan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pembiayaan, dan tuntutan ganti rugi (Pasal 4 ayat 2 Permendagri No.17 Tahun 2007). Sedangkan mengenai manajemen aset seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa manajemen aset merupakan lanjutan dari proses manajemen barang atau manajemen material yang meliputi kegiatan-kegiatan: a). inventarisasi aset; b). legal audit; c). penilaian aset; d). optimalisasi aset; e). pengembangan System Informasi Manajemen Aset (SIMA) dalam Pengawasan dan Pengendalian Aset. 5. Prinsip Dasar Pengelolaan Aset Daerah Untuk mendukung pengelolaan aset daerah secara efisien dan efektif serta menciptakan transparansi kebijakan pengelolaan aset daerah, maka pemerintah daerah perlu memiliki atau mengembangkan sistem informasi menajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat untuk menghasilkan laporan pertanggungjawaban. Selain itu, sistem informasi tersebut juga bermanfaat untuk dasar pengambilan keputusan mengenai kebutuhan barang dan estimasi kebutuhan belanja pembangunan (modal) dalam penyusunan APBD, dan untuk memperoleh informasi manajemen aset daerah yang memadai maka diperlukan dasar pengelolaan kekayan aset yang memadai juga, dimana menurut Mardiasmo (2002:87) terdapat tiga prinsip dasar pengelolaan aset atau kekayaan daerah, yaitu: (a) adanya perencanaan yang tepat; (b) pelaksanaan/pemanfaatan secara efisien dan efektif; (c) pengawasan (monitoring). a. Perencanaan Pemerintah daerah perlu membuat perencanaan kebutuhan aset yang digunakan sebagai rujukan dalam pengadaan aset daerah. Berdasarkan rencana tersebut, pemerintah daerah kemudian mengusulkan anggaran pengadaannya. Dalam hal ini masyarakat dan DPRD perlu melakukan pengawasan mengenai apakah aset yang direncanakan untuk dimiliki daerah tersebut benar-benar dibutuhkan daerah. Seandainya memang dibutuhkan, maka pengadaannya harus dikaitkan dengan cakupan layanan yang dibutuhkan dan diawasi apakah ada penggelembungan dalam rencana pengadaan atau pembelian tersebut. Setiap pengadaan atau pembelian barang baru harus dicatat dan terdokumentasi dengan baik dalam sistem database kekayaan atau aset daerah. Pada dasarnya, kekayaan daerah dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Kekayaan yang sudah ada (eksis) sejak adanya daerah tersebut. Kekayaan jenis ini meliputi seluruh kekayaan alam dan geografis kewilayahan. Contohnya adalah tanah, hutan, tambang, gunung, pantai, dan peninggalan bersejarah yang menjadi kewenangan daerah; 2. Kekayaan yang telah dan akan dimiliki baik yang berasal dari pembelian maupun yang akan dibangun sendiri. Kekayaan jenis ini berasal dari aktivitas pemerintah daerah yang didanai oleh APBD serta kegiatan ekonomi daerah lainnya. Contohnya adalah jalan, jembatan, dan kendaraan (Soleh dan Rochmansjah, 2010:151). b. Pelaksanaan Kekayaan milik daerah harus dikelola secara optimal dengan memperhatikan prinsip efisiensi, afektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Hal yang cukup penting diperhatikan oleh pemerintah daerah adalah perlunya dilakukan perencanaan terhadap biaya operasi dan pemeliharaan untuk setiap kekayaan yang dibeli atau diadakan. Hal ini disebabkan seringkali biaya operasi atau pemeliharaan tidak dikaitkan dengan belanja investasi atau modal. Pengelolaan aset atau kekayaan daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik yang harus dipenuhi paling tidak meliputi: 1. Akuntabilitas Kejujuran dan Akuntabilitas Hukum Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan oleh pejabat dalam penggunaan dan pemanfaatan kekayaan daerah, sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. 2. Akuntabilitas Proses Akuntabilitas proses terkait dengan dipatuhinya prosedur yang digunakan dalam melaksanakan pengelolaan kekayaan daerah. 3. Akuntabilitas Kebijakan Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap DPRD dan masyarakat luas atas kebijakan-kebijakan perencanaan, pengadaan, pendistribusian penggunaan atau pemanfaatan kekayaan daerah, pemeliharaan sampai pada penghapusan barang daerah (Soleh dan Rochmansjah, 2010:153). c. Pengawasan Pengawasan yang ketat perlu dilakukan sejak tahap perencanaan hingga penghapusan aset. Keterlibatan auditor internal dalam proses pengawasan ini sangat penting untuk menilai konsistensi antara praktik yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan standar yang berlaku. Selain itu, auditor internal juga penting keterlibatannya untuk menilai kebijakan akuntansi yang diterapkan menyangkut pengakuan aset, pengukurannya, dan penilaiannya. Pengawasan diperlukan untuk menghindari penyimpangan dalam setiap fungsi pengelolaan atau manajemen aset daerah (Soleh dan Rochmansjah, 2010:154). 6. Tujuan Pengelolaan Aset Daerah Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, dimana dalam pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan pengelolaan barang milik daerah adalah untuk : a. Menunjang kelancaran pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah serta dalam rangka melaksanakan tertib administrasi pengelolaan barang milik daerah; b. Terwujudnya akuntabilitas dalam pengelolaan barang milik daerah; c. Terwujudnya pengelolaan barang milik daerah yang tertib, efisien dan efektif, fleksibel dan optimal serta sesuai dengan asas-asas pengelolan barang milik daerah. 7. Dasar Hukum Pengelolaan Barang Milik Daerah Dasar hukum pengelolaan barang milik daerah, antara lain yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tantang Pemerintahan Daerah; 3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1971 tentang Penjualan Kendaraan Perorangan Dinas; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 jo Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2005 tentang Penjualan Rumah Negara; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah; 9. PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan; 10. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; 11. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah; 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah; 13. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Kepentingan Umum sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005; 14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 49 Tahun 2001 tentang Sistem Informasi Manajemen Barang Daerah; 15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2002 tentang Nomor Kode Lokasi dan Nomor Kode Barang Daerah Provinsi/ Kabupaten/ Kota; 16. Keputusan Menteri Dalem Negeri Nomor 12 tahun 2003 tentang Pedoman Penilaian Barang Daerah; 17. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 153 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang dipisahkan; 18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Soleh dan Rochmansjah, 2010:158). 8. Penatausahaan Barang Milik Daerah Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Adapun pengertian dari ketiga rangkain kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan barang yaitu sebagai berikut : a. Pembukuan Pembukuan adalah rincian pendaftaran dan pencatatan barang milik daerah ke daftar barang atau daftar barang pengguna atau kuasa pengguna menurut penggolongan dan kodefikasi barang. Pengguna/kuasa pengguna barang wajib melakukan pendaftaran dan pencatatan barang milik daerah ke dalam Daftar Barang Pengguna (DBP)/Daftar Barang Kuasa Pengguna (DBKP). Pengguna/kuasa pengguna barang dalam melakukan pendaftaran dan pencatatan harus sesuai dengan format: 1. Kartu Inventaris Barang (KIB) A Tanah; 2. Kartu Inventaris Barang (KIB) B Peralatan dan Mesin; 3. Kartu Inventaris Barang (KIB) C Gedung dan Bangunan; 4. Kartu Inventaris Barang (KIB) D Jalan, Irigasi, dan Jaringan; 5. Kartu Inventaris Barang (KIB) E Aset Tetap Lainnya; 6. Kartu Inventaris Barang (KIB) F Kostruksi dalam Pengerjaan; 7. Kartu Inventaris Ruangan (KIR). b. Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik daerah. Kegiatan inventarisasi dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang akurat, lengkap, dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang dimiliki atau di kuasai oleh pemerintah daerah. Untuk dapat melakukan inventarisasi aset daerah secara objektif dan dapat diandalkan, pemerintah daerah perlu memanfaatkan profesi auditor atau jasa penilai yang independent. Dari kegiatan inventarisasi disusun buku inventaris yang menunjukkan semua kekayaan daerah yang bersifat kebendaan, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Buku inventaris tersebut memuat data meliputi lokasi, jenis/merk tipe, jumlah, ukuran, harga, tahun pembelian, asal barang, keadaan barang, dan sebagainya. c. Pelaporan Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 tahun 2007. Pelaporan adalah proses penyusunan laporan barang setiap semester dan setiap tahunan setelah dilakukan inventarisasi dan pencatatan. Pengguna menyampaikan laporan pengguna barang semesteran dan tahunan kepada Kepala Daerah melalui pengelola. Sementara pembantu pengelola menghimpun laporan menjadi Laporan Barang Milik Daerah (LBMD). Laporan Barang Milik Daerah digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca Pemerintah Daerah. 9. Asas-asas Pengelolaan Barang Milik Daerah Barang milik daerah sebagai salah satu unsur penting dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat harus dikelola dengan baik dan benar, maka dari itu pengelolaan barang milik daerah dilaksanakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: a. Asas Fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang, pengelola barang, dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing; b. Asas Kepastian Hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan; c. Asas Transparansi, yaitu penyalenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar; d. Asas Efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi pemerintahan secara optimal; e. Asas Akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat; f. Asas Kepastian Nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan neraca Pemerintah Daerah (Soleh dan Rochmansjah, 2010:157). 2.3.2 Pemanfaatan Barang Milik Daerah Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 tahun 2007, yang dimaksud dengan istilah pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah, dan bangun serah guna dengan tidak mengubah status kepemilikan. Hal ini secara tidak langsung memberikan penjelasan bahwa pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak boleh terganggu akibat pemanfaatan barang milik daerah. Dalam istilah pendayagunaan barang milik daerah terkandung makna bahwa tujuan pemanfaatan barang milik daerah adalah optimalisasi pemanfaatan barang milik daerah guna mendorong peningkatan penerimaan daerah. Selain itu tujuan menyeluruh dari pemanfaatan barang milik daerah yaitu bertujuan untuk: a). Mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik daerah; b). Meningkatkan penerimaan atau pendapatan daerah; c). Mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya biaya pemeliharaan; d). Mencegah kemungkinan adanya penyerobotan dari pihak lain yang tidak bertanggung jawab; e). Membuka lapangan kerja; f) Meningkatkan pendapatan masyarakat. Pendayagunaan barang milik daerah dilakukan melalui bentuk-bentuk pemanfaatan yaitu : 1. Sewa Sewa adalah pemanfaatan barang milik daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai. 2. Pinjam Pakai Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan barang antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada pengelola. 3. Kerjasama Pemanfaatan Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan daerah bukan pajak atau pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya. 4. Bangun Guna Serah Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. 5. Bangun Serah Guna Bangun Serah Guna adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati. 2.3.3 Kemitraan ( Kerjasama) Antar Daerah Kerjasama antar Pemerintah Daerah menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 dimana kerjasama daerah merupakan bentuk kesepakatan antara gubernur dengan gubernur, atau gubernur dengan bupati/wali kota, atau antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur, bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Selain itu kerja sama daerah merupakan sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antar daerah atau dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan kapasitas fiskal. Melalui kerja sama daerah diharapkan dapat mengurangi kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah dan daerah tertinggal. Dalam kerjasama antar daerah terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kerjasama antar pemerintah daerah di Indonesia. Hal-hal tersebut diatur dalam PP No. 50 Tahun 2007 yang menjadi pedoman daerah dalam bekerjasama dan mengembangkan potensi daerahnya. Poin-poin kerjasama antar pemerintah daerah yang perlu disepakati antar subyek kerjasama (kepala daerah atau pihak ketiga), meliputi beberapa hal sebagai berikut, yaitu subjek kerja sama, objek kerja sama, ruang lingkup kerja sama, hak dan kewajiban para pihak, jangka waktu kerja sama, pengakhiran kerja sama, keadaan memaksa, serta penyelesaian perselisihan. Kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama (dapat dalam berbagai bentuk : kesepakatan bersama, perjanjian bersama, dan lainlain), yang perlu mendapatkan persetujuan dari DPRD. Isu-isu strategis yang berkaitan dengan urgensi kerjasama antar pemerintah daerah (Tarigan, 2009) adalah : Peningkatan pelayanan publik, kawasan perbatasan, tata ruang, penanggulangan bencana dan penanganan potensi konflik, kemiskinan dan pengurangan disparitas wilayah, serta pemekaran daerah. Agar berhasil melaksanakan kerjasama antar daerah tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (Edralin, 1997 dalam Keban, 2005). Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman dalam melakukan kerjasama antar pemerintah daerah yaitu: 1. Transparansi : Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutupi; 2. Akuntabilitas : Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau kepada para pengguna pelayanan publik; 3. Partisipatif : Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko; 4. Efisiensi : Dalam melaksanakan kerjasama antar pemerintah daerah ini harus dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi; 5. Efektivitas : Dalam melaksanakan kerjasama antar pemerintah daerah ini harus dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh; 6. Konsensus : Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut; 7. Saling menguntungkan dan memajukan : Dalam kerjasama antar pemerintah daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama. 2.4 Kerangka Pemikiran MANAJEMEN ASET DAERAH KABUPATENKABUPATEN BADUNG BADUNG PEMANFAATAN ASET DAERAH BENTUK PEMANFAATAN Sewa (5 Tahun) Pinjam Pakai (2 Tahun) Kerjasama Pemanfaatan (30 Tahun) Bangun Guna Serah Bangun Serah Guna (30 Tahun) (30 Tahun) Melalui bagan diatas dapat dijelaskan bahwa manajemen aset daerah Kabupaten Badung memang sangat diperlukan guna untuk mengelola aset-aset yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Badung, agar semua aset-aset yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Badung dapat terkelola dengan baik. Selain itu, dengan adanya manajemen aset daerah maka aset-aset daerah yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Badung, baik aset daerah yang telah digunakan ataupun aset daerah yang tidak dipergunakan (menganggur) dapat dimanfaatkan sebaik mungkin melalui pemanfaatan aset daerah. Pemanfaatan aset daerah dapat dilakukan melalui bentukbentuk pemanfaatan, dimana bentuk-bentuk pemanfaatan itu sendiri dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu : 1. Sewa : Jangka waktu penyewaan barang milik daerah paling lama 5 Tahun dan dapat di perpanjang 2. Pinjam Pakai : Jangka waktu pinjam pakai barang milik daerah paling lama 2 Tahun dan dapat diperpanjang 3. Kerjasama Pemanfaatan : Jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama 30 Tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang 4. Bangun Guna Serah : Jangka waktu bangun guna serah paling lama 30 Tahun sejak perjanjian ditandatangani 5. Bangun Serah Guna : Jangka waktu bangun serah guna paling lama 30 Tahun sejak perjanjian ditandatangani ( Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah). Dari kelima bentuk pemanfaatan tersebut diatas dapat dipilih salah satunya sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang akan melakukan pemanfaatan. Dalam hal ini pemilihan bentuk pemanfaatan yang akan digunakan juga sangat perlu diperhatikan agar sesuai dengan tujuan dan kebutuhan dari pemanfaatan yang akan dilakukan serta tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, sehingga tidak terjadi masalah-masalah yang tidak diinginkan dalam proses pemanfaatannya.