BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemasaran

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemasaran merupakan faktor kunci untuk menjawab tantangan pasar
yang semakin dinamis dan kompetitif. Aktivitas penjualan, akunting, distribusi,
dan berbagai fungsi bisnis lain tidak akan berarti tanpa adanya permintaan
(demand) yang memadai atas suatu produk atau jasa sehingga dapat
menghasilkan profit. Oleh karena itu, kesuksesan sebuah brand sangat
bergantung pada kemampuan pemasarannya 1. Pemasaran yang berkedudukan
sebagai perantara antara produsen dan konsumen sangat bergantung pada proses
komunikasi yang terjalin di antara keduanya. Melalui komunikasi pemasaran,
perusahaan atau organisasi dapat menyebarkan informasi, mempengaruhi, dan
mengingatkan pasar sasaran atas suatu brand atau produk agar bersedia
menerima, membeli, dan setia kepada produk yang ditawarkan.
Pada umumnya, brand yang telah mapan memiliki kemampuan pemasaran
yang baik. Namun hal ini dapat menjadi tidak berlaku pada marketplace global.
Brand yang dipasarkan di berbagai negara akan menghadapi tantangan dan
masalah baru sehingga strategi gobal yang digunakan menjadi kurang relevan.
Pada saat seperti ini, brand memiliki pilihan untuk menciptakan perubahan
dalam strategi pemasaran atau bahkan menciptakan strategi yang sama sekali
baru.
Salah satu contoh kasus yang dapat diamati adalah pada komunikasi
pemasaran Wal-Mart di Jerman. Setelah berhasil mengembangkan ekspansinya
di Meksiko, Kanada dan Amerika Latin, Walmart mulai memasuki pasar Eropa
melalui Jerman. Antara Jerman dan AS terdapat banyak perbedaan, mulai dari
budaya masyarakatnya, peraturan hukum, keadaan ekonomi dan juga kondisi
politiknya. Komunikasi pemasaran yang dilakukan Wal-Mart di Jerman kurang
memperhatikan faktor-faktor tersebut sehingga tidak berjalan efektif2.
1
2
Marion Maguire. 2002. Brand Marketing Image: The Key to Success. Munich: GRIN Verlag. Hal 8.
Alain Verbeke. 2013. International Business Strategy. Cambridge University Press. Hal 152.
1
Di Jerman misalnya, masyarakat tidak menyukai jika orang asing
mencampuri mereka dalam urusan belanja, sehingga strategi Walmart yang
disebut “Ten-Foot Rules” dimana pegawai akan mendatangi pelanggan untuk
menawarkan bantuan tidak dapat diterapkan di Jerman. Orang Jerman juga
terkesan cuek, sehingga menugaskan pegawai di pintu untuk mengucapkan
salam justru akan membuat pelanggan merasa tidak nyaman.
Di Indonesia sendiri semakin banyak brand asing yang menjajal
peruntungannya, salah satunya adalah Snickers. Brand ini sudah cukup lama
terjun ke marketplace Indonesia dalam kategori chocolate bar. Snickers adalah
salah satu brand yang berada di bawah umbrella brand Mars. Snickers memiliki
market share yang cukup tinggi di pasar Internasional. Pada tahun 2012,
Snickers memiliki 1,8% market share global dengan angka penjualan 3.752 juta
USD.3
Sebagai sebuah brand yang sudah sangat mapan di pasar internasional,
Snickers memiliki beberapa masalah yang cukup krusial. Yang pertama adalah
mengenai penyusunan ide komunikasi pemasaran pada pasar di negara tertentu.
Dalam pemasarannya, Snickers memiliki sebuah brand idea global yang
diterapkan di 40 pasar di negara yang berbeda. Mereka berusaha untuk
mengangkat isu yang universal sehingga dapat diterima secara luas oleh
masyarakat dunia4. Mereka menghadapi situasi yang sulit mengingat isu-isu
ekonomi, politik, sosial, dan budaya di negara-negara tersebut berbeda satu sama
lain. Ditambah lagi, dalam pasar sebuah negara tertentu, terdapat brand lokal
yang telah mapan dan memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas
komunikasi pemasaran dengan nuansa yang lebih lokal dan cekatan.
Kebanyakan aktivitas komunikasi pemasaran akan memiliki tingkat
kesuksesan yang lebih besar dengan mengadaptasi kondisi dan suasana lokal
pada marketplace. Dengan kata lain, tidaklah ideal jika hanya sekedar
menerapkan strategi komunikasi pemasaran global yang murni tanpa
mempertimbangkan isu-isu lokal. Marketer perlu memahami bagaimana sebuah
3
Snickers Vs MnM. 2012. Diakses dari http://www.rappler.com/business/12897-snickers-vs-mamp-m-top-global-candy-bar-is pada tanggal 20 Juli 2014.
4
Philip Kotler. 2009. Marketing Management – European Edition. Hal 467.
2
brand dapat memenuhi kebutuhan konsumen sehingga aktivitas komunikasi
pemasaran yang mereka lakukan dapat berhasil5.
Menengok ke belakang, sejak beberapa tahun lalu komunikasi pemasaran
yang dilakukan cenderung hanya mengaplikasikan ide global Snickers, seperti
dapat dilihat dalam iklan televisi yang menerjemahkan iklan versi luar negeri.
Hal seperti ini terkadang beresiko untuk dilakukan, pasalnya, terkadang kultur
ataupun peraturan undang-undang periklanan yang berlaku di suatu negara
berbeda dengan yang lain. Dampaknya, pada bulan Maret lalu, iklan Snickers
versi sepak bola dilarang penayangannya oleh Badan Pengawas Periklanan
karena telah melanggar dua hal, yaitu (1) transformasi gender dan (2)
penggambaran produk snickers sebagai energy bar yang sejenis dengan dopping.
Permasalahan yang kedua, Meski sudah memasarkan produknya sejak
2008 lalu, Snickers sampai saat ini masih belum mampu menembus pangsa
pasar Indonesia dengan efektif. Menurut data Top Brand Index, kategori coklat
batang hingga tahun 2014 masih didominasi berturut-turut oleh SilverQueen,
Cadburry, Delfi, dan Toblerone selaku kompetitor.6 Hal ini tentunya sangat
kontras dengan posisi Snickers sebagai market leader di pasar internasional.
Snickers sebenarnya memiliki keunggulan dari segi positioning. Mereka
merupakan produk chocolate bar pertama dan satu-satunya di Indonesia yang
ditujukan untuk mengatasi rasa lapar. Sayangnya, kesadaran masyarakat akan
positioning tersebut belum begitu kuat sehingga mereka masih belum dapat
membedakan karakteristik Snickers dengan produk chocolate bar yang lain,
inilah yang kemudian memunculkan permasalahan yang ketiga.
Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman tersebut, kini Snickers berusaha
menggunakan kampanye pemasaran yang baru guna meningkatkan awareness
target konsumen sekaligus meningkatkan sales dengan cara mengadopsi nilainilai dan budaya di Indonesia. Permasalahan inilah yang kemudian akan ditinjau
lebih dalam oleh divisi planner di BBDO Indonesia untuk mengembangkan
5
Dumitrescu Luigi & Vinerean Simona. 2010. The Glocal Strategy of Global Brands. Hal 3.
http://topbrand-award.com/top-brand-survey/survey-result/top_brand_index_2014. Diakses
pada 20 Juli 2014.
6
3
strategi komunikasi pemasaran sebagai upaya untuk memperkenalkan kembali
brand Snickers di pasar Indonesia.
Dalam menjalankan fungsinya, agensi periklanan pada umumnya membagi
pekerjaannya ke dalam beberapa divisi. Pertama divisi account, yaitu divisi yang
mengatur segala bentuk komunikasi terhadap klien, input dari klien inilah yang
selanjutnya diteruskan kepada divisi lain untuk kemudian ditindaklanjuti.
Selanjutnya adalah divisi kreatif, mereka bertugas untuk merancang dan
menciptakan ide-ide kreatif yang berguna sebagai alat penyampai pesan (how to
say) kepada calon konsumen. Kemudian saat ini muncul divisi baru yang disebut
divisi planning, kedudukan mereka terdapat di antara divisi account dan kreatif.
Di Indonesia sendiri divisi ini baru muncul pada tahun 2000-an dan masih belum
diterapkan pada semua agensi periklanan. Selain divisi-divisi tersebut, terdapat
juga supporting team seperti traffic dan finance.
Divisi planning merupakan bagian dari agensi periklanan yang paling
dekat dengan konsumen. Divisi ini terdiri dari Strategic Planner yang mencari
cara untuk menentukan inti pesan pemasaran (what to say) yang kemudian akan
dikemas lebih lanjut oleh divisi kreatif. Mereka juga bertanggungjawab untuk
merumuskan strategi pemasaran yang efektif dan efisien. Pada agensi yang tidak
memiliki divisi planning, fungsi tersebut digabungkan dalam divisi kreatif,
sehingga kedua fungsi yang pada hakikatnya berbeda tersebut tidak bisa
dijalankan secara efektif.
Peneliti tertarik untuk membahas proses strategic planning pada agensi
BBDO Indonesia dalam mengembangkan aktivitas komunikasi pemasaran untuk
kampanye baru Snickers. Dimana brand ini bisa dikatakan sangat populer di
pasar global namun tidak demikian halnya di Indonesia. Penulis merasa
tertantang untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang ditempuh oleh
BBDO Indonesia untuk mengomunikasikan positioning Snickers terhadap target
konsumen. Di samping itu, penelitian mengenai strategic planning dalam bidang
periklanan masih sangat terbatas. Penulis berharap bahwa penelitian ini mampu
sedikit berkontribusi dalam menjawab kegelisahan para akademisi terkait dunia
kerja profesional, khususnya pada bidang pemasaran dan periklanan.
4
B. Rumusan Masalah
Saat ini penelitian di ranah periklanan cenderung hanya membahas
mengenai proses kreatif, padahal di samping itu, dalam aktivitas komunikasi
pemasaran terdapat proses lain yang fundamental dan signifikan, yaitu proses
perancanaan strategis. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mendalami objek
baru bidang periklanan, yaitu:
Bagaimana proses strategic planning pada agensi periklanan BBDO
Indonesia dalam mengembangkan strategi komunikasi pemasaran dalam upaya
rebranding produk Snickers chocolate bar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses strategic planning pada agensi
periklanan BBDO Indonesia dalam pengembangan strategi komunikasi
pemasaran sebagai upaya rebranding produk Snickers chocolate bar.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
ilmu
pengetahuan di bidang ilmu komunikasi terutama mengenai komunikasi
pemasaran dan periklanan.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai peran dan
sistem kerja Strategic planner pada agensi periklanan, khususnya bagi
mahasiswa ilmu komunikasi.
E. Objek Penelitian
Penelitian di ranah ilmu komunikasi dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
penelitian yang membahas mengenai audiens, pesan, serta pembuatan pesan.
Penelitian ini akan membahas mengenai proses pembuatan pesan dan berfokus
pada tataran perencanaan strategis di bidang periklanan. Objek dalam penelitian
ini adalah aktivitas strategic planning dalam upaya memperkenalkan kembali
5
produk Snickers Chocolate Bar yang dilakukan oleh agensi periklanan BBDO
Indonesia.
Rebranding pada brand Snickers chocolate bar memerlukan proses
strategic planning agar objektif yang ditentukan dapat tercapai. Aktivitas
strategic planning terdiri dari beberapa tahap yang harus dilalui. Proses, catatan,
dan output dari tahap-tahap tersebut menjadi sumber data yang akan digunakan
untuk membantu menjelaskan cara yang ditempuh Snickers untuk melakukan
rebranding di pasar Indonesia.
Praktik strategic planning pada dasarnya adalah sebuah usaha untuk
menentukan usaha apa yang nantinya akan ditempuh agar objektif atau
permintaan klien dapat terwujud. Strategic planning berfokus untuk
menentukan isi pesan pemasaran (what to say) yang selanjutnya akan
dikembangkan dan dieksekusi oleh tim kreatif. Dalam melakukan tugasnya,
strategic planner selalu berhubungan dan bekerja bersama dengan klien, divisi
account, dan divisi kreatif, sehingga aktivitas yang dilakukan dapat menjadi
begitu variatif dan kompleks.
F. Kerangka Pemikiran
1. Branding
Brand adalah nama, istilah, tanda atau lambang dan kombinasi dari dua
atau lebih unsur tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang
atau jasa dari penjualnya serta membedakannya dari produk saingan. Kotler
dan Keller mendefinisikan brand sebagai produk atau jasa yang dimensinya
membedakan dengan produk atau jasa lainnya yang didesain untuk memenuhi
kebutuhan yang sama; perbedaan tersebut bisa berupa fungsional, rasional,
atau tangible yang berhubungan dengan performa produk atas brand;
perbedaan tersebut juga dapat berupa simbolis, emosional, atau intangible
yang berkaitan dengan representasi brand7.
7
Philip Kotler. 2009. Marketing Management – European Edition. Harlow: Pearson Prentice Hall
Publishing. Hal 276.
6
Dalam kondisi pasar yang semakin kompetitif, makna sebuah brand
menjadi sangat penting. Brand dapat menciptakan sebuah identitas dan
pembeda di antara produk sejenis. Brand memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi cara pandang orang terhadap produk tertentu. Konsumen tidak
semata-mata melihat produknya, namun juga bersamaan dengan melihat
brand. Akitbatnya, persepsi mereka terhadap suatu produk dibentuk oleh
brand. Brand yang memiliki makna psikologis dan simbolis yang istimewa
dimata konsumen juga berpotensi untuk dipilih dibandingkan kompetitornya.
Brand yang kuat lahir dari persepsi konsumen atas produk yang
mempunyai keunggulan fungsi (functional brand), menimbulkan asosiasi dan
citra yang diinginkan konsumen (image brand). Persepsi konsumen ini akan
tercipta melalui proses branding. Branding berlaku untuk segala jenis produk
(barang, jasa, pengecer, bisnis online, orang, organisasi, tempat, dan gagasan)
dengan menyertakan makna atau arti khusus menyangkut apa yang
membedakannya dari produk-produk pesaing. Persepsi tersebut dapat
dibentuk melalui pengalaman yang dirasakan oleh pelanggan atau melalui
komunikasi pemasaran atau informasi yang lain.8
Pada dasarnya branding adalah penciptaan nilai tambah atas suatu
produk. Nilai tambah baik yang berupa keunggulan fungsional maupun citra
dan makna simbolis pada prinsipnya diciptakan dengan mengasosiasikan
suatu produk dengan hal-hal yang dianggap paling menarik dan relevan bagi
konsumen sasaran.
Untuk membangun merek yang kuat, terdapat tiga elemen pokok yang
harus dikelola dengan baik yaitu brand elements, program pemasaran, dan
leveraging secondary association9. Brand elements terdiri dari nama, logo,
simbol, slogan, karakter, kemasan, dan jingle. Indikator untuk mengevaluasi
brand elements adalah kemudahan untuk diingat, mempunyai arti, mudah
ditransfer ke produk kategori atau daerah yang berbeda, tidak mudah usang,
dan dapat diproteksi secara legal.
8
9
Sofyan Assauri. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi.Jakarta: LPFE:UI. Hal 17.
David A. Aaker. 2000. How to Build Strong Brand. New York: Free Press. Hal 131.
7
Elemen kedua yaitu program pemasaran yang meliputi choosing the
value, providing the value, dan communicating the value. Elemen ini dapat
dicapai perusahaan setelah melakukan proses segmenting, targeting, dan
positioning. Perusahaan menentukan pasar kemudian menentukan value apa
yang ingin dikomunikasikan kepada pasar tersebut.
Sedangkan elemen terakhir adalah bagaimana secondary association
dapat mudah digunakan untuk melipatgandakan (leverage) merek agar lebih
mudah diingat dan dimengerti oleh target pasarnya. Secondary association
yang dapat digunakan adalah nama perusahaan atau parent brand, asal
negara, saluran distribusi, merek lain, endorser atau event tertentu.
Brand Elements
Name
Logo
Slogan
Jingle
Packaging
Character
memorability
meaningfulness
transferability
adaptability
protecability
Marketing Programs
Choosing the value
- Segmenting, targeting, positioning
Providing the value
- Product, price, distribution
Communication the value
- Promotion mix
Leveraging Secondary Association
Company
Country of Origin
Other Brands
Endorser
Event
Channel of
Distribution
Brand Awareness
-recall
-recognition
-purchase
-consumption
Brand Associatiom
-Strong: relevance & consistency
-Favorable: desirable & deliverable
-Unique: point-of-parity & point-ofdifference
memorability
meaningfulness
transferbility
Bagan 1.1. Brand elements
Inti dari aktivitas branding adalah pemberian karakter dari suatu brand.
Untuk menciptakan karakter ini diperlukan adanya positioning. Positioning
akan membantu brand dan konsumen untuk menciptakan nilai-nilai asosiatif
sebagai jembatan yang nantinya mampu menghubungkan keduanya. Tujuan
8
dari rebranding adalah membentuk positioning tersebut, baik itu menciptakan
dari awal ataupun melakukan pengubahan dari positioning telah ada.
Menurut Kotler, positioning adalah suatu tindakan atau langkah-langkah
dari produsen untuk mendesain citra perusahaan dan penawaran nilai dimana
konsumen didalam suatu segmen tertentu mengerti dan menghargai apa yang
dilakukan suatu segmen tertentu, mengerti dan menghargai apa yang
dilakukan suatu perusahaan, dibandingkan dengan pesaingnya 10. Sedangkan
menurut Craven, keputusan pemilihan target pasar merupakan titik vokal dari
strategi pemasaran itu sendiri dan menjadi dasar dalam menentukan tujuan
dan pengembangan strategi positioning11.
Menurut Hermawan Kertajaya, adalah salah satu bagian dari elemen
strategi pemasaran agar target pasar (konsumen) mempunyai persepsi yang
dapat membedakan suatu produk dari produk para pesaing. Tanpa adanya
perbedaan yang jelas, maka produk perusahaan akan dianggap sama dengan
produk pesaing.
Sedangkan definisi Positioning menurut Ries & Trout, “Positioning is
the first body of thought to come to grips with the problems of communicating
in on overcommunicated society”12. Positioning merupakan sesuatu yang
Anda lakukan terhadap pikiran calon konsumen, yakni menempatkan produk
itu pada pikiran calon konsumen melalui komunikasi.
Positioning merupakan awal dari lahirnya suatu produk (reason for
being), sehingga aktivitas positioning harus dilakukan pada tahapan awal
sebelum suatu produk diluncurkan. Apabila suatu produk telah lahir,
kemudian baru menetapkan positioning maka ruang lingkup dari positioning
menjadi sangat terbatas.
Mempertimbangkan pentingnya peran positioning pada keberhasilan
suatu produk, maka terdapat tiga langkah yang perlu dilakukan dalam
melakukan positioning:
10
Philip Kotler. 1997. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control.
Hal 262.
11
David W Craven. 1996. Pemasaran Strategis. Hal 255.
12
Al Ries dan Jack Trout. 2001. Positioning: The Batle of Your Mind. Hal 3.
9
a. Mengidentifikasi keunggulan–keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh
perusahaan. Untuk mendapatkan keunggulan bersaing (competitive
advantage) maka perusahaan harus melakukan kegiatan diferensiasi atas
penawaran
kepada konsumen yang berbeda dibandingkan dengan
penawaran dari pesaing. Diferensiasi dapat dilakukan melalui inovasi
pada bauran pemasaran (marketing mix) seperti atribut produk, harga,
saluran distribusi, dan juga aktivitas komunikasi pemasaran.
b. Memilih salah satu atau lebih keunggulan kompetitif yang dimiliki untuk
dikomunikasikan dan diposisikan dalam benak konsumen. Adapun
persyaratan suatu keunggulan untuk dapat dipilih dan dikomunikasikan
adalah: sesuatu yang penting bagi konsumen, sesuatu yang khas dan
unik,
bernilai
superior,
mudah
dikomunikasikan,
sesuatu
yang
baru/pioner, terjangkau (daya beli), dapat memberikan keuntungan.
c. Menciptakan diferensiasi yang relevan terhadap kompetitor. Konsumen
harus menganggap brand yang ditawarkan sebagai sesuatu yang unik dan
bermakna. Faktor pembeda tersebut dapat berasal fungsi dan kegunaan
dari barang/jasa itu sendiri atau dari saluran, citra, atau filosofi.
Beberapa persyaratan tersebut diatas perlu diperhatikan dalam usaha untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam positioining seperti berikut13:
a. Under Positioning
Suatu kondisi dimana konsumen tidak dapat menangkap ide yang hendak
disampaikan oleh pemasar atas kelebihan atau keunikan dari brand atau
produk.
b. Over Positioning
Suatu kondisi dimana konsumen memiliki persepsi yang terlalu sempit
untuk atas citra atau nilai suatu brand.
c. Confused Positioning
13
Amstrong dan Kotler. 2003. Dasar-dasar Manjemen Pemasaran. Edisi Sembilan. Jilid 1.Penerbit
PT.Indeks. Jakarta. Hal: 81.
10
Suatu kondisi dimana konsumen bingung akan citra yang hendak
diposisikan oleh suatu brand. Hal ini terjadi akibat perusahaan tidak
konsisten dalam mengangkat suatu nilai untuk diposisikan atau karena
perusahaan selalu berganti–ganti nilai yang diposisikan atas suatu brand.
d. Doubtful Positioning
Suatu kondisi dimana konsumen ragu atau tidak percaya dengan
positioning dari sebuah brand. Hal ini terjadi karena kinerja dari merek
yang kurang standar atau ”over promise under delivered”. Komunikasi
pemasaran yang mengobral janji berlebihan tanpa adanya dukungan
kinerja merek yang sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.
e. Memilih strategi positioning yang tepat melalui brand value proposition.
Pengomunikasian
positioning suatu brand kepada konsumen jika
dilakukan dengan baik akan membawanya kepada sebuah hasil yang disebut
brand awareness. Brand awareness dapat diartikan sebagai kesadaran
konsumen terhadap keberadaan sebuah brand. Meskipun brand awareness
dapat dikatakan hanya berada di tahapan menyadari keberadaan sebuah
brnad, namun hal ini menjadi sangat penting karena brand awareness
merupakan titik awal yang harus dicapai untuk mencapai tujuan akhir yaitu
menciptakan hubungan yang baik antara brand dengan konsumen. Jika brand
awareness tidak tercapai, maka brand tersebut akan mengalami kesulitan
untuk hidup dalam benak dan hati konsumen.
11
Bagan 1.2. Brand Knowledge Pyramid
Aaker menjelaskan bahwa brand awareness sebagai kemampuan
seseorang untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu brand
merupakan bagian dari kategori produk tertentu14. Kemampuan tersebut dapat
diciptakan dengan cara meningkatkan keakraban konsumen terhadap brand
dengan memberikan terpaan secara berulang-ulang kepada konsumen agar
brand tersebut disadari dan diakui konsumen di dalam pikiran mereka serta
dengan menciptakan asosiasi yang kuat antara brand dengan kategori produk
dan situasi penggunaan produk yang sesuai dengan brand tersebut.
Menurut Aaker, setelah mencapai brand, tahap selanjutnya yang harus
dicapai adalah brand image. Brand image didefinisikan sebagai persepsi
konsumen mengenai suatu brand serta bagaimana mereka membentuk
asosiasi-asosiasi terkait dengan brand tersebut di pikiran mereka. Asosiasi
tersebut menjadi sumber informasi dalam ingatan dan mengandung makna
brand bagi konsumen.
2. Rebranding
Rebranding berasal dari kata re- dan branding. Re- berarti kembali dan
branding berarti penciptaan brand image yang menghubungkan hati dan
benak pelanggannnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa rebranding
merupakan suatu upaya atau usaha yang dilakukan oleh perusahaan atau
lembaga untuk mengubah total atau memperbarui sebuah brand yang telah
ada agar menjadi lebih baik, dengan tidak mengabaikan tujuan awal
perusahaan yang berorientasi profit. Dengan kata lain maka yang berubah
adalah nilai – nilai dalam brand itu sendiri15.
Rebranding sering juga diartikan sebagai reposisi, revitalisasi, atau
meremajakan brand. Dalam beberapa kasus, bahkan sebuah brand benarbenar lahir kembali. Pada tahun 2003, Laurent Muzellec, melalui risetnya
14
15
Aaker, David A. 1991. Managing Brand Identity. London: Free Press. Hal 114.
American Marketing Association, Dictionary; Resource Library http://j.mp/SVIWpp.
12
menyatakan bahwa praktik membangun ulang nama yang mewakili
diferensiasi posisi dalam benak stakeholder dan membangun identitas
spesifik dari kompetitor16. Jadi secara umum, rebranding menampilkan
perubahan citra dari sebuah brand dalam benak stakeholders.
Lebih lanjut Laurent Muzellec menyatakan bahwa rebranding dalam
sebuah organisasi dapat berlangsung pada tingkat perusahaan, tingkat unit
bisnis, dan tingkat produk, yang paling penting di antaranya adalah tingkat
perusahaan yang mewakili identitas perusahaan secara keseluruhan.
Rebranding telah menjadi perhatian baik bagi praktisi dan peneliti dalam
beberapa dekade terakhir. Meskipun peningkatan popularitas isu rebranding,
Sylvie LaForet & John Saunders menyatakan bahwa tidak ada strategi
branding yang seragam untuk digunakan oleh semua perusahaan untuk semua
produk (barang dan jasa) karena perusahaan yang berbeda memiliki struktur
yang berbeda dan tujuan17.
Rebranding memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Jika tidak
cermat, maka perusahaan akan cenderung mengalami kerugian besar sebagai
akibat gagal melakukan rebranding. Perubahan brand akan menimbulkan
ancaman seperti; kehilangan pilihan, pelanggan setia dan pangsa pasar.
Namun strategi ini masih dipraktikkan secara luas oleh perusahaanperusahaan untuk memodifikasi sebuah brand dan semakin banyak contoh
perusahaan yang meraih keuntungan setelah melakukan rebranding.
Perusahaan melakukan rebranding karena terjadinya perubahan dari
pihak ekternaldan/atau internal. Pada umumnya perusahaan memiliki siklus
rebranding untuk bertahan dan mempersiapkan diri terhadap persaingan
pasar. Perusahaan juga memanfaatkan rebranding sebagai alat pemasaran
yang efektif untuk menyembunyikan malpraktik yang pernah terjadi. Dengan
demikian menghilangkan konotasi negatif dapat berpotensi mempengaruhi
keuntungan.
16
Laurent Muzellec & Mary Lambkin. 2003. Corporate Rebranding: Destroying, Transferring or
Creating Brand Equity?
17
Sylvie LaForet & John Saunders. 1994. Managing Brand Portfolios: How the Leaders Do It.
Journal of Advertising Research. Hal. 64-76
13
Muzellec menyatakan, “Corporate rebranding aims to modify the image
(the perceive-self) and/or to reflect a change in the identity (the core-self) of a
company”. Rebranding perusahaan memiliki tujuan melakukan perubahan
citra dan/atau mengkomunikasikan perubahan identitas sebuah perusahaan18.
Mereka kemudian memaparkan empat faktor yang menjadi penyebab adanya
rebranding, antara lain:
a. Perubahan struktur kepemilikan; Perubahan ini biasanya terjadi karena
adanya merger dan akuisisi dari beberapa perusahaan menjadi satu
perusahaan, dari kepemilikan pribadi menjadi publik.
b. Perubahan strategi perusahaan; Adanya diversifikasi dan divestasi, serta
internasionalisasi dan lokalisasi.
c. Perubahan posisi kompetisi pasar; adanya citra perusahaan atau produk
yang sudah kadaluarsa, erosi pada posisi pasar, dan masalah reputasi
perusahaan/produk
d. Perubahan lingkungan eksternal; Regulasi hukum, krisis atau bencana
alam
Perubahan struktur kepemilikan merupakan faktor yang paling sering
muncul sebagai penyebab sebuah perusahan melakukan rebranding.
Perubahan struktur kepemilikan ini seringkali diikuti dengan penciptaan
identititas yang baru, dimana pemilik ingin memberikan penegasan pada halhal baru dalam suatu perusahaan atau organisasi.
Perubahan strategi perusahaan berimplikasi pada aktivitas pemasaran
yang nantinya akan dijalankan. Perubahan tersebut dapat terjadi dalam
struktur hierarki sebuah brand ataupun pada nilai-nilai intrinsik sebuah brand.
Misalnya dengan menciptakan suatu varian produk baru sebagai brand
extension ataupun membentuk citra baru terhadap brand.
Faktor pendorong rebranding yang ketiga adalah perubahan posisi
kompetisi pasar. Perubahan ini dilakukan berdasarkan situasi yang dialami
sebuah brand terkait dengan marketplace, meliputi brand lifecycle, brand
18
Laurent Muzellec, Manus Doogan, & Mary Lambkin. 2003. Corporate Rebranding: An
Exploratory Review, Irish Marketing Review, 16 (2). Hal. 31-40.
14
awareness, dan brand. Berdasarkan situasi inilah akan dicari sebuah solusi
yang mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi.
Perubahan lingkungan eksternal berkaitan erat dengan kepentingan
stakeholder eksternal seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau
pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, kelompok investor, liscensing
partner dan lain sebagainya. Melalui rebranding, perusahaan dapat
menyesuaikan brand dalam suatu lingkungan tertentu sehingga tidak
mengalami konflik dengan pihak-pihak luar tersebut.
Lomax dan Mador menjelaskan empat pilihan strategi rebranding yang
dapat dilakukan terhadap sebuah brand19. Alternatif tersebut dibedakan
berdasarkan perubahan nama serta atribut dan brand value, seperti dijelaskan
dalam tabel berikut:
Brand Name
Existing
Brand
Value
New
Existing
New
Re-iterating:
Re-defining:
nama dan nilai brand
nilai (value) atau atribut
tidak diubah, karena
diubah menyesuaikan
masih sesuai dan
dengan kondisi
relevan terhadap
lingkungan internal
kebutuhan pelanggan.
ataupun eksternal.
Re-structuring:
Re-starting:
nilai fundamental
mengubah nilai dan
tidak berubah namun
nama dengan tujuan
nama baru diperlukan
untuk mengatasi
untuk
masalah yang
mengkomunikasikan
fundamental.
perubahan struktur
kepemilikan atau
mengubah persepsi
19
Lomax dan Mador. Brand Management Vol. 14, Nos. 1/2, 82–95 September – November 2006.
Hal 90.
15
eksternal.
Tabel 1.1. Rebranding model
Agar dapat memenuhi tujuan yang ingin dicapai, terkadang brand tidak
terpaku ke dalam empat kuadran tersebut. Ketika perusahaan pada awalnya
memilih satu pilihan, perubahan mungkin terjadi seiring proses yang berjalan
3. Strategic planning
Strategic planning adalah sebuah aktivitas yang digunakan suatu
perusahaan atau organisasi untuk membantu memusatkan sumber daya yang
dimiliki, meyakinkan anggota organisasi bahwa mereka bekerja untuk tujuan
yang sama, untuk menerka dan menyesuaikan arah organisasi sebagai bentuk
respon terhadap lingkungan yang sebuah berubah. Secara sederhana, strategic
planning merupakan usaha yang terencana untuk menghasilkan keputusan
dan kegiatan yang akan memandu organisasi dalam menjalankan sebuah
tujuan.20
Proses
tersebut
berada
pada
tataran
strategis
yang mencakup
perencanaaan dalam merespon keadaan dan situasi yang dihadapi organisasi.
Stragis berarti memperjelas sebuah tujuan, menyadari sumber daya yang
dimiliki, serta mengintegrasikan keduanya untuk mampu bertahan di
lingkungan yang dinamis.
Strategic planning dapat dilanjutkan
dengan
membentuk rencana taktis yang berfokus pada objektif-objektif yang lebih
sempit, sesuai dengan big picture yang telah dirumuskan sebelumnya.
Dalam sebuah agensi periklanan, strategic planner mengeksekusi riset
dan menginterpretasikan hasilnya untuk senantiasa bersentuhan dengan pasar
dan mengerti apa yang diinginkan oleh konsumen. Divisi planning seringkali
memiliki data-data demografis dan sosial serta dapat mengakses konsumen
secara langsung melalui riset kuantitatif maupun kualitatif. Riset kuantitatif
berkaitan erat dengan data numerik, misalnya menanyai konsumen dalam
jumlah besar mengenai suatu produk. Dengan cara ini, agensi dapat
20
John M. Bryson. 2011. Strategic Planning in Public and Nonprofit Organizations. Hal 245.
16
memetakan pandangan konsumen secara objektif dan memberikan indikasi
statistik mengenai peluang kesuksesan atau kegagalan produk di masa depan.
Sementara kualitatif riset berada pada level yang lebih sempit namun lebih
mendalam, misalnya berdiskusi dengan beberapa orang konsumen mengenai
konsep baru yang dimiliki sebuah brand untuk dapat menangkap insight yang
mereka miliki.
Menurut Percy (2008), aktivitas strategic planning dalam komunikasi
pemasara terpadu meliputi lima tahap21:
a. Me-review rencana pemasaran.
b. Mengidentifikasi dan memilih target audiens yang tepat.
c. Menentukan bagaimana target audiens menetapkan keputusan produk dan
brand.
d. Menentukan bagaimana brand tersebut akan diposisikan melalui
komunikasi pemasaran dan memanfaatkan peluang yang dapat mendukung
positioning tersebut.
e. Mengatur tujuan komunikasi.
f. Mengidentifikasi pilihan media yang sejalan dengan tujuan komunikasi
untuk mengoptimalkan pemrosesan dan penyampaian pesan.
Strategic planner memulai dengan menimbang keuntungan dan kerugian
dari banyak pilihan promosi dan periklanan untuk mencapai tujuan
komunikasi. Periklanan dan promosi tertentu memiliki kekuatannya masingmasing, inilah yang harus disesuaikan dengan langkah-langkah komunikasi
pemasaran yang akan ditempuh. Pada proses strategic planning, segala hal
akan dipertimbangkan sehingga akan dapat ditentukan pilihan terbaik yang
sesuai dengan budget dan tujuan.
G. Kerangka Konsep
Snickers merupakan sebuah brand yang terbilang sukses di pasar
internasional. Namun, di Indonesia, Snickers mengalami persaingan yang berat
21
Larry Percy. 2008. Strategic Integrated Marketing Communication. Burlington: Elsevier Inc. Hal
26.
17
dengan kompetitior yang lebih mapan dan sudah menempati pasar selama
bertahun-tahun.
Snickers sebenarnya memiliki positioning yang membedakannya dengan
produk-produk sejenis lainnya, yaitu sebagai chocolate bar yang mampu
mengatasi rasa lapar. Sayangnya, target konsumen yang disasar kurang mampu
mengidentifikasi positioning tersebut. Melihat hal ini, Snickers berusaha untuk
memperkenalkan kembali brand mereka (re-introduction) melalui aktivitas
rebranding. Aktivitas rebranding ini akan berpengaruh pada positioning yang
telah ada sebelumnya, artinya Snickers akan memiliki positioning yang benarbenar baru atau mengubah atau menguatkan positioning yang telah ada
sebelumnya.
Positioning tersebut kemudian akan disampaikan kepada target konsumen
melalui aktivitas komunikasi pemasaran yang akan menggunakan iklan sebagai
media touchpoint utama. Aktivitas komunikasi pemasaran diawali dengan
kegiatan perencanaan strategis yang dilakukan oleh strategic planner. Strategic
planning diperlukan untuk menjamin agar target atau permintaan client terkait
komunikasi pemasaran dapat tercapai. Dalam penelitian ini, praktik strategic
planning akan dipaparkan dengan pokok-pokok sebagai berikut: market review,
riset konsumen, perumusan big idea, serta pemilihan media periklanan.
Praktik strategic planning dalam upaya rebranding yang dilakukan
Snickers untuk mengkomunikasikan kembali positioning produk dapat dikatakan
cukup kompleks, sehingga dalam memaparkan proses tersebut secara
komprehensif, perlu digunakan sebuah konsep yang menunjang. Salah satu
model komunikasi yang dipilih oleh Penulis untuk menganalisis praktik strategic
planning di BBDO Indonesia adalah Barbara Stern Model on Advertising
Communication Process. Communications scholar Barbara Stern tidak melihat
advertising sebagai bentuk informal speech, melainkan sebagai composed
commercial text. Stern mengungkapkan bahwa dalam advertising, elemen
18
source, sender dan receiver masing-masing mempunyai berbagai dimensi baik
secara nyata maupun virtual22.
Barbara Stern memandang proses periklanan sebagai sebuah bentuk
komunikasi yang terstruktur dibanding spontan. Model yang dibuatnya
merupakan model komunikasi yang lebih maju dan secara spesifik teraplikasi
dalam proses periklanan. Model ini dapat diterapkan dalam proses strategic
planning mengingat proses komunikasi yang terjadi paling kompleks dan intens
dibandingkan proses-proses lain dalam periklanan. Di samping itu, karakteristik
periklanan sebagai proses komunikasi yang terstruktur terlihat paling jelas dalam
strategic planning, dibandingkan dengan proses account handling atau kreatif
yang dilakukan oleh divisinya masing-masing. Sehingga dari berbagai macam
proses dalam bidang periklanan, model Barbara Stern paling relevan jika
digunakan untuk menjelaskan praktik strategic planning.
Bagan 1.3 Barbara Stern Model on Advertising Communication Process
22
William F. Arens, Michael F. Weigold dan Christian Arens. Contemporary Advertising. New
York: McGraw-Hill. Hal 10.
19
Dalam dunia advertising, source disini dibagi menjadi tiga dimensi yaitu
sponsor, author dan persona. Sponsor disini ialah pihak yang bertanggung
jawab terhadap komunikasi dan memiliki pesan yang ingin dikomunikasikan
pada konsumen aktual. Tetapi sponsor biasanya tidak memproduksi pesan
tersebut, melainkan advertising agency atau spesialis lainnya. Author disini
antara lain copywriter, art director, maupun bagian dari tim kreatif dalam suatu
agency. Author biasanya tidak diketahui oleh masyarakat umum. Dalam waktu
bersamaan, persona ialah real atau imaginary spokesperson yang meminjamkan
suara atau nada ke dalam iklan. Persona mewakili sponsor, tetapi dibuat hanya
untuk kepentingan iklan oleh author.
Pesan yang dikomunikasikan dalam kegiatan advertising juga dapat berupa
tiga dimensi, antara lain autobiographical (“I” tell a story about myself to
“you‟), narrative (third-person persona tells a story about others) dan drama
(characters act out events directly). Hal yang harus diperhatikan dalam
menentukan bagaimana pesan akan disampaikan ialah emosi, sikap dan motif
yang mendorong customer tertentu yang ingin ditargetkan. Kata dan visual
disesuaikan dengan medium yang dipilih untuk menyampaikan pesan.
Pembahasan mengenai pesan akan menggunakan
sebagai konsep tambahan. Narrative Paradigm
Narrative Paradigm
adalah sebuah riset yang
dicetuskan oleh Walter Fisher. Teori ini mempromosikan ide bahwa manusia
ialah pencerita sejati (storytellers). Manusia sangat senang bercerita dan
mendengarkan cerita, bahkan sangat mudah dipengaruhi oleh sesuatu dengan
alur cerita yang menyenangkan. Fisher seperti yang dikutip oleh West & Turner
mengatakan adanya perubahan paradigma mengenai bagaimana seseorang
memahami dunia sekitarnya dan memberikan makna23.
Narrative logic, or the logic of good reasons, suggests that people judge
the credibility of the speakers by whether their stories hang together (have
coherence) and ring true (have fidelity)
23
Richard West dan Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory, 4th ed. New York:
McGraw Hill. Hal 328.
20
Berdasarkan penjelasan di atas, Narrative Paradigm membantu kita untuk
memahami bagaimana sesorang dapat mempengaruhi orang lain dengan
menyusun narasi yang baik. Suatu narasi dapat dikatakan baik, rasional serta
lebih mudahg dipercaya apabila keseluruhan narasi tersebut memiliki unsur
rationality, coherency, dan logic for good reason. Rationality berarti sebuah
pesan dapat diterima dengan akal sehat. Coherency merupakan kesinambungan
dan keterkaitan dalam pesan atau antara pesan dengan penerima pesan.
Sedangkan logic for good reason berarti suatu narasi memiliki kredibilitas
sehingga dapat lebih dipercaya.
Receiver iklan juga terbagi menjadi beberapa dimensi antara lain implied
(ditujukan oleh persona, tidak nyata, diimajinasikan oleh author untuk menjadi
konsumen ideal, sebagai bagian dari drama suatu iklan), sponsorial (decision
maker dalam organisasi sponsor yang memutuskan apakah suatu iklan layak
tayang atau tidak) dan actual consumers (penerima dalam komunikasi oral,
target audience suatu iklan). Konsumen aktual tidak selalu berpikir atau
bertindak seperti implied consumer atau sponsorial consumer.
Feedback melengkap siklus komunikasi dimana pesan dapat dipastikan
diterima oleh target yang ingin dituju. Dalam advertising, feedback dapat 16
berupa banyak hal seperti penukaran kupon, kunjungan situs resmi, pertanyaan
lewat telepon, kunjungan ke toko, peningkatan penjualan, respon terhadap
survey, dan lain lain. Di jaman modern seperti ini bahkan audiens bersifat aktif
dan mampu memilih informasi apa yang mereka terima akan suatu produk
tertentu.
21
H. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi
kasus. Studi kasus adalah jenis penelitian terhadap suatu gambaran yang
mendetail mengenai latar belakang serta sifat-sifat khas dari suatu kasus ataupun
peristiwa. Sedangkan, kasus atau peristiwa yang menjadi objek penelitian
menurut Yin merupakan fenomena kontemporer di kehidupan nyata, dimana
peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa
yang akan diselidiki24.
Yin juga memberikan ciri – ciri studi kasus yang dapat membedakan
dengan metode yang lain. Sebuah studi kasus merupakan sebuah fenomena
empiris yang:
1. Menyelidiki fenomena kontemporer yang muncul pada kehidupan nyata
2. Batasan – batasan antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas
3. Berbagai
macam
sumber
bukti
digunakan,
seperti
dokumen,
artefak,wawancara, observasi langsung maupun partisipan, dan rekaman
tertulis. Hal ini merupakan kekuatan unik yang dimiliki oleh studi kasus.
Pemilihan metode studi kasus dirasa tepat dalam penelitian ini karena
masalah yang dihadapi oleh brand Snickers merupakan fenomena kontemporer
yang saat ini tengah berlangsung. Snickers merupakan brand yang saat ini
sedang berusaha untuk bangkit kembali setelah selama beberapa tahun gagal
mencapai puncak kesuksesan.
Dalam dunia pemasaran sendiri kasus mereka tergolong unik, di mana
terdapat ketimpangan yang cukup mencolok antara hasil penjualan dalam skala
global dan lokal. Terlebih lagi mereka sebenarnya memiliki positioning yang
potensial untuk dikomunikasikan ke target konsumen. Selain itu praktik
strategic planning merupakan aktivitas yang kompleks dan melalui beberapa
tahapan sehingga sumber yang digunakan akan terdiri dari berbagai macam data.
Objek yang menjadi fokus penelitian ini adalah strategi komunikasi
pemasaran Snickers oleh BBDO Indonesia sebagai bentuk upaya untuk re24
Rober K. Yin. 2002. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Raja Grafindo Persanda. Hal
46.
22
introducing produk. Dalam penelitian ini peneliti akan mengumpulkan data-data
yang diperoleh dari divisi Planning BBDO Indonesia. Kemudian setelah data
dikumpulkan, selanjutnya peneliti akan menyusun dan menganalisis data-data
tersebut
1. Jenis dan sumber data
Jenis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer digunakan sebagai fokus utama
penelitian ini, sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung Untuk
memahami masalah yang akan diteliti. Adapun sumber data yang akan
digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. data primer
Data primer dalam penelitian ini meliputi pemikiran dan tindakan yang
diambil oleh BBDO Indonesia. Data primer yang akan diperoleh penelitian
ini mencakup data-data tentang gambaran proses perencanaan strategi
komunikasi pemasaran, pesan yang ingin disampaikan, pembinaan relasi
dengan pihak pendukung, dokumen hasil evaluasi, dan lain-lain.
b. data sekunder
Data sekunder dalam penlitian ini meliputi teori-teori dan konsep yang
diperoleh melalui literature-literatur seperti pemikiran beberapa ahli, pakar
komunikasi, jurnal, kajian ilmiah, artikel di media cetak maupun elektronik
serta arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian. Data ini mencakup bahanbahan tentang komunikasi pemasaran, riset pemasaran dan periklanan, serta
perencanaan strategi periklanan.
Penelitian ini sebagian besar menggunakan dan fokus pada data primer.
Data sekunder dalam penelitian ini akan digunakan Untuk memperkuat datadata yang disajikan dalam data primer.
2. Lokasi dan waktu penelitian
Lokasi : BBDO Indonesia
Hero Building 3rd Floor, Gatot Subroto 177A, Kav 64, Jakarta
Waktu : Juli-September 2014
23
Waktu penelitian disesuaikan dengan jadwal kerja yang dimiliki oleh
BBDO Indonesia. Dalam kampanye ”you’re not you when you’re hungry”,
praktik strategic planning dilakukan secara intensif pada periode Juni hingga
Agustus 2014. Peneliti sendiri terlibat dalam praktik strategic planning
tersebut sebagai staff magang pada periode Februari-April 2014.
3. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode,
antara lain:
a. observasi
Observasi dilakukan untuk memperoleh data mengenai tindakan yang
akan digunakan sebagai sumber data sekunder penelitian yang berasal dari
aktivitas yang dijalankan oleh divisi Planning BBDO Indonesia. Dalam
penelitian ini, peneliti akan melakukan observasi partisipan sebagai
strategic planner yang ikut terlibat langsung dalam praktik strategic
planning.
b. wawancara mendalam
Wawancara merupakan sumber informasi yang esensial bagi
penelitian deskriptif. Wawancara digunakan untuk mendapatkan data
mengenai opini yang digunakan sebagai sumber data primer dalam
penelitian ini. Opini berasal dari pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
proses perancangan strategi komunikasi brand Snickers.
Peneliti akan menggunakan bentuk wawancara open-ended yaitu
dengan cara bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu
peristiwa di samping opini mereka tentang peristiwa yang ada. Selain itu,
wawancara
akan
diselingi
dengan
percakapan
non-formal
untuk
memperoleh informasi baru yang mungkin tidak diprediksi oleh peneliti.
Wawancara secara mendalam (indepth interview) dan tertutup dengan
interview guide sebagai dasar permohonan data dan informasi yang
dibutuhkan penulis terhadap perusahaan. Untuk mendapatka data primer,
peneliti akan mengumpulkan fakta dan opini dari wawancara mendalam
dengan responden yang berperan sebagai informan, yakni strategic planner
24
BBDO
Indonesia,
serta
pihak-pihak
lain
yang
terkait
yang
direkomendasikan oleh informan sebelumnya (snowball sampling).
Fakta dan opini yang akan dikumpulkan mengenai tataran strategic
planning untuk kegiatan kampanye pemasaran brand Snckers, yang meliputi
proses pengambilan data yang digunakan untuk melakukan analisis pasar
dan konsumen, strategi promosi yang pernah dijalankan sebelumnya, dan
cara mengukur keberhasilan program.
c. studi dokumen
Pengumpulan dokumen bertujuan untuk memperoleh data primer dan
sekunder yang berkaitan dengan penelitian. Sumber jenis ini untuk
memperoleh data primer yang mencakup agenda, laporan-laporan peristiwa
tertulis, dokumen administratif, dokumen internal, dan dokumen hasil
evaluasi.
Sedangkan untuk memperoleh data sekunder akan dikumpulkan di
antaranya berupa dokumen dari referensi yang berkenaan dengan teori-teori,
pemikiran para ahli dan pakar komunikasi, kajian ilmiah, arsip, dokumen,
artikel (media cetak dan internet) tentang strategic planning, komunikasi
pemasaran,
dan
topik
lainnya
yang berkaitan
baik
yang sudah
dipublikasikan maupun yang belum.
4. Teknik analisis data
Analisis data dilakukan dengan mengamati, mengkategorikan,
menyusun, dan menggabungkan data – data yang telah dikumpulkan. Strategi
umum pertama adalah berdasar pada proposisi teoritis yang akan menuntun
studi kasus, yang direfleksikan melalui sejumlah pertanyaan riset, tinjauan
pustaka dan pemahaman baru. Proposisi ini akan membentuk rencana
pengumpulan data, sehingga memberikan prioritas pada strategi analisis yang
berkaitan. Selain itu proposisi ini akan membantu keseluruhan studi kasus
dengan mendefinisikan penjelasan yang diamati. Strategi khusus dalam
25
teknik analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan model Miles dan
Huberman25. Teknik analisis tipe ini terdiri dari komponen berikut, yaitu:
a. reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan,dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan –catatan tertulis di lapangan. Reduksi data
merupakan bagian dari analisis data yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data
dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan – kesimpulan finalnya
dapat ditarik. Reduksi data meliputi meringkas data, mengkode,
menelusuri tema, dan membuat gugus – gugus. Cara reduksi data sendiri
adalah menyeleksi data dengan ketat, ringkasan dan uraian singkat dari
data dan menggolongkan data ke dalam pola yang lebih luas.
Mengenai reduksi data yang dilakukan peneliti untuk penelitian
strategic produk Snickers chocolate bar pada mulanya peneliti
menuliskan segala data yang diperoleh dari studi dokumen dan
wawancara mendalam dengan para informan yang telah ditentukan.
Karena peneliti menggunakan studi dokumen dan wawancara mendalam,
maka data yang dikumpulkan cukup banyak dan beragam.
Untuk itu langkah selanjutnya yang akan dilakukan peneliti
adalah dengan mereduksi data-data tersebut yaitu dengan meringkas
seluruh data-data dari hasil studi dokumen dan wawancara tersebut,
mengorganisasikannya dan membuang yang tidak perlu. Sehingga
terbentuk suatu pola data penelitian yang terarah dan sesuai dengan teori
yang memang digunakan dalam penelitian ini seperti teori strategic
planning serta rebranding. Dari sini peneliti dapat merancang
kesimpulan untuk final penelitian.
b. penyajian data
25
Mathew B. Miles & Michael Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis: A. Sourcebook of New
Method. Hal 29.
26
Penyajian data adalah alur penting kedua dari kegiatan analisis.
Penyaian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Menyederhanakan informasi yang kompleks ke dalam kesatuan bentuk
yang disederhanakan atau terseleksi yang mudah dipahami. Bentuk
penyajian data kualitatif adalah:

Teks naratif yang berupa cerita lapangan

Matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Semuanya dirancang guna
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang
padu dan mudah diraih sehingga memudahkan melihat apa yang
sedang terjadi apakah kesimpulan sudah tepat atau perlu
mengadakan analisis kembali.
c. penarikan kesimpulan
Setelah data – data dari observasi dan wawancara dengan para
informan dari strategic planner BBDO Indonesia telah direduksi dan
membentuk suatu data penelitian yang terarah, berpola, serta sesuai
dengan teori yang dipakai maka selanjutnya menyajikan data tersebut
secara terpadu dan mudah dibaca serta mudah dimengerti mengenai
praktik strategic planning untuk produk Snickers chocolate bar. Setelah
itu baru dilakukan evaluasi terhadap kesimpulan yang telah ditarik pada
tahap reduksi data dengan cara menganalisisnya kembali.
27
Download