REKONSTRUKSI EPISTEMOLOGI BURHANI PENYELARASAN METODOLOGI DALAM PERSPEKTIF AL-JABIRI Wahib Wahab Latar Belakang Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup dua pendekatan genetivus subyectivus (menempatkan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berpikir (starting point) dan genetivus obyectivus (menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subyek yang membicarakan Islam sebagai obyek kajian). Epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi yang telah terbukti keabsahannya. Secara leteral, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Manakah pengetahuan yang benar itu, dan bagaimana kita mengetahuinya?; kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/appearance) versus hakikat (noumena/essence); ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verifikasi. Di penghujung abad pertama Hijriyah, telah terjadi pemindahan ilmu-ilmu kuno dari Iskandaria, pusat perkembangan filsafat Hermes ke dalam kebudayaan Islam Arab. Kehadiran ilmu-ilmu nonArab Islam ini mengundang sikap anti pati ulama ahl al-sunnah awal karena dianggap bertentangan dengan aqidah Islam. Ilmu-ilmu tersebut memasuki wilayah kebudayaan Islam melalui penerjemahan. Kemapanan Pemerintahan Islam, terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah, memberi peluang yang luas bagi komunitas Muslim untuk berkenalan dengan kebudayaan luar. Hal ini atas dukungan Khalifah al-Mansur yang sangat respek terhadap ilmu pengetahuan. Ia merangsang kegiatan penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam bahasa Arab, termasuk filsafat Yunani dan Logika Aristoteles. Bila ditelusuri lebih jauh bahwa aktifitas kefilsafatan tersebut merupakan kebutuhan niscaya bagi diskursus logika yang memperoleh tempat di kalangan komunitas Muslim semenjak munculnya golongan Mu'tazilah ketika mereka harus mempertahankan aqidah Islam terhadap serangan rivalnya, terutama umat Nasrani. Golongan Mu'tazilah itulah yang mula-mula mengelaborasikan filsafat Yunani dengan menggunakan Logika Aristoteles. Semangat pengadopsian filsafat ini muncul pada awal pertumbuhan ilmu kalam yang sebelumnya didahului dengan semangat kajian nahwu dan fikih, yaitu dengan pengalihbahasaan bukubuku filsafat, terutama filsafat Aristoteles, sehingga tidak dapat dipungkiri adanya pertemuan kental dengan ke-Tuhan-an Masehi. Sementara itu, Baghdad telah banyak bersinggungan dengan filsafat Yunani. Ibnu Nadim dalam al-Fihrisat (pada masa kekuasaan al-Makmun; 811-833.M) banyak sekali mengalihbahasakan tulisan Aristoteles. Ini merupakan awal gerakan keilmuan yang menduduki posisi puncak dalam pengalihbahasaan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab (al-ta'rib), bahkan di dalam kebudayaan Arab Islam tulisan Aristoteles dianggap sebagai kitab induk sehingga dalam Da>r al-H{ikmah banyak sekali terkumpul manuskrip (makht}u>t}a>t) di dalamnya. Pada masa itu dibentuk tim khusus untuk melawat ke negeri-negeri sekitar untuk mencari buku-buku ilmu pengetahuan apa saja yang pantas dikembangkan dan diterjemahakan ke dalam bahasa Arab (al-ta'rib). Tokoh-tokoh logika yang kemudian muncul antara lain alKindy (w. 252 H) sebagai pelopor penerjemahan logika Aristoteles, dan diteruskan oleh al-Faraby (w. 339 H). Menurut al-Ja>biri> bahwa gerakan penerjemahan yang diserukan oleh al-Makmun merupakan tonggak sejarah pertemuan antara pemikiran keagamaan Arab dan pemikiran rasional Yunani, pertemuan antara epistemologi bayani Arab dan epistemologi burhani Yunani. Ibnu Rusyd dalam karyanya, Tafsi>r ma> Ba`da al-Thabi>`ah, mengemukakan kritik terhadap epistemologi pemikiran Arab Islam yang terwakili oleh sistem Arabisasi (pembahasaan Arab) pemikiran-pemikiran Yunani melalui penerjemahan sebagai nyaris miskin metode analisa. Sebagian ulama kalam menjelaskan diskursus kalamiahnya dengan kaplingan kalamnya, akan tetapi mereka tidak mampu melakukan pendekatan yang sarat dengan pergumulan logika; mereka melakukan dengan epistemologinya sendiri karena mereka memang tidak mengetahui secara utuh apa itu "Analitika" (altah}li>la>t). Karena itu, al-Ja>biri> mengajak para pemikir Islam dewasa ini untuk mengetahui kelemahan pemikiran Arab Islam yang masih terbuka terhadap kritik dalam rangka membahasakan ulang sesuai dengan kepentingan Islam pada khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Proses penyelarasan dua metode yang berbeda ini akan menjadi mainstream kajian ini dengan merujuk pada pemikiran al-Ja>biri> sebagai eksponen yang hidup di dunia modern kontemporer yang menawarkan pendekatan epistemologi Islam, yaitu epistemologi baya>ni>, `irfa>ni> dan burha>ni>. Artikel ini memfokus pada kajian epistemologi burhani. Kajian ini meliputi apa sebenarnya epistemologi burha>ni> dalam kebudayaan Arab Islam, penyelarasan metode, telaah lafal dan makna, logika & nahwu, sillogisme, penerapannya pada epistemologi baya>ni>, dan kontribusi burha>ni> bagi baya>ni> dan `irfa>ni>. Sekilas Tentang Epistemologi Burha>ni> Dalam pengertian sederhana (elementer), al-burha>n secara mantiqi> (logika) berarti aktifitas pikir yang dapat menetapkan kebenaran proposisi (qad}i>yah) melalui pendekatan deduktif (al-istinta>j) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik (badi>hi>). Dalam arti universal, al-burha>n berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu. Al-Ja>biri> mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi> dan juga tidak dalam pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abadabad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi baya>ni> dan `irfa>ni>. Kehadiran epistemologi di atas, bila ditelusuri dalam wilayah kebudayaan Arab Islam dengan pendekatan komparatif, baya>ni>, atau`irfa>ni>, maka dapat ditarik benang merah bahwa epistemologi baya>ni> menekankan kajian dari teks (nas}s}) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan `irfa>ni> dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wila>yah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burha>ni> menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-h}iss, al tajribah wa muh}a>kamah 'aqli>yah). Adalah Aristoteles orang yang pertama membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik proporsi h}amli>yah (Categorical Proposition) maupun shart}I>yah (Hypothetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (id}afah), tempat atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi) infi'al (affectif) atau ilmu pengetahuan. Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burha>ni> adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiya>s al-ja>mi` yang tersusun dari beberapa anasir (proposisi). Dengan demikian, burha>ni> (al-qiya>s al-'ilmi>) menekankan tiga syarat, pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat} wa al-nati>jah); kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tarti>b al-`ala>qah bayn al-illah wa alma'lu>l), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan ketiga, nati>jah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burha>ni>. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena epistemologi burha>ni> dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: baya>ni> dan `irfa>ni> karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burha>ni> bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua epistemologi di atas. Burha>ni> dalam Akselerasi Kebudayaan Islam Proses Penyelarasan Metode Dua epistemologi Islam, baya>ni> dan `irfa>ni>, adalah dua pendekatan yang mendahului epistemologi burha>ni> dalam akselerasi kebudayaan Arab Islam. Bila baya>ni> lebih menekankan metodologinya pada otoritas nas}s} dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang terwakili oleh fuqaha', dengan pembidikan wilayah eksoteris, maka `irfa>ni> terkesan berseberangan dengan baya>ni>, karena menonjolkan kajian pada garis distingtif antara realitas wujud dengan realitas mutlak yang dapat didekap dengan metodologi kashshf, dhawq, intuisi dalam menangkap apa yang ada di balik meta teks. Alasan mendasarnya, karena epistemologi `irfa>ni> lebih menekankan pada direct experience (`al-`ilm al-h}ud}u>ri>) sehingga otoritas akal menjadi tertepis karena lebih bersifat partisipatif. Wilayah cakupannya lebih identik dengan perwalian (al-wilayah). Kedua epistemologi di atas terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masingmasing karena perbedaan episteme. Namun demikian, episteme keduanya masih dibangun di atas nilai al-Qur'a>n dan h}adi>th. Meskipun epistemologi Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfa>ni>. Poeradi Sastra --sebagaimana dikutip oleh M. Amin-- membagi tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur'a>n alKari>m; (2) penginderaan (sensation); (3) pencerapan (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep (concept); (6) timbangan (judgement); dan (7) penalaran (reasoning). Perbedaan epistemologi burha>ni> terletak pada : 1. Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Otoritas referensinya adalah al-Qur'a>n, h}adi>terhadap, dan pengalaman salaf. 2. Metode yang dibangun sangat berbeda dengan epistemologi baya>ni> dan `irfa>ni>. Dengan demikian, maka epistemologi burha>ni> layak digarisbawahi sebagai metodologi yang representatif dalam membidik ilmu pengetahuan dengan bersifat demonstratif (burha>ni>). Maka, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa peletakan dasar upaya burha>ni> dalam akselerasi kebudayaan Arab Islam merupakan upaya penelusuran bentuk hubungan yang serasi antara burha>ni> dan baya>ni>. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Al-Kindy telah merintis upaya penyelarasan epistemologi burha>ni> dengan epistemologi baya>ni>; sebuah upaya yang membutuhkan kesungguhan dan kapasitas keilmuan yang memadai. Dia adalah seorang filosof pertama berbangsa Arab yang berani menolak posisi para ulama yang menyatakan "Kemahiran pengetahuan mengenai realitas adalah kufur." Dari sini kelihatan bahwa al-Kindy adalah seorang rasionalis, ia mencoba menyelami kegiatan akal untuk memperoleh kebenaran. Oleh karena itu, ia memiliki kapasitas untuk meletakkan dasar yang diperlukan. Usahanya masih bersifat parsial, sebab pada masa hidupnya belum semua keilmuan burha>ni> diadopsi ke dunia Arab. Beberapa jenis ilmu memang sudah masuk, tetapi tulisan-tulisan tentang al-burha>n dalam logika Aristoteles belum dialihbahasakan. Karena al-Kindy tidak memiliki kekuatan logika yang memadai, maka tulisan-tulisannya tidak mencerminkan sebagai karya yang dibangun di atas epistemologi burhani. Maka, tidak heran jika al-Kindy terjebak dalam perdebatan yang akut ketika filsafat mendapat serangan dari para fuqaha‘ pada masanya. "Filsafat Pertama" adalah ilmu yang mendasari ilmu-ilmu lain. Manuskrip al-Kindi tentang "Filsafat Pertama" ini berhasil dipersembahkan kepada khalifah al-Mu'tashim (w. 227 H) dengan disertai catatan pengantar. Catatan pengantar ini antara lain berisi penjelasan tentang obyek bahasan filasafat, kedudukannya, dan kutukan yang dialamatkan kepada yang anti filsafat, yaitu para pendukung baya>ni>. Upaya ini dilakukan al-Kindy sebagai imbangan bagi pendukung baya>ni> yang senantiasa menggunakan kekuasaan sebagai justifikasinya kekuatannya. Corak fondasi burha>ni> yang parsial di atas tentu tidak mencukupi sebab filsafat, khususnya filsafat Aristoteles, merupakan kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi, mencakup metode dan visi sekaligus. Maka, adalah naif sekali mengambil sebagian visi atau keseluruhan visi itu tanpa disertai metodenya, sebab visi itu lahir dari metode yang dibangun. Dalam tradisi Arab Islam, logika bahasa atau logika baya>ni> sudah bukan lagi sekedar kaidah bahasa, melainkan telah menjadi metode dalam berpikir. Karena itu, kedatangan logika Aristoteles dianggap sebagai tandingan bagi logika bahasa dan merupakan ancaman bagi ulama nahwu. Perdebatan sengit antara Abu> Sa'i>d al-Si>rafi>, seorang ahli nahwu, dengan Abi> Bishr Matta>`, seorang ahli logika, yang terjadi sesudah masa al-Kindy dapat dijadikan sampel bagi hilangnya keselarasan kedua logika tersebut. Al-Farabi mencoba membangun konsep yang menyeluruh dalam upayanya untuk menyelaraskan hubungan antara baya>ni> sebagai motode dan visi di satu sisi, dengan burha>ni> sebagai metode dan visi di sisi lain, yakni keselaran antara Nahwu dengan logika dan antara filsafat dan agama. Burha>ni>: Lafal dan makna Al-Farabi terdesak untuk mengkaji problematika baya>ni>, terutama problematika lafal dan makna. Al-Farabi muncul ketika terjadi perdebatan antara ahli mantiq dengan ahli nahwu; ulama mantiq mencoba menyempurnakan kekurangan gurunya, Abu> Bishr Matta>` ketika berdebat dengan Abu> Sa'I>d al-Si>ra>fi>. Al-Farabi mengulangi upaya penyelarasan antara lafal dan makna di atas prinsip burha>ni> dengan mengedepankan realitas faktual dan proses perkembangannya sebagai otoritas referensial yang tinggi. Ditegaskannya bahwa makna lebih dulu dari pada lafal. Proposisi ini berbeda dari tesis kaum baya>ni> yang menekankan lafal daripada makna terlebih dahulu, atau paling tidak keduanya terjadi secara bersama-sama. Eksplanasi al-Farabi tentang proses munculnya bahasa dapat ditarik benang merah bahwa huruf dan lafal merupakan simbol bagi benda-benda yang dapat dicerna secara inderawi. Konsepsi intelektual diletakkan pada benda-benda eksternal yang ditangkap melalui kinerja inderawi. Prinsipnya adalah (1) adanya benda yang diindera; (2) terjadinya gambaran dalam pikiran; serta (3) pengungkapan terhadap gambaran itu. Selanjutnya dijelaskan bahwa susunan lafal dan bahasa tidak lain adalah copy dari susunan makna yang ada dalam pikiran, dan susunan makna yang ada dalam pikiran tidak lain adalah copy dari susunan benda-benda yang ada di alam. Meskipun lafal dari berbagai bangsa berbeda-beda, akan tetapi ultimate goal yang terkandung di dalamnya adalah satu karena yang menjadi sumber bukanlah lafal, akan tetapi benda-benda inderawi dan beberapa proses yang menjadi objek pengetahuan. Burha>ni>: Logika dan Nahwu Dalam diskursus kebahasaan ditemukan dua persoalan yang berbeda, yaitu (1) lafal dan cara penyusunannya dalam ungkapan dan ibarat, yang merupakan tiruan (copy) dari makna dan cara penyusunannya dalam jiwa, dan (2) pikiran (baik tunggal maupun tersusun), yang merupakan tiruan benda-benda inderawi dan hubungan yang terjadi di antara benda-benda atau konsepsi-konsepsi yang dapat ditarik dari benda tersebut. Selama dua pokok bahasan itu masih berbeda satu sama lain, maka tidak ada salahnya bila kemudian muncul dua ilmu yang berbeda, yaitu ilmu nahwu dengan mengambil pokok bahasan yang pertama dan ilmu Mantiq yang mengambil pokok bahasan yang kedua. Tetapi, kedua ilmu ini mempunyai hubungan relasional. Segala yang diberikan oleh nahwu kepada kita yang berupa gramatika lafal, maka secara paralel Mantiq juga memberikan aturannya dalam pikiran. Al-Farabi menjelaskan dari sudut pandang khusus dan umum. Nahwu bersifat khusus karena berhubungan dengan bahasa, sementara bahasa manusia sangat beragam. Hal ini didasarkan pada nilai bahasa memiliki tata atur yang partikulatif, sementara mantiq bersifat umum sebab ia berhubungan dengan pikiran, sedang pikiran itu hanya satu bagi seluruh manusia manusia. Kedua ilmu ini mempunyai titik singgung pada obyeknya secara signifikan. Obyek pembahasan mantiq adalah pikiran-pikiran ditinjau dari segi penunjukan lafal kepadanya dan lafal-lafal ditinjau dari segi penunjukannya kepada pikiran. Nahwu memberikan aturan-aturan tentang lafal-lafal itu. Tetapi kedua ilmu ini berpisah karena ilmu Nahwu hanya memberikan aturan kepada bahasa kelompok manusia tertentu, sedang ilmu mantiq memberikan aturan umum yang berlaku bagi semua bahasa (pembicaraan) manusia. Burha>ni>: Silogisme Apa yang diusahakan oleh al-Farabi diarahkan untuk menyejajarkan konsep-konsep logika agar dapat diterima oleh kebudayaan Arab Islam yang masih berhadapan dengan problematika lafal dan makna secara anomali. Klasifikasi pengetahuan ke dalam dua bagian menurut logika, yakni tas}awwur dan tas}di>q, tidak dikenal dalam tradisi berpikir baya>ni>. Baya>ni> mempunyai cara pembagiannya sendiri, misalnya ilmu terbagi menjadi ilmu kuno (klasik) dan ilmu baru, atau, ilmu d}aru>ri> (otoritatif) dan ilmu yang dicari (kasbi>) dan sebagainya. Tentu ini merupakan persoalan awal yang merumitkan epistemologi baya>ni> dalam menerima konsep-konsep logika. Karena itu, al-Farabi terdesak untuk menjelaskan anasir yang membentuk konsep-konsep tersebut secara baya>ni> sehingga menjadi jelas arti unsurunsur itu dalam proses pembentukan konsep. Hal ini perlu dijelaskan mengingat konsep merupakan bagian asasi dalam pembentukan silogisme. Pembentukan silogisme didasarkan atas makna, bukan lafal. Menurut al-Farabi, silogisme berada pada tataran pemikiran, bukan pada lafal. Bila dalam pikiran seseorang telah terbentuk konsep-konsep kebenaran, maka secara simultan akan muncul kebenaran yang lain yang sebelumnya tidak diketahui. Jadi, sesuatu yang menggiring seseorang mengetahui sesuatu yang tadinya tidak diketahui bukanlah lafal, tetapi konsep yang tersusun dalam pikiran, sedangkan lafal tersusun dalam lisan. Seandainya lafal itu sendiri dapat disusun dalam pikiran sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan sesuatu yang lain, maka yang lahir tentu saja bukan konsep atau kebenaran, tetapi lafal baru yang lain. Maka, jelas bahwa yang tersusun dalam pikiran itu bukanlah lafal, akan tetapi makna konseptual. Hal ini jelas berbeda dengan inferensi (istidla>l) dalam tradisi baya>ni>, yang cukup didasarkan atas lafal, mengeluarkan makna dari lafal seperti orang mengeluarkan air dari dalam sumur. Dikatakan oleh Aristoteles, burha>n itu tidak tersusun dari ucapan eksternal tetapi dari ucapan internal. Burha>ni>: Penerapannya pada Epistemologi Baya>ni>. Meskipun al-Ghaza>li> yang karena dukungan penguasa menolak filsafat, tetapi tidak segan-segan ia menunjukkan apresiasinya yang besar terhadap signifikansi logika sebagai metodologi ilmu pengetahuan. Bisa dikatakan bahwa al-Ghaza>li> adalah orang yang cukup berjasa dalam penerapan logika dalam bidang pengetahuan bayani. Pada akhirnya ia lari dalam dunia sufi yang mampu mengakhiri krisis pemikirannya yang akut (konversi), tetapi ia tetap membela logika sampai akhir hayatnya. Al-Ghaza>li> bahkan sering mengutip ayat-ayat al-Qur'a>n dengan penjelasan sedemikian logis (baca Mishka>t al-Anwa>r) sehingga seolah-olah al-Qur'a>n juga menggunakan silogisme logika dalam berargumentasi. Ini dapat dibuktikan dalam tulisannya tentang us}ul fikih al-Mustashfa>. Ulama us}ul sebelum al-Ghaza>li> mengambil premis-premisnya dari ilmu kalam dan membangun madzhab fiqihnya di atas premis-premis tersebut. Sementara itu, alGhaza>li> ingin merubah tradisi berpikir tersebut. Dalam pendahuluan karyanya, alMustashfa> fi> `Ulu>m Us}u>l Fiqh, ia menulis pokok-pokok pikirannya tentang logika dengan menegaskan bahwa orang yang tidak menguasainya diragukan kekokohan ilmunya. Al-Ghaza>li> ketika menulis buku Mi'ya>r al-'Ilm, al-Ghaza>li> membidik duan tujuan pokok: menjelaskan metode berpikir dan menerangkan cara-cara membuat analogi (qiya>s), di samping menjelaskan kepada para fuqaha' bahwa cara berpikir dalam malsaah-masalah fiqih tidak berbeda dari cara berpikir dalam ilmu-ilmu rasional yang lainnya. Bila ditelusuri bahwa masing-masing wilayah (tidak hanya syari'ah, tetapi juga kalam dan tasawuf) memiliki mode penerapan qiyas Mode of Analogy, namun demikian metodenya adalah sama meski wilayahnya berbeda satu sama lain. Bila diterapkan dalam wilayah ilmu Kalam, maka yang muncul adalah sosok ilmu Kalam Asy'ari>yah dalam bentuk propaganda yang diformulasikan dalam bentuk qiyas. Premispremis diatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan yang muncul adalah meteri yang dipropagandakan itu sendiri. meski demikian al-Ghaza>li> menyadari betul akan kesulitan dan kekurangan yang ada pada metode ahli Kalam dalam berargumentasi. Salah satu diantara faktor mode of thought-nya. Menurut asumsi mereka bahwa bahasa merupakan otoritas referensial dan lafal lebih utama dari pada pengertian. Kata alGhaza>li> semestinya mereka tahu bahwa lafal-lafal itu adalah istilah-istilah yang tidak bisa menyebabkan perubahan pada tingkat pemikiran. Ketika ia menyinggung problem al-H{a>l dalam ilmu Kalam, ia menegaskan bahwa sebenarnya tidak ada artinya membedakan antara pengertian eksistensi dzat yang mempunyai sifat ilm dan keberadaannya yang 'Alim. Tentu hal ini sulit dijelaskan bagi orang yang memahaminya melalui makna yang harus diturunkan dari lafal yang ada. Al-Ghaza>li> memasukkan logika dalam ilmu Kalam sampai menyentuh aspek metodenya yang sangat prinsipil di dalamnya, terutama masalah Qiya>s bi al-Sha>hid 'ala al-Ghayb. Menurutnya, tidak tepat mengembalikan yang ghaib kepada yang syahid kecuali dengan satu syarat, tetapi bila syarat itu terpenuhi maka hilanglah fungsi yang syahid. Dengan arti kata beristidlal dengan yang syahid untuk menangkap yang ghaib tidak absah kecuali jika dapat diketahui al-H{ad al-awsat}nya atau 'illatnya. Jika 'lllat itu bisa ditemukan maka yang syahid itu sudah tidak dibutuhkan lagi, sebaliknya jika tidak bisa ditemukan maka tidak ada jalan untuk mempertemukan antara yang syahid dan yang ghaib secara bersamaan. Tujuan Aristoteles dalam membangun epistemologinya yang kemudian dikenal dengan istilah logika ini adalah agar ia dapat dijadikan sebagai metode dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan. Metode ini diperlukan agar orang yang melakukan penyelidikan terhadap gejala-gejala fenomenologis dapat memperoleh pengetahuan yang benar. Dengan demikian, maka konstruksi pemikiran diatas tidak dimaksudkan sekedar sebagai alat untuk mempertahankan aqidah-tertentu. Pembicaraan Aristoteles tentang Filsafat Pertama (Penggerak Yang Tidak Bergerak), merupakan konsekwensi logis dari keinginannya untuk menetapkan prinsip atau landasan bagi gerak yang terjadi pada alam. Persoalan bagaimana cara Penggerak itu menggerakkan, bagaimana watak-Nya, dan bagaimana pula sifat hubungan-Nya dengan alam, merupakan bagian dari pembicaraan dalam Filsafat Pertama. Maka tidaklah salah jika dikatakan bahwa hal itu merupakan pembicaraan tentang ilmu ketuhanan, akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa ilmu tentang Tuhan tidak harus dipahami sebagai aqidah agama. Alur pikir Aristoteles harus dipahami sebagai suatu telaah tentang Eksistensi yang bebas dari materi. Menurutnya, setiap yang bebas dari materi adalah Tuhan atau layak sekali menjadi Tuhan. Aristoteles berbicara tentang wujud yang bebas dari materi ini bukan untuk membangun aqidah agama, tetapi untuk menetapkan dasar bagi ilmu alamnya. Oleh karena itu, ketika pembicaraan tentang kategori wujud baik dalam logika maupun dalam filsafat pertama dibawa kepada pembahasan tentang alam ilahiyah, maka ia kehilangan nilai signifikansinya. Karena alam ketuhanan bersifat transendental dan bebas dari kategori-kategori wujud ciptaan Aristoteles itu, apalagi ketuhanan dalam diskursus aqidah Islam. Burha>ni>: Kontribusinya Terhadap Baya>ni> & `Irfa>ni> Epistemologi burha>ni> sebagai sebuah pendekatan telah tertepis dari akselerasi budaya Arab Islam karena pengaruh al-Ghaza>li> yang hanya menempatkan aspek akal sebagai media untuk beristidla>l dengan yang sha>hid dengan yang ghayb. Bahkan al-Ghaza>li> dalam pembahasannya banyak mensintesisikan dalam tiga epstemologi (baya>ni>, `irfa>ni> dan burha>ni>). Epistemologi baya>ni> mampu menjadi pembuka pintu bagi `irfa>ni> (menurut tasawuf sunni) dan membuka epistemologi burha>ni> (metode muta'akhirin yang telah terasimilasi dan terakulturasi dengan persoalan filsafat, dan kalam) sedangkan `irfa>ni> mampu menjadi jembatan bagi baya>ni> dengan mengambil makna eksoteris dalam bangunan syari'ah menurut Ibnu `Arabi yang ditekankan oleh kalangan sufi. Sedangkan pada burha>ni> (fungsi Hermes yang merujuk pada sistem berpikir Aristoteles) yaitu, aktifitas yang berjalan dalam epistemologi `irfa>ni> visi Isma>'ili>yah kemudian diadopsi oleh Ibnu Arabi dalam `irfa>ni> sufi yang dijadikan alas bangunan tasawuf batini seperti tokoh sezamannya (al-Suhrawardi, al-H{alabi>) membentuk madhhab lain yang didasarkan pada filsafat illuminatif yang masih hidup di Iran sampai sekarang. Maka, fungsi asimilasi antara sistem ketiga epistemologi selalu disertai dengan aktifitas untuk mengembalikan dasar pijakan. Mengembalikan dasar pijakan baya>ni> dan keserasian hubungannya dengan burha>ni> dari sini dapat dipetakan menjadi dua: pertama, bentuk formal yang bersifat general tentang yang disebut asimilasi seperti yang dikaji dalam diskursus kalam; kedua, upaya mengembalikan bangunan pemikirannya menurut ruang lingkup yang meliputi beberapa aspek kajian. Ikhtita>m Kehadliran epistemologi burha>ni> dalam kebudayaan Arab Islam dapat disimpulkan, bahwa asal muasal kajian adalah pada seluruh realitas yang dapat didekap secara ikhtiya>ri>, kasbi> dan husu>li> (diusahakan melalui pendekatan verifikatif dan eksploratif), sedangkan peran akal lebih bersifat penulusuran dalil secara logika, dan validitasnya bersifat diskursif-analitik (bah}thi>yah tah}li>li>yah). Upaya penyelarasan metode burha>ni> dapat didekati melalui sintesis dari berbagai ilmu: kalam, tasawuf, filsafat Aristoteles yang banyak dikemukakan oleh al-Ja>biri>, filsafat Isma>'ili>yah Hermes. Penyelarasan metode burha>ni> dengan tradisi kebudayaan Arab Islam cukup mendasar, karena wilayah kebudayaannya ini telah memiliki metode sendiri yang telah lama berakar. Logika Aristoteles yang semula dimaksudkan sebagai metode untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dalam proses asimilasinya dengan lingkungan keilmuan bayani mengalami pergeseran fungsi. Pada masa al-Ghaza>li> logika difungsikan sebagai alat untuk mempertahankan aqidah madzhab ilmu kalam. Namun sangat disayangkan karena logika semakin hilang keberadaanya ketika premispremis yang digunakan bukan lagi berupa aksioma atau postulat, tetapi diambil dari hasil pemahaman teks dalam dirkursus ilmu kalam. Maka, menjadi kenisayaan untuk mengembangkan epistemologi ini dalam hubungannya dengan kepentingan keilmuan melalui epistemologi burha>ni> yang sarat dengan berbagai pergumulan filsafat yang dapat dibumisasikan. Semoga.@