Republik Indonesia Sektor Kelautan dan Perikanan Maret 2010 Tim Penyusun Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap – ICCSR Sektor Kelautan dan Perikanan Penasehat Prof. Armida S. Alisjahbana, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Kepala Editor U. Hayati Triastuti, Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Koordinator ICCSR Edi Effendi Tedjakusuma, Direktur Lingkungan Hidup, Bappenas Editor Irving Mintzer, Syamsidar Thamrin, Heiner von Luepke, Tilman Hertz Laporan Sintesis Koordinator Penyusun untuk Adaptasi: Djoko Santoso Abi Suroso Basis Saintifik dan Laporan Sektor Penyusun: Hamzah Latief, M. Suhardjono Fitrianto Tim Pendukung Teknis Chandra Panjiwibowo, Edi Riawan, Hendra Julianto, Leyla Stender, Tom Harrison, Ursula FlossmannKrauss Tim Administrasi Altamy Chrysan Arasty, Risnawati, Rinanda Ratna Putri, Siwi Handinah, Wahyu Hidayat, Eko Supriyatno, Rama Ruchyama, Arlette Naomi, Maika Nurhayati, Rachman i ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan UCAPAN TERIMA KASIH Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) bertujuan untuk memberikan masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2009-2014 berkaitan dengan perubahan iklim, serta sebagai masukan pada RPJMN berikutnya hingga tahun 2030. Dokumen ini memberikan arahan detail dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di sektor kehutanan, energi, industri, pertanian, perhubungan, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Sudah merupakan kebijakan dari Bappenas untuk mengakomodasi peluang dan tantangan di sektor-sektor tersebut melalui perencanaan pembangunan dan koordinasi antara kementerian dan badan terkait secara efektif. Dokumen ini bersifat dinamis dan akan selalu diperbaharui berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang timbul dalam menghadapi perubahan ikllim di masa mendatang. Perubahan dan penyempurnaan dari dokumen ini akan dilakukan melalui konsultasi partisipatif antara para pemangku kepentingan. Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Armida S. Alisyahbana selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atas dukungan yang diberikan. Juga kepada Bapak Paskah Suzetta selaku mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappeanas yang menginisiasi dan member dukungan dalam pembuatan dokumen ICCSR, serta kepada Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang telah menginisiasikan dan mengkoordinasikan pembuatan dokumen ICCSR ini. Kepada seluruh anggota komite pengarah, kelompok kerja, dan para pemangku kepentingan di bawah ini, yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga dalam pembuatan dokumen ICCSR Sektor Kelautan dan Perikanan, dedikasi serta kontribusinya sangat dihargai dan diucapkan terima kasih setinggi-tingginya: Komite Pengarah Deputi Kerjasama Internasional, Kementerian Koordinasi Perekonomian; Sekretaris Menteri, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Deputi Menteri Bidang Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat; Sekretaris Jenderal, Kementerian Kelautan dan Perikanan; Sekretaris Utama, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika; Deputi Bidang Ekonomi, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim. Kelompok Kerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Gellwyn Yusuf, Subandono Diposaptono, Ida Kusuma Wardhaningsih, Budi Sugianti, M. Eko Rudianto, Sunaryanto, Toni Ruchima, Umi Windriani, Agus Supangat, Budiasih Erich, Wany Sasmito, Firman. I, T. iii ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Bambang Adi, M Yusron, Setiawan Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Sriyanti, Yahya R. Hidayat, Bambang Prihartono, Mesdin Kornelis Simarmata, Arum Atmawikarta, Montty Girianna, Wahyuningsih Darajati, Basah Hernowo, M. Donny Azdan, Budi Hidayat, Anwar Sunari, Hanan Nugroho, Jadhie Ardajat, Hadiat, Arif Haryana, Tommy Hermawan, Suwarno, Erik Amundito, Rizal Primana, Nur H. Rahayu, Pungki Widiaryanto, Maraita, Wijaya Wardhana, Rachmat Mulyanda, Andiyanto Haryoko, Petrus Sumarsono, Maliki Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Edvin Aldrian, Dodo Gunawan, Nurhayati, Soetamto, Yunus S, Sunaryo Universitas dan Profesional ITB: Safwan Hadi; Dishidros, TNI-AL: Letkol Ir. Trismadi, MSi. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh staf Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas, yang selalu siap membantu dan menfasilitasi baik dalam hal teknis maupun administrasi dalam proses penyelesaian dokumen ini. Pembuatan dokumen ICCSR ini didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) melalui Study and Expert Fund for Advisory Services in Climate Protection. Atas dukungan tersebut, penghargaan serta terima kasih yang setinggi-tingginya diberikan. iv ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Kata Pengantar menteri Perencanaan Pembangunan nasional/ Kepala Bappenas Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun 2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konflik antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua, emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi geografisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko. Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintifik yang tidak terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa maupun individu. Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim. Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini. Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan v ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global bumi. Kita telah meratifikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan strategis dan penetapan prioritas. Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR, dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,, yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah, dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor. Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. Armida S. Alisjahbana vi ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Kata Pengantar dari Deputi menteri Bidang sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari intensitas energi kita yang tinggi. Dengan lokasi geografisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut, banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan, maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai. Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentifikasi upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang. Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional U. Hayati Triastuti vii ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan DAFTAR ISI Tim Penyusun i Ucapan Terima Kasih ii Kata Pengantar dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas iv Kata Pengantar dari Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Bappenas vi DAFTAR ISI vii DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xiv DAFTAR SINGKATAN xvi 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan dan Sasaran 5 1.3 Pendekatan 7 1.3.1 Kerangka Kerja 7 1.3.2 Analisis Saintifik 10 1.3.3 Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan 11 2 KONDISI, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN 12 2.1 Wilayah Kelautan, Interaksi dan Fungsinya 12 2.2 Potensi Sektor Kelautan dan Perikanan 14 2.2.1 Potensi Perikanan 15 2.2.2 Potensi Jasa Kelautan dan Kemaritiman 20 2.3 Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini 2.3.1 Kondisi Sektor Kelautan dan Perikanan 24 24 viii ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 2.3.2 Permasalahan Kelautan dan Perikanan 2.4 Respon Kapasitas terhadap Perubahan Iklim Saat Ini 25 27 2.4.1 Respon Kelembagaan Saat Ini 27 2.4.2 Kerangka Hukum dan Kebijakan Tingkat Nasional Saat Ini 30 2.5 Bahaya Perubahan Iklim terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan 32 2.5.1 Kenaikan Temperatur Udara dan Temperatur Permukaan Laut 35 2.5.2 Peningkatan Frekuensi dan Intensitas Kejadian Cuaca Ekstrim 38 2.5.3 Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu oleh Perubahan Pola Variabilitas Iklim 42 2.5.4 Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu oleh Perubahan Pola Variabilitas Iklim 46 2.5.5 Kenaikan Muka Air Laut 52 2.5.6 Catatan dan Ringkasan Analisis Bahaya 57 2.5.7 Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah 61 2.5.7.1 Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya 61 2.5.7.2 Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya 64 2.5.7.3 Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara 67 2.5.7.4 Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya 70 2.5.7.5 Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya 71 2.5.7.6 Wilayah VI Kepulauan Maluku 73 2.5.7.7 Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan Sekitarnya 74 2.6 Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim 76 3 KERENTANAN SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM 81 82 3.1 Elemen dan Parameter Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan ix ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 3.2 Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan di Setiap Wilayah 89 3.2.1 Wilayah I Pulau Sumatera 91 3.2.2 Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya 92 3.2.3 Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara 93 3.2.4 Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya 93 3.2.5 Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya 94 3.2.6 Wilayah VI Kepulauan Maluku 95 3.2.7 Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan sekitarnya 96 4 POTENSI DAMPAK DAN RISIKO PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN 98 4.1 Potensi Dampak 98 4.2 Analisis Risiko (Potensi Dampak Secara Kuantitatif) di Setiap Wilayah 102 4.2.1 Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya 104 4.2.2 Wilayah II Pulau Jawa-Bali-Madura dan Sekitarnya 104 4.2.3 Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara 104 4.2.4 Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya 105 4.2.5 Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya 105 4.2.6 Wilayah VI Kepulauan Maluku 105 4.2.7 Wilayah VII Pulau Papua bagian Barat dan Sekitarnya 105 5 ARAHAN DAN TAHAPAN MENDATANG UNTUK INTEGRASI ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM KE DALAM SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN 106 5.1 Arahan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan 2010 – 2030 108 5.2 Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 2010–2030 110 5.2.1 Kegiatan Prioritas untuk Adaptasi 110 x ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 5.2.2 Kegiatan Unggulan untuk Adaptasi 117 5.2.3 Pentahapan Kegiatan Prioritas 118 6 KESIMPULAN 127 DAFTAR PUSTAKA 128 Lampiran I Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) dengan Para Pemangku Kepentingan yang Terkait 131 Lampiran II Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim 132 Lampiran III Deskripsi Kerentanan 133 Lampiran IV Keterkaitan Potensi Dampak dan Strategi Adaptasi dengan Bahaya dan Kerentanan Perubahan Iklim Lampiran V Kegiatan Prioritas Beserta Tahapan-Tahapannya 136 141 xi ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun 7 Gambar 1.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah 8 Gambar 1.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim (Diposaptono dkk, 2009) 9 Gambar 2.1 Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996. 13 Gambar 2.2 Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya 14 Gambar 2.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001) 14 Gambar 2.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah dari data KKP, 2005) 15 Gambar 2.5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993) 13 Gambar 2.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse Office, 2005) 17 Gambar 2.7 Tren kenaikan temperatur udara di Jakarta dan Semarang 18 Gambar 2.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c) Laju kenaikan TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008) 21 Gambar 2.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Sofian, 2009) 22 Gambar 2.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan model MRI_CGCM3.2 (Sofian, 2009) 23 Gambar 2.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru) serta temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (garis merah) 24 Gambar 2.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak terjadi di wilayah Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan angin kencang bisa terasa (catatan BBU=Belahan Bumi Utara, BBS=Belahan Bumi Selatan) 25 Gambar 2.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006) 26 Gambar 2.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di pantai selatan 27 xii ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Pulau Jawa (N.S. Ningsih, 2009) Gambar 2.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b), serta gelombang maksimum (Sofian, 2009) 7 Gambar 2.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B) tipe ekuatorial, (C) tipe lokal (Tjasyono, 1999) 8 Gambar 2.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b), di Pulau Lombok (Hadi, TW., 2008) 9 Gambar 2.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus 13 Gambar 2.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus (Sofian, 2009) 14 Gambar 2.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus. Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari tahun 1993 sampai 1999 (Sofian, 2009). 14 Gambar 2.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus. TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan hasil estimasi model HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Sofian, 2009) 15 Gambar 2.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 – 2008). TML anomali turun sampai 20 cm pada periode El Niño kuat, dan naik 20cm pada periode La Niña kuat (Sofian, 2009). 13 Gambar 2.23 Distribusi klorofil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta pada bulan Agustus 1997 pada saat terjadi El Nino (Sofian, 2009). 17 Gambar 2.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm (Sofian, 2009) 18 Gambar 2.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada tahun 2000 (Sofian, 2009). 21 Gambar 2.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di Indonesia dan sekitarnya (Sofian, 2009). 22 Gambar 2.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan data pasut yang diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) (Sofian, 2009). 23 Gambar 2.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993 sampai 24 xiii ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Desember 2008 dengan mengggunakan spatial trend analysis (Sofian, 2009) Gambar 2.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berdasarkan skenario IPCC SRESa1b dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 750ppm (Sofian, 2009) 7 Gambar 2.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan model dengan penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (Sofian,2009) 8 Gambar 2.31 Contoh subsidence akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Danny N.H) 9 Gambar 2.32 Contoh uplift akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh) 13 Gambar 2.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut (dalam hal ini tsunami tidak diperhitungkan) 14 Gambar 2.34 Peta kisaran pasut di Indonesia 14 Gambar 2.35 Tiga skenario dari penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee 15 Gambar 2.36 Simulasi genangan pesisir di wilayah Sumatra 13 Gambar 2.37 Simulasi genangan pesisir di wilayah Jawa-Madura-Bali 17 Gambar 2.38. a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008) 18 Gambar 2.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009) 21 Gambar 2.40 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara 22 Gambar 2.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009) 23 Gambar 2.42 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kalimantan dan sekitarnya 24 Gambar 2.43 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Sulawesi dan sekitarnya 25 Gambar 2.44 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Maluku 26 Gambar 2.45 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat 27 Gambar 3.1 Peta elevasi (ketinggian, topografi) permukaan tanah 28 Gambar 3.2 Peta kelerengan (kemiringan) permukaan tanah 29 Gambar 3.3 Peta sebaran jumlah penduduk 30 xiv ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Gambar 3.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan proyeksinya pada tahun 2025 (b) (diolah dari data BPS) 7 Gambar 3.5 Peta sebaran kepadatan penduduk 8 Gambar 3.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan muka air laut 9 Gambar 3.7 Peta sebaran penggunaan (tutupan) lahan 13 Gambar 3.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi perikanan tangkap di Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009) 14 Gambar 3.9 Peta persebaran terumbu karang di dunia (KKP, 2005) 14 Gambar 3.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP, 2005) 15 Gambar 3.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP, 2005) 13 Gambar 3.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut 17 Gambar 4.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009) 18 Gambar 4.2 Skematisasi dampak perubahan iklim pada berbagai sektor/bidang 21 Gambar 4.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee 22 Gambar 5.1 Urutan tujuh langkah dalam proses adaptasi perubahan iklim (Diposaptono dkk, 2009) 23 xv ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama 15 Tabel 2.2 Proyeksi kejadian El-Nino dan La-Nina menggunakan skenario SRES a1b (Sumber: Sofian, 2009) 45 Tabel 2.3 Ringkasan bahaya dan proyeksi perubahan iklim 57 Tabel 2.4 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah I 62 Tabel 2.5 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah II 64 Tabel 2.6 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III 68 Tabel 2.7 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah IV 70 Tabel 2.8 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah V 70 Tabel 2.9 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VI 73 Tabel 2.10 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII 75 Tabel 3.1 Deskripsi elemen dan parameter kerentanan sektor kelautan dan perikanan terhadap perubahan iklim Tabel 3.2 Elemen dan parameter yang diperhatikan dalam analisis kerentanan terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir (dicuplik dari Tabel III.1) 89 Tabel 3.3 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah I (Sumatra dan sekitarnya) 91 Tabel 3.4 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah II (Jawa-Madura-Bali) 92 Tabel 3.5 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah III (Nusa Tenggara) 93 Tabel 3.6 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah IV (Kalimantan) 94 Tabel 3.7 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah V (Sulawesi) 95 Tabel 3.8 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VI (Kepulauan Maluku) 96 Tabel 3.9 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VII (Pulau Papua bag. barat) 97 Tabel 4.1 Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan 99 83 xvi ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Tabel 5.1 Sembilan Kegiatan Prioritas untuk adaptasi perubahan iklim sektor kelautan dan perikanan Tabel 5.2 Penjabaran kegiatan-kegiatan prioritas adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan 112 Tabel 5.3. Lima Kegiatan Unggulan untuk adaptasi perubahan iklim 117 Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan 131 Tabel L.2 Misi-Misi dari Rencana Strategis KKP Tahun 2005-2009 132 Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP, 2005) 133 Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesifik dengan bahaya dan kerentanan perubahan iklim 136 Tabel L.5 Aternatif adaptasi yang hanya terkait dengan kapasitas adaptasi perubahan iklim 140 110 xvii ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan DAFTAR SINGKATAN AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan ASEAN. Association of Southeast Asia Nations Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bakosurtanal Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BMKG Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKT Barang Muatan Kapal Tenggelam BOM Australia Bureau of Meteorology Australia COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Program CRV Climate Resilience Village KKP Kementerian Kelautan dan Perikanan DPP Daerah Perairan Pantai ENSO El-Nino Southern Oscillation FGD Forum Group Discussion GRK Gas Rumah Kaca GTZ Germany Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit HHWL Highest High Water Level IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC AR4 Intergovernmental Panel on Climate Change The Fourth Assessment Report IPO Interdecadal Pacific Oscillation IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ITF Indonesian Throughflow atau Arus Lintas Indonesia (Arlindo) KML Kenaikan Muka Laut atau Sea Level Rise (SLR) KP3K Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil KTPL Kenaikan temperatur air laut xviii ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan LAPAN Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional MCRMP Marine and Coastal Resource Management Project MOD Manado Ocean Declaration MSL Mean Sea Level : muka laut rata-rata MRI_CGCM Meteorological Research Institute - Coupled General Circulation Model NOAA National Oceanic and Atmospheric Administration PMEL Pacific Marine Environmental Laboratory OTEC Ocean Thermal Energy Conversion PEMP Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir PKCE Peningkatan frekuensi dan intensitas Kejadian Cuaca Ekstrim PVI-AAM Perubahan pola Variabilitas Iklim alamiah untuk Pola Perubahan Angin dan Arus LAut PVI-CH Perubahan pola Variabilitas Iklim alamiah untuk pola perubahan Curah Hujan RADPI Rencana Aksi Daerah Perubahan Iklim RANPI Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim PDB Pendapatan Domestik Bruto RPI Roadmap Perubahan Iklim RPJP Rencana Pembangunan Jangka Panjang RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPD Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah RPWKP Rencana Pengelolaan Wilayah Kelautan dan Perikanan RSWKP Rencana Strategi Wilayah Kelautan dan Perikanan xix ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan RTRN Rencana Tata Ruang Nasional RTRD Rencana Tata Ruang Daerah RZWKP Rencana Zonasi Wilayah Kelautan dan Perikanan SLR Sea Level Rise atau Kenaikan Muka Laut (KML) SRES Special Report on Emissions Scenarios SS Storm Surge SRTM Shuttle Radar Topography Mission TML Tinggi Muka Laut TPL Temperatur Permukaan Laut UNCLOS United Nations Convention on Law of the Sea UNHCC United Nations Framework Convention on Climate Change UN-ISDR United Nations - International Strategy for Disaster Reduction USAID United States Agency for International Development USGS United States Geological Survey WOC World Ocean Conference WPP Wilayah Potensi Perikanan WP3K Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ZEE Zona Ekonomi Eksklusif xx ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 1 PenDAHuLuAn 1 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 1.1. Latar Belakang Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan chloroflurocarbon (CFC) ke atmosfer bumi. Telah diketahui radiasi matahari yang sampai ke atmosfer sebagian diteruskan dan diserap oleh bumi dan sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer oleh bumi dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Dalam proses pemantulan tersebut sebagian panas diserap oleh gas-gas rumah kaca sehingga menahan panas yang keluar dari atmosfer. Efek penyerapan panas oleh gas-gas rumah kaca ini disebut efek rumah kaca. Akibat efek rumah kaca ini temperatur di permukaan bumi dan atmosfer terus bertambah sampai mencapai keseimbangan baru. Jumlah panas yang masuk dan keluar atmosfer tidak berubah, tetapi jumlah panas yang tersimpan di bumi dan atmosfer semakin meningkat dan berperan dalam menaikkan temperatur bumi (Hadi, dkk, 2009). Pemanasan global akibat efek rumah kaca mengakibatkan terjadinya ekspansi thermal di laut terutama di lapisan permukaan (efek sterik) dan mencairnya glasier dan tudung es (ice cap) serta lapisan es (ice sheet) di kutub, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan permukaannya. Laporan IPCC (2007) menyebutkan dalam periode 1961-2003 permukaan laut global naik 1,8 mm (1,3-3,0 mm) pertahun sementara dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 laju kenaikannya lebih tinggi yaitu 3,1 mm (2,4-3,8 mm) pertahun. Disini terlihat adanya variabilitas laju kenaikan muka laut jangka panjang. Hasil riset dalam IPCC AR4 menyatakan ekspansi thermal berkontribusi sekitar 70 % terhadap kenaikan permukaan laut global dan mencairnya es 30 %. Berkurangnya daerah yang tertutup es akan meningkatkan penyerapan gelombang pendek sinar matahari oleh daratan dan lautan dan pengurangan refleksi oleh permukaan es. Kondisi ini akan meningkatkan akselerasi pemanasan global yang kembali mencairkan es dan memicu ekspansi thermal yang akhirnya berdampak pada kenaikan permukaan laut global. Kenaikan temperatur di Antartika tercatat lebih intensif sejak tahun 1990-an. Hilangnya es sebesar 80 Gt/tahun pada tahun 1990-an bertambah menjadi 130 Gt/tahun sejak tahun 2003. Mencairnya 360 Gt es akan menaikkan permukaan laut sebesar 1 mm (USGS, 2009 dalam Hadi dkk, 2009). Data ini mengindikasikan adanya akselerasi dari pemanasan global akibat berkurangnya tutupan es dikutub. Tren kenaikan permukaan laut global dari tahun 1885 sampai dengan tahun 2000 diperlihatkan pada Gambar I.1. Kenaikan permukaan laut yang terjadi akibat pemanasan global dapat menggenangi daerah pantai yang landai, daerah rawarawa, mengakibatkan mundurnya garis pantai akibat genangan dan meningkatnya erosi pantai, kerusakan ekosistem pantai bahkan dapat tenggelamnya pulau-pulau kecil. Di samping itu kenaikan muka air laut tersebut dapat mengubah pola arus dan gelombang laut. 2 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Gambar 1.1 Tren kenaikan permukaan laut global dalam 125 Tahun (http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html) Permukaan laut dapat mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang dan jangka waktu pendek: a. Perubahan permukaan laut jangka panjang Perubahan permukaan laut jangka panjang disebut juga perubahan sekular. yang dikategorikan menjadi dua berdasarkan faktor penyebabnya. Perubahan pertama adalah perubahan eustatik atau perubahan volume air laut, dan yang kedua adalah perubahan lokal. Perubahan lokal ini diantaranya adalah kenaikan atau penurunan muka tanah atau disebut juga efek isostasi. Efek isostasi ini ada beberapa jenis diantaranya adalah isostasi thermal akibat perubahan temperatur atau densitas dari interior bumi, isostasi glacio yang berhubungan dengan keberadaan es, hidro-isostasi yang berhubungan dengan keberadaan air, isostasi vulkanik akibat ekstrusi magma, isostasi sedimen yang berhubungan dengan deposisi dan erosi. Adanya patahan yang menyebabkan lempang tektonik naik atau turun dapat mempengaruhi muka laut dengan pengaruh 1 sampai 3 mm/ tahun. Kompaksi sedimen dapat menyebabkan daratan menjadi terkompresi, atau subsidence ekstraksi minyak dan air tanah. Efek eustatik diantaranya adalah perubahan basin laut (ocean basin) akibat pemekaran lantai dasar samudra, perubahan elevasi lantai dasar samudra, dan sedimentasi di dasar laut. Selain itu perubahan massa air laut yang merupakan akibat dari melelehnya es di kutub, pelepasan air dari interior bumi, dan pelepasan serta akumulasi dari reservoir termasuk perubahan eustatik. b. Perubahan permukaan laut jangka pendek, Perubahan permukaan laut jangka pendek dapat terjadi akibat beberapa hal diantaranya adalah pasang surut laut (pasut), badai (cyclone), dan storm surge. Kenaikan permukaan laut akan bertambah tinggi bila 3 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan storm surge terjadi bersamaan dengan saat pasang tinggi yang dikenal sebagai storm tide. Perubahan ini memiliki jangka waktu antara harian sampai mingguan. Fenomena El Nino dan La Nina juga mempengaruhi muka laut dalam jangka waktu yang pendek. Pada saat terjadinya El Nino permukaan air laut di perairan Indonesia mengalami penurunan sebaliknya pada saat La Nina permukaan air laut mengalami kenaikan. Disamping itu banjir pada musim-musim tertentu juga merupakan variasi musiman yang dapat mempengaruhi muka laut dalam jangka pendek, dimana terjadi pertambahan runoff dari sungai menuju ke laut dan menambah ketinggian muka laut. Perubahan ini terjadi dalam kurun waktu musiman sampai tahunan. Selain itu osilasi permukaan laut yang terjadi di pelabuhan atau di teluk yang dikenal sebagai seiche merupakan faktor yang mempengaruhi permukaan air laut jangka pendek. Perubahan ini dapat terjadi dalam kurun waktu antara menit sampai jam. Gempa bumi yang menyebabkan deformasi muka tanah dapat menyebabkan perubahan relatif permukaan laut. Gempa dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (subsidence) dan atau penaikan muka tanah (uplift), dimana secara relatif mengubah tinggi muka laut terhadap tanah. Disamping fenomena di atas, pemanasan global juga mempengaruhi secara otomatis pada kenaikan temperatur udara dan menyebabkan perubahan tekanan atmosfer serta variabel iklim lainnya seperti angin dan curah hujan. Fenomena–fenomena ini akan memicu sederetan bahaya alam yang berpotensi memberi tekanan dan menimbulkan dampak terhadap wilayah pesisir. Dampak tersebut semakin diperkuat dengan meningkatnya elemen-elemen kerentanan di wilayah, pesisir dan laut seperti: ledakan pertumbuhan penduduk dan problem kemiskinan, eksploitasi sumberdaya secara berlebihan, serta polusi udara dan perairan. Perhatian yang serius terhadap dampak perubahan iklim ini perlu dilakukan sejak dini. Meskipun perubahannya bersifat perlahan-lahan (gradual) namun potensi dampaknya bersifat pasti (very likely) dan meluas ke seluruh permukaan bumi. Di lain pihak, masyarakat baik yang tinggal maupun yang beraktivitas di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil telah menderita kerugian akibat berbagai bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim tersebut. Pemukiman, perkantoran tempat bekerja, dan dermaga pelabuhan semakin sering merasakan dampak genangan banjir rob dan terjangan gelombang badai; para petambak dan petanai di pesisir telah merasakan semakin tidak teraturnya siklus musim hujan dan kemarau akibat pengaruh fenomena El-Nino dan La-Nina; para nelayan harus semakin menjauhi pantai dalam upayanya mencari ikan; dan masih banyak dampak-dampak lain yang ditimbulkannya. Antisipasi terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan ini lebih difokuskan untuk menyiapkan kegiatan-kegiatan adaptasi sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan mencari peluang untuk memanfaatkan dampak positif melalui berbagai upaya responsif dan terencana terhadap aspek-aspek sosial budaya, ekonomi, potensi sumberdaya, dan lingkungan fisik. Upaya tersebut dapat disertai dengan kegiatan-kegiatan mitigasi berupa tindakan intervensi manusia melalui IPTEK untuk mencegah atau memperlambat proses perubahan iklim melalui upaya penurunan emisi dan/atau peningkatan penyerapan gas-gas rumah kaca (GRK) yang terkait dengan sektor ini, seperti pemeliharaan 4 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan dan rehabilitasi hutan mangrove serta budidaya rumput laut. Untuk itulah diperlukan penyusunan roadmap pengarus-utamaan isu perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional (selanjutnya disingkat “Roadmap Perubahan Iklim, RPI”) khususnya terhadap sektor Kelautan dan Perikanan. Kandungan dari RPI ini adalah penentuan arah kebijakan dan kegiatan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2010-2030 dengan memperhatikan proyeksi perubahan iklim global. 1.2. Tujuan dan Sasaran Tujuan utama dari penyusunan Roadmap Perubahan Iklim (RPI) adalah untuk menentukan kegiatankegiatan prioritas dan unggulan sebagai wujud upaya adaptasi (disertai dengan mitigasi) terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dijabarkan secara bertahap agar dapat diarus-utamakan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 20102014 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) tahun 2010-2030 yang memperhatikan proyeksi perubahan iklim global. Posisi RPI di dalam sistem perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan di tingkat daerah dapat dilihat pada Gambar I.2 (dimodifikasi Diposaptono, 2009) berikut. Gambar 1.2 Posisi Roadmap Perubahan Iklim (RPI) di dalam sistem perencanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di tingkat nasional dan di tingkat daerah 5 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar I.2 di atas menunjukkan bahwa peran penting dan posisi RPI di tingkat nasional dan daerah, baik jangka panjang (RPJPN dan RPJPD) maupun jangka menengah (RPJPN dan RPJMD) dan rencana strategis dan rencana aksi sektor Kelautan dan Perikanan tingkat nasional dan daerah (RANPI dan RADPI). Selanjutnya RPI ini diimplementasikan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Nasional dan Daerah (RTRN dan RTRD), serta Rencana Strategis Wilayah Kelautan dan Perikanan (RSWKP), Rencana Zonasi Wilayah Kelautan dan Perikanan (RZWKP), dan Rencana Pengelolaan Wilayah Kelautan dan Perikanan (RPWKP). Sasaran dari kegiatan ini adalah: 1. Mengidentifikasi kondisi dan problema pada saat ini serta tantangan di masa datang dari sektor Kelautan dan Perikanan berupa bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim, elemen-elemen kerentanan berdasarkan bahaya yang telah diidentifikasi dan mengenalisis potensi dampak dan gambaran risiko akibat bahaya dan kerentanan yang telah dikenali. 2. Merumuskan arah strategi dan pentahapan integrasi adaptasi perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan yang meliputi beberapa hal yaitu: a. Arah strategi pembangunan jangka panjang (periode tahun 2010-2030), b. Integrasi kebijakan dan kegiatan ke dalam tahapan pembangunan jangka menengah (periode lima tahunan), dan c. Isu-isu lintas sektoral. 1.3. Pendekatan Kegiatan-kegiatan adaptasi serta mitigasi perubahan iklim tersebut secara umum disusun melalui kombinasi dua proses yang berlawanan arah yaitu: 1. Proses top-down yaitu dengan analisis dan kajian saintifik, serta 2. Proses bottom-up yaitu dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang berkaitan dengan sektor ini. Pembahasan mengenai kedua proses tersebut akan didahului dengan penjelasan tentang kerangka kerja (framework) penyusunan roadmap perubahan iklim ini. 6 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 1.3.1. Kerangka Kerja Adaptasi perubahan iklim merujuk pada upaya intervensi sebagai respon terhadap perubahan iklim yang sedang dan akan terjadi, yang didesain untuk mengurangi risiko dan potensi dampak terhadap komunitas dan ekosistem, dan berusaha untuk mengeksploitasi peluang yang dapat menguntungkan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Upaya yang dilakukan adalah tindakan penyesuaian pada individu atau kelompok baik yang bersifat reaktif maupun antisipatif untuk menghadapinya. Pada dasarnya upaya ini dimaksudkan untuk mengurangi tingkat kerentanan dengan cara: • mengurangi keterpaparan dan sensitivitas sosial-ekonomi dan lingkungan • menguatkan daya tahan dan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menghadapi bahaya-bahaya tersebut. Sedangkan mitigasi perubahan iklim adalah upaya intervensi antropogenik di dalam sistem iklim yang didesain untuk mereduksi gaya-gaya antropogenik dari sistem iklim yang menyebabkan pemanasan global dengan cara mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dari sumbernya dan meningkatkan kemampuan alam dalam menyerap emisi tersebut. Strategi adaptasi yang disertai dengan mitigasi inilah yang perlu diarusutamakan ke dalam perencanaan pembangunan nasional baik jangka menengah maupun jangka panjang. Diposaptono dkk (2009) mengajukan suatu kerangka kerja untuk mengkaji dan menyusun konsep adaptasi dan mitigasi perubahan iklim seperti pada Gambar I.3. Gambar 1.3 Kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim (Diposaptono dkk, 2009) 7 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Secara konseptual kerangka kerja adaptasi yang disertai dengan mitigasi perubahan iklim setidaknya terdiri dari (7) tujuh langkah yang bersifat siklus (Gambar I.3), yaitu: (1) Kajian variabilitas iklim dan dan bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim serta dampak yang ditumbulkannya, (2) Kajian tekanan lainnya seperti aktivitas manusia, (3) Penyajian informasi (fakta) dan penyadaran atas adanya perubahan iklim dan lingkungan, baik yang dipicu oleh perubahan iklim maupun oleh aktivitas manusia, (4) Desain perencanaan meliputi kriteria kebijakan dan arah pembangunan serta identifikasi pilihanpilihan aksi adaptasi dan mitigasi, (5) Mengimplementasikan aksi adaptasi dan mitigasi, (6) Memonitor dan mengevaluasi hasil implementasi aksi adaptasi dan memitigasi, (7) Dari hasil monitoring dan evaluasi, selanjutnya didesain suatu manajemen penanganan dan pengelolaan dengan: (i) pendekatan adaptasi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh tekanan perubahan iklim dan tekanan lainnya; (ii) pendekatan mitigasi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penyerapan gas-gas rumah kaca. Konsep tersebut diwujudkan di dalam struktur laporan sebagaimana terlihat pada Tabel I.1. Tabel 1.1 Struktur laporan berdasarkan kerangka kerja Gambar I.3 No Butir Deskripsi Bab 1 Pengenalan dan pendekatan masalah Pendekatan kajian; kondisi dan permasalahan; respon kapasitas pada saat ini; serta tantangan ke depan; isu-isu strategis yang diharapkan akan dikaji sebagai dasar utama perumusan kebijakan dan kegiatan I, II 2 Identifikasi bahaya perubahan iklim Perubahan lingkungan fisik yang dipicu oleh pemanasan global; kondisi saat ini dan proyeksi hingga tahun 2030; dan bahaya lain yang bisa timbul sebagai konsekuensi perubahan fisik tersebut II 3 Identifikasi elemen dan parameter kerentanan Keterpaparan; sensitivitas; dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya perubahan iklim (UN-ISDR, 2004) III 4 Identifikasi potensi dampak dan risiko Potensi dampak dan risiko diperoleh dari analisis bahaya dan kerentanan IV 5 Identifikasi alternatifalternatif strategi adaptasi dan penentuan kegiatankegiatan adaptasi Alternatif-alternatif strategi adaptasi diperoleh dari potensipotensi dampak dan isu-isu strategis; pemilihan strategi adaptasi yang selaras dengan strategi pembangunan nasional; pengelompokan strategi menjadi kegiatan prioritas adaptasi; pengerucutan kegiatan prioritas menjadi kegiatan unggulan; pentahapan kegiatan adaptasi selama lima tahunan (2010-2030) V 8 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Dalam konteks kewilayahan dimana Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, pengkajian dan penyusunan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ini diimplementasikan pada tujuh wilayah pembangunan nasional yang telah ditetapkan oleh Bappenas, yaitu: (1) Sumatra dan sekitarnya, (2) Jawa-Madura-Bali dan sekitarnya, (3) Nusa Tenggara, (4) Kalimantan dan sekitarnya, (5) Sulawesi dan sekitarnya, (6) Maluku, (7) Papua bagian Barat dan sekitarnya. Penerapan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga memperhatikan adanya klaster-klaster di dalam sektor sektor kelautan dan perikanan, antara lain: • Tujuh Jasa Kelautan dan Perikanan, yaitu: (1) Perhubungan Laut, (2) Industri Maritim, (3) Perikanan, (4) Wisata Bahari, (5) Energi Kelautan dan Sumber-daya Mineral, (6) Bangunan Laut, (7) Jasa Kelautan • Sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu: (1) WPP-571: Selat Malaka dan Laut Andaman; (2) WPP-572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda; (3) WPP-573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat; (4) WPP-711: Selat Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; (5) WPP-712: Laut Jawa; (6) WPP-713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; (7) WPP714: Teluk Tolo dan Laut Banda; (8) WPP-715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau; (9) WPP-716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera; (10) WPP-717: Teluk Cendra-wasih, Samudra Pasifik; (11) WPP-718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian timur. • Sembilan Klaster Perikanan Budidaya, yaitu: (1) Serang, Banten; (2) Sumenep, Jawa Timur; (3) Dompu, NTT; (4) Sumba Timur, NTB; (5) Pangkep, Sulawesi Selatan; (6) Gorontalo, (7) Teluk Tomini, Sulawesi Tengah; (8) Mamuju, Sula-wesi Barat; dan (9) Karimun di Riau Kepulauan. • Klaster-klaster secara fisik yang terkait dengan bahaya perubahan iklim. 9 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 1.3.2. Analisis Saintifik Analisis saintifik dilakukan dengan pengumpulan, analisis dan sintesis terhadap berbagai data dan informasi (dokumen, konsultasi, diskusi) yang lebih diperinci sebagai berikut: • Data dan informasi yang bersifat internal diperoleh melalui diskusi intern dengan sub-tim basis saintifik dan sektor-sektor lainnya; • Data dan informasi yang bersifat nasional diperoleh melalui penelusuran dokumen dan peta-peta di berbagai instansi yang berkaitan seperti KKP, Bakosurtanal, BMKG, dan LAPAN; • Data dan informasi yang bersifat internasional yaitu berupa dokumen-dokumen kajian dan laporan dari lembaga seperti IPCC, UNHCC, USGS, dan sebagainya yang diperoleh melalui internet dan diskusi dengan seorang pakar perubahan iklim, yaitu Dr. Irving Mintzer pada bulan Maret 2009. Data dan informasi tersebut kemudian dianalisis dengan tiga jenis analisis yaitu: • Analisis dasar saintifik (scientific basis) terhadap data-data meteorologi dan oseanografi yang bertujuan untuk menyajikan informasi potensi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim. Hasil analisis ini akan disajikan pada Bab II. • Analisis kerentanan dan potensi dampak dimaksudkan untuk menyajikan informasi faktor-faktor apa saja yang menimbulkan kerentanan dan potensi dampak di wilayah pesisir dan perairan Indonesia terhadap perubahan iklim. Hasil-hasil analisis ini akan disajikan berturut-turut pada Bab III dan Bab IV. • Analisis strategi dan penentuan kegiatan-kegiatan adaptasi perubahan iklim. Hasil analisis ini akan dideskripsikan pada Bab V. 1.3.3 Proses Partisipasi Pemangku Kepentingan Partisipasi pemangku kepentingan diikutsertakan dalam proses penyusunan RPI ini melalui beberapa cara diantaranya: • Konsultasi dan diskusi dengan pejabat, peneliti dan pakar dari instansi terkait • Partisipasi tidak langsung melalui situs internet KKP (www.KKP.go.id), yaitu diperolehnya dokumen Rencana Strategis KKP tahun 2005 – 2009 • Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD), Pra-FGD serta rapat-rapat koordinasi dengan KKP dan instansi terkait yang telah dilaksanakan sebanyak 14 (empat belas) kali, baik di Bappenas maupun di KKP (lihat Lampiran I). 10 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2 KOnDisi, PeRmAsALAHAn, DAn TAnTAnGAn seKTOR KeLAuTAn DAn PeRiKAnAn 11 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Sektor Kelautan dan Perikanan melingkupi aspek kewilayahan, lingkungan dan potensinya. Permasalahan yang dihadapi sektor mencakup masalah internal sektor dan masalah eksternal dengan lintas sektor yang terkait, serta respon kapasitas dalam bentuk kebijakan-kebijakan dalam mengantisipasi perubahan iklim. Adapun pembahasan mengenai tantangan sektor ini diwujudkan berupa kajian bahaya, kerentanan serta dampak perubahan iklim dan upaya adaptasi dan mitigasi serta penjabaran isu-isu penting lain yang terkait di dalamnya. 2.1. Wilayah Kelautan, Interaksi dan Fungsinya TerbitnyaUnited Nations Convention on Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) dan kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia, membawa konsekuensi logis bagi bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan. Mandat tersebut menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia harus berdasarkan pada hukum internasional. Hal ini juga memberikan dampak positif terhadap peningkatan luas wilayah pengelolaan kelautan NKRI dimana secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut seluas 5,8 Juta km² (Gambar II.1) yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km², laut nusantara 2.3 juta km² dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km². Disamping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. (KKP, 2008). Kemudian sekitar 50% dari luas wilayah laut Indonesia (5.8 juta km²) merupakan daerah perairan pantai (DPP) yang memiliki potensi sangat penting karena sekitar 70% sumber daya ikan menghabiskan waktu hidupnya di DPP , dan sekitar 90% dari hasil biomassa laut berasal dari DPP. Daerah perairan pantai adalah wilayah perairan yang berada antara ujung paparan benua dengan kedalaman laut sekitar 200 m sampai garis pantai (Gambar II.2). Di dalamnya terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang, estuari, padang lamun, sumber hayati dan nonhayati, serta fasilitas-fasilitas seperti pelabuhan dan pemukiman dan panorama pesisir. Gambar 2.1 Peta perairan Indonesia berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996. 12 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.2 Daerah perairan pantai NKRI dan sekitarnya Dalam konteks ruang dan interaksinya, DPP merupakan pertemuan wilayah darat dan laut, dimana parameter-parameter fisis, kimia dan biologi dari darat, perairan pantai dan perairan laut dalam, atmosfer dan dasar laut, saling berinteraksi dengan sistem yang sangat kompleks. Interaksi ini juga dipengaruhi oleh gaya tarik benda-benda langit (Gambar II.3). Disamping itu terjadi interaksi yang sangat intensif dan dinamis serta saling mempengaruhi antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Daerah ini sangat rentan terhadap tekanan perubahan iklim global kenaikan permukaan laut, ENSO, gelombang badai (storm surges), badai pasang (storm tide atau rob), serta aktivitas manusia baik di darat, seperti pembangunan fasilitas perumahan dan industri di belakang pantai, pembuangan limbah, penggundulan hutan mangrove, erosi, dsb, maupun aktivitas manusia di laut seperti pembuanagn limbah kapal, tumpahan minyak, perusakan terumbu karang, dan sebagainya. Oleh sebab itu pengelolaan wilayah laut tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan wilayah darat. Gambar 2.3 Interaksi-interaksi di daerah perairan pantai (Latief dan Hadi, 2001) 13 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Secara tradisional, DPP merupakan suatu daerah dengan aktivitas ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Beberapa fungsi yang dimilikinya yakni: (1) fungsi dasar: produksi pangan, suplai air dan energi; (2) fungsi sosial: perumahan dan rekreasi; (3) fungsi ekonomi: transportasi niaga, pertambangan, dan pengembangan industri; serta (4) fungsi publik: transportasi publik, pertahanan, penyaluran air buangan, dan sebagainya. Daerah ini juga merupakan sumber energi yang dapat diperbahurui seperti: konversi energi panas laut (OTEC), energi arus laut, energi gelombang laut, energi pasang surut, konversi energi dari gradien salinitas, energi dari oceanic bioconvertion. Sedangkan energi yang tidak dapat diperbaharui berupa sumber daya mineral seperti pertambangan terbuka di pesisir dan dasar laut. 2.2. Potensi Sektor Kelautan dan Perikanan Sektor kelautan dan perikanan telah menunjukkan peningkatan kontribusinya terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional, dengan memiliki potensi ekonomi secara keseluruhan senilai US$ 136,5 milyar dengan kontribusi besar dari perikanan, pesisir lestari, bioteknologi laut, wisata bahari dan minyak bumi (KKP, 2005) sebagaimana dapat dilihat pada Gambar II.4 . Gambar 2.4 Potensi ekonomi yang terkait dengan sektor Kelautan dan Perikanan (Diolah dari data KKP, 2005) 2.2.1. Potensi Perikanan Perikanan merupakan salah satu unsur sumberdaya laut yang sangat potensial di Indonesia, karena selain sebagai sumber pangan, perikanan merupakan komoditi perdagangan yang dapat menghasilkan devisa bagi negara, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel II.1. 14 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Tabel 2.1 Ekspor Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama (Kementerian Kelautan dan Perikananl, 2008) KOMODITAS 2005 2006 2007 Volume (Ton) 902.358 857.782 926.478 854.328 845.939 -1,43 -0,98 Udang 142.098 153.900 169.329 157.545 179.409 6,31 13,88 94.221 90.589 91.822 121.316 125.992 8,37 3,85 2 13 2 13 16 309,94 21,47 Tuna Mutiara Rumput laut EKSPOR Rata-rata peningkatan(%) 2004 Lain-lain Value (US$ 1000) 2008*) 2004 - 2008 2007 - 2008 51.011 69.264 95.588 94.073 95.125 18,33 1,12 615.027 544.015 569.736 481.381 445.397 -7,45 -7,48 19,91 1.780.833 1.912.926 2.103.471 2.258.920 2.708.678 11,17 Shrimp 892.452 948.121 1.115.963 1.029.935 1.220.428 8,68 18,50 Tuna 243.938 245.375 250.557 304.348 337.896 8,80 11,02 Mutiara Rumput laut Lain-lain 5.866 10.735 13.409 12.644 12.694 25,65 0,39 25.296 57.515 49.586 57.522 105.639 53,31 83,65 613.281 651.180 673.957 854.470 1.032.021 14,31 20,78 Catatan : *) Angka sementara a. Potensi Perikanan Tangkap Secara Umum di Indonesia Potensi sumberdaya ikan laut yang diperinci berdasarkan komoditas dan wilayah perairannya di Indonesia (B.E. Priyono, dkk., 1997), yaitu : Sumberdaya ikan pelagis besar. Penyebaran ikan pelagis besar jenis madidihang, tuna mata besar, albakora dapat ditemui di perairan barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar, Laut Maluku dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan utara Irian Jaya, serta Arafura. Untuk jenis tuna sirip biru dapat ditemukan di perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Banda, Laut Flores dan Selat Makasar, serta Laut Maluku dan Teluk Tomini. Sedangkan ikan jenis cakalang bisa ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia kecuali di Laut Jawa, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan. Untuk ikan tongkol penyebarannya berada pada daerah-daerah dekat pantai dan terdapat di semua perairan. Musim penangkapan ikan tuna, cakalang, dan tongkol dapat berlangsung sepanjang tahun. Sumberdaya ikan pelagis kecil. Ikan pelagis kecil yang mempunyai sebaran paling luas adalah ikan lemuru, terdiri atas jenis ikan lemuru (Sardinella lemuru) dan ikan siro dengan konsentrasi daerah penangkapannya berada di perairan Selat Bali, sedangkan penyebarannya mulai dari barat Sumatera, Selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Jenis lain dari pelagis kecil yaitu ikan layang terutama terkonsentrasi di perairan utara dan selatan Sulawesi serta utara Jawa, sedangkan ikan kembung terutama di perairan selatan, barat, dan timur Kalimantan, Selat Malaka serta barat Sumatera. 15 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Ikan teri dapat ditemukan di perairan barat Sumatera, Selat Malaka, selatan dan utara Sulawesi dan timur Sumatera sedangkan ikan tembang terutama di perairan selatan Sulawesi, utara Jawa, Bali/NTT/Timor Timur, Timur Sumatera dan selatan dan barat Kalimantan. Ikan julung-julung banyak ditemukan di perairan Maluku dan Irian Jaya. Sumberdaya ikan demersal Ikan demersal adalah jenis ikan yang hidup di dasar laut dari perairan dengan kedalaman kurang dari 100 m dan menyukai daerah yang berlumpur dan relatif datar. Di Indonesia, perairan yang diduga memiliki potensi ikan demersal tinggi adalah di Teluk Tolo (Sulawesi Tengah) yang merupakan perairan dengan kedalaman relatif dangkal dan luas, kemudian di Laut Arafura yang mempunyai daerah penangkapan ikan demersal yang sangat luas, dan di perairan utara Papua. Sumberdaya udang Potensi sumber daya udang penaeid di Indonesia terdapat di Laut Arafura (Papua) dan merupakan daerah terluas dan terbaik yang dimiliki Indonesia dalam penangkapan udang penaeid sedangkan potensi terbesar udang karang terdapat di Samudera Hindia. Sumberdaya ikan konsumsi perairan karang Sumberdaya ikan konsumsi perairan karang belum dimanfaatkan secara merata, masih terbatas pada daerah-daerah yang mudah dijangkau dan terhadap komunitas tertentu saja. Hanya beberapa jenis yang telah dimanfaatkan secara intensif karena nilai komersialnya tinggi, mudah ditangkap dan kepadatannya tinggi seperti ikan ekor kuning dan ikan pisang-pisang (Caessionidae). Potensi ikan karang terbesar di Indonesia terdapat di selatan Sulawesi. Tingkat pemanfaatan sebagian besar sumberdaya ikan di perairan kawasan barat Indonesia, khususnya di kawasan pantai, dinilai sudah mendekati tingkat maksimum daya dukung sumber dayanya, sebagian sumberdaya bahkan sudah dimanfaatkan secara berlebihan. Sementara itu, sebagian besar sumberdaya ikan di lepas pantai, kawasan timur Indonesia dan di ZEEI sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal. b. Produktivitas Primer Sebagai Indikator Lokasi Penangkapan Ikan Untuk mendukung industri perikanan tangkap maka pengetahuan tentang lokasi di mana ikan-ikan berkumpul adalah faktor yang sangat penting. Lokasi ini merupakan daerah perairan dengan tingkat kesuburan tinggi yang ditandai dengan produktivitas primer. Makin tinggi produktivitas primer di suatu daerah maka tingkat kesuburan perairan tersebut makin tinggi pula. Menurut Nybakken (1992), pengertian produktivitas primer adalah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Jadi produktivitas primer merupakan padanan fotosintesis, meskipun sejumlah kecil produktivitas primer dihasilkan oleh bakteri kemosintetik. Fotosintesis adalah basis dari kebanyakan produksi laut. Di antara tumbuhan laut, fitoplankton mengikat 16 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan bagian terbesar energi, meskipun fitoplankton hanya berada pada suatu lapisan air permukaan yang tipis dimana cukup terdapat sinar matahari. Produktivitas primer di suatu perairan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: cahaya, zat hara (nutrien), dan faktor oseanografi yang akan diuraikan di bawah ini. Faktor Cahaya Fitoplankton hanya terdapat pada lapisan-lapisan atas di mana intensitas cahaya matahari cukup untuk berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya matahari di wilayah tropik yang lautnya cerah dan tidak banyak mengandung partikel dapat menembus sampai kedalaman 100 – 120 m dimana mungkin masih cukup besar bagi berlangsungnya fotosintesis (Nybakken, 1992). Faktor Zat Hara (Nutrien) Zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak ialah nitrogen (sebagai nitrat, NO3) dan fosfor (sebagai fosfat, PO42-). Kedua unsur utama tersebut mempunyai arti yang penting karena kadarnya dalam laut relatif kecil dan oleh karenanya menjadi pembatas bagi produktivitas fitoplankton. Samudera yang tersubur hanya mengandung 0.00005 % nitrogen, jumlah ini sama dengan 1/10000 jumlah nitrogen yang terdapat dalam tanah (Nybakken, 1992). Zat hara hanya dapat dimanfaatkan pada zona fotik yang merupakan suatu persediaan yang sangat berarti dan dapat meningkatkan produksi. Faktor Oseanografi Persediaan zat hara dalam jumlah yang sangat besar terdapat di bawah zona fotik. Zat hara ini hanya dapat dimanfaatkan jika terdapat faktor oseanografis berupa upwelling (pemindahan massa air dari lapisan bawah ke permukaan) yang dapat menaikkan zat hara tersebut ke zona fotik. Hasill-hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai perairan di wilayah Indonesia (Nontji, 1993) menunjukkan bahwa upwelling telah dapat diketahui dan dibuktikan dengan pasti di beberapa daerah tertentu, akan tetapi di beberapa daerah lainnya masih merupakan dugaan yang masih perlu dikaji lebih lanjut (Gambar II. 5). 17 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Gambar 2. 5 Distribusi daerah upwelling di perairan Indonesia (Nontji, 1993) c. Pola Waktu Potensi Penangkapan Ikan di Indonesia Daerah upwelling di Indonesia selalu bergerak mengikuti perubahan angin monsun mengingat wilayah laut yang sangat luas tersebut dipengaruhi oleh iklim monsun. Menurut Susanto (2000), daerah upwelling di laut sebelah barat Sumatra dan sebelah selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dipengaruhi oleh dua musim, yaitu monsun tenggara dan monsun barat laut, yaitu pada kondisi normal. Pada monsun tenggara (Mei-September) berhembus angin yang bergerak sejajar dengan pantai selatan Pulau Jawa yang bertiup dari Australia ke arah khatulistiwa. Tiupan angin ini menyebabkan gerakan massa air permukaan ke arah lepas pantai selatan Jawa. Akibatnya terjadi kekosongan massa air di sebagian besar pantai selatan Jawa. Sebagai kompensasi, maka massa air dari bagian bawah bergerak ke atas (upwelling) mengganti kekosongan massa air tersebut. Pergerakan massa air ke atas ini tentu disertai pula dengan naiknya zat hara ke permukaan. Dengan demikian produktivitas primer di daerah tersebut akan tinggi. Kejadian ini dimulai intensif pada sekitar bulan Mei–Juni di pantai selatan Jawa Timur. Pada bulan berikutnya yaitu antara Agustus sampai Oktober angin monsun tenggara semakin menguat. Penguatan angin tenggara ini menyebabkan pusat upwelling bergerak ke pantai barat Sumatera. Pusat upwelling lalu beralih di sekitar Pulau Enggano. Di wilayah lain, terdapat pula upwelling yang sifatnya temporer, yaitu di Selat Makassar (Wyrtki, 1961). Selama angin monsun tenggara bertiup massa air dari Laut Flores bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar, dan bergabung menuju Laut Jawa. Keadaan ini membuat air dari lapisan bawah Selat Makassar bergerak ke atas mengganti kekosongan massa air tersebut. Keadaan ini ditandai dengan salinitas permukaan yang tinggi pada bulan Juni dan Juli. 18 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.2.2. Potensi Jasa Kelautan dan Kemaritiman Potensi dan kondisi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman saat ini serta kendala dan permasalahan yang dihadapi dipaparkan berikut ini (KKP, 2009b): a. Perhubungan Laut Jasa perhubungan laut mempunyai nilai strategis dalam mewujudkan konsep wawasan nusantara dan mengokohkan ketahanan nasional. Dari potensi jasa ini sebesar 20 milyar USD per tahun, armada asing mendominasi sekitar 92,9% untuk pangsa pasar ekspor impor, dan 71% untuk pangsa pasar domestik. Jasa ini mengimplementasikan dua macam pendekatan untuk mengelola kepelabuhan yaitu optimalisasi keseimbangan suplai dan kebutuhan pada suatu pelabuhan (pendekatan mikro) dan optimalisasi beban jaringan antar pelabuhan (pendekatan makro). Namun upaya-upaya tersebut menghadapi beberapa kendala seperti masih kurangnya sarana dan prasarana keselamatan pelayaran dan implementasi dari standar keselamatan transportasi laut, yang berakibat aksesibilitas ke pulau-pulau kecil dan pesisir terpencil belum memadai. b. Industri Maritim Inti dari industri maritim adalah industri pembuatan kapal, pemeliharaan dan perbaikan kapal, serta penunjang perkapalan yaitu peralatan navigasi, komunikasi dan keselamatan, instalasi pembersihan air balas. Industri maritim ini berkembang seiring dengan meningkatnya aktivitas eksplorasi dan eksploitasi sumber migas di lepas pantai. Saat ini sekitar 240 industri perkapalan nasional telah menyumbang ekspor produk kapal dan komponennya dengan nilai sekitar 211 juta USD, tapi hal itu masih belum sepadan dengan nilai impornya yang lebih besar yaitu sekitar 803 juta USD (tahun 2006). Minat perusahaan swasta untuk berinvestasi di bidang ini masih kurang mengingat tidak cukupnya permintaan dan pasokan pasar relatif terhadap investasi besar yang harus ditanamkan. Akibatnya kebutuhan perkapalan nasional untuk mencakup seluruh wilayah yang sangat luas (termasuk ZEEI) dan seluruh pulau kecil yang banyak sekali masih belum bisa dipenuhi. c. Perikanan Jasa perikanan ini meliputi industri perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan perikanan, dan bioteknologi kelautan. Perairan Indonesia memiliki potensi lestari sumberdaya ikan sekitar 6,4 juta ton per tahun dimana 80 persennya adalah jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Potensi perikanan tangkap dan budidaya masing-masing sekitar 15 milyar USD dan 31 milyar USD. Produksi perikanan bertambah dari 6,87 juta ton (2006) menjadi 8,71 juta ton (2008) sehingga meningkatkan jumlah Unit Pengolahan Ikan dari 45% (2005) menjadi 55,2% (2008). Namun demikian industri pengolahan perikanan di Indonesia masih jauh tertinggal terhadap negara-negara di kawasan ASEAN. Kendala utama jasa perikanan ini adalah tingginya angka kemiskinan dan kurangnya pengetahuan 19 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan dari nelayan sehingga mereka kurang memanfaatkan IPTEK untuk mengeksplorasi besarnya potensi perikanan. Di samping itu terdapat masalah-masalah antara lain penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) yang terjadi di Laut Jawa dan Selat Malaka, kerusakan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, masalah pendangkalan pada pelabuhan-pelabuhan perikanan tradisional. Sementara itu bioteknologi laut diidentifikasi memiliki potensi sebesar 40 milyar USD per tahun. Dalam realisasinya, dari potensi sekitar 35 ribu spesies biota laut untuk bahan obat-obatan, baru sekitar sepertujuhnya saja yang bisa dimanfaatkan. Beberapa jenis budidaya sudah mulai diteliti dan dikomersialkan antara lain: koral, rumput laut, dan kerang mutiara. Kendalanya adalah keterbatasan informasi ilmiah yang dimiliki untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati laut, serta adanya konflik kepentingan antara tujuan konservasi dan pemanfaatan industri bioteknologi laut. d. Wisata Bahari Pada dasarnya wisata bahari dilaksanakan untuk memanfaatkan keindahan alam Indonesia. Bentuk-bentuk wisata bahari antara lain: sailing, boating, surfing, scuba diving, fishing, fishing village, tropical gardens, ocean front walking trains, dan wisata kapal pesiar. Potensi wisata bahari ini telah diidentifikasi senilai 2 milyar USD. Potensi wisata ini didukung oleh beberapa faktor antara lain tersedianya kawasan konservasi yang memiliki keanekaragaman tinggi dan spesifik, adanya 700 jenis terumbu karang seluas 50 ribu km2 yang dihuni oleh 263 jenis ikan hias, situs arkeologi bawah air. serta keunggulan komparatif yang berupa: bentuk negara kepulauan, keanekaragaman hayati, keindahan alam, keanekaragaman budaya dan kesenian, biaya hidup rendah. Namun demikian sektor ini memiliki masalah antara lain kerusakan lingkungan karena pencemaran, tingginya aktivitas manusia, eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan bencana alam, serta konflik pemanfaatan ruang perairan untuk wisata bahari dan perikanan tradisional. e. Energi Kelautan dan Sumberdaya Mineral Energi kelautan merupakan energi alternatif atau nonkonvensional yang dihasilkan dari konversi gaya mekanik, gaya potensial, dan perbedaan temperatur air di permukaan dan kedalaman laut. Jumlah potensi energi tersebut sebenarnya cukup besar, misalnya energi pasut sekitar 3 ribu MW, energi panas laut (OTEC) sekitar 240 ribu MW, energi arus laut sekitar 80-90 MW, energi gelombang sekitar 4,3 KW. Namun demikian upaya pemanfaatan energi nonkonvensional dari laut ini masih sebatas riset murni yang dilakukan oleh perguruan tinggi, institusi litbang, dan lembaga penelitian sub sektor kelistrikan. Komersialisasi hasil-hasil penelitian tersebut belum dilakukan. Pemanfaatan energi alternatif yang dilakukaan pemerintah adalah mendistribusikan pembangkit-pembangkit listrik skala mikro seperti energi angin dan energi surya di daerah-daerah terpencil. Beberapa kendala antara lain: belum ada regulasi yang mengoordinasikan dan mengarahkan riset energi kelautan, belum adanya pemetaan rinci potensi energi kelautan di Indonesia secara menyeluruh, masih rendahnya penguasaan IPTEK konversi energi kelautan, dan belum tersedianya teknologi konverter yang 20 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan memungkinkan rasio elektrifikasinya layak jual Sementara itu dasar lautan Indonesia juga mengandung potensi yang berupa kondisi geologi dasar laut yang terdiri dari berbagai jenis mineral polymetallic nodule dan polymetallic crust dengan konsentrasi tinggi, deposit pasir laut dengan mineral kuarsa tinggi sekitar 90%, dan deposit hidrothermal mengandung ikatan sulfur dan mineral emas. Problemnya adalah survei potensi mineral belum optimal dan fokus karena membutuhkan dana yang besar dan belum berjalannya koordinasi antar institusi kebumian dan kelautan. Potensi mineral garam juga tidak kalah pentingnya dimana terdapat lahan penggaraman sekitar 37 ribu ha. Namun potensi tersebut baru setengahnya yang telah dimanfaatkan mengingat berbagai kendala antara lain: rendahnya tingkat produktivitas, belum terpenuhinya standar kualitas produksi garam, kurangnya infrastruktur, modal, dan penguasaan teknologi, disertai luas lahan yang terbatas dan lokasi ladang garam yang tersebar. f. Bangunan Laut Bangunan laut terdiri dari dermaga pelabuhan, anjungan minyak lepas pantai, kabel dan pipa bawah laut, bangunan penahan gelombang. Sebagai gambaran, pada saat ini terdapat 450 anjungan lepas pantai dan sekitar 968 pelabuhan perikanan. Bangunan-bangunan laut tersebut mengalami permasalahan teknis seperti belum adanya pedoman teknis penataan bangunan laut, serta belum diperhitungkannya potensi dampak perubahan iklim terhadap elevasi bangunan dan kekuatan struktur fasilitas/bangunan laut. g. Jasa Kelautan Jasa-jasa kelautan lainnya meliputi pencarian dan pengangkatan barang muatan kapal tenggelam (BMKT), pemanfaatan air laut dalam, dan reklamasi pesisir. Potensi BMKT pada saat ini adalah terdapatnya 463 lokasi kapal tenggelam, di antaranya 245 kapal VOC. Namun pemanfaatannya terkendala oleh beberapa faktor seperti belum adanya pemahaman, harmonisasi, dan sinkronisasi dari berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan BMKT, serta belum terkoordinasinya pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan BMKT. Pemanfaatan air laut dalam sebagai bahan baku disalinasi untuk air minum sudah mulai diteliti, yaitu pada jalur Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa air laut dalam dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Lokasi potensi air laut dalam ini terdapat di Laut Sulawesi, Selat Makasar, Selat Lombok, Laut Flores, Selat Ombay, Laut Banda, Papua bagian utara, Laut Maluku, Samudra Hindia. Namun upaya ini mendapat kendala berupa kebutuhan dana yang besar untuk riset dan eksploitasinya serta belum dikuasainya data dan IPTEK yang terkait air laut dalam. Reklamasi dilaksanakan pada suatu areal pesisir dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah pada wilayah dan sumberdaya pesisir tersebut. Saat ini kegiatan reklamasi dipandang sebagai suatu solusi terhadap masalah pertumbuhan kebutuhan ruang yang ada, misalnya di DKI Jakarta, Manado, Makasar, dan Pulau Nipah. Kegiatan ini menghadapi kendala berupa belum adanya peraturan dalam pemanfaatan 21 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan lahan pesisir hasil reklamasi, belum adanya dokumen perencanaan zonasi wilayah pesisir, dan potensi timbulnya masalah lingkungan di sekitar kawasan reklamasi selama dan sesudah proses reklamasi 2.3. Kondisi dan Permasalahan Sektor Kelautan dan Perikanan Saat Ini 2.3.1. Kondisi Sektor Kelautan dan Perikanan Kondisi lingkungan sektor kelautan dan perikanan dapat dilihat dari ekosistem laut, pesisir dan pulaupulau kecil karena pengaruhnya pada tingkat produktivitas sumberdaya (KKP, 2005). Ekosistem tersebut meliputi terumbu karang, mangrove, estuaria dan padang lamun, dan budidaya laut. Secara umum kondisi ekosistem tersebut telah mengalami degradasi fisik dengan laju yang dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya. Sebagai contoh: Terumbu karang yang mencapai luas lebih dari 60.000 km2 telah rusak sekitar 40%. Faktor penyebabnya adalah: (i) kegiatan manusia (penangkapan ikan dengan alat yang merusak, pencemaran, eksploitasi yang berlebihan, dan sebagainya), dan (ii) faktor alam (El-Nino dan La-Nina, badai, gempa bumi, dan banjir). Demikian pula hutan mangrove yang berkurang luasannya dari 5,21 juta ha menjadi 2,5 juta ha pada kurun waktu 12 tahun (1982–1993), antara lain karena konversi menjadi lahan tambak khususnya di Sumatra bagian selatan, Sulawesi bagian selatan dan Kalimantan Timur, serta menjadi lahan industri terutama di Jawa dan Bali. Kondisi sosial sektor Kelautan dan Perikanan didominasi oleh masyarakat nelayan, pembudidaya perikanan, dan masyarakat pesisir lainnya. Kepedulian masyarakat pada pembangunan sektor ini ditandai dengan meningkatnya partisipasi dan kerjasama antara pemerintah dan pemerintah daerah dengan berbagai pihak seperti masyarakat pesisir itu sendiri, LSM, perguruan tinggi, dan media massa. Pada kondisi perekonomian, KKP telah dan sedang melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan 3 (tiga) pilar pembangunan (KKP, 2009), yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), dan pro-growth (pertumbuhan ekonomi). Terdapat 3 (tiga) outcome yang ditargetkan pada tahun 2009 ini untuk masing-masing strategi tersebut, yaitu: (1) peningkatan pendapatan masyarakat pesisir melalui program pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan dan program pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau kecil yang telah menjangkau lebih dari 200 kab/kota, (2) peningkatan penyerapan tenaga kerja kumulatif yang mencapai 7,69 juta orang, dan (3) pertumbuhan ekonomi sektor Kelautan dan Perikanan sebesar 5,7%. KKP berusaha menjadikan sektor ini sebagai prime-mover pembangunan nasional ke depan, dengan mengusulkannya menjadi bidang pembangunan sendiri dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010–2014. Oleh sebab itu KKP telah menambah dua pilar lagi pada Rencana Strategis tahun 2010 – 2014, yaitu strategi pro-business dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah di bidang kelautan dan perikanan dan pro-sustainable melalui pemulihan dan pelestarian lingkungan perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. 22 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 2.3.2. Permasalahan Kelautan dan Perikanan Permasalahan internal yang dihadapi pada umumnya berkisar pada belum optimalnya pengelolaan dan pengembangan sektor Kelautan dan Perikanan seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pemanfaatan pulau-pulau kecil, konservasi laut, potensi kelautan non-konvensional, serta lemahnya penegakan hukum seperti illegal fishing dan sebagainya. Di lain pihak, sektor kelautan dan perikanan menghadapi masalah eksternal terutama masih rendahnya kesadaran bangsa tentang strategisnya sumberdaya kelautan bagi kemakmuran bangsa, yang ditandai antara lain dengan belum kondusifnya kebijakan moneter, fiskal, dan investasi, tata ruang dan pengendalian pencemaran, kepastian hukum dalam berusaha serta penegakan hukum. Permasalahan yang dihadapi khususnya di perairan pantai adalah degradasi atau penurunan habitat lingkungan pantai disebabkan oleh polusi domestik dan industri, eksploitasi sumberdaya laut secara berlebihan (over-fishing), kehilangan terumbu karang, hutan bakau, aktivitas reklamasi, pengerukan dan erosi. Penyebab lainnya adalah pemukiman atau aktifitas pengambilan sumber daya seperti pembabatan hutan dan pertambangan. Hal lain adalah penurunan nilai atau hilangnya situs sejarah, budaya, dan arkeologi disebabkan oleh pembangunan hotel serta aktivitas pengembang lainnya. Polusi di daerah pantai yang berasal dari daerah tangkapan sungai (catchment area) umumnya disebabkan oleh sedimen dari erosi akibat penggundulan hutan dan pertambangan, nutrient dari buangan penduduk dan run-off dari pertanian, residu pestisida dari pertanian dan akuakultur, pengoperasian kapal, tumpahan minyak dari tabrakan kapal dan anjungan pengeboran minyak, polusi termal dari saluran buangan Power plant, polusi air buangan industri. Beban polusi ini sangat berkorelasi dengan kepadatan penduduk dan tingkat produktivitas pertanian termasuk ternak dan tambak. Pengambilan ikan yang berlebihan pada daerah perairan pantai bahkan di lepas pantai sering terjadi di daerah yang berpopulasi tinggi. Indikator over-fishing ini biasanya ditandai dengan kegagalan penangkapan per unit usaha. Penyebab lain dari menurunnya stok ikan adalah akibat degradasi ekosistem sebagai wadah pendukung perkembangbiakan ikan. Kehilangan hutan mangrove sebagai tempat pembiakan ikan dan udang serta perusakan akibat teknik penangkapan ikan yang tidak berkesinambungan seperti penggunaan dinamit dan sianida juga memberi kontribusi terhadap penurunan mutu ladang perikanan. Degradasi terumbu karang diakibatkan oleh peledakan serta teknik penangkapan ikan yang merusaknya. Penambangan terumbu karang disamping merusak juga menyebabkan tidak adanya penahan ombak sehingga akhirnya menyebabkan erosi di pantai serta perubahan profile dasar laut. Penyebab kerusakan terumbu karang adalah: (1) Aktivitas pariwisata: kerusakan ini akibat jangkar dari perahu-perahu pengunjung, diinjak-injak atau diambil sebagai koleksi oleh wisatawan. (2) Polusi: kerusakan ini akibat sedimentasi yang terbawa oleh sungai, eutrofikasi (overfertilization) yang terbawa oleh air buangan dari hotel atau perumahan di pantai, sedimentasi yang ditimbulkan oleh pertambangan lepas pantai. (3) Perikanan: kerusakan ini akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bom atau racun yang menyebabkan terjadi kematian terumbu karang. (4) Pembangunan: penambangan terumbu karang untuk bahan/material bangunan. 23 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Degradasi hutan mangrove disebabkan karena nilai ekonomi hutan mangrove yang sangat penting, sehingga terjadi eksploitasi hutan mangrove yang berjalan sangat cepat. Kerusakan ini dikarenakan oleh cara potong bersih (clear-cutting) sehingga mangrove tidak dapat ber-regenerasi yang akibatnya terjadi perubahan komposisi tumbuhan dalam hutan mangrove. Penyebab hilangnya hutan mangrove ini akibat konversi ke tambak, sawah dan pelabuhan serta aktivitas pengembangan lainnya seperti perumahan, hotel, dan sebagainya. Degradasi lingkungan pesisir yang umumnya disebabkan oleh tekanan aktivitas pemenuhan kebutuhan ummat manusia semakin diperparah dengan adanya perubahan iklim. Degradasi ini dapat mengubah lingkungan pesisir dan laut serta biota dan keragaman hayati yang ada didalamnya. 2.4. Respon Kapasitas terhadap Perubahan Iklim Saat Ini Kapasitas yang diperlukan dalam menghadapi isu perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan adalah kelembagaan yang sekaligus mencakup sumber-daya manusia, riset, pengawasan, pengendalian, hukum dan kebijakan. 2.4.1. Respon Kelembagaan Saat Ini Pada tingkat politik dan kebijakan Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang tinggi dalam mengantisipasi isu perubahan iklim dengan menyelenggarakan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Bali Desember 2007 yang menghasilkan Bali Road Map. Hasil tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) di Manado pada tanggal 14 Mei 2009 yang lalu. Konferensi kelautan ini menghasilkan kesepakatan dari 74 negara dan 13 lembaga internasional yang dituangkan dalam Manado Ocean Declaration (MOD). Beberapa kesepakatan yang tertuang dalam MOD antara lain: • Perlunya strategi nasional pengelolaan ekosistem pesisir dan laut yang berkelanjutan sebagai upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim • Perlu diimplementasikannya pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu untuk mengurangi resiko dan kerentanan (vulnerability) masyarakat pesisir beserta infrastrukturnya. • Perlu dilakukannya riset ilmiah, monitoring kelautan terpadu dan ber-kelanjutan, serta membangun kesadaran masyarakat. Pada tingkat teknis, kelembagaan atau institusi yang melaksanakan dan mengelola aksi adaptasi perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan sebenarnya sudah ada sejak tahun 2005 yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dimana terlihat dari beberapa butir pada Rencana Strategisnya tahun 2005–2009 (KKP, 2005). Sebagai contoh, Misi ke-3 (memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan; lihat Tabel L.2) pada mulanya diarahkan pada isu lingkungan hidup, namun ternyata juga telah mencakup isu perubahan iklim. Beberapa kegiatan pokok 24 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan di antaranya juga berkaitan dengan strategi adaptasi perubahan iklim antara lain (1) pengelolaan dan pengembangan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria; (2) penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil; (3) pemeliharaan dan peningkatan pengelolaan ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil; serta (4) peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut dan prakiraan iklim laut. Demikian pula dengan Misi-1 yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, pembudidaya ikan, dan pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya dan Misi-2 yaitu meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, turut mendukung dan memperkuat upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Beberapa kegiatan pokok di antaranya juga relevan dengan strategi adaptasi antara lain (1) pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan; (2) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan; (3) diseminasi dan asimilasi hasil riset dan pengembangan iptek kelautan dan perikanan; (4) pengembangan kawasan budidaya laut, air payau, dan air tawar; (5) pengembangan pelabuhan perikanan dan kapal perikanan; pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan; (6) pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil dan memfasilitasi pengelolaan wilayah pesisir terpadu; (7) peningkatan kapasitas sumberdaya riset kelautan dan perikanan. Di antara unit-unit kerja di dalam KKP yang telah banyak merespon isu-isu perubahan iklim adalah Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (Dirjen KP3K). Bidang tugas dari unit kerja tersebut lebih banyak bersifat kewilayahan dan lintas sektoral, disamping fungsi melaksanakan konservasi pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dengan lingkup kerja ini maka Ditjen KP3K telah melaksanakan respon terhadap isu perubahan iklim seperti: • Program MCRMP (Marine and Coastal Resource Management Project) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/ Kota dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawab menggali, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam di pesisir dan laut yang berada dalam wilayah-nya. Program ini telah dilaksanakan pada tahun 2001 – 2009 di 15 provinsi di Indonesia (sumber: http://www.dkp.go.id/index.php/ind/menu/31/ mcrmp). • COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) adalah suatu program yang bertujuan untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karang, yaitu dengan memetakan kondisi eksisting, merehabilitasi dan memelihara, melalui pengawasan dan penyuluhan kepada pemangku kebijakan, serta penguatan kelembagaan, dan lain-lain. Program ini telah dilaksanakan di beberapa provinsi seperti Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengggara, dan Papua (sumber:www.coremap.or.id). Begitu pula dengan program-program tahunan KKP yang dilaksanakan di seluruh provinsi mendukung upaya adaptasi perubahan iklim seperti program rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut, dan konservasi dan pemberdayaan pulau-pulau kecil. 25 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 2.4.2. Kerangka Hukum dan Kebijakan Tingkat Nasional Saat Ini Masalah pada kapasitas hukum dan kebijakan terhadap adaptasi perubahan iklim adalah belum tersedianya hukum dan perundangan yang secara langsung atau spesifik mengatur hak dan kewajiban dari warga negara dan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan adaptasi terhadap bahaya alam yang dipicu oleh perubahan iklim. Namun demikian beberapa Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah saat ini telah menjadi modal dasar untuk dapat mengatur pelaksanaan adaptasi perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan, antara lain: Undang-Undang • Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. • Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. • Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20052025. • Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.. • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. • Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Sisrenbang Kelautan). • Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SDM Kelautan). • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Litbang Kelautan. SISNAS-LITBANG Penegakan Ketaatan dan Hukum Laut. • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. • Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. • Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Wisata Bahari). • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan 26 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Ekosistemnya. • Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia. • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Industri Kelautan). • Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen. • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan (Pertambangan di Laut). Peraturan Pemerintah • Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran serta Lembaga Internasional & Lembaga Asing Non-pemerintah pada Penanggulangan Bencana • Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. • Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah Tentang Tahapan Tata Cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah • Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. • Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. • Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 • Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana. • Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut • Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Perlindungan Kawasan Lindung. • Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL dalam kegiatan pembangunan lahan basah Penyesuaian Hukum dan Kebijakan yang Belum Ada Mengingat belum adanya hukum dan perundangan yang mengatur secara spesifik dan langsung tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim maka pelaksanaannya dapat merujuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dimana di dalamnya mengikat bagi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tidak selamanya sama atau serupa dengan karakter 27 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan bencana yang dimaksudkan pada Undang-Undang tersebut di atas, dimana regulasi dan kebijakan pemerintah yang ada hingga saat ini masih mengambil asumsi bahwa bencana alam selalu bersifat masif dan mendadak seperti banjir, badai, gelombang badai, tsunami, dan sebagainya. Padahal bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim bisa terjadi secara perlahan-lahan (slow onset) namun pasti seperti kenaikan suhu dan kenaikan muka air laut. Dalam mengakomodasi kekhasan karakteristik bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim maka perlu adanya penyusunan hukum dan kebijakan tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan/atau penyesuaian hukum dan kebijakan yang telah ada seperti Undang-Undang tersebut di atas. 2.5. Bahaya Perubahan Iklim terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan Perairan yang menutupi sekitar 71% dari permukaan bumi berperan penting sebagai penerima, penyimpan, dan pendistribusi panas yang diserap dari radiasi sinar matahari melalui sistem sirkulasi arus laut dari daerah sekitar ekuator ke arah kedua kutub. Sirkulasi termohalin menjadi sistem penyimpan energi dimana energi panas yang diterima permukaan air laut diangkut dan didistribusikan masuk ke laut dalam selama ribuan tahun. Melalui distribusi energi panas ini terjadilah proses penguapan air dari permukaan laut yang menyediakan energi panas laten ke atmosfer dan menstimulasi siklus hidrologi yang bisa membangkitkan badai dan siklon. Temperatur laut mempengaruhi kenaikan muka air laut secara langsung melalui kontrol terhadap panas dan tidak secara langsung melalui energi panas pantulan dari atmosfer yang mempengaruhi gunung es, lapisan es di kutub, dan siklus hidrologi. Penyerapan karbon dioksida oleh laut secara alamiah dapat mengimbangi energi panas dari atmosfer ini. Sistem kesetimbangan antara laut dan atmosfer pembentuk iklim seperti di atas akhir-akhir ini terganggu oleh aktivitas manusia di muka bumi yang menimbulkan peningkatan produksi gas-gas rumah kaca (GRK) sehingga menimbulkan perubahan iklim global. Perubahan iklim ini dapat memicu beberapa bahaya alam di lingkungan laut dan pesisir yang diidentifikasi dan dikaji oleh Working Group I of the Intergovernmental Panel on Climate Change (WG1-IPCC) sebagai berikut: 1. Kenaikan temperatur air laut (untuk selanjutnya diberi kode: KTPL) 2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon) (kode: PKCE) 3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang menimbulkan bahaya lanjutan berupa: • Perubahan pola curah hujan dan aliran sungai (kode: PVI-CH) • Perubahan pola sirkulasi angin dan arus laut (kode: PVI-AAM) 4. Kenaikan muka air laut (kode: KML atau SLR) 28 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Bahaya-bahaya tersebut di atas dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya dimana suatu daerah berpotensi mengalami berbagai gaya-gaya iklim atau bahaya-bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim sekaligus. Australian Greenhouse Office (2005) menjelaskan pengaruh perubahan iklim terhadap bahaya yang akan timbul di wilayah pesisir dan laut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar II.6 berupa: • badai yang mempengaruhi curah hujan dan limpasan permukaan, • badai yang terkait dengan angin dan tekanan, serta • perubahan muka laut (variabilitas musiman, ENSO dan IPO). Perubahan-perubahan tersebut di atas kemudian berpengaruh terhadap: (A) suplai sedimen, (B) gelombang dan swell (alunan gelombang), (C) arus laut, (D) badai pasut, (E) perubahan muka air laut. Sedangkan faktor eksternal lainnya yang tidak terkait langsung dengan perubahan iklim adalah pasut dan (F) tsunami, dimana pasut dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda angkasa luar terutama bulan dan matahari, sedangkan gelombang tsunami ditimbulkan oleh aktivitas tektonik, vulkanik, dan tanah longsor bawah laut. Seluruh elemen dari (A) sampai dengan (F) ini perlu ditinjau dalam menganalisis bahayabahaya yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir dan laut. Gambar 2.6 Keterkaitan antara satu bahaya dengan bahaya lain yang dipicu oleh perubahan iklim terhadap sektor Kelautan dan Perikanan (diadopsi dari Australian Greenhouse Office, 2005) 29 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.5.1. Kenaikan Temperatur Udara dan Temperatur Permukaan Laut Interkasi laut dan atmosfer terjadi dalam berbagai skala waktu dalam mengontrol baik temperatur udara dan permukaan laut. Skala waktu ini bervariasi dari harian (siang-malam), musiman, antar dekade (10 tahunan) hingga abad (100 tahunan). Laju kenaikan temperatur udara dapat diamati dengan menganalisis tren datanya, seperti yang dilakukan oleh Diposaptono (2009) untuk kota Jakarta dan Semarang (Gambar II. 7) dimana terjadi kenaikan temperatur udara rata-rata dari 25.5oC menjadi 27.5.oC atau sekitar 3.0oC selama kurung waktu 125 tahun (1865-1990) atau laju kenaikan temperatur udara sekitar 0.024 oC/tahun. Gambar 2. 7 Tren kenaikan temperatur udara di Jakarta dan Semarang Analisis kenaikan temperatur permukaan laut (TPL) juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti: • Levitus dkk (2000) meneliti dan menganalisis sekitar 5 juta data profil TPL pada kedalaman laut antara 0–300 meter (hingga kedalaman 3000 meter) dan menunjukkan bahwa terdapat kenaikan TPL secara global sekitar 0.31oC antara tahun 1948–1998 atau laju kenaikan TPL 0.0062 oC/tahun yang berarti sudah terjadi sejak selesainya Perang Dunia II. • Aldrin (2008) memperlihatkan tren kenaikan TPL di beberapa stasion di wilayah tengah dan barat perairan Indonesia (Gambar II.8.a) dengan hasil pengukuran diperlihatkan pada Gambar II.8.b, dengan laju kenaikan TPL untuk masing-masing statsion berbeda-beda dengan variasi kenaikan berkisar antara 0.008 oC/tahun di Halmahera hingga 0.0268 oC/tahun di Makassar (Gambar II.8.c). 30 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.8 (a) Posisi titik mooring pengukuran TPL, (b) hasil pengukuran (c) Laju kenaikan TPLuntuk setiap stasion (sumber data: Aldrin, 2008) • Sofian (2009) menggunakan model proyeksi kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Gambar II.9) dan dari IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan model MRI_CGCM3.2 (Gambar II.10). Gambar-gambar tersebut menunjukkan adanya kenaikan temperatur laut rata-rata sebesar 0,65oC, 1.10 o C, 1.70 oC dan 2.15 oC masing-masing pada tahun 2030 2050, 2080 dan 2100 terhadap temperatur pada tahun 2000. Tren kenaikan TPL tertinggi terjadi di Samudera Pasifik, sebelah utara Pulau Papua, dan yang terendah terjadi di pantai selatan Pulau Jawa. Gambar 2.9 Tren kenaikan TPL berdasarkan data NOAA OI (Sofian, 2009) 31 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.10 Tren kenaikan TPL berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) menggunakan model MRI_CGCM3.2 (Sofian, 2009) • Selanjutnya NOAA PMEL (2003) dalam Diposaptono (2009) menyajikan variasi TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru), serta temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (coral bleaching) (garis merah) di daerah Raja Empat, Papua. Bila TPL musiman melewati garis ambang maka terjadi pemutuhin karang sesaat (seperti tahun 1992 dan 1998), dimana pada kondisi normal karang tersebut akan pulih kembali. Namun bila tren kenaikan TPL (garis biru) akan terus naik hingga di masa datang dan melewati temperatur ambang batas (garis merah), maka terjadi pemutihan karang secara permanen. 32 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.11 Variasi musiman TPL (garis hitam) dan tren kenaikan TPL (garis biru) serta temperatur ambang terjadinya pemutihan karang (garis merah) 2.5.2. Peningkatan Frekuensi dan Intensitas Kejadian Cuaca Ekstrim Kenaikan TPL ternyata berpengaruh terhadap peningkatan kejadian cuaca ekstrem (badai, siklon). Fenomena ini diungkapkan oleh Saunders dan Lea pada Jurnal Nature edisi 29 Januari 2008 (dalam: USAID, 2009), bahwa setiap kenaikan temperatur muka air laut sebesar 0,5oC berkorelasi dengan peningkatan frekuensi dan aktivitas badai (hurricane) sebesar 40 persen. Badai tropis adalah suatu kawasan dengan radius minimal 100 km2 yang pusatnya berupa kumpulan awan badai. Badai ini biasanya muncul di lintang rendah (5°LU dan 5°LS) yang dipicu dari kumpulan 3 sampai 5 buah awan badai di sekitar ekuator. Makin jauh dari ekuator, makin banyak awan badainya, yang kemudian membentuk ekor awan badai. Dengan demikian, wilayah Indonesia dengan posisi lintang antara 6°LU dan 12° LS beruntung tak mendapat kondisi badai yang dahsyat kecuali awan badai karena badai umumnya berputar menjauhi ekuator. Badai tropis selalu muncul di dua wilayah pada dua musim (Gambar II.12), yaitu: • di selatan wilayah Indonesia pada musim hujan, khususnya di Samudra Hindia mulai barat daya, selatan hingga tenggara wilayah Indonesia, dan 33 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan • di bagian utara pada musim kemarau, khususnya di sekitar Laut Cina Selatan dan sebelah barat Samudra Pasifik Meskipun wilayah Indonesia tidak secara langsung terkena badai siklon, namun ekor badai tersebut serta gelombang laut yang dibangkitkannya sering menerjang pantai-pantai yang menghadap ke Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, Pasifik Barat dan Laut Banda. Gambar 2.12 Daerah terjadinya siklon tropis (diarsir merah); siklon ini tidak terjadi di wilayah Indonesia, tapi imbasnya berupa badai guruh dan angin kencang bisa terasa (catatan BBU=Belahan Bumi Utara, BBS=Belahan Bumi Selatan) Trek lintasan badai tropis di Samudera Hindia diberikan oleh BOM Australia (2006) seperti diperlihatkan pada Gambar II.13. Gambar II.13 Lintasan siklon tropis di Samudera Hindia (BOM Australia, 2006) 34 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Umumnya siklon tropis terjadi pada musim angin barat dan peralihan ke musim angin timur (Desember– April), yang mana paling sering terjadi pada bulan Januari dan Februari (T.W. Hadi, 2008). Pola musiman inilah yang menyebabkan kejadian cuaca ekstrem dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim global. Pola tersebut akhir-akhir ini “diganggu” oleh lebih seringnya kejadian El-Nino dan La-Nina. Selama kejadian El-Nino, daerah yang berpotensi siklon tropis di Pasifik Barat cenderung bergeser ke arah timur menjauhi perairan Indonesia, sebaliknya siklon tropis semakin banyak terjadi selama kejadian La-Nina karena temperatur muka air laut semakin bertambah Badai tropis dapat menimbulkan kondisi alam yang tidak beraturan. Kejadian awan badai bisa disebut ekstrem bila terjadi beberapa fenomena berikut: • Hujan deras berintensitas tinggi (hujan badai), yang dapat menimbulkan dampak turunan seperti banjir dan merusak infrastruktur. • Angin kencang yang berputar dan berubah arah dengan kecepatan 60-350 km/jam (angin badai) yang dapat menerbangkan atap rumah, dan merobohkan pohon dan papan reklame, serta menganggu sistem transportasi laut. • Gelombang badai (storm surges) yang dibangkitkan oleh badai tropis dan dapat menimbulkan gelombang besar dan merambat ke wilayah pesisir, seperti Badai Jacob yang terjadi pada tahun 2007. Badai ini melanda pesisir selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dan menimbulkan dampak kerusakan di wilayah pesisir, erosi pantai, mengganggu pelayaran dan menyebabkan tidak melautnya para nelayan. Melalui pemodelan numerik, Ningsih (2009) menunjukkan adanya pengangkatan muka laut rata-rata (MSL) sekitar 50 cm selama terjadinya badai tersebut (Gambar II.14). Gambar 2.14 Distribusi tinggi gelombang badai sebagai hasil simulasi model di pantai selatan Pulau Jawa (N.S. Ningsih, 2009) 35 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Di daerah pesisir, elevasi muka air laut rata-rata dipengaruhi oleh gelombang badai dan akan lebih meningkat dengan keberadaan gelombang angin yang dipengaruhi oleh musim. Gelombang angin ini dianggap dapat merepresentasikan (proxy) bahaya gelombang badai, karena besar-kecilnya gelombang tergantung pada angin yang membangkitkannya. Pola gelombang angin musiman untuk bulan Januari mewakili kejadian pada musim angin Barat (Gambar II.15.a) dan untuk bulan Agustus mewakili kondisi pada musim angin Timur (Gambar II.15.b). Sedangkan gelombang maksimum yang umumnya terjadi pada bulan Desember diperlihatkan pada Gambar II.15.c. Data gelombang yang digambarkan pada Gambar II.15 diperoleh dari altimeter Significant Wave Height (SWH) dari Januari 2006 sampai Desember 2008 (Sofian, 2009). b. Agustus a. Januari c. Gelombang maksimum Gambar 2.15 Tinggi gelombang rata-rata pada bulan Januari (a) dan Agustus (b), serta gelombang maksimum (Sofian, 2009) 36 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.5.3. Perubahan Pola Curah Hujan dan Limpasan Air Tawar yang Dipicu oleh Perubahan Pola Variabilitas Iklim Pola curah hujan dan limpasan air tawar secara umum dikontrol oleh sistem sirkulasi monsun dengan dua musim utama yakni musim penghujan dan musim kemarau. Berdasarkan periode puncak musim hujan, di Indonesia terdapat tiga tipe daerah iklim (Tjasyono, 1999) yaitu (1) monsunal (satu puncak musim hujan antara Desember-Januari-Februari), (2) ekuatorial (dua puncak sekitar April-Mei dan OktoberNovember), serta (3) lokal (satu puncak dominan di sekitar Juni-Juli) (Gambar II.16). Gambar 2.16 Pola curah hujan di atas wilayah Indonesia: (A) Tipe monsunal, (B) tipe ekuatorial, (C) tipe lokal (Tjasyono, 1999) Salah satu fakta yang menguatkan dugaan bahwa telah terjadi perubahan pola curah hujan dan temperatur udara adalah data pengamatan curah hujan dan temperatur udara di Pulau Lombok yang diberikan oleh Hadi, TW. (2008) seperti yang disajikan pada Gambar II.17 37 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan (a) Curah hujan (b) Temperatur udara Gambar 2.17 Fenomena perubahan pola curah hujan (a) dan temperatur udara (b), di Pulau Lombok (Hadi, TW., 2008) Pola curah hujan di Pulau Lombok saat ini (1991-2007) relatif sudah berbeda dengan pola sebelumnya (1961-1990), dimana curah hujan pada bulan Desember saat ini lebih rendah daripada masa sebelumnya, namun hal yang sebaliknya terjadi pada bulan Maret-April. Pola temperatur udara juga mengalami perubahan dimana terlihat ada kenaikan sebesar 0,5oC sd 1oC pada saat ini (1991-2007) relatif terhadap pola sebelumnya (1961-1990), khususnya pada bulan November-April, sedangkan pola temperatur udara pada bulan Mei-Oktober relatif tidak berubah. Hasil analisis yang diberikan oleh Sofyan (2009) pada Gambar II.18 menunjukkan bahwa pada bulan Januari terjadi curah hujan yang tinggi dengan kisaran antara 250 mm sampai 400mm di hampir seluruh wilayah Indonesia. Sementara pada bulan Agustus curah hujan di Indonesia terlihat rendah, terutama pada wilayah di sebelah selatan katulistiwa dengan total curah hujan di bawah 50 mm/bulan. (a)Bulan Januari (b) Bulan Agustus Gambar 2.18 Siklus tahunan rata-rata curah hujan di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus 38 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Pola angin monsoonal atau musim ini mendapat pengaruh dari fenomena El-Nino dan La-Nina. Kedua fenomena tersebut dijelaskan pada laporan basis saintifik oleh Sofian (2009). Pola curah hujan rata-rata musiman di atas dapat dianggap merepresentasikan (proxy) bahaya banjir atau kekeringan akibat fenomena La-Nina dan El-Nino. Pada saat ini kedua jenis variabilitas iklim tersebut semakin kerap terjadi. Pada masa lalu siklus El-Nino sekitar 4-7 tahun (peluang kejadian 25%-14,3%), namun pada tahun 1990–2006 terjadi 6 kali (peluang kejadian lebih dari 40%). Semakin seringnya fenomena El-Nino dan La-Nina juga terlihat dari proyeksi model dalam tahun 2010-2030 (Sofian, 2009), bahkan keduanya bisa terjadi bersamaan dalam suatu tahun (Tabel II.2). Tabel 2.2 Proyeksi kejadian El-Nino dan La-Nina menggunakan skenario SRES a1b (Sumber: Sofian, 2009) Tahun Jan 2010 0,98 2011 1,98 2012 2,75 2013 1,45 2014 2015 2016 1,09 2017 1,09 2018 1,93 2019 2,50 2020 2021 1,51 2022 2023 1,40 2024 2025 2026 0,73 2027 1,38 2028 2029 0,92 2030 Keterangan warna: Feb 0,56 1,91 2,37 1,22 1,18 1,97 2,25 1,03 1,54 Mar 1,63 1,61 Apr 1,18 1,28 1,00 1,30 1,80 1,85 0,68 1,36 1,39 1,50 1,09 1,32 0,71 2,00 1,91 1,49 0,80 1,11 0,89 Mei 1,48 Jun 1,23 1,53 Jul 1,44 2,21 Ags 1,74 1,99 Sep 1,56 2,24 Okt 1,86 2,40 Nop 1,93 2,73 1,18 Des 2,11 3,06 1,59 1,19 1,26 1,33 1,09 0,73 1,13 1,09 2,24 0,50 1,41 1,67 1,65 0,73 1,71 1,91 1,74 2,00 1,94 2,09 2,23 2,20 2,36 2,28 2,16 2,35 1,87 1,33 1,05 1,25 0,63 1,31 1,13 0,95 1,04 0,85 1,23 1,87 0,92 1,03 0,53 1,59 0,70 1,64 0,50 1,43 1,47 1,94 2,25 1,92 1,24 0,83 0,95 0,77 0,79 1,37 1,19 El-Nino La-Nina Iklim normal Tabel di atas menyatakan bahwa prediksi fenomena El-Nino dan La-Nina terjadi dengan ritme sebagai berikut: • Antara 2010 – 2012: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 1 tahunan • Antara 2017 – 2021: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 1 – 3 tahunan • Antara 2023 – 2027: El-Nino dan La-Nina bergantian selama 6 – 9 bulanan, diselingi dengan periode normal. 39 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan • Antara 2029 – 2030: El-Nino terjadi dalam jangka 1 tahunan. Secara umum perubahan pola curah hujan dan limpasan air tawar berpotensi menyebabkan beberapa perubahan lingkungan fisik yang penting antara lain: • Perubahan siklus hidrologi (penguapan, presipitasi, aliran). • Pengaruh pada ketersediaan air di pesisir dan pulau-pulau kecil. • Perubahan ekosistem dan komunitas di pesisir dalam berbagai cara. • Perubahan transpor sedimen, nutrien, dan polutan. • Perubahan sirkulasi air di estuari, di lahan basah, dan di paparan benua. 2.5.4. Perubahan Pola Sirkulasi Angin dan Arus Laut yang Dipicu oleh Perubahan Pola Variabilitas Iklim Laut selalu berinteraksi dengan atmosfer baik melalui mekanisme perpindahan panas maupun energi dan momentum. Bentuk perpindahan panas telah dibahas pada butir II.5.1 dimana efek GRK mempengaruhi terjadinya kenaikan temperatur baik di atmosfer. Bentuk perpindahan energi dan momentum dari angin permukaan ada dua macam yaitu timbulnya gelombang dan bergeraknya arus laut. Pembangkitan gelombang telah dibahas pada butir II.5.2 dimana angin yang sangat kencang sewaktu badai atau siklon dapat menimbulkan gelombang badai. Bentuk lain dari perpindahan energi dan momentum antara laut dan atmosfer diwujudkan dengan saling pengaruh antara angin di atas permukaan laut dan arus laut. Namun demikian pola angin dan arus laut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti temperatur udara dan temperatur laut. Mekanisme variabilitas iklim seperti ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dapat mempengaruhi faktor-faktor tersebut dan pada gilirannya dapat mengubah pola sirkulasi angin dan arus di Indonesia. Pola Sirkulasi Angin dan Perubahannya Indonesia merupakan daerah maritim yang diapit oleh dua samudera (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia) sehingga pola angin yang dominan adalah pola monsoon atau musim (Gambar II.19). Pada waktu musim angin barat (angin bertiup dari barat) yaitu bulan Oktober - Maret, kondisi cuaca di Indonesia dipengaruhi oleh monsun barat, angin bertiup dari timur laut dan berbelok menuju arah tenggara setelah melewati katulistiwa. Sebaliknya pada musim angin timuran, angin bertiup dari tenggara dan berbelok menuju ke timur laut setelah melalui daerah khatulistiwa dari bulan Mei hingga September. Pengaruh Samudera Pasifik menjadi dominan pada periode angin baratan kecuali sebagian besar Sumatera yang dipengaruhi oleh karakteristik Samudera Hindia sebelah barat. Sebaliknya pada musim angin timuran, pengaruh Samudera Hindia menjadi dominan. 40 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan a. Januari b. Agustus Gambar 2.19 Pola angin dan suhu permukaan laut rata-rata di Indonesia pada bulan Januari dan Agustus (Sofian, 2009) Propagasi angin utara dari bulan Oktober sampai Maret mendorong kolam air laut hangat dari Samudera Pasifik bergerak ke Samudera Hindia sehingga sebagian besar perairan Indonesia hangat. Sebaliknya pada musim angin timuran dari bulan Mei sampai September, angin timuran menekan balik air laut dengan suhu rendah dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik melalui Laut Jawa, Selat Karimata dan Laut Cina Selatan, sehingga sebagian perairan Indonesia sebelah selatan lebih dingin daripada di sebelah utara. Pola Sirkulasi Arus Laut dan Perubahannya Secara umum pola Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow, ITF; Murray, Arief, 1988) dapat mempengaruhi karakteristik iklim global melalui mekanisme perpindahan panas antara Samudera Pasifik dan Indonesia melalui Selat Makasar dan Selat Lombok (Gambar II.20). Pada bulan Januari saat monsun barat, propagasi angin barat daya (angin yang bertiup dari barat daya) menyebabkan arus di Laut Jawa mengalir ke timur, dan arus di Selat Karimata ke selatan. Sementara arus di Selat Sunda, mengalir ke timur dan masuk ke Laut Jawa, dengan membawa massa air dari Samudera Indonesia ke Laut Jawa. Efek topografi dengan menciut dan mendangkalnya kedalaman Selat Karimata sebelah selatan dapat menyebabkan terjadinya perbedaan tinggi muka air laut sebesar 40 cm antara Laut Jawa dan Selat Karimata. Pada saat monsun tenggara atau waktu musim kemarau, angin mendorong arus di Laut Jawa menuju ke barat, dan arus di Selat Karimata bergerak ke utara. Air di permukaan Laut Jawa mengalir keluar ke Samudra Hindia melalui Selat Sunda. 41 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan a. Januari b. Agustus Gambar 2.20 Distribusi tinggi muka air laut dan pola arus pada bulan Januari dan Agustus. Tinggi muka air laut dan pola arus adalah rata-rata bulanan selama 7 tahun, dari tahun 1993 sampai 1999 (Sofian, 2009). Berbeda dengan pola arus di Laut Jawa dan Selat Karimata, arus permukaan di Selat Makassar tidak mengikuti pola dan arah angin musiman. Arus tersebut cenderung untuk bergerak ke selatan. Kecepatan arus permukaan di Selat Makassar lemah pada musim angin barat, meskipun angin utara sangat intensif. Lemahnya arus permukaan di Selat Makassar ini disebabkan oleh kuatnya arus permukaan di Laut Jawa yang bergerak ke timur, sehingga menghalangi laju arus permukaan di Selat Makassar. Sebaliknya, arus permukaan di Selat Makassar akan menguat pada musim kemarau (angin tenggara), dan mendorong air permukaan yang bersalinitas dan bersuhu rendah kembali ke Laut Jawa. Kuatnya arus permukaan di Selat Makassar juga menyebabkan penurunan tinggi muka air laut di pantai utara Pulau Lombok, Laut Flores dan Laut Jawa bagian timur dan tengah pada bulan Agustus. Pola variabilitas ENSO (El-Nino Southern Oscillation) Kondisi laut dan atmosfer sangat dipengaruhi oleh fenomena ENSO. Pada fase El Nino, melemahnya angin pasat atau trade wind (angin di daerah Pasifik yang bergerak ke timur) menyebabkan timbulnya gradien Tinggi Muka Laut (TML), dimana TML di sekitar Peru meninggi dan TML di perairan Indonesia menurun. Pelemahan angin pasat ini juga ditandai dengan perpindahan “kolam air hangat” (warm pool) keluar dari Perairan Indonesia menuju ke Pasifik bagian tengah. Di samping itu, berkurangnya fresh water flux (presipitasi dikurangi evaporasi, PE forcing) membuat TML lebih terdepresi ke titik terendah. Pada periode ini, TML di perairan Indonesia, terdepresi sekitar 20 cm di bawah rata-rata tahunan (lihat Gambar II.21). 42 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan a. Januari b. Agustus Gambar 2.21 Distribusi spasial TML dan arus permukaan pada bulan Januari dan Agustus. TML berdasarkan data altimeter, sedangkan arah dan kecepatan arus merupakan hasil estimasi model HYCOM (Hybrid Coordinate Ocean Model) (Sofian, 2009) Pada fase La Nina, terjadi proses yang terjadi terbalik dengan periode El Nino. Angin pasat atau trade wind menguat menyebabkan warm pool lebih ke barat, meningkatkan intensitas curah hujan, yang menyebabkan pertambahan PE forcing. Faktor-faktor ini menyebabkan TML di Indonesia bisa naik lebih dari 20cm (lihat Gambar II.22). Hal ini menyebabkan berbagai kerawanan, terutama terhadap abrasi, erosi dan perubahan garis pantai, yang tidak hanya disebabkan oleh tingginya curah hujan, tapi juga disebabkan oleh naiknya TML. 43 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.22 Time series altimeter sea level anomaly (TML anomali) (1993 – 2008). TML anomali turun sampai 20 cm pada periode El Niño kuat, dan naik 20cm pada periode La Niña kuat (Sofian, 2009). Fenomena global ini berbanding terbalik dengan fenomena lokal yang ditunjukkan pada Gambar II.20 (kasus di Laut Jawa). Pada periode El Nino, trade wind (angin baratan) di Pasifik melemah dan angin timuran lebih intensif, sementara untuk kondisi di Laut Jawa, angin timuran lebih intensif ditandai dengan semakin tingginya transport massa air laut di Laut Jawa dari Laut Banda dan Selat Makassar pada bulan Agustus 1997. Pengaruh kondisi global yang lebih signifikan membuat TML tetap terdepresi meskipun fenomena lokal melalui kuatnya angin timuran berusaha meninggikan TML (meninggikan transport massa air masuk ke Laut Jawa pada bulan Agustus 1998). Pada periode La Nina terjadi fenomena berlawanan, yaitu angin lokal baratan cenderung menguat dan melemahkan air laut yang masuk ke Laut Jawa melalui Laut Banda, Flores dan Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada bulan Agustus 1999. Dari uraian di atas pola angin dan temperatur air laut serta pola arus dan tinggi muka air laut rata-rata dapat dianggap merepresentasikan (proxy) bahaya yang diakibatkan oleh kejadian fenomena ENSO. Upwelling dan Potensi Perikanan Tangkap Sirkulasi arus lautan serta gerakan air laut secara vertikal (baik upwelling dan downwelling) dapat dipengaruhi oleh perubahan global dan lokal dari temperatur, salinitas, curah hujan, dan medan angin yang berhembus di atas permukaan laut serta pasang surut. Gerakan massa air laut secara horizontal dan vertikal tersebut erat kaitannya dengan ekologis yang terkandung di dalam laut. Oleh sebab itu pengetahuan mengenai skala ruang dan waktu dari sirkulasi arus laut ini sangat penting untuk memahami implikasi perubahan iklim global pada dinamika laut dan sumber daya hayati kelautan, khususnya perikanan tangkap. Di beberapa daerah laut dan pantai terdapat potensi produktivitas dan perikanan tangkap yang tinggi yang disebabkan oleh adanya gerakan ke atas dari massa air laut (upwelling) yang mengangkat nutrien dari dasar laut. Perubahan sistem arus yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global atau akibat variabilitas laut 44 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan berpotensi menaikkan atau menurunkan produktivitas tersebut. Penguatan angin lokal timuran juga menyebabkan semakin intensifnya upwelling (gerakan air laut naik ke permukaan) yang terjadi di pantai selatan Pulau Jawa yang ditandai dengan semakin banyaknya klorofila di permukaan air laut seperti yang terlihat pada Gambar II.23. Pada saat itu upwelling lebih intensif terjadi sehingga konsentrasi klorofil-a di pantai selatan Pulau Jawa, sebagian Sumatra, Bali dan Lombok meningkat sehingga mencapai 4mg/m3. Pada akhirnya, ketika fase El Nino berlangsung, terjadi kenaikan potensi perikanan tangkap seiring dengan naiknya konsentrasi klorofil-a yang menjadi ukuran produktivitas primer tersebut. a. Januari b. Agustus c. Agustus 1997 Gambar 2.23 Distribusi klorofil-a rata-rata pada bulan Januari dan Agustus, serta pada bulan Agustus 1997 pada saat terjadi El Nino (Sofian, 2009). 2.5.5. Kenaikan Muka Air Laut Kenaikan muka air laut merupakan bahaya yang banyak dikaji dalam isu perubahan iklim. Bahaya ini merupakan akibat dari dua variabel utama, yaitu ekspansi atau kontraksi termal di laut dan efek sterik dari pencairan sejumlah massa air yang terkandung atau terperangkap dalam gunung es dan lapisan salju di sekitar kutub. Secara global proyeksi kenaikan muka air laut dapat dilihat pada Gambar II.24 (Sofian, 2009). Namun jika perubahan massa es dipertimbangkan maka proyeksi kenaikan muka laut dapat dilihat pada Gambar II.25 (Sofian, 2009) 45 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.24 Proyeksi kenaikan muka air laut global berdasarkan IPCC SRESa1b (IPCC, 2007) dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 720ppm (Sofian, 2009) Gambar 2.25 Kenaikan TML sampai tahun 2100, relatif terhadap TML pada tahun 2000 (Sofian, 2009). Hasil pengolahan data pasang surut dibeberapa stasion pasut di Perairan Indonesia dan sekitarnya memperlihatkan tren kenaikan muka laut seperti yang terlihat pada Gambar II.26. Bila data-data tersebut diekstrapolasi sampai pada tahun 2100 maka terlihat bahwa kenaikan TML berkisar antara 40–70 cm kecuali di Manila dimana kenaikan TML mencapai 120 cm (Gambar II.27). Hasil ekstrapolasi ini mendekati hasil proyeksi model. 46 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.26 Contoh time-series TML data dari beberapa stasiun pasut yang ada di Indonesia dan sekitarnya (Sofian, 2009). Gambar 2.27 Proyeksi kenaikan muka air laut di beberapa lokasi mengggunakan data pasut yang diperoleh dari University of Hawaii Sea Level Center (UHSLC) (Sofian, 2009). Distribusi spasial laju kenaikan muka air laut baik dari satelit altimetri maupun dari model dapat dilihat masing-masing pada Gambar II.28 dan Gambar II.29 (Sofian, 2009). Hasil estimasi kenaikan muka air laut berdasarkan altimeter, data pasut dan model, menunjukkan tren yang sama dengan tingkat kenaikan rata-rata sekitar 0,6 cm/tahun sampai 0,8 cm/tahun. 47 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.28 Tren kenaikan TML berdasarkan data altimeter dari Januari 1993 sampai Desember 2008 dengan mengggunakan spatial trend analysis (Sofian, 2009) Gambar 2.29 Proyeksi tingkat kenaikan muka air laut di perairan Indonesia berdasarkan skenario IPCC SRESa1b dengan asumsi konsentrasi CO2 sebesar 750ppm (Sofian, 2009) Gambar 2.30 Estimasi tingkat kenaikan TML di Perairan Indonesia berdasarkan model dengan penambahan dynamic ice melting pasca IPCC AR4 (Sofian,2009) 48 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kenaikan muka air laut tersebut perlu dibedakan dengan fluktuasi (naik turunnya) muka air laut lainnya pada skala waktu yang bervariasi, seperti gelombang laut (ombak dan alun) yang terjadi akibat angin permukaan laut, pasang surut (pasut) yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari, gelombang badai dan gelombang pasang yang muncul akibat terjadinya siklon atau badai di laut, akibat variabilitas iklim El-Nino dan La-Nina. Namun demikian perlu dicermati adanya terminologi “kenaikan relatif muka air laut” merujuk pada perubahan muka air laut terhadap permukaan tanah yang bersifat lokal pada lokasi tertentu. Permukaan tanah pun dapat mengalami gerakan karena pembalikan isostatik, penurunan muka tanah, kompaksi dan settling karena penumpukan sedimen aluvial di delta estuari, penurunan muka tanah dari ekstraksi air dan minyak bumi, serta faktor tektonik seperti gempa bumi Gambar II.31 dan Gambar II.32 memperlihatkan perubahan muka tanah (subsidense dan uplift) akibat aktivitas gempa. Gambar 2.31 Contoh subsidence akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Danny N.H) Gambar 2.32 Contoh uplift akibat Gempa Nias 2005 (Sumber: Kerry Sieh) 2.5.6. Catatan dan Ringkasan Analisis Bahaya Proyeksi-proyeksi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim hingga tahun 2030 beserta bahaya lain yang dapat dipicunya dapat disarikan dalam Tabel II.3 berikut. Tabel 2.3 Ringkasan bahaya dan proyeksi perubahan iklim No Jenis Bahaya Proyeksi Bahaya Bahaya Lain yang Dipicunya 1 Kenaikan temperatur laut Rata-rata naik sebesar 0,65oC±0,05oC pada tahun 2030 terhadap tahun 2000 (IPCC SRES a1b, Sofian, 2009) --- 2 Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Siklon tropis umumnya terjadi pada musim angin barat dan peralihan ke musim angin timur (Desember – April), dimana paling sering terjadi pada bulan Januari dan Februari (T.W. Hadi, 2008) • Angin kencang • Hujan lebat banjir sungai • Gelombang badai • Erosi pantai • Banjir rob/genangan pantai • Perubahan endapan sedimen 49 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan No 3 4 Jenis Bahaya Proyeksi Bahaya Perubahan variabilitas iklim alamiah (ElNino, La-Nina, IPO) Proyeksi EN dan LN (Sofian, 2009): • 2010-2012: EN-LN bergantian selama 1 tahunan • 2017-2021: EN-LN bergantian selama 1,3 tahunan • 2023-2027: EN-LN bergantian selama 6-9 bulanan, diselingi dengan periode normal. • 2029-2030: EN terjadi 1 tahunan • Kenaikan muka air laut Tren kenaikan rata-rata sebesar 0,6 – 0,8 cm/ tahun (Sofian, 2009). Bahaya Lain yang Dipicunya • Perubahan pola angin, khususnya di pesisir dan laut Perubahan pola curah hujan dan aliran sungai: • Banjir sungai dan estuaria • Kekeringan panjang • Perubahan pola arus laut • Pergeseran daerah upwelling • Perubahan sirkulasi termohalin • Banjir rob/genangan pantai • Banjir rob/genangan pantai • Intensifikasi erosi pantai • Perubahan endapan sedimen • Intensifikasi intrusi garam pada air tanah dan air sungai Bahaya-bahaya alam pada sektor Kelautan dan Perikanan yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dianalisis dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Pentingnya menggunakan dua parameter analisis bahaya secara umum yaitu intensitas dampak dan frekuensi (probabilitas) terjadinya bahaya. b. Pentingnya menggunakan pertimbangan pada skenario terburuk (worst-case scenarios) dalam analisis bahaya khususnya pada kejadian dengan probabilitas kecil namun dapat menimbulkan dampak yang besar. c. Banyak studi menyatakan bahwa perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut dapat berlangsung secara kontinu dengan laju yang terus bertambah dalam beberapa abad mendatang, sehingga proyeksi-proyeksi perubahan iklim adalah sebuah keniscayaan. d. Model-model yang digunakan untuk estimasi atau proyeksi perubahan iklim masih perlu dijustifikasi atau diverifikasi sebelum diterapkan dalam skala kajian yang lebih detail. e. Suatu fenomena yang dapat diamati dapat merupakan gabungan dari beberapa bahaya, misalnya perubahan tinggi muka air laut tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan muka air laut akibat pencairan es di kutub saja namun juga oleh gelombang badai, pasang surut (pasut), ENSO (lihat Gambar II.33). 50 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.33 Skematisasi bahaya-bahaya yang terkait dengan kenaikan muka laut (dalam hal ini tsunami tidak diperhitungkan) Catatan pada butir terakhir tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengkaji tingkat bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim secara akumulatif (keseluruhan). Parameter yang dianalisis adalah tinggi dan luas penggenangan air laut ke arah pesisir (banjir rob). Parameter tersebut disimulasikan untuk menunjukkan tingkat bahaya akibat perubahan iklim dengan membandingkan kondisi pesisir masa mendatang (tahun 2030) terhadap kondisi saat ini (baseline data tahun 2000), jika bahaya kenaikan muka air laut terus-menerus berlangsung dengan proyeksi kenaikan rata-rata sebesar 12 cm pada tahun2030, dan disertai dengan kejadian jenis-jenis bahaya lain secara terpisah atau secara serentak (lihat kembali Gambar II.33), yaitu: • Bahaya kejadian cuaca ekstrem yang diwakili oleh gelombang badai yang menimbulkan peninggian elevasi muka laut dengan maksimum sekitar 3 meter di garis pantai. • Bahaya yang ditimbulkan oleh variabilitas iklim La-Nina yang diwakili oleh terjadinya peninggian muka air laut rata-rata dengan prediksi sekitar 10-20 cm • Bahaya periodik dari fenomena pasang surut yang normal terjadi sekitar 19 tahun sekali yaitu pada saat bulan berada pada posisi perigee (jarak terdekat dengan bumi), dimana saat itu terjadi air pasang tertinggi (perigee-spring highest tide) dengan tinggi maksimum sekitar 1-3 meter dari muka laut rata-rata. Sebagai gambaran, distribusi tinggi kisaran pasut (jarak vertikal antara level air pasang tertinggi dan air surut terendah) di Indonesia dapat dilihat pada Gambar II.34 berikut. 51 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.34 Peta kisaran pasut di Indonesia Sebagai catatan, kejadian cuaca ekstrem sebenarnya juga menimbulkan bahaya banjir di pesisir namun ketinggian muka airnya sulit diprediksi secara kuantitatif. Kajian ini menganalisis tingkat akumulasi bahaya akibat kombinasi dari berbagai jenis bahaya tersebut di atas melalui tiga skenario (Gambar II.35), yaitu • Skenario-1 HHWL+SLR yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut saat air pasang tertinggi perigee (HHWL) disertai dengan kenaikan muka air global (SLR) • Skenario-2 HHWL+SLR+ENSO yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut pada saat air pasang tertinggi perigee (HHWL) dan disertai dengan kenaikan muka air global (SLR) dan kejadian variabilitas iklim La-Nina (ENSO), • Skenario-3 HHWL+SLR+ENSO+ SS yaitu jika terjadi kenaikan muka air laut yang disertai dengan air pasang tertinggi perigee (HHWL) dan disertai dengan kenaikan muka air global (SLR) dan kejadian variabilitas iklim La-Nina (ENSO), serta gelombang badai (SS) secara serentak. Skenario ini adalah kondisi terburuk walaupun probabilitas kejadiannya kecil. 52 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan (a) Skenario-1 HHWL+SLR (b) Skenario-2 HHWL+SLR+ENSO (c) Skenario-3 HHWL+SLR+ENSO+ SS Gambar 2.35 Tiga skenario dari penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee 53 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.5.7. Resume Bahaya yang Dipicu oleh Perubahan Iklim di Setiap Wilayah Berikut ini akan dideskripsikan berbagai bahaya yang dapat dipicu oleh perubahan iklim di setiap wilayah di Indonesia. Hasil-hasil simulasi penggenangan air laut di pesisir (banjir rob) skenario-3 juga akan melengkapi analisis sebagai resume dari bentuk bahaya di pesisir dalam kondisi ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim. Sebagai catatan, secara umum hasil simulasi tersebut sebenarnya masih kurang akurat mengingat data topografi digital SRTM yang tersedia untuk seluruh Indonesia belum dikoreksi lokal dengan tinggi kanopi pohon dan bangunan. 2.5.7.1. Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah I Sumatra dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.4 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah I Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Gambar II.9, Gambar II.10 -0,01 – 0,03oC/ thn Kenaikan temperatur air laut Tren besar terjadi di pantai timur (Selat Malaka), di dekat Riau Kepulauan dan Bangka-Belitung (0,025oC/thn); sedangkan di pantai barat tren rendah bahkan negatif di dekat Bengkulu (-0,005oC/thn) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Umumnya terjadi gelombang maksimum 1 m, kecuali di pantai Bengkulu Gambar II.12, dan Lampung mencapai 1,6 m Gambar II.13, Agustus: gelombang 1 m hanya terjadi di Selat Malaka, sedang gelombang di pantai barat mencapai maksimum 2 m Januari: Secara umum curah hujan yang terjadi lebih dari 200 mm, kemudian semakin besar Perubahan curah hujan ke arah selatan dengan maksimum di daerah oleh perubahan variabilitas Lampung sekitar 450 mm. iklim (proksi: curah hujan Agustus: Keadaan sebaliknya terjadi, dimana rata-rata tahunan) curah hujan semakin mengecil ke arah selatan dengan minimum 50 mm di Lampung Perubahan sirkulasi angin permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola angin permukaan rata-rata tahunan) Gambar II.16, Bulan Januari (b) Bulan Agustus 0,4-2 meter 0 – 600 mm Gambar II.18 Januari: Pola angin berbeda-beda di hampir setiap daerah. Di sebelah utara dan timur Sumatra angin berhembus dari arah timur laut, sedangkan di sebelah barat dan selatan berhembus angin dari barat – barat laut. Gambar II.19 Kecepatan rata-rata 5 m/detik. Agustus: Sebagian besar daerah sebelah selatan Sumatra berhembus angin tenggara, sedangkan di NAD dan Sumatra Utara terjadi angin barat daya 0 – 10 m/ dt 54 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka air laut rata-rata tahunan) Kenaikan muka laut Deskripsi Gambar Sepanjang tahun: Arus laut di pantai barat Sumatra bergerak ke arah selatan, sedangkan muka air laut hampir selalu berada di level sekitar 10 cm di bawah MSL. Di Selat Malaka arus bergerak ke utara, sedangkan muka air laut berada di level 5-10 cm di atas MSL. Gambar II.20 Januari: Arus di sekitar Kepulauan Riau Gambar II.21, dan Bangka-Belitung berasal dari Laut Cina Selatan menuju ke Laut Jawa, dengan level muka air laut cukup tinggi sekitar 40 cm di atas MSL. Agustus: Kondisi arus di pantai timur Sumatra bagian selatan berbalik arah ke utara, dimana level muka air laut menurun hingga sekitar 10 cm di atas MSL. Hampir seluruh pantai Sumatra Utara dan Aceh serta pantai timur Sumatra mengalami Gambar II.28, tren kenaikan muka air laut sekitar 0,75 Gambar II.29, cm/tahun. Sedangkan tren kenaikan muka air laut di pantai barat Sumatra Barat hingga Gambar II.30 Lampung sedikit lebih kecil yaitu sekitar 0,745 cm/tahun Kisaran Nilai Arus: 0 – 1 m/dt Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap muka air laut rata-rata (MSL= mean sea level) 0,72 – 0,77 cm/ tahun Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan air laut di pesisir wilayah Sumatra dapat dilihat pada Gambar II.36. Pada kondisi terburuk ini wilayah pesisir timur Lampung, Sumatra Selatan, Riau, Sumatra Utara, dan NAD mengalami penggenangan lebih dari tiga meter karena landainya pesisir. Di pesisir timur Lampung dan Sumatra Selatan penggenangan oleh air laut masuk ke arah pedalaman hingga sekitar 100 km dari garis pantai saat ini. 55 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.36 Simulasi genangan pesisir di wilayah Sumatra 2.5.7.2. Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah II Jawa-Bali-Madura dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.5 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah II Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Gambar II.9, Gambar II.10 -0,01 – 0,03oC/ thn Kenaikan temperatur air laut Tren kecil terjadi di pantai utara Jawa Tengah hingga Banten (0,01oC/thn); sedangkan di sepanjang pantai selatan bahkan tren negatif (-0,005oC/thn) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Di pantai utara terjadi gelombang maksimum 1,2 m, sedangkan gelombang di pantai selatan rata-rata maksimum 1,6 m Gambar II.12, Agustus: Gelombang di pantai utara Gambar II.13, maksimum 1,4 m, sedangkan di pantai selatan rata-rata maksimum 2 m; di Pelabuhan Ratu bisa terjadi gelombang 2,2 m 0,4-2 meter Perubahan curah hujan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: curah hujan rata-rata tahunan) Januari: Curah hujan secara umum cukup tinggi (lebih dari 300 mm) dengan maksimum di daerah perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah Agustus: Curah hujan rata-rata kurang dari 50 mm atau terjadi kekeringan yang cukup merata 0 – 600 mm Gambar II.16, Bulan Januari (b) Bulan Agustus Gambar II.18 56 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Perubahan sirkulasi angin permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola angin permukaan rata-rata tahunan) Januari: Pola angin dari barat terjadi pada seluruh wilayah ini dengan kecepatan sekitar 8 m/detik. Agustus: Pola angin sebaliknya terjadi yaitu dari timur – tenggara dengan kecepatan ratarata hampir 10 m/detik. Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka air laut rata-rata tahunan) Sepanjang tahun: Arus di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali hampir selalu bergerak ke timur, sedangkan level muka air laut berada sekitar 20 cm di bawah MSL. Januari: Arus di sepanjang pantai utara JawaBali bergerak ke timur. Agustus: Kondisi arus di pantai utara JawaBali berbalik ke barat menuju arah Laut Cina Selatan. Kenaikan muka laut Hampir seluruh pantai utara Jawa-Bali mengalami tren kenaikan muka air laut sekitar Gambar II.28, 0,745 cm/tahun. Sedangkan tren kenaikan Gambar II.29, muka air laut di pantai selatan lebih kecil lagi Gambar II.30 yaitu sekitar 0,74 cm/tahun Gambar II.19 Gambar II.20 Gambar II.21, Kisaran Nilai 0 – 10 m/ dt Arus: 0 – 1 m/dt. Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap muka air laut rata-rata (MSL) 0,72 – 0,77 cm/ tahun Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan air laut di pesisir wilayah Jawa-Bali-Madura dapat dilihat pada Gambar II.37. Daerah pesisir utara mulai dari Serang, DKI Jakarta hingga Jawa Tengah dan sekitar Surabaya serta Cilacap mengalami genangan sekitar 3 meter lebih. Di daerah-daerah itu genangan air laut bisa mencapai sekitar 25 km dari garis pantai pada saat ini. Gambar 2.37 Simulasi genangan pesisir di wilayah Jawa-Madura-Bali 57 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat (2008) dan Safwan Hadi, dkk. (2009) telah mengkaji secara lebih detail di pesisir Jakarta Utara (Gambar II.39) dan pesisir utara dan selatan Jawa Barat (Gambar II.38). Dua kajian tersebut lebih menegaskan tingkat bahaya penggenangan air laut yang tinggi di pesisir utara Jawa Barat dan pesisir Jakarta Utara. Gambar 2.38.a Simulasi genangan air laut di pesisir utara Jawa Barat (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008) Gambar 2.38.b Simulasi genangan air laut di pesisir selatan Jawa Barat (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat, 2008) 58 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.39 Simulasi genangan air laut di pesisir Jakarta Utara (Hadi, dkk., 2009) 2.5.7.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III Nusa Tenggara dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.6 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah III Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Gambar II.9, Gambar II.10 0,01 – 0,03oC/ thn Kenaikan temperatur air laut Tren kecil terjadi di sepanjang pantai Nusa Tenggara (0-0,01oC/ thn) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Kondisi gelombang serupa dengan di wilayah II Jawa-Bali Gambar II.12, Agustus: Gelombang di pantai utara Gambar II.13, maksimum 1,2 m, sedangkan di pantai selatan rata-rata maksimum 1,6 m 0,4-2 meter Perubahan curah hujan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: curah hujan rata-rata tahunan) Gambar II.16, Januari: Secara umum curah hujan yang terjadi Bulan Januari kurang dari 250 mm. (b) Bulan Agustus Agustus: Kekeringan berlanjut hingga curah hujan di bawah 50 mm Gambar II.18 0 – 600 mm Perubahan sirkulasi angin permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola angin permukaan rata-rata tahunan) Januari: Angin barat terjadi pada seluruh wilayah ini dengan kecepatan sekitar 8 m/ detik. Agustus: Pola angin dari tenggara terjadi di sepanjang wilayah ini dengan kecepatan ratarata hampir 10 m/detik. Gambar II.19 0 – 10 m/ dt 59 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka air laut rata-rata tahunan) Kenaikan muka laut Deskripsi Gambar Arus secara dominan dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang melewati Selat Lombok menuju ke selatan namun dengan magnitudo yang berubah-ubah. Level muka air laut juga tidak banyak berubah dari sekitar 10-20 cm di bawah MSL. Januari: Arlindo yang melewati Selat Lombok cukup lemah, justru terjadi arus menuju ke timur di sepanjang kedua sisi utara dan selatan Nusa Tenggara. Agustus: Arlindo cukup kuat (sekitar 1 m/ detik) terjadi di Selat Lombok dan Selat Alas, sedangkan level muka air laut di pantai selatan makin turun hingga sekitar 30 cm di bawah MSL. Pantai Nusa Tenggara sebelah barat mengalami tren kenaikan muka air laut sekitar 0,74 cm/tahun, sedangkan di sebelah timur sekitar 0,75 – 0,76 cm/tahun. Gambar II.20 Gambar II.21, Gambar II.28, Gambar II.29, Gambar II.30 Kisaran Nilai Arus: 0 – 1 m/dt. Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap muka air laut rata-rata (MSL= mean sea level) 0,72 – 0,77 cm/ tahun Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan pesisir di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara dapat dilihat pada Gambar II.40 berikut ini. Pada wilayah ini tidak terlihat terjadinya genangan air laut di pesisir kecuali sedikit di pantai selatan Pulau Timor. Ada kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya ketertutupan lahan oleh kanopi pohon hutan. Gambar 2.40 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara Kementrian Lingkungan Hidup yang bekerjasama dengan GTZ Jerman telah menginisiasi kajian bahaya penggenangan pesisir di Pulau Lombok secara detail (Gambar II.41). Di pulau tersebut, terdapat daerah yang sangat berisiko di sekitar ibukota provinsi NTB yaitu Ampenan. 60 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.41 Simulasi genangan pesisir di Pulau Lombok (KLH dan GTZ, 2009) 2.5.7.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah IV Kalimantan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.7 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah IV Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Kenaikan temperatur air laut Tren besar terjadi di pantai barat (Laut Cina Gambar II.9, Selatan) dan selatan (0,025oC/thn); sedangkan Gambar II.10 o di pantai timur terjadi tren kecil (0,01 C/thn) -0,01 – 0,03oC/ thn Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Gelombang yang terjadi umumnya rendah, bahkan di Selat Makasar hanya sekitar 0,6 m; kecuali di utara Pontianak terjadi Gambar II.12, gelombang sekitar 1,2 m Gambar II.13, Agustus: Gelombang rendah masih terjadi di Selat Makasar bagian utara, sedangkan di pantai lainnya terjadi gelombang maksimum 1,2 m 0,4-2 meter Januari: Curah hujan di Kalimantan Timur sedang yaitu sekitar 200-250 mm, sedangkan di sekitar Pontianak justru terjadi curah hujan Perubahan curah hujan oleh perubahan variabilitas maksimum sekitar 500 mm. iklim (proksi: curah hujan Agustus: Curah hujan rendah sekitar 100 mm terjadi di Kalimantan Selatan, sedangkan rata-rata tahunan) lainnya curah hujan sedang sekitar 150-200 mm. Gambar II.16, Bulan Januari (b) Bulan Agustus 0 – 600 mm Gambar II.18 61 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Perubahan sirkulasi angin permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola angin permukaan rata-rata tahunan) Januari: Pola angin dari barat laut – barat terjadi di bagian barat dan selatan Kalimantan, sedangkan di bagian timur berhembus angin lemah dari utara. Agustus: Pola angin sebaliknya terjadi yaitu Gambar II.19 angin tenggara dengan kecepatan sekitar 10 m/detik di bagian selatan dan barat Kalimantan, sedangkan di sebelah timur terjadi angin dari selatan. 0 – 10 m/ dt Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka air laut rata-rata tahunan) Arus Lintas Indonesia melewati sepanjang Selat Makasar bergerak ke arah selatan namun dengan kecepatan berubah-ubah. Pada bulan Agustus Arlindo sangat kuat (lebih dari 1 m/detik), sedangkan pada bulan Januari Arlindo melemah terutama di dekat pantai Gambar II.20 Kalimantan Selatan Gambar II.21, Januari: Arus di sepanjang pantai Kalimantan Barat, Tengah, hingga Selatan bergerak ke arah timur. Agustus: Arus di pantai Kalimantan Tengah dan Selatan bergerak ke arah barat dengan sangat kecil. Arus: 0 – 1 m/dt. Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap muka air laut rata-rata (MSL= mean sea level) Kenaikan muka laut Pantai barat Kalimantan Barat dan pantai timur Kalimantan mengalami tren kenaikan muka air laut sebesar 0,755 cm/tahun, sedangkan tren di pantai selatan Kalimantan Selatan dan Tengah sekitar 0,76 cm/tahun 0,72 – 0,77 cm/ tahun Gambar II.28, Gambar II.29, Gambar II.30 Gambar 2.42 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kalimantan dan sekitarnya Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbul-kan penggenangan pesisir di wilayah Kalimantan dapat dilihat pada Gambar II.42 berikut ini. Secara umum faktor kekurang-akuratan data digital topografi oleh ketertutupan kanopi hutan telah menyebabkan sedikitnya daerah penggenangan air laut di pesisir Kalimantan. Beberapa daerah tampak mengalami genangan air laut di pesisir seperti daerah sekitar Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda. 62 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.5.7.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah Sulawesi dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 2.8 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah V Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Gambar II.9, Gambar II.10 -0,01 – 0,03oC/ thn Kenaikan temperatur air laut Tren besar terjadi di pantai Sulawesi Barat dan Tengah (0,03oC/thn); sedangkan di Kepulauan Banggai justru terjadi tren kecil (0,005oC/thn) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Gelombang yang terjadi umumnya rendah seperti di wilayah IV Kalimantan; kecuali di pantai Manado terjadi gelombang Gambar II.12, 1,2 m Gambar II.13, Agustus: Gelombang rendah masih terjadi di bagian utara wilayah ini, sedangkan di sebelah selatan terjadi gelombang maksimum 1 m 0,4-2 meter Perubahan curah hujan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: curah hujan rata-rata tahunan) Januari: Curah hujan rendah (sekitar 100 mm) terjadi di Sulawesi Tengah dan Gorontalo, sedangkan curah hujan tinggi terjadi di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan di utara Manado Agustus: Secara umum terjadi curah hujan rendah (50-100 mm), kecuali di bagian tengah Sulawesi sekitar 150-200 mm) 0 – 600 mm Januari: Pola angin dari barat terjadi di Sulawesi Selatan dan Tenggara, sedangkan di bagian yang lain berhembus angin lemah dari Perubahan sirkulasi angin utara. permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola Agustus: Pola angin sebaliknya terjadi yaitu angin tenggara dengan kecepatan sekitar 10 angin permukaan rata-rata m/detik di Sulawesi Selatan, Tenggara, dan tahunan) Tengah, sedangkan di sebelah utara terjadi angin lemah dari selatan. Gambar II.16, Bulan Januari (b) Bulan Agustus Gambar II.18 Gambar II.19 0 – 10 m/ dt 63 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka air laut ratarata tahunan) Arus Lintas Indonesia di Selat Makasar telah dideskripsikan pada wilayah V Kalimantan. Januari: Arus di pantai Sulawesi Selatan dan Tenggara bergerak ke arah timur dengan kecepatan cukup kuat (sekitar 0,5 m/detik). Sedang arus di pantai Sulawesi Utara dan Gorontalo berasal dari Samudra Pasifik bagian barat. Agustus: Arus di pantai Gorontalo dan Sulawesi Utara bergerak menuju ke utara, sedangkan di pantai Sulawesi Selatan dan Tenggara sangat lemah. Kenaikan muka laut Tren kenaikan muka air laut di pantai Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gambar II.28, dan pantai timur Sulawesi Tengah sekitar 0,76 Gambar II.29, cm/ tahun. Pantai Sulawesi Barat mengalami Gambar II.30 tren kenaikan muka air laut sedikit lebih rendah yaitu sekitar 0,75 cm/tahun. Gambar II.20 Gambar II.21, Kisaran Nilai Arus: 0 – 1 m/dt. Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap muka air laut rata-rata (MSL= mean sea level) 0,72 – 0,77 cm/ tahun Gambar 2.43 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Sulawesi dan sekitarnya Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbulkan penggenangan pesisir di wilayah Sulawesi dapat dilihat pada Gambar II.43 berikut ini. Beberapa daerah mengalami penggenangan pesisir cukup ekstrem seperti daerah pesisir Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. 64 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.5.7.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VI Kepulauan Maluku dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.9 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VI Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Gambar II.9, Gambar II.10 -0,01 – 0,03oC/ thn Kenaikan temperatur air laut Tren kecil-menengah terjadi di Maluku bagian tengah dan selatan (0,01-0,015oC/ thn); sedangkan di Maluku Utara tren besar (0,025oC/th) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Gelombang rendah terjadi di Maluku bagian tengah, hanya sekitar 0,6 m; sedangkan di Maluku bagian utara dan selatan terjadi Gambar II.12, gelombang tinggi sekitar 1,5 m Gambar II.13, Agustus: Gelombang rendah hanya terjadi di Maluku bagian utara, sedangkan di bagian selatan terjadi gelombang maksimum 1,2 m 0,4-2 meter Perubahan curah hujan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: curah hujan rata-rata tahunan) Januari: Secara umum curah hujan yang terjadi sekitar 100-150 mm Agustus: Kekeringan (curah hujan di bawah 50 mm) terjadi hampir di seluruh daerah, kecuali di sekitar Halmahera terjadi hujan antara 100-150 mm. 0 – 600 mm Perubahan sirkulasi angin permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola angin permukaan rata-rata tahunan) Januari: Di Maluku bagian selatan terjadi angin dari barat dengan kecepatan sekitar 10 m/detik, sedangkan di bagian utara terjadi angin lemah dari utara – barat laut. Agustus: Angin berhembus dari arah sebaliknya yaitu angin dari tenggara dengan kecepatan sekitar 10 m/detik di bagian selatan, sedangkan di sebelah utara terjadi angin sedang dari selatan. Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka air laut rata-rata tahunan) Januari: Arus bergerak menuju arah utaratimur dengan kecepatan cukup kuat (sekitar Gambar II.20 0,4 m/detik). Gambar II.21, Agustus: Arus masih bergerak ke utara-timur, namun melemah hingga sekitar 0,1 m/detik. Arus: 0 – 1 m/dt. Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap MSL Kenaikan muka laut Hampir seluruh pantai di Maluku mengalami Gambar II.28, tren kenaikan muka air laut sekitar 0,755 cm/ Gambar II.29, tahun, kecuali di sekitar Halmahera nilai tren Gambar II.30 sekitar 0,76 cm/tahun. 0,72 – 0,77 cm/ tahun Gambar II.16, Bulan Januari (b) Bulan Agustus Gambar II.18 Gambar II.19 0 – 10 m/ dt 65 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 2.44 Simulasi genangan pesisir di wilayah Kepulauan Maluku Hasil simulasi skenario terburuk dari kombinasi bahaya yang menimbul-kan penggenangan pesisir di wilayah Kepulauan Maluku dapat dilihat pada Gambar II.44 berikut ini. Simulasi ini kurang memberikan hasil yang baik mengingat faktor kurangnya akurasi data digital topografi. 2.5.7.7. Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan Sekitarnya Deskripsi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII Pulau Papua bagian barat dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.10 Bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim di wilayah VII Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Kisaran Nilai Kenaikan temperatur air laut Tren kecil-menengah terjadi di pantai selatan Gambar II.9, (0,01-0,015oC/thn); sedangkan di bagian utara Gambar II.10 o tren sangat besar (0,03 C/th) -0,01 – 0,03oC/ thn Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem (proksi: gelombang angin signifikan) Januari: Gelombang menengah sekitar 1,2 m terjadi di Papua bagian utara; bahkan di bagian barat terjadi gelombang sekitar 0,8 m Agustus: Gelombang rendah 0,8 m meluas tidak hanya terjadi di bagian barat tapi juga di bagian utara, sedangkan di Laut Arafura terjadi gelombang maksimum 1,4 m Gambar II.12, Gambar II.13, 0,4-2 meter 66 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Deskripsi Gambar Januari: Curah hujan maksimum sekitar pesisir Timika (selatan) yaitu sekitar 450-550 mm, Gambar II.16, sedangkan pesisir lain mengalami curah hujan Bulan Januari Perubahan curah hujan sedang antara 150-300 mm. (b) Bulan Agustus oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: curah hujan Agustus: Kekeringan melanda pesisir selatan rata-rata tahunan) dekat Merauke, namun curah hujan tinggi Gambar II.18 (sekitar 300-350 mm) terjadi di pesisir Nabire (utara) dan Timika Kisaran Nilai 0 – 600 mm Perubahan sirkulasi angin permukaan oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola angin permukaan rata-rata tahunan) Januari: Di hampir seluruh Papua berhembus angin dari barat laut dengan kecepatan sekitar 3 – 6 m/ detik. Gambar II.19 Agustus: Angin berhembus dari arah tenggara dengan kecepatan antara 2 – 10 m/detik di hampir seluruh wilayah Papua. 0 – 10 m/ detik Perubahan sirkulasi arus laut oleh perubahan variabilitas iklim (proksi: pola arus dan fluktuasi muka laut tahunan) Januari: Di sebelah utara Papua arus bergerak menuju arah timur dengan kecepatan cukup lemah (sekitar 0,1 m/detik). Agustus: Arus di sebelah utara Papua masih bergerak ke timur, namun menguat hingga sekitar 0,3 m/detik. Arus: 0 – 1 m/ detik. Level muka air laut: -40 – 50 cm terhadap MSL Kenaikan muka laut Pantai utara Papua mengalami tren kenaikan muka air laut sekitar 0,73 cm/tahun, sedangkan tren di pantai selatan sekitar 0,75 – 0,76 cm/tahun. Tren kenaikan muka air laut di pantai Papua Barat terjadi antara 0,75 – 0,765 cm/tahun Gambar II.20 Gambar II.21, Gambar II.28, Gambar II.29, Gambar II.30 0,72 – 0,77 cm/ tahun Gambar 2.45 Simulasi genangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat Hasil simulasi skenario terburuk penggenangan pesisir di wilayah Pulau Papua bagian Barat dapat dilihat pada Gambar II.45. Ketertutupan kanopi hutan masih menyebabkan hasil simulasi tidak menunjukkan daerah-daerah genangan pesisir walau sebenarnya daerah pesisir selatan Papua merupakan pantai yang landai. 67 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 2.6. Isu-Isu Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan Terkait Perubahan Iklim Secara umum sektor Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu sektor yang banyak mengandalkan potensi sumberdaya alam, sehingga masalah atau isu-isu yang timbul selalu dapat dikaitkan dengan tiga elemen isu sektor yaitu: (1) ketersediaan sumberdaya baik hayati maupun nonhayati, (2) lingkungan dari sumberdaya baik secara fisik/geografis maupun ekologis, dan (3) manusia atau masyarakat yang memanfaatkannya baik untuk kepentingan pemukiman (sosial kemasyarakatan) maupun ekonomi. Implikasinya adalah bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi tingkat ketersediaan sumberdaya secara langsung dan/atau melalui faktor lingkungannya. Misalnya, ketersediaan ikan di suatu perairan dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh perubahan suhu dan arus laut, namun ketersediaan energi angin di pesisir banyak dipengaruhi secara langsung oleh perubahan pola angin itu sendiri dan secara tidak langsung oleh variabilitas iklim. Isu-isu strategis yang berada di dalam lingkup sektor Kelautan dan Perikanan tidak lain merupakan sintesis dari ketiga elemen isu sektor di atas yang kemudian dikelompokkan ke dalam lima aspek sebagai berikut (diolah dari: KKP, 2005): 1. Isu-isu lingkungan fisik/geografis, yaitu yang timbul dari kondisi dan letak pesisir, perairan, dan pulau-pulau kecil. Isu-isu strategisnya antara lain: • Masih perlu dimantapkannya sistem pengelolaan kewilayahan berbasis kepulauan guna mengelola dampak perubahan iklim baik pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K) maupun wilayah perairan laut. Oleh sebab itu bahasan isu perubahan iklim dalam kajian ini akan dituangkan ke dalam 7 wilayah pembangunan nasional dengan memperhatikan klasterklaster jasa kelautan dan perikanan, perikanan tangkap dan budidaya, serta faktor-faktor fisik lainnya (lihat butir I.2.1). • 2. Kurangnya riset dan sosialisasi mengenai mitigasi kebencanaan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil. Fokus dari sistem ini adalah pada ancaman bahaya variabilitas iklim serta kejadian cuaca ekstrem yang berasal dari Samudra Hindia dan Pasifik yang mengapit Indonesia. Isu-isu sosial, ekonomi, dan kependudukan di dalam sistem masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain: • Problem kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang umumnya adalah nelayan dan pembudidaya ikan. Kebijakan dan kegiatan adaptasi yang akan disusun perlu diarahkan agar dapat menjamin keberlanjutan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang sedang berjalan • Problem kepadatan penduduk di pesisir tertentu yang berpotensi rawan konflik sosial jika tekanan sosial ekonomi yang dialaminya semakin ditambah dengan tekanan akibat dampak perubahan iklim di pesisir. 68 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 3. Isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan infrastruktur dan fasilitas vital yang terdapat di pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain: • Mulai banyak kasus terendamnya bangunan infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir dan pulaupulau kecil terutama pada saat air laut pasang • Semakin banyak kasus abrasi pantai yang menggerus infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir akibat intensifikasi gelombang badai (kejadian cuaca ekstrem) Isu-isu tersebut diakibatkan setidaknya oleh dua faktor mendasar, yaitu: • Pembangunan infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir yang telah berjalan kebanyakan belum memperhatikan proyeksi-proyeksi perubahan iklim. Perhitungan level dasar bangunan terhadap bidang muka air laut rata-rata baru didasarkan pada pasang surut dan gelombang laut rata-rata, tetapi belum memperhatikan bahaya kenaikan muka air laut. Perhitungan kekuatan struktur bangunan baru memperhatikan akibat dari angin dan gelombang laut rata-rata, tetapi belum mengantisipasi semakin sering terjadinya badai dan gelombang badai • 4. Faktor sempadan pantai dalam upaya penataan ruang pesisir secara fisik baru didasarkan pada kisaran pasang surut laut dan iklim gelombang normal, tetapi belum memperhatikan proyeksi kenaikan muka air laut dan variabilitas muka laut akibat kejadian ENSO, IPO, dan gelombang badai Isu-isu ekonomi yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi sumberdaya yang didominasi oleh faktor penguasaan IPTEK yang kurang optimal. Hal ini tercermin dari beberapa isu antara lain: • Sebagian besar nelayan masih bersifat tradisional sehingga belum banyak memanfaatkan informasi lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground), armada kapalnya berskala kecil sehingga tidak bisa menjangkau perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), dan belum terjalinnya rantai dingin dari lokasi penangkapan ikan hingga lokasi penjualannya • Masih kurang detailnya informasi lokasi penangkapan ikan di laut (fishing ground) dan pola pergerakan (migrasi) ikan berpotensi ekonomi tinggi • Masih kurang dimanfaatkannya informasi pola angin permukaan di laut untuk operasionalisasi kapal nelayan • Ketimpangan pemanfaatan stok ikan antar wilayah maupun antar spesies sehingga kadang timbul penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) • Belum optimalnya pengembangan perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar • Belum optimalnya pemanfaatan pulau-pulau kecil • Belum dieksplorasi dan diproduksinya sumberdaya energi alternatif (non-konvensional) dari 69 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan laut seperti energi gelombang, arus, pasang surut, dan perbedaan suhu laut (OTEC = Ocean Thermal Energy Conversion) Dari berbagai isu di atas maka penguasaan dan penerapan IPTEK menjadi kunci penting upaya adaptasi terhadap perubahan iklim pada pemanfaatan sumberdaya sektor kelautan dan perikanan. 5. Isu-isu ekologis, antara lain: • Masih banyaknya konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulaupulau kecil sehingga banyak lahan konservasi diubah menjadi lahan pemukiman dan kegiatan produktif (industri, tambak, pertanian, pariwisata). Misalnya, degradasi hutan mangrove dari 5,21 juta ha pada tahun 1982 menjadi 2,5 juta ha pada tahun 1993 (KKP, 2005). Di samping itu kondisi terumbu karang telah mencapai tingkat kerusakan rata-rata sekitar 40% pada tahun 2005 (KKP, 2005). Faktor-faktor penyebabnya antara lain: (1) kegiatan manusia, misalnya penangkapan dengan alat yang merusak (illegal fishing) dan eksploitasi berlebih (overfishing), pencemaran dan sedimentasi, perencanaan yang kurang tepat, dampak pembangunan di darat, serta (2) faktor alam seperti pengaruh El-Nino, La-Nina, badai, gempa bumi, dan banjir. • Belum optimalnya pengelolaan konservasi laut dan perairan umum • Masih lemahnya pengawasan dan pengendalian pencemaran di pesisir. Munculnya berbagai isu tersebut antara lain diakibatkan oleh dua faktor utama: (1) Faktor strategi pembangunan yaitu masih lekatnya paradigma pembangunan masa lalu yang lebih berorientasi ke darat (terresterial), dimana prioritas alokasi sumberdaya pembangunan lebih diarahkan pada sektor-sektor daratan, sehingga potensi sektor kelautan dan perikanan belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan di pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) Faktor kurangnya kesadaran terhadap potensi dampak perubahan iklim yaitu kurang banyak diperhatikannya aspek-aspek dan proyeksiproyeksi dalam proses perencanaan dan pengelolaan pembangunan sektor. Implikasinya adalah perlunya menguatkan implementasi lima pilar strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan yaitu strategi: • pro-poor (pengentasan kemiskinan melalui peningkatan pendapatan), • pro-job (penyerapan tenaga kerja), • pro-growth (pertumbuhan ekonomi), • pro-business (memberdayakan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah di bidang kelautan dan perikanan), dan • pro-sustainable (pemulihan dan pelestarian lingkungan perairan, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim) 70 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Sebagai resume, tema-tema yang dicakup dalam isu-isu strategis sektor meliputi: 1. Riset dan pemantauan fenomena perubahan iklim 2. Kajian mengenai kerentanan, potensi dampak, dan risiko perubahan iklim pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 3. Pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, terutama perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang berkaitan dengan penghidupan masyarakat di wilayah tersebut 4. Pengelolaan ekosistem di wilayah pesisir, perairan, dan pulau-pulau kecil, termasuk pulau-pulau kecil strategis yang terletak di paling luar 5. Penataan ruang dan zonasi pesisir dan perairan 6. Level dan kekuatan struktur bangunan dan fasilitas vital di pesisir 7. Pengelolaan kebencanaan akibat kejadian cuaca ekstrem dan variabilitas iklim Selanjutnya isu-isu strategis ini akan diimplementasikan dalam bentuk kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana akan diuraikan pada Bab V. 71 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 72 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 3 KeRenTAnAn seKTOR KeLAuTAn DAn PeRiKAnAn TeRHADAP PeRuBAHAn iKLim 73 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bahaya alam yang dipicu oleh perubahan iklim sebagaimana yang dideskripsikan di atas adalah bersifat global dimana potensi bahayanya dapat meluas di seluruh wilayah Indonesia. Faktor yang menentukan lokalitas dari potensi dampak perubahan iklim adalah kerentanan (vulnerability). Suatu bahaya yang mempunyai besaran (magnitudo) yang tidak terlalu besar akan mempunyai potensi dampak besar jika mengena pada daerah yang sangat rentan, atau sebaliknya suatu bahaya yang besar hanya menimbulkan potensi dampak kecil jika terjadi pada daerah yang praktis tidak rentan. Oleh karena itu identifikasi kerentanan sangat diperlukan dalam kajian risiko atau potensi dampak. Kerentanan didefinisikan sebagai kekurangberdayaan suatu individu, sistem sosial, atau sistem alamiah dalam mengantisipasi, menanggulangi, mempertahankan dan menyelamatkan diri/sistem terhadap suatu bahaya yang berkelanjutan yang dipicu oleh perubahan iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan dengan kondisi manusia dan lingkungan hidupnya. Oleh sebab itu kerentanan bergantung dari tiga faktor yaitu: tingkat keterpaparan terhadap bahaya, tingkat sensitivitas, dan kapasitas adaptif (untuk menyerap atau mengimbangi kerusakan atau manfaat dari perubahan iklim). Secara konseptual kerentanan diformulasikan sebagai berikut (UN-ISDR, 2004; USAID, 2007): Kerentanan = Keterpaparan x Sensitivitas Kapasitas Adaptasi dimana: • Keterpaparan atau eksposur (exposure) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada penerimaan manusia dan lingkungannya terhadap terpaan suatu bahaya alam menurut lokasi. Keterpaparan ini menggambarkan jenis dan jumlah aset di pesisir yang mengalami risiko; meliputi elemen-elemen fisik, sosial/budaya, ekonomis, dan ekologis. • Sensitivitas (sensitivity) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada tingkat kerugian individu atau kelompok atau kegetasan suatu infrastruktur atau lingkungan terhadap terpaan suatu potensi bencana alam. Sensitivitas ini menggambarkan tingkat dampak terhadap pesisir dan masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya. • Kapasitas adaptasi (adaptive capacity) adalah komponen dari kerentanan yang mengacu pada kemampuan manusia atau lingkungannya untuk bereaksi dan beradaptasi dalam mereduksi suatu bahaya sehingga tidak terjadi kerugian yang lebih besar. Kapasitas adaptasi ini menggambarkan kemampuan untuk mengatasi perubahan yang sedang dan diprediksi akan terjadi. Elemen-elemen kapasitas adaptasi tersebut dapat berupa hukum dan kebijakan, kelembagaan, sumberdaya manusia, serta pengawasan dan pengendalian. 74 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 3.1. Elemen dan Parameter Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan Sesuai dengan isu-isu strategis sektor di atas (lihat sub-bab II.4), maka diidentifikasi terdapat empat elemen kerentanan yaitu: (1) lingkungan fisik/ geografis, (2) sosial/kependudukan, (3) ekonomis (berupa infrastruktur, fasilitas vital, tata guna lahan serta berupa potensi sumberdaya), (4) ekologis. Tabel III.1 berikut ini menyajikan paparan dari beberapa kerentanan yang mewakili setiap elemen kerentanan tersebut. Namun demikian, kajian kerentanan secara kuantitatif menemui kendala yaitu kurang tersedianya data yang representatif untuk digunakan dalam alat bantu SIG (Sistem Informasi Geografis). Beberapa jenis data parameter kerentanan yang representatif untuk format SIG dapat dianggap menjadi wakil (proxy) dari elemen kerentanan yang bersangkutan (pada Tabel III.1 diberi tanda *)). Jenis-jenis parameter lain yang tersedia datanya namun kurang representatif (**) dapat dianalisis secara kualitatif. Deskripsi parameter kerentanan bisa dilihat pada tabel di Lampiran III dan IV. Tabel 3.1 Deskripsi elemen dan parameter kerentanan sektor kelautan dan perikanan terhadap perubahan iklim No 1 Elemen Kerentanan Lingkungan fisik/ geografis Parameter Kerentanan Keterangan Elevasi topografi permukaan tanah Gambar III.1 *) Kelerengan (kemiringan) permukaan tanah Gambar III.2 *) Kisaran pasang surut di pantai Gambar II.34**) Tinggi gelombang di pantai Keterpaparan terhadap samudra yang luas (Samudra Hindia, Samudra Pasifik, Laut Cina Selatan) Jumlah, sebaran, aksesibilitas pulau-pulau kecil Gambar II.15**) Visual dari peta-peta yang tersedia Panjang garis pantai Jenis material pantai Sebaran jumlah penduduk 2 Sosial/ kependudukan Sebaran kepadatan penduduk Gambar III.3 *) Gambar III.4 **) Gambar III.5 *) Jumlah nelayan perikanan tangkap dan budidaya Jumlah Rumah Tangga Perikanan 3.a 3.b 4 Ekonomis: Infrastruktur & fasilitas vital Ekonomis: potensi sumberdaya Ekologis Jumlah dan ragam infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir Gambar III.6 *) Sebaran penggunaan lahan Gambar III.7 *) Jumlah kota di pesisir Sebaran lokasi penangkapan ikan (fishing ground) Sebaran usaha budidaya ikan di laut, air payau, air tawar Sebaran potensi sumberdaya non-perikanan Keanekaragaman hayati terumbu karang Distribusi hutan mangrove dan ancaman konversi lahan Distribusi padang lamun Keanekaragaman ikan Gambar III.8 **) Gambar III.9 **) Gambar III.10 **) Gambar III.11 **) 75 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.1 Peta elevasi (ketinggian, topografi) permukaan tanah Gambar 3.2 Peta kelerengan (kemiringan) permukaan tanah 76 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.3 Peta sebaran jumlah penduduk Gambar 3.4 Proporsi data jumlah penduduk Indonesia tahun 2005 (a) dan proyeksinya pada tahun 2025 (b) (diolah dari data BPS) 77 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.5 Peta sebaran kepadatan penduduk Gambar 3.6 Peta kerentanan infrastruktur penting terhadap bahaya kenaikan muka air laut 78 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.7 Peta sebaran penggunaan (tutupan) lahan Gambar 3.8 Peta wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sebagai proksi potensi perikanan tangkap di Indonesia (Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009) 79 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.9 Peta persebaran terumbu karang di dunia (KKP, 2005) Gambar 3.10 Peta persebaran hutan mangrove (warna merah) di Indonesia (KKP, 2005) 80 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.11 Peta persebaran padang lamun (warna pink) di Indonesia (KKP, 2005) 3.2. Deskripsi Kuantitatif dan Kualitatif Kerentanan Sektor Kelautan dan Perikanan di Setiap Wilayah Kajian kerentanan terhadap perubahan iklim secara kuantitatif dapat diwakili oleh kajian kerentanan terhadap dampak bahaya penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut global dan peningkatan muka air laut yang dipicu oleh gelombang badai dan variabilitas iklim La-Nina (peta sebaran kerentanan dapat dilihat pada Gambar III.12) dengan elemen dan parameter kerentanan sebagai-mana pada Tabel III.2 berikut. Tabel 3.2 Elemen dan parameter yang diperhatikan dalam analisis kerentanan terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir (dicuplik dari Tabel III.1) No Elemen Kerentanan Parameter Kerentanan Keterangan 1 Lingkungan fisik/ geografis Kelerengan (kemiringan) permukaan tanah Gambar III.2 *) 2 Sosial/ kependudukan Sebaran kepadatan penduduk Gambar III.5 *) Ekonomis: Infrastruktur & fasilitas vital Jumlah dan ragam infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir Gambar III.6 *) Sebaran penggunaan lahan Gambar III.7 *) 3.a 81 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Gambar 3.12 Peta kerentanan terhadap bahaya kenaikan muka air laut Tingkat kerentanan wilayah secara umum adalah: (1) sangat tinggi hingga tinggi untuk sebagian wilayah pesisir utara Jawa, sebagian pesisir selatan Jawa Tengah dan Bali, terutama di sekitar kota-kota besar; (2) sedang (menengah) untuk sebagian besar pesisir timur Sumatera, pesisir utara Jawa, pesisir Jawa Tengah, sebagian kecil pesisir Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku, serta pesisir selatan Kalimantan dan Papua; dan (3) rendah hingga tidak rentan untuk di sebagian besar pesisir barat Sumatra dan selatan Jawa, sebagian besar wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua bagian utara. Di samping itu gambaran kerentanan juga akan dikaji secara kualitatif untuk jenis-jenis dampak seperti bahaya kenaikan temperatur air laut, erosi pantai yang diakibatkan oleh gelombang badai, dan perubahan sirkulasi arus laut yang dipicu oleh perubahan pola variabilitas iklim. Kajian kerentanan yang umumnya meliputi wilayah perairan laut tersebut terpaksa harus dilakukan secara kualitatif karena kurang atau bahkan tidak tersedianya data-data kuantitatif yang representatif, misalnya jumlah dan sebaran nelayan yang menangkap ikan di seluruh WPP serta jumlah hasil tangkapannya, jumlah dan sebaran perikanan budidaya di suatu perairan, dan sebagainya. Kajian kerentanan iklim di wilayah perairan laut ini perlu diwujudkan menjadi satu usulan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim. 3.2.1. Wilayah I Pulau Sumatera Kerentanan dengan tingkat sedang (menengah) terhadap bahaya kenaikan muka air laut mendominasi hampir semua pesisir Pulau Sumatra dan pulau-pulau kecil di sekitarnya (Gambar III.12). Kerentanan tingkat sedang tersebut semakin meluas ke arah daratan di pantai timur yang membentang dari Lampung hingga Sumatra Utara. Faktor utama dari tingkat kerentanan di pantai timur Sumatra adalah kecilnya 82 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan kemiringan (kelerengan) pantai yaitu antara 0–0,05 derajat (Gambar III.2), sedangkan faktor penambahnya adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi (Gambar III.3 dan Gambar III.5), serta banyaknya infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6), khususnya di sekitar kota Bandar Lampung dan kota Medan. Resume kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut ini. Tabel 3.3 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah I (Sumatra dan sekitarnya) Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang di pesisir barat, utara, dan tenggara (Gambar III.9) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Lingkungan fisik/ geografis Pesisir barat menghadap Samudra Hindia, sedangkan pesisir timur menghadap Selat Malaka yang menghubungkan Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia yang berpotensi timbulnya gelombang badai. Terdapatnya pulau-pulau kecil di sebelah barat dan utara Sumatra yang strategis menjadi titik pangkal batas negara. Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan lahan basah di pesisir timur, khususnya di Riau, Riau Kepulauan dan Bangka-Belitung (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai barat Sumatra dan Kepulauan Mentawai dan Nias (Gambar III.8) (Lihat Tabel III.2) Faktor utama: kecilnya kelerengan pantai di pantai timur Sumatra (antara 0 – 0,05). Faktor lain adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, banyaknya infrastruktur penting di pesisir, khususnya di sekitar kota Bandar Lampung dan kota Medan Kenaikan temperatur laut Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO 3.2.2. Wilayah II Pulau Jawa-Madura-Bali dan Sekitarnya Kerentanan dengan tingkat sedang dan tinggi terhadap bahaya kenaikan muka air laut mendominasi hampir semua pesisir utara Pulau Jawa (dari Anyer hingga sekitar Surabaya, pesisir barat Banten, pesisir selatan Jawa Tengah dan Malang (Jawa Timur), serta pesisir selatan Pulau Bali (Gambar III.12). Tingkat kerentanan tersebut menjadi sangat tinggi di beberapa lokasi seperti di sekitar DKI Jakarta, Tangerang, Cirebon, pesisir utara dan selatan Jawa Tengah, sekitar Surabaya, dan sekitar Denpasar Bali. Beberapa faktor utama saling berkontribusi terhadap tingginya tingkat kerentanan di wilayah II ini adalah kecilnya kemiringan (kelerengan) pantai (antara 0–0,05 derajat) (Gambar III.2), jumlah populasi dan kepadatan 83 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan penduduk yang cukup tinggi (Gambar III.3 dan Gambar III.5), dan banyaknya infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6), khususnya di sekitar kota-kota besar di pesisir Jawa dan Bali. Ringkasan kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel III.4 di bawah. Tabel 3.4 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah II (Jawa-Madura-Bali) Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang pesisir selatan Jawa-Bali, Kep. Seribu, dan Madura (Gambar III.9) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Lingkungan fisik/ geografis Pesisir selatan menghadap Samudra Hindia, sedangkan pesisir utara menghadap Laut Jawa dan Laut Bali yang berhubungan dengan Laut Cina Selatan dan Selat Makasar yang berpotensi timbulnya gelombang badai. Terdapatnya pulau-pulau kecil di sebelah utara. Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun di pesisir barat dan selatan Banten dan Jawa Barat (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai selatan Jawa-Bali (Gambar III.8) (Lihat Tabel III.2) Faktor utama: kecilnya kelerengan pantai di pantai utara Jawa dan Bali (antara 0 – 0,05). Faktor lain adalah jumlah populasi dan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, banyaknya infrastruktur penting di pesisir, khususnya di sekitar kota-kota besar di pesisir Kenaikan temperatur laut Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO 3.2.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara Hampir seluruh wilayah III Nusa Tenggara ini memiliki tingkat kerentanan yang rendah hingga tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12). Rendahnya tingkat kerentanan tersebut banyak dikontribusi oleh beberapa faktor seperti kecilnya populasi dan kepadatan penduduk (Gambar III.3 dan Gambar III.5), serta infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6). Kerentanan tersebut menjadi tingkat sedang hanya di beberapa daerah seperti di pesisir utara Pulau Sumbawa mengingat rendahnya kelerengan pantai. Kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel III.5 berikut ini. 84 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Tabel 3.5 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah III (Nusa Tenggara) Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Kenaikan temperatur laut Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang (Gambar III.9) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Lingkungan fisik/ geografis Pesisir selatan menghadap Samudra Hindia, sedangkan pesisir utara menghadap Laut Flores yang berhubungan dengan Selat Makasar-Samudra Pasifik yang berpotensi timbulnya gelombang badai. Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun di pesisir Lombok, Sumba, dan Timor (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di sepanjang pantai selatan Nusa Tenggara (Gambar III.8) Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO (Lihat Tabel III.2) Unumnya tingkat kerentanan cukup rendah, kecuali di pesisir utara Pulau Sumbawa terdapat tingkat kerentanan sedang mengingat rendahnya kelerengan pantai 3.2.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya Secara umum hampir seluruh pesisir wilayah Kalimantan memiliki kerentanan dengan tingkat rendah terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar 3.12), karena meskipun pantainya landai (Gambar 3.2) namun populasi penduduk sangat kecil (Gambar 3.3). Di beberapa pesisir seperti antara Sambas dan Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda terdapat tingkat kerentanan sedang dimana ada faktor tambahan berupa mulai cukupnya jumlah populasi penduduk (Gambar 3.3) dan lahan-lahan produktif (Gambar 3.7). Secara ringkas kerentanan terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 3.6. Tabel 3.6 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah IV (Kalimantan) Jenis Bahaya Kenaikan temperatur laut Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang di sekitar pulau-pulau kecil (Gambar III.9) Lingkungan fisik/ geografis Pesisir barat yang menghadap Laut Cina Selatan dan pesisir timur yang menghadap S. Makassar-Samudra Pasifik yang berpotensi timbulnya gelombang badai. Terdapatnya pulau-pulau kecil di sebelah barat, timur laut, dan tenggara 85 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun hampir di sepanjang pesisir (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di Selat Makasar bagian selatan (Kalimantan Selatan) (Gambar III.8) (Lihat Tabel III.2) Meskipun banyak terdapat daerah dengan kemiringan pantai rendah seperti di Kalimantan Selatan dan Tengah, namun populasi penduduknya kurang sehingga tingkat kerentanannya menjadi rendah. Di pesisir Sambas, Pontianak, Banjarmasin, dan Samarinda terdapat tingkat kerentanan sedang karena cukupnya populasi penduduk dan lahan produktif Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO 3.2.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya Secara umum hampir seluruh pesisir wilayah Sulawesi memiliki kerentanan dengan tingkat rendah hingga tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12) karena memiliki kelerengan pantai yang cukup tinggi (sekitar 1,5 – 3; Gambar III.2). Di beberapa pesisir seperti pantai barat Sulawesi Barat, sekitar Makassar, Pare-Pare, Wajo, Bone, Palopo-Bonebone (Luwu) dan Kendari terdapat kerentanan dengan tingkat sedang karena pantainya cukup landai dan populasi penduduk yang cukup (Gambar III.3). Resume kerentanan terhadap perubahan iklim bisa dilihat pada Tabel III.7 berikut. Tabel 3.7 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah V (Sulawesi) Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Ekologis Banyak terdapatnya terumbu karang hampir di seluruh pesisir (Gambar III.9) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Lingkungan fisik/ geografis Pesisir utara yang menghadap Laut Sulawesi dan pesisir barat yang menghadap Selat Makasar-Samudra Pasifik bagian barat yang berpotensi timbulnya gelombang badai. Terdapatnya pulau-pulau kecil di sebelah utara, barat, tenggara, dan selatan Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat sistem estuari dan padang lamun hampir di sepanjang pesisir (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di Selat Makasar bagian selatan (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara) (Gambar III.8) Kenaikan temperatur laut 86 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Jenis Bahaya Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO Elemen Kerentanan yang Dominan (Lihat Tabel III.2) Deskripsi Kerentanan Hampir seluruh wilayah pesisir memiliki tingkat kerentanan rendah hingga tidak rentan karena pantai yang tidak landai (kemiringan sekitar 1,5 – 3). Di pesisir barat Sulawesi Barat, sekitar Makassar, Pare-Pare, Wajo, Bone, Palopo-Bonebone (Luwu) dan Kendari terdapat kerentanan sedang karena pantainya cukup landai dan populasi penduduk yang cukup 3.2.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku Secara umum hampir seluruh pesisir Kepulauan Maluku tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12) karena jumlah penduduk yang relatif rendah (Gambar III.3) dan tidak banyak infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6). Perkecualian terjadi di sekitar Ambon yang memiliki kerentanan rendah hingga sedang. Ringkasan kerentanan terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel III.8. Tabel 3.8 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VI (Kepulauan Maluku) Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Kenaikan temperatur laut Ekologis Banyak tersebarnya terumbu karang (Gambar III.9) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Lingkungan fisik/ geografis Maluku bagian selatan menghadap Laut Arafura-Samudra Hindia, dan di bagian utara menghadap Samudra Pasifik yang berpotensi gelombang badai. Tersebarnya pulau-pulau kecil Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat estuari dan padang lamun (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di Laut Banda dan Arafura (Gambar III.8) (Lihat Tabel III.2) Hampir seluruh pesisir Kepulauan Maluku tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut karena jumlah penduduk yang relatif rendah dan tidak banyak infrastruktur penting di pesisir. Perkecualian terjadi di sekitar Ambon yang memiliki kerentanan rendah hingga sedang Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO 87 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 3.2.7. Wilayah VII Pulau Papua Bagian Barat dan sekitarnya Secara umum hampir seluruh pesisir utara Papua dan seluruh pesisir Papua Barat tidak rentan terhadap bahaya kenaikan muka air laut (Gambar III.12) karena kelerengan pantai yang agak tinggi (sekitar 1,5– 3 derajat; Gambar III.2). Sedangkan pesisir selatan Papua memiliki kerentanan sedang hingga rendah mengingat kelerengan pantai yang sangat rendah. Faktor lain adalah jumlah penduduk yang sangat rendah (Gambar III.3) dan tidak banyak infrastruktur penting di pesisir (Gambar III.6) pada hampir seluruh pesisir. Secara kualitatif, kerentanan terhadap jenis-jenis bahaya perubahan iklim lainnya dapat dilihat pada Tabel III.9 berikut. Tabel 3.9 Kerentanan terhadap perubahan iklim di wilayah VII (Pulau Papua bag. barat) Jenis Bahaya Elemen Kerentanan yang Dominan Deskripsi Kerentanan Kenaikan temperatur laut Ekologis Banyak tersebarnya terumbu karang di pesisir barat dan utara (Gambar III.9) Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem Lingkungan fisik/ geografis Pesisir selatan menghadap Laut Arafura-Samudra Hindia, dan pesisir utara yang menghadap Samudra Pasifik yang berpotensi timbulnya gelombang badai. Tersebarnya pulau-pulau kecil di sebelah barat dan utara Perubahan pola curah hujan Ekologis Banyak terdapat estuari dan padang lamun di pesisir selatan, barat, dan utara (Gambar III.11) Perubahan pola angin dan arus laut Ekonomis: potensi sumberdaya Terdapatnya fishing ground di Laut Arafura (Gambar III.8) (Lihat Tabel III.2) Pesisir utara Papua dan pesisir Papua Barat tidak rentan karena kelerengan pantai yang agak tinggi (sekitar 1,5 – 3). Pesisir selatan Papua memiliki kerentanan sedang hingga rendah karena jumlah penduduknya sedikit dan tidak banyak infrastruktur penting di pesisir walaupun pantainya landai. Penggenangan air laut di pesisir akibat kenaikan muka air laut, gelombang badai, dan kejadian ENSO 88 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 4 POTensi DAmPAK DAn RisiKO PeRuBAHAn iKLim TeRHADAP seKTOR KeLAuTAn DAn PeRiKAnAn 89 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Potensi dampak perubahan iklim selalu berkaitan dengan tingkat bahaya (yang telah dibahas di Bab II) dan tingkat kerentanan (dibahas di Bab III). Kajian-kajian risiko dapat dianggap sebagai kuantifikasi dari potensi dampak perubahan iklim. Pembahasan potensi dampak dan kajian risiko pada bab ini sangat penting sebagai masukan untuk menyusun alternatif-alternatif strategi adaptasi secara umum. 4.1. Potensi Dampak Potensi dampak perubahan iklim adalah akibat yang dapat terjadi jika tidak dilakukan upaya-upaya kapasitas adaptasi atau tanpa adanya adaptasi yang terencana (planned adaptation). Keterkaitan antara potensi dampak dengan kerentanan terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Gambar IV.1 berikut: Gambar 4.1 Kerangka kerja kerentanan (USAID, 2009; Daw, et.al., 2009) Pada diagram di atas potensi dampak dapat dipandang sebagai suatu elemen dari kerentanan dalam konteks perubahan iklim. Berbagai potensi dampak perubahan iklim di sektor kelautan dan perikanan dipaparkan pada Tabel 4.1 Berikut berikut (lihat juga Lampiran IV). 90 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 91 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan √ √ √ √ √ √ √ √ PKCE √ PVI-CH √ PVI-AAM KTPL Bahaya yang Memicu √ √ √ √ √ KML/ SLR Pulau-pulau kecil perbatasan dengan negara-negara: • ASEAN dan India di sebelah barat-utara Indonesia • Australia, Timor Timur, dan Papua Nugini di sebelah timur-selatan Indonesia • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Terumbu karang • Pulau-pulau kecil Mundurnya batas wilayah negara akibat tenggelamnya pulau kecil strategis terluar Kerusakan pemukiman, infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir Tenggelamnya pulau-pulau kecil strategis terluar Banjir sungai dan estuari • Pulau-pulau kecil untuk konservasi laut • Pulau-pulau kecil kaya sumberdaya alam • Pulau-pulau kecil banyak fasilitas penting Pesisir yang berpasir atau berlumpur dan terpapar dengan laut: • Samudra Hindia (Wil.I, II, III, VI, VII) • Samudra Pasifik (Wil.IV, V, VI, VII) • Laut Cina Selatan (Wil.I, IV,V) • Perairan internal Indonesia • Wil.I: pantai timur Sumatra • Wil.II: pantai utara Jawa, selatan Bali • Wil.III: Nusa Tenggara, • Wil.IV: Kalimantan • Wil.V: Sulawesi, • Wil.VI: Maluku, • Wil.VII: Papua Wilayah Fokus Terganggunya aktivitas perekonomian Kerusakan infrastruktur dan fasilitas vital Kerusakan infrastruktur & fasilitas vital di pesisir Kerusakan pemukiman di pesisir Terganggunya aktivitas operasional dari infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir Terganggunya aktivitas sosial di pemukiman Potensi Dampak Tenggelamnya pulau-pulau kecil Peningkatan erosi pantai Banjir rob/ genangan di pesisir Perubahan Fisik Lingkungan Tabel 4.1 Potensi Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Kelautan dan Perikanan 92 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan KTPL PKCE Perubahan ketersediaan pakan alami untuk perikanan budidaya Perubahan kapasitas unit pengolahan ikan Degradasi lingkungan sumberdaya laut dan pesisir Degradasi lahan basah yang berfungsi sebagai proteksi pesisir Menambah gangguan pada iklim global Mempengaruhi kehidupan manusia Perubahan komposisi keanekaan hayati perairan; kerusakan habitat di perairan Pemutihan karang (coral bleaching); Alga blooming Perubahan rejim hidraulik pada lahan basah Melemahnya sirkulasi arus laut dalam (termohalin) √ √ √ √ √ √ Sebelas WPP Penurunan durasi penangkapan ikan di laut penurunan produksi perikanan tangkap Peningkatan konsumsi BBM kapal nelayan Perubahan pola angin secara mendadak di laut √ √ √ √ Sebelas WPP Penurunan atau peningkatan produksi perikanan tangkap Penurunan atau peningkatan kapasitas unit pengolahan ikan Perubahan produktivitas primer Perubahan pola migrasi ikan Pergeseran fishing ground PVI-CH √ √ √ √ √ √ • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Terumbu karang • Pulau-pulau kecil Penurunan sediaan air tawar di pesisir untuk pemukiman, fasilitas vital, dan tambak Bertambahnya intrusi garam pada massa air sungai dan air tanah √ • Samudra Hindia bagian timur • Jalur arus lintas Indonesia • Laut Cina Selatan • Laut Arafura • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Pulau-pulau kecil • Daerah terumbu karang • Pulau-pulau kecil Sembilan klaster perikanan • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Terumbu karang • Pulau-pulau kecil Penurunan keter-sediaan air tawar di pesisir untuk pemukiman, fasilitas vital, dan tambak Penurunan produk-tivitas tambak air payau dan air tawar Penurunan debit dan kualitas air sungai dan estuari; kekeringan Wilayah Fokus Potensi Dampak Perubahan Fisik Lingkungan PVI-AAM Bahaya yang Memicu KML/ SLR Tabel tersebut menunjukkan bagaimana pengaruh bahaya perubahan iklim terhadap parameter-parameter lingkungan fisik atmosfer dan laut yang kemudian menimbulkan potensi dampak pada sektor kelautan dan perikanan. Potensi dampak perubahan iklim terhadap sektor kelautan dan perikanan tidak selalu harus bersifat negatif, namun juga bisa bersifat kondusif. Sebagai contoh, fenomena El-Nino justru berdampak meningkatnya produksi perikanan tangkap di Samudra Hindia (WPP 572 dan WPP 573; lihat Gambar III.8) karena pada saat itu proses upwelling dan produktivitas primer akan menguat. Namun demikian dampak negatif perubahan iklim terhadap sektor ini sudah banyak dirasakan oleh masyarakat dan pemangku kepentingan lain di pesisir, seperti penggenangan air laut pada dermaga pelabuhan, pemukiman, dan fasilitas vital lain. Diposaptono, dkk (2009) memaparkan potensi dampak perubahan iklim pada berbagai sektor di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil (Gambar IV.2). Gambar 4.2 Skematisasi dampak perubahan iklim pada berbagai sektor/bidang Skema tersebut menjadi dasar penyusunan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang akan dipaparkan pada Bab V. 93 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 4.2. Analisis Risiko (Potensi Dampak Secara Kuantitatif) di Setiap Wilayah Suatu potensi dampak dapat ditentukan secara kuantitatif dengan menggunakan analisis risiko terhadap suatu bencana atau bahaya. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanganan Bencana disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan, atau kehilangan harta dan gangguan terhadap kegiatan masyarakat. Secara umum risiko dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian baik itu berupa materi, korban nyawa, kerusakan lingkungan. Risiko juga dapat diartikan sebagai kemungkinan yang dapat merusak tatanan sosial, masyarakat dan lingkungan yang disebabkan oleh interaksi antara ancaman dan kerentanan. Oleh sebab itu hubungan antara variabel bahaya atauancaman bencana, kerentanan serta risiko adalah (UN-ISDR, 2004): R=H x V dimana: H adalah bahaya (hazard), V kerentanan (vulnerability), R risiko (risk). Jika rumusan tentang risiko tersebut dikaitkan dengan rumusan tentang kerentanan pada Bab III di atas, maka variabel kapasitas adaptasi berbanding terbalik terhadap nilai tingkat risiko. Konsekuensinya, apabila suatu komunitas memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kapasitas adaptasinya, maka nilai tingkat risiko menjadi tinggi. Sebaliknya apabila tingkat kapasitas komunitas lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kerentannya maka tingkat risiko menjadi rendah. Risiko atau potensi dampak terhadap bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim dapat ditentukan dari prediksi atau simulasi kondisi penggenangan pesisir sebagaimana dijelaskan pada butir II.5.7 di atas. Hasil simulasi tingkat risiko masing-masing dari ketiga skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar IV.3 (a), (b), dan (c). Analisis risiko terhadap dampak penggenangan air laut di pesisir, khususnya untuk skenario-3 yang merupakan skenario terburuk, di masing-masing wilayah dideskripsikan berikut ini. 94 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan (a) Skenario-1 HHWL+SLR (b) Skenario-2 HHWL+SLR+ENSO (c) Skenario-3 HHWL+SLR+ENSO+ SS Gambar 4.3 Tiga skenario dari risiko perubahan iklim berupa penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim La-Nina, dan gelombang badai yang masing-masing disertai dengan kejadian air pasang tertinggi perigee 95 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 4.2.1. Wilayah I Pulau Sumatera dan Sekitarnya Hampir seluruh pesisir sekeliling Pulau Sumatra serta pesisir bagian barat dari pulau-pulau kecil di sebelah barat Pulau Sumatra memiliki tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir. Di beberapa lokasi di pesisir provinsi Riau, Sumatra Utara, Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Barat, dan Lampung terdapat tingkat risiko tinggi. 4.2.2. Wilayah II Pulau Jawa-Bali-Madura dan Sekitarnya Hampir seluruh pesisir sekeliling Pulau Jawa serta pesisir selatan Madura dan Bali memiliki tingkat risiko sedang hingga tinggi terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir. Di beberapa lokasi bahkan memiliki tingkat sangat berisiko seperti DKI Jakarta dan Tangerang (Banten) serta daerah Tanjung Muria (Jawa Tengah). 4.2.3. Wilayah III Kepulauan Nusa Tenggara Tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir terdapat di pesisir selatan Pulau Lombok, pesisir selatan Pulau Sumba, Pulau Sumbawa, Pulau Flores hingga Pulau Alor. Sedangkan tingkat risiko tinggi terdapat di pesisir selatan Pulau Lombok, pesisir Teluk Saleh di Pulau Sumbawa, pantai Ende hingga sekitar pantai Larantuka di Pulau Flores. 4.2.4. Wilayah IV Pulau Kalimantan dan Sekitarnya Pada umumnya pesisir Kalimantan berada dalam tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir, kecuali di daerah Nunukan (Kalimantan Timur). Beberapa pesisir seperti sekitar Pontianak dan Banjarmasin bahkan memiliki tingkat risiko sangat tinggi, dan di pesisir sekitar Samarinda terdapat risiko tinggi. 4.2.5. Wilayah V Pulau Sulawesi dan Sekitarnya Banyak daerah pesisir yang mempunyai tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir misalnya pesisir Sulawesi Selatan, pesisir barat Sulawesi Tenggara, pesisir barat Sulawesi Barat, pesisir Sulawesi Tengah, serta kedua sisi pesisir Sulawesi Utara dan Manado. Beberapa daerah pesisir terdapat tingkat risiko yang tinggi hingga sangat tinggi seperti di pesisir barat Sulawesi Selatan. 96 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 4.2.6. Wilayah VI Kepulauan Maluku Bahaya penggenangan air laut ke pesisir beresiko sedang terdapat di pesisir barat Pulau Halmahera dan Pulau Buru, sebagian pesisir Pulau Seram, Pulau Tanimbar, dan Kepulauan Aru. Di beberapa lokasi bahkan memiliki tingkat risiko tinggi seperti di pesisir sekitar Ternate (Pulau Halmahera), pesisir kota Ambon, pesisir kota Tual di Pulau Kai Kecil, yang banyak disebabkan oleh adanya infrastruktur vital seperti bandara udara. 4.2.7. Wilayah VII Pulau Papua bagian Barat dan Sekitarnya Wilayah pesisir selatan Papua (antara Timika dan Merauke) serta pantai sekitar kota Fakfak pada umumnya memiliki tingkat risiko sedang terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir. Tingkat risiko tinggi hanya terdapat secara lokal di sekitar kota Jayapura dan Biak mengingat adanya infrastruktur bandara udara. Wilayah-wilayah lain secara praktis menunjukkan tidak ada risiko sama sekali. 97 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 98 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 5 ARAHAn DAn TAHAPAn menDATAnG unTuK inTeGRAsi ADAPTAsi PeRuBAHAn iKLim Ke DALAm seKTOR KeLAuTAn DAn PeRiKAnAn 99 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Pada dasarnya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah sejumlah strategi dan kegiatan yang dilakukan sebagai reaksi atau sebagai antisipasi terhadap perubahan iklim yang berupa penyesuaian dalam sistemsistem ekologi, ekonomi, dan sosial agar dapat mempertahankan atau bahkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (misalnya: Daw et al., 2009). Adaptasi terhadap perubahan iklim meliputi dua kegiatan pokok, yaitu meningkatkan dan memperkuat kapasitas adaptasi bagi pemerintah dan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil serta menerapkan keputusan adaptasi yaitu mengubah kapasitas adaptasi tersebut menjadi sejumlah aksi atau kegiatan. Langkah adapatsi ini secara umum diartikan bahwa segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim, baik sebelum, saat atau setelah terjadinya suatu dampak yang ditimbulkannya. Secara sederhana sebagaimana pengertian di atas bahwa dampak akan timbul bila adanya pertemuaan antara bahaya dengan kerentanan, oleh sebab itu untuk menghindari dampak besar maka perlu upaya untuk tidak mempertemukan kedua unsur tersebut dengan cara: (i) Menjauhkan kerentanan terhadap bahaya, sehingga tidak bertemu misalnya menarik mundur penduduk ketempat yang aman dari bahaya, (ii) Mereduksi bahaya sampai sekecil mungkin, sehingga bahaya tidak menerjang suatu kerentanan, misalnya pembangunan tembok pantai. Kedua opsi ini terkadang sangat sulit untuk dilakukan karena menimbulkan permasalahan sosial serta memerlukan biaya tinggi. Kemudian (iii) Mereduksi bahaya serta menaikan kapasitas dari suatu kerentanan atau dengan cara adaptif atau akomodatif dengan menggunakan analisis dan menejemen risiko. Penerapan manajemen risiko ini perlu dilakukan secara sistematis melalui kebijakan administratif (UndangUndang dan rencana tata ruang), organisasi, peningkatan kemampuan opersional, pemilihan strategi dan implementasi serta peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bahaya sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkannya. Manajemen risiko ini mengkaji seluruh pilihan strategi dan implementasi, baik dalam penanganan struktural (structural measures) maupun non struktural (non structural measures) untuk menghindarkan (preventive) atau untuk mengurangi efek yang ditimbulkan oleh bahaya perubahan iklim secara adaptasi, preperedness dan peningkatan resilence . Penanganan struktural terhadap kenaikan permukaan laut meliputi sistem perlindungan pantai dengan membangun tembok penahan ombak berupa breakwater, seawall, dan pintu air yang dikenal sebagai hard protection, dan perlindungan dengan menggunakan vegetasi pantai (mangrove), sand dune dan terumbu karang atau dikenal sebagi soft protection. Sedangkan penanganan non-struktural meliputi: pembuatan undang-undang dan peraturan pemerintah; penegakan hukum; pembentukan organisasi pemerintah dan non pemerintah yang terkait dengan penanganan bencana, penyedian konsep penataan ruang yang akrab bencana, penyediaan basis data dan sistem informasi bahaya dan peringatan dini, penyediaan peta bahaya dan risiko kenaikan permukaan laut, serta pembuatan peta jalur evakuasi dan shelter (tempat aman); pendidikan masyarakat; serta peningkatan fasilitas-fasilitas penyangga hidup (life line). Secara konseptual, Diposaptono dkk (2009) memberikan 7 langkah yang bersifat siklus dalam melakukan adaptasi perubahan iklim (Gambar V.1), yaitu: . 100 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan Gambar 5.1 Urutan tujuh langkah dalam proses adaptasi perubahan iklim (Diposaptono dkk, 2009) (1) melibatkan pemangku kepentingan yang terkait, (2) menentukan permasalahan, (3) mengkaji kapasitas adaptasi yang tersedia dan yang diperlukan, (4) mengidentifikasi pilihan-pilihan adaptasi, (5) mengevaluasi pilihan-pilihan adaptasi tersebut dan memilih aksi (6) melaksanakan implementasi aksi adaptasi, dan (7) memonitor dan mengevaluasi implementasi adaptasi Adapun arahan-arahan strategi adaptasi untuk sektor kalautan dan perikanan pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: 1. Adaptasi fisik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil a. Pengelolaan fisik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu b. Rekayasa fisik berwawasan lingkungan 2. Pengelolaan sosial kependudukan (pemukiman) 3. Pengelolaan infrastruktur dan fasilitas umum vital 4. Pengelolaan potensi sumberdaya kelautan, dan perikanan 101 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan a. Pengelolaan dan pemasaran perikanan tangkap dan budidaya b. Pengelolaan sumberdaya air c. Pengelolaan sumberdaya pertahanan dan keamanan (pulau-pulau kecil strategis terluar yang terletak di perbatasan negara) 5. Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut secara terpadu 6. Penyusunan regulasi, kebijakan, dan kapasitas institusional untuk adaptasi pada perubahan iklim 7. Inventarisasi data dan riset serta pengembangan sumberdaya manusia Untuk menuangkan arahan-rahan di atas maka dilakukan penyusunan kegiatan-kegiatan meliputi tiga tahapan yaitu: (1) perumusan arahan-arahan untuk penentuan strategi adaptasi sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu; (2) penetapan kegiatan dan sub-kegiatan prioritas adaptasi beserta tahapan-tahapan dan anggaran indikatif yang diperlukan; (3) penajaman kegiatan dengan memilih dan mengurutkan 5 (lima) di antara kegiatan-kegiatan prioritas sebagai kegiatan-kegiatan unggulan. 5.1. Arahan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan 2010 – 2030 Berbagai alternatif strategi adaptasi sektor kelautan dan perikanan telah disusun dengan berdasarkan informasi berbagai bahaya, kerentanan dan potensi dampak dan risiko, yaitu Tabel IV.1 di atas diperluas menjadi Tabel pada Lampiran IV. Langkah berikutnya adalah memilih alternatif strategi menjadi dan menyusunnya menjadi sejumlah strategi dan kegiatan yang direkomendasikan. Pemilihan alternatif strategi tersebut mempertimbangkan dua arahan sekaligus, yaitu tidak hanya untuk mengantisipasi potensi dampak dan risiko akibat perubahan iklim, namun juga untuk mendukung dan menjamin keberlangsungan strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Strategi pembangunan sektor ini pada dasarnya diarahkan untuk mewujudkan lima pilar strategi pembangunan nasional (lihat butir II.6) yaitu strategi pro-poor, pro-job, pro-growth, pro-business, dan pro-sustainable. Pada implementasinya, strategi adaptasi perubahan iklim itu meliputi beberapa aspek misalnya fisik kewilayahan (baik melalui rekayasa maupun penataan ruang dan zonasi), infrastruktur, fasilitas umum, sosial budaya, potensi sumberdaya, ekosistem, sumberdaya manusia, data dan informasi, hukum dan kebijakan publik, serta pertahanan dan keamanan. Alternatif-alternatif strategi adaptasi itu kemudian digolongkan ke dalam empat kelompok yang disesuaikan dengan kerangka kerja sebagaimana dapat 102 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan dilihat pada Gambar I.3 yaitu: Strategi-1 (Inventarisasi data, sistem informasi, dan riset): Melaksanakan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan perubahan iklim; Strategi-2 (Perencanaan): Mengintegrasikan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu; Strategi -3 (Regulasi dan Kebijakan): Menyusun dan atau menyesuaikan regulasi dan kebijakan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; Strategi-4 (Implementasi): Mengimplementasi kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan laut. 103 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 5.2. Tahapan Mendatang Sektor Kelautan dan Perikanan tahun 2010–2030 5.2.1. Kegiatan Prioritas untuk Adaptasi Dari analisis terhadap alternatif-alternatif strategi adaptasi di Lampiran IV, maka dirumuskan 9 (sembilan) Kegiatan Prioritas (Tabel V.1 di bawah). Kegiatan-kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam empat klaster kegiatan dan disesuaikan baik dengan isu perubahan iklim maupun strategi pembangunan nasional. Tabel 5.1 Sembilan Kegiatan Prioritas untuk adaptasi perubahan iklim sektor kelautan dan perikanan Perencanaan Regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan Implementasi √ √ 3 Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan laut √ √ √ 4 Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di wilayah pesisir terkait perubahan iklim √ √ 5 Penyesuaian pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu √ √ 6 Penyesuaian pengelolaan pulau-pulau kecil strategis terkait perubahan iklim √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ PROSUSTAINABLE √ √ PRO-BUSINESS 2 Pengintegrasian adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan pengelolaan kelautan dan perikanan √ PRO-GROWTH √ PRO-JOB √ PRO-POOR √ KML/SLR 1 Pelaksanaan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan perubahan iklim Strategi Pembangunan PVI-AAM Kegiatan Prioritas PVI-CH Inventarisasi data, sistem informasi, dan riset No PKCE Kelompok Kegiatan (Strategi) KTPL Antisipasi Bahaya √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 104 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Implementasi √ √ √ √ √ PROSUSTAINABLE PRO-BUSINESS √ PRO-GROWTH √ PRO-JOB 9 Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar terkait perubahan iklim √ √ PRO-POOR 8 Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu terkait perubahan iklim √ KML/SLR 7 Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi di pesisir, pulau-pulau kecil dan laut Strategi Pembangunan PVI-AAM Kegiatan Prioritas PVI-CH No PKCE Kelompok Kegiatan (Strategi) KTPL Antisipasi Bahaya √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Kegiatan-kegiatan prioritas di atas kemudian dijabarkan dalam bentuk sejumlah sub-kegiatan yang terkait beserta dengan wilayah-wilayah fokusnya pada Tabel V.2 di bawah. 105 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 106 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan Prioritas Tujuan Sub-Kegiatan Prioritas 1 Pelaksanaan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan perubahan iklim • Menguatkan kapasitas penelitian tentang fenomena, bahaya dan potensi dampak perubahan iklim pada sektor • Menguatkan kapasitas pengkajian adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang lebih tepat guna sesuai dengan kondisi kerentanan dan kearifan lokal Sub-kegiatan penguatan basisdata terkait perubahan iklim: • Kontribusi aktif dalam jaring basisdata internasional untuk pemantauan fenomena dan dampak perubahan iklim Sub-kegiatan penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim: • Analisis ancaman bahaya dan penyusunan peta rawan perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Analisis ancaman bahaya dan penyusunan peta rawan perubahan iklim di wilayah laut • Penyusunan peta kerentanan perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Penyusunan peta kerentanan perubahan iklim di wilayah laut • Analisis dan penyusunan peta risiko perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Analisis dan penyusunan peta risiko perubahan iklim di wilayah laut Sub-kegiatan penguatan riset terkait perubahan iklim: • Riset tentang interaksi laut dan atmosfer dalam perubahan iklim • Kontribusi aktif dalam jaring riset internasional tentang pemahaman fenomena dan dampak perubahan iklim • Riset tentang indeks kerentanan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil serta di wilayah laut • Riset tentang strategi dan teknologi mitigasi perubahan iklim yang tepat, efektif dan efisien (misalnya energi alternatif dari laut, penyerapan CO2 oleh ekosistem pesisir dan laut) • Riset tentang strategi dan teknologi adaptasi perubahan iklim yang tepat, efektif, dan efisien • Riset tentang dampak perubahan iklim pada lokasi fishing ground • Riset tentang dampak perubahan iklim pada stock assessment Sub-kegiatan penempatan materi terkait perubahan iklim pada kurikulum nasional I. KELOMPOK KEGIATAN INVENTARISASI DATA, SISTEM INFORMASI DAN RISET No • Fokus untuk wilayah laut: Jalur Arus Lintas Indonesia: Samudra Pasifik bagian barat di Wil.VI, Wil.VII; Selat Makasar di Wil.IV, Wil. V; Selat Lombok & sekitarnya di Wil. III; Samudra Hindia bagian timur di Wil.I, Wil.II, Wil.III • Fokus untuk WP3K: wilayah-wilayah yang memiliki tingkat risiko tinggi terhadap perubahan iklim • Fokus untuk materi kurikulum: Pendidikan Dasar dan Menengah; Pendidikan Tinggi Wilayah Fokus • Pendidikan Nasional • Lembagalembaga riset non Kementerian (BMKG, LAPAN, BPPT, PPGL, Bakosurtanal, Ristek) • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulaupulau kecil Sektor/Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan Tabel 5.2 Penjabaran kegiatan-kegiatan prioritas adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan 107 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan Prioritas Tujuan Menyesuaikan perencanaan dan pengelolaan kelautan dan perikanan dalam mengantisipasi isu perubahan iklim dengan cara mengintegrasikan kegiatan-kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Penyusunan hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan (RSKP, RZWKP, RPKP) yang telah memasukkan isu bencana termasuk perubahan iklim • Penyusunan konsep sempadan pantai yang memasukkan isu bencana termasuk perubahan iklim • Penyusunan Rencana Aksi Perubahan Iklim • Mengarusutamakan hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan ke dalam sistem perencanaan pembangunan • Pemilihan teknologi adaptasi perubahan iklim yang tepat, efektif, dan efisien (adaptasi mundur, akomodasi, proteksi) • Pemilihan teknologi mitigasi perubahan iklim yang tepat, efektif, dan efisien (energi kelautan, ekosistem pesisir) • Pengawasan dan pengendalian untuk penataan ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap perubahan iklim • Sosialisasi dan penyadaran masyarakat terhadap fenomena dan dampak perubahan iklim Sub-Kegiatan Prioritas 3 Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil Menguatkan kapasitas pada sektor-sektor yang terkait di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk: • mengantisipasi bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim yang sedang dan akan terus berlangsung • lebih menjamin keberlangsungan pembangunan nasional secara keseluruhan • Penyusunan norma, standar, pedoman dan kriteria tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Penyesuaian regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Mengakselerasi penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang Rencana Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat isu dan strategi mitigasi bencana termasuk adaptasi perubahan iklim • Mengakselerasi penerbitan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat peta rawan bencana dan peta risiko bencana terkait perubahan iklim • Peningkatan kapasitas kelembagaan (peraturan perundangan, sumberdaya manusia, lembaga, dan yang terkait lainnya) • Peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, khususnya berbasis di desa pesisir dan pulau-pulau kecil III. KELOMPOK KEGIATAN REGULASI, KEBIJAKAN DAN KAPASITAS KELEMBAGAAN 2 Pengintegrasian adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan pengelolaan kelautan dan perikanan II. KELOMPOK KEGIATAN PERENCANAAN No • Wilayah berisiko tinggi terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir: Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil.I: Sumatra (timur) • Wilayah berisiko sedang: Wil.I, Wil.III, Wil. IV Kalimantan (barat, timur, selatan), Wil.V Sulawesi (selatan, barat) • Wilayah berisiko rendah: Wil.VI, Wil.VII Papua (selatan) • Wilayah berisiko tinggi terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir: Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil.I: Sumatra (timur) • erisiko sedang: Wil. I, Wil.III, Wil.IV Kalimantan (barat, timur, selatan), Wil.V Sulawesi (selatan, barat) Wilayah b • Wilayah berisiko rendah: Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua selatan • Wilayah Fokus • Hukum dan perundangan • Dewan Perwakilan Rakyat • Pendidikan Nasional • Pekerjaan Umum • Kehutanan • Pertanian • Pariwisata • Perhubungan • Energi dan Sumber Daya Mineral • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulaupulau kecil Sektor/Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 108 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan Prioritas Tujuan 5 4 Penyesuaian pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil secara terpadu terkait perubahan iklim Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di wilayah pesisir terkait perubahan iklim • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital (pemukiman pesisir, dermaga pelabuhan, jalan dsb). • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai (tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, pintu air pasut, dsb.) • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil • Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil (mangrove, lahan basah dan padang lamun, estuaria, terumbu karang, garis pantai, paparan benua) • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah pantai (vegetasi pantai, gumuk pasir, terumbu karang) • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan pulau-pulau kecil (sumur resapan, dam, tanggul, drainase, dsb.) • Pengembangan dan sosialisasi teknologi penyulingan air laut (desalinasi) dan siklus daur ulang air • Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Menguatkan kapasitas untuk memelihara dan merehabilitasi ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil guna lebih menjamin: • keberlangsungan hidup masyarakat pesisir, dan • keberlangsungan pembangunan nasional Sub-Kegiatan Prioritas Mengevaluasi dan menyesuaikan elevasi dan kekuatan struktur bangunan di pesisir terhadap isu kenaikan muka air laut, semakin seringnya gelombang badai, dan semakin tidak menentunya pola kejadian variabilitas iklim (ENSO, IPO) IV. KELOMPOK KEGIATAN IMPLEMENTASI No Wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem yaitu: • Hutan mangrove • Terumbu karang • Lahan basah, padang lamun • Estuaria • Daerah paparan benua • Wilayah berisiko tinggi terhadap bahaya penggenangan air laut di pesisir: Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil.I: Sumatra (timur) • Wilayah berisiko sedang: Wil.I, Wil.III, Wil. IV Kalimantan (barat, timur, selatan), Wil.V Sulawesi (selatan, barat) • Wilayah berisiko rendah: Wil.VI, Wil.VII Papua (selatan) Wilayah Fokus • Lingkungan Hidup • Pekerjaan Umum • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulaupulau kecil • Pihak-pihak lain (swasta dan LSM baik dalam dan luar negeri) • Pekerjaan Umum • Pariwisata • Perhubungan • Energi dan Sumber Daya Mineral • Perumahan Rakyat • Pembangunan Daerah Tertinggal • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir Sektor/Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 109 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari pulaupulau kecil strategis, termasuk pulau kecil terluar • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Pengawasan dan perlindungan pulau-pulau kecil strategis terluar • Mengantisipasi isu tenggelamnya pulaupulau kecil akibat kenaikan muka air laut dan makin seringnya gelombang badai • Memperkuat stabilitas pulau-pulau kecil terluar Menguatkan kapasitas yang terkait dengan penanggulangan kebencanaan klimatologi dan oseanografi agar lebih dapat mengantisipasi dampak bahaya kejadian cuaca ekstrem dan variabilitas iklim di pesisir akibat perubahan iklim Penyesuaian pengelolaan dan perlindungan pulau-pulau kecil strategis terkait perubahan iklim Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 6 7 • Penyusunan standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di WP3K • Pengembangan sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Peningkatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di WP3K terpencil • Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di WP3K Sub-Kegiatan Prioritas Tujuan Kegiatan Prioritas No • Pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan dengan negara-negara ASEAN, India, Australia, Timor Tinur, dan Papua Nugini • Pulau-pulau kecil yang banyak terdapat sumberdaya alam dan fasilitas vital • Pulau-pulau kecil untuk konservasi laut • Badan Nasional Penanggulangan Bencana • Lembagalembaga riset non Kementerian (BMKG, LAPAN, BPPT, Ristek) • Pemerintahan Dalam Negeri • Perhubungan • TNI-AL • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulaupulau kecil • Pertahanan dan Keamanan • Pekerjaan Umum • Lingkungan Hidup • Pemerintahan Dalam Negeri • Hubungan Luar Negeri • TNI-AL • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pulau-pulau kecil Wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berpasir atau berlumpur dan terpapar dengan samudra di sekitar perairan Indonesia: • Daerah yang terpapar dengan Samudra Pasifik (Wil.IV, Wil.V, Wil.VI, Wil.VII) • Daerah yang terpapar dengan Samudra Hindia (Wil.I, Wil.II, Wil.III, Wil.VI, Wil.VII) • Daerah yang terpapar dengan L. Cina Selatan (Wil.I, Wil.II, Wil.IV, Wil.V) • Perairan internal Indonesia Sektor/Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan Wilayah Fokus 110 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Sektor/Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan • Pekerjaan Umum • Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM) • Lembagalembaga riset non Kementerian (BMKG, LAPAN, BPPT, Ristek) • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulaupulau kecil Wilayah Fokus Sebelas WPP-RI: 1. 571: Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. 572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda; 3. 573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat; 4. 711: Selat Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; 5. 712: Laut Jawa; 6. 713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; 7. 714: Teluk Tolo dan Laut Banda; 8. 715: Teluk Tomini, Laut Maluku, L. Halmahera, L. Seram, Teluk Berau; 9. 716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera; 10. 717: Teluk Cendrawasih, Samudra Pasifik; 11. 718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian timur Sub-Kegiatan Prioritas • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Peningkatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan hemat BBM • Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan unit pengolahan. • Penguatan dan pengembangan manajemen stok/logistik (cold storage/gudang) untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dan bahan baku unit pengolahan ikan Tujuan • Mengantisipasi kemungkinan pergeseran lokasi penngkapan ikan (fishing ground) lebih ke tengah laut • Menjamin keberlangsungan produksi ikan tangkap Kegiatan Prioritas Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu terkait perubahan iklim No 8 111 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 9 No Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar terkait perubahan iklim Kegiatan Prioritas • Mengantisipasi kemungkinan adanya jenis ikan dan pakan alami yang tidak tahan terhadap kenaikan suhu • Menjamin keberlangsungan produksi ikan Tujuan • Pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim (kerapu, kakap, rumput laut, alga merah) • Pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Peninggian, pelebaran, pendalaman dan penguatan pematang tambak dan saluran airnya • Penguatan dan pengembangan peran depo pemasaran ikan (benih dan ikan konsumsi) dalam kerangka manajemen stok • Pengembangan alternatif sumber pakan alami • Pengembangan budidaya ikan di lahan basah Sub-Kegiatan Prioritas 9 klaster perikanan: 1. Serang, Banten; 2. Sumenep, Jawa Timur; 3. Dompu, NTT; 4. Sumba Timur, NTB. 5. Pangkep, Sulsel; 6. Gorontalo, 7. Teluk Tomini Sulteng; 8. Mamuju, Sulbar; dan 9. Karimun di Kepri Wilayah Fokus • Pekerjaan Umum • Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM) • Lembagalembaga riset non Kementerian • Pemerintah provinsi dan kota/ kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sektor/Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 6.2.2. Kegiatan Unggulan untuk Adaptasi Penajaman sembilan kegiatan prioritas di atas adalah dengan merumuskan 5 (lima) Kegiatan Unggulan. Kegiatan-kegiatan tersebut dipilih dengan mempertimbangkan besarnya dampak yang telah dan sedang dirasakan oleh sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini. Penentuan kegiatan-kegiatan unggulan beserta urutannya dapat menggunakan beberapa kriteria antara lain: tingkat efektivitas (dalam merespon potensi dampak perubahan iklim), biaya, kelayakan, kelayakan secara sosial budaya, kecukupan dalam mengantisipasi dampak yang sudah/sedang terjadi, kecepatan implementasi, serta konsistensi dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah (USAID (2007). Kegiatan-kegiatan unggulan ini dapat dilihat pada Tabel V.3 di bawah ini. Tabel 5.3. Lima Kegiatan Unggulan untuk adaptasi perubahan iklim sektor kelautan dan perikanan KML/ SLR PVIAAM PVI-CH Kegiatan Unggulan PKCE Antisipasi Bahaya KTPL No Unggulan Dampak yang sedang/ sudah terjadi 1 Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 2 Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di wilayah pesisir terkait perubahan iklim 3 Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu terkait perubahan iklim 4 Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar terkait perubahan iklim √ √ √ Terendamnya tambak budidaya perikanan di pesisir akibat kenaikan muka air laut dengan laju 0,6 cm/ tahun 5 Penyesuaian pengelolaan pulaupulau kecil strategis terkait perubahan iklim √ √ √ Indikasi rusak dan tenggelamnya pulau-pulau kecil khususnya yang terluar √ √ √ √ √ √ √ √ √ Belum spesifiknya cakupan adaptasi perubahan iklim dalam regulasi dan kebijakan yang ada, seperti UU 27 Th.2007, UU 26 Th. 2007, UU 24 Th.2007, UU No. 31 Th.2004 √ Terendamnya pemukiman, perkantoran, dermaga pelabuhan akibat kenaikan muka air laut dengan laju 0,6 cm/tahun dan sering terjadinya gelombang badai Bergesernya lokasi penang-kapan ikan (fishing ground); Perubahan pola angin di laut sehingga lebih sulit diprediksi √ 112 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 6.2.3. Pentahapan Kegiatan Prioritas Kegiatan-kegiatan prioritas tersebut dijabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan pada 4 (empat) tahapan perencanaan pembangunan jangka menengah dari 2010 hingga 2030 sebagai berikut. Kegiatan-1: Pelaksanaan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan perubahan iklim: Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Samudra Pasifik bagian barat di Wil.VI, Wil.VII Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah dengan tingkat risiko tinggi terhadap perubahan iklim, (Wil.II, Wil.I) • Penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum lingkungan hidup pada Pendidikan Tinggi • Kontinuitas penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Selat Makasar di Wil.IV, Wil.V; Selat Lombok dsk di Wil.III Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah dengan risiko sedang (Wil.I, Wil. III, Wil.IV, Wil.V) • Kontinuitas penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum lingkungan hidup pada Pendidikan Dasar dan Menengah • Kontinuitas penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Samudra Hindia bagian timur di Wil.I, Wil.II, Wil.III Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah dengan tingkat risiko rendah, (Wil.VI, Wil.VII) • Kontinuitas penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum IPA pada Pendidikan Tiinggi • Evaluasi atas penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Evaluasi atas penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Evaluasi atas penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Laut Cina Selatan (Wil.I, Wil.II, Wil.IV) Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah-wilayah dengan risiko sangat rendah • Kontinuitas penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum IPA pada Pendidikan Dasar dan Menengah 113 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-2: Pengintegrasian adaptasi dan mitigasi perubahan iklim ke dalam perencanaan dan pengelolaan kelautan dan perikanan Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi dari tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Penyusunan hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan yang mengandung isu perubahan iklim • Penyusunan konsep sempadan pantai yang mengandung isu perubahan iklim • Penyusunan rencana aksi perubahan iklim • Mengarusutamakan hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan ke dalam sistem perencanaan pembangunan • Pemilihan teknologi adaptasi perubahan iklim • Pemilihan teknologi mitigasi perubahan iklim • Pengawasan dan pengendalian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Sosialisasi dan penyadaran masyarakat pada isu PI Fokus: Tingkat nasional dan tingkat daerah di wilayah risiko tinggi: Wil. II: Jawa (utara), Bali, Wil. I: Sumatra (timur) • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi konsep sempadan pantai yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi rencana aksi Perubahan iklim • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan dalam sistem perencanaan pembangunan • Implementasi teknologi adaptasi perubahan iklim • Implementasi teknologi mitigasi perubahan iklim • Kontinuitas pengawasan dan pengendalian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Kontinuitas sosialisasi dan penyadaran masya-rakat pada isu PI Fokus: Tingkat daerah di wilayah risiko sedang: Wil.I, Wil.III, Wil.IV, Wil.V Sulawesi (selatan, barat) • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi konsep sempadan pantai yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi rencana aksi perubahan iklim • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan dalam sistem perencanaan pembangunan • Implementasi teknologi adaptasi perubahan iklim • Implementasi teknologi mitigasi perubahan iklim • Kontinuitas pengawasan dan pengendalian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Kontinuitas sosialisasi dan penyadaran masya-rakat pada isu PI Fokus: Tingkat daerah di wilayah risiko rendah: Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua (selatan) • Evaluasi atas seluruh implementasi sub-sub kegiatan pada tahap sebelumnya Fokus: Tingkat nasional dan tingkat daerah di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 114 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-3: Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Menyusun norma, standar, pedoman dan kriteria tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Penyesuaian regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Percepatan penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang Rencana Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat isu perubahan iklim • Percepatan pener-bitan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Sektor Kelautan dan Perikanan yang memuat peta risiko perubahan iklim • Peningkatan kapa-sitas kelembagaan • Peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, khususnya berbasis di desa pesisir dan pulaupulau kecil Fokus: Tingkat nasional dan tingkat daerah di wilayah risiko tinggi, seperti Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil.I: Sumatra (timur) • Implementasi dari norma, standar, pedoman dan kriteria tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Implementasi regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Percepatan penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang Rencana Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat isu perubahan iklim • Percepatan pener-bitan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat peta risiko perubahan iklim • Kontinuitas dari peningkatan kapa-sitas kelembagaan • Kontinuitas dari peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, khususnya berbasis di desa pesisir dan pulaupulau kecil Fokus: Tingkat daerah di wilayah risiko sedang seperti Wil.I, Wil.III, Wil.IV Kalimantan (barat, timur, selatan), Wil.V Sulawesi (selatan, barat) • Implementasi dari norma, standar, pedoman dan kriteria tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Implementasi regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Percepatan penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang Rencana Strategis Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat isu perubahan iklim • Percepatan pener-bitan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Sektor Kelautan dan Perikanan yang telah memuat peta risiko perubahan iklim • Kontinuitas dari peningkatan kapa-sitas kelembagaan • Kontinuitas dari peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, khususnya berbasis di desa pesisir dan pulaupulau kecil Fokus: Tingkat daerah di wilayah risiko rendah, seperti Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua (selatan) • Evaluasi atas seluruh implementasi sub-sub kegiatan pada tahap sebelumnya Fokus:Tingkat nasional dan tingkat daerah di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 115 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-4: Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di wilayah pesisir terkait perubahan iklim Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Wilayah risiko tinggi, seperti Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil.I: Sumatra (timur) • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Wilayah risiko sedang seperti Wil.I, Wil. III, Wil.IV Kalimantan (barat, timur, selatan), Wil.V Sulawesi (selatan, barat) • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Wilayah risiko rendah, seperti Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua (selatan) • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil 116 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-5: Penyesuaian pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Identifikasi terha-dap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan pengelolaan ekosistem pesisir dan pulaupulau kecil • Pemeliharaan dan rehabilitasi eko-sistem dan sumber-daya pesisir dan pulaupulau kecil • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah pantai • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan pulau-pulau kecil • Pengembangan dan sosialisasi tekno-logi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Pengelolaan Kawasan Konser-vasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang • Kontinuitas pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah pantai • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan tekno-logi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Kontinuitas pengelolaan Kawasan Konser-vasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove • Kontinuitas pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah pantai • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan tekno-logi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Kontinuitas pengelolaan Kawasan Konser-vasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem lahan basah, padang lamun • Kontinuitas pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah pantai • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan tekno-logi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Kontinuitas pengelolaan Kawasan Konser-vasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem estuaria dan paparan benua 117 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-6: Penyesuaian pengelolaan pulau-pulau kecil strategis terkait perubahan iklim Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari pulau-pulau kecil strategis, termasuk pulau kecil terluar • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara-negara ASEAN dan India • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah • Kontinuitas pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara-negara Australia, Timor Timur, dan Papua Nugini • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah • Kontinuitas pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil yang banyak terdapat sumberdaya alam dan fasilitas vital • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah • Kontinuitas pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil untuk konservasi laut 118 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-7: Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseano-grafi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Penyusunan standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Pengembangan sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Peningkatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir yang terpapar dengan Samudra Pasifik (Wil.IV, Wil.V, Wil.VI, Wil.VII) • Implementasi standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengembangan dan sosialisasi sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Kontinuitas penguatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Kontinuitas penguatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir yang terpapar dengan Samudra Hindia (Wil.I, Wil.II, Wil.III, Wil.VI, Wil.VII) • Implementasi standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengembangan dan sosialisasi sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Kontinuitas penguatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Kontinuitas penguatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir yang terpapar dengan L. Cina Selatan (Wil.I, Wil.IV, Wil.V) • Implementasi standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengembangan dan sosialisasi sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Kontinuitas penguatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Kontinuitas penguatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir di perairan internal Indonesia 119 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-8: Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu terkait perubahan iklim Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Peningkatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) • Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan unit pengolahan. • Penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian timur 1. 716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera; 2. 717: Teluk Cendrawasih, Samudra Pasifik; 3. 718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian timur • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Kontinuitas penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE • Kontinuitas penguatan dan pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga unit pengolahan. • Kontinuitas penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian timur dan tengah: 1. 713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; 2. 714: Teluk Tolo dan Laut Banda; 3. 715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau; • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Kontinuitas penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE • Kontinuitas penguatan dan pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga unit pengolahan. • Kontinuitas penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian barat dan tengah: 1. 571: Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. 711: Selat Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; 3. 712: Laut Jawa; • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Kontinuitas penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE • Kontinuitas penguatan dan pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga unit pengolahan. • Kontinuitas penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian barat dan selatan: 1. 572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda; 2. 573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat; 120 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Kegiatan-9: Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar terkait perubahan iklim Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Peninggian, pelebaran, pendalaman dan penguatan pematang tambak dan saluran airnya • Penguatan dan pengembangan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Pengembangan alternatif sumber pakan alami • Pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: klaster perikanan bag. timur 1. Pangkep, Sulsel; 2. Gorontalo, 3. T. Tomini Sulteng; 4. Mamuju, Sulbar • Implementasi pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Implementasi pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Kontinuitas pemeliharaan pematang tambak dan saluran • Kontinuitas penguatan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Implementasi pengembangan alternatif sumber pakan alami • Implementasi pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: klaster perikanan bag. tengah 1. Dompu, NTT; 2. Sumba Timur, NTB. • Kontinuitas implementasi pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Kontinuitas implementasi pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Kontinuitas pemeliharaan pematang tambak dan saluran • Kontinuitas penguatan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Kontinuitas implementasi pengembangan alternatif sumber pakan alami • Kontinuitas implementasi pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: klaster perikanan bag. barat 1. Serang, Banten; 2. Sumenep, Jatim; 3. Karimun di Kepri • Kontinuitas implementasi pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Kontinuitas implementasi pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Kontinuitas pemeliharaan pematang tambak dan saluran • Kontinuitas penguatan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Kontinuitas implementasi pengembangan alternatif sumber pakan alami • Kontinuitas implementasi pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: 9 klaster perikanan dan yang di luar klaster 121 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 122 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan 6 KesimPuLAn 123 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Berwawasan jauh ke depan dan lintas sektor merupakan dua kata kunci dalam merencanakan dan mengimplementasikan adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor Kelautan dan Perikanan. Wawasan jauh ke depan menjadi hal yang mutlak mengingat bahaya perubahan iklim ini secara umum bersifat perlahan tapi pasti (slow onset) dengan proyeksi arah dan intensitas yang sulit diprediksi. Lintas sektor ini menjadi keharusan karena wilayah pesisir dan laut menjadi salah satu tumpuan dari berbagai aktivitas sektor lain yang berkepentingan seperti sumberdaya air, pertanian, kehutanan, transportasi, pekerjaan umum, kesehatan, pertahanan dan keamanan, dan sebagainya. Di lain pihak, sosialisasi kepada masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di pesisir berupa penyuluhan, edukasi, dan peningkatan kesadaran akan bahaya yang dipicu oleh perubahan iklim juga menjadi kunci keberhasilan dari implementasi adaptasi perubahan iklim ini. Salah satu hal penting yang perlu disosialisasikan adalah meluruskan persepsi masyarakat yang keliru dengan menganggap bahwa pada saat ini perubahan iklim belum berlangsung dan baru akan terjadi pada dekade atau abad mendatang. Namun demikian implementasi adaptasi perubahan iklim ini mendapat tantangan dari berbagai problem perekonomian, sosial, dan budaya di Indonesia, misalnya perusakan ekosistem pesisir seperti mangrove dan lahan basah yang sebenarnya dapat dijadikan penghalang dampak perubahan iklim di pesisir. 124 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan DAFTAR PUSTAKA Aldrin E. (2008). Predicting Precipitation Intencity for Vulnerability Assessment, Power Point., Presented in a Round Table Discussion on Dveloping a Methodology and Information Sharing for Vulnerability assessment to Climate Change in Indonesia, KLH-GTZ, 10 July 2008, Jakarta Australian Greenhouse Office, Department of the Environment and Heritage (2005). Climate Change Risk and Vulnerability, Promoting an Efficient Adaptation Response in Australia, Final Report, The Allen Consulting Group Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat (2008). Pedoman Manajemen Pengurangan Risiko Kebencanaan Tsunami, Rob dan Gelombang Ekstrim Wilayah Pesisir Jawa Barat. Daw, T., W.N. Adger, K. Brown, M-C. Badjeck (2009). Climate Change and Capture Fisheries. Dalam: K. Cochrane, C.D. Young, D. Soto, T.. Bahri (eds.), Climate Change Implications for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scientific Knowledge. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, p. 97 – 138. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2005). Rencana Strategis Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2005–2009. Dokumen tersedia pada situs www.KKP.go.id Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). KKP Usulkan Kelautan dan Perikanan menjadi Bidang Pembangunan Tersendiri. Siaran Pers, 27-9- 2009, tersedia pada situs http://www.KKP.go.id/index.php/ ind/news/1601/ Kementerian Kelautan dan Perikanan (2009). Rancangan Blueprint Pengelolaan Industri Kelautan. Workshop Kebijakan Kelautan Indonesia, 12 Oktober 2009 Dewan Kelautan Indonesia (2008): Perumusan Kebijakan Lintas Sektoral dlam Rangka Percepatan Pembangunan Perikanan, Pariwisata Bahari, dan Jasa Kelautan, Power Point, Seminar UNCLOS, Hotel Jayakarta, 06 Nopember2008 Diposaptono, S., Budiman, F. Agung (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Buku Ilmiah Populer, cetakan I, Bogor. Diposaptono, S. (2009), Review Draft Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Sektor Pesisir dan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Oktober 2009. Hadi, T.W, (2008). Kementrian Lingkungan Hidup dan GTZ (2009). Draft Laporan Akhir Kajian Kerentanan dan Risiko Perubahan Iklim Pulau Lombok, NTB. Hadi, S., I.M. Radjawane, K. Priyatna, H. Latief, T.W. Hadi, D.S. Soeroso (2009). Kenaikan Permukaan Laut (Sea Level Rise). Dalam Buku: Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Mengelola Resiko Bencana 125 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan di Negara Maritim Indonesia, Institut Teknologi Bandung. IPCC (2007). Climate Change 2007 - The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge, Cambridge University Press. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010). Renstra Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014. KLH dan GTZ (2009). Laporan Akhir Kajian Kerentanan dan Strategi Adaptasi terhadap Perubahan Iklim di Pulau Lombok, NTB: Sektor Pesisir dan Laut. Latief, H. dan Hadi, S.: “Status Oseonografi Pantai dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten– Kabupaten”. Seminar Nasional Kelautan, Geodesi–ITB–Bandung, 14 hal., 7 April 2001 Murray, S.P., D. Arief (1988). Throughflow into the Indian Ocean through the Lombok Strait, Januari 1985 – Januari 1986, Nature, 333, 444-447 Ningsih, N.S. (2009). Gelombang Badai Pasang. Dalam Buku: Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim Indonesia, Bandung. Nybakken, J.W., (1992). Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis, PT. Gramedia, Jakarta. Nontji, A. (1993). Laut Nusantara, Djambatan, Jakarta. Permen Kelautan dan Perikanan No. 01-MEN-2009 Priyono, B.E.,dkk. (1997). Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia, Direktorat Jenderal Perikanan Kementerian Perikanan. Sofyan, I. (2009). Roadmap Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Kajian Dasar Akademis (Scientific Basis). Draft Laporan, Bappenas – GTZ. Susanto, R.D., (2000). El Nino dan Perpindahan Lokasi Ikan. Mailing-list Oseanina. Tjasyono, B. (1999). Klimatologi Umum. Penerbit ITB UN-ISDR (2004). Living with Risk: Global Review of Disaster Reduction Initiatives. Geneva USAID (2007). Adapting to Climate Variability and Change: A Guidance Manual for Development Planning. USAID (2009). Adapting to Coastal Climate Change: A Guidebook for Development Planners. The Coastal Resources Center – University of Rhode Island (CRC–URI) and International Resources Group (IRG) Wyrtki, K.(1961) Naga Report Volume 2: Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. The University of California, California. --- (2008). Pemerintah Bentuk Sembilan Klaster Rumput Laut. Harian Kompas, Senin, 20 Oktober 2008 http://rst.gsfc.nasa.gov/Sect16/Sect16_2.html 126 ICCSR - Sektor Kelautan dan Perikanan LAmPiRAn 127 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Lampiran 1. Pelaksanaan Forum Group Discussion (FGD) dengan Para Pemangku Kepentingan yang Terkait Tabel L.1 Daftar Forum Group Discussion (FGD) yang telah dilaksanakan Tanggal Tempat Partisipan Agenda Bappenas KKP, KLH, LIPI, LAPAN, TNI-AL, Bakosurtanal, Dephut, BPLHD Jabar, BPPT, Ristek, Dept. PU FGD I: Sosialisasi dan koordinasi di antara instansi dan pakar yang terkait dengan sektor kelautan dan perikanan 13 Maret 2009 KKP Ditjen KP3K KKP Perencanaan FGD II 17 Maret GTZ Sektor-sektor Pertemuan perkenalan dengan Dr. Irving Mintzer 20 Maret 2009 KKP Ditjen KP3K KKP Perencanaan teknis FGD II 24 Maret 2009 PPKPL-ITB Dr. Irving Mintzer Melakukan unstructured indepth interview KKP Biro Perencanaan dan Ditjen KP3K KKP Pra FGD II: Penjelasan tentang aspek saintifik perubahan iklim dan dampaknya pada sektor ini 22 April 2009 Hotel Borobudur Jakarta Semua unit kerja eselon I KKP dan beberapa pakar perubahan iklim Pra FGD II: • Pembukaan dan pengarahan dari Sekjen KKP • Paparan Roadmap adaptasi oleh setiap unit kerja eselon I KKP 6 Mei 2009 Hotel Treva Jakarta Semua unit kerja eselon I KKP Pra FGD II: Penjelasan tentang aspek teknis penyusunan roadmap adaptasi hingga kegiatan prioritasnya 25 Mei 2009 Bappenas Unit kerja eselon I KKP yang terkait dan beberapa pakar perubahan iklim Review draft awal penyusunan Roadmap ini 17 Juni 2009 Hotel Nikko Jakarta Unit kerja eselon I KKP yang terkait dan sektor-sektor lainnya Cross-cutting issues di antara beberapa sektor yang terkait 9 Juli 2009 Hotel Park Lane Jakarta Unit kerja eselon I KKP yang terkait Mempertajam draft awal Roadmap ini oleh instansi terkait 29 Juli 2009 Bappenas Biro Perencanaan KKP Finalisasi Program Unggulan masingmasing sektor 8 Oktober 2009 Hotel Manhattan Jakarta Unit kerja eselon I KKP yang terkait, serta KLH Finalisasi draft yang sudah direvisi berdasarkan FGD terdahulu dan kajian risiko 19 Oktober 2009 KKP Biro Perencanaan Unit kerja eselon I KKP Penajaman dan finalisasi kegiatan dalam Roadmap 24 Februari 2009 6 April 2009 128 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Lampiran 2. Misi-Misi KKP yang Berkaitan Langsung dengan Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Tabel L.2 Misi-Misi dari Rencana Strategis KKP Tahun 2005-2009 Butir Renstra Deskripsi Misi-3 Memelihara daya dukung dan meningkatkan kualitas lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan Tujuan Mewujudkan kondisi lingkungan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkualitas Sasaran Menurunnya tingkat kerusakan ekosistem kelautan dan perikanan Indikator sasaran • Penurunan tingkat pelanggaran sebesar 5 % per tahun • Peningkatan kualitas ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil berkelanjutan • Pengembangan kawasan konservasi laut seluas 9 juta ha • Penurunan kawasan yang terdegradasi dan spesies/genetik yang punah • Peningkatan pentaatan terhadap peraturan perundang-undangan tata ruang laut dan pulaupulau kecil Strategi Memelihara keberlanjutan sumberdaya dan ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil dan perairan tawar. Kebijakan • Meningkatkan rehabilitasi dan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan beserta ekosistemnya • Memperkuat pengawasan dan pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan • Meningkatkan upaya penanggulangan illegal fishing Program Program Konservasi dan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Sub-kegiatan pokok • Pengelolaan dan pengembangan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria • Penataan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil • Pemeliharaan dan peningkatan pengelolaan ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil • Peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut, dan prakiraan iklim laut • Penamaan pulau-pulau kecil • Percepatan penyelesaian kesepakatan dan batas wilayah laut dengan negara tetangga • Rehabilitasi sumber daya kawasan budidaya • Peningkatan tata pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan • Pengawasan dan pengelolaan ekosistem dan jasa kelautan • Riset dan pengembangan iptek bagi pengelolaan sumberdaya dan ekosistem kelautan dan perikanan secara berkelanjutan • Pengembangan riset ekologi laut 129 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Lampiran 3. Deskripsi Kerentanan Tabel L.3 Deskripsi kerentanan sektor terhadap perubahan iklim (sumber: KKP, 2005) Elemen Kerentanan-1: Lingkungan fisik/geografis No Parameter Kerentanan Perkiraan Kuantitas / Lokasi Fokus 1 Luas wilayah 5,8 juta km (70% total luas) hingga ZEE 2 Panjang garis pantai 81.000 km 3 Keterpaparan terhadap Samudra Hindia Pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, pantai selatan Papua 4 Keterpaparan terhadap Laut Cina Selatan Kep. Riau, Bangka Belitung, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah 5 Keterpaparan terhadap Samudra Pasifik Sulawesi Utara, Maluku Utara, pantai utara Papua 6 Kelandaian pantai Pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai selatan Bali, pantai-pantai di Kalimantan, pantai selatan Papua, dan pulaupulau kecil 2 7 Jumlah pulau-pulau kecil 17.508 buah 8 Sebaran pulau-pulau kecil Terdapat pada setiap wilayah di Indonesia 9 Kisaran pasang surut Maksimum sekitar 6 m 10 Tinggi gelombang di pantai Maksimum sekitar 3 m Elemen Kerentanan-2: Kondisi Sosial/Kependudukan No Parameter Kerentanan Perkiraan Kuantitas / Lokasi Fokus 1 Jumlah penduduk Kondisi saat ini (2005): 218 juta Proyeksi 2025: 273 juta 2 Distribusi populasi penduduk yang timpang 131,8 juta (60%) di P. Jawa (Wil. II) (2005) 46 juta (21%) di P. Sumatra (Wil. I) 155,6 juta (57%) di P. Jawa (Wil. II) (proy. 2025) 62 juta (23%) di P. Sumatra (Wil. I) 3 Jumlah nelayan perikanan tangkap dan budidaya yang besar Nelayan laut: 3,4 juta; (2004) Pembudidaya ikan: 2,4 juta Nelayan laut: 5,2 juta; (proyeksi 2025) Pembudidaya ikan: 3,9 juta Jumlah rumah tangga perikanan 44.392 unit (50,3%) di Sulawesi (Wil.V) 25.943 unit (29,4%) di Nusa Tenggara (Wil.III) 6.740 unit (7,6%) di Sumatra (W.I) dan 6.320 unit (7,2%) di Jawa (Wil.II) 4 130 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Elemen Kerentanan-3: Ekonomis: Infrastruktur dan Fasilitas Vital No 1 2 3 Parameter Kerentanan Perkiraan Kuantitas / Lokasi Fokus Penggunaan lahan • Pemukiman • Perkantoran, lokasi wisata, area usaha • Kehutanan • Perairan • Semak, padang rumput, tanah kosong • Pertanian, perkebunan, pertambakan Jumlah infrastruktur dan fasilitas vital yang dibangun di daerah pesisir • Pembangkit listrik tenaga uap & gas • Produksi minyak dan derivatifnya • Instalasi air minum dan pembuangan air limbah • Tempat pelelangan ikan (TPI) • Perikanan budidaya air laut, payau, tawar • Pertanian pasang surut • Wisata pesisir dan laut • Jaringan transportasi dan distribusi • Pelabuhan perikanan, samudra, antar pulau • Pertahanan dan keamanan Jumlah kota besar di pesisir 31 kota (27%) di Jawa (Wil.II) 25 kota (21,7%) di Sulawesi (Wil.V) 24 kota (20,9%) di Sumatra (Wil.I) 14 kota (12,2%) di Kalimantan (Wil.IV) 131 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Elemen Kerentanan-4: Ekonomis: Potensi Sumberdaya No Parameter Kerentanan Perkiraan Kuantitas / Lokasi Fokus 1. 2. 1 Jumlah dan sebaran lokasi penangkapan ikan (fishing ground) di perairan wilayah Indonesia (dikelompokkan ke dalam sebelas Wilayah Pengelolaan Perikanan; WPP-RI): WPP-RI 571: Selat Malaka & Laut Andaman WPP-RI 572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda 3. WPP-RI 573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, Laut Timor bagian barat 4. WPP-RI 711: Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Cina Selatan 5. WPP-RI 712: Laut Jawa 6. WPP-RI 713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali 7. WPP-RI 714: Teluk Tolo dan Laut Banda 8. WPP-RI 715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau 9. WPP-RI 716: Lauz Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera 10. WPP-RI 717: Teluk Cendrawasih, Samudra Pasifik 11. WPP-RI 718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian timur (Gambar III.8) 2 Jumlah usaha budidaya laut 65.827 Ha di Sulawesi (Wil.V) 13.649 Ha di Nusa Tenggara (Wil.III) 3 Jumlah tambak air payau 147.341 Ha di Jawa (Wil.II) 126.423 Ha di Sulawesi (Wil.V) 96.081 Ha di Sumatra (Wil.I) 4 Jumlah tambak air tawar 117.894 Ha di Jawa (Wil.II) 72.321 Ha di Sumatra (Wil.I) 5 Jumlah pulau kecil terluar 92 buah Elemen Kerentanan-5: Ekologis No Parameter Kerentanan Perkiraan Kuantitas / Lokasi Fokus 1 Lengkapnya jenis ekosistem yang ada di Indonesia Ekosistem terumbu karang, mangrove, lahan basah, garis pantai, estuari, dan daerah paparan benua 2 Terumbu karang yang luas Luas total 60.000 km2 (1/8 luas seluruh dunia); (Gambar III.9) 3 Keanekaragaman hayati terumbu karang Berisi sekitar 300 jenis karang, 200 jenis ikan, dan biota lainnya 4 Keanekaragaman ikan Sekitar 25.000 jenis (88% dari sebaran di dunia) 5 Hutan mangrove Luas 5,21 juta Ha (1983-1993) Luas 2,5 juta Ha (2005) (Gambar III.10) 132 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 133 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Keterkaitan Potensi Dampak dan Strategi Adaptasi dengan Bahaya dan Kerentanan Perubahan Iklim PKCE √ √ PVI-AAM PVI-CH KTPL Bahaya yang Memicu √ Banjir rob/ genangan di pesisir Perubahan Fisik Lingkungan • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk infrastruktur di wilayah pesisir • Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap bahaya genangan rob • Penyesuaian level bangunan dan fasilitas vital di pesisir • Peninggian pematang tambak budidaya ikan yang ada • Pemunduran dan relokasi infrastruktur di wilayah tertentu Terganggunya aktivitas sosial di pemukiman Terganggunya aktivitas perekonomian dari infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir • Pantai yang landai • Kisaran pasut kecil • Banyaknya infrastruktur dan fasilitas vital • Banyaknya usaha tambak air payau dan air laut Alternatif Strategi Adaptasi • Pantai yang landai • Kisaran pasut kecil • Populasi penduduk besar dan padat Potensi Dampak • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk pemukiman di wilayah pesisir • Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap bahaya genangan rob • Penyesuaian level bangunan pemukiman/rumah panggung • Pemunduran dan relokasi pemukiman di wilayah tertentu Kerentanan • Wil.I: pantai timur Sumatra • Wil.II: pantai utara Jawa, selatan Bali • Wil.III: Nusa Tenggara, • Wil.IV: Kalimantan • Wil.V: Sulawesi, • Wil.VI: Maluku, • Wil.VII: Papua • Wilayah Fokus Tabel L.4 Potensi dampak dan alternatif adaptasi yang terkait secara spesifik dengan bahaya dan kerentanan perubahan iklim Lampiran 4. KML/ SLR 134 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan PKCE √ √ PVI-AAM PVI-CH KTPL Bahaya yang Memicu √ KML/ SLR Kerusakan pemukiman di pesisir Kerusakan infrastruktur & fasilitas vital di pesisir • Pantai yang landai • Tinggi gelombang rata-rata kecil • Pesisir menghadap samudra • Populasi penduduk besar dan padat • Pantai yang landai • Gelombang rata-rata tinggi • Pesisir menghadap samudra • Banyaknya infrastruktur dan fasilitas vital • Banyaknya usaha tambak air payau dan air laut Peningkatan erosi pantai Potensi Dampak Kerentanan Perubahan Fisik Lingkungan Wilayah Fokus • Daerah yang terpapar dengan Samudra Hindia (Wil.I, II, III, VI, VII) • Daerah yang terpapar dengan Samudra Pasifik (Wil.IV, V, VI, VII) • Daerah yang terpapar dengan Laut Cina Selatan (Wil.I, IV,V) • laut internal Indonesia • Daerah yang terpapar dengan Samudra Hindia (Wil.I, II, III, VI, VII) • Daerah yang terpapar dengan Samudra Pasifik (Wil.IV, V, VI, VII) • Daerah yang terpapar dengan Laut Cina Selatan (Wil.I, IV,V) • laut internal Indonesia Alternatif Strategi Adaptasi • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua pemukiman di wilayah pesisir • Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap bahaya gelombang badai • Penguatan struktur bangunan pemukiman di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai (tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, pintu air pasut, dsb.) • Pemeliharaan dan rehabilitasi vegetasi pantai (mangrove, dsb.), gumuk pasir dan terumbu karang • Pemunduran dan relokasi pemukiman di wilayah tertentu • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir • Penyesuaian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan terhadap bahaya gelombang badai • Penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di pesisir • Penguatan, peninggian, pendalaman pematang tambak dan saluran tambak budidaya ikan yang telah ada • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai (tembok laut, groin, pemecah gelombang, beach nourishment, pintu air pasut, dsb.) • Pemeliharaan dan rehabilitasi vegetasi pantai (mangrove, dsb.), gumuk pasir dan terumbu karang • Pemunduran dan relokasi infrastruktur di wilayah tertentu 135 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan √ √ √ √ • Banyaknya sistem estuari • Populasi penduduk padat • Banyaknya fasilitas vital • Banyaknya usaha tambak air tawar Bertambahnya intrusi garam pada massa air sungai dan air tanah √ Banjir sungai dan estuari Penurunan sediaan air tawar di pesisir untuk pemukiman, fasilitas vital, dan tambak Penurunan ketersediaan air tawar di pesisir untuk pemukiman, fasilitas vital Penurunan produktivitas tambak air payau & tawar Kerusakan pemukiman, infrastruktur dan fasilitas vital di pesisir • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air dan ekosistem pesisir secara terpadu • Pengelolaan sumberdaya air di pesisir (sumur resapan, dam, tanggul, drainase, dsb.) • Pengembangan dan sosialisasi teknologi pemrosesan air laut menjadi air tawar • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk kondisi sungai dan estuari • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir (dam, tanggul, drainase, dsb.) Tenggelamnya pulau-pulau kecil strategis terluar • Pantai yang landai • Populasi penduduk padat • Banyaknya fasilitas vital • Banyaknya usaha tambak • Banyaknya sistem estuari • Peningkatan pengawasan dan pengendalian terhadap sistem perlindungan pulau-pulau kecil strategis terluar Mundurnya batas wilayah negara akibat tenggelamnya pulau kecil strategis terluar • Pantai yang landai • Posisi menghadap samudra • Tersebar dan sulitnya akses • Posisinya sebagai titik pangkal garis batas negara Tenggelamnya pulau-pulau kecil • Populasi penduduk padat • Banyaknya fasilitas vital • Banyaknya usaha tambak air payau dan air tawar √ √ √ • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk pulau-pulau kecil strategis • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya dan ekosistem pulau-pulau kecil secara terpadu • Pemeliharaan vegetasi pantai, gumuk pasir, terumbu karang • Pembangunan struktur pelindung pantai, fasilitas navigasi Terganggunya aktivitas perekonomian Kerusakan infrastruktur dan fasilitas vital • Pantai yang landai • Posisi menghadap samudra • Kisaran pasut kecil • Gelombang rata-rata tinggi • Banyak, tersebarnya pulau dan sulitnya akses • Populasi penduduk padat • Banyaknya infrastruktur dan fasilitas vital Alternatif Strategi Adaptasi Potensi Dampak Kerentanan Perubahan Fisik Lingkungan Penurunan debit dan kualitas air sungai dan estuari; kekeringan √ √ √ PKCE √ PVI-CH √ PVI-AAM KTPL Bahaya yang Memicu KML/ SLR • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Terumbu karang • Pulau-pulau kecil • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Terumbu karang • Pulau-pulau kecil • Pulau-pulau kecil perbatasan dengan: • ASEAN, • Australia • Timor Timur • Papua Nugini • Pulau-pulau kecil untuk konservasi laut • Pulau-pulau kecil kaya sumberdaya alam • Pulau-pulau kecil banyak fasilitas penting Wilayah Fokus 136 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan KTPL PKCE √ √ √ √ √ √ PVI-CH √ √ PVI-AAM Bahaya yang Memicu KML/ SLR Kerentanan • Banyaknya lokasi fishing ground • Banyaknya usaha nelayan • Banyaknya rumah tangga perikanan • Beranekaragamnya populasi ikan di laut • Terdapat fishing ground • Banyaknya usaha nelayan • Banyaknya rumah tangga perikanan • Banyaknya usaha pertambakan • Banyaknya rumah tangga perikanan • Terdapat terumbu karang, mangrove, padang lamun • Keanekaragaman populasi ikan di laut • Terdapat terumbu karang • Beranekaragamnya populasi ikan di laut Perubahan Fisik Lingkungan Perubahan produktivitas primer Perubahan pola migrasi ikan Pergeseran fishing ground Perubahan pola angin secara mendadak di laut Perubahan komposisi keanekaan hayati perairan; kerusakan habitat di perairan Pemutihan karang (coral bleaching); Alga blooming Degradasi lingkungan sumberdaya laut dan pesisir Penurunan produksi perikanan Perubahan ketersediaan pakan alami untuk perikanan budidaya Perubahan kapasitas unit pengolahan ikan • Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu • Pemeliharaan vegetasi pantai, gumuk, terumbu karang • Pengembangan jenis budidaya ikan yang tahan terhadap perubahan iklim (kerapu, kakap, rumput laut, alga merah) • Pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Pengembangan alternatif sumber pakan alami • Pengembangan budidaya ikan di lahan basah • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang lebih akurat dan waktu-nyata (realtime) • Penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai dan hemat BBM • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan dinamik fishing ground • Penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai • Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan unit pengolahan skala rumah tangga. Penurunan atau peningkatan produksi perikanan tangkap Penurunan atau peningkatan kapasitas unit pengolahan ikan Penurunan durasi penangkapan ikan di laut penurunan produksi ikan tangkap Peningkatan konsumsi BBM kapal nelayan Alternatif Strategi Adaptasi Potensi Dampak • Daerah terumbu karang • Pulau-pulau kecil Sembilan klaster perikanan Sebelas WPP Sebelas WPP Wilayah Fokus 137 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan KTPL √ PVI-CH √ PKCE √ √ PVI-AAM Bahaya yang Memicu √ KML/ SLR • Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu • Penguatan riset dan pemantauan berskala internasional Degradasi lahan basah yang berfungsi sebagai proteksi pesisir Menambah gangguan pada iklim global Mempengaruhi kehidupan manusia • Terdapat banyak lahan basah • Terdapat usaha tambak air payau • Terdapat fishing ground • Banyaknya usaha nelayan • Populasi penduduk besar dan padat Perubahan rejim hidraulik pada lahan basah Pelemahan sirkulasi arus laut dalam (termohalin) Alternatif Strategi Adaptasi Potensi Dampak Kerentanan Perubahan Fisik Lingkungan • Samudra Hindia bagian timur • Jalur arus lintas Indonesia • Laut Cina Selatan • Laut Arafura • Daerah mangrove • Daerah estuaria, padang lamun • Pulau-pulau kecil Wilayah Fokus Tabel L.5 Aternatif adaptasi yang hanya terkait dengan kapasitas adaptasi perubahan iklim Kondisi kapasitas adaptasi Alternatif Adaptasi Kurangnya kapasitas riset, pemantauan, dan kajian tentang: bahaya/fenomena, kerentanan, potensi dampak dan risiko, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Penguatan jaringan antar basis data dan sistem informasi di instansi-instansi terkait • Penguatan riset dan pemantauan berskala nasional dan internasional • Pemetaan dan analisis bahaya, kerentanan, dan risiko bencana yang dipicu oleh perubahan iklim • Penguatan kajian strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil Kurangnya kapasitas hukum dan kebijakan, kelembagaan, sumberdaya manusia, serta pengawasan dan pengendalian untuk melaksanakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan laut • Penyesuaian hukum dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim (misalnya: UU No.27 Th.2007, UU No.26 Th.2007, UU No. 24 Th.2007, UU No. 31 Th.2004) • Penguatan kapasitas kelembagaan untuk perubahan iklim • Penguatan kapasitas SDM untuk mengelola adaptasi perubahan iklim • Penguatan kapasitas pengawasan dan pengendalian untuk perubahan iklim; berbasis di desa pesisir dan pulau-pulau kecil • Penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Risiko Bencana yang dipicu oleh perubahan iklim • Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di kalangan aparatur, tokoh masyarakat, masyarakat pesisir, generasi muda, dan masyarakat umum • Penyesuaian materi lingkungan hidup pada kurikulum sekolah dan perguruan tinggi Kurang pengalaman mengelola kebencanaan akibat dampak bahaya kejadian cuaca ekstrem dan variabilitas iklim di pesisir secara terpadu • Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan akibat cuaca ekstrem di pesisir dan laut. • Penguatan kapasitas untuk transportasi dan sistem persediaan kebutuhan hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil yang terpencil • Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan akibat cuaca ekstrem di pesisir 138 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 139 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Antisipasi Bahaya Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 1 Pelaksanaan inventarisasi data, sistem informasi, dan riset terkait dengan perubahan iklim Penguatan basis data, sistem informasi, serta kapasitas riset dan kajian Terkait dengan semua jenis bahaya perubahan iklim • Penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Samudra Pasifik bagian barat di Wil.VI, Wil.VII Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah dengan tingkat risiko tinggi terhadap perubahan iklim, (Wil.II, Wil.I) • Penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum lingkungan hidup pada Pendidikan Tinggi • Kontinuitas penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Selat Makasar di Wil.IV, Wil.V; Selat Lombok dsk di Wil.III Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah dengan risiko sedang (Wil.I, Wil. III, Wil.IV, Wil.V) • Kontinuitas penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum lingkungan hidup pada Pendidikan Dasar dan Menengah I. KELOMPOK KEGIATAN INVENTARISASI DATA, SISTEM INFORMASI DAN RISET No Kegiatan Prioritas Lampiran 5. Kegiatan Prioritas Beserta Tahapan-Tahapannya • Kontinuitas penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Kontinuitas penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Samudra Hindia bagian timur di Wil.I, Wil.II, Wil.III Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah dengan tingkat risiko rendah, (Wil.VI, Wil.VII) • Kontinuitas penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum IPA pada Pendidikan Tiinggi Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Evaluasi atas penguatan basisdata terkait perubahan iklim • Evaluasi atas penguatan sistem informasi terkait perubahan iklim • Evaluasi atas penguatan riset terkait perubahan iklim Fokus untuk wilayah laut: Laut Cina Selatan (Wil.I, Wil.II, Wil.IV) Fokus untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: Wilayah-wilayah dengan risiko sangat rendah • Kontinuitas penempatan materi perubahan iklim pada kurikulum nasional Fokus: untuk materi kurikulum IPA pada Pendidikan Dasar dan Menengah Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Pendidikan Nasional • Lembagalembaga riset non Kementerian (BMKG, LAPAN, BPPT, PPGL, Bakosurtanal, Ristek) • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 140 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Antisipasi Bahaya 2 Pengelolaan fisik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu •Kenaikan muka air laut •Peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang badai •Perubahan pola variabilitas iklim alamiah II. KELOMPOK KEGIATAN PERENCANAAN No Kegiatan Prioritas • Identifikasi kondisi saat ini dan proyeksi tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Penyusunan hirarki perencanaan sektor kelautan - perikanan yang mengandung isu perubahan iklim • Penyusunan konsep sempadan pantai yang mengandung isu perubahan iklim • Penyusunan rencana aksi perubahan iklim • Mengarusutamakan hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan ke dalam sistem perencanaan pembangunan • Pemilihan teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Pengawasan dan pengendalian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Penyadaran masyarakat pada isu PI Fokus: Tingkat nasional dan wilayah risiko tinggi: Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil. I: Sumatra (timur) Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan - perikanan yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi konsep sempadan pantai yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi rencana aksi Perubahan iklim • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan - perikanan dalam sistem perencanaan pembangunan • Implementasi teknologi adaptasi & miti-gasi perubahan iklim • Kontinuitas pengawasan dan pengendalian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Kontinuitas sosialisasi dan penyadaran masyarakat pada isu PI Fokus: Wilayah risiko sedang: Wil.I, Wil.III, Wil.IV, Wil.V Sula-wesi (selatan, barat) Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi konsep sempadan pantai yang mengandung isu perubahan iklim • Implementasi rencana aksi perubahan iklim • Implementasi hirarki perencanaan sektor kelautan dan perikanan dalam sistem perencanaan pembangunan • Implementasi teknologi adaptasi & mitigasi perubahan iklim • Kontinuitas pengawasan dan pengendalian tata ruang dan zonasi pesisir dan perairan • Kontinuitas sosialisasi dan penyadaran masyarakat pada isu PI Fokus: Wilayah risiko rendah: Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua (selatan) Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Evaluasi atas seluruh implementasi sub-sub kegiatan pada tahap sebelumnya Fokus: Tingkat nasional dan tingkat daerah di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Pekerjaan Umum • Kehutanan • Pertanian • Pariwisata • Perhubungan • Energi dan Sumber Daya Mineral • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 141 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Antisipasi Bahaya Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 3 Penyusunan dan atau penyesuaian regulasi, kebijakan, dan kapasitas kelembagaan di sektor kelautan dan perikanan terkait perubahan iklim Strategi adaptasi secara umum Terkait dengan semua jenis bahaya perubahan iklim • Menyusun norma, standar, pedoman dan kriteria tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Penyesuaian regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Percepatan penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang RSKP terkait isu perubahan iklim • Percepatan penerbitan Peraturan Daerah tentang RZWKP yang memuat peta risiko perubahan iklim • Peningkatan kapasitas kelembagaan • Peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian, khususnya berbasis di desa pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Tingkat nasional dan Wilayah risiko tinggi, seperti Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil.I: Sumatra (timur) III. KELOMPOK KEGIATAN REGULASI DAN KEBIJAKAN No Kegiatan Prioritas • Implementasi dari norma, standar, pedoman dan kriteria adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Implementasi regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Percepatan penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang RSKP terkait isu perubahan iklim • Percepatan pener-bitan Peraturan Daerah tentang RZWKP yang telah memuat peta risiko perubahan iklim • Kontinuitas dari peningkatan kapa-sitas kelembagaan • Kontinuitas dari peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian Fokus: Wilayah risiko sedang seperti Wil.I, Wil. III, Wil.IV Kali-mantan (barat, timur, selatan), Wil.V Sula-wesi (selatan, barat) Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Implementasi dari norma, standar, pedoman dan kriteria adaptasi dan mitigasi perubahan iklim • Implementasi regulasi dan kebijakan yang terkait dengan perubahan iklim • Percepatan penerbitan Keputusan Kepala Daerah tentang RSKP terkait isu perubahan iklim • Percepatan penerbitan Peraturan Daerah tentang RZWKP yang telah memuat peta risiko perubahan iklim • Kontinuitas dari peningkatan kapasitas kelembagaan • Kontinuitas dari peningkatan kapasitas pengawasan dan pengendalian Fokus: Wilayah risiko rendah, seperti Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua (selatan) Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Evaluasi atas seluruh implementasi sub-sub kegiatan pada tahap sebelumnya Fokus:Tingkat nasional dan tingkat daerah di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Hukum dan perundangan • Dewan Perwakilan Rakyat • Pendidikan Nasional Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 142 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Antisipasi Bahaya 4 Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital di wilayah pesisir terkait perubahan iklim Rekayasa fisik berwawasan lingkungan •Kenaikan muka air laut •Peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang badai •Perubahan pola variabilitas iklim alamiah IV. KELOMPOK KEGIATAN IMPLEMENTASI No Kegiatan Prioritas • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan untuk semua infrastruktur dan fasilitas vital di wilayah pesisir • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci Fokus: Wilayah risiko tinggi, seperti Wil.II: Jawa (utara), Bali, Wil. I: Sumatra (timur) Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci Fokus: Wilayah risiko sedang seperti Wil.I, Wil. III, Wil.IV Kalimantan (barat, timur, selatan), Wil. V Sulawesi (selatan, barat) Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci Fokus: Wilayah risiko rendah, seperti Wil.VI Maluku, Wil.VII Papua (selatan) Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Penyesuaian elevasi dan penguatan struktur bangunan dan fasilitas vital • Kajian dan sosialisasi pembangunan rumah panggung di pesisir • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai • Pengembangan Climate Resilience Village (CRV) di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci Fokus: seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau keci Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Pekerjaan Umum • Pariwisata • Perhubungan • Energi dan Sumber Daya Mineral • Perumahan Rakyat • Pembangunan Daerah Tertinggal • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pesisir Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 143 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan 5 No Bagian dari Strategi Adaptasi Perencanaan dan pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulaupulau kecil secara terpadu Kegiatan Prioritas Penyesuaian pengelolaan sumberdaya alam dan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu Terkait dengan semua jenis bahaya perubahan iklim Antisipasi Bahaya Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Kontinuitas pengelolaan eko-sistem dan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah pantai • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan tekno-logi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Kontinuitas pengelolaan Kawasan Konser-vasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan pengelolaan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil • Pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah pantai • Pemeliharaan dan rehabilitasi sumberdaya air di pesisir dan pulau-pulau kecil • Pengembangan dan sosialisasi teknologi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang • Kontinuitas pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah pantai • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan teknologi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Kontinuitas pengelolaan Kawasan Konservasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem lahan basah, padang lamun Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Kontinuitas pengelolaan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah pantai • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pesisir dan pulaupulau kecil • Kontinuitas pengelolaan teknologi penyulingan air laut dan siklus daur ulang air • Kontinuitas pengelolaan Kawasan Konser-vasi Laut (KKL) Fokus: wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang banyak terdapat ekosistem estuaria dan paparan benua Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Lingkungan Hidup • Pekerjaan Umum • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Pihak-pihak lain (swasta dan LSM baik dalam dan luar negeri) Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 144 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Pengelolaan sumberdaya kewilayahan serta pertahanan dan keamanan Kegiatan Prioritas Penyesuaian pengelolaan pulau-pulau kecil strategis terkait perubahan iklim No 6 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah • Kontinuitas pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara-negara Australia, Timor Tinur, dan Papua Nugini Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Identifikasi terhadap kondisi saat ini dan proyeksi ke depan dari pulau-pulau kecil strategis, termasuk pulau kecil terluar • Pemeliharaan dan rehabilitasi daerah pelindung alamiah • Pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil yang berbatasan dengan negara-negara ASEAN dan India Antisipasi Bahaya • Kenaikan muka air laut • Peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang badai • Perubahan pola variabilitas iklim alamiah • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah • Kontinuitas pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil yang banyak terdapat sumberdaya alam dan fasilitas vital Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Kontinuitas pengelolaan daerah pelindung alamiah • Kontinuitas pembangunan dan pemeliharaan struktur pelindung pantai dan fasilitas keselamatan navigasi • Kontinuitas pengelolaan sumberdaya air di pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengawasan dan perlindungan pulaupulau kecil strategis terluar Fokus: Pulau-pulau kecil untuk konservasi laut Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Pertahanan dan Keamanan • Pekerjaan Umum • Lingkungan Hidup • Pemerintahan Dalam Negeri • Hubungan Luar Negeri • TNI-AL • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pulaupulau kecil Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 145 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Terkait dengan semua jenis strategi adaptasi Kegiatan Prioritas Penguatan kapasitas mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil No 7 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Implementasi standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengembangan dan sosialisasi sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Kontinuitas penguatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terpencil • Kontinuitas penguatan pengeta-huan dan ketram-pilan mitigasi keben-canaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir yang terpapar dengan Samudra Hindia (Wil.I, Wil.II, Wil. III, Wil.VI, Wil.VII) Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Penyusunan standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Pengembangan sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Peningkatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir yang terpapar dengan Samudra Pasifik (Wil. IV, Wil.V, Wil.VI, Wil. VII) Antisipasi Bahaya •Kenaikan muka air laut •Peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang badai •Perubahan pola variabilitas iklim alamiah Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Implementasi standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengembangan dan sosialisasi sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Kontinuitas penguatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Kontinuitas penguatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir di perairan internal Indonesia Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Implementasi standar prosedur mitigasi bencana klimatologi dan oseanografi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil • Kontinuitas pengembangan dan sosialisasi sistem peringatan dini bencana klimatologi dan oseanografi • Kontinuitas penguatan jaringan transportasi, komunikasi, dan sistem persediaan kebutuhan hidup terutama di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpencil • Kontinuitas penguatan pengetahuan dan ketrampilan mitigasi kebencanaan klimatologi dan oseanografi pada kalangan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Fokus: Pesisir yang terpapar dengan L. Cina Selatan (Wil.I, Wil.IV, Wil.V) • Badan Nasional Penanggulangan Bencana • Lembagalembaga riset non Kementerian (BMKG, LAPAN, BPPT, Ristek) • Pemerintahan Dalam Negeri • Perhubungan • TNI-AL • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan 146 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Pengelolaan dan pemasaran perikanan tangkap Kegiatan Prioritas Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan tangkap terpadu terkait perubahan iklim No 8 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Kontinuitas pengu-atan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Kontinuitas penguatan kapasitas nelayan untuk men-capai fishing ground di lepas pantai hingga ZEE • Kontinuitas pengu-atan dan pengem-bangan sistem rantai dingin dari kapal ke unit pengolahan. • Kontinuitas pengu-atan dan pengem-bangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian timur dan tengah: 1. 713: Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali; 2. 714: Teluk Tolo dan Laut Banda; 3. 715: Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Teluk Berau; Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Pengembangan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktunyata (realtime) • Peningkatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) • Pengembangan sistem rantai dingin dari kapal hingga TPI dan unit pengolahan. • Penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian timur 1. 716: Laut Sulawesi, sebelah utara Pulau Halmahera; 2. 717: Teluk Cendrawasih, Samudra Pasifik; 3. 718: Laut Aru, Laut Arafuru, Laut Timor bagian timur Antisipasi Bahaya • Kenaikan temperatur air laut • Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (perubahan pola sirkulasi arus laut) • Peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang badai • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktunyata (realtime) • Kontinuitas penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga ZEE • Kontinuitas penguatan dan pengembangan sistem rantai dingin dari kapal ke unit pengolahan. • Kontinuitas penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian barat dan tengah: 1. 571: Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. 711: Selat Karimata, L. Natuna, L. Cina Selatan; 3. 712: Laut Jawa; Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan • Pekerjaan Umum • Usaha Mikro, Kecil & Menengah (UMKM) • Lembagalembaga riset non Kementerian (BMKG, LAPAN, BPPT, Ristek) • Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi dan pemetaan fishing ground dinamik • Kontinuitas penguatan dan sosialisasi sistem informasi cuaca di laut yang waktu-nyata (realtime) • Kontinuitas penguatan kapasitas nelayan untuk mencapai fishing ground di lepas pantai hingga batas ZEE • Kontinuitas penguatan dan pengembangan sistem rantai dingin dari kapal ke unit pengolahan • Kontinuitas penguatan dan pengembangan manajemen stok/ logistik (cold storage/ gudang) Fokus: WPP bagian barat dan selatan: 1. 572: Samudra Hindia sebelah barat Sumatra dan Selat Sunda; 2. 573: Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara; 147 ICCSR - SektoR kelautan dan PeRIkanan Bagian dari Strategi Adaptasi Pengelolaan dan pemasaran perikanan budidaya Kegiatan Prioritas Penyesuaian pengelolaan potensi sumberdaya perikanan budidaya air laut, air payau, dan air tawar terkait perubahan iklim No 9 Sub-kegiatan Prioritas 2015-2020 • Implementasi pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Implementasi pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Kontinuitas pemeliharaan pematang tambak dan saluran • Kontinuitas penguatan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Implementasi pengembangan alternatif sumber pakan alami • Implementasi pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: klaster perikanan bag. tengah 1. Dompu, NTT; 2. Sumba Timur, NTB. Sub-kegiatan Prioritas 2010-2014 • Pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Peninggian, pelebaran, pendalaman dan penguatan pematang tambak dan saluran airnya • Penguatan dan pengembangan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Pengembangan alternatif sumber pakan alami • Pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: klaster perikanan bag. timur 1. Pangkep, Sulsel; 2. Gorontalo, 3. T. Tomini Sulteng; 4. Mamuju, Sulbar Antisipasi Bahaya •Kenaikan suhu air laut •Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (perubahan pola curah hujan, aliran sungai) •Kenaikan muka air laut •Peningkatan frekuensi dan intensitas gelombang badai Sub-kegiatan Prioritas 2025-2030 • Kontinuitas implementasi pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Kontinuitas implementasi pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Kontinuitas pemeliharaan pematang tambak dan saluran • Kontinuitas penguatan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Kontinuitas implementasi pengembangan alternatif sumber pakan alami • Kontinuitas implementasi pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: 9 klaster perikanan dan yang di luar klaster Sub-kegiatan Prioritas 2020-2025 • Kontinuitas implementasi pengembangan jenis budidaya perikanan yang tahan terhadap perubahan iklim • Kontinuitas implementasi pengembangan sistem informasi musim pembenihan • Kontinuitas pemeliharaan pematang tambak dan saluran • Kontinuitas penguatan peran depo pemasaran ikan dalam kerangka manajemen stok • Kontinuitas implementasi pengembangan alternatif sumber pakan alami • Kontinuitas implementasi pengembangan budidaya ikan di lahan basah Fokus: klaster perikanan bag. barat 1. Serang, Banten; 2. Sumenep, Jatim; 3. Karimun di Kepri • Pekerjaan Umum • UMKM • Lembagalembaga riset non Kementerian • Pemerintah provinsi dan kota/ kabupaten yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Sektor/ Lembaga Lain yang Dapat Dilibatkan